DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI SULAWESI SELATAN MUTMAINNA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI SULAWESI SELATAN MUTMAINNA"

Transkripsi

1 1 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI SULAWESI SELATAN MUTMAINNA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI SULAWESI SELATAN Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, September 2012 Mutmainna NRP. H

3 3 ABSTRACT MUTMAINNA. The Impact of Government Policies on Profitability and Competitiveness of Seaweed at Tanakeke Islands, South Sulawesi Province (RITA NURMALINA as Chairman and SRI UTAMI KUNTJORO as a Member of the Advisory of Committee) Seaweed is one of the leading commodities in the Fisheries Revitalization Program in South Sulawesi. Production and export growth of seaweed over the last five years experienced a significant increase but will not be offset by the value of export receipts caused by the quality of seaweed produced in Tanakeke islands so low that the price of seaweed in the international market is low. Therefore, This study aims to analyze: (1) the level of financial and economic benefits, (2) the competitiveness of commodities seaweed the through competitive and comparative advantage, (3) the impact of government s input-output policy on the competitiveness and benefits of commodities seaweed. Policy Analysis Matrix (PAM) was employed in this study in order to calculate the private and social prices of revenue and cost of the seaweed in which the social price was calculate from the shadow price of output is based on FOB prices in the port of export (Makassar) and private prices from seaweed adjusted real actual price received by farmers Tanakeke Islands. The results showed that: (1) the seaweed in Tanakeke islands was profitable (both privately and socially profitable), (2) it had competitive advantage (PCR < 1) and comparative advantage (DRC < 1), (3) the impact of government policy on output indicates negative result means that government intervention has not been effective so that the prices received by farmers is lower than international prices. Key Words : Seaweed, Profit, Competitive Advantage, Comparative Advantage, Policy Impact

4 4 RINGKASAN MUTMAINNA. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Provinsi Sulawesi Selatan. (RITA NURMALINA sebagai Ketua dan SRI UTAMI KUNTJORO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Rumput laut merupakan salah satu komoditi unggulan dalam program Revitalisasi Perikanan Budidaya tahun Indonesia termasuk salah satu produsen terbesar dunia, bahkan menjadi peringkat kedua produsen rumput laut dunia setelah negara China. perkembangan produksi rumput laut Indonesia meningkat pesat. Tahun 2005 produksi Indonesia hanya sebesar ton yang meningkat menjadi ton atau 0.79 persen dari total potensi pada tahun Hal ini semakin memperbaiki posisi Indonesia sebagai produsen rumput laut dunia dan berdampak positif terhadap peningkatan ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Peranan Indonesia di pasar rumput laut dunia, sebagai produsen ataupun eksportir juga dapat dilihat dari besarnya pangsa pasar yang dimiliki Indonesia di pasar internasional. Pangsa pasar rumput laut Indonesia di pasar internasional pada tahun mengalami fluktuatif akan tetapi relatif meningkat (FAO, 2010). Negara importir utama rumput laut adalah China, Jepang, Hongkong dan Amerika. Apabila suatu negara memiliki pangsa pasar yang baik di negara importir utama, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing di pasar internasional rumput laut. Peningkatan standar kualitas atau mutu terhadap rumput laut oleh negara importir merupakan salah satu kendala sulitnya menembus pasar rumput laut internasional. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia dengan salah satu sentra produksinya adalah Kepulauan Tanakeke Kabupaten Takalar. Berdasarkan data DKP Takalar (2011), produksi rumput laut Takalar tahun 2010 sebesar ton atau persen terhadap produksi Sulawesi Selatan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi ekspor rumput laut Sulawesi Selatan. Perkembangan ekspor rumput laut Sulawesi Selatan mengalami fluktuatif dengan trend yang meningkat, akan tetapi peningkatan ini tidak diikuti dengan peningkatan nilai ekspornya. Hal ini disebabkan tidak kondusifnya perdagangan internasional rumput laut Sulawesi Selatan karena permasalahan jaminan kualitas. Selain itu adanya persaingan dengan negara-negara eksportir lainnya seperti Philphina yang memiliki kuantitas yang besar dan kualitas rumput laut yang sangat baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing rumput laut di Kepulauan Tanakeke mengalami penurunan. Selain itu akan berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh petani menurun akibat rendahnya harga jual rumput laut. Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi pengusahaan rumput laut. Kebijakan tersebut dapat berupa tarif, subsidi, kuota dan pajak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) tingkat keuntungan usahatani rumput laut secara privat atau finansial dan Sosial atau ekonomi di Kepulauan Tanakeke, (2) daya saing rumput laut melalui keunggulan kompetitif dan komparatif, dan (3) dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Tanakeke. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan

5 5 pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah sentra pengusahaan rumput laut kering yang diekspor ke berbagai negara. Daya saing pengusahaan rumput laut dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Berdasarkan analisis PAM secara keseluruhan, pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR sebesar 0.67 yang menunjukkan bahwa untuk memperoleh nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya domestik sebesar Dengan demikian pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke efesien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan nilai DRC yang diperoleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke sebesar 0.64 (DRC < 1). Hal ini menunjukkan bahwa besarnya sumberdaya domestik yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan penerimaannya. Artinya setiap 1 satuan yang dihasilkan karena mengekspor rumput laut kering, jika diproduksi di Kepulauan Tanakeke hanya membutuhkan biaya input asing sebesar 0.64 satuan sehingga terjadi penghematan devisa sebesar 0.36 satuan. Dengan demikian pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke efesien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif. Pengusahaan rumput laut baik secara finansial maupun ekonomi mempunyai efesiensi yang tidak terlalu tinggi, akan tetapi tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sebagai komoditi ekspor. Dengan demikian komoditi rumput laut mempunyai daya saing di pasar internasional. Analisis dampak kebijakan pemeintah dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh nilai OT yang lebih kecil dari nol (OT < 0) atau negatif yakni sebesar Hal ini berarti bahwa harga privat output rumput laut lebih rendah dibandingkan harga sosialnya. Artinya bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah terhadap output rumput laut tersebut lebih menguntungkan konsumen, karena konsumen membeli output rumput laut dengan harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya (tanpa kebijakan pemerintah). Artinya terdapat pengalihan surplus dari produsen ke konsumen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang dihasilkan sebesar 0.97 atau NPCO < 1. Hasil ini menunjukkan bahwa petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke menerima harga lebih murah dari harga dunia, dimana harga jual rumput laut kering di tingkat petani 13 persen lebih murah dari harga rumput laut di pasar internasional. Artinya kebijakan pemerintah berupa pajak terhadap ekspor rumput laut khususnya ke negara China sebagai negara tujuan ekspor terbesar Indonesia menyebabkan harga yang diterima oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke menjadi lebih murah. Selain itu adanya mekanisme pasar, dimana harga rumput laut lebih banyak dikendalikan oleh pembeli atau pedagang yang menunjukkan ketidakmampuan petani memasuki pasar internasional apabila rumput laut yang dihasilkan tidak memenuhi standar meskipun menguntungkan. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input rumput laut di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat melalui nilai Input Transfer (IT) yang bernilai nol (IT = 0). Hal ini menunjukkan bahwa harga input tradable yang dibeli petani di Kepulauan Tanakeke sama dengan harga input tradable di pasar internasional. Artinya ada atau tidak ada kebijakan pemerintah terhadap input tradable, harga yang diterima oleh petani akan sama. Nilai Factor Transfer (FT) merupakan

6 6 nilai yang menunjukkan perbedaan harga finansial dengan harga ekonomi yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi. Nilai FT pada pengusahaan rumput laut bernilai positif (FT > 0) atau sebesar , ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke pada harga privat lebih besar dibanding dengan harga ekonomi atau sosialnya. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya input asing yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan harga input asing yang dihitung berdasarkan harga ekonomi. Nilai NPCI pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke sebesar 1 atau NPCI = 1. Hal ini menunjukkan bahwa total biaya input tradable karena adanya kebijakan pemerintah sama dengan biaya input tradable tanpa kebijakan pemerintah. Artinya ada atau tidak ada kebijakan pemerintah terhadap input tradable, petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke tetap membeli input tradable dengan harga yang sama. Dampak efektif dari insentif yang diberikan pemerintah pada output dan input secara keseluruhan terhadap usahatani rumput laut dapat dilihat dari nilai Effective Protection Coefficient (EPC). Nilai EPC pada pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke bernilai kurang dari satu yakni sebesar 0.97 (EPC < 1), ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output tidak berjalan dengan efektif bagi petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke untuk berproduksi. Nilai PC yang diperoleh pada pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke kurang dari satu yaitu sebesar Artinya bahwa keuntungan yang diterima oleh petani rumput laut lebih rendah sebesar 89 persen (berkurang sebesar 11 persen) dari keuntungan yang seharusnya diterima. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif kepada petani dan membuat keuntungan yang diterima oleh petani lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan. Nilai Net Transfer (NT) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih ekonominya. Nilai NT pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah negatif yaitu sebesar Rp Artinya transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih sedikit dari transfer yang diberikan kepada konsumen. Sedangkan nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) merupakan rasio dari net transfer dengan penerimaan sosialnya. Nilai SRP yang dihasilkan pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke bernilai negatif sebesar Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah saat ini, menyebabkan petani rumput laut mengeluarkan biaya produksi 4 persen lebih besar daripada penerimaan yang diterima oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi, karena biaya yang diinvestasikan petani lebih besar daripada peningkatan keuntungan yang diterima petani itu sendiri. Kata Kunci : Rumput Laut, Keuntungan, Keunggulan Kompetitif dan Komparatif, Dampak Kebijakan Pemerintah

7 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB 7

8 8 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT DI KEPULAUAN TANAKEKE PROVINSI SULAWESI SELATAN MUTMAINNA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suharno, M.Adev (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor) Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang : Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS (Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

10 10 Judul Tesis : Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Provinsi Sulawesi Selatan Nama Mahasiswa Nomor Pokok Mayor : Mutmainna : H : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. Ketua Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kunjoro, MS Anggota Mengetahui, 2. Kordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian Tesis : 27 Juli 2012 Tanggal Lulus :

11 11 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul: Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tesis untuk memperoleh gelar Magister pada Mayor Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kunjoro, MS, sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Suharno, M. Adev selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS selaku penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini. 3. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep dan Ketua Jurusan Agribisnis Perikanan beserta staf yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk mengikuti Program Magister di Institut Pertanian Bogor. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa selama penyelesaian studi 5. Balai Budidaya Perikanan Air Payau Kabupaten Takalar dan staf yang telah memberikan informasi selama penulisan tesis ini.

12 12 6. Tenaga Penyuluh (Bapak Tajuddin) dan pihak-pihak lain terutama responden yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan informasi selama penulisan tesis ini. 7. Suami tercinta Muh. Yazid Bustami, SH dan ananda tersayang Muh. Fauzan Rafsanjani Aditya Mustafa, yang selama ini dengan penuh pengertian, kesabaran memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus serta selalu mendo akan, memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. 8. Kedua Orang Tua (Mole (alm) dan Dina) yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do a dan kasih sayang kepada penulis, juga saudara-saudariku tercinta atas dukungan semangat dan do a untuk penulis. 9. Teman-teman EPN angkatan 2009 (kiki, nining, epi, lina, tuti, santi, fitri, dian, ibu ahya, nia, thato, aziz, pak yudi, pak jhoni, pak micha, aditya, bismar, cahyono, indra, endrew) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah. 10. Teman-teman Forum Wacana Sul-Sel dan Pondok Amanah (Enni, kak hafsa, imha, lina), terimakasih atas kebersamaan, toleransi, dukungan moril maupun materil selama penulis tinggal di Bogor. 11. Seluruh staf Mayor EPN (Mbak Yani, Mbak Rubi, Bu Kokom, Pak Husein) yang selalu meluangkan waktu dan membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi di Mayor Ekonomi Pertanian. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya subsektor perikanan komoditi rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin. Bogor, September 2012 Mutmainna

13 13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 30 Januari 1974, sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Mole dan Ibu Dina. Tahun 1992 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 6 Makassar dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin melalui tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 dengan mendapat sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidkan Nasional Republik Indonesia. Sejak tahun 2006, penulis diangkat sebagai sebagai staf pengajar ProgramStudi Agribisnis Perikanan, Politeknik Negeri Pangkep. Penulis menikah pada tahun 2006 dengan Muh. Yazid Bustami, SH dan alhamdulillah telah dikaruniai seorang putra yang bernama Muh. Fauzan Aditya Rafsanjani Mustafa.

14 14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Potensi Rumput Laut Sulawesi Selatan Kebijakan Pengembangan Rumput Laut di Provensi Sulawesi Selatan Tinjauan Studi Terdahulu Studi Aspek Komoditi Rumput Laut Studi Aspek Daya Saing Studi Aspek Kebijakan III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Daya Saing Analisis Kebijakan Pemerintah Matriks Analisis Kebijakan Penentuan Harga Bayangan Harga Bayangan Output Harga Bayangan Input Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga Bayangan Nilai Tukar Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Analisis Sensitivitas Kerangka Pemikiran Operasional IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penentuan Sampel Metode Analisis Data Analisis Indikator Matriks Kebijakan Metode Alokasi Biaya Domestik dan Asing Penentuan Harga Bayangan iii iv v

15 Analisis Sensitivitas 58 V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT INDONESIA Perkembangan Rumput Laut Dunia Produksi Rumput Laut Dunia Ekspor Rumput Laut Dunia Perkembangan Rumput Laut di Indonesia Produksi Rumput Laut Indonesia Ekspor dan Impor Rumput Laut Indonesia Harga Rumput Laut Indonesia VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT Kebijakan Terhadap Input Kebijakan Terhadap Output Kebijakan Revitalisasi Rumput Laut Kebijakan Pemerintah Daerah VII. GAMBARAN WILAYAH, KARATERISTIK USAHATANI RUMPUT LAUT DAN RESPONDEN PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Luas dan Letak Geografis Kepulauan Tanakeke Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Persyaratan Lokasi dan Lahan Karateristik Responden Penelitian Umur Petani Responden Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Usahatani Petani Responden Jumlah Anggota Keluarga Petani Responden Rantai Pemasaran Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke.. 81 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Analisis Keuntungan Privat dan Sosial Analisis Daya Saing Rumput Laut Keunggulan Komparatif Usahatani Rumput Laut Keunggulan Kompetitif Usahatani Rumput Laut Dampak Kebijakan Pemerintah Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input- Output Analisis Sensitivitas Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut Kebijakan Alternatif Terhadap Peningkatan Daya Saing Rumput Laut... 98

16 16 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 17 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Kering Jenis Eucheuma cottoni Indonesia Tahun Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi Policy Analysis Matrix Metode Pendekatan Penentuan Harga Privat dan Sosial Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Justifikasi Nilai Harga Bayangan (Sosial) dan Harga Privat Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Perkembangan Produksi Rumput Laut Indonesia Jenis Eucheuma cottoni Tahun Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia ke Negara Tujuan Tahun Perkembangan Volume dan Nilai Impor Rumput Laut dan Agar-Agar Indonesia Tahun Sebaran Umur Petani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Usahatani Petani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Jumlah Anggota Keluarga Petani Responden di Kepulauan Tanakeke Rata-Rata Penerimaan dan Komponen Biaya Finansial dan Ekonomi Usahatani Rumput Laut Per Ha di Kepulauan Tanakeke Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Privat Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resource Cost Ratio (DRC) Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Input Transfer, Faktor Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Input Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Nilai Kebijakan Input-Output Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke... 95

18 Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke... 98

19 19 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Trand Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor Subsidi dan Pajak Input Tradable Dampak Subsidi dan Pajak Pada Input Non Tradable Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan Produksi Rumput laut Dunia Tahun Perkembangan Ekspor Rumput laut Dunia Periode Tahun Perkembangan Harga Rumput Laut Indonesia di Pasar Dunia Periode Proses Penanaman Sampai Pasca Panen Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke... 77

20 20 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Identitas, Luas Lahan dan Jumlah Bentangan Usahatani Rumput Laut Responden di Kepulauan Tanakeke Produksi Rumput Laut Kering dan Basah Petani Responden di Kepulauan Tanakeke Produksi dan Harga Rumput Laut Petani Responden di Tingkat Pedagang Pengumpul Produksi dan Harga Rumput Laut Petani Responden di Tingkat Eksportir Produksi dan Harga Rumput Laut Petani Responden di Tingkat Industri Pengolahan Perbandingan Kualitas Rumput Laut Indonesia dengan Negara Pesaing Standar Ekspor Rumput Laut Eucheuma sp dan Gracilaria sp Alokasi Komponen Biaya Input dan Output Dalam Komponen Domestik dan Asing Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun Perhitungan Harga Paritas Ekspor di Tingkat Petani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Harga Privat dan Harga Sosial Input-Output Pengusahaan Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Tabel PAM (Policy Analysis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Tabel PAM (Policy Analysis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usahatani Rumput Laut Pada Saat Harga Output Rumput Laut Turun Sebesar 16 Persen di Kepulauan Tanakeke Tabel PAM (Policy Analysis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usahatani Rumput Laut Pada Saat Produksi Rumput Laut Turun Sebesar 16 Persen di Kepulauan Tanakeke Saluran Pemasaran Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke.. 133

21 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat penting dalam pembangunan. Potensi ini berupa sumberdaya lahan yang sangat besar untuk pengembangan budidaya rumput laut. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (2011), total luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput laut sebesar hektar dengan tingkat produktivitas 128 ton berat basah per hektar per tahun atau 16 ton berat kering per hektar per tahun, sehingga potensi produksi rumput laut Indonesia adalah ton berat kering per tahun. Rumput laut menjadi salah satu komoditas unggulan dalam Program Revitalisasi Perikanan Budidaya tahun selain udang dan tuna, yang telah dicanangkan oleh presiden pada tanggal 11 Juni 2005 dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, menyumbang ekspor non migas, mengurangi kemiskinan dan menyerap tenaga kerja nasional (Burhanuddin, 2008). Beberapa hal yang menjadi keunggulan rumput laut antara lain : (1) peluang pasar ekspor yang terbuka luas, (2) belum ada batasan atau kuota perdagangan bagi rumput laut, (3) teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai, (4) siklus pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan, (5) kebutuhan modal relatif kecil, dan (6) merupakan komoditas yang tidak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya (Anggadiretdja, 2006). Oleh karena itu rumput laut termasuk komoditas unggulan yang perlu mendapat prioritas dalam penanganannya. Rumput laut di pasar internasional pada umumnya diproduksi oleh negaranegara Asia seperti Indonesia, China, Philphina, Korea dan beberapa negara Eropa seperti Chili, Prancis, Tanzania dan Mexico (FAO, 2010). Indonesia termasuk salah satu produsen terbesar dunia, bahkan menjadi peringkat kedua produsen rumput laut dunia setelah negara China untuk jenis Eucheuma cottoni. Pada kurun waktu enam tahun terakhir ( ), perkembangan produksi

22 2 rumput laut Indonesia meningkat pesat. Tahun 2005 produksi rumput laut Indonesia untuk jenis Eucheuma cottoni hanya sebesar ton berat kering yang meningkat pada tahun 2010 menjadi ton berat kering. Hal ini semakin memperbaiki posisi Indonesia sebagai produsen rumput laut dunia dan berdampak positif terhadap peningkatan ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Perkembangan produksi dan ekspor rumput laut Indonesia tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Kering Jenis Eucheuma cottoni Indonesia Tahun No Tahun Produksi Persentase Ekspor Persentase (Ton) Pertumbuhan (Ton) Pertumbuhan Rata-Rata Pertumbuhan Tahun Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Tabel 1 memperlihatkan bahwa produksi rumput laut kering mengalami peningkatan selama kurun waktu 2005 hingga 2008, akan tetapi tahun 2009 sampai 2010 mengalami penurunan akibat terjadinya intensitas la nina yang berkepanjangan dan beberapa sentra produksi mengalami serangan penyakit iceice. Demikian pula dengan ekspor rumput laut kering Indonesia mengalami fluktuasi akan tetapi semakin meningkat dengan rata-rata peningkatan ekspor rumput laut kering sebesar persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan rumput laut mengalami peningkatan, sehingga perlu usaha untuk meningkatkan produksi dan ekspor ke berbagai negara. Akan tetapi sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia masih dalam bentuk bahan baku kering (raw material) dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010).

23 3 Peranan Indonesia di pasar rumput laut dunia, baik sebagai produsen ataupun eksportir juga dapat dilihat dari besarnya pangsa pasar Indonesia di pasar internasional. Dalam konteks perdagangan internasional, dengan beberapa produsen sekaligus eksportir seharusnya menguntungkan dalam penguasan pangsa pasar. Oleh karena itu, ekspor rumput laut Indonesia yang relatif meningkat secara otomatis mendorong peningkatan pangsa pasar rumput laut di pasar internasional. Trend peningkatan pangsa pasar rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber : FAO, 2010 (Diolah) Gambar 1. Trend Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional. Apabila dilihat dari pangsa pasar rumput laut Indonesia di pasar internasional mengalami fluktuatif akan tetapi relatif meningkat. Kondisi ini seharusnya dapat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang semakin kompetitif di pasar internasional. Peningkatan permintaan rumput laut dunia juga dapat dilihat dari peningkatan volume impor yang dilakukan oleh negara-negara importir. China merupakan negara importir terbesar rumput laut dunia, diikuti oleh Jepang pada posisi ke-dua, dan Hongkong pada posisi ke-tiga serta beberapa negara seperti Denmark, Prancis dan Amerika. Selama kurun waktu 2005 hingga 2009, ketiga negara tersebut mengimpor persen dari seluruh impor dunia, sesuai dengan data yang diperoleh dari FAO (Food and Agriculture Organization, 2010). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketiga negara tersebut memiliki posisi penting bagi setiap eksportir dunia. Apabila suatu negara memiliki pangsa pasar yang

24 4 baik di negara importir utama, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing di pasar internasional rumput laut. Perkembangan produksi rumput laut dunia yang semakin besar yang diiringi dengan permintaan dunia yang semakin besar pula, beberapa negara produsen mulai bersaing untuk memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas yang semakin baik. Negara pesaing ekspor utama rumput laut Indonesia adalah Negara Philpina. Philpina memiliki pangsa pasar rata-rata sebesar persen terhadap ekspor dunia selama tahun Sedangkan Indonesia memiliki rata-rata pangsa pasar sebesar persen selama tahun Indonesia memiliki pangsa pasar yang lebih kecil dari Philpina. Hal ini terjadi karena efesiensi produksi yang masih rendah dan belum mampu memenuhi standar mutu ekspor yang semakin tinggi. Sedangkan Philpina memiliki kualitas rumput laut yang sangat baik, memiliki penetapan standar mutu yang baik dan pengolahan rumput laut yang maju. Hal inilah yang menyebabkan pangsa pasar Philpina lebih besar dari Indonesia meskipun harganya lebih mahal dibandingkan dengan rumput laut Indonesia. Perbedaan kualitas rumput laut Philpina dengan rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 6. Intensitas perdagangan internasional yang semakin meningkat menjadikan produktivitas dan daya saing semakin penting untuk diperhatikan, apalagi negaranegara importir menerapkan berbagai persyaratan terutama menyangkut persyaratan kualitas bagi komoditi rumput laut yang diimpor dalam menjamin dan melindungi serta kepuasan konsumen. Salah satu kebijakan negara pengimpor tentang mutu atau kualitas rumput laut adalah ISO (International Standard Organization) Persyaratan mengenai mutu dan keamanan pangan komoditi ekspor seperti rumput laut dilakukan oleh suatu lembaga antar pemerintah internasional yang mengembangkan keamanan standar pelindungan konsumen dan memfasilitasi perdagangan dunia. Lembaga ini menerapkan pengujian lebih dari 750 bahan tambahan makanan, menggunakan lebih dari 240 standar komoditas dan 40 kode higienis dan teknologi (Suboko, 2003). Kesepakatan akan konsep sanitary and phytosanitary (SPS) yang mencakup keamanan pangan, kandungan gizi, mengharuskan pemerintah untuk

25 5 segera menyusun program sanitasi dan mengembangkan standar baku bagi produk hasil perikanan dan prosesnya. Sedangkan rumput laut Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar tersebut menyebabkan ketidakmampuan komoditi rumput laut Indonesia bersaing dengan negara-negara penghasil rumput laut lainnya. Standar suatu produk akan mempengaruhi daya saing karena produk yang diekspor menjadi lebih murah. Kondisi ini tentunya akan memperlemah daya saing rumput laut Indonesia di pasar internasional. Adapun persyaratan ekspor Eucheuma sp dapat dilihat pada Lampiran 7. Peningkatan standar kualitas atau mutu terhadap produk pangan khususnya rumput laut oleh negara importir merupakan salah satu kendala sulitnya menembus pasar rumput laut internasional. Selain itu meningkatnya produksi rumput laut di negara-negara pesaing seperti Philpina juga menyebabkan semakin menurunnya posisi tawar eskportir rumput laut Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pangsa dan nilai ekspor rumput laut, kajian mengenai analisis daya saing rumput laut dirasakan penting untuk dilakukan untuk meningkatkan ekspor komoditi rumput laut Indonesia Perumusan Masalah Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Sumberdaya lahan untuk pengembangan rumput laut masih cukup luas yaitu hektar untuk budidaya Eucheuma sp di sepanjang kilometer garis pantai. Apabila luas areal potensial yang dimiliki dapat termanfaatkan dengan baik maka berpotensi menghasilkan rumput laut sebesar ton per tahun dari jenis Eucheuma cottoni (Hidayati, 2009). Pada tahun 2010, produksi rumput laut Sulawesi Selatan memberi konstribusi sebesar persen (1.5 juta ton) terhadap produksi nasional (3.9 juta ton) dari jenis Eucheuma cottoni. Hal tersebut menjadikan Sulawesi Selatan sebagai salah satu eksportir terbesar di dunia untuk komoditi rumput laut. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan dari tahun bahwa total volume ekspor telah mencapai ton. Peningkatan volume ekspor tersebut menunjukkan posisi perdagangan di pasar

26 6 dunia semakin baik. Akan tetapi kondisi ini masih terkendala daya saing yang rendah dibandingkan dengan ekspor rumput laut dari negara lain. Peningkatan volume ekspor ini tidak diikuti dengan penerimaan dari nilai ekspornya. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Selatan (2010) memperlihatkan tahun 2008 nilai ekspor rumput laut Sulawesi Selatan sebesar 16.8 juta US$ dengan volume ekspor ton sedangkan pada tahun 2009 nilai ekspor rumput laut hanya 17.6 juta US$ dengan volume ekspor sebesar ton. Hal ini disebabkan tidak kondusifnya kondisi perdagangan internasional bagi rumput laut Sulawesi Selatan serta adanya saingan dari negaranegara eksportir lainnya terutama Philpina. Ini merupakan indikasi bahwa daya saing ekspor rumput laut Sulawesi Selatan dalam perdagangan internasional masih lemah. Daya saing ini dikaitkan dengan kemampuan untuk menghasilkan rumput laut dengan biaya serendah mungkin (efesien) dan kualitas sesuai dengan standar pasar atau konsumen. Kabupaten Takalar merupakan salah satu sentra produksi rumput laut di Sulawesi Selatan. Perkembangan produksi rumput laut mengalami fluktuasi dengan trend yang meningkat yaitu tahun 2005 sebanyak ton dan tahun 2010 mencapai ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, 2011). Sebagai salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, maka produksi rumput laut Kabupaten Takalar sangat mempengaruhi ekspor rumput laut Sulawesi Selatan. Peningkatan produksi rumput laut di Kabupaten Takalar mengalami beberapa kendala yang tentunya akan menghambat proses pengembangan rumput laut di Takalar. Permasalahan yang dihadapi oleh petani rumput laut yaitu : (1) ketersediaan bibit bermutu dimana saat ini mulai terjadi degradasi kualitas bibit pada beberapa kawasan budidaya, (2) permasalahan jaminan mutu hasil produksi budidaya yang berpotensi mengganggu rantai pasok (suplly chain) rumput laut, (3) penerapan teknologi belum sepenuhnya menerapkan terwujudnya quality assurance, apalagi food safety, dan traceability, (4) pengendalian hama penyakit maupun dampak lingkungan perairan yang fluktuatif, dan (5) sumberdaya petani masih terbatas.

27 7 Semua permasalahan tersebut menjadi kendala bagi petani dalam peningkatan produksi dan kualitas rumput laut yang dihasilkan. Kondisi ini akan menuntut petani untuk dapat menawarkan rumput laut dengan kualitas dan harga yang bersaing. Kualitas rumput laut Kabupaten Takalar seringkali dinilai tidak sesuai dengan standar teknis. Hal ini terkait dengan kinerja petani dan pedagang. Petani kurang memperhatikan umur panen rumput laut yang optimal, masih banyak rumput laut yang dipanen terlalu muda dengan umur yang tidak seragam, sehingga menyebabkan kualitas rumput laut yang dihasilkan rendah. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, terjadi praktik moral hazard yang dilakukan oleh petani dan pedagang. Banyak petani setelah panen rumput laut direndam lagi ke air laut semalaman baru dikeringkan. Tujuannya untuk meningkatkan berat komoditas tersebut pada saat dijual. Jika rumput laut langsung dikeringkan, biasanya setiap 8 kg basah dihasilkan 1 kg rumput laut kering, sebaliknya jika direndam lagi dengan air laut, maka 4 kg basah akan menghasilkan 1 kg rumput laut kering sebab kadar garamnya meningkat. Hal ini tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan mengenai kadar garam. Kondisi tersebut di atas menyebabkan rumput laut yang dihasilkan petani berkualitas rendah sehingga daya tawar dalam penentuan harga menjadi lemah. Hal ini akan mempengaruhi daya saing rumput laut khususnya di Kabupaten Takalar dan umumnya di Sulawesi Selatan. Selain itu juga akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh petani rumput laut, sebab keberlanjutan usahatani rumput laut tergantung pada besar kecilnya keuntungan yang diperoleh. Rendahnya harga jual rumput laut yang diikuti dengan tingginya biaya produksi menyebabkan kemampuan petani rumput laut untuk memperoleh keuntungan menurun. Dengan demikian, penting untuk dipertanyakan apakah usahatani rumput laut di Kabupaten Takalar masih menguntungkan?. Pemerintah memiliki peran yang strategis dalam rangka mengembangkan pengusahaan rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya dan Kabupaten Takalar pada khususnya. Banyak upayayang telah dilakukan pemerintah demi memajukan pengusahaan rumput laut di Kabupaten Takalar seperti bantuan input, pembimbingan dan penyuluhan. Kebijakan tersebut akan

28 8 berpengaruh terhadap input maupun output pengusahaan komoditas rumput laut di Kabupaten Takalar. Daya saing komoditas rumput laut akan meningkat jika kebijakan yang ada mengakibatkan biaya input menurun dan m,enambah nilai guna output. Begitu juga sebaliknya, apabila kebijakan pemerintah yang berlaku mengakibatkan biaya input naik dan menurunkan nilai guna output, maka akanmenurunkan daya saing. Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usahatani rumput laut. Sejumlah kebijakan terkait dengan standar kualitas dan keamanan pangan telah diterbitkan oleh pemerintah diantaranya UU No.16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Peraturan Pemerintah No.15/2002 tentang Karantina Ikan dan PP No.28/20904 tentang Keamanan Pangan, Mutu dan Gizi Pangan. Regulasi lainnya yang terkait dengan pengaturan perdagangan antara lain UU No.102/2000 tentang Standarisasi Nasional. Terkait dengan standar produk yang akan diekspor, pemerintah mengeluarkan kebijakan ini dalam rangka mencapai ekuivalen dengan peraturan negara tujuan ekspor. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59/M-DAG/PER/2010 tentang penerbitan Certificate of Legal Origin (CoLo) untuk barang ekspor termasuk rumput laut. Sertifikat CoLo ini diterbitkan oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Sertifikat ini merupakan syarat untuk menembus pangsa pasar dunia. Di sisi lain, perizinan ini membutuhkan biaya yang besar dimana eksportir harus mengeluarkan biaya CoLo sebesar Rp 1 juta sampai dengan Rp 1,5 juta per container. Biaya ini akan semakin membebani eksportir untuk melakukan ekspor ke negara tujuan. Hal tersebut akan berdampak kepada petani, dimana eksportir akan mengurangi jumlah ekspornya dan menekan harga jual rumput laut di tingkat petani. Selain itu, pada awal tahun 2010 hingga akhir tahun 2011, khusus ekspor rumput laut kering dari Indonesia ke China dikenakan pajak pemerintah sebesar 30 persen. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ekspor rumput laut kering dalam bentuk raw materil (bahan baku) dan meningkatkan bahan baku untuk industri pengolahan dalam negeri (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2012).

29 9 Penerapan pajak terhadap rumput laut kering ini menyebabkan penurunan ekspor. Menurunnya jumlah ekspor mengakibatkan kelebihan bahan baku di dalam negeri, karena industri pengolahan belum banyak tersedia dan belum mampu menampung kelebihan bahan baku tersebut, sehingga petani sangat dirugikan karena harga jual menjadi lebih rendah. Selain itu, dengan menurunnya ekspor, petani juga dirugikan karena harga jualnya terpotong oleh kebijakan pajak tersebut. Dengan adanya kondisi tersebut, sejak tahun 2012 pemerintah tidak lagi mengenakan pajak pemerintah atau pajak menjadi nol persen terhadap ekspor rumput laut kering. Kebijakan lain yang diterapkan dalam rangka memperbaiki kualitas ekspor rumput laut Indonesia adalah Kebijakan Resi Gudang. Kebijakan ini telah diterapkan sejak tahun 2007, dimana sistem resi gudang dilakukan dengan menggunakan hasil produksi rumput laut sebagai salah satu komoditas yang akan menjadi standar dan dipergunakan dalam sistem tersebut. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2007 tentang Resi Gudang untuk melaksanakan ketentuan UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Akan tetapi kebijakan ini belum berjalan secara efektif, hal ini disebabkan banyaknya petani dan pedagang yang belum menerapkan sistem tersebut dengan alasan administrasi dan birokrasi. Kebijakan pemerintah lainnya lebih diarahkan kepada pengembangan budidaya rumput laut yang tertuang ke dalam program revitalisasi perikanan. Direktoral Jendral Perikanan Budidaya telah melakukan langkah kebijakan konkrit diantaranya : (1) Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas, melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut serta kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut, (2) Pembinaan intensif secara berkelanjutan baik teknis maupun non teknis, (3) penguatan modal alokasi DPM, Paket Wirausaha, subsidi benih,pump, peluncuran skame kredit semisal KUR dan KPPE, (4) pengembangan kawasan pembudidayaan secara bertahap melalui pengembangan kawasan minapolitan budidaya, dan 5) membangun kerjasama, sinergitas, persamaan persepsi dan tanggungjawab bersama antara seluruh stakeholders dalam upaya pengembangan rumput laut nasional melalui kegiatan Forum Budidaya Rumput laut. Kebijakan pemerintah yang ada akan berpengaruh

30 10 terhadap input dan output dalam usahatani rumput laut. Kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan daya saing usahatani rumput laut, sedangkan kebijakan yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan menurunkan daya saing (Porter, 2008). Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa potensi rumput laut di Kabupaten Takalar perlu mendapat perhatian serius dalam upaya pengusahaannya, khususnya mengenai komoditas rumput laut yang dihasilkan sesuai dengan standar kualitas ekspor rumput laut di pasar internasional. Maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini mengenai : 1. Bagaimana tingkat keuntungan yang diperoleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. 2. Bagaimana tingkat daya saing rumput laut melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. 3. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing komoditas rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dimana usahatani rumput laut ini memiliki tantangan dan kendala. Kendala-kendala tersebut menjadi penyebab rendahnya kualitas rumput laut yang dihasilkan sehingga berdampak pada ekspor rumput laut di pasar internasional. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan keuntungan dan daya saing rumput laut yang didukung oleh kebijakan pemerintah. 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1. Tingkat keuntungan privat dan sosial usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. 2. Daya saing rumput laut melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. 3. Dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing komoditi rumput laut di Kepulauan Tanakeke.

31 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : 1. Tambahan informasi tentang kondisi aktual usahatani rumput laut baik bagi petani maupun pemerintah. 2. Bahan evaluasi dan masukan bagi pemerintah daerah dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan efesien bagi pengembangan komoditi rumput laut. 3. Tambahan pengetahuan atau rujukan bagi civitas akademika dalam melakukan penelitian selanjutnya Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar yang merupakan sentra penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usahatani rumput laut, analisis efesiensi yang dilihat berdasarkan keuntungan ekonomi atau sosial maupun keuntungan finansial atau privat dan aspek dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditas rumput laut tersebut. Penelitian ini difokuskan pada usahatani rumput laut dan bukan pada skala industri atau pengolahan. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu : 1. Responden dalam penelitian ini adalah petani yang membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma cottoni. 2. Lokasi budidaya rumput laut yang ada di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten, namun yang menjadi lokasi penelitian adalah Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar yang merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut di Sulawesi Selatan dan berorientasi ekspor. 3. Harga input dan harga output yang dihasilkan dalam usahatani rumput laut ini menggunakan harga yang berlaku pada saat penelitian berlangsung. 4. Pengukuran yang dilakukan pada level usahatani rumput laut.

32 12 5. Studi ini terbatas pada data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi pada usahatani rumput laut dan penggunaan data cross section yang bersifat statis.

33 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Rumput Laut Sulawesi Selatan Rumput laut merupakan salah satu komoditi budidaya laut yang potensial karena mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Rumput laut merupakan salah satu komoditi perdagangan internasional yang telah di ekspor di lebih dari 35 negara disamping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Potensi budidaya rumput laut di Indonesia terdapat di 15 provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia yang mana sekitar 53 persen produksi rumput laut Indonesia berasal dari Sulawesi Selatan. Diharapkan mulai tahun 2012, Sulawesi Selatan menjadi sentra produksi rumput laut terbesar di Indonesia, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai penghasil rumput laut terbesar kedua dunia setelah Philphina. Untuk mempercepat laju perkembangan budidaya rumput laut, pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2009 menargetkan status agribisnis rumput laut meningkat menjadi agroindustri rumput laut. Potensi produksi perikanan terutama rumput laut di Sulawesi Selatan cukup besar yakni sekitar ton per tahun. Selain potensi produksi yang cukup besar, sumberdaya manusianya yang bergerak di bidang budidaya laut dan tambak juga cukup besar yakni mencapai rumah tanggga perikanan (BPS, 2008). Pengembangan budidaya rumput laut di Sulawesi Selatan mempunyai prospek yang sangat besar terutama rumput laut jenis Eucheuma cottoni merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya yang sangat luas yang sangat berguna sebagai bahan makanan maupun bahan baku berbagai produk seperti bahan baku industri keragenan. Produk hasil ekstraksi rumput laut banyak digunakan sebagai bahan pangan, bahan tambahan atau bahan campuran dalam industri makanan, farmasi, kosmetik,

34 14 tekstil, kertas, cat dan lain-lain, bahkan rumput laut juga digunakan sebagai pupuk dan komponen pakan ternak atau ikan. Potensi lahan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottoni di Sulawesi Selatan sekitar ha dan baru terealisasi sekitar m 2 atau 6.2 ha dengan produksi total sekitar ton per tahun sehingga prospek pengembangannya ke depan masih sangat besar (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Ada beberapa desa pantai yang terkenal sebagai sentra budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottoni yaitu Desa Laikang di Kabupaten Takalar, Desa Samatang di Kabupaten Sinjai, Desa Bontojai di Kabupaten Jeneponto, serta Desa Palantikang di Kabupaten Bantaeng dan beberapa desa lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan (Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, 2010). Semakin meningkatnya penggunaan ekstrak rumput laut di berbagai industri akan meningkatkan pula permintaan produksi rumput laut tersebut. Kendala yang dihadapi dalam memenuhi permintaan tersebut tidaklah cukup hanya mengandalkan hasil panen alam saja, akan tetapi harus diusahakan sistem produksi yang lebih baik melalui cara budidaya Kebijakan Pengembangan Rumput Laut di Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra pengembangan rumput laut khususnya jenis Eucheuma cottoni dan menjadi produsen utama rumput Laut di Indonesia. Pengembangan rumput laut sebagai produk unggulan daerah telah diupayakan pemerintah untuk memenuhi permintaan dunia yang semakin besar khususnya jenis E. cottonii penghasil carrageenan. Berdasarkan hal tersebut, tahun 2009 pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah mengeluarkan beberapa kebijakan penting : (1) pengembangan budidaya rumput laut, (2) peningkatan kualitas rumput laut, (3) peningkatan pemasaran, (4) peningkatan strategi regulasi, dan (5) peningkatan permodalan. Dalam pengembangan aspek tersebut di atas, peran dan dukungan pemerintah daerah sangat penting untuk pengembangan produksi dan agribisnis rumput laut di Sulawesi Selatan.

35 15 Petani rumput laut di Sulawesi Selatan pada umumnya menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen sebelumnya. Diberbagai daerah sentra rumput laut seperti Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Bone dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi Selatan belum ada penangkaran dan penyediaan bibit rumput laut unggul atau berkualitas baik. Oleh karena itu, pemerintah daerah Sulawesi Selatan telah merencanakan untuk melakukan pelatihan sertifikasi penangkaran bibit rumput laut kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi petani hingga pedagang yang nantinya akan memudahkan petani memperoleh bibit bermutu tinggi (Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, 2010). Berbagai langkah untuk mengembangkan rumput laut telah dilakukan pemerintah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten melalui pendanaan dari APBN dan APBD. Kegiatan program pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan budidaya rumput laut melalui : (1) pengadaan kebun bibit Eucheuma cottoni di Kabupaten Pangkep dan Bulukumba, (2) penyaluran paket penguatan modal pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma cottoni di 8 kabupaten sebanyak 57 paket, dan (3) penyaluran sarana budidaya rumput laut berupa bibit rumput laut, tali nomor 9, nomor 5, dan nomor 2 serta pelampung di 8 kabupaten Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian terdahulu tentang komoditi rumput laut dan aspek-aspek yang berkaitan dengan usahatani rumput laut, daya saing (kompetitif dan komparatif) melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) dan kebijakan telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya Studi Aspek Komoditi Rumput Laut Studi terdahulu telah banyak membahas tentang komoditi rumput laut baik dari aspek pengembangan rumput laut, aspek produksi, sistem pemasaran sampai pada penawaran ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Zulham, Purnomo dan Apriliani (2007) telah melakukan penelitian tentang pengembangan klaster rumput laut Kabupaten Sumenep. Penelitian ini

36 16 menggunakan metode survey dengan pendekatan eksploratif yang menjelaskan fenomena lapangan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pengembangan klaster rumput laut di Kabupaten Sumenep telah terbentuk secara alami yang terdiri dari jenis usaha pendukung proses produksi rumput laut, jenis perdagangan dan distribusi dan jenis usaha jasa pendukung, akan tetapi komponen tersebut belum tertata dengan baik sehingga kinerja dari industri rumput laut di Kabupaten Sumenep belum optimal. Selain itu, terjadi asimetris informasi tentang harga bahan baku rumput laut kering dan kualitas rumput laut yang dibutuhkan pasar. Oleh karena itu, terkait dengan upaya memfungsikan klaster rumput laut, terdapat tiga prinsip yang perlu diperhatikan agar klaster tersebut berfungsi secara optimal yaitu : 1) unit usaha dalam klaster rumput laut harus berorientasi pada permintaan konsumen, 2) klaster harus bersifat kolektif, dan 3) klaster dapat memperbaiki daya saing secara komulatif. Penelitian tentang produksi rumput laut dilakukan oleh Sobari (1993) dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam analisisnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan dan dapat mempengaruhi berhasil tidaknya usaha budidaya rumput laut yaitu kondisi alam, teknologi yang digunakan dan kondisi sosial ekonomi. Setiap usaha budidaya rumput laut yang dilakukan tidak terlepas dari kondisi atau aspek ekonomi. Aspek ekonomi berkaitan dengan kelayakan usaha dari budidaya yang dikembangkan oleh pembudidaya. Penelitian yang mengkaji tentang kelayakan usaha budidaya rumput laut telah dilakukan oleh Zamroni, Purnomo dan Mira (2006). Penelitian ini menggunakan analisis R/C Ratio dengan hasil analisis menunjukkan bahwa budidaya rumput laut yang dibudidayakan dengan metode longline di Bulukumba layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari hasil perhitungan R/C ratio yang lebih dari satu (R/C ratio = 2.94) dan keuntungan yang diperoleh positif. Mustika (1999) melakukan penelitian mengenai Analisis Keragaan Finansial dan Produksi Dalam Usaha Budidaya Rumput Laut Petani Mitra dan Non Mitra dengan metode Analisis Finansial (NVP, IRR, R/C Ratio) dan Regresi Berganda. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa Sebagian besar petani non mitra menggunakan modal sendiri untuk membeli seluruh sarana produksi

37 17 yang dibutuhkan. Sementara hasil produksinya dijual kepada pembeli pada tingkat harga sebesar harga yang berlaku di pasar. Produktivitas faktor produksi yang berlaku terhadap produksi rumput laut kering per luasan areal adalah tali ris, tali rafia, karung pasir pemberat, bibit, tenaga kerja dan pelampung. Analisis usahatani budidaya rumput laut baik mitra maupun non mitra menguntungkan petani dengan nilai R/C ratio untuk petani mitra adalah 8.03 dan non mitra sebesar Analisis finansial yang dilakukan pada tingkat suku bunga 20 persen menunjukkan bahwa rumput laut layak untuk dikembangkan dengan IRR di atas 60 persen. Penelitian yang dilakukan oleh Hikmayani dan Aprilliani (2007) menyangkut aspek pemasaran rumput laut di wilayah potensial di Indonesia. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa pemasaran rumput laut melibatkan beberapa lembaga pemasaran baik yang ada di lokasi maupun yang ada di luar lokasi budidaya baik di kabupaten maupun di provinsi. Lembaga pemasaran yang terlibat secara umum adalah pedagang pengumpul lokal, pedagang besar dan eksportir atau pabrik pengolahan. Struktur pasar rumput laut di seluruh tingkat pedagang pengumpul, pedagang besar dan industri serta eksportir bersifat oligopoli artinya dengan jumlah pedagang yang sedikit maka akan muncul pedagang yang paling dominan dalam struktur pasar ini dan pedagang tersebut dapat menjadi pedagang yang memiliki pangsa pasar terbesar sehingga pedagang tersebut dapat bertindak sebagai penentu harga dan memiliki jalur distribusi yang kuat. Yusuf dan Mira (2006) telah melakukan penelitian tentang potensi pasar rumput laut di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rumput laut di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan rumput laut, dimana industri rumput laut Indonesia harus memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar ton dan pasar luar negeri sebesar ton. Sedangkan di pasar internasional ternyata rumput laut memiliki pangsa pasar (market share) sebesar 15 persen, ini berarti Indonesia berada pada posisi kedua setelah Philphina yang memasok 80 persen kebutuhan dunia. Jika dilihat dari negara tujuan ekspor ternyata pasar Asia yang mengimpor

38 18 rumput laut terbesar dari Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasar rumput laut Indonesia yang terbesar adalah pasar Asia Studi Aspek Daya Saing Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) telah banyak dilakukan diantaranya Sumaryanto dan Friyatno (2007), Kurniawan (2008), Feryanto (2010), serta Indrayani (2011). Untuk penelitian daya saing rumput laut belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang relevan dengan daya saing rumput laut diantaranya adalah Mira dan Reswati (2006), Yusuf dan Tajerin (2008), serta Rajagukguk (2009). Analisis daya saing usaha budidaya rumput laut di Indonesia dengan menggunakan metode PAM dilakukan oleh Mira dan Reswati (2006). Penelitian ini dilakukan pada daerah sentra produksi rumput laut Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usaha budidaya rumput laut di Bali dan Sulawesi memiliki daya saing yang dilihat dari hasil analisis daya saing, dimana D > 0 dan H > 0, sedangkan untuk Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur tidak memiliki daya saing, ini diperlihatkan dari hasil analisis D < 0 dan H > 0. Bali memiliki daya saing karena kualitas rumput laut yang dihasilkan lebih bagus dibanding daerah lain, sedangkan Sulawesi memiliki daya saing karena bibit yang digunakan relatif lebih bagus dan budidaya dilakukan sepanjang tahun. Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur tidak memiliki daya saing karena mutu rumput laut yang dihasilkan kurang memenuhi kriteria yang ditetapkan industri. Penelitian Yusuf dan Tajerin (2008) menyimpulkan bahwa Peubah utama yang memberikan pengaruh dominan terhadap ekspor rumput laut Indonesia adalah peubah ekspor rumput laut tahun sebelumnya dan produksi rumput laut. Sedangkan peubah suku bunga dan tingkat suku bunga bank dan harga domestik rumput laut belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penawaran eskpor rumput laut Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter terkait dengan pergerakan suku bunga belum memberikan dorongan secara nyata bagi peningkatan ekspor rumput laut Indonesia. Selain itu dengan adanya kebijakan yang berorientasi pada ekspor, maka harga domestik rumput laut juga tidak mendukung ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional.

39 19 Rajagukguk (2009) melakukan penelitian daya saing rumput laut Indonesia di pasar internasional dengan menggunakan data sekunder dengan metode analisis regresi data panel (Pooled OLS dan Fixed Effect). Hasil analisis menyimpulkan bahwa model pangsa pasar yang telah dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui posisi daya saing ekspor rumput laut di negara tujuan ekspor pada tahun-tahun tertentu. Indonesia memiliki daya saing di Negara Hongkong, Philphina, Spanyol dan Denmark. Hal berbeda ditemukan di Negara China dimana pada negara tersebut Indonesia baru berdaya saing setelah tahun Sedangkan untuk USA, Indonesia baru berdaya saing pada tahun 2006, demikian juga dengan Korea Selatan baru pada tahun Jepang, United Kingdom dan Francis, rumput laut Indonesia sama sekali tidak memiliki daya saing Studi Aspek Kebijakan Studi tentang aspek kebijakan menyangkut tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditi dengan menggunakan matriks análisis kebijakan (PAM). Dewanata (2011) melakukan penelitian tentang analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi jeruk siam di Kabupaten Garut. Dalam hasil analisis tersebut, diketahui bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan jeruk siam secara keseluruhan menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah. Petani tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah sehingga harga jeruk siam yang berlaku di Kecamatan Semarang Rp 5 000, 00 per kilogram berada di bawah harga efesiennya yaitu Rp 5 380,36 per kilogram. Sadikin (2001) melakukan kajian tentang analisis daya saing komoditi jagung dan dampak kebijakan pemerintah terhadap agribisnis jagung di NTB pasca krisis ekonomi. Dalam hasil analisisnya dengan menggunakan PAM menyimpulkan bahwa pengembangan usaha jagung di NTB secara finansial dan ekonomi efesien sebab sistem produksi jagung tersebut pada saat krisis berlangsung mempunyai keunggulan kompetitif dan komperatif lebih baik daripada sebelum terjadinya krisis. Hal ini disebabkan karena kebijakan

40 20 pemerintah memberikan subsidi input sebagai insentif bagi petani jagung di NTB sehingga menyebabkan biaya input yang dikeluarkan petani lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya. Yao (1997) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi padi Thailand yang mempunyai kompetisi dengan kedelai dan kacang hijau yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda. Hasil penelitian menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah Thailand adalah melindungi produsen padi melalui pemberian subsidi pada input tradable demikian pula dengan komoditi kedelai dan kacang hijau. Bahkan untuk produksi kedelai, pemerintah Thailand memberikan subsidi sebesar 21.6 persen. Mohanty, Fang dan Caudhari (2003) tentang Daya Saing Kapas di India. Hasil penelitian tersebut adalah produksi kapas India tidak efesien tanpa intervensi pemerintah dan kemungkinan terjadi pergeseran tanaman kapas digantikan oleh tanaman tebu dan kacang tanah yang lebih menguntungkan, sehingga dianjurkan agar kebijakan India lebih menjaga ketersediaan kapas murah untuk sector hadloom dan tekstil. Agatha dan Victor (2011) melakukan penelitian tentang Daya Saing Padi dan Jagung secara Ekologi di Nigeria dengan metode PAM. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa produksi padi dan jagung dengan sistem irigasi baik di dataran tinggi maupun rendah lebih menguntungkan dibanding sistem yang lain. Hal ini diperlihatkan dengan nilai PCR < 1. Sedangkan nilai NPCO kurang dari satu menunjukkan bahwa harga output padi dan jagung yang lebih rendah dari harga internasional. Kebijakan penurunan harga output padi dan jagung masing-masing sebesar 90 persen dan 93 persen di bawah harga internasional menunjukkan bahwa produksi padi dan jagung pada berbagai sistem tidak dilindungi oleh kebijakan pemerintah berupa pajak yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh Ugochukwuy dan Ezedinma (2010) tentang Intensifikasi Padi di Nigeria Tenggara dengan pendekatan analisis kebijakan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sistem tanaman padi baik di dataran rendah maupun dataran tinggi menguntungkan secara finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC kurang dari satu, sedangkan nilai EPC dan PC kurang dari satu menunjukkan bahwa petani di Nigeria Tenggara masih

41 21 memperoleh keuntungan dalam memproduksi padi meskipun tanpa subsidi dari pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Karbasi, Rastegaripour dan Amiri (2011) tentang Aplikasi PAM pada Air Minum Kemasan di Negara Iran. Hasil penelitian tersebut adalah sistem yang dilakukan oleh Baluchestan dalam memproduksi air minum kemasan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Kebijakan pemerintah Iran terhadap perusahaan air minum kemasan dapat dilihat dari nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO < 1) yaitu sebesar Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Iran memberikan subsidi pada input yang digunakan sehingga harga input lebih rendah 27 persen dari harga dunia. Novianti (2003) melakukan penelitian analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas unggulan sayuran. Hasil penelitian dengan menggunakan metode PAM, dimana kebijakan pemerintah dibidang perdagangan komoditas sayuran khususnya kentang dan kubis menyebabkan harga kedua komoditas tersebut lebih murah dibanding dengan harga sosial yang seharusnya diterima petani. Hal ini berkaitan dengan tiga faktor klasik yaitu (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan sehingga rantai pemasaran panjang dan biaya pemasaran tinggi, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani hanya penerima harga yang pasif serta hanya menerima keputusan harga dari pedagang, dan (3) mental usahatani masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan bersaing dengan pasar global. Penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah pada komoditi perikanan dilakukan oleh Suprapto (2005), dimana hasil analisis yang dilakukan terhadap ekspor ikan hias DKI Jakarta di pasar internasional menghasilkan nilai Output Transfer (OT) negatif yang berarti bahwa penerimaan yang diterima pelaku usaha ikan hias (ikan betta) lebih kecil daripada penerimaan sesungguhnya tanpa kebijakan pemerintah. Hal ini ditunjukkan pula dengan nilai NPCO yang kurang dari satu yang berarti bahwa akibat kebijakan pemerintah, produsen menerima 99 persen dari penerimaan yang seharusnya diterima bila tidak ada kebijakan. Persentase transfer bersih dari penerimaan ekonomi sebelum adanya kebijakan dapat diketahui melalui nilai SRP. Pengusahaan ikan betta memiliki nilai SRP

42 22 negatif, yang berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan pelaku usaha ikan betta berkurang 0.16 dari penerimaan ekonominya. Dengan demikian, kebijakan pemerintah terhadap input output pada pengusahaan ikan betta menyebabkan keuntungan yang diterima pelaku usaha ikan betta lebih rendah daripada keuntungan yang sesungguhnya jika tidak ada kebijakan pemerintah.

43 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Daya saing suatu komolditas akan tercermin pada harga jual yang murah di pasar dan mutu yang tinggi. Untuk analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore, 1997). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efesiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial, sedangkan efesiensi penguasaan komoditi dilihat berdasarkan indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Kajian mengenai daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith mengenai konsep penting tentang spesialisasi dan perdagangan bebas yang dikenal dengan teori perdagangan klasik melalui teori keunggulan absolute (absolute advantage). Teori keunggulan absolut menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (Krugman dan Obstfeld, 2004). Kelebihan dari teori keuntungan absolut yaitu terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda dimana terjadi interaksi ekspor dan impor. Kelemahannya adalah apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan (Oktaviani dan Novianti, 2009). Teori Adam Smith ini disempurnakan oleh David Ricardo pada tahun 1817 melalui bukunya yang berjudul Principles of Political Economy and

44 24 Taxation memperluas teori keunggulan absolut Adam Smith menjadi teori keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantagse) baik secara efesiensi tenaga kerja maupun produktivitas tenaga kerja (Salvatore, 1997) Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif (comparative advantage) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yakni tenaga kerja. Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka kedua negara tersebut akan beruntung (Halwani, 2002). Ternyata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional. Dalam perdagangan bebas antar daerah, mekanisme pasar mendorong masingmasing daerah bergerak kea rah sektor yang daerahnya memiliki keunggulan komparatif. Akan tetapi, mekanisme pasar seringkali bergerak lambat dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Sedangkan model Hechkscher-Ohlin (H-O) lebih menekankan pada keseimbangan perdagangan antar dua kutub ekonomi neoclassic. Ide dasar model H-O adalah wilayah yang mempunyai tenaga kerja melimpah, secara relatif akan memanfaatkan kemampuan dirinya untuk memproduksi barang dengan faktor produksi padat karya yang relatif lebih murah. Dengan demikian, wilayah tersebut akan mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi barang tersebut. Daya saing suatu komoditi sangat tergantung oleh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam produksi dan perdagangan. Ada pendapat dari beberapa kelompok teknorat mengenai keunggulan komparatif yaitu suatu wilayah dapat memiliki keunggulan komparatif jika memiliki kekayaan alam yang melimpah, tenaga kerja yang padat karya, dengan muatan teknologi yang rendah, sehingga faktor produksi menjadi murah dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan maupun terhadap serbuan barang-barang sejenis dalam negeri untuk jangka pendek. Menurut Suprianti (1988), keunggulan

45 25 komparatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu keunggulan komparatif natural (alami) dan keunggulan komparatif buatan (terapan). Sumber keunggulan komparatif alami ditunjukkan dengan kondisi iklim yang cocok, upah tenaga kerja yang murah dan ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan keunggulan komparatif terapan telah diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan adanya faktor pendukung seperti faktor teknologi, permintaan skala ekonomi dan struktur pasar. Menurut Darusman (1999), pada awalnya keunggulan komparatif digunakan untuk melihat tingkat efesiensi produksi dari dua jenis produk yang dihasilkan oleh suatu negara dimana biaya produksinya dinyatakan dalam penggunaan tenaga kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa keunggulan komparatif digunakan untuk mengkaji efesiensi relatif penggunaan tenaga kerja dalam memproduksi barang yang sama antar wilayah. Dalam perkembangan selanjutnya, keunggulan komparatif tidak hanya digunakan untuk mengkaji efesiensi tenaga kerja (sumberdaya manusia ) saja, tapi juga digunakan untuk sumberdaya lainnya. Bila suatu wilayah mempunyai kelebihan dalam permodalan maka dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif di bidang faktor produksi modal. Demikian juga bila suatu wilayah mempunyai kelebihan dalam sumberdaya alam maka dapat dikatakan bahwa suatu wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif dalam faktor produksi alam. Cara tersebut dikenal dengan melihat keunggulan komparatif dari sisi input. Disamping dari sisi input, cara melihat keunggulan komparatif juga dapat dilihat dari sisi output yaitu dari realisasi ekspornya. Dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif yaitu keadaan alam, kombinasi dari faktor produksi, pertimbangan lokasi, transportasi dan dukungan kelembagaan. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Oleh karena itu, konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur daya saing suatu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual. Namun asumsi perekonomian yang tidak mengalami ditorsi atau hambatan sama sekali sulit ditemukan pada dunia nyata, sehingga konsep keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu kegiatan ekonomi.

46 Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan oleh suatu negara atau daerah dalam daya saing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan negara atau daerah lain. Sebagai contoh, jika suatu daerah mempunyai kelebihan dalam komoditi tertentu (mempunyai kelebihan komparatif) namun hal tersebut tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditi yang dimiliki negara tersebut tidak mampu bersaing di pasaran dunia. Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter (1990), kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter, bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada, kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu sub sektor tertentu disuatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya yang ada. Porter (1990) menyatakan bahwa penentu daya saing adalah persaingan yang sehat antar industri, adanya deferensiasi produk dan kemampuan teknologi. Porter menyatakan bahwa istilah keunggulan kompetitif adalah bahasan dalam persepektif mikro (bisnis) sedangkan istilah keunggulan komparatif merupakan kajian dalam persepektif makro. Halwani (2002) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yaitu keadaan faktor-faktor produksi, permintaan dan tuntutan kualitas, industri terkait dan pendukung yang kompetitif dan strategi, struktur dan sistem penguasaan antar perusahaan. Selain empat faktor penentu tersebut, keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh faktor eksternal yaitu sistem pemerintahan dan terdapatnya kesempatan. Faktor-faktor ini secara bersamasama akan membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan kompetitif suatu negara. Suatu komoditas dapat memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi dan diusahakan serta dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi bila suatu

47 27 komoditas yang diproduksi suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat disumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambata-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Oleh karena itu pemerintah perlu untuk mengadakan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan atau distorsi pasar tersebut. Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari konsep keunggulan komparatif yang menggambarkan kondisi daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output Analisis Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah ditetapkan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk output maupun input yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan berupa subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Monke dan Pearson (1989) menjelaskan pengaruh intervensi pemerintah pada harga komoditi yang membagi kedalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua kebijakan perdagangan yang terlihat pada Tabel 2.

48 28 Tabel 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan Subsidi Subsidi pada Produsen Subsidi pada Konsumen 1. Tidak mengubah 1. Pada barang-barang 1. Pada barang-barang harga pasar dalam subsitusi impor (S + subsitusi impor (S + negeri PI; S PI) CI; S CI) 2. Pada barang-barang 2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S + orientasi ekspor (S + 2. Mengubah harga PE; S PE) CE; S CE) pasar dalam negeri Kebijakan Perdagangan Hambatan pada barang Hambatan pada barang (merubah harga pasar impor (TPI) ekspor (TCE) dalam negeri) Keterangan : S+ PI = Subsidi PE = Produsen Barang Orientasi Ekspor S - PI = Pajak CI = Konsumen Barang Substitusi Impor PI = Produsen Barang Subsitusi Impor CE = Konsumen Barang Orientasi Ekspor TCE = Hambatan Barang Eskpor TPI = Hambatan Barang Impor Sumber : Monke dan Pearson (1989). Kebijakan harga (price policies) terdiri dari tiga kriteria yaitu : (1) subsidi atau kebijakan perdagangan; (2) penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh produsen dan konsumen; dan (3) kriteria ekspor atau impor. Implementasi dari kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi produsen atau konsumen dalam negeri. 1. Kebijakan Harga Subsidi atau Kebijakan Perdagangan Menurut Salvator (1997) subsidi merupakan pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Menurut Monke dan Pearson (1989) Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi. Kebijakan perdagangan yang dapat diterapkan dapat berupa tarif dan kuota. Tarif yaitu harga komoditi yang diperdagangkan, sedangkan kuota merupakan pembatasan

49 29 jumlah komoditi yang diimpor. Tujuan diterapkannya kedua kebijakan tersebut adalah untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (komoditi impor) dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasioanl dengan harga di pasar domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional. Komponen utama yang menjadi dasar dalam diterapkannya salah satu kebijakan perdagangan adalah perbedaan harga komoditi di pasar internasional dan domestik. Apabila harga suatu komoditi di pasar internasional lebih murah dibandingkan dengan harga domestik, maka kebijakan yang tepat dilakukan adalah kebijakan perdagangan impor. Penetapan tarif impor maupun kuota impor dilakukan agar produk impor yang dijual dalam negeri harganya menjadi lebih mahal dan jumlahnya terbatas. Kebijakan impor ini bertujuan untuk melindungi produsen domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional. 2. Kebijakan Berdasarkan Penerimaan Kebijakan berdasarkan penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen dan anggaran pemerintah (Monke dan Pearson, 1989). 3. Kebijakan Berdasarkan Komoditi Kebijakan berdasarkan komoditi bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat di ekspor dan komoditas yang dapat di impor. Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input maupun output komoditas pertanian. Penerapan kebijakan (subsidi atau hambatan perdagangan) yang tepat mampu memperbaiki kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen Kebijakan Output Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap

50 30 output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga pasar dunia (Pw) lebih rendah dari harga domestik (Pd). Tingkat subsidi sebesar Pd Pw kepada produsen menyebabkan produksi akan meningkat dari Q 1 menjadi Q 2 namun kondisi akan tetap pada Q 3 karena kebijakan subsidi ini tidak merubah harga dalam negeri. Subsidi ini akan menyebabkan impor turun dari Q 2 ke Q 3. Transfer pemerintah kepada produsen sebesar Q 2 x (Pd Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q 1 CAQ 2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q 1 CBQ 2. Subsidi tersebut akan memberikan dampak terjadinya kehilangan efesiensi sebesar CAB. Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q 3 ke Q 4, sedangkan konsumsi menurun dari Q 1 ke Q 2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q 3 ke Q 4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH. Gambar 2( c ) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen pada barang impor. Harga di pasar dunia (Pw) lebih tinggi daripada harga domestik (Pd). Tingkat subsidi positif sebesar Pw Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q 1 menjadi Q 2, tetapi konsumsi akan meningkat dari Q 3 menjadi Q 4

51 31 P S Pd P H B S Pd A Pw G E F A Pw C B Q 1 Q 2 Q 3 D Q Q 2 Q 1 Q 3 Q 4 D Q (a) S + PI (b) S + PE P P S S Pw Pc C B A Pw A F E G Pd B H Q 2 Q 1 Q 3 Q 4 (c ) S + CI (d) S + CE Keterangan : Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik S + PI : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Impor S + PE : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Ekspor S + CI : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Impor S + CE : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Ekspor Sumber : Monke dan Pearson (1989) D Q Q 1 Q 2 D Q Gambar 2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor

52 32 Karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih murah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q 3 -Q 1 menjadi Q 4 -Q 2. Transfer pemerintah sebesar PwGHPd terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari produsen dan konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABHG, sehingga akan terjadi inefesiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Pada produksi, output turun dari Q 2 menjadi Q 1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q 2 AFQ 1 atau sebesar Pw x (Q 2 Q 1 ) sedangkan besarnya input yang dapat dihemat sebesar Q 2 BFQ 1 sehingga terjadi inefesiensi sebesar AFB. Pada konsumsi, menunjukkan terjadi opportunity cost akibat meningkatnya Q 3 menjadi Q 4 adalah sebesar Pw x (Q 4 Q 3 ) atau sebesar Q 3 EGHQ 4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q 3 EHQ 4 sehingga terjadi inefesiensi sebesar EGH sehingga total inefesiensi yang terjadi sebesar AFB dan EGH. Gambar 2(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada gambar tersebut menunjukkan harga dunia lebih besar (Pw) dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi untuk barang ekspor menjadi meningkat dari Q 1 menjadi Q 2. Perubahan ini menyebabkan terjadi opportunity cost sebesar Pw x (Q 2 Q 1 ) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q 1 CAQ 2 dengan inefesiensi yang terjadi sebesar CBA Kebijakan Input Kebijakan pemerintah juga diberlakukan pada variable input tradable dan non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable). Perubahan yang terjadi akibat adanya intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi dan kebijakan perdagangan akan mengakibatkan perubahan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan konsumen berubah (Monke dan Pearson, 1989). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

53 33 P S S Pw C A B D Q 1 Q 2 Q 3 Q (a) S IT P S S C Pw A B D Q 1 Q 2 Q 3 Q (b) S + IT Keterangan : Pw : Harga Q di Pasar Dunia S IT : Pajak Input untuk Barang Tradable S + IT : Subsidi Input untuk Barang Tradable Sumber : Monke dan Pearson (1989) Gambar 3. Subsidi dan Pajak Input Tradable Gambar 3(a) menunjukkan adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output

54 34 domestik turun dari Q 1 ke Q 2 dan kurva suplai bergeser ke atas. Efesiensi ekonomi yang hilang adalah ABC. Perbedaan antara nilai output yang hilang Q 1 ACQ 2 dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut adalah sebesar Q 2 BAQ 1. Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Apabila kondisi perdagangan bebas harga yang berlaku adalah Pw dengan produksi sebesar Q 1. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi lebih rendah dan penggunaan input lebih intensif, sehingga kurva supply bergeser ke bawah (S ) dan produksi meningkat dari Q 1 menjadi Q 2. Inefesiensi yang terjadi adalah sebesar ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q 1 ACQ 2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q 1 ABQ 2. Pada input non tradable, intervensi pemerintah berupa hambatan erdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) yang dapat dilihat pada Gambar 4. P S Pc C Pd B A Pp D D Q 2 Q 1 Q (a) S N

55 35 P S Pp Pd A C B Pc D Q 1 Q 2 (b) S + N D Q Keterangan : Pd : Harga Domestik Sebelum Diberlakukan Pajak dan Subsidi Pc : Harga di Tingkat Konsumen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi Pp : Harga di Tingkat Produsen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi S-N : Pajak untuk Barang Non Tradable S+N : Subsidi untuk Barang Non Tradable Sumber : Monke dan Pearson (1989) Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Gambar 4(a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable adalah Pd,Q 1. Adanya pajak Pc Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q 2. Harga di tingkat produsen turun dari Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efesiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar ABD dan dari konsumen yang hilang sebesar CBA. Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran dan permintaan input non tradable berada pada Pd,Q 1. Adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q 1 ke Q 2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Efesiensi yang hilang dari produsen sebesar ABC dan konsumen sebesar ABD.

56 Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix/PAM) Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis keadaan ekonomi ditinjau dari sudut usaha swasta (private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efesiensi ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit) dan besarnya intensif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas pada aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran secara keseluruhan dengan sistematis. Policy Analysis Matrix membantu memberikan informasi tentang apakah sistem pertanian kompetitif di bawah teknologi dan harga-harga yang berlaku saat ini. Apakah petani, pedagang dan pengelola memperoleh keuntungan ketika menghadapi harga aktual pasar. Kebijakan harga akan mengubah harga dari output atau biaya input serta pula probabilitas privat dalam sistem. PAM dapat menunjukkan efek secara individual maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor. Selain itu PAM memberikan informasi yang penting untuk analisis keuntungan biaya dari suatu investasi pertanian. Selanjutnya model PAM dapat pula digunakan untuk menganalisis efesiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas secara bersamaan. Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi (Monke and Pearson, 1989). Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif) yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua yang menggambarkan divergensi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

57 37 Tabel 3. Policy Analysis Matrix Biaya (Cost) Uraian Penerimaan Tradable Input Faktor Domestik Keuntungan Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar I J K L Sumber : Monke and Pearson, 1989) Keterangan : 1. Keuntungan privat (D) = A B C 2. Keuntungan sosial (H) = E F G 3. Transfer output (I) = A E 4. Transfer input untuk Tradable (J) = B F 5. Transfer faktor non Tradable (K) = C G 6. Transfer bersih (L) = D H = I J = K 7. Rasio biaya privat (PCR) = C/(A B) 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) = G/(E F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/F 10. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F 11. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A - B)/(E - F) 12. Koefisien Keuntungan (PC) = D/H 13. Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) = L/E Perbedaan perhitungan antara private price dengan social price disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga. Jika kegagalan dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis. Menurut Monke and Pearson (1989), dalam penggunaan matriks PAM, ada asumsi yang harus dipenuhi yaitu : 1. Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benarbenar terjadi yang diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah.

58 38 2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi tanpa ada kebijakan pemerintah. Pada komoditi tradable, harga bayangannya adalah harga yang terjadi di pasar internasional. 3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan komponen tradable (asing) dan non tradable (faktor domestik). 4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan Penentuan Harga Bayangan Menurut Gittinger (1986), penggunaan harga pasar dalam melakukan analisis ekonomi seringkali tidak menggambarkan opportunity costnya. Oleh karena itu, setiap input dan output yang digunakan dalam analisis ekonomi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat harga sosial. Harga sosial atau harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Namun dalam kenyataannya sulit untuk menemukan pasar dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Harga bayangan secara umum ditentukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain. Adapun alasan penggunaan harga bayangan dalam menganalisis ekonomi adalah : 1. Harga yang berlaku di masyarakat tidak mencerminkan harga yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan suatu aktivitas. 2. Harga pasar yang berlaku tidak mencerminkan harga yang sebenarnya dikorbankan jika seandainya terdapat sejumlah pilihan sumberdaya yang digunakan dalam aktivitas, namun tidak digunakan pada aktivitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat.

59 Harga Bayangan Output Harga bayangan output adalah harga output yang terjadi di pasar internasional apabila diberlakukan pasar bebas. Harga bayangan output untuk komoditas ekspor atau berpotensi ekspor digunakan harga perbatasan yaitu harga FOB (free on board). Sedangkan harga bayangan output untuk komoditi impor digunakan sebagai harga perbatasan yaitu harga CIF (cost insurance freight). Harga FOB (untuk komoditi ekspor) dan harga CIF (untuk komoditi impor) ini akan dikonversi dengan SER ( Shadow Exchange Rate) dikurangi dengan biaya tataniaga (transportasi dan penanganan) dari pelabuhan ke lokasi usahatani Harga Bayangan Input Pada dasarnya dalam menentukan harga bayangan sarana produksi dan peralatan yang termasuk komoditi tradable tidak berbeda dengan penentuan harga bayangan output. Harga bayangan ditentukan pada harga batas (border price), yaitu untuk komoditas ekspor digunakan harga FOB (free on board) dan untuk komoditas impor digunakan harga CIF (cost insurance freight). sedangkan untuk input non tradable digunakan harga domestik Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Pearson and Gotsch (2005), menyatakan bahwa peneliti tidak banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketentuan upah minimum tidak berlaku di sektor pertanian. Menurut Gittinger (1986), tenaga kerja di pedesaan umumnya bukan merupakan tenaga ahli dan kenyataan masih adanya pengangguran. Sehingga dalam penelitian ini pengukuran harga bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan produk marginal dimana produk marginal sebenarnya masih dapat ditingkatkan, sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah aktual. Secara umum pengukuran harga bayangan tenaga kerja didasarkan pada formulasi sebagai berikut : HB Upah Tenaga Kerja = (100% - % pengangguran) X HA Upah Tenaga Kerja

60 40 dimana : HB = Harga Bayangan HA = Harga Aktual Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Menurut Van der Tak (1982) dalam Gettinger (1986), bahwa penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang ditentukan dengan menggunakan rumus berikut : Dimana : SER t = OER t SCF t SER t : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OER t : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCF t : Faktor Konversi Standar Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : Dimana : SCF t = Xt + Mt (Xt Txt) + (Mt + Tmt) SCFt Xt Mt Txt Tmt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Terdapat dua metode pendekatan dalam pengalokasian biaya ke dalam komponen asing dan domestik, yaitu metode pendekatan langsung (Direct Approach) dan pendekatan total (Total Approach). Metode pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan baik

61 41 impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat diperdagangkan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Input non tradable yang berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen biaya domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi dihitung sebagai komponen biaya asing (Monke and Pearson, 1989). Sedangkan pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi kedalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau pasar domestik (Monke and Pearson, 1989) Analisis Sensitivitas Sifat dari metode Policy Analysis Matrix (PAM) yang kaku atau statis, menyebabkan tidak bisa dilakukannya simulasi untuk kemungkinan perubahanperubahan pada faktor usahatani, misalnya perubahan pada variabel-variabel biaya atau penerimaan, sehingga untuk mereduksi kelemahan dari metode ini maka dilakukanlah analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas merupakan suatu alat dalam menganalisis pengaruh resiko yang ditanggung dan ketidakpastian dalam analisa proyek (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana suatu kegiatan usahatani bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Analisis ini merupakan suatu teknik untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi secara sistematis jika terjadi kejadian-kejadian yang berada dalam perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah besarnya variabelvariabel yang penting yang dapat dilakukan sendiri-sendiri ataupun dengan mengkombinasikan variabel tersebut. Menurut Kadariah (1999), analisis sensitivitas dilakukan dengan cara : (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang penting dengan suatu persentase dan menentukan seberapa sensitifnya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan

62 42 tersebut, (2) menentukan seberapa besar variabel yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat usahatani tidak dapat diterima. Menurut Gittinger (1986) menyatakan bahwa suatu variasi pada analisis sensitivitas adalah nilai pengganti untuk mengukur perubahan maksimum dari perubahan penurunan harga output dan penurunan produksi atau peningkatan harga input atau peningkatan biaya produksi yang masih dapat ditoleransi agar usahatani masih tetap layak Kerangka Pemikiran Operasional Peningkatan permintaan rumput laut dunia memberikan dampak positif terhadap perkembangan rumput laut di Indonesia. Dimana Indonesia sebagai salah satu produsen rumput laut dunia juga mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan ekspor rumput laut dunia merupakan penyebab utama laju peningkatan produksi rumput laut dalam negeri. Perkembangan produksi rumput laut dunia yang semakin besar yang diiringi dengan permintaan dunia yang semakin besar pula, beberapa negara produsen seperti Indonesia mulai bersaing untuk memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas yang semakin baik. Salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia adalah Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat produksi rata-rata persen per tahun dan salah satu sentra produksi rumput laut di Sulawesi Selatan adalah Kepulauan Tanakeke. Peningkatan produksi rumput laut di Kepulauan Tanakeke mengalami beberapa kendala terutama dalam budidaya dan pengelolaan usahatani rumput laut. Permasalahan yang dihadapi oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke diantaranya : (1) ketersediaan bibit bermutu (bibit unggul), (2) pengendalian hama penyakit, (3) pengelolaan pasca panen yang kurang tepat, dan (4) sumberdaya petani yang masih terbatas. Semua permasalahan tersebut menjadi kendala bagi petani dalam meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut yang dihasilkan. Kualitas rumput laut kepulauan Tanakeke seringkali dinilai tidak sesuai dengan standar teknis. Hal ini terkait dengan kinerja petani dan pedagang. Petani kurang memperhatikan umur panen rumput laut yang optimal, masih banyak rumput laut

63 43 yang dipanen terlalu muda dengan umur yang tidak seragam, sehingga menyebabkan kualitas rumput laut yang dihasilkan rendah. Hal ini menyebabkan daya tawar petani dalam penentuan harga menjadi lemah dan harga yang diterima petani rumput laut menjadi rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usahatani rumput laut. Sejumlah kebijakan terkait dengan standar kualitas dan keamanan pangan telah diterbitkan oleh pemerintah diantaranya UU No.16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Peraturan Pemerintah No.15/2002 tentang Karantina Ikan dan PP No.28/20904 tentang Keamanan Pangan, Mutu dan Gizi Pangan. Regulasi lainnya yang terkait dengan pengaturan perdagangan antara lain UU No.102/2000 tentang Standarisasi Nasional. Akan tetapi dalam perdagangan rumput laut ke pasar internasional khususnya ke Negara China, pada tahun 2010, pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor sebesar 30 persen terhadap komoditi rumput laut yang diekspor ke China. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ekspor bahan baku rumput laut kering dan meningkatkan bahan baku untuk industri pengolahan dalam negeri (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2012). Akan tetapi hal tersebut berdampak pada harga yang diterima oleh petani rumput laut, oleh karena itu sejak tahun 2012 pemerintah tidak lagi mengenakan pajak pemerintah atau pajak ekspor (pajak ekspor nol persen) terhadap rumput laut. Berdasarkan kondisi di atas, maka untuk mengetahui apakah usahatani rumput laut yang dilakukan petani masih berdaya saing dan kebijakan pemerintah berdampak terhadap pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke, dapat di analisis dengan menggunakan Policy Analysis matrix (PAM). Metode PAM menganalisis keuntungan baik secara privat maupun sosial, menganalisis daya saing melalui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani rumput laut. Selanjutnya untuk melihat apakah usahatani rumput laut masih menguntungkan dan memiliki daya saing secara komparatif dan kompetitif apabila terjadi perubahan harga output dan produksi maka dilakukan analisis sensitivitas. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kerangka operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

64 44 Pertumbuhan ekspor rumput laut Kualitas rumput laut masih rendah Relatif rendahnya harga rumput laut yang diterima petani Peran Pemerintah dalam pengembangan Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Policy Analysis Matrix (PAM) Analisis Keuntungan : - Keuntungan Privat / finansial - Keuntungan Sosial / ekonomi Analisis Daya Saing (keunggulan komparatif & kompetitif) - Biaya Sumberdaya Domestik - Rasio Biaya Privat Analisis Sensitivitas Dampak Kebijakan Pemerintah : - Transfer output - Transfer input - Transfer faktor -Koefisien proteksi efektif - Koefisien Bersih -Koefisien Keuntungan - Rasio Subsidi pada Produsen Hasil Akhir : 1. Keuntungan Finansial dan Keuntungan Ekonomi usahatani rumput laut 2. Daya Saing secara komparatif dan kompetitif 3. Dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing rumput laut Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional

65 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan (2009) yang menyebutkan bahwa produksi rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Takalar dengan produksi berasal dari Kepulauan Tanakeke yang berorientasi ekspor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni September Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun data yang bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani rumput laut serta beberapa narasumber yang terkait dengan bidang ini, pedagang perantara/pengumpul dan eksportir dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) dan pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari literature-literatur yang relevan seperti buku, internet, Badan Pusat Statistik, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Pengembangan Budidaya Rumput Laut Kabupaten Takalar, Bank Indonesia, perpustakaan IPB, serta instansi lain yang dapat membantu dan mendukung untuk ketersediaan data yang akan digunakan pada penelitian ini Metode Penentuan Sampel Petani yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah petani yang membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma cottoni di Kepulauan Tanakeke. Jumlah petani rumput laut yang membudidayakan jenis Eucheuma cottoni di Kepulauan Tanakeke secara keseluruhan berjumlah 538 orang yang tersebar di dua desa yaitu Desa Maccinibaji dan Mattirobaji, sehingga dari jumlah tersebut ditetapkan 93 sampel secara proporsional yang diambil dengan metode

66 46 acak sederhana (Simple Random Sampling). Sedangkan pengambilan sampel pedagang pengumpul ditentukan secara purposive berdasarkan lembaga pemasaran yang ada di Kepulauan Tanakeke sebanyak 4 orang dan 3 orang eksportir Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM) dengan pertimbangan bahwa dengan metode ini dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai yaitu dapat diketahui keuntungan finansial dan ekonomi, daya saing melalui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Adapun tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM ini antara lain : 1. Penentuan komponen fisik baik faktor input maupun faktor output secara lengkap dari aktivitas ekonomi rumput laut. 2. Mengklasifikasikan seluruh biaya ke dalam komponen domestik yaitu input yang dihasilkan di pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional dan komponen asing yaitu input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional baik diekspor maupun diimpor. 3. Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan (sosial) atas inputoutput. 4. Penyusunan budget privat dan budget sosial yang kemudian dipiosahkan ke dalam biaya input asing dan domestik privat, biaya input asing dan domestik sosial. Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM adalah : 1. Harga yang terjadi dalam usahatani rumput laut merupakan harga rata-rata pada tingkat petani. 2. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah atau distorsi pasar. 3. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada kondisi tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia.

67 47 4. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing dan faktor domestik. 5. Eksternalitas dianggap sama dengan nol. 6. Nilai tukar resmi adalah nilai tukar rata-rata yang berlaku pada tahun 2010 yakni sebesar Rp per US Dollar. Matriks Analisis Kebijakan yang digunakan adalah model PAM yang dikembangkan oleh Monke and Pearson (1989) sebagai berikut : Biaya (Cost) Uraian Penerimaan Tradable Input Faktor Domestik Keuntungan Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar I J K L Sumber : Monke and Pearson, (1989) Analisis Indikator Matriks Kebijakan 1. Analisis Keuntungan a. Analisis Keuntungan Privat (Private Profitability) Keuntungan Privat adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga privat Keuntungan Privat (D) = A (B + C) Dimana : D = Keuntungan Privat (Rp) A = Penerimaan/Pendapatan Privat (Rp) B = Biaya Input Tradable Privat (Rp) C = Biaya Faktor Domestik Privat (Rp) Apabila D > 0 maka usahatani rumput laut memperoleh profit di atas normal yang mempunyai implikasi bahwa rumput laut mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.

68 48 Apabila D < 0 maka usahatani rumput laut memperoleh profit yang negatif atau tidak menguntungkan b. Analisis Keuntungan Sosial (Social Profitability) Keuntungan Sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial. Keuntungan Sosial (H) = E (F + G) Dimana : H = Keuntungan Sosial (Rp) E = Penerimaan/Pendapatan Sosial (Rp) F = Biaya Input Tradable Sosial (Rp) G = Biaya Faktor Domestik Sosial (Rp) Apabila H > 0 dan nilainya makin besar, berarti usahatani rumput laut makin efesien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Apabila H < 0 dan nilainya makin kecil berarti usahatani rumput laut tidak efesien. 2. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif a. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) Private Cost Ratio (PCR) adalah ratio antara Biaya domestik terhadap nilai tambah (nilai tambah adalah selisih antara penerimaan dengan biaya tradable) pada tingkat harga privat PCR = C / (A B) Dimana : C = Biaya domestik pada tingkat harga privat A = Penerimaan pada tingkat harga privat B = Biaya tradable pada tingkat harga privat Apabila nilai PCR < 1 dan makin kecil, berarti usahatani rumput laut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat (memiliki keunggulan kompetitif). Apabila PCR > 1 dan makin besar berarti usahatani rumput laut tidak memiliki keunggulan kompetitif. b. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio)

69 49 Domestic Resource Cost Ratio (DRC) adalah ratio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada tingkat harga sosial. DRC = G / (E F) Dimana : G = Biaya domestik pada tingkat harga sosial E = Penerimaan pada tingkat harga sosial F = Biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila DRC < 1 maka usahatani rumput laut mampu menghemat sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit devisa (memiliki keunggulan komparatif). Apabila DRC > 1 maka usahatani runmput laut tidak memiliki keunggulan komparatif. 3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah a. Output Transfer Transfer Output (Output Transfer) adalah selisih antara penerimaan pada tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. Transfer Output (I) = A - E Dimana : A = Penerimaan pada tingkat harga privat E = Penerimaan pada tingkat harga sosial Apabila nilai I > 0 menunjukkan adanya transfer (insentif) dari konsumen terhadap petani rumput laut. Sehingga petani rumput laut menerima harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Apabila I < 0 atau negatif menunjukkan bahwa ada transfer sumberdaya dari petani ke konsumen sehingga harga yang diterima petani lebih murah. b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) adalah rasio antara penerimaan pada tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. NPCO = A / E

70 50 Apabila NPCO > 1 berarti kebijakan bersifat protektif terhadap output atau pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga efesiennya (harga dunia). Apabila NPCO < 1 berarti kebijakan pemerintah bersifat disprotektif terhadap output yang menyebabkan harga output di pasar domestik lebih murah disbanding harga dunia. c. Transfer Input (TI) Transfer Input (TI) adalah selisih antara biaya tradable pada tingkat harga privat dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial TI (J) = B F Dimana : B = Biaya tradable pada tingkat harga privat F = Biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila TI > 0, menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari petani rumput laut kepada produsen input tradable. Apabila TI < 0 menunjukkan besarnya transfer dari produsen input tradable kepada petani sehingga harga input yang diperoleh lebih murah. d. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) adalah rasio antara biaya tradable pada tingkat harga privat denga biaya tradable pada tingkat harga sosial. NPCI = B / F Apabila NPCI < 1 berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di pasar domestik di bawah harga efesiennya sehingga petani membeli input tradable lebih murah. Demikian pula sebaliknya apabila NPCI > 1 berarti pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik di atas harga efesiensinya. Sehingga petani rumput laut membeli harga input tradable lebih mahal. e. Transfer Faktor (TF) Transfer Faktor (TF) adalah selisih antara biaya domestik pada tingkat harga privat dengan biaya domestik pada tingkat harga sosial. TF (K) = C G

71 51 Dimana : C = Biaya domestik pada tingkat harga rpivat G = Biaya domestik pada tingkat harga sosial Apabila TF > 0 berarti ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik pemberian subsidi positif. Apabila TF < 0 atau negatif berarti ada kebijakan pemerintah yang berpihak kepada petani rumput laut. f. Efective Protection Coefficient (EPC) Efective Protection Coefficient (EPC) adalah rasio antara nilai tanbah pada tingkat harga privat dengan nilkai tanmbah pada tingkat harga sosial. EPC = (A B) / (E F) Dimana : (A B) = Nilai tambah pada tingkat harga privat atau selisih antar penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga privat (E F) = Nilai tambah pada tingkat harga sosial atau selisih antar penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila EPC > 1, berarti pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efesiensinya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah melindungi petani rumput laut berjalan secara efektif. Demikian pula sebaliknya jika EPC < 1 berarti kebijakan pemerintah tidak berjalan efektif. g. Transfer Bersih (TB) Transfer Bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan bersih pada tingkat harga privat dengan keuntungan bersih pada tingkat harga sosial. TB (L) = D H Dimana : D = Keuntungan Privat atau financial H = Keuntungan Sosial atau ekonomi

72 52 Apabila TB > 0, menunjukkan tambahan surplus petani rumput laut yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian pula sebaliknya jika TB < 0 menunjukkan penurunan surplus petani rumput laut yang disebabkan oleh penerapan kebijakan pemerintah terhadap input-output. h. Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient, PC) Profitability Coefficient (PC) adalah rasio antara keuntungan pada tingkat harga privat dengan keuntungan pada tingkat harga sosial. PC = D / H Apabila PC > 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberi insentif pada petani rumput laut. Akan tetapi jika PC < 1, maka kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima petani rumput laut lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. i. Rasio Subsidi Bagi Produsen (Subsidy Ratio to Producer, SRP) Subsidy Ratio to Producer (SRP) adalah rasio antara transfer bersih dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. SRP = L / E Dimana : L = Transfer Bersih E = Penerimaan pada tingkat harga sosial Apabila SRP < 0 atau bernilai negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi dan sebaliknya jika SRP > 0 atau positif berarti petani mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari opportunity cost Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Menurut Monke dan Pearson (1989) ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen domestik dan asing yaitu pendekatan total (Total Approach) dan pendekatan langsung (Direct Approach). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat

73 53 dipenuhi dari poduksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Sedangkan pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan total karena dianggap tepat untuk digunakan dalam menganalisis dapak kebijakan dan memperkirakan biaya ekonomi (biaya sosial) dalam analisis keunggulan komparatif dengan mengalokasikan biaya ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable). Penentuan komponen biaya asing dan domestik dapat dilihat pada Lampiran Penentuan Harga Bayangan Penentuan harga pada input dan output yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua tingkat harga yaitu harga pasar (harga privat atau harga aktual) dan harga bayangan (harga sosial atau harga ekonomi). Harga pasar adalah tingkat harga yang diterima petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke dalam penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi. Menurut Gittinger (1986), perhitungan harga bayangan dapat dilakukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, harga pembelian pemerintah dan lain-lain. Harga bayangan dalam penelitian ini adalah harga bayangan output (hasil rumput laut kering) dan harga bayangan input seperti tali rafia, solar, tenaga kerja, peralatan dan nilai tukar rupiah. Komoditas yang tradable, harga bayangan output usahatani rumput laut yang merupakan komoditi ekspor didekati dengan harga FOB (Free on Board) yaitu harga di pelabuhan ekspor dalam penelitian ini adalah pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar.

74 Harga Bayangan Output Komoditi rumput laut yang dihasilkan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke merupakan komoditi ekspor sehingga harga bayangan output yang digunakan adalah harga FOB (Free on Board) di pelabuhan ekspor (pelabuhan acuan yaitu pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar) yang dikonversi dengan SER (Shadow Exchange Rate) dikurangi dengan biaya tataniaga (transportasi dan penanganan) dari pelabuhan ke Kepulauan Tanakeke, sehingga dihasilkan harga paritas ekspor di tingkat petani. Komoditi rumput laut kering yang dihasilkan di Kepulauan Tanakeke merupakan komoditi yang berorientasi ekspor. Penentuan FOB dapat dihitung dari harga CIF rumput laut di negara pengimpor dikurangi dengan biaya asuransi dan pengapalan (Insurance and Freight). Diketahui bahwa harga CIF rumput laut di pasar internasional China adalah sebesar US Dollar per Ton. Biaya asuransi dan pengapalan (Insurance and Freight) rumput laut dari China ke Indonesia ditentukan dari besarnya pajak yang harus dikeluarkan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Pajak yaitu 10 persen dari harga CIF untuk komoditas yang berasal dari Asia yang Non-Asean adalah sebesar 128 US Dollar per Ton, sehingga harga FOB rumput laut di Indonesia adalah sebesar US Dollar per Ton. Nilai tersebut kemudian dikonversikan dengan nilai tukar bayangan (SER) sebesar Rp per US Dollar. Hasil tersebut kemudian dikurangi dengan biaya transportasi dan bongkar muat di Pelabuhan Makassar, sehingga didapatkan harga paritas ekspor tingkat pedagang besar sebesar Rp per Kilogram. Terakhir biaya tersebut dikurangi dengan biaya distribusi ke tingkat petani sebesar Rp per Kilogram, sehingga diperoleh harga paritas ekspor di tingkat petani sebesar Rp per Kilogram. Perhitungan harga paritas ekspor di tingkat petani dapat dilihat pada Lampiran Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Pearson and Gotsch (2005), menyatakan bahwa peneliti tidak banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketentuan upah minimum tidak berlaku di

75 55 sektor pertanian. Menurut Gittinger (1986), tenaga kerja di pedesaan umumnya bukan merupakan tenaga ahli dan kenyataan masih adanya pengangguran. Sehingga dalam penelitian ini pengukuran harga bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan produk marginal dimana produk marginal sebenarnya masih dapat ditingkatkan, sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah aktual. Tingkat upah bayangan adalah tingkat upah aktual di Kepulauan Tanakeke dikali persentase penduduk yang bekerja di Kabupaten Takalar. Secara umum pengukuran harga bayangan tenaga kerja didasarkan pada formulasi sebagai berikut : HB Upah Tenaga Kerja = (100% - % pengangguran) X HA Upah Tenaga Kerja dimana : HB = Harga Bayangan HA = Harga Aktual Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Takalar (2010) dengan adanya pengangguran sebesar 8 persen, maka harga bayangan sosial adalah 92 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. Tingkat upah aktual yang berlaku adalah Rp per HOK. Sehingga harga bayangan tenaga kerja adalah Rp per HOK Harga Bayangan Bibit Rumput Laut Harga bayangan untuk benih rumput laut didekati dengan harga aktualnya. Hal ini disebabkan karena bibit yang digunakan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke pada umumnya adalah bibit lokal, sehingga harga bayangan sama dengan harga pasarnya (harga di Kepulauan Tanakeke) Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga border price untuk input tradable dan harga domestik untuk input non tradable. Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable adalah tali rafia dan solar, sedangkan bibit dan peralatan yang digunakan termasuk ke dalam input non tradable.

76 56 Harga bayangan tali rafia merupakan harga beli di lokasi penelitian (harga pedagang pengumpul/toko saprodi setempat). Hai ini didasari asumsi bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan tali rafia tersebut, sehingga sulit untuk menentukan harga bayangan border price untuk bahan baku. Selain itu, tali rafia merupakan input sarana produksi yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga harga jual dilepas ke mekanisme pasar (pasar bebas). Untuk itu harga sosial (harga bayangan) sama dengan harga privatnya (harga aktualnya). Biaya tali rafia terdiri dari tradable dan non tradable, dimana sebagian bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 20 persen dihitung sebagai komponen tradable dan 80 persen non tradable. Harga bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar persaingan sempurna. Sementara dalam perhitungan analisis ekonomi dan finansial, nilai harga yang dimasukkan adalah nilai penyusutan dari masingmasing peralatan berdasarkan umur ekonomisnya Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi persaingan sempurna (Suryana, 1980). Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Squire dan Van Der Tak (1982) dalam Gittinger (1986) menggunakan formula sebagai berikut : SER t = OER t SCF t Dimana : SER t : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OER t : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCF t : Faktor Konversi Standar

77 57 Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : SCF t = Xt + Mt (Xt Txt) + (Mt + Tmt) Dimana : SCFt Xt Mt Txt Tmt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Squire dan Van Der Tak yaitu besarnya nilai ekspor tahun 2010 senilai Rp milyar, nilai impor senilai Rp milyar, pajak ekspor sebesar Rp milyar dan pajak impor sebesar Rp milyar (BPS, 2010). Sehingga diperoleh nilai SER sebesar Rp Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan uraian di atas, komponen input dipisahkan antara komponen tradable dan komponen non tradable (domestik), maka metode penentuan harga bayangan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Metode Pendekatan Penentuan Harga Privat dan Sosial Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011 No. Uraian Harga Privat Harga Bayangan Sosial 1 Output Harga yang berlaku di pasaran Harga perbatasan FOB. Harga Bayangan Rumput Laut = (FOB X SER) Biaya transportasi dan penanganan dari pelabuhan ke tempat penelitian (Pearson et all, 2005) 2 Bibit Harga yang berlaku di pasaran Sama dengan harga privat 3 Tali Rafia Harga yang berlaku dipasaran Sama dengan harga privat 4 Solar Harga yang berlaku dipasaran Sama dengan harga privat 5 Tenaga Kerja 6 Biaya Peralatan Tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian Biaya penyusutan peralatan 7 Nilai Tukar Nilai tukar yang berlaku pada saat penelitian berlangsung Berdasarkan konsep produk marginal (Gittenger, 1986) mempertimbangkan tingkat pengangguran 8 persen sehingga 92 persen dari upah aktual Sama dengan harga privat Keseimbangan nilai tukar uang yang didekati dengan menggunakan SCF (Standar Conversion Factor)

78 58 Berdasarkan uraian di atas mengenai harga bayangan, maka nilai harga bayangan dan harga privat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Justifikasi Nilai Harga Bayangan (Sosial) dan Harga Privat Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, No. Uraian Satuan Harga Privat Harga Bayangan Sosial 1 Output Rp/Kg Bibit Rp/Kg Tali Rafia Rp/Kg Tenaga Kerja Rp/HOK Penyusutan Rp Peralatan 6 Solar Rp/L Nilai Tukar Rp Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu usahatani rumput laut bila terjadi perubahan terhadap input maupun output. Perubahan ini dapat mempengaruhi penerimaan dan biaya petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Analisis sensitivitas pada penelitian ini dilakukan dengan mengubah besarnya produksi dan harga rumput laut. Penetapan besarnya perubahanperubahan tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Fluktuasi harga rumput laut sebesar 16 persen per tahun ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian. 2. Perubahan besarnya produksi rumput laut sebesar 30 persen.

79 59 V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 5.1. Perkembangan Rumput Laut Dunia Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan pendapatan petani di wilayah pesisir. Rumput laut (seaweed) merupakan nama dalam perdagangan untuk jenis alga yang dipanen dari laut. Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tumbuhan ini mempunyai bentuk yang sama, walaupun sebenarnya berbeda (Yulianda, 2001). Rumput laut menjadi salah satu komoditas unggulan dalam Program Revitalisasi Perikanan Budidaya tahun selain udang dan tuna, yang telah dicanangkan oleh presiden pada tanggal 11 Juni 2005 dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, menyumbang ekspor non migas, mengurangi kemiskinan dan menyerap tenaga kerja nasional (Burhanuddin, 2008). Beberapa hal yang menjadi keunggulan rumput laut antara lain : (1) peluang pasar ekspor yang terbuka luas, (2) belum ada batasan atau kuota perdagangan bagi rumput laut, (3) teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai, (4) siklus pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan, (5) kebutuhan modal relatif kecil, dan (6) merupakan komoditas yang tidak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya (Anggadiretdja, 2006). Oleh karena itu rumput laut termasuk komoditas unggulan yang perlu mendapat prioritas dalam penanganannya. Rumput laut di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Eropa (Brown, 1983). Rumput laut yang diperdagangkan di pasar internasional terdiri dari banyak jenis dengan kandungan dan manfaat yang berbeda-beda diantaranya Eucheuma cottoni. Gracilaria sp dan sargassum sp. Perkembangan rumput laut di dunia ditandai dengan meningkatnya permintaan rumput laut khususnya rumput laut Eucheuma cottoni dalam bentuk raw material atau rumput laut kering oleh negara-negara konsumen.

80 Produksi Rumput Laut Dunia Rumput laut di pasar internasional pada umumnya diproduksi oleh negaranegara Asia seperti Indonesia, China, Philphina, Korea dan beberapa negara Eropa seperti Chili, Prancis, Tanzania dan Mexico (FAO, 2010). Indonesia termasuk salah satu produsen terbesar dunia, bahkan menjadi peringkat kedua produsen rumput laut dunia setelah negara China untuk jenis Eucheuma cottoni. Indonesia dengan potensi rumput laut yang sangat besar berpeluang menjadi salah satu produsen rumput laut terbesar dunia. Adapun perkembangan produksi rumput laut dunia dapat dilihat pada Gambar 6. Sumber : FAO, 2011 (diolah) Gambar 6. Perkembangan Produksi Rumput Laut Dunia Tahun Gambar 6 memperlihatkan bahwa rumput laut di dunia diproduksi oleh 9 negara utama penghasil rumput laut dan selama enam tahun terakhir Negara China menjadi produsen utama rumput laut dunia dengan produksi rata-rata persen. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi peringkat kedua produsen rumput laut dunia dengan produksi sebesar ton. Sejak tahun 2005, produksi rumput laut dunia mencapai ton, akan tetapi pada tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu produksi rumput laut dunia mencapai ton. Perkembangan produksi rumput laut yang demikian tinggi mencerminkan adanya peluang dan permintaan yang semakin besar di pasar internasional.

81 Ekspor Rumput Laut Dunia Ekspor rumput laut dunia selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun kenaikan ini tidak sejalan dengan peningkatan produksi. Pada periode tahun , rata-rata pertumbuhan eskpor rumput laut dunia sebesar 7.05 persen dengan trand yang meningkat, dengan ekspor tertinggi pada tahun 2009 sebesar ton. Gambar 7 di bawah ini memperlihatkan perkembangan ekspor rumput laut dunia periode tahun Sumber : FAO, 2011 (diolah) Gambar 7. Perkembangan Ekspor Rumput Laut Dunia Periode Tahun Selama 5 tahun terakhir ( ), ekspor rumput laut dunia di dominasi oleh negara-negara Asia seperti Philpina, Chili, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, dimana ekspor terbesar berasal dari Philpina yang mampu mengekspor sebanyak ton dari total produksi dunia. Indonesia sebagai negara produsen rumput laut dunia terbesar hanya mampu mengekspor sebesar ton jauh di bawah Philpina. Hal ini disebabkan karena banyaknya rumput laut Indonesia yang ditolak karena tidak memenuhi standar rumput laut internasional (Kementrian Perdagangan, 2011).

82 Perkembangan Rumput Laut di Indonesia Produksi Rumput Laut Indonesia Luas perairan laut Indonesia serta keragaman jenis rumput laut merupakan gambaran potensi rumput laut Indonesia. Dari 782 jenis rumput laut di perairan, hanya 18 jenis dari 5 genus yang sudah diperdagangkan. Dari kelima marga tersebut hanya genus Eucheuma dan Gracilaria yang sudah dibudidayakan. Wilayah sebaran budidaya genus Eucheuma berada di Sumatera Barat (Kabupaten Pesisir Selatan dan Mentawai), Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Pulau Seribu, Jawa Tengah, NTT, NTB, Pulau Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua (Anggadiredja dan Achmad, 2009). Rumput laut Eucheuma sp. Mulai dibudidayakan secara masal pada tahun 1984 di Nusa Dua, Nusa Penida, Nusa Tenggara Barat. Jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Eucheuma spinosum dengan bibit lokal dan Eucheuma cottoni dengan bibit asal Philpina. Sesuai dengan perkembangan pasar, saat ini yang lebih banyak dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottoni. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (2011), total luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut adalah sebesar hektar dengan tingkat produktivitas 128 ton berat basah per hektar per tahun atau 16 ton berat kering per hektar per tahun, sehingga potensi produksi rumput laut Indonesia adalah ton berat kering per tahun. Perkembangan produksi rumput laut Indonesia tahun dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Produksi Rumput Laut Indonesia Jenis Eucheuma cottoni Tahun No Tahun Produksi (Ton) % Δ Rata-Rata Pertumbuhan Tahun Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011

83 63 Tabel 6 memperlihatkan bahwa Total produksi rata-rata rumput laut sebesar ton per tahun atau rata-rata peningkatan produksi sebesar persen per tahun ( ). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sebagai produsen utama rumput laut dunia Ekspor dan Impor Rumput Laut Indonesia Ekspor rumput laut Indonesia di perdagangan dunia mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh belum stabilnya perdagangan rumput laut Indonesia di pasaran internasional karena berbagai hal diantaranya kualitas rumput laut Indonesia yang belum memenuhi standar kualitas yang diinginkan oleh negaranegara importir seperti Jepang dan China, sehingga hal tersebut juga mempengaruhi ketidakstabilan harga rumput laut Indonesia yang semakin rendah. Volume eskpor rumput laut Indonesia periode mengalami fluktuasi akan tetapi semakin meningkat dengan rata-rata volume ekspor sebesar per tahun atau rata-rata peningkatan sebesar persen per tahun. Adapun negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia terlihat pada Tabel 7 adalah China, Hongkong, Jepang, Denmark, USA, Korea Selatan, dan Perancis, Spanyol, Taiwan dan Inggris (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Tabel 7. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia ke Negara Tujuan Tahun Negara Volume Ekspor Per Tahun (Ton) Tujuan Total China Jepang Korea Hongkong Spanyol Prancis Denmark USA Taiwan Inggris Negara Lain Tot. Ekspor Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010a

84 64 Tabel 7 memperlihatkan bahwa Negara China, Jepang dan Korea merupakan negara tujuan ekspor terbesar berdasarkan volume ekspor rumput laut Indonesia di negara tujuan ekspor tersebut sejak tahun Akan tetapi sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia dalam bentuk bahan baku kering (raw material) dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri untuk dijadikan agar-agar. Permintaan untuk ekspor yang tinggi dan terus meningkat mengakibatkan ketidakseimbangan antara ekspor dengan industri pengolahan dalam negeri. Industri pengolahan dalam negeri masih kekurangan bahan baku sehingga perlu dilakukan impor dari beberapa negara seperti Jepang, Korea, Cina, Eropa dan Amerika Latin. Umumnya impor rumput laut dilakukan dalam bentuk yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut seperti agar-agar. Disamping itu terdapat beberapa jenis rumput laut yang tidak dapat tumbuh di perairan Indonesia seperti jenis Nori (Phorphyra sp.). Rumput laut ini diimpor dan dimanfaatkan sebagai edible seaweeds (tidak diekstrak), yaitu sebagai pembungkus makanan (lemper) atau langsung dapat dimakan sebagai penyedap makanan. Selain itu, Nori juga dimanfaatkan sebagai campuran berbagai obat-obatan. Oleh karena itu, impor rumput laut adalah pada produk akhir seperti karagenan, alginat ataupun agar-agar (Anggadiredja dan Achmad, 2009). Impor rumput laut jenis lainnya dan produk olahan seperti agar-agar dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Rumput Laut dan Agar-Agar Indonesia Tahun Rumput Laut Jenis Lainnya Agar-Agar No Tahun Volume (Kg) Nilai (1000 US$) Volume (Kg) Nilai (1000 US$) Pertumbuhan (%) Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010b

85 65 Tabel 8 memperlihatkan bahwa impor rumput laut jenis lainnya (selain Eucheuma cottoni dan Gracilaria sp) mengalami pertumbuhan sebesar 9.08 persen setiap tahunnya, hal ini mengindikasikan bahwa impor rumput laut setiap tahunnya meningkat. Demikian pula dengan produk olahan agar-agar, dimana industri pengolahan agar-agar masih mengimpor rata-rata kg per tahun dengan nilai US$ per tahun Harga Rumput Laut Indonesia Perkembangan harga rumput laut di pasar dunia mengalami fluktuasi. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya jumlah volume ekspor, bentuk rumput laut dan yang paling penting adalah kualitas rumput laut yang sesuai standar yang ditetapkan dalam perdagangan internasional. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) menunjukkan perkembangan harga rumput laut Indonesia yang fluktuatif, bahkan termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara eksportir lainnya. Adapun perkembangan harga rumput laut Indonesia di pasar dunia dapat dilihat pada Gambar 8. Sumber : Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah). Gambar 8. Perkembangan Harga Rumput Laut Indonesia di Pasar Dunia Periode

86 66 Gambar 8 memperlihatkan bahwa persentase perkembangan harga rumput laut Indonesia meningkat yaitu sebesar persen dengan rata-rata pertumbuhan sebesar US$ per tahun. Menurut UnComtrade (2010), bahwa harga rumput laut di pasaran internasional cukup rendah dibandingkan dengan negara eksportir seperti Philpina dengan harga mencapai US$ per ton dan Marocco sebesar US$ per ton. Perbedaan ini dikarenakan sebagian besar rumput laut Indonesia masih dalam bentuk raw material (bahan baku) dengan kualitas yang rendah.

87 67 VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk dari luar. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input maupun output. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang diminta oleh produsen (privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perbedagangan bebas. Kebijakan pemerintah yang diberlakukan pada input maupun output adalah kebijakan subsidi dan pajak serta hambatan berupa tarif dan kuota (Anindita dan Michael, 2008) Kebijakan Terhadap Input Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah subsidi positif. Subsidi positif adalah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada penyedia tunggal suatu barang. Pada kegiatan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke, subsidi positif terdapat pada input solar, sedangkan untuk input lain seperti bibit, tenaga kerja, tali utama, pelampung dan peralatan lainnya tidak terdapat subsidi. Pemberian subsidi bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usahatani rumput laut sehingga akan diperoleh peningkatan produksi yang optimal. Harga BBM dalam hal ini adalah solar berlaku sama diseluruh Indonesia yaitu Rp per liter. Undang- Undang No.8 Tahun 1971 menyatakan bahwa subsidi BBM diberikan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai konsekuensi dari penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah. Pertamina melaksanakan tugas sebagai penyedia dan pelayanan BBM untuk keperluan dalam negeri sebagai tugas pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi subsidi ini secara bertahap akan dikurangi. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001, dimana dijelaskan bahwa penugasan khusus pertamina untuk menyediakan BBM dalam negeri akan berakhir tahun 2005 (Nugroho, 2004).

88 Kebijakan Terhadap Output Salah satu kebijakan pemerintah yang ditetapkan pada suatu komoditas adalah kebijakan perdagangan. Kebijakan perdagangan terdiri atas kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan perdagangan yang diberlakukan pada usahatani rumput laut adalah kebijakan ekspor. Kebijakan ekspor bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia. Kebijakan perdagangan untuk komoditi ekspor dilakukan melalui penetapan pajak ekspor baik per unit barang yang di ekspor maupun secara keseluruhan dan pembatasan jumlah ekspor (kuota ekspor). Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor Indonesia, Departemen Perdagangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.558/MPP/Kep/12/1998 jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 01/M-DAG/PER/1/2007 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor. Dalam keputusan ini ditetapkan tiga kategori tata niaga ekspor yaitu komoditi yang diatur, diawasi dan dilarang ekspornya. Komoditi rumput laut tidak termasuk dalam keputusan ini melainkan termasuk dalam kelompok barang yang bebas tata niaga ekspornya, artinya setiap badan kategori usaha atau perorangan dapat melakukan kegiatan ekspor apabila telah memiliki SIPU, TDP dan NPWP. Meskipun komoditi rumput laut masuk dalam komoditi yang bebas tataniaga ekspornya, tetap memerlukan perhatian yang serius terutama dalam kebijakan tentang penetapan standar mutu produk mulai dari hulu sampai ke hilir (Supply Chain). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas rumput laut yang akan di ekspor sebab negara tujuan ekspor khususnya negara-negara maju sangat memperhatikan keamanan pangan yang terkait Sanitary dan Phytosanitary (SPS) dan dapat menjadi hambatan non tarif bagi negara pengekspor seperti Indonesia. Kebijakan ekspor yang perlu mendapat perhatian adalah Laboratorium Penguji Mutu baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta (Kementrian Perindustrian dan Perdagangan, 2010). Berdasarkan kebijakan pemerintah dalam hal ekspor rumput laut, pada tahun 2010 hingga akhir 2011, pemerintah Indonesia memberlakukan pajak ekspor rumput laut khusus ke Negara China sebesar 30 persen. Hal ini dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi ekspor bahan baku rumput laut

89 69 kering ke Negara China secara besar-besaran, selain itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan pajak ekspor tersebut berdampak terhadap volume ekspor yang menurun terutama ke negara China dan harga rumput laut dalam negeri menjadi rendah akibat banyaknya bahan baku rumput laut kering yang tidak terserap oleh pasar domestik akibat industri pengolahan rumput laut dalam negeri masih kurang. Oleh karena itu pada akhir tahun 2011 hingga sekarang, Kementerian perdagangan memutuskan untuk tidak memberlakukan kebijakan tersebut sehingga pajak ekspor rumput laut kering tetap nol persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi intervensi dalam perdagangan output rumput laut, sehingga mekanisme harga rumput laut domestik lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Meskipun komoditi rumput laut termasuk dalam komoditi yang bebas tata niaga ekspornya, kebijakan yang penting mendapat perhatian adalah kebijakan tentang standar mutu produk. Kebijakan ini ditempuh untuk memenuhi keinginan negara-negara pengimpor rumput laut dari Indonesia sehingga sesuai standar yang ditetapkan. Kebijakan pemerintah dalam mengurangi hambatan non tarif seperti Sanitary dan Phynosanitary (SPS) serta Technical Barrier To Trade (TBT) yang terkait dengan regulasi teknis, standar dan prosedur konformitas dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59/M-DAG/PER/2010 tentang penerbitan Certificate of Legal Origin (CoLo) untuk barang ekspor termasuk rumput laut. Sertifikat CoLo ini diterbitkan oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini dalam rangka mencapai ekuivalen dengan peraturan negara tujuan ekspor. Kebijakan ini menyebabkan biaya kegiatan ekspor terutama biaya legalisasi dokumen ekspor menjadi tinggi dan membutuhkan waktu yang lama Kebijakan Revitalisasi Rumput Laut Indonesia merupakan salah satu negara eksportir rumput laut dunia, akan tetapi beberapa tahun terakhir ini mengalami kemunduran akibat semakin berkurangnya jumlah dan nilai ekspor rumput laut. Pencapaian produksi belum

90 70 diimbangi oleh pengembangan mata rantai pemasaran rumput laut seperti penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi belum konsisten. Harga rumput laut yang tidak menentu di pasar internasional, kualitas rumput laut yang kurang memenuhi standar dunia dan permintaan yang inelastis sehingga persaingan rumput laut dunia semakin ketat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat dalam pengembangan rumput laut di Indonesia. Kebijakan pengembangan rumput laut meliputi kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau lokal. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mengacu pada kebijakan pemerintah pusat, sehingga kebijakan tersebut dapat bersinergi dengan program lainnya dan berkesinambungan. Adapun kebijakan nasional pengembangan rumput laut yang telah dan akan dilaksanakan adalah : (1) kebijakan peningkatan produksi rumput laut, (2) kebijakan peningkatan produk derivatif rumput laut, (3) kebijakan kelembagaan, dan (4) kebijakan intensifikasi pasar. Kebijakankebijakan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1. Kebijakan peningkatan produksi rumput laut melalui : a. Mengoptimalkan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut. b. Mengembangkan jumlah unit lahan budidaya pada kawasan-kawasan strategis dan potensial pengembangan rumput laut di Indonesia melalui klaster budidaya rumput laut untuk kawasan Indonesia bagian Barat (Aceh, Kepri, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jatim, Jabar dan Jateng), kawasan Indonesia bagian Tengah (Bali, NTB, NTT, Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel) sedangkan kawasan Indonesia Timur meliputi Maluku dan Papua. c. Mengembangkan input teknologi budidaya yang secara langsung berdampak pada peningkatan jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi. d. Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut. e. Kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut f. Penyediaan pendanaan perbankan nasional seperti pemberian kredit usahatani dan pengembangan UMKM 2. Kebijakan Peningkatan Produk Derivatif Rumput Laut

91 71 a. Memperbanyak jumlah industri pengolah rumput laut penghasil ekstrak (chip) dan bubuk (powder) dalam negeri melalui nota kesepahaman pengembangan kawasan budidaya dan industri rumput laut di 7 provinsi yaitu Propinsi NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Maluku, MalukuUtara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Nota kesepahaman tersebut melibatkan 6 lembaga/kementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PDT, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. b. Peningkatan kegiatan penelitian untuk menciptakan diversifikasi produk rumput laut c. Pengembangan teknologi berbasis mutu dan keamanan pangan 3. Kebijakan Kelembagaan a. Membangun kerjasama, sinergitas, persamaan persepsi dan tanggungjawab antara seluruh steakholder dalam upaya pengembangan rumput laut nasional melalui Forum Budidaya Rumput Laut dan menjadikan Forum rumput laut nasional sebagai agenda tahunan. b. Pengembangan dan pemantapan hubungan kerja Asosiasi Petani dan pengusaha Rumput Laut Indonesia (ASPERLI) dengan pemerintah pusat maupun daerah. c. Pengembangan kelembagaan penunjang seperti koperasi yang dikelola secara professional di kawasan pengembangan rumput laut untuk menjamin pergerakan rantai pasok (Suply Chain). d. Membentuk kemitraan usaha melalui pola inti plasma atau CSR (Cooperate Social Responsibility) 4. Kebijakan Intensifikasi Pasar a. Pengembangan jaringan pemasaran dalam negeri dan ekspor b. Promosi produk-produk rumput laut Indonesia, baik dalam bentuk raw material (rumput laut kering) dengan standar mutu yang berkualitas maupun produk turunan rumput laut. c. Melakukan ekspansi pasar ke negara-negara yang bukan merupakan negara tujuan ekspor untuk memperluas pasar ekspor

92 Kebijakan Pemerintah Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu penghasil rumput laut terbesar di Indonesia dan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat juga melaksanakan revitalisasi rumput laut yang bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi rumput laut, memperbanyak produk turunan sehingga nilai jualnya lebih tinggi dan mengintensifkan negara tujuan ekspor rumput laut (Berita Daerah, 2009). Provinsi Sulawesi Selatan sebagai sentra pengembangan budidaya rumput laut, sejak tahun 2009, kegiatan program pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan budidaya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pengembangan komoditas diantaranya : (1) pengembangan budidaya rumput laut, (2) peningkatan kualitas rumput laut, (3) peningkatan pemasaran, (4) peningkatan strategi regulasi, dan (5) peningkatan permodalan. Pengembangan komoditas tersebut di atas dirinci sebagai berikut : 1. Pengembangan Budidaya Rumput Laut a. Penyaluran paket penguatan modal pengembangan budidaya di 8 kabupaten (Bulukumba, Pangkep, Wajo, Barru, Maros, Pinrang, Luwu dan Takalar) sebanyak 57 paket. b. Penyaluran sarana produksi berupa bibit, tali no. 9, no. 5 dan pelampung di 8 kabupaten. 2. Peningkatan Kualitas Rumput laut a. Penyediaan dan ketersediaan jumlah bibit rumput laut berkualitas dengan harga murah. b. Pelatihan sertifikasi penangkaran bibit rumput laut kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi petani dan pedagang 3. Peningkatan Pemasaran a. Membangun komitmen dan kesadaran para pelaku pada tingkat pedagang pengumpul terhadap kualitas SNI rumput laut. b. Membangun dan memfungsikan lembaga pengawas mutu sehingga tindakan penyimpangan dalam pemenuhan mutu dapat dihindari. 4. Peningkatan Strategi Regulasi

93 73 Pengaturan agribisnis rumput laut (sea plan) hendaknya difokuskan pada penetapan suatu peraturan tentang penetapan penggunaan wilayah perairan pantai khususnya peruntukan budidaya rumput laut oleh masyarakat. Perencanaan laut (sea plan) untuk memberikan kesejalasan bagi masyarakat dalam mengembangkan wilayah pantai agar tidak berbenturan dengan rencana pembangunan daerah misalnya rencana untuk pengembangan daerah wisata pantai tidak berbenturan dengan kegiatan masyarakat yang akan mengembangkan budidaya rumput laut. 5. Peningkatan Permodalan Permodalan bagi para petani/nelayan rumput laut adalah pemberdayaan kepada aksebilitas pada lembaga keuangan mikro, sehingga petani/nelayan mampu memiliki usaha budidaya rumput laut secara mandiri. Kenyataan dilapangan menunjukkan banyak petani/nelayan rumput laut sangat bergantung kepada pedagang pengumpul karena adanya ikatan pelunasan utang yang telah dijanjikan sehingga mereka tak pernah menjadi pemilik usaha secara mandiri. Keberadaan lembaga keuangan mikro berupa koperasi, BPR, BRI unit atau keberadaan BDS (Business Development Service) mempunyai peranan yang strategis dalam hal akses permodalan tersebut. Selain kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Sulawesi Selatan pada peningkatan industri hulu rumput laut, pemerintah juga menetapkan kebijakan untuk industri hilir atau industri pengolahan rumput laut yaitu : (1) sasaran pengembangan; dan (2) strategi pengembangan. Kebijakan tersebut dirinci sebagai berikut : 1. Sasaran Pengembangan Sasaran Jangka Menengah ( ) a. Meningkatnya areal tanaman rumput laut. b. Meningkatnya produktivitas tanaman rumput laut menjadi 3 ton kering/ha/2 bulan c. Tumbuhnya industri Semi Refined Carragenan (SRC). d. Tumbuhnya industri makanan dan kosmetik berbasis rumput laut. e. Meningkatnya akses pasar, khususnya pasar SRC. f. Meningkatnya brand image rumput laut Sulawesi Selatan.

94 74 Sasaran Jangka Panjang ( ) a. Budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian pokok masyarakat pesisir Sulawesi Selatan. b. Meningkatnya produktivitas tanaman menjadi 4 ton kering/ha/2 bulan. c. Semakin tumbuh dan berkembangnya industri SRC dan industri makanan dan kosmetik berbasis rumput laut. d. Tumbuhnya industri Refined Carragenan (RC). e. Semakin meluasnya akses pasar SRC, RC dan produk rumput laut dan Sulawesi Selatan merupakan penghasil SRC, RC terkemuka di dunia. 2. Strategi Pengembangan a. Peningkatan produktivitas tanaman rumput laut melalui pengembangan kultur jaringan, teknologi budidaya dan pengolahan pasca panen. b. Pengembangan teknologi proses untuk menghasilkan SRC, RC dan produk berbasis rumput laut. c. Penerapan berbagai standar.

95 75 VII. GAMBARAN WILAYAH, KARATERISTIK USAHATANI RUMPUT LAUT DAN RESPONDEN PENELITIAN 7.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Luas dan Letak Geografis Kepulauan Tanakeke Kepulauan Tanakeke dengan luas sekitar 37 Km 2 dan terletak pada sampai Bujur Timur dan sampai Lintang Selatan. Kepulauan Tanakeke terdiri atas 2 desa yaitu Desa Maccinibaji dan Desa Mattirobaji. Desa Maccinibaji memiliki luas wilayah 8.95 Km 2, yang terdiri dari 10 dusun yaitu: (1) Dusun Tompo Tanah sebagai pusat desa, (2) Ujung Tanah, (3) Cambaya, (4) Bangkotinggia, (5) Balangdatu Luar, (6) Balangdatu Dalam, (7) Bungung Lompoa, (8) Balang Loe, (9) Camba Loe, (10) Dande Dandere. Sedangkan Desa Mattirobaji terdiri dari 8 dusun yaitu : (1) Dusun Rewataya sebagai pusat desa, (2) Kalukuang, (3) Lantangpeo, (4) Labbutallua, (5) Bauluang, (6) Guntungan, (7) Satangnga, dan (8) Dayang-Dayangan, namun perkembangan rumput laut di Desa Mattirobaji tidak sebaik di Desa Maccinibaji, dimana hanya Dusun Rewataya, Lantangpeo, Labbutallua dan Kalukuang yang masyarakatnya membudidayakan rumput laut Budidaya Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Budidaya rumput laut di Kepulauan Tanakeke pada umumnya dilakukan dengan metode Rawai atau dikenal dengan Metode Tali Panjang (Long Line), setiap pancang ukurannya bervariasi dan jumlah bentangan disesuaikan dengan ukuran tiang pancang. Ukuran dari lahan budidaya rumput laut disebut dengan blok. Misalnya luas satu blok adalah 25 m X 10 m artinya panjang tali ris bentang 25 meter dengan jumlah tali bentangan 10 dengan jarak antara ris 1 meter. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk satu blok budidaya rumput laut terdiri dari tali ris bentang, tali utama atau tali jangkar, tali rafia, botol plastik (bekas botol air mineral) sebagai pelampung, patok, bibit rumput laut yang jumlahnya sesuai dengan jumlah bentangan yang akan dilaksanakan dan peralatan lainnya seperti pisau, keranjang dan sampan.

96 76 Penanaman bibit rumput laut dilakukan dengan cara mengikatkan bibit pada tali ris bentangan dengan jarak 25 cm sepanjang tali bentangan dan jarak antar bentangan antara meter dengan lama pemeliharaan hingga panen berkisar antara hari. Agar rumput laut tetap mengapung dan berada 10 cm di bawah permukaan laut maka tali ris bentangan diikatkan pelampung dari botol plastik. Hambatan dalam pemeliharaan rumput laut adalah adanya hama dan penyakit. Hama terberat rumput laut adalah jenis ikan terutama ikan baronang sedangkan penyakit yang sering menyerang rumput laut adalah busuk atau patah pada pangkal tanaman rumput laut. Panen rumput laut yang dilakukan oleh petani di Kepulauan Tanakeke adalah dengan mengambil sebagian hasil rumput laut yang ditanam dengan cara melepas tali plastik pengikatnya (tali rafia) dan sisanya untuk dijadikan bibit pada penanaman berikutnya, lalu diletakkan pada perahu yang telah disediakan.. Di dalam perahu, tali dilepaskan lalu diangkat ke darat, dimasukkan ke dalam karung kemudian ditimbang, setelah ditimbang basah lalu dijemur di jalan depan rumah yang hanya beralaskan jaring. Jika cuaca baik, panen dapat dilakukan pada pagi atau sore hari. Panen dilakukan selama 3-4 jam per orang untuk 2 3 blok dengan jumlah bentangan per blok terdiri atas bentangan. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa setiap bentangan tanaman dapat diperoleh hasil berat basah sekitar 42 kg. Rumput laut yang masih basah ditebar merata diatas di atas jaring dan langsung dijemur di sinar matahari.dan sebagian ada yang menjemur rumput laut diatas para-para/rak bambu. Cara pengeringan dengan menggunakan jaring tersebut dilakukan oleh sekitar 95 persen petani rumput laut. Cara tersebut kurang menjamin kebersihan rumput laut karena langsung bersentuhan dengan tanah meskipun menggunakan para-para dari bambu. Lama pengeringan antara 2 3 hari apabila cuaca panas atau terik, atau setelah rumput laut berubah warna dari hijau tua menjadi kebiru-biruan sampai hijau gelap, diperkirakan rendemen rumput laut dari basah ke kering adalah 28 persen dengan kandungan air antara persen. Rumput laut yang sudah kering kemudian ditumpuk di bawah kolong rumah petani dalam keadaan terbuka sehingga kelembabannya tetap stabil.

97 77 Untuk lebih jelasnya mengenai proses produksi rumput laut di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Gambar 9. a. Penanaman Rumput Laut b. Panen Rumput Laut c. Pengangkutan Hasil Panen d. Proses Pengeringan e. Proses Penimbangan f. Proses Pengepakan Gambar 9. Proses Produksi Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke Persyaratan Lokasi dan Lahan Persyaratan kondisi perairan bagi budidaya rumput laut relatif sama dengan usaha budidaya laut lainnya. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut. Menurut Indriani dan Sumiarsih (1999), beberapa syarat pemilihan lokasi budidaya rumput laut antara lain : (1) lokasi budidaya rumput laut harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas (kadar garam) yang besar yaitu sekitar ppt, (3) lokasi budidaya harus mempunyai gerakan air yang cukup. Kecepatan arus yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp cm/detik, (4) dasar perairan budidaya Eucheuma sp adalah dasar perairan karang berpasir, (5) pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 30 cm, (6) kejernihan air tidak kurang dari 5 m dengan jarak pandang secara horizontal, (7) suhu air berkisar o C dengan fluktuasi harian maksimal 4 o C, (8) ph air antara 7-9 dengan kisaran optimum , (9) lokasi dan lahan

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 59 V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 5.1. Perkembangan Rumput Laut Dunia Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia 41 V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT 5.1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Dunia 5.1.1. Produksi Rumput Laut Dunia Indonesia dengan potensi rumput laut yang sangat besar berpeluang menjadi salah

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT

VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT 67 VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe Jurnal EKONOMI PEMBANGUNAN Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 141 147 EFISIENSI EKONOMI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PENANGKAPAN LEMURU DI MUNCAR, JAWA TIMUR Mira Balai Besar Riset

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO COMPETITIVENESS ANALYSIS OF SHALLOTS AGRIBUSINESS IN PROBOLINGGO REGENCY Competitiveness analysis of shallot business in Probolinggo

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional. Dalam era perdagangan bebas saat ini, daya

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Denti Juli Irawati*), Luhut Sihombing **), Rahmanta Ginting***) *) Alumni

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut,

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 58 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KAIN TENUN SUTERA PRODUKSI KABUPATEN GARUT Dewi Gustiani 1 dan Parulian Hutagaol 2 1 Alumni Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen - IPB

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FANNYTA YUDHISTIRA A !. KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI KAKAO (Kasus di Perkebunan Rajamandala, P1P X1~ Kabupaten 8andung, Jawa Barat) FANNYTA YUDHISTIRA A 29.1599 JURUSAN ILMU-ILMU

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN:

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: TATANIAGA RUMPUT LAUT DI KELURAHAN TAKKALALA, KECAMATAN WARA SELATAN KOTA PALOPO PROVINSI SULAWESI SELATAN MUHAMMAD ARHAN RAJAB Email : arhanuncp@gmail.com Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING BUAH STROBERI DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga)

ANALISIS DAYA SAING BUAH STROBERI DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga) ANALISIS DAYA SAING BUAH STROBERI DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR 350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case Study: Bahal Batu III Village, Siborong-borong Subdistrict)

ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case Study: Bahal Batu III Village, Siborong-borong Subdistrict) ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA ( Studi Kasus : Desa Bahal Batu III, Kecamatan Siborong-Borong) ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun 2012... 5 2. Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2012... 6 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi manggis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.a. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap produksi usahatani jagung

Lebih terperinci

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR

PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR PENGARUH BANTUAN PINJAMAN LANGSUNG MASYARAKAT TERHADAP PENDAPATAN DAN EFISIENSI USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR Oleh: MARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR Dede Haryono 1, Soetriono 2, Rudi Hartadi 2, Joni Murti Mulyo Aji 2 1 Program Studi Agribisnis Program Magister

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang paling potensial dikembangkan di Indonesia dan juga merupakan salah satu produk unggulan pemerintah dalam mencapai visi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS Competitiveness Analysis of Tilapia Grower Business of Small Farmers in Musi Rawas Regency Verry Yarda Ningsih,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Oleh : AYU LESTARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Oleh : AYU LESTARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA Oleh : AYU LESTARI A14102659 PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Lebih terperinci

ANALISIS SENSITIVITAS

ANALISIS SENSITIVITAS VII ANALISIS SENSITIVITAS 7.1. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang rupiah, harga jeruk siam dan harga pupuk bersubsidi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN. Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN. Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang

Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang 131 Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II No Jenis Uji Satuan 1 Cemaran Binatang 2 Warna 3 Kadar Benda Asing (b/b) 4 Kadar Biji Enteng (b/b) 5 Kadar Cemaran Kapang 6 Kadar Warna Kehitam-hitaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang devisa negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING RUMPUT LAUT INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

ANALISIS DAYA SAING RUMPUT LAUT INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL ANALISIS DAYA SAING RUMPUT LAUT INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL SKRIPSI MARK MAJUS RAJAGUKGUK H34066078 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ANALISIS

Lebih terperinci

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih 1.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA Kustiawati Ningsih Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura, Kompleks Ponpes Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan,

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas yang diunggulkan di sektor kelautan dan perikanan.. Tujuan

I. PENDAHULUAN. komoditas yang diunggulkan di sektor kelautan dan perikanan.. Tujuan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi pasar dan liberalisasi investasi, peran sektor pertanian menjadi semakin penting dan strategis sebagai andalan bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah memberikan sumbangan yang nyata dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

OLEH: MIRA CLENIA Peneliti pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

OLEH: MIRA CLENIA Peneliti pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2008, Hal. 31 38 ISSN: 1412-3126 Vol. 15, No.1 ANALISIS RASIO BIAYA SUMBERDAYA DOMESTIK USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI INDONESIA. OLEH: MIRA CLENIA Peneliti pada Balai

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITI LADA PUTIH

ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITI LADA PUTIH ANALISIS DAYA SAING PENGUSAHAAN KOMODITI LADA PUTIH (Muntok White Pepper) (Kasus di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung) Oleh: SUDARLIN A14105609 PROGRAM SARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima tahun ke depan (2010-2014), Kementerian Pertanian akan lebih fokus pada

Lebih terperinci

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI I Made Tamba Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Jagung, ketela pohon

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR IKAN LAUT SEGAR DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN BAJOMULYO - JUWANA KABUPATEN PATI. Oleh : Hendi Koeshandoko

KAJIAN SISTEM PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR IKAN LAUT SEGAR DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN BAJOMULYO - JUWANA KABUPATEN PATI. Oleh : Hendi Koeshandoko KAJIAN SISTEM PEMASARAN DAN KETERPADUAN PASAR IKAN LAUT SEGAR DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN BAJOMULYO - JUWANA KABUPATEN PATI Oleh : Hendi Koeshandoko PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c.

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 104.000 km serta memiliki 17.504 pulau. Wilayah laut Indonesia membentang luas

Lebih terperinci