TUGAS 3 KEPENDUDUKAN (TKP 470P) MOBILITAS PENDUDUK TANGERANG SEBAGAI DAERAH PENYANGGA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUGAS 3 KEPENDUDUKAN (TKP 470P) MOBILITAS PENDUDUK TANGERANG SEBAGAI DAERAH PENYANGGA"

Transkripsi

1 TUGAS 3 KEPENDUDUKAN (TKP 470P) MOBILITAS PENDUDUK TANGERANG SEBAGAI DAERAH PENYANGGA Disusun Oleh: Benhadad S. T. Jhon Feliks Lumbangaol Paldibo A. Sitorus Rezky Ginanjar JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014

2 DAFTAR ISI Halaman Judul... Daftar Isi... Pendahuluan... Kajian Literatur... Pembahasan... Penutup... Daftar Pustaka... v i ii i

3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tangerang Raya adalah sebuah kawasan di sebelah barat Jakarta, dengan luas sekitar km2, dihuni oleh lebih dari 5 juta penduduk. Tangerang Raya saat ini terbagi menjadi 3 daerah otonom, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan Tangerang Raya sangat beragam, seperti : a. Perpaduan antara daerah pesisir (Pantura) dengan daerah dataran rendah sampai menengah. b. Kombinasi antara daerah agraris dengan industri, pedesaan dengan metropolitan. Tangerang Raya merupakan daerah penyangga bagi Jakarta, yang berkedudukan sebagai ibu kota negara RI dan pusat bisnis terbesar di indonesia. Dengan demikian, apa yang terjadi di Jakarta segera berimbas ke Tangerang. Akibat melubernya jumlah penduduk Jakarta, maka sebagian bermigrasi ke Tangerang, dengan tetap mencari nafkah di Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir, perluasan urban Jakarta meliputi Tangerang, dan akibatnya banyak penduduknya yang berkomuter ke Jakarta untuk kerja, atau sebaliknya. Tangerang adalah pintu gerbang utama Indonesia. Hal itu karena keberadaan Bandara Internasional Soekarno Hatta yang berada di wilayah Kota Tangerang. Namun posisi tersebut, tidak serta merta mendongkrak sektor pariwisata Tangerang Raya. Hampir 100 persen pendatang dari negara-negara lain hanya numpang lewat di Tangerang. Bisa dikatakan sektor pariwisata Tangerang tidak memiliki daya tarik, baik wisata perkotaan, pantai atau agrowisata. Tangerang dikenal pula sebagai kawasan industri, karena keberadaan aneka industri, terutama di sekitar Balaraja, Cisoka dan Cikupa. Tangerang juga memiliki area pesawahan yang masih sangat luas, meskipun keberadaannya terus terdesak oleh industrialisasi dan perluasan kota. Kenyataannya, beragam sektor strategis di Tangerang Raya, kurang dikelola secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah pengangguran dan penduduk yang miskin. Terdapat sektor perdagangan dan bisnis di sebagian kawasan, ternyata hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang saja, dan kurang menciptakan kemakmuran bagi rakyat banyak.

4 Tangerang Raya sebagai kawasan penyangga DKI Jakarta Permintaan Penggunaan Lahan Meningkat Pertambahan Jumlah Penduduk Kepadatan penduduk meningkat Terjadinya Persebaran Penduduk Yang Tidak Merata Mobilitas penduduk tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan yang cukup Gambar 1. Skema Permasalahan Sumber: analisis kelompok 1.2 Tujuan dan Sasaran Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa besarnya mobilitas penduduk Tangerang Raya sebagai daerah penyangga ibukota DKI Jakarta dan apa pengaruhya terhadap perencanaan wilayah Sasaran Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah sasaran yang akan kami lakukan antara lain: a. Mencari data pendukung dari permasalahan yang ada. b. Menghitung angka perpindahan penduduk (migrasi) dari ibukota DKI Jakarta ke Tangerang c. Membandingkannya dengan laju pertumbuhan penduduk di Tangerang Raya dan menganalisis hubungan di antara dua variable tersebut.

5 1.3 Ruang Lingkup Ruang Lingkup Wilayah Letak Kota Tangerang secara geografis terletak pada posisi Bujur Timur (BT) dan Lintang Selatan (LS). Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong dengan DKI Jakarta, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Secara administratif luas wilayah Kota Tangerang dibagi dalam 13 kecamatan, yaitu Ciledug (8,769 Km2), Larangan (9,611 Km2), Karang Tengah (10,474Km2), Cipondoh ((17,91 Km2), Pinang (21,59 Km2), Tangerang (15,785 Km2), Karawaci (13,475 Km2), Jatiuwung (14,406 Km2), Cibodas (9,611 Km2), Periuk (9,543 Km2), Batuceper (11,583 Km2), Neglasari (16,077 Km2), dan Benda (5,919 Km2), serta meliputi 104 kelurahan dengan 981 rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT) Ruang Lingkup Materi Materi yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi demografi yang merupakan ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan, meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian, migrasi, serta penuaan khususnya pada penghitungan angka ketergantungan penduduk. Juga mobilitas penduduk Tangerang Raya sebagai daerah penyangga ibukota DKI Jakarta. 1.4 Sistematika Pembahasan Data Penduduk Data Perubahan Penggunaan Lahan Kepadatan Distribusi Identifikasi Mobilitas Penduduk Tangerang Raya Laju Pertumbuhan Hubungan antara mobilitas penduduk dengan penggunaan lahan Kesimpulan

6 1.5 Sistematika Penulisan Berikut adalah sistematika makalah ini: BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang permasalahan, tujuan pembahasan, langkah yang digunak mencapai tujuan dan sasaran, dan ruang lingkup dari permasalahan yang akan dikaji. BAB II KAJIAN TEORI Berisi tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan, maupun teori yang kita gunakan analisis materi atau permasalahan yang dikaji. BAB III PEMBAHASAN Pembahasan berisi tentang analisis dari data yang ada, juga skema yang berisi tentang permasalahan. BAB IV PENUTUP Berisi kesipulan dari apa yang telah dianalisis dipembahasan. DAFTAR PUSTAKA Berisi tentang sumber-sumber data yang digunakan dalam proses pembuatan makalah ini.

7 BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Daerah Penyangga Daerah penyangga merupakan daerah yang tumbuh akibat proses pertumbuhan wilayahwilayah tertentu dengan aktivitasnya yang bersifat agraris dan non agraris yang ditandai dengan interaksi antara manusia dan komoditasnya (Bintarto, 1983). Menurut Tarigan (2005), daerah penyangga diartikan sebagai daerah yang langsung berbatasan dengan wilayah kota / areal terbangun (built up area). Daerah penyangga tersebut saat ini tidak termasuk dalam wilayah terbangun secara penuh (full developed), namun dalam waktu mendatang akan mengalami perubahan karena perkembangan kota, atau dengan kata lain batasan tersebut dapat mencakup suatu pengertian bahwa daerah penyangga adalah wilayah dalam lingkungan administratif yang bersentuhan dengan wilayah administratif lain. Yunus (2008) mengemukakan definisi yang berbeda yakni daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di antara wilayah kekotaan dan wilayah kedesaan. Ciri khas wilayah ini sangat istimewa yang tidak dimiliki oleh wilayah lain yaitu dalam hal keterkaitan yang begitu besar dengan aspek kehidupan kota maupun desa yang tercipta secara simultan. Menurut Bintarto (1983), beberapa alasan tumbuhnya daerah penyangga antara lain; 1. Peningkatan pelayanan transportasi kota; 2. Pertumbuhan penduduk yang tinggi; 3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat; 4. Gerakan pemilikan rumah oleh masyarakat; Menurut Malaque (2007) tumbuhnya daerah penyangga juga dapat dilihat dari adanya perubahan penggunaan lahan. Malaque (2007) menambahkan bahwa perubahan penggunaan lahan di daerah penyangga atau kawasan pinggiran dapat ditandai dengan berubahnya status kepemilikan lahan dan munculnya permintaan akan tempat tinggal. Yunus (2008) sependapat dan menambahkan bahwa daerah penyangga perkotaan merupakan sasaran perkembangan fisikal baru dari suatu kota. Transformasi spasial yang terjadi di daerah penyangga merupakan proses berubahnya penggunaan lahan yang berorientasi pada kepentingan kedesaan menjadi penggunaan lahan yang berorientasi pada kepentingan kekotaan. 2.2 Konsep Migrasi Migrasi merupakan satu dari tiga komponen dasar demografi selain fertilitas dan mortalitas. Ketiga komponen ini mempengaruhi dinamika kependudukan di suatu wilayah. Ada dua dimensi

8 yang perlu ditinjau dalam menelaah masalah migrasi, yakni dimensi waktu dan dimensi wilayah. Namun masih belum ada kesepakatan pasti di antara para ahli dalam menentukan dimensi waktu dan wilayah dalam ber-migarsi tersebut. Lee (1976) dalam Purnamasari (2007) mendefinisikan bahwa migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan ataupun sifatnya. Demikian pula definisi migrasi oleh Tjiptoherijanto dalam Safrida (2008), diartikan sebagai perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Tujuan utama migrasi adalah meningkatkan taraf hidup migran dan keluarganya, sehingga umumnya mereka mencari pekerjaan yang dapat memberikan pendapatan dan status sosial yang lebih tinggi di daerah tujuan. Terkait teori ekonomi tentang migrasi, Todaro (1998) dalam Khotijah (2008) mendasarkan pemikirannya bahwa arus migrasi berlangsung sebagai akibat tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dan desa. Definisi BPS telah memberikan batasan wilayah dalam definisi migrasi, yakni proses perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas wilayah adaministrasi yang dapat berupa desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Sedangkan PBB dalam Rangkuti (2009) memberikan batasan migrasi sebagai bentuk dari mobilitas geografi (geographic mobility) atau mobilitas keruangan (spatial mobility) dari suatu unit geografi ke unit geografi lainnya yang menyangkut perubahan tempat kediaman secara ermanen dari tempat asal atau keberangkatan, ke tempat tujuan atau tempat yang didatangi (United Nation: 1985). Mantra (2000) dalam Purnamasari (2007), menjelaskan bahwa migrasi adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah lain dengan niatan menetap di daerah tujuan. Sedangkan mobilitas penduduk non permanen adalah gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Mantra juga menyebutkan bahwa beberapa teori yang mengungkapkan mengapa orang melakukan mobilitas, diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu mempunyai beberapa macam kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis. Semakin besar kebutuhan tidak dapat terpenuhi, semakin besar stres yang dialami. Apabila stres sudah melebihi batas, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai kefaedahan terhadap pemenuhan kebutuhannya. Perkembangan teori migrasi demikian dikenal dengan model stress-treshold atau place-utility. Terkait hubungan migrasi dengan pembangunan, Soemardjan (1988) dalam Lubis (2003) menyatakan bahwa perpindahan penduduk dari dan ke suatu tempat bukan berarti mengambil hak-hak yang dimiliki masyarakat setempat, namuan merupakan suatu faktor penting bagi kesejahteraan masyarakat setempat karena pada akhirnya turut mendukung jalannya pembangunan nasional. Hal ini tidak terlepas dari adanya pemanfaatan yang optimal terhadap

9 sumber-sumber produksi yang dahulu belum tersentuh sepenuhnya oleh masyarakat setempat. Dengan kedatangan penduduk pendatang, potensi-potensi tergali lebih dalam. Masih terkait perubahan akibat migrasi, Lubis memakai Pandangan Usman Pelly (1998) bahwa setiap proses migrasi yang terjadi akan membawa suatu perubahan di tempat barunya, karena di dalam migrasi tersebut terdapat misi budaya yang dimiliki oleh setiap pendatang. 2.3 Persebaran Penduduk Persebaran penduduk secara umum adalah Persebaran atau distribusi penduduk adalah bentuk penyebaran penduduk di suatu wilayah. Persebaran penduduk dapat dibagi menjadi dua: 1. Persebaran penduduk berdasarkan geografis Persebaran penduduk secara geografis adalah karakteristik penduduk menurut batas-batas alam seperti pantai, sungai, danau dan sebagainya. 2. Persebaran penduduk berdasarkan administrasi pemerintahan Persebaran penduduk secara administrasi adalah karakteristik penduduk menurut batas-batas wilayah administrasi yang ditetapkan oleh suatu negara, misalnya jumlah penduduk di desa A atau di kecamatan B. Persebaran atau distribusi penduduk adalah bentuk penyebaran penduduk di suatu wilayah atau negara, apakah penduduk tersebut tersebar merata atau tidak. Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan jumlah rata-ratap penduduk pada setiap Km2 pada suatu wilayah negara. Faktorfaktor yang mempengaruhi penyebaran dan kepadatan penduduk tiap-tiap daerah atau negara sebagai berikut: 1. Faktor Fisiografis 2. Faktor Biologis 3. Faktor Kebudayaan dan Teknologi 2.4 Peranan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Pembangunan Penduduk memiliki fungsi ganda. Dalam konteks pasar ia berada baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran. Dalam konteks pembangunan, pandangan terhadap penduduk terpecah dua, ada yang menganggapnya sebagai penghambat pembangunan, ada pula yang menganggapnya sebagai pemacu pembangunan. Dalam literatur-literatur kuno, pada umumnya penduduk dipandang sebagai penghambat pembangunan. Keberadaannya, apalagi dalam jumlah besar dan dengan pertumbuhan yang tinggi, dinilai hanya menambah beban pembangunan. Dinyatakan dengan kalimat yang lebih

10 lugas jumlah penduduk yang besar memperkecil pendapatan per kapita dan menimbulkan masalah ketenagakerjaan. Dalam literatur-literatur modern penduduk justru dipandang sebagai pemacu pembangunan. Berlangsungnya kegiatan produksi adalah berkat adanya orang yang membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan. Konsumsi dari penduduk inilah yang menimbulkan permintaan agregat. Pada gilirannya, peningkatan konsumsi agregat memungkinkan usaha-usaha produktif berkembang, begitu pula perekonomian secara keseluruhan. Jadi perkembangan ekonomi turut ditentukan oleh permintaan yang datang dari penduduk (Dumairy, 1996). Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat kepada perkembangan ekonomi yang menjadi tolak ukur pembangunan. Penduduk yang bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja dan pertambahan tersebut memungkinkan negara itu menambah produksi. Disamping itu, sebagai akibat pendidikan, latihan dan pengalaman kerja, kemahiran penduduk akan selalu bertambah tinggi. Maka produktivitas akan bertambah dan ini selanjutnya menimbulkan pertambahan produksi yang lebih cepat daripada pertambahan tenaga kerja. Selanjutnya perlu diingat pula bahwa pengusaha adalah sebagian dari penduduk. Para pengusaha memegang peranan yang sangat penting di dalam menentukan luasnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara. Maka apabila tersedianya pengusaha dalam sejumlah penduduk tertentu adalah lebih banyak maka lebih banyak pula kegiatan ekonomi yang akan dijalankan. Dorongan lain yang timbul dari perkembangan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi bersumber dari akibat pertumbuhan itu kepada luas pasar. Besarnya luas pasar dari barang-barang yang dihasilkan dalam suatu ekonomi tergantung kepada pendapatan penduduk dan jumlah penduduk. Maka apabila penduduk bertambah, dengan sendirinya luas pasar akan bertambah pula. Karena peranannya ini maka perkembangan penduduk akan menimbulkan dorongan kepada pertambahan dalam produksi dan tingkat kegiatan ekonomi. Akibat buruk dari pertambahan penduduk kepada pembangunan terutama dihadapi oleh masyarkat yang kemajuan ekonominya belum tinggi tetapi telah menghadapi masalah kelebihan penduduk. Suatu negara dipandang menghadapi masalah kelebihan penduduk apabila jumlah penduduk tidak seimbang dengan faktor-faktor produksi lain yang tersedia. Sebagai akibat dari ketidakseimbangan ini produktivitas marginal penduduk rendah sekali atau negatif. Ini berarti pertambahan penggunaan tenaga kerja tidak akan menimbulkan pertambahan dalam tingkat produksi, ataupun kalau ia bertambah, pertambahan tersebut lambat sekali dan tidak dapat mengimbangi pertambahan penduduk.

11 Apabila di dalam perekonomian sudah berlaku keadaan dimana pertambahan tenaga kerja tidak dapat menaikan produksi yang tingkatnya lebih cepat dari tingkat pertambahan penduduk, pendapatan per kapita akan menurun. Dengan demikian penduduk yang berlebihan akan menimbulkan kemerosotan ke atas kemakmuran masyarakat (Sukirno, 1985). Dalam kaitannya dengan perekonomian nasional, diperlukan upaya agar tambahan pertumbuhan penduduk lebih kecil bila dibandingkan dengan tambahan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, variabel yang membentuk angka tambahan pertumbuhan penduduk perlu diketahui, seperti jumlah dan sebaran penduduk, kepadatan penduduk, struktur umur, angka kelahiran dan kematian serta perpindahann penduduk. Dalam terminologi ekonomi peran manusia (penduduk) dapat digolongkan dalam dua hal, yaitu : (1) Sebagai aktor dalam proses produksi dan nilai tambah, (2) Sebagai bencana bila jumlahnya melebihi daya dukung lingkungan hidup (Soekartawi, 1995). Mengenai sifat penduduknya, terdapat dua ciri penting yang menimbulkan efek yang buruk kepada suatu usaha pembangunan, yaitu : (1) Di beberapa negara jumlah penduduknya relatif besar, (2) Tingkat perkembangan penduduk sangat cepat. Hal yang dinyatakan dalam (i) tidak sukar untuk melihatnya. India dan China adalah dua negara yang terbanyak penduduknya di dunia. Kedua negara ini meliputi hampir 40 % dari penduduk dunia. Negara-negara lain seperti negara kita sendiri, Vietnam, Pakistan dan Bangladesh merupakan contoh lain dari negara yang mempunyai jumlah penduduk yang besar. Negara-negara seperti itu menghadapi masalah-masalah pembangunan yang jauh lebih serius dari negara-negara berkembang yang relatif kecil seperti Malaysia, Papua New Gunea, Brunei, Kuwait dan Saudi Arabia. Mewujudkan suatu konsensus politik dalam menentukan arah dan corak pembangunan yang harus dilakukan sudah merupakan masalah yang memerlukan waktu beberapa tahun atau beberapa dekade untuk mengatasinya. Ciri yang dinyatakan dalam (ii) memperburuk akibat negatif penduduk terhadap pembangunan ekonomi. Perkembangan penduduk sejak Perang Dunia Kedua lalu menunjukkan pertambahan dalam persentase pertumbuhannya. Pertambahan penduduk dalam suatu tahun tertentu akan mengakibatkan pertambahan angkatan kerja sekitar % dari penduduk yang bertambah pada 15 hingga 20 tahun kemudian. Dengan demikian makin besar pertambahan

12 penduduk suatu negara semakin besar pula jumlah tenaga kerja baru yang akan memasuki angkatan kerja. Sebelum itu telah dinyatakan bahwa negara-negara berkembang mempunyai tanggungjawab yang sangat besar dalam pembangunan sebagai akibat pertambahan penduduk yang pesat terutama kepada persoalan menyediakan kesempatan kerja dan masalah pengangguran (Sukirno, 1985). 2.5 Suburbanisasi dan Alih Fungsi Lahan Semakin padatnya penduduk perkotaan menyebabkan ruang lahan yang tersedia semakin sempit sehingga mendorong pengembangan wilayah perkotaan bergerak ke arah pinggiran kota yang memiliki ruang lahan lebih luas. Karena keterbatasan lahan di kota menyebabkan peningkatan pembangunan perumahan di daerah suburban untuk menyediakan kebutuhan akan perumahan. Di samping pengembangan wilayah pemukiman penduduk, wilayah suburban juga menjadi sasaran pengembangan kawasan industri melalui pembangunan pabrik-pabrik, sehingga mendorong perpindahan tenaga kerja di perkotaan ke wilayah-wilayah suburban. Dengan dukungan sarana dan prasarana transportasi yang memadai seperti jalan raya, rel kereta api, kendaraan umum dan lain sebagainya, akan memberikan kemudahan bagi penduduk yang tinggal di daerah suburban dan juga pelaku usaha untuk mengakses pusat kota yang merupakan pusat aktivitas ekonomi. Pengembangan pemukiman penduduk dan kawasan industri di wilayah-wilayah suburban menyebabkan semakin banyak lahan di wilayah suburban yang mengalami alih fungsi baik itu lahan produktif, tidak produktif atau bahkan kawasan hutan. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat kebutuhan akan lahan semakin tinggi disebabkan semakin terbatasnya lahan-lahan di kota utama yang memicu tingginya harga lahan di kota utama. Wilayah suburban menyediakan ruang lahan yang lebihluas dengan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan kota utama atau kota-kota di sekitarnya. Permintaan yang tinggi akan lahan di pinggiran mendorong kebijakan terkait dengan alih fungsi lahan di daerah suburban. Peran pemerintah merupakan faktor kunci dalam pengaturan alih fungsi lahan (Wasilewski dan Krukowski, 2002). Meskipun disatu sisi, alih fungsi lahan mendorong berkembang sektor usaha baru yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah suburban, akan tetapi tetap harus mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin dihasilkan oleh proses konversi tersebut. Dalam pelaksanaannya, pengembangan pemukiman dan kawasan industri tidak sedikit yang menyasar lahan-lahan produktif di daerah suburban terutama lahan pertanian. Hal ini didukung oleh umumnya lokasi lahan-lahan pertanian produktif berada di kawasan dengan akses jalan yang lebih baik. Semakin banyaknya lahan pertanian yang mengalami alih fungsi akan menyebabkan

13 penurunan produktifitas pertanian di daerah suburban. Selain lahan pertanian, kawasan hutan juga tidak menjadi sasaran pengembangan perumahan dan kawasan industri sebagai akibat semakin tingginya suburbanisasi. Akibatnya wilayah-wilayah resapan air berkurang dan juga mengakibatkan menurunnya kualitas tanah. Sebagai contoh adalah Kabupaten Bekasi pada tahun 1990-an. Rustiadi et.al (1999) menyebutkan bahwa pada tahap kedua suburbanisasi diwilayah Kabupaten Bekasi, terjadi penurunan luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate dan areal industri. Dengan semakin banyaknya lahan produktif yang mengalami konversi menjadi permukiman dan areal industri seakan-akan menjadi kontraproduktif dengan upaya mempertahankan sentra-sentra produksi beras (Rustiadi dan Panuju, 2002). Sitorus (2004) menyebutkan bahwa antara tahun 1992 hingga 2000, wilayah Bekasi mengalami perkembangan areal urban sebesar hektar, lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah Bogor dan Tangerang. Sitorus (2004) juga menyebutkan bahwa sebagian besar lahan yang mengalami konversi adalah lahan pertanian dimana di Bekasi mencapai 54,7 persen. Hasil penelitian Domiri (2003) di KabupatenBekasi bahwa antara tahun telah terjadi konversi lahan sawah di Kecamatan Cibitung dan Kecamatan Tambun menjadi permukiman dan industri. Konversi lahan sawah tersebut menyebabkan rasio luas lahan sawah terhadap luas total kecamatan pada tahun 2000 tersisa 34 persen di Kecamatan Cibitung dan 35 persen di Kecamatan Tambun.

14 BAB III PEMBAHASAN Tangerang merupakan suatu kotamadya yang teletak di Provinsi Banten. Banten merupakan provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa dan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki letak yang sangat strategis. Karena Banten berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat kemudian disebrang laut berbatasan dengan Provinsi Lampung. Posisi yang berdekatan dengan Provinsi DKI Jakarta yang notabene adalah Ibukota Negara Republik Indonesia menyebabkan posisi Banten menjadi strategis. Jumlah penduduk di Provinsi Banten terus meningkat, mencapai jiwa (SP 2010) sedangkan di tahun 2012 ini diperkirakan ± 12 juta jiwa kenaikan sekitar 2 juta jiwa dalam 2 tahun. Tabel 1. Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten sumber: Banten Dalam Angka 2010 Masalah Kependudukan yang sama juga dialami oleh Provinsi Banten dimana persebaran penduduk tidak merata, lebih dari 56 % dari jumlah penduduk Provinsi Banten menempati wilayah Tangerang.

15 Hal ini dikarenakan posisi geografis daerah Tangerang (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Provinsi DKI Jakarta, sehingga wilayah Tangerang berpeluang dan telah menjadi salah satu tujuan utama dari mobilitas penduduk baik dari dalam Provinsi Banten maupun dari Provinsi DKi Jakarta, bahkan pintu utama bagi masuknya pekerja asing yang melakukan migrasi internasional ke Indonesia, karena terdapat Bandara Internasional Soekarno Hatta yang masuk kedalam wilayah Kota Tangerang. Banten Dalam Angka tahun 2012 (BPS,2012), Kabupaten Tangerang tercatat sebagai daerah yang paling banyak penduduknya. Menyumbangkan sekitar 26,90% dari populasi penduduk yang ada di Provinsi Banten, kemudian diikuti oleh Kota Tangerang sebesar 16,99 % dan selanjutnya Kota Tangerang Selatan sebesar 12,32%. Data lengkap dapat dilihat pada bagan dibawah. Tabel 2. Distribusi Persentase Penduduk di Provinsi Banten, 2011 (sumber: Banten Dalam Angka 2011) Daerah Tangerang (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) dengan jumlah populasi penduduk lebih dari setengah penduduk yang terdapat di Provinsi Banten. Dengan jumlah populasi yang lebih dari setengah jumlah populasi Proinvsi Banten, luas wilayah Tangerang (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) tidak sebanding dengan jumlah populasinya yang banyak. Daerah tersebut hanya memiliki luas wilayah kurang dari 14 persen dari total luas wilayah Provinsi Banten. Tabel 3. Luas Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten

16 Sumber: Banten dalm angka 2010 Tentu hal ini berdampak pada tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di wilayah Tangerang terutama di Kota Tangerang yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi di Provinsi Banten mencapai jiwa per km 2. Hal ini berbeda jauh sekali dengan Kabupaten Lebak yang merupakan wilayah terendah dari tingkat kepadatan penduduk, yaitu dengan tingkat kepadatan hanya 359 jiwa per km 2. Tabel 3. Tingkat Kepadatan Penduduk per Km 2 tahun 2011 sumber: Banten Dalam Angka 201

17 Mobilitas yang terjadi di daerah penyangga Ibukota Jakarta Pada era tahun 80-an pemukiman-pemukiman baru diluar kota disekitar Jakarta mulai dibangun dengan segala macam sarana dan prasarananya dan berkembang kearah barat daya di Tangerang, timur di Bekasi dan selatan kearah Depok. Sedangkan pada saat itu juga permintaan permukiman didalam kota juga meningkat dengan pesat, oleh karena itu di era itu banyak sekali apartemen yang dibangun. Sementara itu di tahun 90-an, apartemen didalam kota mulai kehilangan pasarnya karena banyaknya pemukiman baru yang dibangun diwilayah suburban Jakarta yang pada perkembangannya menjadi wilayah penyangga kota Jakarta, wilayah-wilayah ini adalah Bogor, Tangerang, Bekasi yang kemudian dikenal dengan nama Jabotabek. Mobilitas penduduk menjadi salah satu faktor yang mendorong perubahan kondisi sosial ekonomi suatu wilayah. Mobilitas penduduk yang tidak terkendali akan menyebabkan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Aspek mobilitas penduduk terdiri dari empat aspek, yaitu aspek spatial, aspek tempat tinggal, aspek waktu, dan aspek perubahan social. Jumlah dan Kepadatan penduduk yang tinggi di daerah Tangerang (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) tidak terlepas dari letak geografis wilayah tersebut yang berbatasan langsung dengan Ibukota DKI Jakarta. Kedekatan dengan Ibukota dan letaknya sebagai pintu gerbang DKI Jakarta dari arah barat maka akan menimbulkan interaksi yang menumbuhkan fenomena interdependensi/saling ketergantungan yang kemudian berdampak pada timbulnya pertumbuhan pada suatu wilayah tersebut. Kondisi ini tentu otomatis akan memicu timbulnya mobilitas penduduk dari daerah Tangerang dalam provinsi Banten menuju Provinsi DKI Jakarta, baik itu mobilitas vertikal maupun horizontal. Mobilitas vertikal merupakan semua pergerakan penduduk dalam usaha perubahan status sosial. Contohnya, seorang buruh tani yang berganti pekerjaan menjadi karyawan pada sektor industri termasuk gejala perubahan status sosial. Dilihat dari data informasi lowongan kerja yang dirilis dalam Banten dalam Angka tahun 2012 (BPS) bahwa sektor industri pengolahan membuka lowongan pekerjaan terbanyak, dengan jumlah sebanyak lowongan kerja, lalu diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak lowongan kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten. Dengan jumlah lowongan kerja yang tersedia tersebut akan menimbulkan peralihan pekerjaan atau status sosial. Permintaan akan pekerjaan juga yang menjadi alasan mobilitas vertical ini terjadi.

18 Tabel 3 Sektor Ekonomi Lowongan Kerja Terdaftar Pertanian 144 Pertambangan dan Penggalian 63 Industri Pengolahan Listrik, Gas dan air Bersih 204 Bangunan 65 Perdagangan dan Hotel Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa - jasa sumber: Banten Dalam Angka 2011 Lalu Mobilitas horizontal adalah semua pergerakan penduduk yang melintas batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu. Batas wilayah yang dimaksud umumnya merupakan batas adminitrasi, seperti provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan. Mobilitas ini menjadi ciri dari daerah penyangga, dimana di wilayah tersebut penduduk akan bertambah pada malam hari sedangkan pada siang hari penduduk akan lebih lama berada diluar wilayah asalnya untuk bekerja atau berusaha. Sehingga daerah penyangga akan dijadikan tempat untuk tinggal dan berkeluarga. Dalam hal ini Tangerang yang menjadi daerah penyangga bagi DKI Jakarta. Kondisi ini dapat dilihat pada Kota Tangerang Selatan dimana kota ini tumbuh menjadi daerah yang melayani DKI Jakarta dalam menyediakan pemukian bagi penduduk yang melakukan mobilitas nonpermanen atau disebut juga migrasi sirkuler atau commuter yang berarti bahwa gerakan penduduk dari satu wilayah ke satu wilayah lain dengan tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan. Mobilitas tersebut terjadi dikarenakan letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan langsung dengan provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pembangunan ekonomi pada Kota Tangerang Selatan dengan salah satunya adalah menyediakan permukiman, bahkan sebagian besar luas penggunaan lahan digunakan untuk perumahan dan permukiman. Terdapat tiga pengembang besar perumahan skala besar, yaitu Bumi Serpong Damai (BSD), Bintaro dan Alam Sutera yang berinvestasi modal cukup besar di Kota Tangerang Selatan hingga terdapat 193 kawasan perumahan di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010.

19 Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan di Kota Tangerang Selatan tahun 2010 sumber: Banten Dalam Angka 2011 Dengan ciri mobilitas diatas ini dan status sebagai daerah penyangga Ibukota DKI Jakarta, mengakibatkan tingginya laju pertumbuhan penduduk di wilayah Tangerang Raya dibandingkan daerah lain di Provinsi Banten. Sehingga berdampak pada jumlah penduduk yang besar dan tingkat kepadatan yang tinggi. Tabel 5. Laju pertumbuhan Penduduk menurut Kabupaten / Kota di Provinsi Banten (BPS) sumber: Banten Dalam Angka 2011

20 Permintaan akan pekerjaan yang terus meningkat di Ibukota Jakarta mengakibatkan daerahdaerah sekitarnya atau yang dapat disebut daerah penyangga terkena imbasnya. Mengapa demikian karena dengan semakin meningkatnya kesibukan di ibukota Jakarta mengakibatkan penggunaan lahan akan semakin sempit, dan harga lahan akan semakin bertambah. Konsekuensi diterima oleh daerah disekitar Jakarta, termasuk Tangerang yang berbatasan langsung. Dengan harga lahan yang masih dibawah harga lahan Jakarta, Tangerang dijadikan tempat untuk tinggal bagi pekerja-pekerja yang bekerja di Jakarta. Hal ini mengakibatkan tiap tahun permintaan akan tempat tinggal di daerah penyangga akan meningkat, dan kepadatan daerah semakin terjadi. Mobilitas penduduk ini mengakibatkan kepadatan terjadi di Tangerang (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan). Perlahan-lahan Tangerang menjadi kota dengan kesibukannya sendiri, dan tentu kepadatan yang terjadi mengakibatkan harga lahan juga akan meningkat seiring permintaannya yang meningkat. Tentu dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk di Tangerang (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan), mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan lahan, oleh karena itu perlu adanya penataan ulang tentang atau melakukan kajian ulang terhadap RTRW yang ada, apakah masih sesuai dengan kondisi saat ini. Ini bisa dilakukan oleh para pemangku kebijakan dengan melibatkan para akademisi. Dengan perubahan yang dialami oleh daerah Tangerang semestinya perlu suatu tindakan antisipasi berupa disiapkannya infrastruktur yang memadai seperti jalan, halte, stasiun kereta, dan sarana transportasi seperti bis kota, kereta, angkot yang memadai, hal ini berfungsi untuk memudahkan mobilitas sirkuler penduduk di daerah penyangga yaitu dari Kota Tangerang ke Ibukota DKI Jakarta. Kemudian dibutuhkan juga suatu Grand Design Kependudukan pada wilayah Tangerang Raya (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan), untuk dapat mengantisipasi timbulnya masalah kependudukan pada masa yang akan datang.

21 BAB IV PENUTUP Dari uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan yaitu kedekatan antara Tangerang dengan Ibukota dan letaknya geografisnya sebagai pintu gerbang DKI Jakarta dari arah barat maka akan menimbulkan interaksi yang menumbuhkan fenomena interdependensi/saling ketergantungan yang kemudian berdampak pada timbulnya pertumbuhan pada suatu wilayah tersebut. Kondisi ini tentu otomatis akan memicu timbulnya mobilitas penduduk dari daerah Tangerang dalam provinsi Banten menuju Provinsi DKI Jakarta, baik itu mobilitas vertikal maupun horizontal. Dengan ciri mobilitas ini dan status sebagai daerah penyangga Ibukota DKI Jakarta, akan mengakibatkan tingginya laju pertumbuhan penduduk di wilayah Tangerang Raya dibandingkan daerah lain di Provinsi Banten. Sehingga berdampak pada jumlah penduduk yang besar dan tingkat kepadatan yang tinggi. Dengan perubahan yang dialami oleh daerah Tangerang semestinya perlu suatu tindakan antisipasi berupa disiapkannya infrastruktur yang memadai seperti jalan, halte, stasiun kereta, dan sarana transportasi seperti bis kota, kereta, angkot yang memadai, hal ini berfungsi untuk memudahkan mobilitas sirkuler penduduk di daerah penyangga yaitu dari Kota Tangerang ke Ibukota DKI Jakarta. Kemudian dibutuhkan juga suatu Grand Design Kependudukan pada wilayah Tangerang Raya (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan), untuk dapat mengantisipasi timbulnya masalah kependudukan pada masa yang akan datang.

22 DAFTAR PUSTAKA Badan pusat statistik Banten Dalam Angka Serang: BPS. Gayle, V, etc Family Migration and Social Stratification. International Journal of Sociology and Social Policy Vol. 28 No.78, 2008, Glaeser, Edward L. and Matthew E. Kahn Sprawl and Urban Growth. Harvard University Cambridge, Massachusetts Khotijah, Siti Analisis Faktor Pendorong Migrasi Warga Klaten ke Jakarta. Tesis. Semarang: Fakultas Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Siahaan, Goolda Ingot P Analisis Pengaruh Fenomena Suburbanisasi Terhadap PDRB Bekasi. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sitorus, Jansen Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan dan Suburbanisasi di Kawasan Jabotabek Periode Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor ii

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri BAB V KESIMPULAN Perkembangan fisik Kota Bekasi paling besar terjadi akibat Industrialisasi dan juga Konsepsi Jabotabek. Pada awal pemerintahan Orde Baru melalui program Pelita yang salah satu tujuannya

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dokumen MPS yang disusun oleh Pokja Sanitasi Kota Tangerang ini merupakan tindak lanjut dari penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) dan penyusunan Buku Putih Sanitasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Kota Tangerang terletak antara Lintang Selatan dan

BAB I PENGANTAR. Kota Tangerang terletak antara Lintang Selatan dan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kota Tangerang terletak antara 6 6-6 13 Lintang Selatan dan 106 36-106 42 Bujur Timur. Luas wilayah Kota Tangerang sekitar 164,55 km², saat ini memiliki 13 wilayah administratif

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA

KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA Oleh : Novita Delima Putri 1 Fadillah Hisyam 2 Dosen Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1993 TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1993 TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1993 TENTANG PEMBENTUKAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di timur propinsi Banten dengan titik kordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30 06 22 30 Lintang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG P E M E R I N T A H K O T A T A N G E R A N G Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Akhir Masa Jabatan Walikota Tangerang Tahun 2013 I. Latar Belakang: Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM DAERAH

BAB II KONDISI UMUM DAERAH BAB II KONDISI UMUM DAERAH 2.1. Kondisi Geografi dan Demografi Kota Bukittinggi Posisi Kota Bukittinggi terletak antara 100 0 20-100 0 25 BT dan 00 0 16 00 0 20 LS dengan ketinggian sekitar 780 950 meter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia namun demikian peran, fungsi dan kontribusinya menempati posisi paling vital dari segi sosial dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. Industrialisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. Industrialisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Industrialisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang lebih maju dan bermutu. Seperti halnya di negara-negara berkembang industrialisasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG PENGANTAR LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN WALIKOTA TANGERANG TAHUN 2008 KOTA TANGERANG 2009 D a f t a r I s i i DAFTAR ISI Daftar Isi... i Daftar tabel... iii Daftar Gambar... x Daftar Grafik...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN unit, sementara di tahun 2011 meningkat menjadi unit. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN unit, sementara di tahun 2011 meningkat menjadi unit. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Lingkungan Eksternal Perusahaan Pertumbuhan industri akomodasi di Indonesia terus mengalami peningkatan, data dari BPS menunjukkan, tahun 2010 hotel berbintang berjumlah 1.306 unit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai. dari tahun ke tahun, hal tersebut menimbulkan berbagai masalah bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai. dari tahun ke tahun, hal tersebut menimbulkan berbagai masalah bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, seperti pengangguran, kemiskinan, tingkat pendapatan yang rendah dan lain sebagainya. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang terletak LS dan BT, dengan. sebelah selatan : Kabupaten Semarang

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang terletak LS dan BT, dengan. sebelah selatan : Kabupaten Semarang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang terletak 6 55-7 6 LS dan 110 15-110 31 BT, dengan batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut : sebelah utara : Laut Jawa sebelah selatan : Kabupaten

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR Oleh: NOVI SATRIADI L2D 098 454 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan papan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia pasti

Lebih terperinci

berkembang seperti Indonesia dewasa ini adalah tingginya pertumbuhan penduduk terutama pada pusat-pusat perkotaan, dimana terpusatnya

berkembang seperti Indonesia dewasa ini adalah tingginya pertumbuhan penduduk terutama pada pusat-pusat perkotaan, dimana terpusatnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dewasa ini adalah tingginya pertumbuhan penduduk terutama pada pusat-pusat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3. 54 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.185,80 km 2 dengan perbatasan wilayah dari arah Timur : Kabupaten Wonogiri di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya terus ditempuh pemerintah guna mendorong pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. upaya terus ditempuh pemerintah guna mendorong pembangunan ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dan perkembangan sistem transportasi mempunyai hubungan yang erat serta saling ketergantungan. Berbagai upaya terus ditempuh pemerintah guna mendorong

Lebih terperinci

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan,

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat persaingan antarnegara dari waktu ke waktu semakin tinggi sebagai dampak dari munculnya fenomena globalisasi ekonomi. Globalisasi mencerminkan tantangan sekaligus

Lebih terperinci

STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN PROVINSI BANTEN

STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN PROVINSI BANTEN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN PROVINSI BANTEN Tiar Pandapotan Purba 1), Topan Himawan 2), Ernamaiyanti 3), Nur Irfan Asyari 4) 1 2) Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting di dalam pembangunan nasional karena sektor ini memanfaatkan sumber daya alam dan manusia yang sangat besar (Soekartawi,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang semakin berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang semakin berkembang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DKI Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia adalah pusat bisnis dan pusat pemerintahan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 mencapai 10,08 juta orang dan kepadatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan pembangunan sebab mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom baru yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Tangerang Provinsi Banten berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek yang sangat menonjol dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan masalah ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI WILAYAH. wilayah Caruban yang merupakan bagian dari Kecamatan Mejayan. Gedung

BAB III DESKRIPSI WILAYAH. wilayah Caruban yang merupakan bagian dari Kecamatan Mejayan. Gedung BAB III DESKRIPSI WILAYAH A. Gambaran umum Kabupaten Madiun a. Kondisi Geografis Kabupaten Madiun adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukota dari Kabupaten Madiun adalah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi BAB 1 PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Tujuan pembangunan daerah yaitu mencari kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata,

Lebih terperinci

INDUSTRIALISASI DAN MIGRASI TENAGA KERJA SEKTOR DI KOTA CILACAP

INDUSTRIALISASI DAN MIGRASI TENAGA KERJA SEKTOR DI KOTA CILACAP INDUSTRIALISASI DAN MIGRASI TENAGA KERJA SEKTOR DI KOTA CILACAP (Studi Kasus: Industri Besar-Sedang Di Kota Cilacap) TUGAS AKHIR Oleh: ANI KURNIATI L2D 001 403 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran pertumbuhan kawasan perkotaan sangat besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier di bagian wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN III.1. Objek Penelitian III.1.1. Gambaran Umum Kota Tangerang III.1.1.1. Proses Terbentuknya Kota Tangerang Pembangunan kota administratif Tangerang secara makro

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam. pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam. pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata. Dunia pariwisata Indonesia sempat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antar masing-masing daerah, antar golongan pendapatan dan di seluruh aspek. kehidupan sehingga membuat stuktur ekonomi tidak kokoh.

BAB I PENDAHULUAN. antar masing-masing daerah, antar golongan pendapatan dan di seluruh aspek. kehidupan sehingga membuat stuktur ekonomi tidak kokoh. 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan meliputi kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata serta kemakmuran

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG P E M E R I N T A H K O T A T A N G E R A N G Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Tangerang Tahun 2015 I. Latar Belakang: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

ADITYA PERDANA Tugas Akhir Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota Universitas Esa Unggul BAB I PENDAHULUAN

ADITYA PERDANA Tugas Akhir Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota Universitas Esa Unggul BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan fenomena yang sering terjadi di suatu negara yang tingkat pembangunannya tidak merata. Fenomena urbanisasi menyebabkan timbulnya pemukimanpemukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Perubahan Fungsi Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Perubahan Fungsi Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Perubahan Fungsi Lahan Konversi lahan pertanian dewasa ini telah menjadi isu global, tidak saja di negara berkembang di mana pertanian masih menjadi sektor dominan, tetapi juga di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 1,2

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 1,2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 1,2 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 2,5 sampai 3 juta orang per tahun (Nehen, 2010:96).

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak, Batas Wilayah, dan Keadaan Alam Provinsi Jawa Timur merupakan satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Provinsi Daerah Khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya.

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kawasan (wilayah) akan selalu bertumbuh dan berkembang dinamis seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. Perubahan(evolusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk besar dan laju pertumbuhan tinggi. Pada SENSUS Penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237,6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Melihat perkembangan penduduk dan kota, urbanisasi yang tinggi dan tuntutan perumahan dan permukiman serta sarana dan prasarana yang memadai maka pusat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika

BAB I PENDAHULUAN. pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi dalam konteks demografi cukup memberikan sumbangan yang sangat besar pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan ruang darat yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia memanfaatkan lahan dalam wujud penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timpang dan ketidakseimbangan struktural (Mudrajad Kuncoro, 1997). tidak hanya mampu mendorong, tetapi juga dapat menganggu proses

BAB I PENDAHULUAN. timpang dan ketidakseimbangan struktural (Mudrajad Kuncoro, 1997). tidak hanya mampu mendorong, tetapi juga dapat menganggu proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Teori Kuznet pembangunan di Negara sedang berkembang identik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahap awal pembangunan namun disertai dengan timbulnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tangerang terletak di bagian timur Provinsi Banten pada koordinat bujur timur dan 6

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tangerang terletak di bagian timur Provinsi Banten pada koordinat bujur timur dan 6 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tangerang terletak di bagian timur Provinsi Banten pada koordinat 106 0 20-106 0 43 bujur timur dan 6 0 00-6 0 20 lintang selatan. Luas Wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Era globalisasi sekarang ini, memaksa setiap daerah untuk melakukan pembangunan dan pengembangan wilayah agar daerah semakin maju dan pendapatan masyarakat semakin

Lebih terperinci

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN ISSN 0216-8138 52 DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN Oleh I Ketut Suratha Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak merata merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. bahwa distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak merata merupakan faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme) bahwa distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak merata merupakan faktor utama dari mobilitas

Lebih terperinci