ANALISIS SEGMEN PASAR SISTEM PELUNCURAN SATELIT DENGAN PESAWAT UDARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS SEGMEN PASAR SISTEM PELUNCURAN SATELIT DENGAN PESAWAT UDARA"

Transkripsi

1 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) ANALISIS SEGMEN PASAR SISTEM PELUNCURAN SATELIT DENGAN PESAWAT UDARA Kresno Putro Peneliti Pusat Analisis Perkembangan Kedirgantaraan, LAPAN ABSTRACT Up to now, three systems of launching satellite into its orbit, which involved air craft, are informed to public. The first two systems are developed by American Companies: the Orbital Sciences Corporation and the QuickReach TM. The third is developed by the Air Launch Corporation of Russia. This paper presents an evaluation on technical and economical aspects of those systems, which concludes that each of them has its own market segment therefore no one competes the others. ABSTRAK Hingga saat ini terdapat tiga jenis sistem pengorbitan satelit dengan pesawat udara yang telah diperkenalkan kepada publik. Dua sistem yang pertama masing-masing dikembangkan oleh Orbital Sciences Corporation dan oleh QuickReach TM keduanya dari Amerika Serikat. Yang ketiga dikembangkan oleh Air Launch Corporation dari Rusia. Makalah ini menyajikan hasil evaluasi baik aspek teknis maupun ekonomis atas ketiga sistem tersebut, serta menyimpulkan bahwa masing-masing memiliki segmen pasarnya sendirisendiri, sehingga satu tidak merupakan pesaing bagi yang lain. 1 PENDAHULUAN Dari berbagai sistem pengorbitan wahana antariksa/satelit yang pernah ada hingga kini, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori: statis dan dinamis. Yang terlebih dahulu dikembangkan adalah yang statis, baru menyusul kemudian yang termasuk kategori dinamis. Masing-masing sistem ini memiliki keunggulan dan kekurangannya sendirisendiri. Yang statis, yaitu yang menetap di suatu tempat, baik berat roket maupun muatannya relatif tidak ada batasnya. Seakan-akan hanya konsekuensi waktu persiapan yang panjang dan biaya besar yang harus ditanggung, yang membatasinya. Yang dinamis memiliki keunggulan yang ditampilkan oleh ciri dinamis atau mobile, serta berbagai keterbatasan yang harus ditanggung karena harus menyesuaikan diri dengan karakteristiknya yang khas, baik yang berbasis di darat (land based launching), berbasis di laut/perairan (sea based launching = sea launch) maupun yang berbasis di udara (air based launching - air launch). Sistem dinamis yang berbasis di darat, perangkat peluncuran dapat dipindahpindah dengan wahana angkutan darat, seperti truk atau yang sejenis. Sea launch dapat dilakukan dari kapal induk, kapal selam maupun dari suatu rig atau jenis platform terapung di laut yang lainnya. Air launch dapat dilakukan dengan pesawat udara (aircraft). Di antara berbagai jenis sistem pengorbitan wahana/satelit tersebut di atas, makalah ini memfokuskan perhatian hanya pada air launch. Kalau memperhatikan teknologi integrasi antara roket dan pesawat terbang yang diterapkan, air launch dapat dibedakan menjadi lima kategori yaitu: Captive on top: roket peluncur membawa muatan wahana antariksa/satelit yang akan diorbitkan, ditempatkan di atas badan pesawat terbang, Captive on bottom: roket peluncur membawa muatan wahana antariksa/satelit yang 49

2 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007:49-64 akan diorbitkan, ditempatkan di bawah badan pesawat terbang, Towed: roket peluncur membawa muatan wahana antariksa/satelit yang akan diorbitkan, ditarik oleh pesawat terbang, Aerial refueled: dalam melaksanakan misi pengorbitan wahana antariksa/satelit, pesawat terbang yang dipergunakan ditambah bahan bakar dengan bantuan pesawat tanker, Internally carried: roket peluncur yang membawa muatan wahana antariksa/ satelit yang akan diorbitkan, ditempatkan di dalam badan pesawat terbang. Walaupun pembedaan air launch dapat dilakukan dengan cara seperti tersebut di atas, makalah ini tidak menganut kategorisasi yang demikian. Makalah ini membedakan air launch berdasarkan pada siapa pengembang sistemnya, sebagai berikut: The Orbital Sciences Corporation The QuickReach TM The Air Launch Corporation Alternatif kategorisasi ini sengaja dipilih untuk mengetahui apakah satu terhadap yang lain memperebutkan pasar yang sama atau tidak. Kalau pasar yang sama diperebutkan oleh ketiga pengembang, strategi apa yang dianut oleh masingmasing: the Orbital Sciences Corporation, the QuickReach TM maupun the Air Launch Corporation. Kajian ini dilaksanakan dalam rangka memberikan masukan bagi perumusan strategi pengembangan usaha air launch di Indonesia, yang akan memanfaatkan Bandara Frans Kaisiepo di Biak sebagai intermediate base. 2 PROSPEK IMPLEMENTASI ALS DALAM KERJA SAMA KEANTARIKSAAN INDONESIA RUSIA 2.1 Status Kerja Sama Keantariksaan Indonesia - Rusia Dalam rangka implementasi ALS yang dikembangkan oleh Rusia, telah diadakan proses kerja sama antara Pemerintah 50 Indonesia dan Rusia di bidang keantariksaan untuk maksud damai. Proses tersebut diawali dengan ditanda tanganinya Perjanjian Kerja Sama Bilateral jangka panjang antara Republik Indonesia dengan Federasi Rusia untuk Abad Ke 21 antara kedua Negara di Moskow pada bulan April 2003 antara Presiden Megawati (Presiden RI pada saat itu) dan Presiden Vladimir Putin dari Rusia. Pada saat yang sama juga ditandatangani Memorandum of Intention (MoI) kerja sama di Bidang Keantariksaan Untuk Maksud Damai oleh Menteri Negara Riset & Teknologi Indonesia serta Direktur Jenderal Russia Space Agency (Roscosmos). Sebagai tindak lanjut dari MoI tersebut maka pada tanggal 1 Desember 2006 telah ditanda tangani Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Russian Federation on Cooperation in the Field of Exploration and Use of Outer Space for Peaceful Purpo. Salah satu implementasi dari kerja sama Indonesia Rusia di bidang keantariksaan tersebut di atas adalah Proyek pembangunan dan pengoperasian Air Launch Space Transportation System (ALS) di Biak. Pada intinya proyek tersebut adalah implementasi usaha jasa peluncuran satelit dengan menggunakan pesawat udara yang dipersiapkan dan bertolak dari Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo- Biak. Proyek ini sudah mendapatkan persetujuan dan restu dari Pemimpin ke dua Negara (Indonesia dan Rusia) pada pertemuan kedua Presiden (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Vladimir Putin) di Santiago-Chili, Kuala Lumpur- Malaysia dan Seoul-Korea Selatan tahun 2005 dan 2006, serta di Jakarta pada medio Di Indonesia hasil pembicaraan tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan memberikan instruksi kepada Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) untuk segera mempersiapkan realisasinya dalam waktu segera. Dalam implementasi Proyek ALS di Indonesia, LAPAN selaku Competence

3 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) Agency akan bertindak sebagai fasilitator dan regulator, sedangkan pelaksana Proyek ALS adalah pihak swasta nasional dalam hal ini direncanakan PT Air Launch Centra Nusa (ALCN) yang bekerja sama dengan Air Launch Aerospace Corporation (ALAC) dari Rusia. Secara fisik direncanakan proyek ALS akan mulai diimplementasikan pertengahan 2008 setelah G to G Agreement on Technology Safeguard ditandatangani. Diharapkan ALS dapat mulai beroperasi secara komersial akhir 2010 atau awal Di Indonesia Proyek ALS akan berpusat di Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo - Biak, Papua, yang akan menjadi intermediate base dari Pesawat Antonov Ruslan dan akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang beroperasinya ALS termasuk persiapan roket peluncur Polyot dan muatannya. 2.2 Kesiapan Indonesia Proyek ALS adalah suatu usaha jasa yang merupakan kegiatan bisnis yang dapat dikatagorikan sebagai proyek perintisan berteknologi tinggi, mempunyai faktor resiko yang cukup tinggi dan memerlukan modal yang besar, namun pada gilirannya akan membawa lepasnya Indonesia dari ketergantungan pada Negara lain dalam jasa peluncuran satelit dan memicu berkembangnya industri keantariksaan lainnya di Indonesia. Di samping itu secara tidak langsung diharapkan akan dapat mempengaruhi peningkatan posisi tawar Indonesia di bidang politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Implementasi rencana Proyek ALS di Biak tersebut akan sangat meningkatkan posisi Indonesia di antara negara-negara di dunia yang masuk dalam katagori Space Country. Sehubungan dengan rencana implementasi kerja sama Indonesia Rusia di bidang keantariksaan tersebut di atas terutama untuk mengimplementasikan proyek ALS, maka perlu ditinjau sampai di mana kesiapan Indonesia, khususnya dari aspek-aspek penguasaan teknologi, regulasi nasional dan sosial politik Aspek Teknologi Upaya pengembangan penguasaan teknologi keantariksaan telah dilakukan, namun terlihat belum ada kemajuan yang cukup berarti. Hal tersebut dikarenakan banyak kendala yang harus dihadapi antara lain kurangnya tenaga ahli, keterbatasan pendanaan, keterbatasan industri nasional yang mampu mensuplai berbagai kebutuhan pengembangan teknologi keantariksaan seperti bahan bakar roket (propellant), dan bahan baku serta peralatan lainnya. Keterbatasan tersedianya bahan baku tersebut diperparah lagi dengan sangat dibatasinya penyebaran atau ekspor dari bahan-bahan yang diperlukan untuk pengembangan teknologi keantariksaan terutama untuk teknologi peroketan terkait dengan adanya MTCR. Sehingga teknologi keantariksaan terutama teknologi peroketan sulit untuk berkembang secara mandiri di Indonesia, untuk itu diperlukan kerja sama yang erat dengan pihak atau negara-negara yang telah menguasai teknologi tersebut. Kerja sama dengan Rusia merupakan salah satu jalan untuk dapat meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi keantariksaan oleh Indonesia Aspek regulasi Untuk merealisasikan rencana implementasi proyek ALS dengan Rusia ini, di bidang regulasi nasional perlu dipersiapkan berbagai instrumen hukum. Dalam kenyataannya dalam bidang regulasi keantariksaan kesiapan Indonesia masih belum memadai, mengingat hingga saat ini Indonesia belum memiliki National Space Acts atau lebih dikenal dengan Undang-undang Keantariksaan Nasional beserta peraturan pelaksanaannya. Namun beberapa perjanjian internasional mengenai keantariksaan yang lebih dikenal dengan Space Treaties sebagian besar telah diratifikasi oleh Indonesia. Kita ketahui bahwa hingga saat ini telah ada 5 perjanjian internasional di bidang keantariksaan yaitu Space Treaty 1967, Liability Convention 1972, Registration Convention 1975, Rescue Agreement 1968, dan Moon 51

4 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007:49-64 Agreement Dari kelima perjanjian internasional tersebut Indonesia telah meratifikasi 4 di antaranya yaitu Space Treaty 1967, Liability Convention 1972, Registration Convention 1975 dan Rescue Agreement 1968, sehingga dalam kegiatan keantariksaannya Indonesia akan terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian tersebut, meskipun substansinya belum dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional. Di samping itu ketentuan dalam MTCR juga berpengaruh pada rencana implementasi kerja sama Indonesia Rusia di bidang keantariksaan, mengingat Rusia sudah menjadi anggota dari kesepakatan tersebut sedangkan Indonesia belum anggota. Hal tersebut kemungkinan akan menjadi salah satu kendala dalam implementasi kerja sama tersebut, meskipun secara teoritis masalah tersebut antara lain. dapat diatasi dengan disepakatinya perjanjian mengenai Technology Safeguard di antara kedua Negara dan lebih baik lagi jika dilengkapi pula dengan ketentuan nasional Indonesia tentang Export Control terhadap dual used technology sebagaimana teknologi peroketan Aspek Sosial Politik Implementasi kerja sama Indonesia Rusia di bidang keantariksaan, khususnya untuk proyek ALS tidak akan terlepas dari aspek sosial politik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri khususnya hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga. Di dalam negeri, terutama di daerah Biak, Papua dan sekitarnya perlu dilakukan sosialisasi yang baik, sehingga masyarakat mengetahui dengan jelas manfaat yang dapat diperoleh serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul serta upaya mengantisipasinya. Upaya sosialisasi tersebut terlihat sudah mulai dilakukan dan masih akan terus berlangsung. Terhadap beberapa Negara tetangga seperti Australia, Papua Nuigini, Selandia Baru dan beberapa Negara di kawasan Pasifik Barat kiranya perlu dilakukan pendekatan, sehingga tidak ada anggapan bahwa ALS dari Biak ini akan mengancam keselamatan atau dapat membahayakan wilayah Negara mereka. 3 THE ORBITAL SCIENCES CORPORA- TION 3.1 Tinjauan Umum Air Launch Space Transportation System yang dinamakan Pegasus dan diperkenalkan secara komersial oleh Orbital Sciences Corporation dari Amerika Serikat pertama kali pada pertengahan tahun 1990, merupakan sistem peluncuran wahana antariksa dengan menggunakan pesawat udara yang digunakan secara komersial pertama kali di dunia. Sistem Pegasus termasuk dalam jenis peluncuran di udara yang disebut captive on bottom (roket peluncur ditempatkan di bawah pesawat terbang). Sebagai wahana peluncur satelit (roket), Pegasus dilengkapi dengan 3 tingkat motor roket berbahan bakar padat (solid propellant). Dalam pengoperasiannya roket peluncur yang sudah bermuatan satelit akan ditempatkan di bawah perut pesawat terbang, dalam hal ini adalah di bawah pesawat Lockheed L Tristar sebagai carrier aircraft yang biasa dinamakan Stargazer. Urutan peluncuran satelit dengan menggunakan wahana peluncur Pegasus secara teoritis dapat dilihat dari gambaran misi peluncuran satelit seberat 227 kg ke orbit circular polar 741 km di atas permukaan bumi (Gambar 3-1) sebagai berikut. Pesawat Stargazer akan terbang hingga mencapai ketinggian kira-kira ft atau 12 km di atas permukaan laut, dan pada kecepatan sekitar 0,8 Mach roket peluncur Pegasus akan dilepaskan, dan dalam waktu 5 detik kemudian dari ketinggian ft (11,5 Km) dengan kecepatan awal fps (0,48 km/detik) motor roket tingkat pertama (type Orion 50 S) akan dinyalakan. Pengendalian dari peluncuran ini dilakukan secara jarak jauh dari peralatan TT & C yang ditempatkan di carrier aircraft, dan sistem kendali di Pegasus pada saat penyalaan motor roket tingkat pertama masih berdasarkan sistem aerodinamika dari perangkat sayap (delta 52

5 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) wing) dan vertical fin yang ada di wahana peluncur, karena motor roket Orion 50 S tidak dilengkapi oleh thrust-vectoring nozzle. Motor tingkat pertama akan menyala selama 1 menit 17 detik dan membawa wahana peluncur dengan muatannya hingga ketinggian ± ft (72 km) dengan kecepatan hypersonic (8.269 fps atau 2,75 km/detik). Setelah itu bagian ekor dari Pegasus akan dilepaskan, termasuk bagian sayap dan ekornya (wing and tail surfaces) dan 18 detik kemudian motor roket tahap kedua (type Orion 50) dinyalakan pada ketinggian ft (96 km) dan kecepatan 7969 fps (2,65 km/detik) Motor roket tahap 2 akan dinyalakan selama 1 menit 18 detik, yang akan membawa Pegasus dan muatannya sampai pada ketinggian awal dari ruang angkasa yang hampa udara, di mana pengendalian wahana sudah akan dilakukan dengan bantuan thrust vector control (nitrogen thrusters). Setelah itu motor roket tahap 2 selesai bekerja dan pelindung muatan (payload fairing) dilepaskan pada ketinggiaan ft (118 Km) dan kecepatan fps (2,96 km/s) setelah ± 110,6 detik dari pelepasan Pegasus dari Stargazer. Selanjutnya motor roket tahap 3 (type Orion 38) dinyalakan selama 64 detik pada posisi ketinggian 398,9 nmi (± 740 km) dengan kecepatan yang telah dicapai fps (4,95 km/detik), yang akan membawa dan menempatkan satelit pada orbit (LEO) yang diinginkan. Apabila diperlukan untuk menempatkan satelit pada orbit yang lebih tinggi atau memerlukan manuver yang lebih banyak dan sulit, maka Pegasus akan dilengkapi dengan motor roket tahap 4 dari jenis Hydrazine Auxiliary Propulsion System (HAPS) dengan monopropellant hydrazine thruster. Sehingga secara keseluruhan diperkirakan bahwa misi penempatan satelit di orbit rendah (LEO) dengan Pegasus akan memakan waktu yang cukup singkat ± 10 menit. Biaya peluncuran yang dibebankan kepada para customer dari Pegasus adalah sekitar US $ 12 juta/ launching, sehingga dapat diperhitungkan bahwa dengan muatan satelit maksimum seberat 440 kg, payload cost factor menjadi US $ /kg. Pesawat terbang Stargazer dengan Pegasus yang diangkutnya dapat take off dari beberapa lapangan terbang yang sudah dilengkapi dengan landasan terbang yang memadai dan fasilitas persiapan dan pengujian yang lengkap. Selama ini beberapa airport yang telah digunakan untuk beroperasinya peluncuran satelit dengan Pegasus adalah Kennedy Space Center di Florida, Vandenberg Air Force Base and Dryden Flight Research Center di California, Wallops Flight Facility di Virginia, Kwajalein Range di Lautan Pacific dan Canary Island di Lautan Atlantik. (Gambar 3-2) 3.2 Fasilitas Utama Pegasus Perlengkapan atau fasilitas utama dari Air Launch Space Transportation System Pegasus dari Amerika Serikat ini adalah: Roket peluncur (Space Launch Vehicle): Pegasus XL Dimensi Teknis : panjang 17,6 meter diameter 1,27 m panjang sayap 6,7 m Massa (total) : 23,130 kg Massa Payload : 440 kg to LEO and 190 kg to Polar Orbit (SSO) Propellant : Solid Propellant Type of Engine : 1st stage Orion 50 S 2nd stage Orion 50 3rd stage Orion 38 Payload Module : 0,83 x 0,39 m (length x diameter) Launching cost : US $ 12,000,000 Payload Cost factor: US $ 27,200/kg Pesawat Pengangkut (Carrier aircraft) Lockheed Tristar L-1011 Tristar buatan Lockheed-USA, dengan Spesifikasi/Dimensi : Aircraft type : Transport A/C Berat Take off max : 225 ton Jarak tempuh dgn : km SLV (terisi muatan & bhn bakar) Kecepatan jelajah : 820 km/h (0,8 mach) Kecepatan saat SLV: 820 km/h (0,8 mach) diluncurkan Ketinggian : 11 km Peluncuran SLV No of Engine : 3 Type of Engine : Rolls RoyceRB B 53

6 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007:49-64 Gambar 3-1: Proses peluncuran Pegasus 54 Gambar 3-2: Beberapa lokasi peluncuran Pegasus

7 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) 4 THE QUICKREACH TM 4.1 Tinjauan Umum Proyek pengembangan peluncuran satelit dengan menggunakan pesawat terbang QuickReach diawali oleh Defense Advance Research Projects Agency (DARPA) telah menyusun suatu proposal yang solid bersama dengan pengelola Program Falcon dari Angkatan Udara Amerika Serikat pada bulan Juni Diharapkan proyek QuickReach ini akan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 2009 atau paling lambat tahun Hingga pertengahan tahun 2007 pihak Air Launch LLC telah melakukan berbagai percobaan, termasuk percobaan pelepasan Dummy dengan skala 1 x 1 dari pesawat pengangkut C 17 A Globemaster. Proyek ini didesain untuk dapat meluncurkan satelit dengan persiapan waktu yang sangat singkat, jika dimungkinkan dalam waktu kurang dari 24 jam, serta mampu untuk mengorbitkan satelit sampai dengan berat 1,000 lbs atau ± 450 kg ke orbit rendah (28,5 inclination, 100 nm altitude). Wahana peluncur atau roket yang digunakan bertingkat 2, berbahan bakar cair (liquid propellant) yang terdiri dari liquid prophane (C3 H8) dan oksigen cair (liquid oxygen) sebagai oksidizernya, yang akan dilepaskan dari dalam pesawat cargo. Metode peluncuran melalui pesawat terbang dipilih karena hanya dengan metode ini tujuan peluncuran satelit dalam waktu yang cepat dan dapat dilakukan dari segala tempat/lokasi tanpa dengan mengadakan pengembangan infra struktur yang terlalu banyak. Proyek QuickReach saat ini masih dalam tahap pengembangan dan percobaan, baik percobaan di darat maupun percobaan di udara. Secara ringkas proses peluncuran sistem airlaunch QuickReach yang merupakan jenis Internally carried (roket peluncur ditempatkan di dalam pesawat terbang), adalah wahana peluncur yang dilengkapi dengan 2 tahap motor roket berbahan bakar cair yang sudah dimuati oleh satelit di ruang muatannya (payload modul) dimasukkan ke dalam ruang muatan pesawat angkut militer C 17 A Globemaster buatan pabrik pesawat Boeing (Gambar 4-1). Diusahakan panjang landasan untuk take off pesawat tidak lebih dari ft (± 1350 m), sehingga base station dari sistem ini dapat ditempatkan di lokasi yang lebih fleksibel dan tidak memerlukan prasarana yang mahal. Direncanakan berat total dari wahana peluncur bersama dengan muatannya tidak akan lebih dari lbs (± kg) dan akan diluncurkan atau dilepas dari perut pesawat pengangkut C 17 A pada ketinggian antara ft hingga ft (7.600 m hingga m) di atas permukaan laut. Untuk mendapatkan posisi wahana peluncur yang tegak lurus setelah dilepaskan dari pesawat pengangkutnya, maka QuickReach dilengkapi dengan parachute di bagian ekornya. Sehingga dapat menahan gerakan bagian ekor roket ke arah horizontal dan memposisikannya secara vertikal untuk kemudian dinyalakan motor roket tahap pertama. Penyalaan motor roket tahap pertama akan dilakukan 2,8 detik dari saat roket keluar dari perut pesawat dan berjarak kira-kira 200 ft atau 70 m di belakang pesawat terbang (Gambar 4-2). Direncanakan biaya peluncuran akan berkisar US $ 5 Juta/peluncuran dengan waktu persiapan yang sangat singkat yaitu kurang dari 24 jam. Diharapkan dalam satu tahun perusahaan pengembang dari sistem ini yaitu Air Launch LL Corporation dari USA akan dapat memperoleh kontrak peluncuran sebanyak 20 buah per tahunnya. 4.2 Fasilitas Utama QuickReach Perlengkapan atau fasilitas utama dari Air Launch Space Transportation System QuickReach dari Amerika Serikat ini adalah : Roket peluncur (Space Launch Vehicle) : QuickReach Rocket Dimensi Teknis : panjang max. 66 ft (20 meter) Diameter : 7 ft (2,2 m) Dimensi Ruang : 391,2 cm x 194,16 cm Muatan (diameter terbesar) Massa (total) : lbs ( kg) 55

8 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007:49-64 Gambar 4-1: Proses peluncuran QuickReach Payload : lbs (450 kg) (28,5 inclination and 100 nm orbit altitude) Propellant : Liquid Propellant (Prophane + Liquid Oxygen) Number of Engine : 2 stages + 1 stage on Satellite Launching cost : US $ 5,000,000 Payload cost factor: US $ 11,000/kg Pesawat Pengangkut (Carrier aircraft) Boeing C 17 A Globe Master buatan Boeing Corporation USA, dengan Spesifikasi/ Dimensi: Aircraft type : Medium Weight Military Cargo Berat Take off max : 265 ton Runway Length : ft ( ± m) (MTOW) Jarak tempuh dgn : km (terisi SLV muatan & bhn bakar) Kecepatan jelajah : 750 km/h (0,77 mach) Kecepatan saat SLV : 820 km/h (0,8 mach) diluncurkan Ketinggian : m hingga Peluncuran SLV m No of Engine : 4 Type of Engine : Pratt Whitney F- 117PW

9 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) Gambar 4-2: Bagian-bagian dari sistem QuickReach 5 THE AIR LAUNCH CORPORATION 5.1 Tinjauan Umum Air Launch Space Transportation System (ALS) yang dikembangkan oleh Air Launch Aerospace Corporation (ALAC) dari Rusia adalah teknologi peluncuran wahana antariksa (roket) dengan sistem operasi roket peluncur (Space Launch Vehicle SLV) berisi satelit atau wahana antariksa (Space Craft SC) ditempatkan pada pesawat pengangkut (Carrier Aircraft-CA) yang akan dipersiapkan dan lepas landas dari Bandara Frans Kaisiepo, Biak menuju lokasi peluncuran pada zona aman/free zone (± 10 km DPL). Pesawat pengangkut (Antonov AN- 124 AL) akan melepaskan roket yang ditempatkan dalam Transportation and Launching Container (TLC) dari perut pesawat, dalam beberapa detik kemudian motor roket peluncur tahap I dan tahap-tahap selanjutnya akan dinyalakan (by remote control) secara berturutan dan roket akan meluncur ke orbit bumi yang telah ditentukan (orbit rendah, menengah atau orbit tinggi). Pengontrolan roket akan dilakukan dari peralatan TT & C yang dibawa di pesawat pengangkut (onboard) dan dari fasilitas pengendalian yang terdapat di bumi, baik yang berada di Biak maupun di Samara, Rusia. Setelah proses peluncuran roket, pesawat Antonov tersebut akan kembali ke Bandara Frans Kaisiepo, Biak untuk melakukan pengisian ulang bahan bakar dan kembali ke Samara di Rusia sebagai main based-nya. Proyek ALS dari Rusia ini mulai dirancang pada tahun 1999, dan direncanakan akan mulai masuk tahap operasi secara komersial pada tahun 2010 atau awal Urutan dari tahapan operasi ALS tersebut dapat tergambarkan dalam Gambar 5-1, dengan penjelasannya sebagai berikut: Pesawat Antonov AN-124-1OO Rusian sedang dimuati oleh roket Polyot dengan muatan satelitnya, Pesawat take off dari Bandara Frans Kaisiepo, Biak menuju lokasi peluncuran, Pesawat terbang dari Biak menuju titik peluncuran, 57

10 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007:49-64 Roket Polyot dilepas dari bagian belakang pesawat pada ketinggian 10 km, Roket tahap pertama dinyalakan, Roket tahap pertama dilepaskan dan tahap ke dua menyala, Roket tahap kedua dilepaskan, Satelit ditempatkan pada orbitnya dengan bantuan USB, Kerja dari satelit dikomando dari pesawat dan satelit juga mengirimkan sinyal ke stasiun pengendali di bumi, Pesawat terbang kembali menuju Biak, Pesawat terbang mendarat di Biak untuk melakukan persiapan penerbangan kembali menuju Samara Rusia. Lokasi peluncuran akan disesuaikan dengan posisi inklinasi dari satelit yang akan diluncurkan, yaitu dari Bandara Frans Kaisiepo, Biak, pesawat yang telah membawa roket dan satelit akan take off untuk melakukan penerbangan menuju lokasi peluncuran yang sesuai dengan inklinasi orbit satelit yang akan diluncurkannya sebagai berikut (Gambar 5-2): Sudut inklinasi orbit satelit 0 sampai 30 akan diluncurkan dari sebelah timur Biak ( km dari Bandara Frans Kaisiepo, Biak), Sudut inklinasi orbit satelit 30 sampai 80 akan diluncurkan dari sebelah utaratimur Port Moresby (ibukota Papua Nuigini). Sudut inklinasi orbit satelit antara 80 sampai 115 akan diluncurkan dari sekitar selatan pulau Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara Timur. 5.2 Fasilitas Utama ALS Perlengkapan atau fasilitas utama dari Air Launch Space Transportation System dari Rusia ini adalah : Roket peluncur (Space Launch Vehicle) : Polyot Dimensi Teknis : panjang 32,5 meter (total) Massa : - Orbit rendah (Low Orbit) : 100 ton -Orbit Tinggi (High Orbit):102 ton Massa Payload : - Low Orbit s/d 200km (i = 90 ) : 3 ton - Low Orbit s.d 200 km (i = 0 ) : 3.85 ton - Low Orbit s.d 400 km (i = 51 /ISS orbit) : 3.5 ton - GTO : ton - GEO : ton Komponen propellant : Oksigen Cair (Liquid Oxygen) dan Kerosene (RP 1/RG-1) Engine : - 1st stage : Nk - 43 M - 2nd stage: RD Upper Stage Booster : RD Launching cost : US $ 20 M (LEO) and US $ M (GTO/GSO) Payload cost factor: US $ 5,000/kg (LEO), US $ /kg (GTO), and US $ 35,000/kg (GSO) Pesawat Pengangkut (Carrier aircraft) Antonov AN AL Ruslan buatan Ukraina/Russia, dengan Spesifikasi/ Dimensi : Berat Take off max : 392 ton, Jarak tempuh dgn SLV (tanpa bahan bakar) : 9000 km, Jarak tempuh dgn SLV (terisi muatan & bhn bakar): 4500 km, Kecepatan jelajah: km/h, Kecepatan saat SLV diluncurkan : 700 km/h, Ketinggian Peluncuran SLV : 10 km, Panjang landasan: 3 km, Berat Total SLV: 100 ton Peralatan launch control di pesawat: 20 ton Dimensi Ruang Muatan : - Panjang : 36.5 m - Lebar : 6.4 m - Tinggi : 4.4 m 58

11 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) Gambar 5-1: Proses peluncuran satelit dengan Air Launch System Gambar 5-2: Lokasi peluncuran ALS 59

12 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007: EVALUASI ASPEK TEKNIS 6.1 Tinjauan Umum Dari uraian di atas terlihat bahwa hingga saat ini terdapat 1 sistem peluncuran dengan menggunakan pesawat terbang yang telah beroperasi dan 2 sistem yang masih dalam tahap pengembangan dan akan mulai beroperasi secara komersial pada tahun Apabila ditinjau secara teknis terhadap 3 sistem air launch space transportation tersebut terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan, baik dari jenis pesawat pengangkutnya, sistem peluncuran, berat maximum payload yang dapat dibawa, kemampuan menempatkan satelit dalam orbit yang dituju, serta kemampuan peluncuran dalam setahun. Di bawah ini akan ditinjau secara ringkas aspek-aspek tersebut di atas. 6.2 Sistem Peluncuran Dilihat dari sistem peluncuran yang digunakan oleh ke tiga system air launch tersebut di atas, terdapat perbedaan yaitu untuk sistem Pegasus memanfaatkan sistem peluncuran yang dinamakan captive on bottom (roket peluncur ditempatkan di bawah pesawat terbang). Sedangkan sistem QuickReach dan ALS Rusia menggunakan sistem Internally carried (roket peluncur ditempatkan di dalam pesawat terbang). Namun ada kesamaan dalam lokasi atau ketinggian dari pelepasan wahana peluncur dari pesawat terbang pengangkutnya yaitu di atas ketinggian ft atau 10 km di atas permukaan laut. Kedua sistem yang diterapkan tersebut tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Salah satu kekurangan sistem captive on bottom yang digunakan oleh Pegasus adalah keterbatasan dalam berat dan ukuran wahana peluncur/roket dan muatannya tidak dapat terlalu besar, karena akan mempengaruhi aerodinamika pesawat pembawa, memperkecil jarak antara dasar landasan dengan komponen terendah (ground clearance minimum), dan posisi engine pesawat (jarak antara engine di sayap) menjadi hal yang perlu diperhitungkan (Pegasus menggunakan Lockheed L Tristar yang salah satu engine-nya berada di bagian ekor). Namun mempunyai keuntungan antara lain dalam proses peluncuran atau pelepasan dari pesawat pembawa sistem ini lebih sederhana yaitu dapat dilakukan langsung, tanpa perlu membuka ramp door, dan posisi roket setelah dilepaskan tetap dalam kondisi horizontal dengan gerak maju searah gerak pesawat pembawa, sehingga relatif lebih mudah dalam hal pengendalian peluncuran awal. Sistem peluncuran Internally Carried digunakan oleh QuickReach dari Amerika Serikat dan ALS dari Rusia. Sistem ini memiliki kelebihan terutama dalam kemungkinan menambah berat dan volume dari wahana peluncur/roket dan muatannya, karena muatan tersebut ditempatkan di dalam perut pesawat pembawa (Carrier aircraft). Dengan sistem ini muatan pesawat tidak akan mempengaruhi aerodinamika pesawat dan muatan dapat seoptimal mungkin disesuaikan dengan kemampuan dan spesifikasi pesawat terbang. Dengan keuntungan tersebut sistem ALS yang dikembangkan oleh Rusia dapat membawa muatan roket dan satelit hingga 100 ton lebih, yang memungkinkan satelit yang akan diluncurkan berbobot hingga 3,85 ton untuk orbit rendah (LEO). Sistem QuickReach memiliki keterbatasan berat wahana peluncur yang dibawa pesawat pengangkut karena sistem pelepasan dari perut pesawat C-17 masih menggunakan roda-roda peluncur dan hanya memanfaatkan gaya gravitasi bumi (Gravity Air Launch GAL), sedangkan ALS Rusia sudah menggunakan tabung (Transporter and Launching Container TLC) yang melepaskan wahana peluncur dengan bantuan dorongan pneumatic sistem. Sistem peluncuran yang diterapkan oleh QuickReach dan ALS Rusia tersebut memerlukan pengendalian peluncuran awal yang lebih rumit, karena diperlukan penyempurnaan dari posisi wahana peluncur/roket setelah dikeluarkan dari perut pesawat pembawa. QuickReach menggunakan parachute kecil untuk menstabilkan posisi roket pada posisi vertikal sehingga motor roket tahap pertama dapat segera dinyalakan. Sedangkan ALS Rusia

13 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) memanfaatkan pengaturan exhaust chamber dari roket Polyot, sehingga roket dapat bermanuver atau berbelok mengarah ke atas. Ditinjau dari sistem peluncurannya, ketiga sistem air launch yang telah dikembangkan tersebut di atas mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun kekurangan yang ada terlihat sudah mendapatkan antisipasi secara teknologi yang dapat diandalkan. Kesamaan yang ada dari ke tiga sistem tersebut adalah ketinggian terbang yang dilakukan oleh pesawat pengangkut yaitu sekitar 10 km di atas permukaan laut dikarenakan pada ketinggian tersebut tekanan dari atmosfer sudah sangat berkurang, sehingga rocket engine chamber pressure yang diperlukan tidak terlalu besar yang menyebabkan sistem ini menjadi sangat kompetitif dibandingkan dengan peluncuran sistem konvensional yaitu dari launch pad di darat atau di laut. 6.3 Jenis Pesawat Pengangkut Pada sistem peluncuran melalui udara maka peran dari pesawat pengangkut (aircraft carrier) sangat besar, karena fungsi dari motor roket tahap pertama relatif digantikan oleh pesawat terbang yang akan membawa roket dan muatannya hingga ketinggian tertentu di atmosfer (kira-kira m hingga m di atas permukaan laut), baru kemudian roket dilepaskan dan dilakukan penyalaan motormotor roket tahap berikutnya untuk mengantar ke orbit satelit yang dituju. Pemilihan jenis pesawat terbang pengangkut ini sangat berpengaruh pada kemampuan payload yang dapat dibawa oleh roket peluncurnya. Pegasus dari Amerika Serikat menggunakan pesawat pengangkut Lockheed L-1011 Tri Star yang merupakan modifikasi dari pesawat penumpang yang dilengkapi dengan 3 buah mesin yang salah satunya terletak di bagian ekornya, sehingga bagian tengah pesawat (termasuk sayap pesawat yang hanya terdapat 2 engine) mempunyai tempat yang lebih luas. Pesawat dengan MTOW 225 ton ini memenuhi persyaratan untuk dapat mengangkut Pegasus yang mempunyai berat 23 ton lebih dan ditempatkan di bawah pesawat bagian tengah (captive on bottom system). Untuk tidak sampai mengganggu struktur aerodinamika pesawat dan aspek keselamatan terbang lainnya, maka penempatan roket pada bagian bawah pesawat terbang mempunyai keterbatasan berat, besar dan bentuk dari roket tersebut. Untuk memudahkan dalam handling maka penempatan roket di bawah pesawat memerlukan proses dengan mengangkat lebih dulu pesawat hingga tinggi tertentu. Pada sistem QuickReach dan ALS- Rusia, sistem peluncuran yang diterapkan adalah internal carried dimana roket dan muatannya ditempatkan di dalam perut pesawat, sehingga berat maupun ukurannya dapat lebih optimal sesuai dengan kapasitas dan dimensi badan pesawat pengangkut, dan dalam penerbangannya tidak akan mempengaruhi aerodinamika terbang dari pesawat. Pesawat yang digunakan untuk sistem internal carried ini dilengkapi dengan pintu ramp door di bagian belakang, sehingga muatannya yang berupa roket peluncur dapat dikeluarkan dengan efek gravitasi bumi dan/atau dibantu dengan dorongan sistem hidraulis atau pneumatika. Pesawat yang digunakan pada sistem ini adalah pesawat cargo militer, yang sudah didesain untuk membawa dan melepaskan muatan di udara. Pelepasan roket peluncur yang relatif cukup berat ( ton) merupakan manuver yang cukup berbahaya bagi stabilitas terbang pesawat, namun hal tersebut dapat diantisipasi sehingga dampak perubahan Centre of Gravity (CG) yang mendadak dapat diminimalisir dengan mengadakan menuver terbang secara khusus atau biasa disebut zero G manuver (contohnya terbang pesawat Antonov AN-124 pada waktu melepas roket Polyot yang melakukan gerakan naik dan turun atau up and down pitching movement). 6.4 Maximum Payload Telah diungkapkan di atas bahwa sistem air launch ini mempunyai keter- 61

14 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007:49-64 batasan dalam kemampuan angkut dari wahana antariksa yang akan diluncurkan, terutama pada sistem captive on bottom dan captive on top. Dalam faktanya Pegasus yang memanfaatkan sistem captive on bottom hanya dapat mengangkut maksimum 23 ton wahana peluncur dengan payload/ satellite seberat 440 kg ke orbit rendah. Hal tersebut dikarenakan ada keterbatasan dari segi aerodinamika terbang pesawat pengangkut yang akan terpengaruh dan handling yang memerlukan antisipasi dengan upaya yang lebih besar. Namun untuk sistem air launch yang memanfaatkan internal carried relatif akan mempunyai kemampuan angkut wahana antariksa yang lebih besar, sebagai contoh untuk sistem air launch dari Rusia dapat membawa roket peluncur Polyot dengan berat hingga 102 ton dan dimensi lebih besar dengan berat muatan (satelit) hingga 3,85 ton ke LEO dan 1,2 ton ke GTO serta 800 kg ke GSO. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan dari pesawat pengangkutnya atau Maximum Take Off Weight (MTOW), dan juga sistem pelepasan wahana peluncur dari perut pesawat terbang. 6.5 Orbit Tujuan Ditinjau dari segi posisi orbit yang bisa dicapai oleh sistem yang dikembangkan oleh masing-masing air launch sistem tersebut di atas terlihat bahwa sistem Pegasus dan QuickReach dari Amerika Serikat sangat terbatas, yaitu hanya mampu menempatkan satelit pada orbit rendah (LEO). Dari data yang ada terlihat bahwa Pegasus sistem dengan rocket engine 3 tahap mampu menempatkan satelit dengan berat maximum 400 kg ke orbit rendah (kurang dari ketinggian 300 km) dan sekitar 280 kg pada ketinggian orbit sekitar 700 km. Tidak jauh berbeda, sistem QuickReach contohnya secara teori dengan rocket engine 2 tahap dan 1 engine di satelit hanya mampu menempatkan satelit seberat 450 kg pada orbit inclination dan ketinggian 185 km. Sangat berbeda adalah air launch sistem yang dikembangkan oleh Rusia, dimana dengan roket peluncur Polyot yang memiliki 2 tahap dan 1 Upper 62 Stage Booster (USB) dapat menempatkan satelit pada hampir semua posisi orbit bumi yang diperlukan, yaitu mulai dari LEO, MEO, GTO dan GSO serta wahanawahana antariksa yang ditujukan untuk beroperasi pada deep space. Dari gambaran lokasi peluncuran yang ditampilkan oleh semua sistem air launch terlihat bahwa roket peluncur relatif dapat membawa muatan/satelit dengan sudut inklinasi orbit yang lebih luas yaitu dari 0 hingga Frekuensi Peluncuran Frekuensi peluncuran dari ketiga air launch sistem yang telah beroperasi dan dikembangkan tersebut di atas berbeda sesuai dengan kebutuhan dan persiapanpersiapan yang diperlukan untuk melakukan peluncuran. Direncanakan sistem Quick- Reach dari Amerika Serikat akan dapat diluncurkan dengan persiapan yang hanya membutuhkan waktu 24 jam, sehingga sistem ini dinamakan juga sebagai Responsive Launch System. Dengan masa persiapan yang sangat singkat tersebut direncanakan sistem QuickReach yang dilengkapi dengan 2 buah pesawat pengangkut C 17 A Globemaster, mampu meluncurkan satelit ke orbit rendah maksimum 16 peluncuran dalam waktu 24 jam. Implementasi sistem ini akan sangat berguna terutama untuk kepentingan militer yang memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam bertindak. Sistem Pegasus mempunyai 1 mission cycle selama 24 hingga 30 bulan, dan ground operation time 4,5 jam/peluncuran. Sedangkan ALS dari Rusia direncanakan mission cycle-nya relatif sama yaitu sekitar 24 bulan, dan ground preparation mulai dari saat kedatangan wahana peluncur/roket Polyot beserta muatannya/satelit di Intermediate Base (Biak) hingga saat peluncuran membutuhkan waktu maksimum 1 bulan. Selain itu dalam 1 tahun ALS Rusia merencanakan dapat melakukan peluncuran rata-rata hingga 5 6 kali. Mission cycle yang dimaksud di sini adalah proses dari mulai mission management and documents exchange meeting, reviews required to coordinate and manage the launch service,

15 Analisis Segmen Pasar Sistem Peluncuran Satelit dengan... (Kresno Putro) Mission and Payload integration analysis, Design, review, procurement, testing and integration, dan Range interface, safety, serta Launch site flight operations activities hingga reviews. 7 EVALUASI ASPEK EKONOMI Tinjauan aspek ekonomi kami batasi hanya dari segi biaya peluncuran (launching cost) yang dibebankan kepada para konsumen sistem tersebut. Berdasarkan data dan informasi yang ada tercatat bahwa biaya peluncuran (launching cost) yang dibebankan oleh sistem Pegasus adalah US $ 12 juta/launching atau Payload Cost Factor-nya menjadi US $ 27 ribu lebih per kg. Sistem QuickReach dapat memberikan biaya peluncuran yang lebih murah yaitu US $ 5 juta/launching atau dengan Payload Cost Factor menjadi US $ 11 ribu lebih per kg, yang semuanya dengan tujuan orbit rendah (LEO) sesuai kemampuan dari kedua sistem peluncur tersebut. Sedangkan ALS dari Rusia merencanakan biaya peluncuran untuk orbit satelit LEO adalah US $ 20 Juta per peluncuran dengan Payload Cost Factor menjadi US $ 5 ribu per kg-nya. Dan untuk tujuan orbit satelit GTO/GSO direncanakan berkisar antara US $ juta per peluncuran dengan Payload Cost Factor menjadi US $ 16 ribu hingga US $ 35 ribu per kg-nya. Dari data tersebut di atas terlihat bahwa apabila dibandingkan dari ketiga sistem tersebut maka untuk orbit satelit LEO, sistem dari Rusia akan lebih murah dengan muatan maksimum 4 ton. Namun dalam prakteknya pilihan dari para konsumen tentunya tergantung juga dari berat satelit yang akan diluncurkan dan dioperasikan. Apabila satelit yang akan dioperasikan tidak lebih dari berat 400 kg dengan tujuan orbit di LEO tentunya akan lebih efisien menggunakan sistem QuickReach atau Pegasus. Untuk peluncuran ke orbit GTO dan/atau GSO tentunya pilihan hanya pada ALS dari Rusia, karena sistem air launch lainnya tidak dapat digunakan. 8 KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Teknologi peluncuran satelit dengan menggunakan pesawat udara atau air launch space transportation system pertama kali dikembangkan dan diimplementasikan oleh Orbital Sciences Corporation dari Amerika Serikat pada tahun 1990, dengan roket yang dinamakan Pegasus. Kemudian dikembangkan pula oleh Air Launch LL Corporation dari Amerika Serikat dengan produknya yang dinamakan QuickReach TM, dan juga oleh Air Launch Aerospace Corporation (ALAC) dari Rusia yang menggunakan roket Polyot. Sistem peluncuran satelit dengan menggunakan pesawat udara (air launch space transportation system) memiliki keuntungan karena dapat diluncurkan dari lokasi yang diinginkan di seluruh dunia sesuai dengan keperluannya dengan penyediaan fasilitas darat yang lebih sederhana, dan dapat lebih menghemat dalam pemakaian bahan bakar sehingga biaya peluncuran lebih ringan dan lifetime satelit dapat lebih panjang. Namun sistem peluncuran jenis ini memiliki keterbatasan yaitu berat dari roket dan muatannya akan menjadi terbatas atau lebih ringan jika dibandingkan dengan sistem peluncuran lainnya. Dari ke tiga sistem air launch yang telah diimplementasikan dan sedang dikembangkan tersebut di atas terdapat beberapa perbedaan dalam sistem pelepasan dan pengoperasian yang diterapkan, sehingga masing-masing sistem mempunyai segmen pasar yang berbeda. Sistem Pegasus dan QuickReach dari Amerika Serikat dengan segmen pasar untuk peluncuran satelit ringan (di bawah 500 kg) ke orbit rendah, sedangkan ALS dari Rusia untuk segmen pasar yang lebih luas baik dalam hal berat satelit maupun posisi orbit satelit yang dituju. Sukses tidaknya rencana Indonesia untuk melangkah menjadi salah satu negara yang akan diperhitungkan dan dipandang oleh negara lain melalui implementasi 63

16 Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 4 No. 1 Juni 2007:49-64 ALS di Biak, sehingga dapat dikatagorikan sebagai negara yang menguasai teknologi keantariksaan atau biasa disebut sebagai Space Country memerlukan upaya yang besar, dan persiapan yang sangat matang. Jadi tingkat keberhasilannya juga sangat tergantung dari kesiapan Indonesia sendiri. DAFTAR RUJUKAN AIAA Space, Flight Testing of a Gravity Air Launch Method to Enable Responsive Space Access. Air Force Flight Test Center, Falcon QuickReach TM Airdrop Envelope Expansion to Enable Low - Cost Space Access. USA. Air Launch LLC, QuickReach TM Responsive Launch System. USA. ALAC, Air Launch Space Transportation System, Feasibility Study. Russia. M. Sarigul-Klijn, and N. Sarigul-Klijn, A Study of Air Launch Methods for RLVs, American Institute of Aeronautics and Astronautics, Inc., (AIAA ). Orbital Sciences Corporation, Pegasus R Users Guides. USA. 64

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia akan satelit untuk keperluan komunikasi, navigasi, pengamatan dan sebagainya berkembang semakin pesat. Perkembangan tersebut mendorong pengembangan

Lebih terperinci

3.1 Pendahuluan. 3.2 Deskripsi Roket Polyot

3.1 Pendahuluan. 3.2 Deskripsi Roket Polyot BAB 3 ROKET POLYOT 3.1 Pendahuluan Roket Polyot dikembangkan oleh Air Launch Aerospace Corporation, Rusia yang merupakan pelaksana program kerjasama antara Polyot Aviation Company dan Khimautomatiki DB.

Lebih terperinci

SIMULASI GERAK WAHANA PELUNCUR POLYOT

SIMULASI GERAK WAHANA PELUNCUR POLYOT BAB SIMULASI GERAK WAHANA PELUNCUR POLYOT. Pendahuluan Simulasi gerak wahana peluncur Polyot dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Simulink Matlab 7.. Dalam simulasi gerak ini dimodelkan gerak roket

Lebih terperinci

ANALISA KARAKTERISTIK AERODINAMIKA UNTUK KEBUTUHAN GAYA DORONG TAKE OFF DAN CRUISE PADA HIGH SPEED FLYING TEST BED (HSFTB) LAPAN

ANALISA KARAKTERISTIK AERODINAMIKA UNTUK KEBUTUHAN GAYA DORONG TAKE OFF DAN CRUISE PADA HIGH SPEED FLYING TEST BED (HSFTB) LAPAN ANALISA KARAKTERISTIK AERODINAMIKA UNTUK KEBUTUHAN GAYA DORONG TAKE OFF DAN CRUISE PADA HIGH SPEED FLYING TEST BED (HSFTB) LAPAN Lintang Madi Sudiro (2106100130) Jurusan Teknik Mesin FTI ITS,Surabaya 60111,email:lintangm49@gmail.com

Lebih terperinci

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 57 BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 5.1. TINJAUAN UMUM Pada bab sebelumnya telah dibahas evaluasi dan analisis kondisi eksisting Bandara Babullah sesuai dengan tipe pesawat yang

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.561, 2014 KEMENHUB. Penetapan. Biaya. Navigasi Penerbangan. Formulasi. Mekanisme. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II Bandar Udara Radin Inten II adalah bandara berkelas umum yang penerbangannya hanya domestik. Bandara ini terletak di kecamatan Natar,

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ROKET LAPAN DAN KINERJANYA

RANCANG BANGUN ROKET LAPAN DAN KINERJANYA RANCANG BANGUN ROKET LAPAN DAN KINERJANYA Sutrisno Peneliti Bidang Propelan, LAPAN RINGKASAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merupakan suatu instansi pemerintah yang mclakukan penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Runway digunakan untuk kegiatan mendarat dan tinggal landas pesawat terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum take off weight terbesar

Lebih terperinci

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 133) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21

Lebih terperinci

PENELITIAN PRESTASI TERBANG ROKET SONDA SATU TINGKAT RX-320

PENELITIAN PRESTASI TERBANG ROKET SONDA SATU TINGKAT RX-320 PENELITIAN PRESTASI TERBANG ROKET SONDA SATU TINGKAT RX-320 Turah Semblring Penellti Pusterapan. LAPAN ABSTRACT Research to find the optimum performance of the rocket is done by using one stage of RX-320

Lebih terperinci

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI DAN MEKANISME PENETAPAN BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan Pada Zaman modern ini alat transportasi sangatlah penting, baik untuk mengangkut barang ataupun manusia. Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang

Lebih terperinci

ANALISIS PRESTASI DAN LINTAS TERBANG WAHANA PELUNCUR POLYOT

ANALISIS PRESTASI DAN LINTAS TERBANG WAHANA PELUNCUR POLYOT ANALISIS PRESTASI DAN LINTAS TERBANG WAHANA PELUNCUR POLYOT TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kelulusan Program Strata I pada Program Studi Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

(LAPAN) LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

(LAPAN) LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN) LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL ORGANISASI LAPAN PUSAT TEKNOLOGI PENERBANGAN 2011 - SEKARANG PUSAT TEKNOLOGI PENERBANGAN Lab. Avionik Lab. Propulsi Gedung Utama Lab. Aerostruktur Lab.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN 1. Tujuan Perencanaan Sistem Bandara (Airport System), adalah : a. Untuk memenuhi kebutuhan penerbangan masa kini dan mendatang dalam mengembangkan pola pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70. Kata Kunci : rancang bangun, video surveillance, telemetri, roket.

RANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70. Kata Kunci : rancang bangun, video surveillance, telemetri, roket. RANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70 Nugroho Widi Jatmiko, Dony Kushardono, Ahmad Maryanto Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang menuju kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Merancang dan merealisasikan pesawat terbang mandiri tanpa awak dengan empat. baling-baling penggerak.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Merancang dan merealisasikan pesawat terbang mandiri tanpa awak dengan empat. baling-baling penggerak. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tujuan Merancang dan merealisasikan pesawat terbang mandiri tanpa awak dengan empat baling-baling penggerak. 1.2. Latar Belakang Pesawat terbang tanpa awak atau UAV (Unmanned Aerial

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Hai teman-teman penerbangan, pada halaman ini saya akan berbagi pengetahuan mengenai engine atau mesin yang digunakan pada pesawat terbang, yaitu CFM56 5A. Kita

Lebih terperinci

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE

BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE BAB III REKONTRUKSI TERBANG DENGAN PROGRAM X-PLANE 3.1 Pendahuluan Dalam tugas akhir ini, mengetahui optimalnya suatu penerbangan pesawat Boeing 747-4 yang dikendalikan oleh seorang pilot dengan menganalisis

Lebih terperinci

Pokok Bahasan 7. Satelit

Pokok Bahasan 7. Satelit Pokok Bahasan 7 Satelit Pokok Bahasan 7 Pokok Bahasan Sistem komunikasi satelit Sub Pokok Bahasan Jenis-jenis satelit Link budget Segmen bumi Segmen angkasa Kompetensi Setelah mengikuti kuliah ini mahsiswa

Lebih terperinci

PERATUPvAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 36 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PENGENAAN TARIF JASA KEBANDARUDARAAN

PERATUPvAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 36 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PENGENAAN TARIF JASA KEBANDARUDARAAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBUK INDONESIA PERATUPvAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 36 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN PROSEDUR PENGENAAN TARIF JASA KEBANDARUDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Boeing atau Airbus? Berdiri : 1970 (Airbus Industrie) pekerja : 57,000. Airbus

Boeing atau Airbus? Berdiri : 1970 (Airbus Industrie) pekerja : 57,000. Airbus Boeing atau Airbus? Liburan ke luar kota atau ke luar negeri pasti membutuhkan moda transportasi, baik itu darat laut maupun udara. Saat ini, Indonesia sedang giat-giatnya membangun dan merenovasi berbagai

Lebih terperinci

MODIFIKASI PERSAMAAN GERAK ROKET KLASIK TSIOLKOVSKY UNTUK ROKET YANG BERGERAK MENDEKATI KECEPATAN CAHAYA

MODIFIKASI PERSAMAAN GERAK ROKET KLASIK TSIOLKOVSKY UNTUK ROKET YANG BERGERAK MENDEKATI KECEPATAN CAHAYA MODIFIKASI PERSAMAAN GERAK ROKET KLASIK TSIOLKOVSKY UNTUK ROKET YANG BERGERAK MENDEKATI KECEPATAN CAHAYA Oleh Ridho Muhammad A (10212067) dan Muhammad Baharuddin R(10212096) Jurusan Fisika Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

ANALISIS ALTERNATIF PENEMPATAN SATELIT LAPAN A2 DI ORBIT

ANALISIS ALTERNATIF PENEMPATAN SATELIT LAPAN A2 DI ORBIT Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 Juni 2010 :132-145 ANALISIS ALTERNATIF PENEMPATAN SATELIT LAPAN A2 DI ORBIT Nizam Ahmad Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN E-mail:nizam@bdg.lapan.go.id ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance Pelabuhan Udara Gibraltar Airport Dr. Gito Sugiyanto, S.T., M.T. Desain Fasilitas Sisi Udara Sistem Bandar Udara ARFL dan ARC Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA

Lebih terperinci

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 SILABUS Mata Kuliah : Hukum Udara dan Ruang Angkasa Kode Mata Kuliah : HKIn 2086 SKS : 2 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Komponen Berat Pesawat Udara Berat pesawat udara, pada umumnya, terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu APS (Aircraft Prepared for Service) weight, payload, dan berat bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari. persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan pesawat rencana:

Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari. persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan pesawat rencana: BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. ANALISA PANJANG LANDASAN Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari advisory circular AC: 150/ 5325-4A dated 1/ 29/ 90, persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Transportasi udara dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. Penerbangan domestik 2. Penerbangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 39 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA DAN FORMULASI PERHITUNGAN BIAYA OPERASI PENERBANGAN ANGKUTAN UDARA PERINTIS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR APRON Nama : Nur Kumala NIM : 0904105061 Jurusan : Teknik Sipil Mata Kuliah : Teknik Bandar Udara UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010 Apron Pengertian Apron Apron adalah bagian dari lapangan gerak darat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PEMBAHASAN 4.1. Perhitungan Dengan Cara Manual Data yang diperlukan dalam perencanaan tebal perkerasan metode FAA cara manual adalah sebagai berikut: 1. Nilai CBR Subbase : 20% 2. Nilai CBR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Roket Roket adalah suatu wahana antariksa yang dapat menjelajah dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sir Isaac Newton, seorang ahli matematika, scientist, dan seorang

Lebih terperinci

BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF

BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF BAB VI INTEGRASI ANALISA CRUISE, LANDING, DAN TAKEOFF 6.1. Hasil Analisis Fasa Terbang Setelah tiap tahap analisis selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah melakukan penggabungan hasil-hasil tersebut

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG RANCANGAN MOTOR ROKET RX100 MENGGUNAKAN PENDEKATAN GAYA DORONG OPTIMAL

KAJIAN TENTANG RANCANGAN MOTOR ROKET RX100 MENGGUNAKAN PENDEKATAN GAYA DORONG OPTIMAL KAJIAN TENTANG RANCANGAN MOTOR ROKET RX100 MENGGUNAKAN PENDEKATAN GAYA DORONG OPTIMAL Errya Satrya 1 ; Holder Simorangkir 2 1 Staf peneliti Pusat Roket LAPAN, Rumpin Serpong 2 Universitas IndoNusa Esa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan jasa pelayanan maskapai penerbangan dari tahun ke tahun semakin menjadi perhatian masyarakat luas. Hal itu dapat dilhat dari ketatnya persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau UAS (Unmanned Aircraft System) merupakan salah satu teknologi kedirgantaraan yang saat ini sedang berkembang dengan pesat.

Lebih terperinci

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1 PERENCANAAN BANDAR UDARA Page 1 SISTEM PENERBANGAN Page 2 Sistem bandar udara terbagi menjadi dua yaitu land side dan air side. Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung

Lebih terperinci

Desain pesawat masa depan

Desain pesawat masa depan Desain pesawat masa depan Flying Wing = Sayap Terbang? Itu memang terjemahan bebasnya. Dan arti yang sebenarnya memang tidak terlalu jauh berbeda. Flying Wing sebenarnya merupakan istilah untuk desain

Lebih terperinci

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM 1 MATERI PEMBELAJARAN Perkembangan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG KURIKULUM PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN DI BIDANG MANAJEMEN PENERBANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem satelit navigasi adalah sistem yang digunakan untuk menentukan posisi di bumi dengan menggunakan teknologi satelit. Sistem ini memungkinkan sebuah alat elektronik

Lebih terperinci

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas Vol. 2 No. 3 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional September 2016 Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

AIRBLEED INDICATOR FAULTILLUMINATE AKIBAT GANGGUAN PADA PRESSURE REGULATOR PADA SISTEM DE-ICING PESAWAT ATR

AIRBLEED INDICATOR FAULTILLUMINATE AKIBAT GANGGUAN PADA PRESSURE REGULATOR PADA SISTEM DE-ICING PESAWAT ATR AIRBLEED INDICATOR FAULTILLUMINATE AKIBAT GANGGUAN PADA PRESSURE REGULATOR PADA SISTEM DE-ICING PESAWAT ATR 42-500 Reza 1, Bona P. Fitrikananda 2 Program Studi Motor Pesawat Terbang Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang LESSON - 3 ( LAPANGAN TERBANG ) Materi : Perencanaan Lapangan Terbang Buku Referensi : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara, Jilid 1 dan 2, Horonjeff, R. & McKelvey, FX. Merancang, Merencana Lapangan

Lebih terperinci

ANALISA KARAKTERISTIK AERODINAMIKA UNTUK KEBUTUHAN GAYA DORONG TAKE OFF DAN CRUISE PADA HIGH SPEED FLYING TEST BED (HSFTB) LAPAN

ANALISA KARAKTERISTIK AERODINAMIKA UNTUK KEBUTUHAN GAYA DORONG TAKE OFF DAN CRUISE PADA HIGH SPEED FLYING TEST BED (HSFTB) LAPAN ANALISA KARAKTERISTIK AERODINAMIKA UNTUK KEBUTUHAN GAYA DORONG TAKE OFF DAN CRUISE PADA HIGH SPEED FLYING TEST BED (HSFTB) LAPAN Oleh : Lintang Madi Sudiro 2106 100 130 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi

Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Boks 2. Kesuksesan Sektor Jasa Angkutan Udara di Provinsi Jambi Perekonomian Jambi yang mampu tumbuh sebesar 5,89% pada tahun 2006 merupakan prestasi tersendiri. Pada awal tahun bekerjanya mesin ekonomi

Lebih terperinci

Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan.

Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan. 3. SIMBOL DAN SINGKATAN 3.1 AC Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan. 3.2 ACN Singkatan dari Aircraft Classification

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara 1 merupakan sarana perhubungan yang cepat dan efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. Pesawat udara memiliki karakteristik

Lebih terperinci

Variabel-variabel Pesawat

Variabel-variabel Pesawat Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Impact of Aircraft Characteristics on Airport Design Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Variabel-variabel Pesawat Berat (weight) diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Perusahaan penerbangan adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang angkutan udara yang mengangkut penumpang, barang, pos, dan kegiatan keudaraan lainnya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Kebandarudaraan. Nasional. Tatanan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 69 TAHUN 2013 TENTANG TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

Lebih terperinci

GPS (Global Positioning Sistem)

GPS (Global Positioning Sistem) Global Positioning Sistem atau yang biasa disebut dengan GPS adalah suatu sistem yang berguna untuk menentukan letak suatu lokasi di permukaan bumi dengan koordinat lintang dan bujur dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandara Internasional Minangkabau yang terletak 23 km dari pusat Kota

BAB I PENDAHULUAN. Bandara Internasional Minangkabau yang terletak 23 km dari pusat Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Bandara Internasional Minangkabau yang terletak 23 km dari pusat Kota Padang, yang menempati lahan seluas ± 427 hektare merupakan pintu gerbang utama Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASA LANDING

BAB IV ANALISIS FASA LANDING BAB IV ANALISIS FASA LANDING 4.1. Analisis Penentuan Maximum Landing Weight Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, penentuan Maximum Landing Weight (MLW) dilakukan dengan mengacu kepada flight manual

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. laut, maupun udara perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk menjangkau, menggali,

BAB 1 PENDAHULUAN. laut, maupun udara perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk menjangkau, menggali, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana transportasi baik darat, laut, maupun udara perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk menjangkau, menggali, serta

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara 15 BAB III LANDASAN TEORI A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara Menurut Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dengan nomor SKEP/161/IX/03 tanggal 3 September

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR

Lebih terperinci

ANALISIS TEBAL PERKERASAN TAMBAHAN PADA BANDAR UDARA NUSAWIRU CIJULANG KABUPATEN CIAMIS

ANALISIS TEBAL PERKERASAN TAMBAHAN PADA BANDAR UDARA NUSAWIRU CIJULANG KABUPATEN CIAMIS ANALISIS TEBAL PERKERASAN TAMBAHAN PADA BANDAR UDARA NUSAWIRU CIJULANG KABUPATEN CIAMIS Oleh:Dedi Sutrisna, Drs., M.Si. Abstrak Bandar Udara Nusawiru merupakan bandara kelas perintis yang terletak di pantai

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Hal i ii iii iv v vi vii

DAFTAR ISI. Hal i ii iii iv v vi vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING. HALAMAN PENGESAHAN. PERNYATAAN. MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMBANG

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN Yasruddin Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRAK Bandar Udara

Lebih terperinci

Kajian Penjadwalan dan Penggunaan Prioritas Antena di Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Parepare dan Rumpin

Kajian Penjadwalan dan Penggunaan Prioritas Antena di Stasiun Bumi Penginderaan Jauh Parepare dan Rumpin Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 07 Kajian Penjadwalan dan Penggunaan Prioritas Antena di Stasiun Bumi Penginderaan Jauh dan Rumpin Study of Antenna Scheduling and Use Priority Review at Remote

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai Negara kepulauan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke terdiri dari 13.446 pulau dan 34 provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi ke-empat

Lebih terperinci

PERHITUNGAN KARAKTERISTIK AERODINAMIKA, ANALISIS DINAMIKA DAN KESTABILAN GERAK DUA DIMENSI MODUS LONGITUDINAL ROKET RX 250 LAPAN

PERHITUNGAN KARAKTERISTIK AERODINAMIKA, ANALISIS DINAMIKA DAN KESTABILAN GERAK DUA DIMENSI MODUS LONGITUDINAL ROKET RX 250 LAPAN PERHITUNGAN KARAKTERISTIK AERODINAMIKA, ANALISIS DINAMIKA DAN KESTABILAN GERAK DUA DIMENSI MODUS LONGITUDINAL ROKET RX 25 LAPAN Singgih Satrio Wibowo Dosen Program Studi Teknik Aeronautika Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERHUBUNGAN UDARA NOMOR KP 112 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERHUBUNGAN UDARA NOMOR KP 112 TAHUN 2017 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 112 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

Lebih terperinci

PROSES PRODUKSI PROPELAN RX 550 MENUJU TERWUJUDNYA ROKET PENGORBIT SATELIT (RPS)

PROSES PRODUKSI PROPELAN RX 550 MENUJU TERWUJUDNYA ROKET PENGORBIT SATELIT (RPS) Proses Produksi Propelan RX 550 Menuju Terwujudnya...(Sutrisno) PROSES PRODUKSI PROPELAN RX 550 MENUJU TERWUJUDNYA ROKET PENGORBIT SATELIT (RPS) Sutrisno Peneliti Pusat Teknologi Wahana Dirgantara, LAPAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport)

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi udara sangat efektif digunakan untuk membawa penumpang dengan jarak yang jauh dan dapat mempercepat waktu tempuh dibandingkan transportasi darat dan laut.

Lebih terperinci

INDEPT, Vol. 4, No. 1 Februari 2014 ISSN

INDEPT, Vol. 4, No. 1 Februari 2014 ISSN ANALISIS OPTIMASI TEBAL RIB SAYAP PESAWAT WIG IN GROUND EFFECT 2 SEAT DENGAN FEM Bayu Handoko 1, H. Abu Bakar 2 Program Studi Teknik Penerbangan Fakultas Teknik Universitas Nurtanio Bandung ABSTRAKSI Pada

Lebih terperinci

PA U PESAW PESA AT A T TER

PA U PESAW PESA AT A T TER PERENCANAAN PANJANG LANDAS PACU PESAWAT TERBANG Didalam merencanakan panjang landas pacu, dipakai suatu standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL) Menurut ICAO (International Civil Aviation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pulse jet engine

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pulse jet engine BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelidikan terhadap pulse combustion engine pada awalnya dipelopori oleh Advanced Research Project Agency (DARPA) untuk mengeksplorasi skalabilitas dari mesin tersebut,

Lebih terperinci

PENENTUAN GAYA HAMBAT UDARA PADA PELUNCURAN ROKET DENGAN SUDUT ELEVASI 65º

PENENTUAN GAYA HAMBAT UDARA PADA PELUNCURAN ROKET DENGAN SUDUT ELEVASI 65º Penentuan Gaya Hambat Udara pada Peluncuran... (Turah Sembiring) PENENTUAN GAYA HAMBAT UDARA PADA PELUNCURAN ROKET DENGAN SUDUT ELEVASI 65º Turah Sembiring Peneliti Pusat Teknologi Penerbangan, LAPAN e-mail:

Lebih terperinci

Pengembangan Perangkat Lunak. untuk Menentukan Berat Payload Maksimum. dalam Satu Rute Penerbangan

Pengembangan Perangkat Lunak. untuk Menentukan Berat Payload Maksimum. dalam Satu Rute Penerbangan Pengembangan Perangkat Lunak untuk Menentukan Berat Payload Maksimum dalam Satu Rute Penerbangan Tugas Akhir Diajukan sebagai syarat kelulusan program sarjana Strata Satu (S1) Oleh : Dany Eka Saputra 13601043

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Bandar Udara Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat 1, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas

Lebih terperinci

Bandara Frans Kaisiepo

Bandara Frans Kaisiepo Bandara Frans Kaisiepo IATA ICAO Province Address : BIK : WABB : PAPUA : Jl. Moh. Yamin, Kel. Mandala, Kec. Biak Kota, Kab. Biak Numfor, Papua, 98111 Telephone : +62 981-22555, 21855 Fax : +62 981-22106

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1297, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Jaringan. Rute. Penerbangan. Angkutan Udara. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 88 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MENGAPA PESAWAT DAPAT TERBANG

PRINSIP DASAR MENGAPA PESAWAT DAPAT TERBANG PRINSIP DASAR MENGAPA PESAWAT DAPAT TERBANG Oleh: 1. Dewi Ariesi R. (115061105111007) 2. Gamayazid A. (115061100111011) 3. Inggit Kresna (115061100111005) PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR)

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) PT. DAHANA, 29 Maret 2012 PUSAT PENGKAJIAN DAN INFORMASI

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 93 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 93 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 93 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS OPERASIONAL PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang merupakan salah satu kota di Jawa Tengah dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Tengah. Kota Semarang memiliki prospek untuk berkembang dari

Lebih terperinci

2015, No Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4956); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestar

2015, No Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4956); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1289, 2015 KEMENHUB. Perjanjian Tingkat Layanan. Jasa Bandar Udara. Penyusunan Pedoman. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 129 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UAS (unmanned aircraft systems) atau UAV (unmanned aerial vehicle) adalah sebuah sistem pesawat udara yang tidak memiliki awak yang berada di dalam pesawat (onboard).

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA Oleh : Dimitri Anggrea Noor I Ketut Sudiarta Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Angkasa Pura Persero. PT ; Turning Area, Taxiway dan Apron Bandara BIM,

DAFTAR PUSTAKA. Angkasa Pura Persero. PT ; Turning Area, Taxiway dan Apron Bandara BIM, DAFTAR PUSTAKA Angkasa Pura Persero. PT ; Turning Area, Taxiway dan Apron Bandara BIM, Informasi Bandara Internasional Minangkabau. Basuki, Heru. 1986. Merancang Dan Merencanakan Lapangan Terbang Cetakan

Lebih terperinci

PENGARUH KETIDAKLURUSAN DAN KETIDAKSIMETRISAN PEMASANGAN SIRIP PADA PRESTASI TERBANG ROKET RX-250-LPN

PENGARUH KETIDAKLURUSAN DAN KETIDAKSIMETRISAN PEMASANGAN SIRIP PADA PRESTASI TERBANG ROKET RX-250-LPN PENGARUH KETIDAKLURUSAN DAN KETIDAKSIMETRISAN PEMASANGAN SIRIP PADA PRESTASI TERBANG ROKET RX-250-LPN Sulistyo Atmadi, Ahmad Riyadi Peneliti Bidang Aerodinamika dan Struktur, LAPAN ABSTRACT The performance

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi satelit begitu cepat akhir-akhir ini. Saat ini IT Telkom sedang mengembangkan satelit nano atau nanosatelit untuk keperluan riset. Nanosatelit

Lebih terperinci

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA Perhitungan Panjang Landas Pacu Untuk Operasi Pesawat Udara The Measurement Of Runway Length For Aircraft Operations Yati Nurhayati Peneliti Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1. Universitas Kristen Maranatha BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Berbagai jenis transportasi yang ada sekarang sering dimanfaatkan untuk mengangkut barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan sarana transportasi yang menunjang proses kehidupan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan sarana transportasi yang menunjang proses kehidupan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, Indonesia membutuhkan sarana transportasi yang menunjang proses kehidupan ekonomi masyarakatnya. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau biasa disebut pesawat tanpa awak saat ini sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat di dunia. Penggunaan UAV dikategorikan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.723, 2015 KEMENHUB. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Indonesia. Pengoperasian. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 90 TAHUN

Lebih terperinci