MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK"

Transkripsi

1 MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modifikasi Tepung Pisang (Musa paradisiaca formatypica) Melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2010 Fatimah Abdillah F

3 3 ABSTRACT Fatimah Abdillah. Modification of Tanduk Banana (Musa paradisiaca Formatypica) Flour Through Spontaneous Fermentation and Autoclaving to Increase Resistant Starch. Supervised by Betty Sri Laksmi Jenie and Feri Kusnandar Banana is known as tropical fruit and contains mainly carbohydrate especially starch. The objective of this study was to increase the resistant starch content of banana flour through spontaneous fermentation of banana chips and several cycles of autoclaving-cooling. During fermentation, microbial growth of three groups of microorganism, amylolytic, mesophilic microorganism and lactic acid bacteria (BAL) reached up to 9 log cfu/ml. Spontaneous fermentation of banana chips for 24 hours followed by one cycle autoclaving-cooling increased the resistant starch content of banana flour, from 6.38% (db) to 15.24% (db). Autoclaving-cooling of banana chips by two cycles without fermentation also significantly increased the resistant starch content (15.90%). However, longer fermentation time (48 hours) followed by one cycle autoclaving-cooling produced lower resistant starch content than 24 hour fermentation. Repetition of autoclaving-cooling by three cycles also did not increase resistant starch content and on the contrary decreased the content. The increase or decrease of resistant starch content of the modified banana flour were also followed by the decrease or increase respectively of starch digestibility. Viability test showed that three probiotic strains (Lactobacillus acidophillus, L. plantarum sa28k and L. fermentum 2B4) were able to grow in considerable number on the modified banana flour indicating that the flour might have prebiotic potentiality. Key words : banana flour, fermentation, autoclaving, resistant starch

4 4 RINGKASAN Fatimah Abdillah. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiaca Formatypica) Melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. Dibimbing oleh Betty Sri Laksmi Jenie dan Feri Kusnandar. Pisang tanduk merupakan sumber karbohidrat dengan kadar pati yang tinggi sehingga dapat dimodifikasi menjadi tepung yang memiliki sifat fungsional. Modifikasi pati untuk meningkatkan kadar pati resisten dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan pemanasan otoklaf dan dalam kondisi asam dengan penambahan asam laktat. Bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik dapat mendegradasi pati sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan memproduksi asam laktat yang diharapkan dapat membantu pembentukan pati resisten pada saat pemanasan otoklaf. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan irisan pisang dan mengetahui pengaruh fermentasi spontan yang dikombinasikan dengan pemanasan otoklaf berulang terhadap kadar pati resisten, menentukan jumlah siklus pemanasan berulang yang paling optimum untuk produksi pati resisten, mengetahui potensi prebiotik tepung pisang yang dihasilkan melalui uji viabilitas probiotik dan mengetahui sifat fungsional lain dari tepung pisang modifikasi meliputi daya cerna pati in vitro dan serat pangan total. Fermentasi spontan irisan pisang dilakukan dengan cara merendam irisan pisang di dalam air yang telah disterilkan terlebih dahulu dengan perbandingan bahan dan air 1:2 selama 24 dan 48 jam. Proses modifikasi kombinasi fermentasi dan siklus pemanasan dilakukan dengan mengkombinasikan lama fermentasi 24 dan 48 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf. Modifikasi dengan siklus pemanasan otoklaf dilakukan dengan cara menerapkan satu, dua dan tiga siklus pemanasan otoklaf pada irisan pisang. Selama fermentasi spontan irisan pisang tanduk dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme amilolitik, mesofilik dan bakteri asam laktat serta perubahan kadar pati dan amilosa dari tepung pisang yang dihasilkan. Fermentasi spontan irisan pisang selama 80 jam menurunkan kadar pati dan amilosa dari tepung pisang yang dihasilkan, dimana pertumbuhan mikroorganisme yang ada dapat mencapai 8 hingga 9 log cfu/ml. Kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang dua kali lebih besar (15.24%) daripada kadar pati resisten kontrol (6.38%) dan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan dua siklus pemanasan otoklaf (15.90%). Daya cerna pati in vitro dan serat pangan mengalami peningkatan masing-masing menjadi 60.85% dan 7.72%. Fermentasi spontan yang lebih lama (48 jam) yang dikombinasikan dengan satu siklus pemanasan otoklaf menghasilkan daya cerna pati in vitro (82.23%) yang lebih tinggi dan kadar pati resisten yang lebih rendah dibandingkan fermentasi 24 jam. Hasil siklus pemanasan otoklaf yang diulang hingga dua kali menunjukkan terjadinya peningkatan kadar pati resisten (15.90%) dan kadar serat pangan total

5 5 (8.20%) dari tepung pisang tanduk yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan kedua hasil analisis tersebut berbeda nyata (p<0.05) dengan tepung pisang kontrol. Pengulangan siklus pemanasan otoklaf hingga dua kali menghasilkan daya cerna pati in vitro (41.35%) yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kontrol (40.15%), tetapi pada tiga kali siklus pemanasan otoklaf terjadi peningkatan daya cerna pati in vitro (52.61%) yang berbeda nyata (p<0.05) dengan kontrol (40.15%). Hasil uji viabilitas BAL dengan menggunakan tiga isolat BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophilus, L. plantarum sa28k dan L. fermentum 2B4 menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi (TPM) hasil kombinasi satu siklus pemanasan otoklaf baik dengan maupun tanpa fermentasi ditunjukkan oleh meningkatnya pertumbuhan probiotik tersebut selama inkubasi 24 jam sebanyak 1-2 log cfu/ml. Kata kunci: tepung pisang, fermentasi, pemanasan otoklaf, pati resisten

6 6 Judul Tesis Nama NIM : Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiaca Formatypica) Melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten : Fatimah Abdillah : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. Ketua Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ratih Dewanti, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 19 Februari 2010 Tanggal Lulus:

7 7 MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 8 PRAKATA Alhamdulillahi robbil alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan kasih-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan tesis ini. Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan baik secara moral maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dukungan penuh kedua orang tua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan bantuan baik moril maupun material kepada penulis. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas arahan dan bimbingannya dalam membantu kelancaran penelitian dan penulisan tesis. 3. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. yang telah bersedia menjadi dosen penguji. 4. Teman-teman terbaik yang ada dan mendukung perjalanan menuju kelulusan, anggota proyek hibah stranas, teknisi laboratorium yang telah mendukung kelancaran kegiatan penelitian hingga akhir, seluruh teman IPN, khususnya angkatan tahun 2007, yang saling membantu dan menyemangati, serta semua pihak yang turut membantu penulis selama kuliah sampai dengan penulisan tesis ini. Bogor, Februari 2010 Fatimah Abdillah

9 9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 8 April 1985 sebagai anak kedua dari pasangan Ir. Surono Abdullah dan Ir. Elly Husrani. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) Ilmu dan Teknologi Pangan di Institut Pertanian Bogor. Tahun 2006/2007 penulis aktif sebagai anggota dari tim peneliti hibah Insentif Riset Dasar KNRT dengan judul Penapisan Inhibitor ß-Laktamase dari Mikroorganisme Simbion Axinella sp.. Tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

10 10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman i iii iv v I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis 4 II. Tinjauan Pustaka 2.1. Pisang Tepung Pisang Modifikasi Pati Pati Resisten Serat Pangan 16 III. Metode Penelitian 3.1. Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Analisis Fisikokimia Analisis Mikrobiologi Pengujian Sifat Prebiotik Pati Resisten Tepung Pisang Modifkasi Analisis Statistik Rancangan Penelitian 31 IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Seleksi Jenis Pisang Perubahan Mikroflora dan Sifat Kimia Selama Fermentasi Spontan Perubahan Mikroflora Selama Fermentasi Spontan Perubahan Kadar Pati Selama Fermentasi Spontan Perubahan Kadar Amilosa Selama Fermentasi Spontan Modifikasi Tepung Pisang Melalui Kombinasi Fermentasi Spontan dan Satu Siklus Pemanasan Otoklaf Kadar Pati Resisten Kadar Pati Kadar Amilosa Daya Cerna Pati In Vitro Kadar Serat Pangan Total Modifikasi Tepung Pisang Melalui Pemanasan Otoklaf Berulang Kadar Pati Resisten Kadar Pati Kadar Amilosa 49

11 Daya Cerna Pati In Vitro Kadar Serat Pangan Total Viabilitas Bakteri Asam Laktat pada Tepung Pisang Modifikasi Lactobacillus acidophillus sp Lactobacillus plantarum sa28k Lactobacillus fermentum 2B4 55 V. Simpulan dan Saran 5.1. Simpulan Saran 57 Daftar Pustaka 58 Daftar Lampiran 65

12 12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi pati pisang olahan/plantain 6 2 Sifat fisikokimia tepung pisang nangka, siam dan uli 7 3 Komposisi kimia tepung pisang dari berbagai tingkat kematangan 8 4 Komposisi kimia proksimat dan karakteristik kimia tepung pisang muda yang dikeringkan dengan empat metode pengeringan 9 5 Komposisi kimia pati pisang alami (native), diasamkan (lintnerized) dan yang diotoklaf (autoclaved) 14 6 Sifat kimia dan fisik empat jenis pisang lokal 33

13 13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pembuatan tepung pisang modifikasi kombinasi fermentasi dan satu siklus pemanasan otoklaf 21 2 Empat jenis pisang lokal 32 3 Irisan pisang dan tepung pisang alami 32 4 Fermentasi spontan irisan pisang tanduk 34 5 Pertumbuhan mikroorganisme mesofilik, bakteri asam laktat dan amilolitik selama fermentasi spontan pada pisang 35 6 Perubahan nilai ph selama fermentasi spontan 36 7 Perubahan kadar pati tepung pisang selama fermentasi spontan 37 8 Perubahan kadar amilosa tepung pisang selama fermentasi spontan 38 9 Irisan pisang dan tepung pisang hasil pemanasan otoklaf Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati resisten tepung pisang Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati tepung pisang Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar amilosa tepung pisang Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap daya cerna pati tepung pisang Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar serat pangan total tepung pisang Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati resisten tepung pisang Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati tepung pisang Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar amilosa tepung pisang Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap daya cerna pati tepung pisang Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar serat pangan total tepung pisang Viabilitas L. acidophillus sp. pada beberapa media TPM Viabilitas L. plantarum sa28k pada beberapa media TPM Viabilitas L. fermentum 2B4 pada beberapa media TPM 56

14 14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kadar amilosa tepung pisang modifikasi 65 2 Kadar amilosa tepung pisang modifikasi (lanjutan) 66 3 Kadar amilosa tepung pisang selama fermentasi spontan 67 4 Kadar pati tepung pisang selama proses fermentasi spontan 68 5 Kadar pati tepung pisang modifikasi 69 6 Daya cerna pati in vitro tepung pisang modifikasi 70 7 Kadar serat pangan total tepung pisang modifikasi 71 8 Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi 72 9 Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (lanjutan) Hasil uji viabilitas bakteri asam laktat Hasil pengukuran ph selama fermentasi spontan Pertumbuhan total bakteri asam laktat, total mikroba amilolitik, dan total mikroba mesofilik selama fermentasi spontan Hasil analisis kadar pati 4 jenis pisang Hasil analisis kadar amilosa 4 jenis pisang Hasil analisis daya cerna pati in vitro 4 jenis pisang Hasil analisis serat pangan total 4 jenis pisang Hasil analisis pati resisten 4 jenis pisang Hasil analisis ragam pengaruh lama fermentasi terhadap kadar pati tepung pisang Hasil analisis ragam pengaruh lama fermentasi terhadap kadar amilosa tepung pisang Hasil analisis ragam kombinasi fermentasi-otoklaf terhadap kadar pati resisten tepung pisang Hasil analisis ragam kombinasi fermentasi-otoklaf terhadap kadar pati tepung pisang Hasil analisis ragam kombinasi fermentasi-otoklaf terhadap kadar amilosa tepung pisang Hasil analisis ragam kombinasi fermentasi-otoklaf terhadap daya cerna tepung pisang Hasil analisis ragam kombinasi fermentasi-otoklaf terhadap total serat pangan tepung pisang Hasil analisis ragam pengaruh otoklaf berulang terhadap pati resisten tepung pisang Hasil analisis ragam pengaruh otoklaf berulang terhadap pati tepung pisang Hasil analisis ragam pengaruh otoklaf berulang terhadap amilosa tepung pisang Hasil analisis ragam pengaruh otoklaf berulang terhadap daya cerna pati tepung pisang Hasil analisis ragam pengaruh otoklaf berulang terhadap total serat pangan tepung pisang Hasil Analisis ragam pengaruh fermentasi-otoklaf dan otoklaf berulang terhadap pati resisten tepung pisang modifikasi 91

15 15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah dengan potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Sumberdaya alam tersebut jika dimanfaatkan secara optimal merupakan aset nasional untuk menjamin ketersediaan pangan dan menjaga ketahanan pangan. Akan tetapi hingga saat ini pemanfaatan sumber karbohidrat selain beras belum dieksplorasi secara optimal. Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan jalan keluar alternatif untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya sumber karbohidrat. Salah satu buah tropis yang tumbuh di Indonesia dan potensial dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah pisang. Selain sebagai sumber karbohidrat, pisang juga mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B, dan C) serta mineral (kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium) yang penting bagi tubuh. Keunggulan pisang sebagai sumber karbohidrat, vitamin dan mineral juga didukung oleh luas panen dan jumlah produksinya yang selalu menempati posisi pertama. Produktivitas pisang di Indonesia berfluktuasi dan terus meningkat, dimana pada 2007 tingkat produksi pisang adalah ton, kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi ton (BPS 2009). Indonesia memiliki beberapa daerah sentra penghasil pisang, salah satunya yang terletak di propinsi Jawa Timur adalah Kabupaten Lumajang. Tingkat produktivitas pisang di Kabupaten Lumajang pada tahun 2009 mencapai ton (DP Lumajang 2009). Pisang tanduk atau lebih dikenal di daerah Lumajang dengan nama pisang agung (Musa paradisiaca Formatypica) merupakan salah satu jenis pisang golongan plantain yang diunggulkan. Pisang tanduk ini memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan jenis pisang tanduk lainnya dengan bobot setiap buahnya mencapai 0.5 kg. Pisang jenis plantain memiliki kandungan pati dan

16 16 amilosa yang cukup tinggi sehingga sesuai untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk pangan fungsional. BPOM (2005) menyatakan bahwa pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah mengalami proses (produk olahan) mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah memiliki fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan, contohnya adalah prebiotik. Tepung pisang dengan kandungan amilosa dan pati yang cukup tinggi dapat ditingkatkan sifat fungsionalnya melalui proses modifikasi yang dapat meningkatkan kadar pati resisten (resistant starch/rs). Menurut FAO (2007) pati resisten dapat memenuhi syarat sebagai prebiotik, walaupun masih dalam tahap pengembangan. Pati resisten adalah pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di usus halus dan ketika mencapai usus besar dapat dimanfaatkan oleh probiotik. Manfaat lainnya adalah pati resisten mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan memperpendek durasi diare pada penderita kolera (Ramakrishna et al. 2000) serta berpotensi dalam memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson et al. 2005). Pati resisten dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe utama. Tipe I adalah pati yang secara fisik terperangkap diantara dinding sel bahan pangan dan ditemukan pada serealia dan biji-bijian. Tipe II adalah granula pati yang tahan terhadap enzim pencernaan. Tipe III adalah pati retrogradasi, yaitu pati yang dirubah konformasinya melalui pengolahan pangan (proses panas dan dingin). Tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia (Álvarez dan Sánchez 2006). Penelitian modifikasi pati dari bahan pangan telah banyak dilakukan, diantaranya modifikasi pati jagung, kentang, beras dan singkong dengan cara kimia, enzimatis atau perlakuan panas. Kadar pati resisten dapat mengalami perubahan selama proses modifikasi seperti pemanasan yang dikombinasi dengan pendinginan pada pati yang akan meningkatkan jumlah pati retrogradasi (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Perlakuan autoclaving-cooling berulang terhadap pati garut dapat meningkatkan kadar pati resisten (RS) tipe III sampai dengan enam kali (Sugiyono et al. 2009). Jenie et al. (2006) melaporkan RS III dan RS IV (penambahan 0.2%

17 17 POCl 3 dari berat tepung) yang berasal dari umbi garut, singkong dan kimpul dapat dimanfaatkan oleh Lactobacillus casei, L. plantarum, dan Bifidobacterium bifidum sebagai prebiotik secara in vitro dan menghasilkan asam asetat sebanyak 0.04%. Modifikasi pati melalui cara fermentasi merupakan hidrolisis pati menjadi gula sederhana sehingga menyebabkan perubahan di tingkat granula pati oleh mikroorganisme yang menghasilkan enzim amilase. Reddy et al. (2008) menjelaskan peranan amilase yang dihasilkan selama fermentasi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus amylophilus GV6 nampak pada perubahan daerah kristalin granula pati menjadi semi kristal hingga amorf sehingga menyebabkan pati lebih mudah mengalami gelatinisasi dan menurunkan suhu gelatinisasi. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi dan kondisi yang lebih asam akan meningkatkan pembentukan pati resisten. Pati resisten dalam jumlah tinggi dapat dihasilkan melalui penambahan asam laktat pada konsentrasi 10 mmol/l (Onyango et al. 2006). Modifikasi pati pada irisan pisang untuk meningkatkan kadar pati resistennya melalui proses fermentasi spontan yang dikombinasikan dengan siklus otoklaf-pendinginan sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian ini untuk memperoleh kombinasi lama fermentasi spontan dengan satu siklus otoklaf-pendinginan yang dapat meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang serta menentukan potensi tepung pisang modifikasi sebagai prebiotik melalui uji viabilitas tiga strain bakteri asam laktat kandidat prebiotik Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk meningkatkan potensi buah pisang sebagai bahan pangan fungsional dalam bentuk tepung pisang yang kaya pati resisten. Secara rinci tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan irisan pisang. 2. Mengetahui pengaruh fermentasi spontan dan kombinasinya dengan pemanasan otoklaf berulang terhadap kadar pati resisten tepung pisang modifikasi.

18 18 3. Menentukan jumlah siklus pemanasan berulang yang paling optimum untuk produksi pati resisten. 4. Mengetahui potensi prebiotik dari tepung pisang modifikasi berdasarkan uji viabilitas probiotik. 5. Mengetahui sifat fungsional lain dari tepung pisang modifikasi meliputi daya cerna pati in vitro dan serat pangan total. Manfaat penelitian ini adalah menghasilkan tepung pisang tanduk modifikasi yang kaya pati resisten dan serat pangan Hipotesis 1. Bakteri asam laktat yang tumbuh selama fermentasi spontan pada irisan pisang tanduk dapat menghasilkan asam laktat dan enzim amilase. 2. Hidrolisis sebagian pada pati pisang selama fermentasi dilanjutkan dengan pemanasan otoklaf dapat meningkatkan kadar pati resisten dari tepung pisang modifikasi yang dihasilkan. 3. Tepung pisang modifikasi yang kaya pati resisten dan serat pangan dapat mendukung pertumbuhan probiotik.

19 19 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Tanaman pisang berbunga pada saat berumur 9-12 bulan setelah tanam. Pemotongan tandan dilakukan pada umur hari setelah berbunga dan biasanya pada umur 110 hari buah pisang mulai menguning. Ukuran, warna dan citarasa buah pisang berbeda-beda tergantung dari varietasnya. Selain itu, pertumbuhan tanaman pisang dipengaruhi oleh keadaan tanah, iklim dan cara pemeliharaannya (Simmonds 1966). Berdasarkan cara penggunaannya, buah pisang digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah golongan pisang yang dimakan dalam bentuk segar setelah buahnya matang (Musa paradisiaca var. sapientum, Musa nana Lour atau Musa cavendishii), contohnya antara lain pisang ambon, pisang raja sereh, pisang raja bulu, pisang susu, pisang seribu dan lain-lain. Plantain adalah golongan pisang yang dimakan setelah diolah terlebih dahulu, contohnya antara lain pisang kepok, pisang siam, pisang kapas, pisang rotan, pisang sri wulan, pisang tanduk, pisang uli dan lain-lain. Golongan banana mempunyai bentuk buah yang ujungnya tumpul dan rasanya enak bila telah masak, sedangkan golongan plantain mempunyai warna buah yang mengkilap serta bila masak memiliki rasa yang kurang enak (Simmonds 1966). Golongan plantain memiliki daging buah dengan kandungan pati yang tinggi (17%), rasa manis yang kurang, digunakan pada saat pisang belum matang dan membutuhkan pengolahan lebih lanjut (Emaga et al. 2007). Komponen utama buah pisang adalah air dan karbohidrat dengan nilai energi pisang sekitar 136 kalori yang secara keseluruhan berasal dari karbohidrat (Anonim 2007). Pisang termasuk buah-buahan yang mudah dicerna dengan daya cerna 54-80%. Pisang merupakan komoditas pertanian yang mengandung karbohidrat siap cerna (sekitar 30% dari bagian yang dapat dimakan). Pisang banyak mengandung komponen karbohidrat terutama pati sehingga pisang juga sering ditepungkan atau terkadang diambil patinya.

20 20 Pisang memiliki rasa yang sangat enak, dapat mengenyangkan, sumber pro-vitamin A, mengandung vitamin C sekitar 20mg/100g bobot segar, dan vitamin B dalam jumlah sedang. Hancuran pisang mengandung dopamin dan vitamin C dalam jumlah tinggi. Selain vitamin, daging buah pisang mengandung alkali yang bersifat alkalis sebanyak % dari berat daging buah. Abu pada pisang mengandung unsur mineral fosfor sebanyak 290 ppm, kalsium 80 ppm dan besi 60 ppm (Loesecke 1950). Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi (P. Zhang et al. 2000). Menurut (Eggleston et al. 1992) pati pisang plantain, plantain hybrids dan cooking bananas secara umum memiliki tingkat kepekaan terhadap enzim a- amilase yang meningkat dengan meningkatnya kadar amilosa dan proteinnya. Komposisi pati pisang olahan (plantain) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi pati pisang olahan/plantain Plantain Pati Ihitisim Agbagba Obino L Ewai Bobby Tannap Plantain hybrids 548/4 548/9 582/ Cooking bananas Blugoe Fougamou Amilosa (%) (Eggleston et al. 1992) keterangan : TD = tidak diidentifikasi Protein (%) TD TD Kadar Abu (%) TD TD Fosfor (%) TD TD Kepekaan terhadap a- Amilase (%)

21 Tepung Pisang Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Buah pisang cukup sesuai untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa komponen utama penyusunnya adalah karbohidrat ( %). Berdasarkan kandungan nutrisi, buah pisang dibandingkan sayuran hijau memiliki kandungan zat besi yang paling kaya dan juga mengandung nutrisi lainnya (Aremu dan Udoessien 1990). Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi buah melalaui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan. Tepung pisang dapat dibuat dari buah pisang muda dan pisang tua yang belum matang. Prinsip pembuatannya adalah pengeringan dengan sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering kemudian digiling. Produk yang sudah digiling kemudian dilewatkan pada penyaring berukuran 100 mesh (Adeniji et al. 2006). Judoamidjojo dan Lestari (2002) melaporkan bahwa kadar pati dari tiga jenis pisang plantain (nangka, uli dan siam) cukup tinggi yaitu berkisar dari 55-62%. Perbandingan karakteristik jenis tepung pisang nangka, uli dan siam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat fisikokimia tepung pisang nangka, siam dan uli Karakteristik Rendemen (%) Jenis Pisang nangka siam uli Kadar air (%) Kadar total gula (%) Kadar pati (%) Kadar amilopektin (%) Kekentalan (cp) Derajat putih (%) (Judoamidjojo dan Lestari 2002 )

22 22 Tepung pisang dari buah pisang muda mengandung pati lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua matang, sedangkan kandungan gula sederhananya sebaliknya. Pisang yang akan digunakan untuk pembuatan tepung pisang sebaiknya dipanen pada saat telah mencapai tingkat kematangan ¾ penuh, kira-kira 80 hari setelah berbunga. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut, pembentukan pati mencapai maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang (Crowther 1979). Pisang yang terlalu muda (kurang dari ¾ penuh) akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat, karena kadar asam dan tanin yang relatif masih tinggi, sedangkan kadar patinya rendah. Hardiman (1982) berpendapat bahwa sifat sepat pisang akan berkurang banyak sejalan dengan berubahnya senyawa tanin selama proses pengeringan. Meningkatnya tingkat kematangan pisang akan menyebabkan perubahan komposisi kimia dari tepung pisang yang dihasilkan, sehingga untuk memperoleh tepung pisang dengan kadar pati yang cukup tinggi diperlukan pemilihan tingkat kematangan pisang yang sesuai. Komposisi kimia pisang dari berbagai tingkat kematangan pisang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia pisang pada berbagai tingkat kematangan Komposisi (%) Tingkat kematangan Muda sekali Muda Agak tua Tua Air Protein Total karbohidrat Sukrosa Gula pereduksi Pati Selulosa Lemak Abu (Loesecke 1950)

23 23 Pembuatan tepung pisang terdiri dari dua cara yaitu cara basah dan cara kering. Cara yang paling banyak dan paling umum digunakan adalah cara kering. Proses pembuatan tepung pisang secara kering adalah buah yang masih hijau tapi sudah cukup tua, dikupas dan dipotong-potong agak tipis. Setelah itu langsung dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran, menggunakan alat pengering seperti tray dryer (Loesecke 1950). Pengeringan adalah salah satu metode pengawetan makanan yang paling tua (Adams 2004). Tepung pisang dari berbagai cara pengeringan kering menghasilkan komposisi kimia tertentu. Komposisi dan karakteristik kimia tepung pisang dengan empat metode pengeringan terdapat dalam Tabel 4. Tabel 4 Komposisi dan karakteristik kimia (% bk)* dari tepung pisang yang dikeringkan dengan empat metode pengeringan** Parameter Metode Pengeringan Lyophilization Drum dryer Microwave Chamber dryer Air 2.36±0.10 c 5.46±0.11 b 6.73±0.20 b 11.75±0.73 a Abu 1.98±0.08 ab 2.19±0.047 a 1.95±0.03 a 2.02±0.17 a Lemak 0.83±0.01 a 0.5±0.05 b 0.17±0.15 d 0.31±0.01 cb Protein 2.92±0.10 a 3.30±0.25 a 3.12±0.18 a 3.08±0.08 a Serat Pangan 9.67±0.05 a 9.01±0.19 a 9.43±0.20 a 9.37±0.45 a Pati 74.65±2.08 c 63.50±0.55 a 64.52±0.25 a 74.30±2.32 ab Gula pereduksi 1.37±0.18 a 1.74±0.21 a 1.65±1.53 a 1.27±0.53 a Total gula 6.98±0.77 b 15.78±1.50 a 14.95±1.53 a 4.23±0.67 b Amilosa 38.29±0.61 c 35.84±0.54 a 34.29±0.51 a 33.26±1.80 b Amilopektin (Pacheco-Delaheya et al. 2008) *bk : berat kering **Data adalah rata-rata dari tiga kali pengulangan ± standar error. Data pada satu baris yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada level 5% ***N x 6.25 ****berdasarkan pada 100% pati Maldonado dan Pacheco-delahaye (2000) menyatakan bahwa kandungan serat pangan, pati resisten, protein dan mineral dalam cookies meningkat ketika

24 24 mensubstitusi terigu dengan 7% tepung pisang. Selain itu, dilaporkan juga bahwa pati merupakan komponen utama dalam tepung pisang, yaitu sebanyak 84%, protein 6.8%, lemak 0.3%, abu 0.5% dan serat pangan 7.6%. Juarez-Garcia et al. (2006) juga melaporkan bahwa tepung pisang memiliki total pati 73.36% dan serat pangan 14.52% dari total pati, sedangkan data lainnya menunjukkan bahwa total pati dalam tepung pisang alami adalah 56.29% dan pati resisten 17.50%. 2.3 Modifikasi Pati Pati merupakan homoglikan yang terdiri dari satu jenis unit D-glukosa dan dihubungkan dengan ikatan glukosida. Unit glukosa pati membentuk dua jenis polimer yaitu amilosa dan amilopektin. Umumnya pati mengandung 15-30% amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% bahan antara seperti lipid, protein, dan mineral. Waliszewski et al. (2003) melaporkan kandungan amilosa pada bagian yang dapat dimakan dari pisang adalah 40.70%. Amilosa adalah homoglikan D- glukosa dengan ikatan a-(1,4) dari struktur cincin piranosa, sedangkan amilopektin adalah homoglikan D-glukosa dengan ikatan a-(1,4) dan a-(1,6) dari struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dinyatakan sebagai bagian linier dari pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan ß-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna. Enzim ß-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan a-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa dan limit dekstrin (suatu inti yang tahan hidrolisa enzim), sedangkan enzim a-amilase mampu memutuskan ikatan a-(1,4) menghasilkan maltosa dan dekstrin (Suhartono 1989). Enzim yang berperan dalam pemecahan ikatan a-(1,6) adalah a-(1,6)-glukosidase. Aktivitas a-amilase ataupun ß-amilase dan a-(1,6)-glukosidase dapat menguraikan amilopektin secara sempurna menjadi glukosa dan sejumlah kecil maltosa (Lehninger 1993). Kemampuan amilosa berinteraksi dengan iodin membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati. Pati dapat dibedakan berdasarkan difraksi sinar X, aktivitas enzim dan karakteristik nutrisi. Klasifikasi pati berdasarkan aktivitas enzim terbagi tiga, yaitu pati yang dapat dicerna dengan cepat (rapidly digestible starch), pati yang dicerna

25 25 dengan lambat (slowly digestible starch) dan pati resisten (resistant starch/rs). Klasifikasi pati berdasarkan karakteristik nutrisi terbagi dua yaitu pati yang dapat dicerna dan yang tidak dapat dicerna (RS) (Sajilata et al. 2006). Pati dapat dimodifikasi melalui cara hidrolisis, oksidasi, ikat silang (crosslinking atau cross bonding) dan subtitusi. Modifikasi secara hidrolisis dapat terjadi karena adanya enzim a-amilase yang dapat memecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil dengan memotong ikatan-ikatan glikosidiknya. Kerja enzim amilase pada amilosa berlangsung dalam dua langkah yaitu langkah pertama terjadi degradasi secara sempurna menjadi maltosa dan maltotriosa oleh hasil serangan enzim secara acak. Ciri terjadinya hidrolisis ini adalah penurunan kekentalan dan kemampuan dalam mengikat iodium dengan sangat cepat. Langkah kedua jauh lebih lambat dari yang pertama dan meliputi hidrolisis oligosakarida dengan pembentukan glukosa dan maltosa. Bakteri asam laktat telah dilaporkan dapat memfermentasi bahan pangan yang mengandung amilosa seperti singkong dan serealia. Oleh karena itu bakteri ini disebut bakteri asam laktat amilolitik. Diantara strain yang telah diisolasi dari bahan pangan berpati yaitu Lactobacillus plantarum, L. fermentum yang telah diisolasi dari fermentasi pati singkong di Colombia dan juga makanan tradisional Filipina yang terbuat dari ikan nasi dan makanan tradisional Nigeria (Sanni et al. 2002). Bakteri ini mampu menghasilkan enzim a-amilase yang menghidrolisis sebagian pati seperti pati jagung, kentang, atau singkong dan beberapa substrat berpati lainnya (Reddy et al. 2008). 2.4 Pati Resisten Pati ada yang dapat dicerna dan ada yang tidak dapat dicerna (Sajilata et al. 2006). Sejumlah besar pati yang tidak dapat dicerna yang masuk ke dalam usus besar merupakan substrat terpenting bagi mikroflora kolon. Pati tersebut dapat resisten terhadap pencernaan sehingga disebut pati resistan (resistant starch/rs). Pati resisten tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan di usus halus dan ketika mencapai usus besar dimanfaatkan oleh mikroflora kolon (Asp dan Bjorck 1992). RS digolongkan sebagai serat pangan (British Nutrition Foundation 2005). Jumlah rata-rata konsumsi serat pangan adalah gram (USDA 2000). CSIRO

26 26 Division of Human Nutrition Australia, merekomendasikan konsumsi RS sebanyak 20 gram setiap hari untuk memperoleh manfaat kesehatan. Kadar pati resisten dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa yang tinggi berkorelasi positif dengan kadar RS yang dihasilkan. Makanan yang mengandung amilosa tinggi, contoh tepung jagung (kadar amilosa 70%) memiliki kadar RS lebih tinggi, yaitu 20g/100g berat kering, dibandingkan tepung jagung (kadar amilosa 25%) dengan kadar RS 3g/100g berat kering (Sajilata et al. 2006). Menurut Sajilata et al. (2006) panjang rantai amilosa tidak berpengaruh terhadap derajat polimerisasi (DPn) RS yang dihasilkan. DPn RS berkisar antara yang berasal dari panjang rantai amilosa yang berbeda (DPn amilosa berkisar antara ). Hal ini menunjukkan RS mungkin dibentuk oleh aggregasi rantai amilosa dengan residu 24 unit glukosa. Thompson (2000) melaporkan bahwa panjang rantai amilosa dengan DPn meningkatkan RS menjadi diatas 28%, sedangkan amilosa dengan DPn diatas 260 menghasilkan RS kurang dari 28%. Ada empat macam resistant starch (RS) yang dikelompokkan berdasarkan asal terbentuknya. RS tipe I adalah jenis pati yang terperangkap di dalam matriks sel, seperti pati pada polong-polongan. RS tipe II adalah pati alami yang berupa granula dan resisten terhadap enzim pencernaan, contohnya pati jagung yang kaya amilosa dan pati pisang mentah (native banana starch). RS tipe III adalah pati yang sudah mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulangulang. RS tipe IV adalah pati yang telah dimodifikasi secara kimia yang banyak digunakan oleh industri makanan (Gonzales et al. 2004; Aparicio-Saguilan et al. 2005). Klasifikasi RS berdasarkan mekanisme dan struktur yang berkontribusi terhadap ketahanannya dalam enzim pencernaan. RS I, resisten dalam saluran pencernaan disebabkan pati ini dilindungi dari enzim pencernaan oleh komponen lain yang secara normal ada dalam matriks pati. RS II, resisten terhadap saluran pencernaan diakibatkan struktur granula dan arsitektur molekulnya. RS III, sifat resistennya diakibatkan bentuknya tidak bergranula (struktur kristal), pati ini terutama dihasilkan selama proses pemasakan dan pendinginan pati saat pengolahan makanan (pati terlepas dari struktur granulanya dan mungkin rantai

27 27 glukosanya membentuk kristal atau retrogradasi sehingga sulit untuk dicerna). RS IV, sifat resistensinya diakibatkan ikatan kimia yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Englyst et al. 1992; Eerlingan dan Delcour 1995; Skrabanja dan Kreft 1998; Topping dan Clifton 2001; Onyango et al. 2006; Okoniewska dan Witwer 2007). RS tipe III merupakan tipe pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Pembentukan RS tipe III terjadi karena granula pati mengalami gelatinisasi. Granula dirusak dengan pemanasan dan terjadi pelepasan amilosa dari granula ke dalam larutan. Pada saat pendinginan, rantai polimer terpisah sebagai ikatan ganda membelit (double helix) dan distabilkan oleh ikatan hidrogen (Wu dan Sarko 1978 di dalam Sajilata et al. 2006). Menurut Mangala et al. (1999) perlakuan suhu berpengaruh terhadap kadar pati resisten yang dihasilkan. Suhu autoklaf meningkatkan kadar RS pati beras baik yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi terlebih dahulu. Setelah diberi perlakuan pemanasan suhu tinggi sehingga terjadi gelatinisasi, pati dapat mengalami pembentukan kembali ke struktur awalnya secara perlahan membentuk struktur kompak yang distabilkan oleh ikatan hidrogen yang dikenal dengan istilah retrogradasi (Winarno 1997). Penelitian Murangga et al. (2007) pada hewan percobaan tikus menunjukkan bahwa bioavailabilitas tepung pisang meningkat jika tepung pisang mendapatkan proses perlakuan panas (dimasak atau diekstrusi), dibandingkan dengan bioavailabilitas tepung pisang dasar (tanpa proses perlakuan panas). Pati dari native banana mengandung RS yang tinggi dan memiliki daya cerna yang rendah (Englyst et al. 1992). Tabel 5 menunjukkan bahwa RS yang terkandung pada pati alami pisang adalah 1.51% dan mengalami peningkatan 10 kali setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan pada suhu 121 C selama 1 jam (autoclaved starch) (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Pati resisten tertinggi diperoleh pada suhu otoklaf 120ºC (Sievert dan Pomeranz 1989) dan suhu retrogradasi 4ºC (Niba 2003). Pati resisten tipe III yang berasal dari pati kacang polong dilaporkan oleh Lehmann et al. (2003) memiliki suhu transisi antara 146.8ºC dan 150.4ºC, dimana tingginya suhu transisi menunjukkan bahwa pati resisten ini stabil terhadap pemanasan. Jumlah RS tipe III dapat meningkat saat

28 28 makanan dipanggang atau dalam bentuk pasta dan produk sereal (Shamai et al. 2003). Tabel 5 Komposisi kimia pati pisang alami (native), diasamkan (lintnerized) dan yang diotoklaf (autoclaved) (%) Kandungan Native Lintnerizeed Nativeautoclaved Lintnerizedautoclave Air 4.89±0.53 a 7.99±0.09 b 9.31±0.14 c 5.69±0.2 a Protein 1,2 1.69±0.12 a 0.45±0.03 b 0.96±0.03 c 0.46±0.03 b Lemak ±0.27 a 0.13±0.02 b 1.65±0.25 c 0.12±0.03 b Abu 0.45±0.1 a 0.14±0.03 b 0.71±0.17 a 0.15±0.01 b Amilosa 37.0±0.5 a 44.8±1.4 b 43.2±0.9 b 45.5±1.9 b Pati Resisten ±0.1 a 2.61±0.13 b 16.02±0.24 c 19.34±0.54 d (Aparicio-Saguilan et al. 2005) nilai dengan huruf yang sama dalam satu baris tidak berbeda secara signifikan (p<0.05) 1 dry basis 2 Nx 5.85 Amilosa pati RS tipe III bersifat stabil terhadap panas, sangat kompleks dan tahan terhadap enzim amilase. Sebagian pendapat menyebutkan bahwa RS tidak memenuhi kriteria sebagai prebiotik karena efeknya tidak spesifik. Namun berdasarkan hasil metabolitnya terlihat bahwa penggunaan beberapa RS pada makanan oleh bakteri-bakteri kolon dapat bersifat mendukung kesehatan. Di samping itu, pati jagung yang kaya amilosa terbukti merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial, terutama dalam bentuk yang dimodifikasi secara kimiawi. Jumlah pati resisten pada pisang mentah lebih tinggi yaitu 4.7 gram dibandingkan kentang (3.2 gram) pada takaran penyajian yang sama (Mendosa 2008). Aparicio-Saguilan et al. (2005) melaporkan bahwa pati pisang cavendish (Musa paradisiaca) yang sudah tua tapi belum matang mengandung pati resisten (RS) sebesar 1.51% (bk). Kadar RS pada pisang ini akan meningkat sebanyak dua kali jika dihidrolisis dengan asam (litnerized starch) dan meningkat sebesar kali (Tabel 5) jika kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 121 C selama 1 jam (autoclaved starch) (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan RS selama pemanasan

29 29 pada suhu autoklaf (Sajilata et al. 2006). Onyango et al. (2006) melaporkan bahwa RS III tertinggi dihasilkan dari konsentrasi asam laktat 10 mmol/l. Manfaat yang dapat diperoleh dari perlakuan fermentasi baik dengan cara spontan maupun dengan penambahan kultur adalah adanya asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam laktat sehingga membantu dalam meningkatkan kadar pati resisten. Beberapa strain bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat (Greenhill et al. 2008). Fermentasi secara tradisional pada tepung singkong dalam pembuatan tepung fufu dengan menggunakan BAL, yaitu kultur Lactobacillus plantarum SL 14 dan L. plantarum SL 19 dapat meningkatkan kadar amilosa tepung fufu jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa fermentasi) (Sobowale et al. 2007). L. plantarum L137 yang diisolasi dari makanan fermentasi tradisional (ikan dan nasi) menghasilkan enzim amilolitik dan pululanase (amilopululanase) yang mampu menghidrolisis ikatan amilosa dan amilopektin (Kim et al. 2008; Kim et al. 2009). Pati resisten (RS) memiliki potensi efek fisiologis dalam usus halus dan usus besar. Respon insulin setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung sejumlah RS lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah mengkonsumsi pati yang dapat dicerna (Cherbuy et al. 2004). RS dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, hiperinsulemik, dan disiplidemia (Okoniewska dan Witwer 2007). Suplemen serat pangan dan RS berpotensi dalam memperbaiki sensitifitas hormon insulin (Robertson et al. 2005). Menurut Lehmann (2002), dibandingkan FOS (Fruktooligosakarida), RS memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak menyebabkan konstipasi, mampu menurunkan kolesterol, mampu menurunkan indeks glikemik, dengan sumber yang lebih banyak (beragam). Pati resisten (RS) tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi insulin postprandial, glukosa, triasilgliserol, dan asam lemak bebas dalam darah (Higgins et al. 2004), tidak mengubah serum lipid, urea, H 2, dan CH 4 dalam serum (Jenkins et al. 1998) dan memperbaiki profil lipid darah (British Nutrition Foundation. 2005). Reduksi respon glikemik ditingkatkan oleh kombinasi RS dan serat pangan

30 30 yang larut. Konsumsi makanan yang mengandung serat pangan ini memperbaiki metabolism glukosa (Behall et al. 2006). Perubahan jumlah asupan RS mampu mengubah aktivitas fermentasi dalam kolon (Le Leu et al. 2003). RS memberikan efek yang signifikan terhadap kesehatan kolon pada manusia dan memudahkan defekasi (Phillips et al. 1995). RS mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan memperpendek durasi diare pada anak remaja dan orang dewasa yang menderita kolera (Ramakrishna et al. 2000). Jenie et al. (2006) melaporkan RS III dan RS IV (penambahan 0.2% POCl 3 dari berat tepung) yang berasal dari umbi garut, singkong dan kimpul dapat dimanfaatkan oleh bakteri probiotik yaitu Lactobacillus casei, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum sebagai prebiotik secara in vitro dan ketiga probiotik tersebut menghasilkan SCFA (short chain fatty acid) yaitu asam asetat sebanyak 0.04%. 2.5 Serat Pangan American Association of Cereal Chemist (2001) dalam Álvarez dan Sánchez (2006), mendefinisikan serat pangan sebagai bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi dinding usus halus, yang kemudian difermentasi di dalam usus besar. Serat pangan total merupakan hasil penjumlahan serat pangan larut (SDF) dan serat pangan tidak larut (IDF). Serat pangan larut adalah serat pangan yang dapat larut dan mengembang di dalam air panas atau hangat. Sedangkan serat pangan tidak larut adalah serat pangan yang tidak dapat larut air panas maupun air dingin (Muchtadi 2001). Menurut Kin (2000), berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dibagi menjadi dua yaitu serat larut dan serat tidak larut. Serat larut ketika berada di usus halus akan membentuk larutan yang memiliki viskositas yang tinggi. Karena sifatnya ini, serat larut dapat mempengaruhi metabolisme lipid dan karbohidrat dan sebagian memiliki potensi antikarsinogenik. Serat tidak larut dapat mempertahankan matriks strukturalnya dari air membentuk campuran yang memiliki viskositas yang rendah. Hal ini menghasilkan peningkatan massa feses dan mempersingkat waktu transit. Hal tersebut mendasari penggunaan serat tidak

31 31 larut untuk mencegah dan mengobati konstipasi kronis, menurunkan konsentrasi dan waktu kontak karsinogen dengan mukosa kolon. Serat dapat juga berfungsi sebagai prebiotik bagi mikroba usus sehingga baik bagi kesehatan. Selain itu serat pangan dapat memberikan efek fisiologis yang menguntungkan, seperti laksatif, menurunkan kolestrol darah, dan menurunkan glukosa darah. Efek fisiologis yang diperkirakan mempengaruhi pengaturan energi adalah kandungan energi serat per unit bobot pangan yang rendah. Sehingga penambahan serat dapat menurunkan kerapatan (densitas) energi, terutama serat larut karena dapat mengikat air. Selain itu, serat juga dapat mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat lewatnya makanan dalam saluran pencernaan dan pergerakan enzim. Pencernaan yang lambat menyebabkan respon glukosa darah juga menjadi rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Pisang jenis plantain memiliki buah dengan kandungan pati resisten dan serat yang tinggi (Kahlon dan Smith 2007) dan tepungnya merupakan sumber serat pangan yang tinggi (6-9%) (Higgins et al. 2004; Kahlon dan Smith 2007). Petunjuk penyajian makanan (USDA 2000) merekomendasikan jumlah minimum konsumsi serat pangan adalah 25 g per hari, atau sama dengan 12.5 g per 1000 Kal yang dikonsumsi. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh USDA (2000) rata-rata konsumsi serat pangan adalah g, oleh karena itulah diperlukan konsumsi serat pangan tinggi melalui produk-produk pangan yang tinggi serat pangan dan kandungan pati resisten. Rekomendasi konsumsi serat pangan pada umur tahun, adalah 38 g/hari untuk laki-laki dan 25g/hari untuk wanita (Institute of Medicine 2002).

32 32 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium South East Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Centre Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan November Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pisang meliputi pisang kepok, siam, uli dan tanduk. Buah pisang yang digunakan adalah buah yang sudah tua tetapi belum matang dengan kulit yang masih berwarna hijau. Tiga jenis pisang (kepok, siam dan uli) diperoleh dari pasar leuwiliang- Bogor, sedangkan pisang tanduk diperoleh dari daerah Lumajang-Jawa Timur. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah enzim a-amilase, enzim pankreatin, AMG (Amiloglukosidase) A7095-Sigma, NaOH 1 M, HCl, buffer asetat, buffer Na-fosfat (0.05 M dan 0.1 M ph 7), 3.5- dinitrosalisilat (DNS), buffer fosfat 0.08 M, asam format, NaOH, NaCl, CaCO 3, KOH, iodin, akuades, akuades deionisasi, etanol (70%, 80%, dan 95%), aseton, asam asetat, Na 2 SO 4 - HgO, Na 2 S 2 O 3.5H 2 O, petroleum eter, Na-K-tartarat, media MRS agar (Oxoid), plate count agar (PCA Merck), starch agar (Difco), m-mrsb (pepton, ekstrak khamir, sodium asetat, MgSO4, MnSO4, dan dipotasium fosfat) dan bahan kimia lainnya. Isolat bakteri asam laktat yang digunakan terdiri dari Lactobacillus plantarum sa28k (koleksi Lab Mikrobiologi Pangan-ITP), Lactobacillus acidophillus (koleksi Lab Mikrobiologi Pangan-SEAFAST) dan Lactobacillus fermentum 2B4 (koleksi Lab Mikrobiologi-FAPET) yang ditumbuhkan dalam media MRSB. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, otoklaf (Model MC-40), inkubator, lemari pendingin, oven, sentrifuse,

33 33 spektrofotometer, ph meter, waterbath shaker, mikropipet, dan alat-alat gelas untuk analisis kimia dan mikrobiologi lainnya Tahapan Penelitian Seleksi Jenis Pisang Dari empat jenis pisang yang diteliti, dipilih satu jenis pisang berdasarkan kadar pati dan amilosa dari tepung pisang. Tepung pisang dipersiapkan sebagai berikut: buah pisang diiris tipis membentuk lembaran setebal ± 6 mm (irisan pisang), selanjutnya irisan pisang dikeringkan dengan sinar matahari hingga kadar air sekitar 12% (SNI 1997). Irisan pisang yang telah kering (chips pisang) dihaluskan dengan menggunakan gilingan cakram (disc mill) dan diayak menggunakan saringan berukuran mesh 80. Tepung pisang selanjutnya dianalisis kadar pati, amilosa, daya cerna in vitro, kadar serat pangan, kadar pati resisten dan derajat putihnya Perubahan Mikroflora dan Sifat Kimia Selama Fermentasi Spontan Irisan pisang direndam dalam akuades steril dengan perbandingan bahan dan air sebesar 1:2 (200 g irisan pisang:400 ml akuades steril). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang (±27 C) selama 20, 40, 60, 80 dan 100 jam. Pada setiap interval waktu pada cairan fermentasi dilakukan pengukuran terhadap nilai ph, jumlah total bakteri mesofilik, total bakteri asam laktat dan total mikroba amilolitik. Irisan pisang dari masing-masing waktu fermentasi spontan selanjutnya dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kadar air sekitar 12%, dihaluskan dan diayak dengan saringan ukuran 80 mesh, selanjutnya diukur kadar amilosa dan patinya. Lama fermentasi spontan ditentukan berdasarkan nilai ph, pertumbuhan mikroorganisme (total bakteri mesofilik, bakteri asam laktat dan mikroba amilolitik), kadar pati dan amilosa.

34 Modifikasi Tepung Pisang Melalui Kombinasi Fermentasi Spontan dan Satu Siklus Pemanasan Otoklaf Irisan pisang dengan lama waktu fermentasi spontan terpilih, kemudian dipisahkan dari cairan fermentasinya (penirisan), selanjutnya irisan pisang dipanaskan dalam otoklaf (0.15 MPa atau 1.5 Atm) pada suhu 121 C selama 15 menit, didiamkan pada suhu ruang hingga dingin (±30 menit) dan disimpan pada suhu 4 C selama 24 jam (satu proses siklus). Selanjutnya irisan pisang dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kadar air sekitar 12%, dihaluskan dan diayak menggunakan saringan berukuran 80 mesh. Tepung pisang yang dihasilkan dianalisis terhadap kadar pati, amilosa, pati resisten, serat pangan total dan daya cerna pati in vitro. Tepung pisang dengan kadar pati resisten tertinggi kemudian diuji potensi prebiotiknya. Tahapan modifikasi tepung pisang melalui kombinasi fermentasi spontan dan satu siklus pemanasan otoklaf dapat dilihat pada Gambar Modifikasi Tepung Pisang Melalui Pemanasan Otoklaf Berulang (Alejandro Aparicio-Saguilan et al. 2005) Irisan pisang dimodifikasi patinya dengan pemanasan otoklaf (0.15 MPa atau 1.5 Atm) pada suhu 121 C selama 15 menit, didiamkan pada suhu ruang hingga dingin (±30 menit) dan disimpan pada suhu 4 C selama 24 jam. Siklus otoklaf dan pendinginan ini diulang dua dan tiga siklus untuk melihat pengaruhnya terhadap pembentukan pati resisten. Selanjutnya irisan pisang dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kadar air sekitar 12%. Irisan pisang kering dihaluskan menggunakan gilingan cakram (disc mill) dan diayak menggunakan saringan berukuran 80 mesh. Tepung pisang yang dihasilkan kemudian diukur kadar pati, amilosa, pati resisten, daya cerna pati in vitro dan serat pangan totalnya. Tepung pisang hasil perlakuan satu siklus pemanasan otoklaf kemudian diuji viabilitas bakteri asam laktatnya.

35 35 Pisang tanduk Pengirisan pisang (irisan pisang dengan tebal ± 6 mm) Perendaman irisan pisang dalam air (1:2) Fermentasi pada suhu kamar (lama fermentasi terpilih) Penirisan cairan fermentasi Pemanasan otoklaf (121ºC,15 menit) dan retrogradasi (4ºC, 24 jam) Pengeringan dan penepungan (80 mesh) Pengukuran kadar pati resisten, pati, amilosa, daya cerna pati in vitro, serat pangan total dan uji viabilitas bakteri asam laktat kandidat probiotik Gambar 1 Pembuatan tepung pisang modifikasi kombinasi fermentasi dan satu siklus pemanasan otoklaf

36 Analisis Fisikokimia Persiapan Sampel Tepung Pisang Bebas Lemak dan Gula Sederhana Sebanyak tiga gram tepung pisang dicuci dengan menggunakan etanol 80% sebanyak ± 30 ml secara maserasi untuk menghilangkan gula-gula sederhana pada suhu kamar selama 15 menit. Suspensi disaring dengan kertas saring dan residu dicuci dengan akuades sampai volume filtrat mencapai 250 ml. Residu kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter untuk menghilangkan lemak. Selanjutnya sampel dibiarkan untuk menguapkan eter dari residu dan dicuci lagi dengan 150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu pada kertas saring kemudian dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari selama 3-4 jam. Tepung pisang bebas lemak dan gula sederhana ini, selanjutnya digunakan dalam analisis kadar total pati, kadar amilosa, kadar pati resisten dan uji viabilitas bakteri asam laktat Kadar Pati Resisten (Englyst et al. 1992) Sebanyak satu gram tepung pisang modifikasi yang telah bebas lemak dan gula sederhana didispersikan ke dalam 20 ml buffer sodium asetat (0.1 M; ph 5.2) dipanaskan dalam water bath selama 30 menit. Dispersi pati didinginkan pada suhu 37 C, dicampur dengan larutan enzim (5 ml) yang terdiri dari ekstrak pankreatin dan amiloglukosidase (AMG), lalu diinkubasi pada water bath suhu 37 C. Ekstrak pankreatin diperoleh dari : 3 g pankreatin disuspensikan dalam 20 ml air deionisasi (destilata), distirer selama 10 menit pada suhu ruang, dan disentrifuse pada 1500xg selama 10 menit. Larutan enzim dipersiapkan dengan mencampurkan 13.5 ml supernatan ekstrak pankreatin, 210 U amiloglukosidase, dan 1 ml air deionisasi. Pati yang cepat dicerna (RDS) dinyatakan sebagai total pati yang dicerna selama 20 menit pertama, dan pati yang lambat dicerna (SDS), dinyatakan sebagai total yang dicerna antara 20 dan 120 menit. Dispersi pati kemudian ditambahkan KOH pekat (10 M), dan disimpan selama 15 menit pada suhu 0ºC, kemudian ditambahkan AMG dan dipanaskan pada suhu 70ºC selama 30 menit (RS).

37 37 Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan 2 ml pereaksi DNS. Setelah itu dipanaskan dalam penangas air dengan suhu air (100 C) selama 10 menit lalu didinginkan pada suhu ruang. Sampel kemudian diencerkan dengan penambahan 10 ml akuades dan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Akuades digunakan sebagai blanko. Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa standar dengan larutan glukosa 5000 ppm sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai standar adalah 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm, 3500 ppm, 4000 ppm, 4500 ppm, dan 5000 ppm. Berat pati diperoleh dengan mengalikan berat glukosa dengan faktor koreksi 0.9. Kadar pati resisten (RS) dihitung berdasarkan persamaan : Keterangan : A : absorbansi sampel S : slope/kemiringan kurva standar FP : faktor pengenceran W : berat sampel (gram) % Pati resisten = A x FP x 100 x 0.9 S W Kadar Pati (AOAC 1995) Analisis kadar pati dengan metode hidrolisis langsung oleh asam (Direct Acid Hydrolysis). Sebanyak 0.5 g sampel tepung pisang yang telah bebas lemak dan gula-gula sederhana ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Lalu ditambahkan 25 ml akuades dan 5 ml HCl 25%. Erlenmeyer ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan di atas penangas air yang mendidih selama 2.5 jam. Setelah dingin larutan yang terbentuk dinetralkan dengan NaOH 25%, disaring, dan ditepatkan volumenya hingga 100 ml. Penentuan kadar pati dinyatakan sebagai glukosa pada filtrat. Total glukosa dianalisis dengan menggunakan metode DNS. Sampel yang telah dihidrolisis dengan asam, dinetralkan, disaring dan ditepatkan hingga volume 100 ml diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke

38 38 dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi DNS. Setelah itu dipanaskan dalam waterbath suhu air mendidih selama 10 menit lalu didinginkan pada suhu ruang. Sampel kemudian diencerkan dengan penambahan 10 ml akuades dan absorbansi diukur pada panjang gelombang 550 nm. Gunakan sampel akuades sebagai blanko. Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa standar dengan larutan glukosa 5000 ppm sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai standar adalah 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm, 3500 ppm, 4000 ppm, 4500 ppm, dan 5000 ppm. Berat pati diperoleh dengan mengalikan berat glukosa dengan faktor koreksi 0.9. Kadar glukosa dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan : A : absorbansi sampel S : slope/kemiringan kurva FP : faktor pengenceran W : berat sampel (gram) % Pati = A x FP x 100 x 0.9 S W Kadar Amilosa (Juliano 1971) Pembuatan Kurva Standar Amilosa murni sebanyak 40 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N lalu dipanaskan dalam penangas air suhu 95ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades menjadi larutan stok standar. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Ke dalam masing-masing labu ukur tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; dan 1 ml, lalu ditambah larutan iod sebanyak 2 ml (0.2 g I 2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml akuades) ke dalam setiap labu. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, dan didiamkan selama 20

39 39 menit, lalu diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi Pengukuran Sampel Sebanyak 100 mg sampel tepung pisang bebas lemak dan gula-gula sederhana dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi bertutup lalu dipanaskan dalam penangas air suhu 95ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Pipet 5 ml larutan tersebut, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, dan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Selanjutnya larutan ditera dengan akuades sampai tanda batas dan dikocok kemudian didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva yang diperoleh. Kadar amilopektin dihitung berdasarkan selisih antara kadar pati dan amilosa. Kadar amilosa sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan : A : absorbansi sampel S : slope/kemiringan kurva FP : faktor pengenceran V : volume akhir sampel (ml) W : berat sampel (mg) % kadar amilosa = A x FP x V x 100 S W Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC 1995) Tiga gram sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter sebanyak ±25 ml pada suhu kamar selama 15 menit. Sejumlah 1 g sampel

40 40 bebas lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 25 ml 0.1 M buffer fosfat ph 6 dan dibuat suspensi. Selanjutnya suspensi sampel ditambahkan 0.1 ml termamyl, ditutup dengan alufo dan diinkubasi pada suhu 100º C selama 15 menit, lalu didinginkan. Setelah itu, tambahkan 20 ml akuades dan ph diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCL 4 M. Lalu ditambahkan 100 mg pepsin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40ºC dan diagitasi 60 menit. Kemudian, ditambahkan 20 ml akuades dan ph diatur menjadi 6.8. Setelah itu, ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40ºC selama 60 menit sambil diagitasi dan terakhir ph diatur dengan HCL menjadi Pengukuran Serat Pangan Tidak Larut Selanjutnya disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 yang sebelumnya telah diketahui bobot keringnya kemudian sampel dicuci dengan 2 x 10 ml akuades, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105º C sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan dalam tanur 500ºC selama minimal 5 jam dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (L1). Nilai blanko (B) diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan sampel Pengukuran Serat Pangan Larut Filtrat yang didapat dari persiapan sampel ditambahkan akuades hingga volumenya 100 ml. Filtrat kemudian ditambah etanol 95% dengan suhu 60ºC sebanyak 400 ml, lalu diendapkan selama 1 jam. Filtrat disaring dan dicuci dengan 10 ml etanol 95% dan 10 ml aseton sebanyak 2 kali. Sampel dikeringkan pada suhu 105ºC selama 24 jam, kemudian dimasukkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Sampel yang telah kering diabukan pada suhu 500ºC selama 5 jam, lalu dinginkan dalam desikator dan dtimbang (L2). Nilai TDF (% bb) = {(D1-B1)-(L1-B2)/W) x 100% %(bb) serat pangan tidak larut = (D1-L1-B1)/W x 100% %(bb) serat pangan larut = (D2-L2-B2)/W x 100%

41 41 Keterangan : W : berat sampel (g) B : berat banko bebas serat (g) D : berat setelah analisis dan dikeringkan (g) L : berat setelah diabukan (g) Uji Daya Cerna Pati in Vitro (Anderson et al. 2002) Enzim a-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M ph 7. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3.5-dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1.6 gram NaOH dalam 100 ml akuades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg masing-masing dalam 10 ml akuades. Sebanyak 0.5 gram pati disuspensikan dalam 50 ml akuades sehingga diperoleh konsentrasi 1% w/v, kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90 C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dipindahkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 3 ml akuades, dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M, ph 7. Lalu diinkubasi pada suhu 37 C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan a-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37 C selama 30 menit. Sebanyak 1 ml sampel dari tabung reaksi dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu 100 C selama 10 menit. Warna merah orange yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim a-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Na-Fosfat 0.1 M ph 7. % Daya cerna pati = Kadar maltosa sampel-kadar maltosa blanko sampel x 100 Kadar maltosa pati murni-kadar maltosa blanko pati murni

42 Pengukuran ph ph meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer fosfat ph 4 dan ph 7. Sampel dalam bentuk tepung sebanyak 1 g dilarutkan dalam 20 ml akuades, kemudian diaduk sampai basah sempurna. Setelah itu, ukur ph pada supernatan sampel dengan menggunakan ph meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel dalam bentuk cairan, setelah dikalibrasi terlebih dahulu sampel dapat langsung diukur menggunakan ph meter Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995) Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sebanyak 4-5 gram sampel ditimbang dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya, lalu dikeringkan dalam oven pengering suhu 105ºC selama 6 jam. Cawan dan isinya didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal sampel sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan. Hasil analisis dari kadar pati resisten, pati, amilosa, daya cerna pati in vitro dan serat pangan total ditampilkan dalam berat kering. Keterangan : Kadar air (% bk) = W 3 x 100% W 2 Kadar air (% bb) = W 3 x 100% W 1 W 1 = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W 2 = bobot sampel setelah dikeringkan (g) W 3 = W 1 -W Analisis Mikrobiologi Total Bakteri Mesofilik (Modifikasi Lacerda et al. 2005) Bakteri mesofilik dihitung dengan metode agar tuang menggunakan plate count agar (merk) yang terdiri dari 5% tripton, 2.5% yeast ekstrak, 1% dekstros

43 43 dan 1.5% agar. Sampel sebanyak 10 ml diambil dan diencerkan dengan 90 ml larutan fisiologis 0.85% steril dan dilakukan pengenceran sampai Sebanyak 1 ml hasil pengenceran 10-6, 10-7, 10-8 dipipet dan dilakukan pemupukan (plating) metode tuang (pour plate) pada media PCA. Inkubasi dilakukan pada suhu ±30 C selama 2-3 hari serta dihitung jumlah koloni yang ada Total Mikroorganisme Amilolitik (modifikasi Lacerda et al. 2005) Sampel sebanyak 10 ml diambil dan diencerkan dengan 90 ml larutan fisiologis 0.85% steril dan dilakukan pengenceran sampai Sebanyak 1 ml hasil pengenceran 10-6, 10-7, 10-8 diambil dan dilakukan pemupukan (plating) metode tuang (pour plate) pada media Starch Agar (difco) yang terdiri dari 0.3% ekstrak daging (beef extract), 1% pati terlarut (soluble strach) dan 1.2% agar. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar (±28 C) selama 2-3 hari serta dihitung jumlah koloni yang ada Total Bakteri Asam Laktat (Bolognani et al. 2001) Sampel sebanyak 10 ml diambil dan diencerkan dengan 90 ml larutan fisiologis 0.85% steril dan dilakukan pengenceran sampai Sebanyak 1 ml hasil pengenceran 10-6, 10-7, 10-8 diambil dan dilakukan pemupukan (plating) metode tuang (pour plate) pada media MRSA (oxoid). Inkubasi dilakukan secara aerob pada suhu 37 C selama 48 jam serta dihitung jumlah koloni yang ada Perhitungan Total Koloni (BAM 2001) Merujuk pada penentuan Aerobic Plate Count (BAM 2001), perhitungan koloni dilakukan setelah waktu inkubasi dalam satuan cfu/ml. N = S c (n 1 + 0,1 n 2 ) x d Keterangan : N = Jumlah mikroba (cfu/ml)

44 44 Sc = Jumlah koloni dari semua cawan ( koloni) n 1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama ( koloni) n 2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua ( koloni) d = Tingkat pengenceran terendah 3.6. Pengujian Sifat Prebiotik Pati Resisten Tepung Pisang Modifkasi Persiapan Kultur Bakteri Asam Laktat (Fardiaz 1992) Kultur Lactobacillus sp. dibuka dari ampul dan disegarkan ke dalam 10 ml MRSB. MRSB dimasukkan ke dalam inkubator 37 o C selama 48 jam. Setelah 48 jam, kultur Lactobacillus sp. kembali disegarkan dengan mengambil 1 ml dari tabung MRSB lama ke tabung berisi MRSB baru. MRSB diinkubasi kembali selama 24 jam pada suhu 37 o C Uji Viabilitas Bakteri Asam Laktat Persiapan Jumlah Bakteri Asam Laktat Sebanyak 1 ml kultur segar Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Lactobacillus fermentum 2B4 dipindahkan ke dalam MRSB, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 o C. 1 ml kultur dari masingmasing mikroba dipipet dan dimasukkan dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% 9 ml dan divorteks untuk pengenceran Pengenceran dilakukan sampai 10-6 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan secara duplo pada pengenceran menggunakan MRSA dalam cawan petri. Cawan petri diinkubasi pada suhu 37 o C dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode BAM (2001) dalam satuan cfu/ml Penumbuhan Bakteri dalam Media Pati Resisten (Jenie et al. 2006) Kultur awal berumur 24 jam diencerkan 10-3 hingga jumlah mikroba awal adalah 10-6, lalu diambil 5% (v/v) kemudian dimasukkan ke dalam tiga jenis media cair untuk pengujian aktivitas prebiotik. Media tersebut adalah m-mrsb (MRSB tanpa dekstrosa), air ml/sampel + 2.5% (b/v) tepung pisang (mengandung RS III, bebas lemak dan gula-gula sederhana) serta MRSB(-glu) +

45 45 2.5% (b/v) tepung pisang (mengandung RS III, bebas lemak dan gula-gula sederhana). Ketiga media tersebut kemudian disterilkan terlebih dahulu. Selanjutnya masing-masing media yang telah diinokulasikan tiga bakteri asam laktat tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 o C. Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 9 ml dan divorteks untuk pengenceran Pengenceran dilakukan sampai 10-8 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan secara duplo pada pengenceran menggunakan MRSA dalam cawan petri. Cawan petri diinkubasi pada suhu 37 o C dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode BAM (2001) dalam satuan cfu/ml Analisis Statistik Data hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf signifikasi 5% apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata antar sampel dengan menggunakan Software SPSS 16.0 Production Facility Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan pada tahap modifikasi tepung pisang melalui perlakuan pemanasan otoklaf baik dengan maupun tanpa fermentasi spontan adalah rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu dua perlakuan fermentasi tanpa pemanasan otoklaf, dua perlakuan kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf dan tiga perlakuan pemanasan otoklaf berulang tanpa fermentasi yang masing-masing perlakuan dilakukan dalam dua kali ulangan. Model linear rancangan acak lengkap yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + A i +? ij

46 46 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Seleksi Jenis Pisang Empat jenis pisang yaitu kepok, siam, uli dan tanduk (Gambar 2) diolah menjadi tepung pisang dan dianalisis kandungan kimia serta sifat fisiknya. Pisang terpilih untuk digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis pisang dengan kandungan pati dan amilosa yang paling tinggi, dengan mempertimbangkan juga sifat-sifat seperti kandungan pati resisten, daya cerna pati in vitro dan derajat putih. Hasil pengeringan alami irisan dan tepung pisang yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 3. kepok siam uli tanduk Gambar 2 Empat jenis pisang lokal Gambar 3 Irisan dan tepung pisang alami (konvensional)

47 47 Hasil analisis sifat kimia dan fisik dari keempat jenis pisang (Tabel 6) menunjukkan bahwa jenis pisang dengan kandungan pati resisten alami (RS II) (2.87%) dan kadar serat pangan (10.13%) tertinggi adalah pisang kepok. Pati resisten tipe II merupakan pati alami berupa granula yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Hasil analisis derajat putih menunjukkan bahwa tepung pisang tanduk memiliki tingkat kecerahan (75.28%) tertinggi, sedangkan pisang uli memiliki daya cerna pati terendah, yaitu 27.72%. Tabel 6 Sifat Kimia dan Fisik Empat Jenis Pisang Lokal Tepung pisang Kadar air (%bk) Kadar pati (%bk) Kadar amilosa (%bk) Kadar amilopektin (%bk) Hasil Analisis Pati resisten (%bk) Serat pangan (%bk) Keterangan : Kadar amilosa berdasarkan pada 100% tepung pisang bebas lemak dan gula bk = basis kering Daya cerna pati (%bk) Derajat putih (%) Kepok Siam Uli Tanduk Hasil analisis kadar pati dan amilosa pada Tabel 6 menunjukkan bahwa keempat jenis pisang memiliki kadar pati (61-73%) dan amilosa (30-39%) yang tinggi serta hasil analisis daya cerna (27-45%) yang relatif rendah, sehingga keempat jenis pisang tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan kadar pati resisten yang tinggi. Amilosa dibutuhkan dalam proses pembentukan pati resisten (Sajilata et al. 2006). Kandungan pati dan amilosa yang tinggi dapat membantu dalam peningkatan kadar pati resisten di dalam tepung pisang modifikasi yang dihasilkan. Didalam penelitian ini hanya digunakan satu jenis pisang untuk diteliti lebih lanjut yaitu pisang tanduk, karena memiliki kadar pati dan amilosa paling tinggi yaitu 73.65% (bk) dan 39.35% (bk).

48 Perubahan Mikroflora dan Sifat Kimia Selama Fermentasi Spontan Perubahan Mikroflora Selama Fermentasi Spontan Irisan pisang difermentasi secara spontan dengan cara direndam dalam akuades steril menggunakan erlenmeyer (Gambar 4). Cairan fermentasi dari setiap selang waktu 20 jam digunakan untuk menghitung jumlah total mikroorganisme amilolitik, bakteri asam laktat dan mesofiliknya yang tumbuh selama fermentasi 100 jam. Gambar 4 Fermentasi spontan irisan pisang tanduk Gambar 5 menunjukkan pola pertumbuhan mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan pisang tanduk. Tiga kelompok mikroorganisme yaitu amilolitik, bakteri asam laktat dan mesofilik tumbuh dengan baik selama 100 jam fermentasi spontan pisang tanduk. Total bakteri mesofilik pada lama fermentasi 100 jam berkisar pada jumlah 8.4 sampai dengan 8.9 log cfu/ml, dengan jumlah tertinggi pada jam ke-60 yaitu 8.9 log cfu/ml. Hasil ini hampir serupa dengan fermentasi spontan pada pati singkong dimana total bakteri mesofilik yang tumbuh mencapai 8.0 log cfu/g (Lacerda et al. 2005).

49 Log cfu/ml Lama fermentasi (jam) Gambar 5 Pertumbuhan mikroorganisme amilolitik ( ), bakteri asam laktat (?) dan mesofilik (? ) selama fermentasi spontan pada pisang Jumlah awal bakteri mesofilik yang ada pada irisan pisang berkisar pada 1.87 log cfu/ml. Bakteri mesofilik yang tumbuh secara spontan dari irisan pisang memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup baik dimana pada fase eksponensial yang berlangsung dari jam ke-0 hingga jam ke-40 terjadi peningkatan jumlah yang cukup tinggi yaitu sebanyak 6.55 log cfu/ml, selanjutnya hingga jam ke-100 pertumbuhan bakteri mesofilik berada pada fase stasioner. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang memiliki suhu optimum pertumbuhan antara ºC (Fardiaz 1992). Jumlah awal mikroorganisme amilolitik adalah 1.75 log cfu/ml. Fase eksponensial berlangsung hingga jam ke-40 (8.38 log cfu/ml) dan dilanjutkan dengan fase stasioner hingga fermentasi 100 jam. Total mikroorganisme amilolitik tertinggi yaitu 9.1 log cfu/ml dicapai pada lama fermentasi 80 jam (Gambar 5). Jumlah mikroorganisme amilolitik yang hampir sama dengan jumlah total bakteri mesofilik, menunjukkan bahwa sebagian besar dari mikroba amilolitik merupakan bakteri yang bersifat mesofilik (Gambar 5). Media pertumbuhan yang digunakan untuk menghitung jumlah bakteri mesofilik adalah media yang kaya akan nutrisi sehingga menunjang pertumbuhan bakteri asam laktat, Bacillus cereus dan khamir (Carvalho et al. 1999). Beberapa jenis bakteri asam laktat seperti Lactobacillus

50 50 amylophilus (Reddy et al. 2008) dan L. amylovorus (Yomoto dan Ikeda 1995) dilaporkan bersifat amilolitik. Bakteri asam laktat (BAL) meningkat secara signifikan selama fermentasi pisang berlangsung, yaitu dari 1.38 log cfu/ml menjadi 7.8 log cfu/ml. BAL yang tumbuh kemungkinan termasuk kedalam mikroba amilolitik dan kelompok mesofilik, karena suhu optimum pertumbuhan BAL adalah 30ºC (Pederson 1971). Berbeda dengan pola pertumbuhan dari mikroorganisme amilolitik dan mesofilik, pertumbuhan BAL hingga 100 jam masih mengalami peningkatan (Gambar 5). Asam yang diproduksi oleh BAL selama fase pertumbuhan (Gambar 6) mungkin menghambat pertumbuhan mikroorganisme amilolitik dan mesofilik selain BAL. ph Lama fermentasi (jam) Gambar 6 Perubahan nilai ph selama fermentasi spontan Pertumbuhan bakteri asam laktat memiliki peranan pada turunnya ph cairan selama fermentasi spontan berlangsung (Gambar 6). Fermentasi hingga 40 jam menurunkan ph paling besar yaitu dari 5.86 menjadi 4.60, kemudian ph meningkat kembali menjadi 5.09 pada jam ke-100. Penurunan ph terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat selama perendaman. Asam laktat merupakan asam non volatil yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum yang umum terdapat selama fermentasi bahan pangan dengan kadar karbohidrat tinggi (Johansson et al. 1995). Beberapa strain BAL yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat (Greenhill et al. 2008).

51 Perubahan Kadar Pati Selama Fermentasi Spontan Kadar pati selama fermentasi spontan 100 jam menunjukkan hasil yang relatif menurun dengan kisaran kadar pati dari 80.22% (bk) sampai dengan 71.83% (bk) (Gambar 7). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), menunjukkan bahwa kadar pati pada lama fermentasi 80 jam berbeda nyata dengan kadar pati awal (Lampiran 18). Penurunan kadar pati ini kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme selama fermentasi, terutama mikroba amilolitik. Kadar pati (%bk) ?4.85ab 73.84?2.06 ab 80.22? ? ?0.13 a Lama fermentasi (jam) Gambar 7 Perubahan kadar pati tepung pisang selama fermentasi spontan Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan mikroba amilolitik (Gambar 5), diketahui bahwa jumlah total mikroba amilolitik yang tumbuh pada fermentasi spontan pisang tanduk hingga 100 jam berkisar pada jumlah 8.5 log cfu/ml. Jumlah total mikroba amilolitik tersebut mempengaruhi terjadinya penurunan kadar pati karena mikroba amilolitik mampu menghasilkan enzim amilase yang dapat mendegradasi pati menjadi glukosa yang lebih sederhana sehingga kadar pati tepung pisang mengalami penurunan. Selama fermentasi dimana BAL juga turut berperan (Gambar 5), diharapkan terjadi perubahan pada granula pati sehingga menjadi lebih mudah tergelatinisasi dan membentuk pati resisten (Reddy et al. 2008).

52 Perubahan Kadar Amilosa Selama Fermentasi Spontan Kadar amilosa selama fermentasi spontan berlangsung hingga 100 jam mengalami penurunan dari 41.89% menjadi 35.07% (Gambar 8). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05) menunjukkan bahwa kadar amilosa awal tepung pisang berbeda nyata dengan kadar amilosa pada lama fermentasi 80 jam (Lampiran 19). Hasil ini berkaitan dengan terjadinya penurunan kadar pati pada lama fermentasi yang sama yaitu 80 jam (Gambar 7). Kadar amilosa (%bk) ?1.79 b 39.13?2.92 ab 37.63?4.0 ab 38.11?2.14 ab 35.07?1.71 a 37.13?0.98 ab Lama fermentasi (jam) Gambar 8 Perubahan kadar amilosa tepung pisang selama fermentasi spontan Penurunan kadar amilosa pada tepung hasil fermentasi kemungkinan disebabkan oleh aktivitas mikroba amilolitik dalam menghasilkan enzim amilase yang dapat memutuskan ikatan a-glikosidik rantai amilosa menjadi rantai lurus dengan derajat polimerisasi yang lebih rendah atau menjadi gula-gula sederhana. Berdasarkan pada kurva pertumbuhan mikroorganisme selama fermentasi spontan irisan pisang, terjadi peningkatan jumlah total mikroba amilolitik hingga mencapai 9.1 log cfu/ml pada lama fermentasi 80 jam (Gambar 5). Kadar amilosa awal irisan pisang berpengaruh terhadap pembentukan pati resisten yang diperoleh melalui proses pemanasan otoklaf. Kadar amilosa yang tinggi berkorelasi positif dengan kadar pati resisten yang dihasilkan (Sajilata et al. 2006). Proses pemanasan dan pendinginan menyebabkan amilosa mengalami

53 53 perubahan struktur menjadi struktur kristal (pati resisten) yang tahan terhadap enzim pencernaan. Pembentukan kadar pati resisten dari tepung pisang modifikasi dipengaruhi oleh kadar pati dan amilosa awal irisan pisang sehingga pemilihan lama fermentasi spontan perlu memperhatikan perubahan sifat fisikokimia irisan pisang selama fermentasi. Disamping itu perlu diperhatikan pula penurunan ph selama fermentasi, dimana kondisi asam akan membantu meningkatkan pembentukan pati resisten pada saat pemanasan otoklaf. Pemilihan lama fermentasi dipilih pada waktu irisan pisang belum mengalami degradasi pati dan amilosa yang berkelanjutan (terlampau banyak) oleh enzim amilase hasil aktivitas mikroba amilolitik dengan bentuk fisik dan aroma yang dapat diterima oleh indera manusia (belum mengalami kemunduran mutu organoleptik akibat kerja mikroorganisme yang terlibat selama fermentasi spontan dalam mendegradasi pati dan menghasilkan asam). Lama fermentasi spontan yang diteliti lebih lanjut untuk dikombinasikan dengan satu siklus pemanasan otoklaf pada pembuatan tepung pisang modifikasi adalah 24 dan 48 jam. Kedua lama waktu tersebut juga mewakili dua kisaran nilai ph yaitu 5.6 (24 jam) dan 4.6 (48 jam) (Gambar 6), dimana perubahan nilai ph tersebut diakibatkan produksi asam laktat oleh bakteri asam laktat yang berperan selama fermentasi spontan Modifikasi Tepung Pisang Melalui Kombinasi Fermentasi Spontan dan Satu Siklus Pemanasan Otoklaf Kadar Pati Resisten Pada umumnya gelatinisasi terjadi pada suhu ºC tergantung dari asal tanaman dan kadar amilosanya. Selama proses pendinginan setelah pemanasan, pati mengalami pembentukan kembali strukturnya secara perlahan yang disebut dengan retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini biasanya sangat stabil. Amilosa pati ini membentuk RS tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase

54 54 (Sajilata et al. 2006). Irisan dan tepung pisang hasil siklus pemanasan otoklaf dapat dilihat pada Gambar 9. (A) (B) Gambar 9 Irisan pisang (A) dan tepung pisang (B) hasil pemanasan otoklaf Kadar pati resisten pada tepung pisang fermentasi 24 dan 48 jam tanpa kombinasi pemanasan otoklaf masing-masing adalah 6.74% (bk) dan 8.62% (bk), sedangkan tepung pisang fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf adalah 15.24% (bk) dan 11.01% (bk) (Gambar 10). Pemanasan otoklaf tanpa fermentasi dapat meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang dari 6.38% (bk) hingga menjadi 11.26% (bk) (Gambar 10). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), menunjukkan bahwa tepung pisang hasil fermentasi yang dilanjutkan maupun tanpa dilanjutkan dengan satu siklus pemanasan otoklaf memiliki kadar pati resisten yang berbeda nyata (Lampiran 20). Kadar pati resisten (%bk) d c c a a b Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 10 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati resisten tepung pisang

55 55 Peningkatan kadar pati resisten tepung pisang modifikasi hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf disebabkan terjadinya perubahan derajat polimerisasi amilosa dan linierisasi amilopektin dari pati tepung pisang akibat hidrolisis oleh amilase dan asam (pada jumlah tertentu) yang diproduksi oleh mikroba amilolitik dan bakteri asam laktat selama fermentasi spontan 24 jam. Thompson (2000) melaporkan bahwa jika derajat polimerisasi (DPn) amilosa lebih tinggi dari 300 (DPn amilosa berkisar antara ) dapat menyebabkan amilosa tidak mudah untuk mengkristal (membentuk kristalitas resisten). Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan pati resisten selama pemanasan pada suhu otoklaf (Sajilata et al. 2006). Penurunan kadar pati resisten yang terjadi pada lama fermentasi 48 jam kemungkinan terjadi akibat aktivitas amilolitik dari enzim amilase mikroba amilolitik yang lebih kuat dan jumlah produksi asam oleh bakteri asam laktat yang lebih banyak sehingga mengakibatkan pemutusan ikatan a-glukosidik pati (hidrolisis pati) yang lebih banyak dibandingkan pada lama fermentasi 24 jam. Pati singkong yang diberi penambahan asam laktat 100 mmol/l (ph<3.0) sebelum diberi perlakuan pemanasan otoklaf menghasilkan kadar pati resisten yang lebih rendah jika dibandingkan pati singkong yang diberi penambahan asam laktat 1 dan 10 mmol/l (Onyango et al. 2006). Peningkatan kadar pati resisten pada tepung pisang hasil fermentasi 24 jam dilanjutkan satu siklus pemanasan otoklaf (15.24%) lebih tinggi dibandingkan tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi (11.26%). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), menunjukkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus pemanasan otoklaf berbeda nyata dengan kadar pati resisten tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi (Lampiran 20) tetapi tidak berbeda nyata dengan kadar pati resisten TPM hasil pemanasan otoklaf dua siklus (15.90 %) (Lampiran 30).

56 Kadar Pati Hasil analisis kadar pati tepung pisang fermentasi 24 dan 48 jam adalah 71.51% dan 74.11%, sedangkan kadar pati tepung pisang kontrol adalah 71.97%. Tepung pisang yang difermentasi dan diberi perlakuan satu siklus pemanasan otoklaf memiliki kadar pati 70.34% dan 70.21%, sedangkan tepung pisang dengan perlakuan satu siklus pemanasan otoklaf tanpa fermentasi memiliki kadar pati 74.11% (Gambar 11). Apata (2008) melaporkan secara umum kadar karbohidrat yang tersedia (available carbohydrates) seperti gula-gula sederhana (glukosa, fruktosa), karbohidrat rantai pendek (oligosakarida (rafinosa, stakiosa), inulin), dan pati di dalam biji-bijian yang diotoklaf tidak mengalami perubahan yang nyata (sedikit menurun) dibandingkan kadar karbohidrat yang tersedia pada bahan mentahnya. Kadar pati (%bk) a a a a a a Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 11 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar pati tepung pisang Data kadar pati menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan kadar pati tepung pisang selama fermentasi 24 dan 48 jam baik dengan maupun tanpa dikombinasikan dengan satu siklus pemanasan otoklaf. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis kadar pati selama fermentasi spontan hingga 100 jam (Gambar 7) dimana kadar pati dari tepung pisang hasil fermentasi 24 dan 48 jam belum mengalami penurunan akibat hidrolisis pati oleh enzim amilase dan asam yang diproduksi mikroba amilolitik dan bakteri asam laktat. Selain itu, pati resisten

57 57 merupakan bagian dari pati yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan manusia tetapi tetap terukur sebagai bagian dari total pati. Meningkatnya kadar pati resisten dari tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf (Gambar 10) menyebabkan kadar pati yang terukur tidak mengalami perubahan. Berdasarkan hasil analisis kadar pati yang telah dilakukan dalam penelitian ini, diketahui bahwa perlakuan kombinasi satu siklus pemanasan otoklaf baik dengan fermentasi maupun tanpa fermentasi serta perlakuan fermentasi tanpa satu siklus pemanasan otoklaf tidak mengubah kadar pati dari tepung pisang tanduk. Hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), dimana diketahui bahwa tidak ada perbedaan nyata antara kadar pati kontrol dengan kadar pati tepung pisang perlakuan (Lampiran 21) Kadar Amilosa Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), menunjukkan bahwa kadar amilosa dari tepung pisang yang difermentasi 24 dan 48 jam tanpa kombinasi pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 35.64% (bk) dan 34.95% (bk), tidak berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol (35.68%), tetapi berbeda nyata dengan kadar amilosa dari tepung pisang hasil satu siklus pemanasan otoklaf (45.30%) (Gambar 12). Kadar amilosa (%bk) b ab ab a a a Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 12 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar amilosa tepung pisang

58 58 Tidak berubahnya kadar amilosa dari tepung pisang hasil fermentasi tanpa kombinasi dengan pemanasan otoklaf menunjukkan bahwa tepung pisang hasil fermentasi selama 24 dan 48 jam belum mengalami degradasi amilosa. Hasil ini membuktikan bahwa tepung pisang hasil kedua lama fermentasi tersebut masih memiliki potensi yang baik dalam menghasilkan pati resisten. Kadar amilosa tepung pisang hasil kombinasi fermentasi 24 dan 48 jam dengan satu siklus otoklaf masing-masing adalah 40.06% (bk) dan 42.90% (bk) tidak berbeda nyata dengan kadar amilosa hasil satu siklus pemanasan otoklaf (45.30%) dan kadar amilosa kontrol (35.68%). Kadar amilosa hasil kombinasi fermentasi dengan pemanasan otoklaf jika dibandingkan kadar amilosa tepung pisang hasil pemanasan otoklaf tanpa fermentasi sedikit mengalami penurunan, meskipun masih relatif tetap. Terjadinya sedikit penurunan kadar amilosa dapat disebabkan oleh adanya penurunan suhu gelatinisasi dari granula pati. Penurunan suhu gelatinisasi akibat fermentasi dapat menyebabkan amilosa yang tergelatinisasi selama proses pemanasan otoklaf mengalami peningkatan, sehingga amilosa yang mengalami gelatinisasi dan retrogradasi kemungkinan tidak terukur lagi sebagai amilosa tetapi terukur sebagai pati resisten. Selama proses fermentasi struktur granula menjadi melemah, mengalami disintegrasi dan leaching di bagian amorf sebagian granula sehingga mengubah suhu gelatinisasi dari granula pati (Aini 2009) Daya Cerna Pati In Vitro Peningkatan kadar pati resisten akan mengakibatkan terjadinya penurunan pada daya cerna patinya, akan tetapi hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf pada irisan pisang menghasilkan tepung pisang modifikasi dengan daya cerna pati yang meningkat yaitu 60.85% (bk) dan 82.23% (bk). Semakin lama fermentasi (48 jam) menghasilkan peningkatan daya cerna pati yang lebih tinggi (82.23%) (Gambar 13). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya cerna pati tepung pisang hasil fermentasi berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 23).

59 59 Daya cerna pati (%bk) a d c bc a e Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 13 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap daya cerna pati tepung pisang Daya cerna tepung pisang hasil fermentasi 24 jam tanpa otoklaf (52.99%) lebih tinggi daripada daya cerna tepung pisang hasil fermentasi 48 jam tanpa otoklaf (49.75%). Hasil ini berkaitan dengan hasil pengukuran kadar pati resisten (Gambar 10) yang menunjukkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang hasil fermentasi 48 jam tanpa otoklaf (8.62%) lebih tinggi daripada tepung pisang hasil fermentasi 24 jam tanpa otoklaf (6.74%). Tepung pisang hasil fermentasi memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf (Gambar 13), walaupun kadar pati resisten pada tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan satu siklus pemanasan otoklaf lebih tinggi dari pada tepung pisang hasil fermentasi tanpa otoklaf (Gambar 10). Penyebab peningkatan daya cerna ini adalah karena proses fermentasi dan pemanasan otoklaf dapat melemahkan ikatan a-glukosidik pati dan oligosakarida selain pati (disakarida, tetrasakarida) yang terdapat di dalam tepung pisang sehingga akan memudahkan kerja enzim pencernaan. Hidrolisis yang terjadi selama proses fermentasi yaitu pemotongan ikatan a-glukosidik pati menjadi molekul-molekul dengan berat molekul lebih rendah (Wurzburg 1989).

60 Kadar Serat Pangan Total Kadar serat pangan total tepung pisang hasil fermentasi 24 dan 48 jam tanpa pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 7.54% (bk) dan 7.51% (bk) berbeda nyata dengan kadar serat pangan total tepung pisang hasil kombinasi fermentasi dengan pemanasan otoklaf yang masing-masing adalah 7.72% (bk) dan 7.93% (bk) (Gambar 14). Kadar serat pangan total yang tinggi dari tepung pisang perlakuan maupun kontrol yaitu antara 7-8% (bk) dapat memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh. Serat pangan total (%bk) bc a c d b b Tanpa fermentasi Fermentasi 24 jam Fermentasi 48 jam Tanpa otoklaf Otoklaf Gambar 14 Pengaruh fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf satu siklus terhadap kadar serat pangan total tepung pisang Kadar karbohidrat yang tidak tersedia (unavailable carbohydrates), seperti selulosa, lignin dan polisakarida non-selulosa tidak mengalami penurunan selama perlakuan otoklaf (Apata 2008). Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata antara kadar serat pangan total tepung pisang tanpa dan dengan satu siklus pemanasan otoklaf. Begitu pula dengan tepung pisang tanpa fermentasi dan dengan fermentasi (Lampiran 24). Meningkatnya kadar serat pangan total di dalam tepung pisang setelah diberi perlakuan fermentasi dengan atau tanpa satu siklus pemanasan otoklaf berhubungan dengan meningkatnya kadar pati resisten (Gambar 10). Haralampu (2000) menyatakan bahwa pati resisten teruji sebagai serat tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti serat larut. Hal inilah yang menyebabkan

61 61 terjadinya peningkatan kadar serat pangan total pada tepung pisang tanduk hasil modifikasi Modifikasi Tepung Pisang Melalui Pemanasan Otoklaf Berulang Kadar Pati Resisten Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar dari 8% (bk) hingga 15% (bk) (Gambar 15), lebih tinggi daripada kadar pati resisten kontrol (tanpa otoklaf), yaitu sebesar 6.38% (bk). Kadar pati resisten tertinggi dihasilkan oleh pemanasan otoklaf berulang dua siklus yaitu sebesar 15.90% (bk), dimana terjadi peningkatan sebesar 9.52% dibandingkan kadar pati resisten kontrol (6.38%) d Kadar pati resisten(%bk) c b a kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 15 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati resisten tepung pisang Peningkatan kadar pati resisten berhubungan dengan peningkatan kadar amilosa (Gambar 17) yang berasal dari bagian rantai pendek lurus amilopektin. Wen et al. (1996) melaporkan bahwa amilopektin dapat terdegradasi oleh perlakuan fisik seperti pemanasan menjadi beberapa bagian rantai pendek lurus a(1,4) glukan yang mana dapat meningkatkan kadar pati resisten. Kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) otoklaf dua siklus lebih tinggi daripada

62 62 TPM hasil otoklaf satu siklus yaitu % (bk) sedangkan pada TPM otoklaf tiga siklus, kadar pati resisten menurun menjadi 8.1% (bk) (Gambar 15). Penurunan kadar pati resisten tepung pisang modifikasi (TPM) perlakuan otoklaf tiga siklus berhubungan dengan terjadinya sedikit penurunan pada kadar amilosanya (Gambar 17), dimana kadar amilosa pada TPM tiga siklus otoklaf masih relatif tinggi tetapi tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Pembentukan pati resisten oleh proses pemanasan dan pendinginan dipengaruhi oleh proses kristalisasi amilosa. Jika kadar amilosa yang tersedia mengalami perubahan, maka kadar pati resisten yang terbentuk juga akan mengalami perubahan. Penambahan jumlah pengulangan siklus pemanasan otoklaf memiliki pengaruh yang berbeda di dalam meningkatkan kadar pati resisten. Peningkatan kadar pati resisten di dalam penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Hickman et al. (2009), dimana perlakuan otoklaf tiga kali pada tepung jagung dan gandum memberikan dampak peningkatan pati resisten dari 11% menjadi 13.3% untuk tepung jagung sedangkan pada tepung gandum peningkatan yang terjadi hanya dari 9.1% menjadi 10.9%. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), menunjukkan bahwa pemanasan otoklaf berulang memberikan peningkatan kadar pati resisten pada TPM yang berbeda nyata dengan kadar pati resisten kontrol (Lampiran 25) Kadar Pati Pati merupakan komponen utama dari tepung pisang yang belum matang ( %) (Pacheco-Delahaye et al. 2008). Kadar pati tepung pisang modifikasi setelah pemanasan berulang (satu sampai dengan tiga kali) berkisar pada % (bk) (Gambar 16), dimana berdasarkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05) kadar pati tepung pisang setelah perlakuan satu, dua dan tiga kali siklus pemanasan tidak tidak berbeda nyata dengan kontrol (70.93% bk) (Lampiran 26). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan kadar pati dari pati garut termodifikasi dimana pemanasan otoklaf dan pendinginan yang diulang sebanyak tiga hingga lima siklus tidak mempengaruhi kadar pati (Pratiwi 2008).

63 63 Kadar pati (%bk) a a a a kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 16 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar pati tepung pisang Pengukuran kadar pati dilakukan dengan menggunakan metode hidrolisis oleh asam kuat. Asam kuat akan menghidrolisis seluruh pati (struktur yang kompleks) termasuk pati resisten menjadi bentuk gula pereduksi. Kadar pati dihitung melalui konversi jumlah gula. Irisan pisang yang diberi perlakuan otoklaf dan pendinginan (suhu 4ºC, selama 24 jam) satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang yang tidak mengalami perubahan kadar patinya (pati tidak mengalami penguraian). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terukurnya pati resisten sebagai bagian dari pati selain amilosa dan amilopektin. Peningkatan kadar pati resisten (Gambar 15) dan amilosa (Gambar 17) menyebabkan kadar pati yang terukur tidak mengalami perubahan. Selain amilosa dan amilopektin, pati modifikasi (pati resisten) juga termasuk komponen pati (Pratiwi 2008) Kadar Amilosa Kadar amilosa dari tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang berkisar antara % (bk) (Gambar 17). Perlakuan pemanasan berulang satu hingga tiga siklus menghasilkan tepung pisang dengan kadar amilosa yang lebih tinggi atau cenderung konstan jika dibandingkan kadar amilosa kontrol (36% bk). Berdasarkan hasil analisis ragam dan hasil uji lanjut Duncan (a=0.05), terjadi peningkatan kadar amilosa tepung pisang modifikasi

64 64 hasil siklus pemanasan berulang yang berbeda nyata dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol (Lampiran 27). Kadar amilosa (%bk) a b b ab kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 17 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar amilosa tepung pisang Peningkatan kadar amilosa pada tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf berulang merupakan indikasi terjadi pemutusan sebagian dari ikatan cabang amilopektin. Perolehan kadar amilosa yang lebih tinggi pada pati pisang yang diberi perlakuan otoklaf dibandingkan yang tidak diberi perlakuan mengindikasikan terjadinya debranching sebagian pada amilopektin (Aparicio- Saguilan et al. 2005). Kadar amilosa yang meningkat pada tepung pisang modifikasi menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi memiliki potensi yang baik sebagai prebiotik. Pati yang kaya amilosa setelah mengalami proses gelatinisasi dan retrogradasi berpotensi menghasilkan pati resisten, dimana pati resisten tersebut apabila dapat melewati usus halus akan menjadi substrat untuk mendukung pertumbuhan probiotik (Sajilata et al. 2006) Daya Cerna Pati In Vitro Tepung pisang yang diberi pemanasan otoklaf satu kali, dua kali dan tiga kali memiliki daya cerna pati in vitro masing-masing adalah 44.94% (bk), 41.35% (bk) dan % (bk) (Gambar 18). Hasil analisis ragam dan uji lanjut

65 65 Duncan (a=0.05) menunjukkan bahwa daya cerna pati in vitro tepung pisang hasil otoklaf tiga kali siklus berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol, sedangkan tepung pisang hasil otoklaf satu dan dua siklus tidak berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 28). daya cerna pati in vitro (%bk) a a a b kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 18 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap daya cerna pati tepung pisang Peningkatan nilai daya cerna pati in vitro pada tepung pisang modifikasi tiga siklus otoklaf kemungkinan disebabkan oleh adanya penguraian sebagian dari oligosakarida dan karbohidrat sederhana lain selain pati resisten yang terdapat di dalam tepung pisang akibat proses otoklaf berulang sehingga terukur sebagai karbohidrat yang dapat dicerna. Selain itu, peningkatan daya cerna pati in vitro pada tepung pisang modifikasi (TPM) hasil tiga siklus otoklaf juga berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar pati resisten pada TPM tersebut (Gambar 15). Daya cerna pati digunakan sebagai parameter awal untuk mengindikasikan terjadinya peningkatan kadar pati resisten TPM, karena TPM dengan daya cerna yang lebih rendah kemungkinan memiliki kandungan pati resisten yang lebih besar. Peningkatan kadar pati resisten dapat menurunkan daya cerna pati in vitro karena pati resisten dapat terukur sebagai serat pangan yang tidak larut (Ranhotra et al. 1991).

66 Kadar Serat Pangan Total Serat pangan dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu serat larut dan serat tidak larut. Kadar serat pangan total adalah jumlah dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Pemanasan otoklaf berulang satu, dua dan tiga siklus menghasilkan kadar serat pangan total 7.61% (bk), 8.2% (bk) dan 8.17% (bk) (Gambar 19). Berdasarkan hasil analisis analisis ragam dan uji lanjut Duncan (a=0.05), kadar serat pangan total kontrol (7.36%) berbeda nyata dengan serat pangan total pada tepung pisang modifikasi hasil pemanasan otoklaf satu, dua dan tiga siklus (Lampiran 29). Seratpangan total (%bk) a b c c kontrol 1 kali siklus 2 kali siklus 3 kali siklus Gambar 19 Pengaruh siklus pemanasan berulang terhadap kadar serat pangan total tepung pisang Pemanasan otoklaf berulang dapat meningkatkan kadar serat pangan total dari tepung pisang modifikasi (TPM) yang dihasilkan (Gambar 19). Peningkatan kadar serat pangan total pada tepung pisang modifikasi (TPM) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar pati resisten yang terukur sebagai serat pangan tidak larut. Hasil serupa juga ditemukan pada pati garut yang dimodifikasi dengan pemanasan otoklaf dimana kadar serat pangan meningkat setelah pemanasan akibat terbentuknya pati resisten (Sugiyono et al. 2009). Pemanasan otoklaf tiga siklus tidak lagi menghasilkan peningkatan kadar serat pangan total (tidak berbeda nyata dengan TPM hasil dua siklus otoklaf) pada tepung pisang. Hasil ini sesuai dengan kadar pati resisten TPM tiga siklus otoklaf

67 67 yang mengalami penurunan (Gambar 15), sedangkan daya cernanya mengalami peningkatan (Gambar 18) Viabilitas Bakteri Asam Laktat Pada Tepung Pisang Modifikasi Beberapa penelitian in vivo yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa pati resisten memiliki potensi sebagai prebiotik yang mendukung pertumbuhan probiotik. Kultur bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan dalam penelitian ini adalah BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus plantarum sa28k dan Lactobacillus fermentum 2B4. Pengujian ini menggunakan media m-mrsb sebagai kontrol untuk melihat pertumbuhan maksimum yang dapat dicapai oleh bakteri asam laktat kandidat probiotik yang diujikan di dalam uji ini. Sel hidup dihitung setelah waktu inkubasi 24 jam. Jumlah kultur awal yang diinokulasikan dalam uji viabilitas adalah 6.30 log cfu/ml (L. acidophillus), 6.18 log cfu/ml (L. plantarum sa28k) dan 6.48 log cfu/ml (L. fermentum 2B4). Tepung pisang modifikasi (TPM) yang digunakan adalah tepung pisang hasil kombinasi fermentasi 24 jam dengan satu siklus otoklaf (TPM FO ) dan tepung pisang hasil satu siklus otoklaf tanpa fermentasi (TPM O ) yang kedua TPM tersebut sudah dihilangkan kandungan gula-gula sederhananya Lactobacillus acidophillus sp. Pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media air+tpm FO adalah sebanyak 1.41 log cfu/ml sedangkan pada media air+tpm O sebanyak 1.04 log cfu/ml (Gambar 20). Media air digunakan untuk dapat mengamati pengaruh TPM secara khusus dalam membantu meningkatkan pertumbuhan L. acidophillus sp., sehingga dapat menunjukkan sifat prebiotik suatu bahan yang ditambahkan ke dalam media karena hanya bahan tersebut yang dapat digunakan sebagai sumber karbon (nutrisi).

68 Log cfu/ml m-mrsb m-mrsb+tpmo m-mrsb+tpmf0 Air+TPM0 Air+TPMF0 Gambar 20 Viabilitas L. acidophillus sp.pada beberapa media TPM Peningkatan pertumbuhan L. acidophillus sp. pada media m- MRSB+TPM FO cukup baik yaitu sebanyak 2.51 log cfu/ml dan pada media m- MRSB+TPM O yaitu sebanyak 2.34 log cfu/ml. Akan tetapi, jika kita mengamati selisih pertumbuhan L. acidophillus sp. antara media m-mrsb sebagai media kontrol dengan media m-mrsb+tpm sebagai media pertumbuhan, peningkatan pertumbuhan yang terjadi relatif kecil yaitu antara log cfu/ml (Gambar 20) Lactobacillus plantarum sa28k Uji viabilitas Lactobacillus plantarum sa28k menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan pada media air+tpm FO adalah sebanyak 0.54 log cfu/ml dan pada media air+tpm O adalah sebanyak 1.14 log cfu/ml (Gambar 21). Berdasarkan jumlah peningkatan pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media air yang ditambahkan TPM, dapat disimpulkan bahwa TPM O lebih membantu pertumbuhan dari L. plantarum sa28k dibandingkan TPM FO. Respon pertumbuhan pada media air+tpm FO yang berbeda antara L. acidophillus (1.41 log cfu/ml) dengan L. plantarum sa28k (0.54 log cfu/ml) menunjukkan bahwa setiap strain memiliki skor aktivitas prebiotik yang berbeda. Interaksi prebiotik dengan probiotik sangat tergantung pada strain bakteri (bersifat spesifik), bukan hanya berdasarkan pada spesies (Artanti 2009).

69 Log cfu/ml m-mrsb m-mrsb+tpmo m-mrsb+tpmf0 Air+TPM0 Air+TPMF0 Gambar 21 Viabilitas L. plantarum sa28k pada beberapa media TPM Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-mrsb+tpm FO sangat baik yaitu sebesar 2.63 log cfu/ml, sangat berbeda dengan pertumbuhannya pada media air+tpm FO yang hanya mengalami peningkatan 0.54 log cfu/ml. Perbedaan ini menunjukkan bahwa L. plantarum sa28k sangat membutuhkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhannya. Media m-mrsb merupakan media bebas gula (sumber karbon) yang masih mengandung pepton dan ekstrak khamir (sumber nitrogen) serta mineral. Pertumbuhan L. plantarum sa28k pada media m-mrsb+tpm O adalah sebanyak 2.57 log cfu/ml. Selisih peningkatan pertumbuhan yang terjadi antara media m-mrsb sebagai media kontrol dengan media m-mrsb+tpm sebagai media pertumbuhan adalah antara log cfu/ml (Gambar 21) Lactobacillus fermentum 2B4 Peningkatan pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media air+tpm FO adalah sebanyak 1.63 log cfu/ml, sedangkan pada media air+tpm O adalah sebanyak 1.8 log cfu/ml (Gambar 22). Pertumbuhan L. fermentum 2B4 ( log cfu/ml) pada media air+tpm jika dibandingkan dengan pertumbuhan L acidophillus sp. ( log cfu/ml) dan L. plantarum sa28k ( log cfu/ml) relatif lebih tinggi. Perbedaan jumlah peningkatan pertumbuhan pada media air+tpm juga menunjukkan perbedaan kemampuan suatu BAL probiotik dalam memanfaatkan sumber nutrisi (fermentasi prebiotik) yang ada pada media pertumbuhannya.

70 Log cfu/ml m-mrsb m-mrsb+tpmo m-mrsb+tpmf0 Air+TPM0 Air+TPMF0 Gambar 22 Viabilitas L. fermentum 2B4 pada beberapa media TPM Uji viabilitas L. fermentum 2B4 menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan L. fermentum 2B4 pada media m-mrsb+tpm FO adalah sebanyak 2.52 log cfu/ml, sedangkan pada media air+tpm O adalah sebanyak 2.29 log cfu/ml. Selisih pertumbuhan L. fermentum 2B4 antara media m-mrsb sebagai media kontrol dengan media m-mrsb+tpm sebagai media pertumbuhan adalah antara log cfu/ml (Gambar 22). Hasil uji viabilitas terhadap ketiga BAL kandidat probiotik yaitu Lactobacillus acidophillus sp., L. plantarum sa28k dan L. fermentum 2B4 yang ditumbuhkan pada media TPM bebas gula menunjukkan hasil bahwa TPM hasil otoklaf baik dengan dikombinasi fermentasi (TPM FO ) maupun tanpa fermentasi (TPM O ) memiliki potensi dalam membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis kadar amilosa pada (TPM O ) dan (TPM FO ) dimana keduanya memiliki kadar amilosa dan kadar pati resisten yang relatif tinggi (Gambar 10 dan Gambar 12). Topping et al. (1997) melaporkan bahwa pati resisten dari pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki granula-granula pati yang membentuk suatu pola permukaan bagi probiotik untuk melekat pada usus bagian atas, sehingga dapat meningkatkan viabilitas probiotik. TPM sebagai sumber nutrisi masih mengandung banyak karbohidrat dari pati yang bersifat tidak resisten, sehingga menyebabkan lebih mudah untuk dicerna dan dimetabolisme oleh probiotik. Pengujian viabilitas probiotik pada TPM masih perlu dikonfirmasi dengan hanya menggunakan pati resistennya saja, bukan dalam bentuk tepung (TPM).

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang 19 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Tanaman pisang berbunga pada saat berumur 9-12 bulan setelah tanam. Pemotongan tandan dilakukan pada umur 80-110 hari setelah berbunga dan biasanya pada umur 110 hari

Lebih terperinci

Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional

Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II TAHUN 2009 Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung,

PENDAHULUAN. Sumber utama karbohidrat, diantaranya adalah serealia (contoh gandum, jagung, 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Karbohidrat merupakan senyawa organik yang jumlahnya paling banyak dan bervariasi dibandingkan dengan senyawa organik lainnya yang terdapat di alam. Sumber utama karbohidrat,

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key words : banana flour, lactic acid bacteria, autoclaving, resistant starch

ABSTRACT. Key words : banana flour, lactic acid bacteria, autoclaving, resistant starch PATI RESISTEN DAN SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) YANG DIMODIFIKASI MELALUI FERMENTASI BAKTERI ASAM LAKTAT DAN PEMANASAN OTOKLAF RESKI PRAJA PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang memiliki warna ungu pekat. Ubi jalar ungu menjadi sumber vitamin C dan betakaroten (provitamin A) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat dewasa ini telah memandang pentingnya menjaga kesehatan sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang baik tetapi juga yang dapat

Lebih terperinci

METODOLOGI Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Bahan dan Alat

METODOLOGI Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Bahan dan Alat 29 METODOLOGI Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011 hingga Maret 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman. 26 TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta) Ubi kayu (Manihot esculenta) tumbuh dengan sangat baik di daerah-daerah dengan suhu antara 25 o C-29 o C dengan ketinggian daerah sekitar 1.500 m. dpl.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang merupakan salah satu buah tropis yang paling banyak ditemukan dan dikonsumsi di Indonesia. Produksi pisang di Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun.

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang jumlah penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Menurut data yang dikeluarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Badan Standarisasi Nasional (1995), es krim adalah jenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung es krim atau dari campuran susu, lemak hewani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Kepok Pisang adalah tanaman buah yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.)

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) Umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini berumur sekitar 10 bulan ketika dipanen. Kandungan pati maksimum adalah pada saat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2.

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Asam Lemak Bebas Rantai Pendek 3.1.1. Profil Asam Lemak Rantai Pendek (Short-Chain Fatty Acid/SCFA) Tabel 2. Profil analisis kandungan asam lemak rantai pendek/short chain

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa asupan kedalam tubuh. Beberapa asupan yang dibutuhkan oleh tubuh

BAB I PENDAHULUAN. beberapa asupan kedalam tubuh. Beberapa asupan yang dibutuhkan oleh tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari manusia memerlukan beberapa asupan kedalam tubuh. Beberapa asupan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia antara lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Dendrocalamus asper) dan bambu legi (Gigantochloa ater). Keunggulan dari

I. PENDAHULUAN. (Dendrocalamus asper) dan bambu legi (Gigantochloa ater). Keunggulan dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rebung merupakan salah satu bahan makanan yang cukup populer di masyarakat. Rebung pada pemanfaatannya biasa digunakan dalam kuliner atau makanan tradisional masyarakat

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan buah-buahan dengan jenis yang banyak di Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok dan masih banyak lagi. Menurut Kementrian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras diperoleh dari butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekam), merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar butir beras

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan yaitu umbi garut kultivar creole berumur 10 bulan yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu

Lebih terperinci

8. PEMBAHASAN UMUM Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

8. PEMBAHASAN UMUM Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan 99 8. PEMBAHASAN UMUM Telah dilakukan upaya untuk meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang yaitu dengan meningkatkan kandungan pati resisten (RS) tepung pisang melalui kombinasi fermentasi spontan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki konsumsi yang besar terhadap produk tepung terigu baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu nasional masih belum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

DISERTASI. Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor di Program Doktor Ilmu Pertanian

DISERTASI. Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor di Program Doktor Ilmu Pertanian KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONAL DAN IDENTIFIKASI NILAI INDEKS GLIKEMIK SERTA SIFAT HIPOGLIKEMIK BERAS ANALOG BERBASIS PATI SAGU (Metroxylon spp.) DAN TEPUNG KACANG MERAH (Phaseolus vulgaris) DISERTASI Disusun

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI

PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI PRODUKSI CASSAVA SOUR STARCH DENGAN VARIASI MEDIA STARTER BAKTERI ASAM LAKTAT DAN LAMA FERMENTASI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data WHO (2000), 57 juta angka kematian di dunia setiap

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data WHO (2000), 57 juta angka kematian di dunia setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut data WHO (2000), 57 juta angka kematian di dunia setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit tidak menular dan sekitar 3,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi besar

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi besar untuk dikembangkan secara komersial. Data statistik menunjukkan bahwa perkembangan produksi jagung

Lebih terperinci

PENGARUH KONSUMSI TEPUNG PRA MASAK PISANG TANDUK DAN PISANG RAJA NANGKA PADA SIFAT FISIK DAN KIMIA DIGESTA TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI

PENGARUH KONSUMSI TEPUNG PRA MASAK PISANG TANDUK DAN PISANG RAJA NANGKA PADA SIFAT FISIK DAN KIMIA DIGESTA TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI PENGARUH KONSUMSI TEPUNG PRA MASAK PISANG TANDUK DAN PISANG RAJA NANGKA PADA SIFAT FISIK DAN KIMIA DIGESTA TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pada Program

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bekatul tidak banyak dikenal di masyarakat perkotaan, khususnya anak muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 50% penduduk dunia tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, konsumsi dari kelompok padi-padian masih dominan baik di kota maupun di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) berasal dari Amerika Tengah, pada tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia (Rukmana, 2001). Ubi jalar (Ipomoea

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pati merupakan polimer glukosa yang banyak ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Secara alami pati ditemukan dalam bentuk butiran-butiran yang disebut granula. Granula

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah pengidap diabetes melitus (diabetesi) di dunia saat ini terus

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah pengidap diabetes melitus (diabetesi) di dunia saat ini terus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah pengidap diabetes melitus (diabetesi) di dunia saat ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan sejak tahun 1990, diabetes melitus termasuk 29 penyakit

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makan yang tidak sehat. Pola makan yang tidak sehat dan tidak bervariasi

BAB I PENDAHULUAN. makan yang tidak sehat. Pola makan yang tidak sehat dan tidak bervariasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi kesehatan masyarakat Indonesia semakin terancam akibat pola makan yang tidak sehat. Pola makan yang tidak sehat dan tidak bervariasi seperti mengkonsumsi karbohidrat

Lebih terperinci

MUTU DAN POTENSI BROWNIES KUKUS SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI SKRIPSI ANNISA VANIA F

MUTU DAN POTENSI BROWNIES KUKUS SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI SKRIPSI ANNISA VANIA F MUTU DAN POTENSI BROWNIES KUKUS SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI SKRIPSI ANNISA VANIA F24061582 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 QUALITY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati 1 I. PENDAHULUAN Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati (lebih banyak mengandung amilopektin dibanding amilosa). Untuk keperluan yang lebih luas lagi seperti pembuatan biskuit,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang,

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi tanaman singkong di Indonesia sangat tinggi, menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 produksi tanaman singkong di Indonesia mencapai 24.044.025 ton

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB

Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB J. Pascapanen 9 (1) 2012: 18-26 FERMENTASI KULTUR CAMPURAN BAKTERI ASAM LAKTAT DAN PEMANASAN OTOKLAF DALAM MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN DAN SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca formatypica)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan tepung terigu di Indonesia saat ini terus meningkat. Asosiasi Produsen

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan tepung terigu di Indonesia saat ini terus meningkat. Asosiasi Produsen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan tepung terigu di Indonesia saat ini terus meningkat. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) melaporkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bahwa belum makan kalau belum mengkonsumsi nasi. Adanya kebiasaan ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bahwa belum makan kalau belum mengkonsumsi nasi. Adanya kebiasaan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan bahwa belum makan kalau belum mengkonsumsi nasi. Adanya kebiasaan ini menyebabkan konsumsi beras di Indonesia sangat tinggi dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur relatif pendek, mudah diproduksi pada berbagai lahan dengan produktifitas antara 20-40 ton/ha

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Enzim amilase termasuk dalam enzim amilolitik yaitu enzim yang dapat mengurai pati menjadi molekul-molekul penyusunnya. Amilase merupakan salah satu enzim yang sangat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia,

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari segala ciptaannya. Sekecilkecilnya makhluk ciptaannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri.

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakso adalah makanan yang banyak digemari masyarakat di Indonesia. Salah satu bahan baku bakso adalah daging sapi. Mahalnya harga daging sapi membuat banyak

Lebih terperinci

di Indonesia, misalnya pisang. Buah adalah tanaman buah yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia. Pisang mengandung pati cukup tinggi (20-30%)

di Indonesia, misalnya pisang. Buah adalah tanaman buah yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia. Pisang mengandung pati cukup tinggi (20-30%) BAB I PENDAHULUAN Masalah kesehatan yang akhir-akhir ini dialami masyarakat modern dengan tingkat ekonomi yang cukup adalah kegemukan, konstipasi (susah buang air besar), kanker kolon dan masalah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang 5 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu produk hortikultura Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena ketersediaannya yang tidak mengenal musim serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya status ekonomi masyarakat dan gencarnya iklan produk pangan menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan seseorang. Salah satu jenis komoditas pangan yang

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Persiapan Bahan Baku

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Persiapan Bahan Baku 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Februari 2010 yang merupakan bagian dari penelitian labu kuning yang dilaksanakan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam industri pangan di Indonesia. Rata-rata kebutuhan terigu perusahaan roti, dan kue kering terbesar di Indonesia mencapai 20 ton/tahun,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di 13 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Materi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan untuk pembuatan produk, menguji total bakteri asam

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai Februari 2011 sampai dengan Juli 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010).

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras adalah salah satu jenis sereal yang dikonsumsi hampir satu setengah populasi manusia dan kira-kira 95% diproduksi di Asia (Bhattacharjee, dkk., 2002). Terdapat beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan akan meningkat seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu hasil pertanian tanaman pangan di daerah tropika yang meliputi Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI Nomor 22 tahun 2009 merupakan strategi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pengganti beras dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. alternatif pengganti beras dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman jagung (Zea mays) merupakan salah satu bahan makanan alternatif pengganti beras dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, jagung juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok alternatif selain beras. Mie merupakan produk pangan yang telah menjadi kebiasaan konsumsi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dengan hasil pertanian yang melimpah. Pisang merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya status ekonomi masyarakat dan banyaknya iklan produk-produk pangan menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan seseorang. Salah satunya jenis komoditas pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Hampir semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh kita terdapat dalam susu. Susunan nilai gizi yang sempurna ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. panjang serta bersifat anaerob fakultatif dan katalase negatif (Prescott et al.,

I. PENDAHULUAN. panjang serta bersifat anaerob fakultatif dan katalase negatif (Prescott et al., 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lactobacillus merupakan genus terbesar dalam kelompok bakteri asam laktat (BAL) dengan hampir 80 spesies berbeda. Bakteri ini berbentuk batang panjang serta bersifat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan fungsional adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat

I. PENDAHULUAN. Pangan fungsional adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pangan fungsional adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah yang salah satunya disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cookies merupakan alternatif makanan selingan yang cukup dikenal dan digemari oleh masyarakat. Cookies dikategorikan sebagai makanan ringan karena dapat dikonsumsi setiap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian PENDAHULUAN Latar Belakang Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis makanan. Pengolahan buahbuahan bertujuan selain untuk memperpanjang

Lebih terperinci