Profil Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal di. Provinsi Banten

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Profil Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal di. Provinsi Banten"

Transkripsi

1 Profil Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal di Provinsi Banten (Kajian Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan Hidup dan Hutan ) DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROVINSI BANTEN 2017

2 KATA PENGANTAR Dalam peta etnografi, Indonesia dikenal sebagai sebuah Negara yang multi etnis, multikultur dan multiras, dibangun oleh ratusa suku bangsa dan ribuan kelompok masyarakat hukum adat dengan latar belakang budaya yang berbeda satu sama lain. Kemajemukan masyarakat penduduk Indonesia ini bukan saja dibentuk karena keberagaman etnis, melainkan juga perbedaanya dalam latar belakang sejarah, kebudayaan, agama dan system kepercayaan yang dianut, serta lingkungan geografisnya. Akan tetapi perbedaan tersebut mampu dibingkai menjadi visi yang sama yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Hukum Adat merupakan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat warisan leluhur, mereka hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam tanpa melupakan kelestarian alam itu sendiri. Hutan merupakan tempat masyarakat adat hidup dan mempertahankan kehidupannya, mereka mengambil apa yang mereka perlukan dan sebagai timbal baliknya mereka memberikan apa yang hutan butuhkan, yaitu perlindungan, pelestarian guna tercipta keseimbangan anatara hutan dan lingkungan hidup manusia. Dalam prakteknya, tercatat komunitas adat dengan latar belakang budaya yang berbeda yang ada di Indonesia (Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Di Provinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak, terdapat 2 tipologi masyarakat adat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak. Perda Kab. Lebak No. 32 tahun 2001 tentang Perlındungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan Perda Perda Kab. Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan. Eksistensi masyarakat adat kasepuhan di Provinsi Banten yang didukung oleh pemerintah Kabupaten Lebak, berimplikasi terhadap kuatnya identitas dan jatidiri asli, terjaminnya hak hak masyarakat adat, dan kebebasan masyarakat adat untuk melaksanakan tatali paranti karuhun yang menjadi ruh dari kehidupan masyarakat adat itu sendiri. Hal ini memberi ruang lebih kepada masyarakat adat di Kabupaten Lebak untuk melaksanakan ritual-ritual kebudayaanya dan melaksanakan pikukuh baik yang i

3 mengatur pola hubungan antar manusia, manusia dengan penciptanya dan manusia dengan alam sekitar. Terkait dalam hubungannya dengan alam, masyarakat Kasepuhan sudah menerapkan pola pemanfaatan hutan yang sustainable, dengan menggunakan sistem zonasi Hutan tutupan, Hutan Titipan dan Hutan Garapan. Patut disyukuri bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan sudah secara turun temurun turut mengkampanyekan dan mengimplementasikan program program pelestarian hutan meski dengan tata caranya sendiri, melalui tatali paranti karuhun, melalui simbol simbol entitas budaya, melalui perilaku perilaku ke-adat-nya, melalui kearifan lokal budayanya. Tentu saja pola-pola tersebut secara langsung membantu mengisi ruang ruang pengetahuan kosong tentang keterlibatan Masyarakat Adat pada program pemerintah dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten. Tulisan ini bukan merupakan hasil akhir yang sempurna, melainkan masih memerlukan perbaikan dan saran untuk menyempurnakan tulisan. Namun besar harapan kami agar tulisan sederhana ini dapat memberikan pemahanan enklusif terhadap pengimplementasian nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat akan pentingnya lingkungan hidup dan hutan, tidak hanya untuk dimanfaatkan oleh generasi sekarang tetapi dapat sustain untuk generasi dan kehidupan yang akan datang. Terobosan yang dibuat oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten, telah membuka jalan panjang tentang pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam men-sinergi-kan program program pemerintah dengan kearifan lokal sehingga program program tersebut dapat tepat sasaran dan bermanfaat signifikan tidak hanya terhadap penguatan entitas budayanya tetapi juga dapat seiring sejalan dalam menjaga dan melestarikan hutan dan lingkungan. Melalui kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran proses penyususnan tulisan ini, baik di lapangan maupun instansi terkait. Juni 2017 Tim Penulis ii

4 DAFTAR ISI Kata Pengantar Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan... i Pengantar Penulis... i Daftar Isi... iii Daftar Gambar... iv Daftar Tabel... vi Bab 1 Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal Pengertian Masyarakat Hukum Adat Pengertian Kearifan Lokal... 2 Bab 2 Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Banten Masyarakat Kanekes (Baduy) Masyarakat Adat Kasepuhan... 7 Bab 3 Kondisi Geografis, Alam dan Lingkungan Masyarakat Hukum Adat Letak Geografis, Alam dan Lingkungan Masyarakat Kanekes (Baduy) Letak Geografis, Alam dan Lingkungan Masyarakat Kasepuhan Bab 4 Prosedur Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data Sumber Data Primer Sumber Data Sekunder iii

5 Bab 5 Mayarakat Adat dalam Pelestarian Lingkungan Hidup dan Hutan Profil Masyarakat Adat Kanekes (Baduy) Sistem Kelembagaan Mata Pencaharian Agama Pendidikan Profil Masyarakat Kasepuhan Kasepuhan Cisungsang Kasepuhan Cicarucub Kasepuhan Citorek Kasepuhan Cirompang Kasepuhan Karang Kasepuhan Pasir Eurih Sistem Pertanian Masyarakat Adat Kasepuhan Keanekaragaman Flora dan Fauna Konsep Hutan Masyarakat Hukum Adat Kearifan Lokal Masyarakat Adat Pikukuh Karuhun Masyarakat Kanekes Tatali Paranti masyarakat Adat Kasepuhan Bab 6 Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA iv

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kain Tenun Baduy merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang harus dilestarikan... 3 Gambar 2. Peta Wilayah Masyarakat Kanekes (Baduy)... 5 Gambar 3. Suasana Upacara Adat Seren Taun dalam rangka Ngamumule pare (memelihara padi)... 8 Gambar 4. Padi adalah komoditas pertanian utama, masyarakat Kasepuhan pamali menjual padi (beras) Gambar 5. Masyarakat Baduy sedang menyemai benih padi (ngaseuk) di huma Gambar 6. Lahan pertanian (sawah & ladang) di Kasepuhan Cisungsang Gambar 7. Warga Baduy sedang emngencangkan ikat padi yang sedang dijemur Gambar 8. Anak-anak Baduy yang sejak kecil sudah terbiasa hidup dengan alam Gambar 9. Invasi teknologi terhadap masyarakat Baduy melalui pengunjung Gambar 10. Peta Wilayah Adat Kasepuhan Gambar 11. Kawasan Pusat Kasepuhan Cisungsang Gambar 12. Peta Wilayah Adat Kasepuhan Cicarucub 38 Gambar 13. Pusat Kawasan Kasepuhan Cisungsang Gambar 14. Peta wilayah Kasepuhan Citorek Gamabr 15. Peta Wilayah Adat Kasepuhan Cirompang Gambar 16. Rumah adat Kasepuhan Cirompang 45 Gamabar 17. Peta Wilayah Adat Kasepuhan Cirompang Gambar 18. Rumah Adat Kasepuhan Karang v

7 Gambar 19. Sawah dan hutan sebagai jantung dan paru-paru masyarakat adat Kasepuhan Gambar 20. Peta wilayah Adat Kasepuhan Pasir Eurih Gambae 21.Proses panen (dibuat/ngetem) di masyarakat adat Kasepuhan Gambar 22. Tanaman Kapol (tanamn obat) tumbuh subur dan dibudidayakn oleh masyarakat adat Gambar 23.Kerbau adalah satwa peliharaan masyarakat adat, setiap satu ekor kerbau diwajibkan membayar cacah jiwa sebesar Rp Gambar 24. Pemanfaatna hutan sampalan untuk kebutuhan lahan pemukiman dan pertanian DAFTAR TABEL Tabel 1. Pembagian Tugas/wewenang lembaga adat (Kapuunan) Tabel 2. Tata Guna Lahan Wilayah Adat Baduy Tabel 3. Tahapan pertanian sawah Tabel 4. Proses atau tahapan Ngahuma Tabel 5. Flora di Kawasan Kasepuhan Masyarakat Adat Banten Kidul Tabel 6. Fauan di Kawasan Masyarakat Adat Banten Kidul Tabel 7. Pelaksaaan Seba dari tahun 2013 sampai Tabel 8. Daftar Pikukuh Karuhun masyarakat adat Kanekes Tabel 9. Tatali parani karuhun dari para leluhur kepada Incu Putu di berbagai Kasepuhan vi

8 Bab 1 Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokal 1.1 Pengertian Masyarakat Hukum Adat Indonesia memiliki beragam komunitas adat yang tersebar di seluruh Nusantara, setiap masyarakat adat memiliki ciri dan identitas tersendiri yang membedakan antara masyarakat adat satu dengan masyarakat yang lainya. Masyrakat hukum adat juga memiliki beragam pengertian, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turuntemurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sistem sosial yang khas. 1 Sementara dalam program pemerintah yang digunakan sejak tahun masyarakat hukum adat juga dikenal dengan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang memiliki pengertian sebagai kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Masyarakat adat sering juga disebut masyarakat tradisional atau dalam istilah lain disebut indigeneous people, secara garis besar masyarakat adat adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan keseragaman pola hidup yang kemudian dijadikan pedoman, baik itu pedoman lisan maupun tulisan. Perbedaan masyarakat adat dengan masyarakat non adat adalah cara hidup masyarakat adat dengan pola yang berulang dan bahkan tetap, sehingga terkesan statis dan menutup diri dari kehidupan modern yang dinamis. Sementara itu menurut UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air menyebutkan bahwa : Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan 2 Selain itu dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa : Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun 1 Nyoman Shuida Masyarakat Adat dalam Pusaran Perubahan. Kemenko Bidang Pembangunan Manusia & Kebudayaan. Hal.3 2 Ibid. 11 1

9 temurun bermukim diwilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Dalam UU NO 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dijelaskan kriteria Masyarakat Hukum Adat, yaitu : (1) Masyarakat yang masih hidup dalam paguyuban; (2) Memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat adat; (3) Memiliki wilayah hukum adat yang jelas; (4) memiliki pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; (5) adanya pengukuhan dengan peraturan daerah. Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang masih menjaga aturan-aturan adat dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya sesuai amanat leluhur. 1.2 Pengertian Kearifan Lokal Kearifan lokal secara etimologis merupakan serapan dari bahasa Inggris, yaitu local wisdom. Dalam definisi Quartich Wales, local wisdom diartikan sebagai kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan saling berhubungan. 3 Local wisdom sebenarnya memiliki arti yang sendirisendiri. Local atau lokal adalah kondisi sebuah tempat atau setempat, sementara wisdom atau kearifan adalah sifat yang melekat pada karakter seseorang, yang berarti arif dan bijaksana. Ketika digabuungkan menjadi local wisdom maka mempunyai definisi atau makna yang sangat luas, terutama hal-hal yang menyangkut tatanan nilai, kebiasaan, tradisi, baik budaya maupun agama, yang menjadi aturan dan kesepakatan tempatan (lokalitas). Sehingga kearifan lokal dapat dimaknai sebagai suatu gagasangagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan tertanam serta diikuti oleh anggota masyarakatnya. 4 Kerafina lokal juga diartikan sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau 3 Dhila Fadhila dan Dadan Sujana, 2015 :Kearifan Lokal di Kabupaten Lebak-Provinsi Banten. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Banten. Hal 1. 4 Ahmad Baedowi Calak Edu 4 Esai-esai Pendidikan. PT. Pustaka Alvabet. Hal 61 2

10 peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Keraifan lokal merupakan cara masyarakat hidup dan mepertahankan kehidupannya dengan berpegang teguh pada keyakinan yang bersumber dari para leluhur atau nenek moyang. Gambar 1: Kain Tenun Baduy merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang harus dilestarikan Sumber : Kearifan lokal mengandung nilai-nilai suci firman Tuhan yang berkaitan dengan tata cara atau pedoman hidup. Kearifan lokal juga merupakan bentuk warisan nilai-nilai yang sudah sepatutnya untuk dijaga dan dilestarikan, tidak hanya sebagai cara mempertahankan hidup namun juga menjadi bagian atau identitas dari kelompok masyarakat tertentu. Kearifan lokal dapat dijumapai dalam berbagai bentuk, seperti dalam tarian, nyanyian, pepatah, kitab-kitab atau benda pusaka peninggalan para leluhur. 3

11 Bab 2 Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Banten 2.1 Masyarakat Kanekes (Baduy) Masyarakat Kanekes Masyarakat Baduy atau Masyarakat Rawayan adalah sekelompok masyarakat Sunda yang masih mempertahankan gaya hidup tradisional dan mengisolasi diri dari kehidupan modern, segala sesuatunya dilakukan dengan menggunakan aturan adat. Masyarakat Baduy terbagi ke dalam kelompok masyarakat Baduy Dalam dan masyarakat Baduy Luar, hal mendasar yang membedakan keduanya terletak pada ketaatan terhadap aturan adat, hal itu tampak dari cara berpakain dan keterbukaan terhadap kehidupan modern. Masyarakat Baduy Dalam sangat ketat dalam menjalankan setiap aturan adat, sehingga hal-hal yang baerbau modern sangat dihindari, dari segi pakain mereka biasa menggunakan pakaian putih dengan ikat kepala warna senada, berbeda dengan masyarakat Baduy Luar yang biasa menggunakan pakaian warna hitam dan ikat kepala warna biru motif batik Baduy. Masyarakat Baduy Luar sudah cukup terbuka dengan mulai mengenal perangkat teknologi komunikasi yaitu telefon genggam (hand phone). Istilah Baduy berasal dari nama tempat yang diambil dari nama sungai Cibaduy. Kemudian orang-orang yang tinggal di sekitar wilayah itu dikenal dengan nama orang Baduy, selain itu istilah Baduy juga berasal dari nama pohon yang hanya terdapat di kampung itu yaitu pohon Baduyut, yang kemudian juga dijadikan nama untuk menyebut orangorang yang tinggal di sekitar pohon-pohon itu tumbuh. 5 Keterangan lain menyebutkan bahwa kata Baduy berasal dari kata Budha, yaitu agama yang dianut oleh Prabu Siliwangi dan rakyat dari Kerajaan Padjadjaran, hal ini sejalan dengan sumber yang mengatakan bahwa asal muasal masyarakat Baduy adalah berasal dari masyarakat para punggawa Kerajaan Padjadjaran (sekitar abad XVI) yang melarikan diri dari kerjaaan, karena masuknya agama Islam ke wilayah Banten melalui Pantai 5 Nandang Rusnandar dkk Seba dalam Tradisi Masyarakat Baduy di Banten. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung. Hal. 65 4

12 utara Cirebon. Kemudian mereka melarikan ke daerah Banten selatan, di wilayah Pegunungan Kendeng. 6 Gambar 2 : Peta Wilayah Masyarakat Kanekes (Baduy) Selanjutnya ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka berasal dari kelompok masyarakat pengungsi yang terdesak oleh gerakan perluasan wilayah kekuasaan dan pengislaman dari Kesultanan Banten. Mereka menganut agama Hindu, dan pada mulanya menetap disekitar gunung Polosari (Kabupaten Pandeglang) yang berhasil ditundukan oleh Kesultanan Banten. Sebagian diantaranya berhasil melarikan diri ke arah selatan dan mendirikan pemukiman baru di tempat pengungsian mereka, maka jadilah pemukiman masyarakat Baduy. 7 Sedangkan menurut masyarakat Baduy sendiri, bahwa leluhur masyarakat Kanekes memang sudah sejak dahulu kala mendiami tempat yang mereka tempati sekarang, yaitu Desa Kanekes. Masyarakat Kanekes memiliki stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat berdasarkan status atau tingkatan tertentu sesuai kesepakatan. Pelapisan ini didasarkan pada sataus wilayah kemandalaan (tanah suci) Kanekes. Kemandalaan Kanekes terbagi menjadi tiga lokasi pemukiman : 6 Ibid. Hal 67 7 Ibid. Hal 68 5

13 (1) Wilayah Tangtu yang dikenal dengan Baduy Kajeroan atau Baduy Jero; (2) Wilayah Panamping, dikenal dengan sebutan Panamping; dan (3) Wilayah Dangka, yakni kampung yang dianggap dibawah keterikatan secara adat dengan orang Baduy yang mempunyai wewenang kemandalaan secara penuh. 8 Wilayah Tangtu terdiri atas tiga kampung atau dikenal dengan Tangtu Telu (tiga Tangtu), yaitu Cikesik, Cikartawana, dan Cibeo, ketiganya mempunyai otoritas kemandalaan penuh. Tangtu sendiri bermakan pasti (tentu) sehingga mereka yang tinggal di ketiga kampung tersebut wajib mengikuti setiap aturan adat secara mutlak. Penamaan tangtu berkaitan dengan kayakinan bahwa mereka adalah inti keturunan dan pendiri kampung. Orang tangtu juga dikenal dengan sebutan urang girang yaitu orang yang mempunyai strata lebih tinggi atau dengan kata lain istilah ini digunakan sebagai panggilan kehormatan terhadap orang tangtu. Panamping, kata panamping berasal dari kata tamping, atinya buang. Jadi Panamping merupakan kampung tempat pembuangan bagi orang-orang tangtu yang melanggar pikukuh (aturan) atau ketentuan adat. Panamping berada di luar tangtu telu, salah satu Panamping adalah Babakan Jaro yang merupakan pusat pemerintahan Desa Kanekes. Selanjutnya Wilayah Dangka, wilayah ini berada di luar Desa Kanekes, hampir sama dengan Panamping, Dangka juga merupakan tempat pengasingan atau pembuangan para pelanggar aturan adat. Mengenai Dangka, diantaranya ada Cihulu, Cibengkung, Panyaweuyan, Kompol, Kamancing, Nungkulan dan Cihandam. Terkait ketaatan terhadap aturan adat, masyarakat Dangka sudah cukup bebas, mereka hidup mengadopsi kehidupan modern dan menerima perubahan termasuk keyakinan dalam beragama. Masyarakat Kanekes dipimpin oleh tiga puun, yakni Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun Cikartawana. Orientasi atau kegiatan para puun merujuk pada pikukuh karuhun. Pikukuh merupakan ketentuan adat mutlak, sedangkan karuhun adalah para arwah nenek moyang. Pikukuh 8 Ibid, Hal 78 6

14 karuhun bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat Kanekes dan dunia ramai. Mensejahterakan dunia dengan prinsip tanpa perubahan apapaun, yaitu melalui : (1) ngabaratapakeun (melakukan tapa terhadap inti jagat dan dunia); (2) ngareremokeun (menghormati dengan cara menjodohkan Dewi Padi/Sanghyang Asri dengan bumi); dan mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan yang ada. 9 Proses menjalankan pemerintahan adat, ketiga puun memiliki tugas dan wewenang berbeda. Kapuunan Cikeusik bertugas mengurusi bidang keagamaan dan pengadilan adat, terutama dalam menentukan waktu pelaksanaan upacara-upacara adat (seren tahun, kawalu dan seba) dan memutuskan hukuman bagi para pelanggar adat. Kapuunan Cibeo berwenang mengurusi bidang pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan Kanekes, termasuk terkait ketertiban wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Kapuunan Cikartawana berwenang mengurusi bidang pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan dan monitoring yang berhubungan denga Kanekes. Dalam lembaga Kapuunan, puun dibantu oleh Girang Seurat ( sekretaris puun atau pemangku adat), Baresan (petugas keamanan kampung), Jaro (pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan), dan Palawari ( panitia tetap dalam berbagai kegiatan upacara adat) Masyarakat Adat Kasepuhan Masyarakat Kasepuhan berdasarkan cerita para baris kolot (tetua adat) bermula dari runtuhnya Kerjaan Padjadjaran, masyarakat adat percaya bahwa asal muasal Kasepuhan didirikan oleh keturunan Prabu Siliwangi yang melakukan perjalanan ke daerah sekitar gunung Halimun dan mendiami wilayah-wilayah baru yang kemudian berkembang menjadi perkampungan adat yang kini dikenal dengan istilah Kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan ka dan akhiran an. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa 9 Imam Hanafi dkk Nyorenag Alam Ka Tukang. Nyawang Anu Bakal Datang.RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment. Hal Ibid. Hal 15 7

15 Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, munculah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). 11 Penyebaran masyrakat Kasepuhan mengakibatkan banyaknya jumlah Kasepuhan yang tersebar di Kabupaten Lebak, masyarakat Kasepuahan mendiami lerenglereng di pegunungan, hal itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Kasepuhan menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian (huma dan sawah), dengan padi sebagai komoditas utama, padi yang ditanam oleh masyarakat kasepuhan berbeda dengan padi pada umunya, masyarakat adat mengenalnya dengan nama pare Geude (padi besar). berbeda dengan padi biasa, pare Geude mempunyai masa tanam selama enam bulan, sehingga dalam setahun masyarakat adat hanya menanam padi sebanyak satu kali. Gambar 3 : Suasana Upacara Adat Seren Taun dalam rangka Ngamumule pare (memelihara padi) Meskipun sekarang ada beberapa Kasepuhan yang menanam padi dua kali dalam setahun, namun padi musim kedua bukan merupakan pare Geude yang biasa ditanam, tapi padi kecil yang merupakan hasil kolaborasi dengan pemerintah dalam upaya pengembangan sektor pangan. Masyarakat Kasepuahan bersifat nomaden atau berpindah-pindah, hal ini 11 diakses pada tanggal 12 Juni 2017 pukul

16 yang kemudian menjadi salah satu alasan kenapa rumah adat di Kasepuhan adalah rumah panggung atau semi permanen bergaya tradisional, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang diperoleh dari alam sekitar, rumah panggung beralaskan palupuh atau lantai bambu atau papan kayu, dinding dari bilik bambu serta atap dari hateup (daun kiray/sagu) berlapiskan ijuk pohon aren. Perpindahan dari satu daerah ke daerah lain tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan harus melalui wangsit dari para leluhur, sehingga tidak peduli berapa lama sudah menempati daerah tertentu, jika wangsit mengharuskan untuk pindah, maka tidak ada tawar menawar lagi, memang sudah seharusnya untuk ngalalakon (berkelana/pindah). Perpindahan ini hanya berlaku untuk pusat kasepuhan, bukan perkampungan yang dihuni masyarakat adat keseluruhan, itulah sebabnya masyarakat adat diluar area pusat Kasepuhan diizinkan membangun rumah permanen dan mengadopsi arsitektur modern. Kehidupan sosial masyarakat adat tidak terlepas dari aturan atau norma-norma adat, ada tiga sistem aturan yang dianut masyarakat adat Kasepuhan dan digunakan sebagai pedoman hidup, yaitu sistem adat, agama dan pemerintahan. Ketiganya digunakan secara beriringan tanpa ada benturan. Proses kehidupan bermasyrakat di Kasepuhan memiliki keunikan tersendiri, rutinitas masyarakat adat adalah bercocok tanam (tani), ada pula yang berdagang, gurandil (penambang emas tradisional), pengrajin dan tukang. bahasa kesehariannya adalah bahasa Sunda yang terbagi menjadi Sunda Alus dan Sunda kasar. Pakaian masyarakat adat serba hitam (khususnya saat ritual-ritual adat), ada pula pakaian adat yang berwaran putih, ciri masyarakat adat Kasepuhan adalah selalu menggunakan iket (ikat kepala) bagi kaum laki-laki. Namun jika dalam keseharian, masyarakat Kasepuhan juga bergaya santai seperti masyarakat modern pada umumnya. Warna hitam yang digunakan sebagai warna pakaian adat bermakna paham atau mengerti, hal ini karena dalam bahasa Sunda, hitam artinya hideung, sedangkan kata hideung merupkan bentuk lain dari hideng, sementara hideng itu sendiri bermakna paham atau mengerti. Sedangkan warna pakaian putih melambangkan kesucian dan 9

17 kebersihan hati, sehingga cara berpakain melambangkan bahwa hanya dengan kebersihan atau kesucian hati dan pikiran dapat memahami berbagai fenomena atau teka-teki dalam kehidupan. Aturan adat Kasepuhan biasanya berbentuk kalimat siloka atau teka-teki, bukan dalam bentuk kalimat sederhana, maka dari itu perlu penafsiran mendalam tentang istilah yang dikemukakan oleh para karuhun. Masyarakat hukum adat menggunakan adat istiadat sebagai pedoman hidup dalam sosial kemasyarakatan, aturan tersebut kemudian diwariskan secara turun menurun. Masyarakat adat kasepuhan berpegang pada filosofi tatali paranti karuhun, secara harfiah tatali paranti karuhun bermakana mengikuti, mentaati serta mematuhi tuntutan rahasia seperi yang dilakukan para karuhun (leluhur) yang merupakan landasan moral dan etik. Nilainilai kearifan lokal tatali paranti karuhun tidak hanya tercrmin dalam tataran religius tapi juga termnifestasikan dalam kehidupan sosial, sistem kepemimpinan, dan tata cara berinteraksi dengan alam. 12 Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat ditemukan melalui berbagai aspek kehidupan manusia, salah sataunya tercermin dalam tata cara bersosialisasi masyarakat adat, yaitu "Hiji ucap, dua lampah, tilu tekad". Artinya yaitu : (1) 'ucap' yang berarti perkataan, perkataan seseorang dapat mencerminkan seperti apa orang tersebut, jadi setiap perkataan mendeskripsikan identitas seseorang itu tadi. pada konteks ucapan atau perkataan, masyarakat adat mempunyai aturan atau norma-norma yang bersifat lisan, walaupun tidak tertulis, tapi aturan itu berlaku dan dipatuhi oleh anggota masyarakat adat. Sebagai contoh, masyarakat adat mengenal istilah pamali, yaitu sebuah larangan untuk tidak melakukan sesuatu yang karena sifatnya dapat merugikan. Sebagai sebuah larangan, pamali mempunyai konsekuensi bagi pelanggarnya yaitu kabendon (bencana). Percaya atau tidak, ketika anggota masyarakat adat melakukan sebuah kesalahan atau melanggar aturan adat yang telah ditentukan, maka hal buruk akan terjadi kepada pelanggarnya, baik itu penyakit yang tak 12 Imam Hanafi dkk Nyorenag Alam Ka Tukang. Nyawang Anu Bakal Datang.RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment. Hal 16 10

18 kunjung sembuh, usaha yang selalu merugi atau bahkan pada tingkatan paling fatal akan mengakibatkan pelanggarnya mati mendadak. Contoh kongkrit larangan atau pamali di masyarakat adat Kasepuhan adalah teu meunang ngajual beas, beas mah nyawa (tidak boleh menjual beras, beras adalah nyawa). Gambar 4 : Padi adalah komoditas pertanian utama, Padi juga dianggap jelmaan Nyai Sri (Dewi Padi). Foto : Joe Sehingga hasil panen padi selama satu tahun hanya akan dikonsumsi sendiri dan sisanya disimpan di Leuit sebagai cadangan pangan untuk dua sampai tiga tahun kedepan. Analogi beras disejajarkan dengan nyawa, artinya padi atau beras mempunyai kedudukan begitu luhur dalam pandangan masyarakat adat Kasepuhan. Masyrakat Kasepuhan percaya bahwa padi merupakan jelmaan dari Nyai Sri (Nyai Pohaci) atau Dewi Padi. Sebagai jelmaan sosok seorang Dewi, padi begitu diistimewakan, maka dari itu ada ritual Ngamumule Pare atau merawat dan memanjakan padi. Ngamumule pare dilakukan selama siklus musim panen, yang setiap proses dalam menanam padi selalu disertai dengan berbagai ritual, mulai dari nibakeun sri ka bumi (proses awal menanam benih padi), teubar (proses menebarkan benih padi), tandur (menanam padi di sawah), 11

19 salamet pare nyiram (syukuran saat padi mulai akan berbuah), mipit (ritual tanda akan dimulainya proses memanen padi), dibuat (proses panen padi tradisional dengan Etem), Mocong (proses membersihkan dan merapikan padi), Ngunjal yaitu membawa padi dari lantaian (penjemuran) menuju lumbung atau leuit, Ngadiukeun (ritual memasukan padi hasil panen ke dalam lumbung padi) atau juga istilah lainnya ngamitkeun sri ti bumi (ritual merapikan atau memasukan padi yang tadinya di tebar di sawah bumi ke dalam leuit), nganyaran (ritual pertama kali memasak pare anyar atau padi baru yang selesai dipanen) Seren taun (ritual puncak syukuran sebagai penutup dan awal akan dimulainya proses menanam padi kembali). (2), 'lampah' atau perbuatan, sejatinya antara apa yang diucapkan harus sesuai dengan apa yang dilakukan, perbuatan juga mendeskripsikan pribadi seseorang. Bagi masyarakat adat, setiap tindakan yang akan dilakukan harus sesuai dengan ketentuan adat. Bentuk-bentuk karifan lokal tercermin dalam tindakan berupa ritual-ritual warisan nenek moyang yang hingga kini masih tetap dilestarikan. Ritual yang dilakukan tidak hanya bersifat seremonial semata, namun juga memiliki nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan identitas masyarakat adat yang hidup tertata sesuai aturan adat. Salah satu fiosofi masyarakat adat yang mengatur konsep bagaimana seharusnya bersikap tertuang dalam pepatah atau wasiat para karuhun (leluhur) nyucrug galur mapay wahangan nete taraje nincak hambalan, yang artinya dalam kehidupan sehari-hari kita harus jujur mengikuti apa yang telah digariskan, tidak boleh menentang apa yang bukan haknya. (3) tekad yaitu berkaitan dengan keteguhan dan keyakinan masyarakat adat dalam melestarikan apa yang menjadi keyakinannya. Tekad ini tercermin dalam kuatnya aturan-aturan adat atau kebiasaan masyarakat adat yang masih terjaga yang bahkan tidak lekang oleh waktu, walaupun zaman sudah berganti. Masyarakat Kasepuhan bersifat adaptif bukan primitif, sehingga teknologi atau inovasi modern sangat diterima, meskipun beberapa penggunaan teknologi masih belum diizinkan atau istilahnya can nepi ka zaman artinya belum waktunya. Masyarakat Kasepuhan menganut filosofi 12

20 'hirup kudu ngigeulan zaman' atau dalam istilah lain 'ngindung ka waktu, ngabapak ka zaman', filosofi itu mencerminkan bahwa, masyarakat Kasepuhan begitu terbuka mengenai perubahan zaman, mereka menyadari bahwa dunia terus berputar dan zaman pun ikut berganti, sehingga diperlukan adanya penyesuaian agar terjadi keseimbangan antara aturan adat dan kondisi zaman saat ini. Kendati demikian, dengan adanya keterbukaan itu maka tidak secara otomatis menghilangkan tradisi lama dan menggantinya dengan cara baru, ada pakem atau patokan yang tetap dijaga, sehingga keaslian atau hakekat dari tradisi tersebut tidak mengalami perubahan. Penyesuaian terhadap kemajuan zaman terlihat dalam berbagai aspek, dalam teknologi pertanian misalanya, dahulu masyarakat Kasepuhan menggunakan kerbau untuk membantu membajak sawah, namun sekarang sudah menggunakan traktor yang dirasa lebih cepat dan efesien dari segi waktu dalam membajak sawah. Meski demikian tidak semua Kasepuhan melakukan hal yang sama, terdapat beberapa Kasepuhan yang masih menahan diri dari penggunaan teknologi tersebut dengan alasan can nepi ka wanci, can datang ka jaman (belum saatnya). Pada dasarnya masyarakat Kasepuhan hampir sama dengan masyarakat modern, hanya saja mereka memadukan sikap taat pada aturan adat namun juga tetap menyambut baik modernisasi selama tidak bertentangan dengan aturan adat. Dari ketiga aturan adat (ucap, lampah, dan tekad) semuanya merunut pada bagaimana pola masyarakat hidup dengan tetap mempertahankan nilai-nilai warisan leluhur di tengah-tengah kehidupan yang modern. Disisi lain ucap, lampah dan tekad juga merupakan konsep hidup yang begitu luhur, yaitu konsep hidup yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah keselarasan, keseimbangan dan kedewasaan dalam bertindak dalam menyikapi setiap persoalan. Aturan adat bersifat mengikat sehingga pengikutnya dituntut untuk taat dan patuh guna terciptanya kehidupan yang sesuai tatali paranti karuhun. 13

21 Bab 3 Kondisi Geografis, Alam dan Lingkungan Masyarakat Hukum Adat 3.1 Letak Geografis dan Alam dan Lingkungan Masyarakat Kanekes Daerah Tatar Kanekes, secara Astronomis berada pada posisi ; 6 o 27 :27 Lintang Selatan (LS) sampai dengan 6 o 30 :00 Lintang Selatan (LS) 108 o 3 :9 Bujur Timur (BT) samapai dengan 106 o :55 Bujur Timur (BT). Batas Wilayah Administratif Desa Kanekes sebagai wilayah Masyarakat Baduy yang memeiliki batas-batas Desa sebagai berikut : 13 a. Utara : 1. Desa Bojong Menteng Kecamatan Leuwidamar; 2. Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar; 3. Desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar. b. Barat : 1. Desa Parakan Beusi Kecamatan Bojongmanik; 2. Desa Keboncau Kecamatan Bojongamanik; 3. Desa Karang Nunggal Kecamatan Cigemblong; c. Selatan : Cikate Kecamatan Cigemblong. d. Timur : 1 Karang Combong Kecamatan Muncang; 2 Desa Sukajaya dan Sinarjaya Kecamatan Sobang; 3 Cidikit Desa Hariang Kecamatan Sobang. Batas Alam, wilayah masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam sebagai berikut : a. Utara : Sungai Ciujung; b. Selatan : Sungai Cididkit; c. Barat : Sungai Cibarani; d. Timur : Sungai Cisimeut. Kondisi lingkungan masyarakat Baduy berada di sekitar wilayah Pegunungan Kendeng, dengan wilayah yang memiliki tipe alam bertofografi perbukitan. Keadaan wilayah yang berbukit-bukit menjadikan masyarakat baduy mengandalkan sistem pertanian kering yaitu huma. 13 Ibid. Hal

22 Biasanya masyarakat Baduy bermukim tepat di kaki Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, dengan ketinggian meter di atas permukaan laut (MDPL), struktur tanah tersusun atas tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan), dengan suhu rata-rata 20 0 C. 14 Desa Kanekes yang termasuk dalam Kecamatan Leuwidamar berjarak sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Lebak yaitu Rangkasbitung. Daerah Kanekes berada di daerah subur dengan banyak aliran sungai, sungai terbesar yang mengalir di daerah Kanekes yaitu Sungai Ciujung, sungai ini berhulu di daeah selatan wilayah Tangtu. Sungai Ciujung mengalir ke bagian hilir melintasi wilayah Rangkasbitung dan bermuara di pantai utara laut Jawa. Dengan demikian, dipandang dari Daerah Aliran Sungai (DAS) wilayah Kanekes merupakan daerah penting yang merupakan daerah hulu DAS Ciujung, yang aliran sungainya dimanfaatkan untuk pelbagai kebutuhan penduduk, seperti mandi, mencuci, menangkap ikan, mengambil pasir dan transportasi. 15 Jumlah penduduk masyarakat Baduy diperkirakan mencapai 12 ribu jiwa yang mendiami 65 kampung. Mengutif dari pemberitaan detikcom bahwa : Kebutuhan lahan Baduy terus meningkat seiring dengan terus bertambahnya jumalah populasi. Hak Ulayaat adat Baduy yang hanya seluas 5.136,8 hektare sudah tidak mencukupi untuk penghidupan penduduk Baduy, yang setiap tahun meningkat. Apalagi pemanfaatan lahan itu masih dibatasi dengan berbagai aturan seperti peruntukan utan larangan dan sasaka domas (tempat yang disucikan bagi Baduy). Orang Baduy, lebih-lebih orang luar, tak boleh menginjak dan memanfaatkan lahan seluas hektare ini. 16 artiya permasalahan kekurangan lahan merupakan situasi terkini yang dialami masyarakat Baduy, mengingat mereka sangat tergantung dari alam, sehingga bagaiamna mereka akan 14 Ibid. Hal Ibid. Hal Sempit/index.php, diakses pada 13 Juni 2017 pukul

23 melanjutkan kehidupannya sementara lahan tempat mereka hidup sudah semakin berkurang. Masih berkaitan dengan penggunaan lahan, hampir seluruh lahan yang ada digunakan untuk pertanian lahan kering (huma). Lahan yang digunakan adalah lahan pegunungan yang termasuk dalam wilayah Desa Kanekes. Pertanian huma sifatnya berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan yang lain dalam kurun waktu tertentu. Berebeda dengan masyarakat Kasepuhan yang juga menggarap sawah (pertanian lahan basah), justru pertanian sawah ini sangat dilarang oleh pikukuh, yang masyarakat Kanekes menyeebutnya buyut (tabu). Gambar 5 : Masyarakat Baduy sedang menyemai benih padi (ngaseuk) di huma Sumber : Sistem pertanian sawah memerlukan air yang direkayasa dari aliran tetap (sungai) untuk kemudian dialirkan ke sawah dan benih padi akan ditanam di lahan basah, sedangkan merekasaya ketetapan aliran sungai adalah hal yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan kodrat alam sehingga dipandang buyut, begitu pula dengan membiarkan padi tergenang dalam air juga sesuatu yang dilarang (buyut). Selain itu proses pertanian sawah juga perlu proses membajak, yang pada prakteknya dipandang merusak kodrat atau ketetapan bumi (tanah). Tidak sebatas dalam sistem pertanian yang amat sangat sederhana dengan tidak merusak ketetapan alam lingkungan, hal serupa juga berlaku pada aktivitas lain 16

24 dalam keseharian seperti dalam menangkap ikan. Proses menangkap ikan juga tidak boleh menggunakan pancing, ikan hanya boleh ditangkap dengan menggunakan jala, bubu atau alat sair. Tidak ada istilah peternakan dalam sistem kehidupan masyarakat Baduy, tidak boleh memelihara kambing, sapi, kerbau, bahkan tidak diizinkan untuk menyembelih hewan-hewan tersebut. Hewan yang dipelihara hanya ayam dan anjing sebagai teman berburu. Sistem jual beli hanya terjadi pada masyrakat Baduy Penamping, yang memang sudah terbuka, itu juga semata hanya untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Sementara Baduy Dalam masih menggunkan sistem barter untuk mendapatkan barangbarang tertentu Letak Geografis, Alam dan Lingkungan Masyarakat Adat Kasepuhan Masyarakat adat Kasepuhan tersebar di daerah kabupaten Lebak bagian selatan, masyarakat Kasepuhan adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan pola perilaku sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik Sunda pada abad ke Masyarakat Kasepuhan tersebar di beberapa Kecamatan di Kabupaten Lebak-Banten. Jumlah Kasepuhan terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Cibeber- Lebak, yaitu Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek. Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cibadak, dan Kasepuhan Ciherang. Sedangkan Kasepuahan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih berada di Kecamatan Sobang-Lebak serta Kasepuahn Karang yang terletak di Kecamatan Muncang-Lebak. Kasepuhan juga terbagi menjadi Kasepuhan induk, yaitu Kasepuhan besar dan ada juga Kasepuhan kecil atau Kaolotan yang tersebar di berbagai wilayah. Wilayah Kasepuahn berada di sekitar lahan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dengan kondisi wilayah pegunungan dan perbukitan. Wilayah yang 17 Nandang Rusnandar dkk Seba dalam Tradisi Masyarakat Baduy di Banten. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung. Hal Imam Hanafi dkk Nyorenag Alam Ka Tukang. Nyawang Anu Bakal Datang.RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment. Hal 16 17

25 berbukit-bukit mempengaruhi sistem pemukiman dan pertanian yang semuanya sangat tergantung dengan alam. Masyarakat Kasepuhan mengandalkan sistem pertanian lahan kering yaitu huma dan juga pertanian lahan basah atau sawah. Lokasi Kasepuhan yang berdampingan dengan wilayah Konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadikan wilayah tersebut merupakan representasi terlengkap yang menggambarkan hutan hujan pegunungan yang ada di Jawa. Terdata (diyakini dapat beertambah, karena belum seluruh kawasan diinventarisasi) kawasan ini merupkan habitat bagi lebih daroi 500 spesies tumbuhan, 156 anggrek, 244 spesies burung (27 diantaranya endemik Jawa dengan sebarab terbatas), 16 spesies kodok, 12 spesies kadal, 9 spesies ular dan 61 jenis mamalia khas. 19 Kawasan Ekosistem Halimun adalah kawasan pegunungan yang selalu diselimuti kabut, masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan itu awalnya lebih mengenal tempat tersebut sebagai Kawasan Gunung Sangga Buana atau Tutugan Sangga Buana atau Leuweung Pangabuan Sangga Buan yang bermakna gunung penyangga bumi, salah satu gunung yang di dalamnya terdapat gunung Halimun. Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul percaya bahwa Gunung Halimun merupakan satu kesatuan urat Gunung Kendeng yang tidak putus dari ujung timur sampai ujung barat dan sebagai penciri dalam pengelolaan wilayah. Pada sebagaian wilayah masih dilarang menggarap (membuka hutan) atau menebang pohon. Kegiatan yang diperbolehkan hanya sebatas pemanfaatan hutan non kayu berupa rotan, madu, jamur dan tanaman obat. 20 Lahan pertanian masyarakat adat Kasepuhan terbilang subur, ditambah dengan metode bercocok tanam sistem tumpang sari. Selain itu dikarenakan masyarakat Kasepuhan rata-rata hanya menanam padi sekali 19 Yoki Yusanto, Ahmad Sihabudin dan Henriana Hatra Kasepuhan Cisungsang. Pustaka Getok Tular & PT. Kemitraan Energi Industri. Hal Ibid. Hal 17 18

26 dalam setahun yang kurang lebih dalam kurun waktu enam bulan, artinya ada tenggat waktu sekitar enam bulan antara musim tanam dan musim rumpakjami (musim istirahat). Disadari atau tidak sistem pertanian seperti ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah, mengingat lahan pertanian juga perlu diistirahatkan, perlu waktu untuk kembali memulai kembali proses penyuburan lahan secara alami. Disamping bertani yang merupakan mata pencaharian utama, masyarakat Kasepuhan juga berternak, namun hal ini terkesan ala kadarnya, karena memang bukan merupakan prioritas layaikanya komoditas padi. Gambar 6 : Lahan pertanian (sawah & ladang) di Kasepuhan Cisungsang Foto : Joe Hewan-hewan ternak yang umum dipelihara oleh masyarakat adat diantaranya ayam kampung, bebek, kambing, dan kerbau. Terkesan asalasalan dalam berternak karena diakibatkan dari salah satu filosofi hidup masyarakat adat yaitu hirup sacukpna (hidup secukupnya) sehingga pada konteks berternak, masyarakat tidak berpikir untuk menjadikannya sebagai komoditi usaha, hanya sebatas keperluan semata, mengingat ayam kampung selalu dipakai untuk acara-acara selametan atau ritual tertentu dan memang tidak boleh menggunakan jenis ayam lain, kecuali untuk konsumsi sehari-hari. Masih terkait dengan hewan ternak, ada hewan ternak yang wajib dikenai pajak, atau masyarakat adat menyebutnya ngajiwa (sensus pada konsep tradisional), hewan tersebut adalah kerbau, setiap kepemilikan kerbau diwajibkan membayar ngajiwa sebesar kurang 19

27 lebih 5000 ribu rupiah per ekor (tiap Kasepuhan bisa berbeda-beda). Konsep ngajiwa pada hewan ternak merupakan bentuk lain dari sensus ekonomi yang bahkan itu sudah dilakukan sebelum konsep sensus ekonomi modern dilakukan. Hewan kerbau juga merupakan hewan yang diperlakukan dengan baik, mengingat jasa kerbau yang amat besar dalam proses penggarapan sawah (membajak sawah), selain itu dari segi ekonomi harga kerbau terbilang memiliki harga jual yang bagus. Lokasi pemukiman masyarakat adat yang bersinggungan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadikan masyarakat hidup berdampingan dengan hutan, terkait hal ini, masyrakat adat punya pandangan tersendiri tentang konsep hutan. Setidaknya ada empat jenis hutan yaitu : (1) Leuweung tutupan yaitu leuweung kolot/geledegan (hutan tua/rimba), hutan ini tidak boleh dijamah; (2) Leuweung Titipan yaitu hutan yang dititipkan oleh karuhun dan boleh digunakan jika mendapat izin dari leluhur melalui wangsit; (3) Leuweung awisan (hutan cadangan) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk lahan pertanian maupun permunikamn pada waktu yang akan datang; (4) leuweung garapan atau sampalan yaitu hutan atau lahan yang boleh dipergunakan untuk keperluan menunjang kehidupan. 21 Pembagian wilayah hutan dalam pandangan adat menjelaskan bahwa konsep kesimbangan antara hidup makmur tanpa mengorbankan alam sudah tertanam dalam tatali paranti karuhun. Masyarakat adat mengakui bahwa hidup harus saling berdampingan dengan alam. pamali bukan sesuatu yang dapat diabaikan atau bahkan dilanggar. Hutan bagi masyrakat adat juga merupakan sirah cai atau sumber air. Sehingga jika merusak ekosistem hutan sama artinya dengan merusak sumber air, sedangkan air merupakan sumber kehidupan, sehingga merusak hutan artinya merusak kehidupan manusia itu sendiri karena masyarakat adat memanfaatkan sumber air murni untuk kebutuhan minum, mandi dan lain sebagainya. 21 Irvan setiawan dkk Upacara Seren taun pada Masyarakat Kasepuhan di Ciptagelar di Sukabumi. Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung. Hal

28 Bab 4 Prosedur Pengumpulan Data 4.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik Observasi Basrowi dan Suwandi menjelaskan bahwa observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data dimana peneliti melihat, mengamati secara visual sehingga validitas data sangat tergantung pada kemampuan observer. 22 Nasution mengatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. 23 Dengan kata lain pada proses pengumpulan data peneliti dituntut untuk mengumpulkan data penelitian seakurat mungkin dan mengesampingkan subjektivitas peneliti dengan hanya fokus pada apa yang diteliti. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi terfokus, yakni salah satu jenis pengamatan yang secara spesifik mempunyai rujukan pada rumusan masalah atau tema penelitian Teknik Wawancara Wawancara terarah dilaksanakan secara bebas dan juga mendalam (in-depth), tetapi kebebasan ini tetap tidak akan terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada responden dan telah dipersiapkan sebelumnya oleh pewawancara. 25 Pengumpulan data melalui wawancara memiliki kelebihan tersendiri karena data yang diperoleh dapat dikonfirmasi saat itu juga saat wawancara berlangsung, teknik wawancara dapat meminimalisir kesalahan informasi karena peneliti dapat menentukan sendiri siapa narasumber yang dianggap kompeten sebagai sumber informasi. Wawancara dapat dilakukan secara langsung face to face (tatap muka) maupun secara tidak langsung, seperti via 22 Basrowi dan Suwandi Memahami Penelitian Kualitatif. PT. Rineka Cipta. Hal Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Hal Basrowi dan Suwandi Memahami Penelitian Kualitatif. PT. Rineka Cipta. Hal Yoki Yusanto, Ahmad Sihabudin dan Henriana Hatra Kasepuhan Cisungsang. Pustaka Getok Tular & PT. Kemitraan Energi Industri. Hal

29 telefon atau alat komunikasi lain yang memungkinkan untuk terjadinya kontak pertukaran informasi Dokumentasi Metode dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penulisan sosial. 26 Dokumentasi dalam hal ini merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumentasi dapat berupa dokumen yang dipublikasikan seperti buku, jurnal, artikel, surat kabar, berita online, catatan harian dan sebagainya. Dokumentasi juga dapat berupa foto, vidio, rekaman suara, maupun cerita rakyat. Pengumpulan data dokumentsi tidak terpaku pada satu sumber tapi kolaboratif. 4.2 Sumber Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya langsung. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data yang memiliki sifat kebaruan, hal ini karena langsung diperoleh saat melakukan pengumpulan data. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung dengan menggunakan teknik pengumpulan data seperti : wawancara, observasi, diskusi terfokus (focus grup discussion FGD) dan penyebaran kuesioner. 4.3 Sumber Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, Biro Pusat Statistik (BPS), dan lain-lain. Data sekunder dibutuhkan untuk menunjang hasil penelitian dari berbagai perspektif, sehingga hasil penelitian yang disajikan tidak bersifat subjektif. 26 Yoki Yusanto, Ahmad Sihabudin dan Henriana Hatra Kasepuhan Cisungsang. Pustaka Getok Tular & PT. Kemitraan Energi Industri. Hal

30 Bab 5 Masyarakat Adat dalam Pelestarian Lingkungan Hidup dan Hutan 5.1 Masyarakat Adat Baduy Sistem Kelembagaan Masyarakat Kanekes Seperti sudah dijelaskan di awal, bahwa Masyarakat Kanekes dipimpin oleh Puun (ketua adat). Ada tiga puun yang memimpin masyarakat Kanekes, yaitu Puun Cikeusik, Puun Cikartawana, dan Puun Cibeo. Di bawah ini adalah pembagian tugas atau wewenang para puun beserta para pembantu pelaksana kelembagaan adat dalam menjalankan pemerintahan adatnya. 27 Tabel 1 : Pembagian tugas/wewenang lembaga adat (Kapuunan) Jabatan Kapuunan Puun Cikeusik Tugas/wewenang Mengurusi bidang keagamaan, pengadilan adat, menentukan pelaksanaan (seren taun, kawalu dan seba), menentukan hukamn bagi para pelangar adat. Puun Cibeo Mengurusi bidang pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan Kanekes, administratur tertib wilayah, batas wilayah dan hal yang berhubungan dengan daerah luar. Puun Cikartawana Mengurusi bidang pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan dan monitoring kawasan Kanekes. Girang seurat Baresan sekretaris puun Petugas keamana kampung 27 Imam Hanafi dkk Nyorenag Alam Ka Tukang. Nyawang Anu Bakal Datang.RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment. Hal

31 Jaro Pamarentah Pelaksana harian urusan pemerintah Kapuunan, penghubung antara unsur pemerintahan (Camat, Bupati, dll) dengan masyarakat Kanekes. Tangkesan (Dukun kepala), bertanggung jawab mengenai masalah kesehatan warga Kanekes Palawari Panitia tetap untuk mengurusi berbagai kegiatan upacara adat Pemerintahan Desa Kanekes sedikit berbeda dengan pemerintah Desa pada umunya, jika mengacu pada Undang-undang nomor 5 tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa. Terdapat perbedaan dalam beberapa aspek, diantaranya : Kepala Desa Kanekes (Jaro Pamarentah), bukan dipilih oleh rakyat, melainkan diangkat dan ditunjuk langsung pemerintah atas persetujuan Puun; 2. Kepala Desa hanya dibantu oleh Carik Desa, Pangiwa, dan Kokolot (tidak ada LKMD atu aparatur pembantu pemerintah desa); 3. Kepala Desa tidak disyaratakan harus pandai baca-tulis, karena dalam adat masyarakat Baduy, baca-tulis adalah buyut (tabu); 4. Desa Kanekes tidak memiliki kantor, yang menjadi kantor adalah rumah Jaro Pamarentah itu sendiri. 28 Nandang Rusnandar dkk Seba dalam Tradisi Masyarakat Baduy di Banten. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung. Hal

32 5.1.2 Mata Pencaharian Sebagaimana masyrakat yang hidup dan bermukim di pegunungan, maka sektor pertanian adalah hal yang paling memungkinkan untuk memaksimalkan potensi alam. Begitu pula dengan masyarakat Kanekes yang juga menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Namun berbeda dengan masyrakat atau petani pada umumnya yang sudah menggunakan teknologi modern dalam bidang pertanian, seperti penggunaan mesin traktor, atau mesin pemanen otomatis. Masyarakat Kanekes masih menganut sistem pertanian tradisional yang berlandaskan pada aturan-aturan adat atau pikukuh karuhun. Masyarakat Kanekes menggunakan lahan pertanian sekitar 2, hektare yang termasuk dalam wilayah administratif Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar. Gambar 7 : Warga Baduy sedang mengencangkan ikat padi yang sedang dijemur Sumber : Sitem pertanian masyarakat Kanekes adalah pertanian lahan kering atau masyarakat setempat menyebutnya huma. Ngahuma merupakan pertanian yang hanya menggandalkan air hujan sebagai pengairan (tadah hujan). Huma adalah pertnian yang berpindah-pindah dalam kurun waktu tertentu, artinya lahan yang sama bisa saja digunakan satu atau dua kali musim tanam, bisa juga hanya sekali musim tanam dan ditinggalkan berpindah ke lahan lain. Pertimbangannya adalah kesuburan lahan, mengingat masyarakat Kanekes tidak menggunakan bahan kimia untuk menyuburkan 25

33 tanah. Proses ngahuma dimulai dengan pemilihan lahan, kemudian masuk pada proses nyacar (menebang rerumputan dan semak belukar), setelah rumput-rumput liar kering, maka selanjutnya yaitu ngaduruk (pembakaran rumput untuk kemudian abunya digunakan sebagai pupuk), setelah lahan bersih, lalu masuk pada proses ngaseuk (menanam benih padi di lahan huma dengan menggunakan tongkat runcing untuk melubangi tanah), setelah proses ngaseuk, maka tinggal tunngu beberpa bulan untuk kemudian masuk musim panen. Semua proses itu dilakukan dengan teknologi sederhana berupa, arit, kujang, kored dan aseuk. 29 Tabel 2 : Tata Guna Lahan Wilayah Adat Baduy Lahan Luas Lahan (ha) Presentase % Lahan Pertanian Hutan Tetap Pemukiman Jumlah 2, , , Masyarakat Kanekes tidak menganut sistem pertanian lahan basah atau sawah, dikarenakan pada proses bersawah dianggap merusak tatanan alam, dalam bersawah harus menggunakan pengairan dari sungai, untuk melakukan itu perlu merekayasa aliran sungai untuk kemudian dialirakan ke sawah-sawah. Merekayasa aliran sungai (irigasi) sama artinya merubah tatanan alam dan itu sifatnya buyut (tabu) menurut pikukuh. Masyarakat Kanekes menggunakan banyak pantangan-pantangan dalam bercocok tanam, hal itu dilakukan semata karena tidak ingin bumi tempat manusia hidup hancur oleh manusia itu sendiri, sebuah konsep yang amat sangat luhur yang diaplikasikan oleh sekelompok masyrakat adat yang memilih mengisolasi diri. Jika dunia internaasional menggaungkan global warming 29 Hal

34 akibat kekhawatiran akan pemanasan global yang dapat menghancurkan bumi, maka masyarakat Kanekes sudah melakukan apa yang manusia modern khawatirkan, dan itu sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Tidak hanya dalam bercocok tanam, hidup yang berdampingan dengan alam juga mengakibatkan batasan-batasan dalam mengambil sumber daya alam yang ada. Masyarakat kanekes tidak berternak untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi daging, mereka hanya mengambil ikan di sungai dan itu juga harus dilakukan secara tradisional, tidak menggunakan alat pancing, hanya berupa jala, bubu, dan ayakan (sair) Agama Sama seperti masyrakat adat lainnya, Mayarakat Kanekes juga mempunyai keyakinan, dari semua rujukan atau literatur yang ada bahkan pengakuan dari masyarakat Kanekes sendiri, agama masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.Dalam catatan N.J.C. Giese yang dikutip Garna (Garna, 1987:84) 30 pernytaan Giese yang dimaksud adalah : Nabi Adam anak Puun Cibeo boga deui putra, jadi Kangjeng Nabi Muhammad. Nabi Adam Jeung Kangjeng Nabi Muhammad jadi incu Puun Cikeusik. Ceuk Puun Cibeo ka anakna Kangjeng Nabi Muhammad : Hayu sia kudu ayeuna ngaramekeun nagara. Kudu ngadegkeun masigit bagoang di Mekah. Kudu make salat kasaban, ajian, kudu ngaramekeun nagara bae. Ceuk Kangjeng Nabi Muhammad : Heug, tapi para buyut kabeh kudu dicekelan ku kaka, nyaeta Kangjeng Nabi Adam. Jadi kaka eta kudu ngasuh ngajayak menak. Sakung kurung ning langit satangkarak ning lemah. Nagara satelung puluh sawidak lima panca salawe nagara kudu dicekel para buyutna ku kaka, ku Nabi Adam. Artinya : 30 Nandang Rusnandar dkk Seba dalam Tradisi Masyarakat Baduy di Banten. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung

35 (Nabi Adam anak Puun Cibeo mempunyai putra lagi, yaitu Kangjeng Nabi Muhammad. Nabi Adam dan kangjeng Nabi Muhammad menjadi cucu Puun Cikeusik. Berkata Puun Cibeo kepada anaknya, Kangjeng Nabi Muhammad : Marilah! Kau sekarang harus meramaikan negara, Harus ada salat, korban, pengajian, rewah dan mulud. Tetapi jangan bercampur dengan kami, harus meramaikan negara saja. Lalu jawab Kangjeng Nabi Muhammad : Baiklah! tetapi para tanah nenek moyang semuanya harus di bawah tanggung jawab Abang, yaitu Kanjeng Nabi Adam. Jadi Abang harus mengasuh ratu, memelihara bangsawan, seluas langit dan selebar bumi tiga puluh tiga negara, enam puluh lima panca dan dua puluh lima negara. Nenek moyang harus dipegang oleh Abang, oleh Nabi Adam.) Penuturan di atas lebih kepada pembagian wewenang antara Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Sebagai catatan, masyarakat Kanekes memahami dan menyebarkan pesan nenek moyang melalui cerita lisan, bukan dengan tulisan. Sehingga bukan tidak mungkin, informasi dari satu generasi ke generasi yang lain mengalami distorsi pesan, artinya terdapat pengurangan dan penambahan makna, dan sangat mungkin informasi yang disampaikan tidak diserap secara sempurna. Jadi dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa ada pesan Islam yang disampaikan namun mengalami distorsi karena ketidaksempurnaan pemahaman. Masyarakat Kanekes (Tangtu) juga mengenal adanya syahadat, meski sedikit berbeda, berikut ini adalah Syahadat Baduy Tangtu : Asyhadu syahadat sunda Jaman Allah ngan sorangan Kaduan Gusti Rasul Katilu Nabi Muhammad 28

36 Kaopat Umat Muhammad Nu cicing di bumi ngarincing Nu calik di alam keueung Ngacacang di alam mokaha Salamet umat Muhammad (Ashadu syahadat Sunda Waktu Allah sendiri (Esa) Kedua para Rasul Ketiga nabi Muhammad Keempat umat Muhammad Yang tinggal di dunia ramai Yang duduk di alam takut Menjelajah di alam tekebur Selamat umat Muhammad) (Suhandi, 1986:62-63) 31 Istilah Sunda Wiwitan, seperti dalam makalah Jatisunda (Jatisunda, 2005). Jatisunda menyebutkan : Istilah sunda Wiwitan dikemukakan oleh Ayah Sacin (1972) dan Aki Bantarwaru (1972). Ayah Sacin adalah ahli sastra bambu dan salah seorang bekas panengen atau penasehat Puun Cikeusik, sedangkan Aki Bantarwaru adalah mantandamar Cikeusik. Ayah Sacin mengemukakan: Sunda Wiwitan eta biena mah Sunda bae, agama Sunda. Keurna ngaraton keneh para aji di pakwan, lajuna disarebut Sunda 31 Ibid Hal

37 Pajajaran bae. Di kami disarebutna pikukuh Sunda Wiwitan. Baheula karaton Pajajaran ruka dirurug ku Eslam, loga rawayan anu kapaksa jaradi Eslam. Ngeun kami nu hanteu. Cik para wangatuha ; beusi isuk jagana pageto aya rawayan ne ndeuk parulang deui ka agama Sunda nyah, wiwitanan mudu di kami heula. Matakna, para wangtuha kami nyarebutna pikukuh agama Sunda Wiwitan. Kitu geh meureun. (Sunda Wiwitan itu, tadinya agama Sunda. Pada saat berjaya di keraton Pakuan (Pajajaran), yang disebut agama Sunda Pajajaran. Di sini disebutnya pikukuh Sunda Wiwitan. Dahulu ketika Pajajaran diserbu pasukan Islam, banyak rawayan yang secara terpaksa masuk (agama) Islam. Hanya kami yang tidak. Mudah-mudahn nanti ada rawayan yang masuk agama Sunda Wiwitan. Harus dari sisni (Baduy) terlebih dahulu. Sebab di sinilah mulanya agama Sunda Wiwitan. Itu pun mungkin.). Kemudian Bantarwaru mengatakan : Sunda ma agama kami. Sunda ta dipurna ti mimiti ngadegna Batara Cikal, wayah jagat ieu mimiti teuas sageude jangnjang reungit di Sasaka Pusaka Buana Pada Geude. Mantakna di kami disebut Sunda Wiwitan. (agama kami Sunda. Agama Sunda muncul sejak berdirinya Batara Cikal, ketika bumi mulai mengeras sebesar sayap nyamuk di Sasaka Pusaka Buwana Pada Geude. Makanya kami menyebutnya Sunda Wiwitan). Dari penjelasan yang disampaikan di atas, menggambarkan asal muasal agama Sunda Wiwitan yang dulunya hanya agama Sunda atau Keyakinan sunda saja. Dari paparan tersebut juga menyebutkan asal usul masyarakat Kanekes yang merupakan masyarkat pelarian dari kerajaan Pajajaran. Alasan pelarian itu antara lain dikarenakan adanya penyerangan dari pasukan Islam, sehingga rakyat Pajajaran (rawayan) ada yang 30

38 kemudian masuk Islam dan ada juga yang memilih lari dan bersembunyi ke daerah pegunungan Kendeng. Rawayan yang dalam pelarian itu tetap melestarikan ajaran Sunda yang kemudian dikenal dengan agama Sunda wiwitan sampai sekarang Pendidikan Sebagian besar masyarakat Kanekes tidak mengenal baca tulis, terutama masyarakat Baduy Dalam. Sekolah adalah hal yang tabu, tempat anak-anak Baduy sekolah adalah lingkungan dengan orang tua mereka sebagai gurunya. Mereka tidak diajarkan pendidikan umum yang biasa diajarkan di sekolah konvensional. Anak-anak Baduy belajar tentang ilmu bercocok tanam dan pikukuh karuhun, mereka belajar tentang hidup dari alam dan memanfaatkan apa yang alam sediakan tanpa mengskploarsi alam itu sendiri, seperti belajar berburu, menangkap ikan, mengambil madu hutan atau belajar bagaimana caranya menyadap air nira. Gambar 8 : Anak-anak Baduy yang sejak kecil sudah terbiasa hidup dengan alam Sumber : Sekarang masyarakat Baduy sudah mulai mengenal baca tulis bahkan lebih dari itu, terutama masyarakat Panamping (Baduy Luar), pemerintah setempat sudah mendirikan Sekolah Dasar Ciboleger, Desa Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar. Tidak hanya itu, sekarang 31

39 masyarakat Baduy Luar sudah menguasi beberapa perangkat elektronik, seperti telefon genggam sebagai sarana komuniksi. Artinya masyrakat Baduy bukan merupakan masyarakat yang terbelakang, melainkan masyarakat yang memilih untuk tidak mengimbangi perubahan zaman dengan alasan bertentangan dengan pikukuh para leluhur. Bahkan masyarakat Kanekes adalah masyarakat yang cerdas, masyarakat yang sudah mengaplikasikan sikap yang bahkan masyarakat modern belum melakukannya. Masyarakat Kanekes menyadari bahwa dengan menjadi pintar maka artinya juga menjadi ancaman (perusak). Masyarakat Kanekes menjaga ekosistem hutan disaat banyak pembalakan liar oleh korporasi, masyarakat Kanekes sudah menjawab keresahan masyarakat modern akan keselamatan alam, jika masyarakat modern masih tenangtenang saja akan keselamatan bumi dari kehancuran tangan-tanag tidak bertanggung jawab, maka beda halnya dengan masyarakat Kanekes yang hidup berdampingan dan melestarikan alam, mereka hanya mengambil apa yang mereka butuhkan, mereka menjaga apa yang seharusnya dijaga, mereka menjauhi apa yang pikukuh adat larang. Gambar 9 : Invasi teknologi terhadap masyarakat Baduy melalui pengunjung Sumber :Banten Pos 32

40 5.2 Profil Masyarakat Adat Kasepuahan Berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Lebak no 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan masyarakat Hukum Adat, terdapat 522 masyarakat Adat Kasepuhan yang tersebar di wilayah Kabupaten Lebak. Kasepuhan adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terdapat di Kabupaten Lebak. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum. Masyarakat Kasepuhan mempunyai Hak atau kewenangan yang disebut Hak ulayat atau kewenangan masyarakat hukum adat Kasepuhan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di dalam wilayah adat yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Salah satu kewenangan masyarakat adat adalah megelola daerah yang menjadi bagian dari Wewengkonnya, Wewengkon adalah wilayah adat yang terdiri dari tanah, air dan sumber daya alam yang terdapat di atasnya, yang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannya dilakukan menurut hukum adat Kasepuhan Cisungsang Letak Geografis Kasepuhan Cisungsang secara administratif berada di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak. Kondisi alam Kasepuhan Cisungsnag terdiri dari pegunungan dan perbukitan. Cisungsang terletak persis di tepi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masih asri. Tak jauh dari Cisungsang, terdapat perbatasan Banten dan Jawa Barat dengan sungai yang menjadi garis pemisah Kabupaten Lebak dan Sukabumi. Dari ibu kota Rangkasbitung, jarak kampung adat ini sekitar 150 kilometer, sedangkan dari Jakarta sekitar 280 kilometer. 33

41 Batas Wilayah Batas Utara :Desa Cisistu Batas Selatan Batas Timur Batas Barat :Desa Kujang Jaya :Desa Gunung Wangun :Gunung Tumbal Gambar 10 : Peta Wilayah Adat Kasepuhan Sejarah Warga kampung percaya Cisungsang didirikan oleh anak Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Walangsungsang yang telah mengalami situasi 'Ilang Galuh Pajajaran'. Raja ini memberikan banyak keturunan bagi masyarakat Sunda yang tersebar di hampir seluruh daerah Jawa Barat. Konon, kata Cisungsang juga dibentuk dari dua suku kata, 'ci' dan 'sungsang'. Secara harfiah kata ci adalah bentuk singkat dari cai dalam bahasa Sunda, yang berarti air. Sedangkan sungsang, dalam bahasa Sunda berarti terbalik atau berlawanan dari keadaan yang sudah lazim. Maka istilah Cisungsang dapat diartikan air yang mengalir kembali ke 34

42 hulu (mengalir secara terbalik). Warga Cisungsang percaya bahwa kampung mereka merupakan desa pertama yang dibuka oleh Walangsunsang. Mereka menyebutnya dengan istilah Guru Cucuk. Apih Jampana, salah satu sesepuh Cisungsang mengatakan, wilayahnya adalah lahan hutan yang dipilih para leluhur untuk dijadikan tempat tinggal. Nama Cisungsang secara etimologi berasal dari gabungan dua kata yaitu Ci dan Sungsang. Pengertiannya sebuah tempat di daerah Sunda banyak yang diawali dengan Ci atau Cai (Air), (aspek Hidrologis). Dinamai kata Ci menggambarkan bahwa masyarakat sunda termasuk pada Hodrolic Society, artinya masyarakat yang tidak terlepas dari air. Sebabnya Sunda terkenal dengan kesuburannya, Indikator utamanya banyak mata air dan sungai mengalir di mana-mana. Sedangakan Sungsang, mempunyai arti tumbuhan yang merambat dan mengndung racun, bunganya merah seperti bunga angrek. Menurut Apih Adeng, Cisungsang merupakan hutan yang banyak tumbuh bunga Sungsang yang berada di sekitar sungai. Gambar 11 : Kawasan Pusat Kasepuhan Cisungsang Foto : Henriana Hatra Dahulu Cisungsang merupakan sebuah hutan yang luas, menurutnya Mbah Ruman membuka hutan menjadi perkampungan, tanpa membawa 35

43 keris atau perkakas apapun hanya dengan tangan saja mengubah hutan menjadi lahan perkampungan. Mbah Ruman atau juga disebut Mbah Buyut yang berusia kurang lebih 350 tahun, diteruskan generasi kedua oleh Uyut Sakrim yang berusia kurang lebih 250 tahun, generasi ketiga oleh Olot Sardani berusia kurang lebuh 126 tahun dan generasi keempat oleh Abah Usep Suyatma yang kini berusia 46 tahun. Abah Usep memegang tampuk pimpinan Kasepuhan Cisungsang sejak berusia 18 tahun. Pada tahun 1984 pernah di pegang sementara oleh Olot Naedi namun tidak sanggup, lalu diserahkan ke Abah Usep Suyatma pada tahun Lembaga Adat - Abah yaitu pimpinan Kasepuhan, puncak piramida kekuasaan, memiliki keahlian dalam bidang pertanian (teknis dan simbolis), pemberi do a dan restu segala kegiatan masyarakat di Kasepuhan Cisungsang. - Dukun bertanggung jawab dalam menangani kesehatan, ritual pertanian dan siklus hidup. - Paraji bertanggung jawab dalam menangani masyarakat (ibu-ibu) dalam proses melahirkan dan pengurusan bayi. - Bengkong bertanggung jawab dalam menangani dan membantu masyarakat dalam khitanan. - Amil bertanggung jawab dalam menangani dan membantu masyarakat dalam urusan dan pengelolaan zakat, menikahkan, kematian, urusan kelahiran bekerjasama dengan pemerintah desa dan kecamatan. - Panei bertanggung jawab dalam menangani perkakas kerja dalam bidang pertanian dan kebun. - Rendangan, tokoh yang dituakan / pimpinan kelompok masyarakat didasarkan hubungan keluarga dalam suatu dusun, memimpin anggota dengan jumlah bervariasi. Legitimasi secara turun temurun jatuh ke anak laki-laki 36

44 - Tutunggul lembur (Kasepuhan), yaitu tokoh masyarakat di setiap yang bertugas sebagai kepanjangan tangan dari Abah. - Baris kolot, yaitu tokoh rendangan di Kasepuhan, istilah baris kolot muncul krtika para rendangan sedang berkumpul bersam dalam sebuah ritual adat. - Dukun kolot bertugas menentukan kapan tibanya kidang dan kerti untuk menentukan waktu dimulainya musim tanam padi, selain itu tugas dukun kolot juga membaca tanda-tanda gejala alam yang bersifat gaib, seperti datangnya wabah penyakit ayau bencana. Dukun kolot harus melakukan ritual tolak bala untuk keselamatan masyarakat Kasepuhan - Ulu-ulu bertugas mengatur sistem pengairan di kawasan Kasepuhan, terutama pengairan utama yaitu irigasi - Parawari semacam panitia pembantu umum dalam rangkaian adat. Seperti pada saat Seren Taun. - Canoli, yaitu juru dapur atau juru masak yang tidak boleh meninggalkan dapur selama proses acara ritual berlangsung. - Tukang Para, yaitu orang yang bertugas mengatur berbagai makanan atau hidangan dalam sebuah acara, istilah ini muncul karena struktur bangunan rumah adat yang memiliki para (sekat kosong antara plafon dan atap rumah). - Juru Leuit, yaitu orang yang bertugas menagtur ketika hendak dilakukan ritual ngamitkeun pare ti bumi (proses memasukan padi ke lumbung). - Juru Seni, yaitu mengatur kesenian. - Juru Pantun, yaitu orang yang bertugas melantunkan pantun secara lisan dengan diiringi musik kecapi. - Tukang Ngala Lauk Cai, yaitu orang yang bertugas mencari bahan makann khusus untuk acara ritual, sperti mencari keyep (kepiting kecil jenis air tawar). 37

45 5.2.2 Kasepuhan Cicarucub Letak Geografis Kasepuhan Cicarucub terletak daerah kampung Cicarucub, Desa Neglasari, Kecamatan Cibeber, kabupaten Lebak. dan sampai saat ini masih terus tinggal di daerah tersebut. Kasepuhan Cicarucub adalah salah satu dari 5 Kasepuhan Induk yang ada di Banten Selatan. Sebaran masyarakatnya selain berada di Kabupaten Lebak, bermukim juga di Wilayah Kabupaten Pandeglang dan Lampung. Jumlah Anggota masyarakat Adat Kasepuhan Cicarucub menduduki peringkat teratas dan penyebaranya terluas Batas Wilayah Batas Utara : Sungai Cimayanten Batas Selatan : Jalan Raya Bayah Batas Timur : Cipanggung Batas Barat : Desa Warung Banten Gamabr 12 : Peta Wilayah Adat Kasepuhan Cicarucub Sejarah Informasi mengenai sejarah Kasepuahn Cicarucub tidak banyak disebutkan, hak itu berkenaan dengan aturan adat. Kasepuhan Cicarucub sejak awal memang menempati Perkampungan di Cicarucub yang terbagi 38

46 ke dalam tiga lokasi yaitu, Cicarucub Girang, Cicarucub Tengah dan Cicarucub hilir. Kasepuhan Cicarucub dipimpin Oleh ketua adat yang disebut Oyot, saat ini Kasepuhan Cicarucub dipimpin Oleh Oyot Enjay. Berikut adalah hierarki kepemimpinan masyarakat adat Kasepuhan Cicarucub : - Informasi tidak diperkenankan disebutkan - Informasi tidak diperkenankan disebutkan - Uyut Edot - Ama Dulhana - Oyot Enjay Bagian informasi yang tidak disebutkan berkenaan dengan aturan adat yang tidak membolehkan untuk membuka informasi terkait leluhur mereka. Gambar 13 : Pusat Kawasan Kasepuhan Cisungsang Foto : Henriana Hatra Lembaga Adat Menegnai lembaga adat yang terdapat di Kaepuahn Cicarucub, pada dasarnya sama saja dengan Kasepuhan Cisungsang, hanya perbedaannya terletak pada penyebutan beberapa istilah saja seperti, penyebutan untuk ketua adat, kalau Cisungang itu Abah sedangkan Cicarucub itu Oyot. - Oyot (ketua adat) - Tutunggul lembur 39

47 - Baris kolot - Dukun kolot - Paraji - Panghulu atau amil kampong - Ulu-ulu - Palawari - Canoli - Tukang para - Juru leuit - Juru seni - Juru pantun - Tukang ngala lauk cai Kasepuhan Citorek Letak Geografis Kondisi Tofografis Wewengkon Citorek, ketinggian mdpl, serta dataran tinggi Gunung Sanggabuana dan puncak Pegunungan Halimun, yang letaknya mengelilingi Citorek. Suhu udara di Citorek antara 24,5 28,8 o C. Sebagai wilayah tropis Batas Wilayah Batas Utara : Gunung Kendeng/Kecamatan Sobang Batas Selatan : Pasir Soge/Desa Cihambali Batas Timur : Gunung Nyungcung/Cibedug Batas Barat : Parakan Saat/Batu Meungpeuk/Desa Cisitu Sejarah Masyarakat Kasepuhan Citorek berasal dari Guradog (Jasinga) yang mulai menetap di Citorek pada tahun Tujuan perpindahan tersebut adalah untuk mencari lahan yang luas disebelah selatan Gungung Kendeng dan untuk mengembangkan pertanian sesuai dengan wangsit dari leluhur. Pusat kasepuhan berada di wilayah wewengkon adat Citorek meski sempat beberapa kali berpindah-pindah. Perpindahan ini dilakukan untuk menjalankan wangsit dari leluhur masyarakat Kasepuhan Pada waktu di 40

48 Lebak Singka ada Raja bernama Raja Suna, beliau membawa 2 orang keturunan Pangawinan (Pacalikan), kedua orang tersebut yaitu sepasang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki dibawa ke Cikaret (Cisungsang, Cicarucub, dll) disebut Dulur Lalaki dan diberi bekal kemenyan, sedangkan yang perempuan dibawa ke Citorek disebut Dulur Awewe diberi bekal Panglay (bangle) Gambar 14 : Peta wilayah Kasepuhan Citorek Lembaga Adat Kasepuhan Wewengkon Citorek, Lembaga Adat merupakan Lembaga yang dianggap formal. Ada tiga lemabag yang dipakai sebagai acuan hidup masyarakat adat Cioter uaitu, Negara (jaro/lurah), Agama (panghulu), Karuhun (kasepuhan/kaolotan). Sebagian besar wilayah Kasepuhan 41

49 Citorek berada didalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak, tepatnya di Guradog, Desa Citorek Timur, Kecamatan Cibeber Kabbupaten Lebak. Sejak tahun 1802, Kasepuhan Citorek sudah menetap di wilayah tersebut, meskipun sebelumnya pernah mendiami wilayah lain disekitarnya. Sebaran Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek tersebar di 5 Desa Administrasi yaitu Desa Citorek Sabrang, Citorek Kidul, Citorek Tengah, Citorek Barat dan CItorek Timur. Ketua Adat Kasepuhan Citorek adalah Oyok saat ini diduduki oleh Oyok Didi. Dalam menjalankan tugasnya, Oyok dibantu oleh Jaro Kolot, Panghulu, Juru Basa / Jalan, Bengkong dan Paraji/Indung Berang. Keberadaan lembaga adat merupakan bagian yang terpenting dalan sistem kehidupan sosial masyarakatnya. Pemimpin adat merupakan sosok pemipin yang dipatuhi. Kepatuhan terhadap pemimpin adat merupakan hal yang tidak dapat terbantahkan. Sesuai dengan kebutuhan komunitas adat, Adat Kasepuhan Citorek memiliki moment penting yang menjadi latar belakang terbentuknya struktur kelembagan Adat Kasepuhan Citorek. Moment ini telah membetnuk posisi-posisi/jabatan-jabatan tertentu sesuai dengan fungsinya dalam kelembagaan Adat Kasepuhan Citorek, moment yang dimaksud adalah: - Kelahiran - Kehidupan /Penghidupan - Kematian. Peristiwa kelahiran menjadi cikal bakal adanya jabatan Bengkong, peristiwa Kehidupan melahirkan jabatan Jaro Adat dan peristiwa Kematian melahirkan jabatan Panghulu dalam struktur Adat Kasepuhan Citorek. Adapun adanya baris kolot dalam struktur merupakan bagain dari kebutuhan seorang pemimpin terhadap struktur dalam mengawal setiap kebijakan yang akan ditetapkan diakses pada 18 Juni 2017 pukul 10:48 42

50 5.2.4 Kasepuhan Cirompang Letak Geografis Wilayah Desa Cirompang secara geografis berada di sekitar hamparan kawasan Gunung Halimun Salak maka secara kontur alam berupa pegunungan. Sementara secara administratif Desa Cirompang masuk ke wilayah administratif Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Akses menuju Desa Cirompang antara lain dapat ditempuh dari Kota Rangkasbitung (Ibu Kota Kabupaten) melalui Gajrug-Mucang- Cirompang dengan waktu tempuh lebih kurang 3 jam. Dari arah Jawa Barat (Kabupaten Bogor) melalui Jasinga-Cipanas-Cirompang dengan waktu tempuh lebih kurang 4 jam perjalanan Batas Wilayah Batas Utara :Desa Sukaresmi Kecamatan Sobang Sebelah Selatan :Desa Citorek Timur-Tengah-Barat Kecamatan Cibeber Sebelah Timur :Desa Sukamaju Kecamatan Sobang Batas Barat :Desa Sindang Laya Kecamatan Sobang Sejarah Berdasarkan pemaparan atau penuturan masyarakat bahwa masyarakat sudah bermukim di wilayah Desa yang dinamakan Cirompang ini sejak masa penjajahan Belanda. Jaro Sarinun menuturkan bahwa Desa Cirompang merupakan pemekaran dari Desa Sukamaju pada tahun Olot Amir menyatakan bahwa asal kata Cirompang dari kata Ci/Cai yang berarti air atau sungai dalam bahasa Sunda dan nama sebuah bukit yaitu Gunung Rompang yang ada di wilayah Desa. Konon ceritanya menurut Olot Amir bahwa berdasarkan kepercayaan masyarakat di semua tempat memiliki penghuni. Ketika itu ada burung Garuda yang bertengger di Gunung Bongkok yang letaknya di sekitar Gunung Rompang dan dirasakan akan mengganggu kehidupan penghuni setempat sehingga harus diusir dengan cara dilempari dengan tanah gunung. Alhasil gunung tersebut tampak rarompang (bahasa Sunda berarti tidak utuh). 43

51 Gambar 15 : Peta Wilayah Adat Kasepuhan Cirompang 44

52 Runutan Kaolotan cirompang Citorek - Olot Sarsiah, Olot Sawa, Olot Sahali, Olot Amir (Sekarang) Ciptagelar - Olot Selat, Olot Jasim, Olot Sali, Olot Opon (Sekarang) Ciptagelar - Olot Sata, Olot Nalan, Olot Nasir, Olot Upen (Sekarang) Gambar 16 : Rumah adat Kasepuhan Cirompang Foto : Henriana Hatra Menurut Olot Amir bahwa masyarakat yang bermukim di Desa Cirompang merupakan keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Hingga sekarang ada 3 Kaolotan di Desa Cirompang. Masyarakat Cirompang memiliki bentuk kelembagaan tersendiri dalam menata keseharian kehidupan Desa Cirompang. Secara umum kelembagaan yang ada terbagi menjadi dua, yaitu kelembagaan yang terkait dengan urusan adat dan kelembagaan yang terkait dengan urusan desa (kenegaraan). Olot Amir menyatakan bahwa kelembagaan adat di Cirompang ini bukan sebagai pengambil keputusan dalam urusan adat, 45

53 melainkan hanya garis koordinasi dan komunikasi; karena pengambil keputusan dalam urusan adat tetap berada di pusat Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Hasil diskusi dengan para kokolot di Kasepuhan Cirompang pada tahun 2009, bahwa kokolot dibantu oleh barisan pager sebagai lapisan koordinasi pertama dan lajer sebagai lapisan kedua koordinasi sebagai saluran informasi-informasi terkait urusan adat, khususnya dalam konteks pertanian (tatanen). Oleh karena itu lajer tersebar di setiap kampung di Desa Cirompang Lembaga Adat Secara umum kelembagaan yang ada terbagi menjadi dua, yaitu kelembagaan yang terkait dengan urusan adat dan kelembagaan yang terkait dengan urusan Desa (kenegaraan). Olot Amir menyatakan bahwa kelembagaan adat di Cirompang ini bukan sebagai pengambil keputusan dalam urusan adat, melainkan hanya garis koordinasi dan komunikasi; karena pengambil keputusan dalam urusan adat tetap berada di pusat Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Kokolot dibantu oleh barisan pager sebagai lapisan koordinasi pertama dan lajer sebagai lapisan kedua koordinasi sebagai saluran informasi-informasi terkait urusan adat, khususnya dalam konteks pertanian (tatanen). Selanjutnya masing-masing lajer akan mengkomunikasikan kepada masyarakat adat di Cirompang. Oleh karena itu lajer tersebar di setiap kampung di Desa Cirompang. Hal lain yang menjadi ciri spesifik kelembagaan adat di Desa Cirompang memiliki perangkat adat yang antara lain memiliki fungsi dan tugas tersendiri, yaitu : - Juru Basa bertugas mengurus keperluan orang luar terkait dengan adatkasepuhan, mendampingi kasepuhan (Olot) - Pager/Lajer bertugas mengurus Incu-Putu (Warga) yang tersebar di beberapa kampung - Amil bertugas mengurus pernikahan dan kematian - Ma Beurang bertugas mengurus persalinan (kelahiran) - Palawari bertugas mengurus acara-acara hajatan (Kasepuhan dan Warga) 46

54 5.2.5 Kasepuhan Karang Letak Geografis Secara administratif Kasepuhan Karang masuk ke dalam Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak. Kasepuhan Karang berada di jalur lintas antara Kecamatan Sobang - Kecamatan Sajira Kota Rangkasbitung. Kondisi jalan aspal dan sebagian berbatu. Letak Kasepuhan Karang ini dapat dibilang agak jauh, sekitar 35 km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak di Rangkasbitung Batas Wilayah Batas Utara : Pondok Raksa Desa Cikarang Batas selatan : Cilunglum-Cibinglum Desa Jagaraksa Batas Timur : Desa Kumpay Batas Barat : Pasir Nangka Desa Pasir Nangka Gambar 17 : Peta Wilayah Adat Kasepuhan Cirompang 47

55 Sejarah Kasepuhan Karang berasal dari turunan Bongbang. Bongbang memiliki arti pasukan kerajaan yang bertugas membuka atau membuat kampung. Sedangkan kata Bobojong adalah fase atau proses cikal bakal terbentuknya kampung. Oleh sebab itu Karang disebut juga sebagai Bobojong Bongbang. Orang karang berasal dari Kosala (Lebak Sangka sekarang), komunitas ini diberikan tugas oleh leluhur mereka untuk menjaga serta memelihara situs kosala sehingga dalam satu tahun sekali situs kosala (karamat) masih di pelihara (jiarah/pangjarahan) oleh Kokolot Karang. Situs Kosala dianggap sebagai titipan (anu dititipkeun). Versi lain menyebutkan arti Bongbang adalah anu Ngaratuan (Ratu) sedangkan kelompok lain adalah sajira diartikan sebagai Panglima. Gambar 18 : Rumah Adat Kasepuhan Karang Sumber : Kasepuhan Karang mengalami fase perpindahan dari Kosala pindah ke kampung Lebuh saat ini secara administratif masuk di kecamatan Cimarga. Dari Lebuh kemudian berpindah lagi ke Sindangwangi Muncang. Dari Sindangwangi kemudian pindah ke Bagu Ciminyak. Dari Bagu Ciminyak kemudian ke karang hingga saat ini. Proses perpindahan kemudian akan terjadi lagi dari Karang akan berpindah ke lahan cawisan yaitu Lebakpatat kemudian ke Kosala dan 48

56 berakhir di wilayah jasinga. Proses perpindahan didasarkan pada wangsit yang diterima oleh kokolot. Perpindahan pun sangat dipengaruhi oleh masuknya ajaran agama. Sehingga proses pindah hanya diikuti oleh kokolot dan baris kolot (pemangku adat) sedangkan incu putu diberikan keleluasaan untuk menetap tinggal dikampung yang telah didiami dengan filosofi ngaula karatu tumut kajaman yang memiliki arti mengikuti dinamika perubahan jaman yang berlangsung artinya kaolotan karang memberikan kebebasan bagi warganya untuk menentukan pilihan. Sedangkan wilayah-wilayah yang dijadikan perpindahan adalah wilayah adat keturunan Bongbang atau dikenal oleh masyarakat kasepuhan karang adalah tanah bongbang. Diperkirakan dari mulai jaman Belanda-Jepang sudah sampai di Karang dan telah mengalami pergantian empat kokolot yaitu Kolot Asmir, Kolot Narsim, Kolot Sadin, Kolot Icong. Gambar 19 : Sawah dan hutan sebagai jantung dan paru-paru masyarakat adat Kasepuhan Foto : Henriana Hatra Lembaga Adat Kasepuhan seperti halnya sebuah negara memiliki wilayah, penduduk dan juga pemerintahan. Lembaga adat Kasepuhan Karang hingga saat ini ada dipimpin oleh Kokolot atau Olot. 49

57 - Baris Kolot ini terdiri dari Wakil kokolot/jurubasa bertugas untuk mewakili kasepuhan berhubungan dengan pihak luar. - Pangiwa bertugas menjaga ketertiban kampung serta memimpin kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan. - Ronda kokolot bertugas menjaga keamanan Imah Geude atau rumah kasepuhan. - Amil bertugas mengajarkan pemahaman agama, prosesi kematian dan pernikahan. - Ma beurang/paraji bertugas melayani kelahiran. - Bengkong bertugas melayani incu putu untuk khitanan - Palawari bertugas mengatur serta melayani tamu pada saat hajatan atau kegiatan adat yang dijalankan oleh kasepuhan Kasepuhan Pasir Eurih Letak geografis Kasepuhan Pasireurih secara administratif masuk di Desa Sindanglaya Kecamatan Sobang Kabupaten Lebak Banten. Menuju ke kasepuhan ini ditempuh dengan perjalanan selama 3 jam menggunakan angkutan umum kendaran roda empat dari Rangkasbitung ibu Kota Kabupaten Lebak Banten. Sedangkan dengan kendaraan pribadi menghabiskan waktu tempuh 1,5 2 jam dengan jarak 62 Km Batas Wilayah Batas Utara : Kasepuhan Sindangagung Batas Selatan : Kasepuhan Cirompang Batas Timur : Kasepuhan Bongkok Batas Barat : Desa Sukajaya Kecamatan Sobang Lebak Sejarah Kasepuhan Pasireurih berasal dari Bogor. Masyarakat Adat Kasepuhan Pasireurih mengartikan Bogor adalah Bongol atau Canir yang artinya pusat atau asal muasal. Masyarakat kasepuhan meyakini bahwa nenek moyang (Karuhun) yang ada di Pasireurih berasal dari Cipatat yang 50

58 melakukan perjalanan lewat jalur tengah. Perjalanan menuju Pasireurih melewati wilayah Cibarani (sekarang Desa Pasirmadang Bogor) kemudian Leuwijamang- Cisalak Sarongge (Desa Cisarua Bogor) Sampay - Cibanung (Desa Lebaksitu Lebak) dan berakhir di Muhara Cirompang (Desa Cirompang Lebak). Wilayah yang dilaui oleh Karuhun merupakan bekas pemukiman (patilasan) dan saat ini menjadi rendangan dari Kasepuhan Cipatat. Sebelum pada akhirnya menetap di Pasireurih. Rombongan dibagi dua di Muhara Cirompang. Rombongan pertama melanjutkan perjalanan ke wilayah selatan yang merupkan cikal bakal dari Kasepuhan Cicarucub sedangkan Rombongan kedua menetap di Pasireurih.Pasireurih mendapat mandat untuk menjaga Gunung Bongkok sebagai Titipan untuk incu putu Lembaga Adat Kasepuhan Pasireurih telah mengalami delapan kali pergantian sesepuh (abah) sebagai kepala adat yang bisa diketahui yaitu : 1. Uyut Asif 2. Abah Sarmali 3. Abah Sarmain 4. Abah Ijot 5. Abah Murta 6. Abah Jasura 7. Abah Epeng 8. Abah Aden Abah (Pupuhu ) Kasepuhan sebagai kepala adat Kasepuhan berperan sebagai penanggung jawab atas segala urusan yang dititipkan oleh karuhun dalam melayani kepentingan incu putu menuju keselamatan dunia dan akhirat. Hal ini dikenal dalam filosopi Nungtun Karahayuan Nyayak Kamokahaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua adat kasepuhan Abah dibantu oleh Baris Kolot yang masing-masing memiliki tugas yaitu : 51

59 Gambar 20 : Peta Wilayah Adat Kasepuhan Karang - Palu bertugas untuk mempertimbangkan keputusan sekaligus memberikan masukan (penasehat) kepada Abah - Lajer bertugas memberikan nasihat atau peringatan kepada kasepuhan 52

60 - Juru Serat/Surat bertugas untuk menyampaikan informasi kepada incu putu dan menjadi penyambung menyampaikam kepentingan dari incuputu ke kasepuhan - Juru Basa bertugas menyampaikan informasi tentang tentang Kasepuahan - Juru Masak Mengatur masakan untuk kepentingan ritual - Canoli bertugas menjadi juru gowah atau mempersiapkan sesajen - Lukun bertugas mempersiapkan Alat ritual Seren taun - Ronda Kokolot bertanggung jawab untuk hal-hal keamanan - Palawari bertugas melayani tamu, mempersiapkan tempat Sistem Pertanian Masyarakat Adat Kasepuhan Berada di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadikan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Masyarakat Adat Kasepuhan menyadari bahwa dalam pengelolaan alam, masyarakat harus menitikberatkan pada keseimbangan. Artinya, apa yang diambil, harus berbanding lurus dengan apa yang diberikan terhadap alam. Sistem pertanian di masyarakat adat Kasepuhan terbagi menjadi dua, yaitu sistem pertanian lahan kering atau huma dan pertanian lahan basah atau sawah, selain keduanya terdapat juga ladang atau perkebunan yang ditnamai berbagai macam pohon kayu dan buah-buahan serta aneka pangan lain. Gambar 21 : Proses panen/ngetem di masyarakat Kasepuhan Foto : Joe 53

61 Pertanian lahan basah atau sawah pengerjaannya relatif lebih lama. Bagi masyarakat Kasepuhan bertani sawah merupakan sebuah keharusan, bahkan bagi masyarakat yang tidak mempunyai sawah pun tetap bisa menggarap sawah orang lain atau istilahnya nengah yaitu sistem bagi hasil. Berbeda dengan pertnian lahan kering yang tidak tergantung pada air, pertanian sawah lebih membutuhkan perhatian ekstra agar kondisi air tetap terkontrol. Berikut ini adalah tahapan pertnian lahan basah (sawah). Tabel 3 : Tahapan pertanian sawah No Tahapan Pengertian Lama Waktu Dilakukan Oleh Perempuan Laki-laki 1 Beberes Ritual persiapan awal 1 bulan Kasepuhan 2 Macul Membajak sawah 1 bulan 3 Babad Membersihkan rumput di areal pematang sawah 1 hari 4 Tebar Menyemai bibit padi 1 hari 5 Babut Memindahkan padi dari pembibitan 1 hari 6 Tandur Menanam padi 1 minggu 7 Ngoyos Membersihakn padi dari gulma 8 Ngubaran Selamatan untuk 1 54

62 menjaga sekaligus minggu mengusir hama penyakit 9 Mapag Pare beukah Ritual menyambut padi saat muali berbuah 1 hari 10 Salamet mipit pare Selamatan ketika hendak memulai panen 1 hari 11 Mipit Ritual pertama kali akan memanen padi (dilakukan di pungpuhunan) 1 hari 12 Dibuat/Nget em Panen padi 2 minggu 13 Ngalantai Menjemur padi di lantaian 1 hari Membersihkan dan 14 Mocong merapikan padi ketika hendak 1 minggu disimpan 15 Ngunjal Memindahkan padi dari lantian ke leuit 1 hari 16 Netepkeun/ ngadiukeun Ritual saat hendak menyimpan padi di leuit I hari 55

63 17 Seren Taun Rangkaian puncak pesta panen 1 minggu Kasepuhan Pertanian lahan kering (huma) di masyrakat adat sangatlah unik, setiap rangkaian atau tahapan proses bercocok tanam (menanam padi) harus melalui berbagai tahapan ritual adat, mulai dari memilih bibit sampai menjelang panen tiba, berikut ini adalah tahapan mengelola huma : Tabel 4 : Proses atau tahapan Ngahuma No Tahapan Pengertian Lama Waktu Dilakukan Oleh Lakilaki Perempuan 1 Beberes Ritual persiapan awal 1 bulan Kasepuhan 2 Nyacar Membersihkan lahan 1 bulan 3 Ngahuru Membakar puing sisa-sisa membersihkan lahan 1 hari 4 Ngaduruk Membakar sisa ngahuru agar lebih bersih 1 hari 5 Ngaseuk Menanam atau 1 hari 56

64 menyemai benih padi 6 Ngored Membersihkan rumpul liar/gulma 1 minggu Selamatan untuk 7 Ngubaran menjaga sekaligus mengusir hama 1 minggu penyakit Mapag Ritual menyambut 8 Pare padi saat muali 1 hari beukah berbuah 9 Salamet mipit pare Selamatan ketika hendak memulai panen 1 hari 10 Mipit Ritual pertama kali akan memanen padi (dilakukan di pungpuhunan) 1 hari 11 Dibuat/Nge tem Panen padi 2 minggu 12 Ngalantai Menjemur padi di lantaian 1 hari Membersihkan dan 13 Mocong merapikan padi ketika hendak 1 minggu disimpan 57

65 14 Ngunjal Memindahkan padi dari lantian ke leuit 1 hari 15 Netepkeun/ ngadiukeun Ritual saat hendak menyimpan padi di leuit I hari 16 Seren Taun Rangkaian puncak pesta panen 1 minggu Kasepuhan Jenis padi yang ditanam di sawah dan di huma adalah jenis yang berbeda, namun umumnya jenis-jenis padi yang ditanam di sekitar masyarakat adat kasepuhan diantaranya yaitu, Rajawesi, Srikuning, Cere, Kui, Kewal, Cere Ketan, Langkasari, Ketan Bogor, Ketan Tawa, Ketan Putri, Ketan Hideung dan Gantang, Pare nete, Ketan langsari, Cere markoti, Keta,Ketan Putri, Cere Marire, Jamu, Emas, Gantang, Kewal, Cere Belut, Pare Beunteur, Ketan Odeng, Ketan Nangka, Pare Peuteuy, Pare Seksek,Pare Mute, Pare Kadut, Pare Sirimahi,Pare Jogja, Apel dan masih banyak lagi jenis nama-nama padi yang di tanam di masyarakat Kasepuhan Banten Kidul Keanekaragaman Flora dan Fauna Kawasan TNGHS merupakan representasi hutan hujan yang memiliki berbagai macam keanekaragaman flora dan faunanya, hal ini pula berdampak pada wilayah Kasepuhan yang memang awalnya merupakan daerah yang sama, hanya saja mengalaim perubahan setelah adanya pemukiman masyarakat adat di sekitarnya. 58

66 Gambar 22 : Tanamn Kapol (tanamn obat) tumbuh subur dan dibudidayakan oleh masyarakat adat Foto : Joe namun secara vegetasi baik yang merupakan kawasan Taman Nasional maupun masyarakat Kasepuhan memiliki flora dan fauna yang sejenis. Meski dibeberpa daerah Kasepuhan ada yang berbeda, tapi gambaran keseluruhan flora yang terdapat di areal kasepuhan Banten Kidul antara lain : Tabel 5 : Flora di Kawasan Kasepuhan Masyarakat Adat Banten Kidul No Nama Kategori Habitat Nama Kategori Habitat Tanaman Tanaman 1 Rasamala Kayu Hutan Singkong Palawija Huma/ladang 2 Puspa Kayu Hutan Ubi Palawija Huma/ladang 3 Mahoni Kayu Hutan Talas Palawija Huma/ladang 4 Pasang Kayu Hutan Pisang Palawija Huma/ladang 5 Maranti Kayu Hutan Tiwu Endog Palawija Huma/ladang 6 Afrika Kayu Kebun Kentang Sayur Huma/ladang 7 Jengjeng Kayu Kebun Waluh Palawija Huma/ladang 8 Ki Maja Kayu Kebun Pete Sayur Huma/ladang 9 Ki Buluh Kayu Kebun Jengkol Sayur Huma/ladang 10 Ki Bancet Kayu Kebun Lamtoro Sayur Huma/ladang 11 Ki Bangkong Kayu Kebun Lada Rempah Huma/ladang 59

67 12 Ki Kayu Kebun Cengkeh Rempah Huma/ladang Sampang 13 Ki Kayu Kebun Rinu Obat Huma/ladang Ronyok 14 Saninten Kayu Kebun Kunir Palawija Huma/ladang 15 Kalimorot Kayu Kebun Koneng Palawija Huma/ladang Geude 16 Ki Awi Kayu Kebun Babanyaran Palawija Huma/ladang Ki Putri Ki Bima Kayu Kayu Kebun Kebun Lampuyang Babadotan Palawija Palawija Huma/ladang Huma/ladang 20 Kalapa Kayu Kebun Nilam Palawija Huma/ladang Ciung 21 Kokosan Kayu Kebun Ki Beling Palawija Huma/lading Monyet 22 Huru Kayu Kebun Seureuh Palawija Huma/ladang Madang 23 Huru hiris Kayu Kebun Pining Palawija Huma/ladang 24 Huru Kayu Kebun Ranyang Palawija Huma/ladang Sampalan 25 Jurang Kayu Kebun Akar Palawija Huma/ladang Kawung 26 Huru batu Kayu Kebun Pinang Palawija Huma/ladang 27 Ki Kawat Kayu Kebun Rane Palawija Huma/ladang 28 Ki Besi Kayu Kebun Taras Tulang Palawija Huma/ladang 29 Ki Pinang Kayu Kebun Manganeh Palawija Huma/ladang 30 Salam Kayu Kebun Rende Palawija Huma/ladang 31 Ki Sereh Kayu Kebun Ki Lampahan Palawija Huma/ladang 32 Ki Sapi Kayu Kebun Buah Mahuni Palawija Huma/ladang 33 Hamirung Kayu Kebun Paku Palawija Huma/ladang 34 Laban Kayu Kebun Kapipingkel Palawija Huma/ladang 60

68 35 Ki Padali Kayu Kebun Buah Picung Obat Huma/ladang 36 Manglid Kayu Kebun Randu Obat Huma/ladang 37 Ceuri Kayu Kebun Ki Sereh Obat Huma/ladang 38 Ki Kayu Kebun Areuy Obat Huma/ladang Sebrang Kidang 39 Waru Kayu Kebun Aawian Obat Huma/ladang 40 Cangcarat Kayu Kebun Kapol Obat Huma/ladang an 41 Kitamarga Kayu Kebun Jukut Bau Obat Huma/ladang 42 Bareubeuy Kayu Kebun Beuti Ganawang Obat Huma/ladang 43 Tulak Tangul Kayu Kebun Cecenet Obat Huma/ladang 44 Ki Kacang Kayu Kebun Capeu Obat Huma/ladang 45 Dawolong Kayu Kebun Kumis Ucing Obat Huma/ladang 46 Leungsir Kayu Kebun Jawer Kotok Obat Huma/ladang 47 Cangkalak Kayu Kebun Kukuk Palawija Pekarangan 48 Ki Kayu Kebun Lengkuas Palawija Pekarangan Beureum 49 Gintung Kayu Kebun Jahe Palawija Pekarangan 50 Dahu Kayu Kebun Pisang Buah Kebun Kepok 51 Ki Tano Kayu Kebun Pisang Buah Kebun Sarebu 52 Ki Sawo Kayu Kebun Pepaya Buah Kebun 53 Laka Kayu Kebun Kedondong Buah Kebun 54 Palahlar Kayu Kebun Erbis Buah Kebun 55 Angrit Kayu Kebun Kopi Buah Kebun 56 Huru Kayu Kebun Coklat Buah Kebun Carulang 57 Ki Sigeng Kayu Kebun Gandarasa Buah Kebun 61

69 58 Bengang Kayu Kebun Salak Buah Kebun 59 Ki Amis Kayu Kebun Pisang Buah Kebun Lampeneng 60 Ki Kayu Kebun Pisitan Buah Kebun Cariang 61 Tenyo Kayu Kebun Jambe Buah Kebun 62 Cengal Kayu Kebun Jambu Batu Buah Kebun 63 Teureup Kayu Kebun Jambu Buah Kebun 64 Dadap Kayu Kebun Cingcolo Buah Kebun 65 Jirak Kayu Kebun Jambu Air Buah Kebun 66 Parengpen Kayu Kebun Jambu Bol Buah Kebun g 67 Rengas Kayu Kebun Jambu Buah Kebun Monyet 68 Hantap Kayu Kebun Jeruk Nipis Buah Kebun 69 Bungur Kayu Kebun Jeruk Bali Buah Kebun 70 Katulamp Kayu Kebun Pisang Buah Kebun a Hurang 71 Jeret Kayu Kebun Pisang Abu Buah Kebun 72 Tengek Kayu Kebun Pisang Sepet Buah Kebun caah 73 Kiara Kayu Kebun Mang Pelem Buah Kebun 74 Karoya Kayu Kebun Darmayu Buah Kebun 77 Nangka Buah Kebun Manggis Buah Kebun 78 Durian Buah Kebun Duku Buah Kebun 79 Rambutan Buah Kebun Jatake Buah Kebun 80 Picung Buah Kebun Kokosan Buah Kebun 81 Kelapa Buah Kebun Limus Buah Kebun 82 Kacapi Buah Kebun Kaweni Buah Kebun Sumber : RMI 62

70 Selain flora, jenis fauna di setiap Kasepuhan hampir serupa, meskipun ada sedikit beberap perbedaan dipenamaannya saja. Fauna di Kawasan Masyarakat adat Banten Kidul terbagi kedalam hewan peliharaan dan hewan liar yang mendiami wilayah di sekitar Kasepuhan. Berikut ini adalah macam-macam fauna : Gambar 23 : Kerbau adalah satwa peliharaan masyarakat adat, setiap satu ekor kerbau diwajibkan membayar cacah jiwa sebesar Rp 5000 Foto : Joe Tabel 6 : Fauna di Kawasan Masyarakat Adat Banten Kidul No Nama Satwa Kategori Habitat 1 Kerbau Peliharaan Pemukiman/Sawah/Kebun 2 Kambing Peliharaan Pemukiman/Kebun 3 Domba Peliharaan Pemukiman/Kebun 4 Bebek Peliharaan Pemukiman 5 Ayam Peliharaan Pemukiman 6 Monyet Liar Hutan/Leuweung 7 Bagong/Babi Hutan Liar Hutan/Leuweung 8 Ikan Benteur Liar Sungai 9 Ikan Kehkel Liar Sungai 63

71 10 Ikan Bogo Liar Sungai 11 Ikan Mas Peliharaan Pemukiman/Kebun 12 Ikan Mujair Peliharaan Pemukiman/Kebun 13 Ikan Nila Peliharaan Pemukiman/Kebun 14 Ikan Lele Peliharaan Pemukiman/Kebun 15 Ikan Jeler Liar Sungai 16 Ikan Sengal Liar Sungai 17 Ikan Nanyeng Liar Sungai 18 Ikan Regis Liar Sungai 19 Ikan Sarompet Liar Sungai 20 Ikan Mayo Liar Sungai 21 Belut Liar Sawah 22 Ikan Amis Pinang Liar Sungai 23 Ikan Bungkreng Liar Sungai 24 Ikan Serewet Liar Sungai 25 Ikan Tampele Liar Sungai 26 Lubang Liar Sungai 27 Keuyeup Liar Sungai 28 Hurang Liar Sungai 29 Beragam jenis Liar Alam burung 30 Tawon Liar Alam 5.3 Konsep Hutan Masyarakat Hukum Adat Masyarakat Adat Kasepuhan hidup bergantung pada alam, mereka memanfaatkan apa yang alam sediakan tanpa mengambilnya scara berlebihan. Pemahaman tentang menjaga alam sudah tertuang sejak Kasepuhan itu ada, hal ini terbukti melalui beberapa tatali paranti karuhun yang isinya mengacu pada bagaiamna seharusnya hidup menyelaraskan dengan alam, seperti pemahaman konsep tentang hutan misalnya. Konsep 64

72 hutan, masyarakat punya pandangan tersendiri. Jika pemerintah mempunyai program zonasi hutan lindung, maka masyarakat adat Kasepuhan mengenal adanya leuweung tutupan, leuweung titipan, leuweung awisan dan leuweung garapan/sampalan yang merupakan bagian dari tatali paranti karuhun. - Leuweung Tutupan, disebut juga leuweung kolot/leuweung geledegan (rimba), merupakan sebuah lahan hutan yang masih terjaga keasliannya. Habitat dan vegetasinya masih tidak tersentuh. Masyarakat adat mengkategorikan hutan ke dalam hutan larangan yang sama sekali tidak boleh diganggu gugat, bahkan masyarakat adat meyakini bahwa hutan ini dijaga oleh makhluk gaib, dan siapapun yang mencoba memasuki dan mengganggu keaslian hutan ini akan tertimpa kabendon (kuwalat). Ketika sudah berhubungan dengan kabendon atau sesuatu yang melanggar aturan adat maka tidak ada tawar menawar lagi bagi masyarakat hukum adat. - Leuweung Titipan, lahan hutan ini merupakan titipan dari karuhun. Mengenai penggunaannya masyarakat adat belum diizinkan sebelum ada wangsit dari karuhun untuk membuka atau menggarapnya. Aturan pada hutan ini tidak seketat leuweung tutupan, jika memang ada kebutuhan mendesak yang harus diambil dari hutan ini, maka masih bisa dimasuki namun harus celuk (meminta izin kepada karuhun). - Leuweung Awisan, yaitu hutan atau lahan cadangan yang akan digunakan untuk lahan pemukiman atau lahan garapan pada masa yang akan datang, setelah ada perintah atau wangsit yang mengharuskan untuk berpindah atau ngalalakon (berkelana). Pusat kasepuhan memang selalu berpindah-pindah sesuai perintah karuhun. sehingga bukan tidak mungkin jika kepindahannya bukan semakin ke tempat yang ramai, tapi justru semakin menjauh dan terpencil memasuki lahan atau hutan baru. - Leuweung sampalan, lahan hutan ini merupakan hutan garapan yang digunkan untuk pemukiman dan lahan pertanian. 65

73 Pemahaman tentang konsep hutan ini merupakan sebuah kearifan lokal yang bahakn sudah ada sebelum gaung pembagian zonasi hutan lindung oleh pemerintah, artinya masyarakat adat Kasepuhan sejak dahulu sudah memahami betapa pentingnya hutan untuk kehidupan, hutan adalah sirah cai (sumber mata air) sehingga jika merusak hutan maka artinya merusak sumber air, dan merusak sumber air bearti merusak keberlangsungan hidup masyarkat adat. Gambar 24 : Pemanfaatna hutan sampalan untuk kebutuhan lahan pemukiman dan pertanian Foto : Henriana Hatra Pemanfaatan hasil hutan seperti kayu untuk membangun rumah juga dibatasi. beberpa pohon yang diperbolehkan untuk digunakan untuk membangun rumah yaitu, pohon puspa, kisereh dan pasang. Dibeberpa kasepuhan akan sedikit berbeda, tapi satu hal yang pasti bahwa penggunaan hasil hutan dibatasi hanya sekedar untuk kebutuhan mendesak saja, hasil hutan lain yang boleh dimanfaatkan adalah tanaman obat yang terdapat dihutan, pohon gaharu dan pohon kemenyan yang digunakan juga sebagai alat ritual adat, selain itu ada pula rotan yang digunakan untuk bahan pembuatan berbagai perkakas dapur dan perkakas lain yang memang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk membuat kaneron (tas tradisional dari rotan). Pemnafaatan yang serba dibatasi, artinya sangat mempertimbangkan kelangsungan atau kelestarian 66

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 11 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 3.1.1 Sejarah, letak, dan luas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Dan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dari 4 ( empat ) aspek, yaitu : 1. Aspek Yuridis 2. Aspek Teknis 3. Pranata Adat 4. Penguatan Status

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa Indonesia terkenal dengan kemajemukannya yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam negara kesatuan RI dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Informasi merupakan suatu hal terpenting dalam kehidupan. Banyak cara untuk mendapatkan informasi, melalui media televisi maupun radio. Majalah dan koran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Kasatuan Adat Banten Kidul merupakan sekelompok masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Merupakan bagian dari etnik

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan Pada bagian ini akan disimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam penulisan skripsi yang berjudul. Kehidupan Masyarakat Baduy Luar Di Desa Kanekes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia dan tanah tidak dapat dipisahkan. Manusia diciptakan dari tanah, hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang

BAB I PENDAHULUAN. Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat dan tradisi yaitu suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat BAB IV ANALISIS Dalam Bab IV ini akan disampaikan analisis data-data serta informasi yang telah didapat. Bab ini terbagi menjadi 3 sub-bab. Bab 4.1 berisi tata cara dan aturan adat dalam penentuan batas

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku Sunda, suku yang memiliki

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sangat kaya dengan budaya yang berbeda-beda. Salah saru diantaranya adalah masyarakat Kanekes (Baduy) yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Sirna Resmi terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini terletak antara 106 27-106

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Sumber: Gambar 4.1 Peta Provinsi Banten 1. Batas Administrasi Secara geografis, Provinsi Banten terletak di ujung barat Pulau Jawa yang memiliki luas sebesar 9.160,70

Lebih terperinci

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN 89 BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN Rumusan standar minimal pengelolaan pada prinsip kelestarian fungsi sosial budaya disusun sebagai acuan bagi terjaminnya keberlangsungan manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adat Baduy dalam perjalanannya sebagai masyarakat adat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adat Baduy dalam perjalanannya sebagai masyarakat adat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adat Baduy dalam perjalanannya sebagai masyarakat adat telah berhasil menarik perhatian baik masyarakat asing maupun masyarakat lokal. Ketertarikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL Oleh: Gurniwan Kamil Pasya ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat parah sebagai akibat banyak perusahaan kayu yang membabat hutan secara besar-besaran,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Kabupaten Lebak secara geografis terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha atau 3.044,72 km².

Lebih terperinci

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1. Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang Hukum tanah adat merupakan hukum tidak tertulis yang mengurusi masalah pertanahan adat yang dipegang teguh dan dilaksanakan oleh komunitas atau masyarakat adat. Hukum

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT Pada bab ini akan dijelaskan penentuan batas wilayah adat menurut hukum adat. Karena sebagian wilayah Kasepuhan Ciptagelar terdapat di dalam TNGHS, maka perlu dijelaskan

Lebih terperinci

REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010

REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010 REUSAM KAMPUNG BENGKELANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM (ADAT MERAGREH UTEN) BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 22 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak, Luas, dan Wilayah Secara administratif Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi termasuk dalam wilayah "Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu dapat dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, bahasa, maupun agama. Kemajemukan budaya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moch Ali M., 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moch Ali M., 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnobotani merupakan salah satu cabang dari etnobiologi yang mempelajari konsep-konsep pengetahuan masyarakat mengenai tumbuhan yang merupakan hasil perkembangan kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan ekosistemnya ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

BAB I PENDAHULUAN. dan ekosistemnya ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pariwisata terjadi karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum di ketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah memiliki keanekaragaman budaya yang tak terhitung banyaknya. Kebudayaan lokal dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seperti kita ketahui, Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya dan kesenian. Keberagaman budaya inilah yang membuat Indonesia dikenal oleh negara-negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 38 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Suku Baduy Luar Suku Baduy merupakan kelompok masyarakat yang hidup secara tradisional di Desa Kanekes Kecamatan Rangkas Bitung Kabupaten Lebak,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 44 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Arat Sabulungan adalah akar budaya dan juga cara pandang hidup masyarakat Mentawai yang tetap menjaga dan mengatur masyarakat Mentawai melalui tabu dan pantrngannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat baik bila industri ini dapat dikelola dan dikembangkan secara

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat baik bila industri ini dapat dikelola dan dikembangkan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu industri terbesar yang paling banyak dilirik sebagai salah satu sektor andalan bagi negara dewasa ini, terutama bila dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia pendidikan dewasa ini lebih menekankan pada penanaman nilai dan karakter bangsa. Nilai dan karakter bangsa merupakan akumulasi dari nilai dan karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adat telah ada di Indonesia jauh sebelum hukum nasional dibentuk. Aturan dan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, baik itu di bidang pertanahan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 70.A TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 70.A TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 70.A TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penguatan tugas, fungsi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG PERLINDUNGAN ATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya dengan ragam kebudayaan. Kekayaan budaya itu tersimpan dalam kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 5.1. Lokasi dan Letak Geografis Taman Rekreasi Kampoeng Wisata Cinangneng terletak di Desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Lokasi ini berjarak 11 km dari Kota

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR: 65 TAHUN 2001 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 32 TAHUN 2001 TENTANG PERLINDUNGAN ATAS HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF

FORMAT KASUS KOMPREHENSIF FORMAT KASUS KOMPREHENSIF NO. REC. : 12 KASUS DESKRIPSI : MASYARAKAT KASEPUHAN CIBEDUG VS. TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUM SALAK : Keberadaan warga Cibedug di kawasan ekosistem Halimun sejak jaman Belanda-Jepang

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970- an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani.

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan yang didapat merupakan jawaban dari pertanyaan (research question) yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SABU RAIJUA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Identitas Kultural dan Interaksi Sosial Masyarakat Adat di Tengah Modernisasi (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul)

Identitas Kultural dan Interaksi Sosial Masyarakat Adat di Tengah Modernisasi (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul) Identitas Kultural dan Interaksi Sosial Masyarakat Adat di Tengah Modernisasi (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul) Abdul Malik Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Serang Raya Jalan

Lebih terperinci

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Sunda Ciamis mempunyai kesenian yang khas dalam segi tarian yaitu tarian Ronggeng Gunung. Ronggeng Gunung merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional

Lebih terperinci

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,

Lebih terperinci

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010

REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010 REUSAM KAMPUNG BATU BEDULANG KECAMATAN BANDAR PUSAKA KABUPATEN ACEH TAMIANG NOMOR : 147 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM ( ADAT MERAGREH UTEN ) BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu-individu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Desa 4.1.1 Kondisi Topografi Desa Sinar Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam suku, yang dapat di jumpai bermacam-macam adat istiadat, tradisi, dan kesenian yang ada dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan makhluk hidup di alam ini. Selain itu, air juga merupakan barang milik umum, sehingga air dapat mengalami

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum tua, dan lambat laun mulai ditinggalkan karena berbagai faktor penyebab.

BAB I PENDAHULUAN. kaum tua, dan lambat laun mulai ditinggalkan karena berbagai faktor penyebab. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya pengetahuan pengobatan tradisional hanya dikuasai oleh kaum tua. Generasi muda saat ini kurang termotivasi untuk menggali pengetahuan dari kaum tua,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

INTIMASI GRADASI : TUTUR VISUAL MASYARAKAT CIPTAGELAR BANTEN

INTIMASI GRADASI : TUTUR VISUAL MASYARAKAT CIPTAGELAR BANTEN INTIMASI GRADASI : TUTUR VISUAL MASYARAKAT CIPTAGELAR BANTEN Abstrak: Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat mempertahankan budaya leluhur yang dihasilkan dari cipta, rasa, dan karsa individu-individu di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dalam artian bahwa sesungguhnya manusia hidup dalam interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan bangsanya. Sebagai bangsa yang heterogen, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya tidak lepas dari lingkungan hidup sekitarnya. Lingkungan hidup manusia tersebut menyediakan berbagai

Lebih terperinci

BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar 389

BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar 389 BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN 1988 2.1. Kondisi Geografis Desa Namo Rambe merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki aneka ragam budaya. Budaya pada dasarnya tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan individu yang ada dari

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah menganalisis hasil penelitian dan pengolahan data, maka penulis mengambil kesimpulan, yaitu : Sebagai suatu bentuk struktur dari kegiatan pariwisata, desa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan data-data hasil penelitian dan pembahasan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka pada bagian ini peneliti akan menarik beberapa kesimpulan

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pendekatan terhadap sumber daya alam yang dikandung dalam sistem budaya tradisional adalah bersifat holistik dan bottom up sejalan dengan nalar yang berwawasan

Lebih terperinci

Dari Bukit Turun Ke Sawah PLPBK di Kawasan Heritage Mentirotiku dan Lakessi

Dari Bukit Turun Ke Sawah PLPBK di Kawasan Heritage Mentirotiku dan Lakessi Dari Bukit Turun Ke Sawah PLPBK di Kawasan Heritage Mentirotiku dan Lakessi PLPBK DI KAWASAN HERITAGE MENTIROTIKU Kabupaten Toraja Utara memiliki budaya yang menarik bagi wisatawan dan memilki banyak obyek

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Makna Simbolik Huma (Ladang) Di Masyarakat Baduy. Jamaludin

Makna Simbolik Huma (Ladang) Di Masyarakat Baduy. Jamaludin Makna Simbolik Huma (Ladang) Di Masyarakat Baduy Jamaludin Abstrak Berbeda dengan umumnya masyarakat pedesaan di Indonesia yang bercocok tanam padi di sawah, masyarakat Baduy di desa Kanekes kecamatan

Lebih terperinci

REUSAM KAMPUNG KALOY. No : Tahun 2010 TENTANG PERATURAN KAMPUNG (REUSAM) TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM / ADAT MERAGREH UTEN

REUSAM KAMPUNG KALOY. No : Tahun 2010 TENTANG PERATURAN KAMPUNG (REUSAM) TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM / ADAT MERAGREH UTEN REUSAM KAMPUNG KALOY No : Tahun 2010 TENTANG PERATURAN KAMPUNG (REUSAM) TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM / ADAT MERAGREH UTEN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA

Lebih terperinci

2015 POLA PEWARISAN NILAI DAN NORMA MASYARAKAT KAMPUNG KUTA DALAM MEMPERTAHANKAN TRADISI

2015 POLA PEWARISAN NILAI DAN NORMA MASYARAKAT KAMPUNG KUTA DALAM MEMPERTAHANKAN TRADISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ciamis adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten ini berada di Tenggara Jawa Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka,

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN 29 Bab perubahan struktur agraria ini berisi tentang penjelasan mengenai rezim pengelolaan TNGHS, sistem zonasi hutan konservasi TNGHS, serta kaitan antara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA DAFTAR PUSTAKA 1. Abdulharis, R., K. Sarah, S. Hendriatiningsih, dan A. Hernandi. 2007. The Initial Model of Integration of the Customary Land Tenure System into the Indonesian Land Tenure System: the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan terluas di dunia. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Manfaat dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut

BAB I PENDAHULUAN. setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara yang kaya akan etnis budaya, dimana setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut memiliki

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci