BAB I. PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencangkup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief tanah, hidrologi dan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti reklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu (Djaenudin, dkk, 2003). Lahan penting dalam kehidupan manusia karena menjadi tempat dalam melakukan semua kegiatannya sehari-hari. Setiap kegiatan dilakukan dengan memanfaatkan lahan sesuai dengan penggunaannya, contohnya lahan untuk permukiman atau tempat tinggal, pertanian, industri, infrastruktur jalan dan fasilitas umum lainnya. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan atas lahan, maka terjadi perubahan penggunaan lahan agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Manusia melakukan perubahan penggunaan lahan menjadi penggunaan lahan yang baru untuk memenuhi kebutuhannya terhadap suatu lahan, contohnya manusia membangun pemukiman baru dengan membuka hutan atau menempati lahan kosong. Pembagian penggunaan lahan diatur dengan baik dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah tersebut dalam sebuah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW untuk setiap daerah berbeda-beda, setiap RTRW memberikan informasi penggunaan tanah pada pembangunan suatu wilayah, serta berperan penting dalam menentukan letak-letak dan pengaturan tata wilayah dalam suatu daerah (Handayani 2014). Sejauh ini pemerintah Kabupaten Nganjuk menerapkan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2011 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah tahun yang mengatur pembagian tanah sesuai dengan pengunaannya masing-masing. Di Kabupaten Nganjuk terjadi perubahan lahan pertanian seiring meningkatnya kebutuhan lahan baru, salah satunya kebutuhan terhadap lahan industri. Beberapa kecamatan di Kabupaten Nganjuk memiliki area persawahan luas dengan akses jalan yang baik, keuntungan tersebut menjadikan wilayah ini 1

2 2 berpotensi sebagai pembangunan industri. Pembangunan industri dilakukan di sekitar jalan yang menjadi jalur utama untuk mempermudah proses distribusi dan pemasokan bahan baku. Sementara area tersebut sebelumnya merupakan lahan pertanian yang subur dan mendukung hasil produksi di sektor pertanian. Selain faktor lokasi dan ketersediaan tanah, adanya Pasar Bebas Asean 2015 membuat Perusahaan Industri dalam negeri yang mulai mengembangkan wilayah pemasarannya dari Surabaya yang merupakan pusat industri Jawa Timur, menyebar ke kota disekitarnya termasuk Kabupaten Nganjuk. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Nganjuk tersebut harus terarah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku. Dampak dari perubahan penggunaan lahan yang kurang perencanaan dan pengawasan akan menimbulkan ketimpangan terhadap lingkungan, sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah perubahan penggunaan lahan tersebut sudah sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah setempat. Penelitian ini melakukan evaluasi atau penilaian terhadap kesesuaian antara perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan industri dengan peraturan RTRW yang berlaku di Kabupaten Nganjuk. Evaluasi kesesuaian tersebut disajikan dalam bentuk peta yang menggambarkan adanya perubahan pada lahan pertanian menjadi lahan industri pada tahun Teknik yang digunakan adalah dengan mengabungkan data industri dengan Peta Tutupan Lahan Tahun 2009 yang telah dilakukan klasifikasi menjadi lahan pertanian dan non pertanian, selanjutnya untuk mengetahui kesesuaian perubahan penggunaan lahan tersebut dengan RTRW yang berlaku, maka digabungkan kembali dan dianalisis dengan Peta RTRW Kabupaten Nganjuk tahun Hasil tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi instansi terkait seperti Bappeda dalam melakukan evaluasi RTRW setiap lima tahun sekali dan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan rencana pembangunan Kabupaten Nganjuk dimasa mendatang.

3 3 I.2. Rumusan Masalah Evaluasi kesesuaian perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri di Kabupaten Nganjuk terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun yang sudah berjalan selama 4 tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2011 Kabupaten Nganjuk perlu dilakukan, serta mengetahui besar luas lahan yang mengalami perubahan. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang dapat disusun sebagai berikut: 1. Apakah perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan industri yang terjadi pada Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah tahun Kabupaten Nganjuk? 2. Berapakah luas lahan pertanian yang mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi industri tersebut? I.4. Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini: 1. Lokasi Penelitian adalah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. 2. Penelitian ini mengevaluasi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri selama tahun dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah tahun Kabupaten Nganjuk. I.5. Tujuan Kegiatan Tujuan Penelitian pada penelitian ini adalah: 1. Melakukan evaluasi kesesuaian perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri di Kabupaten Nganjuk selama 4 tahun dari tahun 2011 sampai 2014 terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah tahun Kabupaten Nganjuk yang berlaku. 2. Mengetahui luas area yang telah berubah penggunaan lahannya tersebut, kemudian menyajikan perubahan pada suatu peta. I.6. Manfaat Kegiatan Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

4 4 1. Dapat digunakan sebagai referensi ilmu pengetahuan, seperti ilmu perencanaan wilayah dalam bidang perencanaan wilayah. 2. Dapat digunakan oleh instansi terkait seperti Bappeda dan BPN, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan pertanahan dan evaluasi RTRW yang dilakukan setiap lima tahun sekali. I.7. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu tertentu, seperti yang dilakukan oleh Rosyida (2011), Handayani (2013) dan Supriyanti (2007). Rosyida (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui besar luas perubahan lahan pertanian ke non pertanian di wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman yang merupakan daerah yang mengalami perkembangan pembangunan fisik yang pesat, terutama kebutuhan untuk non pertanian seperti pemukiman, industri, pengembangan kota, dan bangunan. Data yang digunakan adalah Peta Penggunaan Lahan Tahun 2002, Peta Penggunaan Lahan Tahun 2008, Peta Administrasi Kecamatan Gamping Tahun Proses yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan klasifikasi terhadap penggunaan lahan menjadi 2 klasifikasi utama yaitu lahan pertanian dan lahan non pertanian, kemudian dilakukan penggabungan peta dengan menggunakan ArcView 3.3. Dari proses tersebut didapatkan hasil pada Peta Penggunaan Lahan tahun 2002 luas lahan pertanian sebesar 1811,169 Ha, luas lahan non pertanian sebesar 1011,742 Ha dengan total luas keduanya 2822,911 Ha (presentase untuk lahan pertanian sebesar 64,16%, serta presentase untuk lahan non pertanian sebesar 35,84%). Untuk total luas lahan pada Peta Penggunaan Lahan Tahun ,812 Ha, dengan luas lahan pertanian sebesar 1473,588 Ha (presentase sebesar 52,20%) dan lahan non pertanian seluas 1349,224 Ha (presentase sebesar 47,80%). Dalam kurun waktu 6 tahun, luas lahan pertanian yang berubah menjadi lahan non pertanian yaitu untuk lahan pertanian pada tahun 2002 seluas 1811 Ha dan pada tahun 2008 sebesar 1474 Ha, maka terjadi penyusutan sebesar 337 Ha, dengan presentase 11,94%. Lahan non pertanian pada tahun 2002 sebesar 1012 Ha, sedangkan tahun 2008 ebesar 1349 Ha, maka terjadi peningkatan sebesar 337 Ha, dengan presentase sebesar 11,94%.

5 5 Handayani (2013) dalam skripsinya, melakukan evaluasi penggunaan lahan yang berubah penggunaannya berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah di Kecamatan Bantul. Penelitian tesebut menggunakan data citra Quickbird tahun 2011, peta batas administrasi Kecamatan Bantul, peta RTRW penggunaan lahan Kecamatan Bantul, dan data penggunaan lahan yang diperoleh di lapangan. Metode yang digunakan dengan melakukan overlay pada citra dan peta kemudian melakukan evaluasi kesesuaian atau ketidaksesuaian penggunaan lahan Kecamatan Bantul tahun 2013 dengan RTRW penggunaan lahan Kecamatan Bantul tahun 2010 sampai dengan tahun Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah jumlah klas pada penggunaan lahan di Kecamatan Bantul hasil interpretasi visual diperoleh 7 klas penggunaan lahan, dan setelah dilakukan cek lapangan terhadap penggunaan lahan diperoleh 8 klas penggunaan lahan. Penelitian ini juga menghasilkan persentase tingkat kesesuaian sebesar 63,18% dan ketidaksesuaian sebesar 36,81% dari hasil perbandingan antara penggunaan lahan tahun 2013 dengan RTRW penggunaan lahan di Kecamatan Bantul tahun 2010 sampai dengan tahun Supriyanti (2007) melakukan pemantauan perubahan pengunaan tanah pertanian ke non pertanian dari tahun untuk wilayah Kelurahan Kricak Kecamatan Tegalrejo Yogyakarta yang relatif cepat agar perubahan dapat dikendalikan. Kajian tersebut menggunakan data citra satelit Quickbird 2003, Ortofoto tahun 1996 dan survei lapangan tahun Dalam penilitian tersebut, metode yang digunakan adalah melakukan interpretasi citra secara visual bersamaan dengan proses digitasi untuk pembuatan peta, kemudian keduanya dilakukan overlay untuk melihat besar perubahan yang terjadi. Hasil penelitian menyatakan bahwa dari tahun wilayah tersebut mengalami perubahan tanah yang cukup tinggi sebesar 6,364 ha menjadi perumahan dan perubahan tersebut sesuai dengan Peta RUTRK kota Yogyakarta. I.8. Landasan Teori I.8.1. Penggunaan Lahan Sumber daya alam sangat penting bagi kehidupan manusia. Salah satu contoh sumber daya alam yaitu lahan. Lahan mempunyai peranan penting dalam

6 6 produksi dan digunakan sebagai tempat hidup manusia dalam melakukan segala aktivitasnya. Penggunaan lahan adalah segala campur tangan manusia baik secara permanen maupun secara psikis terhadap kumpulan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan material maupun spiritual atau kedua-duanya (Handayani, 2013). Menurut Kusumowidagdo, dkk (2008) istilah penutup lahan (land cover) terkait dengan tipe atau jenis penutup lahan yang tampak pada permukaan bumi. Contoh dari jenis penutup lahan antara lain: daerah terbangun danau, pepohonan, lahan terbuka, dan pertanian. Istilah penggunaan lahan lebih berkaitan dengan aturan yang diberlakukan untuk menata penutup lahan (fungsi lahan), misalnya saja di dalam daerah terbangun terdapat komplek militer, perumahan, perkantoran, perniagaan, selain itu dapat diketahui bangunan, pepohonan, rerumputan di suatu wilayah dari jenis penggunaan lahannya. Pemahaman penutup lahan dan penggunaan lahan sangat penting untuk perencanaan dan aktivitas pengelolaan permukaan bumi. Peta penggunaan lahan dapat menunjukkan orientasi (arah) kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Dari peta tersebut dapat dilihat perbandingan luas lahan pertanian dan pemukiman, sumber kehidupan masyarakat berasal dari pertanian atau industri, dan banyak lagi kesimpulan yang dapat dikemukakan dari peta penggunaan lahan dengan melakukan analisis secara teliti dan mengaitkaan faktor satu dengan lainnya (Ritohardoyo, 2002). I.8.2. Klasifikasi Penggunaan Lahan Klasifikasi adalah proses penetapan obyek-obyek, kenampakan atau satuansatuan menjadi kumpulan-kumpulan, di dalam suatu sistem pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat khusus, atau berdasarkan kandungan isinya. Klasifikasi lahan merupakan suatu pengaturan satuan-satuan lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuaian untuk penggunaanya. Prosedur klasifikasi lahan dapat bervariasi dari dari suatu sistem ke sistem lainnya, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam prinsip, asumsi dan kepetingannya. Untuk keperluan yang sama, sifat lahan dapat diintegrasikan secara berbeda yaitu dengan

7 7 memberikan bobot yang berbeda dalam kombinasi yang tidak serupa. Sebagian besar dari sistem klasifikasi lahan dilakukan dengan jalan membagi lahan ke dalam bagianbagian yang lebih kecil yang merupakan satuan-satuan lahan yang lebih seragam, serta deskripsi yang lebih sederhana (Ritohardoyo, 2002). Menurut Ritohardoyo (2002), klasifikasi penggunaan lahan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu lahan pertanian dan lahan non pertanian. Lahan pertanian adalah lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, sedangkan lahan non pertanian merupakan lahan yang dimanfaatkan untuk hal-hal diluar pertanian seperi pembangunan perumahan, industri, perusahaan, perkantoran dan fungsi diluar pertanian lainnya. Jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kategori lahan petanian meliputi: sawah, tegal, ladang, perkebunan. Kategori lahan non pertanian meliputi: permukiman, lapangan olah raga, stadion, hutan, waduk, telaga, danau, rawa. I.8.3. Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto dkk, 2001). Menurut Zuhri (2006), perubahan penggunaan lahan adalah berubahnya bentuk penggunaan lahan yang satu menjadi bentuk penggunaan lain yang dapat dibedakan sebagai berikut: a. Perubahan penggunaan lahan yang bersifat musiman yaitu perubahan lahan sebanyak dua kali atau lebih yang disebabkan oleh adanya penyesuaian dengan faktor musim. Perubahan jenis ini biasanya terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan. b. Perubahan penggunaan lahan yang bersifat permanen yaitu perubahan penggunaan lahan dalam periode waktu yang relative lebih lama. Perubahan jenis ini disebabkan oleh faktor perubahan alam atau karena faktor kehendak manusia itu sendiri. Contohnya penggunaan semula

8 8 lahan pertanian, setelah beberapa waktu kemudian lahan tersebut menjadi lahan pemukiman, industri dan lain sebagainya. Perubahan penggunaan lahan ini sesuai dengan tujuan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga perubahan penggunaan lahan yang terjadi sangat bervariasi. Perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam bidang fisik, yang berupa pemukiman sebagai tempat tinggal, perkantoran dan perindustrian sebagai tempat bekerja dan jenis penggunaan lainnya. (Parningotan, 2010). Terkait dengan meningkatnya kebutuhan lahan yang tinggi maka perubahan lahan yang terjadi semakin meningkat, untuk itu perlu dilakukan pemantauan. Menurut Supriyanti (2007), pemantauan perubahan penggunaan lahan merupakan suatu proses pengamatan ataupun pemonitoran terhadap lahan yang digunakan sebagai objek. Lahan diatur agar jumlahnya relatif tetap agar tidak menimbulkan konflik kepentingan untuk berbagai penggunaan. Dalam perencanaan pembangunan Indonesia acuan untuk penyusunan rencana tata ruang disusun berdasarkan konsep perencanaan mulai dari tingkat nasional hingga kabupaten atau kota. Berbagai jenis perubahan penggunaan lahan tersebut memerlukan perizinan dari dinas pemerintahan terkait seperti BPN dan Bappeda agar setiap perubahan tersebut dapat terkontrol dan tidak menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah setempat. Perubahan tersebut dituliskan oleh Bappeda dalam Data permohonan perizinan penggunaan tanah, sedangkan oleh BPN dituliskan dalam Izin Lokasi atau Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT). Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT) adalah izin yang diberikan kepada orang atau badan hukum yang memiliki dan menguasai tanah untuk merubah penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian sesuai dengan peruntukkannya dan rencana tata guna tanah. Sementara itu, izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan

9 9 tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Sebagai dasar hukum pelaksanaan izin lokasi adalah Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan National Nomor 2 tahun 1999 (Supriyanti, 2007). I.8.4. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Pola Ruang Wilayah I Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pengertian mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nganjuk Tahun adalah sebagai berikut (Anonim, 2011): 1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (Bab 1 pasal 1 angka 4). 2. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional (Bab 1 pasal 1 angka 8). 3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah rencana tata ruang bersifat umum dari wilayah kabupaten, yang merupakan penjabaran dari RTRW berupa rencana operasional pembangunan wilayah kabupaten sesuai dengan peran dan fungsi wilayah yang telah ditetapkan dalam RTRW yang akan menjadi landasan dalam pelaksanaan pembangunan di wilayah kabupaten (Bab 1 pasal 1 angka 31). 4. Lingkup muatan RTRW mencangkup: tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, penetapan kawasan stategis, arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, serta pengawasan penataan ruang. RTRW Kabupaten berlaku selama 20

10 10 (dua puluh) tahun dan akan ditinjau setiap 5 (lima) tahun sekali (Bab 1 pasal 2 ayat 2 dan 3). 5. Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah mewujudkan ruang wilayah Kabupaten Nganjuk sebagai pusat kawasan peruntukan pertanian di wilayah tengah pada wayah Provinsi Jawa Timur yang didukung dengan pengembangan kawasan peruntukan pariwisata, perdagangan, jasa dan industri yang berdaya saing (Bab 2 pasal 4). Dalam rencana penataan ruang wilayah kabupaten disebutkan bahwa struktur ruang wilayah digambarkan dengan perwujudan sistem pusat pelayanan terkait dengan sistem jaringan prasarana wilayah (Bab III pasal 7 ayat 1). Sistem pusat pelayanan tersebut meliputi sistem perkotaan dan pedesaan yang mencangkup (Bagian III pasal 9 ayat 1): 1. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. PKL tersebut berada di Perkotaan Nganjuk. 2. Pusat Kegiatan Lokal yang dipromosikan (PKLp) kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan yang dipromosikan yang kemudian hari akan ditetapkan sebagai PKL. Pusat kegiatan lokal yang dipromosikan meliputi Kecamatan Kertosono, Kecamatan Tanjunganom, Kecamatan Berbek, Kecamatan Rejoso dan Kecamatan Lengkong. 3. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) adalah kawasan perkotaan berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. PPK meliputi: Kecamatan Loceret, Kecamatan Pace, Kecamatan Sukomoro, Kecamatan Bagor, Kecamatan Wilangan, Kecamatan Baron, Kecamatan Prambon, Kecamatan Ngronggot, Kecamatan Sawahan, Kecamatan Ngetos, Kecamatan Gondang, Kecamatan Ngluyu, Kecamatan Patianrowo, dan Kecamatan Jatikalen.

11 11 4. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. Wilayah PPL meliputi: a. Desa Kebonagung dan Desa Margopatut Kecamatan Sawahan; b. Desa Blongko Kecamatan Ngetos; c. Desa Salamrojo Kecamatan Brebek; d. Desa Bajulan Kecamatan Loceret; e. Desa Kecubung dan Desa Plosoharjo Kecamatan Pace; f. Desa Kedungombo, Desa Sambirejo dan Desa Kedungrejo Kecamatan Tanjunganom; g. Desa Baleturi dan Desa Kurungrejo Kecamatan Prambon; h. Desa Klurahan Kecamatan Ngronggot; i. Desa Kudu Kecamatan Kertosono; j. Desa Ngepung dan Desa Babadan Kecamatan Patianrowo, k. Desa Katerban Kecamatan Baron; l. Desa Ngujung dan Desa Karangsemi Kecamatan Gondang; m. Desa Nglundo dan Desa Blitaran Kecamatan Sukomoro; n. Desa Selorejo, Desa Girirejo dan Desa Gemenggeng Kecamata Bagor; o. Desa Ngadipiro dan Desa Sudimoroharjo Kecamatan Wilangan;dan p. Desa Mlorah, Desa Ngadiboyo, Desa Sidokare, Desa Talun dan Desa Mungkung Kecamatan Rejoso. Selanjutnya untuk sistem jaringan prasarana wilayah teridiri atas (Bagian III pasal 10) : a. sistem jaringan transportasi, b. sistem jaringan energi; c. sistem jaringan telekomunikasi; d. sistem jaringan sumber daya air; dan e. sistem jaringan prasarana lingkungan.

12 12 Sistem jaringan transportasi berupa sistem jaringan transportasi darat yang terdiri atas jaringan jalan, jaringan jalur kereta api dan moda angkutan jalan (Bab III pasal 11 ayat 1 dan 2). Jaringan jalan yang dimaksud berdasarkan hirarki dan fungsi pelayanan, meiputi (bab III pasal 12 ayat 1): a. Jalan nasional sebagai jalan arteri primer dimaksud meliputi ruas; Surabaya Mojokerto Jombang Kertosono Nganjuk Caruban Ngawi Mantingan; b. Jalan provinsi sebagai jalan kolektor primer dimaksud meliputi ruas: 1. Nganjuk-Bojonegoro; 2. Kediri-Nganjuk;dan 3. Kertosono-Lengkong-Jatikalen merupakan jalan strategis Provinsi. c. Jalan kabupaten sebagai jalan kolektor dan lokal primer/sekunder, meliputi: 1. ruas jalan kolektor Loceret Tanjunganom Prambon Ngronggot Kelutan, Prambon Tanjunganom Baron, Guyangan Tiripan Candirejo, Nganjuk Rejoso Gondang Lengkong Jatikalen, Jalan masuk (Interchange) TOL Jombang Kertosono Nganjuk Ngawi dan rencana jalan lingkar Willis yang menghubungkan perbatasan Madiun Nganjuk sampai Perbatasan Kediri Nganjuk, jalan kolektor dalam kawasan perkotaan Nganjuk, jalan Loceret Berbek Sawahan; 2. ruas jalan Kertosono Trayang Banjarsari Kelutan merupakan jalan strategis kabupaten;dan 3. ruas jalan lokal antar kecamatan di wilayah Kabupaten Nganjuk dan jalan penghubung Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro.

13 13 d. Rencana pengembangan jalan bebas hambatan meliputi 1. Ngawi-Kertosono;dan 2. Kertosono-Mojokerto. I Rencana Pola Ruang Wilayah Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten adalah rencana distribusi peruntukan ruang wilayah kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budidaya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW Kabupaten 20 (dua puluh) tahun yang dapat memberikan gambaran pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya perencanaan 20 (dua puluh) tahun (Bab I pasal 1 angka 30). Pada Rencana Pola Ruang disebutkan bahwa wilayah akan terbagi menjadi dua yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya (Bab IV Pasal 17 ayat 1). Kawasan budidaya yang dimaksud terdiri atas: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perikanan; e. kawasan peruntukan pertambangan; f. kawasan peruntukan industri; g. kawasan peruntukan pariwisata; h. kawasan peruntukan permukiman; dan i. kawasan peruntukan lainnya. Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud, terdiri atas (Bab IV Pasal 31 ayat 1 dan 2): a. industri sedang sampai besar; dan b. industri kecil dan rumah tangga.

14 14 Kawasan peruntukan Industri sedang sampai besar sebagaimana dimaksud adalah industri yang mempunyai skala produksi regional sampai nasional dan ekspor dengan jenis industri permesinan dan alat angkutan,listrik dan elektronika, tekstil, pengolahan bahan galian bukan logam, kertas, tekstil, jasa, dan industri lainnya, ditetapkan lokasinya di sepanjang koridor jalan arteri mulai dari kawasan Kecamatan Kertosono, Kecamatan Baron, sebagian kawasan Kecamatan Tanjunganom, Kecamatan Sukomoro, Kecamatan Nganjuk, Kecamatan Bagor, Kecamatan Wilangan. Koridor jalan kolektor terletak di kawasan Kecamatan Nganjuk, Kecamatan Rejoso, Kecamatan Gondang, Kecamatan Lengkong, Kecamatan Jatikalen, Kecamatan Patianrowo, Kecamatan Loceret, dan Kecamatan Pace. Kawasan peruntukan industri kecil dan rumah tangga sebagaimana dimaksud terdiri dari jenis industri makanan, minuman, dan kerajinan dengan lokasi terletak tersebar permukiman pada koridor jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal maupun jalan lingkungan di seluruh kecamatan di wilayah kabupaten. I.8.5. Lahan Industri Lahan Industri merupakan lahan yang digunakan oleh suatu badan hukum, badan usaha milik swasta, maupun badan usaha milik negara sebagai tempat untuk kegiatan komersil, produksi, perakitan, dan maintenance (Ritohardoyo, 2002). Menurut Jayadinata (1999), pembangunan industri di Indonesia ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, meratakan kesempatan berusaha, dan meningkatkan ekspor dan menghemat devisa, menunjang pembangunan daerah dan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pembangunan industri dilakukan dalam jangka panjang untuk mencapai struktur ekonomi yang lebih kokoh, dan keadaan pertanian dan industri yang lebih seimbang. Berbagai jenis industri di Indonesia banyak berkembang di bidang industri makanan, industri tekstil (katun, wol, goni, dll), industri kimia (pupuk, cat, pastik,

15 15 dll), dan industri lain seperti peralatan rumah tangga, barang elektronik, barang dari kulit, karet dan lain sebagainya. Semua industri tersebut memerlukan lahan sebagai lokasi pembangunan industri tersebut. Dalam penggunaan lahan untuk industri dapat digunakan standar luas yang meliputi tanah untuk pabrik, garasi, gudang, ruang makan, dan ruang terbuka lainnya yang dihitung dengan satuan luas meter persegi atau hektar (Jayadinata, 1999). I.8.6. Peta dan Kartografi Peta adalah suatu penyajian grafis dari seluruh atau sebagian muka bumi pada suatu skala peta dan sistem proyeksi peta tertentu. Peta menyajikan unsur-unsur di muka bumi dengan cara memilih, menseleksi atau mengenarilasasi sesuai dengan maksud dan tujuan dari pembuatan peta tersebut (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Peta dapat diklasifikasikan berdasarkan empat segi (Riyadi, 1994), yaitu : 1. Jenis peta Berdasarkan jenisnya, peta dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : a. Peta foto, yaitu peta yang dihasilkan dari mosaik foto udara atau orhofoto yang dilengkapi dengan garis kontur, nama dan legenda. b. Peta garis, yaitu peta yang menyajikan detil alam dan detil buatan manusia dalam bentuk simbol titik, garis dan area. c. Peta digital, yaitu peta yang merupakan konversi dalam bentuk digital (angka) yang tersimpan dalam komputer. 2. Skala peta Skala merupakan perbandingan antara jarak di peta dan jarak sesungguhnya di lapangan (di permukaan bumi). Macam skala dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: skala numeris (misalnya 1 : ), skala grafis (berbentuk garis atau bar), dan skala verbal (misalnya 30 cm = 150 km). Besar skala juga terbagi menjadi tiga, yaitu: peta skala besar (skala 1 : atau lebih besar), peta skala menengah (skala antara 1 : : ) dan peta skala kecil (skala antara 1 : atau lebih kecil). 3. Fungsi peta

16 16 Peta mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: a. Menunjukkan posisi atau lokasi suatu tempat di permukaan bumi. b. Memperlihatkan ukuran jarak maupun luas suatu tempat di permukaan bumi. c. Memperlihatkan bentuk detil dipermukaan bumi, misalnya: gunung, sungai, jalan dan lain sebangainya. d. Mengumpulkan dan menyeleksi data dari suatu daerah dan menyajikannya di atas peta. 4. Maksud dan tujuan peta Tujuan peta diantaranya: a. Untuk komunikasi tentang informasi spasial (ruang). b. Untuk menyimpan informasi. c. Digunakan untuk membantu pekerjaan di bidang konstruksi, misalnya pembuatan dan perbaikan jalan, navigasi, perencanaan dan lain-lain. d. Digunakan untuk membantu dalam perancangan suatu pekerjaan, misalnya tata kota, tata guna lahan dan lain sebagainya. e. Untuk analisis data spasial, misalnya perhitungan luas, volume tanah galian dan timbunan, kemiringan lahan atau tanah dan lain sebagainya. Berdasarkan fungsi peta, maka jenis peta dapat dibedakan menjadi tiga (Soendjojo dan Riqqi, 2012), yaitu: a. Peta Topografi Peta topografi menyajikan gambaran umum mengenai muka bumi seperti jalan, sungai, rumah, relief, batas administrasi, vegetasi alami dan nama-nama berbagai objek yang dipetakan. b. Peta Tematik Peta tematik adalah suatu bentuk peta yang menyajikan unsur-unsur tertentu dari permukaan bumi sesuai dengan topik atau tema dari peta

17 17 bersangkutan. Unsur-unsur yang disajikan pada peta tematik dapat berupa diagram proposional, ringkasan distribusi kuantitatif, simbol titik kuantitatif yang mewakili data pasti dari sejumlah variabel, distribusi kualitatif dari fenomena spesifik dan relasinya, garis-garis yang menghubungkan harga numeric untuk distribusi yang kontinyu, perbedaan garis atau warna yang memperlihatkan arah atau frekuensi pergerakan. Untuk dapat menyajikan unsur-unsur tersebut dengan baik, setiap peta tematik memerlukan informasi topografi sebagai peta dasarnya. Contoh dari peta tematik adalah peta tata guna lahan, peta geologi, peta jumlah penduduk, peta kepadatan penduduk, peta penyebaran penduduk, peta tanah, peta isobar dan peta jalur penerbangan. Peta tematik umumnya digunakan sebagai data analisis dari beberapa unsur permukaan bumi didalam pengambilan suatu keputusan untuk pembangunan. Adanya teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) mempermudah pembuatan peta tematik, karena produk SIG umumnya dalam bentuk peta tematik. c. Chart Chart menyajikan unsur-unsur daratan dan lautan untuk keperluan keselamatan layanan navigasi, contohnya peta navigasi laut (nautical chart) dan peta navigasi udara (aeronautical chart). Kartografi adalah seni, ilmu dan teknik pembuatan peta, dimana lingkup pekerjaan kartografi (Riyadi, 1994), meliputi : 1. Seleksi data untuk pemetaan. 2. Manipulasi dan generalisasi data. 3. Perencanaan (desain) simbol-simbol dan tata letak peta (map lay out). 4. Teknik reproduksi. 5. Revisi peta.

18 18 Kartografi merupakan disiplin ilmu tua dan muda, disebut sebagai disiplin ilmu tua karena kartografi bisa berarti ekspresi, di mana peta pada masa lampau digunakan sebagai alat komunikasi yang bertahan hingga sekarang. Kartografi disebut sebagai disiplin ilmu muda karena ilmu kartografi telah menjadi subjek dari revolusi inovasi dan teknologi yang terjadi saat ini. Komunikasi tentang informasi spasial melalui peta berarti bahwa dengan melihat atau membaca simbol-simbol dalam suatu peta, maka pengguna peta dapat memahami peta tersebut. Simbol kartografi yang digunakan mewakili data spasial muka bumi pada suatu peta sangatlah penting untuk membedakan data spasial yang akan disajikan (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Berdasarkan ciri-cirinya, simbol kartografi dapat diklasifikan menjadi tiga (Riyadi, 1994), yaitu : 1. Simbol titik Simbol titik digunakan untuk menunjukkan posisi atau lokasi dan identitas dari unsur yang diwakilinya. Aspek skala sangat penting penyajian simbol titik, untuk menggambarkan sebuah kota dengan simbol titik pada skala 1 : dapat diwakilkan dalam bentuk titik, tetapi pada skala 1:1000 kota tidak mungkin diwakilkan dengan sebuah titik. Contoh lain dari simbol titik ini adalah untuk menggambarkan titik triangulasi, gereja, masjid dan lain sebagainya. 2. Simbol garis Simbol garis digunakan jika unsur yang diwakilinya berbentuk garis. Sebagai contoh untuk mewakili jalan, sungai, rel kereta api dan lain sebagainya. 3. Simbol area Simbol area digunakan untuk menampilkan unsur-unsur yang berhubungan dengan suatu luasan. Seperti pada simbol titik, simbol area juga tergantung pada skala petanya. Simbol area ini dibuat harus memperhatikan bentuk dan isi area, sehingga simbol area tersebut dapat mewakili unsur-unsur di permukaan bumi yang akan digambarkan pada peta, misalnya: simbol yang

19 19 mewakili satuan tanah, satuan tata guna tanah, propinsi, Kabupaten, Negara dan lain sebagainya. Tabel I. 1 Contoh simbolisasi kartografi Titik Garis Area Sekolah Sungai Danau Bandara Batas Pertanian Kabupaten Jalan Perkebunan (Sumber: Soendjojo dan Riqqi, 2012)

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NGANJUK TAHUN

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NGANJUK TAHUN BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NGANJUK TAHUN 2010-2030 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang: a.

Lebih terperinci

LAMPIRAN III : PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2011 TANGGAL 10 JANUARI 2011

LAMPIRAN III : PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2011 TANGGAL 10 JANUARI 2011 LAMPIRAN III : PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN TANGGAL 10 JANUARI INDIKASI PROGRAM RTRW KABUPATEN NGANJUK TAHUN - WAKTU PELAKSANAAN A B I LEGALISASI RAPERDA RTRW PERWUJUDAN STRUKTUR RUANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI NGANJUK NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA PERANGKAT DAERAH KABUPATEN NGANJUK Menimbang DENGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR LAMPIRAN I iv DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN NGANJUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

FORMAT SURAT KEPUTUSAN MENTERI, KEPUTUSAN GUBERNUR, DAN KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA TENTANG PENETAPAN PELAKSANAAN PENINJAUAN KEMBALI

FORMAT SURAT KEPUTUSAN MENTERI, KEPUTUSAN GUBERNUR, DAN KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA TENTANG PENETAPAN PELAKSANAAN PENINJAUAN KEMBALI LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN KEMBALI RENCANA TATA RUANG WILAYAH FORMAT SURAT KEPUTUSAN MENTERI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

BAB 3 POTENSI DAN KONDISI LOKASI

BAB 3 POTENSI DAN KONDISI LOKASI BAB 3 POTENSI DAN KONDISI LOKASI 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Boyolali 3.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 110 22'

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Konsep Kartografi (Konv ensional)

Konsep Kartografi (Konv ensional) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember www.geomatika.its.ac.id Konsep Kartografi (Konv ensional) Lalu Muhamad Jaelani, ST, MSc IR. Yuwono MS

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan. daya alam dan manusia serta memperluas lapangan pekerjaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan. daya alam dan manusia serta memperluas lapangan pekerjaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka menggali potensi lahan daerah kabupaten wilayah Lampung Tengah, Lampung Timur, dan Lampung Selatan, maka dibuat peta lahan investasi pada daerah tersebut.

Lebih terperinci

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN Bab ini menjelaskan aspek-aspek yang dianalisis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan data (time-series) serta peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 61 TAHUN 2006 TENTANG PEMANFAATAN RUANG PADA KAWASAN PENGENDALIAN KETAT SKALA REGIONAL DI PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota ma 8upun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN PENENTUAN POSISI POTENSI DESA

PEMETAAN DAN PENENTUAN POSISI POTENSI DESA 10 PEMETAAN DAN PENENTUAN POSISI POTENSI DESA Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan : PEMETAAN DAN PENENTUAN POSISI POTENSI DESA Waktu : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan (selama 100 menit). Tujuan

Lebih terperinci

Dasar-dasar Pemetaan Pemahaman Peta

Dasar-dasar Pemetaan Pemahaman Peta SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN Kuliah Minggu ke 2 Dasar-dasar Pemetaan Pemahaman Peta Sudarto Lab Pedologi dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan OUTLINE 1 Pengertian Peta 2 Pemahaman dan Fungsi Peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun )

III. GAMBARAN UMUM. 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun ) III. GAMBARAN UMUM 3.1 Cikarang dalam RTRW Kabupten Bekasi 2011-2031 (Perda No 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031) Berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MAUTONG TAHUN 2008 DAN 2013

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MAUTONG TAHUN 2008 DAN 2013 PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MAUTONG TAHUN 2008 DAN 2013 NILUH RITA AYU ROSNITA A 351 09 044 JURNAL PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

Materi : Bab II. KARTOGRAFI Pengajar : Ir. Yuwono, MS

Materi : Bab II. KARTOGRAFI Pengajar : Ir. Yuwono, MS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) TEKNIS PENGUKURAN DAN PEMETAAN KOTA Surabaya, 9 24 Agustus 2004 Materi : Bab II. KARTOGRAFI Pengajar : Ir. Yuwono, MS FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

pertambangan. Seperti contohnya perubahan lahan menjadi lahan pertambangan. Berdasarkan hasil penelitian Hermansyah (1999), tanah bekas tambang emas

pertambangan. Seperti contohnya perubahan lahan menjadi lahan pertambangan. Berdasarkan hasil penelitian Hermansyah (1999), tanah bekas tambang emas BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Jaringan jalan merupakan salah satu prasarana untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Berlangsungnya kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5393) PERATURAN

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, baik pulau-pulau kecil maupun pulau-pulau besar. Indonesia adalah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi.

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. III.1.3. Kondisi Ekonomi Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, perhitungan PDRB atas harga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri Primer Tohpati-Kusamba Terhadap Penggunaan Lahan di Desa Gunaksa Kecamatan Dawan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang luas, terdiri atas sepertiga wilayah daratan dan dua pertiga wilayah lautan. Untuk membangun Negeri Indonesia yang besar dan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui adalah sumber daya lahan. Sumber daya lahan sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui adalah sumber daya lahan. Sumber daya lahan sangat penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia sekarang masih tergolong tinggi berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu 1,49 % per tahun, akibatnya diperlukan usaha

Lebih terperinci

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH P erpustakaan Anak di Yogyakarta BAB 3 TINJAUAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah atau lahan memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Manusia membutuhkan lahan untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal serta melakukan aktivitasnya

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Yogyakarta, Desember Tim Penyusun. Buku Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi BWP Sedayui

Kata Pengantar. Yogyakarta, Desember Tim Penyusun. Buku Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi BWP Sedayui Kata Pengantar Kabupaten Bantul telah mempunyai produk Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul yang mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007. Produk Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi Ketentuan Umum 2.1. Istilah dan Definisi Penyusunan RDTR menggunakan istilah dan definisi yang spesifik digunakan di dalam rencana tata ruang. Berikut adalah daftar istilah dan definisinya: 1) Ruang adalah

Lebih terperinci

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH BAB 3 TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM KABUPATEN GROBOGAN Tinjauan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai lokasi terbangun dan kawasan sekitar lokasi. TINJAUAN GEOGRAFI DAN ADMINISTRATIF KABUPATEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

L E M B A R A N D A E R A H

L E M B A R A N D A E R A H L E M B A R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN TAHUN 2004 NOMOR 1 SERI E NO. SERI 1 P E R A T U R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Salah satu dari sekian banyak sumber daya alam yang diciptakan oleh Allah SWT untuk kelangsungan hidup manusia adalah tanah atau lahan. Pengertian tanah menurut Sumaryo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011-2031 I. UMUM Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses berkembangnya suatu kota baik dalam aspek keruangan, manusia dan aktifitasnya, tidak terlepas dari fenomena urbanisasi dan industrialisasi. Fenomena seperti

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

Home : tedyagungc.wordpress.com

Home : tedyagungc.wordpress.com Email : tedyagungc@gmail.com Home : tedyagungc.wordpress.com Subagyo 2003, Permukaan bumi merupakan suatu bidang lengkung yang tidak beraturan, sehingga hubungan geometris antara titik satu dengan titik

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

MATA KULIAH PEMBUATAN PETA TEMATIK. Dr. Sumi Amariena Hamim, ST, MT

MATA KULIAH PEMBUATAN PETA TEMATIK. Dr. Sumi Amariena Hamim, ST, MT MATA KULIAH PEMBUATAN PETA TEMATIK Dr. Sumi Amariena Hamim, ST, MT Pengertian Peta Erwin Raisz (1948), Gambaran konvensional dari permukaan bumi seperti kenampakannya kalau dilihat tegak lurus dari atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA. a. Berdasarkan Wujudnya

GEOGRAFI. Sesi PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA. a. Berdasarkan Wujudnya GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 02 Sesi NGAN PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA Semua objek dalam peta ditampilkan dalam bentuk simbol. Artinya, simbol peta mewakili objek baik objek fisik maupun

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI I. UMUM Di dalam undang-undang no 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang, dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

Lebih terperinci

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Nganjuk tahun 2013 sebanyak rumah tangga

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Nganjuk tahun 2013 sebanyak rumah tangga Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Nganjuk tahun 2013 sebanyak 165.895 rumah tangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Indonesia Tahun 2013 sebanyak 11 Perusahaan Jumlah perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG Cepu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Blora yang memiliki prospek perkembangan menjadi pusat pengelolaan minyak dan gas Blok Cepu. Untuk mendukung hal itu diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci