BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS"

Transkripsi

1 BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS Di dalam bagian awal disertasi ini telah disebutkan bahwa fokus penelitian berada pada tiga variable, yaitu mekanisme kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele i sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan, rasionalitas tindakan sosial para aktor kolektif, dan kepercayaan serta nilai-nilai fundamental yang menjadi elemen dasar perilaku kolektifnya. Ketiga variable ini telah menjadi deskripsi yang lengkap dalam bab sebelumnya. Apa yang perlu disajikan dalam bab ini adalah analisis terhadap kondisi objektif tersebut berdasarkan landasan konseptual dan kerangka teoritis dalam bab kedua dan bab ketiga serta dengan memperhitungkan konteks historis yang telah dipaparkan dalam bab keempat. Dengan cara demikian maka diharapkan ketiga variable yang menjadi fokus penelitian dan ketiga permasalahan penelitian akan terklarifikasi dalam bentuk eksplanasi sistematis dan konklusif. 1. Agama Sebagai Tipe Khusus Tindakan Sosial Para sosiolog klasik mempelajari agama secara fungsional. Mereka melihat agama sebagai bagian dari struktur sosial yang mempengaruhi interaksi-interaksi sosial. Marx menunjukan bahwa struktur dasar masyarakat terdiri dari dua komponen utama, yaitu kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi produksi. Akibat kondisi-kondisi material, kelas buruh mengalami alienasi dan kehilangan kontrol terhadap perkembangan kehidupan mereka sendiri sebagai manusia sehingga mereka kehilangan eksistensi dan identitasnya lalu 225

2 226 Redefinisi Tindakan Sosial berpaling ke agama untuk memperoleh sebuah pengakuan akan martabat mereka sebagai manusia dan mendapatkan pengharapan di tengah keterasingannya. Dalam hal inilah agama memberikan gambaran yang keliru tentang realitas. Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah sebuah proyeksi dan ilusi. 1 Berdasarkan pemikiran Marx tersebut maka pertanyaannya adalah apakah semangat dan ragam pengalaman keagamaan orang-orang Kele i adalah ilusi semata. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu apakah orang-orang di Kele i mengalami alienasi dan kehilangan kontrol terhadap kehidupan mereka sendiri? Sejarah konflik di Poso yang telah dimulai sejak zaman pendudukan Jepang, masa pergolakan politik, hingga konflik sosial beberapa tahun yang lalu menunjukan bahwa orang-orang Poso asli pada umumnya dan orang-orang Kele i pada khususnya selalu berada dalam posisi defensif menghadapi ekspansi kekuatan-kekuatan sosial, kultural, dan politik yang datang dari luar. Interaksi antara orang-orang asli Poso dengan kelompok pendatang berkembang secara tidak seimbang karena kondisi-kondisi material dan struktur sosial yang dikuasai oleh kelompok pendatang. Keadaan ini oleh George Junus Aditjondro disebut sebagai keterpurukan komunitas-komunitas pribumi, khususnya orang Pamona, orang Lore, dan orang Mori yang merupakan penduduk asli pedalaman Sulawesi Tengah dan yang pada umumnya merupakan anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah. 2 1 Inger Furseth. An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), Lih. Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso (Yogyakarta: PBHI, Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003), xx.

3 Redefinisi Tindakan Sosial 227 Selama periode orde baru, komunitaskomunitas pribumi Tanah Poso mengalami proses pemiskinandan marjinalisasi secara beruntun, karena berbagai faktor. Pertama, melunturnya ketaatan pada hak ulayat mereka menyebabkan banyak tanah komunitaskomunitas pribumi bergeser pemilikannya ke tangan pendatang. Kedua, perubahan orientasi dari petani ke pegawai-pegawai negeri maupun pegawai gereja mendorong para orang tua pribumi menjual tanah-tanah mereka demi membiayai pendidikan anak-anak mereka Ketiga, pembangunan ruas jalan Trans-Sulawesi memperderas arus migrasi dari Sulawesi Selatan ke Tanah Poso, yang pada gilirannya mempercepat pengalihan tanah penduduk asli ke para pendatang dari Sulawesi Selatan. 3 Apakah keadaan ini menyebabkan alienasi pada orangorang Poso? Menurut Marx alienasi memiliki empat aspek, yaitu alienasi dari hasil karyanya sendiri, alienasi dari aksi pekerjaannya, alienasi dari spesiesnya, dan alienasi dari lingkungan sosialnya. Keempat aspek alienasi ini dikondisikan oleh adanya relasi antara kerja dengan kapital sebagai engsel yang memungkinkan seluruh sistem masyarakat dapat berputar. 4 Konstruksi fundamental masyarakat ini menempatkan sekelompok orang pada strata sosial yang tertekan karena termarginalisasi olehkelompok lain yang mendominasi dan menguasai struktur sosial. Lebih dari pada itu mereka tereksploitasi oleh kekuatan material sehingga eksistensi dan fungsi mereka sebagi manusia terdevaluasi. Konstruksi sosial ini berbeda dengan kondisi sosial di Poso pada umumnya dan di Kele i pada khususnya. 3 Ibid., xxi-xxii. 4 Frederik Engels. Tentang Kapital Marx. Diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen (Bandung: Ultimus & Alkatiga, 2006, 10.

4 228 Redefinisi Tindakan Sosial Masyarakat ini terbentuk oleh tenunan-tenunan kultural (cultural fabrics) melalui proses historis yang sarat dengan ekspansi kebudayaan, agama, dan konflik-konflik politik. Perang antar suku, perjuangan memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan, pergolakan politik kedaerahan, dan kerusuhan serta konflik sosial yang terjadi beruntun, secara berlapis membentuk Poso menjadi sebuah masyarakat yang lebih bersifat politis. Kedatangan, perkembangan, dan perjumpaan Islam dengan Kekristenan di Poso yang masing-masing telah berakulturasi dengan kebudayaan lokal dan kepercayaan asli memberi identitas kepada masyarakat politis ini sehingga karakter sosial kulturalnya terkonstruksi dengan jelas. Oleh sebab itu masyarakat Poso secara umum lebih merupakan sebuah konfigurasi kultural dengan elemen-elemen politik dan teritorialnya masing-masing. Masyarakat yang mendiami daerah pesisir pantai di sepanjang teluk Tomini pada umumnya adalah para pendatang terkemudian yang memeluk agama Islam dan bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang. Sedangkan masyarakat yang mendiami daerah pedalaman adalah penduduk asli, memeluk agama Kristen, dan bermata pencaharian sebagai petani. Keadaan ini melahirkan kesadaran-kesadaran subjektif dalam pertarungan politik. Penduduk pedalaman menganggap diri mereka sebagai penduduk asli dan memandang penduduk pesisir sebagai pendatang. Di pihak lain penduduk beragama Islam memandang agama Kristen sebagai agama warisan kolonialisme dan imperialisme Barat. Dengan cara pandang seperti ini maka secara antropologis konflik sosial yang terjadi di Poso pada tahun adalah konflik antara penduduk pesisir dengan penduduk pedalaman dalam konteks pertarungan kepentingan politik kekuasaan. Konflik ini tentu

5 Redefinisi Tindakan Sosial 229 saja bukan konflik antar kelas seperti dalam masyarakat kapitalis. Konflik ini lebih tepat dilihat sebagai konflik kultural dan politik. Apabila dalam masyarakat kapitalis engsel sistem masyarakat bersumbu pada kondisi-kondisi material, maka dalam masyarakat Poso seluruh interaksi dan struktur sosial dibangun di atas kondisi-kondisi kultural dan politik. Secara kultural masyarakat hidup di dalam komunitas-komunitasnya masing-masing. Akan tetapi secara politis, relasi-relasi kekuasaan mengikat mereka menjadi satu masyarakat yang bersifat organis. Dengan kata lain, apa yang membuat masyarakat yang memiliki perbedaan kultural ini menjadi satu adalah konsensus mereka untuk hidup di bawah sebuah sistem politik yang sama. Ketika sistem politik ini berjalan tidak seimbang dan terdominasi oleh kelompok-kelompok budaya niaga kaum urban di pesisir teluk Tomini, maka muncul ketegangan dalam interaksi dan struktur sosialnya. Itulah sebabnya kalau kerangka analisis Marxis tetap akan dipakai untuk memahami relasi-relasi konflik antar aktoraktor kolektif maka fokus analisis harus digeser dari relasirelasi kekuatan produksi di tempat kerja ke relasi-relasi kultural di atas panggung pertarungan politik. Dengan cara pandang demikian maka agama berfungsi memberikan identitas kepada kelompok-kelompok masyarakat dan menjadi basis bagi mobilisasi perilaku kolektif dalam konteks persaingan dan pertarungan budaya. Bagi orang-orang Poso dan Kele i agama bukan konsep-konsep abstrak tentang realitas ideal yang memanipulasi pengalaman sosial mereka. Sebaliknya, melalui agama orang-orang Poso menghadirkan identitas dan resistensi mereka dalam menghadapi ekspansi budaya yang datang dan menguasai struktur sosial di Poso. Menurut Talcot Parsons tindakan sosial adalah perilaku manusia yang dimotivasi dan diarahkan oleh makna

6 230 Redefinisi Tindakan Sosial yang dilihat oleh aktor dalam dunia eksternal. Aktor yang dimaksudkan di sini dapat merupakan seorang individu, sebuah komunitas, sebuah organisasi, wilayah, masyarakat total, bahkan sebuah peradaban. 5 Tindakan selalu terjadi dalam sebuah keadaan. Lingkungan aktor secara individual terdiri dari lingkungan fisik, organisme biologis aktor sendiri dan aktor-aktor lain, objek-objek kultural dan simbolik. Tindakan dan interaksi antar aktor membentuk tenunan sosial (social fabrics) dan kepadatan moral (moral density) yang mensyaratkan makna, nilai, serta norma yang akan memandu aktor dalam orientasi tindakan dan interaksinya. Inilah yang disebut oleh Peter Berger sebagai proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam dialektika formasi masyarakat. Agama dalam konteks masyarakat Poso adalah bagian dari proses dan fenomena dialektika. Ia terpelihara dalam masyarakat Poso karena keberadaan orang-orang Poso sebagai bagian dari realitas kultural yang tersusun secara politis. Ia berkembang secara teritorial dari individu-individu yang bertindak secara kolektif untuk mengkonstruksi dunia mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman dengan alam dan konflik politik bernuansa kultural. Islam menjadi agama kaum nelayan dan para pedagang yang tinggal di pesisir pantai. Kekristenan menjadi agama para petani yang tinggal di pedalaman dan yang masih kental dengan artefak-artefak kultural lokal. Orang-orang Poso Pamona sebagai mayoritas penduduk pedalaman mengartikulasikan konsepsi-konsepsi kekristenan dalam item-item kultural seperti ritual mompaho atau penanaman padi dan mopadungku atau pesta panen serta mengembangkan sejenis agama rural agraris yang dinamistik. 1949), Talcott Parson, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press,

7 Redefinisi Tindakan Sosial 231 Sementara suku-suku pendatang terkemudian di daerah pesisir mengartikulasikan konsepsi-konsepsi Islam dalam item-item politik seperti ideologi dan kekuasan negara serta mengembangkan sejenis agama urban yang politis. Di sini kita bersinggungan dengan konsepsi Max Weber tentang agama sebagai suatu sistem sosial yang berakar pada abstraksi dan rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya. 6 Dalam perspektif Weber, tindakan-tindakan keagamaan jemaat Eli Salom Kele i, terutama pada tataran aktor, baik aktor individual maupun kelompok, seperti peribadatan setiap malam, doa dan puasa, penggalangan dana dan pembangunan rumah ibadah, serta ragam bahasa anti kekerasan yang berbasis kepercayaan mistisisme dan nilainilai kultural yang diinterpretasi secara teologis, semuanya adalah tipe khusus tindakan sosial. Dari sudut pandang makna yang dikandung oleh tindakan-tindakan itu, terkandung ekspektasi-ekspektasi historis, yaitu harapan akan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik di Poso, setelah sebelumnya kehidupan masyarakat di sana diobrak abrik oleh sentimensentimen kultural, politik, dan bahasa-bahasa kekerasan yang muncul akibat ekspansi agama dan benturan dua sistem sosial yang telah disebutkan di atas. Sementara itu pada level interaksi antara aktor dalam sebuah sistem sosial, kita menemukan nilai-nilai mombetubunaka atau saling menghormati dan nilai mosintuwu atau saling menghidupkan sebagai komponen tindakan sosial dan perilaku kolektif yang memberikan alternatif terhadap perilaku sosial masyarakat. Dengan cara pandang seperti ini maka mobilisasi semua sumber daya Jemaat Eli Salom Kele i dapat diartikan sebagai aktualisasi kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka 6 Max Weber. The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1992), 3.

8 232 Redefinisi Tindakan Sosial dalam menghadapi ekspansi budaya dan sistem sosial yang didominasi oleh kultur urban niaga serta sistem politik yang didominasi oleh penduduk pesisir. Di lain sisi, itu merupakan juga satu aksi kolektif berorientasi nilai yang bertarung melawan ketidakpastian makna tindakan sosial yang diproduksi oleh masyarakat pasca konflik. Dengan memakai perspektif teoritis Alain Touranie, dapat dikatakan bahwa gerakan Jemaat Eli Salom Kele i merupakan sebuah geliat orang-orang Poso sebagai kelompok sosial yang terdevaluasi untuk mengatur kembali produksi sistem makna yang sebelumnya didominasi oleh kekuatan-kekuatan kultural ekspansif. 7 Masyarakat Poso sebagai hasil proses dialetika telah menghasilkan tenunan sistem sosial yang terdiferensiasi secara kultural. Konfigurasi kultural dalam sebuah sistem sosial politik seperti ini menciptakan ragam legitimasi tindakan sosial sehingga pada saat yang sama meminta integrasi dan perluasan kontrol atas motif-motif tindakan manusia. Dalam konteks inilah agama dalam morfologi mistisisme Jemaat Eli Salom Kele i yang menekankan pengalaman-pengalaman mistik di luar obligasi organisasi dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari model analisis Emile Durkheim yang memperhatikan bagaimana sumbangan agama dalam meletakan basis normatif bagi integrasi sosial, peran agama dalam mengatasi bahaya-bahaya individualisme dan anomie, serta signifikansi kolektivitas dalam sebuah masyarakat yang sedang mengalami perubahan struktural. Model ini menunjukan bahwa masyarakat Kele I sebagai representasi komunitas rural yang agraris menjadikan fenomena gerakan Jemaat Eli Salom sebagai mekanisme 7 Donatella Della Porta & Mario Diani, Social Movements (Malden MA: Blackwell Publishing, 2006), 8-9.

9 Redefinisi Tindakan Sosial 233 tersendiri untuk mengatasi anomi dan membentuk sebuah unitas yang terintegrasi. Keikutsertaan orang-orang dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus mistisisme yang dipimpin oleh Marliana Pulanga dapat dipandang sebagai sebuah konsolidasi normatif untuk menghadapi keadaan anomi yang diakibatkan oleh rusaknya interaksi sosial dan ketidakseimbangan dalam distribusi kekuasaan di dalam struktur sosial di Poso. Pengalaman-pengalaman mistik Marliana Pulanga secara fungsional melahirkan loyalitas terhadap realitas moral yang mereka yakini bersama. Kedua, dari model analisis Neil Smelser dan Alberto Melluci yang melihat peran agama sebagai gerakan berorientasi nilai untuk mendefinisikan kembali identitas mereka dan menentukan kehidupan yang efektif dan etis terhadap manipulasi bahasa kekerasan dari suatu sistem sosial keagamaan formal legalistik yang omnipresent. Para aktor yang ikut dalam perilaku kolektif Jemaat Eli Salom Kele i tidak bertujuan untuk memperoleh hal-hal yang material atau untuk sekedar memperoleh pengakuan akan martabat mereka sebagai penduduk asli di Poso, tetapi yang paling penting adalah untuk menentang morfologi-morfologi kekerasan, formalisme agama, disintegrasi nilai-nilai moral yang massif dan difusif. Ragam pengalaman dan praktek mistisisme mereka memberi ruang yang luas untuk bertahan terhadap ekspansi intervensi otoritas politik obligatif yang membolehkan segala cara untuk mencapai tujuan di dalam kompetisi kekuasaan dan mempertahankan otonomi moral sosial mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara fungsional perilaku keagamaan jemaat Eli Salom Kele i merupakan sebuah tipe khusus tindakan resistensi dan rekonstruksi sosial dalam konteks masyarakat Poso yang mengalami anomie.

10 234 Redefinisi Tindakan Sosial Dalam kerangka pemikiran Troeltsch, keberadaan Jemaat Eli Salom Kele i dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk perkembangan sosiologis agama yang disebutnya sebagai mistisisme. 8 Namun demikian, berbeda dengan Troeltsch yang memandang tipe mistisisme ini sebagai reaksi terhadap formalitas dan kemandegan kehidupan keagamaan, pengalaman dan perilaku keagamaan Jemaat Eli Salom Kele i yang bersifat mistikal tidak semata-mata merupakan respon terhadap keadaan gereja, tetapi yang terutama adalah reaksi terhadap keadaan sosial di Poso yang bersifat anomi. Dalam hal ini, kritik Bryan Wilson terhadap penerapan tipologi Troeltsch di luar konteks Christendom dapat dipahami. Menurut Wilson mistisisme sebagai sebuah gerakan keagamaan harus dianggap signifikan bukan hanya sebagai gerakan inovasi keagamaan, tetapi yang lebih penting lagi adalah ekspresi kebutuhan-kebutuhan sosial, tingkat kesadaran sosial, konsekuensi-konsekuensi disrupsi sosial dan patron-patron responsif terhadapnya. 9 Itu berarti signifikansi sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom Kele i terletak pada tindakan-tindakan sosial mereka yang terstimulasi oleh interpretasi mistikal terhadap proses perubahan sosial di Poso. Mistisisme sepeti inilah yang masuk dalam kategori mistisisme tindakan sosial. Elemen-elemen mistik dalam kehidupan keagamaan Jemaat Eli Salom Kele i seperti kepercayaan pada mimpi-mimpi, penglihatan-penglihatan, dan ragam pengalaman keagamaan yang bersifat langsung dan batiniah serta praktek-praktek purifikasi batin, rehabilitasi dan rekonsiliasi sosial, persekutuan doa di tengah malam, puasa di hari-hari tertentu, dan sikap anti kekerasan dapat 8 Ernts Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches V.2 (Chicago: The Univ. of Chicago Press, 1981), Bryan Wilson, Magic and Millenium: A Sosiological Study of Religious Movements (New York: Harper and Row Publisher, 1973), 2.

11 Redefinisi Tindakan Sosial 235 dipandang sebagai ekspresi kesadaran akan matra sosial agama. Oleh sebab itu ragam pengalaman dan praktek mistisisme mereka dapat juga dipandang sebagai upaya untuk menghadirkan resistensi mereka dalam menghadapi masalahmasalah sosial di Poso. 2. Mekanisme Kemunculan Jemaat Eli Salom Kele i Setiap masyarakat niscaya memiliki empat komponen dasar, yaitu interaksi sosial, struktur sosial, lokasi geografis, dan lokasi temporal. Interaksi sosial adalah hubunganhubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Struktur sosial mencakup lembaga-lembaga sosial, kebudayaan dan agama, kekuasaan dan wewenang, serta stratifikasi sosial. Dari uraian historis di dalam Bab IV dan V nampak bahwa Poso adalah sebuah masyarakat yang terbentuk pada peralihan abad sembilan belas ke abad dua puluh di sebuah daerah di Sulawesi Tengah. Melalui proses sejarah peperangan antar suku, ekspansi budaya dan agama, pergolakan politik di era kemerdekaan, dan sampai pada reformasi politik pasca Orde Baru, Poso terbentuk menjadi sebuah masyarakat dengan interaksi dan struktur sosialnya sendiri. Pada tahun terjadi perubahan sosial yang sangat cepat di Poso akibat kerusuhan dan konflik antar kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat di kabupaten Poso, Kele i ikut menjadi bagian dari konflik tersebut. Sejumlah anggota masyarakat Kele i ikut dalam bentrokan bersenjata. Setelah konflik berakhir, emosiemosi negatif, sentimen-sentimen sosial, dan ragam pengalaman traumatis memunculkan sejumlah masalah dan ketegangan dalam interaksi dan struktur sosial mereka sendiri sehingga masyarakat Kele i masuk dalam keadaan anomi.

12 236 Redefinisi Tindakan Sosial Tatanan nilai dan norma sosial yang telah terbangun melalui proses sejarah yang panjang tergerus oleh keadaan tersebut di atas. Berdasarkan kondisi objektif tersebut maka analisis untuk menemukan faktor-faktor sosiologis yang mengkondisikan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele i harus diarahkan pada komponen-komponen struktur sosial yang ada. Pertama adalah ketegangan struktural. Ekspansi kebudayaan dan agama pada peralihan abad sembilan belas ke abad dua puluh di Poso 10, pergeseran-pergeseran demografi melalui program transmigrasi di era Suharto 11, politik agama di era Reformasi, ketersediaan infra struktur transportasi lintas Sulawesi, masuknya investasi asing untuk pengolahan sumber daya alam, dan migrasi penduduk dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah mengubah Poso dari masyarakat yang homogen tradisional menjadi masyarakat yang heterogen dan urban. Keadaan ini mencapai momentum yang signifikan pada dasawarsa terakhir abad dua puluh. Wilayah Poso menjadi tempat pertemuan kelompok-kelompok sosial dengan identitas kultural dan agamanya masing-masing. Konfigurasi sosial, budaya, dan agama ini kemudian mulai bersitegang ketika masyarakat Poso terlibat dalam persaingan dan perebutan kekuasaan politik pemerintahan lokal seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Kedua adalah termarginalnya 10 Kebudayaan Islam dari Ternate, Bugis Makasar, Gorontalo, dan Jawa bertemu dengan Kebudayaan Kristen dari Maluku dan Minahasa. Lihat kembali Sejarah Perjumpaan Islam Kristen di Poso: Bab 4 Pasal Poso merupakan salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah di zaman Soeharto. Sampai dengan tahun 2000 tingkat kepadatan penduduk hanya mencapai 32/km 2. Bandingkan dengan angka kepadatan penduduk rata-rata di Indonesia 106/km 2. Oleh sebab itu sejumlah besar transmigran asal Jawa, Bali, dan Lombok dikirimkan ke Poso Sulawesi Tengah. Menurut data dari BPS Sulawesi Tengah seperti yang dikutip oleh Kontras dalam Laporan Penelitian Bisnis Militer di Poso Sulawesi Tengah tahun 2004, jumlah transmigran yang masuk ke Sulawesi Tengah adalah sebanyak kepala keluarga atau jiwa. 29% dari jumlah Transmigran itu ditempatkan di Poso, sehingga diperkirakan 20% pupulasi penduduk di Poso adalah transmigran asal Jawa, Bali, dan Lombok.

13 Redefinisi Tindakan Sosial 237 nilai-nilai budaya dan adat istiadat penduduk asli Poso. Ekspansi budaya melalui kedatangan kelompok-kelompok sosial dari tempat lain membuat budaya dan adat istiadat Poso kehilangan pengaruh dalam kehidupan sosial politik. Keadaan ini didukung oleh peralihan hak kepemilikan tanah dalam jumlah yang besar dari penduduk asli kepada pendatang dan investor, termasuk di dalamnya hak-hak ulayat penduduk asli terhadap tanah Poso. 12 Ketegangan struktural ini berkembang menjadi konflik sosial yang terbuka pada tahun 1998 sampai dengan Interaksi sosial lintas budaya dan agama kemudian membeku dan masyarakat hidup di dalam kelompok-kelompoknya dengan sentimen-sentimen sosial kultural yang kuat. Perubahan sosial dan ketegangan struktural ini mengakibatkan marginalisasi dan alienasi bagi orang-orang Poso. Mereka mengalami keterpinggiran dan keterasingan dari keterlibatan aktif di bidang kebijakan publik karena dominasi kelompok pendatang yang menguasai struktur sosial. Mereka menyaksikan penjungkirbalikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat mereka di tanah kelahiran mereka sendiri. Keadaan ini kemudian melahirkan ketimpangan sosial dan kemudian menimbulkan pengalaman dan kesan eksploitasi, penindasan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak-hak adat bagi penduduk asli di Poso yang kemudian berkembang menjadi konflik sosial terbuka antara penduduk pedalaman dan penduduk pesisir di Poso. Inilah yang memicu perilaku kolektif dan membuka peluang bagi lahirnya sebuah gerakan sosial yang berbasiskan kepercayaan fundamental. Pertanyaannya adalah apa dan dari mana mereka mendapatkan kepercayaan fundamental itu untuk melakukan mobilisasi perilaku kolektif demi perubahan sosial yang mereka inginkan. Pertanyaan inilah yang 12 Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso., xx

14 238 Redefinisi Tindakan Sosial membawa kita pada sebuah temuan yang penting dan menarik, yaitu fungsi sosial pengalaman mistik keagamaan. Apakah itu kebetulan atau tidak, seorang anak bernama Marliana Pulanga menceritakan pengalaman keagamaannya yang bersifat mistik dan otentik, yang tidak terlibat dengan formalisme keagamaan saat itu. Pengalaman keagamaan itu, ketika disampaikan kepada masyarakat umum, segera diterima dan dipercayai oleh sejumlah orang dan menjadikan pengalaman itu sebagai pokok kepercayaan yang fundamental serta menjadi sumber nilai bagi tindakan sosial dan perilaku kolektif mereka. Fakta ini menunjukan dua hal, pertama ketegangan struktural sebagai faktor sosiologis yang utama dalam memunculkan sebuah gerakan sosial keagamaan membutuhkan faktor pencetus dan basis mobilisasi perilaku kolektif. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele i, faktor pencetus dan basis mobilisasi itu adalah pengalaman mistik keagamaan Marliana Pulanga. Kedua, pengalaman mistik keagamaan tidak selalu menarik dan memisahkan orang dari dunia sosial. Purifikasi sebagai konsep utama dari mistisisme tidak hanya mempunyai segi-segi personal batiniah. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele i, pengalaman mistik dan anjuran untuk bertobat mendorong orang untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan menawarkan nilai-nilai serta normanorma kehidupan kolektif yang berorientasi pada rekonsiliasi dan perdamaian. Inilah yang menjadi ciri khas sosial keagamaan Jemaat Eli Salom Kele i sebagai sebuah jemaat yang bersifat mistikal dan sebuah gerakan sosial yang bersifat keagamaan. Dari analisis tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial dan ketegangan struktural di Poso menjadi faktor-faktor sosiologis bagi kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele i. Di samping faktor

15 Redefinisi Tindakan Sosial 239 tersebut ada faktor pemicu dan basis kepercayaan serta nilai fundamental, yaitu pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat mistik. Dalam keadaan inilah Jemaat Eli Salom Kele i muncul secara fungsional sebagai sebuah sistem makna, kerangka interpretasi, dan basis tindakan sosial serta perilaku kolektif. 13 Dengan demikian dari perspektif struktural fungsionalis, gerakan Jemaat Eli Salom Kele i dapat dipandang sebagai side-effects dari proses transformasi sosial yang terjadi di Poso. Dalam masyarakat Poso sebagai sebuah sistem sosial politik yang terdiri dari sub sistem sub sistem bernuansa kultural, kemunculan perilaku kolektif seperti yang nampak dalam masyarakat Kele i menyatakan secara tidak langsung ketegangan-ketegangan yang tidak dapat diabsorsi oleh mekanisme sistem keagamaan dan sistem politik yang ada. Ketika hubungan-hubungan sosial kehilangan basis normatif dan memunculkan perilaku yang tidak terkendali maka kepercayaan dan praktek mistitisme keagamaan Jemaat Eli Salom Kele i memiliki makna ganda, yaitu pada satu sisi merefleksikan ketidakmampuan agama institusional yang ada untuk mereproduksi kohesi sosial, dan di pihak lain geliat masyarakat untuk menanggapi krisis dan disintegrasi sosial melalui perkembangan kepercayaan dan nilai-nilai bersama di mana dasar-dasar bagi solidaritas kolektif diletakan. Keberadaan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele i tidak mungkin dipahami tanpa perspektif ini. Oleh sebab itu berdasarkan perspektif struktural fungsional 14, maka tesis pertama dalam disertasi ini adalah bahwa gerakan Jemaat Eli Salom Kele i sejatinya adalah bagian dari mekanisme 13 Hal ini telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya. 14 Di sini Penulis tidak merasa perlu lagi untuk mengulang konsepsikonsepsi teoritis dari Neil Smelser. Hal itu dapat dilihat kembali dalam Bab II. Cara yang sama akan ditemukan juga dalam bagian-bagian selanjutnya. Namun yang jelas bahwa analisis ini berada di dalam perspektif teoritis tersebut.

16 240 Redefinisi Tindakan Sosial interpretasi, restorasi, proteksi, dan modifikasi kehidupan sosial di Poso pada umumnya dan di Kele i pada khususnya. 3. Rasionalitas Mobilisasi Perilaku Kolektif Dengan Pendekatan konstruktivis 15 kita dapat melihat bahwa konflik Poso tidak hanya menstimulasi ekspresiekspresi dan aksi-aksi sosial politik, melainkan juga telah membangkitkan tantangan-tantangan kultural terhadap artikulasi-artikulasi bahasa kekerasan yang membentuk praktek sosial masyarakat. Dimensi-dimensi krusial kehidupan sehari-hari, termasuk di dalamnya relasi interpersonal dan identitas individu serta kelompok telah tersangkut di dalam kekaburan tatanan nilai dan norma kehidupan. Item-item budaya asli Poso tergerus oleh ekspansi kekuatan sosio kultural dominatif yang datang dari luar dan deviasi-deviasi tindakan sosial semasa konflik. Dalam keadaan inilah Jemaat Eli Salom kele i muncul sebagai sebuah rekonstruksi identitas kolektif alternatif. Identitas adalah sumber makna dan pengalaman setiap aktor sosial. Dengan identitas, proses konstruksi makna yang berbasis pada atribut kultural dan keagamaan mendapat prioritas. Masyarakat Poso sebagai sebuah konfigurasi kultural yang terintegrasi oleh sebuah sistem politik memiliki pluralitas identitas, sehingga menimbulkan kontradiksi, baik di dalam representasi diri maupun tindakan sosial. Masyarakat pesisir dengan kultur niaga dan agama Islamnya mengembangkan identitas superior dan menguasai struktur politik di Poso. Masyarakat pedalaman dengan kultur agraris dan agama Kristennya mengembangkan identitas inferior dan 15 Pendekatan konstruktivis yang dimaksudkan di sini adalah perspektif teoritis Alberto Meluci yang melihat terjadinya proses identitas kolektif dalam gerakan-gerakan sosial keagamaan. Untuk jelasnya lihat kembali Bab II dalam disertasi ini.

17 Redefinisi Tindakan Sosial 241 termarginal dari kekuasaan politik. Dengan cara pandang ini maka ketegangan struktural seperti yang dijelaskan sebelumnya dan konflik sosial di Poso merupakan ketegangan dan konflik identitas. Identitas harus dibedakan dari apa yang secara tradisional oleh para sosiolog disebut kumpulan peran. Peranperan terdefinisi oleh norma-norma yang disusun oleh lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi masyarakat. Kemampuan peran-peran dalam mempengaruhi perilaku orang bergantung pada negosiasi-negosiasi dan pengaturanpengaturan antara individu-individu dengan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi masyarakat. Sedangkan identitasidentitas adalah sumber makna bagi aktor-aktor sendiri dan dikonstruksi oleh mereka sendiri melalui proses individuasi. 16 Identitas dapat dilahirkan dari lembaga-lembaga dominan seperti lembaga keagamaan dan lembaga politik. Akan tetapi ia hanya akan menjadi identitas ketika dan jika aktor-aktor sosial menginternalisasinya dan mengkonstruksi maknanya di sekitar internalisasi ini. Identitas-identitas adalah sumber makna yang lebih kuat ketimbang peran-peran karena proses konstruksi diri dan individuasi yang dilibatkannya. Dalam pengertian sederhana identitas-identitas mengorganisasi makna sementara peran-peran mengorganisasi fungsi. Dalam kerangka berpikir ini identitas terdefinisi sebagai identifikasi simbolik oleh aktor-aktor sosial berkenaan dengan maksud tindakan-tindakan sosialnya. Ekspansi budaya, ketegangan struktural, dan keadaan anomi akibat kerusuhan dan konflik Poso telah mengakibatkan kekaburan identitas dan peran yang dilahirkan oleh lembagalembaga dominan, seperti lembaga-lembaga agama mapan, 16Manuel Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing, 2003), 6.

18 242 Redefinisi Tindakan Sosial termasuk Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kealpaan peran penduduk asli Poso dan kekaburan makna dalam kehidupan dan keterlibatan sosial mereka memuncak pada awal era Reformasi. Akses penduduk asli Poso terhadap lembaga dan kekuasaan politik terbatas. Era Suharto meninggalkan ketidakseimbangan politik sementara era Reformasi belum menghasilkan keseimbangan politik yang baru. Pada moment inilah terjadi konflik sosial dan identitas di Poso. Di era reformasi terjadi pemekaran wilayah kabupaten Poso sehingga peta demografi politik berubah. Momentum rekonsiliasi pasca konflik menyediakan keterbukaan kesempatan politik dan iklim demokrasi untuk merumuskan kembali peran sosial dan makna tindakan sosial penduduk asli Poso. Kele i sebagai salah satu tempat terjadinya mobilisasi perilaku kolektif penduduk asli Poso sejak masa kemerdekaan, pergolakan politik, dan konflik Poso kembali menjadi lokasi bagi sejumlah aktor untuk merekonstruksi kembali peran dan makna keterlibatan sosial mereka. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi kepercayaan fundamental bagi mobilisasi sosial ini? Kepercayaan fundamental yang dimaksudkan di sini adalah kepercayaan yang berkaitan dengan eksistensi terdalam dari kehidupan manusia. Kepercayaan itu harus dapat menyediakan nilai dan kaedah bagi perilaku dan tindakan-tindakan, baik yang bersifat personal maupun sosial. 17 Dalam urgensi inilah pengalaman mistik Marliana Pulanga yang menekankan pembaharuan makna kehidupan dan perilaku sosial berdasarkan iman kepada Tuhan menjadi relevan dan aktual sebagai kepercayaan fundamental bagi mobilisasi perilaku kolektif di Kele i dan yang melahirkan jemaat Eli Salom. Analisis ini mengarah pada kesimpulan 1962), Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press,

19 Redefinisi Tindakan Sosial 243 bahwa dimensi fungsional dari pengalaman dan abstraksi keagamaan Marliana Pulanga diprakondisikan juga oleh ketegangan struktural dan kebutuhan akan redefinisi tindakan sosial serta rekonstruksi identitas penduduk asli di Poso. Mungkinkah pengalaman dan abstraksi keagamaan itu tidak memberi fungsi sosial yang fenomenal sekiranya kondisi historis di Poso berbeda dari yang telah terjadi. Hal ini menjadi pertanyaan yang penting untuk melihat dan menyimpulkan dimensi fungsional agama di setiap lokasi historis tertentu. Abstraksi-abstraksi keagamaan dari Marliana Pulanga seperti ajakan untuk melakukan pembaharuan spiritual, reformasi mental, dan redefinisi tindakan sosial menjadi kerangka interpretasi dan legitimasi terhadap konsepsi budaya Poso, terutama konsep mombetubunaka atau saling menghormati dan konsep mosintuwu atau saling menghidupkan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua konstruksi pemikiran, yaitu pertama, kepercayaan fundamental tentang pembaharuan spiritual, reformasi mental, dan redefinisi perilaku sosial dihadirkan di dalam dan melalui kedua konsep budaya tersebut di atas. Kedua, budaya menjadi media yang paling efektif dan efisien bagi masyarakat untuk menjabarkan kepercayaan-kepercayaan fundamental dan nilai-nilai utama kehidupan yang diyakini secara kolektif. Konstruksi pemikiran ini menunjukan bahwa peran dan makna tindakan sosial Jemaat Eli Salom Kele i sebagai aktor kolektif terkonstruksi di atas suatu identitas primer yaitu komunitas orang-orang yang dipulihkan oleh Tuhan dan yang hidup berdasarkan nilai-nilai mombetubunaka dan mosintuwu. Perspektif sosiologis menunjukan bahwa identitas kolektif Jemaat Eli Salom Kele i tersebut di atas terkonstruksi kembali di bawah dua kondisi, yaitu ketegangan struktural yang bersamaan dengan konflik identitas di Poso dan kondisi

20 244 Redefinisi Tindakan Sosial religiositas masyarakat yang bersifat mistik sebagai jalan alternatif terhadap formalisme agama yang kaku. Pertanyaannya adalah bagaimana identitas itu terkonstruksi, dari apa, oleh siapa, dan untuk apa ia terkonstruksi. Jemaat Eli Salom Kele i sebagai aktor kolektif mengkonstruksi identitas mereka di satu pihak oleh kondisi ketegangan-ketegangan struktural dan benturan identitas, dan di lain pihak oleh perubahan dalam struktur politik era Reformasi dan pergeseran keagamaan dari yang bersifat formal institusional ke informal mistikal. Mereka terlibat secara langsung dalam semua kondisi itu, menafsirkan pengalaman-pengalaman itu berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai yang bersumber dari pengalaman mistik Marliana Pulanga, dan mengatur kembali maknanya menurut determinasi-determinasi sosial dan proyek-proyek moral keagamaan dalam kerangka menata kembali peran dan identitas sosial serta kehidupan yang aman dan damai di Poso. Konstruksi identitas sosial selalu terjadi di dalam sebuah konteks yang ditandai oleh relasi-relasi kekuasaan. 18 Dalam konteks ini ada tiga format dan asal mula bagunan identitas, yaitu identitas yang terlegitimasi, identitas resistensi, dan identitas rancangan. Identitas yang terlegitimasi dilahirkan dan diperkenalkan oleh masyarakat sipil melalui lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Dalam sejarah masyarakat Poso identitas ini nampak melalui representasi-representasi berbagai simbol Islam dari komunitas pesisir yang menguasai ruang publik dan kekuasaan politik. Dominasi ini mengakibatkan komunitas pedalaman merasa terdevaluasi dan termarginalisasi oleh identitas komunitas pesisir. Keadaan ini memaksa orangorang Kele i sebagai aktor-aktor komunitas pedalaman 18Castels, The Power of Identity..., 8.

21 Redefinisi Tindakan Sosial 245 membangun kubu-kubu resistensi dan survival dengan memanfaatkan sentimen-sentimen kultural, memori-memori historis, dan emosi-emosi kolektif untuk melakukan perlawanan terhadap identitas yang telah terlegitimasi tersebut di atas. Ketika politik kekuasaan di Poso terjebak dalam pertarungan kelompok kultural maka dominasi dan resistensi mengalami eskalasi dan terartikulasi dalam bahasabahasa kekerasan yang sistematis, struktural dan massif selama konflik Poso berlangsung. Dalam konteks inilah Jemaat Eli Salom Kele i muncul dengan identitas rancangannya. Identitas ini terbangun ketika para aktor seperti Marliana Pulanga dan Pendeta Y. Bareta, berdasarkan material keagamaan dan kultural yang ada pada mereka, membangun sebuah identitas yang baru yang meredefinisi posisi mereka di dalam masyarakat dan dengan upaya itu mengupayakan transformasi struktur masyarakat Poso secara keseluruhan. Identitas rancangan menghasilkan aktor sosial kolektif yang melaluinya anggota-anggota jemaat Eli Salom meraih makna holistik di dalam pengalaman sosial mereka. Dalam kasus Jemaat Eli Salom, pembangunan identitas adalah proyek dari satu kehidupan yang berbasis pada identitas yang tertekan, tetapi kemudian meluas ke arah transformasi masyarakat sebagai suatu perpanjangan proyek identitas itu sendiri. Berdasarkan analisis tersebut di atas maka tesis kedua dalam disertasi ini adalah bahwa Jemaat Eli Salom Kele i sejatinya adalah mekanisme reinterpretasi dan rekonstruksi identitas kolektif dalam upaya memahami dunia sosial dengan berbasiskan kepercayaan-kepercayaan fundamental sehingga produk-produk budaya seperti agama tetap bermakna bagi mereka.

22 246 Redefinisi Tindakan Sosial 4. Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele I dan Signifikansi Sosiologisnya Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele i berakar pada pengalaman akan kehadiran Tuhan dan perjumpaan dengan- Nya yang terjadi melalui mimpi dan penglihatan. Pengalaman itu disebut sebagai pengalaman mistik karena sifatnya yang suprarasional, meta-empiris, dan intuitif terhadap sesuatu yang tak terbataskan oleh ruang dan waktu. Pengalaman mistik itu kemudian membangkitkan emosi dan antusiasme keagamaan serta rasa kebermaknaan seseorang terhadap diri dan lingkungan sosialnya. Inilah yang terjadi dengan sekelompok orang di desa Kele i. Hal yang penting untuk di analisis di sini adalah apa hakikat dan makna pengalaman mistik itu dan apa yang menjadi signifikansi sosiologisnya. Hasil wawancara dan pengamatan empirik tidak menunjukan bahwa pengalaman mistik itu hanya pengalaman gaib semata yang irasional dan yang tidak memiliki pengaruh sosial. Sebaliknya, fakta menunjukan bahwa pengalaman akan kehadiran Tuhan dan pengimplementasian nilai-nilai kehidupan dalam dunia sosial menunjukan adanya sebuah konstruksi mental spitirual yang memberi landasan normatif bagi keterlibatan sosial mereka. Bila dipahami secara eksistensial dari sudut pandang psikologi sosial, tidak dapat disangkali bahwa pengalaman mistik Marliana Pulanga adalah akumulasi dan perkembangan sebuah proses sebab akibat antara kehidupan sosial dengan berbagai kondisi psikhis dan fisiknya yang secara intensif terarah pada objek -objek keyakinan yang berhubungan dengan Tuhan. Pengalaman mistik Marliana Pulanga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan pengalaman keagamaan populer yang diklaim oleh banyak orang di Kele i sebagai hasil dari keikutsertaan mereka dalam obligasi

23 Redefinisi Tindakan Sosial 247 keagamaan seperti ritual formal di rumah ibadah. Pengalaman mistik Marliana Pulanga dikondisikan oleh pikiran dan perasaan di dalam dimensi ruang dan waktu tertentu, misalnya saat sepi di malam hari atau saat teduh menjelang pagi, dalam ruangan yang gelap dan sunyi, ketika pikiran dan perasaannya menjadi hangat dengan memori dan emosi karena anomi yang dihasilkan oleh konflik Poso. Ragam peristiwa tragis dan mengerikan memunculkan perasaan cemas, takut, dan panik bagi Marliana Pulanga di tengah ketidakjelasan nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Di tengah situasi dan kondisi tersebut kemudian timbul kondisi mental tertentu yang terdiri dari berbagai perasaan seperti sedih, kecewa, putus asa, marah, takut, panik, bingung dsb. Kondisi mental ini yang sering juga disertai dengan kondisi fisik tertentu seperti terjadinya rasa mengantuk, lemas, pusing, keringat dingin, jantung berdebar - selanjutnya diarahkan pada Tuhan melalui objek-objek keagamaan seperti doa, meditasi, puasa, dan membaca kitab suci. Proses ini menjadi stimulan bagi munculnya keadaan kesadaran mistis yang berbeda dengan keadaan kesadaran normal. Dalam keadaan kesadaran mistis, medan kesadaran yang didominasi oleh intelektual tersubstitusi oleh intuisi sehingga peranan hati dan batin (daya afeksi) mengemuka dan menggantikan peran nalar (daya kognisi). Dalam terminologi spiritualitas proses itu disebut sebagai peralihan dari modus aktif kepada modus reseptif. Modus aktif adalah cara yang mengutamakan pemikiran logis, kontrol, analisis, dan penalaran. Modus ini berperan dalam bidang gagasan dan sistem. Sedangkan modus reseptif bersifat asosiatif, penyerahan, intuisi, dan kagum. 19 Pada moment inilah seseorang menjadi pasif dan merasa tidak 2002), Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,

24 248 Redefinisi Tindakan Sosial dapat berpikir dan berkata lagi. Orang merasa dirinya melayang, terpaku, terdiam, tak dapat berkata sepatahpun, hilang kesadaran normal, kemudian terjerumus masuk ke alam mimpi (halusinasi) dan penglihatan (vision) serta pendengaran akan suatu realitas lain yang melampaui waktu dan ruang. Malam itu saya duduk di kamar setelah selesai persekutuan doa di tenda, saya sudah puasa dari pagi dan saya mau saat teduh untuk berdoa. Tiba-tiba ada cahaya masuk ke dalam kamar. Cahaya itu datang dan menyinari saya. Saya tidak dapat bicara dan bergerak. Lalu saya merasa terangkat dan melayang, saya di bawa ke suatu tempat yang yang sangat mengerikan. Waktu saya sadar saya pikir itu neraka. Di tempat itu saya lihat beberapa muka yang saya kenal, mereka sudah mati, ada yang karena bunuh diri ada yang karena aborsi. Mereka sangat menderita. Lalu saya dapat petunjuk bahwa orang-orang Kele i harus bertobat dan kembali kepada Tuhan. 20 Di dalam teologi mistik, apa yang terjadi dalam pengalaman Marliana tersebut di atas dianggap sebagai pengalaman mistik yang disebut orison persatuan. Seorang mistik abad pertengahan Santa Teresa dari Avila mengatakan, Dalam orison persatuan, jiwa sepenuhnya terjaga terhadap Tuhan, tetapi sepenuhnya tertidur terhadap hal-hal keduniawian dan terhadap dirinya sendiri. 21 Mengenai penglihatan cahaya dan pendengaran petunjuk yang dialami sebagai kehadiran Tuhan pada keadaan 20 Wawancara dengan Marliana Pulanga tanggal 1 April 2014 di Palu. 21 William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia (Bandung: Mizan, 2004), 536.

25 Redefinisi Tindakan Sosial 249 kesadaran mistis tersebut, dapat dikatakan bahwa yang melihat bukan nalar seorang Marliana, tetapi kontemplasinya akan Tuhan. 22 Dalam Fenomenologi agama cara melihat seperti ini disebut sebagai suatu ekstasis atau suatu saat di mana terjadi penyerahan diri yang total kepada kuasa dan pertolongan Tuhan. Dalam pengalaman ini jiwa merasakan dirinya terserap oleh suatu kehidupan yang kekal, menembus ruang dan waktu. Inti pengalaman ini ialah bahwa semua kondisi mental dan fisik sebagai suatu individualitas yang utuh merembes dan larut ke dalam medan kuasa Tuhan dan memberi kegembiraan serta kedamaian bagi orang yang mengalaminya. 23 Itulah sebabnya di dalam situasi dan kondisi transien ini kemudian muncul kondisi mental tertentu yang pada umumnya sebagai kebalikan atau lawan dari kondisi mental sebelumnya. Beberapa anggota jemaat Eli Salom Kele i yang juga memiliki pengalaman mistik mengatakan bahwa pada diri mereka muncul perasaan terhibur, sukacita, gembira, bahagia, optimis, bergairah dan bersemangat, antusias, dan berani menghadapi dan menjalani kehidupan mereka selanjutnya. Inilah yang menjadi sumber antusiasme beragama jemaat Eli Salom Kele i yang menimbulkan kepasrahan dan kepercayaan kepada Tuhan. Struktur spiritual dan sikap mental inilah yang tetap dipertahankan ketika situasi transien dan kondisi kesadaran mistis berakhir. Seseorang kembali pada kesadaran normal dan terjadi sugesti terhadap sisi kognitifnya serta timbul sebuah praanggapan keagamaan atau pengakuan iman. Proses ini pada gilirannya akan mempengaruhi pandangan seseorang terhadap diri dan lingkungannya serta membentuk karakter serta perilaku 22 Lihat pemikiran Plotinos tentang pengalaman mistik dalam P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 288.

26 250 Redefinisi Tindakan Sosial sosialnya. Dalam perspektif sosiologi agama, analisis ini disebut sebagai model sibernetik karena perilaku sosial seseorang atau sekelompok orang memiliki hubungan kausalitas dengan proses-proses mental dan organik di dalam dirinya. 24 Penilaian eksistensial tersebut di atas tidak bisa dihindari dalam upaya untuk memahami entitas dan struktur psikologis pengalaman mistik di Jemaat Eli Salom Kele i, bagaimana itu bisa terjadi dan bagaimana tatanan serta asal usulnya. Aspek-aspek psikologis memainkan peranan yang signifikan dalam analisis ini. Namun demikian, seringkali hal inilah yang mencemarkan sisi kehidupan keagamaan sehingga muncul anggapan bahwa mereka yang memiliki pengalaman mistik dan perasaan keagamaan yang kuat acap kali mendapat serangan psikis abnormal. Hal ini nampak dari anggapan sebagian orang bahwa Marliana Pulanga be mo mayoa rayanya. 25 Orang-orang seperti Marliana Pulanga dipandang memiliki kepekaan emosional yang sangat dalam. Mereka menjalani kehidupan batin penuh konflik dan mengalami suasana melankolis dalam realita kehidupan mereka yang keras dan penuh penderitaan. Mereka kerap tenggelam ke dalam kondisi trans, mendengar suara-suara gaib, mengalami penampakan, dan menunjukkan segala jenis keanehan yang biasa disebut sebagai patologi. Ludwigh Feurbach mengatakan bahwa semua pengalaman dan perasaan keagamaan hanyalah alat psikologis yang digunakan manusia untuk menggantungkan harapan, kebaikan, dan ideal-idealnya sendiri kepada wujud khayal supernatural yang disebutnya dengan Tuhan, dan dalam proses itu ia hanya mengecilkan arti 24 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), Bahasa Pamona yang atinya sudah terganggu akal dan pikirannya. Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 26 Maret 2014 di Kele i.

27 Redefinisi Tindakan Sosial 251 dirinya sendiri. 26 Kritisisme terhadap pengalaman keagamaan seperti ini, paling keras datang dari Sigmund Freud dengan psiko analisisnya yang berusaha untuk memahami mengapa pengalaman dan perasaan keagamaan manusia bisa bertahan dalam masyarakat yang semakin rasional. Menurutnya emosi keagamaan dapat bertahan, meskipun telah didiskreditkan oleh realitas sosial dan intelektualitas manusia, karena sumber dan akarnya bukan pada pikiran rasional tapi pikiran bawa sadar. Pengalaman keagamaan muncul dari emosi dan konflik yang berawal dari masa lalu seseorang dan berada di bawah permukaan kepribadian yang normal dan rasional. Pengalaman keagamaan adalah suatu neurosis obsessional. Iahanya muncul sebagai respon terhadap konflik dan kelemahan emosional yang dalam akibat sebuah peristiwa di masa lalu. Inilah yang disebut dengan pendekatan agama yang reduksionisme fungsionalistik. Artinya agama secara keseluruhan dapat direduksi hingga lebih sedikit dari akibat penderitaan psikologis, hingga sekedar kumpulan ide dan kepercayaan yang setelah penampilan luarnya dirembus, menjadi harapan ilusi yang digerakkan oleh alam bawa sadar. 27 Dengan interpretasi seperti itu kita mengingat tesis Sigmund Freud, Saya tidak pernah ragu bahwa fenomena keagamaan harus dipahami sebagai sebentuk model tentang gejala-gejala neurotik individu. 28 Itulah sebabnya para penentang Jemaat Eli Salom Kele i mengatakan bahwa pengalaman mistik Marliana Pulanga hanyalah akibat masalah emosional yang disebabkan oleh keadaan keluarganya dan ketakutannya terhadap berbagai kondisi sosial di Poso dan 26 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford Univ. Press, 1996), Ibid., Sigmund Freud, Musa dan Monoteisme. Diterjemahkan oleh Burhan Ali (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 89, 105.

28 252 Redefinisi Tindakan Sosial Kele i. 29 Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengklarifikasi kebenaran pengalaman keagamaan Marliana Pulanga. Dalam hal ini kriteria empiris menjadi cara yang logis dan rasional untuk menentukan kebenaran suatu pengalaman keagamaan. Kriteria empiris melihat adanya nilai spiritual superior dari pengalaman keagamaan itu yang mempengaruhi sikap batin, citra diri, pandangan tentang dunia, dan membentuk tingkah laku yang etis. 30 Setiap agama yang hidup memiliki tiga elemen dasar yang penting yaitu elemen institusional, elemen intelektual, dan elemen mistikal. Elemen institusional mencakup sistem organisasi dan kelembagaan, kepemimpinan dan keanggotaan. Elemen intelektual adalah abstraksi-abstraksi sistematis dan logis serta refleksi-refleksi teologis dalam format sistem dogma dan etika. Sementara elemen mistikal adalah pengalaman-pengalaman keagamaan, baik bersifat batiniah maupun historis. 31 Dalam perspektif sosiologi agama, elemenelemen mistikal agama mempunyai hubungan kausalitas dengan kondisi-kondisi historis masyarakat. Apabila sebuah masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat dan signifikan serta menimbulkan krisis sosial maka agama institusional dan intelektual akan ditinggalkan lalu orangorang akan berpaling pada agama mistikal yang menawarkan pengalaman-pengalaman keagamaan yang otentik, bersifat langsung dan batiniah Pada tingkat yang lebih ekstrim ada yang menganggap bahwa pengalaman mistik dan perasaan keagamaan berhubungan dengan kehidupan seksual. Misalnya masalah peralihan agama dilihat berhubungan dengan krisis masa pubertas. Dan tindakan menyakiti diri, atau menerima penderitaan secara sukarela seperti yang dilakukan oleh para orang suci hanyalah naluri pengorbanan diri parental yang salah arah. Lih. James, Perjumpaan dengan Tuhan, 71, Ibid., Dorothe Soelle, The Silent Cry: Mysticism and Resistance (Minneapolis: Fortress Press, 2001), Perspektif teoritis ini dapat ditemukan dalam pemikiran Ernst Troletsch dan Dorothee Soelle. Untuk jelasnya lihat kembali Bab III tentang Mistisisme.

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN Fakta-fakta dan analisis di dalam disertasi ini melahirkan satu kesimpulan umum yaitu bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom Kele i adalah sebuah hasil konstruksi sosial dan

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 Agama adalah salah satu bentuk kontruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinankeyakinan,

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Modernisasi telah membawa dampak yang signifikan di dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Modernisasi telah membawa dampak yang signifikan di dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi telah membawa dampak yang signifikan di dalam kehidupan manusia, namun juga telah membutakan upaya sadar manusia dalam mencari kebahagiaan hidup.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

Perilaku Sosial dan Kontrol Sosial. Lolytasari, M.Hum

Perilaku Sosial dan Kontrol Sosial. Lolytasari, M.Hum Perilaku Sosial dan Kontrol Sosial Lolytasari, M.Hum Perilaku Menyimpang Adalah suatu perilaku yang buruk dan dapat menimbulkan masalah, penyakit masyarakat, anti sosial, para ahli menyebutnya dengan disfungsi

Lebih terperinci

LANDASAN SOSIOLOGIS. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang :

LANDASAN SOSIOLOGIS. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang : LANDASAN SOSIOLOGIS PENGERTIAN LANDASAN SOSIOLOGIS : Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari

Lebih terperinci

Bab 7 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Praktik Makan Patita

Bab 7 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Praktik Makan Patita Bab 7 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Praktik Makan Patita Suatu praktik dalam masyarakat tidak mungkin terpisah sepenuhnya dari kondisi riel masyarakat itu sendiri. Kondisi yang terkait dengan intensitas pelaksanaan

Lebih terperinci

Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09

Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09 Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09 1. Pengertian Perubahan Sosial Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN 137 BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Konsep mimpi Sigmund Freud. Mimpi adalah produk psikis yang dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis. Dengan menganalisis mimpi maka dapat mengetahui

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi 128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14 Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : 2008 Pertemuan 14 MASYARAKAT MATERI: Pengertian Masyarakat Hubungan Individu dengan Masyarakat Masyarakat Menurut Marx Masyarakat Menurut Max Weber

Lebih terperinci

Facebook :

Facebook : 1 Nama : Dian Silvia Ardasari Tetala : Baso, 4 Desember 1983 Pendidikan : Sarjana Sosial dari Universitas Indonesia Status : Istri dari Chairul Hudaya Ibu dari Naufal Ghazy Chairian (3,5 th) dan Naveena

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS A. Teori Fungsionalisme Struktural Untuk menjelaskan fenomena yang diangkat oleh peneliti yaitu Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN 84 BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN Keyakinan agama dewasa ini telah dipinggirkan dari kehidupan manusia, bahkan harus menghadapi kenyataan digantikan oleh ilmu pengetahuan. Manusia modern merasa tidak perlu

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aristoteles merupakan salah seorang filsuf klasik yang mengembangkan dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin bahwa politik

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, musik merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan peribadatan. Pada masa sekarang ini sangat jarang dijumpai ada suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pengalaman Beragama. Pengalaman beragama menurut Glock & Stark (Hayes, 1980) adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pengalaman Beragama. Pengalaman beragama menurut Glock & Stark (Hayes, 1980) adalah 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGALAMAN BERAGAMA 1. Pengertian Pengalaman Beragama Menurut Jalaluddin (2007), pengalaman beragama adalah perasaan yang muncul dalam diri seseorang setelah menjalankan ajaran

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat yang tercakup atas aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak P A R A D I G M A (Penelitian Sosial) I Paradigma Merton universalisme, komunalisme, pasang jarak/ tanpa keterlibatan emosional, skeptisisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dilihat dari sudut pandang spiritual, dunia ini terbagi ke dalam dua karakter kehidupan spiritual, yaitu: Bangsa-bangsa barat yang sekuler dalam arti memisahkan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada akhir abad 19, mulai berkembang sebuah disiplin ilmu baru yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Pada awal perkembangannya ilmu

Lebih terperinci

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons Teori ini digunakan oleh peneliti untuk menganalisis pesantren dan pangajian taaruf (studi kasus eksistensi

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanpa pretensi untuk mengecilkan peran kelompok lain dari masyarakat yang turut bergerak dalam panggung perubahan sosial, peran mahasiswa merupakan unsur yang seolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai oleh kekacauan normanoma

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai oleh kekacauan normanoma BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pemikiran Kerusuhan dan konflik sosial di Poso yang terjadi pada kurun waktu 1998-2005 telah menjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan suasana anomi. 1 Secara

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan di perkotaan diperhadapkan dengan sebuah realita kehidupan yang kompleks. Pembangunan yang terus berlangsung membuat masyarakat berlomba-lomba untuk

Lebih terperinci

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang Makeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang Makeang masa

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek

BAB VI PENUTUP. ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN Paparan, analisis, dan argumentasi pada Bab-bab sebelumnya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Video game merupakan permainan modern yang kehadirannya diawali sejak

Lebih terperinci

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT AGAMA DAN MASYARAKAT (1) Menurut Mark Twain manusia adalah binatang beragama, sementara Mircea

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada dua bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa komunitas karakter sosial dan juga karakter

Lebih terperinci

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya)

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya) Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios,

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi

Lebih terperinci

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana. Ph.D a.wardana@uny.ac.id Overview Perkuliahan Konstruksi Teori Sosiologi Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Teori Sosial (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Apa itu Teori dalam Sosiologi? Pada saat kita menanyakan mengapa dunia sosial kita seperti ini dan kemudian membayangkan bagaimana

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Nabeel Jabbour menepis pemahaman tentang gereja hanya sebatas bangunan, gedung dan persekutuan yang institusional. Berangkat dari pengalaman hidup Nabeel Jabbour selama

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Eros Rosinah, 2013 Gerakan Donghak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Eros Rosinah, 2013 Gerakan Donghak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada abad ke-19, sebagian besar negara-negara di Asia merupakan daerah kekuasan negara-negara Eropa. Pada abad tersebut khususnya di negara-negara Asia yang

Lebih terperinci

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MAKRO (MACROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYIMPANGAN SOSIAL

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MAKRO (MACROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYIMPANGAN SOSIAL PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MAKRO (MACROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYIMPANGAN SOSIAL Tidak seperti biologi atau teori-teori psikologi yang, untuk sebagian besar, mengeksplorasi faktor-faktor yang terkait kejahatan

Lebih terperinci

Bullying: Tindak Kekerasan Antara Siswa Laki-Laki Dan Siswa Perempuan Dalam Perspektif Jender di SMA Negeri 2 Ambon

Bullying: Tindak Kekerasan Antara Siswa Laki-Laki Dan Siswa Perempuan Dalam Perspektif Jender di SMA Negeri 2 Ambon Bullying: Tindak Kekerasan Antara Siswa Laki-Laki Dan Siswa Perempuan Dalam Perspektif Jender di SMA Negeri 2 Ambon I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan kekerasan atau violence umumnya dilakukan

Lebih terperinci

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme Ada tiga hal penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita; Yakni: Apa yang perlu kita ketahui dan pahami tentang Sosiologi dan Politik? Mengapa kita perlu mengetahui dan memahami Sosiologi dan Politik?

Lebih terperinci

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang

Lebih terperinci

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di BAB II : KAJIAN TEORITIK a. Solidaritas Sosial Durkheim dilahirkan di Perancis dan merupakan anak seorang laki-laki dari keluarga Yahudi. Dia mahir dalam ilmu hukum filsafat positif. Dia terakhir mengajar

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI

DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oktober 2011 PADA MULANYA...WEBER ZWECKRATIONALITÄT RASIONALITAS BERTUJUAN WERTRATIONALITÄT RASIONALITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Fredrike Bannink, Handbook Solution-Focused Conflict Management, (Gottingen: Hogrefe Publishing, 2010) 2

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Fredrike Bannink, Handbook Solution-Focused Conflict Management, (Gottingen: Hogrefe Publishing, 2010) 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Konflik dapat dipahami dalam dua dimensi, yaitu bahaya dan peluang 1. Bila dalam krisis, seseorang atau kelompok orang memiliki pikiran negatif yang kuat, ia atau mereka

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum tipologi masyarakat dikategorikan menjadi dua,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum tipologi masyarakat dikategorikan menjadi dua, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum tipologi masyarakat dikategorikan menjadi dua, masyarakat tradisional dan masyarakat yang sudah modern. Masyarakat tradisional adalah masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

1) MERUMUSKAN SOSIOLOGI (1840) SBG ILMU EMPIRIK ( BAPAK SOSIOLOGI)

1) MERUMUSKAN SOSIOLOGI (1840) SBG ILMU EMPIRIK ( BAPAK SOSIOLOGI) a. AUGUSTE COMTE (1798 1857) 1) MERUMUSKAN SOSIOLOGI (1840) SBG ILMU EMPIRIK ( BAPAK SOSIOLOGI) 2) SOSIOLOGI TDA : SOS STATIS (ASPEK STRUKTUR) SOS DINAMIS (ASPEK PROSES, PERUBAHAN) 3) MASY DIPANDANG SBG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

A. Proses Pengambilan Keputusan

A. Proses Pengambilan Keputusan A. Proses Pengambilan Keputusan a) Definisi Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kesempurnaan lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam al-quran, Allah berfirman:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini, proses globalisasi sedang terjadi di Indonesia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini, proses globalisasi sedang terjadi di Indonesia. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini, proses globalisasi sedang terjadi di Indonesia. Hal ini berpengaruh terhadap dinamika perkembangan budaya. Bangsa Indonesia diguncang berbagai

Lebih terperinci

Identitas Nasional Dan Pembangunan Stabilitas Nasional

Identitas Nasional Dan Pembangunan Stabilitas Nasional Identitas Nasional Dan Pembangunan Stabilitas Nasional A. PENGERTIAN IDENTITAS NASIONAL Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi sekarang ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, bahasa, budaya. Kemajemukan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, bahasa, budaya. Kemajemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, bahasa, budaya. Kemajemukan bangsa yang terbangun dari perbedaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010).

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010). BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kecemasan Komunikasi Interpersonal 2.1.1. Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal Burgoon dan Ruffner (1978) kecemasan komunikasi interpersonal adalah kondisi ketika individu

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. Dari kajian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama, Realitas

BAB VII PENUTUP. Dari kajian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama, Realitas BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Dari kajian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama, Realitas keberagamaan warga Nelayan Bugis Pagatan yang terkonstruk dalam ritual Massorongritasi sebagai puncaknya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Moral Ekonomi Pedagang Kehidupan masyarakat akan teratur, baik, dan tertata dengan benar bila terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

Lebih terperinci

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan Pada Bab II telah dijelaskan bahwa cara pandang Jemaat Gereja terhadap

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut 438 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan. Penelitian tentang etika politik legislator muslim era demokrasi lokal ini menitikberatkan pada pemikiran dan aksi yang dijalankan legislator dalam arena sosio-kultural

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis 368 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN A. Kesimpulan Sasaran utama penelitian ini adalah untuk memberi jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sepanjang hidup, artinya secara fisik individu akan terus tumbuh namun akan berhenti

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga.

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga. BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP II. 1. Pendekatan Psikologi Setiap kejadian, apalagi yang menggoncangkan kehidupan akan secara spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar

Lebih terperinci

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga

Lebih terperinci