BAB I PENDAHULUAN. 1 Khadziq, 2009, Islam dan Budaya Lokal, Penerbit Teras, Yogyakarta, hal

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sidi Gazalba menyebutkan kelebihan manusia dari makhluk yang lain adalah bahwa manusia itu mempunyai jiwa, dari jiwa itulah manusia akhirnya berkebudayaan. Jiwa manusialah yang menyebabkan adanya kebudayaan. Di sini kebudayaan diartikan sebagai tjara berfikir dan tjara merasa, yang menjatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan umat manusia jang membentuk kesatuan sosial, dalam suatu ruang da suatu waktu. Orang-orang yang mengaku rasional dan ilmiah setinggi apapun akhirnya akan meyakini kebenaran berdasar keyakinan kuat tentang adanya Tuhan. Ini membuktikan bahwa orang akan cenderung beragama, yakin adanya Tuhan, yang di dalam Islam dijelaskan bahwa setiap orang diciptakan secara fitrah (bertuhan). Tuhan adalah sosok yang supranatural, tidak bisa ditangkap dengan indera manusia, mengenai bentuk dan ukurannya (setiap orang beragama pasti membenarkan pernyataan, apapun orang bilang, rasional atau tidak, ilmiyah atau tidak, tetapi saya yakin bahwa Tuhan saya adalah Tuhan yang benar. Dalam Islam, Aqidah yang diucapkan dalam dua kalimat syahadat adalah melampaui dunia ilmiyah). 1 1 Khadziq, 2009, Islam dan Budaya Lokal, Penerbit Teras, Yogyakarta, hal

2 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana makna agama bagi masyarakat di Jawa? 2. Bagaimana agama dalam relasi masyarakat di Jawa?

3 BAB II PEMBAHASAN A. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa Agama atau religi hubungan antara manusia dengan Jang Maha Kudus, dihajati sebagai hakikat bersifat gaib, hubungan mana menjatakan diri dalam bentuk kultus serta ritus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Dalam tataran empiris, agama terdiri dari beberapa unsure pokok, yaitu yaitu sistem kepercayaan kepada Tuhan, sistem aturan dalam kitab suci, sistem ritual dan symbol-simbol agama yang bersifat kebendaan. Semua itu berfungsi sebagai unsure-unsur empiris atau nyata sebuah agama. Di dalam kajian agama sering dibedakan antara agama samawi (langit) dengan agama ardhi (bumi-dunia). Baginya, agama samawi adalah ciptaan Tuhan, sehingga ia bukanlah kebudayaan; sedangkan agama ardhi adalah ciptaan manusia, sehingga termasuk kebudayaan. Aspek agama yang paling mendasar adalah sistem kepercayaan terhadap Tuhan, dzat ghaib yang supranatural. Tuhan dipercaya sebagai sosok yang melampaui alam semesta. Dialah yang menciptakan alam semesta, dan dengan demikian Dia mempunyai kekuasaan mutlak atas alam semesta sebagai makhluknya. Tuhan dipercaya ada secara obyektif yang mewujud, ada sebelum pikiran manusia sadar akan ada-nya, dan akan tetap hingga seseorang meninggal. Dengan adanya kepercayaan terhadap Tuhan ini seseorang dapat mencapai sebuah kondisi susah sekaligus, karena masih ada harapan yang lebih baik apabila Tuhan yang dipercaya menghendaki. Dari hasil komunikasi dengan Tuhan, seorang Rasul atau pembawa agama akan mengenalkan ajaran dari Tuhan untuk dijadikan pedoman hidup bagi manusia di dunia. Sejak manusia mengeal tulisan, ajaran Tuhan yang disampaikan melalui seorang utusan senantiasa ditulis dalam sebuah catatan yang selajutnya sering disebut kitab suci. Tentu saja seorang pembawa yang berbeda dengan kepercayaan terhadap Tuhan yang berbeda akan membawa ajaran atau kitab suci yang berbeda pula. Informasi tentang sosok Tuhan, hakekat manusia dan kehidupan, dan bagaimana manusia harus berbuat menjalankan hidupnya,

4 senantiasa termuat di dalam kitab suci ini. Kitab suci selajutnya akan dijadikan sebuah ajaran yang monumental, yang akan dijaga kemurniannya, dan diperlakukan sebagai benda suci yang tidak sembarangan memperlakukannya. Ajaran untuk menjalankan tugas kehidupan manusia yang terkandung di dalamnya membuat kitab suci merupakan satu bentuk sistem aturan yang harus ditaati oleh penganutnya. Selain berfungsi sebagai alat kesempurnaan, sarana-sarana tersebut juga bermakna simbolik. Simbol-simbol itu seringkali menjadi identitas bagi keberagaman seseorang yang membedakan dengan keberagaman orang lain. Dalam kenyataannya, simbol-simbol agama ini sangat penting keberadaannya, sebagai awal terbentuknya komunitas atau masyarakat beragama. Kepercayaan kepada Tuhan tertentu yang merupakan hasil belajar manusia telah membawa kompleksitas munculnya aneka ragam agama yang ada di dunia. 2 Pengertian masyarakat Jawa yaitu masyarkat yang beretnis Jawa yang masih komitmen terhadap kebudayaan Jawa apakah tinggal di Jawa, khususnya di daerah Yogyakarta atau juga di luar Pulau Jawa. Batasan masyarakat Jawa di atas tidak membedakan orang Jawa dalam varian sebagaimana seperti yang dirumuskan oleh Clifford Geertz, yaitu santri dan abangan, misalnya melainkan lebih ditekankan masihkah anggota masyarakat yang beretnis Jawa tersebut komitmen kebudayaan Jawa atau tidak (sekurang-kuragnya telah mulai luntur). Dalam istilah lain dikenal juga dengan nama tirakat yang berasal dari bahasa arab, yaitu thariqah, yang karea gejala ablaut, yakni perubahan bentuk kata karena perubahan bentuk bunyi vocal, yang kemudian berubah menjadi tirakat, dalam tirakat itu, dalam percakapan sehari-hari biasanya dilakukan dengan cara mengurangi makan dan minum, mengurangi tidur, banyak semedi dan sebagainya. Dalam tirakat orang Jawa memiliki beberapa tradisi yaitu, Poso, Ngruwat, Vegetarier, dan Mutih. Karena kebiasaan tirakat itu telah sedemikian rupa dalam masyarakat Jawa, maka hampir tidak ada masyarakat Jawa yang tidak mengenal dengan nama 2 Khadziq, 2009, Islam dan Budaya Lokal, Penerbit Teras, Yogyakarta, hal

5 tirakat itu, terutama di kalangan masyarakat tengah baya. Kebiasaan ini diperkokoh lagi dengan ajaran agama Islam dengan wujud puasa. 3 B. Agama Dalam Relasi Masyarakat Jawa Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan da berimpit saling menciptakan dan meniadakan. Dalam kehidupan berbudaya, manusia melakukan proses objektivasi. Istilah objektivasi adalah istilah yang digunakan oleh Daniel Miller dalam bukunya Material Culture and Mass Consumtion untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang hubugan dialetika antara objek dan subjek. Istilah ini dijelaskan Miller sebagai proses ganda, yang melaluinya subjek mengeksternalisasi dirinya melalui suatu tindakan kreatif diferensiasi, dan selanjutnya mengembalikan untuk eksternalisasi melalui tindakan yang disebut Hegel sublasi (semacam pemberian pengakuan) (Miller, 1987: 28). Agama dalam konteks budaya berada dalam dialektika ini. Ada seorang manusia yang melakukan pemaknaan baru terhadap sistem nilai suatu masyarakat, lalu mengemukakan dengan meminjam simbol budaya yang telah tersedia. Perbedaan agama sebagai produk budaya dengan produk yang lainnya konstruksi rumah atau model berpakaian, misalnya- terlebih pada ketrasendenan yang dihasilkan agama. Transendensi secara harfiah bermakna yang mengatakan sesuatu atau berdiri di luar sesuatu dalam konteks ini terjadi ketika pemaknaan yang dilakukan telah menghasilkan struktur nilai yang tidak terjebak pada hal-hal imanensi, keadaan sering terkurung oleh yang materiil. Kemateriilan menghentika manusia pada penyimpulan buntu, terantuk pada kepejalan dan bentuk menipu. Hal yang sama terjadi ketika ada suatu agama masuk pada masyarakat lain di luar masyarakat pembentuknya. Agama itu akan mengalami proses penyesuaian 3 diakses pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 19:00 WIB

6 dengan kebudayaan yang telah ada. Ada kompromi nilai atau simbol antaragama yang masuk dengan kebudayaan asal yang menghasilkan bentuk baru dan berbeda dengan agama atau budaya asal. 4 Patut disinggung bahwa istilah priyayi termasuk di kota Yogyakarta, sebagai dampak dari kemajuan yang dicapai dalam arti luas, nampaknya cenderung memudar. Bahkan andaikata dalam istilah nampaknya priyayi sudah terkapling hanya untuk menyebut orang-orang yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri. Ada gejala bahwa kesadaran pelapisa sosial yang didasarkan pada istilah priyayi dan non priyayi nampaknya terus menerus mengalami peurunan, dan orang Jawa tidak lagi begitu peka terhadap dengan istilah tersebut. 5 4 Kahmad Dadang, 2011, Sosiologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, hal diakses pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 19:00 WIB

7 BAB III PENUTUP Kesimpulan Agama itu akan mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan yang telah ada. Ada kompromi nilai atau simbol antaragama yang masuk dengan kebudayaan asal yang menghasilkan bentuk baru dan berbeda dengan agama atau budaya asal. Dalam kenyataannya, simbol-simbol agama ini sangat penting keberadaannya, sebagai awal terbentuknya komunitas atau masyarakat beragama. Kepercayaan kepada Tuhan tertentu yang merupakan hasil belajar manusia telah membawa kompleksitas munculnya aneka ragam agama yang ada di dunia. Kitab suci selajutnya akan dijadikan sebuah ajaran yang monumental, yang akan dijaga kemurniannya, dan diperlakukan sebagai benda suci yang tidak sembarangan memperlakukannya. Ajaran untuk menjalankan tugas kehidupan manusia yang terkandung di dalamnya membuat kitab suci merupakan satu bentuk sistem aturan yang harus ditaati oleh penganutnya.

8 DAFTAR PUSTAKA Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2011 Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, Penerbit Teras, Yogyakarta, diakses pada tanggal 03 Maret 2016 pukul 19:00 WIB