KAJIAN MANFAAT PT.FREEPORT INDONESIA BAGI PAPUA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN MANFAAT PT.FREEPORT INDONESIA BAGI PAPUA"

Transkripsi

1 KAJIAN MANFAAT PT.FREEPORT INDONESIA BAGI PAPUA Disusun oleh : Drs. Triswan Suseno Drs. Ridwan Saleh Drs. Ijang Suherman Ir. Darsa Permana Drs. Bambang Yunianto Drs. Jafril Usep Sabur KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA 2015

2 PENGANTAR Keberadaan mineral tembaga di Papua, merupakan salah satu modal dasar pembangunan, dalam pengusahaannya diupayakan agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat baik secara regional Papua maupun nasional. PT Freeport Indonesia (PT. FI), sebagai satu-satunya perusahaan tambang yang mengusahakan mineral tembaga di Papua; secara internal, dituntut untuk meningkatkan efesiensi dalam rangka meningkatkan keuntungan perusahaan (private return). Di lain pihak, secara eksternal, keberadaan PT FI, dituntut untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya terhadap pengembangan sosial ekonomi di Papua maupun nasional. Isu strategis yang menjadi fokus bahasan dalam kajian ini adalah terkait dengan isu local content dan koordinasi/sinkronisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Rumusan hasil kajian ini, selanjutnya akan menjadi bahan masukan kebijakan dalam penyusunan Permen ESDM tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri, dan Permen ESDM tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat pada Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang saat ini sedang disusun.sejalan dengan itu, kajian ini dilaksanakan untuk memperoleh masukan tentang berbagai permasalahan dan hambatan serta alternatif solusinya dalam upaya meningkatkan manfaat PT. FI bagi Daerah Papua. Pada kesempatan ini, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian dan penyusunan kajian ini, mulai dari persiapan, kegiatan lapangan hingga penulisan laporan. Semoga hasil kajian ini memberikan manfaat dan kontribusi bagi terwujudnya tujuan UU No. 4 tahun Bandung, November 2015 Penulis i

3 S A R I Manfaat social neto PT. FI terhadap Papua, merupakan akumulasi dari 3 komponen; kesatu, rentabilitas ekonomi karena keikutsertaannya di dalam kepemilikan saham perusahaan; kedua, kelebihan pembayaran (excess payment) karena adanya perbedaan antara nilai pasar dengan nilai ekonomi tenaga kerja, barang dan jasa serta valuta asing yang digunakan oleh perusahaan; ketiga, net external effect yaitu akumulasi dari manfaat karena penggunaan local content (keterkaitan hulu), pengolahan lanjut bijih di daerah/dalam negeri (keterkaitan hilir), pembayaran pajak dan bukan pajak kepada pemerintah (keterkaitan pembayaran kepada pemerintah), transfer teknologi dan bantuan program CSR (keterkaitan teknologi), serta keterkaitan kebutuhan akhir. Saat ini, rentabilitas ekonomi yang berasal dari deviden yang diterima pemerintah tahun 2014 sebesar 0, karena pada tahun tersebut tidak ada keuntungan perusahaan, sedangkan nilai rentabilitas ekonomi total selama periode sebesar USD juta. Karena tidak ada kepemilikan saham oleh Daerah Papua, maka Daerah Papua tidak memperoleh manfaat dari nilai ini. Nilai excess payment belum dilakukan perhitungan, hanya nampaknya akan mempunyai nilai yang cukup tinggi, mengingat tenaga kerja, barang dan jasa serta valuta asing yang digunakan dalam proses produksi perusahaan sangat besar. Dilihat dari local content, dari jumlah tenaga kerja PT FI termasuk Kontraktor sebesar orang, orang (97,43 %) merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan hanya 770 orang (2,57 %) tenaga kerja asing (TKA). Dari orang TKI, orang (26,59%) adalah berasal dari Papua (www ). Pengadaan barang berdasarkan master list 2013 (Ditjen Minerba, 2015), dari total sebesar US $ 1,74 milyar, sebesar US$ 1,16 milyar atau 66,7 % dipenuhi dari domestik, sisanya sebesar 33,3 % dipenuhi dari impor, sedangkan penggunaan jasa dalam negeri tahun 2014 sebesar 90 %. Belum diperoleh data berapa % dari pengadaan barang dan jasa domestik tersebut dipenuhi dari Propinsi Papua. Nilai yang diperoleh dari keterkaitan hilir, masih sangat kecil mengingat bijih/konsentrat diekspor dalam bentuk bijih. Adanya program pengolahan bijih/konsentrat (smelter) di Daerah Papua/Dalam Negeri diperkirakan akan menyumbangkan manfaat yang cukup tinggi bagi Daerah Papua/Nasional. Nilai dari pembayaran pajak dan bukan pajak pada pemerintah tahun 2014 sebesar USD 539 juta dan USD 14,487 miliar selama periode , sedangkan manfaat yang diperoleh dari keterkaitan kebutuhan akhir belum dilakukan pengukuran. Nilai kontribusi perusahaan dalam program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat selama periode sebesar USD 1,3 miliar yang terdistribusi ii

4 untuk program-program pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, infrastruktur dan lain-lain. Berdasarkan hasil survei serta hasil analisis Tim, beberapa isu yang cukup strategis yang terkait dengan tema kajian adalah isu divestasi, pembangunan smelter, peningkatan penerimaan daerah, local content, serta koordinasi dan sinkronisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. iii

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... S A R I... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN Dasar Hukum Latar Belakang Ruang Lingkup Tujuan Sasaran Lokasi/tempat Pelaksanaan Kegiatan Sistimatika Pelaporan Penerima Manfaat... BAB II METODOLOGI Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan Data Metode Kajian... BAB III GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Geografis dan Demografis Geografi dan Kependudukan Pendidikan dan Ketenagakerjaan Kemiskinan Perekonomian Daerah PDRB Sektoral dan Pengeluaran Location Quotiens (LQ)... BAB IV ANALISIS DAMPAK EKONOMI... A. Analisis Makroekonomi Pendahuluan Jenis Dampak Ekonomi Mekanisme Pembentukan Dampak Ekonomi Stimulus Pengganda Model Ekonomi Nilai Dampak Ekonomi...

6 B. Analisis Mikroekonomi... C. Diskusi tentang Ketimpangan Makroekonomi dan Mikroekonomi... C.1 Ketimpangan Makroekonomi dan Mikroekonomi Pasar Barang dan Jasa... C.2 Model Perekonomian Tiga Sektor dan Tiga Pasar... C.3 Analisis Gap Pasar Barang dan Jasa... C.4 Analisis Gap Pasar Faktor Produksi (Tenaga Kerja)... C.5 Analisis Gap Pasar Uang... C.6 Diskusi dan Pembahasan... BAB V ANALISIS PENERIMAAN NEGARA Model Analisis Fiskal Penerimaan Fiskal Bagi Pemerintah Penerimaan Fiskal Bagi Pemerintah Pusat Penerimaan Fiskal Bagi Pemerintah Daerah Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Papua Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika... BAB VI ANALISIS MUATAN LOKAL Karakteristik Kebutuhan Barang daan Jasa pada PT FI Pengukuran Muatan Lokal pada PT FI Mempertemukan Kebutuhan PT FI dengan Kemampuan Daerah Provinsi Papua... BAB VII PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DARI PEMERINTAH DAERAH DAN PTFI DI KABUPATEN MIMIKA Karakteristik Masyarakat di Kabupaten Mimika Sejarah Kabupaten Mimika Suku-Suku Papua di Kabupaten Mimika Program Pengembangan Masyarakat dari Pemerintah Daerah Proses Perencanaan Hingga Implementasi Program Pemerintah Daerah Program Pengembangan Masyarakat dari PT FI Jenis Program CSR yang dilakukan Proses Perencanaan Hingga Implementasi Program... BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...

7 DAFTAR PUSTAKA

8 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Gambaran Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun Tabel 2.2 Gambaran Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun Tabel 2.3 Gambaran Pendidikan Provinsi Papua dan Papua Barat Tabel 2.4 Gambaran Ketenagakerjaan Provinsi Papua dan Papua Barat... Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.8 Tabel 2.9 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Termasuk Angkatan Kerja dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Provinsi Papua dan Papua Barat, Distribusi Tenaga Kerja (Agustus) Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha... Distribusi Tenaga Kerja (Agustus) Provinsi Papua Barat menurut Lapangan Usaha... Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Papua Barat, Tabel 2.10 Perbandingan Gini Ratio Nasional dan Provinsi Papua Barat, Tabel 2.11 Tabel 2.12 PDRB Sektoral Provinsi Papua Harga Konstan 2010 (Miliar Rupiah) Tahun PDRB Sektoral Provinsi Papua Barat Harga Konstan 2010 (Miliar Rupiah) Tahun Tabel 2.13 Pertumbuhan PDRB Sektoral Provinsi Papua... Tabel 2.14 Pertumbuhan PDRB Sektoral Provinsi Papua Barat... Tabel 2.15 PDRB berdasarkan Pengeluaran Provinsi Papua Harga Konstan 2010 (Juta Rupiah) Tahun Tabel 2.16 Tabel 2.17 PDRB berdasarkan Pengeluaran Provinsi Papua Barat Harga Konstan 2010 (Juta Rupiah)Tahun PDRB kabupaten/kota di Provinsi Papua Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) Tahun Tabel 2.18 PDRB kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) Tahun Tabel 3.1 Tabel 3.2 Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun Perkembangan Angkatan Kerja, Tenaga Kerja dan Pengangguran Terbuka di Papua... Tabel 3.3 Angka Partisipasi Kasar (APK) di Papua...

9 Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke atas yang Termasuk Angkatan Kerja dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Provinsi Papua... Tabel 3.5 Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha... Tabel 3.6 Perbandingan IPM Nasional dan Provinsi Papua,... Tabel 3.6 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Papua, Tabel 3.7 Perbandingan Gini Ratio Nasional dan Provinsi Papua, Tabel 3.8 PDRB Sektoral Provinsi Papua Harga Konstan 2010 (Miliar Rupiah) Tahun Tabel 3.9 Pertumbuhan PDRB Sektoral Provinsi Papua... Tabel 3.10 PDRB berdasarkan Pengeluaran Provinsi Papua Harga Konstan 2010 Tahun (Milyar Rupiah)... Tabel 3.11 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Harga Konstan 2010 (Juta Rupiah) Tahun Tabel 3.12 Panjang Jalan Menurut Jenis jalan di Provinsi Papua... Tabel 3.13 Kondisi Jalan Menurut Kondisi di Papua (Km)... Tabel 3.14 Kondisi Infrastruktur kesehatan di Provinsi Papua... Tabel Banyaknya Sekolah di Provinsi Papua... Tabel 4.1 Multiplier Output Sektor Lapangan Usaha pada Skala Nasional... Tabel 4.2 Multiplier Output Sektor Lapangan Usaha pada Skala Provinsi Papua... Tabel 4.3 Tabel 4.4 Multiplier Pendapatan Menurut Sektor Lapangan Usaha pada Skala Nasional... Multiplier Pendapatan Menurut Sektor Lapangan Usaha pada Skala Provinsi Papua... Tabel 4.5 Multiplier Kesempatan Kerja Sektor Lapangan Usaha Skala Nasional... Tabel 4.6 Multiplier Kesempatan Kerja Sektor Lapangan Usaha Skala Provinsi Papua... Tabel 4.7 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Nasional (Juta rupiah)... Tabel 4.8 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Nasional (Juta rupiah)... Tabel 4.9 Tabel 4.10 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai tambah Bruto Nasional (Juta rupiah)... Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai tambah Bruto Nasional (Juta rupiah)... Tabel 4.11 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan PendapatanPekerja atau Rumah Tangga Nasional (Juta rupiah)... Tabel 4.12 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan pendapatan Rumah Pekerja Nasional (Juta rupiah)...

10 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 5.1 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Provinsi Papua (Juta rupiah)... Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai tambah Bruto Provinsi Papua (Juta rupiah)... Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Pendapatan Pekerja atau Rumah Tangga Provinsi Papua (Juta rupiah)... Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Provinsi Papua (Juta rupiah)... Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai tambah Bruto Provinsi Papua (Juta rupiah)... Kontribusi PTFI dalam Pembentukan pendapatan Rumah Pekerja Provinsi Papua (Juta rupiah)... Potensi Royalti Tanpa dan Dengan Memasukkan Royalti dari Produk Turunan... Tabel 5.2 Potensi Penerimaan Pajak PPH dan PPN... Tabel 5.3 Perbandingan Komposisi Output, NTB, dan Pajak... Tabel 5.4 Tabel 5.5 Kontribusi Fiskal Dalam Bentuk Pajak dan Non Pajak (Hanya Menghitung Dampak Langsung)... Kontribusi Fiskal Dalam Bentuk Pajak dan Non Pajak (Menghitung Dampak Total)... Tabel. 7.1 Penduduk Mimika menurut Suku Bangsa... Tabel. 7.2 Besaran Bantuan Operasional Pendidikan Daerah Kabupaten Mimika...

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua... Gambar 2.2 Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua Barat... Gambar 2.3 Angka Melek Huruf kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun Gambar 2.4 Perkembangan IPM Provinsi Papua dan Papua Barat... Gambar 2.5 LQ Sektoral Papua tahun Gambar 2.6 LQ Sektoral Papua Barat tahun Gambar 2.7 LQ Sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan penggalian... Gambar 2.8 LQ Sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan penggalian... Gambar 2.9 LQ Sektor Industri Pengolahan Provinsi Papua Tahun Gambar 2.10 LQ Sektor Industri Pengolahan Provinsi Papua Barat Tahun Gambar 3.1 Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua... Gambar 3.2 Luas Wilayah, Penduduk, dan Kepadatan Penduduk di Papua Berdasarkan Kabupaten/Kota... Gambar 3.3 Angkatan Kerja dan Angka Melek Huruf di Papua... Gambar 3.4 LQ Sektoral Papua tahun Gambar 3.5 LQ Sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan penggalian Provinsi Papua Gambar 3.6 LQ Sektor Industri Pengolahan Provinsi Papua Tahun Gambar 5.1 Komponen Pembayaran PTFI... Gambar 5.2 Alur Transfer Pusat ke Daerah Terkait Hasil Pembayaran PTFI... Gambar 5.3 Optimalisasi Penerimaan Fiskal dari PTFI... Gambar 5.4 Gambar 5.5 Potensi Pembayaran Royalti dari PTFI Tanpa Menghitung Produk Turunan... Potensi Pembayaran Royalti dari PTFI Dengan Menghitung Produk Turunan... Gambar 5.6 Perbandingan Potensi Pembayaran PPH dan PPN... Gambar 5.7 Komposisi Penerimaan PPH dan PPN Langsung dan Tidak Langsung... Gambar 5.8 Komposisi PPH dan PPN Menurut Sektor... Gambar 5.9 Kontribusi Fiskal Langsung Dalam Bentuk Pajak dan Non Pajak... Gambar 5.10 Kontribusi Fiskal Total Dalam Bentuk Pajak dan Non Pajak... Gambar 6.1 Pola pikir kajian muatan lokal pada perusahaan pertambangan... Gambar 6.2 Tahap-tahap pengusahaan pertambangan mineral...

12 Gambar 6.3 Profil perkembangan belanja barang PT FI Tahun Gambar 6.4 Profil master list PT FI Tahun Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Belanja domestik berdasarkan komposisi local content dan local expenditure PT FI, Tahun Sebagian data belanja barang katagori local expenditure dan local content, PT FI... Realisasi Pembelian Barang dari 15 Perusahaan Terbesar untuk Skala Lokal Mimika, Nasional dan Luar Negeri oleh PT Freeport Indonesia, Tahun Profil perkembangan penggunaan jasa PT Freeport Indonesia, Tahun Gambar 6.9 Profil Tenaga Kerja PT Freeport Indonesia, Tahun Gambar 6.10 Mempertemukan antara kemampuan produsen dengan persyaratan konsumen serta peran pemerintah... Gambar 7.1 Pembiayaan Program Sosial Tahun Gambar 7.2 Struktur Pengelola Dana Kemitraan (LPMAK)...

13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Dasar Hukum 1) UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas, pasal 74 ayat 1 dan 2, kewajiban Perseroan untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; 2) UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara: pasal 3, tentang tujuan pengelolaan mineral; pasal 7 dan 8, tentang tentang Kewenangan pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota dalam pengembangan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan; pasal 95, pasal 108 : kewajiban Pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun dan melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; pasal 106, 107 dan 124, kewajiban Pemegang IUP dan IUPK untuk mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri serta mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut, serta menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional; Pasal 128 ; kewajiban Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. 3) PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan batubara : Pasal 86 dan 87 Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK untuk mengutamakan penggunaan tenaga kerja setempat, barang, 1

14 peralatan, bahan baku, dan/atau bahan pendukung dalam negeri serta produk impor yang dijual di Indonesia dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara; Pasal 97 kewajiban Modal asing pemegang IUP dan IUPK setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia; Pasal 106, 107 dan 108 Kewajiban Pemegang IUP dan IUPK wajib untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK; 4) PP No. 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal Pasal 13 ayat 2, Pasal 16 huruf k&m, Pasal 31 dan 32 UU No.55/2010 menjelaskan tentang pengawasan dan pembinaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat. 5) Perjanjian Kontrak Karya Perusahaan Pertambangan tentang Promosi Kepentingan Nasional, pasal 19, 24 berisi tentang keharusan untuk mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia, jasa-jasa dan bahan-bahan mentah yang dihasilkan dari sumber Indonesia dan produk-produk yang dibuat di Indonesia. 1.2 Latar Belakang Keberadaan mineral tembaga di Papua, yang merupakan salah satu modal dasar pembangunan, dalam pengusahaannya diupayakan agar dapat memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya terhadap perekonomian nasional maupun regional. Dalam skala nasional berfungsi memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional. Dalam skala regional berfungsi memberikan manfaat regional antara lain kesempatan kerja, peningkatan pendapatan daerah, pengembangan 2

15 masyarakat, penciptaan prasarana dan sarana, memperkecil kesenjangan antar daerah, dan memecahkan masalah tumpang tindih. Dengan demikian, keberadaan mineral tembaga di Papua dapat dijadikan sebagai titik pusat bagi pengembangan sumberdaya alam yang ada di wilayah Papua, serta mampu menjadi penggerak utama yang dapat mendukung dan mendorong pemanfaatan seluruh potensi yang ada integral dengan program dan sasaran pembangunan daerah. PT. FI sebagai salah satu perusahaan pertambangan yang menghasilkan konsentrat tembaga dalam perannya sebagai penghasil utama penerimaan negara dan devisa dituntut untuk meningkatkan efesiensi perusahaan dalam rangka meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran. Di lain pihak, secara regional diupayakan untuk berperan serta aktif mengembangkan wilayah melalui kebijakan bantuan pengembangan wilayah baik melalui kontribusi alokasi dana secara langsung, program kemitraan, penggunaan input-input perusahaan dalam rangka meningkatkan produktivitas sumberdaya local atau melalui penggunaan sarana dan prasarana perusahaan oleh masyarakat setempat dalam rangka merangsang pengembangan sumberdaya sektor-sektor lainnya ataupun melalui transfer sikap budaya positif. Masalah pokok yang dihadap adalah strategi dan upaya-upaya apakah yang diperlukan dalam memanfaatkan keberadaan PT FI, berikut sarana dan prasarananya yang ada dalam kaitannya dengan pengembangai wilayah dan pembangunan nasional, baik ditinjau dari kepentingan perusahaan, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian untuk mengetahui sampai sejauhmana kontribusi PT FI yang telah diberikan kepada pemerintah maupun kepada masyarakat, permasalahan dalam mengintegrasikan program pengembangan masyarakat di tingkat pemerintahan dengan PT FI, serta langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya meningkatkan manfaat keberadaan PT FI dalam pembangunan ekonomi dan pegembangan masyarakat di Papua. Hasil kajian diharapkan dapat dijadikan masukan baik bagi Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah maupun bagi PT FI dalam upaya merumuskan kebijakankebijakannya. 1.3 Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan ini mencakup : Menginventarisasi dan mengevaluasi (dampak sosial dan ekonomi) seluruh kontribusi PTFI terhadap perekonomian nasional dan regional dalam bentuk 3

16 pajak dan lain-lain, serta program pengembangan dan pembedayaan masyarakat yang hingga saat ini telah dilakukan. Menganalisis tingkat muatan lokal Propinsi dan Nasional. Menganalisis optimalisasi manfaat keberadaan PTFI terhadap perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat di Papua. Menyusun rekomendasi tentang strategi dan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya mengoptimalkan keberadaan PTFI bagi Papua. 1.4 Tujuan Tujuan kajian adalah tersedianya bahan masukan dalam rangka meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial PT FI bagi Papua. 1.5 Sasaran Sasaran kajian adalah : - Diperoleh informasi tentang proyeksi dampak ekonomi dan fiskal PT FI terhadap pembentukan PDB, PDRB, pendapatan, kesempatan kerja di tingkat Kabupaten Mimika, Provinsi Papua dan Nasional; - Diketahui kaitan antara dampak makro yang ditimbulkan dengan kondisi riil di lapangan serta kebijakan untuk mengisi sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand); - Diketahuinya kontribusi muatan lokal PT FI; - Diketahuinya peran PT FI dalam pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Mimika; - Diperoleh rekomendasi tentang strategi dan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya meningkatkan manfaat keberadaan PTFI bagi Papua dalam aspek ekonomi dan sosial. 1.6 Lokasi/Tempat Pelaksanaan Kegiatan Lokasi kegiatan penelitian adalah Papua yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. 4

17 Gambar 1 Peta lokasi kegiatan penelitian 1.7 Sistematika pelaporan Laporan penelitian akan disusun ke dalam enam bab dengan susunan materi sebagai berikut : Bab 1 Pendahuluan Bab ini berisi penjelasan tentang dasar hukum, latar belakang ruang lingkup, tujuan dan sasaran, lokasi dan sistematika penulisan laporan. Bab 2 Metodologi Bab ini berisi informasi dan penjelasan tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebijakan batubara nasional dan metodologi yang meliputi cara pengumpulan, pengolahan, pengkajian data dan model/rumus yang digunakan. Bab 3 Gambaran Umum Provinsi Papua Bab ini menyajikan berbagai informasi tentang Provinsi Papua yang meliputi kondisi geografi, demografi, administrasi, infrastruktur, ekonomi dan sosial. Bab 4 Analisis Dampak Ekonomi Bab ini meliputi kajian mengenai dampak ekonomi makro dan mikro meliputi analisis makroekonomi sebagai dampak dari kehadiran PTFI, analisis mikroekonomi rumah tangga, yang dapat menggambarkan kondisi riil 5

18 dampak kehadiran PTFI di level mikro dan analisis ketimpangan dampak secara makro dan yang teramati secara mikro. Bab 5 Analisis Penerimaan Negara dari PTFI Bab ini berisi tentang kontribusi fiskal aktivitas penambangan PTFI yang telah diberikan baik bagi negara maupun bagi daerah. Kepada Pemerintah Pusat berupa pembayaran Pajak dan Bukan Pajak (PNBP), sedangkan kepada daerah, berupa pajak-pajak dan retribusi daerah baik bagi di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan Kota. Bab 6 Analisis Muatan Lokal PT FI Bab ini berisi tentang pembelian barang dan jasa serta penyerapan tenaga kerja PT FI yang berasal dari Kabupaten Mimika, Provinsi Papua serta Nasional. Bab 7 Program Pengembangan Masyarakat dari Pemerintah Daerah dan PT FI Di Kabupaten Mimika Bab ini berisi sejarah Kabupaten Mimika, suku-suku Papua di Kabupaten Mimika, program pengembangan masyarakat dari Pemerintah Daerah dan PTFI. Bab 8 Kesimpulan dan Rekomendasi Bab ini meliputi kesimpulan dan rekomendasi terkait dengan hasil analisis dampak ekonomi dan sosial di Provinsi Papua. 1.8 Penerima Manfaat Pemerintah daerah di Papua, PT FI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Pemerintah pusat. 6

19 BAB 2 METODOLOGI 2.1 Metode Pengumpulan Data Data yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dengan metode wawancara ke perusahaan PT. FI. Sedangkan data sekunder didapatkan dari berbagai sumber dalam bentuk laporan, baik yang telah dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, antara lain Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Pusat Survei Geologi, penelitian terdahulu dan literatur yang terkait dengan penelitian serta media internet. 2.2 Metode Pengolahan Data Data dan informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan komputer, yakni program Microsoft Excel 2010 dan perangkat lunak lainnya. Data dan informasi tersebut sebelumnya dikelompokan ke dalam biaya dan manfaat, kemudian dilakukan analisis secara kuantitatif. 2.3 Metode kajian Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kegiatan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara sosial dan ekonomi keberadaan usaha PT.FI bagi Papua, metode analisis yang digunakan adalah analisis Tabel Input-Output dan analisis faktor. a) Model Input-Output Secara umum metodologi dalam studi ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar. Pertama adalah metode kuantitatif, yaitu dengan metode Input-Output (IO) dan model fiskal LPEM untuk melihat dampak ekonomi dan fiskal dari kehadiran PTFI. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model ekonomi yang digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi dan fiskal. Kedua adalah dengan metode kualitatif mengenai dampak kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan secara deskriptif berdasarkan data sekunder yang meliputi berbagai kegiatan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. 6

20 Pada dasarnya, metode kuantitatif yang digunakan adalah model inputoutput (IO). Model IO digunakan antara lain untuk melihat kaitan antara sektor pertambangan, khususnya ekstraksi tembaga dengan sektor ekonomi lainnya di provinsi Papua. Dengan model ini, output, income and employment multiplier dapat diperoleh untuk membuat analisis tentang dampak dari keberadaan PTFI bagi nasional dan regional. Model ini dimaksudkan untuk membuat proyeksi PDRB, PDRB per-kapita, dan penyerapan lapangan kerja dengan adanya PTFI untuk beberapa tahun ke depan. Berdasarkan proyeksi makro ekonomi regional ini, maka proyeksi dampak fiskal daerah dapat dilakukan. Tabel input-output dapat digunakan untuk menganalisis kaitan multisektoral yang dapat menstimulir perekonomian nasional, provinsi, atau bahkan kabupaten. Tabel 1 memberi ilustrasi kerangka kerja tabel input-output. Table 1 Kerangka kerja Input-Output Sektor Produksi Permintaan Antara Permintaan Output Total Sektor Produksi Akhir 1 2 N 1 X11 X12 X1n F1 X1 2 X21 X22 X2n F2 X2 n Xn1 Xn2 Xnn Fn Xn Nilai Tambah Bruto V1 V2 Vn Input Total X1 X2 Xn dimana, Xij = input sektor j yang dibutuhkan untuk menghasilkan output sektor i Vj = nilai tambah bruto sektor j Xj = total input sektor j Xi = total output sektor i Fi = permintaan akhir sektor i Model IO dapat memberikan beberapa informasi tentang karakteristik suatu sektor tertentu (misalnya, sektor pertambangan), seperti struktur input dari sektor tersebut dan bagaimana output sektor tersebut digunakan sebagai input untuk sektor lain atau untuk memenuhi permintaan akhir. Model IO juga dapat menghasilkan beberapa indikator penting dari suatu sektor. Indikator tersebut adalah pengganda output, pendapatan, dan kesempatan kerja (output, income and employment multipliers); serta kaitan sektor tersebut ke belakang dan ke depan (backward and forward linkages). 7

21 Disamping itu, model IO juga dapat digunakan untuk menganalisis dampak perubahan (shock) pada permintaan akhir (seperti konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor) terhadap perekonomian nasional dan regional. b) Model Fiskal Analisa model fiskal tentunya perlu untuk mempertimbangkan kondisi dan hubungan fungsi pemerintahan serta fiskal antar jenjang pemerintahan. Dalam konteks inilah, di era otonomi daerah, desentralisasi fiskal merupakan salah satu isu penting dalam pembangunan daerah. Utamanya, tiga bentuk UU yaitu UU No. 32/2004, UU No. 33/2004, dan UU 28 Tahun 2009 yang merupakan amandemen dari UU 34/2000 merupakan reformasi dasar terkait dengan penyediaan layanan pemerintahan, dan sumber penerimaan pemerintah yang menggambarkan hubungan fiskal antar pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. c) Analisis Dampak sosial : Penerimaan Masyarakat Penduduk yang tinggal di sekitar wilayah operasi tambang seringkali beranggapan kegiatan pertambangan bersifat ekslusif dan tidak adil. Mineral yang diekstraksi umumnya diekspor ke luar daerah. Penduduk umumnya beranggapan bahwa hasil dari kegiatan tersebut hanya dinikmati oleh perusahaan dan pemerintah pusat. Sementara dampak kegiatan pertambangan terhadap penduduk lokal dianggap tidak ada. Saat ini isu sensitif seperti di atas harus diakomodasi dalam seluruh kegiatan pertambangan di Indonesia. Perusahaan harus melaksanakan program pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/csr) kepada penduduk yang tinggal di sekitar wilayah tambang. d) Analisis Muatan Lokal Model pengukuran muatan lokal perusahaan yaitu menghitung prosentasi total penggunaan barang, jasa, tenaga kerja dalam negeri dibandingkan dengan total pengeluaran perusahaan di dalam melaksanakan kegiatan perusahaannya sebagaimana dicantumkan di dalam RKAB. 8

22 Muatan Lokal Perusahaan = Total penggunaan barang, jasa, tenaga kerja X 100% Total pengeluaran belanja Perusahaan Model pengukuran muatan lokal berdasarkan kelompok barang dan jasa perusahaan yaitu menghitung prosentasi total penggunaan kelompok barang dan jasa dalam negeri dibandingkan dengan total pengeluaran kelompok barang dan jasa pada perusahaan di dalam melaksanakan kegiatan perusahaannya. Muatan Lokal Kelompok Barang/Jasa Perusahaan = Total penggunaan barang, jasa dalam negeri pada suatu kelompok barang/jasa X 100% Total pengeluaran belanja Perusahaan pada suatu kelompok barang/jasa 9

23 BAB 3 GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 3.1. GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI Geografi dan kependudukan Pulau Papua atau biasa disebut tanah Papua secara total mencakup wilayah seluas ,32 1 km 2 (21,78 persen dari luas darat Indonesia) yang terdiri atas pulau. Tanah Papua terbagi menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua Barat seluas 7.024,27 km 2 (5,08 persen dari luas Indonesia) yang mencakup pulau, dan Provinsi Papua dengan luas ,05 km 2 (16,7 persen luas Indonesia) yang terdiri dari 598 pulau. Besarnya kawsan Tanah Papua akan tetapi tidak semuanya dapat digunakan untuk area berinvestasi mengingat sebagian besar status lahannya berupa hutan tetap sebagai wilayah konservasi, hutan lindung dan lain sebagainnya. Hanya sepertiga Tanah Papua berstatus hutan produksi yang dapat dikonversi dan non-hutan tetap. Di daerah-daerah inilah sebetulnya kegiatan investasi dimungkinkan. Walaupun tampaknya tidak seberapa besar namun luas kawasan ini kurang lebih sama dengan luas Pulau Jawa. Secara administrasi, Tanah Papua dibagi menjadi 42 kabupaten/kota dengan distribusi Provinsi Papua Barat dibagi menjadi tiga belas (13) daerah kabupaten/kota dan Provinsi Papua terdiri dari dua puluh sembilan (29) daerah kabupaten/kota. Melihat perkembangan penduduk di Tanah Papua, pertumbuhan pesat terjadi dimasing-masing provinsi. Jumlah penduduk di Provinsi Papua hampir tiga kali lipat dari penduduk di Provinsi Papua Barat karena luas wilayahnya pun lebih besar dibandingkan dengan Provinsi Papua. Secara agregat penduduk di Tanah Papua sebanyak 3,8 juta jiwa. Penduduk yang masih terbilang sedikit jika kita bandingkan dengan Pulau Jawa ataupun Pulau Sumatera bahkan hanya sepertiga dari penduduk Jakarta. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3..1, pada tahun 2013 jumlah penduduk di Provinsi Papua mencapai 3,032 juta jiwa lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 3,165 juta jiwa. Untuk Provinsi 1 Sumber: BPS dikutip dari Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri. 9

24 Papua Barat yang terdapat di Gambar 3..2, jumlah penduduk pada tahun 2013 sebesar 828 ribu jiwa jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 821 ribu jiwa atau meningkat sebanyak 7 ribu orang pada tahun tersebut. Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Gambar 3.1 Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua Sumber: Simreg Bappenas,

25 Gambar 3.2 Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua Barat Selain jumlah penduduk yang masih terbilang sedikit, permasalahan yang terjadi selanjutnya adalah terkonsentrasinya penduduk di daerah yang merupakan pusat perekonomian dan atau perekonomian yang lebih maju. Tingkat kepadatan penduduk ditingkat kabupaten dapat dilihat di Tabel 3.1 dan Tabel 3.2, bahwa penduduk di Tanah Papua hanya terkonsentrasi di wilayah Kota Jayapura, Kota sorong, dan Kabupaten Manokwari. Terkonsentrasinya penduduk yang hanya di beberapa wilayah menjadikan ketimpangan yang cukup besar di wilayah Tanah Papua. Penduduk yang terkonsentrasi di Provinsi Papua yaitu Kota Jayapura dengan jumlah penduduk sebesar jiwa atau 8,99% dari total penduduk Provinsi Papua. Tingkat kepadatan jiwa per kilometer persegi sebesar 288 padahal tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Papua sendiri hanya sebesar 9,58 per kilometer persegi. Kepadatan ini kemudian diikuti oleh Kabupaten Mimika dan Kabupaten Jayawijaya. Tabel 3.1 Gambaran Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2013 Kabupaten/Kota Luas (Km²) Penduduk (Jiwa) Proporsi Penduduk (%) Kepadatan Penududk (Jiwa/Km²) Merauke , Jayawijaya , Jayapura , Nabire , Yapen Waropen , Biak Namfor ,45 10,38 Paniai , Puncak Jaya , Mimika , Boven Digoel , Mappi , Asmat , Yahukimo , Pegunungan ,

26 Bintang Tolikara , Sarni , Keerom , Waropen , Supiyori , Membramo Raya , Nduga , Lanny Jaya , Membramo Tengah , Yalimo , Puncak , Dogiyay , Intan Jaya , Deiyai , Kota Jayapura , Propinsi Papua Sumber: BPS, 2015 Provinsi Papua Barat memiliki 13 kabupaten/kota akan tetapi distribusi penduduk masih belum tersebar dengan merata. Penduduk di Papua Barat terkonsentrasi di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari. Hal ini dapat dilihat dari besarnya tingkat kepadatan penduduk yang jauh dibandingkan Provinsi Papua barat. Luas wilayah Kota Sorong yang paling kecil dibandingkan dengan wilayah lainnya memiliki penduduk sebanyak jiwa penduduk dengan tingkat kepadatan penduduk per kilometer persegi sebesar 323 per kilometer. Walaupun Kabupaten Manokwari sebagai ibukota provinsi di Provinsi Papua Barat, akan tetapi jika dilihat perekonomian terkonsentrasi di Kota Sorong dengan melihat jumlah penduduk dan kepadatan penduduknya. Tabel 3.2 Gambaran Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun

27 Kabupaten/Kota Luas (Km²) Fakfak , Kaimana , Teluk Wondama , Teluk Bintuni , Manokwari , Sorong Selatan , Sorong , Raja Ampat , Tambrauw , Maybrat , Manokwari Selatan , Pegunungan Arfak , Kota Sorong , Propinsi Papua Barat Sumber: BPS, Pendidikan dan ketenagakerjaan Kondisi dan kualitas pendidikan merupakan salah satu indikator penentu kualitas SDM di suatu wilayah. Data kualitas pendidikan di Tanah Papua yang dapat terlihat di Tabel 3.3 menunjukan kualitas pendidikan di Provinsi Papua barat lebih maju dibandingkan dengan Provinsi Papua. Dilihat dari aspek lama sekolah pada tahun 2013, rata-rata lama sekolah di Provinsi Papua hanya sebesar 6,78 tahun nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat sebesar 8,53 tahun. Untuk tingkat partisipasi kasar sendiri jika dibandingkan masing-masing tingkat sekolah, Provinsi Papua Barat jauh lebih unggul jika dibandingkan Provinsi Papua walaupun jumlah penduduknya jauh lebih besar. 13

28 Tabel 3.3 Gambaran Pendidikan Provinsi Papua dan Papua Barat Indikator Propinsi Papua Angka Partisipasi Kasar ( APK) SD/MI Angka Partisipasi Kasar ( APK) SMP/MTs Angka Patisipasi Kasar (APK) SMA/MA Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun ke atas Propinsi Papua Barat Angka Patisipasi Kasar (APK) SD/MI ,3 Angka Partisipasi Kasar ( APK) SMP/MTs ,06 Angka Patisipasi Kasar (APK) SMA/MA ,8 Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun ke atas ,53 Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Angka melek huruf di Tanah Papua masih jauh dari rata-rata nasional. Pada tahun 2013 rata-rata angka melek huruf kabupaten/kota provinsi Papua adalah 59,72 persen. Sedangkan di tingkat nasional saat ini adalah sebesar 94,1 persen. Angka melek huruf yang rendah bersumber dari beberapa kabupaten di wilayah pegunungan yang mungkin dikarenakan karena akses pendidikan yang masih rendah disana. (Panel Kiri Gambar 3.3). Penduduk di kabupaten/kota yang berada di pantai atau pulau bagian utara umumnya memiliki angka melek huruf yang lebih tinggi ( 90 persen) bahkan di beberapa kabupaten seperti Kota Jayapura, Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Jayapura memiliki angka melek huruf yang lebih besar dari Nasional. Angka rata-rata melek huruf kabupaten/kota Provinsi Papua Barat tahun 2013 masih dibawah angka tingkat nasional akan tetapi lebih tinggi dibandingakan dengan Provinsi papua. Pada tahun 2013 angka melek huruf papua Barat adalah 88,96 persen yang dimana masih rendah jika dibandingak dengan Nasional 2013 sebesar 94,1 persen. Angka ini mengimplikasikan bahwa kemampuan baca wilayah Provinsi Papua Barat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Provinsi Papua. Penduduk Kota Sorong, Kabupaten Fak-Fak dan Kabupaten Kaimana merupakan 3 kabupaten/kota yang memiliki tingkat melek 14

29 huruf tertinggi dibandingkan wilayah lainnya di Provinsi Papua Barat (Panel Kanan Gambar 3.3) 15

30 Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Gambar 3.3 Angka Melek Huruf kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2013 Indikator lainnya untuk mengukur perkembangan suatu wilayah maju atau tidak dapat melihat Indikator indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data perkembangan IPM di Tanah Papua menunjukkan nilai IPM Provinsi Papua dan Papua Barat masih jauh dibawah IPM Nasional. Pada tahun 2013 dan 2014 menunjukan bahwa terjadi peningkatan untuk Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua serta Nasional (Gambar 3.4). Besarnya IPM di Provinsi Papua pada tahun 2012 dan 2013 berturut-turut sebesar 56,25 dan 56,75, sedangkan untuk Provinsi Papua Barat secara berturut-turut adalah sebesar 60,91 dan 61,28 masih rendah dibandingkan Nasional sebesar 68,31 dan 68,90. Akan tetapi peningkatan setiap tahunnya menunjukkan bahwa setiap tahun Tanah Papua terus berkembang dari sisi indeks pembangunan manusia. 16

31 Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Gambar 3.4 Perkembangan IPM Provinsi Papua dan Papua Barat Melihat Tanah Papua dari sisi tenaga kerja, dapat dilihat pada Tabel 3.4, pada tahun 2014 bulan Februari dan Agustus jumlah penduduk usia kerja di Provinsi Papua secara berturut-turut sebanyak 2,097 juta dan 2,129 juta dengan jumlah angkatan kerja sebanyak 1,68 juta jiwa dan 1,67 Juta jiwa. Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat sendiri jumlah penduduk usia kerja berturut-turut bulan Februari dan Agustus sebanyak 573 ribu jiwa dan 583 ribu jiwa dengan jumlah angkatan kerja sebanyak 407 ribu jiwa dan 398 ribu jiwa. Data tingkat Pengangguran terbuka di Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukkan lebih rendah dibandingkan nasional. Tingkat penggangguran terbuka bulan Februari dan Agustus di tahun 2014 secara berturut-turut sebesar 3,48% dan 3,44% untuk Provinsi Papua dan 3,70% dan 5,02% untuk Papua Barat dimana lebih rendah dibandingkan nasional sebesar 5,81% dan 5,94%. Hal ini mengindikasikan sudah cukup banyak tenaga kerja yang teserap di Tanah Papua. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel

32 Tabel 3.4 Gambaran Ketenagakerjaan Provinsi Papua dan Papua Barat Indikator Februari Agustus Februari Agustus Provinsi Papua Penduduk Usia Kerja (Jiwa) Angkatan Kerja (jiwa) Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Termasuk Pengangguran Terbuka (Jiwa) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (%) 80,25 78,01 80,54 78,67 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 2,81 4,62 3,48 3,44 Provinsi Papua Barat Penduduk Usia Kerja (Jiwa) Angkatan Kerja (jiwa) Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Termasuk Pengangguran Terbuka (Jiwa) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (%) 68,25 66,41 71,05 68,30 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 4,47 3,23 3,70 5,02 Nasional Penduduk Usia Kerja (Jiwa) Angkatan Kerja (jiwa) Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Termasuk Pengangguran Terbuka (Jiwa) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (%) 69,21 66,9 69,17 66,6 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 5,70 6,25 5,81 5,94 Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Data lainnya untuk melihat kondisi tenaga kerja adalah angkatan kerja berdasarkan pendidikan yang ditamatkan dimana terdapat kondisi yang cukup berbeda antara Provinsi Papua dan Papua Barat. Dapat kita lihat (Tabel 3.4) penduduk usia kerja di Papua lebih di dominasi oleh tenaga kerja yang belum pernah sekolah dan SD sebanyak 604 ribu jiwa dan 296 ribu jiwa. Sedangkan di Provinsi Papua Barat penduduk angkatan kerja didominasi oleh penduduk dengan pendidikan universitas kemudian di ikuti oleh diploma sebanyak 134 ribu jiwa dan 81 ribu jiwa. Hal ini mengindikasikan bahwa dari sisi tenaga kerja Provinsi Papua Barat memiliki nilai lebih dari sisi kualitas dilhat dari tingkat pendidikan penduduk yang termasuk angkatan kerja sedangkan dari sisi kuantitas tentu Provinsi Papua jauh lebih unggul. 18

33 Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Termasuk Angkatan Kerja dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Provinsi Papua dan Papua Barat, Indikator Papua Belum Pernah Sekolah ( Agustus ) Belum Tamat SD ( Agustus ) SD ( Agustus ) SMP ( Agustus ) SMK ( Agustus ) SMA (Umum) ( Agustus ) Akademi (Diploma I/II/III) (Agustus) Universitas ( Agustus ) ,278 Papua Barat Belum Pernah Sekolah ( Agustus ) Belum Tamat SD ( Agustus ) SD ( Agustus ) SMP ( Agustus ) SMK ( Agustus ) SMA (Umum) ( Agustus ) Akademi (Diploma I/II/III) (Agustus) Universitas ( Agustus ) Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Data distribusi tenaga kerja menurut sektor akan menunjukan sektor mana saja yang menyerap tenaga kerja terbesar di Tanah Papua. Melihat tenaga kerja dari sisi distribusi, di Provinsi Papua sendiri tenaga kerja terkonsentrasi di beberapa sektor. Untuk Provinsi Papua (Tabel 3.6) sendiri tenaga kerja hanya terkonsentrasi di dua sektor pada tahun 2014 yaitu sektor Pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan dengan proporsi terhadap total mencapai 70,59% dan sektor jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan sebesar 13,47%. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Provinsi Papua masih mengandalkan alam sebagai mata pencariannya sehingga alam menjadi sangat penting untuk penduduk Papua. Penyerapan sektor industri pengolahan yang masih sangat kecil mengindikasikan bahwa belum berkembangnya industri pengolahan di Provinsi Papua. 19

34 Tabel 3.6 Distribusi Tenaga Kerja (Agustus) Provinsi Papua Menurut Lapangan Usaha Sektor Share 2014 Pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan ,59% perikanan Pertambangan dan penggalian ,25% Industri pengolahan ,99% Listrik, gas, dan air minum ,12% Konstruksi ,23% Perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi ,22% Angkutan, penggudangan, dan komunikasi ,12% Lembaga keuangan, real estat, usaha persewaan, dan jasa ,02% perusahaan Jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan ,47% Total tenaga Kerja Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Provinsi Papua Barat tidak cukup berbeda dengan Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat tenaga kerja terkosentrasi di tiga sektor pada tahun Sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan memberikan proporsi yang tinggi sebesar 45,28% lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi Papua, kemudian diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan dengan proporsi 17,65% dan sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi sebesar 16,41%. Besarnya proporsi sektor perdagangan yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa provinsi ini sudah mulai berkembang perekonomiannya dan mulai bergerak ke sektor perdagangan walaupun masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan hanya terkonsentrasi di beberapa kabupaten atau kota tertentu. Akan tetapi perkembangan sektor perdagangan di Provinsi Papua Barat didominasi oleh usaha dari pendatang yang lebih cepat berkembang disana. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel

35 Tabel 3.8 Distribusi Tenaga Kerja (Agustus) Provinsi Papua Barat menurut Lapangan Usaha Sektor Share 2014 Pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan ,28% Pertambangan dan penggalian ,25% Industri pengolahan ,41% Listrik, gas, dan air minum ,46% Konstruksi ,25% Perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi ,41% Angkutan, penggudangan, dan komunikasi ,82% Lembaga keuangan, real estat, usaha persewaan, dan jasa perusahaan ,47% Jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan ,65% Total tenaga Kerja Sumber: Simreg Bappenas, Kemiskinan Penduduk di Tanah Papua hampir 30% penduduknya berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini dikarenakan penduduk yang masih mengandalkan alam untuk menghidupi kehidupannya, tingkat pendidikan yang rendah dan belum berkembangnya perilaku masyarakat untuk mengolah segala sesuatu yang ada dialam dan memperdagangkan. Perkembangan kemiskinan di Tanah Papua itu sendiri masih cukup tinggi dibandingkan dengan nasional. Dapat dilihat (Tabel 3.9) persentase penduduk miskin di Provinsi Papua dan Papua Barat masih berada di atas nasional. Tingkat penduduk miskin di Provinsi Papua Pada tahun 2013 sebesar 31,53 % nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat sebesar 27,04% yang berarti garis kemiskinan di Provinsi Papua Barat masih lebih baik, akan tetapi jika kedua nilai ini masih dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di Nasional yang hanya berjumlah 11,47% masih jauh dari tingkat Nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa Tanah Papua masih berpendapatan rendah. Melihat dari sisi Rasio Gini (Tabel 3.10) untuk mengukut tingkat ketimpangan di Tanah Papua memiliki nilai yang lebih besar dari Nasional. Dapat dilihat (Tabel 3.10) nilai Rasio Gini di Provinsi Papua tahun 2012 dan 2013 secara berturutturut adalah 0,42 dan 0,44 meningkat dari tahun sebelumnya, sedangkan untuk 21

36 Provinsi Papua Barat secara berturut-turut adalah 0,43 tidak terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan nilai Rasio Gini untuk tingkat Nasional di tahun 2013 sebesar 0,41 nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan Tanah Papua secara umum. Ketimpangan yang terjadi diakibatkan banyak penduduk pendatang yang lebih cepat berkembang karena rata-rata pendatang dapat sukses disana dengan cara membangun usaha atau bekerja lebih giat dibandingkan dengan masyarakat asli disana. Tabel 3.9 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Papua Barat, Indikator Papua Jumlah penduduk Miskin (000 jiwa) Persen penduduk miskin (%) 37,08 37,53 36,80 31,24 30,66 31,53 Papua Barat Jumlah penduduk Miskin (000 jiwa) Persen penduduk miskin (%) 39,31 35,12 35,71 34,88 28,53 27,04 Nasional Jumlah penduduk Miskin (000 jiwa) Persen penduduk miskin (%) 15,42 14,15 13,33 12,36 11,66 11,47 Sumber: Simreg Bappenas Tabel 3.10 Perbandingan Gini Ratio Nasional dan Provinsi Papua Barat, Tahun Papua Papua Barat Nasional

37 Sumber: Simreg Bappenas 3.2. PEREKONOMIAN DAERAH PDRB Sektoral dan Pengeluaran Perkembangan PDRB di Tanah Papua pada tahun menunjukkan pekembangan cukup baik. Dapat dilihat pada Tabel 3.11 Provinsi Papua Total PDRB meningkat setiap tahunnya pada tahun 2014 total PDRB mencapai 120 triliun rupiah meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 116 triliun rupiah. Sektor yang memberikan proporsi terbesar pada tahun 2014 didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 40,11% dari total PDRB kemudian diikuti oleh sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebesar 12,02% dan sektor konstruksi sebesar 10,7%. Tabel 3.11 PDRB Sektoral Provinsi Papua Harga Konstan 2010 (Miliar Rupiah) Tahun Sektor Share 2014 (%) 1. Pertanian, perkebunan, Kehutanan, Perburuan ,02 dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian ,11 3. Industri Pengolahan ,08 4. Pengadaan Listrik dan Gas ,03 5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, ,06 Limbah dan Daur Ulang 6. Konstruksi ,70 7. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil ,06 dan Sepeda Motor 8. Transportasi dan Pergudangan ,17 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum ,69 23

38 Sektor Share 2014 (%) 10. Informasi dan Komunikasi , Jasa Keuangan dan Asuransi , Real Estat , Jasa Perusahaan 1, , , , , , Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan ,43 Sosial Wajib 15. Jasa Pendidikan , Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial , Jasa lainnya ,06 Total PDRB ,00 Sumber: BPS Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat (Tabel 3.12), perkembangan PDRB menunjukkan peningkatan di setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2014 di mana PDRB mencapai angka sebesar 50 triliun sedangkan di tahun 2013 hanya sebesar 47 triliun rupiah. Proporsi PDRB sektoral di Provinsi Papua Barat didominasi oleh dua sektor dengan proporsi tertinggi diantaranya sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian. Proporsi masing-masing kedua sektor tersebut secara berturut-turut adalah 32,46% dan 21,90%. Sektor selanjutnya yang juga memiliki proporsi yang cukup tinggi adalah sektor konstruksi dengan bagian sebesar 10,92%. Tabel 3.12 PDRB Sektoral Provinsi Papua Barat Harga Konstan 2010 (Miliar Rupiah) Tahun Sektor Share 2014 (%) 1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan ,64 2. Pertambangan dan Penggalian ,90 3. Industri Pengolahan ,46 4. Pengadaan Listrik dan Gas ,04 5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang ,11 6. Konstruksi ,92 7. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda ,69 Motor 8. Transportasi dan Pergudangan ,26 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum ,49 24

39 10. Informasi dan Komunikasi , Jasa Keuangan dan Asuransi , Real Estat , Jasa Perusahaan , Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial ,97 Wajib 15. Jasa Pendidikan , Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial , Jasa lainnya ,25 Total PDRB ,00 Sumber: BPS Melihat data pertumbuhan sektoral PDRB Provinsi Papua tahun (Tabel 3.13) menunjukkan peningkatan pertumbuhan total PDRB tahun dan mengalami penurunan pada tahun Adapun sektor di Provinsi Papua yang mengalami penurunan pada tahun 2014 adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 4,16%. Penurunan yang terjadi dikarenakan beberapa alasan, salah satunya PTFI yang sedang turun produksinya. Karena pendapatan daerah terbesar berasal dari PTFI, penurunan produksi PTFI menyebabkan terjadinya penurunan yang cukup signifikan pada tahun Tabel 3.13 Pertumbuhan PDRB Sektoral Provinsi Papua Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 3,87% 6,18% 6,04% 5,79% 2. Pertambangan dan Penggalian -16,22% -6,41% 7,50% -4,16% 3. Industri Pengolahan 5,32% 1,93% 2,13% 8,72% 4. Pengadaan Listrik dan Gas 6,34% 10,45% 7,59% 5,26% 5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 3,29% 4,63% 6,53% 6,25% 6. Konstruksi 16,04% 13,99% 11,79% 9,05% 7. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 9,09% 9,84% 9,36% 7,30% 8. Transportasi dan Pergudangan 9,90% 8,74% 8,15% 10,26% 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 9,15% 7,86% 11,67% 12,57% 10. Informasi dan Komunikasi 10,66% 10,23% 12,79% 6,63% 11. Jasa Keuangan dan Asuransi 10,83% 7,85% 14,37% 7,38% 12. Real Estat 13,10% 10,01% 11,67% 8,09% 25

40 13. Jasa Perusahaan 14,29% 6,52% 5,88% 9,65% 14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 10,67% 8,36% 2,80% 15,96% 15. Jasa Pendidikan 10,64% 9,62% 9,75% 8,15% 16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 12,29% 8,76% 9,29% 9,36% 17. Jasa lainnya 12,02% 9,11% 10,42% 8,55% Total PDRB -4,28% 1,72% 7,91% 3,25% Sumber: BPS diolah Untuk Papua Barat, tidak terjadi penurunan total PDRB (Tabel 3.14) sehingga hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian di Papua Barat terus meningkat setiap tahunnya dari sisi PDRB sektoral. Sektor yang mengalami pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2014 adalah sektor konstruksi dan sektor transportasi dan pergudangan dengan nilai pertumbuhan secara berturut-turut adalah 12,86% dan 12,96%. Tabel 3.14 Pertumbuhan PDRB Sektoral Provinsi Papua Barat Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan -6,27% 4,42% 6,37% 5,04% 2. Pertambangan dan Penggalian 0,24% -4,07% 1,14% 0,88% 3. Industri Pengolahan 4,21% 2,89% 8,46% 3,74% 4. Pengadaan Listrik dan Gas 11,45% 12,61% 9,38% 3,28% 5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 0,96% 5,14% 4,81% 5,15% 6. Konstruksi 15,75% 13,04% 15,79% 12,86% 7. Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda 13,05% 5,32% 7,57% 8,07% Motor 8. Transportasi dan Pergudangan 6,65% 13,79% 12,80% 12,96% 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 2,41% 5,22% 4,62% 5,61% 10. Informasi dan Komunikasi 0,91% 16,55% 9,34% 11,43% 11. Jasa Keuangan dan Asuransi 8,16% 16,78% 24,21% 10,22% 12. Real Estat 7,08% 12,76% 5,96% 9,42% 13. Jasa Perusahaan 1,86% 5,19% 7,66% 7,81% 26

41 Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial 9,54% 12,65% 9,46% 8,23% Wajib 15. Jasa Pendidikan 3,27% 4,45% 10,29% 10,43% 16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 7,78% 7,37% 0,82% 4,25% 17. Jasa lainnya 3,62% 3,41% 9,24% 6,84% Total PDRB 3,64% 3,63% 7,39% 5,38% Sumber: BPS diolah Berdasarkan PDRB pengeluaran di Provinsi Papua (Tabel 3.15) sendiri komponen pengeluaran terbesar pada tahun 2014 masih didominasi komponen pengeluaran rumah tangga sebesar 53,16%, komponen impor antar daerah sebesar 34,66%, komponen pembentukan modal tetap sebesar 33,64% dan komponen pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 24,83%. Dalam pengeluaran rumah tangga, pengeluaran terbesar merupakan pengeluaran makanan dan minuman yang hampir 22,78% dari total PDRB. Tabel 3.15 PDRB berdasarkan Pengeluaran Provinsi Papua Harga Konstan 2010 (Juta Rupiah) Tahun Komponen Pengeluaran Share 2014 (%) 1 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga ,16 a. Makanan dan Minuman Non Beralkohol ,78 b. Minuman Beralkohol dan Rokok ,77 c. Pakaian ,71 d. Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar Lainnya ,63 e. Perabot, Peralatan Rumah Tangga dan Pemeliharaan Rutin Rumah ,73 f. Kesehatan ,10 g. Transportasi/Angkutan ,18 h. Komunikasi ,34 i. Rekreasi dan Budaya ,58 27

42 j. Pendidikan ,17 k. Penginapan dan Hotel ,56 l. Barang Pribadi dan Jasa Perorangan ,61 2 Pengeluaran Konsumsi LNPRT ,10 3 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah ,83 a. Konsumsi Kolektif ,80 b. Konsumsi Individu ,04 4 Pembentukan Modal Tetap Bruto ,64 a. Bangunan ,22 b. Non-Bangunan ,42 5 Perubahan Inventori ,31 6 Ekspor Luar Negeri ,93 a. Barang ,74 b. Jasa ,19 7 Impor Luar Negeri ,38 a. Barang ,26 b. Jasa ,12 8 Net Ekspor Antar Daerah ,98 a. Ekspor ,69 b. Impor ,66 PDRB ,00 Pertumbuhan per tahun (%) -4,28% 1,72% 7,91% 3,25% Sumber: BPS, 2015 Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat (Tabel 3.16), komponen pengeluaran terbesar adalah ekspor luar negeri, pengeluaran rumah tangga, dan pembentukan modal tetap. Komponen ekspor luar negeri merupakan komponen pengeluran yang paling besar karena jumlahnya melebihi setengah total PDRB yaitu dengan besar proporsi sebesar 60,39%. Kemudian sektor pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 25,36% dengan sub makanan, minuman dan rokok yang paling besar. Tabel 3.16 PDRB berdasarkan Pengeluaran Provinsi Papua Barat Harga Konstan 2010 (Juta Rupiah)Tahun Share 2014 (%) ,36 Komponen Pengeluaran Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga a. Makanan, Minuman, dan Rokok ,00 b. Pakaian dan Alas Kaki ,57 c. Perumahan, Perkakas, ,88 Perlengkapan dan Penyelenggaraan Rumah Tangga d. Kesehatan dan Pendidikan ,45 e. Transportasi, Komunikasi, ,56 28

43 Rekreasi, dan Budaya f. Hotel dan Restoran ,11 g. Lainnya ,80 2 Pengeluaran Konsumsi LNPRT ,89 3 Pengeluaran Konsumsi ,45 Pemerintah c. Konsumsi Kolektif ,87 d. Konsumsi Individu ,58 4 Pembentukan Modal Tetap ,90 Bruto a. Bangunan ,23 b. Non-Bangunan ,68 5 Perubahan Inventori ,60 6 Ekspor Luar Negeri ,39 c. Barang ,29 d. Jasa ,10 7 Impor Luar Negeri ,17 c. Barang ,55 d. Jasa ,62 8 Net Ekspor Antar Daerah ,23 c. Ekspor ,04 d. Impor ,27 PDRB ,00 Pertumbuhan per tahun (%) 3,64% 3,63% 7,39% 5,38% Sumber: BPS, 2015 Ditingkat kabupaten (Tabel 3.17), untuk wilayah Provinsi Papua menunjukkan bahwa kontribusi PDRB terbesar berasal dari Kabupaten Mimika, dimana pada kabupaten ini terdapat PT Freeport Indonesia yang mengeksploitasi salah satu tambang galian terbesar yang ada di Provinsi Papua. Sedangkan kontribusi kabupaten lainnya yang cukup signifikan di antaranya adalah Kota Jayapura dan Kabupaten Merauke. Kota Jayapura sebagai ibukota provinsi memberikan kontribusi sebesar 13,93% dengan nilai PDRB kota sebesar 16 triliun rupiah, dan untuk Kabupaten Merauke memberikan kontribusi terhadap total PDRB Papua sebesar 5,98% dengan nilai PDRB kabupaten sebesar 7 triliun rupiah. Tabel 3.17 PDRB kabupaten/kota di Provinsi Papua Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) Tahun Kabupaten Kota dan Persentase PDRB 2014 Merauke ,98% Jayawijaya ,95% Jayapura ,67% Nabire ,62% 29

44 Kabupaten Kota dan Persentase PDRB 2014 Kepulauan Yapen ,86% Biak Numfor ,61% Paniai ,70% Puncak Jaya ,65% Mimika ,79% Boven Digoel ,24% Mappi ,13% Asmat ,98% Yahukimo ,97% Peg. Bintang ,89% Tolikara ,70% Sarmi ,11% Keerom ,29% Waropen ,85% Supiori ,52% Mamberamo Raya ,59% Nduga ,47% Lanny Jaya ,71% Mamberamo Tengah ,47% Yalimo ,44% Puncak ,48% Dogiyai ,54% Intan Jaya ,47% Deiyai ,48% Kota Jayapura ,93% Jumlah Kabupaten dan Kota ,11% Provinsi Papua ,00% Nasional Sumber: BPS, 2015 Pada Tabel 3.18 untuk Provinsi Papua Barat kontribusi PDRB terbesar diberikan oleh Kabupaten Teluk Bintuni, dimana pada terdapat perusahaan LNG Tangguh dimana menyumbang hampir setengah dari PDRB Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 45,12% dari total PDRB Provinsi Papua Barat dengan nilai 6,7 triliun rupiah. Kabupaten lainnya yang memberikan kontribusi cukup besar lainnya adalah Kota Sorong dan Kabupaten Sorong yang memberikan kontribusi sebesar 13,15% dan 13,31% dengan nilai masing-masing 1,9 triliun dan 2 triliun. Kabupaten Manokwari sebagai pusat pemerintahan dan ibukota provinsi hanya memberikan kontribusi sebesar 8,72% dengan nilai 1,3 triliun. Tabel 3.18 PDRB kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat Harga Konstan 2000 (Juta Rupiah) Tahun

45 Kabupaten Kota dan Persentase PDRB 2014 Fak-Fak ,46% Kaimana ,33% Teluk Wondama ,48% Teluk Bintuni ,12% Manokwari ,72% Sorong Selatan ,48% Sorong ,31% Raja Ampat ,82% Maybrat ,66% Tambrauw ,25% Manokwari Selatan ,16% Pegunungan Arfak ,35% Kota Sorong ,15% Jumlah Kabupaten dan Kota ,29% Provinsi Papua Barat ,00% Nasional Sumber: BPS, Location Quotiens (LQ) Untuk memberi gambaran tentang keunggulan komparatif berdasarkan sektor, nilai LQ (Location Quotiens) ditampilkan pada Gambar 3..5 untuk Provinsi Papua dan Gambar 3..6 Untuk Provinsi Papua Barat. Sektor yang paling unggul di Provinsi Papua diantaranya sektor yang memiliki nilai LQ lebih besar dari satu yaitu sektor pertambangan penggalian, sektor konstruksi, sektor transportasi dan pergudangan, sektor administrasi, sektor pertahanan dan jaminan sosial wajib, yang terakhir adalah sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Sektor yang memiliki nilai LQ tertinggi di Provinsi Papua adalah sektor pertambangan dan penggalian serta sektor administrasi, pertahanan dan jaminan sosial wajib. 31

46 Sumber: BPS diolah Gambar 3.5 LQ Sektoral Papua tahun 2014 Nilai LQ Sektoral Provinsi Papua Barat dimana sektor-sektor yang memiliki nilai LQ yang lebih besar dari satu diantaranya, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, sektor konstruksi, dan sektor administrasi, sektor pertahanan dan jaminan sosial wajib. Sektor pertambangan dan penggalian serta sektor administrasi, pertahanan dan jaminan sosial wajib merupakan dua sektor yang memiliki nilai LQ tertinggi di Provinsi Papua Barat. 32

47 Sumber: BPS diolah Gambar 3.6 LQ Sektoral Papua Barat tahun 2014 Melihat sektor yang lebih detail nilai LQ untuk sub-sektor pertanian dan subsektor pertambangan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Nilai LQ sub sektor Pertanian di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki yang memiliki nilai LQ lebih besar dari satu adalah sub-sektor kehutanan dan penebangan kayu dan sub-sektor perikanan artinya sektor ini masih menjadi andalan untuk kedua provinsi. Untuk sub-sektor pertambangan di Provinsi Papua yang merupakan sektor basis yaitu sub-sektor pertambagan biji logam dan subsektor pertambangan dan penggalian lainnya, sedangkan untuk Provinsi Papua Barat yang merupakan sektor basis adalah sub sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi. Untuk lebih detailnya dapat di lihat pada Gambar 3.7 dan Gambar

48 Sumber: BPS diolah Gambar 3.7 LQ Sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan penggalian Provinsi Papua 2014 Sumber: BPS diolah Gambar 3.8 LQ Sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan penggalian Provinsi Papua Barat

49 Perkembangan industri pengolahan di Tanah Papua secara umum masih belum berkembang. Melihat dari data LQ sub-sektor industri pengolahan (Gambar 3.9 dan Gambar 3.10) menunjukan kondisi yang kurang baik. Hal ini dikarenakan rata-rata nilai LQ yang masih dibawah satu yang artinya bukan merupakan sektor basis di wilayah Papua. Akan tetapi melihat dari sisi sub-sektor ada beberapa sektor yang menjadi sektor basis di Tanah Papua. Nilai LQ di Provinsi papua sektor yang memiliki nilai LQ lebih dari satu adalah sektor industri kayu, barang dari kayu dan gabus, barang anyaman dari bambu dan rotan, dan sejenisnya. Untuk Provinsi Papua Barat, industri yang memiliki nilai LQ lebih dari satu adalah sub-sektor industri batubara dan pengilangan migas dan sub-sektor industri kayu, barang dari kayu dan gabus, barang anyaman dari bambu dan rotan, dan sejenisnya. Sektor industi batubara dan pengilangan migas yang menjadi sektor basis di Provinsi Papua Barat merupakan implikasi dari pengembangan industri migas yang di kelola oleh Tangguh LNG yang berkembang disana. Sumber: BPS diolah Gambar 3.9 LQ Sektor Industri Pengolahan Provinsi Papua Tahun

50 Sumber: BPS diolah Gambar 3.10 LQ Sektor Industri Pengolahan Provinsi Papua Barat Tahun

51 Bab 4 ANALISIS DAMPAK EKONOMI Analisis dampak ekonomi makro dan mikro akan dibagi ke dalam 3 bagian. Bagian pertama adalah analisis makroekonomi sebagai dampak dari kehadiran PTFI; Bagian kedua akan membahas analisis mikroekonomi rumah tangga, yang dapat menggambarkan kondisi riil dampak kehadiran PTFI di level mikro; Bagian ketiga akan membahas ketimpangan dampak secara makro dan yang teramati secara mikro. Bagian ketiga menjadi paling penting, karena berusaha menggali faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap besarnya gap antara dampak makro dan mikro, serta berusaha merumuskan upaya-upaya strategis untuk memperkecil gap antara dampak makro dan mikro tersebut. Bagian A: Analisis Makroekonomi 4.1. Pendahuluan Dampak ekonomi adalah pengaruh terhadap aktifitas perekonomian pada suatu daerah atau nasional akibat hadirnya suatu aktifitas program atau proyek. Dampak ekonomi dapat dilihat pada: (1) ouput bisnis (volume penjualan), (2) nilai tambah ekonomi (atau Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto), (3) pendapatan individu (mencakup upah), dan (4) kesempatan kerja. Setiap indikator tersebut dapat menjadi suatu indikator kemajuan kesejahteraan ekonomi dari penduduk atau masyarakat, dimana indikator tersebut merupakan sasaran pembangunan ekonomi (Weisbrod, 1997). Analisis dampak ekonomi berusaha menelusuri pengaruh aliran belanja uang dari suatu aktifitas program atau proyek terhadap perubahan output, pendapatan pekerja, lapangan kerja (job creation) yang muncul di suatu wilayah analisis. Dampak ekonomi difokuskan pada penyebaran pengaruh ke seluruh aktifitas perekonomian. Hanya mengukur nilai arus uang dari transaksi pasar. Bentuk dampak yang tidak ada harga pasarnya, tidak diperhitungkan dalam analisis dampak ekonomi. Misalnya pengaruh proyek terhadap gangguan kesehatan dan keselamatan jiwa. Dampak ekonomi bersih biasanya dilihat dari pengembangan (expansion) atau pengerutan (contraction) dari perekonomian daerah sebagai 35

52 hasil dari proyek atau program. Dampak bersih tersebut dapat berasal dari proyek yang sudah ada (existing) atau dari proyek baru. Dampak ekonomi biasanya dilihat dari kesempatan kerja, pendapatan dan atau penjualan bisnis yang langsung atau tidak langsung terpengaruh oleh proyek. Dampak-dampak ekonomi tersebut berbeda dengan valuasi (valuation) atas manfaat individual dari suatu fasilitas atau proyek, dan dampak ini berbeda dengan dampak sosial (social impacts). Manfaat individual dan dampak sosial memasukkan faktor valuasi atas perubahan dalam kebahagiaan atau kualitas hidup (kesehatan, keamanan, rekreasi, udara dan kebisingan). Demikian juga, manfaat peningkatan penerimaan uang (daya beli) individu dan kualitas hidupnya Dampak ekonomi juga mengawali (lead) dampak fiskal (fiscal impacts), yaitu perubahan penerimaan dan belanja pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dampak ekonomi dalam peningkatan penjualan usaha, pendapatan dan kekayaan penduduk, dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dengan adanya perluasan dan meningkatnya basis pajak (tax base). Peningkatan kesempatan kerja atau orang yang bekerja dapat mempengaruhi pengeluaran pemerintah yaitu peningkatan kebutuhan pelayanan publik. Walaupun berhubungan, dampak fiskal tidaklah sama dengan dampak ekonomi. Perlu diperhatikan perbedaan analisis dampak ekonomi dengan analisis rasio manfaat-biaya atau analisis B/C (Benefit/Cost Analysis). Analisis B/C memperkirakan efisiensi relatif dari beberapa opsi kebijakan, program atau proyek, dengan membandingkan manfaat dan biaya pada suatu periode proyek. Analisis B/C memilih kebijakan/program yang paling efisien dari perpektif kesejahteraan sosial, meliputi nilai-nilai yang terukur maupun yang tidak terukur oleh uang. Analisis memanfaatkan sejumlah besar metode untuk mengestimasi nilai-nilai barang dan jasa yang tidak ada harga pasarnya Jenis Dampak Ekonomi Berikut adalah beberapa ukuran dampak ekonomi yang sering digunakan dalam kajian dampak ekonomi suatu proyek atau program: 1. Lapangan Pekerjaan atau Kesempatan Kerja (Employment) Indikator ini menggambarkan penambahan pekerjaan yang tercipta oleh pertumbuhan ekonomi. Indikator ini adalah ukuran paling umum (populer) dampak ekonomi karena lebih mudah dimengerti ketimbang 36

53 angka-angka moneter. Namun penambahan lapangan kerja memiliki dua keterbatasan: (1) tidak menggambarkan kualitas pekerja, (2) tidak selalu menggambarkan penambahan fisik orang yang masuk pasar kerja. 2. Pendapatan Aggregat Penduduk (Aggregate Personal Income) Aggregat pendapatan penduduk meningkat sejalan dengan kenaikan tingkat upah/gaji dan atau kenaikan jumlah orang yang bekerja. Kedua kondisi tersebut muncul sebagai hasil dari pertambahan penerimaan usaha atau bisnis. Ukuran ini malah lebih rendah (underestimated) dari dampak sebenarnya, mengingat sejumlah keuntungan usaha (profit) yang terlahir pun dapat dibayarkan sebagai dividen kepada penduduk. Dividen atau pendapatan penduduk selanjutnya dapat dibelanjakan untuk konsumsi barang dan jasa akhir, investasi-ulang (reinvested) ke bentuk bangunan, belanja barang modal dan peralatan. Tindakan ini akan menambah besar basis usaha, dan meningkatkan produksi barang dan jasa. Pada akhirnya akan melahirkan sumber baru atas pendapatan upah/gaji dan dividen keuntungan. 3. Nilai Tambah Bruto (Gross Value Added) Besaran ini adalah ekuivalen dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan adalah perluasan ukuran dari dampak pendapatan aggregat penduduk. Besaran ini menggambarkan jumlah dari: (1) pendapatan upah/gaji pekerja, (2) laba perusahaan yang beroperasi di area studi, (3) peneriman pemerintah dari pajak dan bukan pajak, (4) pengeluaran penyusutan (depreciation) atas barang-barang modal, (5) subsidi dari pemerinrah adalah pengurang bagi Nilai Tambah. Secara singkat gross value added adalah penjumlahan pendapatan yang diterima oleh keseluruhan pelaku dalam suatu perekonomian. Pelaku yang dimaksud adalah pengusaha (entrepreneur), pekerja atau karyawan (labor), pemilik modal atau faktor produksi (investor), dan pemerintah (regulator). Dalam lingkungan perekonomian global, yang dicirikan oleh mobilitas antar-daerah atau antar-negara dari tenaga kerja, barang modal dan asal pemilik modal; maka value added adalah pengukur dampak ekonomi yang berlebihan (overestimated) bagi area studi. Sebagian dari pendapatan pekerja dan atau keuntungan yang diciptakan di daerah studi akan meninggalkan atau keluar daerah, dikirim oleh pekerja dan atau pemilik modal ke luar daerah atau luar negeri. Oleh karena itu kenaikan nilai tambah di suatu daerah belum mencerminkan kenaikan tingkat 37

54 kesejahteraan penduduk. Walaupun demikian, value added adalah indikator dampak yang lebih komprehensif dan paling sering digunakan oleh pemerintah dan pemerhati makroekonomi daerah. 4. Output Usaha (Business Output) Output usaha berbeda dengan nilai tambah atau gross value added. Output usaha adalah penerimaan usaha kotor atau nilai penjualan dari kegiatan memproduksi barang/jasa. Sebagian penerimaan kotor dipakai untuk membayar biaya-biaya material/jasa dan tenaga kerja, dan menyisakan pendapatan usaha atau profit. Value added adalah fraksi tertentu dari output usaha, sehingga angkanya pasti lebih kecil daripada output usaha. Besaran output usaha akan missleading jika digunakan sebagai ukuran dampak ekonomi atau manfaat bagi pengembangan ekonomi. Sebab, output usaha tidak membedakan antara aktifitas yang menghasilkan value added tinggi dan dan aktifitas yang menghasilkan value added yang rendah (menghasilkan keuntungan dan upah/gaji relatif kecil dari skala penjualan yang sama) Mekanisme Pembentukan Dampak Ekonomi Berikut adalah komponen dampak ekonomi dan penjelasannya yang muncul dari suatu proyek: 1. Inisiasi Dampak (Initial Outlay) Angka inisiasi dampak adalah angka stimulus yang dimasukkan ke dalam perekonomian daerah atau lokal. Angka stimulus dapat berupa: (1) angka belanja investasi untuk proyek, dan (2) angka nilai barang /jasa yang dihasilkan proyek, (3) belanja konsumsi pemerintah. 2. Dampak Langsung (Direct Impatcs). Suatu proyek yang diputuskan dijalankan di suatu daerah, akan memulai aktifitasnya dengan pengadaan barang/jasa untuk kontruksi dan mesin/peralatan, serta jasa-jasa yang terkait. Pemasok yang bertransaksi langsung dengan proyek kita sebut pebisnis layer pertama. Pasokan barang dan jasa untuk proyek akan meningkatkan volume produksi atau output dari pebisnis layer pertama di daerah atau luar daerah. Kemudian diikuti oleh peningkatan jumlah pekerja, pendapatan para pekerja, dan lain-lain indikator di pebisnis layer pertama. Peningkatan yang terjadi di pebisnis layer pertama disebut dampak langsung. Secara ringkas dampak 38

55 langsung output adalah sebesar nilai produksi pebisnis di layer pertama yang didedikasikan untuk proyek. Pebisnis layer pertama ini dapat mencakup industri manufaktur, perdagangan besar dan ritel, jasa angkutan dan komunikasi, keuangan, dan lain-lainnya. Selanjutnya ketika proyek memasuki fase produksi atau operasional, maka angka pengeluaran untuk material bahan baku dan penolong, jasa-jasa terkait; secara otomatis menjadi angka penambahan output bagi pemasok yang bertransaksi langsung dengan proyek (pebisnis layer pertama). Penambahan output di pebisnis layer pertama kita sebut sebagai dampak langsung proyek dalam penciptaan output. Peningkatan output di layer pertama diikuti oleh dampak langsung pada peningkatan tenaga kerja, pendapatan pekerja, penerimaan pemerintah dan nilai tambah ekonomi (value added). Secara ringkas dampak langsung output dari suatu proyek pada fase produksi adalah total output pebisnis layer pertama yang didedikasikan untuk proyek. Atau dapat juga didekati oleh total nilai pembelian barang dan jasa untuk proyek. 3. Dampak Tidak Langsung (Indirect Impacts). Peningkatan produksi barang dari produsen di layer pertama atau pihak yang bertransaksi langsung dengan proyek, akan berimbas meningkatkan permintaan akan material/jasa yang diinput untuk memproduksi barang/jasanya. Secara berantai akan meningkatkan produksi barang dan jasa dari pebisnis yang tidak langsung bertransaksi dengan proyek. Ini adalah peningkatan nilai penjualan atau output dari pebisnis di layer kedua dari proyek. Pebisnis layer kedua ini dapat mencakup industri manufaktur, perdagangan besar dan ritel, jasa angkutan dan komunikasi, keuangan, dll. Peningkatan penjualan atau output bisnis layer kedua dikategorikan sebagai dampak output tidak langsung. Dampak tidak langsung output diikuti oleh dampak tidak langsung lapangan kerja, pendapatan pekerja, dan pembayaran kepada negara. Peningkatan output pebisnis di layer kedua, secara berantai akan mendorong peningkatan output pada pebisnis di layer ketiga, keempat, dan seterusnya. Panjang rantai layer pebisnis bergantung pada jenis proyek. Proyek pertanian dan pertambangan memiliki rantai layer pebisnis yang lebih pendek. Proyek jasa dapat memiliki rantai layer yang lebih panjang bahkan dapat mencapai bilangan tak terhingga. 39

56 Penjumlahan dampak output mulai dari layer kedua hingga layer tak terhingga menghasilkan angka dampak output tidak langsung. Mengiringi dampak ouput tidak langsung ialah dampak tenaga kerja tidak langsung, pendapatan upah/gaji tidak langsung, keuntungan tidak langsung, pembayaran kepada negara tidak langsung, dan value added tidak langsung. 4. Dampak Pendapatan Terinduksi (Induced Income Impacts). Jumlah dampak langsung dan tidak langsung sebagaimana dijelaskan oleh mekanisme di atas akan menghasilkan jumlah dampak yang underestimated bagi output, tenaga kerja, dan pendapatan. Sebab penciptaan dampak tersebut hanya merespon kenaikan permintaan barang dan jasa dari proses produksi. Padahal kenaikan permintaan dapat juga berasal dari kenaikan pengeluaran, akibat kenaikan jumlah pekerja dan atau level upah/gaji. Kenaikan belanja barang dan jasa sebagai dampak kenaikan jumlah pekerja dan atau level upah/gaji, baik yang terpengaruh langsung maupun tidak langsung proyek; akan mempengaruhi output bisnis. Kenaikan output dari efek induksi pendapatan akan menuntun pertumbuhan bisnis di seluruh perekonomian lokal atau daerah. 5. Dampak Total (Total Impacts). Dampak total adalah Inisiasi Dampak + Dampak Langsung + Dampak tidak langsung + dampak induksi pendapatan. 6. Efek Dinamis (Dynamic Economic Effects). Sebagai konsekuensi perubahan antar waktu dalam jumlah pekerja (penduduk), pola lokasi bisnis dan penggunaan tanah, peningkatan nilai tanah, dan juga belanja dan penerimaan pemerintah; maka pada akhirnya akan mengubah secara gradual pendapatan dan kekayaan dari waktu ke waktu. Secara gradual pendapatan akan terus meningkat, disamping karena aliran tetap sebagai dampak proyek, juga akibat reinvestasi dari akumulasi kekayaan penduduk. 7.Pengganda untuk Dampak (Impacts Multiplier) Angka pengganda atau multiplier bagi suatu jenis dampak diperoleh dengan membagi angka dampak total oleh angka inisiasi dampak Stimulus Stimulus yang digunakan untuk menghitung dampak makro dari kehadiran PTFI di Provinsi Papua adalah nilai penjualan produk tambang PTFI, baik yang 40

57 dijual secara ekspor dalam bentuk konsentrat, maupun yang dijual ke lokasi lain di dalam negeri untuk dilebur menjadi katoda tembaga dan produk sampingan lainnya. Hasil dari stimulasi nilai penjualan tersebut akan menghasilkan dampak ekonomi secara moneter dalam bentuk nilai output, nilai tambah bruto, dan pendapatan rumah tangga. Di sisi lain besaran tersebut juga akan menghasilkan dampak fiskal, yaitu penerimaan negara yang dicatat sebagai pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perhitungan dan analisis dampak fiskal akan dibahas pada Bab tersendiri. Stimulus lain yang digunakan dalam analisis di kajian ini adalah tenaga kerja yang dipekerjakan langsung oleh PTFI, baik sebagai tenaga produksi di site tambang, sebagai tenaga bukan produksi baik yang berlokasi di Kabupaten Mimika, maupun karyawan di kantor-kantor perwakilan dalam negeri. Selain itu dimasukkan juga tenaga kerja yang tidak direkrut langsung oleh PTFI, yaitu tenaga kerja di perusahaan kontraktor, tetapi mengerjakan pekerjaan core tambang di wilayah area tambang Tembagapura maupun Kuala Kencana Pengganda Model Ekonomi Pengganda model yang disajikan dalam laporan ini dipilah-pilah menjadi: pengganda atau multiplier output, pendapatan dan tenaga kerja. Angka pengganda dibedakan menjadi pengganda pada skala nasional dan skala Provinsi Papua. Perlu diketahui di awal-awal bahwa angka pengganda di level nasional lebih besar atau sama dengan angka pengganda di level Provinsi Papua. Pada Tabel 4.1, dicantumkan angka multiplier output pada skala nasional. Mutliplier dibedakan lagi menurut cara memandang arah-dampak, yaitu dampak ke arah hulu/belakang atau dampak ke arah hilir/depan. Mutliplier output (ke arah belakang) sektor pertambangan bijih logam (dimana PTFI berada) adalah 1,524, yang berarti setiap juta rupiah nilai penjualan PTFI berkontribusi menambah output perekonomian nasional menjadi 1,524 juta rupiah (Tabel 4.1). Komposisinya adalah dampak satu juta rupiah adalah dampak langsung, yaitu nilai penjualan PTFI itu sendiri; kemudian dampak 0,263 juta rupiah adalah dampak tidak langsung yaitu peningkatan output di lapangan usaha lainnya akibat adanya mekanisme rantai pasokan (supply- chain); dan 0,262 juta rupiah adalah dampak tidak langsung yaitu peningkatan ouput di lapangan usaha lainnya akibat adanya belanja rumah tangga yang pendapatannya diterima dari dampak PTFI. Angka pengganda output sektor pertambangan bijih logam tergolong rendah, karena angka indeks keterkaitannya kurang dari satu, yaitu 0,74. 41

58 Sebagai informasi, jika angka keterkiatan lebih besar dari satu, sektor dikatkan memiliki keterkaitan tinggi, jika angka keterkaitan sama dengan satu, maka sektor dikatakan memiliki tingkat keterkaitan yang sama dengan rata-rata semua sektor. Jika kita menggunakan angka pengganda output ke arah depan, maka didapat angka sebesar 1,871 (lihat Tabel 4.1). Artinya dari setiap juta rupiah penjualan PTFI dapat mendorong penciptaan output nasional menjadi 1,871 juta rupiah. Angka ini lebih tinggi daripada penggada ke arah hulu atau belakang. Dekomposisi angka penggandanya adalah sebagai berikut: satu juta rupiah sebagai nilai penjualan PTFI itu sendiri; kemudian 0,762 juta rupiah adalah penambahan output di sektor lapangan usaha lain akibat adanya mekanisme sipply-chain dengan PTFI; lalu 0,109 juta rupiah adalah tambahan output di sektor-sektor lannya akibat peningkatan belanja rumah tangga, yang sumber pendapatanya berasal dari kehadiran PTFI. Kenapa pengganda output ke arah hilir lebih tinggi daipada pengganda ke arah hulu? Pengganda ke arah hilir lebih tinggi karena produk tambang PTFI jika diolah lebih lanjut di dalam negeri. Proses pengolahan berpotensi mendorong perkembangan output di sejumlah besar industri-industri yang lebih hilir. Hal ini berbeda dengan jika produk tambang PTFI secara total diekspor, maka dampaknya hanya terbatas pada peningkatan output bagi sektor-sektor pemasok barang dan jasa bagi PTFI, dan sedikit kenaikan output akibat induksi pendapatan. Angka pengganda ouput ini tergolong rendah, karena angka indeks keterkaitannya hanya sebesar 0,71; dari rata-rata angka indeks sebesar 1,00. 42

59 Tabel Nasional 4.1 Multiplier Output Sektor Lapangan Usaha pada Skala Ke Belakang Ke Depan No. Sektor Lapangan Usaha Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indeks Keterkaitan ke Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indieks keterkaitan ke 1 Tanaman Pangan Tanaman Hortikultura Tanaman Perkebunan Peternakan Jasa Pertanian dan Perburuan Kehutanan dan Penebangan Kayu Perikanan Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi Pertambangan Batubara dan Lignit Pertambangan Bijih Logam Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Batubara dan Pengilangan Migas Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Tembakau Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dsj Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Barang Galian bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik Industri Mesin dan Perlengkapan Industri Alat Angkutan Industri Furnitur Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan Ketenagalistrikan Pengadaan Gas dan Produksi Es Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasiny a Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan Sepeda Motor Angkutan Rel Angkutan Darat Angkutan Laut Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Angkutan Udara Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; Pos dan Kurir Penyediaan Akomodasi Penyediaan Makan Minum Informasi dan Komunikasi

60 Ke Belakang Ke Depan No. Sektor Lapangan Usaha Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indeks Keterkaitan ke Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indieks keterkaitan ke 43 Jasa Perantara Keuangan Asuransi dan Dana Pensiun Jasa Keuangan Lainnya Jasa Penunjang Keuangan Real Estat Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Sumber: Diolah dari Tabel IO Nasional 2005, BPS. Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa pengganda output sektor pertambangan bijih logam di Provinsi Papua adalah lebih rendah dibandingkan skala nasional. Pada skala Provinsi Papua, pengganda output ke arah belakang adalah 1,377; yang berarti dari satu juta penjualan produksi PTFI akan meningkatkan output Provinsi Papua menjadi 1,377 juta rupiah (Tabel 4.2). Komposisinya adalah: satu juta rupiah sebagai penjualan produk PTFI; 0,244 juta rupiah peningkatan output di Papua karena adanya mekanisme keterkaitan antar-industri; dan 0,133 juta rupiah peningkatan output karena penambahan belanja rumah tangga penerima upah secara langsung dan tidak langsung dari PTFI. Indeks keterkaitan ke belakang sektor relatif tinggi dibandingkan dengan angka serupa di sektor-sektor yang ada di Provinsi Papua, mengingat angka indeksnya lebih besar dari 1, yaitu 1,015. Perlu dijelaskan angka-angka pada Tabel 4.2, banyak ditemukan angka nol, yang berarti aktifitas sektor tersebut belum ada di Provinsi Papua. Misalnya sektor logam dasar, di dalamnya tersusun atas smelter, masih belum beroperasi di Provinsi Papua. Jika bijih logam dilebur di Papua, maka angka multipliernya akan muncul. 44

61 Tabel 4.2 Multiplier Output Sektor Lapangan Usaha pada Skala Provinsi Papua Ke Belakang Ke Depan No. Sektor Lapangan Usaha Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indeks Keterkaitan ke Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indieks keterkaitan ke 1 Tanaman Pangan Tanaman Hortikultura Tanaman Perkebunan Peternakan Jasa Pertanian dan Perburuan Kehutanan dan Penebangan Kayu Perikanan Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi Pertambangan Batubara dan Lignit Pertambangan Bijih Logam Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Batubara dan Pengilangan Migas Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Tembakau Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dsj. Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 19 Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Barang Galian bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik 24 Industri Mesin dan Perlengkapan Industri Alat Angkutan Industri Furnitur Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan 28 Ketenagalistrikan Pengadaan Gas dan Produksi Es Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 31 Konstruksi Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasiny a Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan Sepeda Motor 34 Angkutan Rel Angkutan Darat Angkutan Laut Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Angkutan Udara Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; Pos dan Kurir 40 Penyediaan Akomodasi Penyediaan Makan Minum

62 Ke Belakang Ke Depan No. Sektor Lapangan Usaha Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indeks Keterkaitan ke Tidak Langsung: Inter-industri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapatan Total Indieks keterkaitan ke 42 Informasi dan Komunikasi Jasa Perantara Keuangan Asuransi dan Dana Pensiun Jasa Keuangan Lainnya Jasa Penunjang Keuangan Real Estat Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 50 Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Sumber: Diolah dari Tabel IO Provinsi Papua 2010, BPS. Pada Tabel 4.3 dicantumkan angka-angka pengganda pendapatan secara sektoral pada level nasional. Sektor pertambangan bijih logam memiliki angka dampak pendapatan sebesar 1,753 dimana angka ini tergolong moderat. Angka itu memiliki arti, dari satu juta rupiah pendapatan pekerja di PTFI, akan meningkatkan pendapatan seluruh pekerja secara nasional menjadi sebesar 1,753 juta rupiah. Dekomposisinya adalah satu juta diterima oleh pekerja di PTFI; kemudian 0,364 juta rupiah diterima oleh pekerja di sektor lainnya akibat mekanisme keterkaitan intar-industri; dan 0,389 juta rupiah pendapatan pekerja di sektor lainnya akibat mekanisme induksi pendapatan. Tabel 4.3 Multiplier Pendapatan Menurut Sektor Lapangan Usaha pada Skala Nasional No. Sektor Lapangan Usaha Dampak Langsung Tidak Langsun g: Interindustri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapata n 1 Tanaman Pangan Tanaman Hortikultura Tanaman Perkebunan Peternakan Jasa Pertanian dan Perburuan Kehutanan dan Penebangan Kayu Perikanan Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi Pertambangan Batubara dan Lignit Pertambangan Bijih Logam Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Batubara dan Pengilangan Migas Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Tembakau Total 46

63 No. Sektor Lapangan Usaha Dampak Langsung Tidak Langsun g: Interindustri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapata n 15 Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang 17 1 Anyaman dari Bambu, Rotan dsj Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan 18 1 Reproduksi Media Rekaman Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Barang Galian bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, 23 1 Optik; dan Peralatan Listrik Industri Mesin dan Perlengkapan Industri Alat Angkutan Industri Furnitur Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan 27 1 Pemasangan Mesin dan Peralatan Ketenagalistrikan Pengadaan Gas dan Produksi Es Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur 30 1 Ulang Konstruksi Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasiny a Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan 33 1 Sepeda Motor Angkutan Rel Angkutan Darat Angkutan Laut Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Angkutan Udara Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; Pos dan 39 1 Kurir Penyediaan Akomodasi Penyediaan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Perantara Keuangan Asuransi dan Dana Pensiun Jasa Keuangan Lainnya Jasa Penunjang Keuangan Real Estat Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan 49 1 Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Sumber: Diolah dari Tabel IO Nasional 2005, BPS. Total Pengganda pendapatan sektoral di tingkat Provinsi Papua disajikan pada Tabel 4.4. Pengganda pendapatan sektor pertambangan bijih logam, adalah 2,41 (lebih besar dari tingkat nasional yang sebesar 1,753). Angka itu memiliki makna, dari satu juta rupiah pendapatan pekerja di PTFI, akan meningkatkan pendapatan seluruh pekerja di Provinsi Papua menjadi sebesar 2,41 juta 47

64 rupiah. Dekomposisinya adalah satu juta diterima oleh pekerja di PTFI; kemudian 0,26 juta rupiah diterima oleh pekerja sektor lainnya akibat mekanisme keterkaitan intar-industri; dan 1,15 juta rupiah pendapatan pekerja di sektor lainnya akibat mekanisme induksi pendapatan. Tabel 4.4 Multiplier Pendapatan Menurut Sektor Lapangan Usaha pada Skala Provinsi Papua No. Sektor Lapangan Usaha Dampak Langsung Tidak Langsung: Interindustri Tidak Lamgsung: Induksi Pendapata n 1 Tanaman Pangan Tanaman Hortikultura Tanaman Perkebunan Peternakan Jasa Pertanian dan Perburuan Kehutanan dan Penebangan Kayu Perikanan Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi Pertambangan Batubara dan Lignit Pertambangan Bijih Logam Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Batubara dan Pengilangan Migas Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Tembakau Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dsj. Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman 19 Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Barang Galian bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik 24 Industri Mesin dan Perlengkapan Industri Alat Angkutan Industri Furnitur Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan 28 Ketenagalistrikan Pengadaan Gas dan Produksi Es Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 31 Konstruksi Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasiny a Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan Sepeda Motor 34 Angkutan Rel Angkutan Darat Angkutan Laut Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Angkutan Udara Total 48

65 Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; Pos dan Kurir 40 Penyediaan Akomodasi Penyediaan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Perantara Keuangan Asuransi dan Dana Pensiun Jasa Keuangan Lainnya Jasa Penunjang Keuangan Real Estat Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 50 Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Sumber: Diolah dari Tabel IO Nasional 2005, BPS. Pada Tabel 4.5 dicantumkan angka pengganda tenaga kerja sektoral pada level nasional. Pada level nasional pengganda tenaga kerja sektor industri pertambangan bijih logam adalah 9,97, yang artinya dari setiap pekerja yang berkerja di sektor pertambangan bijih logam (termasuk PTFI) akan meningkatkan kesempatan kerja di seluruh sektor menjadi 9,97 orang. Angka ini tergolong besar, hanya dikalahkan oleh angka penganda sektor industri batubara dan pengilangan minyak dan gas; industri makanan dan minuman; dan industri mesih dan perelengkapan. Dekomposisinya adalah satu orang sebagai pekerja di PTFI; kemudian 2,83 orang yang bekerja di sektor-sektor lainnya akibat mekanisme keterkaitan intar-industri; dan 6,15 orang yang bekerja di sektor-sektor lainnya akibat mekanisme induksi pendapatan. Tabel 4.5 Multiplier Kesempatan Kerja Berdasarkan Sektor Lapangan Usaha pada Skala Nasional No. Sektor Lapangan Usaha Dampak Langsung Tidak Langsun g: Interindustri Tidak Langsung: Induksi Pendapata n 1 Tanaman Pangan Tanaman Hortikultura Tanaman Perkebunan Peternakan Jasa Pertanian dan Perburuan Kehutanan dan Penebangan Kayu Perikanan Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi Pertambangan Batubara dan Lignit Pertambangan Bijih Logam Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Batubara dan Pengilangan Migas Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Tembakau Total

66 No. Sektor Lapangan Usaha Dampak Langsung Tidak Langsun g: Interindustri Tidak Langsung: Induksi Pendapata n 15 Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang 17 Anyaman dari Bambu, Rotan dsj Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan 18 Reproduksi Media Rekaman Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Barang Galian bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, 23 Optik; dan Peralatan Listrik Industri Mesin dan Perlengkapan Industri Alat Angkutan Industri Furnitur Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan 27 Pemasangan Mesin dan Peralatan Ketenagalistrikan Pengadaan Gas dan Produksi Es Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur 30 Ulang Konstruksi Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasiny a Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan Sepeda 33 Motor Angkutan Rel Angkutan Darat Angkutan Laut Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Angkutan Udara Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; Pos dan 39 Kurir Penyediaan Akomodasi Penyediaan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Perantara Keuangan Asuransi dan Dana Pensiun Jasa Keuangan Lainnya Jasa Penunjang Keuangan Real Estat Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan 49 Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Sumber: Diolah dari Tabel IO Nasional 2005, BPS. Total Pada Tabel 4.6 dicantumkan angka pengganda tenaga kerja sektoral pada level Provinsi Papua. Pengganda tenaga kerja sektor industri pertambangan bijih logam adalah 4,65, yang artinya dari setiap pekerja yang berkerja di sektor pertanamgan bijih logam (termasuk PTFI) akan meningkatkan kesempatan kerja di seluruh sektor menjadi 4,65 orang. Angka ini tergolong 50

67 moderat. Tabel 4.6 Multiplier Kesempatan Kerja Berdasarkan Sektor Lapangan Usaha pada Skala Provinsi Papua No. Sektor Lapangan Usaha Dampak Langsung Tidak Langsung: Interindustri Tidak Langsung: Induksi Pendapata n 1 Tanaman Pangan Tanaman Hortikultura Tanaman Perkebunan Peternakan Jasa Pertanian dan Perburuan Kehutanan dan Penebangan Kayu Perikanan Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi Pertambangan Batubara dan Lignit Pertambangan Bijih Logam Pertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Batubara dan Pengilangan Migas Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Tembakau Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan 17 1 Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dsj Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan 18 1 dan Reproduksi Media Rekaman Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik Industri Barang Galian bukan Logam Industri Logam Dasar Industri Barang Logam; Komputer, Barang 23 1 Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik Industri Mesin dan Perlengkapan Industri Alat Angkutan Industri Furnitur Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan 27 1 Pemasangan Mesin dan Peralatan Ketenagalistrikan Pengadaan Gas dan Produksi Es Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan 30 1 Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasiny a Perdagangan Besar dan Eceran, Bukan Mobil dan 33 1 Sepeda Motor Angkutan Rel Angkutan Darat Angkutan Laut Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan Angkutan Udara Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; Pos 39 1 dan Kurir Total 51

68 No. Sektor Lapangan Usaha Dampak Langsung Tidak Langsung: Interindustri Tidak Langsung: Induksi Pendapata n 40 Penyediaan Akomodasi Penyediaan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Perantara Keuangan Asuransi dan Dana Pensiun Jasa Keuangan Lainnya Jasa Penunjang Keuangan Real Estat Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan 49 1 Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Sumber: Diolah dari Tabel IO Provinsi Papua 2010, BPS. Total 4.4. Nilai Dampak Ekonomi Pada bagian ini dipaparkan dampak ekonomi secara makro sebagai kontribusi dari kehadiran PTFI yang beroperasi di Provinsi Papua. Dampak ekonomi mencakup indikator output perekonomian, nilai tambah bruto dan pendapatan pekerja atau rumah tangga. Dampak ekonomi kemudian dipisahkan ke dalam dampak skala nasional dan skala Provinsi Papua. Setiap indikator dampak dibagi ke dalam 3 komponen, yaitu dampak langsung, dampak antar-industrial, dan dampak induksi pendapatan. Dampak langsung adalah peningkatan indikator yang terjadi di perusahaan PTFI, baik dalam bentuk output perusahaan atau penjualan perusahaan, nilai tambah bruto di perusahaan, maupun pendapatan pekerja di perusahaan. Sebagai catatan yang tercakup dalam nilai tambah bruto perusahaan adalah komponen upah/gaji, surplus perusahaan, depresiasi, pajak tidak langsung dan subsidi (jika ada). Kemudian dampak antar-industrial adalah kenaikan output (dan indikator lainnya) yang muncul di bisnis-bisnis sektor lainnya, yang terhubung langsung dan tidak langsung dengan kegiatan produksi PTFI. Sektor yang terhubung langsung adalah bisnis yang memasok kebutuhan bahan baku dan penolong serta jasa-jasa lainnya yang dibutuhkan untuk operasional PTFI. Sektor-sektor tersebut kita sebut sebagai layer pertama. Sektor yang tidak terhubung langsung dengan PTFI adalah sektor yang memasok bahan baku dan penolong yang dibutuhkan oleh sektor-sektor di layer pertama, ketika mereka meningkatkan produknya karena permintaan dari PTFI. Sektor yang 52

69 berhubungan dengan layer pertama kita sebut kelompok bisnis layer kedua. Demikian seterusnya akan terbentuk hubungan antar-industri layer ketiga, keempat dan seterusnya. Pada akhirnya semua sektor perokonomian terhubung secara tidak langsung dengan kegiatan PTFI. Selanjutnya dampak induksi pendapatan adalah dampak kenaikan output, nilai tambah bruto dan pendapatan yang disebabkan oleh adanya kenaikan belanja rumah tangga. Kenaikan belanja rumah tangga bersumber dari penambahan pendapatan para pekerja PTFI, pendapatan pekerja di sektorsektor bisnis layer pertama, layer kedua, ketiga dan seterusnya. Penjumlahan dampak langsung, dampak antar-industrial dan dampak induksi pendapatan menghasilkan dampak total. Rasio dari dampak total dan dampak awal kita sebut sebagai angka pengganda atau multiplier ekonomi. Sebuah angka stimulus (biasanya berupa belanja barang modal atau nilai produksi, atau tenaga kerja) dikalikan dengan angka multipliernya akan menghasilkan angka dampak ekonomi. Angka dampak ekonomi bisa berupa output, nilai tambah bruto, pendapatan rumah tangga ataupun jumlah tenaga kerja. Pada Tabel 4.7 disediakan angka penciptaan output sebagai dampak dari operasional PTFI dalam periode pada skala nasional. Angka dampak pada skala nasional selalu lebih besar daripada angka dampak dalam skala kabupaten atau pun provinsi. Sebab angka dampak nasional menampung dampak lokal dan dampak yang muncul di provinsi-provinsi luar Papua. Kemunculan dampak di luar Provinsi Papua sangat dimungkinkan, karena PTFI dan sektor terkait lainnya di Papua memiliki kaitan dengan bisnis di luar Papua. Secara rata-rata dalam periode bahwa untuk setiap juta rupiah nilai penjualan PTFI akan menciptakan kira-kira 1,75 juta rupiah output nasional (rata-rata periode ). Satu juta berasal dari output PTFI, dan 0,75 juta berasal dari penambahan output di sektor-sektor lapangan usaha lain yang terkait langsung dan tidak langsung dari kegiatan operasional PTFI. Dari tahun ke tahun multiplier output tidak sama, penyebabnya adalah adanya perbedaan proporsi nilai penjulan konsentrat yang diekspor dan diolah dalam negeri. Jika konsentrat diekspor, maka mutliplier outputnya adalah 1,524, sedangkan jika konsentrat tembaga diolah atau dilebur di dalam negeri maka multiplier outputnya menjadi 1,871. Dalam hal ini pengolahan konsentrat di dalam negeri akan lebih menguntungkan, karena akan memberikan dampak penciptaan output perekonomian yang lebih tinggi ketimbang diekspor. 53

70 Tabel 4.7 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Nasional (Juta rupiah) Tahun Langsung: Nilai Penjualan Industri Tidak Langsung interindustrial Tidak Langsung: Induksi pendapatan Total Dampak Output Multiplier (Rata-rata) , , , , ,76 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Nilai output yang tercipta dari kegiatan produksi PTFI ditambah dengan penciptaan ouput pada sektor-sektor lain yang terkait langsung dan tidak langsung dengan proyek, kemudian melahirkan penambahan pendapatan rumah tangga. Akumulasi pendapatan rumah tangga pada gilirannya menjadi stimulus tambahan dalam meningkatkan nilai output sektor-sektor perekonomian lainnya. Oleh sebab itu nilai output yang tercipta akan menyebar ke seluruh sektor perekonomian, dimana output terbesar muncul di sektor pertambangan (dimana PTFI berada), kemudian diikuti oleh kenaikan output pada sektor-sektor lainnya. Distribusi dampak output secara sektoral dijabarkan oleh angka-angka pada Tabel 4.8. Distribusi penciptaan output antar sektor sangat tidak merata, dan memang demikian katrakteristik distribusi dampak output antara sektor dari proyek pertambangan. Output terbesar muncul di sektor pertambangan itu sendiri kemudian diikuti oleh sektor industri pengolahan. Sektor-sektor lain yang menerima dampak lumayan besar adalah sektor perdagangan dan bengkel kendaraan; sektor transportasi & pergudangan; dan sektor jasa keuangan dan asuransi; serta jasa lainnya. Sektor-sektor yang disebutkan di atas adalah sektor-sektor yang dibutuhkan dan didorong oleh pertambangan. Sektor-sektor tersebut terkait kuat dalam sebuah rantai-pasokan barang/jasa berbasis industri pertambangan bijih logam tembaga. Tabel 4.8 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Nasional (Juta rupiah) 54

71 No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,85 2 Pertambangan dan Penggalian ,60 3 Industri Pengolahan ,26 4 Pengadaan Listrik dan Gas ,32 Pengadaan Air, pengelolaan sampah, ,06 5 limbah 6 Konstruksi , ,98 Perdagangan, Reparasi Mobil dan , ,04 7 Speda Motor 8 Transportasi dan Pergudangan , ,28 9 Akomodasi dan Makan-minum ,80 10 Informasi dan Komunikasi ,37 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,89 12 Real estate ,40 13 Jasa Perusahaan ,34 Administrasi Pemerintahan, ,48 14 Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 15 Jasa Pendidikan ,52 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan social ,36 17 Jasa Lainnya ,45 TOTAL ,00 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Peningkatan nilai output atau penjualan PTFI secara otomatis melahirkan nilai tambah bruto (NTB) dalam pertambangan bijih logam tembaga dan sektorsektor lainnya. Nilai tambah bruto yang berasal dari PTFI adalah penjumlahan empat komponen yaitu: upah/gaji pekerja produksi dan non produksi PTFI, surplus usaha PTFI, depresiasi barang model PTFI, dan pajak tidak langsung (pajak keluaran yang dibayar pembeli dikurangi pajak masukan yang dibayar PTFI). Nilai tambah bruto dari bisnis-bisnis lain di luar PTFI adalah penjumlahan empat komponen NTB tersebut, yang terjadi karena bisnis mengalami kenaikan omset atau penjualan sehubungan dengan adanya kegiatan PTFI. Angka dampak nilai tambah bruto yang terjadi di PTFI dan pihak-pihak lain yang terkait pada skala nasional disajikan pada Tabel 4.9. Perlu dipahami bahwa nilai tambah bruto tidak sama dengan nilai output. Nilai tambah bruto adalah sebuah fraksi atau bagian tertentu dari nilai output, sehingga nilai tambah bruto selalu lebih kecil daripada nilai output. Secara matematis nilai tambah bruto adalah nilai output dikurangi oleh jumlah pengeluaran untuk bahan baku dan penolong (input antara) yang habis sekali proses produksi. Besar-kecilnya nilai tambah bruto bergantung pada intensitas relatif sektor menggunakan input langsung dalam proses produksinya. Industri yang bersifat ekstraktif (pertanian dan pertambangan) fraksi nilai tambah bruto relatif nilai output adalah lebih besar daripada fraksi nilai tambah bruto di 55

72 sektor manufaktur, bangunan, dan sektor-sektor lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap juta rupiah nilai tambah bruto di PTFI akan menciptakan nilai tambah bruto nasional menjadi 1,35 juta rupiah. Tabel 4.9 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai tambah Bruto Nasional (Juta rupiah) Tahun Langsung: Nilai Tambah Bruto di Perusahaan Tidak langsung: Efek antarindustrial Tidak langsung: Efek induksi pendapatan Dampak Total Nilai Tambah Multiplier Rata-rata , , , , ,36 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Jika dikaitkan dengan dengan angka PDB nasional pada harga berlaku, maka nilai PDB yang disumbang secara langsung dan tidak langsung oleh kehadiran PTFI adalah sekitar 1,14% dari total PDB nasional pada tahun 2010 (Tabel 4.10). Kontribusi PTFI berkurang menjadi 0,45% pada tahun Angka-angka kontribusi PTFI tersebut tergolong besar, jika mengingat terdapat ratusan perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Tabel 4.10 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan PDB Nasional Tahun PDB Kontribusi PTFI (Miliar Rupiah) PDB-Nasional (Miliar Rupiah) % terhadap Nasional ,14% ,75% ,53% ,56% ,45% Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Sektor pertambangan beserta sektor-sektor eksploitatif lainnya adalah sektorsektor yang secara alami memberikan fraksi nilai tambah bruto yang lebih besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Lebih besar di sini dilihat dari fraksi nilai tambah relatif terhadap nilai output. Fraksi output yang menjadi nilai tambah bruto adalah seklitar 80%, artinya dari satu juta rupiah nilai 56

73 produksi pertambangan akan menghasilkan nilai tambah bruto sebesar 0,80 juta rupiah. Sebagai pembanding, angka fraksi nilai tambah bruto dari sektor industri manufaktur sekitar 0,38. Dengan penjelasan tersebut, maka sangat wajar jika distribusi sektoral dari nilai tambah bruto yang ada pada Tabel 4.11 sangat timpang. Dari Tabel diketahui bahwa sektor pertambangan dan penggalian menghasilkan angka terbesar, lalu diikuti oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian, kehutanan dan perikanan; serta jasa keuangan dan asuransi. Angka nilai tambah bruto dalam bahasa seharihari disebut sebagai Produk Domestik Bruto atau disingkat PDB. Tabel 4.11 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai tambah Bruto Nasional (Juta rupiah) No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,23 Pertambangan dan ,39 2 Penggalian 3 Industri Pengolahan ,25 4 Pengadaan Listrik dan Gas ,15 Pengadaan Air, pengelolaan ,04 5 sampah, limbah 6 Konstruksi ,84 Perdagangan, Reparasi Mobil , ,13 7 dan Speda Motor Transportasi dan ,82 8 Pergudangan Akomodasi dan Makanminum , Informasi dan Komunikasi ,46 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,93 12 Real estate ,53 13 Jasa Perusahaan ,30 Administrasi Pemerintahan, ,44 14 Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 15 Jasa Pendidikan ,50 Jasa Kesehatan dan Kegiatan ,27 16 sosial 17 Jasa Lainnya TOTAL ,00 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Indikator dampak ekonomi lainnya yang penting adalah pendapatan pekerja yang diterima rumah tangga, sebagaimana angka-angkanya dicantumkan pada Tabel Pendapatan pekerja adalah indikator yang lebih baik dibandingkan NTB dalam menggambarkan manfaat kehadiran entiti bisnis di 57

74 suatu wilayah. Manfaat ekonomi NTB belum tentu dirasakan oleh masyarakat domestik atau masyarakat setempat. Karena bagian keuntungan perusahaan (komponen kedua dari NTB) umumnya tidak dirasakan oleh masyarakat setempat, melainkan oleh pemilik usaha yang domisilinya di luar lokasi perusahaan. Apalagi perusahaan PMA, maka sebagian dividen keuntungan akan dikirim keluar negeri. Komponen depresiasi (komponen ketiga dari NTB) juga tidak dirasakan oleh masyarakat setempat, karena komponen ini akan dinikmati oleh pemodal besar yang berasal dari luar wilayah. Komponen pajak tidak langsung (komponen keempat NTB) juga tidak seutuhnya dinikmati oleh masyarakat setempat, karena dipungut oleh pemerintah pusat. Jika kita rasiokan antara angka dampak pendapatan total pada skala nasional dan pendapatan pekerja PTFI maka diperoleh angka pengganda pendapatan (income multiplier) nasional pada sektor pertambangan tembaga PTFI. Dari Tabel 4.12 diperolah rata-rata income multiplier sebesar 1,89. Artinya untuk setiap juta rupiah pendapatan upah/gaji pekerja PTFI akan meningkatkan pendapatan pekerja skala nasional menjadi 1,89 juta rupiah. Satu juta adalah angka pendapatan yang diterima pekerja PTFI dan 0,89 juta rupiah adalah pendapatan yang diterima oleh seluruh pekerja di sektor lain yang terkait langsung dan tidak langsung dengan aktifitas PTFI. Dari Tabel 4.12 menyajikan angka-angka dampak pendapatan masyarakat yang diciptakan oleh keberadaan PTFI. Sumber pendapatan masyarakat terbesar adalah dari efek langsung, yaitu bersumber dari pendapatan para pekerja langsung baik berstatus pekerja produksi maupun pekerja non produksi di PTFI. Urutan kedua terbesar berasal dari efek induksi pendapatan, mencapai 29,63% dari total dampak pendapatan. Artinya efek penambahan output pada sektor-sektor ekonomi lainnya lebih banyak berasal dari efek tidak langsung belanja barang rumah tangga, ketimbang efek dari belanja perusahaan. Efek kenaikan output secara otomatis berimplikasi pada kenaikan pendapatan rumah tangga. Tabel 4.12 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Pendapatan Pekerja atau Rumah Tangga Nasional (Juta rupiah) Tahun Langsung: Perkiraan Pendapatan Pekerja di Perusahaan Tidak Langsung: Efek intarindustrial Tidak Langsung: Efek induksi Pendapatan Angka Dampak Total Pengganta Pendapatan (income multiplier) ,86 58

75 , , , ,92 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Pola distribusi dampak pendapatan disajikan pada Tabel 4.13, dimana pendapatan lebih tersebar ke lebih banyak sektor dibanding distribusi dampak output. Walaupun dampak output dan NTB masih terpusat dari sektor pertambangan dan pengalian, namun dampak pendapatan lebih tersebar ke sektor-sektor lainnya. Penjelasannya adalah karena fraksi pendapatan-output di sektor-sektor lain lebih besar daripada fraksi pendapatan-output di sektor pertambangan dan penggalian. Oleh karena itulah, walaupun nilai tambah brutonya kecil, tetapi penciptaan pendapatan rumah tangganya relatif lebih besar. Inilah suatu fenomena eksternalitas positif dari pertambangan dalam rantai penciptaan pendapatan rumah tangga. Rantai penciptaan pendapatan rumah tangga akan semakin besar lagi jika produk-produk pertambanga diolah lebih lanjut menjadi produk-produk setengah jadi atau produk akhir. Selain itu kontribusi pendapatan akan dapat ditingkatkan sejalan dengan peningkatan input domestik. Tabel 4.13 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan pendapatan Rumah Pekerja Nasional (Juta rupiah) No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,97 2 Pertambangan dan Penggalian ,96 3 Industri Pengolahan ,96 4 Pengadaan Listrik dan Gas ,26 Pengadaan Air, pengelolaan sampah, 5 limbah ,10 6 Konstruksi ,06 Perdagangan, Reparasi Mobil dan Speda 7 Motor ,47 8 Transportasi dan Pergudangan ,95 9 Akomodasi dan Makan-minum ,17 10 Informasi dan Komunikasi ,54 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,59 12 Real estate ,.210 0,15 13 Jasa Perusahaan ,63 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan 14 dan Jaminan Sosial Wajib ,25 15 Jasa Pendidikan ,27 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan sosial ,98 17 Jasa Lainnya ,70 TOTAL ,00 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI,

76 Kemudian pada Tabel 4.14 disajikan dampak output kehadiran PTFI di Provinsi Papua, periode , dimana dampak total dikomposisi menjadi Dampak Langsung, antar-industrial dan dampak induksi pendapatan. Dampak langsung output (nilai penjualan PTFI) mencapai 72,5% dari total dampak, sedangkan dampak tidak langsung output hanya 27,5% dari total dampak output. Fraksi dampak tidak langsung output yang kecil disebabkan oleh lemahnya keterkaitan antar-industri secara lokal. Hal ini menggambarkan rendahnya kemampuan lokal dalam memasok input yang dibutuhkan PTFI. Demikian pula rendahnya fraksi dampak induksi-pendapatan disebabkan oleh tidak mampunya perekonomian lokal menyediakan seluruh barang/jasa yang dibutuhkan rumah tangga pegawai PTFI dan rumah tangga pada umumnya. Tabel 4.14 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Provinsi Papua (Juta rupiah) Tahun Langsung: Nilai Penjualan PTFI Tidak langsung: Efek antarindustrial Tidak langsung: induksi pendapatan Total Dampak Output Multiplier Aggregat , , , , ,38 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Selanjutnya pada Tabel 4.15 dicantumkan angka kontribusi PTFI dalam pembentukan nilai tambah bruto di wilayah Provinsi Papua. Angka Nilai tambah bruto lebih kecil daripada nilai output, karena angka merupakan bagian dari nilai output dengan fraksi tertentu. Dari angka-angka pada Tabel 4.15 yang menarik dicermati adalah kontribusi relatif PTFI dalam penciptaan PDRB Papua, yang angkanya menunjukkan pola menurun dalam periode Jika sebelum tahun 2010, PTFI pernah memberikan kontribusi sekitar 60% terhadap PDRB Papua 1, maka pada tahun 2010 hanya menyumbang sekitar 58,33% terhadap PDRB Provinsi Papua. Kemudian menyusut menjadi 32,10% pada tahun Penurunan kontribusi relatif PTFI dalam PDRB Papua disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama pertumbuhan PDRB Papua (harga berlaku) yang lebih tinggi di sektor-sektor luar tambang, terutama sektor pemerintahan dan jasa-jasa lainnya (pasca pemekaran wilayah), dan kedua stagnan atau menurunnya kuantitas produksi dan nilai penjulan produk PTFI. Sangat mungkin, ke depan kontribusi relatif PTFI akan 1 Dampak Ekonomi dan Fiskal PTFI terhadap Perekonomian Papua, LPEM-FEUI,

77 berkurang secara bertahap, sebagai konsekuensi dari stagnannya tingkat produksi. Sedangkan perekonomian di Papua diperkirakan akan semakin berkembang, terindikasi dari semakin intensnya pemerintah pusat dan daerah mengembangkan infrastruktur untuk menopang tumbuh dan berkembangnya industri berbasis sumber daya alam. Tabel 4.15 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai Tambah Bruto (PDRB) di Provinsi Papua (Juta rupiah) Tahun Langsung: Nilai Tambah Bruto di Perusahaan Tidak langsung: Efek inter-industrial Tidak Langsung: Efek Induksi Pendapatan Dampak Total Nilai Tambah Bruto PDRB Papua Harga Berlaku (Miliar Rp) Persen Kontribusi dalam PDRB Papua ,33% ,57% ,27% ,10% ,10% Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Kemudian pada Tabel 4.16 dicantumkan angka perkiraan pendapatan rumah tangga, sebagai kontribusi atas kehadiran PTFI di Provinsi Papua. Angka multiplier pendapatan di atas 2 (dua) atau tepatnya 2,06 yang mengandung arti bahwa dampak tidak langsung lebih besar daripada dampak langsung. Dampak langsung hanya 48,54% dari dampak total, atau dampak tidak langsung mencapai 51,46% dari dampak pendapatan total. Penyebab kejadian tersebut sudah dijelaskan pada bagian terdahulu yaitu fraksi pendapatan pekerja terhadap output di PTFI adalah lebih rendah dibandingkan fraksi pendapatan di sektor-sektor perekonomian lainnya yang ada di Papua. Sedangkan fraksi dampak induksi pendapatan yang sangat kecil disebabkan oleh kebocoran finansial, yaitu para pekerja dan rumah tangga lebih besar menggunakan uang untuk membeli barang dari luar Papua. Tabel 4.16 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Pendapatan Pekerja atau Rumah Tangga Provinsi Papua (Juta rupiah) 61

78 Tahun Langsung: Pendapata n Pekerja PTFI Tidak Langsung: antarindustrial Tidak Langsung: induksi pendapata n Total Dampak Pendapata n Multiplier Pendapata n , , , , ,130 2,06 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Perincian dampak penciptaan output, nilai tambah bruto dan perkiraan pendapatan rumah tangga secara sektoral di Provinsi Papua sebagai kontribusi dari kehadiran PTFI dapat dibaca secara berurutan pada Tabel 4.17, 4.18 dan Dampak output terbesar muncul di sektor pertambangan dan penggalian, kemudian diikuti oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; sektor perdagangan, reparasi mobil dan sepeda motor; dan transportasi dan pergudangan. Terpusatnya dampak pada sektor pertambangan dan penggalian mengindikasikan bahwa pertama kurangnya keterkaitan industrial kegiatan sektor pertambangan. Kedua barang/jasa yang dibutuhkan pertambangan masih didatangkan dari luar Papua. Tabel 4.17 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Output Provinsi Papua (Juta rupiah) No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,14 2 Pertambangan dan Penggalian ,20 3 Industri Pengolahan ,65 4 Pengadaan Listrik dan Gas , ,01 Pengadaan Air, pengelolaan sampah, 5 limbah ,00 6 Konstruksi ,17 Perdagangan, Reparasi Mobil dan 7 Speda Motor ,77 8 Transportasi dan Pergudangan ,53 9 Akomodasi dan Makan-minum ,19 10 Informasi dan Komunikasi ,82 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,27 12 Real estate ,33 13 Jasa Perusahaan ,24 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial ,08 14 Wajib 15 Jasa Pendidikan ,42 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan sosial ,43 62

79 17 Jasa Lainnya , ,75 TOTAL ,00 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 NTB terbesar akibat kehadiran PTFI di Provinsi Papua adalah di sektor pertambangan dan penggalian yaitu sektor dimana aktifitas PTFI berada. Sektor lain yang terdampak adalah pertanian; kehutanan dan perikanan; serta sektor perdagangan (Tabel 4.18). Alasan terpusatnya dampak NTB pada sektor pertambangan dan penggalian, karena lemahnya keterkaitan industrial sektor pertambangan. Tabel 4.18 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan Nilai tambah Bruto Provinsi Papua (Juta rupiah) No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,88 2 Pertambangan dan Penggalian , ,06 3 Industri Pengolahan ,45 4 Pengadaan Listrik dan Gas ,00 5 Pengadaan Air, pengelolaan sampah, limbah ,00 6 Konstruksi ,09 7 Perdagangan, Reparasi Mobil dan Speda Motor ,97 8 Transportasi dan Pergudangan ,24 9 Akomodasi dan Makan-minum ,15 10 Informasi dan Komunikasi ,71 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,29 12 Real estate ,32 13 Jasa Perusahaan ,23 14 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib ,10 15 Jasa Pendidikan ,51 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan sosial ,40 17 Jasa Lainnya ,60 TOTAL ,00 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Pendapatan rumah tangga terbesar akibat kehadiran PTFI di Provinsi Papua adalah di sektor pertambangan dan penggalian itu sendiri atau sektor dimana aktifitas PTFI berada. Sektor lain yang terdampak adalah pertanian; kehutanan dan perikanan; serta sektor perdagangan; serta jasa pendidikan (Tabel 4.19). Berbeda dengan distribusi sektoral output dan NTB, maka distribusi sektoral dampak pendapatan relatif lebih menyebar. Penyebab kejadian tersebut sudah dijelaskan pada bagian terdahulu yaitu fraksi pendapatan pekerja terhadap output di sektor pertambangan adalah lebih rendah dibandingkan fraksi pendapatan di sektor-sektor perekonomian lainnya yang ada di Papua. 63

80 Tabel 4.19 Kontribusi PTFI dalam Pembentukan pendapatan Rumah Pekerja Provinsi Papua (Juta rupiah) No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,43 2 Pertambangan dan Penggalian ,12 3 Industri Pengolahan ,33 4 Pengadaan Listrik dan Gas ,00 Pengadaan Air, pengelolaan sampah, 5 limbah ,00 6 Konstruksi ,12 Perdagangan, Reparasi Mobil dan Speda 7 Motor ,57 8 Transportasi dan Pergudangan ,63 9 Akomodasi dan Makan-minum ,13 10 Informasi dan Komunikasi ,67 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,57 12 Real estate ,09 13 Jasa Perusahaan ,16 14 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib ,43 15 Jasa Pendidikan ,89 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan sosial ,17 17 Jasa Lainnya ,67 TOTAL ,00 Sumber: Hasil Simulasi Model LPEM-FEBUI, 2015 Kehadiran PTFI di Tanah Papua memberikan dampak terhadap penciptaan kesempatan kerja di provinsi Papua dan di provinsi-provinsi lainnya. Secara nasional dampak penciptaan kesempatan kerja dicantumkan pada Tabel Besarnya kesempatan kerja terdampak bergantung pada banyaknya tenaga kerja yang direkrut PTFI dalam kegiatan produksi tambang dan multiplier tenaga kerja. Angka multiplier tenaga kerja adalah 8,61, mengandung arti setiap pekerja PTFI mampu membangkitkan (generate) 8,61 orang, yang terdiri dari satu orang bekerja di PTFI dengan 7,61 orang bekerja di sektorsektor luar pertambangan bijih logam. Sumber terbesar penciptaan penciptaan kesempatan kerja adalah dari mekanisme efek antar-industrial (inter-industrials effect), lalu diikuti oleh sumber dari induksi pendapatan (induced income effect). Dampak dari antarindustrial demikian tinggi karena secara nasional keterkaitan sektor pertambangan dengan sektor-sektor lainnya adalah sangat besar. Sangat masuk akal bahwa keterkaitan ke hilir industri pertambangan ini adalah sangat besar mengingat pemrosesan produk bijih tambang menjadi logam dasar, barang-barang dari logam, dan produk-produk turunan lainnya; melibatkan rantai pasokan yang cukup panjang. Pelibatan rantai-produksi yang demikian panjang berimplikasi pada penciptaan kesempatan kerja yang 64

81 besar. Dampak yang bersumber dari efek induksi pendapatan juga tergolong besar. Penjelasannya adalah pendapatan pekerja langsung PTFI dan pekerja lain yang kesempatan kerjanya muncul karena keberadaan PTFI, akan dibelanjakan untuk barang dan jasa domestik. Kenaikan permintaan barang dan jasa domestik, pada gilirannya turut mendorong produksi barang dan jasa domestik. Ketika proses produksi barang dan jasa dalam jumlah besar, diikuti oleh penciptaan kesempatan kerja yang besar pula. Secara nasional keberadaan PTFI telah memberi manfaat dalam penciptaan kesempatan kerja dengan angka yang besar yaitu 275 ribu orang pada tahun Dampak kesempatan kerja tahun 2010 sedikit lebih rendah, yaitu 222 ribu orang. Kemampuan menciptaan kesempatan kerja mengalami peningkatan dari 2010 ke 2014, sedangkan kemampuan menciptakan NTB mengalami penurunan. Fenomena penciptaan kesempatan kerja dan NTB menjadi semacam paradoks. Tabel 4.20 Perkiraan Dampak Penciptaan Kesempaten Kerja Nasional, sebagai Kontribusi Kehadiran PTFI Langsung: Pekerja di PTFI Tidak Langsung: Efek Antarindustrial Tidak Langsung: Efek Induksi pendapata n Dampak Tenaga Kerja Total Multiplier Aggregat Tenaga Kerja , , , , ,61 Sumber: Simulasi Model, LPEM-FEB UI, 2015 Selanjutnya angka kesempatan kerja yang muncul pada Tabel 4.20, terdistribusi ke seluruh sektor perekonomian, yang angka-angkanya dicantumkan pada Tabel Kesempatan kerja dengan angka yang signifikan muncul di industri pengolahan; pertanian, kehutanan dan perikanan; konstruksi dan perdagangan. Sektor industri pengolahan menerima dampak terbesar karena mekanisme pengolahan bijih logam 65

82 menjadi barang setengah jadi dan barang jadi menempuh rantai pasokan yang sangat panjang. Di setiap mata rantai pengolahan terbentuk kesempatan kerja. Penyebab sektor pertanian mendapatkan dampak yang signifikan besar adalah sektor ini menyediakan bahan makanan dan non makanan yang dikomsumsi rumah tangga. Mekanisme induksi pendapatan menambah produksi di sektor ini, sekaligus menambah kesempatan kerja. Proses penciptaan kesempatan kerja yang cukup besar di sektor konstruksi, karena hasil produksi logam tembaga dipasang dalam fisik konstruksi atau bangunan Tabel 4.21 Distribusi Sektoral Penciptaan Kesempatan Kerja Skala Nasional sebagai Kontribusi Kehadiran PTFI (orang) No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,70 2 Pertambangan dan Penggalian ,00 3 Industri Pengolahan ,39 4 Pengadaan Listrik dan Gas ,13 5 Pengadaan Air, pengelolaan sampah, limbah ,77 6 Konstruksi ,20 7 Perdagangan, Reparasi Mobil dan Speda Motor ,11 8 Transportasi dan Pergudangan ,42 9 Akomodasi dan Makan-minum ,96 10 Informasi dan Komunikasi ,68 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,69 12 Real estate ,21 13 Jasa Perusahaan ,50 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan 14 Jaminan Sosial Wajib ,06 15 Jasa Pendidikan ,43 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan sosial ,12 17 Jasa Lainnya ,63 TOTAL ,00 Sumber: Simulasi Model, LPEM-FEB UI, 2015 Penciptaan kesempatan kerja di Provinsi Papua, kira-kira 50% dari total dampak tenaga kerja secara nasional. Total dampak kesempatan kerja yang muncul di Provinsi Papua sebagaimana dijabarkan pada Tabel Dampak yang terbesar berasal dari sumber induksi pendapatan, atau belanja pekerja. Proses produksi pertambangan bijih mineral kurang terkait dengan sektorsektor lainnya, sehingga angka multiplier tenaga kerjanya tidak besar. Multiplier angka kesempatan kerja di Provinsi Papua sebesar 4,26, artinya untuk setiap pekerja di PTFI dapat meningkatkan kesempatan kerja sebanyak 4,26 orang. Dekomposisi adalah 1 (satu) orang bekerja di PTFI dan 3,26 orang bekerja di sektor-sektor perekonomian lainnya. 66

83 Tabel 4.22 Perkiraan Dampak Penciptaan Kesempatan Kerja di Papua akibat Kehadiran PTFI (orang) Direct Workers inter- Industrial Indukksi Pendapata n Total Multiplier Aggregat , , , , ,26 Sumber: Simulasi Model, LPEM-FEB UI, 2015 Total kesempatan kerja yang terbaca pada Tabel 4.22, dapat didistribusikan ke sektor-sektor yang menerima dampak penciptaan kesempatan kerja. Sektorsektor dan besarnya kesempatan kerja yang tercipta dicantumkan pada Tabel Jumlah kesempatan kerja terbesar muncul di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (63,42%). Penyebab kesempatan kerja paling banyak muncul di sektor tersebut adalah karena hingga saat ini sektor-sektor yang sudah berkembang di luar sektor pertambangan adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Sejumlah tenaga kerja yang tergolong besar muncul di sektor penopang pereknomian yaitu perdagangan, dan sektor transporasi dan pergudangan. Tabel 4.23 Distribusi Sektoral Penciptaan Kesempatan Kerja di Provinsi Papua sebagai Kontribusi Kehadiran PTFI (orang) No. Sektor Lapangan Usaha % 1 Pertanian, Kehutanan, Perikanan ,42 2 Pertambangan dan Penggalian ,25 3 Industri Pengolahan ,39 4 Pengadaan Listrik dan Gas ,01 5 Pengadaan Air, pengelolaan sampah, limbah ,08 6 Konstruksi ,07 7 Perdagangan, Reparasi Mobil dan Speda Motor ,77 8 Transportasi dan Pergudangan ,80 9 Akomodasi dan Makan-minum ,50 10 Informasi dan Komunikasi ,03 11 Jasa Keuangan dan Asuransi ,10 12 Real estate ,01 13 Jasa Perusahaan ,08 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan ,11 14 Jaminan Sosial Wajib 67

84 15 Jasa Pendidikan ,60 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan sosial ,09 17 Jasa Lainnya ,70 TOTAL ,00 Sumber: Simulasi Model, LPEM-FEB UI, 2015 Bagian B: Analisis Mikroekonomi Pada bagian ini akan dipaparkan pendapatan rumah tangga di Provinsi Papua hasil pengolahan Data Susenas 2014 yang dikumpulkan oleh BPS. Dalam data survei ditemukan variabel pendapatan dan pengeluaran rumah tangga bulanan. Namun peneliti lebih mempercayai validitas variabel pengeluaran ketimbang variabel pendapatan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan. Data dalam variabel pendapatan sangat fluktuatif antar-bulan, dan terkadang kurang masuk akal. Sedangkan data variabel pengeluaran lebih stabil dan lebih dipercaya, oleh karenanya lebih sering digunakan sebagai indikator kesejahtaran rumah tangga. Dalam teori Permanent Consumption pun disebutkan bahwa pengeluaran konsumsi cenderung stabil sedangkan pendapatan tidak stabil atau fluktuatif. Tetapi dalam jangka panjang terjadi keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran konsumsi. Dengan alasan itulah maka analisis kesejahtaraan rumah tangga pun akan didekati oleh pengeluaran rumah tangga. Dari perbandingan pengeluaran per kapita di rumah tangga (Gambar 4.1) pada skala nasional, Provinsi Papua, dan Kabupaten Mimika; diketahui bahwa pengeluaran per kapita di Kabupaten Mimika lebih tinggi daripada skala Provinsi Papua, dan juga nasional. Sedangkan pengeluaran per kapita Provinsi Papua lebih rendah daripada Provinsi Papua Barat. Dibandingkan dengan skala nasional, pengeluaran per kapita Provinsi Papua masih lebih rendah. Tingginya pengeluaran per kapita di Mimika karena kontribusi kehadiran PPTFI di Kabupaten Mimika. 68

85 Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS, 2014 Gambar 4.1 Perbandingan Pengeluaran per Kapita Tahun 2014, Komposisi pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan untuk level nasional adalah 49.35% dan 50.65% (Gambar 4.2). Sedangkan di Tanah Papua (Gabungan Provinsi Papau Barat dan Provinsi Papua) dan juga di provinsi Papua, angka proporsi pengeluaran untuk makanan lebih besar daripada non makanan. Untuk Provinsi Papua proporsi makanan sangat besar yaitu mencapai 60,22%, sedangkan di Kabupaten Mimika mencapai 57,38%. Diduga kuat penyebab tingginya proporsi pengeluaran makanan adalah tingginya harga-harga bahan makanan dan makanan kemasan. Sudah dimaklumi semua bahwa harga-harga barang industri di Papua jauh lebih mahal dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya. Lebih jauh harga-harga bahan makanan dan makana kemasan di Provinsi Papua lebih tinggi daripada di Provinsi Papua Barat membuat beban pengeluaran untuk makanan di Papua lebih tinggi dibandingkan di Papua Barat. Apalagi di daerah pegunungan tengah Provinsi Papua, harga-harga makanan pasti lebih tinggi. Penyebab harga-harga lebih tinggi adalah sebagian besar bahan makanan dan makanan kemasan didatangkan dari luar daerah Papua, terutama Jawa dan Sulawesi. Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS,

86 Gambar 4.2 Komposisi Pengeluaran Menurut jenis Pengeluaran Rata-rata pengeluaran per kapita menurut kelompok pengeluaran rumah tangga disajikan pada Gambar 4.3. Fenomena penting yang perlu dicatat di sini adalah bahwa ketika pengeluaran rumah tangga berada di kisaran 12 juta rupiah ke bawah, maka pengeluaran per kapita di Papua lebih tinggi daripada nasional. Diduga kuat rumah tangga kelompok ini harus membelanjakan uang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pokok, sekunder dan tersier; karena harga-harga lebih tinggi. Sementara itu ketika pengeluaran rumah tangga di atas 12 juta rupiah (golongan ekonomi atas), maka pengeluaran per kapita di Papua lebih rendah daripada pengeluaran level nasional. Untuk kelompok rumah tangga berpengeluaran di atas 12 juta rupiah per bulan, nampaknya mereka menyimpan sebagian dana untuk tindakan non konsumtif. Tindakan tersebut dapat berupa tabungan atau investasi, atau ditransfer ke tempat lain. Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS, 2014 Gambar 4.3 Pengeluaran per Kapita Nasional dan Provinsi Papua menurut Kelompok Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Distribusi rumah tangga menurut pengeluaran per kapita dicantumkan pada Gambar 4.4. Gambar 4.4 dimaksudkan untuk mengetahui pemusatan rumah tangga menurut pengeluarannya. Fenomena penting yang dapat digali dari Gambar 4.4 adalah bahwa proporsi penduduk kelas ekonomi bawah di Papua (pengeluaran rumah tangga kurang dari 1,5 juta rupiah per bulan) adalah lebih besar daripada di skala nasional. Artinya proporsi rumah tangga yang berada pada kelompok pengeluaran ini lebih besar dari skala nasional. Fakta ini mengkonfirmasi bahwa tingkat kemiskinan di Papua memang sangat 70

87 tinggi, sekitar 30% pada tahun Untuk kelompok pengeluaran rumah tangga 1,5 juta rupiah hingga 5 juta rupiah, proporsi rumah tangga di nasional (64%) lebih tinggi daripada di Papua (55%). Hal ini menandakan bahwa dua pertiga rumah tangga nasional berada pada rentang pengeluaran 1,5 juta hingga 5 juta rupiah per bulan. Sedangkan di Papua pada rentang yang sama dihuni oleh 55% rumah tangga. Untuk kelompok pengeluaran 5 juta rupiah ke atas, diketahui bahwa proporsi rumah tangga di Papua dan di Nasional adalah sama. Dari beberapa pemahaman di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketimpangan kesejahteraan lebih tinggi di Papua dibandingkan dengan level nasional. Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS, 2014 Gambar 4.4 Distribusi Rumah Tangga (persen) Menurut kelompok Pengeluaran di Provinsi Papua dan Nasional, Tahun Perbandingan pengeluaran makanan per kapita di skala Nasional dan Papua disajikan pada Gambar 4.5. Pengeluaran per kapita untuk makanan rumah tangga di Tanah Papua lebih besar daripada rata-rata nasional. Terlebih lagi untuk rumah tangga yang berada di Kabupaten Mimika, dimana mereka harus mengeluarkan uang 1,7 kali lipat daripada level pengeluaran rata-rata nasional untuk belanja makanan. Sedangkan di Provinsi Papua secara umum, belanja makanan per kapita sekitar 1,2 lipat dari belanja rata-rata nasional. Disamping disebabkan oleh harga-harga yang lebih tinggi, pengeluaran makanan yang besar diduga kuat karena faktor budaya masyarakat Papua, yaitu etika menjamu tamu dan pesta adat. 71

88 Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS, 2014 Gambar 4.5 Pengeluaran Makanan Per Kapita Provinsi Papua dan Nasional, Tahun 2014 Pengeluaran per kapita bukan makanan adalah total pengeluaran per kapita dikurang pengeluaran per kapita makanan, sebagaimana keduanya sudah disajikan pada bagian sebelumnya. Angka-angka pengeluaran per kapita bukan makanan disajikan pada Gambar 4.6. Pengeluaran bukan makanan meliputi pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi & komunikasi, dan lain-lain. Kita memahami bahwa pengeluatan untuk non makanan, bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah adalah anggaran sisa setelah digunakan untuk makanan. Oleh sebab itu, belanja non makanan rumah tangga di Provinsi Papua, jauh lebih rendah daripada angka rata-rata nasional dan Papua Barat. Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS, 2014 Gambar 4.6 Pengeluaran Bukan Makanan Per Kapita Provinsi Papua, Nasional dan Kabupaten Mimika, Tahun 2014 Akibat tingginya belanja per kapita untuk makanan di Tanah Papua pada 72

89 umumnya, maka dana yang dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan sangat kecil jika dibandingkan dengan angka nasional. Pada Gambar 4.7, tampak bahwa belanja per kapita untuk kesehatan di Provinsi Papua lebih rendah dari nasional atau sekitar 27% dari angka nasional. Belanja yang sangat rendah juga terjadi di Kabupaten Mimika. Sedangkan belanja per kapita kesehatan di Provinsi Papua Barat sudah jauh lebih baik daripada kondisi di Provinsi Papua. Perlu diingatkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kabupaten Mimika dibebaskan dari membayar pelayanan kesehatan, karena biaya ditanggung oleh program CSR PTFI. Sedangkan rendahnya pengeluaran kesehatan di wilayah Papua secara umum diduga disebabkan oleh rendahnya pemanfaatan layanan kesehatan; mungkin karena kesadaran kesehatan masih rendah atau tidak tersedianya fasilitas layanan kesehatan masyarakat. Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS, 2014 Gambar 4.7 Pengeluaran Kesehatan Per Kapita Provinsi Papua, Nasional dan Kabupaten Mimika, Tahun 2014 Pengeluaran per kapita untuk pendidikan disajikan pada Gambar 4.8, yang mana angka-angkanya menunjukkan ketimpangan antara rata-rata nasional dengan kondisi di Tanah Papua. Angka pengeluaran pendidikan secara nasional hampir dua lipat daripada pengeluaran di Provinsi papua. Kemudian belanja pendidikan di Kabupaten Mimika sedikit lebih baik dibanding ratarata belanja pendidikan di Provinsi Papua. Padahal kita mengetahui bahwa sebagian penduduk Mimika menikmati pendidikan gratis, sebagai bagian dari program CSR PTFI dan program Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA). Untuk pengeluaran pendidikan per kapita di wilayah Papua pada umumnya, berada pada level lebih baik dibandingkan di Papua Barat. 73

90 Sumber: Diolah dari Data Susenas, BPS, 2014 Gambar 4.8 Pengeluaran Pendidikan Per Kapita Provinsi Papua, Nasional dan Kabupaten Mimika, Tahun 2014 Dari pembahasan di bagian ini kita dapat menarik pemahaman bahwa: (1) Terjadi ketimpangan dalam pengeluaran makanan dan non makanan per kapita antara Nasional dan Papua. (2) Ketimpangan pengeluaran per kapita antar-rumah tangga di Papua lebih besar daripada skala nasional; (3) Ketimpangan yang tinggi dalam pengeluaran per kapita untuk kesehatan dan pendidikan antara level Nasional dan Papua. Bagian C : Diskusi tentang Ketimpangan Makroekonomi dan Mikroekonomi Diskusi ketimpangan didekati oleh analisis dengan berbasiskan pada model analisis tiga pasar dalam perekonomian (three-sector three-market circular flow) 2. Ketiga pasar tersebut adalah: (1) pasar barang dan jasa, (2) pasar keuangan, dan (3) pasar tenaga kerja. Pada bagian awal disajikan data ketimpangan pendapatan di Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua secara umum dengan membandingkan pendapatan secara makro (PDRB) dan pendapatan secara mikro (Susenas). Pada bagian awal sub-bab ini dijabarkan disparitas pendapatan per kapita dari dua sudut pandang ini yang merupakan pemicu digunakannya analisis dengan berbasiskan model tiga pasar. Pada bagian akhir akan disampaikan Diskusi tentang solusi-soulsi untuk meminimumkan ketimbangan dampak makro dan mikro serta potensi kendala yang dihadapi. 2 THREE-SECTOR, THREE-MARKET CIRCULAR FLOW, AmosWEB Encyclonomic WEB*pedia, AmosWEB LLC, [Accessed: December 15, 2015]. 74

91 C.1. Ketimpangan Makroekonomi dan Mikroekonomi Pasar Barang dan Jasa Bagian ini akan mendeskripsikan bukti-bukti kondisi ketimpangan pendapatan per kapita secara makro dan pendapatan per kapita secara mikro. Bukti ini akan sebagai argumen belum optimalnya pemanfaatan kehadiran PTFI untuk mensejahterakan masyarakat Papua. Adapun pendapatan per kapita secara makro maksudnya adalah pendapatan per kapita yang ditimbulkan oleh kehadiran PTFI yang dihitung dengan model makroekonomi. Sedangkan pendapatan per kapita secara mikro adalah pendapatan yang didekati oleh angka pengeluaran per kapita yang diolah dari data Susenas. PDRB menggambarkan nilai tambah perekonomian secara agregat dari berbagai aktor dalam perekonomian. Agen perekonomian yang dihitung mencakup rumah tangga, perusahaan, serta pemerintah. Di sisi lain, hasil data susenas menggambarkan pengeluaran (proxy dari pendapatan) rumah tangga yang berada di dalam suatu daerah. Pada kondisi ideal, besaran pengeluaran per kapita seharusnya sama antara lingkup makro maupun mikro. Sebab, nilai tambah yang dihasilkan oleh perekonomian sebagian besar menjadi pendapatan bagi rumah tangga di wilayah tersebut. Bagian lain yang tidak menjadi pendapatan bagi rumah tangga akan menjadi surplus usaha, pajak tidak langsung, subsidi. Akan tetapi pada akhirnya bagian yang disebutkan belakangan akan menjadi pendapatan rumah tangga. Tabel 4.24 menjabarkan data makro (PDRB) maupun mikro (susenas). Keduanya dapat digunakan sebagai gambaran pendapatan penduduk di Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika. Untuk Kabupaten Mimika pada tahun 2011, besarnya PDRB adalah Rp. 53,23 Triliun, dengan porsi PDRB yang dihasilkan oleh PTFI sebesar Rp. 45,66 Triliun atau 86% dari total PDRB Mimika. Kabupaten Mimika memiliki jumlah penduduk sebanyak jiwa. Sehingga pendapatan per kapita per tahun dari hasil kontribusi PTFI adalah sebesar Rp. 237,94 juta (Rp.19,83 juta per bulan). Angka pendapatan per bulan tersebut berbeda secara kontras dengan angka sejenis yang dihasilkan dari Susenas. Berdasarkan data Susenas 2011, pendapatan per kapita per bulan di Kabupaten Mimika Rp. 0,86 juta. Sehingga terdapat selisih sekitar Rp. 18,97 juta. Dari perbedaan yang sangat signifikan ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar nilai tambah yang dihasilkan oleh PTFI tidak 75

92 menjadi bagian pendapatan rumah tangga di Kabupaten Mimika. Disparitas angka pendapatan per kapita tersebut tetap berada pada kondisi serupa pada beberapa periode. Sebagai gambaran, pada tahun 2014 kontribusi PDRB dari PTFI di Kabupaten Mimika adalah sebesar Rp. 30,85 triliun (78% dari PDRB Kabupaten Mimika) dengan jumlah penduduk jiwa. Maka besarnya PDRB per kapita adalah sebesar Rp. 155,16 juta (Rp juta per bulan). Sedangkan hasil Susenas 2014 untuk Kabupaten Mimika pendapatan per kapita per bulan adalah sebesar Rp. 1,13 juta. Besarnya selisih adalah sebesar Rp. 11,80 juta. Meskipun besarnya selisih jauh berkurang bila dibandingkan tahun 2011, namun tetap terdapat disparitas yang besar antara pendapatan (PDRB) dari perspektif cakupan makro dengan pendapatan rumah tangga dari sudut pandang mikro. Tabel 4.24 Perbandingan PDRB per Kapita Kontribusi PTFI dan Pengeluaran per Kapita Tahun 2011 dan Satuan Mimika PDRB Total Rp Juta Penduduk Jiwa PDRB hasil Kontribusi PTFI Rp Juta Per Kapita Rp Juta Per Kapita per Bulan Rp Juta Pengeluaran per Kapita per bulan (Susenas) Rp Juta Provinsi Papua PDRB Total Rp Juta Penduduk Jiwa PDRB hasil Kontribusi PTFI Rp Juta Per Kapita Rp Juta Per Kapita per Bulan Rp Juta Pengeluaran per Kapita per bulan Rp Juta (Susenas) Sumber: Diolah dari data PDRB Provinsi Provinsi Papua, dan Pengolahan Data Susenas, BPS, Kondisi ini sedikit berbeda di tingkat Provinsi Papua. Pada tahun 2011, besarnya PDRB kontribusi PTFI adalah sebesar Rp. 48,22 triliun. Dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, maka PDRB kontribusi PTFI per kapita Provinsi Papua adalah sebesar Rp. 16,54 juta per tahun (Rp. 1,38 juta per bulan). Sedangkan berdasarkan data Susenas tahun 2011, pendapatan per kapita untuk provinsi Papua adalah sebesar Rp. 0,54 juta. Terdapat selisih sebesar Rp. 0,84 juta. Selisih tersebut tidak sebesar yang terjadi di Kabupaten Mimika. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa kontribusi PTFI di Provinsi Papua terserap dengan baik oleh seluruh komponen perekonomian di 76

93 Provinsi Papua. Besar kemungkinan, bahwa kecilnya selisih ini dikarenakan banyaknya jumlah penduduk dan beragamnya kegiatan perekonomian di Provinsi Papua apabila dibandingkan dengan kondisi di Kabupaten Mimika. Data untuk tahun 2014 di Provinsi Papua juga tidak jauh berbeda. PDRB kontribusi PTFI adalah sebesar Rp. 39,54 triliun. Dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, maka PDRB kontribusi PTFI per kapita Provinsi Papua adalah sebesar Rp. 12,79 juta per tahun (Rp. 1,07 juta per bulan). Sedangkan berdasarkan data Susenas tahun 2014, pendapatan per kapita untuk provinsi Papua adalah sebesar Rp. 0,78 juta. Terdapat selisih sebesar Rp. 0,29 juta. Besarnya selisih ini sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun Selisih yang ada menggambarkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan tidak berputar dalam perekonomian internal Papua. Jika diuraikan berdasarkan tiga pasar yang menjadi dasar analisis, maka pemicu terjadinya disparitas ini adalah: 1. Pasar Barang: Terdapat impor barang modal maupun barang konsumsi dengan nilai yang cukup besar dari luar wilayah Provinsi Papua maupun Kabupaten Mimika. Besarnya impor barang modal disebabkan tingginya kebutuhan mesin dan alat untuk kegiatan pertambangan. Sedangkan besarnya impor barang konsumsi disebabkan minimnya industri penghasil barang konsumsi tersebut di provinsi Papua. Penjabaran lebih lanjut pada bagian analisis gap pasar barang. 2. Pasar Tenaga Kerja: Sejumlah pekerja di PTFI tidak tinggal dan berasal dari wilaya Provinsi Papua maupun Kabupaten Mimika. Sehingga penghasilan yang didapatkan dari bekerja di lokasi penambangan PTFI akan ditransfer ke luar wilayah Provinsi Papua. Dari sisi perekonomian secara umum, pertumbuhan penduduk di wilayah Provinsi Papua yang tinggi didominasi oleh banyak pendatang dari luar wilayah Provinsi Papua. Penjabaran lebih lanjut pada bagian analisis gap pasar tenaga kerja. 3. Pasar uang: Kepemilikan PTFI oleh pemodal asing juga membuat sebagian besar keuntungan (dividen) beralih kepada pemilik modal yang notabene berada di luar wilayah provinsi Papua. Selain itu, dari sudut pandang umum, besarnya dana yang masuk ke dalam perekonomian wilayah Papua didominasi oleh kegiatan pemerintah (APBN dan APBD), yang pemenuhannya juga menggunakan barang dan jasa dari luar wilayah Provinsi Papua. Terdapat juga faktor minimnya penyaluran kredit di Provinsi Papua. 77

94 C.2. Model Perekonomian Tiga Sektor dan Tiga Pasar Model perekonomian tiga sektor dan tiga pasar yang digunakan sebagai alat analisis ini memberikan penekanan fokus pada peran kunci yang dijalankan oleh pemerintah secara makroekonomi. Hal ini mengingat bahwa sektor administrasi dan pemerintahan masih merupakan kontributor terbesar (setelah PTFI) dalam PDRB Provinsi Papua maupun Kabupaten Mimika. Tiga sektor dalam perekonomian yang dicakup dalam model ini adalah: 1) Sektor rumah tangga: Sektor ini mencakup seluruh penduduk yang mencoba memenuhi kebutuhannya (asumsi kebutuhan tidak terbatas). Sektor ini memainkan peranan penting dalam pengeluaran konsumsi. 2) Sektor bisnis: Sektor ini mencakup seluruh institusi (khususnya perusahaan) yang memainkan peranan sebagai kolaborator berbagai sumber daya yang ada dalam perekonomian untuk memproduksi barang dan jasa. Sektor ini melakukan kegiatan utama produksi. Sektor ini yang memainkan peranan dalam belanja barang modal dalam bentuk pengeluaran investasi. 3) Sektor pemerintah: Sektor ini mencakup pemerintah. Baik itu pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. Sektor ini hadir dalam bentuk regulasi maupun peranan langsung dalam bentuk menarik pajak dan melakukan belanja. Sektor ini yang bertanggungjawab atas pengeluaran pemerintah dalam PDRB. Gambar 4.9 Arus Sirkular (Circular Flow) Model Tiga-Sektor Tiga Pasar 78

95 Selanjutnya ketiga sektor tersebut berinteraksi dalam tiga pasar perekonomian, yaitu: 1) Pasar barang (dan jasa): pasar ini merupakan pertemuan atau kombinasi seluruh pasar pertukaran barang dan jasa final. Pasar ini lah yang bertanggungjawab atas mekanisme penciptaan produk domestik bruto. Pasar ini dapat disebut juga pasar produk agregat, atau juga pasar agregat. 2) Pasar sumber daya (resources). Sektor ini mencakup seluruh interaksi terkait dengan penggunaan sumber daya (faktor produksi) dalam perekonomian. Sumber daya tersebut secara teoretis mencakup tenaga kerja, lahan, modal, dan kapasitas enterpreneurial. Akan tetapi dalam kajian ini pembahasan pasar ini difokuskan pada faktor produksi tenaga kerja. 3) Pasar keuangan (finansial): Secara definitif pasar ini merupakan representasi atas setiap transaksi yang terjadi dalam perekonomian. Atau lebih tepat menunjukkan klaim atas transaksi maupun kepemilikan aset yang ada dalam perekonomian. Pasar ini merupakan platform transaksi yang terjadi dalam perekonomian. C.3. Analisis Gap Pasar Barang dan Jasa Proxy yang digunakan dalam kajian ini untuk melihat gap pasar barang (dan jasa) dalam perekonomian di lingkup Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika adalah data ekspor dan impor ke dan dari luar negeri. Tabel 4.25 menjabarkan neraca ekspor-impor Provinsi Papua. Neraca tersebut mengklasifikasikan kegiatan ekpor-impor ke dalam tiga jenis kelompok komoditas, yaitu (1) barang konsumsi; (2) bahan baku dan penolong; dan (3) barang modal. Tabel 4.25 Neraca Ekspor-Impor Luar Negeri Provinsi Papua Tahun 2014 Kode Deskripsi Ekspor (USD) Impor (USD) Net Balance (USD) Barang-barang konsumsi Makanan dan minuman untuk rumah tangga (primary) Makanan dan minuman untuk rumah tangga (processed) Bahan bakar dan pelumas (processed) Mobil penumpang Alat angkutan bukan untuk industri

96 610 Barang konsumsi tahan lama Barang konsumsi setengah tahan lama Barang konsumsi tak tahan lama Barang yang tak diklasifikasikan Bahan baku dan penolong Makanan dan minuman untuk industri 111 (primary) Makanan dan minuman untuk industri 121 (processed) Bahan baku untuk industri (primary) 1.376, Bahan baku untuk industri (processed) Bahan bakar dan pelumas (primary) Bahan bakar motor Bahan bakar dan pelumas (processed) Suku cadang dan perlengkapan barang 420 modal Suku cadang dan perlengkapan alat angkutan Barang-barang modal Barang modal kecuali alat angkutan Mobil penumpang Alat angkutan untuk industri Jumlah Sumber: Provinsi Papua Dalam Angka 2015, BPS Berdasarkan neraca ekspor-impor barang konsumsi di Tabel 4.25, terlihat bahwa Provinsi Papua mengalami defisit perdagangan barang konsumsi sebesar USD 133,76 juta pada tahun Angka ini tergolong besar dan memberikan gambaran besarnya impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kegiatan konsumsi berada pada sektor rumah tangga. Dengan kata lain, sebagian besar kebutuhan konsumsi rumah tangga di Provinsi Papua dipenuhi dari luar wilayahnya. Nilai impor terbesar adalah bahan bakar dan pelumas (processed), yaitu sebesar USD 144,05 juta. Berlawanan dengan neraca barang konsumsi yang negatif, neraca eksporimpor Provinsi Papua untuk bahan baku dan penolong mencatatkan surplus di tahun Surplus yang dihasilkan adalah sebesar USD 799,07 juta. Kontributor terbesar surplus kelompok komditas ini adalah ekspor bahan baku untuk industri (primary). Dapat disimpulkan bahwa komoditas yang dimaksud adalah ekspor konsentrat tembaga yang dilakukan oleh PTFI. Meskipun demikian, patut disayangkan karena besarnya surplus tersebut dihasilkan oleh ekspor barang mentah. Apabila terdapat proses pengolahan lebih lanjut tentunya akan lebih besar nilai surplus yang tercipta. Kelompok komoditas ekspor-impor yang terakhir adalah barang-barang modal. Secara agregat kelompok komoditas ini mencatatkan net-impor atau defisit sebesar USD 150,11 juta di tahun Impor terbesar adalah komoditas barang modal kecuali angkutan sebesar USD 122,36 juta. Secara 80

97 umum dapat disimpulkan juga bahwa besarnya nilai impor komoditas ini karena barang modal yang digunakan PTFI sebagian besar masih bersumber dari luar negeri. Khususnya untuk alat dan mesin yang digunakan di area penambangan. Tabel 4.26 menjabarkan persentase impor terhadap total transaksi yang terjadi di dalam perekonomian Provinsi Papua tahun Data bersumber dari tabel I-O Provinsi Papua tahun 2010, mengingat hanya tersedia tabel I-O Provinsi Papua di tahun tersebut. Sehingga data ini tidak bisa secara langsung dibandingkan dengan Tabel 4.25 yang menjabarkan kegiatan impor-ekspor Provinsi Papua ke luar negeri. Data yang disajikan merupakan selisih antara transaksi total dan transaksi domestik yang terjadi di Provinsi Papua. Data ini sedikit lebih tajam bila dibandingkan dengan Tabel Pada Tabel 4.25., data yang disajikan hanya menangkap kegiatan perdagangan dengan negara lain. Sedangkan tabel menangkap seluruh kegiatan pedagangan baik dengan negara lain maupun daerah lain di dalam negeri. Kolom transaksi bahan baku (180) menggambarkan kebutuhan bahan baku yang perlu diimpor dari luar wilayah Provinsi Papua. Kolom transaksi rumah tangga (301) ekuivalen dengan sub-bagian barang-barang konsumsi pada tabel Begitu juga dengan kolom investasi (303) yang ekuivalen dengan sub-bagian barang modal dan investasi dalam Tabel Sedangkan transaki total menangkap gambaran umum prosentase impor dalam masing-masing sektor di dalam perekonomian Provinsi Papua. Tabel 4.26 Persentase Impor Sektoral dari Total Transaksi di Provinsi Papua Tahun 2010 Sektor Bahan Baku (1800) Rumah Tangga (301) Investasi (303) Transaksi Total (309) (% (%) (%) (%) 1 Padi 1,56 0,00 0,00 0,13 2 Jagung 15,26 15,26 0,00 15,15 3 Ubi Jalar 0,00 0,00 0,00 0,00 4 Umbi-Umbian Lainnya 0,44 0,44 0,00 0,44 5 Kacang-Kacangan Dan Serelia 18,43 18,43 0,00 18,19 6 Sayur-Sayuran 6,02 6,01 0,00 5,59 7 Buah-Buahan 46,64 46,64 0,00 46.,53 8 Karet 1,12 0,00 0,00 0,29 9 Kelapa Sawit 2,16 0,00 0,00 0,34 10 Kelapa 6,93 6,89 0,00 6,55 11 Kopi 0,26 0,00 0,00 0,03 12 Kakao 1,20 0,00 0,00 0,01 13 Pinang 8,00 6,94 0,00 6,94 14 Tanaman Perkebunan Lainnya 95,20 0,00 0,00 3,36 15 Sagu 94,68 94,70 0,00 94,69 81

98 Sektor Bahan Baku (1800) Rumah Tangga (301) Investasi (303) Transaksi Total (309) (% (%) (%) (%) 16 Ternak Besar 9,62 9,64 0,00 0,36 17 Ternak Kecil Lainnya 85,78 85,78 0,00 85,39 18 Babi 0,01 0,01 0,00 0,01 19 Unggas Dan Hasil-Hasilnya 0,27 0,27 0,00 0,23 20 Jasa Pertanian Dan Perburuan 6,18 6,19 0,00 6,18 21 Kayu 0,68 0,00 0,00 0,00 22 Hasil Hutan Lainnya 0,04 0,00 0,00 0,00 23 Ikan Laut 0,00 0,00 0,00 0,00 24 Hasil Perikanan Laut Lainnya 4,03 4,03 0,00 3,64 25 Perikanan Darat 0,04 0,04 0,00 0,04 26 Bijih Tembaga 0,00 0,00 0,00 0,00 27 Bijih Logam Mulia 0,00 0,00 0,00 0,00 28 Barang Pertambangan Dan Penggalian Lainnya 1,68 0,00 0,00 0,00 29 Industri Pengolahan, Pengawetan 73,23 73,23 73,23 71,88 Produk Daging dan Unggas 30 Industri Tempe Kedelai 96,13 96,13 96,14 92,55 31 Industri Penggilingan Pengupasan Dan 80,00 80,00 80,01 57,54 Pembersihan Padi-Padian Dan Biji-Bijian 32 Industri Penggilingan Beras Dan Jagung 54,69 54,69 54,71 52,90 Dan Industri Tepung Beras Dan Jagung 33 Industri Produk Roti Dan Kue 90,14 90,14 0,00 90,14 34 Industri Gula 99,61 99,61 99,61 99,61 35 Industri Kue Basah 56,19 56,15 0.,00 56,15 36 Industri Makanan Dari Kedele Dan 99,72 99,72 99,72 99,69 Kacang-Kacangan Lainnya Bukan Kecap Tempe Dan Tahu 37 Kerupuk Keripik Peyek 87,88 87,88 87,50 74,92 38 Industri Makanan Lainnya 88,72 88,72 88,43 88,71 39 Air Minum Dan Mineral 41,08 41,08 0,00 40,79 40 Minum Lainnya 98,95 98,95 98,95 98,81 41 Tekstil Dan Pakaian Jadi 97,34 97,34 97,34 95,95 42 Kulit, Barang Dari Kulit Dan Alas Kaki 99,25 99,25 99,24 99,20 43 Kayu Olahan, Barang Dari Kayu, Gabus, Barang Anyaman Dari Bambu, Rotan, Dan Sejenisnya 85, ,03 26,70 44 Barang Kimia, Farmasi, Dan Obat 99,94 99,94 99,94 99,93 Tradisional, Bbm 45 Furniture 98,27 98,27 98,27 90,27 46 Kertas, Barang Dari Kertas, Barang 95,81 95,81 95,81 94,74 Percetakan, Dan Reproduksi Media Rekaman 47 Karet, Barang Dari Karet, Dan Plastik 98,86 98,86 98,86 98,84 48 Barang Galian Bukan Logam 91,42 0,00 0,00 91,39 49 Barang Dari Logam, Komputer, Barang 98,04 98,04 98,04 97,99 Elektronik, Optik Dan Peralatan Listrik 50 Alat Angkutan 98,72 98,72 0,00 98,23 51 Barang Industri Pengolahan Lainnya, 99,35 99,35 99,35 94,48 Jasa Reparasi, Dan Pemasangan Mesin Dan Peralatan 52 Ketenagalistrikan 75,17 75,17 75,17 75,17 53 Pengadaan Air, Pengolahan Sampah 81,53 81,52 81,52 81,52 Dan Daur Ulang 54 Hasil Gas Alam Dan Buatan, Pengadaan 95,45 0,00 95,43 95,38 Uap Air/Air Panas, Udara Dingin Dan Produk Es 55 Konstruksi 0,00 0,00 0,00 0,00 56 Perdagangan Mobil, Sepeda Motor, 0,00 0,00 0,00 0,00 82

99 Sektor Bahan Baku (1800) Rumah Tangga (301) Investasi (303) Transaksi Total (309) (% (%) (%) (%) Dan Reparasinya 57 Perdagangan Besar Dan Eceran 0,00 0,00 0,,00 0,00 58 Jasa Angkutan Darat Jalan Raya 46,69 46,69 46,69 35,51 59 Jasa Angkutan Laut Untuk Penumpang 68,01 68,01 68, Jasa Angkutan Laut Untuk Barang 4,09 4,09 4.,09 3,95 61 Jasa Angkutan Sungai Danau Dan 88,18 88,18 88,18 80,54 Penyeberangan Untuk Penumpang 62 Jasa Angkutan Sungai Danau Dan 0,00 0,00 0,,00 0,00 Penyeberangan Untuk Barang 63 Jasa Angkutan Udara Untuk 34,79 34,79 34,79 32,34 Penumpang 64 Jasa Angkutan Udara Untuk Barang 47,88 47,86 47,86 46,90 65 Jasa Penunjang Angkutan 59,18 59,18 59,18 50,19 66 Penyediaan Akomodasi 91,46 91,46 91,,46 90,18 67 Penyediaan Makan Dan Minum 92,95 92,95 92,95 82,66 68 Jasa Informasi Dan Komunikasi 13,17 13,17 13,17 12,20 69 Jasa Keuangan Perbankan 0,00 0,00 0,00 0,00 70 Jasa Keuangan Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00 71 Jasa Asuransi Dan Dana Pensiun 97,46 97,46 9,46 96,52 72 Jasa Penunjang Keuangan 99,55 99,55 99,55 99,44 73 Jasa Real Estate 0,00 0,00 0,00 0,00 74 Jasa Hukum Dan Akuntansi 0,00 0,00 0,,00 0,00 75 Jasa Ahli, Teknis Dan Jasa Bisnis Lainnya 67,25 67,25 67,24 67,24 76 Jasa Persewaan 0,00 0,00 0,00 0,00 77 Jasa Pendukung 0,00 0,00 0,00 0,00 78 Pemerintahan Umum 0,00 0,00 0,00 0,00 79 Jasa Pendidikan Pemerintah 0,00 0,00 0,00 0,00 80 Jasa Pendidikan Swasta 0, ,00 0,00 81 Jasa Kesehatan Dan Kegiatan Sosial 0,00 0,00 0,00 0,00 Pemerintah 82 Jasa Kesehatan Swasta 12,31 12,31 12,31 12,31 83 Kesenian, Hiburan Dan Rekreasi 92,15 92,15 92,15 91,83 84 Jasa Lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00 TOTAL IMPOR TERHADAP TRANSAKSI 41,89 54,29 39,56 28,85 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Papua 2010 Tabel 4.26 menunjukkan bahwa sangat banyak kebutuhan barang yang harus diimpor dari luar wilayah Provinsi Papua untuk memenuhi kebutuhan lokal. Lebih dari separuh total 84 sektor di Provinsi Papua memenuhi kebutuhannya dengan tingkat impor di atas 50%. Bahkan terdapat cukup banyak sektor dengan tingkat impor di atas 90%. Hal ini semakin mempertegas gap yang terjadi dalam perekonomian Provinsi Papua. Yaitu minimnya kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, bahan baku, dan investasi kegiatan perekonomian lokal. Secara total, transaksi bahan baku memenuhi kebutuhannya sebesar 41,89% dari impor. Sedangkan untuk konsumsi rumah tangga dan barang investasi masing-masing memenuhi kebutuhannya 54,29% dan 39,56% dari impor. Secara total, Provinsi Papua memenuhi kebutuhan perekomomian lokalnya melalui impor sebesar 28,85%. 83

100 Tabel 4.27 menjabarkan ringkasan permasalahan pemicu gap pada pasar barang yang terjadi di Papua. Secara umum, memang total neraca perdagangan di Provinsi Papua mencatatkan nilai positif (surplus) namun terdapat berbagai permasalahan di masing-masing kelompok barang yang perlu dioptimalkan agar tidak terus berlanjut. Bagian diskusi akan mengaitkan permasalahan-permasalahn ini dengan analisis gap di dua pasar lainnya. Dengan demikian, bisa didapatkan kesimpulan utuh untuk menyusun rekomendasi yang bisa dimainkan oleh setiap sektor untuk memperbaiki kondisi ini. Tabel 4.27 Ringkasan Permasalahan (Gap) Pasar Barang dan Jasa di Provinsi Papua Kelompok Barang Neraca Perdagangan Permasalahan Barang-barang konsumsi Net impor (defisit) Defisit didominasi impor bahan bakar Bahan baku dan Net ekspor (surplus) Surplus, namun penolong didominasi ekspor barang mentah Barang-barang modal Net impor (defisit) Defisit, didominasi impor barang modal nonangkutan C.4. Analisis Gap Pasar Faktor Produksi (Tenaga Kerja) Fokus analisis gap dalam faktor produksi ditekankan pada tenaga kerja. Meskipun gap dalam pasar tenaga kerja di Provinsi Papua tentunya sangat berkaitan erat dengan faktor produksi lainnya. Sebagai contoh, peluang bisnis yang ada harus dapat ditangkap dengan baik oleh penduduk lokal Provinsi Papua. Kemampuan menangkap peluang, atau disebut juga enterpreunership (kewirausahaan) juga merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Faktor ini menentukan optimalisasi peluang yang tercipta dalam perekonomian di Provinsi Papua. Apabila masyarakat lokal tidak dapat mengisinya, tentunya kekosongan tersebut mengundang pendatang dari luar wilayah. Pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua terbilang tinggi pada periode dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9% per tahun. Meskipun pertumbuhan per tahun sangat fluktuatif dengan lonjakan terbesar terjadi pada tahun dengan pertumbuhan sebesar 35%. Sebagaimana 84

101 pertumbuhan penduduk pada umumnya, tentunya pertumbuhan ini tidak murni dipengaruhi angka kelahiran semata. Namun juga mencakup tingkat migrasi. Migrasi disebabkan adanya daya tarik sehingga mendatangkan para migran dari daerah lain. Khususnya daya tarik dalam bentuk peluang ekonomi. Baik itu peluang tersedianya lapangan kerja maupun peuang berbisnis/berwiraswasta. Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Gambar 4.9 Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Papua Tabel 4.28 menjabarkan beberapa indikator ketenagakerjaan Provinsi Papua yang dibandingkan dengan padanannya di tingkat nasional di tahun Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di provinsi Papua terbilang rendah bila dibandingkan dengan TPT di tingkat nasional, yaitu 3,44% berbanding dengan 5,94%. Tabel 4.28 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Papua dan Nasional Tahun 2014 Indikator Unit Papua Nasional Penduduk Usia Kerja Jiwa Angkatan Kerja Jiwa Pengangguran Terbuka Jiwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) % 78,67 66,6 Tingkat Pengangguran Terbuka % 3,44 5,94 Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Meskipun tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Papua tergolong rendah bila dibandingkan nasional, namun distribusi tenaga kerja banyak terkonsentrasi pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan 85

102 perikanan. Dengan kata lain, tenaga kerja di Provinsi Papua masih terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan perekonomian yang bersifat ekstraktif (Tabel 4.29). Sementara sektor-sektor dengan tingkat keterampilah tinggi seperti pertambangan dan penggalian serta industri pengolahan hanya menyerap 2,25% dan 4,41% dari total tenaga kerja. Tabel 4.30 secara komprehensif dapat menjelaskan konsentrasi distribusi tenaga kerja di sektor-sektor yang bersifat ekstraktif di Provinsi Papua. Tingkat pendidikan angkatan kerja menunjukkan bahwa mayoritas (rata-rata : 37%) angkatan kerja di Provinsi Papua belum pernah mengenyam bangku pendidikan. Padahal, seiring dengan kehadiran PTFI di Provinsi Papua mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Provinsi Papua. Tabel 4.29 Distribusi Tenaga Kerja di Provinsi Papua Tahun 2014 Distribus Sektor i (persen) Pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan 45,28 Pertambangan dan penggalian 2,25 Industri pengolahan 4,41 Listrik, gas, dan air minum 0,46 Konstruksi 5,25 Perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi 16,41 Angkutan, penggudangan, dan komunikasi 5,82 Lembaga keuangan, real estat, usaha persewaan, dan jasa perusahaan 2,47 Jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan 17,65 Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Pertumbuhan ini tentunya membawa tuntutan perkembangan perekonomian, termasuk perkembangan kualitas sumber daya manusia (angkatan kerja) untuk mengisi kebutuhan yang datang. Sehingga ketika angkatan kerja lokal Provinsi Papua tidak dapat mengisinya kekosongan tersebut akan mengundang pendatang yang berasal dari daerah lainnya. Tabel 4.30 Angkatan Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan Provinsi Papua Tahun Indikator Satuan Belum Pernah Sekolah % 37,7 38,3 38,3 36,1 86

103 Belum Tamat SD % 8,5 9,0 9,1 9,1 SD % 14,9 16,0 15,8 17,7 SMP % 13,0 11,4 11,3 13,4 SMK % 5,4 5,1 4,7 4,2 SMA (Umum) % 13,7 13,7 13,9 13,5 Akademi (Diploma I/II/III) % 2,4 1,9 1,7 1,7 Universitas % 4,5 4,6 5,1 4,4 Catatan: Data terakhir adalah angka bulan Agustus 2014 Sumber: Simreg Bappenas, 2015 Penjabaran data kependudukan, ketenagakerjaan dan pendidikan pada bagian ini tentunya sudah dapat memberikan gambaran umum permasalahan (gap) yang terjadi dalam pasar tenaga kerja di Provinsi Papua. Kehadiran perusahaan (aktor bisnis) sebesar PTFI di Provinsi Papua menarik perekonomian untuk tumbuh lebih cepat. Pertumbuhan tersebut menuntut perkembangan kualitas perekonomian, termasuk kualitas SDM yang ada di wilayah Papua. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa angkatan kerja di Provinsi Papua masih didominasi dengan angkatan kerja berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan. Hal ini tentunya menentukan keterampilah yang dimiliki untuk dapat mengisi peranan-peranan baru yang bermunculan seiring bertumbuhnya perekonomian. Di sisi lain, hasil wawancara tim dengan dinas perindustrian di wilayah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika memberikan gambaran bahwa faktor pendidikan hanyalah satu persoalan 3. Terdapat juga persoalan kapasitas wirausaha lokal yang sulit untuk diajak berkembang. Mayoritas wirausaha yang merupakan penduduk asli Papua merupakan wirausaha yang berorientasi pada proyek-proyek pemerintah. Bukan berorientasi kepada peluang ekonomi yang tumbuh dari perkembangan perekonomian secara murni. Pemerintah daerah Provinsi Papua maupun Kabupaten Mimika sebagai salah satu aktor telah mengadakan berbagai upaya pelatihan maupun pendampingan dan pemberian modal usaha. Namun secara umum hasil yang didapatkan masih sangat jauh dari harapan. Sayangnya tidak terdapat data spesifik yang mendukung pendapat hasil wawancara ini. Tabel 4.31 Ringkasan Permasalahan (Gap) Pasar Tenaga Kerja di Provinsi Papua 3 Wawancara dengan dinas perindustrian dan perdagangan Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika, November

104 Ruang Lingkup Ketenagakerjaan Kewirausahaan Permasalahan Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilah (skill) angkatan kerja di wilayah Provinsi Papua Rendahnya jiwa kewirausahaan penduduk asli Papua Tabel 4.31 menyajikan kesimpulan umum permasalahan (gap) yang dihadapi pada pasar tenaga kerja di wilayah Provinsi Papua, dimana di dalamnya terdapat Kabupaten Mimika. Sehingga persoalan umum yang disajikan dalam konteks Provinsi Papua pada bagian ini tentunya memberikan gambaran serupa atas kondisi yang terjadi di Kabupaten Mimika. Sebagaimana telah disebutkan, permasalahan dalam ruang lingkup faktor produksi tenaga kerja adalah rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilah yang dimiliki angkatan kerja lokal. Seiring dengan hal tersebut, dari sudut pandang faktor produksi kewirausahaan, penduduk lokal disimpulkan masih sulit untuk dapat memanfaatkan peluang ekonomi yang tersedia untuk menjadi bisnis yang riil dan di kemudian hari bisa membuka lapangan pekerjaan. C.5. Analisis Gap Pasar Uang Perekonomian modern ditandai dengan tingginya kegiatan intermediasi dalam sistem dengan berpusat pada kegiatan perbankan. Pada bagian awal perlu diberikan gambaran umum perkembangan pasar uang (perbankan) di Provinsi Papua. Kemudian selanjutnya analisis permasalahan (gap) dalam pasar uang di Provinsi Papua akan difokuskan pada tiga indikator, yaitu (1) Loan to Deposit Ratio; (2) Penyaluran Kredit berdasarkan Penggunaan; dan (3) Besaran transfer masuk dan keluar dari Provinsi Papua. 88

105 Sumber: Bank Indonesia, 2015 Gambar 4.10 Perkembangan Aset dan Dana Pihak Ketiga di Provinsi Papua Tahun Dari sisi aset, perbankan di Provinsi Papua terus mengalami pertumbuhan aset pada periode Pada kuartal IV tahun 2012, total aset perbankan di Provinsi Papua sebesar Rp. 34,24 triliun dan menjadi Rp. 55,18 triliun pada kuartal III tahun 2015 (Gambar 4.10). Dengan kata lain, total aset perbankan di Provinsi Papua mengalami pertumbuhan sebesar 37,95% dalam periode tersebut. Meskipun demikian, di periode tersebut perbankan Papua sempat mengalami pertumbuhan aset negatif, seperti yang terjadi pada kuartal IV tahun 2013 (-9,3%) dan kuartal IV tahun 2014 (-18%). Data pertumbuhan yang disajikan dalam bagian ini adalah pertumbuhan QoQ, yaitu kuartal ke kuartal. Dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun oleh perbankan di Papua juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada periode Q menuju Q Pada periode tersebut, DPK di provinsi Papua tumbuh dari Rp. 26,93 triliun menjadi Rp. 39,02 triliun (Gambar 4.10). Dengan kata lain terjadi pertumbuhan DPK sebesar 30,98% di periode tersebut. Spread suku bunga adalah selisih antara bunga simpanan yang ditawarkan bank kepada deposan dengan bunga pinjaman yang ditawarkan kepada debitur. Selisih ini menggambarkan tingkat efisiensi fungsi intermediasi bank dalam suatu perekonomian. Sehingga semakin lebar spread yang ada di suatu daerah menunjukkan bahwa fungsi perbankan dalam perekonomian daerah tersebut inefisien. Bila dibandingkan dengan spread suku bunga di tingkat 89

106 nasional, perbankan Provinsi Papua memiliki tingkat spread yang lebih besar (Gambar 4.11). Hal ini berarti perbankan secara rata-rata nasional masih lebih efisien apabila dibandingkan dengan perbankan di Provinsi Papua dalam menjalankan fungsi intermediasi di dalam perekonomian. Sumber: Bank Indonesia, 2015 Gambar 4.11 Spread Suku Bunga Tertimbang Provinsi Papua dan Nasional Tahun Efisiensi yang masuk ke dalam penyebab spread ini juga mencakup kapasitas membayar mayoritas debitur yang ada di Provinsi Papua. Sebab, tingginya suku bunga pinjaman di suatu wilayah mempertimbangkan tingkat risiko historis yang dimiliki wilayah tersebut. Tingkat risiko yang semakin besar dikompensasi oleh bank dengan menetapkan tingkat bunga yang lebih tinggi. Sehingga dari tingginya tingkat suku bunga pinjaman dapat dikatakan bahwa wilayah Provinsi Papua memiliki tingkat risiko kredit yang di atas ratarata wilayah lain. Begitu juga dengan mekanisme bunga simpanan. Bank akan menawarkan tingkat bunga simpanan yang lebih tinggi disebabkan oleh beberapa hal. Dalam konteks kewilayahan, bank akan memberikan tingkat bunga simpanan 90

107 yang lebih tinggi apabila tingkat DPK yang berhasil dihimpun tergolong rendah. Sebaliknya, jika besaran DPK yang didapatkan atau yang berada di bank cukup tinggi, maka tingkat bunga simpanan yang ditawarkan akan semakin rendah. Melihat fakta bahwa tingkat bunga simpanan di Provinsi Papua yang tergolong rendah dibandingkan nasional, berarti dapat dikatakan bahwa tingkat DPK yang dimiliki bank di Provinsi Papua masih tergolong tinggi. Dengan kata lain, perbankan di Provinsi Papua tidak kesulitan dalam menghimpun dana. Penyaluran kredit di Provinsi Papua masih didominasi oleh kegiatan konsumsi. Hal ini terlihat dari data penyaluran kredit di Provinsi Papua tahun , dimana kredit konsumsi berkisar 45% dari total kredit yang disalurkan (Gambar 4.12). Di satu sisi hal ini bisa dikatakan baik karena menunjukkan daya beli masyarakat yang tetap terjaga. Akan tetapi, bila menimbang dampak jangka panjang, kredit untuk tujuan investasi lah yang akan memberikan dampak lebih besar kepada perekonomian. Sumber: Bank Indonesia, 2015 Gambar 4.12 Distribusi Penyaluran Kredit Perbankan di Provinsi Papua Tahun Non-Performing Loan Ratio (NPL Ratio) adalah rasio nilai pinjaman yang tidak memiliki performa baik dibandingkan dengan seluruh nilai pinjaman yang disalurkan. Sedangkan Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio nilai pinjaman yang disalurkan dibandingkan total Dana Pihak Ketiga yang dihimpun dari wilayah yang sama. Perbankan di Provinsi Papua memiliki tingkat NPL dan LDR yang lebih buruk dari tingkat nasional (Bank Indonesia, 91

108 2015). NPL di Papua secara umum lebih tinggi dari NPL di tingkat nasional (Gambar 4.13). LDR di Provinsi Papua lebih rendah dibandingkan dengan LDR di tingkat nasional (Bank Indonesia, 2015). Sumber: Bank Indonesia 2015 Gambar 4.13 Perkembangan NPL dan LDR di Provinsi Papua tahun 2015 NPL dan LDR memiliki perilaku tidak langsung yang berkorelasi negatif. Semakin tinggi NPL di suatu wilayah akan membuat bank semakin selektif dalam menyalurkan kredit, sehingga berpotensi membuat penyaluran kredit (LDR) semakin rendah. Berdasarkan kondisi LDR dan NPL di Provinsi Papua, dapat dikatakan bahwa LDR di Provinsi Papua cenderung rendah karena tingginya tingkat NPL di wilayah tersebut. Argumen ini juga diperkuat dari hasil wawancara tim dengan kantor regional Bank Indonesia di Provinsi Papua 4. LDR di Provinsi Papua cenderung rendah disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) Rendah kualitas debitur maupun kualitas proposal pinjaman dan (2) tingginya NPL di wilayah Provinsi Papua. Penyebab yang pertama sejalan dengan analisis gap kewirausahaan pada bagian analisis pasar faktor produksi. Kualitas wirausaha (entrepreuner) di Provinsi Papua masih belum cukup baik. Sehingga pemanfaatan dana yang terhimpun di bank untuk disalurkan kembali ke wilayah Provinsi Papua kurang optimal. Hal ini pada gilirannya dapat mendorong bank untuk menyalurkan DPK yang didapatkan dari Provinsi Papua ke wilayah lainnya. Sehingga 4 Wawancara tim dengan Kantor Regional Bank Indonesia di Provinsi Papua, 5 November

109 mendorong tingginya transfer ke luar wilayah Provinsi Papua. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendampingan kembali agar wirausaha yang berada di wilayah Provinsi Papua bisa mengoptimalkan wadah perbankan untuk mengembangkan usahanya. Tabel 4.33 menjabarkan dua permasalahan (gap) utama yang terjadi di dalam pasar uang di wilayah Provinsi Papua. Pertama adalah persoalan penyaluran kredit yang tidak optimal karena rendahnya permintaan kredit yang layak dipenuhi. Hal ini pada gilirannya mendorong tingginya penyaluran DPK dari wilayah Provinsi Papua ke wilayah lain. Persoalan kedua adalah tingginya tingkat suku bunga kredit. Salah satu penyebab utamanya adalah tingginya tingkat NPL di wilayah Provinsi Papua. Tabel 4.32 Analisis Permasalahan (Gap) Pasar Uang di Provinsi Papua Ruang Lingkup Indikator Permasalahan Penyaluran Kredit Tingkat Bunga Tinggi Suku Kredit LDR rendah -NPL tinggi - Suku bunga kredit tinggi - Buruknya kualitas proposal dan kredit calon debitur - Rendahnya kualitas kredit historis di wilayah Papua C.6. Diskusi dan Pembahasan Kunci optimalisasi manfaat kehadiran PTFI di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, tidak akan terlepas dari kapasitas perekonomian lokal untuk menangkap berbagai peluang yang ikut tumbuh dari kegiatan pertambangan. Ukuran perekonomian (PDRB) yang terus bertumbuh akan menghadirkan banyak tuntutan baru. Ketika tuntutan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat lokal Papua, maka akan ditangkap oleh berbagai pihak (bisnis maupun rumah tangga) yang berada di luar wilayah Papua. Tiga analisis pasar yang telah dijabarkan menunjukkan bahwa terdapat banyak permasalahan (gap) dalam kapasitas penduduk lokal Papua mengelola pertumbuhan dan dinamika perekonomian di wilayahnya. Akibatnya adalah datangnya banyak pendatang dari luar wilayah. Tabel 4.34 menampilkan kompilasi berbagai persoalan (gap) di masingmasing pasar yang telah dijabarkan sebelumnya. Bagian pertama adalah pasar barang. Pasar ini disinyalir memiliki tiga gap mendasar di masingmasing kelompok barang. Permasalahan di pasar barang-barang konsumsi 93

110 adalah tingginya impor. Solusi yang dapat ditawarkan adalah perlunya investasi dan pengembangan sentra produksi kebutuhan barang konsumsi, termasuk barang-barang pangan. Sementara besarnya impor untuk bahan bakar tidak dapat diselesaikan sendiri dalam lingkup Papua karena harus melibatkan pengambilan keputusan di tingkat nasional dan berkaitan dengan ketersediaan cadangan bahan bakar yang tidak terdapat di bumi Papua. Permasalahan terkait dominasi ekspor barang mentah dalam kelompok bahan baku dan penolong bisa diatasi dengan percepatan realisasi pembangunan kawasan industri berbasis mineral di Papua (hilirisasi mineral). Kajian terkait rencana besar ini berjalan secara paralel dengan dilaksanakannya studi ini. Sedangkan defisit neraca perdagangan untuk kelompok barang-barang modal dapat diatasi dengan mengundang produsen/pabrik penghasil barang modal yang berada di luar Papua untuk memindahkan sentra produksinya ke Provinsi Papua. Pada pasar faktor produksi, khususnya yang berkaitan dengan sumber daya manusia, yaitu tenaga kerja dan kewirausahaan, tidak bisa dipungkiri pendidikan memainkan peranan sentral. Rendahnya kualitas angkatan kerja lokal Provinsi Papua dan minimnya jiwa kewirausahaan hanya bisa diatasi dengan investasi pada ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia melalui pendidikan. Terkait persoalan keterampilan, pendidikan di Provinsi Papua perlu didorong untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi baik untuk pendidikan umum maupun kejuruan. Intensifikasi perlu dilakukan untuk optimalisasi para peserta didik yang tengah melangsungkan proses pendidikan. Sedangkan ekstensifikasi perlu dilakukan untuk menekan tingginya angka putus sekolah maupun angkatan kerja yang tidak mendapat pendidikan. Di samping itu, kurikulum yang ada dalam pendidikan pun perlu mengakomodir semangat kewirausahaan mengingat hal ini menjadi salah satu persoalan penting. Penduduk lokal Papua harus didorong untuk bisa hadir dan mengoptimalkan peluang yang ada di daerahnya dengan tumbuh sebagai seorang wirausaha. 94

111 Tabel 4.33 Indikator Perbankan Provinsi Papua Tahun Provinsi Papua (Dalam Rp Miliar, Kecuali Disebutkan Berbeda) III IV I II III IV I II III IV I II III Total Asset DPK Giro , Tabungan Deposito Penyaluran Kredit oleh Kantor Bank di Papua Lokasi Proyek di Prov. Papua Lokasi Proyek Luar Prov. Papua Penyaluran Kredit di Provinsi Papua Oleh Kantor Bank di Prov. Papua Oleh Kantor Bank Luar Prov. Papua Kredit Penggunaan Modal Kerja Investasi Konsumsi Non Performing Loan ,004 1,288 NPL Ratio (%) 1,38 1,25 1,56 1,82 1,91 1,75 2,00 3,11 3,24 3.,91 4,44 4,74 6,01 LDR (%) 48,67 53,28 57,29 56,30 56,49 60,57 62,71 58,88 54,95 59,55 61,46 59,04 54,95 Suku Bunga Simpanan Tertimbang (% per tahun) Kantor Bank di Provinsi Papua 2,21 2,38 2,22 2,23 2,41 2,76 3,03 2,99 3,19 3,03 3,37 3,30 4 Nasional 3,33 3,35 3,24 3,36 3,67 4,11 4,42 4,59 4,78 4,75 4,77 4,46 4 Suku Bunga Kredit Tertimbang (% per tahun) Kantor Bank di Provinsi Papua 12,97 12,82 12,74 12,61 12,60 12,61 12,60 12,70 12,75 12,74 12,73 12,80 13 Nasional 11,03 10,94 10,83 10,76 10,83 10,99 11,22 11,42 11,52 11,58 11,53 11,54 11 Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement Outflow Inflow Net (Outflow-Inflow) Intra-Papua Sumber: Bank Indonesia,

112 Pasar uang pun memiliki akar permasalahan yang sejalan dengan pasar sebelumnya, khususnya pasar kewirausahaan. Rendahnya kelayakan penduduk lokal yang menjadi wirausaha untuk memanfaatkan akses ke sistem perbankan menjadi salah satu penyebab sulitnya penyaluran kredit di wilayah Provinsi Papua. Sehingga diperlukan banyak peningkatan kapasitas wirausahawan lokal dalam menjalankan usaha yang dilakukannya. Disarankan agar program-program pelatihan dan pendampingan kewirausahaan yang selama ini telah ada terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Tabel 4.34 Kompilasi Gap dalam Tiga Pasar di Provinsi Papua beserta Rekomendasi yang Ditawarkan Pasar Ruang Lingkup Permasalahan Rekomendasi 1. Pasar Barang a. Barang-barang konsumsi 2. Pasar Faktor Produksi (Tenaga Kerja dan Kewirausahaan) 3. Pasar Uang (finansial) b. Bahan baku dan penolong c. Barang-barang modal Neraca perdagangan defisit, didominasi impor bahan bakar Neraca perdagangan surplus, namun didominasi ekspor barang mentah (hasil tambang) Neraca perdagangan defisit, didominasi impor barang modal non-angkutan a. Ketenagakerjaan Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilah (skill) angkatan kerja di wilayah Provinsi Papua b. Kewirausahaan Rendahnya jiwa kewirausahaan penduduk asli Papua a. Penyaluran Kredit Buruknya kualitas proposal dan kredit calon debitur b. Tingkat Suku Bunga Kredit Tinggi Rendahnya kualitas kredit historis di wilayah Papua Perlunya investasi pabrik ataupun peternakan/pertanian untuk kebutuhan barang-barang konsumsi Perlunya hilirisasi komoditas hasil pertambangan Perlunya mendorong vendor/pemasok untuk membangun fasilitas produksi di Provinsi Papua Perlunya intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan baik umum maupun kejuruan Perlunya pelatihan dan pendampingan kewirausahaan bagi penduduk lokal Perlunya pelatihan kewirausahaan untuk bisa menjalankan usaha dengan baik dan menjadi bankable Perlunya pendampingan wirausaha agar dapat menjalankan usaha dengan baik dan mampu memenuhi kewajiban kreditnya 39

113 BAB 5 ANALISIS PENERIMAAN NEGARA 5.1. Model Analisis Fiskal Selama ini kegiatan aktivitas pertambangan PTFI telah memberikan kontribusi fiskal yang signifikan baik bagi negara maupun bagi daerah, namun demikian penerimaan negara dari PTFI masih dapat ditingkatkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerangka berpikir dampak fiskal langsung dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan Gambar 5.2 di bawah ini. Secara garis besar komponen pembayaran ke negara dari setiap kegiatan pertambangan dapat dipisahkan ke Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kepada Pemerintah Pusat dapat berupa pembayaran Pajak dan Bukan Pajak (PNBP), sedangkan kepada daerah, Perusahaan akan menyetorkan Pajak-pajak dan retribusi daerah baik bagi di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten dan Kota. Gambar 5.1 Komponen Pembayaran PTFI Dari penerimaan pemerintah pusat dalam bentuk pajak, sebagian penerimaan Pajak Penghasilan Perseorangan akan diberikan ke daerah dalam bentuk Bagi Hasil Pajak. Sedangkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak akan 50

114 dibagi ke daerah dalam bentuk Bagi Hasil SDA. Gambar 5.2 menjelaskan mekanisme analisis dampak fiskal lanjutan tentang bagi hasil dan dana perimbangan lainnya. Sedangkan dari bagian pemerintah pusat dari semua jenis pembayaran akan didistribusikan kembali ke daerah dalam bentuk DAU, DAK dan Dana Otsus secara proporsional sesuai besaran kontribusi industri kepada Penerimaan Dalam Negeri. Gambar 5.2 Alur Transfer Pusat ke Daerah Terkait Hasil Pembayaran PTFI Dalam studi ini, Optimalisasi keberadaan PTFI akan dianalisis melalui dua cara sebagaimana digambarkan di Gambar 5.2, yaitu pertama dengan menghitung berapa besar kontribusi PTFI ke Pemerintah Pusat dan Daerah. Analisis kontribusi ini akan menunjukkan seberapa besar peran PTFI terhadap kemampuan fiskal negara dan daerah di APBN dan APBD Provinsi Papua dan Mimika; dan kedua dengan melihat komposisi alokasi belanja daerah. Analisis belanja daerah diperlukan untuk melihat bagaimana pemerintah daerah memanfaatkan anggarannya yang sebagian besar merupakan kontribusi PTFI dalam rangka menyejahterakan masyarakatnya. 51

115 Gambar 5.3 Optimalisasi Penerimaan Fiskal dari PTFI Perhitungan kontribusi fiskal dalam bentuk pajak dan bukan pajak, secara ideal adalah menggunakan data realisasi pembayaran pajak dari PTFI ke negara, namun karena data detail tidak tersedia maka kontribusi PTFI kepada negara hanya berdasarkan angka agregat yang tersedia di publik berupa laporan keuangan perusahaan PTFI Dengan kerangka analisis di Gambar 5.2, penerimaan fiskal pemerintah baik bagi pemerintah pusat dan daerah akan dihitung. Penerimaan pemerintah pusat akan dipisahkan antara penerimaan dalam bentuk perpajakan dan bukan perpajakan. Sementara itu, penerimaan pemerintah daerah akan dihitung bagi Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika, baik penerimaan langsung dalam bentuk pajak dan bagi hasil serta penerimaan tidak langsung dalam bentuk DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian Penerimaan Fiskal Bagi Pemerintah Berdasarkan data laporan keuangan PTFI , penerimaan negara mengalami penurunan dari tahun 2010 ke tahun Jika di tahun 2010, negara menerima Rp 17 triliun, dimana pemerintah pusat akan menerima sekitar Rp 15,8 triliun dan pemerintah daerah diperkirakan telah menerima Rp 1,2 triliun, maka di tahun 2014, negara hanya menerima Rp 5,98 triliun atau turun hampir Rp 10 triliun. Hal tersebut dimungkinkan karena sejak tahun 2014, PTFI dibatasi melakukan ekspor konsentrat sehingga penerimaan negara sejak tahun

116 juga mengalami penurunan. Sementara, itu penerimaan negara mencapai puncaknya di tahun 2012 yaitu Rp 19,4 triliun. Tabel 5.1 Kontribusi Fiskal PTFI Kontribusi Kontribusi Ke Pusat (Rp Miliar) 15,872 18,205 7,991 3,630 4,873 Kontribusi Ke Daerah : 1,209 1,199 1, ,111 Papua dan Mimika (Rp Miliar) Total Kontribusi 17,080 19,405 9,031 4,538 5,984 Sumber : Laporan Keuangan PTFI , diolah Seiring dengan penurunan kontribusi fiskal PTFI bagi negara, maka terlihat di Gambar 5.4 bahwa komposisi penerimaan bagi daerah semakin meningkat, jika di tahun 2010 hanya 7%, di tahun 2014 meningkat menjadi 19%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya larangan ekspor konsentrat yang mempengaruhi penerimaan PTFI pada akhirnya lebih mempengaruhi penerimaan pusat dibandingkan penerimaan bagi daerah. Ini menunjukkan kontribusi fiskal bagi daerah lebih stabil dibandingkan penerimaan bagi pusat. Dengan demikian, dalam rangka optimalisasi peran PTFI bagi negara maka pemerintah harus mempunyai strategi yang tepat mengingat besar kecilnya kegiatan produksi PTFI akan sangat mempengaruhi penerimaan negara khususnya dari penerimaan perpajakan. Sumber : Laporan Keuangan PTFI , diolah 53

117 Gambar 5.4 Komposisi Kontribusi Fiskal dari PTFI 54

118 Penerimaan Fiskal Bagi Pemerintah Pusat Tabel 5.5 di bawah ini menunjukkan bahwa peran PTFI sebagian besar disumbangkan melalui pembayaran pajak ke negara dan sebagian kecil melalui penerimaan bukan pajak (PNBP). Dalam periode , penerimaan negara dari PTFI mencapai puncaknya di tahun 2011 yaitu sekitar Rp 18,2 triliun. Namun penerimaan tersebut menurun sampai di tahun 2014, hanya membayar sekitar Rp 4,87 triliun ke pemerintah pusat. Sumber : Laporan Keuangan PTFI , diolah Gambar 5.5 Kontribusi Fiskal dari PTFI bagi Pemerintah Pusat Secara relatif, peran PTFI bagi keuangan negara di APBN mengalami penurunan yang sangat signifikan sehingga peran PTFI di tahun 2014 tinggal 0,32 % dari puncaknya di tahun 2010 yang mencapai 1.6% atau turun menjadi seperlimanya. Hal tersebut selain memang karena nominal APBN semakin meningkat, juga disebabkan karena pembayaran PTFI ke negara secara nominal juga mengalami penurunan. Oleh karena dalam rangka optimalisasi, perlu dilakukan upaya untuk menjaga kontribusi terhadap APBN semakin membaik baik dengan perbaikan ketentuan tarif royalti maupun menjaga pembayaran pajak dari PTFI melalui upaya mempertahankan kelangsungan berproduksi perusahaan. 55

119 Gambar 5.6 Peran Kontribusi Fiskal PTFI di APBN Penerimaan Fiskal Bagi Pemerintah Daerah Gambar 5.7 menunjukkan bahwa penerimaan Provinsi dari PTFI mengalami sedikit penurunan dari tahun 2010 ke tahun 2014, dari Rp 529 miliar menjadi Rp 437 miliar. Sebagian besar penerimaan bagi Provinsi Papua dalam bentuk pajak daerah dan bagi hasil, sedangkan penerimaan tidak langsung cukup signifikan di tahun 2010 namun kemudian perannya makin mengecil. Hal ini disebabkan karena penerimaan dalam negeri semakin membesar sedangkan kontribusi PTFI pemerintah pusat mengecil. Akibatnya, secara relatif peran tidak langsung makin kecil. Sementara itu peran langsung relatif stabil dalam kisaran Rp 338 miliar-rp 380 miliar. Kontribusi PTFI bagi Provinsi Papua secara relatif juga mengalami penurunan dari yang sebelumnya di tahun 2010 sebesar 9.38% menjadi hanya 4.17% di tahun 2014 (Gambar 5.8). Penurunan tersebut terjadi secara gradual dari tahun ke tahun. Walaupun secara nominal kontribusi fiskal PTI di tahun 2014 meningkat dari tahun sebelumnya, namun ternyata secara relatif masih mengalami penurunan karena kecepatan peningkatan APBD Provinsi Papua semakin besar dibandingkan kenaikan penerimaan dari PTFI. Ini menunjukkan bahwa sumber-sumber penerimaan APBD Papua semakin banyak yang bersumber dari luar PTFI. 56

120 Sumber : Laporan Keuangan PTFI , diolah Gambar 5.7 Kontribusi Fiskal dari PTFI bagi Provinsi Papua Sumber : Laporan Keuangan PTFI dan Nota Keuangan APBN-P 2015, diolah Gambar 5.8 Peran Kontribusi Fiskal PTFI di APBD Provinsi Papua Sedangkan bagi Kabupaten Mimika di Gambar 5.9, hampir seluruhnya kontribusi fiskalnya melalui penerimaan langsung dalam bentuk pajak dan bagi hasil. Kontribusi fiskal tersebut relatif stabil sekitar Rp 670 miliar walaupun 57

121 sempat turun di tahun 2012 dan Sebagian besar penerimaan tersebut berasal dari penerimaan bagi hasil Royalti sebagai daerah penghasil. Sumber : Laporan Keuangan PTFI , diolah Gambar 5.9 Kontribusi Fiskal dari PTFI bagi Kabupaten Mimika Berbeda dengan peran relatif terhadap APBN dan APBD Papua, peran relatif kontribusi fiskal PTFI ke APBD Kabupaten Mimika sangat signifikan, bahkan di tahun mencapai lebih dari separuh APBD Mimika. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan keuangan daerah Mimika sangat tergantung kepada keberadaan dan aktivitas kegiatan pertambangan PTFI. Walaupun peran tersebut sempat turun di tahun 2013 menjadi hanya 39 % ketika larangan ekspor konsentrat diberlakukan, namun di tahun 2014 peran PTFI kembali meningkat menjadi sekitar 43 %. Oleh karena itu, besarnya ketergantungan APBD dari Mimika kepada pembayaran fiskal PTFI harus menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah sehingga kesinambungan fiskalnya dapat terjamin. Lebih jauh dari itu, adalah bagaimana pola pembelanjaan APBD Mimika harus menjadi perhatian pemerintah agar upaya optimalisasi PTFI bagi kesejahteraan masyarakat terutama di Mimika dapat berjalan dengan baik melalui programprogram pemberdayaan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Hal tersebut penting agar masyarakat dapat merasakan dampak keberadaan perusahaan yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi APBD di atas 40 % di tahun

122 Sumber : Laporan Keuangan PTFI dan Nota Keuangan APBN-P 2015, diolah Gambar 5.10 Peran Kontribusi Fiskal PTFI di APBD Provinsi Papua 5.2. Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Papua Dari Gambar 5.11 terlihat bahwa hampir 80 %, belanja APBD Provinsi Papua digunakan kegiatan operasional dan dari 2010 ke 2014 menunjukkan tren kenaikan. Sementara itu alokasi belanja modal masih relatif kecil. Sebagai contoh di tahun 2010, belanja operasional adalah sekitar Rp 4,13 triliun sedangkan belanja model sekitar Rp 1,4 triliun. Di Tahun 2014, ketika belanja operasional meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 8,32 triliun, belanja modal hanya meningkat sedikit menjadi Rp 1,69 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi untuk kegiatan yang lebih bersifat produktif sebagai investasi pemerintah melalui belanja modal masih sangat kecil dibandingkan belanja operasionalnya. 59

123 Keterangan:* Data Bersifat Sementara Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan Gambar 5.11 Komposisi Belanja Provinsi Papua Kalau melihat dari bidang di Tabel 5.2, belanja APBD Papua sebagian besar hanya digunakan untuk belanja administrasi pemerintahan dengan komposisi di atas 60 % (Gambar 5.12). Sedangkan belanja bidang infrastruktur dalam kisaran 14%, dan belanja bidang pendidikan dan bidang kesehatan juga menunjukkan angka yang lebih kecil lagi. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi APBD di Papua kurang berpihak kepada kebutuhan-kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun dipentingkan kepada belanja administrasi pemerintahan. Tabel 5.2 Distribusi Belanja Provinsi Papua menurut Bidang (Rp Miliar) * 2014* Pendidikan Kesehatan Infrastruktur ,628 Administrasi Pemerintahan 3,372 3,841 4,713 5,516 7,568 Lainnya ,271 Jumlah 5,650 6,290 7,240 8,035 11,205 Keterangan:* Data Bersifat Sementara Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan 60

124 Keterangan:* Data Bersifat Sementara Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan Gambar 5.12 Distribusi Belanja Provinsi Papua Menurut Bidang 5.3. Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika Gambar 5.13 menunjukkan bahwa profil belanja di Kabupaten Mimika menunjukkan tren yang membaik dengan penurunan komposisi belanja operasional yang dari sebelumnya di tahun 2010 hampir 100 % kemudian berkurang menjadi hanya 70 %. Hal ini menunjukkan ada upaya perbaikan dari Pemerintah daerah Mimika sehingga besaran belanja modal semakin meningkat. Walaupun alokasi buat administrasi pemerintahan masih dominan, namun belanja di bidang tersebut mengalami tren penurunan (Tabel 5.3). Sedangkan belanja bidang-bidang kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur semakin meningka (Gambar 5.14)t. Jika di tahun 2010, belanja administrasi mengambil porsi 53%, di tahun 2014 hanya menjadi 32 %. Sebaliknya bidang pendidikan meningkat dari 13% menjadi 16 %, bidang kesehatan 8% menjadi 11%, dan bidang infrastruktur meningkat dari 10% menjadi 13%. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Mimika sudah melakukan pembelanjaan yang berpihak pada kebutuhan masyarakat dalam pelayanan dasar. Dengan demikian, sebagaimana dibahas di awal bahwa kontribusi fiskal PTFI diperkirakan sekitar Rp 673 miliar di tahun 2014 atau sekitar 39 % akan cukup membantu pendanaan bagi pemerintah daerah dalam 61

125 membangun perekonomian Kabupaten Mimika dan menyejahterakan masyarakatnya. Keterangan:* Data Bersifat Sementara Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan Gambar 5.13 Komposisi Belanja Provinsi Papua Tabel 5.3 Distribusi Belanja Kabupaten Mimika menurut Bidang (Rp Miliar) * 2014* Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Administrasi Pemerintahan Lainnya Jumlah 1,359 1,354 1,334 1,361 1,730 Keterangan:* Data Bersifat Sementara Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan 62

126 Keterangan:* Data Bersifat Sementara Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan Gambar 5.14 Distribusi Belanja Provinsi Papua Menurut Bidang 63

127 BAB 6 ANALISIS MUATAN LOKAL Muatan lokal merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi besar kecilnya manfaat PT. FI terhadap daerah. Penggunaan input-input perusahaan yang berasal dari Provinsi Papua, dapat meningkatkan rentabilitas ekonomi para pengusaha, memperluas kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan produktivitas sumberdaya lokal. Upaya untuk meningkatkan keterkaitan antara pengusahaan pertambangan dengan sektorsektor ekonomi nasional maupun daerah sudah diakomodir di dalam beberapa kebijakan antara lain dalam UU RI No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, PP No. 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, maupun di dalam klausul Kontrak Karya. Dalam kegiatan ini, analisis tentang muatan lokal pada PT FI di Propinsi Papua dilakukan dari dua sisi, pertama dari sisi PT FI sebagai konsumen/pengguna, dan kedua dari sisi daya dukung daerah/domestik Provinsi Papua sebagai pemasok. PT FI sebagai konsumen, membutuhkan barang, jasa, tenaga kerja serta peralatan/mesin di dalam menjalankan perusahannya, sedangkan daerah sebagai pemasok, mempunyai potensi di dalam menyediakan kebutuhan perusahaan di atas. Dalam rangka analisis, maka potensi kebutuhan perusahaan diidentifikasi baik jumlah, jenis, spesifikasi maupun kriteria-kriteria lainnya, demikian pula dari sisi daerah/domestik, diidentifikasi potensi kemampuannya di dalam menyediakan barang, jasa, tenaga kerja serta peralatan/mesin sesuai dengan persyaratan dan kriteria-kriteria yang dibutuhkan perusahaan. Untuk dapat mengevaluasi status muatan lokal saat ini, maka dilakukan pengukuran muatan lokalnya PT FI, baik pada tingkat perusahaan, maupun pada tingkat kelompok barang/jasa. Status muatan lokal saat ini selanjutnya dijadikan dasar/baseline di dalam merumuskan rekomendasi/masukan di dalam rangka meningkatkan muatan lokal PT FI dengan tetap mempertimbangkan kepentingan perusahaan, kemampuan domestik, serta permasalahanpermasalahan yang terjadi pada tataran operasionalnya (Gambar 6.1). 62

128 PT FREEPORT INDONESIA : Penambangan Pengolahan/ Pemurnian Utilities IDENTIFIKASI KEBUTUHAN: Barang/Jasa Tenaga Kerja Peralatan/mesin PENGUKURAN MUATAN LOKAL (Existing) Perusahaan Per kelompok barang/jasa Kebjakan Pemerintah OPTIMALISASI MUATAN LOKAL An. Kemampuan Daerah Peluang Substitusi impor Permasalahan yang dihadapi KEBIJAKAN Kebijakan Daerah Industri DAYA DUKUNG DAERAH : SD Alam SD Manusia Ekonomi Teknologi Per/PerUU Kelembagaan IDENTIIFIKASI KEMAMPUAN DAERAH: Per. Daerah Per. Nas. TK Domestik RUMUSAN REKOMENDASI Gambar 6.1 : Pola pikir kajian muatan lokal pada perusahaan pertambangan 6.1 Karakteristik Kebutuhan barang/jasa pada PT FI Pengusahaan pertambangan umumnya terikat dengan lokasi tertentu, melalui tahap-tahap tertentu, serta jenis teknologi tertentu yang pada umumnya bersifat teknologi tinggi dan padat modal. Secara umum tahap-tahap kegiatan pengusahaan mineral terdiri dari 3 kegiatan pokok yaitu eksplorasi, eskploitasi dan pengolahan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.2, sedangkan secara rinci, tahap-tahap/kegiatan pengusahaan pertambangan terdiri dari tahap/kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, Studi kelayakan, Penambangan, Konstruksi, Pengolahan, Pengangkutan, Pemasaran, Lingkungan pertambangan, Pasca dan reklamasi tambang, Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 63

129 VALUE CHAIN INDUSTRI MINERAL Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral SDA Sumber Daya Mineral Mineral Logam Eksplorasi Mineral Bukan Logam Eksplorasi Mineral Batuan Eksplorasi Kegiatan Hulu Mineral (Menambang dari perut bumi) Cadangan INDUSTRI PRIMER Usaha Pertambangan Mineral Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Ore (Bahan Galian) Kegiatan Hilir Mineral dan bahan baku Batuan (Meningkatkan Nilai Tambah Pertama) Pengolahan Produk Antara Emas (100%); Tembaga (30%); Timah (100%) Mangan (25%); Nikel (25%) Pengolahan Kaolin (60%); Pasir Silika (60%); Felds par (50%) Kapur/Semen (80%); Zeolit (40%) Pengolahan Granit (80%); Marmer (70%); Lempung (100%) Sirtu (100%); Batu Gunung (100%) Kementerian Perindustrian INDUSTRI SEKUNDER Usaha Pengolahan Lanjut (Meningkatkan Nilai Tambah Kedua) Proses Lanjut Proses Lanjut Cutting/ Polishing Produk Akhir Produk Logam Produk Kaolin dll Granit dll Sumber : Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2012 Gambar 6.2. Tahap-tahap pengusahaan pertambangan mineral Sejalan dengan karakteristiknya, kegiatan pengusahaan pertambangan akan membutuhkan barang, jasa dan tenaga kerja. Di samping barang, jasa dan tenaga kerja yang sifatnya umum, ada kebutuhan yang sifatnya spesifik untuk setiap tahap kegiatan pertambangan. Pada tahap kegiatan eksplorasi antara lain terdiri dari kegiatan pemetaan geologi, pemetaan topografi, penyelidikan geokimia dan pengeboran, penginderaan jauh, penyelidikan geolistrik, geomagnet, gaya berat, seismic-gpr dan logging geofisika. Kegiatan eksplorasi ini akan membutuhkan barang, jasa maupun tenaga kerja tertentu sesuai dengan spesifikasinya al : alat geolistrik, alat GPR, alat geomagnet, alat gaya berat, software penginderaan jauh, software perhitungan sumberdaya dan cadangan, peralatan survey pemetaan topografi, geologi, peralatan pengeboran, logging geofisika dll., sedangkan berdasarkan Permen ESDM no. 24/2012, kegiatan usaha jasa penunjang pada tahap ini terdiri dari jasa konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan untuk kegiatan survey tinjau, remote sensing, prospeksi, manajemen eksplorasi, penentuan posisi, pemetaan topografi, pemetaan geologi, geokimia, geofisika, survey bawah permukaan, geoteknik, pemboran eksplorasi, percontoan eksplorasi, perhitungan sumberdaya dan cadangan. 64

130 Pada kegiatan penambangan secara garis besar terdiri dari perencanaan tambang dan operasional penambangan yang terdiri dari eksplorasi antara lain terdiri penggalian, pengangkutan dan penimbunan. Kegiatan penambangan sesuai dengan jenis teknologi yang digunakan akan membutuhkan barang, jasa maupun tenaga kerja tertentu sesuai dengan spesifikasinya, antara lain : Kegiatan Gali & Muat : Excavator, BWE, Dragline, Loader, LHD, Peralatan peledakan dan bahan peledak, Alat Bor, Kapal Keruk; Kegiatan Pengangkutan : Dumptruck, Conveyor, Cage, Skip, Lori + Lokomotif; Kegiatan Penimbunan : Scraper, Dozer, Grader; Kegiatan Lain-lain/pendukung : Peralatan Ventilasi, Penyaliran, Berdasarkan Permen ESDM no. 24/2012, karena kegiatan penambangan wajib dilakukan oleh pemegang IUP sendiri, maka kegiatan usaha jasa penunjang pada tahap ini terdiri dari jasa konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan untuk sub bidang pengupasan, pemuatan dan pemindahan tanah/batuan penutup, pemberaian/pembongkaran tanah/batuan penutup, pengangkutan tanah penutup, batubara dan bijih mineral, penggalian mineral, sedangkan yang bersifat operasional penambangan hanya terbatas pada jasa penggalian, pemuatan dan pemindahan lapsan (stripping) batuan/tanah penutup dengan atau tanpa didahului peledakan. Pada tahap kontruksi pertambangan antara lain terdiri dari jasa konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan dalam sub bidang penerowongan, penyemenan tambang bawah tanah, penyanggaan, shaft sinking, sistem penerangan tambang bawah tanah, alat gali muat, angkut tambang bawah tanah, pemboran dan peledakan, perbengkelan, komisioning tambang, dan ventilasi tambang, fasilitas pengolahan dan pemurnian, jalan tambang, jembatan, pelabuhan, gudang bahan peledak, fasilitas penimbunan bahan bakar cair dan sistem penyaliran. Pada tahap pengolahan dan pemurnian akan terdiri dari proses peremukan, penggilingan, pemisahan, proses, pemurnian dan pengepakan, sedangkan jenis peralatan yang dibutuhkan akan tergantung atas jalur proses yang dilaksanakan. Di dalam kegiatan pengolahan dan pemurnian, di samping membutuhkan barang juga jasa. Jasa usaha 65

131 penunjang pertambangan pada tahap pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana diuraikan dalam Permen ESDM No. 24/2012 adalah jasa konsultasi, perencanaan dan pengujian peralatan terdiri dari sub bidang pengolahan mineral, pemurnian mineral serta peremukan mineral. Kebutuhan jasa penunjang lainnya dalam kegiatan pertambangan sebagaimana diatur di dalam Permen 24/2012 adalah Jasa konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan dalam kegiatan: a. Kegiatan Pengangkutan : menggunakan truk, lori, ban berjalan, tongkang, pipa; b. Lingkungan pertambangan : pemantauan lingkungan, survey RKL/RPL, pengelolaan asam tambang, audit lingkungan, pengendalian erosi; c. Pasca tambang dan reklamasi: reklamasi, penutupan tambang, pembongkaran fasilitas, penyiapan dan penataan lahan, pembibitan, penanaman, perawatan; d. Kesehatan dan keselamatan kerja pertambangan: pemeriksaan dan pengujian teknik, audit K3 Pertambangan. Di samping kebutuhan barang dan jasa pada kegiatan pertambangan inti sebagaimana diuraikan di muka, ada kebutuhan jasa pada kegiatan pendukung pertambangan /pertambangan non-inti yang terdiri dari kebutuhan barang/jasa: jasa goga/catering, jasa pengamanan; layanan kesehatan; konstruksi sipil; konstruksi elektrik; konstruksi mekanikal; konstruksi telekomunikasi; konstruksi arsitektural; pemasok suku cadang; penyedia tenaga kerja, pemasok peralatan pertambangan; pemeliharaan peralatan pertambangan; penyewaan peralatan pertambangan; pemasok peralatan penunjang pertambangan; pemeliharaan peralatan penunjang pertambangan; penyewaan peralatan penunjang pertambangan; jasa transportasi laut, darat, udara; laboratorium uji, kalibrasi, fabrikasi/manufaktur, tata graha/housekeeping, pemasok dan pemeliharaan alat pemadam kebakaran; pengiriman barang/ekspedisi; pemasok bahan kimia; konsultasi manajemen; pemasok material konstruksi; jasa teknologi informasi; jasa pengurusan dokumen; pemasok, penyewaan, dan pemeliharan alat pendingin; pemasok bahan bakar dan oli; pemasok bahan peledak; jasa penyewaan kapal; jasa inspeksi komoditi mineral dan 66

132 batubara (Draught Survey); jasa audit independen; jasa asuransi; jasa pelatihan; pemasok alat-alat keselamatan kerja; jasa pengelola limbah bahan berbahaya dan beracun. 6.2 Pengukuran Muatan Lokal pada PT FI Muatan Lokal Barang Selama 5 tahun terakhir ( ) perkembangan realisasi belanja barang pada PT FI relatif berfluktuatif, namun dari sisi presentase setiap tahunnya mengalami peningkatan pada belanja domestik. Pada tahun 2010 belanja barang sekitar 8% di tingkat Kabupaten Mimika, 28% nasional dan 64% impor. Adapun pada tahun 2014 komposisinya menjadi 12% Mimika, 59% Nasional dan 29% impor (Gambar 6.3). Gambar 6.3 : Profil perkembangan belanja barang PT Freeport Indonesia, Tahun Data tentang komposisi muatan lokal (Provinsi Papua) berdasarkan kelompok barang dalam master list tidak diperoleh, namun sebagai gambaran komposisi domestik dan impor untuk pembelian barang berdasarkan kelompok masterlist untuk tahun terakhir (2014), seperti ditunjukkan pada Gambar 6.4. Dari gambar tersebut, terlihat persentase nilai impor PT FI untuk heavy equipment sebesar 31,73%, miscellaneous 22,9%, building material 36,67%, processing plant sebesar 71,46%. Persentase nilai impor pada processing plant merupakan yang paling besar, dengan nilai riilnya juga sangat besar. Kondisi ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pengusaha daerah untuk meningkatkan persentase muatan 67

133 lokalnya melalui substitusi impor. Untuk lebih implementatif, peluang substitusi impor dari setiap katagori kelompok barang perlu dirinci kembali ke dalam sub katagori kelompok barang, hingga ke per item jenis barang, sehingga dapat diketahui item-item jenis barang mana saja yang masih dibeli dari luar daerah, sudah dibeli dari dalam provinsi, sebagian masih dibeli dari luar daerah dan sebagian lagi sudah dibeli di dalam provinsi. Gambar 6.4 : Profil Masterlist PT Freeport Indonesia, Tahun 2014 Namun demikian, dalam mensubstitusi impor ini, tidak mengesampingkan produsen atau distributor yang sudah ada di dalam provinsi meskipun nilai barangnya kecil. Adapun peluang yang besar meskipun nilainya relatif kecil, antara lain untuk land transportation equipment, air transportation equipment, communication, land survey & recoinassance, sampling & laboratorium, power station, enviromental dan lain-lain. Dari hasil perhitungan muatan lokal PT FI, diketahui kandungan local content dan local expenditure-nya, yaitu 27 % dan 73 % (Lihat Gambar 6.5). Artinya masih sangat besar peluang sekaligus tantangan untuk mensubstitusi local expenditure (distributor) menjadi local content. 68

134 Gambar 6.5 : Belanja domestik berdasarkan komposisi local content dan local expenditure PT Freeport Indonesia, Tahun 2014 Untuk mencari peluang peningkatan local expenditure menjadi local content, dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. penelusuran jenis barang dengan spesifikasi yang relatif sama dari data atau profil belanja barang PT FI pada beberapa periode (Contoh Gambar 6.6). Dari penelusuran data ini, akan terlihat banyak barang yang masih berstatus local expenditure padahal dari data tersebut sudah berstatus local content. b. penelusuran database produsen daerah. Dari data base tersebut akan terlihat barangbarang yang masih berstatus local expenditure, padahal sudah mampu diproduksi oleh produsen dalam Provinsi (local content). c. sharing atau saling tukar menukar informasi antar perusahaan yang satu dengan yang lain, terutama untuk perusahaan dengan jenis usaha dan teknologi yang sama, antara lain dengan PT Newmont Nusa Tenggara, atau sebaliknya. Gambar 6.6 : Sebagian data belanja barang kategori local expenditure dan local content, PT FI 69

135 Ditinjau dari profil kelompok barang dari 15 perusahaan terbesar, di tingkat lokal (Kabupaten Mimika) antara lain komponen & suku cadang alat berat, bor dan suku cadang alat pengolahan, bis dan suku cadang bis, barang konsumsi, dan peralatan kantor & elektronik; di tingkat nasional yang menonjol adalah pembelian minyak diesel, avtur & bensin, alat bor suku cadang & alat pengololahan, komponen & suku cadang alat berat, ban, batubara, grinding ball, alat dukung tambang bawah tanah, bahan peledak, suku cadang kendarangan ringan, dan semen; sedangkan di tingkat luar negeri antara lain komponen & suku cadang alat berat, elektronik, alat berat, suku cadang alat pengolahan, kabel & alat kelistrikan, suku cadang alat penambangan, conveyor belt, pompa. lifting, filtrasi, alat tambang terbukan dan dalam, alat transportasi darat, bahan kimia, dan peralatan & suku cadang (Gambar 6.7). Gambar 6.7: Realisasi Pembelian Barang dari 15 Perusahaan Terbesar untuk Skala Lokal Mimika, Nasional dan Luar Negeri oleh PT Freeport Indonesia, Tahun Muatan Lokal Jasa 70

136 Profil penggunaan jasa domestik dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ( ) perkembangannya cenderung meningkat dari sisi nilai, tetapi dari sisi presentase tingkat nasional relatif turun dan tingkat Kabupaten Mimika relatif meningkat. Gambaran kondisi penggunaan jasa tahun 2014, 10% asing, 84% tingkat nasional dan 6% tingkat Kabupaten Mimika (Gambar 6.8). Apabila dibandingkan dengan pembelian barang, penggunaan jasa lebih besar presentasenya, yaitu 83,7% berbanding 77,3%. Gambar 6.8 : Profil perkembangan penggunaan jasa PT Freeport Indonesia, Tahun Muatan Lokal Tenaga Kerja Tenaga kerja PT Freeport Indonesia pada Tahun 2014 berjumlah orang, dengan komposisi menurut asal daerah, terdiri 35% tenaga kerja asal Provinsi Papua, 64% non Papua, dan 1% tenaga kerja asing (Gambar 6.9). Adapun tenaga kerja berdasarkan jenjang jabatan (posisi), tenaga kerja asal papuan dan non papua menempati diseluruh jenjang jabatan, yaitu posisi pratama, adminstrasi, teknis, profesional, dan manajerial, sedangkan tenaga kerja asing menempati jenjang jabatan pratama, profesional, dan manajerial. 71

137 Gambar 6.9: Profil Tenaga Kerja PT Freeport Indonesia, Tahun Mempertemukan Kebutuhan PT FI dengan Kemampuan Daerah Provinsi Papua Setelah kebutuhan barang dan jasa pada kegiatan pengusahaan pertambangan dapat diidentifikasi, selanjutnya terhadap kebutuhan tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut ke dalam uraian yang lebih detil tentang karakteristik dan spesifikasi produk, persyaratanpersyaratan harga, promosi/komunikasi dan jaminan kelancaran distribusi dan deliveri atas produk-produk tersebut. Karakteristik dan persyaratan-persyaratan tersebut merupakan variabel-variabel keputusan pemasaran (/Marketing decision variables) yaitu 4 P s: Product, Price, Promotion, Place, yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya transaksi jual beli antara PT FI dengan para produsen daerah (Gambar 6.10). Produsen daerah perlu meningkatkan kemampuannya untuk menyesuaikan produk-produknya dengan persyaratan kebutuhan dan keinginan PT FI. Semakin kecil perbedaan antara persyaratan PT FI dengan kemampuan produsen daerah, semakin besar peluang terjadinya transaksi jual beli produksi daerah oleh PT FI, dan semakin besar peluang meningkatnya muatan lokal pada PT FI. 72

138 Peran Pemerintah Fasilitator Mediator Regulator Kemampuan Produsen Persyaratan Konsumen Kualitas Produk Kualitas Produk PRODUSEN DALAM NEGERI Harga Delivery on time VS Harga Delivery on time PERUSH IUP/IUPK Komunikasi Komunikasi Isu : Mempertemukan Persyaratan Konsumen dengan Kemampuan Produsen Gambar 6.10 Mempertemukan antara kemampuan produsen dengan persyaratan konsumen serta peran pemerintah Dalam rangka memperkecil perbedaan antara persyaratan konsumen perusahaan pertambangan dengan kemampuan produsen daerah, perlu diidentifikasi berbagai kendala dan permasalahan yang sering terjadi di lapangan, selanjutnya untuk mengatasi kendala dan permasalahan tersebut, di samping perlu upaya dari pihak Produsen daerah maupun PT FI, juga dituntut peran pemerintah/pemerintah Daerah sebagai fasilitator, dan regulator agar terjadi pertemuan antara persyaratan PT FI sebagai konsumen dan kemampuan produsen daerah. Beberapa isu dan tindak lanjut yang dapat diidentifikasi dari hasil wawancara, maupun Focus Group Discussion (FGD): a. Isu muatan lokal barang dan jasa, antara lain : Masih adanya kerancuan istilah local content, yakni antara local content yang digunakan di Ditjen minerba dan local content yang digunakan oleh Kementerian Perindustrian. Dalam analisis ini, istilah yang dipakai adalah local content yang digunakan di Ditjen Minerba, yaitu local content barang dan jasa termasuk di dalamnya local expenditure, dengan batasan daerah Papua; 73

139 Beberapa hambatan dalam rangka mempertemukan kemampuan produsen dan pengusaha daerah Papua dengan persyaratan kebutuhan PT FI, antara lain: - kurang lancarnya arus informasi kebutuhan dari pihak PT FI kepada Produsen/pengusaha daerah dan sebaliknya arus informasi tentang kemampuan produsen/ pengusaha daerah Provinsi Papua kepada PT FI. Dalam mengatasi permasalahan ini, PT FI mengemukakan bahwa informasi tentang kebutuhan PT FI dapat dilihat di dalam RKAB yang sudah dibahas pada forum pembahasan yang dihadiri oleh unsur-unsur SKPD terkait dari Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika - masih kurangnnya diberikan kesempatan oleh PT. FI bagi produsen/pengusaha daerah untuk dilakukan pengujian produk/barang dan jasa yang dihasilkannya, termasuk transparansi hasil pengujiannya. Untuk mengatasi masalah ini, PT FI mengemukakan pentingnya transparansi yang dimaksud dengan produsen/pengusaha lokal dimana seringkali yang datang pertama kali adalah orang lokal namun pemilik sebetulnya adalah bukan pemilik lokal; Kadinda berpendapat bahwa PT FI selayaknya masuk ke organisasi Kadinda Provinsi Papua karena walaupun PT FI ini dimiliki oleh asing dan berkantor pusat di Jakarta, namun daerah operasi dan infrastruktur PT FI tetap berada di Propinsi Papua. Terkait dengan permintaan ini, PT FI akan menindaklanjuti dan dibahas terlebih dahulu di manajemen internal PT FI; Disepakati untuk melakukan pertemuan antar para pihak. Pertemuan akan diprakarsai dan dipimpin oleh Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal, dengan mengundang para pihak terkait yakni PT. FI, Kadinda, Asosiasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas ESDM dan pihak terkait lainnya di tingkat Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika. Acara pertemuan adalah membahas berbagai isu dan hambatan terkait local content serta berbagai alternatif solusinya. Waktu dan tempat pertemuan akan ditentukan kemudian. b. Isu muatan lokal tenaga kerja Kepala Dinas tenaga kerja Kabupaten Mimika menguraikan tentang kondisi ketenagakerjaan di Kabupaten Mimika, jumlah, kompetensi serta status tenaga kerja yang bekerja di PT.FI yang masih didominasi oleh tenaga kerja yang bekerja di level- 74

140 level bawah. Beliau mengharapkan di samping jumlah tenaga kerja dari Papua dapat ditingkatkan, juga jumlah tenaga kerja yang dapat menduduki jabatan pada levellevel atas perlu ditingkatkan pula; Kepala Dinas Pendidikan Menengah mengemukakan bahwa masalah ketenagakerjaan akan berkaitan langsung dengan masalah pendidikan. Beliau mengemukakan bahwa selama ini, PT FI dalam melaksanakan kegiatan pengembangan pendidikan, ketenagakerjaan dan masyarakatnya berjalan sendiri, tidak pernah mau berkoordinasi dan berkonsultasi dengan dinas-dinas terkait. Beliau mengharapkan ke depan agar PT FI dalam melaksanakan program-program khususnya di bidang pendidikan dan pengembangan tenaga kerja bekoordinasi dan berkonsultasi dengan dinas terkait; PT. FI mengemukakan bahwa perusahaan sudah melakukan berbagai upaya untuk dapat mengembangkan dan memberdayakan masyarakat lokal Papua, dan mempekerjakannya di PT FI. Jumlah tenaga kerja sebanyak orang juga termasuk hasil upaya keras yang dilakukan oleh perusahaan selama 40 tahun PT FI berkiprah. Namun walaupun demikian PT FI akan selalu siap untuk melakukan segala upaya yang dapat lebih meningkatkan keterlibatan tenaga kerja lokal Papua di PT FI; Dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektivitas pengelolaan tenaga kerja di Kabupaten dan Provinsi Papua, para pihak menyepakati untuk menyusun perencanaan tenaga kerja jangka panjang yang terintegrasi, sehingga ruang lingkup perencanaan tenaga kerja yang selama ini dilaksanakan secara parsial di PT FI, di Kabupaten Mimika dan di Propinsi Papua dapat diintegrasikan dalam suatu kajian perencanaan tenaga kerja jangka panjang PT FI, Kabupaten Mimika dan Propinsi Papua. Pertemuan akan diprakarsai dan dipimpin oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika, dengan mengundang para pihak terkait yakni PT. FI, Dinas Tenaga Kerja, Dinas pendidikan, Dinas ESDM dan pihak terkait lainnya di tingkat Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika. Acara pertemuan adalah membahas rencana pengkajian Perencanaan Tenaga Kerja Jangka Panjang Terpadu antara PT. FI, Kabupaten Mimika dan Propinsi Papua dengan melibatkan berbagai sektor lainnya, sedangkan Universitas Cenderawasih (UNCEN), sangat setuju sekali dan berpendapat 75

141 bahwa ide dan konsep sebagaimana diuraikan di atas, sangat bisa diimplementasikan. UNCEN siap membantu untuk melakukan kajian ini terutama dari sisi konseptualnya. 76

142 BAB 7 ANALISIS PENGEMBANGAN MASYARAKAT 7.1. Karakteristik Masyarakat Di Kabupaten Mimika Sejarah Kabupaten Mimika Keberadaan Kota Timika tidak dapat dilepaskan dari beroperasinya PTFI setelah ditanda-tanganinya kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1967 di atas wilayah seluas 10 km 2 di Pegunungan Ertsberg yang secara tradisional merupakan tanah ulayat Suku Amungme. Pada tahun 1969, saat PTFI mulai beraktifitas, Kota Timika belum ada. Pada tahun 1970 lapangan terbang dibangun untuk mendukung aktifitas pertambangan (konstruksi dan operasional). Yaramaya/Timika yang pada mulanya merupakan daerah kosong dijadikan sebagai tempat penumpukan barang dan pembangunan berbagai infrastruktur untuk mendukung operasional PTFI, termasuk kantor-kantor kontraktor yang menjadi mitra kerja PTFI. Dengan beroperasinya PTFI bersama para mitra kerjanya di Timika, menarik minat penduduk dari luar Timika dan luar Papua untuk mengambil kesempatan di Timika. Sejak saat itu arus migrasi ke Timika seperti dari Bugis, Makasar, Manado, dan daerah lainnya tidak dapat dibendung lagi. Pada tahun 1972, masyarakat di wilayah suku Amungme, yang tinggal di Lembah Waa dan Tsinga sekitar Tembagapura dipindahkan ke daerah Yaramaya yang sekarang dikenal dengan nama Timika. Secara khusus orang Amungme tersebut ditempatkan di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kwamki Lama. Namun tidak berapa lama kemudian, terjadi migrasi spontan ke daerah ini yaitu suku Dani, Damal, Nduga, Moni dan Ekari. Laju pertambahan penduduk semakin pesat karena pada tahun 1984 pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi dengan menempatkan orang-orang asal Jawa di daerah-daerah yang saat ini dikenal dengan sebutan SP (Satuan Pemukiman), yang kini sudah berada di 13 lokasi. Pada perkembangan berikutnya Timika banyak didatangi oleh para usahawan secara spontan, untuk mengambil kesempatan berusaha hampir di seluruh sektor ekonomi. Dengan demikian Timika menjadi semakin padat oleh penduduk dengan berbagai aktivitas sebagaimana layaknya sebuah kota. 76

143 Suku-Suku Papua di Kabupaten Mimika Suku Amungme Suku Amungme adalah suku yang tinggal di Pegunungan Tengah sekitar Puncak Carstensz terutama Lembah Waa, Aroanop dan Tsinga yang sekarang menjadi tempat beroperasinya PTFI. Umumnya orang Amungme bertempat-tinggal menetap pada suatu wilayah dan tidak berpindah-pindah, mereka meninggalkan tempat permukiman hanya sekedar untuk berburu dan meramu hasil hutan. Pekerjaan utama mereka adalah sebagai berkebun di beberapa lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggal. Lahan yang dijadikan areal kebun umumnya adalah lereng-lereng bukit dengan kemiringan sampai sekitar Tanaman yang dibudidayakan adalah keladi dan patatas (ubi jalar), yang merupakan makanan pokok mereka, termasuk beberapa jenis sayuran lokal serta tanaman palawija lainnya. Suku Amungme menganut garis keturunan dari ayah (patrileneal). Dalam Suku Amungme dikenal keluarga inti (ayah, ibu dan anak) yang disebut ongoi amungka, dan keluarga besar mencakup sanak keluarga, paman, bibi disebut noat amungka. Sedangkan keluarga yang lebih besar disebut ndat amungka. Kelompok keluarga tersebut di atas bisa terdiri dari beberapa marga/klan dan pembagian kelompok keluarga ini didasarkan pada hak ulayat, yang disebut onadal. Masyarakat Amungme adalah masyarakat egaliter yang tidak ada pemisahan tingkatan derajat manusia. Semua manusia diperlakukan sama, tidak ada golongan budak ataupun ningrat. Sistem kepemimpinan dalam masyarakat juga tidak berdasarkan pada keturunan, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin asalkan memiliki kemampuan. Suatu rencana biasanya dibicarakan secara bersama dan terbuka, masing-masing individu berhak berbicara dan mengajukan pendapat Suku Kamoro Orang Kamoro atau orang Mimika menempati wilayah yang membentang dari Potowaiburu di sebelah Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Kaimana sampai Nakai di bagian Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Asmat yang merupakan wilayah ulayat Suku Asmat, dan di sebelah Utara sampai kaki Pegunungan Carstensz yang berbatasan dengan tanah ulayat Suku Amungme. Wilayah tempat tinggal orang Kamoro berupa daratan yang ditumbuhi dengan 77

144 hutan, rawa-rawa dan hutan mangrove. Orang Kamoro banyak yang tinggal di tepi-tepi sungai besar terutama bagian hulu, yang berdekatan dengan hutan sagu sebagai makanan pokok mereka. Mata pencaharian utama orang Kamoro adalah memangkur sagu, mencari ikan dan kepiting di tepi sungai atau pantai, serta meramu dan berburu babi hutan. Hampir semua kebutuhan hidup orang Kamoro telah disediakan oleh alam, sehingga mereka hanya mengambil saja. Berkebun bukan merupakan kebiasaan bagi mereka dan hanya diusahakan sekedarnya untuk memenuhi kebutuhan akan sayuran. Garis kekerabatan orang Kamoro cenderung bilateral, yang menarik garis kekerabatan melalui garis bapak maupun garis ibu. Namun demikian masih terdapat kelompok orang Kamoro yang menganut sistem matrilineal atau menarik garis kekerabatan hanya dari pihak ibu. Umumnya orang Kamoro tinggal dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari beberapa rumah besar yang dihuni oleh beberapa kelompok kerabat yang disebut taparu. Orang Kamoro mengenal dua macam taparu yaitu taparu besar dan taparu kecil (lihat Suparlan 2001). Taparu memegang peranan penting dalam sistem organisasi sosial penduduk setempat. Taparu selain sebagai organisasi sosial yang berdasarkan kekerabatan juga merupakan satu kesatuan tempat tinggal. Setiap taparu biasanya mempunyai hutan sagu sendiri-sendiri sebagai cadangan makanan untuk anggota kelompoknya. Setiap anggota taparu memiliki kewajiban resiprokal antara satu dengan yang lain dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan hubungan aopao. Hubungan dimana mereka wajib untuk saling tolong-menolong dalam kesusahan dan saling berbagi bila salah satu memperoleh pendapatan yang cukup baik. Dengan kehadiran PTFI, beberapa wilayah tanah ulayat Suku Kamoro yang berupa permukiman, dusun sagu, dan areal perburuan di beberapa wilayah terkubur oleh tailing atau limbah tambang, sehingga tidak bisa ditempati sama sekali. Wilayah yang paling parah adalah 4 wilayah DAS yang dikenal dengan istilah wilayah DAS KAMM yaitu Daerah Aliran Sungai Kamora, Aikwa, Minajerwi dan Mawati. Adapun Suku Kamoro yang berada di wilayah ini adalah orang Kamoro dari sub-suku Nawaripi dan sub-suku Tipuka. Kelompok Suku Kamoro dari wilayah tersebut kemudian direkolasi ke dalam 5 wilayah permukiman/kampung, yang berada jauh dari wilayah asalnya dan dari sumber 78

145 kehidupan mereka yaitu hutan sagu dan sungai/pantai untuk mencari ikan dan karaka. Kelima kampung tersebut adalah Nawaripi, Nayaro, Koperapoka, Ayuka, dan Tipuka. Kelima kelompok masyarakat Kamoro ini mendapat perhatian khusus dari PTFI sebagai kompensasi dari kerusakan lingkungan tanah ulayatnya akibat operasional tambang Suku Dani Suku Dani merupakan kelompok suku dengan jumlah yang terbesar di Papua. Wilayah Suku Dani adalah Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya. Suku Dani dikenal sangat agresif dan sering melakukan ekspansi ke wilayah lain. Mereka sangat dikenal sebagai para petarung yang sangat tangguh. Dari Lembah Baliem orang Dani melakukan ekspansi ke wilayah barat masuk ke wilayah Ilaga dan sebagian Beoga, yang merupakan wilayah tradisional Suku Damal, selanjutnya mendesak Suku Amungme yang berjumlah sedikit dan ke bagian Selatan mendesak suku Nduga. Suku Dani juga dikenal sebagai petani kebun yang sangat handal dan mengenal puluhan varietas patatas sebagai makanan pokok. Pada tahun 1940-an orang Dani mulai mengenal kentang yang kemudian mereka budidayakan. Mereka telah menggunakan berbagai peralatan yang digunakan untuk bertani seperti tongkat galian, kapak batu, alat pengikis, pisau dari tulang kasuari, tombak kayu, panah, dan lain sebagainya. Sama dengan suku lain asal pegunungan, kekerabatan merupakan sistem organisasi sosial utama dalam masyarakat Suku Dani. Masyarakat Dani mengenal istilah rahang bawah dan rahang atas untuk menggambarkan keterikatan antara satu kelompok kerabat atau marga dengan kelompok kerabat lainnya. Setiap kelompok kerabat berpasangan dengan satu kelompok kerabat lainnya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan seperti layaknya rahang atas dan rahang bawah. Orang-orang yang terikat dalam hubungan antara rahang atas dengan rahang bawah mempunyai kewajiban untuk saling membantu antara satu dengan yang lain agar sistem kekerabatan bisa berjalan dengan baik. Ikatan hubungan antara rahang atas dan rahang bawah pada masyarakat Dani di Mimika sempat hilang, karena kesibukannnya dalam upaya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya masyarakat Dani menjadi tercerai berai dan tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi kelompok lain. Saat ini hubungan kekerabatan tersebut diaktifkan kembali untuk 79

146 memperkuat solidaritas masyarakat Dani mengingat tingkat persaingan antar kelompok suku semakin tinggi Suku Damal Orang Damal tinggal di sebelah Utara dan Selatan pegunungan Carstenzs tepatnya di Beura, kawasan yang meliputi Beoga dan Ilaga dan berbatasan dengan wilayah Suku Dani. Orang Damal menyebut diri mereka sendiri dengan Damalme, bahasa yang mereka gunakan disebut Damalkal (bahasa Damal) yang tidak berbeda dengan bahasa orang Amungme. Pada kawasan selatan Carstensz orang Damal hidup tersebar di delapan lembah yang terbentang mulai dari bagian hulu sungai Ajkwa di barat hingga bagian hulu sungai Djots di sebelah timur. Pada sisi pegunungan tengah orang Damal hidup berbatasan dengan Suku Moni, dibagian barat dan timur berbatasan dengan Suku Taume, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan penduduk pantai, yaitu Suku Mimika/Kamoro. Menurut berbagai sumber, Suku Amungme merupakan bagian dari Suku Damal yang hidup dibagian tengah pegunungan Carstenzs. Mata pencaharian utama orang Damal tidak berbeda dengan suku-suku asal pegunungan lainnya yaitu sebagai petani kebun dengan tanaman utama keladi dan patatas sebagai makanan pokok. Selain itu mereka juga berburu dan meramu hasil hutan. Hewan yang biasa dibudidayakan adalah babi, hewan ini bukan untuk pemenuhan kebutuhan protein tetapi lebih sebagai hewan budaya yang harus ada pada setiap kegiatan adat atau keagamaan. Pada dasarnya orang Damal tidak berbeda dengan orang Amungme baik dalam sistem sosial, kepemimpinan, matapencaharian, bahasa, dan lain sebagainya. Bahkan orang Damal merupakan induk dari Suku Amungme sendiri Suku Nduga Orang Nduga yang ada di Timika mengaku berasal dari Mapenduma. Mereka bermigrasi ke wilayah Alama dan Tsinga yang merupakan wilayah Suku Amungme. Alasan perpindahan selain mencari lahan baru untuk pertanian juga areal perburuan, tetapi tidak diketahui kapan mereka bermigrasi ke wilayah ini. Menurut seorang tokoh masyarakat Nduga pada tahun 1940-an saat terjadinya perang dunia II mereka sudah menempati daerah Tsinga dan Alama. Di lokasi ini terjadi asimilasi bahasa antara orang Nduga dan Amungme. Pada tahun 1940/1950-an orang Nduga bermigrasi kembali ke Agimuga, saat Belanda 80

147 membuka daerah tersebut sebagai areal pertanian dan perkebunan kopi. Alasan migrasi selain tertarik dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda juga karena mereka tidak tahan dengan cuaca dingin di Tsinga dan Alama. Sebagian dari mereka ada yang melanjutkan perjalanan ke Jita daerah pantai hak ulayat Amungme. Di Agimuga inilah mereka menerima pekabaran Injil dan belajar bercocok- tanam secara lebih baik. Pada sekitar tahun 1960-an saat Belanda membuka wilayah Kokonao kembali mereka bermigrasi ke wilayah orang Kamoro tapi hanya sampai ke daerah Mapuru Jaya (Distrik Mimika Timur) dan berinteraksi dengan Suku Kamoro. Di tempat inilah mereka mulai belajar makan sagu, kemudian meneruskan perjalanan sampai di daerah Kwamki, bersamaan dengan turunnya orang Amungme wilayah pegunungan ke Kwamki, maka mereka pun hidup berdampingan kembali Suku Mee/Ekari Suku Mee pertama kali ditemukan oleh seorang pilot Belanda bernama Wissel di sekitar danau-danau yang kemudian dikenal dengan nama Paniai. Suku Mee ini tidak mengenal konsep pemberian atau hadiah. Segala sesuatu harus disewa, dikontrak atau dipinjamkan dengan perhitungan-perhitungan yang menguntungkan. Sama halnya dengan suku-suku lain wilayah pegunungan, hal yang berkaitan dengan kriminal dapat diselesaikan dengan pembayaran yang dianggap setimpal. Secara umum budaya Suku Mee tidak berbeda dengan suku lainnya yang berasal dari pegunungan (Amungme, Dani, Damal). Suku Mee merupakan etnik kedua terbesar di Papua setelah Suku Dani. Sama dengan suku asal gunung lainnya orang Mee/Ekari bermatapencaharian sebagai petani kebun dengan tanaman utama patatas/ubi-jalar. Ubi jalar dalam bahasa Mee disebut nota yang merupakan makanan pokok mereka. Mata-pencaharian lain adalah berburu dan meramu serta memelihara babi. Sama dengan suku lainnya, babi merupakan hewan budaya dan hewan investasi yang sewaktu-waktu bisa dijual bila ada keperluan uang dalam jumlah besar Suku Moni Wilayah Suku Moni berada di bagian barat dan utara Suku Amungme. Wilayah mereka berada di wilayah Enarotali terutama distrik Sugapa, Italipa, Agisiga, Bugalaga, Omeo, Kugapa. Di beberapa lembah sekitar Pegunungan Carstenzs 81

148 mereka berbaur dengan orang Amungme, Dani dan juga Nduga. Dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang ada di Mimika jumlah orang Moni paling sedikit. Cara bicara orang Moni lebih kuat dan lebih keras dibandingkan suku lainnya di wilayah pegunungan. Kekuatan bicara menjadi modal utama untuk melakukan negosiasi dengan pihak lain. Oleh karena itulah oleh beberapa pihak orang Moni dianggap lebih suka bernegosiasi dibandingkan dengan berperang. Dibandingkan dengan kelompok suku asal pegunungan lainnya, orang Moni dianggap lebih unggul dalam teknologi tradisional, hal ini terlihat dari keterampilan dalam memagari halaman rumah, rajutan noken, dan anak panah yang mereka gunakan bukan sekedar fungsional tetapi juga lebih sebagai kebanggaan bagi pemiliknya. Anak panah mereka memiliki ukiran cukup baik. Orang Moni mengaku memiliki jiwa sosial yang tinggi. Mereka hidup saling membantu misalnya untuk membuka kebun, mendirikan rumah atau untuk keperluan lain. Kebiasaan lain yang diakui masih dilaksanakan adalah meminjamkan babi kepada saudara yang mendapat masalah atau sebagai pejantan untuk babi betina saudaranya. Hal ini dilakukan untuk menjamin jika mereka menghadapi kesulitan akan mendapat bantuan dari keluarga yang pernah dibantu. Namun setelah mereka tinggal di wilayah perkotaan kebiasaankebiasaan tersebut diatas mulai hilang. Masalahnya adalah segala sesuatu di kota diukur dengan uang. Kegiatan gotong-royong misalnya apabila dianggap akan mengganggu aktivitas mencari uang tidak akan diikuti oleh anggota masyarakat. Tabel. 7.1 Penduduk Mimika menurut Suku Bangsa (Tahun 2006) Distrik Kamoro Amun Mee / Ndug Papua Non Dani Damal Moni g me Ekari a lain Papua Jum lah Mimika Barat Mimika Barat Jauh Mimika Barat tengah Mimika Timur Mimika Timur Tengah Mimika Timur Jauh Mimika Baru Kuala Kencana Tembaga Pura Agimuga Jila Jita Total Sumber: Penduduk Kabupaten Mimika, Bappeda-BPS

149 7.2. Program Pengembangan Masyarakat Dari Pemerintah Daerah a. Bappeda Dokumen program peningkatan kapasitas masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Mimika diperoleh dari Bappeda serta dinas terkait, yakni Dinas Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Menengah dan Kejuruan, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial. Ada tiga program yang dilakukan untuk peningkatan kapasitas masyarakat, yaitu yang terkait dengan program ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang dilakukan dalam kurun waktu Untuk bidang kesehatan dilakukan beberapa kegiatan yang merupakan kegiatan promosi untuk Hidup sehat yang dilakukan bersama dengan Dinas Kesehatan dan Penanggulangan AIDS serta Komisi Penanggulangan Aids (KPA). Untuk bidang ekonomi, ada program khusus untuk ibu-ibu Papua yang kurang mampu dengan memberikan bantuan modal usaha dan program PNPM Mandiri/Respek. Sedangkan untuk program di bidang pendidikan adalah Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA). Selain itu program-program lain yang direncanakan oleh Bappeda adalah pendidikan dan kesehatan gratis, yang juga bekerjasama dengan PTFI dengan cara membentuk tim khusus. Tim khusus ini dibentuk untuk mencari format yang tepat bagi program kesehatan gratis. Stakeholder yang terlibat adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Inspektorat, Bagian Hukum dan Keuangan serta Kementrian Kesehatan. Untuk pelaksanaan program pendidikan gratis, Bappeda menugaskan beberapa dinas dan institusi pendidikan seperti, Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah, Yayasan yang ada di Mimika (YPK, YPPK, Yapis, YPPGI, Yayasan Pendidikan Advent), Pemerhati pendidikan, kepala-kepala sekolah serta beberapa yayasan yang berada diluar Papua. Program lainnya, yang telah dibentuk dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) adalah program perlindungan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan melibatkan Dinas Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan dan pihak kepolisian serta USAid Kinerja (Bersama USAid Kinerja juga membuat Sistem Kesehatan Daerah) yang menjadi payung besar program kesehatan di 83

150 Kabupaten Mimika). Program-program lain yang telah dilaksanakan adalah program infrastruktur (pembangunan sekolah, Puskesmas dan rumah sakit) serta program lain yang terdapat di setiap SKPD. Sumber dana program-program tersebut berasal dari dana Otonomi Khusus (Otsus) dan juga APBD Kabupaten Mimika. Misalnya untuk program di bidang kesehatan, terdapat dana yang diberikan kepada KPA yang berasal dari dana Otonomi Khusus (Otsus) dan mengacu pada amanat Otsus bahwa alokasi untuk kesehatan adalah 15% 1. Program bantuan modal untuk ibu-ibu Papua pada tahun 2015 adalah sebesar Rp. 1,250 miliar dan dialokasikan setiap tahun. Sumber dana lainnya yang diharapkan adalah program CSR dari setiap perusahaan-perusahaan yang terdapat di kabupaten Mimika. Dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) tahun 2012, dijelaskan bahwa Pemkab Mimika menargetkan pendapatan sebesar Rp dan terealisasi sebesar Rp ,38 atau 98.76% 2. Dari anggaran tersebut, realisasi anggaran belanja langsung per-urusan Pemerintah Daerah dengan alokasi terbesar adalah untuk item urusan otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan, perangkat daerah dan kepegawaian, yakni sebesar Rp (dari pagu dana Rp ) atau sebesar 33% dari total anggaran belanja langsung (hal. IV- 3). Urusan Pendidikan dan Kesehatan masing-masing sebesar Rp dan Rp Berdasarkan LKPJ, Urusan Pendidikan terdiri atas 10 program dan 59 kegiatan. Menariknya, dari total 59 kegiatan tersebut, alokasi biaya terbesar adalah pada kegiatan penyediaan makanan dan minuman sebesar Rp , atau sebesar 19.8% dari total alokasi dana untuk Urusan Pendidikan. Hal yang sama juga ditemukan untuk Urusan Kesehatan, dari 16 program dan 57 kegiatan, item Penyediaan makanan dan minuman mendapatkan alokasi dana paling besar dibandingkan dengan kegiatan yang lain, yakni sebesar Rp atau sebesar 5.7% dari total anggaran untuk urusan kesehatan. Alokasi dan realisasi untuk anggaran selengkapnya untuk setiap Dinas dapat dilihat di LKPJ Kabupaten Mimika tahun Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pasal 36 ayat 2. LKPJ Kabupaten Mimika Tahun 2012 hal. III-3 84

151 b. Dinas Pendidikan Menengah dan Kejuruan Terdapat dua Dinas Pendidikan di Kabupaten Mimika masing-masing bertugas sesuai dengan lingkup kerja yang berbeda yakni Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) dan dinas Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur). Responden di Dikemenjur adalah Kabid Umum dan Program. Berdasarkan informasi yang diperoleh, program utama dari Dikmenjur adalah dengan membentuk Sentra Pendidikan, yang merupakan sekolah unggulan dari Pemerintah Kabupaten Mimika. Sentra Pendidikan ini terdapat SD, SMP dan SMA dengan berbagai macam fasilitas untuk penunjang proses belajar mengajar. Selain itu, kegiatan-kegiatan dan aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan, tenaga kependidikan dan pendidik akan dipusatkan di Sentra Pendidikan. Terdapat 3 program utama yang dilaksanakan oleh Dikmenjur, yakni : 1. Ujian Paket A, Paket B dan Paket C khususnya bagi masyarakat pesisir dan pedalaman. 2. Pembangunan sarana dan prasarana fisik. 3. Kegiatan seni dan budaya yang bekerja sama dengan PTFI dan LPMAK 4. Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA) Program di Dikmenjur masih di dominasi oleh program pembangunan fisik. Bahkan Dana Alokasi Khusus (DAK) terdapat 17 jenis kegiatan yang memfokuskan pada pembangunan fisik seperti penambahan ruangan kelas, pembangunan asrama, perpustakaan dan rumah guru. Pembangunan fisik sarana prasarana pendidikan ini masih sangat dibutuhkan di Kabupaten Mimika karena masih terdapat daerah di pedalaman yang belum memiliki sekolah dan masih terdapat sekolah-sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana pendukung. Selain itu, disebabkan juga oleh pemekaran-pemekaran sekolah atau pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) yang merupakan permintaan dari masyarakat yang disampaikan dalam Musrenbang, misalnya di Kokonau (SMA) dan Mimika Baru (SMK). Kegiatan seni dan budaya dalam bentuk festival seni dan tarian bekerja sama dengan PT FI dan LPMAK. Dikmenjur Kabupaten Mimika memiliki kegiatan yang sama dengan PT FI dan LPMAK sehingga kegiatan festival seni dan budaya ini dilaksakana secara bersama-sama. BOPDA di Kabupaten Mimika ditetapkan berdasarkan SK Bupati Kabuapten Mimika Nomor 16 tahun 2015 dan merupakan bantuan operasional pendidikan 85

152 untuk SK, SD, SMP, SMA/K. Program ini memberikan bantuan kepada setiap siswa/i yang dibayarkan setiap bulan dengan besaran seperti yang dapat dibaca pada Tabel 7.2. Tabel 7.2 Besaran Bantuan Operasional Pendidikan Daerah Kabupaten Mimika No Jenjang Sekolah 1 SD/MI Rp SMP/MTs Rp SMA/MA Rp SMK Rp c. Dinas Kesehatan Bidang kerja dalam instansi juga masih terbatas pada bidang kerja yang ada di Kementerian Kesehatan, yaitu Bidang Usaha Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Per orangan, Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, Bidang Sumberdaya Manusia Kesehatan, dan Bidang Kesehatan Lingkungan. Dalam penyusunan program untuk kabupaten, dinas ini masih fokus pada program nasional yang termuat dalam 14 program utama kementerian kesehatan. Sementara itu program bersifat lokal dititik beratkan pada program pengendalian HIV AIDS Proses Perencanaan Hingga Implementasi Program Pemerintah Daerah a. Bappeda dan Dinas Pendidikan Menengah dan Kejuruan Dasar penentuan suatu program disesuaikan dengan kebijakan Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam visi dan misi Pemerintah Daerah dan juga berdasarkan kebutuhan masyarakat dan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Kabupaten Mimika. Misalnya program Pendidikan Gratis dan Kesehatan Gratis bagi masyarakat. Program ini sejalan dengan visi dan misi Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kualitas SDM yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan daerah lain, sementara akses masyarakat terhadap pendidikan masih sangat kurang. 86

153 Penentuan sasaran dan lokasi program adalah berdasarkan aksesibilitas, kebutuhan dan permintaan masyarakat serta bebas konflik. Misalnya pemilihan lokasi untuk pembangunan sekolah ditentukan berdasarkan aksesibilitas. Dinas Pendidikan harus memastikan bahwa pembangunan sekolah harus dapat dilakukan di daerah-daerah terpencil dengan memastikan bahwa sekolah tersebut dapat diakses oleh masyarakat dan juga oleh Dinas terkait untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan. Harus dapat dipastikan bahwa biaya pembangunan sekolah tidak terkuras habis hanya untuk biaya transportasi yang cukup mahal dan sulit. Hal ini karena kondisi sosial dan geografis di Kabupaten Mimika, dimana masyarakat hidup terpencar satu sama lain (berdasarkan suku dan marga), serta tinggal di daerah-daerah pesisir (low land) dan pegunungan (high land) dan umumnya sulit akses. Selain itu, penentuan lokasi atau sasaran suatu program juga berdasarkan kebutuhan yang paling mendesak dari masyarakat. Informasi tentang kebutuhan yang paling mendesak ini didapatkan dari Musrenbang dan juga keluhan dan harapan langsung dari masyarakat yang disampaikan ke dinas terkait, anggota dewan dan bahkan Bupati. Faktor penting lain dalam penentuan lokasi dan sasaran program adalah bebas konflik. Misalnya dinas Pendidikan harus memastikan bahwa pembangunan sekolah di lokasi dan lahan tertentu sudah bebas dari klaim hak ulayat, telah terdapat pelepasan adat, sertifikat lengkap dan bukan merupakan program pembangunan sekolah dari pihak lain (over lap), misalnya PT FI atau yayasan-yayasan pendidikan. Program-program yang telah direncanakan dan dilaksanakan adalah berdasarkan Musrenbang serta kebutuhan masyarakat di Kabupaten Mimika. Menurut Kabid Pengendalian Bappeda, belum semua program tepat sasaran yang disebabkan oleh kemampuan dan ketersediaan dana untuk membiayai semua program yang diajukan oleh setiap SKPD. Bappeda belum memberikan anggaran yang sesuai dengan yang diharapkan oleh SKPD karena anggaran harus dibagi kepada SKPD yang lain. Hal ini menyebabkan program-program yang harusnya dapat menyentuh masyarakat secara luas, namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Misalnya pembangunan jalan, jembatan dan sekolah. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan responden di Bappeda, Dinas Pendidikan Menengah dan Kejuruan, kendala-kendala utama dalam proses perencanaan hingga implementasi program adalah sebagai berikut : 87

154 1. Koordinasi dan komunikasi antar stakeholder yang masih minim. Bappeda telah mengundang setiap SKPD bahkan masyarakat dalam Musrenbang, namun masih terdapat SKPD yang berjalan sendiri-sendiri tanpa berkordinasi dengan Bappeda dan SKPD terkait lainnya. Termasuk yayasan-yayasan, perusahaan-perusahaan yang terdapat di kabupaten Mimika yang menyusun dan melaksanakan program pembangunan masyarakat tanpa koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Mimika. 2. Perencana di tingkat SKPD dan bahkan Bappeda yang masih minim kuantitas dan kualitasnya. Masih terdapat SKPD yang menyusun Renstra meminta bantuan dari luar (jasa konsultan). 3. Konflik antar suku, klaim hak ulayat dan keributan yang menyebabkan terkendalanya program-program pembangunan di Kabupaten Mimika. Misalnya, sekolah Taruna Papua, guru dan siswa/i tidak berani kembali ke sekolah karena terjadi perang suku. Akibatnya proses belajar mengajar terganggu, sekolah ditinggalkan dan fasilitas belajar mengajar hilang dicuri. Selain itu, pemalangan yang terjadi terhadap aktivitas pembangunan jalan, sekolah dan jembatan oleh masyarakat yang mengklaim hak ulayat dan menuntut pembayaran ganti rugi atau kompensasi, sementara dana untuk kompensasi dan ganti rugi tidak termasuk dalam penganggaran. 4. Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) yang belum jelas (overlap dengan SKPD lain), Tupoksi yang belum dipahami oleh setiap aparat di setiap SKPD, sehingga ada overlap tugas dan tanggung jawab. Hal ini mengakibatkan tarik-menarik kegiatan antar SKPD. Selain itu, setiap kegiatan yang disampaikan oleh SKPD tidak memiliki indikator keberhasilan, sehingga menyulitkan untuk melakukan evaluasi. 5. Evaluasi belum dilakukan oleh SKPD dan bahkan oleh Bappeda. Pintar merencanakan, pintar melaksanakan tapi evaluasi tidak dilaksanakan -Kabid Pengendalian Bappeda, Kemampuan fiskal yang terbatas. Setiap program yang diajukan oleh SKPD tidak selalu mendapatkan persetujuan anggaran yang diharapkan, karena anggaran yang terbatas, serta alokasi anggaran untuk program atau kegiatan lain. 7. Kondisi sosial dan geografis kabupaten Mimika. Selain 7 suku, juga terdapat suku-suku lain dari Papua dan luar Papua. Keragaman yang tinggi (suku, 88

155 tingkat pendidikan, ekonomi, akses terhadap sarana dasar yang beragam) dari Kabupaten Mimika memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh agar program pembangunan dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Selain itu, kondisi geografis juga menyulitkan dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi program. Terdapat daerah dataran rendah/pesisir (low land) yang sulit akses, demikian pula di daerah dataran tinggi. 8. Tidak semua SKPD atau stakeholder hadir pada pertemuan atau rapat yang diselenggarakan oleh Bappeda, sehingga tidak diketahui program-program apa saja yang akan mereka laksanakan. Bappeda ataupun SKPD terkait lainnya tidak dapat memberikan masukan. 9. DPRD belum ada (belum dilantik). Hal ini menyulitkan pemerintah kabupaten Mimika dalam penyusunan dan pengesahan anggaran. Akibatnya, Bappeda langsung berkordinasi dengan Kemendagri di Jakarta sehingga memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh Pemkab Mimika (dalam hal ini Bappeda dan dinas terkait) untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Bappeda misalnya, membentuk Matriks Konsolidasi Perencanaan dan Penganggaran (MKPP) dan juga SIMonev (Sistem Informasi Monitoring dan Evaluasi). Selain itu melalui pertemuan rutin yang digagas oleh Bappeda dengan mengundang dan melibatkan SKPD dan juga stakeholder lain seperti perusahaan, yayasan, gereja dan juga masyarakat. Sistem MKPP yang dibangun oleh Bappeda ini merupakan tools untuk melihat setiap rencana kegiatan setiap SKPD, perkembangan program, kendala yang dihadapi, apakah program dapat terlaksana dengan baik dan untuk mengetahui program-program baru. SIMonev baru berjalan tahun Dengan SIMonev akan diketahui perkembangan setiap SKPD dalam melaksanakan programnya, pencapaiannya dan kendala serta solusi dalam pemecahan masalah atau kendala yang dihadapi. b. Dinas Kesehatan Sesuai dengan sifat dari instansi ini yaitu mengurusi kebutuhan masyarakat banyak terutama di bidang kesehatan, maka seluruh program fokus pada masyarakat. Dasar penentuan program pada dinas kesehatan ini yaitu mengacu pada program nasional pada keempat bidang diatas, terutama memfasilitasi, 89

156 meningkatkan, dan memperbaiki kesehatan masyarakat pada umumnya. Penentuan program-program tersebut adalah payung hukum kementerian kesehatan. Namun penentuan prioritas program dititikberatkan pada kebutuhan kesehatan masyarakat didaerah ini. Dinas kesehatan sebagai perangkat kerja daerah yang menangani kebutuhan masyarakat daerah ini di bidang kesehatan, menentukan program pelayanan kesehatan melalui kejadian atau masalah kesehatan prioritas yang harus ditangani. Dari keempat belas program nasional kemudian dikaitkan dengan kondisi kesehatan masyarakat daerah maka dilakukan prioritas penanganannya dalam program. Sementara itu penentuan lokasi program lebih diutamakan lokasi masyarakat yang lebih membutuhkan penanganan kesehatan. Dengan demikian penentuan sasaran dan lokasi program lebih didasarkan pada kebutuhan dan kondisi masalah kesehatan masyarakat. Dalam menentukan program, hampir tidak diperoleh kendala yang berarti. Permasalahan yang terjadi adalah sebagian besar pegawai di Dinas ini masih belum bisa membedakan program yang bersifat pemberdayaan atau program yang hanya bersifat memanfaatan dana saja. Walaupun demikian program yang ada di dinas ini selalu ada unsur pemberdayaannya. Pada Bidang Usaha Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Per orangan misalnya terdapat program pemberdayaan yaitu pembinaan keluarga pada Pos Pelayanan terpadu yaitu bagaimana menjadi suami siaga misalnya. Pada Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan dibuat program penyuluhan pencegahan malaria, pencegahan penyakit kaki gajah kepada masyarakat. Sementara itu pada Bidang Sumberdaya Manusia Kesehatan diberikan pelatihan bidan untuk masyarakat pedalaman yaitu Program Bidan Terlatih, dan pada Bidang Kesehatan Lingkungan, diadakan program penyuluhan pentingnya kebersihan lingkungan. Dalam pelaksanaan pprogram pemberdayaan tersebut juga mengalami kendala yaitu minimnya minat masyarakat untuk mengikuti penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan, terutama bila penyuluhan tersebut dilaksanakan secara khusus terpisah dari pelaksanaan Pos Pelayanan terpadu. Untuk meningkatkan pengetahuan pegawai dalam penentuan program, dilakukan penjelasan-penjelasan/sosialisai sebelum pembuatan program bagi masing-masing bidang program di dinas ini. Sebagai contoh, agar penyuluhan yang dilakukan lebih efektif, maka dilakukan pada saat ada kegiatan Posyandu. 90

157 Pentingnya penanganan masalah kesehatan, menjadikan program-program kesehatan menjadi primadona dalam pembangunan. Bukan hanya dana yang melimpah, juga banyak stakeholder yaitu baik lembaga swadaya masyarakat, lembaga non pemerintah luar maupun dalam negeri yang memberi fokus penanganan di bidang kesehatan masyarakat. PT Freeport Indonesia misalnya memfokuskan sebagian dana bagi hasil mereka untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di daerah ini. Dana tersebut dialokasikan pada lembaga swadaya masyarakat yaitu Lembaga Pelayanan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK). Kehadiran LPMAK menjadi mitra dinas kesehatan dalam menangani masalah kesehatan di daerah ini. Koordinasi yang terjadi yaitu diskusi antara program kesehatan mereka dan dinas menyediakan sumberdaya manusia kesehatan misalnya paramedia dan tenaga media yang dibutuhkan oleh mereka. Sejauh ini tidak terdapat masalah ataupun kendala yang berarti dalam koordinasi dengan LPMAK. Untuk menilai capaian pelaksanaan atas perencanaan yang dilakukan maka dilakukan monitoring dan evaluasi. Monitoring dilaksanakan secara rutin yaitu dilakukan pencatatan sejauh mana capaian atas program pada saat pelaksanaan pelayanan kesehatan pada Posyandu. Pegawai yang menangani program yang dititip dalam kegiatan Posyandu wajib melakukan monitoring pada kegiatan Posyandu tersebut. Dilakukan pengamatan sejauh mana program yang telah dilaksanakan yaitu berapa persen masyarakat yang telah menikmatinya dan selanjutnya dilakukan evaluasi. Sebagai contoh dalam penyuluhan suami siaga, apabila dalam pelaksanaanya diperoleh persentase suami-suami yang mau ikut serta mengantar isteri mereka periksa ke Posyandu belum mencapai target, maka dilakukan pendekatan kepada isteri mereka agar memberikan dorongan kepada suami mereka untuk berperan serta mengantar isterinya periksa kehamilan sebagai bentuk suami siaga. Evaluasi juga dilakukan secara silang antara dinas kesehatan dan LPMAK, dimana hasil monitoring program yang dijalankan bersama-sama dilakukan koreksi atas masing-masing kinerja, kemudian dilakukan diskusi untuk perencanaan program selanjutnya. Dalam implementasi program kesehatan kendala-kendala utama adalah minimnya kesadaran masyarakat pentingnya menjaga kesehatan terutama yang berasal dari lingkungan. Minimnya kesadaran atau pengetahuan akan sanitasi 91

158 lingkungan yang bersih dan sehat, minimnya perilaku hidup sehat oleh masyarakat. Hal ini yang menyebabkan program-program kesehatan secara nasional masih perlu dijalankan dan perlu ditingkatkan frekuensi maupun pendanaannya ke depan. Karena kendala minimnya kesadaran membutuhkan waktu dalam mengendalikannya. Sumber pendanaan yang digunakan oleh dinas kesehatan yaitu APBN, APBD dan dana sharing dari PT Freeport Indonesia, sementara itu dana kesehatan yang berasal dana otonomi Khusus lebih diutamakan pada pelayanan kesehatan untuk pembayaran jasa medis dan paramedis Program Pengembangan Masyarakat Dari PTFI Tahun 1967, PTFI mendapatkan komitmen dari pemerintah untuk melakukan investasi di Papua dalam bentuk kontrak karya I. PTFI hadir ditahun 1967 di kala masih belum memadainya fasilitas dan infrastruktur di Papua. Untuk menunjang operasional perusahaan dan memberikan akses kepada masyarakat, PTFI harus membangun sendiri infrastruktur penunjang, seperti pembangunan kota, akses jalan, power plant, instalasi air, transportasi dan airport. Selain pembangunan infrastruktur dan fasilitas, PTFI juga menjadikan program pengembangan masyarakat di Papua sebagai salah satu investasi sosial. PT Freeport Indonesia (PTFI) berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat di Papua, khususnya di Kabupaten Mimika. PTFI merupakan satu-satunya perusahaan swasta yang menjadi mitra Pemerintah Indonesia di Papua selama lebih kurang 50 tahun. PTFI masuk ke Indonesia (Papua) pada saat sebagian besar masyarakat belum tahu membaca, menulis dan berhitung, infrastruktur masih sederhana dan kehidupan masyarakat masih tradisional. Sejak kehadirannya di Papua, PTFI telah melakukan banyak sekali aktivitas dan program bagi untuk menunjang aktivitasnya seperti pembangunan jalan, pembangunan kota, instalasi listrik, air dan transportasi. Namun juga telah banyak melaksanakan program-program pengembangan masyarakat, sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Program-progam pengembangan masyarakat tersebut (PTFI menyebutnya Investasi Sosial) adalah Kesehatan, Pendidikan dan Ekonomi dan pengembangan kapasitas kelembagaan adat lokal. Kehadiran PTFI di Kabupaten Mimika yang pada tahun 1999 menjadi Kabupaten definitive dan sebelumnya tahun masih merupakan 92

159 kecamatan di Kabupaten Fak-fak, secara langsung juga memberikan dampak kepada 7 suku masyarakat yang tinggal di area sekitar PTFI. Suku Amungme dan Suku Kamoro adalah dua suku utama, sementara 5 suku kekerabatan di antaranya: Suku Dani, Suku Nduga, Suku Moni, Suku Damal dan Suku Ekagi yang semuanya berdomisili di wilayah seputar PTFI. a. Prinsip PTFI dalam menjalankan program pengembangan masyarakat PTFI memiliki 4 (empat) prinsip panduan dalam menjalankan program pengembangan masyarakatnya. Prinsip-prinsip panduan ini sesuai dengan kebijakan etis, sosial dan lingkungan FCX (Freeport-McMoRan Inc.) serta standard-standar international yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan dari industri-industri yang bergerak di bidang pemanfaatan sumber daya alam 3 : 1. Beroperasi sebagai pemangku kepentingan sektor swasta. PTFI berkomitmen untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat. dimana mereka beroperasi. 2. Membangun keberlanjutan. PTFI berkomitmen untuk menciptakan dan mendukung program-program yang mentransfer keahlian kepada masyarakat lokal dan menghasilkan dampak positif yang bertahan lama, yang berkelanjutan secara mandiri bahkan setelah tambang ditutup. 3. Menjalin kemitraan. PTFI berkomitmen untuk membentuk dan meningkatkan kemitraan yang mendayagunakan keahlian berbagai pemangku kebijakan untuk memenuhi pengembangan bersama yang menguntungkan masyarakat. 4. Menjadikan masyarakat sebagai mitra dan sasaran pengembangan. PTFI memprioritaskan program-program pengembangan masyarakatnya dengan terlebih dahulu melayani masyarakat yang menerima dampak paling besar dari operasi-operasinya. Dampak dari program pengembangan masyarakat PTFI menyebar dari: 10 wilayah area kontrak karyanya, 2) Kabupaten Mimika, 3) Propinsi Papua dan yang terakhir 4) Indonesia. b. Strategi keberlanjutan program dan kemitraan Strategi yang digunakan oleh PTFI untuk keberlanjutan dan kemandirian masyarakat adalah dengan mewariskan program-program berkelanjutan pada masyarakat sasarannya sehingga ke depannya tidak tergantung kepada bantuan 3 Laporan tahunan Community Affairs 2013 PTFI 93

160 PTFI (baik secara finansial maupun natura). Dan konsep ini dijabarkan dalam 3 fase 4, yaitu: 1. Fase 1: dari tahun Fase membangun, dimulai dari awal operasional sampai saat ini. Dimana dalam fase ini peran PTFI dalam pengembangan masyarakat porsinya cenderung masih lebih besar. 2. Fase 2: mulai tahun 1992 Fase integrasi, saat ini sampai penutupan tambang. Dalam fase ini diharapkan peran mitra lain dalam pengembangan masyarakat memiliki peran yang lebih besar dari peran PTFI. 3. Fase 3: tahun 2041 Fase monitoring & evaluasi, paska tambang. Dalam fase ini pemerintah dan mitra lain dalam pengembangan masyarakat sudah memiliki peran penuh dalam pengembangan masyarakat di Papua sementara PTFI sudah tidak mengambil peran. PTFI juga membina hubungan dengan masyarakat dan menjalankan program-program pengembangan masyarakatnya melalui strategi kemitraan seperti yang tecantum dalam salah satu prinsip-prinsip panduan yang tertera diatas. Salah satu strategi yang dilakukan PTFI dalam implementasi programprogram pengembangan masyarakatnya adalah dengan menjalin kemitraan bersama lembaga-lembaga adat yang menerima dana dari PTFI diantaranya: LPMAK (Lembaga pengembangan masyarakat Amungme dan Kamoro), Lemasa (Lembaga adat masyarakat Amungme), Lemako (Lembaga adat masyarakat Kamoro) serta Yahamak. c. Pendanaan investasi sosial PTFI Dalam menyalurkan dana program investasi sosialnya, PTFI membagi menjadi 4 penyaluran pendanaan: 1. Dana Operasional, dana ini dikelola langsung oleh divisi Community Affair PTFI. Digunakan untuk mengelola program-program pengembangan masyarakat: Program Kesehatan Program Pendidikan 4 Presentasi Umum Program Investasi Sosial PTFI,2015 dan penjelasan Bapak Yahya Alkatiri, staf community development PTFI, 6 November 2015 di Kantor PT Freeport, Timika. 94

161 Program Pengembangan Ekonomi Program Infrastruktur Kampung Program Pembangunan Kapasitas 2. Dana Kemitraan, 1% dana CSR ini dikelola oleh mitra PTFI yaitu LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Suku Amungme & Suku Komoro). Dana ini merupakan 1% dari Gross Revenue PTFI sehingga jumlah besaran angka bisa berubah tergantung hasil produksi. 5 Mekanisme penggunaan penyaluran dana ini adalah melalui pengajuan program dan anggaran yang diajukan oleh LPMAK. 6 Dana kemitraan ini digunakan untuk mendanai program yang dijalankan oleh LPMAK: Program Kesehatan Program Pendidikan Program Pengembangan Ekonomi Kegiatan adat dan keagamaan Dana Abadi 3. Dana Proyek, dana ini dikelola oleh Dept Non Community Affair PTFI Dana ini dgunakan untuk mendanai: Institut pertambangan Nemangkawi/IPN Asrama Tomawin Komite Kontribusi Proyek-proyek Khusus 4. Bantuan Kelembagaan, dana yang dikhususkan bagi kegiatan-kegiatan adat dari ke 7 suku disekitar area PTFI. Jumlah biaya investasi sosial PTFI selama 23 tahun terakhir ( ) sendiri adalah sebesar 1,3 Milyar US Dollar, yang dikelola LPMAK melalui dana kemitraan sebesar USD 634 Juta Dollar dan yang dikelola langsung oleh PTFI melalui dana operasional divisi pengembangan masyarakat sebesar USD 662 Juta. 7 5 Wawancara dengan Bapak Claus Wamafma, VP Community Development PTFI, 6 November 2015 di Kantor PT Freeport, Timika 6 Wawancara dengan Bapak Mautius Supriyatin, Kepala Biro ekonomi 7 suku, 7 November 2015 di RSMM Mimika. 7 Presentasi Umum Program Investasi Sosial PTFI,2015 yang dipresentasikan oleh Bapak Yahya Alkatiri, Staf community development PTFI, 6 November 2015 di Kantor PT Freeport, Timika 95

162 Kemitraan dengan LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Suku Amungme dan Suku Komoro). Gambar 7.1 Pembiayaan Program Sosial 2014 d. Kemitraan dengan LPMAK LPMAK merupakan salah satu mitra PTFI dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat, terutama masyarakat 7 suku yang berdomisili di area sekitar PTFI di Kabupaten Mimika. PTFI merupakan donor tunggal LPMAK untuk mengelola dana kemitraan PTFI sebesar 1% dana CSR. 8 Sejarah berdirinya LPMAK sendiri pun diawali dengan keinginan Presiden Soeharto untuk akselerasi pembangunan di Papua sehingga pada tahun 1996 dibentuklah PWT2 (Program Pengembangan Wilayah Timika Terpadu) yang diketuai oleh Ketua Bappeda Irian Jaya namun hanya berlangsung selama 2 tahun dikarenakan hasil audit sosial yang dilakukan oleh CODE Indonesia merekomendasikan bahwa pengelolaan program dari dana ini harus direstrukturisasi dan perencanaan dana dibekukan sampai ada lembaga penganti. 9 Tahun 1999 diganti menjadi LPMIRJA (Lembaga Pengembangan masyarakat Irian Jaya) dimana ketika LPMIRJA dibentuk PTFI harus menjelaskan kepada masyarakat mengenai pengertian dana 1%, untuk siapa dan untuk apa dana tersebut akan digunakan. Akan tetapi penjelasan ini belum dapat menghilangkan persepsi masyarakat yang keliru tentang pemanfaatan dana ini. Masyarakat masih berpikir bahwa dana 1% harus bisa langsung dinikmati oleh 8 9 Wawancara dengan Bapak Claus Wamafma, VP Community Development PTFI, 6 November 2015 di Kantor PT Freeport, Timika Presentasi Umum Program Investasi Sosial PTFI,2015 dan penjelasan Bapak Yahya Alkatiri, staf community development PTFI, 6 November 2015 di Kantor PT Freeport, Timika. 96

Sejak tahun 2009, tingkat kemiskinan terus menurun namun pada tahun 2013 terjadi peningkatan.

Sejak tahun 2009, tingkat kemiskinan terus menurun namun pada tahun 2013 terjadi peningkatan. Jiwa (Ribu) Persentase (%) 40 37.08 37.53 36.8 35 30 31.98 30.66 31.53 27.8 25 20 15 10 5 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tingkat Kemiskinan Sejak tahun 2009, tingkat kemiskinan terus menurun namun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Tim Penyusun. Perwakilan BKKBN Provinsi Papua 2014

KATA PENGANTAR. Tim Penyusun. Perwakilan BKKBN Provinsi Papua 2014 i KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas izin dan ridhonya sehingga penyusunan Pengembangan Model Solusi Strategik Penanganan Dampak Ancaman Disaster

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG PENGALOKASIAN DANA OTONOMI KHUSUS KABUPATEN/KOTA SE PROVINSI PAPUA TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

Seuntai Kata. Jayapura, Desember 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. Ir. Didik Koesbianto, M.Si

Seuntai Kata. Jayapura, Desember 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. Ir. Didik Koesbianto, M.Si Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK No. 59/11/Th. XI, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Papua Barat Agustus 2017 Agutus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

Paparan Progres Implementasi 5 Sasaran Kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba di Provinsi Papua PEMERINTAH PROVINSI PAPUA 2015

Paparan Progres Implementasi 5 Sasaran Kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba di Provinsi Papua PEMERINTAH PROVINSI PAPUA 2015 Paparan Progres Implementasi 5 Sasaran Kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba di Provinsi Papua PEMERINTAH PROVINSI PAPUA 2015 5 Sasaran Kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN Disampaikan pada Diklat Evaluasi RKAB Perusahaan Pertambangan Batam, Juli 2011 Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.1. Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN BAPPEDA PROVINSI SUMATERA BARAT Edisi 07 Agustus 2015

DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN BAPPEDA PROVINSI SUMATERA BARAT Edisi 07 Agustus 2015 DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN Edisi 07 Agustus 2015 Buku saku ini dalam upaya untuk memberikan data dan informasi sesuai dengan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu faktor penting dalam perencanaan pembangunan daerah adalah membangun perekonomian wilayah tersebut agar memiliki daya saing yang tinggi agar terus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BAHAN SOSIALISASI PERMEN ESDM NOMOR 38 TAHUN 206 TENTANG PERCEPATAN ELEKTRIFIKASI DI PERDESAAN BELUM BERKEMBANG, TERPENCIL, PERBATASAN DAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papua merupakan provinsi paling timur di Indonesia, memiliki luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Papua merupakan provinsi paling timur di Indonesia, memiliki luas wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Papua merupakan provinsi paling timur di Indonesia, memiliki luas wilayah terbesar dengan jumlah penduduk yang masih sedikit. Pemberlakuan Undang- Undang Desentralisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau

Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau Peraturan Daerah RPJMD Kabupaten Pulang Pisau 2013-2018 Kata Pengantar Bupati Kabupaten Pulang Pisau i Kata Pengantar Kepala Bappeda Kabupaten Pulang Pisau iii Daftar Isi v Daftar Tabel vii Daftar Bagan

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 29/05/32/Th.XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI JAWA BARAT FEBRUARI 2017 Angkatan kerja pada Februari 2017 sebanyak 22,64 juta orang, naik sekitar 0,46 juta orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT L A P O R A N K A J I A N INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT K E R J A S A M A P R O D I P E R E N C A N A A N W I L A Y A H S E K O L A H P A S C A S A R A J A N A U N I V E R S I T A S S

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

Provinsi Kabupaten/kota Laki-laki Perempuan Total

Provinsi Kabupaten/kota Laki-laki Perempuan Total Tabel 1. Perkiraan Jumlah Responden yang Mewakili Rumah Tangga menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Provinsi Laki-laki Perempuan Total (1) (2) (3) (4) (5) 01. Fakfak 10,747 6,081 16,828 02. Kaimana

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi nasional yang dapat dicapai melalui pembenahan taraf hidup masyarakat, perluasan lapangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PROFIL PEMBANGUNAN PAPUA

PROFIL PEMBANGUNAN PAPUA 1 PROFIL PEMBANGUNAN PAPUA A. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI WILAYAH Provinsi Papua terletak pada posisi2 o 25' LU - 9o LS dan 3 o 48' Lintang Selatan, serta 119 o 22' dan 124 o 22' Gambar 1. bujur Timur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 127/PMK.07/2017 TENTANG PELAKSANAAN DANA ALOKASI UMUM DAN TAMBAHAN DANA ALOKASI KHUSUS FISH( PADA ANGGARAN

Lebih terperinci

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN 2013 Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 Statistik Dasar UU NO. 16 TAHUN 1997 (TENTANG STATISTIK) Statistik yang pemanfaatannya

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

RPJMD KABUPATEN LINGGA DAFTAR ISI. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

RPJMD KABUPATEN LINGGA DAFTAR ISI. Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar i ii vii Bab I PENDAHULUAN I-1 1.1 Latar Belakang I-1 1.2 Dasar Hukum I-2 1.3 Hubungan Antar Dokumen 1-4 1.4 Sistematika Penulisan 1-6 1.5 Maksud dan Tujuan 1-7 Bab

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 2008 OTONOMI KHUSUS. PEMERINTAHAN. PEMERINTAH DAERAH. Papua. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4842) PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KESEHATAN RI Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-5 Kavling 4-9 Jakarta Telepon : (021) (Hunting)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-5 Kavling 4-9 Jakarta Telepon : (021) (Hunting) P E N G U M U M A N 02NoNOMOR: TU.02.06/IV/1344/2016/II/584/2014 HASIL SELEKSI ADMINISTRASI DAN PELAKSANAAN UJIAN TES KOMPETENSI DASAR PENERIMAAN APARATUR SIPIL NEGARA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH TAHUN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA TAHUN 2016 No. 25/05/94/ Th. II, 2 Mei 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA TAHUN 2016 Pada tahun 2016, IPM Papua mencapai 58,05. Angka ini meningkat sebesar 0,80 poin dibandingkan IPM Papua tahun 2015 yang sebesar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta, 18 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI 2 Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor terhadap Perekonomian Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor terhadap Perekonomian Provinsi BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini akan membahas tentang analisis peran PT Aneka Tambang Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor terhadap Perekonomian Provinsi Jawa Barat. Bab ini menguraikan tentang

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 20 BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 3.1. SITUASI GEOGRAFIS Secara geografis, Kota Bogor berada pada posisi diantara 106 derajat 43 30 BT-106 derajat 51 00 BT dan 30 30 LS-6 derajat 41 00 LS, atau kurang

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengembangan sumber daya mineral yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan dapat mendukung bagi perekonomian

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI PAPUA BARAT AGUSTUS 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI PAPUA BARAT AGUSTUS 2014 No. 54/11/91/Th. XIV, 5 November 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI PAPUA BARAT AGUSTUS 2014 Jumlah angkatan kerja di Provinsi Papua Barat pada Agustus 2014 mencapai 398.424 orang, mengalami peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 No. 06/11/53/Th. XV, 5 November 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2015 AGUSTUS 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,83 % Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Agustus 2015 mencapai

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota dan desa, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa maupun antara dua

BAB I PENDAHULUAN. kota dan desa, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa maupun antara dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia masih memunculkan adanya dualisme yang mengakibatkan adanya gap atau kesenjangan antara daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Arsyad (1999), inti permasalahan yang biasanya terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Arsyad (1999), inti permasalahan yang biasanya terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Arsyad (1999), inti permasalahan yang biasanya terjadi dalam pembangunan daerah berada pada penekanan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT PENGETAHUAN PAPUA PADA BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG DAN KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA KONDISI EKONOMI a. Potensi Unggulan Daerah Sebagian besar pusat bisnis, pusat perdagangan dan jasa, dan pusat industri di Priangan Timur berada di Kota Tasikmalaya. Wilayah

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *) BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.32/05/64/Th.XVIII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN TIMUR FEBRUARI 2015 *) Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Timur pada 2015 mencapai 1,65 juta orang yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci