BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Disorder(ADHD) atau disebut juga anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Anak yang mengalami masalah Attention Deficit/ Hiperactivity Disorder(ADHD) atau disebut juga anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH) seringkali menampilkan masalah pada konsentrasi, impulsivitas, dan hiperaktifitas (Barkley,1998). Flanagen (2003) berpendapat ADHD merupakan suatu kelainan medis yang dapat dikenali dan memiliki ciri tersendiri yang cenderung merupakan keturunan. Secara umum ada tiga jenis perilaku yang dikaitkan dengan kelainan ini, yaitu sikap kurang memperhatikan sekeliling atau mudah terganggu, sikap menurutkan kata hati dan hiperaktifitas (Flanagen, 2003). Menurut Barkley (1998), beberapa anak dengan ADHD memiliki gangguan karakteristik secara terpisah misalnya anak dengan inatensi atau impulsivitas saja tapa mengalami gangguan lainnya. Akan tetapi ada juga seorang anak yang dapat mengalami secara bersamaan dari ketiga karakteristik ADHD tersebut.attention Deficit/ Hyperactivity Disorder (ADHD) atau biasa dikenal dengan Hiperaktifitas. Hiperaktifitas adalah kata yang digunakan untuk melukiskan perilaku motorik yang berlebihan. ADHD adalah gangguan neurobehavioral yang seringkali muncul pada anak anak sebelum usia 7 tahun. Gangguan ini merupakan salah satu gangguan kronis yang paling mudah ditemui pada masa pada masa anak anak. Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder (ADHD) dalam Bahasa Indonesia diistilahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH). Menurut Rutter (2008), kelainan neurobiologi pada anak dengan ADHD 1

2 2 merupakan gangguan fungsi otak (di area prefrontal dan/atau sagittal frontal) yang menyebabkan gangguan pemusatan perhatian dan perilaku. Tonge (2013) menyatakan ADHD disebabkan juga oleh adanya interaksi yang kompleks dari factor biopsikososial, gangguan mental penyerta (Dias, 2013) dan mengalami penurunan yang signifikan disetiap kemampuan social dan pengaturan. Gordon (1994) mendeskripsikan ADHD sebagai gangguan yang menyebabkan individu memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah pemusatan perhatian, kontrol diri dan kebutuhan untuk selalu mencari stimulasi. Pantecost (2004) menjelaskan lebih lanjut tentang gejala gejala pada anak ADHD bahwa kurangnya pemusatan perhatian yang menyebabkan anak lebih mudah terganggu dibandingkan anak anak lainnya, dan sama sekali tidak dapat berkonsentrasi pada tugas tugasnya. Impulsivitas ditandai dengan selalu melakukan tindakan yang beresiko, berbuat tanpa berpikir dahulu, seolah olah tidak sadar terhadap akibatnya.hiperaktifitas ditandai dengan tidak pernah dapat diam, bergoyang goyang, mengetuk ngetukkan jari jari tangan dan kaki dan tidak pernah dapat duduk tenang. Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder (ADHD) termasuk dalam neurodevelopmental disorder, yang didefenisikan dengan gangguan pada kemampuan atensi, disorganisasi data dan hiperaktif/impulsive (Mash&,Wolf, 2010). Inatensi dan disorganisasi ditunjukkan dengan tidak bisa tinggal diam dalam mengerjakan tugas, terlihat tidak mendengarkan, ketinggalan materi, pada tahap yang tidak konsisten dengan usia atau tahapan perkembangan (American Psychiatric Association, 2013).Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder (ADHD) oleh American Psychiatric Assosiation (2013) didefinisikan sebagai suatu syndrom neurobehavioral yang ditampilkan dengan sukarnya berkonsentrasi, hiperaktif, 2

3 3 dan impulsif. Dalam DSM V-TR disebutkan bahwa untuk membuat suatu diagnosis ADHD, gejala gangguan yang ditampilkan harus terjadi sebelum usia 7 tahun dan berlangsung selama kurang lebih 6 bulan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Polanczyk,dkk (2007), ditemukan bahwa prevalensi ADHD di dunia sekitar 5,29% dengan rincian prevalensi 6% di Amerika Utara, 5% di Eropa, 12% di Amerika Selatan, 4% di Asia, 3% di Oceania, 3% di Timur Tengah, dan 8% Afrika. Barkley (2014) menyimpulkan bahwa prevalensi ADHD saat ini sekitar 5-7%.Sedangkan menurut American Psychiatric Association (2013) prevalensi ADHD pada anak-anak saat ini adalah 5% dan 2,5% pada orang dewasa. Di Indonesia sendiri, penelitian tentang prevalensi ADHD sudah dilakukan. Penelitian yang dilakukan masih bersifat sporadis dan terbatas pada kota atau provinsi tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Saputro (2004) ditemukan bahwa prevalensi ADHD pada anak usia sekolah di kota Jakarta adalah 26,2%. Penelitian yang dilakukan di kota Yogyakarta adalah 5,47% (Hayati, 2014), di Kecamatan Cangkringan, Sleman 7,48% (Christina, 2012), dan di Banguntapan, Bantul 3,5% (Dewi, 2011). Dalam penelitian terbaru, ditemukan prevalensi anak ADHD di kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman adalah sekitar 8,09% (Wimbarti, Dewi, & Khoirot,2016). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prevalensi ADHD pada anak-anak adalah sekitar 3 sampai 26,2%. ADHD merupakan gangguan neurodevelopmental yang mulai muncul pada masa kanak-kanak. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, edisi ke-5 (DSM-5) symptom ADHD muncul dan menunjukkan gangguan sebelum berusia 12 tahun (American Psychiatric Association, 2013). 3

4 4 Kebanyakan orangtua mengalami perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosis bahwa anaknya mengalami ADHD. Ibu dari anak ADHD sering merasa bersalah ketika mengetahui bahwa anaknya didiagnosis mengalami ADHD, cemas akan masa depan anaknya (Pantecost,2004). Menurut Pantecost (2004), orangtua sering bingung dan merasa kesulitan merawat seorang anak ADHD. Seorang anak ADHD akan membuat orangtua lelah, mudah marah dan frustasi. Emosi ini muncul akibat perilaku anaknya. Orangtua dan anak akan terjebak dalam lingkaran konfrontasi dan konflik. Semua ini akan memicu perasaan bersalah, sehingga setiap anggota keluarga berada pada titik kritis, saling menyalahkan atas terjadinya masalah itu, walaupun mungkin dalam hati kecil masing masing merasa bahwa dirinyalah yang mungkin bersalah (Pantecost,2004). Dampak ADHD tidak hanya dirasakan oleh anak tersebut, namun juga dirasakan oleh keluarga.dampak pada anak bisa berupa prestasi sekolah yang buruk, gangguan sosialisasi dan risiko kecelakaan meningkat. Sedangkan dampak pada keluarga adalah menimbulkan stres dan depresi pada keluarga, keharmonisan keluarga terganggu dan perubahan status pekerjaan. Selain berlanjut hingga dewasa, ADHD juga dapat menyebabkan masalah perilaku dan akademik. Diantara gangguan perilaku yang dapat muncul dari ADHD adalah CD, ODD, dan perilaku antisosial. Loeber,dkk.(2000) dalam penelitiannya tentang CD dan ODD menemukan bahwa ADHD pada masa anak-anak dapat mempercepat dan memperburuk kemungkinan munculnya CD pada masa remaja, terutama jika ADHD disertai dengan ODD. 4

5 5 Adapun masalah akademik yang dialami oleh anak ADHD diantaranya adalah anak dengan ADHD memiliki kemampuan yang rendah dalam menyelesaikan pekerjaan rumah (Langberg dkk, 2010; Molina, 2009), prestasi belajar yang rendah (Barry,Lyman, & Klinger.,2002), dan angka tinggal kelas (grade retention) yang tinggi dari pada anak pada umumnya (Molina, 2009). Selain itu, Antonini dkk (2016) menyatakan bahwa kemampuan matematika siswa dengan ADHD lebih rendah daripada siswa non-adhd. Saputro dalam studinya menyatakan bahwa apabila gangguan ini tidak mendapat intervensi sejak dini maka akan mengakibatkan masalah psikososial yang buruk, seperti kesulitan belajar, prestasi belajar yang buruk, gagal sekolah, penyalahgunaan narkotika, alcohol dan zat adiktif lainnya, gangguan tingkah laku (kenakalan, perbuatan kriminal), kesulitan penyesuaian diri di tempat kerja dan dalam keluarga. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara pada salah satu subjek IE pada 4 Januari Subjek penelitian adalah Ibu dari anak yang bernama: Qn, salah satu anak perempuan dengan ADHD. Dalam DSM V-TR disebutkan bahwa untuk membuat suatu diagnosis ADHD, gejala gangguan yang ditampilkan harus terjadi sebelum usia 7 tahun dan berlangsung selama kurang lebih 6 bulan. Subjek berumur 5 tahun dan gejala sudah mulai terlihat sejak subjek berusia 3 tahun.ibu dari subjek mengatakan bahwa Qn mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugasnya, tidak ada respon ketika dipanggil namanya, tidak ada kontak mata, dan tidak dapat mengambil perlengkapan sendiri.subjek juga mengalami keterlambatan bicara, tidak mampu berinteraksi sosial dengan sekitarnya dan lebih banyak sibuk dengan dirinya sendiri tanpa menghiraukan kondisi di sekelilingnya. Selain itu, subjek tidak dapat mengikuti instruksi dari Guru di sekolah, yang 5

6 6 mengakibatkan tidak dapat mengikuti pelajaran seperti teman kelas lainnya.selain itu subjek sangat kesulitan untuk berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran. Ibu Qn mengetahui keadaan Qn yang di diagnosis ADHD awalnya merasa bersalah, karena merasa bahwa kondisi anak disebabkan karena Ibu yang terlambat untuk membawa anak kerumah sakit ketika sedang step (demam tinggi). : Malem, belum pulang lha terus saya tak, itu bawa ke dokter ya mungkin memang saya salah ya malem itu saya nggak maksa ke dokter atau gimana. besok paginya saya ke dokter antrinya ndadak berarti kan nunggu nunggu. yaitu dia panas. itu tapi udah beberapa hari di rumah sakit jadi udah penanganan dokter. panas, akhirnya jam berapa ya dia siang jam empat kok akhirnya redanya. Ibu Qn merasa sedih, dan menyesal. Setelah kondisi demikian, kemudian Ibu menerima keadaan Qn. Ada kelebihannya ada kekurangannya. Satu sisi ada yang kurang tapi kelebihannya banyak, dan respon orangtua saat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan adalah positif. Iya. Kalo dirumah sih udah kita ajarin macem-macem tapi kenyataannya ya terbatas gitu.aaa saya masih berusaha terus, kami ya saya sama bapaknya berusaha pokoknya sebisa mungkin kita carilah usaha gitu. Dari kutipan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adaptasi positif yang muncul pada Ibu Qn adalah kemampuan untuk dapat beradaptasi dan bertahan pada situasi yang tidak nyaman dan keadaan yang merugikan agar tetap survive. Grotberg (1995) mengatakan bahwa kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi dan mengubah kesengsaraan melalui pengalaman yang dimilikinya disebut resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa oleh situasi dan tekanan yang berat pada individu (Tugade & Fredrikson, 2004). Resiliensi merupakan hal penting pada individu yang dihadapkan pada situasi yang terdesak dan sulit. Orang yang memiliki resilien tinggi akan mengadopsi mekanisme pertahanan dari stress agar tangguh dalam memaknai 6

7 7 kenyataan bahwa memiliki anak dengan ADHD dan dapat berjuang demi masa depan anak. Penelitian mengenai resiliensi Ibu pada anak dengan ADHD belum banyak dikembangkan oleh para ahli. Konsep Resiliensi yang ingin diteliti oleh peneliti lebih menekankan bagaimana strategi ibu dalam menghadapi anak ADHD sehingga diharapkan dapat selalu optimis dan dapat berjuang demi masa depan anak. B. Fokus Penelitian Berdasarkan fenomena lapangan yang muncul, fokus dari penelitian ini adalah menggali lebih dalam tentang bagaimana Ibu yang resilien dalam menghadapi anak dengan ADHD. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk menggambarkan resiliensi Ibu dalam menghadapi anak dengan ADHD. Tujuan spesifik penelitian ini adalah mengetahui pola adaptasi positif ibu dalam menghadapi anak dengan ADHD sebagai strategi individu untuk melanjutkan hidup dan berjuang dimasa depan. 1. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dari sisi keilmuwan, penelitian ini dapat membantu mengembangkan pemahaman mengenai Resiliensi pada Ibu yang memiliki anak dengan ADHD, dan selanjutnya 7

8 8 dapat memberikan wawasan keilmuwan mengenai bagaimana resilien ibu ditinjau dari keadaan status sosial dan tingkat pendidikan orangtua. b. Manfaat Praktis Bagi Ibu dengan anak ADHD: Penelitian ini memberikan gambaran dan pemahaman kemampuan resiliensi yang dimiliki Ibu sebagai pola adaptasi positif dalam menghadapi anak dengan ADHD. Ibu juga dapat berbagi cerita sehingga diharapkan dapat mengurangi beban yang dihadapi. D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai resiliensi yang ditemukan di Indonesia dan penelitian yang didapatkan dari luar Negeri sebagai berikut: 1. Penelitian resiliensi dalam setting Psikologi dilakukan oleh Siburian dan La Kahija (2014) yang meneliti tentang Pengalaman Ibu dengan anak ADHD.Hasil Penelitian menunjukkan Pengalaman Ibu yang memiliki anak ADHD dapat disimpulkan sebagai proses penyesuaian terhadap respon social yang muncul bersamaan dengan fluktuasi emosional karena adanya parenting stress, meliputi kondisi stress pribadi, kendala finansial dan instabilitas pada anak hingga konflik dengan suami. Penyesuaian terhadap respon social dipengaruhi oleh status ekonomi, etnis, pekerjaan dan jumlah anggota keluarga. Responden penelitian yang diambil terdiri dari etnis jawa dan cina dengan status sosial yang berbeda. Penelitian dilakukan di Solo dengan Metode Fenomenologi. 2. Penelitian yang kedua yaitu Widuri (2010) yang meneliti tentang Kepribadian Big Five dan Strategi Regulasi Emosi Ibu dengan anak ADHD. 8

9 9 Responden adalah Ibu dari pasien (anak) yang didiagnosis mengalami ADHD. Penelitian bersifat Kuantitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa melalui uji persamaan model struktural, model strategi regulasi emosi yang menggambarkan peran kepribadian diterima sebagai model yang layak dan dan hasil analisis hubungan langsung antara kepribadian dan strategi regulasi emosi tidak signifikan. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa kelompok dukungan dibutuhkan subjek untuk berbagi pengalaman dengan ibu ibu lain yang memiliki anak ADHD. 3. Penelitian ketiga yaitu Dewi (2017) yang meneliti tentang Jenis Positive illusory Bias serta Perilaku Agresi pada anak ADHD dan Non ADHD Usia 8-12 tahun. Hasil Penelitian yaitu baik anak ADHD maupun Non ADHD dapat melakukan penelitian yang akurat terhadap dirinya. Analisa tambahan mendapati bahwa skor perilaku agresif anak ADHD lebih tinggi daripada anak Non ADHD. 4. Penelitian keempat yaitu Rahmi (2017) yang meneliti tentang Kemampuan Inhibisi pada anak ADHD dan Non ADHD Usia 6-12 tahun. Hasil Penelitian menyebutkan terdapat perbedaan kemampuan Inhibisi antara anak ADHD dan Non ADHD serta antara anak dengan kelompok usia 6-9 tahun dengan anak berusia tahun. 5. Penelitian kelima yaitu Regi (2016) yang meneliti tentang Pemetaan Karakteristik kemampuan Kognitif pada anak ADHD dengan WISC III. Hasil Penelitian ini adalah karakteristik kemampuan kognitif anak dengan inatensi dapat diprediksi oleh subtes informasi, pemahaman, rentang angka, melengkapi gambar, mengatur gambar, merakit objek dan simbol. Karakteristik kemampuan kognitif anak dengan tipe kombinasi dapat 9

10 10 diprediksi oleh subtes informasi, pemahaman, persamaan rentang angka, merakit objek dan symbol. 6. Penelitian ke enam yaitu Wahyuningtyas (2016) yang meneliti Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Orangtua dengan anak ADHD di Surabaya. Hasil Penelitian yaitu faktor Psychological Well- Being Orang tua dengan anak ADHD meliputi Kepribadian, Religiusitas dan Dukungan sosial. Tidak hanya dukungan dari keluarga dan lingkungan yang diperoleh oleh Orangtua dengan anak ADHD melainkan dukungan dari guru memiliki peran yang sangat penting untuk dalam upaya pendeteksian. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa penelitian tentang Ibu yang resilien dalam menghadapi anak dengan ADHD telah lama muncul, namun selalu dikaitkan dengan penerimaan dan strategi regulasi emosi Ibu. 10