KAJIAN PRODUKSI TANIN BUBUK DARI GAMBIR ASALAN DENGAN PENGERING SEMPROT (SPRAY DRYER) Oleh OKTAVIA LESTARI F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PRODUKSI TANIN BUBUK DARI GAMBIR ASALAN DENGAN PENGERING SEMPROT (SPRAY DRYER) Oleh OKTAVIA LESTARI F"

Transkripsi

1 KAJIAN PRODUKSI TANIN BUBUK DARI GAMBIR ASALAN DENGAN PENGERING SEMPROT (SPRAY DRYER) Oleh OKTAVIA LESTARI F DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1

2 KAJIAN PRODUKSI TANIN BUBUK DARI GAMBIR ASALAN DENGAN PENGERING SEMPROT (SPRAY DRYER) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh : OKTAVIA LESTARI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2

3 Oktavia Lestari. F Kajian Produksi Tanin Bubuk dari Gambir Asalan dengan Pengering Semprot (Spray Dryer). Di bawah bimbingan Ade Iskandar dan E.Gumbira Sa id RINGKASAN Gambir asalan merupakan produk tanaman gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) yang berasal dari getah daun gambir dengan mengalami tahapan pengolahan tertentu. Senyawa utama yang terkandung di dalam gambir adalah pseudotanin katekin dan phlobatanin asam catechutannat dengan persentase masing-masing senyawa adalah 7-30% dan 22-55%. Katekin dan tanin merupakan produk hasil pemurnian komponen yang terkandung dalam produk gambir asalan. Berbagai penelitian yang dilakukan dalam proses pemurnian gambir pada umumnya berkaitan dengan cara pemurnian untuk menghasilkan katekin murni. Penelitian tentang pemurnian gambir yang menghasilkan tanin (ekstraksi tanin) perlu dilakukan lebih lanjut untuk menghasilkan produk tanin yang lebih baik. Pembuatan tanin dalam bentuk bubuk dilakukan dengan menggunakan alat pengering semprot atau spray dryer. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan tanin bubuk dari gambir asalan dengan proses ekstraksi dan mendapatkan perlakuan terbaik dalam produksi tanin bubuk dari gambir asalan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu pelarut (air) yang digunakan (40 0 C, 60 0 C, dan 80 0 C) dan perbandingan jumlah pelarut (air) dengan gambir asalan dalam proses ekstraksi (8:1, 10:1, dan 12:1 v/b). Jumlah gambir asalan yang digunakan tiap perlakuan adalah 150 gram sehingga variasi jumlah pelarut yang digunakan adalah 1200 ml, 1500 ml, dan 1800 ml. Pengujian dilakukan terhadap bahan (gambir asalan) dan produk tanin bubuk. Pengujian terhadap gambir asalan meliputi analisis proksimat, kadar tanin dan kadar katekin. Beberapa pengujian yang dilakukan terhadap tanin bubuk yang dihasilkan adalah kadar tanin, kadar air, kadar abu, uji warna, dan kadar bahan tidak larut dalam air. Hasil dari pengujian yang telah dilakukan terhadap gambir asalan sebagai bahan baku pembuatan tanin menunjukkan nilai kadar air 12,36% (wet basis), kadar abu 12,21% (wet basis), kadar lemak 1,61% (wet basis), kadar serat kasar 6,16% (wet basis), kadar protein 3,43% (wet basis), dan kadar tanin sebesar 38,45% (wet basis). Setelah mengalami proses ekstraksi, hasil pengujian kadar tanin dalam tanin bubuk (dry basis) bervariasi dengan kisaran 83% hingga 98%. Rendeman produk tanin bubuk (dry basis) hasil pemurnian bervariasi dengan kisaran 16% hingga 42%. Hasil pengujian terhadap produk tanin bubuk yang dikeringkan dengan spray dryer memiliki kadar air (dry basis) 4%-6,06%, kadar abu (dry basis) 3,85% - 5,17%, dan kadar bahan tidak larut air (dry basis) 2,99%-4,43%. Hasil pengujian warna menunjukkan bahwa produk tanin bubuk memiliki nilai derajat hoe rata-rata 79,82 yang memperlihatkan spektrum warna kuning kecoklatan. Nilai whiteness dari tanin bubuk berkisar antara 69,20%-77,96%. Secara umum, pada proses ekstraksi, penggunaan suhu pelarut yang semakin tinggi dapat meningkatkan nilai kadar tanin produk. Penggunaan perbandingan jumlah pelarut dengan gambir asalan yang semakin banyak dapat 3

4 meningkatkan rendemen tanin bubuk dan kadar tanin pada produk. Proses pengeringan dengan spray dryer menghasilkan tanin bubuk dengan ukuran butiran yang seragam. Kestabilan suhu pada proses pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap proses pembuatan tanin bubuk seperti nilai kadar air dan nilai whiteness. Berdasarkan hasil analisis ragam pada α = 0,05 perlakuan faktor perbandingan jumlah air dan gambir asalan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar tanin, kadar air, kadar abu, whiteness, dan kadar bahan tidak larut air tetapi berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen tanin bubuk. Perlakuan faktor suhu pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap semua nilai parameter uji. Interkasi antara perlakuan faktor perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dan faktor suhu pealrut memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap nilai kadar tanin, kadar air, kadar abu, dan kadar bahan tidak larut air tetapi berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen tanin bubuk dan nilai whiteness. Perlakuan pada penelitian yang menghasilkan produk tanin bubuk dengan kualitas terbaik dikaitkan dengan efiesiensi proses dan kualitas mutu tanin. Perlakuan terbaik yang menghasilkan produk tanin bubuk dengan mutu yang tinggi adalah ekstraksi dengan suhu air 80 0 C dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan 12:1. Perlakuan tersebut menghasilkan produk yang memiliki nilai kadar tanin 95,67% (dry basis), rendemen 41,79 % (dry basis), kadar air 4,85% (dry basis), kadar abu 4,04 % (dry basis), whiteness 71,73%, dan kadar bahan tidak larut air 3,72% (dry basis). 4

5 Oktavia Lestari. F Study of Tannin Powder Production from Gambier Extract Using Spray Dryer. Supervised by Ade Iskandar and E.Gumbira Sa id SUMMARY Gambier extract is a product of gambier plant wich is made from leaf gum and twig gambier plant with certain processing. Main compounds of the gambier extract are pseudotanin catechin and catechutannat acid with the percentage of 7-30% and 22-55%. Catechin and tannin in gambier extract can be purified in order to get products wich have high purity. Some researches were done in the purification of gambier extract related to get pure catechin. However, research for the purification of gambir extract to get pure tannin need to be done. Tannin powder was prepared using drying process with spray dryer. The objectives of this study were to get tannin powder from gambier extract with extraction process and to get the best combination treatment for tannin extraction. This study was done by several factor treatments. They were water temperatures (40 0 C, 60 0 C, dan 80 0 C) and ratio of water and gambier extracts (8:1, 10:1, dan 12:1 v/b). Each treatment in the study used 150 gram gambier extracts. Analysis in this research was done for gambier extract and tannin product. Analysis of gambier extract included proximat analysis and tannin content. Some analysis which were done for tannin product consist of tannin content, moisture content, ash content, color test and insolubility in water content material. The results of analysis which have been done on gambier extract as raw material for tannin powder production have moisture content of 12,36% (wet basis), ash content 12,21% (wet basis), fat content 1,61% (wet basis), rough fiber content 6,16% (wet basis), protein content 3,43% (wet basis), and tannin content 38,45% (wet basis). After extraction process, value of tannin content in tannin product (dry basis) has value from 83% to 98%. Yield of tannin product (dry basis) from purification process has a range value from 16% to 42%. Tannin powder product which were dried by spray dryer has moisture content value (dry basis) between 4% and 6,06%, ash content (dry basis) from 85% to 5,17%, and water insoluble material (dry basis) from 2.99% to 4.43%. Tannin product on color test has hoe degree with average which shows yellow color spectrum. Whiteness of tannin product has value between 69.20% and 77.96%. Based on the results, increasing ratio of total water and gambier extract increased yield and tannin content in the product. Generally, increasing temperature of water on tannin extraction increased tannin content in the product. Tannin content and the content of water insoluble material showed the purity level of tannin product. The lower grade of water insoluble material showed smaller value of non tannin material and showed product with better purity. Drying process which used spray dryer could produce tannin powder with uniform grain size. Stability of temperature in drying process could give effects to the preparation of tannin powder like mousiture content and whiteness value. Based on the analysis of variance at α = 0.05, factor of total water and gambier extract ratio did not affect significantly to the value of tannin content, 5

6 moisture content, ash content, whiteness, and water insoluble material content but it gave significantly effects for the yield value of tannin product. Solvent temperature factor of treatment did not give significantly effects to the value of all test parameters. Interaction between solvent temperature and ratio of total water and gambier extract factor influenced unsignificantly on the value of tannin content, moisture content, ash content, and content of water insoluble material. However, it gave significantly effect for the yield value and the whiteness value of tannin product. The treatment which produces the best quality tannin product has relations with process efficiency and quality of tannin. The best treatment which produces high quality tannin product is extracted with water temperature 80 0 C and ratio of the total water with gambier extraxt 12:1 (v/b). That treatment produces tannin product wich has value of tannin content 98.62% (dry basis), yield 41.79% (dry basis), moisture content 4.85% (dry basis), ash content 4.04% (dry basis), whiteness 71,73%, and water insoluble material content 3.72% (dry basis). 6

7 Judul Skripsi Nama Nim : Kajian Produksi Tanin Bubuk dari Gambir Asalan dengan Pengering Semprot (Spray Dryer) : Oktavia Lestari : F Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Ir. Ade Iskandar, MSi Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA.Dev NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen, Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP Tanggal Lulus : 7

8 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul Kajian Produksi Tanin Bubuk dari Gambir Asalan dengan Pengering Semprot (Spray Dryer) adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya. Bogor, Agustus 2010 Yang Membuat Pernyataan Oktavia Lestari F

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen tanggal 4 Oktober 1988, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Achmad Soerono dan Sumarti. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1993 di TK Aisiyah Bustanul Atfal II. Tahun 1994 penulis melanjutkan ke SD N Kutosari 4. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan ke SMP N 1 Kebumen dan lulus tahun Pada tahun yang sama, penulis melanjukan pendidikan ke SMA N 1 Kebumen dan lulus tahun Penulis diterima di program sarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kulaih Fisika TPB ( ), Asisten Praktikum Peralatan Industri Pertanian (2010), dan pernah mengajar fisika pada salah satu Bimbingan Belajar Mahasiswa TPB ( ). Pada saat menjalani kegiatan akademik, penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, beberapa kepanitian, dan menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN) pada departemen Kesekretariatan tahun , pengurus Forum Bina Islami Fateta divisi Dana Usaha tahun dan divisi Power of Akhwat tahun Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi mahasiswa daerah Kebumen (FORKOMA) pada tahun Penulis melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2009 di PG Madukismo PT Madubaru, dengan topik Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi dan Penyimpanan Gula di PG Madukismo PT Madubaru. Penulis melakukan penelitian untuk memperoleh gelar sarjana tahun 2010 dengan judul Kajian Produksi Tanin Bubuk dari Gambir Asalan dengan Pengering Semprot (Spray Dryer). 9

10 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Produksi Tanin Bubuk dari Gambir Asalan dengan Pengering Semprot (Spray Dryer). Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Ir. Ade Iskandar, MSi dan Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa id, MADev., selaku dosen pembimbing akademik yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dari awal hingga selesainya skripsi penulis. 2. Bapak Ir. Andes Ismayana, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi ini. 3. Ayah, Ibu, dan adik tercinta yang telah memberikan segenap kasih sayang kepada penulis, terima kasih atas semua kasih sayang, doa, dukungan, semangat, motivasi, dan pengorbanannya. 4. Bapak Ir. Alexie Heryandi, MT., Nur Avni Evalia SP, MM, dan Aditya Hadiwijoyo SPt, atas segala bimbingan, informasi, dan perhatian selama penyusunan skripsi. 5. Bapak Warisman dan keluarga atas bantuan, dukungan, dan doa yang telah diberikan. 6. Teman-teman satu tim penelitian (Pramitasari Anung Putri, Shanty Raharjo Pratama, dan Resa Denasta Syarif) yang selalu saling memberikan semangat dan dukungan. 7. Teman-teman satu perjuangan di Andhika House Kavling 4 (Trisna Priandini Q., Yani Yuliani, Rahayu Lestari, Stevanny O., Dian Octavianingsih, dan Anggin Indira S. atas doa, dukungan, dan semangat i

11 yang telah diberikan serta kebersamaan selama empat tahun yang tak terlupakan 8. Teman-teman satu bimbingan (Adrian Dharma Putra dan Budiman) yang selalu mendukung satu sama lain. 9. Teman-teman TIN 43 yang telah memberi semangat kepada penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu selama proses penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini mungkin masih ada kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan dari beberapa pihak sehingga dapat membangun ke arah yang lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Agustus 2010 Penulis ii

12 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 3 C. RUANG LINGKUP... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. TANAMAN GAMBIR... 4 B. GAMBIR... 5 C. TANIN D. EKSTRAKSI TANIN E. PENGERING SEMPROT (SPRAY DRYER) III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN C. TATA LAKSANA PENELITIAN D. PROSEDUR ANALISIS E. RANCANGAN PERCOBAAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK GAMBIR ASALAN B. EKSTRAKSI TANIN C. ANALISIS PRODUK Rendemen Kadar Tanin Kadar Air Kadar Abu iii

13 Halaman 5. Warna Kadar Bahan Tidak Larut Air D. PERLAKUAN TERBAIK V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Contoh Penampakan Tanaman Gambir... 5 Gambar 2. Struktur Kimia Katekin... 6 Gambar 3. Struktur Kimia Asam Catechutannat... 7 Gambar 4. Struktur Kimia Quersetin... 8 Gambar 5. Berbagai Jenis Gambir Indonesia... 9 Gambar 6. Diagram Alir Pengolahan Gambir Rakyat Gambar 7. Contoh Struktur Molekul Tanin Terhidrolisis Gambar 8. Contoh Struktur Molekul Tanin Terkondensasi Gambar 9. Diagram Proses Pemurnian Gambir untuk Menghasilkan Tanin Gambar 10. Bagian dan Tahapan Proses pada Pengering Semprot dengan Susunan Open Cycle Concurrent Gambar 11. Alat Spray Dryer Gambar 12. Diagram Alir Pembuatan Tanin Bubuk dari Gambir Asalan pada Penelitian Ini Gambar 13. Gambir Asalan sebagai Bahan Baku Gambar 14. Hasil Proses Penyaringan Berupa Kotoran Gambar 15. Proses Pengendapan dalam Ekstraksi Tanin Gambar 16. Fraksi Katekin Gambar 17. Larutan Tanin Gambar 18. Tanin Bubuk Hasil Pengeringan dengan Spray Dryer Gambar 19. Tanin yang Telah Mengalami Perubahan Warna Gambar 20. Tanin Bubuk yang Dikemas dengan Plastik Gambar 21. Grafik Hubungan Rendemen Tanin dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan Gambar 22. Grafik Hubungan Kadar Tanin dengan Jumlah Air dan Gambir Asalan Gambar 23. Grafik Hubungan Kadar Air Tanin Bubuk (Dry Basis) dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan v

15 Halaman Gambar 24. Grafik Hubungan Kadar Abu Tanin Bubuk dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan Gambar 25. Diagram Warna Hue Tanin Bubuk Gambar 26. Grafik Hubungan Whiteness Tanin Bubuk dengan Jumlah Air dan Gambir Asalan Gambar 27. Penampakan Contoh Tanin Bubuk Gambar 28. Grafik Hubungan Kadar Bahan Tidak Larut Air Tanin Bubuk dengan Jumlah Pelarut dan Bahan Gambar 29. Grafik Hubungan Persentase Jumlah Tanin yang Terekstrak per Bobot Tanin dengan Jumlah Pelarut dan Bahan Gambar 30. Rangkaian Alat Spray Dryer Gambar 31. Spektrofotometer HACH untuk Mengukur Kadar Tanin Gambar 32. Proses Ekstraksi Tanin Bubuk Gambar 33. Neraca Massa Produksi Tanin Bubuk vi

16 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komponen-Komponen dalam Gambir... 6 Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Gambir Asalan Tabel 3. Hasil Pengukuran Warna Tanin Bubuk Tabel 4. Standar Tanin Industrial Grade GB Tabel 5. Hasil Pengukuran Rendemen Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 6. Hasil Pengukuran Kadar Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 7. Hasil Pengukuran Kadar Air Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 8. Hasil Pengukuran Kadar Abu Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 9. Hasil Pengukuran Nilai Whiteness Tanin Bubuk Tabel 10. Hasil Pengukuran Kadar Bahan Tidak Larut Air Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 11. Hasil Analisis Ragam terhadap Rendemen Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 12. Hasil Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan terhadap Rendemen Tanin Bubuk (Dry Basis). 68 Tabel 13. Hasil Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Air terhadap Rendemen Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 14. Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Tanin Bubuk (Dry Basis) 69 Tabel 15. Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Air Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 16. Hasil Analisis Ragam terhadap Kadar Abu Tanin Bubuk (Dry Basis) Tabel 17. Hasil Analisis Ragam terhadap Nilai Whiteness Tanin Bubuk Tabel 18. Hasil Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan terhadap Nilai Whiteness Tanin Bubuk Tabel 19. Hasil Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Air terhadap Nilai Whiteness Tanin Bubuk vii

17 Tabel 20. Hasil Analisis Ragam Kadar BahanTidak Larut Air Tanin Bubuk Halaman (Dry Basis) viii

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Rangkaian Alat Spray Dryer Lampiran 2. Prosedur Analisis Lampiran 3. Proses Ekstraksi Tanin Bubuk Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Tanin Bubuk Lampiran 5. Nilai Hasil Analisis Tanin Bubuk Lampiran 6. Analisis Ragam Rendemen Tanin Bubuk Lampiran 7. Uji Lanjut Duncan Rendemen Tanin Bubuk Lampiran 8. Analisis Ragam Kadar Tanin Bubuk Lampiran 9. Analisis Ragam Kadar Air Tanin Bubuk Lampiran 10. Analisis Ragam Kadar Abu Tanin Bubuk Lampiran 11. Analisis Ragam Nilai Whiteness Tanin Bubuk Lampiran 12. Uji Lanjut Duncan Nilai Whiteness Tanin Bubuk Lampiran 13. Analisis Ragam Kadar Bahan Tidak Larut Air Tanin Bubuk 74 ix

19 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gambir asalan adalah produk tanaman gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) yang berasal dari getah daun gambir dengan mengalami tahapan pengolahan tertentu. Gambir asalan merupakan produk ekspor andalan Indonesia yang memiliki negara tujuan ekspor seperti India, Pakistan, Nepal, Banglades, Filipina, Singapura, dan Australia. Sebesar 84% total gambir asalan Indonesia diekspor menuju India (BPS, 2008). Mutu gambir Indonesia mengalami kondisi yang fluktuatif sehingga menyebabkan ketidakstabilan nilai ekspor yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekspor yang kurang baik setiap tahunnya. Mutu gambir yang rendah menyebabkan harga di pasaran dunia menjadi rendah dan memberikan pengaruh pada penurunan permintaan pasar ekspor. Berdasarkan data ekspor gambir Indonesia pada tahun 2008, jumlah negara tujuan ekspor gambir Indonesia berkurang seperti Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Yaman, Sudan, dan Italia (BPS, 2008). Penurunan pasar ekspor gambir Indonesia memerlukan adanya upaya peningkatan mutu produk gambir. Peningkatan mutu gambir dapat dilakukan dengan perbaikan proses pada pembuatan produk gambir dan diversifikasi gambir menjadi beberapa produk turunan yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Diversifikasi gambir menjadi produk olahan atau produk turunan gambir diharapkan dapat meningkatkan nilai jual gambir, meningkatkan nilai ekspor gambir mentah maupun gambir olahan (produk turunan), menyejahterakan kehidupan petani gambir dan membuka lapangan pekerjaan. Menurut Thorpe dan Whiteley (1921) dalam Gumbira-Sa id, et al. (2009a), senyawa utama yang terkandung di dalam gambir adalah pseudotanin katekin dan phlobatanin asam catechutannat dengan persentase masingmasing senyawa adalah 7-30% dan 22-55%. Kandungan utama dalam produk gambir asalan tersebut dapat diekstrak sehingga menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi. 1

20 Menurut Gumbira-Sa id, et al. (2009a), katekin dan tanin merupakan dua produk utama hasil pemurnian komponen yang terkandung dalam produk gambir asalan. Rasio nilai tambah dari pengolahan gambir menjadi tanin untuk tiga kilogram gambir adalah 83,81 % dan katekin adalah 91,67 %. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan produksi gambir olahan menjadi tanin memiliki potensi besar untuk dilakukan dan tidak kalah penting dengan katekin. Penelitian yang dilakukan oleh Nazir dan Norman (2001) menunjukkan bahwa proses pemurnian gambir menjadi katekin murni dapat menghasilkan tanin yang berasal dari sisa pencucian pemurnian katekin. Berdasarkan hal tersebut, tidak hanya katekin, tetapi tanin juga dapat dihasilkan dari gambir. Berbagai penelitian yang dilakukan dalam proses pemurnian gambir pada umumnya berkaitan dengan cara pemurnian untuk menghasilkan katekin murni. Penelitian tentang pemurnian gambir yang menghasilkan tanin (ekstraksi tanin) perlu dilakukan lebih lanjut untuk menghasilkan produk tanin yang lebih baik. Tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki manfaat cukup banyak. Tanin dapat digunakan dalam industri kulit, industri tekstil, industri farmasi, industri kosmetik dan dalam laboratorium. Tanin dalam indstri tekstil digunakan sebagai pewarna. Tanin dikenal sebagai senyawa antioksidan dan dapat digunakan sebagai senyawa peluruh karat (rust converter) dan senyawa anti karat (rust inhibitor) (Gumbira-Sa id, et al. 2009a). Menurut Carter et al. (1978), tanin dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat anti rayap dan jamur. Tanin adalah zat yang berfungsi membersihkan dan menyegarkan mulut, sehingga dapat mencegah kerusakan gigi dan penyakit gusi. Manfaat tanin yang potensial dalam bidang industri dan nilai jual tanin yang tinggi mendorong untuk dilakukan peningkatkan proses yang menghasilkan produk tanin dengan kualitas lebih baik. Dalam dunia perdagangan, tanin dapat dijual dalam bentuk balok dan bubuk. Proses pembuatan tanin dari gambir asalan menjadi bubuk dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering semprot atau spray dryer. Dalam penelitian ini 2

21 dilakukan proses pembuatan tanin bubuk dari gambir asalan yang diharapkan dapat menghasilkan tanin yang memiliki kadar tanin tinggi dengan tahapan proses yang optimum. B. TUJUAN Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan tanin dari gambir asalan dengan proses ekstraksi dan mendapatkan perlakuan terbaik dalam produksi tanin bubuk dari gambir asalan. C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan ekstraksi tanin dari gambir asalan dan menentukan perlakuan terbaik dengan faktor perlakuan suhu air (40 0 C, 60 0 C dan 80 0 C ) dan perlakuan perbandingan jumlah pelarut (air) dan gambir asalan (8:1, 10:1 dan 12:1 v/b) 2. Melakukan pengeringan larutan ekstrak tanin dengan menggunakan alat pengering semprot (spray dryer) 3. Melakukan analisis kimia terhadap produk tanin bubuk yang diperoleh. 3

22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN GAMBIR Tanaman gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) merupakan spesies tanaman berbunga genus Uncaria dalam family Rubiaceae. Berdasarkan karakteristik morfologinya, tanaman gambir termasuk jenis tanaman perdu setengah merambat yang memiliki batang berkayu (Fiani dan Denian, 1994 dalam Nazir, 2000). Secara botanis, tanaman gambir diklasifikasikan sebagai berikut (Nazir, 2000): Divisi : Spermatophyta Klas : Angiospermae Sub-klas : Monocotyledonae Ordo : Rubiales Famili : Rubiceae Genus : Uncaria Spesies : Uncaria gambir Roxb. Daun gambir tumbuh tunggal pada tangkai batang dan saling berhadapan, berwarna hijau dan memiliki panjang 8-13 cm dan lebar 4-7 cm. Bentuk daun oval, bagian ujung meruncing, bagian tepi bergerigi, dan permukaan tidak berbulu. Tanaman gambir memiliki bunga mejemuk berbentuk lonceng dan berwarna merah muda atau hijau yang tumbuh di ketiak daun. Bunga gambir memiliki panjang sekitar 5 cm dengan lima helai mahkota bunga. Buah gambir berbentuk bulat telur, berwarna hitam memiliki panjang sekitar 1.5 cm dan dua ruang buah (Brown, 2009 dalam Gumbira- Sa id, et al. 2009a). Tanaman gambir pada umunya sudah dapat dipanen pada umur 1-1,5 tahun tergantung tingkat pertumbuhannya.. Pemanenan dilakukan dengan memotong ranting dan daun menggunakan pisau atau ani-ani. Panjang potongan berkisar pada cm dari ujung daun atau lima cm dari pangkal batang. Pemanenan gambir berikutnya dapat dilakukan setelah lima atau enam bulan tergantung pada kondisi tanaman (Nazir, 2000). Gambar contoh penampakan tanaman gambir dapat dilihat pada Gambar 1. 4

23 Gambar 1. Contoh Penampakan Tanaman Gambir (Gumbira-Sa id, et al., 2009b) Menurut Sastrapradja et al., (1980) dalam Nazir (2000), tanaman gambir ditemukan liar di hutan-hutan di Sumatra, Kalimantan, dan di Semenanjung Malaya. Di samping itu, tanaman gambir juga dibudidayakan di Jawa, Bali, dan Maluku. Tanaman ini umumnya tumbuh dengan baik pada ketinggian m di atas permukaan laut. B. GAMBIR Gambir atau gambir asalan merupakan produk yang berasal dari ekstrak atau getah daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) yang telah dikeringkan. Dalam perdagangan dunia, gambir dikenal sebagai gambier, cutch, catechu atau pale catechu. Daun dan ranting merupakan bagian tanaman gambir yang memiliki nilai ekonomi. Senyawasenyawa yang terkandung pada ekstrak atau getah daun dan ranting tanaman gambir memiliki potensi pemanfaatan yang beragam (Hadad et al., 2007 dalam Gumbira-Sa id, et al. 2009a). Komponen-konponen kimia yang terdapat dalam gambir dapat dilihat pada Tabel 1. 5

24 Tabel 1. Komponen-Komponen dalam Gambir No. Nama Komponen Jumlah (%) 1 Catechin Asam catechutannat Pyrocathecol Gambir flouresensi Red Catechu Quersetin Fixed oil Lilin Alkaloid Sedikit Sumber : Thorpe dan Whiteley (1921) dalam Gumbira Sa id, et al. (2009a) Berikut ini merupakan karakteristik umum komponen-komponen yang terkandung dalam gambir (Thorpe dan Whiteley, 1921; Nazir, 2000 dalam Gumbira-Sa id, et al. 2009a): 1. Katekin Katekin (C 15 H 14 O 6 ) tergolong dalam jenis pseudotanin dan termasuk polifenol antioksidan yang bersifat dapat larut dalam alkohol dingin, air panas, serta asam asetat glasial dan aseton. Katekin sukar larut dalam air dingin dan eter, selain itu tidak larut dalam CHCl 3, metil eter dan benzene. Katekin membentuk endapan jika bereaksi dengan Pb(CH 3 COO) 2. Katekin menghasilkan larutan yang berwarna biru jika bereaksi dengan FeCl 3. Jika katekin bereaksi dengan pine wood dan HCl akan terbentuk phloro glucinol. Menurut Muchtar (2000), senyawa katekin memberikan rasa manis dan enak, tidak mudah larut dalam air dingin dan larut baik dalam air panas, jika dalam bentuk kering berbentuk kristal berwarna kuning. Struktur kimia katekin dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur Kimia Katekin (Nazir, 2000) 6

25 2. Asam catechutannat Asam catechutannat larut dalam alkohol dan air dingin, tidak larut dalam eter. Asam catechutannat membentuk endapan jika bereaksi dengan Pb (CH 3 COO) 2 dan membentuk endapan berwarna hijau jika bereaksi dengan CHCl 3. Asam catechutannat bereaksi dengan pine wood dan HCl membentuk reaksi phloro glucinol. Asam catechutannat disebut anhydride dan dapat dihasilkan apabila larutan dipanaskan pada suhu 110 o C dengan larutan alkali karbonat. Struktur kimia asam catechutannat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Struktur Kimia Asam Catechutannat (Nazir, 2000) 3. Pyrocathecol Pyrocathecol larut dalam air, alkohol, eter, benzene, klorofom dan larut baik pada piridin dengan larutan bersifat basa, jika dipanaskan akan membentuk catechol. Pyrocathecol membentuk warna hijau dengan FeCl 3 dan membentuk endapan dengan brom. Larutannya dalam air cepat berwarna coklat. Pyrocathecol dapat mereduksi perak amoniakal dan larutan Fehling. 4. Gambir flouresensi Gambir flouresensi dapat dilihat apabila larutan gambir dikocok dengan petroleum eter dalam suasana sedikit basa. Gambir flouresensi pada lapisan petroleum eter akan terlihat perpendaran berwarna hijau. 5. Red catechu Red catechu merupakan gambir yang memberikan warna merah. 6. Fixed oil Fixed oil merupakan minyak yang sukar menguap. 7

26 7. Quersetin Quersetin (C 15 H 10 O 7 ) merupakan senyawa turunan flavonoid tanaman yang larut dalam air dan alkohol. Warna quersetin berubah menjadi warna gelap dengan pemanasan. Quersetin memiliki manfaat sebagai antiinflammatory dan antioksidan serta berbagai potensi kesehatan yang menguntungkan lainnya. Struktur kimia quercetin dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Struktur Kimia Quersetin (Gumbira-Sa id, et al. 2009a) 8. Lilin Lilin terdapat pada permukaan daun gambir. Lilin merupakan monoester dari suatu asam lemak dan alkohol. 9. Alkaloid Alkaloid terdapat tujuh jenis alkaloid pada tanaman gambir yaitu dihidrogambir taninna, gambirdina, gambirina, isogambirina, auroparina, oksogambir-tanina. Tanin yang terdapat dalam gambir merupakan tanin yang tidak dapat dihidrolisa (tanin kondensasi). Tanin tersebut merupakan turunan dari flavanol yang tidak dapat dihidrolisis dengan asam ataupun basa. Secara tradisional, gambir digunakan sebagai pelengkap makan sirih dan obat-obatan. Di Malaysia, gambir digunakan untuk obat luka bakar, sedangkan rebusan daun muda dan tunasnya digunakan sebagai obat diare dan disentri serta obat kumur pada sakit kerongkongan. Secara modern, gambir banyak digunakan sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan, antara lain: sebagai bahan baku obat penyakit hati dan bahan baku permen yang melegakan tenggorokan bagi perokok di Jepang (Nazir, 2000). 8

27 Gambir dapat dimanfaatkan dalam industri kulit, tekstil, dan kosmetika. Getah gambir dapat digunakan sebagai zat penyamak kulit dalam industri kulit. Dalam industri tekstil, gambir dapat digunakan sebagai zat warna. Gambir digunakan sebagai pembantu untuk mendapatkan warna coklat dan kemerah-merahan pada pembuatan kain batik. Dalam industri kosmetika, gambir dapat digunakan untuk astringent yang berfungsi untuk melembutkan kulit dan menambah kelenturan serta daya regang kulit (Nazir, 2000). Berdasarkan perbedaan bentuknya, gambir asalan yang diproduksi di Indonesia terdiri dari empat jenis yaitu gambir bootch, lumpang, coin, wafer block, dan stick. Gambar beberapa jenis gambir dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Berbagai Jenis Gambir Indonesia (Gumbira-Sa id, et al. 2009a) a. Gambir stick; b. Gambir coin; c. Gambir bootch; d. Gambir dairi; e. Gambir lumpang; f. Gambir wafer block Gambir asalan diolah melalui beberapa tahapan yaitu perebusan, pengempaan, pengendapan, penirisan, pencetakan dan pengeringan. Pada tahap pengolahan secara tradisional terjadi penurunan kadar catechutannatnya karena ikut terlarut dalam air sisa pengepresan (Zammarel dan Risfaheri, 1991 dalam Gumbira-Sa id, et al. 2009a). Diagram alir pembuatan gambir rakyat dapat dilihat pada Gambar 6. 9

28 Daun Perebusan Pengepresan Pengendapan Penirisan Pencetakan Pengeringan Gambir Gambar 6. Diagram Alir Pengolahan Gambir Rakyat (Gumbira-Sa id, et al. 2009a) Berdasarkan laporan Gumbira-Sa id, et al. (2009b), secara rinci urutan proses pengolahan gambir yang dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah sebagai berikut: 1. Perebusan daun Daun dan ranting hasil panen diikat, masing-masing sekitar 3-4 kg per ikat, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang dari anyaman bambu, di dalamnya terdapat jala rajut dari plastik atau tali kulit, kemudian dimasukkan ke dalam wajan yang berisi air yang sudah mendidih terlebih dahulu. Lama perebusan berkisar antara 1-1,5 jam. Selama perebusan dilakukan pembalikan bahan agar pematangam terjadi secara merata. Gulungan daun gambir dibolak- 10

29 balik sambil ditusuk-tusuk dengan kayu untuk memberi jalan air panas agar perebusan merata. 2. Pengempaan Setelah daun gambir selesai direbus dan diangkat, daun kemudian dililit kembali oleh rajut agar daun tetap berada dalam gulungan. Air bekas rebusan disiramkan kembali ke daun yang akan dikempa karena masih banyak asam samak yang terlarut dalam proses perebusan. Alat kempa yang digunakan dapat berupa kempa yang terbuat dari dua bilah kayu besar berbentuk huruf V dengan panjang kayu sekitar tiga meter. Proses pengempaan membutuhkan waktu sekitar 60 menit. 3. Pengendapan Getah gambir yang diperoleh dari proses pengepresan dimasukkan ke dalam sebuah tempat pengendapan terdiri dari kayu mirip perahu yang disebut peraku. Pengendapan memerlukan waktu sekitar 8-12 jam. Endapan yang diperoleh berbentuk kristal-kristal seperti pasta tetapi lebih encer. 4. Penirisan Alat penirisan terbuat dari kain blacu, tali, dan alat pemberat seperti kayu dan lain-lain. Getah dalam bentuk pasta encer dimasukkan ke dalam kain blacu, diikat dan dipres lagi dengan alat pemberat agar pasta yang terjadi lebih pekat dan dapat segera dicetak. Penirisan biasanya memerlukan waktu jam, tergantung pada banyaknya bahan yang ditiriskan. 5. Pencetakan Bentuk cetakan gambir terdiri dari tiga macam. Untuk konsumsi dalam negeri (makan sirih), gambir dicetak berbentuk silinder cekung. Untuk tujuan ekspor atau industri batik, penyamak dan lain-lain, gambir dicetak berbentuk koin dan silinder. Setiap kilogram bahan baku gambir mampu dicetak dalam waktu sekitar menit per orang. 6. Pengeringan 11

30 Pengeringan merupakan proses terakhir dalam pengolahan gambir. Gambir hasil cetakan kemudian diletakkan di atas tempat seperti baki, kemudian dijemur di panas matahari. Bila cuaca mendung, gambir dikeringkan di atas tungku perebusan daun. Pengeringan memerlukan waktu dua hingga tiga hari tergantung pada cuaca. C. TANIN Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia, baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Di Indonesia sumber tanin antara lain diperoleh dari jenis bakau-bakauan atau jenis-jenis dari hutan tanaman industri seperti akasia (Acacia sp), eukaliptus (Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp) dan sebagainya. Tanin adalah polifenol alami yang selama ini banyak digunakan sebagai bahan perekat tipe eksterior, yang terutama terdapat pada bagian kulit kayu. Tanin memiliki sifat dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat anti rayap dan jamur (Carter et al., 1978). Menurut Muchtar (2000), senyawa tanin memberikan bau dan rasa yang khas dan memberikan warna merah kecoklatan, mudah larut dalam air dingin dan alkohol, tetapi tidak larut dalam ester dan bila airnya diuapkan akan membentuk kristal yang berwarna coklat kemerahan. Berdasarkan Hathway (1962), tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawaan polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan bobot molekul lebih besar dari Menurut Sjostrom (1981), tanin adalah suatu senyawa polifenol yang dari struktur kimianya dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu tanin terhidrolisis (hidrolizable tannin) dan tanin terkondensasi (condensed tannin). Ekstrak dari tanin tidak dapat murni 100%, karena selain terdiri dari tanin terdapat juga zat non tanin seperti glukosa dan hidrokoloid yang memiliki bobot molekul tinggi (Pizzi, 1983). Tanin yang tidak dapat terhidrolisis dapat mengalami polimerisasi bila dipanaskan. Apabila bereaksi dengan asam kuat akan terbentuk suatu zat 12

31 warna merah yang disebut flobafen atau tanin merah. Tanin yang terdapat dalam gambir merupakan tanin yang tidak dapat dihidrolisis (tanin terkondensasi). Tanin terhidrolisis adalah tanin yang mudah terhidrolisis dengan asam, basa, dan enzim yang membentuk asam galat dan beberapa asam lainnya (Tyler dalam Yeni et al., 2004). Contoh struktur molekul tanin terhidrolisis dapat dilihat pada Gambar 7 dan tanin terkondensasi pada Gambar 8. Gambar 7. Contoh Struktur Molekul Tanin Terhidrolisis (Gross, 1992). Gambar 8. Contoh Struktur Molekul Tanin Terkondensasi (Copriady, 2002) Tanin terkondensasi terjadi melalui biosintesis dengan cara kondensasi katekin tunggal atau galokatekin yang membentuk senyawa dimer dan kemudian membentuk senyawa oligomer yang lebih tinggi. Nama lain untuk tanin terkondensasi adalah proantosianidin, karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon penghubung satuan putus dan dibebaskan monomer antosianidin. Tanin terhidrolisis merupakan senyawa ester dari gula sederhana. Ikatan ester tersebut dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer. Tanin terhidrolisis dibagi menjadi dua kelas yaitu galotanin (ester asam galat dan glukosa) dan ellagitanin (ester asam heksahidroksiidefenat dan glukosa) (Harbone, 1987). 13

32 Menurut Browning (1966), sifat utama tanin tumbuh-tumbuhan tergantung pada gugusan fenolik-oh yang terkandung dalam tanin, dan sifat tersebut secara garis besar dapat diuraikan adalah sebagai berikut: 1. Sifat kimia tanin a. Tanin memiliki sifat umum, yaitu memiliki gugus fenol dan bersifat koloid. Oleh karena itu, di dalam air bersifat koloid dan asam lemah b. Semua jenis tanin dapat larut dalam air. Kelarutannya besar, dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu juga tanin akan larut dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya c. Dengan garam besi memberikan reaksi warna. Reaksi tersebut digunakan untuk menguji klasifikasi tanin, karena tanin dengan garam besi memberikan warna hijau dan biru kehitaman. Tetapi uji ini kurang baik, karena selain tanin yang dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat memberikan warna yang sama d. Tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol, dan phloroglucinol bila dipanaskan sampai suhu 98,89 0 C-101,67 0 C e. Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim f. Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimerpolimer lainnya terdiri dari ikatan hidrogen, ikatan ionik dan ikatan kovalen 2. Sifat fisik tanin a. Umumnya tanin mempunyai bobot molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin tidak berbentuk (amorf) dan tidak mempunyai titik leleh b. Tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari sumber tanin tersebut c. Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas dan mempunyai rasa sepat (astringent) d. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka 14

33 e. Tanin mempunyai sifat atau daya bakteriostatik, fungistatik dan merupakan racun Tanin dapat digunakan dalam industri kulit, industri tekstil, industri farmasi, industri kosmetik dan dalam laboratorium. Tanin dalam indstri tekstil digunakan sebagai pewarna. Tanin dapat digunakan untuk mewarnai sutera, wool, dan kain batik. Dalam industri farmasi, tanin dapat digunakan sebagai obat anti diare, obat kumur, dan obat sakit kulit (Nazir, 2000 dalam Yeni, et al.,2004). Tanin dikenal sebagai senyawa antioksidan dan dapat digunakan sebagai senyawa peluruh karat (rust converter) dan senyawa anti karat (rust inhibitor) (Gumbira-Sa id, et al. 2009a). Tanin dapat berfungsi sebagai zat yang dapat membersihkan dan menyegarkan mulut sehingga dapat mencegah kerusakan gigi dan penyakit gusi. Tanin juga memiliki fungsi sebagai zat antibakteri. Secara garis besar, mekanisme tanin sebagai zat antibakteri adalah sebagai berikut: toksisitas tanin dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau subtrat mikroba dan pembentukan suatu kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya toksisitas tanin sendiri (Akiyama, et al. 2001). Menurut Masduki (1996), tanin juga mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein. Efek antibakteri tanin antara lain melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik D. EKSTRAKSI TANIN Ekstraksi merupakan unit operasi yang melibatkan pemisahan komponen-komponen pembentuk suatu bahan dengan cara melarutkannya ke dalam cairan lain (pelarut). Metode yang paling sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah dengan mencampur semua bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut (Brown, 1950). Umumnya tanin diekstrak dengan menggunakan pelarut air karena lebih murah dengan hasil yang relatif cukup tinggi, tetapi tidak menjamin jumlah senyawa polifenol yang terikut dalam ekstrak tanin tersebut (Hathway, 15

34 1962). Fengel (1993) menambahkan dalam proses ekstraksi, tanin yang dihasilkan bukan merupakan tanin murni tetapi masih mengandung unsurunsur lainnya. Tanin yang banyak terdapat dalam tumbuhan berpembuluh dapat diperoleh dengan melakukan ekstraksi pada bagian kayu dan kulit kayu dengan menggunakan air atau pelarut organik seperti aseton atau etanol. Proses ekstraksi tanin yang berasal dari gambir asalan merupakan serangkaian proses pemurnian gambir yang dapat menghasilkan produk tanin dan katekin. Proses pemurnian gambir yang dapat menghasilkan tanin dapat dilihat pada Gambar 9. Gambir Asalan Pelarutan dalam Air Panas Pendinginan Komponen Larut Komponen Tidak Larut Pemerasan Pasta Pencucian Berulang (Dengan Air Dingin) Filtrat Tanin Pasta Pelarutan Dengan Etanol Senyawa Non Katekin Pengeringan Pengeringan Pengeringan Katekin Adhesiv e Tanin Gambar 9. Diagram Proses Pemurnian Gambir untuk Menghasilkan Tanin (Gumbira-Sa id, et al. 2009a) 16

35 Menurut Syafii (2000), tanin yang terdapat pada kulit Acacia decurrens dapat diperoleh dengan cara mengekstraksi kulit pada suhu dan waktu tertentu serta jenis pengekstrak tertentu, tergantung pada asal bahan baku. Suhu dan lama ekstraksi merupakan faktor yang perlu untuk diperhatikan karena dapat mempengaruhi efisiensi dalam proses ekstraksi. Pada pemanasan dengan suhu yang terlalu tinggi akan diperoleh tanin dalam jumlah yang besar tetapi kualitas tanin yang dihasilkan kurang baik karena komponen non tanin yang terlarut semakin besar. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut akan meningkat dengan meningkatnya suhu karena peningkatan suhu akan mempermudah penetrasi pelarut dalam sel bahan. Namun, penggunaan suhu yang tinggi akan menyebabkan kehilangan senyawa tertentu yang tidak stabil pada kondisi tersebut (Houghton dan Raman, 1998). Menurut Bernardini (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah rendemen hasil ekstraksi adalah perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang meliputi pengecilan ukuran bahan dan pengeringan bahan, pemilihan jenis pelarut, perbandingan jumlah pelarut dan bahan serta pengaturan kondisi ekstraksi seperti lama ekstraksi dan suhu ekstraksi. E. PENGERING SEMPROT (SPRAY DRYER) Proses pengeringan semprot adalah proses yang mengubah bahan fluida menjadi produk kering dalam satu operasi (Filkova dan Mujumdar, 1995). Alat pengering semprot digunakan untuk mengeringkan larutan, campuran atau produk cair lain menjadi tepung dengan kadar air yang mendekati kesetimbangan dengan kondisi udara pada tempat produk keluar (Wirakartakusumah et al., 1989). Teknik pengeringan semprot didasarkan pada prinsip penyemprotan produk ke dalam suatu kamar (ruangan) yang diisi dengan udara panas tersirkulasi dalam bentuk butiran kecil sehingga suhu permukaannya meningkat dan memungkinkan transfer panas yang cepat. Butiran-butiran tersebut kemudian dibawa udara panas dan disirkulasi sehingga menyerap panas yang dibutuhkan untuk proses pengeringan. Uap air hasil evaporasi 17

36 diserap oleh udara dan dikeluarkan dari alat pengering semprot. Serbuk kering kemudian jatuh ke bawah dan ditampung dalam wadah tertentu (Speer, 1998). Keunggulan pengering semprot antara lain adalah sifat dan mutu produk dapat terkontrol secara efektif, dapat digunakan pada makanan yang peka terhadap panas, produk biologi dan farmasi dapat dikeringkan pada suhu atmosfer dan suhu rendah, menghasilkan produk yang relatif seragam, partikel-partikelnya berbentuk bulat mendekati proporsi yang sama (Widodo, 2006). Waktu kontak antara droplet bahan dengan udara panas dalam ruangan pengering berlangsung hanya beberapa detik sehingga kecil kemungkinan nutrisi terdegradasi akibat panas (Master, 1979). Menurut Singh dan Heldman (2001), keuntungan dari penggunaan alat pengering semprot adalah siklus pengeringannya yang cepat, retensi dalam ruang pengeringan (residence time) singkat dan produk akhir siap dikemas ketika selesai proses dengan kadar air produk sekitar 5%. Residence time pada alat pengering semprot antara detik dan partikel yang dihasilkan mempunyai ukuran µm (Canovas dan Mercado, 1996). Menurut Dwiari (2008), alat pengering semprot terdiri atas pemasukan udara (air inlet), pemanas udara (air heater), drying chamber, inlet atomizer, cyclone chamber, cyclone separator, tempat penampungan produk yang sudah dikeringkan, hot air inlet dan outlet, kipas, motor pengering, dan alat pengontrol. Tahapan pengeringan dengan pengering semprot adalah (1) atomisasi bahan yang dapat membentuk semprotan sangat halus, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi dengan udara pengering, (3) penguapan air bahan, (4) pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya. Bagian dan tahapan proses pada pengering semprot dengan susunan open cycle concurrent dapat dilihat pada Gambar

37 Tahap 1 Atomisasi Bahan Udara Tahap 4 Pemisahan Produk Dari Udara Kering Tahap 2 Kontak partikel uadara Scrubber Ruang Pengering Siklon Tahap 3 Evaporasi Produk Gambar 10. Bagian dan Tahapan Proses pada Pengering Semprot dengan Susunan Open Cycle Concurrent (Master, 1979) 19

38 III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan dalam ekstraksi tanin adalah pemanas, wadah pelarutan, termometer, palu, gelas ukur, botol, kain saring, corong, timbangan, dan spray dryer. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian antara lain adalah spektrofotometer HACH, erlenmeyer, gelas piala, oven, desikator, gelas ukur, pipet, cawan alumunium, cawan porselen, colorimeter Colortech PCM, labu takar, dan tanur. Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi gambir asalan dari daerah Kampar (Riau), kertas saring, NaOH, CuSO 4, HCl, H 2 SO 4, air panas, reagen Folin Ciocalteu, larutan jenuh Na 2 CO 3, tannic acid, dan akuades. B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai Juli 2010, bertempat di Bengkel Kerja Departemen Teknologi Industri Pertanian, Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan Mutu, dan Laboratorium Instrumen, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. C. TATA LAKSANA PENELITIAN Pada penelitian utama dilakukan ekstraksi tanin dari gambir asalan dengan faktor suhu dan jumlah pelarut yang berbeda. Variasi suhu yang digunakan untuk melarutkan adalah 40 0 C, 60 0 C dan 80 0 C. Jumlah air dengan gambir asalan memiliki variasi perbandingan antara 8:1, 10:1, dan 12:1 (v/b). Jumlah gambir asalan yang digunakan pada tiap perlakuan adalah sebanyak 150 gram. Tahapan ekstraksi tanin dari gambir asalan hingga menjadi produk tanin bubuk adalah persiapan bahan baku, pelarutan gambir asalan dalam air yang dipanaskan, penyaringan pertama, pengendapan, penyaringan kedua, dan pengeringan. Tahapan persiapan bahan baku meliputi pengecilan ukuran gambir asalan. Setelah pengecilan ukuran, gambir asalan dilarutkan dalam air 20

39 dengan melakukan pemanasan hingga suhu 40 0 C, 60 0 C dan 80 0 C. Tahap selanjutnya, larutan gambir disaring untuk menyaring kotoran dalam gambir yang tidak larut dalam air. Tahapan setelah penyaringan adalah pengendapan yang dilakukan selama 12 jam untuk memisahkan senyawa tanin dan katekin. Setelah proses pengendapan, untuk mengambil fraksi yang mengendap (katekin) dan tidak mengendap (tanin) dilakukan dengan menggunakan proses penyaringan. Fraksi tidak mengendap kemudian diperas dan disaring kembali sehingga diperoleh filtrat tanin. Larutan tanin yang diperoleh kemudian dikeringkan menggunakan spray dryer dengan suhu inlet C C dan suhu outlet 75 0 C-78 0 C sehingga terbentuk tanin bubuk. Alat pengering semprot (spray dryer) yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 1. Diagram alir pembuatan tanin bubuk dari gambir asalan dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 11. Alat Spray Dryer (Gumbira-Sa id, et al. 2009b) 21

40 Gambir asalan Pengecilan ukuran (150 gram) Pelarutan Air panas (suhu air: 40 0 C, 60 0 C, 80 0 C) (jumlah air:bahan = 8:1 v/b,10:1 v/b,12:1 v/b) Penyaringan (Saringan 150 mesh) Kotoran Pengendapan (12 jam) Penyaringan (Kain Saring 300 mesh) Komponen Tidak larut Pemerasan Pasta Komponen Larut Filtrat Tanin Larutan tanin Pengeringan dengan spray dryer ( C) Tanin Bubuk Gambar 12. Diagram Alir Pembuatan Tanin Bubuk dari Gambir Asalan pada Penelitian Ini D. PROSEDUR ANALISIS Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan terhadap bahan baku yaitu gambir asalan dan produk tanin bubuk. Beberapa pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain adalah analisis proksimat, kadar tanin, kadar bahan tidak larut air, dan uji warna. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. E. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor yang 22

41 digunakan adalah suhu air (40 0 C, 60 0 C, dan 80 0 C) dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan (8:1, 10:1, dan 12:1 v/b). Dengan demikian terdapat 9 unit perlakuan dengan dua kali ulangan. Model yang digunakan untuk desain penelitian ini adalah sebagai berikut (Walpole, 1997): Yijk = µ + A i +B j + AB ij + є k(ij) Keterangan: A i B j AB ij є k(ij) : pengaruh perbandingan jumlah air dengan gambir asalan pada taraf ke-i : pengaruh suhu pelarut (air) taraf ke-j : pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j : pengaruh acak antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j pada ulangan ke-k. 23

42 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK GAMBIR ASALAN Produk tanaman gambir yang sering dikenal sebagai gambir asalan merupakan ekstrak getah dari daun dan ranting tanaman gambir yang telah mengalami pengeringan. Getah tanaman gambir yang telah dikeringkan tersebut memiliki beberapa kandungan senyawa kimia dengan jumlah tertentu. Gambir asalan yang digunakan dalam penelitian adalah gambir asalan yang berasal dari daerah Kampar, Riau. Untuk mengetahui karakteristik gambir asalan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan analisis proksimat. Hasil pengujian analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat Gambir Asalan No. Karakteristik Hasil Pengujian (%) 1 Air 12,36 2 Abu 12,21 3 Lemak 1,61 4 Serat Kasar 6,16 5 Protein 3,43 6 Lain-Lain 64,23 Kadar air gambir asalan yang digunakan dalam penelitian bernilai 12,36%. Nilai kadar air tersebut dipengaruhi oleh proses pengeringan dan penyimpanan gambir asalan. Proses pengeringan gambir asalan yang bersifat tradisional dengan menggunakan sinar matahari memungkinkan gambir asalan masih memiliki kandungan air yang tinggi. Nilai kadar air yang masih tinggi setelah pengeringan dapat menyebabkan tumbuhnya kapang pada saat penyimpanan. Nilai kadar abu gambir asalan hasil pengujian adalah 12,21%. Berdasarkan standar mutu gambir dalam SNI , nilai kadar abu pada gambir asalan tidak memenuhi standar mutu I dan II. Standar mutu I dan II untuk parameter kadar abu maksimal adalah 5%. Nilai kadar abu yang cukup besar tersebut dipengaruhi oleh kondisi proses pengolahan gambir asalan. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral anorganik yang terdapat dalam suatu bahan. Daun dan ranting tanaman gambir yang digunakan dalam 24

43 pembuatan gambir asalan memiliki kandungan mineral dan sebagian mineral tersebut dapat larut dalam air serta terbawa selama proses pengolahan gambir. Hasil pengujian kandungan kadar lemak pada gambir asalan adalah 1,61%. Gambir asalan diolah dengan menggunakan air panas sebagai pelarut untuk mengekstraksi getah pada daun dan ranting tanaman gambir. Air merupakan senyawa polar sehingga tidak dapat melarutkan lemak yang bersifat non polar. Oleh karena hal tersebut, nilai kadar lemak pada gambir asalan bernilai sangat kecil. Namun demikian, proses pengolahan yang kurang baik dapat menyebabkan adanya kontaminasi sehingga nilai kandungan lemak meningkat. Nilai hasil pengujian kadar serat kasar gambir asalan yang digunakan dalam penelitian adalah 6,16%. Berdasarkan Sudarmadji et al. (1989), serat kasar mengandung senyawa selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat diidenstifikasi dengan pasti. Serat kasar digunakan sebagai penilaian kualitas suatu bahan dan mengevaluasi efisiensi dalam proses pengolahan. Selama proses pengolahan gambir asalan, sebagian serat kasar yang terdapat dalam daun dan ranting tanaman gambir dapat ikut terbawa dalam getah gambir. Banyaknya nilai serat yang ikut terekstrak dipengaruhi oleh proses pengolahan yang terjadi dan nilai kandungan serat kasar dalam daun dan ranting gambir asalan. Kadar protein gambir asalan yang diperoleh dari hasil pengujian menunjukkan nilai 3,43%. Nilai kadar protein pada gambir asalan dapat dipengaruhi oleh banyaknya kandungan protein yang terdapat dalam daun dan ranting tanaman gambir. Nilai kandungan protein yang terbaca pada hasil pengukuran merupakan hasil penghitungan semua nitrogen yang terdapat dalam gambir karena metode pengujian yang digunakan adalah metode mikro Kjeldahl. Menurut Sudarmadji et al. (1989), pengukuran dengan menggunakan metode mikro Kjeldahl dapat menghitung semua nitrogen dari asam amino maupun dari komponen lain yang mengandung N seperti urea, asam nukleat, ammonia nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Nilai kandungan senyawa lain-lain yang terdapat dalam gambir asalan adalah 64,23%. Senyawa lain-lain tersebut dapat berupa karbohidrat, tanin, 25

44 katekin, dan senyawa lainnya. Senyawa tanin dapat berikatan dengan karbohidrat membentuk senyawa kompleks sehingga senyawa tersebut dapat dimasukan dalam kadar bahan lain-lain pada gambir asalan. Menurut Caolate (1990) dalam Yeni, et al. (2004) komponen dasar dalam tanin adalah asam galat dan flavonoid yang dapat membentuk glikosida bila polifenol berikatan dengan karbohidrat. Karakteristik gambir asalan sebagai bahan baku berpengaruh pada tanin bubuk yang dihasilkan dari proses ekstraksi. Beberapa karakteristik kandungan kimia gambir asalan yang berpengaruh terhadap produk tanin bubuk antara lain nilai kadar abu dan nilai kadar tanin gambir asalan. Nilai kadar abu berpengaruh terhadap jumlah mineral yang ikut terekstrak selama proses pengolahan sedangkan nilai kadar tanin berpengaruh terhadap tingkat kemurnian produk tanin yang dihasilkan. Gambir yang memiliki kadar tanin tinggi menjadi bahan baku pembuatan tanin bubuk yang potensial untuk digunakan. Dengan nilai kandungan tanin dalam bahan baku yang tinggi, jumlah ekstrak tanin yang diperoleh diharapkan juga semakin tinggi. B. EKSTRAKSI TANIN Senyawa utama yang terkandung di dalam gambir asalan adalah katekin dan asam catechutannat. Katekin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bentuk sederhana cathecol. Asam catechutannat merupakan anhidrat katekin yang sering disebut tanin dalam gambir. Tanin yang terdapat dalam gambir dapat diekstrak untuk diperoleh produk tanin yang memiliki tingkat kemurnian tinggi. Proses pengambilan tanin dalam gambir asalan melibatkan proses pemisahan antara senyawa katekin dan tanin yang keduanya merupakan jenis senyawa polifenol. Menurut Fessenden (1982), polifenol merupakan senyawa yang memiliki struktur dasar berupa fenol dan fenol merupakan struktur yang terbentuk dari benzene yang tersubstitusi dengan gugus OH. Proses pengambilan tanin atau ekstraksi tanin dari gambir asalan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan air sebagai pelarut. Menurut Carter et al. (1978), tanin memiliki sifat dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH. Penggunaan 26

45 jenis pelarut yang sesuai sangat mempengaruhi proses ekstraksi. Menurut Gemse (2002), faktor penting dalam ekstraksi adalah pemilihan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam ekstaksi harus dapat menarik komponen aktif dalam campuran. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, kemudahan untuk diuapkan, dan harga yang relatif murah. Penggunaan air sebagai pelarut dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain karena air tidak berbahaya dalam penggunaannya, tidak bersifat racun, tidak bersifat korosif terhadap peralatan ekstraksi, mudah diperoleh, dan, harganya murah. Selain itu, dengan menggunakan pelarut air, katekin dan tanin dapat dipisahkan dengan metode pemisahan yang sederhana yaitu pengendapan. Tanin dapat larut dalam air dan kelarutannya semakin besar jika dilarutkan pada suhu tinggi (Browning, 1966). Untuk mengetahui pengaruh peningkatan suhu pelarut pada proses ekstraksi, dalam penelitian ini digunakan tiga taraf suhu yaitu 40 0 C, 60 0 C,dan 80 0 C. Selain suhu, faktor lainnya yang digunakan adalah perbandingan jumlah pelarut dan gambir asalan. Perbandingan jumlah air dan gambir asalan yang digunakan sebanyak tiga taraf yaitu 8:1, 10:1, dan 12:1 (v/b). Metode ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini (Lampiran 3) mengacu pada cara pemurnian tanin dan katekin yang telah dilakukan dalam penelitian Gumbira-Sa id, et al. (2009b). Sebelum mengalami proses ekstraksi, gambir asalan yang berbentuk silinder mengalami perlakuan pendahuluan. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan adalah pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran berfungsi untuk memudahkan proses ekstraksi. Menurut Swen (1992), semakin kecil ukuran bahan, luas permukaan bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan kelarutan bahan dalam pelarut sehingga kadar ekstrak komponen bioaktif juga akan meningkat. Setelah mengalami pengecilan ukuran, gambir asalan bersama pelarut dipanaskan hingga suhu mencapai 40 0 C, 60 0 C,dan 80 0 C. Gambir asalan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar

46 a b Gambar 13. Gambir Asalan sebagai Bahan Baku a. Gambir Asalan Utuh; b. Gambir Asalan yang Telah Mengalami Pengecilan ukuran Pemanasan dilakukan untuk melarutkan gambir asalan dan memudahkan pelarut agar dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang terdapat dalam gambir asalan. Pemanasan dapat merusak jaringan pada bahan yang akan diekstraksi sehingga senyawa-senyawa akan dapat mudah diikat oleh pelarut. Pemanasan dilakukan hingga semua gambir asalan terlarut dengan lama pemanasan setelah mencapai suhu yang ditentukan kurang lebih 10 menit. Larutan gambir yang telah dipanaskan disaring untuk memisahkan kotoran yang tidak larut dalam air panas. Kotoran tersebut dapat berupa pasir, tanah, logam tempat pemasakan, dan daun gambir yang terikut dalam proses pengolahan hingga menjadi gambir asalan. Hasil penyaringan berupa kotoran dalam gambir dapat dilihat pada Gambar 14. Larutan gambir kemudian didiamkan selama 12 jam untuk mengendapkan katekin yang ikut terekstrak oleh pelarut air. Proses pengendapan dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 14. Hasil Proses Penyaringan Berupa Kotoran 28

47 Gambar 15. Proses Pengendapan dalam Ekstraksi Tanin Katekin memiliki sifat dapat larut dalam air panas, alkohol, asetat glasial, aseton dan sukar larut dalam air dingin. Tanin memiliki sifat dapat larut dalam alkohol dan air dingin. Dengan proses pengendapan, katekin yang sukar larut dalam air dingin akan mengendap dan dapat dipisahkan dengan tanin yang masih terlarut dalam air. Pemisahan antara katekin yang mengendap dengan tanin yang masih terlarut dalam air dilakukan dengan proses penyaringan. Fraksi yang mengendap (katekin) dapat dilihat pada Gambar 16. Fraksi yang tidak mengendap (tanin) dapat dilihat pada Gambar 17. a b Gambar 16. Fraksi Katekin a. Katekin yang Mengendap pada Dasar Tabung b. Katekin Hasil Pemisahan dengan Tanin 29

48 Gambar 17. Larutan Tanin Senyawa hasil pengendapan yang berupa fraksi tidak larut air dingin kemungkinan masih mengandung komponen tanin. Oleh karena hal tersebut, endapan kemudian diperas dan disaring kembali untuk mendapatkan larutan tanin. Hasil penyaringan yang berupa cairan kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat pengering semprot untuk memperoleh hasil serbuk yang seragam. Neraca massa pembuatan tanin bubuk dapat dilihat pada Lampiran 4. Proses pengeringan larutan tanin dilakukan dengan metode spray drying. Pada metode spray drying, bahan disemprotkan dan diatomisasi membentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas kemudian air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et al., 2009). Fungsi atomisasi pada metode spray drying adalah untuk menghasilkan droplet yang berukuran kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan mengakibatkan proses penguapan lebih cepat. Penggunaan alat pengering semprot memiliki beberapa keunggulan dari beberapa teknik pengeringan lainnya seperti oven yang biasa digunakan untuk mengeringkan produk gambir pada skala laboratorium. Penggunaan oven memerlukan waktu cukup lama karena menggunakan suhu rendah dan hasil yang terbentuk masih memerlukan perlakuan lanjutan untuk menyeragamkan ukuran butiran produk. Pada pengeringan dengan spray dryer, larutan tanin dikeringkan menggunakan suhu tinggi dalam waktu singkat dan menghasilkan ukuran butiran produk yang seragam. Warna produk yang dihasilkan dari proses pengeringan dengan menggunakan spray dryer juga menunjukkan hasil yang 30

49 lebih baik (lebih cerah) dibandingkan metode pengeringan lainya seperti dengan evaporator, vacuum drying, dan freeze drying (Gumbira-Sa id, et al. 2009b). Contoh tanin hasil pengeringan menggunakan spray dryer dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Tanin Bubuk Hasil Pengeringan dengan Spray Dryer Proses pengeringan larutan tanin dengan spray dryer menggunakan suhu inlet C C dan suhu outlet 75 0 C C. Suhu inlet dan outlet yang digunakan mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Gumbira-Sa id, et al. (2009). Penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada suhu outlet dapat menyebabkan warna tanin menjadi lebih gelap yang berpengaruh pada penampakan dan dikhawatirkan dapat merusak komponen penyusun tanin. Penggunaan suhu outlet yang terlalu rendah menyebabkan produk yang dihasilkan masih memiliki nilai kadar air yang tinggi. Penelitian yang mendukung dan berkaitan dengan penggunaan suhu inlet C C adalah pada penelitian penggunaan pengering semprot dalam mengeringkan ekstrak kulit buah manggis dan anggur. Pada penelitian Sagara (2010), komponen fenolik yang terdapat pada kulit buah manggis baik bila dikeringkan pada suhu inlet C dengan konsentrasi bahan pengisi maltrodekstrin. Penelitian dari Larrauri, et al. (1997) menyatakan bahwa komponen fenolik pada ekstrak kulit buah anggur akan mengalami kerusakan pada kondisi pengeringan C. Dengan acuan tersebut, penggunaan suhu inlet spray dryer pada pengeringan larutan tanin berkisar antara C C. Penggunaan spray dryer untuk mengeringkan suatu larutan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu suhu pengeringan, laju aliran bahan, laju aliran udara, dan, tekanan udara pengering (Master, 1979). Pada proses pengeringan, besarnya suhu inlet yang digunakan mempengaruhi suhu outlet 31

50 pengeringan. Suhu outlet yang digunakan berpengaruh pada kekeringan produk yang dihasilkan. Pengaturan bahan yang masuk ke dalam pengering semprot mempengaruhi outlet pada proses pengeringan. Laju bahan masuk yang terlalu kecil akan menyebabkan kenaikan pada suhu outlet. Kenaikan suhu outlet dapat menyebabkan pengeringan dengan panas yang berlebihan sehingga berpengaruh pada warna produk yang dihasilkan. Setelah produk mengalami pengeringan dengan spray dryer, bubuk tanin dikemas dengan kemasan plastik. Pengemasan dan penyimpanan bubuk tanin sangat perlu diperhatikan. Kemasan tanin harus dapat melindungi tanin dari udara luar dan kondisi lingkungan sekitar yang dapat merusak tanin bubuk. Tanin bubuk yang tidak disimpan dengan baik dapat mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Sesuai dengan sifat tanin yang dinyatakan Browning (1966) bahwa warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka. Contoh perubahan warna tanin dapat dilihat pada Gambar 19. Tanin bubuk yang sudah dikemas dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 19. Tanin yang Telah Mengalami Perubahan Warna Gambar 20. Tanin Bubuk yang Dikemas dengan Plastik 32

51 C. ANALISIS PRODUK 1. Rendemen Nilai rendemen tanin bubuk menunjukkan jumlah ekstrak tanin dari gambir asalan yang dapat diperoleh dari serangkaian proses hingga mengalami pengeringan manjadi bubuk. Rendemen tanin bubuk yang dihasilkan dari ekstraksi gambir asalan bervariasi dengan kisaran antara 16% hingga 42% dry basis (Lampiran 5a). Nilai rendemen tanin bubuk antar sampel memiliki rentang yang cukup jauh dan bervariasi. Nilai rendemen tanin bubuk yang diperoleh dari ekstraksi tanin masih cukup kecil akibat kehilangan yang terjadi pada proses ekstraksi. Kehilangan bahan selama proses ekstraksi dapat terjadi pada tahap penyaringan dan pengeringan dengan spray dryer. Pada proses ekstraksi tanin dari gambir asalan, bahan bukan tanin yang larut dalam air seperti katekin, quersetin, pyrocatechol, mineral, vitamin, dan karbohidrat dapat ikut terekstrak. Menurut Linggawati, et al. (1992), ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah. Oleh karena itu, nilai rendemen ekstrak belum dapat secara pasti menunjukkan nilai kandungan senyawa tanin dalam produk. Grafik hubungan rendemen tanin (dry basis) dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21. Grafik Hubungan Rendemen Tanin dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan 33

52 Berdasarkan Gambar 21, nilai rendemen tanin memiliki kecenderungan adanya peningkatan seiring dengan kenaikan jumlah pelarut yang digunakan. Secara umum, semakin tinggi perbandingan air dan gambir asalan yang digunakan, semakin tinggi jumlah rendemen ekstrak tanin. Pada perlakuan jumlah perbandingan air dengan gambir asalan, rendemen terbesar dimiliki oleh perbandingan 12:1 (v/b) untuk setiap taraf suhu air yang digunakan. Menurut Yusro (2004), semakin banyak jumlah pelarut yang digunakan, kesetimbangan penjenuhan yang terbentuk semakin besar sehingga jumlah senyawa yang terekstrak semakin banyak. Menurut Suryandari (1981), rendemen hail ekstraksi akan terus meningkat hingga larutan menjadi jenuh. Setelah mencapai titik jenuh, tidak akan terjadi peningkatan rendemen dengan penambahan pelarut. Jika ditelaah berdasarkan perlakuan suhu, nilai rendemen tanin bubuk mengalami peningkatan dari suhu 40 0 C ke 60 0 C lalu mengalami penurunan pada suhu 80 0 C. Secara umum, nilai rendemen ekstrak tanin akan mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan suhu pelarut yang digunakan sesuai dengan sifat tanin bahwa tanin larut dalam air dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas (Browning, 1966). Namun, pada proses ekstraksi tanin, senyawa fenol lainnya dalam gambir seperti katekin, quercetin dan pyrocathecol dapat ikut terekstrak. Hal tersebut dapat mempengaruhi nilai rendemen karena perbedaan sifat kelarutan dari senyawa-senyawa fenol tersebut. Pada suhu sekitar 60 0 C terdapat kemungkianan bahwa senyawa fenol lainnya dalam gambir telah mengalami kondisi jenuh untuk dapat diekstrak. Menurut Earle (1983), peningkatan suhu secara umum dalam proses ekstraksi akan mempercepat proses difusi pelarut ke dalam sel jaringan, sehingga pertemuan permukaan pelarut dengan padatan jumlahnya meningkat. Oleh karena hal tersebut, rendemen yang dihasilkan bertambah banyak. Menurut penelitian Wijaya (2010), suhu optimum untuk proses ekstraksi senyawa fenolik pada kulit buah manggis adalah 60 0 C karena 34

53 laju ekstraksi senyawa fenolik jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju degradasi fenolik. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa senyawa fenolik selain tanin yang terdapat dalam gambir asalan kemungkian telah mengalami kondisi optimum ekstraksi pada suhu 60 0 C sehingga pada suhu 80 0 C mengalami penurunan nilai rendemen. Nilai rendemen tanin bubuk tertinggi adalah 42,72% dimiliki produk S6P12 yaitu produk yang diekstraksi dengan suhu 60 0 C dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan 12:1 (v/b). Berdasarkan hasil perhitungan analisis ragam pada α = 0,0,5 (Lampiran 6), faktor perlakuan perbandingan jumlah air dan gambir asalan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai rendemen produk tanin bubuk. Faktor perlakuan suhu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap nilai rendemen. Namun, interaksi antara faktor perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dan faktor suhu air memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap hasil rendemen. Penggunaan jumlah pelarut yang semakin banyak dan suhu pelarut yang semakin tinggi menyebabkan senyawa yang terekstrak semakin banyak sehingga rendemen meningkat. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penggunaan suhu 60 0 C dan jumlah pelarut 1800 ml tiap 150 gram gambir merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian yang menghasilkan rendemen tanin bubuk tertinggi yaitu 42,72%. 2. Kadar Tanin Kadar tanin merupakan banyaknya tanin yang terdapat dalam suatu bahan. Menurut Hathway (1962), tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawaan polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan bobot molekul lebih besar dari Nilai kadar tanin dalam produk menunjukkan tingkat kualitas atau kemurnian produk tanin bubuk yang dihasilkan dalam penelitian. Berdasarkan uji kadar tanin bahan awal, nilai kadar tanin gambir asalan yang digunakan adalah 38,45% (wet basis) atau 43,87% (dry basis). 35

54 Dengan membandingkan kadar tanin bahan awal, proses ekstraksi tanin dari gambir asalan pada penelitian ini dapat meningkatkan kadar tanin produk hingga mencapai 89% - 95% dry basis (Lampiran 5b). Grafik hubungan kadar tanin (dry basis) dengan jumlah air dan gambir asalan dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Grafik Hubungan Kadar Tanin dengan Jumlah Air dan Gambir Asalan Berdasarkan Gambar 22, nilai kadar tanin secara umum mengalami peningkatan dengan kenaikan jumlah pelarut yang digunakan hingga mencapai perbandingan air dan gambir asalan 10:1 (v/b). Pada suhu 40 0 C dan 60 0 C dengan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b), nilai kadar tanin cenderung menurun dari nilai sebelumnya dengan nilai penurunan 3,68% dan 1,91%. Kemungkinan yang terjadi adalah larutan sudah mengalami kejenuhan sehingga pelarut sudah tidak dapat mengekstrak tanin dengan maksimal. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada perlakuan dengan suhu 80 0 C. Secara umum, kelarutan bahan dalam pelarut meningkat seiring dengan penambahan jumlah pelarut hingga mencapai kondisi jenuh. Menurut Yusro (2004), semakin banyak jumlah pelarut yang digunakan, maka kesetimbangan penjenuhan yang terbentuk semakin besar sehingga jumlah senyawa yang terekstrak semakin banyak. 36

55 Setelah mencapai titik jenuh, tidak akan terjadi peningkatan rendemen dengan penambahan pelarut. Jika ditelaah berdasarkan faktor suhu, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kadar tanin produk cenderung naik dengan meningkatnya suhu air yang digunakan. Semakin tinggi suhu air yang digunakan, semakin tinggi nilai kadar tanin produk. Hal tersebut menjelaskan tentang sifat tanin bahwa tanin larut dalam air dan akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Penggunaan suhu yang lebih tinggi dalam mengekstraksi akan menyebabkan reaksi yang terjadi lebih kuat karena energi yang dihasilkan lebih tinggi sehingga zat yang pada awalnya tidak terlarut menjadi larut dalam air (Browning, 1966). Berdasarkan hasil perhitungan analisis ragam dengan α = 0,05 (Lampiran 8), faktor perlakuan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kadar tanin. Begitu pula perlakuan faktor suhu yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar tanin. Interaksi antara faktor perlakuan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dan faktor suhu juga tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar tanin. Namun secara ideal, peningkatan suhu air yang digunakan memberikan pengaruh peningkatan nilai kadar tanin pada produk yang diperoleh. Apabila dilihat berdasarkan Gambar 22, secara umum nilai kadar tanin meningkat dengan adanya kenaikan suhu air dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan yang digunakan. Nilai kadar tanin tertinggi mencapai 95,37% dan dimiliki oleh produk yang diekstrak menggunakan suhu air 80 0 C dan perbandingan air dengan gambir asalan 12:1 (v/b). 3. Kadar Air Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung pada bahan yang dinyatakan dalam persen. Penghitungan kadar air berguna untuk mengetahui ketahanan suatu bahan yang akan disimpan dalam jangka 37

56 waktu yang cukup lama. Bahan yang memiliki nilai kadar air yang tinggi apabila disimpan dalam keadaan kelembaban tinggi akan menyebabkan penurunan kualitas produk. Untuk produk tanin bubuk, penyimpanan yang tidak tepat dapat menyebabkan warna bubuk tanin menjadi gelap. Tanin bubuk yang dihasilkan pada penelitian melalui tahap pengeringan menggunakan spray dryer. Nilai kadar air dalam dry basis untuk tanin bubuk berkisar antara 4 % - 6,06 % (Lampiran 5c). Kadar air dengan rentang nilai tersebut masih termasuk dalam rentang bahan yang memiliki kestabilan optimum dalam proses penyimpanan jangka waktu yang lama. Menurut Winarno (1997), apabila kadar air bahan berkisar antara 3% hingga 7% maka kestabilan optimum bahan akan tercapai dan pertumbuhan mikroorganisme dapat dikurangi. Grafik hubungan kadar air tanin bubuk (dry basis) dengan jumlah pelarut dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23. Grafik Hubungan Kadar Air Tanin Bubuk (Dry Basis) dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan Berdasarkan Gambar 23, tanin bubuk yang diekstrak dengan suhu 40 0 C dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan 10:1 (v/b) memiliki nilai kadar air yang terendah dibandingkan dengan produk lainnya yaitu sebesar 4,04%. Nilai kadar air tanin bubuk penelitian cenderung bersifat fluktuatif apabila dilihat dari faktor perbandingan 38

57 jumlah air dan gambir asalan. Pada perbandingan jumlah air dan gambir asalan 10:1 (v/b), nilai kadar air mengalami penurunan. Jika dilihat dari faktor suhu air yang digunakan, secara umum kadar air meningkat secara berturut-turut pada tanin bubuk yang diekstrak menggunakan suhu air 40 0 C, 80 0 C, dan 60 0 C. Namun peningkatan tersebut tidak terjadi pada perlakuan perbandingan air dan gambir asalan 12:1 (v/b). Hasil analisis ragam pada α = 0,05 (Lampiran 9) menunjukkan bahwa faktor perlakuan suhu air dan faktor perlakuan jumlah air dengan gambir asalan serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air. Hal tersebut menjelaskan bahwa nilai kadar air pada tanin bubuk tidak tergantung pada faktor perlakuan selama proses ekstraksi, tetapi tergantung pada proses pengeringan larutan tanin dengan menggunakan spray dryer. Penggunaan suhu inlet dan outline spray dryer yang sesuai dan stabil berpengaruh pada nilai kadar air produk tanin bubuk yang dihasilkan. Apabila suhu yang yang digunakan terlalu rendah, pengeringan tidak berlangsung sempurna sehingga nilai kadar air pada tanin bubuk menjadi tinggi. Sebaliknya, penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi warna tanin bubuk yang dihasilkan. Dalam proses pengeringan, ketidakstabilan suhu outlet yang digunakan dapat disebabkan oleh laju pemasukan bahan atau proses atomisasi yang mengalami gangguan. Apabila laju bahan rendah, suhu outlet akan mengalami peningkatan. 4. Kadar Abu Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam bubuk tanin. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Nilai kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian, kebersihan suatu produk yang dihasilkan dan baik tidaknya suatu proses 39

58 pengolahan. Grafik hubungan kadar abu (dry basis) dengan jumlah pelarut dan bahan dapat dilihat pada Gambar 24. Gambar 24. Grafik Hubungan Kadar Abu Tanin Bubuk dengan Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan Nilai kadar abu tanin bubuk (dry basis) berkisar antara 3,85% - 5,17% (Lampiran 5d). Mineral yang terdapat dalam tanin bubuk berasal dari mineral gambir yang ikut terlarut dalam air. Kadar abu gambir asalan adalah 12,21%. Penurunan kadar abu hingga mencapai 7,41%-8,61% (wet basis) memperlihatkan bahwa proses ekstraksi tanin bubuk yang telah dilakukan cukup baik karena mineral atau bahan pengotor yang terdapat dalam gambir asalan tidak banyak yang terekstrak. Nilai kadar abu yang semakin rendah menunjukkan tanin yang terekstrak lebih murni karena tidak banyak mengandung mineral yang merupakan bahan bukan tanin. Berdasarkan Gambar 24, nilai kadar abu mengalami penurunan seiring dengan peningkatan jumlah pelarut pada suhu 60 0 C dan 80 0 C. Pada suhu tersebut, semakin banyak jumlah pelarut yang digunakan, semakin rendah nilai kadar abu produk. Jika ditelaah berdasarkan faktor suhu, nilai kadar abu meningkat dari suhu 60 0 C ke 80 0 C dan 40 0 C kecuali pada suhu 40 0 C dengan perbandingan air dan gambir asalan 8:1 (v/b) yang mengalami penurunan. Menurut Lehr (2000), kelarutan dari sebagian besar mineral meningkat seiring dengan peningkatan 40

59 temperatur. Beberapa parameter yang mempengaruhi kelarutan mineral adalah tempertaur, ph, dan nilai redox potential (Eh). Pada dasarnya, kadar abu merupakan pengujian untuk mengetahui jumlah mineral anorganik yang terdapat dalam produk tanin bubuk setelah mengalami proses pembakaran. Menurut Sudarmadji et. al. (1989), komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi dan beberapa contoh mineral antara lain fosfor (P), besi (Fe), Na, K, Mg, S, Co, dan Zn. Menurut Betts (1999), sejumlah kecil mineral dapat larut dalam air. Sebagian besar mineral membutuhkan waktu beberapa jam untuk dapat larut dalam air dan sedikit mineral yang dapat larut dengan cepat dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kadar abu terkecil yaitu 3,85% dimiliki oleh produk yang diekstrak dengan air suhu 60 0 C dengan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b). Berdasarkan hasil penghitungan analisis ragam pada α = 0,05 (Lampiran 10), faktor perlakuan suhu dan perlakuan jumlah air dengan gambir asalan serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar abu. Hal tersebut menjelaskan bahwa perlakuan yang terjadi selama proses ekstraksi tidak mempengaruhi nilai kadar abu produk karena hasil yang diperoleh tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Nilai kadar abu dapat dipengaruhi oleh kandungan kadar abu dari gambir asalan yang digunakan dan proses ekstraksi yang dilakukan. Pemilihan bahan baku yang memiliki nilai kadar abu rendah perlu diperhatikan untuk dapat menekan nilai kadar abu pada produk tanin bubuk yang dihasilkan. 5. Warna Tanin memiliki warna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari sumber tanin tersebut. Tanin dari gambir asalan memiliki warna bubuk kuning kecoklatan. Hasil pengukuran warna menghasilkan data nilai L, a dan b. Data nilai tersebut merupakan notasi warna yang digunakan dalam sistem notasi Hunter. Menurut Soekarto 41

60 (1990), sistem notasi Hunter mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna yaitu L, a, dan b. Parameter L mempunyai nilai yang berkisar dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan kisaran nilai +a berkisar mulai 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai a mulai dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b mnyatakan warna kromatik campuran biru kuning, dengan nilai +b mulai dari 0 sampai +70 untuk warna biru dan nilai b mulai dari 0 sampai -70 untuk warna kuning (Soekarto, 1990). Tanin gambir pada umumnya berwarna kuning kecoklatan. Nilai a dan b hasil pembacaan colorimeter untuk tanin bubuk adalah positif yang masing-masing menunjukkan warna merah dan kuning. Rentang nilai a pengujian warna pada tanin bubuk adalah 21,09-24,56 sedangkan rentang nilai b adalah 11,19-12,12. Hasil pengukuran warna untuk nilai L bervariasi antara 48,91 dan 54,30. Hasil pengukuran warna dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengukuran Warna Tanin Bubuk Suhu ( 0 C) Perbandingan Jumlah Air dan Gambir Asalan Nilai L Nilai a Nilai b ,91 21,26 12, ,30 23,09 11, ,20 23,96 11, ,91 24,56 11, ,30 21,09 12, ,25 22,70 11, ,57 24,40 11, ,06 22,29 11, ,75 21,90 11,85 0 H Whiteness Nilai a, dan b yang diperoleh dari pembacaan colorimeter dapat dinyatakan dalam 0 H. Nilai 0 H merupakan atribut yang menunjukkan derajat visual warna yang terlihat. Nilai 0 H diperoleh melalui perhitungan 42

61 invers tangen perbandingan nilai b dan a. Nilai 0 H kemudian dibandingkan dengan diagram warna 0 H sehingga dapat diketahui warna bahan secara visual. Rata-rata nilai 0 H produk tanin bubuk adalah 79,82 yang menunjukkan spektrum warna kuning. Nilai 0 H dari produk tanin bubuk dapat dilihat pada diagram warna Gambar 25. Warna yang diperlihatkan pada diagram warna hue menunjukkan warna tanin produk yang dihasilkan. Tanin Gambar 25. Diagram Warna Hue Tanin Bubuk Selain 0 H, data L, a, dan b hasil pengukuran dengan colorimeter dapat dikonversi menjadi nilai derajat putih atau whiteness produk tanin bubuk yang distandarisasi dengan warna putih BaSO4. Nilai whiteness produk bubuk berkisar antara 64,99% dan 74,26% (Lampiran 5e). Nilai whiteness yang semakin tinggi menunjukkan bahwa tanin bubuk semakin mendekati warna putih yang berarti semakin cerah. Grafik hubungan antara nilai whiteness dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dapat dilihat pada Gambar

62 Gambar 26. Grafik Hubungan Whiteness Tanin Bubuk dengan Jumlah Air dan Gambir Asalan Berdasarkan Gambar 26, nilai whiteness produk gambir tidak menunjukkan suatu kecenderungan tertentu terhadap faktor-fakor yang digunakan dalam penelitian. Nilai whiteness produk tanin bubuk tertinggi adalah 74,26% yang dimiliki produk S6P10 yaitu produk yang diekstrak dengan suhu 60 0 C dan perbandingan air dengan gambir asalan 10:1 (v/b). Nilai whiteness yang tinggi menunjukkan kualitas tanin yang lebih baik. Menurut Browning (1966), tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung dari sumber tanin. Warna tanin akan berubah menjadi lebih gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka. Semakin gelap warna bubuk tanin, kualitas tanin bubuk semakin rendah. Penampakan contoh produk tanin bubuk dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27. Penampakan Contoh Tanin Bubuk 44

63 Hasil analisis ragam pada α = 0,05 (Lampiran 11) menunjukkan bahwa faktor perbandingan jumlah air dan gambir asalan serta interaksi antara faktor suhu dan jumlah perbandingan air dengan bahan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai whiteness. Namun, faktor suhu air yang digunakan dalam ekstraksi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai whiteness. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan terbaik yang menghasilkan nilai whiteness tertinggi sebesar 74,26% adalah perlakuan dengan suhu air panas 60 0 C dan jumlah air dengan gambir asalan 10:1 (v/b). Meskipun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh jumlah pelarut yang digunakan dan pengaruh interaksi antara suhu dan jumlah pelarut yang ditambahkan, terdapat kemungkinan bahwa proses pengeringan juga berpengaruh pada warna tanin bubuk yang dihasilkan. Proses pengeringan menggunakan spray dryer dengan suhu yang tidak stabil antar perlakuan berpengaruh pada warna masing-masing tanin bubuk. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi menyebabkan warna tanin menjadi lebih gelap dan nilai whiteness menjadi rendah. 6. Kadar Bahan Tidak Larut Air Pengujian kadar bahan tidak larut air dilakukan untuk mengetahui banyaknya kandungan bahan bukan tanin yang terdapat dalam produk tanin bubuk. Senyawa tanin dapat larut dalam air dan semakin baik kelarutannya dalam air panas sehingga ketika pengujian diharapkan semua tanin dapat larut. Bahan yang tidak larut dalam air panas menunjukkan kotoran atau bahan bukan tanin yang ikut terekstrak menjadi tanin bubuk. Nilai kadar bahan tidak larut air produk tanin bubuk berkisar antara 2,99% dan 4,43% (Lampiran 5f). Grafik hubungan antara kadar bahan tidak larut air (dry basis) dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan dapat dilihat pada Gambar

64 Gambar 28. Grafik Hubungan Kadar Bahan Tidak Larut Air Tanin Bubuk dengan Jumlah Pelarut dan Bahan Berdasarkan Gambar 28, secara umum nilai kadar bahan tidak larut air cenderung mengalami penurunan dengan semakin tinggi suhu air yang digunakan dalam ekstraksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada suhu yang tinggi, jumlah tanin yang terlarut semakin banyak sehingga ketika dilarutkan dalam air kembali, jumlah bahan yang tidak larut dalam air bernilai kecil. Nilai kadar bahan tidak larut air terendah adalah 2,99% dimiliki oleh produk yang diekstrak dengan suhu 80 0 C dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan 10:1 (v/b). Semakin rendah nilai kadar bahan tidak larut air menunjukkan semakin tinggi kualitas produk tanin bubuk. Jika ditelaah berdasarkan faktor perbandingan jumlah air dan gambir asalan, nilai kadar bahan tidak larut air tidak menunjukkan adanya suatu kecenderungan kenaikan atau penurunan seiring dengan peningkatan jumlah pelarut yang digunakan. Nilai kadar bahan tidak larut air bersifat fluktuatif pada perlakuan perbandingan jumlah pelarut yang digunakan. Nilai kadar bahan tidak larut air bersifat fluktuatif diduga karena terdapat bahan yang tidak larut air terikut dalam tanin bubuk. Bahan tersebut dapat berupa kotoran tidak larut air yang terikut ketika proses penyaringan. 46

65 Hasil penghitungan analisis ragam pada α = 0,05 (Lampiran 13) menunjukkan bahwa faktor perlakuan suhu dan faktor perlakuan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan serta interaksi antara keduanya memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap nilai kadar bahan tidak larut air. Hal tersebut menjelaskan bahwa variasi perlakuan yang terjadi selama proses ekstraksi tidak mempengaruhi nilai kadar bahan tidak larut air karena tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Besarnya nilai kadar bahan tidak larut air dipengaruhi oleh proses ekstraksi. Kadar bahan tidak larut air dapat berupa kotoran yang ikut terbawa pada proses ekstraksi. Kotoran atau bahan tidak larut air yang terbawa saat ekstraksi dapat berasal dari gambir asalan. Selama proses pengolahan gambir asalan, terdapat kemungkinan para petani menambahkan zat pengisi seperti pasir sehingga kandungan bahan tidak larut air menjadi tinggi. Proses ekstraksi yang dapat meningkatkan nilai kadar bahan tidak larut air adalan proses penyaringan. Proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan bahan yang tidak larut (kotoran dan pasta) dengan larutan tanin yang akan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. D. PERLAKUAN TERBAIK Beberapa pengujian yang telah dilakukan pada produk tanin bubuk menjadi acuan dalam pemilihan perlakuan terbaik. Pengujian-pengujian tersebut didasarkan pada standar mutu tanin. Tanin yang berasal dari ekstrak tumbuhan memiliki standar mutu tertentu. Beberapa perusahaan internasional menggunakan standar tanin GB untuk industrial grade. Standar tanin GB dapat dilihat pada Tabel 4. 47

66 Tabel 4. Standar Tanin Industrial Grade GB Grade I II III Tannic acid content (%) 81,0 78,0 75,0 Loss in drying (%) 9,0 9,0 9,0 Water insoluble (%) 0,6 0,8 1,0 Total colour (lovibond) 2,0 3,0 4,0 Sumber: CIFOR Occasional Paper No.6 NWFPs in China (1995) Pemilihan perlakuan terbaik dapat ditinjau dari segi efisiensi proses dan kualitas produk tanin bubuk yang dihasilkan. Untuk segi efisiensi proses berkaitan dengan banyaknya tanin murni yang dapat diekstrak dengan perlakuan tertentu. Data untuk efisiensi proses melibatkan data rendemen dry basis yang dikonversi bersama nilai kadar tanin dry basis menjadi jumlah tanin yang dapat terkestrak tiap bobot bahan yang digunakan. Hasil konversi tersebut dapat dilihat pada Gambar 29 yang menunjukkan persentase bobot tanin yang dapat diekstrak per bobot bahan yang digunakan. Gambar 29. Grafik Hubungan Persentase Jumlah Tanin yang Terekstrak per Bobot Tanin dengan Jumlah Pelarut dan Bahan Berdasarkan Gambar 29, perlakuan yang mempunyai angka tertinggi untuk nilai persentase jumlah tanin yang dapat terekstrak adalah perlakuan suhu 80 0 C dengan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b) yaitu 48

67 sebesar 39,86%. Nilai persentase tersebut menunjukkan bahwa dengan perlakuan percobaan menggunakan suhu 80 0 C dan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b) dapat menghasilkan ekstrak murni tanin (dry basis) sebanyak 39,86 gram per 100 gram bahan gambir asalan. Data nilai efisiensi proses yang menunjukkan banyaknya tanin murni yang dapat diekstrak kemudian dibandingkan dengan hasil pengujian produk tanin bubuk. Berdasarkan hasil pengujian kadar tanin dan hasil analisis ragam, semua perlakuan dalam penelitian tidak memberikan pengaruh signifikan untuk nilai kadar tanin. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan dapat terpilih sebagai perlakuan terbaik. Nilai kadar tanin (dry basis) tertinggi pada penelitian adalah 95,67% dimiliki oleh produk S8P12 yaitu produk yang diekstraksi dengan suhu 80 0 C dan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b). Jika dikaitkan dengan standar GB , selain kadar tanin, parameter lainnya yang menjadi acuan untuk menilai kualitas produk tanin adalah kadar air, pengujian warna, dan kadar bahan tidak larut dalam air. Berdasarkan hasil pengujian kadar air, perlakuan yang mempunyai nilai kadar air terendah sebesar 4,04% adalah perlakuan yang menggunakan suhu 40 0 C dan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 10:1 (v/b). Namun, hasil analisis ragam menyebutkan bahwa pengggunaan variasi perlakuan pada penelitian tidak berpengaruh nyata pada nilai kadar air produk. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua perlakuan pada pembuatan produk tanin bubuk memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi perlakuan terbaik. Kadar air produk lebih dipengaruhi oleh proses pengeringan yang memerlukan kestabilan dan ketepatan suhu pengeringan. Hasil pengujian lainnya yang berpengaruh pada pemilihan perlakuan terbaik adalah pengujian warna berupa persentase whiteness. Produk tanin bubuk semakin baik kualitasnya seiring dengan kenaikan nilai whiteness yang menunjukkan nilai kecerahan produk. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, produk yang memiliki nilai whiteness tertinggi adalah produk S6P10 yang diekstrak dengan air suhu 60 0 C dan perbandingan air dengan gambir asalan 10:1 (v/b). 49

68 Berdasarkan hasil pengujian kadar bahan tidak larut air, nilai terendah dihasilkan oleh perlakuan suhu 60 0 C dan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 10:1 (v/b) yaitu sebesar 2,99%. Namun, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai kadar bahan tidak larut dalam air tidak dipengaruhi secara nyata oleh variasi perlakuan pada percobaan. Sama halnya dengan kadar air, hasil analisis ragam kadar bahan tidak larut air menunjukkan bahwa semua perlakuan pada pembuatan produk tanin bubuk memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi perlakuan terbaik. Dengan demikian, berdasarkan data nilai efisiensi proses dalam mengekstraksi tanin dan nilai kadar tanin diperoleh perlakuan terbaik adalah suhu 80 0 C dengan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b). Berdasarkan hasil pengujian nilai kadar air dan kadar bahan tidak larut air, semua perlakuan dapat dijadikan perlakuan terbaik. Oleh karena hal tersebut, dapat dipilih perlakuan terbaik dalam penelitian ini adalah perlakuan dengan suhu 80 0 C dan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 12:1 (v/b). Namun, berdasarkan nilai whiteness, perlakuan terbaik adalah suhu 60 0 C dengan perbandingan jumlah air dan gambir asalan 10:1 (v/b). Nilai whiteness untuk produk S8P12 adalah 71,73% yang memiliki selisih tidak berbeda jauh dengan nilai whiteness pada produk S6P10 (74,26%) yaitu sebesar 2,43%. Perlakuan ekstraksi pada penelitian dengan suhu air 80 0 C dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan 12:1 (v/b) menghasilkan produk yang memiliki nilai kadar tanin 95,67% (dry basis), rendemen 41,79 % (dry basis), kadar air 4,85% (dry basis), kadar abu 4,04 % (dry basis), whiteness 71,73%, dan kadar bahan tidak larut air 3,72% (dry basis). 50

69 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Tanin pada gambir dapat diekstrak untuk diperoleh produk tanin yang memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Proses ekstraksi tanin dari gambir asalan dapat dilakukan dengan menggunakan air sebagai pelarut. Proses pengambilan tanin dalam gambir asalan melibatkan proses pemisahan antara senyawa katekin dan tanin yang terkandung dalam gambir dan keduanya termasuk jenis senyawa polifenol. Proses pemisahan antara kedua senyawa tersebut didasarkan pada perbedaan sifat kelarutan keduanya pada pelarut yang digunakan. Dengan proses pengendapan, katekin yang sukar larut dalam air dingin akan mengendap dan dapat dipisahkan dengan tanin yang masih terlarut dalam air. Pada proses ekstraksi tanin dari gambir asalan, secara umum penggunaan suhu pelarut yang semakin tinggi meningkatkan nilai kadar tanin produk. Penggunaan perbandingan jumlah pelarut dengan gambir asalan yang semakin banyak dapat meningkatkan rendemen tanin bubuk dan kadar tanin pada produk. Proses pengeringan dengan spray dryer menghasilkan tanin bubuk dengan ukuran butiran yang seragam. Kestabilan suhu pada proses pengeringan memberikan pengaruh terhadap proses pembuatan tanin bubuk seperti pada nilai kadar air dan whiteness. Perlakuan terbaik yang menghasilkan produk tanin bubuk dengan mutu yang tinggi adalah ekstraksi dengan suhu air 80 0 C dan perbandingan jumlah air dengan gambir asalan 12:1 (v/b). Perlakuan tersebut menghasilkan produk memiliki nilai kadar tanin 95,67% (dry basis), rendemen 41,79 % (dry basis), kadar air 4,85% (dry basis), kadar abu 4,04 % (dry basis), whiteness 71,73%, dan kadar bahan tidak larut air 3,72% (dry basis). 51

70 B. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan setelah melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlakuan ekstraksi lainnya seperti penggunaan pelarut yang berbeda, penggunaan suhu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut dengan gambir asalan yang lebih tinggi dapat dilakukan untuk mengetahui pengaruh yang terjadi pada produk tanin yang dihasilkan 2. Proses pemisahan tanin dan katekin dilakukan dengan pengendapan pada suhu tertentu yang dijaga dan perbaikan tahapan penyaringan perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan mutu tanin. 52

71 DAFTAR PUSTAKA Akiyama, H., K. Fujii, O. Yamasaki, T. Oono, dan T. Iwatsuki Antibacterial Action of Several Tannins Agains Staphylococcus aureus. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. Vol. 48 : AOAC Official Method of The Association of Official Chemist. AOAC. Inc. Virginia. Bernardini, E Oilseeds, Oils, and Fats, Volume I, Raw Material and Extraction Techniques. Publishing House. Rome. Betts, J Mineral Properties and Identification Procedures. [diakses 25 Juli 2010] BPS Kabupaten 50 Kota Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka BPS Kabupaten Lima Puluh Kota. Sumatra Barat. Brown, G.G Unit Operation. Webster School and Office Supplier. Manila. Browning, B.L Methods of Wood Chemistry. Interscience Publishers. New York. Canovas, V.B. dan H.V. Mercado Dehydration of Foods. Chapman and Hall. New York. Carter, F. L., A. M. Carlo, dan J. B. Stanley Termiticidal Components of Wood Extracts : 7- Methyljuglone from Diospyros virginia. Journal Agriculture Food Chemistry. 26(4): Copriady, Jimmi, Miharty, dan Herdini Gallokatekin : Senyawa Flavonoid Lainnya dari Kulit Batang Rengas (Gluta Renghas Linn.). Jurnal Natur Indonesia, 4 (1): 4 Covey, S The Solubility of Minerals. [diakses 25 Juli 2010] Dubey, R., T.C. Tsami, dan B.Rao Microencapsulation Technology and Preparation. Journal Devence Science 59 (1): Dwiari Teknologi Pangan Jilid 1 untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 53

72 Earle, R. L Unit Operation in Food Processing Second Edition. Pergamon Press. Inggris. Fessenden, R. J. dan J. S. Fessenden Kimia Organik. Erlangga. Jakarta. Fengel D.,G. Wegener, dan H. Sostrohamidjojo Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi- Reaksi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Filkova, I. dan A.S. Mujumdar Industrial Spray Drying Systems. Mujumdar, A.S. (ed) Handbook of Industrial Drying. Marcel Decker, Inc. New York. Gemse, T Liquid-Liquid Extraction and Solid Liquid Extraction. Graz University of Technology. Styria. Gumbira-Sa id, E., K. Syamsu, E. Mardliyati, A. Herryandie, N.A. Evalia, D.L.Rahayu, A.A.A. Ratih P., Aang A., dan A. hadiwijoyo. 2009a. Agroindustri Bisnis dan Gambir Indonesia. IPB Press. Bogor. Gumbira-Sa id, E. K. Syamsu, E. Mardliyati, A.H. Brontoadie, dan N.A. Evalia. 2009b. Perbaikan Rekayasa Proses, Pengembangan Produk dan Peningkatan Mutu Gambir Ekspor Indonesia: Pendalaman Studi Kasus di Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera Barat. Laporan Penelitian Hibah Unggulan Strategis Nasional. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gross, G.G Enzimes in The Biosynthesis of Hydrolyzable Tannins. Hemingway, R.W. and P.E. Laks (ed.). Plant Polyphenols: Synthesis, Properties,and Significance. New York: Plenum Press. Hagerman, A.E Tannin Chemistry. Department of Chemistry and Biochemistry, Miamy University. USA. Harborne, J.B Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung. Hathway, D. E The Condensed Tannins. In Wood Extractives (Hillis W. E). Academic Press. New York. Houghton, P.J. dan A.Raman Laboratory Handbook for Fractionation of Natural Extracts. Chapman and Hall. London. Larrauri, J. A., P. Ruperez and F. Saura-Calixto Effect of drying temperature on the stability of polyphenols and antioxidant activity of red grape pomace peels. Journal Agric. Food Chem. 44: Lehr, J. H Standard Handbook of Enviromental Science, Health, and Technology. McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 54

73 Linggawati, Amilia, Muhdarina, Erman, Azman, dan Midiarty Pemanfaatan Tanin Limbah Kayu Industri Kayu Lapis Untuk Modifikasi Resin Fenol Formaldehid. Jurnal Nature Indonesia Vol. 5. No. 1/Oktober 2002 Masduki, I Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap S. aureus dan E. coli. Cermin Dunia Kedokteran 109 : Master, K Spray Drying Handbook. George Godwin Limitted. London. Muchtar, H Teknologi Pemurnian Gambir. Makalah pada Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian Pertanian. BPTP Sukarami dan Peragi. Padang Maret Nazir, N Gambir, Budidaya, Pengolahan Hasil dan Prospek Diversifikasinya. Yayasan Hutanku. Padang Nazir, N. dan Norman. F., Studi Pemurnian Gambir Untuk Mendapatkan Catechin Murni. Prosiding seminar Nasional Gambir di Padang. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang. Pizzi, A Methods of Wood Chemistry. Vol I, II. Interscience Publishers. New York. Shanghai Chunyuan Phytochemistry Co., Ltd Tannic Acid. [diakses 1 Mei 2010] Singh, R.P. dan D.R. Heldman Food Process Engineering. AVI Publishing Co.Inc. Wesport. Connectititut. Sjostrom, E Wood Chemistry, Fundamentals and Applications, 2 nd. Academic Press Inc. Orlando, USA, Speer, E Milk and Dairy Product Technology. Marcell Dekker Inc. USA. Soekarto, S.T Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB Press. Bogor. Sudarmadji, S, B. Haryono, dan Suhardi Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Lyberti. Yogyakarta. Suryandari, S Pengambilan Oleoresin Jahe dengan Cara Solvent Extraction. BPIHP. Bogor. Syafii, W Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Beberapa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis. Buletin Kehutanan No. 42. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. 55

74 Walpole, R. E Pengantar Statistik Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widodo, P. dan Budiharti, U Pengering Semprot (Spray Dryer) untuk Membuat Tepung Lidah Buaya. Sinar Tani Edisi November Wijaya, L. A Kandungan Antioksidan Ekstrak Tepung Kulit Buah Manggis (Garcina Mangostana L.) pada Berbagai Pelarut, Suhu, dan Waktu Ekstraksi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, F.G Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A., D. Hermanianto, dan N. Andarwulan Prinsip Teknik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Yeni, Gustri, H.Muchtar, I.Sukma, Y.Anggraini, J.Firdaus, dan Magdalena Teknologi Proses Pembuatan Cube Black Gambir (Gambir Gelamai). Laporan Hasil Pengembangan Teknologi Industri DIP. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta. Yusro, M Pengaruh Waktu, Suhu dan Perbandingan Bahan Baku-Pelarut pada Ekstraksi Kurkumin dari Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan Pelarut Etanol. Prosiding Seminar Tjipto Utomo. ITENAS. Vol 3. Bandung Zhaobang, S Production and Standards for Chemical Non-Wood Forest Products in China. CIFOR Occasional Paper No.6. Bogor. 56

75 LAMPIRAN 57

76 Lampiran 1. Rangkaian Alat Spray Dryer a b c d e f g h i Gambar 30. Rangkaian Alat Spray Dryer a. Blower; b. Cyclone Chamber; c. Drying Chamber; d. Atomizer; e. Air Heater ; f. Control Box; g. Tungku Api; h. Feed Pump Control; i. Air Compressor 58

77 Lampiran 2. Prosedur Analisis 1. Kadar air (AOAC, 2005) Penetapan kadar air dilakukan dengan metode oven. Prinsip kadar air adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan pemanasan. Sebanyak 2-3 g sampel yang telah dihaluskan, ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya kemudian dimasukkan kedalam oven dengan suhu 105 o C selama lima jam. Sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang hingga mencapai bobot konstan. Persentase rasio penyusutan bobot awal merupakan kadar air bahan. Kadar air (%) = (A-B)/B x 100% Keterangan : A= bobot cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) B= bobot konstan cawan dan sampel sesudah dikeringkan (g) 2. Kadar abu (AOAC, 2005) Sampel sebanyak 3-5 gram yang telah dihaluskan kemudian ditimbang dalam cawan pengabuan yang telah diketahui bobotnya. Sebelum diabukan, sampel terlebih dahulu dipanaskan di atas penangas destruksi hingga terbentuk arang dan tidak berasap lagi. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam tanur (600 o C) selama tiga jam atau sampai terbentuk abu. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobot akhirnya. Kadar abu adalah rasio bobot abu dengan bobot sampel basah. Kadar abu (%) = (W2-W)/(W1-W) x 100% Keterangan : W = bobot cawan kosong (g) W1 = bobot cawan dan sampel (g) W2 = bobot konstan cawan dan abu (g) 3. Kadar serat kasar ( AOAC, 2005) Sampel sebanyak 2-5 gram dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudin ditambahkan 100 ml H 2 SO N. Bahan selanjutnya dihidrolisis di dalam otoklaf bersuhu C selama 15 menit. Bahan didinginkan, kemudin ditambahkan 50 ml NaOH 1.25 N, lalu dihidrolisis kembali di dalam otoklaf bersuhu C selama 15 menit. Bahan 59

78 disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dikeringkan setelah itu kertas dicuci dengan campuran air panas dan 25 ml H 2 SO 4 0,325 N serta campuran air panas dan 25 ml aseton atau alkohol. Residu beserta kertas saring dikeringkan dalam oven bersuhu C sekitar 1 2 jam. Kadar serat (%) = (a b)/w x 100% Keterangan: a = bobot serat dan kertas saring yang telah dikeringkan (g) b = bobot kertas saring kosong (g) W= bobot sampel (g) 4. Kadar lemak kasar (AOAC, 2005) Kertas saring yang telah dibentuk seperti tabung dikeringkan pada suhu C selama satu jam. Sampel yang telah kering (setelah kadar air) dimasukkan di dalam kertas saring, ditutup dan dikeringkan kembali dalam oven, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel yang telah diketahui bobot tetapnya dimasukkan dalam soxlet, diekstraksi menggunakan ester atau petroleum eter secukupnya. Proses dilanjutkan dengan refliks selama kurang lebih enam jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak menjadi bening. Selesai ekstraksi, sampel dikeluarkan dari soxlet dan dikeringanginkan. Setelah pelarut menguap, sampel dikeringkan dalam oven bersuhu C hingga bobot tetap. Kadar lemak (%) = (a b)/w x 100% Keterangan: A = bobot bahan dalam kertas saring setelah dikeringkan (g) B = bobot bahan dalam kertas saring setelah dikeringkan (g) W= bobot sampel (g) 5. Kadar protein metode mikro kjeldahl (AOAC, 2005) Sampel sebanyak 0,1 gram sampel dicampur dengan satu gram katalis (campuran satu gram CuSO 4 dan 1,2 gram Na 2 SO 4 ) dan 2,5 ml H 2 SO 4 pekat. Sampel kemudian didihkan dalam labu kjeldahl sampai jerih dan didinginkan. Sampel diencerkan dengan akuades sampai 25 ml dan ditambahkan 50 ml NaOH 6 N. Hasil destilat ditampung dalam asam borat yang telah dicampur indikator mengsel. Setelah 4 menit destilasi, mesin destilasi akan mati secara 60

79 otomatis. Hasil proses destilasi kemudian dititrasi dengan larutan H 2 SO 4 0,02 N. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein = [(ml titrasi sampel - ml titrasi blanko)x N x 14,007 x 6,25/(gram sampel x 100)]x 100% N = normalitas H 2 SO 4 6. Kadar Tanin (AOAC, 2005) Sampel bahan sebanyak 100 mg dilarutkan dalam satu liter H 2 O dan disaring. Filtrat hasil penyaringan dipipet sebanyak 0-10 ml ke dalam labu takar 100 ml yang berisi 75 ml H 2 O, ditambah reagen folin denis, 10 ml larutan Na 2 CO 3 dan diencerkan hingga volume 100 ml dengan menggunakan H 2 O. Larutan diaduk rata, didiamkan selama 30 menit, dan diukur nilai absorban (A) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 760 nm. Untuk pembuatan kurva standar, digunakan bahan asam tannik standar dan nilai A diplot berlawanan dengan mg asam tannik per 100 ml. Jika nilai A terlalu besar, penentuan kadar tanin dapat diulangi dengan pengenceran yang lebih besar. Gambar spektrofotometer dapat dilihat pada Gambar 30. Gambar 31. Spektrofotometer HACH untuk Mengukur Kadar Tanin 7. Warna Sampel berupa bubuk diukur dengan menggunakan alat colorimeter, dicatat nilai L,a dan b yang terbaca pada alat. 8. Kadar bahan tak larut air (SP-SMP ) Sebanyak satu gram sampel dimasukkan dalam gelas piala, ditambahkan 100 ml air panas kemudian diaduk dan disaring menggunakan kertas saring yang 61

80 sudah diketahui bobotnya. Kertas saring dikeringkan dalam oven suhu C selama dua jam dan ditimbang hingga bobot konstan. Kadar bahan tak larut air (%) = [c-b]/a x 100% Keterangan : a = bobot sampel (g) b = bobot kertas saring awal (g) c = bobot kertas saring akhir (g). 62

81 Lampiran 3. Proses Ekstraksi Tanin Bubuk a b c d e f g Gambar 32. Proses Ekstraksi Tanin Bubuk a. Gambir Asalan; b. Pelarutan Gambir Asalan; c.larutan Gambir Asalan; d. Penyaringan Larutan Gambir; e. Pengendapan; f. Penyaringan Hasil Pengendapan; g. Larutan Tanin 63

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN GAMBIR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN GAMBIR II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN GAMBIR Tanaman gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) merupakan spesies tanaman berbunga genus Uncaria dalam family Rubiaceae. Berdasarkan karakteristik morfologinya, tanaman

Lebih terperinci

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,-

J. Gaji dan upah Peneliti ,- 4. Pembuatan laporan ,- Jumlah ,- Anggaran Tabel 2. Rencana Anggaran No. Komponen Biaya Rp 1. Bahan habis pakai ( pemesanan 2.500.000,- daun gambir, dan bahan-bahan kimia) 2. Sewa alat instrument (analisa) 1.000.000,- J. Gaji dan upah

Lebih terperinci

Abstrak. Tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan memanjang. Daun

Abstrak. Tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan memanjang. Daun EKSTRAKSI DAUN GAMBIR MENGGUNAKAN PELARUT METANOL-AIR Olah: Ir.Rozanna Sri Irianty, M.Si, Komalasari, ST., MT, Dr.Ahmad Fadli Abstrak Gambir merupakan sari getah yang diekstraksi dari daun dan ranting

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA A. GAMBIR

II TINJAUAN PUSTAKA A. GAMBIR II TINJAUAN PUSTAKA A. GAMBIR Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu tanaman penghasil getah (alkaloid) yang mengandung senyawa kimia berupa Catechine, asam tannat (tanin), Flouresine, Quercetine,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. akuades, reagen Folin Ciocalteu, larutan Na 2 CO 3 jenuh, akuades, dan etanol.

III METODE PENELITIAN. akuades, reagen Folin Ciocalteu, larutan Na 2 CO 3 jenuh, akuades, dan etanol. III METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk pembuatan gambir bubuk adalah Hammer Mill, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, kain saring, Shaker Waterbath, dan Spray Dryer. Alat yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH

I. ISOLASI EUGENOL DARI BUNGA CENGKEH Petunjuk Paktikum I. ISLASI EUGENL DARI BUNGA CENGKEH A. TUJUAN PERCBAAN Mengisolasi eugenol dari bunga cengkeh B. DASAR TERI Komponen utama minyak cengkeh adalah senyawa aromatik yang disebut eugenol.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI DAUN GAMBIR MENGGUNAKAN PELARUT ETANOL-AIR Oleh: Komalasari, ST.,MT., Ir.Rozanna Sri Irianty, M.Si, Dr. Ahmad Fadli.

EKSTRAKSI DAUN GAMBIR MENGGUNAKAN PELARUT ETANOL-AIR Oleh: Komalasari, ST.,MT., Ir.Rozanna Sri Irianty, M.Si, Dr. Ahmad Fadli. EKSTRAKSI DAUN GAMBIR MENGGUNAKAN PELARUT ETANOL-AIR Oleh: Komalasari, ST.,MT., Ir.Rozanna Sri Irianty, M.Si, Dr. Ahmad Fadli. Abstrak Metode ekstraksi sokletasi memberikan hasil ekstrak yang lebih tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari kemiringan rendah hingga sangat curam (Gumbira-Sa id et al., 2009).

I. PENDAHULUAN. dari kemiringan rendah hingga sangat curam (Gumbira-Sa id et al., 2009). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambir merupakan ekstrak daun dan ranting yang berasal dari tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang telah dikeringkan. Produk tersebut telah lama dikenal oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - Kompor gas - Sendok - Cetakan plastik A.2Bahan

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT DI SUSUN OLEH : NAMA : IMENG NIM : ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI / TANGGAL : SABTU, 28 MEI 2011

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN GAMBIR BUBUK DARI DAUN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb.) KERING MENGGUNAKAN SPRAY DRYER. Oleh : PRAMITA SARI ANUNGPUTRI F

KAJIAN PEMBUATAN GAMBIR BUBUK DARI DAUN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb.) KERING MENGGUNAKAN SPRAY DRYER. Oleh : PRAMITA SARI ANUNGPUTRI F KAJIAN PEMBUATAN GAMBIR BUBUK DARI DAUN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb.) KERING MENGGUNAKAN SPRAY DRYER Oleh : PRAMITA SARI ANUNGPUTRI F34063050 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- Cihideung. Sampel yang diambil adalah CAF. Penelitian

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass, III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Februari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari. (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir merupakan tanaman

PENDAHULUAN. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari. (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir merupakan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama gambir (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir

Lebih terperinci

Korosi merupakan efek yang paling merusak pada logam, oleh karena itu untuk melindungi bagian-bagian logam dari korosi dapat digunakan banyak cara,

Korosi merupakan efek yang paling merusak pada logam, oleh karena itu untuk melindungi bagian-bagian logam dari korosi dapat digunakan banyak cara, PA YUNG PENELITIAN : PROSES PENGENDALIAN KOROSI A. LATAR BELAKANG MASALAH Tanpa disadari, setiap hari kita berurusan dengan korosi atmosferik, misalnya karat pada pagar, mobil, atau peralatan rumah tangga

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Kimia,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1.

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1. BAB III METODOLOGI A. ALAT DAN BAHAN A.1. Alat yang digunakan : A.1.1 Alat yang diperlukan untuk pembuatan Nata de Citrullus, sebagai berikut: 1. Timbangan 7. Kertas koran 2. Saringan 8. Pengaduk 3. Panci

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel PBAG di lingkungan sekitar kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan daerah Cipaku.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai macam alat gelas, labu Kjeldahl, set alat Soxhlet, timble ekstraksi, autoclave, waterbath,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah saus sambal dan minuman dalam kemasan untuk analisis kualitatif, sedangkan untuk analisis kuantitatif digunakan

Lebih terperinci

Penetapan Kadar Sari

Penetapan Kadar Sari I. Tujuan Percobaan 1. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut air dari simplisia. 2. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut etanol dari simplisia. II. Prinsip Percobaan Penentuan kadar sari berdasarkan

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : 19630504 198903 2 001 DIBIAYAI OLEH DANA DIPA Universitas Riau Nomor: 0680/023-04.2.16/04/2004, tanggal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Muhammadiyah Semarang di Jalan Wonodri Sendang Raya 2A Semarang.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Muhammadiyah Semarang di Jalan Wonodri Sendang Raya 2A Semarang. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium kimia program studi

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Peralatan Peralatan yang digunakan dalam tahapan sintesis ligan meliputi laboratory set dengan labu leher tiga, thermolyne sebagai pemanas, dan neraca analitis untuk penimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1).

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai akhir bulan Desember 2011-Mei 2012. Penanaman hijauan bertempat di kebun MT. Farm, Desa Tegal Waru. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu Sargassum polycystum, akuades KOH 2%, KOH 10%, NaOH 0,5%, HCl 0,5%, HCl 5%,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung a. Kadar Air Cawan kosong (ukuran medium) diletakkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan cawan kosong tersebut dalam

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian,

BAB III MATERI DAN METODE. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian, 11 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian, Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

PERUBAHAN BEBERAPA SIFAT FISIS DAN KIMIA PASTA GAMBIR SELAMA PENYIMPANAN

PERUBAHAN BEBERAPA SIFAT FISIS DAN KIMIA PASTA GAMBIR SELAMA PENYIMPANAN J. Ris. Kim. Vol. 1 No.2, Maret PERUBAHAN BEBERAPA SIFAT FISIS DAN KIMIA PASTA GAMBIR SELAMA PENYIMPANAN Anwar Kasim, Yoli Sub han dan Netty Sri Indeswari Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Lampiran 1 BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Bahan Tepung ubi jalar Putih Coklat collata Margarin Gula pasir Telur Coklat bubuk Kacang kenari Jumlah 250 gr 350 gr 380 gr 250 gr 8 butir 55 gr 50 gr Cara Membuat:

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan bulan November 2011 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT 1. Waktu Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 28 November 2013 2. Tempat Laboratorium Patologi, Entomologi, & Mikrobiologi (PEM) Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam tahapan sintesis ligan meliputi laboratory set dengan labu leher tiga, thermolyne sebagai pemanas, dan neraca analitis untuk penimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Biokimia Zat Gizi,

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Riau.

III. MATERI DAN METODE. dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Riau. III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2014 bertempat di Labolaturium Teknologi Pascapanen (TPP) dan analisis Kimia dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS BAHAN BAKU Analisis bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang digunakan pada penelitian utama. Parameter yang digunakan untuk analisis mutu

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KIMIA SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8 o C)

KARAKTERISTIK KIMIA SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8 o C) KARAKTERISTIK KIMIA SOSIS ASAP DENGAN BAHAN BAKU CAMPURAN DAGING DAN LIDAH SAPI SELAMA PENYIMPANAN DINGIN (4-8 o C) SKRIPSI HENDRIA FIRDAUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, analisa dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

MINYAK KELAPA. Minyak diambil dari daging buah kelapa dengan salah satu cara berikut, yaitu: 1) Cara basah 2) Cara pres 3) Cara ekstraksi pelarut

MINYAK KELAPA. Minyak diambil dari daging buah kelapa dengan salah satu cara berikut, yaitu: 1) Cara basah 2) Cara pres 3) Cara ekstraksi pelarut MINYAK KELAPA 1. PENDAHULUAN Minyak kelapa merupakan bagian paling berharga dari buah kelapa. Kandungan minyak pada daging buah kelapa tua adalah sebanyak 34,7%. Minyak kelapa digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas BAB III METODE PENELITIAN Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas minyak belut yang dihasilkan dari ekstraksi belut, dilakukan penelitian di Laboratorium Riset Kimia Makanan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari bonggol nanas dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan 3.3.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemanas listrik, panci alumunium, saringan, peralatan gelas (labu Erlenmayer, botol vial, gelas ukur,

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2015. Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk. dilakukan di daerah

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 Disusun Ulang Oleh: Dr. Deana Wahyuningrum Dr. Ihsanawati Dr. Irma Mulyani Dr. Mia Ledyastuti Dr. Rusnadi LABORATORIUM KIMIA DASAR PROGRAM TAHAP PERSIAPAN BERSAMA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Keadaan Lokasi Pengambilan Sampel Sampel yang digunakan adalah sampel bermerek dan tidak bermerek yang diambil dibeberapa tempat pasar

Lebih terperinci

Penetapan kadar Cu dalam CuSO 4.5H 2 O

Penetapan kadar Cu dalam CuSO 4.5H 2 O Penetapan kadar Cu dalam CuSO 4.5H 2 O Dody H. Dwi Tiara Tanjung Laode F. Nidya Denaya Tembaga dalam bahasa latin yaitu Cuprum, dalam bahasa Inggris yaitu Copper adalah unsur kimia yang mempunyai simbol

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

TANIN. IWAN RISNASARI Shut Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN

TANIN. IWAN RISNASARI Shut Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN TANIN IWAN RISNASARI Shut Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Pemanfaatan kayu yang dipergunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan, mulai dari kayu bakar

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa Universitas Lampung

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.

Lebih terperinci