BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Transkripsi

1 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Representasi Sosial Representasi sosial merupakan suatu teori yang dirintis oleh pemikiran seorang peneliti Psikologi Sosial, Serge Moscovici, sehingga teori representasi sosial berada di bawah teori besar psikologi sosial. Menurut Hollander (1981) dalam Pidarta (2007), psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu. Jodelet (2005) dalam Putera dkk (2009) menjelaskan istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pikiran umum (common sense). Pikiran umum adalah cara berpikir rasional yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok yang sama melalui komunikasi sehari-hari (Putera dkk, 2009). Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core. Karakteristik (central core) unsur utama yaitu bersifat lebih stabil dan tidak mudah untuk berubah. Karakteristik (periphery) yaitu sebagai pelengkap dari unsur utama, paling mudah berubah. Jika kita ingin merubah representasi sosial maka harus merubah central core. Representasi sosial ini membentuk suatu pengetahuan yang akan menentukan persepsi dan pikiran seseorang tentang suatu kenyataan dan akan mempengaruhi tindakan yang individu lakukan, yang mana representasi sosial ini dibentuk dari suatu proses komunikasi dan interaksi yang terjadi pada antara individu dan dibagikan secara kolektif (Johar, 2011). Selain itu, Gunawan (2003) menyebutkan bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang.

2 6 Sesuai dengan pernyataan Abric (1989) sebagaimana dikutip oleh Pandjaitan (2010):... Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku adalah representasi sosial yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Berdasarkan sejumlah eksperimen yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa tingkah laku para subyek ataupun kelompok tidaklah didasari oleh karakteristik obyektif dari suatu situasi melainkan oleh representasi mereka atas situai tersebut.... (Abric, 1989, seperti dikutip Padjaitan 2010). Kesimpulannya adalah representasi sosial akan membentuk pemahaman dan perilaku seseorang terhadap suatu objek. Jadi representasi sosial sebenarnya memperkenalkan adanya sintesis yang baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Hal tersebut menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut. a. Fungsi Representasi Sosial Moscovici (1973) dalam Adriana (2009) menyebutkan bahwa representasi sosial memiliki dua fungsi sekaligus, antara lain: 1. Representasi sosial berfungsi sebagai tata aturan bagi individu untuk menyesuaikan diri dan memahami (serta menguasai keadaan pada lingkungan fisik ataupun lingkungan sosialnya. 2. Selain itu, representasi sosial juga dapat memungkinkan terjadinya aktivitas pertukaran sosial mereka, dan sebagai kode untuk menamai serta mengklasifikasikan dengan jelas berbagai macam aspek pada lingkungan, kesejahteraan individu dan kesejarahan kelompoknya. Bergman (1998) dalam Wesman (2011) juga menyatakan bahwa teori sosial terlihat pada pemikiran subyektif seseorang individu yang menciptakan sebuah kenyataan dari kenyataan yang tidak diketahui sebelumnya. Oleh sebab itu, representasi sosial memiliki fungsi sebagai alat untuk memberikan arti bagi setiap istilah yang asing atau abstrak bagi mereka.

3 7 b. Pembentukan Representasi Sosial Menurut Moscovici (1984) dalam Deaux dan Philogene (2001) representasi sosial tersebut dibentuk melalui dua buah proses, yaitu anchoring dan objectifying. 1. Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu. 2. Objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan juga dipengaruhi oleh efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas obyek tersebut. c. Pengukuran Representasi Sosial Pengukuran suatu representasi sosial dapat dilakukan melalui beberapa metode, di antaranya: percobaan, kuesioner, asosiasi kata, dan metode diferensiasi semantik. Dalam Wagner dan Hayes (2005) sebagaimana dikutip oleh Johar (2011) dikatakan bahwa pada percobaan, variabel percobaan yang digunakan adalah variabel terikat dan bukan variabel bebas. Percobaan pada proses representasi sosial mengungkapkan struktur, organisasi, dan komponen tindakan individu, serta tidak bersifat universal tergantung pada populasi yang digunakan. Selain itu, Wagner dan Hayes (2005) dalam Johar (2011) juga mengatakan bahwa pada asosiasi kata, representasi dilihat dari penghitungan kata-kata stimulus mengenai suatu objek yang dinyatakan oleh para subjek. Pada asosiasi kata, para subjek akan memberikan secara spontan jawaban atau pandangan nya dari suatu objek yang diberikan dan mereka diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mereka membaca kata mengenai objek tersebut. Selanjutnya, kata-kata yang didapatkan dari subjek diurutkan mulai dari kata-kata yang paling menggambarkan objek sampai kata-

4 8 kata yang kurang menggambarkan objek yang akan diukur representasinya (Nadra, 2010). Pada penelitian ini, responden hanya diminta untuk menyebutkan minimal satu kata yang dianggap paling mewakili objek penelitian, yaitu TPI Cituis. Hal ini dilakukan karena responden menemukan kesulitan ketika diminta untuk menyebutkan lima kata untuk mewakili TPI Cituis. Skala Likert digunakan untuk mengukur elemen sikap dan keyakinan dalam representasi sosial Nelayan Menurut Imron (2003) sebagaimana dikutip oleh Mulyadi (2007), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau pun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Menurut Mulyadi (2007), nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi. Berikut adalah tingkatannya: 1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada kebutuhan sendiri (subsisten), nelayan ini mengalokasikan hasil jual tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bukan diinvestasikan untuk pengembangan skala usaha. 2. Post-fisher yaitu nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkap ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor semakin membuka peluang nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan

5 9 tersebut karena mempunyai daya tangkap yang lebih besar. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. 3. Commercial-fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar dan dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dan dicirikan dengan status tenaga kerja yang beragam, dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan lebih modern sehingga diperlukan keahlian tersendiri dalam pengoperasiannya. 4. Industrial-fisher, ciri nelayan industri menurut Pollnac (1988) dalam Satria (2002) adalah: a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan argoindustri di negara-negara maju; b. Secara relatif lebih padat modal; c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi daripada perikan serderhana, baik untuk pemilik maupun awak kapal; dan d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan yang menjadi sasaran TPI sendiri sepertinya terbatas kepada nelayan tradisional (peasant-fisher) dan post-fisher. Kepemilikan alat tangkap dapat menunjukkan tingkat pendapatan seorang nelayan. Pendapatan yang berbeda akan menghasilkan pola pikir yang berbeda dalam memandang suatu kebutuhan. Hanson (1984) dalam Amanah dkk (2005) menyatakan bahwa masyarakat pesisir seringkali memiliki kesempatan yang lebih rendah dalam mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan pemenuhan sarana produksi usahanya sehingga terkadang kondisi sosial ekonominya relatif masih rendah Tempat Pelelangan Ikan Menurut Biro Pusat Statistik (Sensus Pertanian 1993), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan, dan di tempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara lelang maupun tidak (tidak termasuk TPI yang menjual/melelang ikan darat). Biasanya Tempat Pelelangan Ikan ini dikoordinasi oleh Dinas Perikanan atau Pemerintahan Daerah. Tempat Pelelangan Ikan tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) tempat tetap (tidak berpindah-pindah); (b) mempunyai

6 10 bangunan tempat transaksi penjualan ikan; (c) ada yang mengkoordinasi prosedur lelang/penjualan; (d) mendapat izin dari instansi yang berwenang (Dinas Perikanan/Pemerintah Daerah). TPI merupakan pusat dari seluruh kegiatan perikanan, yang mengumpulkan semua hasil tangkapan untuk dijual melalui sistem lelang (Direktorat Jenderal Perikanan (1981) dalam Yunizar, Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989) mengatakan bahwa secara umum pelelangan ikan diartikan sebagai suatu metode transaksi di pusat produksi yang diselenggarakan di TPI antara nelayan dan bakul dengan tujuan agar dapat diperoleh harga yang wajar serta pembayaran secara tunai kepada nelayan. Berdasarkan Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 139 Tahun 1997; 902/Kpts/PL.420/9/97; 03/SKB/M/IX/1997 tertanggal 12 September 1997 tentang penyelengaraan tempat pelelangan ikan, bahwa yang disebut dengan Tempat Pelelangan Ikan adalah tempat para penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli ikan melalui pelelangan dimana proses penjualan ikan dilakukan di hadapan umum dengan cara penawaran bertingkat (Pramitasari, 2005). a. Fungsi Tempat Pelelangan Ikan Fungsi TPI menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1985) sebagaimana dikutip Yunizar (1989) adalah sebagai: 1. Tempat pelelangan; 2. Tempat menyortir, mencuci, dan menimbang sebelum ikan dilelang; 3. Tempat pengepakkan sebelum ikan dikirim ke daerah pemasaran. TPI pada hakekatnya adalah pasar induk dari segi institusi. Manfaat dari pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Adi (1995) adalah sebagai berikut: 1. Sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan; 2. Sebagai sumber data statistik yang akurat baik untuk keperluan perencanaan pembangunan maupun pengelolaan kelestarian sumber daya perikanan;

7 11 3. Sebagai sarana melepaskan ketergantungan nelayan kepada pemilik modal dan penghapusan sistem ijon; 4. Sebagai sarana pembinaan mutu hasil perikanan sekaligus pengaturan harga yang layak bagi konsumen; 5. Sebagai sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah yang sekaligus dapat melakukan fungsi kontrol terhadap penghimpunan dan penggunaan dana retribusi. Pada pelaksanaan pelelangan ikan juga terdapat hambatan-hambatan, berikut adalah hambatan pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989), antara lain: 1. Belum dilakukannya sistem lelang dengan penawaran terbuka dan bebas, sehingga banyak merugikan nelayan; 2. Administrasi pengelolaan dan pengawasan pelelangan belum berjalan sempurna; 3. Petugas-petugas TPI umumnya masih belum memiliki persyaratan (job qualification) untuk pelaksanaan tugasnya; 4. Pelelangan ikan banyak didominasi oleh pedagang-pedagang ikan yang juga adalah tengkulak-tengkulak atau pelepas uang; 5. Praktek-praktek penjualan ikan di tengah laut masih banyak terjadi; 6. Hasil tangkapan nelayan kecil, sering tidak dijual di TPI karena adanya pembatasan jumlah minimal ikan yang boleh dilelang; 7. Pembayaran harga ikan kepada nelayan tidak secara tunai; 8. KUD sebagai pelaksana pelelangan ikan kebanyakan belum mampu melaksanakan tugasnya terutama untuk menjamin berlangsungnya penawaran secara bebas dan terbuka; 9. Sarana-sarana pemasaran seperti: penyediaan es, cool box, cool room, dan sebagainya, khususnya di PPI banyak yang belum memadai; 10. Banyak Pemerintah Daerah Tingkat I lebih mengutamakan TPI sebagai sumber pendapatn, sehingga melupakan sebagai fungsi pokok TPI sebagai sarana untuk mengusahakan harga yang layak dan pembayaran secara tunai kepada nelayan.

8 12 b. Karakteristik Tempat Pelelangan Ikan Tempat Pelelangan Ikan idealnya memiliki fasilitas yang baik agar dapat mendukung fungsinya secara optimal. Sarana seperti tempat penyediaan es, cool box, dan cool room seharusnya telah dapat terpenuhi mengingat fokus dari TPI adalah ikan yang merupakan komoditas yang cepat rusak. Kelengkapan fasilitas pada suatu TPI adalah karakter dari masing-masing TPI, karena ternyata tidak semua TPI telah memiliki fasilitas yang memadai. Karakter lain yang dapat dilihat pada suatu TPI adalah letaknya. TPI yang baik adalah TPI yang letaknya berdekatan dengan PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan) sehingga ketika nelayan pulang dari melaut dapat langsung membawa hasil tangkapannya ke TPI. Hal ini tentu saja akan sangat mengefisienkan waktu dan tenaga para nelayan. TPI adalah tanggung jawab dari pemerintahan daerah sehingga dapat terjadi perbedaan kebijakan antara TPI yang satu dengan TPI yang lainnya atau bergantung kepada kebijakan pemerintahan daerah tempat TPI tersebut berdiri. Dengan demikian kebijakan yang berlaku pada suatu TPI dapat dikategorikan sebagai karakteristik TPI. Perbedaan kebijakan ini dapat terlihat misalnya pada pengimplementasian biaya retribusi dan sistem lelang yang belaku Hubungan Patron-Klien Salah satu ciri dari masyarakat nelayan adalah adanya hubungan patronklien. Ikatan patron-klien muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan nelayan akan jaminan atas kelancaran kegiatan pencarian nafkah mereka. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan menjalin sebuah hubungan patron-klien dengan seorang tengkulak. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka (Satria, 2002).... Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang berat, mengandung resiko dimana penghasilannya tidak menentu. Kondisi alam (musim/cuaca) mempengaruhi kondisi perekonomian para nelayan. jika perbedaan musim dan cuaca yang tidak memungkinkan kegiatan penangkapan ikan maka akan berdampak pada putusnya sumber penghasilan nelayan. situasi yang demikian maka para nelayan terpaksa melakukan pinjaman atau kredit, berhutang barang kebutuhan pokok yang harganya jauh lebih tinggi dari biasanya.... (Layn, 2008).

9 13 Scot (1972) dalam Layn (2008) menyatakan hubungan patron-klien merupakan suatu kasus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status sosial lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron. Ketidakseimbangan pertukaran pada hubungan patron-klien dapat dengan mudah ditemukan. Ketidakseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti barang dan jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikan. Namun dalam pandangan individu yang terlibat dalam hubungan patron-klien pertukaran yang mereka lakukan dapat saja dianggap seimbang. Gouldner (1977) dalam Layn (2008) menyatakan bahwa equivalence dapat berarti bahwa, apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya namun sama nilainya menurut pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh berbagai macam faktor, misalnya kebutuhan penerima saat pemberian diberikan, semakin tinggi nilai pemberian baginya makin besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Keseimbangan ini sering disebut denga heteromorphic reciprocity. Menurut Mulyadi (2007), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang secara konseptual disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan hasil, ternyata belum optimal. Kendala yang dihadapi TPI dalam mengundang nelayan untuk menggunakan fasilitas yang tersedia ternyata terjadi karena alasan sosiologis di mana nelayan telah menjalin hubungan dengan tengkulak dalam suatu hubungan patron-klien, yaitu tengkulak memberikan fasilitas kredit kepada nelayan. Sebaliknya nelayan memiliki kewajiban untuk menjual hasil tengkapannya kepada tengkulak. 2.2 Kerangka Pemikiran Representasi sosial tentang TPI pada nelayan dipengaruhi oleh faktor internal (karakteristik individu nelayan) dan faktor eksternal. Karakteristik individu meliputi status nelayan, jenis alat tangkap yang digunakan, tingkat

10 14 pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat usia dan tingkat pengalaman. Faktor eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini berasal dari TPI sendiri yaiu karakteristik dari TPI Cituis dan faktor eksternal lain yang berasal dari kehidupan sosial ekonomi nelayan, yaitu hubungan patron-klien antara tengkulak dan nelayan. Karakteristik TPI yang diduga dapat mempengaruhi representasi sosial nelayan terhadap TPI, antara lain: kelengkapan fasilitas, letak, sistem lelang, sistem retribusi dan pegawai dari TPI tersebut. Tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan dapat dilihat dari frekuensi mengikuti kegiatan lelang, persentasi jumlah ikan yang dilelang dari hasil tangkapan, dan kegiatan yang diikuti nelayan di TPI selain dari kegiatan lelang. Representasi sosial tentang TPI pada nelayan adalah sejumlah imej, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai TPI yang ada pada nelayan. Representasi sosial berarti pemahaman bersama tentang suatu hal di kelompok tertentu yang di dalamnya terdiri dari informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap. Nelayan dapat berkomunikasi satu sama lain tentang TPI melalui informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap mereka. Komunikasi tersebut akan menghasilkan suatu pengetahuan sosial tentang TPI yang hampir sama di antara nelayan. Representasi sosial merupakan suatu pandangan fungsional yang membiarkan individu atau kelompok memberikan makna atau arti terhadap tindakan yang dilakukannya, untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap realitas tersebut. Maka representasi sosial individu mengenai suatu hal akan mempengaruhi perilaku individu terhadap hal tersebut. Jadi, representasi sosial tentang TPI pada nelayan akan mempengaruhi perilaku nelayan. Namun pada penelitian ini tidak akan mengkaji mengenai tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan karena berada di luar tujuan penelitian. Penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

11 15 Faktor Internal Karakteristik Nelayan: 1. Jenis alat tangkap 2. Status nelayan 3. Tingkat pendapatan 4. Tingkat pendidikan 5. Tingkat pengalaman 6. Tingkat usia Faktor Eksternal Tingkat interaksi dengan tengkulak (hubungan patronklien) Karakteristik TPI: 1. Fasilitas TPI 2. Letak TPI 3. Sistem retribusi 4. Sistem lelang Representasi Sosial tentang TPI pada Nelayan Elemen: 1. Informasi 2. Sikap 3. Opini 4. Keyakinan Tingkat Pemanfaatan TPI oleh Nelayan Keterangan Gambar: : hubungan : batas penelitian Gambar 1. Kerangka Pemikiran Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan 2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang menggunakan alat tangkap gardan dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring rampus. 2. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang berstatus nelayan buruh, nelayan perorangan dan nelayan juragan. 3. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendapatan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

12 16 4. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendidikan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 5. Terdapat hubungan positif nyata pada pengalaman nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 6. Terdapat hubungan positif nyata pada usia nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 7. Terdapat hubungan negatif nyata pada tingkat interaksi nelayan dengan tengkulak terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI. 2.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Berdasarkan variabel-variabel yang terdapat pada kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka definisi operasionalnya adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik Nelayan adalah berbagai karakter yang terdapat pada responden dan bersifat personal. 1) Usia adalah jawaban responden tentang lama hidup responden sampai ketika diwawancarai. Usia dikategorikan menjadi tiga kategori yang mengurutkan tingkat usia responden dari yang paling muda hingga yang paling tua. Berikut batasan pada tiap kategori: a. Muda = -½ standar deviasi (x < 32 tahun) Skor = 0 b. Sedang = - ½ standar deviasi x + ½ standar deviasi (32 x 40 tahun) Skor = 1 c. Tua = +½ standar deviasi (x > 40 tahun) Skor = 2 2) Tingkat pendidikan adalah jawaban responden tentang pendidikan terakhir yang telah mereka capai. Kategorinya adalah sebagai berikut: a. tidak sekolah b. SD / sederajat c. SMP / sederajat d. SMA / sederajat e. PT / sederajat

13 17 Namun pada saat penelitian, tingkat pendidikan responden tidak terlalu heterogen dehingga pengkategoriannya diubah sesuai data yang terkumpul saat penelitian, yaitu: a. Tidak sekolah Skor = 0 b. SD Skor = 1 c. > SD Skor = 2 3) Tingkat pendapatan adalah jawaban responden tentang jumlah uang yang mereka dapatkan dari hasil menangkap ikan setiap bulannya. Kategorinya adalah: a. Rendah (x < Rp ,00) Skor = 0 b. Sedang (Rp ,00 x Rp ,00) Skor = 1 c. Tinggi (x > Rp ,00) Skor = 2 4) Status nelayan adalah jawaban responden tentang kedudukan mereka sebagai seorang nelayan. Kategori yang digunakan adalah: a. Anak Buah Kapal (ABK) b. Nakhoda c. Juragan 5) Jenis alat tangkap adalah jawaban responden tentang alat yang mereka gunakan ketika menangkap ikan. Jenis alat tangkap dikategorikan sesuai dengan hasil dari pengumpulan data, yaitu: a. Pancing b. Gardan c. Jaring rampus d. Jaring apollo e. Payang 6) Pengalaman adalah jawaban responden tentang lamanya mereka berkecimpung sebagai nelayan. Kategorinya adalah: a. Rendah (x < 16 tahun) Skor: 0 b. Sedang (16 x 24 tahun) Skor: 1 c. Tinggi (x > 24 tahun) Skor: 2

14 18 2. Faktor Eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu nelayan, yang terdiri dari karakteristik TPI dan tingkat interaksi dengan tengkulak. Karakteristik TPI adalah jawaban responden tentang berbagai informasi tentang TPI Cituis yang mereka ketahui, meliputi: 1) Fasilitas TPI adalah kelengkapan sarana yang ada pada TPI Cituis. 2) Letak TPI adalah jarak yang harus ditempuh nelayan untuk mencapai TPI dari pendaratan ikan. 3) Sistem retribusi adalah sistem penarikan uang yang wajib dilakukan TPI kepada nelayan anggota lelang. 4) Sistem lelang adalah aturan main yang berlaku dalam kegiatan lelang. Tingkat interaksi dengan tengkulak adalah jawaban responden tentang seberapa sering mereka melakukan perjanjian dengan tengkulak. Kategorinya adalah: a. Selalu Skor: 0 b. Kadang-kadang Skor: 1 c. Tidak pernah Skor: 2 Variabel faktor eksternal juga diukur melalui pendekatan kualitatif. 3.Representasi sosial tentang TPI pada nelayan adalah sejumlah opini, penilaian, dan pemahaman nelayan tentang TPI. Dalam representasi sosial ini terdapat empat elemen yang terdiri dari informasi, sikap, keyakinan, dan pendapat. Elemen-elemen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Informasi adalah segala pengetahuan mengenai TPI yang dimiliki responden, diukur dengan melihat tingkat pengetahuan tentang variabel karakteristik TPI, kategorinya adalah: a. Rendah (x < 4) b. Sedang (4 x 7) c. Tinggi (x > 7) 2) Sikap adalah perasaan suka atau tidak suka dari responden terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam TPI, kategorinya adalah: a. Negatif (x < 9) b. Netral (9 x 10)

15 19 c. Positif (x > 10) 3) Keyakinan adalah suatu kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh responden mengenai TPI Cituis, kategorinya adalah: a. Negatif (x < 8) b. Netral (8 x 9) c. Positif (x > 9) 4) Opini adalah suatu hasil dari pemikiran responden mengenai TPI, yang berdasarkan pada informasi-informasi yang mereka dapatkan (diukur secara kualitatif).

REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) PADA NELAYAN

REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) PADA NELAYAN REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) PADA NELAYAN (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) Oleh: Wina Ekawati I34070049 Dosen

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah salah satu program yang dicanangkan mulai tahun 1998 oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK RESPONDEN DENGAN REPRESENTASI SOSIAL

BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK RESPONDEN DENGAN REPRESENTASI SOSIAL 66 BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK RESPONDEN DENGAN REPRESENTASI SOSIAL Bab ini akan membahas tentang hubungan antara karakteristik responden dengan representasi sosial melalui hasil uji statistika.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya

BAB I PENDAHULUAN. perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum perikanan tangkap di Indonesia masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya 15% usaha perikanan

Lebih terperinci

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 78 7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 7.1 Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkait sistem bagi hasil nelayan dan pelelangan Menurut

Lebih terperinci

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN 56 5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN 5.1 Bentuk Keterlibatan Tengkulak Bentuk-bentuk keterlibatan tengkulak merupakan cara atau metode yang dilakukan oleh tengkulak untuk melibatkan

Lebih terperinci

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG 66 6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG Hubungan patron-klien antara nelayan dengan tengkulak terjadi karena pemasaran hasil tangkapan di TPI dilakukan tanpa lelang. Sistim pemasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Manusia pada hakikatnya adalah sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dimana manusia itu sendiri memerlukan interaksi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Pencemaran pesisir merupakan dampak negatif dari zat atau energi yang masuk baik secara langsung maupun tidak langsung pada lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah lautan. Luas daratan Indonesia adalah km² yang menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. adalah lautan. Luas daratan Indonesia adalah km² yang menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Dimana dua sepertiga wilayahnya merupakan perairan. Terletak pada garis katulistiwa, Indonesia

Lebih terperinci

BAB 2 KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN DAN INFORMASI MENGENAI MASYARAKAT PESISIR DI PPP CILAUTEUREUN

BAB 2 KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN DAN INFORMASI MENGENAI MASYARAKAT PESISIR DI PPP CILAUTEUREUN BAB 2 KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN DAN INFORMASI MENGENAI MASYARAKAT PESISIR DI PPP CILAUTEUREUN 2.1 Profil Daerah Penelitian Sub bab ini akan membahas beberapa subjek yang berkaitan dengan karakteristik

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN aa 16 a aa a 4.1 Keadaan Geografis dan Topografis Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak pada posisi 107 52' 108 36' BT dan 6 15' 6 40' LS. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

Gagasan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan melalui Pendekatan Sistem

Gagasan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan melalui Pendekatan Sistem Gagasan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan melalui Pendekatan Sistem Sugeng Hartono 1 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 1 Sugeng.ug@gmail.com 1. Pendahuluan Nelayan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PENYELENGGARAAN PELELANGAN HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

NOMOR : KEP.44/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN/KOTA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

NOMOR : KEP.44/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN/KOTA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.44/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN/KOTA Menimbang MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 81.000 km panjang garis pantai, memiliki potensi beragam sumberdaya pesisir dan laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangandaran merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang memiliki potensi di bidang perikanan tangkap di Indonesia. Pangandaran merupakan salah satu kecamatan paling

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

Lebih terperinci

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6.1 Tujuan Pembangunan Pelabuhan Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan tercantum dalam pengertian pelabuhan perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkumpulnya nelayan dan pedagang-pedagang ikan atau pembeli ikan dalam rangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkumpulnya nelayan dan pedagang-pedagang ikan atau pembeli ikan dalam rangka BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) 2.1.1. Pengertian Tempat Pelelangan Ikan TPI kalau ditinjau dari menejemen operasi, maka TPI merupakan tempat penjual jasa pelayanan antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. temuan penelitian tentang bagaimana pengelolaan sektor kelautan dan perikanan

BAB 6 PENUTUP. temuan penelitian tentang bagaimana pengelolaan sektor kelautan dan perikanan BAB 6 PENUTUP Bab ini, secara singkat akan menyimpulkan dan juga saran mengenai temuan penelitian tentang bagaimana pengelolaan sektor kelautan dan perikanan di NTT dan apa faktor penghambat pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara maritim, karena memiliki lautan lebih luas dari daratannya, sehingga biasa juga disebut dengan Benua Maritim

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMASARAN HASIL PERIKANAN DI PASAR IKAN TERINTEGRASI PADA PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet

BAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet terpadat dan terbesar kelima dari delapan planet dalam tata surya yang digunakan sebagai tempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki luas wilayah dengan jalur laut 12 mil adalah 5 juta km² terdiri dari luas daratan 1,9 juta km², laut territorial 0,3 juta

Lebih terperinci

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU 7.1. Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu Identifikasi stakeholder dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai kepentingan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan Perikanan Karangantu merupakan suatu pelabuhan yang terletak di Kota Serang dan berperan penting sebagai pusat kegiatan perikanan yang memasok sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic state) terbesar di dunia. Jumlah Pulaunya mencapai 17.506 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kurang lebih 60%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah lima

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirubah yakni dari ikan yang dijual sendiri-sendiri menjadi ikan dijual secara lelang

BAB I PENDAHULUAN. dirubah yakni dari ikan yang dijual sendiri-sendiri menjadi ikan dijual secara lelang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara tradisional setelah nelayan memperoleh hasil ikan tangkapan, mereka lalu mencoba menjual sendiri kepada konsumen setempat melalui cara barter atau dengan nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sendang Biru merupakan salah satu kawasan pesisir yang menjadi prioritas dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa Tmur. Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan dua per tiga wilayahnya berupa perairan dan mempunyai potensi sumber daya ikan sekitar 6,4 juta ton/tahun. Dengan besarnya potensi tersebut

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN RETRIBUSI PELELANGAN IKAN DI TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan Menurut Lubis (2000), Pelabuhan Perikanan adalah suatu pusat aktivitas dari sejumlah industri perikanan, merupakan pusat untuk semua kegiatan perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lainnya berbeda sesuai dengan taraf kemampuan penduduk dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lainnya berbeda sesuai dengan taraf kemampuan penduduk dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak penduduk dengan berbagai macam ragam mata pencaharian. Dimana mata pencaharian merupakan aktivitas manusia untuk dapat memperoleh taraf hidup

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nelayan mandiri memiliki sejumlah karakteristik khas yang membedakannya dengan nelayan lain. Karakteristik tersebut dapat diketahui dari empat komponen kemandirian, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ke konsumen semakin banyak dengan kualitasnya masing-masing. Keadaan ini

BAB I PENDAHULUAN. ke konsumen semakin banyak dengan kualitasnya masing-masing. Keadaan ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kemajuan yang sangat besar pada perkembangan industri. Dengan mengembangkan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi a. Letak Geografis BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Gorontalo merupakan ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65 persen dari luas Provinsi

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berada di posisi 94o 40' BT 141o BT dan 6o LU 11o LS,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berada di posisi 94o 40' BT 141o BT dan 6o LU 11o LS, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia berada di posisi 94o 40' BT 141o BT dan 6o LU 11o LS, terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; dan antara Benua Asia dan Benua Australia,

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa retribusi jasa usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor perikanan berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah. Sumber daya alam ini diharapkan dapat mensejahterakan rakyat

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 1 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm 102 108 ISSN 0126-4265 Vol. 41. No.1 PERANAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) DALAM PEMASARAN IKAN HASIL TANGKAPAN NELAYAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KEC.

Lebih terperinci

7 KAPASITAS FASILITAS

7 KAPASITAS FASILITAS 71 7 KAPASITAS FASILITAS 7.1 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di PPI Cituis sejak tahun 2000 hingga sekarang dikelola oleh KUD Mina Samudera. Proses lelang, pengelolaan, fasilitas,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, sekaligus untuk menjaga kelestarian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah semua nelayan yang seluruh atau sebagian besar aktivitasnya melakukan usaha penangkapan ikan demersal di Kecamatan Wangi-Wangi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Mengkaji perilaku nelayan artisanal di Indonesia, khususnya di pantai Utara Jawa Barat penting dilakukan. Hal ini berguna untuk mengumpulkan data dasar tentang perilaku nelayan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km. Total

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai nelayan. Masyarakat nelayan memiliki tradisi yang berbeda. setempat sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai nelayan. Masyarakat nelayan memiliki tradisi yang berbeda. setempat sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desa Kranji merupakan desa yang ada di wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Secara georgafis Desa Kranji terletak di utara pesisir Pulau Jawa, yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data 21 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2012, adapun tempat pelaksanaan penelitian yaitu di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kecamatan Juntinyuat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : FRANSISKUS LAKA L2D 301 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Terdapat dua faktor yang mempengaruhi anak untuk bersekolah, yaitu faktor internal (dalam diri) dan faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam perekonomian Indonesia karena beberapa alasan antara lain: (1) sumberdaya perikanan, sumberdaya perairan

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian deskriptif (Umar, 2004). Desain ini bertujuan untuk menguraikan karakteristik

Lebih terperinci

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi alam di sektor perikanan yang melimpah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Salah satu sumber

Lebih terperinci

PETA LOKASI PENELITIAN 105

PETA LOKASI PENELITIAN 105 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011 di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu dan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cisolok,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI AREA

BAB III DESKRIPSI AREA 32 BAB III DESKRIPSI AREA 3.1. TINJAUAN UMUM Dalam rangka untuk lebih meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan keindahan serta menjaga kelestarian wilayah pesisir, sejak tahun 1999 Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Pelabuhan Pekalongan semula merupakan pelabuhan umum. Semenjak bulan Desember 1974 pengelolaan dan asetnya diserahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia masih didominasi oleh perikanan rakyat dengan menggunakan alat tangkap yang termasuk kategori sederhana, tidak memerlukan

Lebih terperinci

Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pengembangan perikanan tangkap di Desa Majakerta, Indramayu, Jawa Barat

Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pengembangan perikanan tangkap di Desa Majakerta, Indramayu, Jawa Barat Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pengembangan perikanan tangkap di Desa Majakerta, Indramayu, Jawa Barat Roisul Ma arif, Zulkarnain, Sulistiono P4W LPPM IPB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah yang memiliki luas perairan laut cukup besar menjadikan hasil komoditi laut sebagai salah satu andalan dalam pendapatan asli

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah produksi perikanan laut di Provinsi Jambi sebesar 43.474,1.ton pada tahun 2015, akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nelayan Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dan pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 009. Tempat pelaksanaan kegiatan penelitian di Pelabuhan Perikanan Samudera

Lebih terperinci

Lampiran 1 Perhitungan bobot faktor internal pengembangan PPI Pangandaran di lokasi baru

Lampiran 1 Perhitungan bobot faktor internal pengembangan PPI Pangandaran di lokasi baru 6 Lampiran Perhitungan bobot faktor internal Pangandaran di lokasi baru Kekauatan Kelemahan Internal Kekuatan Kelemahan Bobot Xi (%) a b c d e f a b c d e f g h i a. Dukungan dari pemerintah daerah berupa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. negara di dunia yang memiliki potensi sumber daya alam terbesar di sektor

1. PENDAHULUAN. negara di dunia yang memiliki potensi sumber daya alam terbesar di sektor 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan garis pantai lebih dari 81.000 Km, kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 15 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Topografis Kabupaten Indramayu terletak di pesisir utara Pantai Jawa, dengan garis pantai sepanjang 114 km. Kabupaten Indramayu terletak pada

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PETUNJUK TEKNIS PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2010, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Palabuhanratu sebagai lokasi proyek minapolitan perikanan tangkap.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON 28 5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON Perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon memiliki prasarana perikanan seperti pangkalan pendaratan ikan (PPI). Pangkalan pendaratan ikan yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. dan juru masak, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan. secara langsung maupun tidak langsung.

BAB IV ANALISIS DATA. dan juru masak, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan. secara langsung maupun tidak langsung. BAB IV ANALISIS DATA A. Implementasi Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing Nelayan adalah orang yang aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan di laut termasuk didalamnya ahli mesin,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.50/MEN/2011 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Usaha Penangkapan Ikan Dalam buku Statistik Perikanan Tangkap yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan

Lebih terperinci