BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahui

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahui"

Transkripsi

1 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Social Phobia Definisi Social Phobia Istilah social phobia pertama kali diciptakan oleh Janet pada tahun 1903 (dalam Heimberg dkk, 1995) untuk menggambarkan pasiennya yang cemas ketika diamati oleh orang lain saat sedang berbicara, atau melakukan aktivitas seperti bermain piano dan menulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahui sejak masa Hippocrates (dalam Heimberg dkk, 1995). Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR; APA, 2004) social phobia atau juga sering diistilahkan dengan social anxiety disorder adalah ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Karakteristik utama dari social phobia adalah ketakutan yang berlebihan bahwa dirinya akan dilihat dan diamati oleh orang lain. Individu dengan social phobia merasa sangat terganggu dengan adanya kemungkinan bahwa ia akan melakukan kesalahan atau menunjukkan tandatanda kecemasan yang akhirnya membuat ia dipermalukan di depan orang lain Kriteria diagnostik social phobia Berikut adalah kriteria diagnostik social phobia berdasarkan DSM-IV TR (APA, 2004): A. Ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau situasi saat harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal

2 11 dengan baik atau situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Individu merasa takut dirinya akan melakukan sesuatu yang memalukan atau menunjukkan gejala-gejala kecemasannya di hadapan orang lain. Diagnosis social phobia dapat ditegakkan pada anak jika anak tersebut terbukti memiliki kapasitas yang sesuai dengan usianya untuk membina hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dengan baik, kecemasan juga harus muncul pada saat interaksi dengan teman sebaya, bukan hanya saat berinteraksi dengan orang dewasa. B. Saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakuti, kecemasan akan muncul dalam bentuk serangan panik. Pada anak-anak, kecemasan muncul dalam bentuk perilaku seperti menangis, tantrum, diam membisu, atau bersembunyi dari situasi sosial yang terdiri dari orang-orang yang belum dikenalnya. C. Individu menyadari bahwa ketakutan yang ia rasakan adalah berlebihan dan tidak masuk akal. Pada anak-anak, kriteria ini tidak termasuk. D. Individu menghindar dari situasi sosial yang ditakuti atau apabila tetap berada pada situasi tersebut, ia akan mengalami kecemasan yang hebat. E. Perilaku menghindar, antisipasi kecemasan atau kesulitan yang dialami dalam situasi sosial yang ditakuti menimbulkan gangguan secara signifikan dalam rutinitas normal individu, fungsi pekerjaan atau akademis, hubungan sosial atau individu terlihat tertekan dengan fobia yang dialaminya. F. Jika individu berusia di bawah 18 tahun, maka gejala-gejala tersebut berlangsung selama sekurang-kurangnya 6 bulan. G. Ketakutan atau perilaku menghindar bukan disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat tertentu (misalnya narkotika atau obat-obatan) atau kondisi medis dan kondisi ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lainnya.

3 12 H. Apabila disertai oleh kondisi medis atau gangguan mental lainnya maka ketakutan yang tertera pada kriteria A tidak berhubungan dengan kondisi tersebut. Spesifikasi: Generalized: apabila kecemasan muncul hampir pada setiap situasi sosial (dipertimbangkan juga Avoidant Personality Disorder sebagai diagnosis tambahan) Situasi yang ditakuti pada social phobia Secara umum, terdapat dua situasi yang ditakuti oleh individu dengan social phobia (Liebowitz, dalam Heimberg dkk, 1995) yaitu: a. Situasi interaksi sosial Yang termasuk dalam situasi interaksi sosial adalah pesta, bertemu dengan orang asing, percakapan sehari-hari, berbicara dengan figur otoritas, mempertahankan kontak mata, bersikap asertif. b. Situasi performance Berbicara di hadapan sekelompok orang, makan atau minum di depan orang lain, menggunakan toilet umum, tampil di depan orang lain. Sebuah skala kemudian dikembangkan oleh Liebowitz untuk mengetahui tingkat kecemasan individu terhadap masing-masing tipe situasi sosial tersebut. Banyaknya situasi yang dicemaskan oleh individu dengan social phobia dapat bervariasi. DSM-IV- TR sendiri mengkhususkan dua jenis social phobia yaitu generalized apabila individu merasa cemas hampir pada setiap situasi sosial, dan specific jika kecemasan muncul hanya pada situasi tertentu, misalnya saat berbicara formal atau tampil di depan umum (APA, 2004).

4 Karakteristik simptom social phobia Karakteristik simptom social phobia dapat dilihat melalui 3 aspek sebagai berikut (Clarks dan Wells, dalam Crozier & Alden, 2001): a. Aspek kognitif Individu dengan social phobia sangat mengkhawatirkan tentang bagaimana orang lain akan mempersepsikan dan menilai dirinya. Kecemasan pada individu dengan social phobia disebabkan oleh adanya distorsi kognitif berupa pikiranpikiran negatif, persepsi akan kekurangan diri, standar yang tinggi saat tampil di hadapan orang lain, dan keyakinan irasional mengenai standar yang digunakan orang lain untuk menilai dirinya. Pada saat akan memasuki situasi sosial tertentu, individu dengan social phobia memikirkan secara detil tentang apa yang akan terjadi dan bagaimana dia akan menghadapi kesulitannya. Pikiranpikiran negatif tersebut tetap ada saat ia telah masuk dalam situasi sosial tersebut. Bahkan setelah keluar dari situasi tersebut, individu masih membayangkan secara detil apa yang telah terjadi pada dirinya. b. Aspek perilaku Pada saat menghadapi situasi sosial yang ditakutinya, individu dengan social phobia kerap memunculkan avoidance behavior yang memiliki 3 bentuk sebagai berikut: - Avoidance Hal ini dilakukan dengan cara menghindar sepenuhnya dari situasi sosial yang ditakuti. - Escape Respon ini dilakukan apabila individu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari situasi sosial tertentu. Individu pun akhirnya memasuki

5 14 situasi tersebut namun kemudian berusaha untuk keluar dari situasi tersebut lebih awal. - Safety behavior/partial avoidance Apabila avoidance dan escape behavior tidak mungkin dilakukan, maka individu dengan social phobia biasanya melakukan safety behavior/partial avoidance yang digunakan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan seperti misalnya menghindari kontak mata, berbicara dengan cepat, berbicara dengan suara pelan, atau duduk di kursi bagian belakang. c. Aspek fisiologis Individu dengan social phobia mengalami sejumlah reaksi somatis saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakutinya. Reaksi ini muncul akibat meningkatnya aktifitas sistem saraf otonom, adapun diantaranya adalah jantung berdebar kencang, wajah memerah, keringat, gemetaran, otot tegang, serta perut terasa tidak enak Faktor Etiologi Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya social phobia yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis, peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan (Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001). a. Kerentanan Genetik Beberapa hasil penelitian membuktikan peran faktor genetik terhadap social phobia. Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap saudara

6 15 kembar, berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar 24.4% untuk kembar monozigot perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki (Kendler dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Penelitian lainnya dilakukan untuk mengetahui faktor resiko social phobia dalam sebuah keluarga dengan cara membandingkan antara individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dengan individu yang tidak memiliki kerabat pasien social phobia. Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan rata-rata social phobia pada individu yang memiliki kerabat pasien social phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Meskipun demikian, ternyata banyak juga individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dan saudara kembar dari pasien social phobia tidak mengalami gangguan ini. Dengan demikian faktor lain mungkin turut berperan dalam terjadinya social phobia. Dilaporkan juga dari hasil pencitraan otak dan teknik genotyping bahwa serotonin pengangkut protein dan kepadatan reseptor dopamine berpengaruh pada patogenesis social phobia dan generalized anxiety disorder (Schmidt dkk; Tiihonen dalam Kashdan dan Herbert, 2001). b. Temperamen Behavioral Inhibition Beberapa studi menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristik pemalu, cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagi berkembangnya social phobia di kemudian hari (Stemberger dkk, Turner dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun usia munculnya social phobia rata-rata 15 tahun, namun karakteristik pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan (Kagan dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Kagan menggunakan istilah behavioral inhibition (BI) untuk menggambarkan kecenderungan bada bayi dan anak-anak untuk menarik diri dari situasi, orang maupun objek yang baru baginya. Anak dengan temperamen ini semasa

7 16 bayinya digambarkan sebagai bayi yang mudah terganggu dan kurang tidur, mudah cemas di masa balita, dan menarik diri sejak masa anak-anak hingga dewasa (Kagan dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta menyebutkan adanya hubungan antara BI dengan berkembangnya gangguan kecemasan (Biederman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya untuk mengalami social phobia. BI juga dikatakan berhubungan dengan tingginya negative affect (NA) dan rendahnya positive affect (PA) yang merupakan ciri dari individu dengan social phobia (Brown dkk; Watson dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen ini memiliki ambang batas reaksi fisiologis yang rendah, NA yang tinggi dikarakteristikkan menunjukkan reaksi fisiologis yang berlebihan, mudah takut terhadap situasi maupun orang yang baru baginya. PA yang rendah bersumber dari kecenderungan menghindari situasi maupun orang baru. Sesuatu hal yang baru dikatakan tidak hanya menimbulkan kecemasan dan penolakan, akan tetapi juga dapat memunculkan emosi positif seperti minat, ketertarikan dan kesenangan (Izard dan Hyson; Spielberger dan Starr dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Anak dengan temperamen BI cenderung mudah curiga dan sangat berhati-hati sehingga saat menghadapi situasi yang baru mereka kurang bereksplorasi dengan lingkungan. Namun demikian tidak semua anak dengan temperamen BI akan mengalami social phobia. Schwartz (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) dalam penelitiannya menemukan hanya 34% remaja yang semasa anak-anaknya tergolong dalam temperamen BI yang menunjukkan simptom social phobia pada usia 13 tahun. Hal ini berarti terdapat faktor

8 17 lainnya yang dapat mempengaruhi berkembangnya social phobia termasuk diantaranya pengalaman hidup (Stein dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). c. Pengalaman dari lingkungan Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Setiap pengalaman tersebut berpotensi untuk menciptakan umpan balik negatif terkait dengan kecemasan, perilaku menghindar dan hambatan dalam kemampuan sosial. Orang tua berpengaruh terhadap resiko berkembangnya simptom-simptom social phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkan kecenderungan negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadap anak, tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampau melindungi dan posesif. Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinan negatif mengenai ancaman yang ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkan penilaian dari orang lain kepada anak (Chorpita dkk; Ginsburg dkk; dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengan social phobia cenderung mempersepsikan orang tuanya sebagai sosok dengan pergaulan yang terbatas dan kerap menghindar dari situasi sosial serta jarang berkumpul bersama teman ataupun keluarga (Bruch & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengasuhan yang menekankan

9 18 pentingnya penilaian dari orang lain atau kurangnya komunikasi dan ekspresi emosional dapat mengembangkan sifat pemalu dan rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak (Melfsen dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Pada penelitian lainnya, Vernberg dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa saat anak dengan social phobia masuk ke sekolah baru ia lebih mengalami kesulitan untuk berteman dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami social phobia. Kecemasan sosial yang tinggi secara signifikan menyebabkan kurangnya interaksi dan kedekatan yang merupakan faktor penting untuk mengembangkan hubungan pertemanan. Sebuah fakta yang menarik ditemukan yaitu bahwa kecemasan pada anak dengan social phobia juga muncul terhadap temanteman yang sudah dikenalnya dengan baik bukan semata-mata terhadap situasi atau orang yang baru dikenalnya (Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remaja seperti presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh teman sebaya juga dapat memicu simptom-simptom social phobia (Albano & Barlow dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Meskipun belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai masalah ini namun fakta yang ada menunjukkan bahwa cemoohan dari teman sebaya berhubungan positif dengan kecemasan sosial dan perilaku menghindar pada anak laki-laki maupun perempuan (Asher & Coie; Slee dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Pada sebuah penelitian terhadap orang dewasa dengan karakter pemalu, dilaporkan bahwa pengalaman dicemooh dan dipermalukan oleh teman sebaya dianggap sebagai peristiwa di masa kanak-kanak yang memunculkan ketakutan dan perilaku menghindar (Ishiyama dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).

10 Faktor-faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom social phobia Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom social phobia yaitu bias kognitif, hambatan kemampuan sosial dan operant conditioning (Beck dkk; Clark & Wells; Musa & Lepine dalam Kashdan & Heirbert, 2001). Menurut pendekatan kognitif, inti dari social phobia adalah adanya keinginan yang kuat untuk tampil dan disukai oleh orang lain namun disertai oleh persepsi ketidakmampuan diri untuk melakukan hal tersebut. Individu dengan social phobia merasa yakin bahwa dirinya akan melakukan sesuatu yang akan menimbulkan penolakan dan penilaian negatif dari orang lain. Keyakinan ini ditambah dengan persepsi tentang adanya penilaian dari orang lain menimbulkan pernyataan diri negatif dan membuat individu menjadi terobsesi dengan penampilan sosial orang lain (Hartman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hal inilah yang kemudian terwujud menjadi simptom kecemasan dalam bentuk reaksi fisiologis dan perilaku. Reaksi fisiologis seperti wajah yang memerah, berkeringat dingin, gangguan pencernaan lalu diinterpretasikan oleh individu sebagai bukti bahwa ia tidak berhasil yang pada akhirnya semakin meningkatkan kecemasan. Individu pun menjadi fokus pada pikiran negatifnya, reaksi somatis serta sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa orang lain menilai buruk dirinya. Hal ini kemudian akan menghambat fungsi sosial individu tersebut (Hope, Gansler & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hambatan dalam kemampuan sosial juga dikatakan berpengaruh terhadap bertahannya simptom-simptom social phobia. Spence dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa remaja dengan social phobia lebih cemas dan menunjukkan kemampuan sosial yang buruk dibandingkan dengan kelompok individu yang tidak mengalami social phobia. Penelitian lainnya menemukan bahwa anak

11 20 dengan social phobia cenderung kurang bergaul dan juga kurang mendapatkan dukungan dan penerimaan dari teman sebaya (La Greca dan Lopez dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta-fakta ini sering disalah artikan oleh individu dengan social phobia, ia menganggap dirinya memiliki hambatan dalam kemampuan sosial. Sesungguhnya permasalahan yang berkaitan dengan perilaku sosial bisa jadi mencerminkan adanya hambatan dalam keterampilan sosial, atau kemungkinan permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari kecemasan yang berlebihan. Faktor-faktor lainnya seperti penguat negatif terhadap perilaku menghindar yang sering muncul dari interaksi orang tua dan anak, hubungan dengan teman sebaya, serta ingatan akan peristiwa traumatis juga mempengaruhi bertahannya simptom-simptom social phobia. Penguat negatif dapat muncul sewaktu individu berusaha untuk menghindari suatu situasi dan merasa lega saat ia berhasil menghindar dari situasi tersebut. Demikian juga halnya dengan peristiwa traumatis, misalnya dengan menyaksikan seseorang yang terjatuh di muka umum juga dapat menjadi penguat negatif serta menimbulkan perasaan lega pada individu dengan social phobia. Orang tua sering kali tanpa disadari memberikan penguat negatif kepada anak dengan cara membantu anak untuk menghindari situasi yang ditakutinya, misalnya dengan menuliskan surat izin kepada guru agar anaknya tidak masuk sekolah. Faktor-faktor operant yang menguatkan pola perilaku menghindar ini dapat mempengaruhi tugastugas perkembangan anak. Sebagai contoh kesempatan anak untuk menguasai keterampilan penting dalam interaksi sosial seperti membina hubungan persahabatan dan mencapai kemandirian dari keluarga menjadi terbatas. Perilaku menghindar berlebihan pada masa-masa penting perkembangan seorang anak berpengaruh negatif terhadap perkembangan keterampilan sosial anak dan menjadi penguat bagi bias kognitif yang maladaptif.

12 Coping Cat Definisi Coping Cat Program Coping Cat dikembangkan oleh Philip C. Kendall, seorang ahli psikologi klinis yang memfokuskan terapinya pada anak-anak dan remaja. Program ini sendiri dikhususkan untuk penanganan gangguan kecemasan terutama untuk anak-anak berusia 7 hingga 13 tahun yang memenuhi kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk separation anxiety disorder, social phobia, dan generalized anxiety disorder. Coping Cat mengkombinasikan antara efektivitas pendekatan perilaku dan juga menekankan faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan kecemasan. Program ini juga melibatkan sumber dukungan sosial yang ada, seperti orang tua dan teman sebaya (Kendal & Hedtke, 2006). Secara keseluruhan, program Coping Cat bertujuan untuk mengajarkan kepada anak dalam mengenali tanda-tanda kecemasan dan menjadikannya isyarat untuk melakukan strategi pengendalian kecemasan. Program ini berdasarkan pada manual yang terstruktur untuk membangun keterampilan anak secara bertahap mulai dari mengidentifikasi proses kognitif yang terkait dengan kecemasan, menerapkan strategi kognitif untuk mengendalikan kecemasan dan mempraktikkannya secara langsung pada situasi yang menimbulkan kecemasan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Coping Cat adalah suatu terapi yang bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan dengan melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif yang terkait dengan kecemasan.

13 Konsep Teori dalam Program Coping Cat Teori Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan dasar dalam memahami Coping Cat Kendall. Hanya saja Kendall lebih memfokuskan penerapan CBT pada anak-anak dan remaja. Kendall mengemukakan definisi tersediri mengenai CBT yaitu sebuah amalgam; kombinasi yang rasional, suatu upaya yang bertujuan untuk mempertahankan efek positif yang terlihat dari prosedur perilaku dalam konteks yang fleksibel dengan melibatkan aktivitas kognitif dan pengalaman emosional klien dalam proses terapi untuk menuju pada perubahan (Kendall dan Hollon, dalam Kendall, 2006). Sesuai dengan definisi tersebut, maka dalam terapinya Kendall menggunakan prosedur latihan aktif dan sesi yang terstruktur (melalui penggunaan manual dan buku kerja) serta strategi-strategi yang ditujukan untuk membawa perubahan pada pola pikir, emosi dan perilaku klien. Kendall (2006) memfokuskan terapinya dalam menangangi gangguan pada anak-anak dan remaja dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan fisiologis serta aspek-aspek perkembangan lainnya yang terjadi pada fase tersebut. Selain itu terapinya tetap mengutamakan upaya untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan melibatkan kekuatan-kekuatan kognitif yang mempengaruhi proses pengolahan informasi, mengkaitkannya dengan aspek sosial dan emosional, mempertimbangkan peran orang tua atau keluarga terhadap permasalahan yang dialami individu serta penekanan pada performa klien. Penerapan teori tersebut dilakukan melalui prosedur yang terstruktur dan berdasarkan pada manual. Menurut Kendall (2006), strategi kognitif untuk pemecahan masalah (problem solving) dapat dimaksimalkan melalui aktivitas-aktivitas dalam terapi yang bertujuan dan terencana. Berbagai cara dan model pengolahan informasi sangat mempengaruhi bagaimana individu memandang dunia dan menjalaninya. Proses pengolahan informasi

14 23 yang disfungsional harus dapat disadari dan dimodifikasi. Caranya dengan mengajarkan strategi kognitif baru untuk memperbaiki pola pikir yang salah pada anak-anak maupun remaja. Kendall (2006) berpendapat bahwa terapinya juga berkaitan erat dengan aspek emosi baik positif maupun negatif. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku individu karena ia menganggap bahwa kognisi, emosi dan perilaku saling berhubungan satu dengan yang lain. Kemampuan individu untuk memecahkan masalah juga membutuhkan pemahaman serta modifikasi terhadap kondisi emosi. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall sangat memperhatikan dan memfokuskan pada kondisi emosi klien. Aspek sosial dan interpersonal juga memberikan kontribusi yang tidak kalah pentingnya terhadap gangguan yang dialami klien. Kendall (2006) mempertimbangkan pentingnya hubungan sosial baik dengan keluarga maupun teman sebaya terhadap penyesuaian psikologis yang sehat. Klien harus memiliki kemampuan adaptasi serta coping yang efektif terhadap situasi sosial. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall melibatkan orang tua namun tentunya hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk gangguan yang dialami anak serta tahap perkembangannya. Pada anak dengan separation anxiety disorder, keterlibatan orang tua akan sangat berpengaruh dan memberi dampak positif. Sedangkan untuk kasus remaja yang mengalami depresi, akan lebih baik apabila orang tua tidak dilibatkan dalam sesi terapi karena mereka pada umumnya lebih nyaman menjalani terapi secara terpisah. Kendall (2006) melakukan prosedur dalam terapinya dengan berdasarkan pada manual yang terstruktur. Sama halnya dengan teori, struktur juga dapat memandu jalannya terapi, fokus pada tujuan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan pengalaman anak berkaitan dengan aspek kognitif, emosi, perilaku, sosial dan keluarga.

15 24 Manual dapat memudahkan terapis mengarahkan anak-anak dalam mengikuti jalannya terapi serta menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Penting untuk diingat bahwa terapi berdasarkan manual bukanlah bersifat kaku melainkan ditujukan untuk diaplikasikan secara fleksibel (Kendall dan Beidas, 2007). Terapis dapat melakukan adaptasi dalam proses terapi berdasarkan manual sesuai dengan kebutuhan klien selama tetap konsisten dengan strategi-strategi CBT. Kendall menggunakan buku kerja (workbook) (Kendall dan Hedtke, 2006) untuk anak agar mereka dapat belajar dan melatih kemampuan yang baru diperolehnya secara terstruktur. Selain itu pemberian buku kerja juga konsisten dengan metode pembelajaran yang diperoleh anak-anak di sekolah. Terapi yang dirancang oleh Kendall (2006) menekankan pentingnya performa klien yang dalam hal ini adalah anak-anak dan remaja. Beberapa intervensi yang dilakukan pada orang dewasa pada umumnya bertujuan untuk membantu klien memperoleh insight atau pemahaman akan masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, program intervensi yang difokuskan pada klien anak-anak dan remaja bertujuan untuk memperbaiki distorsi pada pola pikir, emosi, dan perilaku melalui praktek atau latihan secara langsung yang disertai oleh dorongan dan feedback dari terapis. Dengan demikian anak diharapkan mampu menggunakan kemampuan sosial dan kognitifnya dengan lebih baik. Selain itu latihan juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi intrinsik klien khususnya bagi klien yang terlihat kurang bersemangat dalam menjalani terapi. Bagi klien usia anak dan remaja, perubahan tidak dapat diperoleh hanya melalui percakapan atau dialog karena tingkat perkembangan kognitif mereka yang belum memadai. Oleh karena itu mereka harus diberikan kesempatan untuk melatih strategistrategi yang baru diperolehnya secara langsung.

16 Komponen dalam Program Coping Cat Kendall Program Coping Cat terdiri dari komponen afektif, kognitif dan perilaku yang kemudian dikombinasikan untuk mengatasi kecemasan pada anak (Kendall, 2006). Adapun komponen-komponen tersebut antara lain: a. Komponen afektif - Affective education Anak diajarkan untuk mengenal berbagai macam emosi dan ekspresi wajah serta bahasa tubuh yang sesuai. - Awareness of bodily reactions when anxious Anak diajarkan untuk mengenal reaksi-reaksi tubuh terhadap berbagai emosi dan mengidentifikasi reaksi tubuhnya bagaimanakah yang muncul saat ia cemas. Hal ini penting untuk membuat anak terlebih dahulu menyadari kondisi dirinya yang sedang cemas sebelum mulai melakukan rencana untuk mengatasi kecemasan. - Somatic management Prosedur ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak akan kondisi tubuhnya saat cemas dan mengajarkan cara untuk mengurangi ketegangan yang dirasakannya tersebut. Terdapat dua prosedur somatic management yang umum digunakan yaitu: 1. Diaphragmatic breathing Dilakukan dengan cara menarik nafas dalam-dalam dan difokuskan pada perut. Peneliti menginstruksikan anak untuk melakukan prosedur ini selama beberapa kali. Prosedur ini juga tergolong ringan dan tidak kentara jika dilakukan pada situasi yang menimbulkan kecemasan. 2. Progressive muscle relaxation

17 26 Prosedur ini dilakukan dengan cara melemaskan bagian-bagian otot tertentu sehingga anak dapat membedakan sensasi tubuh di saat tegang dan di saat tenang. Pada anak-anak, dapat digunakan cerita sebagai instruksinya agar lebih memudahkan anak untuk memahami dan melaksanakannya. b. Komponen kognitif - Identification and modification of anxious self talk Prosedur ini dilakukan untuk mengubah distorsi kognitif (anxious self talk) pada anak. Terdapat berbagai cara untuk melakukannya, salah satunya dengan memperlihatkan gambar kartun dan gelembung pikiran. Anak kemudian diminta untuk mengisi gelembung pikiran yang masih kosong pada gambar tersebut. Terapis kemudian mengajak anak untuk menganalisa isi pikirannya tersebut dan memberikan sejumlah pertanyaan untuk menantang atau membuktikannya. Cara lain yang dapat dilakukan adalah terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara mengidentifikasi dan mengubah distorsi kognitif pada situasi yang menimbulkan kecemasan. - Problem solving Prosedur ini dilakukan untuk mengajarkan anak membuat dan menetapkan langkah-langkah alternatif yang dapat dilakukan ketika menghadapi situasi yang menimbulkan kecemasan sehingga anak tidak lagi melakukan penghindaran terhadap situasi tersebut. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1. Menentukan masalah: situasi apa yang menimbulkan kecemasan? 2. Mengumpulkan berbagai solusi: apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan?

18 27 3. Mengevaluasi solusi yang tersedia: solusi manakah yang memungkinkan? apakah solusi tersebut masuk akal untuk dilakukan? 4. Memilih solusi yang lebih dirasakan sesuai: solusi mana yang paling tepat? c. Komponen perilaku - Self reward Prosedur ini dilakukan setelah anak melakukan evaluasi terlebih dahulu atas usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi kecemasan. Terapis selanjutnya mendorong anak untuk memberi reward terhadap dirinya sendiri berdasarkan usaha dan performance yang telah dilakukannya. - Exposure Prosedur ini dapat dilakukan secara imaginal maupun in vivo exposure Terapis menghadirkan situasi yang menimbulkan kecemasan pada anak secara bertahap mulai dari situasi dengan tingkat kecemasan yang paling rendah hingga tingkat kecemasan yang paling tinggi Teknik-teknik dalam program Coping Cat Kendall Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa teknik yang digunakan dalam program Coping Cat Kendall (Kendall, 2010) antara lain: a. Graduated sequence of training tasks and assignments Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan rangkaian tugas latihan secara bertahap kepada anak yang dilengkapi dengan materi dalam workbook atau buku kerja.

19 28 b. Coping modeling Selama program intervensi berlangsung, terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara melakukan strategi FEAR yang telah dipelajari satu persatu. Terapis juga memberikan contoh apa yang harus dilakukan saat mengalami kesulitan dalam melaksanakan strategi FEAR. c. Role play Terapis terlebih dahulu memperlihatkan kepada anak bagaimana cara menghadapi situasi yang ditakutinya lalu kemudian anak diajak untuk berpartisipasi dalam situasi yang dicontohkan terapis. Selanjutnya anak diminta melakukan role play seorang diri pada situasi yang ditakutinya secara bertahap. d. Homework assignment/show-that-i-can (STIC) tasks Homework assignment diberikan kepada anak untuk dikerjakan di luar sesi terapi untuk membantu anak menerapkan apa yang telah dipelajarinya selama sesi terapi. e. Contingent rewards Rewards atau reinforcement diberikan kepada anak setiap kali ia mengerjakan homework assignment yang diberikan. Melalui latihan yang berulang dan reinforcement yang diberikan akan membantu meningkatkan keyakinan diri anak dan menumbuhkan kompetensi diri Distorsi kognitif yang diperbaiki dalam Coping Cat Kendall Distorsi kognitif merupakan pikiran tidak rasional yang dapat memperkuat emosi atau pikiran negatif dalam diri seseorang. Pada program Coping Cat, distorsi kognitif ini berusaha untuk diperbaiki guna menurunkan tingkat kecemasan dan

20 29 perilaku menghindar yang dimunculkan oleh subjek. Terdapat beberapa bentuk distorsi kognitif yang berkaitan dengan kecemasan pada anak dan remaja (Kendall, Podell, Gosch, 2010): a. Walking with blinders: tidak memikirkan segala hal positif yang mungkin terjadi, hanya memikirkan hal buruk saja. b. The repetitor: jika sudah pernah terjadi sekali maka pasti akan terulang lagi kejadian yang sama. c. The catastrophe: selalu memikirkan hal yang paling buruk akan terjadi pada dirinya. d. The pessimist: berharap segala sesuatunya pasti akan berakhir dengan kegagalan. e. Pick, pick, pick: hanya mendapati hal-hal negatif dalam sebuah situasi. f. The avoider: menghindar atau menjauh dari semua hal yang membuat cemas. g. Quick and dirty: langsung menyimpulkan sebelum memperoleh semua bukti. h. The mind reader: seolah-olah dapat membaca pikiran orang lain dan merasa yakin bahwa orang lain pasti memikirkan hal yang buruk tentang dirinya. i. The shoulds: pola berpikir harus, misalnya harus selalu mengerjakan tugas dengan benar, atau harus tenang dan tidak boleh merasa cemas. j. The fortune teller: membuat perkiraan sendiri tentang apa yang akan terjadi. k. The perfectionist: berpikir harus mengerjakan segalanya dengan sempurna atau tidak boleh melakukan kesalahan apapun Tahapan pelaksanaan program Coping Cat Kendall Program Coping Cat Kendall dilakukan dalam beberapa tahap yang didalamnya melibatkan komponen yang berbeda-beda. Berikut ini adalah uraian tahapan pelaksanaan program Coping Cat (Kendall, 2006):

21 30 a. Psikoedukasi Pada tahap ini terapis bertugas untuk memberikan informasi selengkaplengkapnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kecemasan. Mulai dari aspek biologis, perilaku dan psikologis dari kecemasan, sifat natural kecemasan, faktor-faktor penyebabnya, serta teknik terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Terapis juga dapat memperbaiki apabila orang tua memiliki pemahaman yang keliru mengenai kecemasan dan konsep terapi. b. Skills training/coping skills Pada tahap ini terapis mengajarkan konsep-konsep penting dalam mengendalikan kecemasan yang disingkat dengan FEAR sebagai berikut: - F: Feeling frightened? Terapis menyampaikan bahwa langkah pertama untuk mengendalikan kecemasan adalah mengenali perasaan cemas dan membedakannya dari emosi lainnya. Anak diajarkan untuk mengenali ekspresi wajah, postur dan sinyalsinyal fisiologis yang berhubungan dengan emosi yang berbeda-beda. Konsep kecemasan ini diperkenalkan pada anak secara abstrak dan tidak langsung mengacu pada pengalaman anak.terdapat banyak aktivitas yang dapat dilakukan, misalnya bersama-sama menggunting gambar orang di majalah yang memperlihatkan emosi yang berbeda-beda. Pada gilirannya, anak akan belajar untuk mengidentifikasi ekspresi fisiologisnya sendiri dengan cara membayangkan saat dalam kondisi cemas dan membuat gambar dirinya saat mengalami kecemasan. Pada saat anak mulai dapat mengenali reaksi fisiknya saat mengalami kecemasan, anak mulai dapat diajarkan untuk menjadikan reaksi tersebut sebagai

22 31 isyarat untuk melakukan relaksasi. Pada umumnya, anak dapat diajarkan untuk menarik nafas dalam-dalam segera setelah menyadari bahwa dirinya sedang merasa cemas. Anak kemudian belajar prosedur relaksasi secara bertahap yang pertama-tama difokuskan pada otot-otot utama yang berhubungan dengan perasaan cemas. Terapis mencontohkan pada anak bagaimana caranya menggunakan prosedur relaksasi secara tepat. Cara lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan cerita khususnya untuk anak yang usianya lebih muda. Terapis juga dapat memberikan rekaman prosedur relaksasi yang bisa dibawa oleh anak untuk dilatih di rumah. Terapis menekankan pada anak bahwa prosedur relaksasi tersebut dapat dilakukan dengan tepat jika anak sering berlatih menggunakannya. - E: Expecting bad things to happen? Terapis mengajarkan anak untuk mengenali pikiran-pikiran cemas. Konsep penting yang diajarkan pada tahap ini adalah mengenai self talk yaitu hal-hal yang terlintas dalam benak atau pikiran anak saat merasakan cemas. Self talk dapat berupa harapan anak akan dirinya sendiri, atau pemikirannya mengenai orang lain atau situasi tertentu. Pada anak-anak yang cemas, self talk sering kali berupa penilaian yang negatif terhadap diri sendiri, menetapkan standar yang terlalu tinggi, khawatir akan penilaian orang lain, takut akan gagal dan tidak mampu mengatasi masalah. Tahap ini kelihatannya agak sedikit sulit untuk dilakukan, namun terdapat berbagai cara yang akan memudahkan terapis untuk mengajarkan anak mengenai konsep self talk. Terapis dapat menggunakan gambar-gambar kartun dengan gelembung yang akan diisi dengan hal-hal yang ada dalam pikiran tokoh

23 32 dalam kartun tersebut. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, terapis dapat mulai mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Segera setelah anak dapat mengenali pikiran cemasnya sendiri, maka terapis membantu anak untuk membentuk pikiran-pikiran yang dapat menanggulangi kecemasan anak. Terapis menantang pikiran-pikiran negatif yang terdapat dalam diri anak melalui proses uji hipotesis. Tujuan proses ini adalah agar anak dapat menciptakan proses informasi alternatif untuk menanggulangi kecemasannya. Pemberian tugas, permainan peran, dan tugas exposure dapat diberikan untuk membantu anak membentuk pikiran-pikiran alternatif tersebut. - A: Attitude and actions that can help Pada tahap ini fokusnya adalah problem solving atau penyelesaian masalah, terapis membantu anak membuat berbagai solusi alternatif dan kemudian memilih solusi yang paling tepat untuk dilakukan saat mengalami kecemasan. Konsep problem solving dapat dikenalkan dengan cara membahas situasi-situasi yang tidak terlalu mengancam bagi anak. Terapis dapat mencontohkan situasisituasi tertentu dan membantu anak membuat beberapa solusi dan memilih solusi yang sesuai. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, barulah terapis dapat mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Berbagai solusi dapat dilakukan misalnya dengan membuat daftar teman dekat atau keluarga yang memberikan dukungan, mengamati cara orang lain mengatasi masalah, atau melatih kemampuan akademik, dan sosial. Anak yang usianya lebih muda sering kali memilih karakter kartun atau televisi yang menjadi pahlawannya dan dapat mengatasi kesulitannya. Terapis dapat mendorong anak untuk memikirkan apa yang akan dilakukan tokoh kesukaan

24 33 anak tersebut untuk menanggulangi kecemasan. Anak juga dapat bermain peran menjadi tokoh tersebut saat berada dalam situasi cemas. - R: Results and rewards Tahap pengendalian kecemasan selanjutnya terapis mengajarkan anak untuk menilai usaha yang telah mereka lakukan untuk mengatasi kecemasannya dan memberi hadiah kepada dirinya sendiri. Intinya, anak diajarkan untuk menilai diri mereka berdasarkan atas usaha yang telah mereka lakukan bukan pada hasil yang diperoleh. Anak belajar untuk mengenali hal-hal apa yang disukai dari usaha-usaha yang telah dilakukannya atau hal-hal apa yang ingin mereka ubah. Anak kemudian diminta untuk membuat hal-hal apa saja yang dapat dijadikan imbalan atas usahanya. c. Skills practice/exposure task Pertama-tama terapis bersama anak merencanakan sejumlah situasi yang akan dipraktikkan melalui prosedur imaginal maupun in vivo exposure. Situasi tersebut diawali dengan tingkat kecemasan yang paling rendah kemudian meningkat secara bertahap hingga tingkat kecemasan yang paling tinggi. Selanjutnya terapis menghadirkan situasi sosial yang ditakuti oleh anak, kemudian secara verbal menggambarkan aspek-aspek dari situasi tersebut yang memicu kecemasan kemudian mencontohkan langkah FEAR. Anak kemudian menyusun langkah FEARnya sendiri dan mulai dilatih terlebih dahulu melalui imaginal exposure. Setelah anak siap, barulah berlanjut kepada in vivo exposure.

25 Program Coping Cat Kendall pada Anak dengan Social Phobia Beberapa anak kerap menunjukkan permasalahan perilaku dalam interaksi sehari-hari dengan lingkungan sosialnya, salah satunya adalah perilaku menghindar dan menarik diri dari interaksi sosial yang merupakan gejala dari social phobia. Berdasarkan DSM-IV-TR (2000), social phobia merupakan ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Terdapat sejumlah situasi yang menjadi sumber kecemasan bagi anak dengan social phobia, dan salah satunya adalah sekolah. Sebuah hasil penelitian yang terdahulu menemukan bahwa 60% situasi yang mencemaskan ternyata dialami oleh anak di sekolah (Strauss dan Last, dalam Morris, 2004). Namun sayangnya, gangguan ini cenderung diabaikan dan kurang disadari baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Hal ini disebabkan karena anak dengan social phobia pada umumnya tergolong anak yang pendiam, tenang dan penurut di sekolah. Padahal social phobia memiliki berbagai dampak negatif bagi anak. Anak dengan social phobia cenderung mengalami berbagai hambatan di sekolah seperti prestasi akademis yang rendah serta tidak memiliki banyak teman. Selain itu anak dengan social phobia juga cenderung memiliki harga diri yang rendah serta mengalami hambatan dalam kemampuan sosial (Chavira, Stein; Van Ameringen dkk; Fordham dan Stevenson dalam Hitchcock dkk, 2009). Social phobia pada anak juga menjadi faktor resiko berkembangnya gangguan psikologis lainnya di kemudian hari (Wittchen, Stein dan Kessler dalam Melfsen dkk, 2011). Melihat berbagai dampak buruk tersebut, dirasakan perlu adanya intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia. Agar suatu intervensi dapat efektif harus menggunakan metode yang sesuai dengan klien dan dapat diterima oleh mereka (Riley,

26 35 Wallin dan Durr, 2002). Terdapat beberapa karakteristik simptom social phobia yang dapat dilihat berdasarkan aspek kognitif, fisiologis dan perilaku. Anak dengan social phobia menunjukkan distorsi kognitif yang berupa adanya keyakinan bahwa dirinya tidak mampu dan tidak normal sehingga selalu melakukan kesalahan dan tidak diterima oleh orang lain. Anak yang mengalami kondisi ini sangat peka terhadap sinyal-sinyal yang menunjukkan adanya kemungkinan penilaian negatif dari orang lain. Distorsi kognitif tersebut kemudian mengaktifkan sistem saraf autonom dan memunculkan sejumlah reaksi fisiologis yang selanjutnya menjadi penguat bagi gambaran diri yang negatif dan perasaan tidak mampu pada anak yang akhirnya membuat anak dengan social phobia menarik diri dan menghindar dari situasi sosial (Clarks dan Well dalam Ito dkk 2008). Berdasarkan karakteristik anak dengan social phobia tersebut diatas, maka peneliti berpendapat bahwa Coping Cat Kendall yaitu suatu terapi yang melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif yang bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi social phobia pada anak. Diharapkan melalui program Coping Cat Kendall, anak dengan social phobia dapat mengendalikan kecemasannya melalui keterampilanketerampilan yang telah dipelajarinya sehingga tidak lagi menghindar terhadap situasi sosial yang dihadapinya sehari-hari. Secara singkat, dinamika landasan teori tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut ini:

27 36 Social Phobia Distorsi kognitif: Merasa diri tidak mampu, selalu melakukan kesalahan, dan akan mendapat penilaian negatif dari orang lain. Fisiologis: Jantung berdebar kencang, otot tegang, gemetaran, keringat dingin, wajah memerah Perilaku: Avoidance behavior, escape behavior, safety behavior Program intervensi Coping Cat Kendall F : Feeling Frightened? E : Expecting bad things to happen? A : Attitudes and actions that can help R : Results and rewards Mengenali perasaan cemas dan reaksi fisik saat cemas Mengenali dan memodifikasi anxious self talk Mengembang kan keterampilan problem solving Self rating dan self reward Gambar 2.1. Skema kerangka berpikir program Coping Cat Kendall pada anak dengan Social Phobia

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universita Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universita Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Contoh Alat Ukur Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Petunjuk: Untuk setiap situasi, isilah dengan angka berikut yang menunjukkan seberapa besar ketakutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada masa ini anak belum memiliki kemampuan berpikir yang baik. Hal ini membuat mereka

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi LAMPIRAN Depresi Teori depresi dalam ilmu psikologi, banyak aliran yang menjelaskannya secara berbeda.teori psikologi tentang depresi adalah penjelasan predisposisi depresi ditinjau dari sudut pandang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum remaja membutuhkan keluarga yang utuh untuk membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan sangat penting bagi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komunikasi merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia, tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi perubahan pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja mengalami perubahan meliputi perubahan

Lebih terperinci

Teknik lainnya dalam modifikasi perilaku

Teknik lainnya dalam modifikasi perilaku Modul ke: 12 Rizka Fakultas Psikologi Teknik lainnya dalam modifikasi perilaku Restrukturisasi kognisi, relaksasi, dan desensitisasi Putri Utami, M.Psi Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Restukturisasi

Lebih terperinci

Pedologi. Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

Pedologi. Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI Pedologi Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pengertian Kecemasan : Kecemasan (anxiety) dapat diartikan

Lebih terperinci

PROSES TERJADINYA MASALAH

PROSES TERJADINYA MASALAH PROSES TERJADINYA MASALAH ` PREDISPOSISI PRESIPITASI BIOLOGIS GABA pada sistem limbik: Neurotransmiter inhibitor Norepineprin pada locus cereleus Serotonin PERILAKU Frustasi yang disebabkan karena kegagalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting pada seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Mengompol merupakan suatu kondisi yang biasanya terjadi pada anakanak yang berusia di bawah lima tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak belum mampu melakukan pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. Kecemasan adalah sinyal akan datangnya bahaya (Schultz & Schultz, 1994).

BAB I PENDAHULAN. Kecemasan adalah sinyal akan datangnya bahaya (Schultz & Schultz, 1994). BAB I PENDAHULAN 1.1 Latar Belakang Kecemasan adalah sinyal akan datangnya bahaya (Schultz & Schultz, 1994). Seseorang mengalami kecemasan ketika mereka menjadi waspada terhadap keberadaan atau adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau anxietas adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian pustaka 2.1.1 Kehamilan 2.1.1.1 Definisi Kehamilan adalah suatu keadaan mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh, setelah bertemunya sel telur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Teori 1. Kecemasan Situasi yang mengancam atau yang dapat menimbulkan stres dapat menimbulkan kecemasan pada diri individu. Atkinson, dkk (1999, p.212) menjelaskan kecemasan merupakan

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Stres merupakan fenomena umum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa tuntutan dan tekanan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah seseorang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah seseorang yang 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Menurut Durand & Barlow (2006), kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut

BAB I PENDAHULUAN. Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut akan sesuatu yang terkadang tidak mengidap sesuatu adalah lucu dan aneh, tetapi bagi orang yang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Setiap individu memiliki berbagai gagasan-gagasan mengenai dirinya, dimana gagasan

Bab I Pendahuluan. Setiap individu memiliki berbagai gagasan-gagasan mengenai dirinya, dimana gagasan Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki berbagai gagasan-gagasan mengenai dirinya, dimana gagasan tersebut muncul sebagai bentuk keinginannya agar diterima oleh sosial dan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stuttering. (1994) istilah stuttering digolongkan ke dalam kategori diagnosa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stuttering. (1994) istilah stuttering digolongkan ke dalam kategori diagnosa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stuttering 1. Definisi Stuttering Menurut Diagnostic and Statistical Manual IV atau DSM IV (1994) istilah stuttering digolongkan ke dalam kategori diagnosa gangguan komunikasi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan

TINJAUAN PUSTAKA. yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan TINJAUAN PUSTAKA A. Fobia 1. Definisi Fobia Marks (dalam Morris dkk, 1987) mengatakan bahwa fobia merupakan bentuk yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa dimana setiap individu mengalami perubahan yang drastis baik secara fisik, psikologis, maupun lingkup sosialnya dari anak usia

Lebih terperinci

Kecemasan sosial termasuk gangguan kecemasan yang paling lazim dan termasuk dalam gangguan yang merata ketiga di dunia, setidaknya di negaranegara

Kecemasan sosial termasuk gangguan kecemasan yang paling lazim dan termasuk dalam gangguan yang merata ketiga di dunia, setidaknya di negaranegara Kecemasan sosial termasuk gangguan kecemasan yang paling lazim dan termasuk dalam gangguan yang merata ketiga di dunia, setidaknya di negaranegara berpenghasilan tinggi, dengan tingkat prevalensi seumur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Seseorang yang mengalami hal besar dalam hidupnya, seperti kecelakaan lalu lintas yang cukup parah, bisa mengakibatkan cedera sementara ataupun menetap pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam pendidikan. Perguruan Tinggi diadakan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi

Lebih terperinci

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK www.mercubuana.ac.id MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK Aaron Beck adalah psikiater Amerika yang merintis penelitian pada psikoterapi dan mengembangkan terapi kognitif. Ia dianggap sebagai bapak cognitive

Lebih terperinci

SIJIL PSIKOLOGI ISLAM DAN KAUNSELING. WPK 523 Psikologi Perkembangan Remaja, Dewasa dan Orang Tua

SIJIL PSIKOLOGI ISLAM DAN KAUNSELING. WPK 523 Psikologi Perkembangan Remaja, Dewasa dan Orang Tua SIJIL PSIKOLOGI ISLAM DAN KAUNSELING WPK 523 Psikologi Perkembangan Remaja, Dewasa dan Orang Tua Minggu 5 Pensyarah: Ustazah Dr Nek Mah Bte Batri PhD Pendidikan Agama Islam PhD Fiqh Sains & Teknologi PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Social Anxiety Disorder (Social Fobia)

Social Anxiety Disorder (Social Fobia) Materi ini merupakan salah satu Bahan kuliah online gratis Bagi anggota keluarga, relawan kesehatan jiwa Dan perawat pendamping Social Anxiety Disorder (Social Fobia) Oleh: TirtoJiwo, Juni 2012 TirtoJiwo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kecemasan timbul akibat adanya respon terhadap kondisi stres atau konflik. Hal ini biasa terjadi dimana seseorang mengalami perubahan situasi dalam hidupnya dan dituntut

Lebih terperinci

Dr. Noorhana, SpKJ(K)

Dr. Noorhana, SpKJ(K) Dr. Noorhana, SpKJ(K) school phobia specific phobia 1 % dari seluruh populasi 5-7 % terjadi pada anak-anak Pada school phobia anak-anak Definisi : Spesific phobia rasa takut yang menetap dan tidak masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya merupakan makhluk hidup yang harus terus berjuang agar dapat mempertahankan hidupnya. Manusia dituntut untuk dapat mengembangkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15. Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini

Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15. Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini Edukasi Kesehatan Mental Intensif 15 Lampiran A. Informed consent (Persetujuan dalam keadaan sadar) yang digunakan dalam studi ini PERSETUJUAN DALAM KEADAAN SADAR UNTUK BERPARTISIPASI SEBAGAI SUBJEK RISET

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Fungsi utama Rumah Sakit yakni melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin majunya teknologi kedokteran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Rasa Takut dan Cemas Rasa takut dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti objek internal dan hal yang tidak disadari. Menurut Darwin kata takut (fear) berarti hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang BAB II TINJAUAN TEORI A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan perasaan tegang, pikiran khawatir dan. perubahan fisik seperti meningkatnya tekanan darah.

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan perasaan tegang, pikiran khawatir dan. perubahan fisik seperti meningkatnya tekanan darah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Kazdin (2000) dalam American Psychological Association mengatakan kecemasan merupakan emosi yang ditandai dengan perasaan tegang, pikiran khawatir dan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin maju menuntut masyarakat untuk semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah satu tujuan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu

I. PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu dengan tingkat yang berbeda - beda. Kecemasan merupakan salah satu

Lebih terperinci

Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan perilaku mengabaikan tugas di kelas pada anak ADHD. Peneliti memberikan intervensi berupa video

Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan perilaku mengabaikan tugas di kelas pada anak ADHD. Peneliti memberikan intervensi berupa video PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada perilaku mengabaikan tugas di kelas yang dilakukan oleh anak dengan ADHD. Perilaku mengabaikan tugas merupakan perilaku anak yang tidak bisa memberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia dalam kehidupannya bisa menghadapi masalah berupa tantangan, tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar. Setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai dari gempa bumi berkekuatan 8.9 SR diikuti tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 silam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Implementasi dan Evaluasi keperawatan Hari/ tanggal 18 Juni 2013

LAMPIRAN. Implementasi dan Evaluasi keperawatan Hari/ tanggal 18 Juni 2013 LAMPIRAN CATATAN PERKEMBANGAN Tabel 4. Catatan perkembangan asuhan keperawatan pada Tn. O dengan prioritas masalah kebutuhan dasar tidur di RS Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan Implementasi dan Evaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN LAMPIRAN KUESIONER KEMANDIRIAN Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan dengan berbagai kemungkinan jawaban. Saudara diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang tersedia sesuai dengan keadaan

Lebih terperinci

The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand?

The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand? The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand? Rational Emotive Behavior Therapy Nanang Erma Gunawan nanang_eg@uny.ac.id Albert Ellis Lahir di Pittsburgh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL (KEPUTUSASAAN )

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL (KEPUTUSASAAN ) LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL (KEPUTUSASAAN ) A. PENGERTIAN Keputusasaan adalah keadaan emosional subjektif yang terus-menerus dimana seorang individu tidak melihat ada alternative

Lebih terperinci

bagaimana seseorang melihat atau memahami dirinya (sense of self) serta

bagaimana seseorang melihat atau memahami dirinya (sense of self) serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, salah satu dari tugas perkembangan kehidupan sosial remaja ialah kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Stress Akademik Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya disebut dengan stres akademik. Olejnik dan Holschuh (2007) mengambarkan stres akademik ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah autisme sudah cukup familiar di kalangan masyarakat saat ini, karena media baik media elektronik maupun media massa memberikan informasi secara lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. atau ancaman atau fenomena yang sangat tidak menyenangkan serta ada

BAB II TINJAUAN TEORITIS. atau ancaman atau fenomena yang sangat tidak menyenangkan serta ada BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Kecemasan 1. Defenisi Kecemasan adalah keadaan yang menggambarkan suatu pengalaman subyektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang menyertai suatu konflik atau

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu, dan dengan tingkat yang berbeda-beda. Kecemasan merupakan salah satu bentuk emosi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk kemajuan pembangunan. Salah satu lembaga pendidikan yang penting adalah perguruan tinggi.

Lebih terperinci

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi. Modul ke: Pedologi Skizofrenia Fakultas PSIKOLOGI Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id SCHIZOPHRENIA Apakah Skizofrenia Itu? SCHIZOS + PHREN Gangguan jiwa dimana penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III Inisial A D V Usia 22 tahun 27 tahun 33 tahun Tempat/Tanggal Jakarta, 24 Mei 1986 Jakarta, 19 Maret 1981 Jakarta Lahir Agama Islam Kristen Protestan Katolik Suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan secara luas dapat diinterpretasikan sejak manusia dilahirkan dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian menjadikannya sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk. mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk. mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara adalah salah satu metode berkomunikasi yang sering digunakan sehari-hari. Berbicara dianggap lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Tarigan ( 2008)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama mereka untuk berinteraksi. Keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki anak yang sehat dan memiliki tumbuh kembang yang baik merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami istri yang telah menikah. Anak merupakan berkah yang sangat

Lebih terperinci

LAMPIRAN A SKALA PENELITIAN A-1 KECEMASAN SOSIAL FACEBOOKER A-2 HARGA DIRI

LAMPIRAN A SKALA PENELITIAN A-1 KECEMASAN SOSIAL FACEBOOKER A-2 HARGA DIRI 68 69 LAMPIRAN A SKALA PENELITIAN A-1 KECEMASAN SOSIAL FACEBOOKER A-2 HARGA DIRI 70 Identitas Subyek Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan Fakultas : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah seluruh pernyataan berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk mewujudkan tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Salah satu jalur strategis yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kecemasan a. Pengertian Kecemasan Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres dalam belajar adalah perasaan yang dihadapi oleh seseorang ketika

BAB I PENDAHULUAN. Stres dalam belajar adalah perasaan yang dihadapi oleh seseorang ketika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres dalam belajar adalah perasaan yang dihadapi oleh seseorang ketika terdapat tekanan-tekanan. Tekanan-tekanan tersebut berhubungan dengan belajar dan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori mengenai

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori mengenai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori mengenai kecemasan yang meliputi: kecemasan tes,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Definisi gagap yang disetujui belum ada. Menurut World Health Organization (WHO) definisi gagap adalah gangguan ritme bicara dimana seseorang tahu apa yang mau dibicarakan,

Lebih terperinci

Pedologi. Attention-Deficit Hyperactivity Disorder Kesulitan Belajar. Yenny, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Attention-Deficit Hyperactivity Disorder Kesulitan Belajar. Yenny, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Attention-Deficit Hyperactivity Disorder Kesulitan Belajar Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Gangguan attention-deficit hyperactivity

Lebih terperinci

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tingkat Kecemasan Remaja yang Menjalani Perawatan (Hospitalisasi) Remaja 1. Kecemasan Kecemasan merupakan suatu sinyal yang menyadarkan dan mengingatkan adanya bahaya yang mengancam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh subjek mengalami stres. Reaksi stres yang muncul pada subjek penelitian antara lain berupa reaksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Gangguan Jiwa BAB II TINJAUAN TEORI 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan perubahan sikap dan perilaku seseorang yang ekstrem dari sikap dan perilaku yang dapat menimbulkan penderitaan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KECEMASAN PADA SISWA DAN SISWI KELAS XII IPA/IPS SMA SANTA MARIA 2 ANGKATAN 2009

ABSTRAK GAMBARAN KECEMASAN PADA SISWA DAN SISWI KELAS XII IPA/IPS SMA SANTA MARIA 2 ANGKATAN 2009 ABSTRAK GAMBARAN KECEMASAN PADA SISWA DAN SISWI KELAS XII IPA/IPS SMA SANTA MARIA 2 ANGKATAN 2009 Mery Sihombing, 2009. Pembimbing : Pieter Togap Sihombing,dr.,SpKJ.,M.kes Setiap manusia pasti pernah mengalami

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah BAB II 6 KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Menurut Gibson (1996) Kemampuan (ability) adalah kapasitas individu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan proses belajar mengajar, diantaranya siswa, tujuan, dan. antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan proses belajar mengajar, diantaranya siswa, tujuan, dan. antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang ditandai oleh sikap mengerutkan tubuh untuk menghindari kontak dengan orang lain yang masih

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang ditandai oleh sikap mengerutkan tubuh untuk menghindari kontak dengan orang lain yang masih BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sifat Pemalu Menurut Prayitno (2004:208) bahwa malu adalah bentuk yang lebih ringan dari rasa takut yang ditandai oleh sikap mengerutkan tubuh untuk menghindari kontak

Lebih terperinci

MODUL PSIKOEDUKASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA ANAK MENTAL RETARDASI. : Menjalin rapport dengan anak serta membuat peraturan-peraturan dengan

MODUL PSIKOEDUKASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA ANAK MENTAL RETARDASI. : Menjalin rapport dengan anak serta membuat peraturan-peraturan dengan LAMPIRAN 1. Informed Consent 152 153 154 LAMPIRAN 2. Modul Psikoedukasi 155 MODUL PSIKOEDUKASI MENINGKATKAN REGULASI EMOSI PADA ANAK MENTAL RETARDASI Sesi 1 Tema Tujuan : ice breaking : Menjalin rapport

Lebih terperinci