BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK"

Transkripsi

1 BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK A. Syarat Kepailitan PT. Telkomsel. Tbk Seorang debitor dapat dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu putusan hakim. Kewenangan pengadilan 30 untuk menjatuhkan putusan kepailitan itu telah ditentukan secara tegas di dalam Undang-Undang Kepailitan. 31 Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit dapat dilihat dari Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yakni sebagai berikut : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Syarat-syarat mengenai permohonan pailit sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut dapatlah dijelaskan lebih mendalam sebagai berikut : 1. Syarat adanya dua kreditur atau lebih (Concursus Creditorium) Berdasarkan dari Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004, pihak yang dapat mengajukan pailit adalah seorang debitur yang mempunyai dua atau lebih krediturnya dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh 30 Hakim dan Pengadilan yang dimaksud adalah Hakim dan Pengadilan Niaga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 dan Pasal UUK 31 Pasal 3 UUK

2 waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dalam Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya, kemudian permohonan tersebut dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. Apabila debitur merupakan bank, maka pernyataan permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. Apabila debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Apabila debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan jenis pelunasan piutangnya dari debitur, maka tingkatan kreditur dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Kreditur Preferen (kreditur istimewa atau privilege) yang terdiri atas : 1) Kreditur Preferen karena undang-undang Yaitu kreditur yang karena undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi daripada kreditur lainnya yang semata-mata karena sifat piutang yang diatur dalam Pasal 1139 KUHPedata dan Pasal 1149 KUHPerdata. 2) Kreditur Separatis (secured creditor) Yaitu kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, artinya para kreditur separatis tetap dapat

3 melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya dinyatakan pailit. Kreditur pemegang hak jaminan adalah kreditur preferen. Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis. 32 Perbedaan antara hak dan kedudukan kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak atas kebendaan yaitu haknya disebut preferen karena ia digolongkan oleh undang-undang sebagai kreditur yang diistimewakan pembayarannya, sedangkan kedudukannya adalah separatis karena ia memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen lainnya yaitu utangnya dijamin dengan hak kebendaan. 33 Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual benda sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya. 34 Kreditur pemegang hak jaminan ini karena sifat pemilik suatu hak yang dilindungi secara preferen dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan karena di anggap separatis (berdiri sendiri). b. Kreditur Konkuren (unsecured creditor) Yaitu kreditur yang tidak termasuk dalam kreditur separatis atau golongan preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari sisa 32 Mariam Darus Badrulzaman. Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia. (Bandung: PT. Citra Aditia Bakti, 1991). Hal Ibid. 34 Munir Fuady. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998). Hal 105

4 penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan separatis dan preferen. Sisa hasil penjualan harta pailit dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang kreditur konkuren. 35 Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tidak membedakan jenis-jenis kreditur yang dapat mengajukan permohonan pailit tanpa terkecuali termasuk kreditur separatis. Akan tetapi Sutan Remi Syahjeini berpendapat bahwa kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditur separatis telahterjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan hak jaminan. Apabila seorang kreditur separatis merasa kurang terjamin sumber pelunasan piutangnya karena nilai hak jaminan yang dipegangnya lebih rendah daripada nilai piutangnya, dan apabila kreditur separatis itu menghendaki untuk memperoleh sumber pelunasan dari harta pailit, maka kreditur separatis itu harus terlebih dahulu melepaskan hak separatisnya, sehingga dengan demikian berubah statusnya menjadi kreditur konkuren. 36 Dalam hukum perdata perbedaan kreditur hanya dibedakan dari kreditur preferen dengan kreditur konkuren. Kreditur preferen dalam hukum perdata dapat mencakup kreditur yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi di dalam kepailitan yang dimaksud dengan kreditur preferen hanya kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privillage, pemegang hak retensi, dll. Sedangkan kreditur yang memiliki jaminan kebendaan dalam hukum kepailitan diklasifikasikan dalam 35 Pasal 1132 KUHPerdata 36 Ibid.

5 kreditur separatis. Dalam hubungannya dengan aset-aset yang digunakan, kedudukan kreditur preferen sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata yang berbunyi: "Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya". Sehingga berdasarkan semua penjelasan diatas maka kreditur preferen memilikikedudukan yang diistimewakan dimana kreditur preferen memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan harta pailit berdasarkan sifat piutangnya. 2. Syarat harus ada utang Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit adalah harus ada utang. UU No. 37 Tahun 2004 tidak menentukan apa yang dimaksudkan dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidak adanya utang. Pihak-pihak yang dimaksud adalah Penasihat Hukum dari pemohon, Penasihat Hukum dari termohon, dan Majelis Hakim Peninjauan Kembali. 37 Di bawah ini ada beberapa pendapat para pakar hukum mengenai pengertian utang, yaitu : a. Menurut Remy Sjahdeini, pengertian utang di dalam UU No. 4 Tahun 1998 yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang-piutang saja, tetapi merupakan setiap 37 Pengertian Syarat harus adanya Utang, em/13(diakses tanggal 29 Januari 2014)

6 kewajiban yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditur baik karena kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditur, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian tidak terbatas, maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 38 b. Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi, kreditor berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur. Pada dasarnya UU Kepailitan tidak hanya membatasi utang sebagai suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja. 39 Pasal 1 angka (6) menjelaskan pengertian utang sebagai berikut : Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya darta kekayaan debitur. Berdasarkan defenisi utang yang diberikan oleh UU Kepailitan, jelas bahwa definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam-meminjam, tetapi juga 38 Prof. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm Kartini, Gunawan, Pedoman Menangani Pekara Kepailitan, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm.11.

7 utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang. 3. Syarat cukup utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih Pasal 1 ayat (1) UUK tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Pada perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang dengan lampaunya waktu yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu menjadi waktu dan karena itulah kreditur berhak menagihnya. Pasal 1angka (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mendefenisikan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudianhari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undangundang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitor. Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu. Maka kata-kata di dalam Pasal 1 ayat (1) UUK yang berbunyi utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih diubah menjadi utang yang telah dapat ditagih atau utang yang telah dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuh waktu atau belum. Salah satu syarat mengajukan permohonan pernyataan permohonan pailit terhadap seorang kreditur adalah bahwa selain debitur harus memiliki lebih dari

8 seorang kreditur tersebut, harus pula dalam keadaan tidak mampu membayar lebih dari 50% (lima puluh persen). 40 Perkara kepailitan PT. Telkomsel telah dijelaskan dalam putusan perkara kepailitan No.48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst jo No.704k/Pdt.Sus/2012. Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut : Tanggal 1 Juni 2012 : Perjanjian Kerjasama yang disetujui antara PT. Telkomsel dan PT. Prima Jaya Informatika. No. Perjanjian Kerjasama Telkomsel : PKS.591/LG.05/SL-01/2011 dan No. Perjanjian Kerjasama Prima Jaya Informatika : 031/PKS/PJI-TD/VI/ Perjanjian Kerjasama tersebut berlangsung dari tanggal 11 Juni Juni Inti Perjanjian Kerjasama tersebut adalah : a. Telkomsel harus menyediakan voucher isi ulang dan Kartu Perdana sebesar Rp 5,2 miliyar (lima koma dua miliyar rupiah) b. Prima Jaya Informatika harus menjual sebanyak 120 juta Voucher, 10jutaKartu Perdana, dan membentuk komunitas Prima sebanyak 10juta anggota. 4. Tanggal 9 Mei 2012 : Prima Jaya Informatika melakukan pemesanan produk pada Telkomsel. 5. Tanggal Juni 2012 : 40 SyaratPailit, ltiply.com/review/item/13(diakses tanggal 30 Januari 2014). 41 Dikutip dari Putusan No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst

9 Prima Jaya Informatika sekali lagi melakukan pemesanan produk pada Telkomsel. 6. Telkomsel menolak pemesanan Voucheryang di minta oleh Prima Jaya Informatika melalui pada tanggal 21 Juni 2012 karena belum melakukan pembayaran. 7. Telkomsel berusaha mengadakan mediasi terkait performa terhadap Prima Jaya Informatika. 8. Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Telkomsel pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst). 9. Alasan Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit terhadap Telkomsel adalah sebagai berikut : Telkomsel mempunyai utang akibat tidak melaksanakan perjanjian kerjasama yang telah disepakati antara Telkomsel dan Prima Jaya Informatika dengan menimbulkan kerugian sebesar Rp. 5,3 miliyar (lima koma tiga miliyar rupiah) pada Prima Jaya Informatika. 10. Dalil pailitnya PT. Telkomsel adalah sebagai berikut : a. Kreditor I yaitu PT. Prima Jaya Informatika memiliki piutang sebesar Rp 5,2 miliyar (lima koma dua miliyar) ; b. Kreditor II yaitu PT. Extend Media Indonesia memiliki piutang sebesar Rp 40,3 miliyar (empat puluh koma tiga miliyar) ; dan c. Telkomsel menolak berprestasi (pemesanan II) melalui tanggal 21 Juni 2012.

10 11. Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pailit pada tanggal 14 September Amar Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap pailitnya PT. Telkomsel adalah sebagai berikut : Mengabulkan permohonan pernyataan pailit pemohon pailit PT. Prima Jaya Informatika untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Termohon pailit yaitu PT. Telkomsel, pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Mengangkat dan menunjuk hakim niaga pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas dalam proses kepailitan Termohon Pailit tersebut. 4. Mengangkat dan menunjuk Sdr. Feri S. Samad, S.H., M.H., sebagai Kurator dalam proses kepailitan Termohon Pailit tersebut. 5. Menetapkan bahwa imbalan jasa (fee) Kurator yang akan ditetapkan setelah Kurator selesai melaksanakan tugasnya. Inti pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung terhadap kasus pailitnya PT. Telkomsel (No.704K/Pdt.Sus/2012) adalah sebagai berikut : Majelis Hakim Pengadilan Niaga, perkara No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tidak memahami atau sangat keliru dalam memahami hukum perikatan/perjanjian Indonesia. 42 Ibid. 43 Dikutip dari Putusan No.704K/Pdt.Sus/2012

11 2. Majelis Hakim Niaga perkara No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, tidak memahami atau sangat keliru dalam mempertimbangkan pengertian utang dari utang yang telah jatuh tempo dan dapat di tagih. 3. Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutuskan utang yang keberadaanya dapat dibuktikan secara sederhana. 4. Sangat membingungkan pertimbangan dan cenderung terjadi tindakan kesemena-menaan hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga terhadap adanya kreditur lainnya. 5. Majelis Hakim Pengadilan Niaga tidak dapat menyebutkan dasar hukum pertimbangan hukum putusannya secara tepat dan benar. 6. Pemohon Kasasi adalah perusahaan telekomunikasi yang sangat sehat dan di kelola dengan sangat baik yang terus menghasilkan keuntungan dan berdasarkan laporan keuangan tahun 2011 yang telah di audit dan membukukan keuntungan sebesar Rp ,00 (dua belas triliun delapan ratus dua puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh juta lima puluh delapan ribu tujuh belas rupiah). Amar Putusan Mahkamah Agung terhadap pailitnya PT. Telkomsel (No.704K/Pdt.Sus/2012) adalah sebagai berikut : Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, PT. Telekomunikasi Selular. 44 Ibid.

12 2. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst pada tanggal 14 September Menghukum Termohon Kasasi/Pemohon Pailit untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp ,00 (lima juta rupiah). Pailit merupakan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana di atur dalam Undang-Undang ini. 45 Utang merupakan kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian/uu dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. 46 Pasal 2 ayat (1) UUK menjelaskan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta/keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) UUK. 45 Lihat Pasal 1 angka (1) UUK 46 Lihat Pasal 1 angka (6) UUK

13 Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menjatuhkan pailit kepada PT. Telkomsel dapat dipertanyakan keabsahannya. Sengketa antara PT. Telkomsel dan PT. Prima Jaya Informatika terkait purchase order Voucher dan Kartu Perdana sebenarnya merupakan perkara perdata biasa dan bukan perkara kepailitan. Pengadilan Niaga sebenarnya tidak berwenang menangani kasus sengketa Telkomsel dengan Prima Jaya Informatika tersebut. 47 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak memiliki kompetensi untuk mengadili sengeketa perdata. Hal tersebut sebenarnya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga yang berhadapan seharusnya adalah pihak Penggugat dan pihak Tergugat (head to head). Pembuktian kasus purchase order (PO) yang diajukan oleh pihak PT. Prima Jaya Informatika kepada PT. Telkomsel itu sifatnya komplek bukan bersifat sederhana, karena bersifat komplek, maka sebenarnya Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili sengketa kedua pihak dengan mengacu sepenuhnya pada Perjanjan Kerjasama antara PT. Telkomsel dan PT. Prima Jaya Informatika. Dari Perjanjian Kerjasama tersebut akan terlihat berdasarkan fakta, pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. 48 PT. Prima Jaya Informatika berusaha membuat opini seolah-olah ini merupakan perkara kepailitan dengan membawa mitra Telkomsel yang lain yaitu PT. Extend Media Indonesia, sehingga secara formil dapat memenuhi syaratsyarat Pasal 2 ayat (1) UUK. Ketentuan itu menyebutkan bahwa bila ada debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya 47 Dikutip dari Putusan No.704K/Pdt.Sus/ Ibid.

14 satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. 49 Hal inilah yang menjadi kesalahan dari Hakim Pengadilan Niaga. Hakim Pengadilan Niaga tidak paham pada syarat formil pengajuan perkara kepailitan yang mengharuskan adanya dua atau lebih kreditur dan membuat opini bahwa pembuktiannya bersifat sederhana. Padahal masalah ini adalah pembuktiannya bersifat komplek yang harus ditangani oleh Pengadilan Negeri sebagai perkara perdata biasa. Apabila ditangani oleh Pengadilan Negeri, maka kasus ini menjadi kasus perdata biasa, dan sitanya berlaku sesuai utang yang harus dibayarkan kepada Prima Jaya Informatika. Namun, apabila ditangani oleh Pengadilan Niaga sitanya bersifat umum. Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUK adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh undang-undang. 50 B. Prosedur Permohonan Pailit PT. Telkomsel. Tbk Pasal 1 angka (7) UU No. 37 Tahun 2004 secara tegas menentukan bahwa : Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Kedudukannya adalah sebagai berikut : Ibid. 50 Ibid. 51 Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: Softmedia, 2010), hlm

15 1. Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. 2. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menetapkan Putusan atas pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor. 3. Dalam hal debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan. 4. Dalam hal debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atas usahanya dalam wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. 5. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh seorang Advokat (Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2004). Prosedur permohonan pernyataan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut : Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan ; 52 Ibid. hlm 68.

16 2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani Pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran ; 3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), (4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat tersebut ; 4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Negeri paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan ; 5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang ; 6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan ; 7. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) sampai dengan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan ;

17 Berdasarkan Pasal 6 UU No. 37 Tahun 2004 diketahui bahwa prosedur permohonan pernyataan pailit memiliki timeframe yang sangat singkat yang berbeda dengan peraturan Kepailitan yang lama. 53 Kerangka waktu prosedur permohonan pernyataan pailit secara terperinci dijabarkan dalam Pasal 8 UUK, yaitu : Pengadilan : a. Wajib memanggil debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan ; b. Dapat memanggil kreditor, dalam permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. 2. Pemanggilan terhadap debitur dilakukan oleh Jurusita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan ; 3. Pemanggilan adalah sah dan dianggap telah diterima oleh debitur, jika dilakukan oleh jurusita sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ; 4. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi ; 53 Ibid, hlm Ibid. hlm.69-70

18 5. Putusan atas permohonan pernyataan pailit didaftarkan ; 6. Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaiman dimaksud dalam ayat (5) wajib memuat pula : a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili ; dan b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari Hakim anggota atau Ketua Majelis. 7. Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari Putusan tersebut harus diucap dalm sidang terbuka dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan itu diajukan suatu upaya hukum. Apabila seluruh pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi semuanya, maka pengadilan akan memberikan putusannya. Tetapi, apabila ternyata harta pailit tidak cukup untuk membayarkan biaya kepailitan tersebut, maka Pengadilan atas usul Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara apabila ada, sertasetelah memanggil secara sah atau mendengarkan dari pihak debitur, dapat memutuskan pencabutan pernyataan pailit. 55 Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Hakim, belum tentu dapat menjamin kebenaran 55 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm 58.

19 secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliuran dan kehilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliuran dan kehilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum. 56 Terhadap suatu putusan pencabutan pernyataan pailit tersebut dapat pula diajukan suatu kasasi dan/atau peninjauan kembali. Apabila setelah pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukan kembali permohonan pernyataan pailit, maka debitor atas permohonan wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan berdasarkan Pasal 19 UU No. 37 Tahun UU No. 37 Tahun 2004 UU Kepailitan dan PKPU sebenarnya tidak ada diatur tentang upaya hukum secara banding. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan dari UU No. 37 Tahun 2004, terhadap suatu perkara kepailitan tidak dapat diajukan suatu banding tetapi langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 11 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur tentang kasasi ke Mahkamah Agung, yaitu : Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit, adalah kasasi ke Mahkamah Agung. 2. Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari tentang sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkannya pada Panitera Pengadilan yang telah memutuskan permohonan pernyataan pailit. 56 Munir, Fuady. Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktik, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hlm Sunarmi, op.cit, hlm.74

20 3. Permohonan Kasasi yang sebagaimana dimaskud dalam ayat (2), selain dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit. 4. Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani Panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. Mengenai permohonan kasasi terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) UUK yang mengatakan bahwa Pemohon Kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak termohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. Pasal 12ayat (3) menjelaskan bahwa, termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitera Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dan Panitera Pengadilan wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima. Pasal 12 ayat (4), panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima.

21 Pasal 13 ayat (1)yang menentukan bahwa Mahkamah Agung harus mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Pasal 13 ayat (2), sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Pasal 13 ayat (3), putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Pasal 13 ayat (4), putusan atas permohonan kasasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pasal 13 ayat (5), dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota dengan ketua majelis maka perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat didalam putusan kasasi. Pasal 13 ayat (6), panitera pada Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada Panitera pada Pengadilan Niaga paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. Pasal 13 ayat (7), jurusita pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat ke (5) kepada pemohon kasasi, termohon kasasi, kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima. Undang-Undang memberikan ruang untuk terbentuknya Pengadilan Khusus yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum dengan syarat bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan melalui UU. Pembentukan

22 Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa sejarah Peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bagian khusus didalam Pengadilan Umum. 58 Tujuan utama terbentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara pihak yaitu debitur dan kreditur secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang piutang swasta. Adapun prosedur pernyataan pailit pada kasus PT. Telkomsel adalah sebagai berikut : Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kuasa hukum PT. Prima Jaya Informatika yaitu Kanta Cahya, S.H., kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 2. Panitera, Maryati, S.H.,M.H., telah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal 12 Juli 2012, dan kepada pemohon pailit yaitu PT. Prima Jaya Informatika diberikan tanda terima tulis yang ditandatangani Pejabat yang berwenang pada tanggal 12 Juli Panitera, Maryati, S.H.,M.H., telah menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 16 Juli Ibid. hlm Dikutip dari Putusan No.48/PAILIT/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst

23 4. Tanggal 19 Juli 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mempelajari permohonan tersebut dan menetapkan tanggal sidang. 5. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan pada tanggal 8 Agustus Namun, pihak Telkomsel mengajukan Kasasi terhadap Prima Jaya Informatika. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut : Upaya hukum yang dapat dilakukan Telkomsel terhadap Putusan atas permohonan pernyataan pailit, adalah dengan mengajukan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung. 2. Permohonan Kasasi yang diajukan oleh pihak Telkomsel dilakukan pada tanggal 15 September 2012 berdasarkan surat kuasa khusus yang diajukan kepada Mahkamah Agung. 3. Permohonan Kasasi diajukan oleh pihak Telkomsel, yang sebelumnya adalah sebagai Termohon Pailit (debitur) dari Prima Jaya Informatika. 4. Panitera telah mendaftarkan permohonan Kasasi pada tanggal 15 September 2012, dan kepada Pemohon Kasasi (Telkomsel) diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh Panitera. C. Akibat Hukum Pernyataan Pailit PT. Telkomsel. Tbk Pada dasarnya, sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitor untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaan harus dihormati, tentunya 60 Dikutip dari Putusn No.704K/Pdt.Sus/2012

24 dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitor menurut peraturan perundang-undangan. 61 Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap debitor. Pasal 21 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dari ketentuan Pasal 21 di atas diketahui bahwa kepailitan merupakan sita umum. Dengan adanya sita umum ini hendak dihindari adanya sita perorangan. Pembentuk Undang-Undang memandang perlu untuk memungkinkan adanya eksekusi massal dengan cara melakukan sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditor yang bersangkutan yang dijalankan dengan pengawasan seorang Hakim Pengawas. Sita umum tersebut haruslah bersifat konservatoir yaitu bersifat penyimpanan bagi kepentingan semua kreditor yang bersangkutan. Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut : Kekayaan debitor pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan, harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitor pada waktu putusan pailit diucapkan serta segala kekayaan yang diperoleh debitor pailit selama kepailitan. 61 Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Editor Rudhi A. Lontoh, (Bandung: Alumni, 2001), hlm Sutan Remy op.cit, hlm

25 2. Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitor pailit. Misalnya, seseorang dapat tetap melangsungkan pernikahan meskipun ia telah dinyatakan pailit. 3. Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit sejak hari putusan pailit diucapkan (Pasal 24 UUK). 4. Segala perikatan debitor yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UUK). 5. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditor dan debitor dan hakim pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan. 6. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 26 ayat (1) UUK). 7. Semua tuntutan atau yang bertujuan mendapatkan pelunasan suatu perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitor sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokkan (Pasal 27 UUK). 8. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 UUK, kreditor pemegang hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah olah tidak ada kepailitan (Pasal 55 ayat (1) UUK). Pihak kreditor yang berhak menahan barang kepunyaan debitor hingga dibayar tagihan kreditor tersebut (hak retensi), tidak kehilangan hak untuk menahan barang tersebut meskipun ada putusan pailit (Pasal 61 UUK).

26 9. Hak eksekusi kreditor yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) UUK, dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum untuk 90 hari setelah putusan pailit diucapkan (Pasal 56 ayat (1) UUK). Akibat hukum dari pembatalan pailit terhadap PT. Telkomsel pada tingkat Kasasi adalah bahwa pemohon pailit yaitu PT. Prima Jaya Informatika diwajibkan harus membayar seluruh biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp ,00 (lima juta rupiah), dan juga membayar seluruh imbalan jasa (fee) Kurator. 63 D. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit PT. Telkomsel. Tbk Dalam pembaruan Undang-Undang Kepailitan Tahun 1998 maupun Tahun 2004, ada perubahan peraturan mengenai kurator yang cukup progresif, yakni dimungkinkannya kurator selain Balai Harta Peninggalan. Dalam Pasal 1 ayat (5) UUK dan PKPU 2004 dikatakan bahwa kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang di angkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini. 64 Tidak semua orang dapat menjadi kurator. Menurut Undang-Undang Kepailitan yang lama, kewajiban ini secara khusus dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan, yang disingkat BHP. Balai Harta Peninggalan ini adalah suatu badan 63 Dikutip dari Putusan No.704K/Pdt.Sus/ M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 111.

27 khusus dari Departemen Kehakiman (yang dinamakan demikian karena ia juga bertanggung jawab untuk masalah mengenai pengawasan pengampuan). 65 Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, debitur pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya yang telah dinyatakan pailit (harta pailit).selanjtunya, pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu pula terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Jika ternyata kemudian putusan pernyataan pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitur pailit. 66 Kewenangan untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit ada pada kurator, karena sejak adanya pernyataan pailit, debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan Jerry Hoff, Undang Undang Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2000, hlm Ahmad, Widjaja, Kepailitan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm Pasal 24 UUK

28 Kurator yang akan mengurus dan membereskan harta debitor pailit harus diangkat oleh Pengadilan atas permohonan debitor atau kreditor. Kurator adalah orang perseorangan yang memiliki keahlian khusus sebagaimana diperlukan untuk mengurus dan membereskan harta pailit dan telahh terdaftar pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Kepailitan (Pasal 69 dan Pasal 70) dan peraturan pelaksanaanya. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 68 Berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka yang dapat bertindak sebagai Kurator adalah : 69 a. Balai Harta Peninggalan; atau b. Kurator lainnya. Lebih lanjut, dalam pasal tersebut dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kurator lainnya ialah : a. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit ; dan 68 Pasal 1 huruf b, Peraturan MenKunHam RI No. 1 Tahun 2013 tentang, Pedoman Imbalan bagi Kurator dan Pengurus. 69 Pasal 70 UUK

29 b. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman. Dengan demikian untuk menjadi kurator maka harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada Departemen Kehakiman. Di dalam pemberesan harta pailit, apabila dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, atau rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian telah ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolven. 70 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 106 tidak berlaku, apabila sudah ada kepastian bahwa perusahaan debitor pailit tidak akan dilanjutkan atau apabila kelanjutan usaha dihentikan (Pasal 178 UU No. 37 Tahun 2004). 71 Kurator memulai pemberesan harta pailit setelah harta pailit dalam keadaan tidak mampu membayar dan usaha debitur dihentikan. Kurator memutuskan cara pemberesan harta pailit dengan selalu memperhatikan nilai terbaik pada waktu pemberesan. Pemberesan dapat dilakukan sebagai satu atau lebih kesatuan usaha (going concern) atau atas masing-masing harta pailit. Kurator melakukan pemberesan dengan penjualan di muka untuk umum atau, apabila di bawah tangan, dengan persetujuan hak pengawas. 70 Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: Softmedia, 2010), hlm Ibid. hlm 174

30 Dalam melaksanakan penjualan penjualan harta debitor pailit, kurator harus memperhatikan hal di antaranya : Harus menjual untuk harga yang paling tinggi ; 2. Harus memutuskan apakah harta tertentu harus dijual segera dan harta lain harus disimpan terlebih dahulu karena nilainya akan meningkat di kemudian hari ; 3. Harus kreatif dalam mendapatkan nilai tertinggi atas harta debitor pailit. Kurator dalam melaksanakan pemberesan harta pailit memiliki tugas dan kewenangan di antaranya : 1. Setelah kepailitan dinyatakan dibuka kembali, kurator harus seketika memulai pemberesan harta pailit Memulai pemberesan dan menjual harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitor Memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap benda yang tidak lekas atau sama sekali tidak dapat dibereskan Menggunakan jasa bantuan debitor pailit guna keperluan pemberesan harta pailit, dengan memberikan upah. 76 Kasus pailitnya PT. Telkomsel sesuai dengan putusan Pengadilan Niaga No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst telah ditentukan bahwa yang menjadi pengurus harta pailitnya PT. Telkomsel adalah : Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada, 2005). hlm Lihat Pasal 175 UUK 74 Lihat Pasal 184 ayat (1) UUK 75 Lihat Pasal 185 ayat (3) UUK 76 Lihat Pasal 186 UUK

31 a. Saudara Feri S. Samad, S.H., M.H., sebagai kurator dan pengurus terdaftar sebagaimana surat bukti pendaftaran kurator dan pengurus b. Saudara Edino Girsang, S.H., sebagai kurator dan pengurus terdaftar sebagaimana surat bukti pendaftaran kurator dan pengurus c. Saudara Mokhamad Sadikin, S.H., sebagai kurator dan pengurus terdaftar sebagaimana surat bukti pendaftaran kurator dan pengurus 77 Dikutip dari Putusan No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst.

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT Pernyataan pailit mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR A. Syarat dan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh Debitur Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU 21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H A. PENGANTAR Disaat pertama kali kita mendengar Pailit, maka yang pertama kali ada di dalam bentak kita adalah bangkrut. Bangkrut, diidentikkan dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perusahaan Asuransi 1. Pengertian Perusahaan Asuransi Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau

Lebih terperinci

Penundaan kewajiban pembayaran utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang Penundaan kewajiban pembayaran utang PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor atau kreditor Debitor mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014 AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN Dhevi Nayasari Sastradinata *) *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Berlatar belakang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.371, 2016 KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan Jasa. Pedoman.Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN.NIAGA/JKAT-PST DALAM PERKARA PT HANIF DINAMIKA YANG DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO 4 TAHUN 1998 TENTANG KEPAILITAN Oleh : Dendi Tjahjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN KURATOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN KURATOR DALAM KEPAILITAN BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN KURATOR DALAM KEPAILITAN A. Pengertian dan Syarat Kurator Tidak semua orang dapat menjadi kurator.menurut Undang-Undang Kepailitan yang lama, kewajiban ini secara khusus dilakukan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Danik Gatot Kuswardani 1, Achmad Busro 2 Abstrak Pokok permasalahan yaitu: (1) Bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemberian Kredit 1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa tabungan, giro, deposito pada akhirnya akan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa gejolak moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 LITERATUR Kitab Undang Undang Hukum Perusahaan ( Prof. Drs. C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, S.H., M.H.) Hukum Perusahaan Perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet. BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan 1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA A. Pengertian Keadaan Diam (Standstill) Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam Undang-Undang Kepaillitan Indonesia.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017

P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus penundaan kewajiban pembayaran utang (prosedur

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Syarat Peraturan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam ilmu hukum dagang, penundaan kewajiban

Lebih terperinci

II. Tinjauan Pustaka. 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan. PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU.

II. Tinjauan Pustaka. 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan. PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU. II. Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Umum Terhadap Permohonan PKPU 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU. Lembaga PKPU

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 18 BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Penyebab Terjadinya Kepailitan Pailit dapat diartikan debitur dalam

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia P U T U S A N Nomor 511 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus permohonan tentang Keberatan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR (Studi Putusan Pailit Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2008, Mahkamah Agung No. 917/K/Pdt.Sus/2008 dan Peninjauan Kembali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan BAB I A. Alasan Pemilihan Judul Pailit adalah suatu keadaan dimana seorang debitor tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditor, dan pernyataan pailit atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan Menurut Peter Mahmud, kata Pailit berasal dari bahasa Perancis yaitu failite yang artinya kemacetan pembayaran.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Utang-piutang 1. Pengertian utang Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang

Lebih terperinci