OPTIMALISASI PEMANFAATAN KAWASAN PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN ASBAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMALISASI PEMANFAATAN KAWASAN PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN ASBAR"

Transkripsi

1 OPTIMALISASI PEMANFAATAN KAWASAN PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN ASBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 OPTIMALISASI PEMANFAATAN KAWASAN PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN ASBAR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, September, 2007 A s b a r NIM C

4 RINGKASAN ASBAR. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan SUGENG BUDIHARSONO, KADARWAN SOEWARDI, serta DIETRIECH G. BENGEN sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Kawasan pesisir Kabupaten Sinjai memiliki sumberdaya alam yang cukup potensial, salah satunya adalah untuk budidaya tambak. Permasalahan utama dalam pengembangan budidaya tambak adalah tingginya (loading) nutrien dan bahan organik dari budidaya tambak yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biofisik, kesesuaian peruntukan lahan, kapasitas asimilasi, daya dukung lingkungan dan lahan yang optimal untuk pengembangan budidaya tambak. Metode survei digunakan untuk menilai karakteristik biofisik lingkungan sebagai dasar penentuan kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Analisis kesesuaian peruntukan lahan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS), analisis daya dukung lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan mengunakan program tujuan ganda (LGP). Hasil analisis diperoleh lahan yang sesuai untuk budidaya tambak seluas 1.308,95 ha dengan alokasi 417,22 ha untuk budidaya tradisional dan 891,73 ha untuk semi-intensif dan intensif; 310,90 ha sesuai untuk konservasi mangrove; dan ha sesuai peruntukan lain. Volume air yang tersedia di pantai untuk tambak sekitar ,17 m3 hr -1, dengan kemampuan asimilasi perairan sebesar ,87 kg. Hasil analisis dengan daya dukung jika semua lahan dimanfaatkan untuk budidaya intensif seluas 245,51 ha. Jika semuanya diperuntukkan semi-intensif seluas 449,93 ha dan tradisional plus seluas 1.473,06 ha. Hasil analisis Skenario-1 (priotitas aspek ekologi), diperoleh alokasi pemanfaatan lahan untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 350 ha untuk semi-intensif, 525 ha untuk tradisional plus, 155 untuk polikultur (bandeng dan rumput laut), dan 99,89 ha untuk silvofishery, serta 471,78 ha untuk konservasi mangrove. Hasil Skenario-2 (prioritas aspek sosial) diperoleh alokasi pemanfaatan lahan seluas 117 ha untuk intensif, 370 ha untuk semi-intensif, 426 ha untuk tradisional plus dan 255 ha untuk polikultur bandeng dan rumput laut, kemudian 451,81 ha untuk konservasi mangrove. Hasil Skenario-3 (prioritas aspek ekonomi), mengalokasikan pemanfaatan lahan untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 449,92 ha untuk semi-intensif, 426 ha untuk tradisional plus, 255,15 ha untuk polikultur bandeng dan rumput laut, dan 371,92 untuk konservasi mangrove. Kata Kunci : Optimalisasi, pemanfaatan lahan, budidaya tambak, daya dukung lingkungan, dan keberlanjutan

5 ABSTRACT ASBAR. Optimalization of Coastal Area Utilization for Sustainable Brackish water ponds in Sinjai Regency, South Sulawesi. Under supervision of DEDI SOEDHARMA, SUGENG BUDIHARSONO, KADARWAN SOEWARDI, and DIETRIECH G. BENGEN. The coastal area of Sinjai Regency has potential natural resources, one of them is brackish water pond cultures. The problems in the development of them are loading of organic substance and nutrients, they influence environmental carrying capacity. These matters can be overcome by building model of optimal land use for brackish water ponds based on land suitability and carrying capacity. The aims of this research are to study the characteristic of biophysics, land suitability, assimilation capacities, carrying capacity and optimalization of land for the development of fishpond cultures. The survey methods used to assess characteristics of environmental biophysics which are used for determination of land suitability and carrying capacity. The analyses are land suitability, carrying capacity analysis, and optimalization of land utilization. Land suitability analysis uses GIS and optimalization of land utilization employs linear goal programming (LGP). Results of land suitability show that only 1, hectares are suitable for brackish water ponds, with allocation of hectares for traditional culture and hectares for semi-intensive and intensive cultures, and hectares for the mangrove conservation, and the rest is 2, hectares. The water volume in coast to brackish water fishponds about 68,934, m 3 hr -1, with assimilate capacity about 515, kgs. According to carrying capacity analysis, the areas allocated for intensive, semi-intensive and traditional cultures consecutively as follows hectares, hectares, and 1, hectares. The result of scenario 1 (ecological priority) is the allocation of land utilization for intensive shrimp culture 117 hectares, 350 hectares for the semi-intensive, 525 hectares for traditional shrimp, 155 for the poly-culture of (milkfish and sea grass), and hectares for silvofishery, and also hectares for the conservation of mangrove. The result of scenario 2 (social priority) is the allocation of land optimal utilization for intensive shrimp culture 117 hectares, 370 hectares for the semi-intensive of, 426 hectares to traditional plus and 255 hectares for the poly-culture of milkfish and sea grass; then hectares for the conservation of mangrove. The result of scenario 3 (economical priority) is the allocation of land optimal utilization for intensive shrimp culture 117 hectares, hectares for the semi-intensive of, 426 hectares to traditional plus, hectares for the poly-culture of milkfish and sea grass, and hectares for the conservation of mangrove Key Word: Optimalization, spatial utilization, brackish water ponds culture, carrying capacity and sustainability

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Eddy Supriono Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bambang Widigdo, M.Sc Dr. Ir. Ketut Sugama, M.Sc

8 Judul Disertasi : Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir Untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan Nama : Asbar NRP : C Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Anggota Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Diketahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasrjana Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 28 September 2007 Tanggal Lulus :

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Buntu Lamba, Enrekang Sulawesi Selatan pada tahun 1964 sebagai anak keempat dari pasangan Maraguni dan Hj. Sia. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada tahun Pada tahun 1991, Penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Ilmu Perairan (AIR), dan menamatkannya pada tahun Pada tahun 2001, penulis mendapat kesempatan melanjutkan program doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, sejak tahun 1989 sekarang. Mata kuliah yang diasuh antara lain : Dinamika Populasi Ikan, Manajemen Sumberdaya Perikanan, dan Manajemen Penangkapan Ikan. Pada tahun 1996, penulis menikah dengan Hj. Mutahharah Mas, SE dan telah dikaruniai 3 orang anak Muhammad Faturrahman, Nur Fadhillah, dan Muhammad Furqan. Selama mengikuti S3 beberapa karya telah diterbitkan, diantaranya (1) Hubungan Antara Berbagai Aktivitas Masyarakat pesisir dan Pola Sebaran Komunitas Terumbu Karang di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan telah dipresentasikan pada Konperensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Bali dan diterbitkan pada Prosiding KONAS III 2002 PSPLI; (2) Valuasi Ekonomi dan Pengembangan Konservasi Mangrove di Kawasan Pesisir Kabupaten Berau Kalimantan Timur dipresentasikan pada Konperensi Nasional IV 2004 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Balikpapan-Kalimantan Timur dan diterbitkan pada Prosiding KONAS IV 2004 PSPLI.

10 PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia dan rakhmat-nya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tema yang penulis kaji adalah Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang sampai saat ini masih rendah merupakan salah satu pemicu yang menginspirasi mengapa penelitian ini perlu dilakukan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan sering kali hanya didasari atas pencapaian manfaat ekonomi serta tanpa mengindahkan kaidah-kaidah ekologi yang telah menjadi pendukung bagi keberlanjutan fungsi sumberdaya pesisir dan lautan bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumberdaya yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungan pesisir dan lautan banyak dipraktekkan dan bahkan menjadi kecenderungan dalam setiap aktifitas pemanfaatannya. Akibatnya adalah, resultante dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pemanfaatan sering tidak memperhatikan kesesuaian peruntukan lahan dan melebihi kapasitas asimilasi dari lingkungan perairan dalam penerima beban pencemaran baik yang berasal dari kegiatan itu sendiri maupun dampak akibat kegiatan sektor lainnya. Dalam penelitian ini tekah diupayakan untuk mengkaji optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Upaya untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya lahan dan kebutuhan manusia adalah menentukan jenis komoditi, teknologi dan besaran aktivitas manusia dengan daya dukung lingkungan untuk menampungnya. Dengan demikian, setiap aktivitas ekonomi atau pembangunan di suatu kawasan harus didasarkan pada analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Pengembangan budidaya tambak yang dilakukan dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah keberlanjutan berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial, sebagai dasar penentuan alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal yang

11 didasarkan pada : (1) kesesuaian peruntukan lahan; dan (2) daya dukung lingkungan, sebagai informasi ilmiah dalam memformulasikan kebijakan pengelolaan, regulasi dan pemberian lisensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, dan Bapak Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Bapak Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, dan Bapak Prof. Dr. Ir.Dietriech G. Bengen, DEA, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua dan Sekertaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staf atas bimbingan dan bantuannya selama penulis studi di IPB. Pada kesempatan ini juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang telah memberikan kesempatan tugas belajar ke jenjang S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional, atas kerjasama dan bantuan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang telah diberikan. Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Ibunda Hj. Sia dan Ayahanda Maraguni yang telah banyak berkorban mulai sejak penulis lahir telah mendidik, membimbing, membesarkan dan memberikan doa agar sukses dalam meraih cita-cita, dan juga kepada kanda Drs. Anshar, Pahri, Drs. Ashri, MM, dan adinda Andzir, serta seluruh keluarga atas dukungan moril, doa dan bantuannya selama penulis studi. Ucapan terima kasih tak terhingga dan terhusus kepada istri tercinta Hj. Mutahharah Mas, SE dan anak-anakku tersayang Muhammad Fatur Rahman, Nur Fadhillah, dan Muhammad Furqan yang telah memberikan cinta dan kasih sayang, pengertian, kesabaran, doa dan pengorbanannya, mulai dari awal studi sampai disertasi ini terselesaikan.

12 Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan perbaikannya akan sangat kami harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Bogor, September, 2007 A s b a r

13 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... xii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Pendekatan Masalah... 2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Pembangunan Berkelanjutan... 6 Konsep Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan... 9 Beban Limbah Budidaya dan Dampaknya terhadap Lingkungan Kelayakan Lahan Tambak Daya Dukung Lingkungan untuk Tambak Kemampuan Pengenceran Limbah di Perairan Pantai Konsep Konservasi Fungsi dan Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove KERANGKA PEMIKIRAN METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Analisis Data Analisis Kesesuaian Peruntukan Lahan xii

14 Kesesuaian Lahan Konservasi Mangrove Kesesuaian Kawasan Budidaya Tambak Analisis Potensi Ekosistem Mangrove Korelasi Antara Stasiun Pengamatan dengan Kualitas Air Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Tambak Estimasi Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Kapasitas Asimilasi Perairan Terhadap Limbah Tambak Kuantifikasi Limbah dari Kegiatan Pertambakan Daya Dukung Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Metode Optimasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biofisik dan Kelayakan Bioteknis Kawasan Pesisir Sinjai untuk Pengembangan Budidaya Tambak Karakteristik Kawasan Pesisir Kabupaten Sinjai Karakteristik Biofisik Perairan Pantai Parameter Kualitas Air Korelasi antara Parameter Kualitas Air dengan Stasiun Pengamatan 67 Parameter Biologi Perairan Produktivitas Primer Parameter Kualitas Tanah Potensi Pemanfaatan Lahan Kawasan Pesisir Potensi Areal untuk Budidaya Tambak Potensi Areal untuk Konservasi Mangrove Potensi Ekosistem Mangrove Produktivitas Ekosistem Mangrove Kandungan Bahan Organik dan Unsur Hara Kerapatan dan Penutupan Hutan Mangrove Kelayakan Usaha dan Valuasi Ekonomi Kawasan Pesisir Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove untuk Konservasi Analisis Manfaat Hutan Mangrove Kuantifikasi Air yang Tersedia di Pantai untuk Budidaya Tambak xiii

15 Estimasi Daya Dukung Lingkungan untuk Budidaya Tambak Daya Dukung Berdasarkan Volume Air Laut Penerima Limbah Daya Dukung Perairan berdasarkan Ketersediaan Oksigen Terlarut Daya Dukung Perairan berdasarkan Kapasitas Asimilasi Kombinasi Teknologi Budidaya Tambak Berdasarkan Daya Dukung Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Ekologi Sebagai Prioritas Utama (P1) Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Sosial Sebagai Prioritas Utama (P1) Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Ekonomi Sebagai Prioritas Utama (P1) Model Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak Secara Optimal PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN PESISIR BERBASIS KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN xiv

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Beberapa kriteria sistem budidaya tambak udang Penilaian daya dukung lahan untuk areal budidaya tambak Hubungan luas hutan mangrove dengan jumlah tangkapan udang Perkiraan luas mangrove Rhizophora yang dibutuhkan untuk asimilasi limbah N dan P untuk satu hektar tambak semi-intensif dan intensif Konversi kebutuhan areal mangrove dengan luasan lahan budidaya perikanan Parameter biofisik yang diukur serta alat dan metode yang digunakan Parameter kualitas tanah dan metode analisis substrat tanah Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi Pembobotan dan pemberian skor parameter kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya tambak Pembobotan dan pemberian skor parameter kesesuaian lahan untuk budidaya tambak Luas dan produksi budidaya tambak di Kabupaten Sinjai Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi tambak, mangrove dan perairan pantai Hasil pengukuran kualitas air pada musim hujan, peralihan dan kemarau Matriks korelasi antara variabel kualitas air Akar ciri dan kontribusi komponen utama variabel kualitas air Parameter kualitas tanah yang diamati selama penelitian di pesisir Kabupaten Sinjai Rata-rata produksi serasah (ton kering ha -1 th -1 ) Persentase laju dekomposisi serasah mangrove Hasil analisis (P, K, C dan N) daun mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai xv

17 21. Produktivitas bahan organik dan unsur hara hutan mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Estimasi nilai ekonomi usaha budidaya tambak di lokasi studi Estimasi nilai ekonomi budidaya rumput laut di lokasi studi Estimasi nilai ekonomi usaha penangkapan kepiting bakau Sebaran nilai ekonomi penangkapan kelelawar di lokasi studi Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove per hektar Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir Sinjai berdasarkan masing-masing manfaat Hasil pengukuran kemiringan dasar pantai di lokasi studi Debit andalan Sungai Sinjai (m 3 dt -1 ) Debit air sungai, volume air di pantai dan rata-rata volume air perbulan di pantai Kabupaten Sinjai Karakteristik perairan pantai Kabupaten Sinjai Perhitungan luas tambak berdasarkan volume air di pantai dengan volume limbah Daya dukung lingkungan untuk mendukung usaha budidaya intensif, semi-intensif dan tradisional plus Kegiatan budidaya udang berdasarkan tingkat teknologi di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi limbah budidaya tambak Parameter dalam penentuan kapasitas asimilasi perairan pesisir Konsentrasi N dan P di perairan pantai Sinjai pada kondisi daya dukung lingkungan Pendugaan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Sinjai Luas tambak dan produksi udang pada berbagai kombinasi dalam batas daya dukung produksi maksimum Luas lahan budidaya tambak, jumlah tenaga kerja dan kebutuhan air masing-masing teknologi Kebutuhan tenaga kerja (TK), produksi, harga dan kebutuhan air Peubah pengambilan keputusan untuk optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak xvi

18 44. Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai P1, ekonomi P2 dan sosial P Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekonomi sebagai P1, sosial P2 dan ekologi P Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek sosial sebagai P1, ekonomi P2 dan ekologi P Kondisi bioekologi dan lingkungan pesisir Sinjai bagi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan Arahan peruntukan kawasan pesisir Kabupaten Sinjai xvii

19 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka transdisiplin (Munasinghe, 2002) Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001) Penentuan volume perairan pantai untuk pengenceran limbah Kerangka pikir dalam penelitian Kerangka analisis dalam penelitian Peta lokasi penelitian kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan Peta administrasi Kabupaten Sinjai Rata-rata curah hujan bulanan tahun di Kab. Sinjai Kondisi klimatologi di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai, Tahun Penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi Citra Landsat Data produksi perikanan tangkap dan budidaya Kabupaten Sinjai Tahun Histogram parameter kualitas air di perairan pesisir Kabupaten Sinjai berdasarkan musim Fluktuasi perubahan oksigen terlarut selama 26 jam pengamatan (17 18 Februari 2005) Korelasi variabel fisik-kimia perairan pada sumbu faktorial utama (F1 dan F2) Korelasi variabel fisik-kimia perairan dan stasiun pada sumbu faktorial utama (F1 dan F2) Peta sebaran dasar sedimen perairan pantai di Kabupaten Sinjai Kondisi tambak ideal untuk budidaya udang tradisional dengan sistem gravitasi Kelayakan areal budidaya tambak Tradisional, Semi-intensif dan Intensif di Pesisir Kabupaten Sinjai Layer-layer yang digunakan untuk kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak di Pesisir Kabupaten Sinjai xviii

20 20. Peta kelas kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Layer-layer yang digunakan untuk penentuan kesesuaian lahan konservasi mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Peta kesesuaian lahan untuk konservasi mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Peta komposit kesesuaian lahan di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Pola pemanfaatan kawasan konservasi mangrove di Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai Perubahan penutupan lahan mangrove berdasarkan Citra Landsat TM tahun 1989, 1999 dan Grafik persentase serasah daun mangrove yang mengalami dekomposisi berdasarkan waktu (hari) Volume air yang tersedia di pantai saat pasang Debit air sungai Sinjai setiap bulan Volume air yang tersedia di pantai untuk budidaya tambak Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek sosial sebagai prioritas utama Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek ekonomi sebagai prioritas utama Skenario alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak berdasarkan variabel optimalisasi Integrasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan budidaya tambak dengan sistem silvofishery Alternatif peruntukan kawasan pesisir Kabupaten Sinjai untuk pengembangan ekonomi regional berbasis budidaya tambak xix

21 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data klimatologi rata-rata bulanan dari tahun Data pengamatan pasang surut satu bulan (tgl 1 28 Februari) perairan pantai Kabupaten Sinjai Konstanta harmoni pasang surut dan tipe pasang surut di perairan pantai Kabupaten Sinjai Pengukuran kecepatan arus pasang surut di muara dan hulu sungai Sinjai pada waktu spring tide dan neep tide Hasil analisis kualitas air di perairan pesisir Kabupaten Sinjai (Agustus 2004 s/d Januari 2005) Fluktuasi harian suhu, salinitas, DO, ph, ORP, TDS di tambak (17-18 Februari, 2005) Kelimpahan phytoplankton (sel/l) pada musim kemarau, September 2004 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Kelimpahan Phytolankton (sel/l) pada musim hujan, Januari 2005 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Kelimpahan Zooplankton (sel/l) pada musim kemarau, September 2004 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Kelimpahan Zooplankton (sel/l) pada musim Hujan, Januari 2005 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Parameter kualitas tanah di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Analisis permukaan tanah tambak pada kedalaman ( 0-20 cm) di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Parameter kriteria kesesuaian lahan untuk budidaya tambak Parameter kriteria kesesuaian lahan untuk konservasi mangrove Hasil analisis diameter batang, jumlah pohon, tinggi pohon, angka bentuk, volume tegakan dan penutupan hutan mangrove Analisis kelayakan usaha budidaya tambak udang dan bandeng Analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut Analisis kelayakan usaha penangkapan kepiting Analisis kelayakan usaha budidaya kepiting per hektar xx

22 20. Analisis kelayakan usaha penangkapan kelelawar per hektar Analisis kelayakan usaha penangkapan benur per hektar Analisis kelayakan usaha penangkapan nener per hektar Posis kedalaman perairan pesisir Sinjai tgl 12 Pebruari Rata-rata curah hujan bulanan (mm) pada stasiun Baringin dan Stasiun Panaikang Proses perhitungan debit bulanan sungai Sinjai dari tahun Perhitungan neraca air dengan pola tanam budidaya udang pada MT pertama dan udang MT kedua Perhitungan neraca dengan pola tanam budidaya udang pada MT pertama dan bandeng pada MT kedua Luas lahan tambak budidaya udang yang dapat dimanfaatkan berdasarkan debit andalan bulanan sungai Sinjai Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekologi prioritas I, ekonomi II, dan sosial III Hasil analisis sensitivitas optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekologi prioritas I, ekonomi II, dan sosial III Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek sosial prioritas I, ekonomi II, dan ekologi III Hasil analisis sensitivitas optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek sosial prioritas I, ekonomi II, dan ekologi III Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekonomi prioritas I, sosial II, dan ekologi III Hasil analisis sensitivitas optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekonomi prioritas I, sosial II, dan ekologi III xxi

23 PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih km garis pantai dengan luas sekitar km 2 (belum termasuk Selayar, Muna, Buton dan kota Bau-Bau), memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang melimpah, sebagai aset pembangunan wilayah ini yang sangat penting. Besarnya potensi sumberdaya Teluk Bone kini mendapatkan momentumnya untuk dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan wilayah pesisir, dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan peluang besar bagi kabupaten/kota dan provinsi di wilayah ini untuk mengelola pesisir dan laut dengan seluruh kekayaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut diharapkan dapat menciptakan perubahan dan pertumbuhan yang bersifat mutlidimensional dan berkesinambungan Permasalahan dalam pengelolaan pesisir Teluk Bone saat ini telah terjadi kerusakan lingkungan, akibat konversi lahan mangrove menjadi tambak. Dari aspek ekonomis dapat meningkatkan nilai ekspor perikanan, namun dari aspek ekologis telah terjadi kerusakan lingkungan. Sebagai contoh kasus hutan mangrove di Kabupaten Wajo pada tahun 1989 seluas ha, ha telah dikonversi menjadi tambak. Akibatnya hanya dalam waktu 12 tahun terjadi abrasi pantai antara meter ke arah daratan (BAPEDAL WIL. III, 2000). Abrasi pantai di pesisir Sinjai berawal dari rusaknya ekosistem terumbu karang akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya hampir seluruh tambak di sepanjang pantai Tongke-Tongke terkikis oleh ombak (Taiyeb, 2000). Upaya menyelamatkan lingkungan, maka pada tahun 1986 dimulai rehabilitasi mangrove dengan swadaya masyarakat. Dalam waktu 13 tahun berhasil ditanami mangrove seluas 786 ha. Dari aspek ekologi keberhasilan rehabilitasi mangrove telah mendukung pengembangan usaha budidaya tambah ± ha di kawasan pesisir Sinjai, selain itu potensi sumberdaya perikanan di sekitar meningkat.

24 2 Berdasarkan fungsi ekologi, hutan mangrove di kawasan pesisir Sinjai, berperan untuk : (1) menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari abrasi, menjadi penyangga terhadap limbah, serta mempercepat pertumbuhan daratan; (2) penghasil detritus sebagai dasar rantai makanan dari berbagai jenis ikan, udang, kepiting, kerang, dll; (3) mengurangi intrusi air laut ke pemukiman penduduk. Secara ekonomi saat ini mulai berkembang : (1) penangkapan bibit (nener dan benur), (2) penangkapan kepiting di alam, (3) kegiatan budidaya kepiting dengan sistem kurungan bambu dan sistem karamba, dan (4) budidaya ikan/udang dan kepiting dengan sistem empang parit dan komplangan (silvofishery). Usaha budidaya intensif merupakan kegiatan ekonomi yang sangat produktif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara, namun legitimasi keberlanjutan ditentukan oleh dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Budidaya udang intensif menghasilkan limbah organik terutama berasal dari sisa pakan, feses, dan bahan-bahan terlarut, yang terbuang ke perairan dan secara signifikan mempengaruhi kualitas lingkungan pesisir (Johnsen et al., 1993). Pesatnya perkembangan budidaya tambak di pesisir Sinjai, jika tidak dilakukan pengelolaan secara bijaksana, maka suatu saat akan menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan budidaya. Untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia, maka perlu menetapkan jenis dan besaran aktivitas manusia yang didasarkan pada kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan untuk menampungnya. Oleh karena itu, penelitian tentang Optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan penting dilakukan sebagai dasar dalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Pendekatan Masalah Masalah utama dalam pengembangan budidaya udang di kawasan pesisir Sinjai adalah masukan akuainput dalam sistem budidaya intensif dan pengkayaan nutrien dalam pakan berdampak potensial pada kualitas air, akibat beban (loading) organik yang terutama berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan faeses. Dari

25 3 jumlah pakan yang diberikan, sekitar 30 % tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan disekresikan (McDonald et. al., 1996). Untuk usaha budidaya udang intensif 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air (tidak dikonsumsi) dan 20% dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk faeces (Primavera dan Apud, 1994). Teknologi budidaya udang intensif dengan padat penebaran ekor/ha dengan luas tambak m 2, total pakan 3,6 ton menghasilkan limbah (TSS) sebesar kg selama 120 hari (Soewardi, 2002). Boyd (1999) menyebutkan bahwa retensi nitrogen antara 25-35% dan phosphor antara 15-25% yang tertinggal di dalam jaringan udang. Untuk memproduksi 1 (satu) ton udang, sekitar 12,6-21,0 kg nitrogen dan 1,8-3,6 kg phosphorous hilang ke dalam lingkungan perairan. Komponen utama yang menentukan beban N dan P dalam sistem budidaya udang bersumber dari pakan, penggantian air, pemupukan dan benur (bibit). Limbah yang bersumber dari pakan sekitar 6 % N dan 1,3 % P, pada sistem budidaya semiintensif dengan jumlah pakan kg ha -1 MT -1 menghasilkan N sekitar 162 kg ha -1 MT -1 dan 35,1 kg ha -1 MT -1 (Subandar, 2000). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi dan hasil ekskresi umumnya dicirikan oleh adanya peningkatan Total Suspended Solid (TSS), BOD, dan COD, dan kandungan N dan P. Akan tetapi secara potensial penyebaran dampak buangan limbah yang kaya nutrien dan bahan organik dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir seperti : peningkatkan sedimentasi dan siltasi, hypoxia, hypernutrifikasi, perubahan produktivitas dan struktur komunitas bentik (Barg, 1992). Kesesuaian lahan budidaya tambak udang dicirikan oleh karakteristik biofisik lingkungan perairan (volume air yang tersedia di pantai, tipe pantai, pasang surut, arus, debit air tawar, fisika-kimia-biologi perairan, fisika-kimia tanah, iklim), ketersediaan benih dan pakan baik kualitas maupun kuantitas, manajemen budidaya, serta sarana dan prasarana produksi. Alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak yang tidak terkendali akan memicu penurunan kualitas lingkungan perairan dan berdampak pada proses biologis dalam sistem produksi perikanan budidaya tambak, serta dampak ekologi yang lebih

26 4 luas. Aspek sosial ekonomi merupakan faktor pendorong terjadinya tekanan lingkungan yang menitikberatkan pada pencapaian target maksimasi keuntungan dalam jangka pendek. Hal ini akan memicu terjadinya mismanagement dalam alokasi sumberdaya budidaya yang mengarah pada kerusakan sumberdaya dan lingkungan perairan. Karena itu pola pendekatan optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak harus didasarkan pada kemampuan daya dukung lingkungan perairan. Pakan memberikan kontribusi terbesar dari total biaya produksi budidaya udang, sekaligus pemasok limbah nutrien yang potensial, karena itu manajemen pakan sangat menentukan efisiensi budidaya udang. Sisa pakan dan feses yang terbuang ke badan air merupakan potensi sumber bahan organik, N dan P yang dapat mempengaruhi kelayakan kualitas air bagi kehidupan budidaya udang dan ikan. Upaya untuk mengatasinya, perlu dilakukan melalui pendugaan beban limbah organik dari kegiatan perikanan budidaya udang di tambak. Kapasitas asimilasi ditentukan oleh beban limbah organik, kondisi oseanografi, dan karakteristik biofisik perairan, merupakan peubah penentu dalam menentukan daya dukung lingkungan perairan sebagai acuan optimasi pemanfaatan lahan budidaya tambak berkelanjutan, yang meliputi alokasi pemanfaatan lahan yang optimal, kapasitas produksi, penerapan tingkat teknologi budidaya, dan pola tanam. Permasalahan tersebut di atas, dapat diminimalisasi dengan menentukan model alokasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak secara optimal, sehingga secara ekologi kualitas lingkungan tetap terjaga, secara ekonomi meningkatkan pendapatan masyarakat, dan secara sosial menyerap tenaga kerja dan diterima oleh masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu dikaji secara mendalam dalam penelitian ini adalah : 1. Potensi sumberdaya pesisir, serta karakteristik biogeofisik kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak secara berkelanjutan. 2. Lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak dan konservasi mangrove agar kelestarian lingkungan tetap terjamin 3. Kuantifikasi beban limbah organik dari kegiatan budidaya udang intensif, semi intensif dan tradisional plus yang sesuai dengan asimilasi lingkungan.

27 5 4. Daya dukung lingkungan perairan yang dapat menunjang kegiatan budidaya tambak secara berkelanjutan. 5. Luas lahan optimal yang dimanfaatkan untuk budidaya tambak intensif, semi intensif dan tradisional plus yang layak berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui karakteristik biogeofisik, kelayakan bioteknis perairan dan sosialekonomi masyarakat dalam pengembangan budidaya tambak. 2. Menentukan luas lahan yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak. 3. Menentukan jumlah limbah organik yang berasal dari kegiatan budidaya tambak dan kemampuan asimilasi perairan pesisir. 4. Mengestimasi daya dukung lingkungan untuk pengembangan budidaya tambak ramah lingkungan di kawasan pesisir Sinjai. 5. Menentukan model pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaan bagi : 1. Ilmu pengetahuan, dimana hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dalam penerapan model pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan. 2. Masyarakat dan investor, dimana hasil penelitian ini sangat berguna dalam menentukan luas dan lokasi teknologi budidaya yang sesuai untuk dikembangkan. 3. Pemerintah, sebagai acuan dalam memformulasikan kebijakan pemanfaatan lahan secara optimal untuk pengembangan budidaya tambak ramah lingkungan berdasarkan kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan.

28 TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan Dasar pemikiran dari penelitian ini adalah konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan perspektif ekonomi dan ekologi (WCED, 1987). Konsep konservasi hanya mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan saja, sedangkan pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan manusianya. Definisi pembangunan berkelanjutan menurut (FAO, 1995) dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan adalah: pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan teknologi dan institusi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan seperti sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, konversi lahan, sumberdaya air, tumbuhan, dan hewan, tidak terdegradasi secara lingkungan, sesuai secara teknis, menguntungkan secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial. Menurut Palunsu (1996) pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pengertian yaitu : (1) memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang, (2) tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan (3) mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam. Munasinghe (2002) dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumberdaya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Gambar 1).

29 7 Gambar 1 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin (Munasinghe 2002) Selanjutnya Munasinghe (2002) menyatakan pembangunan berkelanjutan harus berdasar pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep equity lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi; (3) aspek lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Gambar 2 menjelaskan bagaimana menggabungkan kerangka sustainomics, dan dasar hubungan pengetahuan trans-disiplin, yang akan mendukung pendugaan komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Konsep pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, ekologi/lingkungan, dan hukum untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002). Munasinghe (2002) menyatakan bahwa perkembangan dimensi ekonomi seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai kemauan untuk membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk memaksimalkan aliran pendapatan atau konsumsi yang dapat menghasilkan. Efisiensi ekonomi memainkan

30 8 peranan dalam memastikan alokasi sumber daya dalam produksi dan efisiensi konsumsi yang memaksimalkan pemanfaatan. Menurut Anwar (2001) pencapaian pembangunan secara berkelanjutan, tidak cukup hanya melihat aspek ekonomi, sosial dan lingkungan saja, namun mempertimbangkan aspek spasial dan temporal. Konsep keberlanjutan ini akan terus berkembang melalui proses perkembangan secara evolusi dengan berjalan melintas waktu yang ditentukan oleh nilai-nilai dalam masyarakat, manusia, perubahan keadaan ekonomi, serta perubahan dalam realitas politik. Interaksi ketiga aspek pendukung pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut bertujuan untuk perbaikan tingkat kesejahteraan masyakat bukan hanya dipertimbangkan secara lokal untuk skala waktu masa kini saja, tetapi juga dalam sistem hirarki yang lebih luas melalui lintas skala manajemen dan temporal. Menurut Charles (2001) konsep pembangunan berkelanjutan mengandung aspek (Gambar 2) : Gambar 2 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles, 2001) 1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem dengan perhatian utama. 2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan.

31 9 3) Keberlanjutan komunitas: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan. Menurut Charles (2001), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam yang mencakup ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosial/ekonomi/budaya; dan (3) sistem pengelolaan perikanan yang mencakup perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan. Konsep Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan Budidaya tambak ramah lingkungan adalah budidaya tambak yang didalam proses pembuatannya dan proses produksi udangnya dilakukan dengan tidak merusak lingkungan, harus memperhatikan peraturan tata tertib lingkungan seperti : greenbelt, tandon buangan dan pemasukan air, perbandingan tambak dan hijauan (60% : 40%), tanpa antibiotika (Soewardi, 2007). Tambak tradisional adalah tambak yang cara pembuatan hingga pengoperasiannya tidak menggunakan peralaran moderen, umumnya dilakukan oleh petani yang berpengetahuan rendah, berorientasi pada kelestarian, dan produktivitasnya tergantung dari alam. Teknologi budidaya tambak dibedakan atas, yaitu budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif. Pembagian sistem budidaya tersebut didasarkan pada beberapa kriteria berikut, yaitu : pakan, pengelolaan air, padat penebaran, ukuran petak tambak, dan produksi (Tabel 1). Budidaya tambak intensif dapat menghasilkan produksi yang besar/ maksimal namun rentang waktu operasinya pendek, sebaliknya budidaya tambak tradisional produksinya kecil namun rentang waktu operasinya panjang. Strategi pengelolaan budidaya secara berkelanjutan (Boers (2001). Pada umumnya, isu utama dalam perencanaan pembangunan budidaya tambak adalah : (1) teknologi yang tepat, (2) minimumkan dampak lingkungan dari budidaya

32 10 tersebut, (3) perhatikan daya dukung lingkungan, (4) minimumkan penyakit, (5) maksimumkan nilai produksi, dan (6) kurangi kemiskinan (Nautilus Consultants, 2000). Isu utama yang terkait dengan kondisi daerah studi akan dikaji dalam penentuan optimasi pemanfaatan lahan untuk pertambakan. Tabel 1 Beberapa kriteria sistem budidaya tambak udang Kriteria Tingkat sistem budidaya Tradisional Semi-Intensif Intensif Pakan alami alami dan tambahan pakan formula lengkap Pengelolaan air pasang surut pasut dan pompa pompa dan aerasi Padat penebaran (ekor ha -1 musim -1 ) Ukuran petak tambak (ha) ,1 1,0 Produksi (kg ha -1 th -1 ) Sumber : Suyanto dan Mujiman (2003) Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan adalah buangan limbah budidaya selama operasi berupa bahan organik dan nutrien konsentrasi tinggi sebagai konsekuensi dari masukan faktor produksi dalam budidaya yang menghasilkan sisa pakan dan faeses yang larut ke dalam perairan sekitarnya (Johnsen et al., 1993; McDonald et al., 1996; Boyd, 1999). Dalam budidaya intensif sekitar 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan (McDonald et al., 1996). Beban Limbah Budidaya dan Dampaknya terhadap Lingkungan Kibria et al., (1996) menyatakan terdapat hubungan linier yang positif antara laju kehilangan fosfor per ton ikan silver perch (Bidayus bidyus) dengan food conversion rasio (FCR). Karena itu, perbaikan FCR sangat penting untuk mereduksi beban limbah P dari sistem akuakultur ke dalam perairan. Kehilangan P yang utama adalah yang bersumber dari feses dan pakan yang tidak termakan. Akan tetapi, pelepasan P tersebut ke dalam lingkungan perairan tergantung pada karakteristik fisika-kimia perairan seperti ph, temperatur, oksigen, turbulensi dan aktivitas mikroba (Persson, 1988 diacu dalam Kibria et al., 1996), semakin rendah ph air maka kehilangan P semakin besar.

33 11 Buangan limbah akuakultur dan hatchery dapat mendegradasi kualitas perairan jika mengandung konsentrasi TP 0,15 ppm (Waren-Hakanson diacu dalam Kibria et al., 1996) dan 0,1 ppm terlarut (Alabaster, 1982 diacu dalam Kibria et al., 1996), cenderung dapat menimbulkan proses eutrofikasi badan air yang menerima beban limbah dari sistem budidaya. Menurut Subandar (2000) komponen utama yang menentukan loading N dan P dalam sistem budidaya udang bersumber dari pakan, penggantian air, pemupukan dan benur (bibit). Limbah yang bersumber dari pakan sekitar 6% N dan 1,3% P, pada sistem budidaya semi-intensif dengan jumlah pakan kg ha -1 MT -1 menghasilkan N sekitar 162 kg ha -1 MT -1 dan 35,1 kg ha -1 MT -1. Input pakan dalam budidaya intensif merupakan pemasok utama limbah bahan organik dan nutrien ke lingkungan perairan serta menyebabkan pengkayaan nutrien dan bahan organik yang diikuti oleh eutrofikasi dan perubahan ekologi fitoplankton, peningkatan sedimentasi, siltasi, hypoxia, perubahan produktivitas dan struktur komunitas benthos (Barg, 1992; Buschmann et al., 1996). Sisa pakan dalam tambak diurai oleh mikroba menjadi unsur hara, apabila kondisi di dasar tambak terdapat cukup banyak oksigen (aerob), maka proses penguraiannya akan menghasilkan senyawa tidak beracun seperti : NO 3, PO 4, N 2, namun apabila kondisi dasar tambaknya kekurangan oksigen (anaerob), maka proses penguraiannya akan menghasilkan senyawa beracun seperti : H 2 S, CH 4, dan NH 3 (Boyd, 1999). Deposisi limbah organik dapat mempengaruhi perubahan fisika-kimia substrat dan kehidupan biota lainnya. Pengkayaan bahan organik di dalam sedimen akan menstimuli aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga dapat menimbulkan deoxygenasi pada substrat dan kolom air akibat pengurangan konsentrasi interstial oksigen dan meningkatkan konsumsi oksigen, meningkatkan reduksi sulfat, meningkatkan denitrifikasi, dan meningkatkan pelepasan nutrien inorganik seperti nitrat, nitrit, amonium, silikat, dan fosfat (Barg, 1992; Buschman et al., 1996; McDonald et al., 1996). Limbah nutrien dan bahan dari budidaya tambak berasal dari pakan yang tidak dimakan dan ekskresi, dikarakterisasi oleh peningkatan total suspended solid (TSS), BOD, COD, dan kandungan C, N, dan P (Barg, 1992). Limbah tambak dapat juga

34 12 membawa bakteri atau mikroorganisme pembawa penyakit. Namun demikian bakteri atau mikroorganisme tersebut tidak berbahaya bagi manusia dan hanya merupakan hambatan dalam budidaya tambak. Laju penggantian air dengan arus dan pasang surut berperan di dalam proses pembuangan limbah dan pemasok oksigen (Barg, 1992; Cornel and Whoriskey, 1993). Pengenceran atau penyebaran areal dan sedimentasi dari pembuangan limbah dan dampaknya terhadap ekologi sekitarnya ditentukan oleh dinamika arus dan kedalaman badan air yang menerima beban limbah (Silvert, 1992; Buschmann et al., 1996). Di lingkungan perairan fosfat mempengaruhi standing stock, komposisi spesies, atau produktivitas fitoplankton dan makroalga (Barg, 1992). Beberapa hasil penelitian yang dikutip oleh Barg (1992) bahwa partikel bahan organik akan mengendap di sekitar lokasi budidaya jika kecepatan pengendapan dari partikel jauh lebih besar dari kecepatan arus. Pengendapan partikel solid akan menutupi dasar perairan yang relatif lebih kaya akan C, N, dan P dibandingkan dengan sedimen alami, yang kemungkinan disebabkan oleh perubahan fisika-kimia di bawah sedimen, peningkatan kandungan karbon organik, diikuti oleh peningkatan laju konsumsi oksigen sedimen, dan penurunan potensi redox sedimen, terbentuknya hidrogen sulfat dan metana, dan meningkatnya nitrogen inorganik dan organik, fosfat, silikon, calcium, copper, dan zinc. Luasnya wilayah dampak dan pengkayaan nutrien tergantung pada karakteristik produksi budidaya, kedalaman badan air, topografi dasar perairan, kecepatan arus, dan angin, yang akan menentukan penyebaran pengendapan partikel, input organik per unit area, dan redistribusi limbah dasar (Barg, 1992; Silvert, 1992; Johnsen et al., 1993). Komunitas budidaya yang mampu memanfaatkan kekosongan niche, yang dapat diintegrasikan dalam suatu kawasan, memiliki kemampuan untuk mengasimilasi dan mineralisasi limbah organik, diduga sangat penting peranannya dalam meminimalisasi dampak lingkungan perairan pesisir (Barg, 1992; Silver, 1992; Shpigel et al., 1993; Buschamann et al., 1996; Troell et al., 1999). Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pengembangan perikanan budidaya tergantung pada praktek budidaya yang dilakukan, besarnya ukuran unit usaha, beban limbah

35 13 alami maupun limbah budidaya yang dihasilkan, volume beban air, laju penggantian air, dan karakteristik dari badan air (Phillips, 1985 diacu dalam Cornel and Whoriskey, 1993). Kelayakan Lahan Tambak Menurut Widigdo (2000) bahwa lahan yang sesuai untuk budidaya adalah kawasan yang masih terjangkau pasang surut, lebih ideal lagi bila terdapat sungai sehingga salinitas untuk pertumbuhan hewan air dapat tersedia. Kawasan yang layak untuk budidaya tambak adalah lahan yang masih mudah mendapatkan suplai air laut/payau, selain itu juga harus didukung oleh: (1) pola arus dan pasang surut, dan (2) tipe dasar pantai. Mustafa, et al., (1998) mengemukakan lahan untuk budidaya tambak harus memenuhi persyaratan biologis, teknis, sosial, ekonomi, higienik dan legal. Ketinggian lahan yang baik untuk budidaya tambak adalah ketinggian yang memungkinkan tambak tersebut dapat diairi setinggi 0,8 1,5 m selama periode ratarata pasang tinggi dan dapat dikeringkan secara sempurna setiap diperlukan. Lahan tambak sebaiknya terletak di daerah muara sungai atau dekat dengan jaringan irigasi dan sumber air tawar lainnya dengan kelimpahan yang cukup pada musim kemarau. Kualitas air untuk budidaya tambak hendaknya memenuhi kriteria tertentu dan tergantung pada komoditas yang dibudidayakan. Pemilihan dan penetapan lokasi pertambakan kepiting harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ekologis, fisik (kondisi tanah), biologis (temasuk kesediaan benih) dan sosial ekonomi, pertimbangan fisik juga termasuk desain tambak. Gunarto (2000) menyatakan bahwa teknologi budidaya pembesaran dan pematangan gonad telah tersedia. Beberapa permasalahan dari segi teknis operasional dalam budidaya kepiting adalah suplai benih untuk budidaya pembesaran, kemudian ketersedian ikan rucah sebagai pakan utama masih sangat terbatas. Daya Dukung Lingkungan Untuk Budidaya Tambak Permasalahan utama dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah pencemaran, overfishing, erosi dan sedimentasi pantai, kepunahan jenis dan konflik penggunaan

36 14 ruang, akibat tingginya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk beserta segenap kiprah kehidupan dan pembangunannya terhadap lingkungan wilayah pesisir yang memiliki kemampuan terbatas (Dahuri, 2001). Menurut Bengen (2002b), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Definisi daya dukung dibedakan atas : 1. Daya Dukung Ekologis : tingkat maksimum (baik jumlah maupu volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. 2. Daya Dukung Fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik. 3. Daya Dukung Sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. 4. Daya Dukung Ekonomi : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Scones (1993) daya dukung lingkungan dibagi atas 2 (dua) yakni daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Sedangkan daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi dari usaha yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekomoni. Turner (1988) menyatakan, daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Quano (1993) menyatakan bahwa daya dukung adalah kemampuan perairan dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan.

37 15 Menurut Krom (1986), daya dukung lingkungan adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Daya dukung lingkungan erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). Menurut Haskell (1995 diacu dalam Made, 1989) membuat dua asumsi yang menyangkut daya dukung, yaitu : (1) dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi metabolit, dan (2) laju tersebut sebanding dengan jumlah pakan yang dimakan per hari. Salah satu faktor kritis yang menentukan daya dukung perairan pesisir adalah ketersediaan oksigen terlarut (SE, 2002). Cholik et al., (1990) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam karamba nila merah di laut dengan kapadatan 750 ekor m -3 mencapai 2,0-1,5 ppm pada malam hari sampai menjelang pagi hari pada pemeliharaan bulan ke-3, sementara di karamba jaring apung (KJA) bandeng terjadi pada kepadatan 150 ekor m -3 (Pangsapan et al., 2001). Kondisi hypoxia ini dalam jangka panjang oleh Schmittou (1991) disebut sebagai Low Dissolved Oxygen Syndrome (LODOS), kondisi dimana kelarutan oksigen rendah yang diikuti secara simultan oleh meningkatnya karbondioksida, penurunan ph air, meningkatnya asam laktat darah dan menurunnya ph darah ikan, meningkatnya amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya. Karena itu pengurangan oksigen terlarut merupakan faktor pembatas utama dan penting dalam operasi budidaya ikan (McLean et al., 1993). Kondisi hypoxia merupakan gejala tekanan lingkungan perairan untuk budidaya dan juga sebagai faktor pembatas daya dukung. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju beban maksimum atau daya dukung lingkungan (McLean et al., 1993). Kebutuhan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi oleh bakteri dan organisme akuatik. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung perairan. Daya dukung kawasan ditentukan oleh : (1) kondisi biogeofisik kawasan, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan untuk

38 16 memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung kawasan ditentukan dengan menganalisis : (1) kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan kawasan pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosial ekonomi budaya dalam memenuhi kebutuhan manusia yang tinggal di dalam kawasan atau di luar kawasan pesisir, tetapi berpengaruh terhadap kawasan pesisir akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (Dahuri, 2001). Agar kegiatan ekonomi di pesisir dapat lestari maka pemanfaatan kawasan pesisir dibagi ke dalam 3 (tiga) zona yaitu : (1) zona preservasi yaitu : kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi, sifat-sifat alami yang unik, termasuk green belt); (2) zona konservasi: yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun secara terkontrol, seperti perumahan dan perikanan tradisional; dan (3) zona pengembangan intensif, termasuk kegiatan budidaya secara intensif (Dahuri, 1998). Daya dukung pesisir untuk budidaya tambak dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : tipe pantai, tipe garis pantai, arus perairan, tunggang pasut, elevasi lahan, kualitas tanah, potensi air tawar, salinitas, jalur hijau dan curah hujan. Daya dukung pesisir untuk budidaya tambak dikategorikan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu lahan bernilai daya dukung tinggi, sedang dan rendah (Purnomo, 1992) (Tabel 2). Lahan yang sesuai untuk tambak harus memenuhi persyaratan, yaitu : (1) lahan terletak di daerah pasang surut dengan elevasi terendam air sedalam 0,5-1,0 m selama periode pasang naik, dapat dikeringkan tuntas ketika air pasang rendah, (2) memiliki sumber air tawar dan payau sepanjang tahun, (3) memiliki sumber air yang kualitasnya memenuhi baku mutu untuk kehidupan biota akuatik, (4) tanah tekstur liat, lempung sampai berpasir, (5) lahan tambak harus bebas banjir rutin dan terlindung dari gelombang laut yang besar, (6) pembukaan tambak di lahan hutan mangrove wajib mempertahankan jalur hijau di sepanjang pantai dan alur sungai, dan (7) total luas tambak disetiap hamparan merupakan satu kesatuan ekosistem tidak boleh melebihi daya dukung lingkungan pada hamparan tersebut (Csavas, 1994). Daya dukung lahan tambak diartikan sebagai jumlah produksi ikan (biomassa) optimum yang dapat dihasilkan per satuan luas lahan tambak dengan teknologi tertentu pada musim tanam tertentu (Gang et al., 1998). Menurut Murtidjo (1997),

39 tambak udang intensif dengan padat tebar benur ekor m -3, memakai kincir (wheel paddle) 8 unit ha -1, FCR 1,5-2,0 dan SR 60-70% dapat menghasilkan biomassa udang sebesar 5-7 ton ha -1 ; tambak semi intensif dengan padat tebar benur ekor m -3, menggunakan kincir 4 unit ha -1, FCR 1,3-1,5 dan SR 60 70% dapat menghasilkan biomassa udang sebesar 2 4 ton ha -1, tambak tradisional plus dengan padat tebar 4-8 ekor m -3, menghasilkan biomassa udang 0,75 1 ton ha -1. Tabel 2 Penilaian daya dukung lahan untuk areal budidaya tambak Tolak Ukur 1. Tipe Pantai Daya Dukung Tinggi (100) Sedang (90) Rendah (80) Terjal, karang berpasir, terbuka Terjal, karang berpasir, atau sedikit berlumpur 17 Sangat landai, berlumpur tebal, teluk/ laguna, tertutup Konsistensi tanah sangat stabil 2. Tipe garis pantai Konsistensi tanah stabil Sama dengan kategori tinggi 3. Arus Perairan Kuat Sedang Lemah 4. Amplitudo rataan dm 7-11 dm dan dm < 6 dan > 29 dm Dapat diairi saat pasang 5. Elevasi (posisi Sama dengan kategori Di bawah rataan surut tinggi dan dikeringkan hamparan) tinggi rendah saat surut rendah rataan 6. Kualitas Tanah 7. Air Tawar Tekstur sandy clay, sandy clay loam, tidak bergambut, tidak berpirit Tersedia, dekat sungai dengan mutu dan jumlah memadai 8. Salinitas ppt Tekstur sandy clay, sandy clay loam, tidak bergambut, kandungan pirit rendah Cukup tersedia, sama dengan kategori tinggi ppt, dan Tekstur berlumpur atau pasir bergambut, kandungan pirit tinggi. Kurang tersedia, dekat sungai tetapi tingkat siltasi tinggi < 10 ppt atau > 30 ppt ppt 9. Jalur hijau Memadai Memadai tanpa jalur hijau 10.Curah hujan < m mm > mm Sumber : Poernomo (1992) Daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi seperti peningkatan kadar oksigen dalam air dengan aerator, pengolahan air bakau, pemupukan untuk meningkatkan kadar nitrat dan fosfat, dan penggunaan pakan berkualitas, yang pada akhirnya akan menentukan kuantitas dan kualitas limbah tambak yang dihasilkan (Gang et al., 1998). Melalui perhitungan matematis sederhana kuantifikasi kemampuan cerna perairan terhadap daya dukung dapat dengan mudah dilakukan untuk perhitungan balik dalam menentukan produktivitas kawasan. Selanjutnya akan dapat

40 18 diperhitungkan pula berapa luasan tambak yang dizinkan untuk dibuka dalam suatu kawasan sesuai dengan tingkat intensitas budidaya. Kemampuan Pengenceran Limbah di Perairan Pesisir Kemampuan pengenceran perairan pesisir terhadap limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : 1) tingkat pencemaran perairan pesisir; 2) volume air laut yang tersedia di pantai yang dipengaruhi oleh frekuensi pasang surut, tunggang pasang surut dan kedalaman dasar perairan; dan 3) besar beban limbah yang masuk (Soewardi, 2002). Tingkat pencemaran perairan pesisir yang masih rendah atau tercemar ringan mempunyai daya pengenceran yang lebih tinggi terhadap limbah dibandingkan bila tingkat pencemaran perairan sudah tinggi. Manahan (2002) menyatakan tingkat pencemaran perairan dapat ditentukan melalui parameter fisika, kimia dan biologi. Tingkat kekeruhan air merupakan parameter fisika yang sering digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran air. Bila kekeruhan air sudah mencapai 50 JTU (Jackson Turbidity Unit), maka perairan tersebut telah tercemar berat. Berdasarkan parameter kimia, nilai kebutuhan oksigen biokimia (BOD) juga dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air. Bila nilai BOD -5 < 7 ppm berarti perairan tersebut belum tercemar, sedangkan bila nilai BOD -5 > 25 ppm berarti perairan tersebut sudah tercemar berat. Baku mutu BOD -5 kualitas air untuk kehidupan biota akuatik atau kebutuhan perikanan maksimum 25 ppm (KLH, 1988). Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan pengenceran perairan adalah ketersedian valume air di pantai dipengaruhi oleh frekuensi pasang surut. Volume air laut yang memasuki pantai ketika pasang naik ditentukan dengan formula Widigdo dan Pariwono (2003) Gambar 3 : h Vo = 0,5. h. y (2 X )... (1) tg θ dimana : Vo = volume air laut yang tersedia (m 3 ) y = panjang garis pantai h = amplitudo (tunggang pasang-surut) tg θ = kemiringan pantai

41 19 X = jarak dari garis surut kearah laut sampai ketitik kedalaman satu meter dan tidak lagi dipengaruhi oleh gerakan turbulensi air dasar. Shrimp pond area x Vt ; Ct V 0 ; C 0 θ h Vs ; Cs High tide Low tide Depth of water intake Gambar 3 Penentuan volume perairan pantai untuk pengenceran limbah Selanjutnya dijelaskan, untuk menentukan volume air tersisa ketika air surut (Vs), dapat ditentukan dengan formula sebagai berikut : Vs ( 2 h 1) = 0,5 h. y 2 x.. (2) tg θ Bila frekuensi pasang surut 2 kali per hari, maka volume air laut yang tersedia untuk mengencerkan limbah tambak menjadi 2 x Vo, sehingga daya tampungnya terhadap limbah organik semakin tinggi dibandingkan bila frekuensi pasang surut hanya 1 kali per hari. Volume air yang ada di pantai dalam satu siklus pasang surut untuk mengencerkan limbah adalah : Vd = Vo Vs. Bila volume limbah yang masuk sebesar Vi, maka volume air yang ada di pesisir adalah : Vt = Vo Vs Vi. Selanjutnya, untuk mengetahui konsentrasi limbah di perairan pesisir pada siklus pasang surut ke n, dapat ditentukan dengan formula : n 1 Vs 1 Vt Cn = Ci. (3) Vs 1 Vt Dimana : Ci = konsentrasi limbah dalam perairan pesisir, dan n = siklus pasut. Sedangkan konsentrasi limbah di perairan pesisir dapat dihitung dengan rumus : Vo. Co Vs. Cs Vi. Ci Ci = Vo Vs Vi (4)

42 20 Dengan mengetahui nilai Vs dan Vt, maka waktu tinggal dari suatu unit volume massa air di suatu area perairan tertentu dapat ditentukan melalui perbandingan antara Vt/Vs yang sebanding dengan siklus pasang surut. Konsep Konservasi Kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP RI tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No 26 tentang Penataan Ruang, Tata dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan konservasi yang dimaksud adalah kawasan pesisir dan laut yang mencakup daerah intertidal, subtidal dan kolom air di atasnya, memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya (Bengen, 2000). Tujuan penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan laut adalah untuk: (1) melindungi habitat-habitat kritis, (2) mempertahankan keanekaragaman hayati, (3) mengkonservasi sumberdaya ikan, (4) melindungi garis pantai, (5) melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan budaya, (6) menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam, (7) merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi, dan (8) mempromosikan pembangunan kelautan berkelanjutan (Kelleher dan Kenchington, 1992; Jones, 1994; Barr et al., 1997; Salm et al., 2000; Bengen, 2000). Menurut Agardy (1997) dan Bengen (2000) dalam rencana pengalokasian kawasan konservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapan dalam proses pemilihan lokasi, yaitu : (1) identifikasi habitat dan lingkungan kritis, distribusi sumberdaya ikan ekonomis penting; (2) teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan, petakan konflik pemanfaatan sumberdaya, berbagai ancaman langsung (over eksploitasi) dan tidak langsung (pecemaran) terhadap ekosistem dan sumberdaya; (3) tentukan lokasi dimana perlu dilakukan konservasi; dan (4) kajian kelayakan suatu kawasan prioritas yang dapat dijadikan kawasan konservasi berdasarkan proses perencanaan lokasi.

43 21 Dasar hukum penetapan jalur hijau mangrove menurut bererapa peraturan perundangang yang berlaku di Indonesia, adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 5. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Silvikultur Hutan Payau. 7. Instruksi Menteri Pertanian Nomor 13/Ins/Um/1975 tentang Pembinaan Hutan Bakau. 8. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/246/Kpts/4/1984 dan Nomor 082/Kpts-II/1984 tentang Pengaturan Penyediaan Lahan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. 9. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1997 tentang Penetapan Jalur Hijau Mangrove. Berdasarkan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan tersebut di atas dan ditinjau dari produk hukum, maka materi muatan dari Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1990 merupakan produk hukum yang paling tinggi dan juga termuat dalam Undang-undang No. 14 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menetapkan kriteria pantai berhutan bakau adalah minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Sebagai Rantai Makanan. Hutan mangrove merupakan produsen utama energi makanan yang berasal dari detritus food chain dalam Grazing food chain, daun mangrove langsung dimakan oleh herbivora. Dalam detritus food chain daun mangrove diuraikan lebih dahulu oleh mikroorganisme (bakteri dan fungi).

44 22 Perpindahan energi, biasanya % dari energi potensial akan hilang dalam bentuk panas. Misalnya apabila seekor satwa herbivora memakan tumbuhan yang nilai energinya kcal sehari, sehingga yang tersimpan di dalam tubuh sebagai energi potensial hanya kcal, dan kcal hilang dalam bentuk panas termasuk melakukan aktivitas (respirasi). Secara biologi, ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah. Serasah tersebut setelah melalui proses dekomposisi menghasilkan detritus dan sebagai fitoplankton yang akan dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan crustacea sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai kosumer utama (Salm and Clark, 1989; Bengen, 2001). Heald and Odum (1972), menemukan 80 90% dari makanan ikan, udang dan kepiting di daerah hutan mangrove terdiri dari detritus. Hal ini menujukkan bahwa ekosistem hutan mangrove memberikan kontribusi yang sangat penting sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan dan daerah pemijahan bermacammacam biota perairan pantai baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. Menurut Lugo dan Snedaker (1974), ekosistem mangrove berperan sebagai ekspor serasah yang mencapai 7,1-8,8 ha -1 th -1. Menurut Najamuddi (1998) produksi serasah hutan mangrove di Sinjai yang dikelola pada model komplangan sekitar 21,75 ton/ha/th, model empang parit sekitar 14,88 ton ha -1 th -1, dan mangrove yang tidak dikonversi sekitar 22,16 ha -1 th -1. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa model pengelolaan mangrove dapat menyebabkan perbedaan produksi serasah yang dihasilkan. Sedangkan Halidah dan Sumedi (1997) melaporkan bahwa produksi serasah hutan mangrove rakyat di Sinjai pada tegakan yang berumur 8 tahun sekitar 14 ton ha -1 th -1, 11,97 ton ha -1 th -1 pada tegakan yang berumur 9 tahun dan 13,27 ton ha -1 th -1 pada tegakan yang berumur 10 tahun. Sukarjo (1987) melaporkan bahwa produksi serasah hutan mangrove di Tiris, Indramayu dengan jenis Rhizophora sp sebesar 12,90 ton ha -1 th -1. Tingginya produktivitas hutan mangrove di Sinjai kemungkinan disebabkan jarak tanam yang rapat dan juga umur yang masih muda. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serasah adalah seringnya tergenang air pasang surut, salinitas rendah dan umur tanaman, curah hujan. Hasil

45 23 penelitian Khairijon (1991) bahwa produksi serasah tertinggi terjadi pada saat musim kemarau, kecepatan angin, kepadatan pohon dan luas penutupan tajuk, dan kelembaban tanah. Sedangkan laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh oksigen terlarut, lama penggenangan air, mikroorganisme pengurai, ph, suhu dan salinitas. Produktivitas. Menurut White (1987) ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi yaitu sekitar gram C m -2 th -1. Jumlah yang lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Produktivitas mangrove dipengaruhi oleh : pasang surut, dan kimia air. Produktivitas tertinggi pada mangrove yang tumbuh di tempat yang mempunyai hara cukup, sering tergenang air pasang dan air tawar, dan salinitasnya rendah (Lugo and Snedaker, 1974). Menurut Bengen, et al., (2003) kandungan C-organik daun mangrove di pesisir Kabupaten Berau berkisar antara 183,78-412,86 gram C m -2 th -1 atau 1.837, ,56 kg C ha -1 th -1. Kandungan C-organik tergantung dari lokasi dan jenis mangrove. Hal ini dapat dijelaskan bahwa produktivitas primer mangrove dapat ditaksir dari biomassanya, yang memiliki perbedaan dari satu tempat ke tempat lain, bahkan dalam suatu lokasi terdapat variasi menurut pola komunitasnya. Sedangkan unsur N berkisar antara 11,17-108,07 kg ha -1 th -1, unsur P sekitar ,02 kg ha -1 th -1, dan unsur K antara 49,47-87,01 kg ha -1 th -1. Ong, Gong dan Wong (1982) memperkirakan produksi bahan organik dan anorganik dari hutan mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora spp. di Malaysia yakni : bahan organik sebesar 9,5 ton ha -1 th -1, N sekitar 69 kg ha -1 th -1, P sekitar 5 kg ha -1 th -1 Hasil penelitian di Florida menujukkan 90% kotoran hutan menghasilkan 35-60% unsur hara yang terlarut di pantai. Selain itu daun-daun (Rhizophora spp) pada awal pembusukannya mengandung 3,2% protein dan setelah 12 bulan kandungan ini meningkat sampai 21% (Heald, 1971). Kadar N daun kering sekitar 0,55% dan diperkirakan setelah satu tahun menghasilkan sekitar 47 kg N. Martosubroto dan Naamin (1977) menemukan adanya hubungan linier positif antara luas hutan mangrove dengan hasil tangkapan udang tahunan. Paw and Chua (1989) menemukan hubungan yang positif antara areal mangrove dan penangkapan udang penaeid. Selain itu adanya hubungan antara panjang total areal mangrove di

46 24 pinggir sungai Australia dengan hasil tangkapan tahunan udang putih (banana prawn). Hasil-hasil penelitian di negara-negara lain disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hubungan luas hutan mangrove dengan jumlah tangkapan udang Lokasi (Daerah) Hasil Tangkapan (Ton) Australia 0,2-15 Malaysia 0-25 Teluk Meksiko Filipina 0,2-5 Sumber : Nirarita et al., (1995) Luas Mangrove (ha) 0,1-0, Koefisie Korelasi 0,76 0,74 0,98 0,62 Hasil penelitian Niartiningsih (1996) menemukan beberapa spesies ikan yang tertangkap di kawasan hutan bakau Sinjai Timur sebanyak 77 spesies ikan dari 41 famili, dimana pada saat musim timur diperoleh sebanyak 67 spesies ikan dan 45 spesies pada musim barat (kemarau). Keberadaan hutan mangrove di Sinjai dapat meningkatkan produksi penangkapan ikan di laut, yaitu pada tahun 1984 produksi tangkapan ikan di laut ,7 ton, nener ekor dan benur 927 ekor, mengalami peningkatan pada tahun 1995 yaitu produksi penangkapan ikan di laut ,8 ton, nener ekor dan benur ekor. Sebagai Pelindung Pantai dan Pengendali Pencemaran. Hutan mangrove berfungsi untuk melindungi garis pantai dari erosi dan dalam beberapa hal dapat mempercepat pertumbuhan pantai (Nontji, 1993). Selanjutnya dikemukakan bahwa pohon-pohon yang kuat dan berakar banyak bersifat meredam hantaman ombak. Selain itu, akar-akar mangrove dapat menahan endapan lumpur dari sungai, mempercepat terbentunya tanah timbul contohnya di Segara Anakan dan di hilir Sungai Musi. Hutan mangrove di daerah pantai, berfungsi untuk mencegah dan melindungai daerah pertambakan dari ancaman erosi pantai akibat hantaman ombak. Hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk melindungi daerah pertambakan dari bencana banjir. Fungsi ini tentunya akan hilang bila hutan mangrove ditebang. Menurut Naamin (1991) menyatakan bahwa fungsi fisik dari ekosistem mangrove, yaitu : menjaga garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai, serta sebagai perangkap zat pencemar dan limbah.

47 25 Ekosistem mangrove juga berperan besar dalam pemeliharaan perairan pesisir melalui : (1) penjebakan sedimen yang terdapat di kolom air, dan (2) pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (Darovec, 1975). Hutan mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik, sehingga dengan adanya ekosistem ini dapat mengurangi limbah yang masuk ke dalam perairan pantai. Keberadaan hutan mangrove dapat memacu perpindahan padatan dan hara yang dibuang dari pertambakan udang (Robertson dan Phillips, 1995 diacu dalam Boyd, 1999). Buangan dari tambak udang dapat dialirkan langsung melalui daerah mangrove untuk pengolahan air. Cara ini mempunyai keuntungan ganda yaitu merangsang produktivitas tambak, memacu perikanan pesisir, mengurangi pencemaran lingkungan dan menyediakan kualitas air yang lebih baik untuk tambak. Sebagai Peningkatan Daya Dukung Lingkungan. Kapasitas air dalam menampung oksigen ditentukan oleh suhu dan salinitas, semakin tinggi suhu semakin berkurang jumlah oksigen. Daya dukung lingkungan perairan bertambah dengan bertambahnya jumlah oksigen terlarut, secara tidak langsung keberadaan pohon mangrove akan meningkatkan jumlah oksigen terlarut. Hal ini sesababkan karena keberadaan pohon mangrove dapat melindungi kondisi perairan dari sinar matahari sehingga suhu perairan yang tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, keberadaan mangrove dapat meningkatkan daya dukung lingkungan (Bengen, 2000) Bengen (2000) menyatakan beberapa fungsi ekologis penting dari mangrove, yaitu : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen; (2) sebagai penghasil detritus dan makanan bagi pemakan detritus; (3) sebagai nursery grounds, feeding grounds dan spawning grounds bagi ikan, udang dan kerang-kerangan. Boers (2001) menyatakan bahwa mangrove green belt (MGB) dapat difungsikan sebagai filter air yang masuk ke tambak dari penyakit ikan atau udang yang disebabkan oleh virus maupun bakteri karena beberapa hewan, seperti oyster yang berkoloni dengan akar pohon mangrove melalui kegiatan pemangsaan. Boers (2001) membuat model pengembangan tambak ramah lingkungan. Hal yang harus

48 diperhatikan dalam model tersebut, yaitu : (1) pasang surut yang signifikan, (2) sabuk hijau, (3) aliran air satu arah, (4) tambak biofilter, dan (4) tambak penyangga. Tambak biofilter berfungsi untuk mempertahankan kualitas air sebelum dimasukkan ke tambak budidaya atau pembesaran udang. Tambak biofilter diisi dengan rumput laut dan organisme pemangsa untuk menghilangkan penyakit, bahan partikulat terlarut, dan nutrien. Sedangkan tambak penyangga berfungsi untuk mencegah pemangsa udang masuk ke dalam tambak budidaya karena mangrove sebagai sabuk hijau juga merupakan habitat bagi sejumlah predator. Budidaya tambak sangat membutuhkan mangrove untuk meningkatkan daya dukung perairannya. Robertson dan Phillips(1994) diacu dalam Cwodhury (2000) memberikan perkiraan kebutuhan luas mangrove (Rhizophora) per ha tambak udang semi intensif dan intensif untuk membuang beban nitrogen dan fospor dari air keluaran tambak, seperti yang disajikan pada Tabel 4. Sedangkan konversi mangrove berdasarkan kebutuhan areal mangrove dengan luas budidaya perikanan (Tabel 5). Tabel 4 Perkiraan luas mangrove Rhizophora yang dibutuhkan untuk asimilasi limbah N dan P untuk satu hektar tambak semi-intensif dan intensif Luas mangrove yang dibutuhkan (ha) Elemen dari air keluaran Tambak udang semiintensif tambak Tambak udang intensif Nitrogen 2,4 7,2 Fospor 2,8 21,7 Sumber : Robertson dan Phillips(1994) diacu dalam Cwodhury (2000) Tabel 5 Konversi kebutuhan luas mangrove dengan luas lahan budidaya 26 Keperluan Input nutrient, kawasan asuhan, sumber pasokan air, dan netralisasi limbah bagi kegiatan budidaya Produksi larva udang untuk stok budidaya tambak Pasokan pakan alami tambak Penyerapan limbah pertambakan Sumber : (Larsson at al., 1994; Kautsky et al., 1997) Luasan mangrove yang diperlukan (35 190) x luas permukaan kawasan budidaya 160 x luas tambak > 4,2 m 2 per m 2 luasan tambak 2,22 m 2 per m 2 luasan tambak

49 KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan teknologi dan institusi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi kebutuhan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanutan seperti (sektor pertanian, kehutanan dan perikanan) konversi lahan, sumberdaya air, tumbuhan, dan hewan, tidak terdegradasi secara lingkungan, sesuai secara teknis, menguntungkan secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial. Konsep pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pengelolaan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, tetapi merupakan batas yang luwes tergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi, serta kemampuan biogeofisik untuk menerima limbah dari kegiatan masyarakat di wilayah tersebut. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategis pemanfaatan ekosistem alamiah secara bijaksana sehingga kapasitas fungsionalnya dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan tidak merusak lingkungan. Berangkat dari konsep ini, pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan di lahan atasnya (DAS) yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat dicapai apabila human capital dan sosial capital dapat dikembangkan lebih besar, sehingga secara dinamik peningkatannya harus lebih tinggi jika dibandingkan dengan natural capital (yang relatif tetap dan cenderung untuk berkurang) dan man-made capital (cenderung berkurang akibat adanya penyusutan). Disamping itu, aspek spasial dan aspek temporal juga harus mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan. Secara ekologis, ada tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi,

50 28 dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi juga dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan dari suatu periode tertentu (Clark, 1988). Pemamfaatan perikanan budidaya di wilayah pesisir dapat berkelanjutan, jika jumlah total limbah yang dibuang tidak boleh melebihi kapasitas daya asimilasinya atau kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima sejumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom, l986). Dari aspek sosial-ekonomi-budaya, konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh dari kegiatan penggunaan di kawasan pesisir serta sumberdaya alamnya harus diperioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Pada umumnya kerusakan lingkungan di wilayah pesisir seperti, penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah. Keberadaan ekosistem mangrove dikawasan tersebut berpengaruh positif dalam mendukung peningkatan potensi sumberdaya alam dan menjaga kestabilan pantai, juga dapat meningkatkan nilai tambah terhadap masyarakat setempat. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan yang dilakukan adalah bagaimana menjaga ekosistem mengrove agar tetap lestari melalui pendekatan konservasi, tatapi dapat meningkatkan pendapatkan masyarakat sekitarnya melalui kegiatan budidaya tambak. Oleh karena itu, pemanfaatan wilayah pesisir harus memperhatikan kemampuan daya dukung perairan untuk menerima beban limbah kegiatan budidaya, sehingga keberlanjutan usaha secara ekonomi dapat menguntungkan dan secara ekologis tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung lingkungan suatu kawasan ditentukan oleh kemampuan asimilasi atau kapasitas lingkungan menerima beban limbah, kondisi oseanografi, dan

51 29 karakteristik biofisik perairan. Optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk budidaya tambak secara lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan kesesuaian lahan tambak, penentuan kapasitas produksi, daya dukung lingkungan, penerapan tingkat teknologi dan pola tanam, intensitas penggunaan lahan, dan tingkat pendapatan. Oleh karena itu, pengelolaan dan memanfaatkan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak secara berkelanjutan dan lestari penting dilakukan kajian secara mendalam tentang alokasi pemanfaatan kawasan pesisir secara optimal berbasis kesesuaian peruntukan lahan dan daya dukung lingkungan. Kerangka pikir pendekatan optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak ramah lingkungan berdasarkan potensi sumberdaya alam, kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan perairan, secara skematik disajikan pada Gambar 4. Untuk mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya kawasan pesisir secara berkelanjutan, maka penentuan peruntukan kawasan didasarkan pada kesesuaian peruntukan lahan, yaitu peruntukan lahan budidaya tambak dan peruntukan lahan untuk kawasan konservasi mangrove. Hal ini bertujuan untuk memperjelas kepastian hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam agar tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang dalam suatu kawasan. Kawasan konservasi berperan dalam melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; mendukung dalam meningkatkan hasil perikanan; menyediakan tempat rekresi dan parawisata; memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dan memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir. Pengelolaan kawasan untuk pemanfaan lahan budidaya tambak didasarkan pada kondisi potensi suplai, potensi permintaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Potensi suplai adalah kondisi sumberdaya alam pesisir baik fisik, kimia dan biologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan budidaya tambak. Sedangkan potensi demand meliputi lahan budidaya tambak, managemen budidaya dan akuainput ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Lahan budidaya tambak yang dimaksud adalah luas lahan, tingkat teknologi, akuainput dan managemen yang digunakan untuk kegiatan budidaya yang membutuhkan suplai

52 30 sumberdaya alam yang memadai dan memerlukan pengaturan pemanfaatan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya alam pesisir yang dimaksud adalah dampak atau limbah organik dari kegiatan budidaya tambak, juga merupakan faktor penentu keberhasilan yang perlu dikaji untuk melakukan perubahan kearah penyempurnaan pengelolaan untuk kelestarian sumberdaya pesisir dan pemanfaatanya berkelanjutan. Penentuan daya dukung lingkungan untuk pengembangan budidaya tambak digunakan tiga metode pendekatan, yaitu (1) pendekatan yang mengacu pada hubungan kuantitas air dengan beban limbah organik; (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersedian oksigen terlarut dalam perairan; dan (3) kapasitas asimilasi perairan. Perkirakan jumlah limbah budidaya (bahan organik) sangat penting untuk menentukan kapasitas asimilasi kawasan dalam menampung kegiatan budidaya tambak. Limbah organik yang menjadi parameter daya dukung lingkungan adalah phosphat dan Nitrogen. Phosphat merupakan unsur nutrient yang keberadaanya sebagian besar di pasok dari luar ekosistem perairan, sehingga P sering dinyatakan sebagai faktor pembatas bagi kehidupan produktivitas primer. Loading P dari runoff yang berasal dari lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, industri, dan akuakultur merupakan pemasok utama P bagi perairan pesisir. Bilamana loading P mencapai titik jenuh, dimana kapasitas asimilasi perairan tidak mampu mendegradasi beban P maka akan berdampak pada proses eutrofikasi yang diikuti dengan proses deplesi oksigen. Rendahnya kandungan oksigen terlarut sebagai dampak ikutan dari proses eutrofikasi akan mempengaruhi kehidupan biota perairan. Karena itu, loading P menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kriteria daya dukung lingkungan perairan bagi pengembangan perikanan budidaya. Nitrogen merupakan unsur pengatur pertumbuhan bagi produktivitas primer. Pasokan N dari daratan dan buangan limbah cukup siginifikan memberikan kontribusi bagi N di perairan pesisir. Kegiatan perikanan budidaya justru memberikan kontribusi N dan P yang cukup besar ke dalam lingkungan perairan dimana organisme target dibudidayakan.

53 31 Upaya mempertahankan kelestarian usaha budidaya tambak dan memperkecil penurunan kualitas lingkungan pesisir akibat limbah dari kegiatan pertambakan (luas areal dan teknologi budidaya) harus dikelola sesuai dengan daya dukung lingkungan pesisir. Oleh karena itu, pengembangan budidaya tambak secara berkelanjutan, harus mempertimbangkan kriteri ekologi, ktriteria ekonomi, kriteria sosial budaya. Pengembangan budidaya tambak secara berkelanjutan dan lestari, ditentukan oleh : (1) kelayakan lahan pengembangan budidaya tambak ditentukan oleh tipologi pantai, tunggang pasut dan rambatan arus pasut, kualitas fisika-kimia air dan tanah, produktivitas perairan, keragaman biota dan vegetasi mangrove, tekstur tanah, hidrologi pantai dan sungai, dan iklim; (2) kelayakan teknis operasional meliputi : luas areal budidaya, sungai dan saluran irigasi, pasokan benih dan pakan; (3) managemen budidaya : seperti teknologi yang digunakan, padat tebar, pola tanam dan pengelolaan, serta sarana dan prasanana produksi dan kesesuaian lahan (jumlah/luas lahan budidaya). Penentuan daya dukung lingkungan perairan ditentukan berdasarkan kemampuan asimilasi dan daya dukung ligkungan menerima beban limbah, serta kondisi oseanografi, dan karakteristik biofisik perairan, sebagai acuan optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir untuk alokasi pemanfaatan terknologi budidaya secara berkelanjutan meliputi alokasi lahan budidaya tambak dan konservasi mangrove, penentuan kapasitas produksi, alokasi tingkat teknologi budidaya tambak dan pola tanam, intensitas penggunaan lahan, dan tingkat pendapatan. Analisis optimalisasi pemanfaatan kawasan untuk pengembangan budidaya tambak yang dilakukan dalam penelitian ini diuraikan dengan beberapa tahapan analisis sebagai berikut (Gambar 5). 1. Pengembangan kawasan perikanan budidaya dimulai dari kajian potensi dan kondisi biofisik lahan sebagai acuan dalam penilaian tingkat kelayakan lahan budidaya, yaitu dengan menumpang susunkan kriteria biofisik lahan dengan land requirement bagi komoditas budidaya udang. Dalam rumusan ini akan dihasilkan potensi dan kesesuain peruntukan lahan untuk pengembangan setiap komoditas perikanan..

54 32 2. Setelah mengetahui potensi lahan yang sesuai, kemudian dilakukan analisis kelayakan ekonomi, kelayakan sosial budaya dan kelayakan kebijakan dan kelembagaan. Analisis kelayakan usaha yang dilakukan meliputi penetuan biaya investasi, biaya operasional, dan penerimaan. Setelah dilakukan kelayakan secara fisik dan ekonomi selanjutnya dilakukan analisis sosial budaya digunakan analisis deskrivtip. 3. Menduga daya dukung lahan yang telah ditetapkan dengan mengacu pada kriteria penentuan daya dukung serta beberapa parameter biofisik lahan yang merupakan komponen terkait dengan kriteria daya dukung. Parameter lain yang mempengaruhi daya dukung adalah karakteristik limbah budidaya, konsentrasi ambang batas limbah yang masih diperkenankan, dan kriteria prasyarat hidup organisme budidaya. Pendekatan dalam menentukan daya dukung lingkungan bagi pengembangan kawasan budidaya tambak di wilayah pesisir, yaitu (1) pendekatan yang mengacu pada hubungan kuantitas air dengan beban limbah organik; (2) pendekatan mengacu pada kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air untuk menguraikan limbah bahan organik dari kegiatan budidaya tambak, dan (3) pendekatan yang mengacu pada kapasitas asimilasi beban beban limbah bahan organik.

55 33 Konservasi Potensi Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir Pemanfaatan Kawasan Konservasi Mangrove Potensi Supply Kawasan Pengembangan Budidaya Tambak Potensi Demand Biodiversity Luas kawasan Spesies endemik Kondisi ligkungan Kondisi Biogeofisik Pesisir : Dinamika Pantai Kondisi SDA Hayati Pantai Kualitas dan Kuantitas Perairan Microorganisme Geomorfologi Tanah Limbah Organik Tambak Daya Dukung Lingkungan Pesisir Lahan Usaha Budidaya Perikanan : Tkt. Teknologi Budidaya Luas dan jenis komoditas Aquainput Budidaya Manajemen Budidaya Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Budidaya Tambak dan Konservasi Mangrove Kodisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Alokasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dan Konservasi mangrove Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Berkelanjutan Berbasis Kesesuaian lahan dan Gambar 4 Kerangka pikir dalam penelitian

56 34 Infrastruktur Tataguna lahan Produktivitas Perairan Ekosistem Mangrove Analisis Optimalisasi Kondisi Sosek-bud Masyarakat Biofisik Perairan SIG Kelayakan Bioteknis Potensi Areal dan Kelayakan Lahan Konservasi Mangrove Potensi Areal dan Kelayakan Lahan Budidaya Tambak Analisis Daya Dukung Lingkungan Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dan konservasi mangrove Pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan Akuainput Desain Tataletak dan Tingkat Teknologi Manajemen Budidaya Luas lahan budidaya tambak (Intensif, semiintensif dan tradisional) Kuantifikasi beban limbah maksimum? (Kapasitas Asimilasi) Gambar 5 Tahapan analisis dalam penelitian

57 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada awal bulan Agustus Maret 2005 di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, berada pada posisi antara LS dan BT. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan kimia kualitas air, contoh serasah, contoh air dan tanah, bahan pengawet (formalin 4%), kertas label, dan kertas tisu. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : tongkat berskala, pipa paralon, kompas, GPS, counter, refractometer, cool box, ph meter, timbangan elektronik balans model ER-120A, oven, termometer air raksa, botol sampel, ember plastik, kantong plastik, kertas saring, meteran, kuesioner, serta alat tulis menulis. Metode Penelitian Penentuan Stasiun Penelitian Stasiun pengambilan data biofisik dibagi atas 4 (empat) lokasi, yaitu : (1) kawasan ekosistem mengrove 3 stasiun, (2) lokasi budidaya tambak 3 stasiun, dan (3) perairan pesisir pantai 3 stasiun dan (4) sungai/saluran 3 stasiun. Sedangkan data ekonomi, sosial budaya, hukum dan kelembagaan dilakukan di kawasan pemukiman penduduk di sekitar lokasi penelitian, instansi terkait dan pemerintah daerah. Jenis, Sumber dan Prosedur Pelaksanaan Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis yaitu : data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui observasi dan wawancara langsung di lokasi penelitian dan data sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan penelitian ini. Data primer yang diamati dalam penelitian ini meliputi :

58 36 Stasiun Pdngukuran Stasiun Kualitas Tanah Pasut Stasiun Pdngukuran Arus Gambar 6 Peta lokasi penelitian kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan

59 37 Karakteristik Biofisik Kawasan Pesisir Pengumpulan data parameter biofisik yang diamati, alat, metode dan tempat pengukuran dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Parameter biofisik yang diukur serta alat dan metode yang digunakan No. Parameter Satuan Alat / Metode Pengukuran 1 Parameter Fisik-Kimia Air : Parameter Pisik : Suhu ( o C) Termometer air raksa Kekeruhan (NTU) Turbidity meter TSS (ppm) Botol sampel dan cool box Pasang surut (cm) Tonggak penduga pasang Arus (m/dt) Curren meter Fraksi Substrat (%) Oven, pipa paralon, sieve shaker dan tanah dan persentase substrat (tekstur) Parameter Kimia : PH Salinitas Oksigen Terlarut Amonia Nitrat Phosphat BOD COD 2 Makanan Alami : Kelimpahan plankton Produksi serasah Laju dekomposisi serasah - (ppt) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) ind/l gr/m 2 /bl (%) ph-meter Refraktometer DO meter Botol sampel, Spectofotometer Botol sampel, Spectofotometer Botol sampel, Spectofotometer Botol BOD, Spectofotometer Botol sampel, Spectofotometer Menyaring 50 liter air dengan plankton net No : 25 Jaring penampung serasa, (daun ditampung, dioven dan ditimbang) Daun mangrove, kantong nilon (daun ditimbang, dimasukkan dalam kantong nilon, direndam dan timbang lagi) Tempat Pengukuran In situ In situ Laboratorium Insitu In situ In situ dan Laboratorium In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium In situ Laboratorium In situ Laboratorium In situ Laboratorium 3 Vegetasi Mangrove : Identifikasi jenis Kerapatan jenis mangrove - ind/ha Buku identifikasi Belt transek (diidentifikasi, diukur diameter dan dihitung jumlah individu perjenis) In situ Insitu Parameter Kualitas Air. Pengamatan kualitas air dilakun di kawasan tambak, kawasan mangrove dan kawasan perairan pantai. Pengamatan kualitas air bertujuan untuk menentukan present status kondisi perairan pesisir Sinjai yang terkait

60 dengan kelayakan lingkungan untuk kehidupan udang dan ikan baik di alam maupun di tambak. Pengamatan dilakukan sekali satu bulan pada saat terjadi pasang tertinggi dan surut terendah, dengan masing-masing pengamatan mewakili musim hujan, peralihan dan kemarau. Oseanografi Perairan. Pengamatan pasang surut dilakukan di perairan pantai pada kedalaman 3 meter saat surut terendah dengan menggunakan papan berskala, selama kurang lebih satu bulan. Data pasang surut Teluk Bone yang dikeluarkan oleh Dinas Hidrooseanografi Angkatan Laut tahun 2004 digunakan sebagai pembanding. Kecepatan arus pasang surut di ukur dengan current meter, sedangkan pola arus diamati dengan menelusuri arah pergerakan arus. Pengukuran Kualitas Tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada kawan pertambakan 3 stasiun, kawasan hutan mangrove 3 stasiun, dan kawasan perairan pantai 3 stasiun. Pengambil contoh tanah diambil pada setiap stasiun dengan menggunakan pipa paralon sampai kedalaman sekitar 50 cm. Contoh substrat tersebut dikompositkan, kemudian dianalisis di laboratorium. Adapun parameter substrat yang diamati disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Parameter kualitas tanah dan metode analisis substrat tanah No Parameter Satuan Metode Analisis 1 ph (1:1) H2O Laboratorium 2 Bahan Organik (BO-C) (%) (%) Laboratorium 3 N-Total (%) (%) Laboratorium 4 P 2 O 5 Bray II (ppm) (ppm) Laboratorium 5 KTK (me/100 g) Laboratorium 6 Kdd (me/100 g) Laboratorium 7 Ca (me/100 g) Laboratorium 8 Mg (me/100 g) Laboratorium 9 EC (10 mmhos) Laboratorium 10 Tekstur (pasir, debu, dan liat) (%) Laboratorium 38 Biologi Perairan. Kajian biologi perairan meliputi produktivitas primer, plaknton, bertujuan untuk mengetahui kemampuan perairan dalam mengasimilasi bahan organik menjadi anorganik.

61 Produktivitas Primer. Produktivitas primer diukur dengan menggunakan botol gelap - botol terang untuk menentukan laju fotosintesa dan respirasi fitoplankton (Vollenweider, 1969 diacu dalam Kaswaji et al., 1993). Produktivitas primer dihitung dengan menentukan kandungan O 2 dalam botol terang dikurangi dengan kandungan O 2 dalam botol gelap setelah dilakukan masa inkubasi antara 3-6 jam. Nilai O 2 yang diperoleh dari hasil pengurangan tersebut, kemudian dikonversikan ke satuan mgc L -1 jam -1 dengan formula sebagai berikut : ppm O 2 dalam BT ppm O 2 dalam BG 0,375 GP = x mg C L -1 jam (5) Lama pencahayaan (jam) KF dimana, GP = produktivitas primer; BT = botol terang; BG = botol gelap; KF (koefisien fotosintesa) = 1,2. Jika diasumsikan bahwa dalam satu hari terdapat 12 jam terang, maka dalam satu tahun GP x 12 x 365 mg C L -1 th -1 atau g C m -3 th -1. Penghitungan Plankton. Pengukuran sampel plankton dilakukan dengan menyaring 50 liter air dengan menggunakan plankton net No : 25 dan dipadatkan menjadi 100 ml dalam botol penadah kemudian diawetkan dengan formalin 4 %. Pengukuran Kerapatan Vegetasi Mangrove. Untuk memperoleh data bagi analisis kerapatan hutan mangrove dilakukan dengan membuat petak contoh (sample plots) dengan ukuran 5 m x 5 m sebanyak 6 plot di Tongke-Tongke dan 3 plot di Lingkungan Pangasa. Pengukuran Produksi. Produksi serasah dilakukan pada 6 (enam) stasiun pengamatan, serasah daun mangrove yang gugur ditampung dalam jaring penampung berukuran 1 m x 1 m, dipasang di bawah kanopi tegakan pohon mangrove sebanyak 3 buah di masing-masing stasiun. Serasah tersebut dikeringkan dalam oven pengering selama 4 hari pada suhu 70 o C sampai beratnya konstan. Serasah kering kemudian ditimbang dengan alat timbangan yang mempunyai ketelitian 0,05 g. Laju Dekomposisi Serasah. Pengukur laju dekomposisi serasah digunakan kantong nilon dengan ukuran 20 x 30 cm. Kantong ini diisi 10 gram serasah daun kering kemudian dipasang di setiap stasiun diupayakan agar kantong tersebut selalu terendam air. Sebanyak 3 kantong diambil dari masing-masing lokasi setelah 15 hari, 39

62 40 30 hari, 45 hari, 60 hari dan 75 hari. Serasah yang tersisa dibersihkan, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 70 o C selama 4 hari atau sampai berat konstan. Pengamatan Ekonomi, Sosbud, Hukum dan Persepsi Masyarakat Kegitan ini bertujuan untuk mengidentifikasi manfaat, biaya dan fungsi-fungsi ekosistem kawasan pesisir, sehingga pemanfaatanya diarahkan pada perhitungan besarnya manfaat dan biaya usaha budidaya oleh masyarakat, kebijakan pemerintan dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan pengelolaan tambak dan hutan mangrove. Data diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan masyarakat petani tambak, nelayan setempat yang terlibat dalam pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove melalui metode PCRA, pemda setempat, instansi terkait, kelompok ACI dan kelompok Baku Lestari, LSM dan tokoh-tokon masyarat yang terkait dengan penelitian. Data sekunder yang diamati diperoleh dengan mengumpulkan beberapa hasil penelitian dan data-data dari beberapa instansi yang terkait seperti data klimatologi, yaitu : curah hujan 10 tahunan, topografi lahan, jenis tanah, kelembaban relatif, penguapan, kecepatan angin, dan lama penyinaran matahari; kebijakan pengelolaan daerah, laporan tahunan peikanan, renstra perikanan, tata ruang, BPS, dll.. Analisis Data Analisis Kesesuaian Peruntukan Lahan Analisis kesesuaian peruntukan lahan kawasan pesisir Kabupaten Sinjai dikhususkan pada kesesuaian lahan bagi peruntukan budidaya tambak dan konservasi mangrove. Dalam melakukan analisis kesesuaian lahan secara umum terdapat 4 (empat) tahapan, yaitu (1) menyusun peta kawasan pesisir, (2) menyusun matriks kesesuaian setiap kegiatan yang ada di kawasan pesisir, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap stasiun yang ada di kawasan pesisir tersebut. Penyusunan Peta Kawasan Pesisir. Penyusunan peta kawasan pesisir Kab. Sinjai dilakukan dengan mengoverlaykan berbagai peta kesesuaian lahan yang ada di kawasan pesisir Sinjai saat ini. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan

63 41 pada jenis penggunaan lahan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik, digolongkan ke dalam satu kategori dan diperhitungkan sebagai satu jenis dalam penentuan dominasinya. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan yang telah dibahas sebelumnya, sehingga informasi spasial dapat diketahui : (1) kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pengembangan budidaya tambak, atau kawasan mana saja yang dijadikan sebagai kawasan lindung; (2) kegiatan penggunaan kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan; (3) konflik yang terjadi antara : (a) kesesuaian kawasan dengan peruntukannya; (b) penggunaan lahan dengan peruntukannya; (c) keharmonisan spasial dengan kawasan-kawasan lain disekitarnya; (4) hasil penyusunan peta kawasan yang telah sesuai dengan peruntukan yang seharusnya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan sekarang. Penyusunan Matriks Kesesuaian Lahan. Kesesuaian pemanfaatan lahan pesisir untuk kegiatan budidaya tambak dan konservasi, didasarkan pada kriteria kesesuaian. Kriteria ini disusun berdasarkan parameter biofisik yang relevan dengan setiap kegiatan. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian dibagi kedalam 4 kelas, sebagai yaitu : Kelas S1 (Sangat Sesuai). Kawasan ini tidak mempuyai pembatas yang serius untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan dari pengusahaan lahan tersebut. Kelas S2 (Sesuai). Kawasan ini mempunyai pembatas yang agak serius untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari, pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan atau keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. Kelas S3 (Sesuai Bersayarat). Kawasan ini mempunyai pembatas yang serius, tetapi masih memungkinkan diatasi, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi

64 42 sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya yang rasional. Kelas N (Tidak Sesuai). Kawasan ini mempuyai pembatas (penghambat) yang sangat serius, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembobotan dan Pengharkatan. Pembobotan pada setiap faktor pembatas ditentukan berdasarkan dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Besarnya pembobotan ditunjukkan suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan, parameter kemiringan/kelerengan mempunyai bobot yang lebih tinggi dibandingkan parameter jenis tanah untuk kesesuaian budidaya tambak. Kesesuaian Lahan Konservasi Mangrove Kawasan konservasi ditentukan berdasarkan parameter-parameter biogeofisik, yang relevan. Berdasarkan parameter-parameter tersebut dapat disusun matriks kesesuaian peruntukan lahan konservasi mangrove. Kelas-kelas kesesuaian peruntukan lahan pada matriks tersebut menggambarkan tingkat kesesuaian suatu kawasan untuk konservasi. Kriteria yang digunakan dalam penentuan lahan konservasi, didasarkan pada matrik kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove disajikan pada Tabel 8. Sedangkan sistem pembobotan dan pemberian skor untuk parameter kesesuaian lahan konservasi, dijelaskan pada Tabel 9. Tabel 8 Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi Parameter S1 (Sangat Sesuai) S2 (Cukup Sesuai) S3 (Sesuai Marginal) N (Tidak Sesuai) Kemiringan Lereng (%) > 9 Jarak dari Pantai (m) < > 400 Jenis Tanah Aluvial pantai Hidromof Regosol, Gleihumus Gleihumus, Regosol Ketinggian (m) > 9 Drainase Tergenang Tergenang Tidak tergenang Tidak tergenang Bervegetasi Mangrove Mangrove Non mangrove Non mangrove Sumber : Bakosultanan (1996)

65 43 Tabel 9 Pembobotan dan pemberian skor parameter kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi Parameter Bobot Kategori dan Skor S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor Kemiringan > 9 1 Lereng (%) Jarak dari Pantai (m) 0.30 < > Jenis Tanah 0.15 Aluvial pantai 4 Hidromof 3 Regosol, Gleihumus 2 Gleihumus, Regosol Ketinggian (m) > 9 1 Drainase 0.15 Tergenang 4 Tergenang 3 Bervegetasi 0.20 Mangrove 4 Mangrove 3 Sumber : Bakosultanan (1996) Tidak tergenang Non mangrove 2 2 Tidak tergenang Non mangrove Berdasarkan nilai pembobotan dan pengharkatan dari parameter di atas, maka dapat ditentukan nilai kelas kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi yaitu : Sangat Sesuai (S1) : 3,26 4,00 Sesuai (S2) : 2,51 3,25 Sesuai Bersyarat (S3) : 1,76 2,50 Tidak Sesuai Permanen (N) : 1,00 1,75 Kesesuaian Kawasan Budidaya Tambak Pemanfaatan lahan untuk budidaya tambak, didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan budidaya tambak. Kriteria yang digunakan dalam penentuan kesesuaian kawasan budidaya tambak, didasarkan pada matrik kesesuaian lahan untuk kawasan pertambakan, disajikan pada Tabel 10. Kemudian sistem pembobotan dan pemberian skor masing-masing parameter kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak, disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan nilai pembobotan dan scoring dari parameter di atas, maka dapat ditentukan nilai kelas kesesuaian lahan untuk kawasan Budidaya tambak yaitu : Sangat Sesuai (S1) : 3,26 4,00 Sesuai (S2) : 2,51 3,25 Sesuai Bersyarat (S3) : 1,76 2,50 Tidak Sesuai Permanen (N) : 1,00 1,

66 44 Tabel 10 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya tambak Parameter S1 (Sangat Sesuai) S2 (Cukup Sesuai) S3 (Sesuai Marginal) N (Tidak Sesuai) Kemiringan Lereng (%) > 9 Jarak dari Pantai (m) < 200 > 4000 Jarak dari sungai (m) > 3000 Jenis tanah Alluvial pantai Alluvia hidromof Regosol Regosol gleihumus gleihumus Ketinggian (m) > 9 Darainase Tergenang Tergenang Tidak Tidak periodik periodik tergenang tergenang Salinitas (ppt) ; <5; >45 Geologi Sedemen lepas Sedemen lepas Sedemen padu Sedemen padu Sumber : Bakosultanan (1996) Tabel 11 Parameter Kemiringan Lereng (%) Pembobotan dan pemberian skor parameter kesesuaian lahan untuk budidaya tambak Bobot Kategori dan Skor S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor > 9 1 Jarak dari Pantai (m) < > Jarak dari sungai (m) > Jenis tanah 0.10 Alluvial pantai 4 Alluvia hidromof 3 Regosol gleihumus 2 Regosol gleihumus Ketinggian (m) > 9 1 Darainase 0.10 Tergenang periodik 4 Tergenang periodik 3 Tidak tergenang 2 Tidak tergenang Salinitas (ppt) ; < 5; > 45 1 Geologi 0.10 Sumber : Bakosultanan (1996) Sedemen lepas 4 Sedemen lepas 3 Sedemen padu 2 Sedemen padu Analisis Potensi Ekosistem Mangrove Data yang dianalisis dalam menentukan potensi ekosistem mangrove meliputi: kerapatan jenis, produksi dan laju dekomposisi serasah, pengelompokan dan tipe habitat. Analisis potensi tersebut dilakukan sebagai berikut : Kerapat Hutan Mangrove. Data pengukuran tinggi pohon, diameter batang, dan jumlah pohon per plot dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sedangkan untuk mengetahui luas penutupan hutan mangrove (C i ) dalam suatu unit area digunakan rumus (Bengen, 2001) yaitu : 1 1 1

67 C i = BA / A. (6) dimana C i = luas penutupan dalam suatu area (m 2 ) 2 BA = π DBH / 4 π = 3,1416 DBH = diameter pohon, DBH = CBH/π (dalam cm) A = luas total petak contoh per plot CBH = lingkaran pohon setinggi dada Sedangkan jumlah pohon/ha (JP), digunakan rumus sebagai berikut : JP = x ΣP... (7) LP dimana : JP = jumlah pohon ha -1 LP = luas plot sampel Σ P = jumlah pohon per plot Produksi Serasah. Untuk menghitung produksi serasah dalam satuan meter persegi diperoleh dengan rumus : GS X =... (8) H dimana : GS = guguran serasah X = berat kering rata-rata semua perangkap H = jumlah hari pengematan Laju Dekomposisi. Laju dekomposisi diperoleh dari persentase penguraian mutlak perhari seperti yang telah dilakukan oleh Boonruang (1984) : Y BA BK = x 100 % (9) BA dimana : Y BA BK = persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi = berat awal penimbangan (gram) = berat akhir penimbangan (gram) Untuk mendapatkan nilai persentase kecepatan dekomposisi serasah daun per hari : Y X =. (10) D dimana : X = persentase kecepatan dekomposisi serasah daun per hari D = lama pengamatan dalam hari 45

68 Korelasi Antara Parameter Kualitas Air dengan Stasiun Pengamatan Analisis Komponen Utama (Principal Componen Analysis-PCA) digunakan untuk memperoleh hubungan antara variabel kualitas air sekaligus dapat mendeterminasikan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan variabel kualitas air (Bengen, 1998). Analisis ini merupakan metode statistik deskrivtif, berfungsi untuk mempersentasikan dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data terdiri atas stasiun pengamatan sebagai individu (baris) dan karakteristik biofisik sebagai variabel kuantitatif (kolom). Dengan demikian analisis komponen utama tidak dianalisis dari nilai-nilai variabel asal tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel asal. Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean yang didasarkan pada rumus berikut (Bengen, 1998) : D 2 dimana : I, I j p ' 2 ( I, I ) = ( X ij X i ' j )... (11) j = 1 = dua stasiun (baris) = variabel biofisik Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Tambak Analisis kelayakan usaha yang dilakukan meliputi : biaya investasi, biaya operasional, dan penerimaan dengan menggunakan kriteria Revenue Cost Ratio (R/C), Net Present Value (NPV) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Revenue Cost Ratio (R/C). Analisis ini untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha selama periode waktu tertentu, dengan formula : R / C = TR / TC... (12) dimana: TR = Total penerimaan usaha (Rp ha -1 th -1 ) TC = Total biaya usaha (Rp ha -1 th -1 ) Kriteria yang digunakan adalah : Bila R/C 1, maka usaha tersebut layak untuk diusahakan. Bila π < 0 dan R/C < 1, maka usaha tersebut tidak layak di usahakan. Net Present Value (NPV). Analisis ini merupakan selisih antara present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Bila nilai NPV > 0, berarti usaha 46

69 layak, bila NPV = 0, pengembalian persis sebesar opportunity coast dari modal, dan bila NPV < 0, bearti usaha tidak layak dilakukan, nilai NPV diperoleh dengan formula (Kusumastanto, 2000) : NPV = B C n t t t t = 1 (1 r)... (13) dimana B t = manfaat usaha pada tahun ke t, C t = biaya usaha pada tahun ke t n = umur ekonomis r = discount rate t = 0, 1,2,3, tajun ke n Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Net B/C adalah perbandingan nilai sekarang dari keuntungan usaha dengan biaya investasi pada awal usaha. Untuk menghitung nilai net B/C digunakan persamaan sebagai berikut : Net B B C n t t t t = 0 (1 r) / C = n (14) ( C t Bt ) ( Bt C t t ) t = 1 (1 r) Dalam evaluasi, bila Net B/C > 1 usaha layak, bila Net B/C < 1, maka usaha tidak layak, dan bila Net B/C = 1, maka usaha perlu ditinjau kembali. Estimasi Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Estimasi nilai ekonomi ekosistem alami dalam konteks pelestarian ekosistem dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu upaya untuk mengimbangi permintaan pasar terhadap sumberdaya alam secara tidak terkendali, tidak rasional dan cenderung merusak, bahkan pasar cenderung menilai terlalu rendah keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, estimasi terhadap nilai ekonomi ekosistem alamiah dapat dijadikan justifikasi dari upaya pelestarian dan perlindungan ekosistem. Untuk menilai manfaat ekonomi dari suatu ekosistem sumberdaya alam digunakan metode Total Economic Valuation (TEV) atau Total Manfaat Ekonomi. Dalam menghitung TEV di daerah studi ini digunakan pendekatan manfaat ekonomi hutan mangrove dengan formula sebagai berikut : TEV = ML MTL MP ME... (15) 47

70 dimana : TEV = Total manfaat ekonomi hutan mangrove ML = Manfaat Langsung MTL = Manfaat Tidak langsung MP = Manfaat Pilihan ME = Manfaat Eksistensi Dalam pelaksanaannya, penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu : Identifikasi Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove. Bertujuan untuk memperoleh data tentang berbagai macam manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove, yaitu terdiri dari : 1. Manfaat Langsung (ML) : yaitu manfaat yang dapat diperoleh secara langsung dari hutan mangrove, misalnya kayu mangrove, sumberdaya perikanan (Barton, 1994); bahan makanan, wisata dan kesehatan/obat-obatan (Munasinghe, 1993). ML = MLHi MLPi MLSi MLTi MLWi... (16) dimana : MLHi = manfaat hasil hutan MLPi = manfaat hasil perikanan MLSi = manfaat langsung hasil satwa MLTi = manfaat langsung hasil MLWi = manfaat langsung sebagai objek wisata 2. Manfaat Tidak Langsung (MTL) : yaitu manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung misalnya mencegah instrusi air laut dan penjaga siklus pakan bagi ikan (Barton, 1994). MTL = MTLe MTLb... (17) dimana : MTLe = manfaat tidak langsung secara ekologis (sebagai perlindungan pencegah intrusi air laut). MTLb = manfaat tidak langsung secara biologis (sebagai penyedia bahan pakan organik bagi ikan) 3. Manfaat Pilihan (MP) : yaitu nilai yang menunjukkan kesediaan seseorang untuk membayar demi kelestarian sumberdaya bagi pemanfaatan di masa depan. Nilainya didekati dengan mengacu pada nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan mangrove Indonesia, yaitu US$ km -2 th -1 atau US$15 ha -1 th -1 (Ruitenbeek, 1992). 48

71 4. Manfaat Eksistensi (ME) : yaitu manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan hutan mangrove setelah manfaat lainnya dikeluarkan dari analisis, dihitung dengan formula sebagai berikut: ME = n i= 1 ( MEi) / n... (18) dimana : MEi = manfaat eksistensi dari responden ke-1 n = jumlah contoh atau responden Kapasitas Asimilasi Perairan Terhadap Limbah Tambak Kapasitas pengenceran perairan perisir pantai Sinjai ditentukan oleh kuantifikasi volume air yang tersedia di pesisir pantai untuk budidaya tambak. Karena di pesisir Kabupaten Sinjai terdapat sungai sebagai sumber air tawar untuk tambak, maka kuantifikasi valome air yang tersedia di pantai ditentukan oleh : (1) volume air laut yang masuk ke pantai ketika pasang naik dan (2) valume atau debit air sungai yang memasuki perairan pantai. 1. Volume air laut yang masuk ke perairan pantai ketika pasang naik (V Lo ) dapat dihitung dengan formula dari Widigdo dan Pariwono (2003) sebagai berikut : V Lo h = 0,5. h. y(2 X ) (19) tgθ dimana : y = panjang garis pantai h = kisaran pasut (tunggang pasang-surut) tg θ = kemiringan dasar pantai X = jarak antara garis pantai pada saat pasang rata-rata ke arah lauthingga suatu titik dimana pada kedalaman satu meter tersebut titik tersebut tidak lagi dipengaruhi oleh gerakan turbulensi air dasar. Selanjutnya dijelaskan, untuk menentukan volume air laut tersisa ketika air laut surut (V Ls ), dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : (2h 1) V Ls = 0,5h. y 2x (20) tgθ dengan asumsi nilai h > 1 VLo VLs Kemudian waktu tinggal : T = (21) V Ls 49

72 2. Debit air sungai yang memasuki perairan pantai (Q n ). Volume air yang tersedia di perairan pantai juga ditentukan oleh debit bulanan air sungai yang bermuara ke pesisir pantai. Untuk mengetahui volume air yang tersedia di sungai setiap bulan, diestimasi dengan menggunakan metode yang didasarkan pada analisis meteorologi water ballance, dengan formula sebagai berikut : 1. DRO = Ws - I. (22) DRO = direct runoff I = infiltrasi Ws = R E = water surplus R = curah hujan E = evapotranspirasi catchment area 2. q = 2a. V a = konstanta untuk t = 1 q = run off berasal dari air tanah untuk t =1 V = volume tersimpan (storange volume) 3. q t = q o. K t q t = runoff saat t dari air tanah q o = runoff untuk t = 0 q t /q o = K = konstanta untuk t = 1 dan nilai <1 4. Hubungan antara a dan K. K = (1 a) / (1 a) atau a (1 K)/ (1 K) K = harga faktor resesi = 0,60 5. Volume tersimpan (the storage volume) V n = V n-1 I n.t ½ (q n-1 q n ) t... (23) V n = volume air tersimpan pada periode n V n-1 = volume air tersimpan pada periode n-1 q n = runoff pada periode n q n-1 = runoff pada periode n-1 6. q n = 2.a. V n ; dan t = 1 V n (1 a) 1 = Vn 1 I n (1 a) (1 a) V n = K (V n-1 ) ½ (1 K) I n 7. Base runoff pada periode n (B n ) B n = ½ (q n-1 q n ) t = In.t (V n-1 V n )... (24) 50

73 51 8. Run off dalam mm per satuan waktu dan luas Q n = DRO B n Q n = (R n E n I n ) B n... (25) R n = curah hujan pada saat n 9. Evapotranspirasi (E) E = (E p E i )... (26) E p = evapotranspirasi potensial E i = m/20 (18 n) m = perbandingan permukaan yang tidak tertutup dengan hutan n = jumlah hari hujan I n = Infiltrasi rate = 0,40 dari curah hujan R1 = strom runoff diambil 5 % dari curah hujan untuk soil moisture Sehingga untuk menentukan volume air yang tersedia pada setiap bulan yang masuk keperairan pantai melalui sungai dapat dihitung dengan formula : ( Q ) n = Q. A (27) n dimana : (Q) n = valume air yang tersedia di sungai pada saat n (m -3 dt -1 ) Q n = run off pada saat n (m -3 dt -1 km -2 ) A = luas catchment area (km 2 ) Penentuan debit andalan sungai bulanan (Q) andalan diperoleh dari debit rata-rata bulanan selama n tahun kemudian diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar, penentuan urutan dilakunan berdasarkan : ( Q ) = n andalan 1... (28) 5 Kuantifikasi Volume Air yang Tersedia di Pantai ( V Pt ), jika ada Sungai, yaitu volume air laut yang memasuki pantai (V Lo ) ditambah dengan volume air tawar yang masuk ke perairan pantai melalui aliran sungai (Q) n, dengan melakukan modifikasi formula Widigdo dan Pariwono (2003): VPt = VLo ( Q) n n h V Pt = 0,5. h. y(2x ) ( Q) tgθ i n (29) dimana : V Pt = volume air laut yang masuk ke perairan pantai (Q)n = debit air tawar/sungai yang masuk ke pantai

74 52 n i ( Q) n = total jumlah debit air tawar/sungai ke-i yang masuk ke pentai n = jumlah sungai Kuantifikasi Limbah dari Kegiatan Pertambakan. Kuantifikasi limbah pertambakan ditentukan dengan menggunakan asumsi yang diambil dari beberapa hasil penelitian budidaya tambak sebagai berikut : 1. Beban limbah organik sesuai dengan hasil penelitian Primavera (1994), 35% dari total pakan yang diberikan akan menjadi beban pencemar baik karena tidak termakan (15%) maupun dalam bentuk feses (20%). 2. Beban limbah anorganik sesuai dengan hasil penelitian Boyd (1999), setiap produksi kg udang akan menjadi beban pencemaran dalam bentuk nitrogen 21 kg ha -1 dan phospor 3,6 kg ha Beban limbah tambak dari pakan yang bermutu baik dengan kadar protein antara 35% - 45% akan dapat menghasilkan FCR sebesar 1,5, yang artinya untuk menghasilkan udang 1 kg diperlukan 1,5 kg pakan, maka limbah yang terbuang ke perairan dalam bentuk padatan tersuspensi (TSS) adalah 514 gram Huisman (l987) diacu dalam Harris (l993). Berdasarkan asumsi tersebut di atas pendugaan limbah beban organik dalam bentuk TSS dari hasil kegiatan budidaya udang ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut : (( LxP 1 ) x C an = mg l. (30) V C n 1 C t tb (( Cb ( n 1) xvtb ) ( L x P ( n 1) x1000 = mg l Vtb = ( Q % x Ca ( n 1)) mg l 1 dimana : C an = konsentrasi limbah tambak (mg lt -1 ) C t = konsentrasi total limbah yang dibuang ke daerah persisir (mg lt -1 ) Q % = prosentase penggantian air (%) Ca (n-1) = konsentrasi limbah yang dibuang pada hari sebelumnya (n-1) V tb = volume tambak (m 3 ) P = jumlah pakan yang diberikan (kg) L = prosentase total pakan yang menjadi limbah (%) n = hari ke 1,2,3,...n (hari panen) 1

75 53 Daya Dukung Kawasang Pesisir untuk Pengembangan Budidaya Tambak Daya dukung lingkungan untuk pengembangan budidaya tambak digunakan tiga metode pendekatan, yaitu (1) pendekatan yang mengacu pada hubungan kuantitas air dengan beban limbah organik; (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersedian oksigen terlarut dalam perairan; dan (3) Kapasitas asimilasi perairan; Metode 1. Daya dukung lingkungan perairan dengan menggunakan metode hubungan antara kuantitas air (ketersedian volume air untuk kegiatan pertambakan) dengan beban limbah dengan mengacu pada Rakocy dan Alison (1981) bahwa kapasitas daya tampung perairan menerima limbah berbanding lurus dengan kuantitas perairan. Kapasitas daya dukung perairan untuk menjaga kualitas perairan masih tetap layak, maka perairan penerima limbah harus memiliki volume kali lipat dari volume limbah yang dibuang ke perairan. Berdasarkan asumsi tersebut, batas kemampuan perairan untuk menerima limbah organik agar tidak melampaui daya dukung lingkungan, maka beban limbah organik yang dibuang keperairan pesisir maksimum seper seratus kali dari jumlah volume air yang tersedia. Metode 2. Daya dukung lingkungan perairan berdasarkan kapasitas ketersediaan kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Metode pendekatan ini mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968 dalam Meade, 1989) dan Boyd (1990). Penggantian air akibat pasang surut akan menyediakan atau memasok oksigen terlarut dalam badan air. Menentukan ketersedian oksigen terlarut dalam badan air adalah perbedaan antara konsentrasi O 2 terlarut di dalam inflow (O in ) dan konsentrasi O 2 terlarut minimal yang dikehendaki dari sistem budidaya (O out ) yaitu 3 ppm (Boyd, 1990). Jika dimisalkan debit air inflow deketahui Q o m 3 /min, maka total O 2 terlarut selama periode 24 jam adalah : Q o m 3 /min x min/hari x (O in O out ) gr O 2 /m 3 = X kg O 2... (31) dimana : Q o = debit air inflow (m 3 /min) O in = kandungan oksigen terlarut di dalam inflow = kadar oksigen minimal yang dibutuhkan oleh organisme. O out Oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik (TSS) setiap 1 kg limbah organik memerlukan 0,2 kg O 2 per limbah organik.

76 54 Jumlah limbah organik yang dapat ditampung tanpa melampaui daya dukung yaitu : Kapasitas O2 terlarut = A kg Limbah Organik. (32) 0,2 kg O2 / kg Limbah Organik Jika diketahui jumlah limbah organik / kg organisme = B, maka daya dukung lingkungan perairan (kg organisme) untuk budidaya : A kg Limbah Organik Daya dukung = (33) B kg Limbah Organik / kg Organisme = C kg organisme Metode 3. Analisis daya dukung ini didasarkan pada kapasitas asimilasi perairan yaitu, berdasarkan kemampuan perairan untuk menerima limbah tanpa menyebabkan perairan tersebut tercemar. Parameter limbah yang menjadi tolok ukur dalam penentuan kapasitas asimilasi ini adalah nitrogen dan phosfor. Kelayakan parameter limbah nitrogen dan phosfor yang diacu dalam Poernomo (1992), MENKLH (1988), Widigdo (2000) dan Made (1989). Kriteria kelayakan parameter kualitas air untuk budidaya yang diperbolehkan untuk limbah nitrogen 1,0 mg lt -1 dan phospor 0,5 mg lt -1. Metode Optimasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir Metode yang digunakan dalam optimasi pemanfaatan ruang pesisir adalah program tujuan ganda (Linear Goal Programming-LGP). Program ini bertujuan untuk meminimumkan simpangan atau deviasi terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kendala-kendala atau syarat-syarat ikatan yang ada, yaitu kendala tujuan. Dalam model LGP, penetapan target dan perumusan model merupakan hal terpenting. Penetapan target ditentukan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan berdasarkan kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya tambak di daerah penelitian. Sedangkan perumusan model akan memperhitungkan kemampuan/ketersediaan ruang (lahan/perairan) wilayah pesisir Sinjai. Ketersediaan ruang untuk pembangunan budidaya tambak ditentukan berdasarkan kesesuaian pemanfaatannya lahan dan daya dukung lingkungan sebagai faktor pembatas. Mengingat banyaknya tujuan yang ingin dicapai, menyebabkan perlunya ditetapkan prioritas tujuan. Tujuan yang paling penting ditetapkan sebagai prioritas

77 ke 1, kemudian prioritas ditetapkan berurutan berdasarkan kepentingan tujuan. Faktor prioritas dalam perumusan progran tujuan ganda dinyatakan dalam P i (untuk i = 1, 2, m), faktor prioritas tersebut mempunyai hubungan sebagai berikut : P 1 > P 2 > P 3. Faktor prioritas dalam penelitian adalah aspek ekologi, ekonomi dan sosial) Model umum program tujuan ganda yang memiliki struktur timbangan pengutamaan (preemtive weights) dengan prioritas ordinal (ordinal ranking) adalah sebagai berikut (Budiharsono, 2001): 1. Meminimumkan : m Z = ( p w d p w d )... (34) i= 1 2. Fungsi Kendala : n j= 1 y i, y i s i, s i aij X j d i d i = ti, untuk i = 1,2,..., m... (35) dimana : i = 1, 2,..., p k = 1, 2,..., n 3. Syarat Non-negatifitas dimana : d - i, d i P y, P s w i, y w i, s - a ij X j t i X j, d i > 0 d, = 0 i d i = deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan () terhadap tujuan (i) = faktor prioritas = timbangan relatif dari d i dalam peringkat ke y = timbangan relatif dari di - dalam peringkat ke s = koefisien teknologi fungsi kendala tujuan = peubah pengambilan keputusan = target yang ingin dicapai Penetapan Target/Sasaran. Target/sasaran harus ditetapkan terlebih dahulu. Target optimasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Luas pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukan lahan budidaya dan tidak melampaui daya dukung lingkungan. 2. Penentuan kuota lahan maksimum untuk budidaya masing-masing komoditi tidak melebihi target yang ditetapkan. 3. Jumlah tenaga kerja yang diserap lebih besar atau sama dengan jumlah penduduk angkatan kerja di lokasi penelitian. 55

78 4. Jumlah kebutuhan air untuk budidaya tambak minimal sama dengan volume air yang tersedia di pantai. 5. Produksi budidaya tambak meningkat atau sama dengan jumlah yang ditargetkan. 6. Pendapatan asli daerah (PAD) meningkat lebih besar atau sama dengan jumlah yang targetkan. Perumusan Model. Ada tiga hal utama dalam perumusan model, yaitu : peubah keputusan, kendala riil dan kendala tujuan. 1. Peubah keputusan X 11 : luas lahan untuk budidaya udang dengan teknologi tradisional X 12 : luas lahan untuk budidaya udang dengan teknologi semi-intensif X 13 : luas lahan untuk budidaya udang dengan teknologi intensif X 21 : luas lahan untuk budidaya bandeng dan rumput laut X 22 : luas lahan untuk budidaya silvofisheris (kepiting dan bandeng) X MG : luas lahan untuk konservasi mangrove 2. Kendala riil Luas wilayah penelitian, yaitu : X 11 X 12 X 13 X 21 X 22 X MG = LWP 3. Kendala tujuan / sasaran Kendala luas lahan budidaya tambak berdasarkan daya dukung limbah (DDL): b ij : luas lahan tambak untuk komoditi i dan teknologi j. DDL : target luas lahan budidaya tambak daya dukung limbah. X 11 X 12 X 13 X 21 X 22 d 1 - d 1 = DDL Kendala penyerapan tenaga kerja (TK) t ij : kebutuhan tenaga kerja untuk komoditi i dan teknologi j (KOH org -1 ha -1 th -1 ). TK : target jumlah tenaga kerja (HOK) di daerah penelitian, yaitu jumlah penduduk angkatan kerja. t 11.X 11 t 12.X 12. t 22.X 22 d d 5 = TK Kendala kebutuhan air untuk mendukung kegiatan budidaya tambak (KBA) : a ij : kebutuhan air untuk budidaya tambak per hakter per musim tanam untuk komoditas dan teknologi j. KBA : total volume air (m 3 ) yang tersedia di wilayah pesisir per hari. a 11.X 11 a 12.X 12. a 22.X 22 d 2 d 2 = KBA 56

79 Kendala produksi atau pendapatan masyarakat (NP) p ij : produksi tambak untuk komoditi i pada teknologi j (Rp ha -1 th -1 ) NP : target produksi tambak untuk Kabupaten Sinjai (ton/th). p 11. X 11 p 12.X p 22.X 22 d d 4 = NP Kendala pendapatan asli daerah (PAD) H ij : harga untuk komoditi i pada teknologi j (Rp ton -1 ) p ij : produksi per tahun pada penggunaan lahan budidaya tambak untuk komoditas i dan teknologi j (ton ha -1 th -1 ). 2,4 % : persentase retribusi daerah dari usaha budidaya tambak per tahu PAD : target PAD dari perikanan budidaya sesuai program pembangunan wilayah pesisir yang direncanakan. 2,5 %. ((h 11.p 11.X 11 )... (h 22.p 22.X 22 )) d d 4 = PAD Perumusan Fungsi Tujuan. Fungsi tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini adalah meminimumkan simpangan atau deviasi (d) masing-masing target. Oleh karena itu, fungsi tujuan adalah sebagai berikut : 1. Meminimumkan simpangan atau deviasi dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama (P1) > ekonomi (P2) > sosial (P3), adalah : Min. Z = P1 (d 1 d 5 d 7 d 11 d 12 d 13 d 14 d 15 d 16 d 17 d 18 d 19 ) P2 (d 3 d 4 d 6 d - 20 d - 21 d - 22 ) P3 (d - 2 d 2 d d 9 d - 10 ). 2. Meminimumkan simpangan atau deviasi dengan aspek sosial sebagai prioritas utama (P1) > ekonomi (P2) > ekologi (P3), adalah : Min. Z = P1 (d - 2 d 2 d d 9 d - 10 ) P2 (d 3 d 4 d 6 d - 20 d - 21 d - 22 ) P3 (d 1 d 5 d 7 d 11 d 12 d 13 d 14 d 15 d 16 d 17 d 18 d 19 ) 3. Meminimumkan simpangan atau deviasi dengan aspek ekonomi sebagai prioritas utama (P1) > sosial (P2) > ekologi (P3), adalah : Min. Z = P1 (d 3 d 4 d 6 d 20 - d 21 - d 22 - ) P2 (d 2 - d 2 d 8 - d 9 - d 10 - ) P3 (d 1 d 5 d 7 d 11 d 12 d 13 d 14 d 15 d 16 d 17 d 18 d 19 ) 57

80 58 Ketarangan : - d 1 - d 2 d 2 d 3 d 4 - d 5 d 6 d 7 - d 8 - d 9 - d 10 d 11 d 12 d 13 d 14 d 15 d 16 d 17 d 18 d 19 - d 20 - d 21 - d 22 = target daya dukung lingkungan yang ditetapkan terlewati = jumlah HOK dimana targer tenaga kerja yang ditetapkan tidak tercapai = jumlah HOK dimana targer tenaga kerja yang ditetapkan terlewati = jumlah produksi udang yang ditargetkan terlewati = jumlah produksi bandeng yang ditargetkan terlewati = jumlah kebutuhan air yang ditargetkan tidak tercapai = jumlah pendapatan asli daerah (PAD) yang ditargetkan terlewati = target penutupan kawasan konservasi mangrove terlewati. = target penyerapan tenaga kerja untuk teknologi tradisional tidak tercapai = target penyerapan tenaga kerja untuk teknologi semi-intensif intensif tidak tercapai = target penyerapan tenaga kerja untuk teknologi intensif tidak tercapai = target penggunaan lahan untuk teknologi tradisional terlewati = target penggunaan lahan untuk teknologi semi-intensif terlewati = target penggunaan lahan untuk teknologi intensif terlewati = target daya dukung lahan untuk teknologi tradisional terlewati = target daya dukung lahan untuk teknologi semi-intensif terlewati = target daya dukung lahan untuk teknologi intensif terlewati = target kebutuhan air untuk teknologi tradisional terlewati = target kebutuhan air untuk teknologi semi-intensif terlewati = target kebutuhan air untuk teknologi intensif terlewati = target produksi nilai untuk teknologi tradisional tidak tercapai = target nilai produksi untuk teknologi semi-intensif tidak tercapai = target nilai produksi untuk teknologi intensif tidak tercapai

81 59 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biofisik dan Kelayakan Bioteknis Kawasan Pesisir Sinjai untuk Pengembangan Budidaya Tambak Karakteristik Kawasan Pesisir Sinjai Kabupaten Sinjai yang terletak antara LS dan BT., terdiri dari 9 kecamatan, yaitu : kecamatan Sinjai Barat, Sinjai Borong, Sinjai Selatan, Tellu Limpoe, Sinjai Timur, Sinjai Tengah, Sinjai Utara, Bulupoddo dan Pulau Sembilan. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Sinjai Utara dan kecamatan Sinjai Timur dengan panjang garis pantai ± 17 km (Gambar 7). Kondisi topografi terdiri dari gunung, perbukitan, daratan dan pantai dengan ketinggian 0 40 m, pada umumnya kawasan pesisir dengan kemiringan 0 3 %, yang terletak pada posisi iklim musim timur. Periode hujan terjadi dua kali yaitu periode Maret - Juli termasuk musim penghujan dengan curah hujan 258,35 620,80 mm bln -1, periode September - November termasuk musim kemarau dengan curah hujan 36,20-99,00 mm bln -1, sedangkan pada bulan Desember - Februari termasuk periode peralihan antara musim kemarau dan musim hujan dengan curah hujan 137,65 167,25 mm bln -1 (Gambar 8). Kondisi klimatologi bulanan dari tahun (Gambar 9 dan Lampiran 1). Suhu udara berkisar dari 27,93-30,79 o C, suhu maksimum pada bulan Nopember dan minimum pada bulan Agustus. Kelembaban relatif berkisar antara 96,27-97,51%, kelembaban maksimum pada bulan Juni dan minimim pada bulan Januari. Penguapan berkisar antara 4,64-7,44 mm hr -1, maksimum pada bulan September dan minimum pada bulan Desember. Kecepatan angin berkisan antara 47,35-106,33 km jam -1, kecepatan angin maksimum pada bulan September dan minimum bulan Maret. Lama penyinaran matahari berkisar antara 5,52-8,88 jam hr -1, lama penyinaran maksimum pada bulan September dan minimum bulan Desember. Kondisi ini memperlihatkan hubungan lama penyinaran matahari, suhu dan penguapan, semakin lama waktu penyinaran matahari, maka semakin tinggi suhu udara dan penguapan.

82 Gambar 7 Peta administrasi Kabupaten Sinjai 60

83 61 Rata-rata Curah Hujan (mm/bln) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Tahun Gambar 8 Rata-rata curah hujan bulanan tahun di kab. Sinjai (Kelembaban dan kec. Angin) Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nop. Des. Ke le m baban (%) Kec. Angin (km/hr) Suhu (oc) P enguapan (mm/hr) Lama Penyunaran (jam/hr) (Suhu, Penguapan, dan Lama Penyinaran) Gambar 9 Kondisi klimatologi di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai, Tahun Kajian penggunaan lahan di daerah studi lebih terfokus pada penggunaan lahan budidaya tambak dan hutan mangrove. Hasil analisis citra Landsat TM 2002 diperoleh luas tutupan lahan tambak 1.077,39 ha, luas tutupan lahan hutan mangrove ha, luas penutupan lahan untuk persawahan dan nonmangrove sebesar 7.590,06 ha dan penutupan perairan sebesar 5.187,42 ha (Gambar 10).

84 Gambar 10 Penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi Citra Landsat pesisir Kabupaten Sinjai 62

85 63 Luas tambak eksisting ha dengan produksi sebesar 1.750,0 ton th -1 dengan rata-rata produksi 0,85 ton ha -1 MT -1 atau 1,70 ton ha -1 th -1. Dari luas tambak tersebut 742 ha (71,83%) yang dikelola secara tradisional, 27 ha (2,61%) tradisional plus dan 264 ha (25,56%) semi-intensif (Tabel 12). Produksi tangkap ikan dan budidaya tambak cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 11). Tabel 12 Luas dan produksi budidaya tambak di Kabupaten Sinjai No Desa / Luas Produksi Produksi Teknologi Kelurahan Areal (ha) (ton MT -1 ) (ton ha -1 MT -1 ) Budidaya 1 Sanjai 4,50 2,10 0,4666 Tradisional 2 Pasimarannu 50,00 10,00 0,2000 Tradisional 3 Panaikang 48,00 4,70 0,0978 Tradisional 4 Samataring 101,00 8,10 0,0802 Tradisional 5 Tongke-Tongke 537,50 55,70 0,1040 Tradisional 6 Biringere 1,00 0,112 0,1120 Tradisional 7 Balangnipa 27,00 16,26 0,6022 Tradisional Plus 8 Lappa 264,00 346, Semi-Intensif Sumber : Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Sinjai, 2005 Produksi Budidaya (Ton) Produksi Tangkapan (Ton) Tambak (ton) Tangkapan (ton) Gambar 11 Produksi perikanan tangkap dan budidaya Kabupaten Sinjai Tahun Karakteristik Biofisik Perairan Pantai Hasil pengukuran pasang surut selama 28 hari pada bulan Februari 2005 (Lampiran 2), diperoleh nilai konstanta harmoni pasang surut dengan metode Admiralty (komponen S O ) adalah titik muka air laut rata-rata (MSL) pada peilschal dengan elevasi 0,00 pada lokasi tambak menjadi titik acuan/referensi dalam pengukuran topografi pada angka 139 cm pada pembacaan di peilscal,

86 64 dengan tipe campuran dominasi pasang surut ganda (nilai F sebesar 0,71), dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi pasang pertama tidak sama dengan tinggi pasang kedua (Lampiran 3). Kisaran tunggang pasang surut ketika spring tide 126 cm dan neap tide 74 cm. Nilai tunggang pasang surut ini digunakan untuk penentuan dasar pelataran tambak agar tidak lebih tinggi dari MSL, sehingga lebih mudah saat pengisian air dan pengeringan tambak. Selain itu, untuk menentukan elevasi lahan yang layak untuk budidaya tambak tadisional dengan asumsi 100% pengisian air dilakukan secara grafitasi. Berdasarkan hasil perhitungan dan konsultasi pribadi (Soewardi, 2007) jika nilai tunggang pasang 1,26 meter, maka elevasi lahan 0-2 meter dari MSL masih tergolong layak untuk budidaya tradisional. Kecepatan arus pasang ketika niep tide di muara dan hulu sungai/saluran sebesar 0,20 m dt -1, dengan debit aliran 22,77 m 3 dt -1, dan saat surut kecepatan arus 0,19 m dt -1. Kecepatan arus pasang pada ketika spring tide 0,31 m dt -1 dengan debit aliran 47,77 m 3 dt -1, sehingga diperoleh waktu pengisian air yang optimal untuk lahan tambak yang terjauh dari pantai masih di atas 2,50 jam per periode pasang surut (Lampiran 4).. Parameter Kualitas Air Kualitas air merupakan persyaratan yang penting untuk pengembangan budidaya udang dan ikan. Kualitas air juga merupakan faktor penentu terhadap daya dukung lingkungan untuk pengembangan budidaya tambak. Kualitas air merupakan salah satu parameter dalam penentuan tingkat kelayakan atau kesesuaian budidaya tambak, hasil pengamatan kualitas air di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai (Tabel 13 dan Lampiran 5). Secara umumnya nilai kualitas air di lokasi studi belum melampaui batas yang diperbolehkan, untuk kegiatan budidaya berdasarkan kriteria Boyd (1990), Wedmeyer (1996), MENKLH (1988), Poernomo (1992), Widigdo (2000), Soewardi (2002). Parameter kualitas air berdasarkan musim belum pemperlihatkan perbedaan antara musim hujan, peralihan dan musim kemarau (Tabel 14 dan Gambar 12. Sedangkan fluktuasi harian parameter suhu, salinitas, ph, DO, Oxygen Reduction Potential (ORP), dan Total Dissolved Solids (TDS) (Gambar 13 dan Lampiran 6).

87 65 Tabel 13 Hasil pengukuran parameter kualitas air di tambak, mangrove, pantai dan sungai/saluran selama penelitian Parameter Tambak Mangrove Pantai Sungai/ Saluran Ambang Batas Suhu (oc) 30,00±0,75 29,00±0,56 29,67±0,75 30,33±0, Salinitas ( o / oo ) 24,89±4,23 27,11±3,41 30,44±1,13 18,11±5, ph 7,67±0,35 7,70±0,25 7,92±0,20 7,67±0, Kekeruhan (NTU) 11,68±6,34 9,44±9,68 47,10±42,84* 12,17±10,43 30 TSS (ppm) * 219,60±129,61 227,54±144,03 222,83±113,36 215,71±128, DO (ppm) 5,95±1,03 5,70±0,72 5,54±0,72 5,96±0,73 3 BOD (ppm) 0,98±1,06 1,19±1,24 1,06±1,23 0,87±0,98 <25 COD (ppm) 37,74±27,22* 32,16±24,05* 37,88±32,52* 40,03±29, NH3 (ppm) 0,00±0,00 00,00±0,00 00,00±0,00 00,00±0, NO3(ppm) 0,38±0,82 0,21±0,55 0,49±0,50 0,43±0,76 - PO4 (ppm) 0,12±0,16 0,14±0,04 0,13±0,04 0,22±0, Keterangan : * ) telah melampaui batas yang diperbolehkan, untuk kegiatan budidaya berdasarkan kriteria Boyd (1990), Wedmeyer (1996), MENKLH (1995), Poernomo (1992), Widigdo (2000), Soewardi (2002) Tabel 14 Hasil analisis parameter kualitas air pada musim kemarau, peralihan dan hujan, selama penelitian Parameter Musim Kemarau Musim Peralihan Musim Hujan Kisaran Suhu (oc) 29,36 ± 0,67 29,75 ± 0,62 30,00 ± 0, Salinitas (o/oo) 25,27 ± 5,93 25,08 ± 5,85 24,50 ± 6, ph 7,79 ± 0,35 7,72 ± 0,23 7,71 ± 0, Kekeruhan (NTU) 9,55 ± 4,11 29,00 ± 29,54 21,88 ± 34,76 30 TSS (ppm) 190,56 ± 41,86* 378,81 ± 31,28* 94,37 ± 21,93* DO (ppm) 5,28 ± 0,67 6,60 ± 0,49 5,53 ± 0,49 3 BOD (ppm) 0,73 ± 1,07 1,93 ± 1,12 0,44 ± 0,27 <25 COD (ppm) 17,75 ± 2,64* 20,52 ± 6,55* 72,54 ± 16,77* NH3 (ppm) 0,17 ± 0,32 00,00 ± 0,00 00,00 ± 0, NO3(ppm) 0,17 ± 0,32 0,10 ± 0,10 0,85 ± 0,93 - PO4 (ppm) 0,17 ± 0,16 0,15 ± 0,03 0,14 ± 0, Keterangan : * ) telah melampaui batas yang diperbolehkan, untuk kegiatan budidaya berdasarkan kriteria Boyd (1990), Wedmeyer (1996), MENKLH (1995), Poernomo (1992), Widigdo (2000), Soewardi (2002) Hasil pengamatan suhu perairan di dalam tambak berkisar antara 28,5 o C - 31,0 o C, nilai tersebut masih dalam batas toleransi kehidupan udang dan ikan antara 21 0 C C. Hasil pengukuran diperoleh suhu tertinggi pada sore hari sekitar jam 15,00, dan terendah pada pagi hari sekitar jam 6,00. Nilai salinitas air selama penelitian berkisar antara 10,00-32 ppt masih tergolong sesuai untuk budidaya udang dan ikan. Sedangkan nilai ph air berkisaran antara 7,3 8,2, jaga masih sesuai untuk budidaya udang.

88 66 Parameter kekeruhan berkisar antara NTU, nilai kekeruhan di kawasan tambak dan mangrove masih dalam batas optimal dan sesuai untuk budidaya ikan dan udang. Tingginya kekeruhan pada daerah pantai disebabkan karena kondisi dasar perairannya berlumpur sehingga dengan pengadukan sedikit saja akan cepat mempengaruhi tingkat kekeruhan. Hujan Peralihan Kemarau Suhu (oc) Salinitas (ppt) ph Kekeruhan (NTU) DO (ppm) BOD (ppm) COD (ppm) NH3 (ppm) NO3 (ppm) PO4 (ppm) Gambar 12 Histogram parameter kualitas air berdasarkan musim :00:00 14:00:00 16:00:00 18:00:00 20:00:00 22:00:00 0:00:00 2:00:00 4:00:00 6:00:00 8:00:00 10:00:00 12:00:00 DO (ppm) Suhu (oc) Salt. (o/oo) ph TDS (µg/l) Gambar 13 Fluktuasi perubahan oksigen terlarut selama 26 jam pengamatan (17 18 Februari 2005) Nilai TSS berkisar antara 73,97-453,7 ppm, nilai ini pada umumnya diatas nilai optimal bagi peruntukan budidaya (25-80 ppm), namum masuk dalam kisaran toleransi budidaya udang dan ikan ( ppm). Kandungan TSS yang tinggi dapat mengganggu pernapasan biota karena dapat menutup insang, meningkatnya proses dekomposisi akhirnya mengurangi kandungan oksigen terlarut dalam air dan menghasilkan bahan-bahan toksit (NH3, H 2 S, CH 4, NO 2 ), selain itu juga menyebabkan pendangkalan akibat sedimentasi.

89 67 Hasil pengamatan oksigen terlarut (DO) berkisar antara 5,74-8,90 ppm masih sesuai bagi peruntukan budidaya udang, batas tolerasi DO untuk kehidupan udang dan ikan. Oksigen terlarut tertinggi pada sore sekitar jam 17,00 (8,08 ppm) dan terendah pada jam 05,00 pagi (5,74 ppm). Parameter ini sangat penting bagi kehidupan organisme budidaya untuk pernapasan, mengoksidasi bahan organik di dasar tambak, rendahnya oksigen terlarut berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan. Kandungan BOD mengidikasikan jumlah bahan organik perairan yang mudah diuraikan secara biologis, serta berapa oksigen yang diperlukan dalam proses dekomposisi. Kandungan BOD sebesar 1,03 ± 1,09 ppm masih dalam batas optimal untuk budidaya udang dan ikan. Kandungan COD sebesar 36,95 ± 27,5 ppm, masih dalam ambang batas optimal untuk budidaya udang dan ikan. NH 3 -N, NO 3, dan PO 4, merupakan senyawa hasil sampingan dari proses perombakan bahan organik yang bersifat racun bagi udang. Tingkat keracunannya semakin meningkat jika nilai ph nya 9. Kandungan NH 3 yang diperoleh adalah 0,0013 ± 0,0006 ppm, masih tergolong rendah dan sesuai untuk budidaya udang dan ikan. Tingkat toksit NH3 bebas pada konsentrasi 0,6-2 mg L -1 di dalam kolam budidaya (Widigdo (2001). Fosfat (PO 4 ) merupakan faktor pembatas produktivitas plankton, parameter ini merepresentasikan nutrien fosfat (P) terlarut. Kandungan PO 4 menggambarkan tingkat kesuburan perairan. Kandungan PO 4 diperoleh sebesar 0,152 ± 0,11 ppm, dengan kisaran antara 0,09-0,45 ppm, nilai ini masih dalam kisaran optimal untuk budidaya udang dan ikan. Korelasi antara Parameter Kualitas Air dengan Stasiun Pengamatan Hasil analisis korelasi menunjukkan salinitas air berkorelasi positif dengan ph, BOD dan kekeruhan. Parameter TSS berkorelasi positif dengan NO3 dan COD, namun berkorelasi negatif dengan NH3. Sedangkan DO berkorelasi positif dengan BOD, serta COD berkorelasi positif dengan NO 3 (Tabel 15). Keempat sumbu utama pertama merepsentasikan 82,07 % dari seluruh informasi dari parameter yang diamati (Tabel 16). Sumbu utama pertama (F1) dicirikankan (ph, BOD, salinitas, dan NH 3 ); sumbu F2 dicirikan (COD, NO 3 dan TSS); sumbu F3 dicirikan (kekeruhan, NH 3 dan NO 3) (Gambar 14).

90 68 Tabel 15 Matriks korelasi antara parameter kualitas air Suhu Salinitas ph Kekruhan TSS DO BOD COD NH3 NO3 PO4 Suhu 1 Salinitas -0,502 1 ph -0,334 0,720 1 Kekruhan 0,053 0,320 0,294 1 TSS -0,062-0,011 0,300 0,221 1 DO 0,285-0,058 0,324-0,279 0,254 1 BOD -0,443 0,550 0,760-0,152 0,380 0,403 1 COD 0,309-0,205 0,136 0,098 0,506 0,064 0,333 1 NH3 0,368 0,048-0,409 0,256-0,347-0,179-0,380-0,269 1 NO3 0,448-0,025 0,121 0,462 0,617 0,231 0,044 0,575 0,075 1 PO4 0,361-0,625-0,528-0,143-0,006 0,021-0,223 0,407 0,150 0,398 1 Keterangan : agngka yang dicetak tebal menunjukkan nilai yang signifikan pada taraf nyata α = 0,05 Tabel 16 Akar ciri dan kontribusi komponen utama variabel kualitas air F1 F2 F3 F4 Akar Ciri 3,34 2,76 1,77 1,16 Kontribusi (%) Komulativ (%) Variables (axes F1 and F2: %) 1 NO3 COD TSS 0.5 PO4 Suhu DO 0 KEK BOD ph NH3 SAL axis F1 (30.35 %) --> Gambar 14 Korelasi variabel fisik-kimia perairan pada sumbu faktorial utama (F1 dan F2) Korelasi antara komponen (F1) dan komponen (F2), merefresentasikan stasiun VIII, IX, X, dan XII daerah pantai dicirikan dengan tingginya salinitas, ph dan BOD, dan NH 3 yang rendah. Stasiun I dan II daerah Sungai dicirikan oleh PO 4 dan suhu yang tinggi. Sedangkan stasiun IV, VII, dan XI daerah pertambakan dicirikan oleh TSS, COD, NO 3, DO, kekeruhan yang tinggi (Gambar 15).

91 69 Biplot (axes F1 and F2: %) PO4 Suhu II NH3 III I NO3 V COD IV XI TSS DO VII KEK XII X IX VIII BOD ph SAL VI axis F1 (30.35 %) --> Gambar 15 Korelasi variabel fisik-kimia perairan dan stasiun pada sumbu faktorial utama (F1 dan F2) Parameter Biologi Perairan Phytoplankton. Kelimpahan phytoplankton untuk musim kemarau, ditemukan 36 jenis, 9-19 taksa, dengan indeks keanekaragaman jenis antara 2,083-2,768. Hal ini menunjukkan keanekaragam phytoplankton tergolong sedang. Sedangkan indeks keseragaman jenis antara 0,154 0,232 menunjukkan sebaran individu antar jenis tidak merata (Lampiran 7). Berbeda dengan musim hujan kelimpahan phytoplankton yang ditemukan lebih banyak yaitu 49 jenis, taksa, dengan indeks keanekaragaman jenis antara 2,346-3,005. Hal ini menunjukkan keanekaragaman jenis phytoplankton tergolong sedang - tinggi. Nilai indeks keseragaman jenis antara 0,136-0,205, menunjukkan keseragaman jenis plankton tergolong tidak merata (Lampiran 8). Zooplankton. Kelimpahan zooplankton pada musim kemarau ditemukan 15 genus, 1-3 taksa, dengan indeks keanekaragaman antara 0,0005-1,103. Hal ini menunjukkan keanekaragaman zooplankton pada musim kemarau tergolong rendah. Sedangkan indeks keseragaman jenis antara 0,0005-0,3677, menunjukkan sebaran individu zooplankton tidak merata (Lampiran 9). Kamudian pada musim hujan ditemukan 21 jenis zooplankton, 2-8 taksa, indeks keanekaragaman jenis berkisar antara 0,636-1,894, menunjukkan keanekaragaman jenis zooplankton

92 tergolong rendah - sedang. Sedangkan indeks keseragaman jenis berkisar antara 0,1646-0,3467, menunjukkan keseragaman jenis tidak merata (Lampiran 10) Produktivitas Primer Nilai produktivitas primer perairan yang diperoleh selama penelitian sebesar 0,3699 ± 0,26177 mg C L -1 jam -1, dengan kisaran 0,117 1,05 mg C L -1 jam -1. Nilai ini menunjukkan bahwa dalam satu tahun produktivitas primer perairan pantai Kabupaten Sinjai sebesar 1.620,42 ± 1.146,52 g C m -3 th -1 dengan kisaran antara 511, ,00 g C m -3 th -1. Parameter Kualitas Tanah Parameter kualitas tanah digunakan sebagai syarat untuk budidaya tambak adalah tekstur tanah, ph, kandungan bahan organik, dan unsur hara. Parameter kualitas tanah yang diamati disajikan pada Tabel 17 dan Lampiran 11. Tabel 17 Parameter kualitas tanah yang diamati selama penelitian Parameter Lokasi Pengamatan Pantai Mangrove Tambak Nilai Kesesuaian *) ph (1:1) H2O 8,13 ± 0,27 7,93 ± 0,25 7,93 ± 0,49 (7,8-8,5) (7,60-8,10) (7,4-8,5) 5 6,5 Bahan Organik (BO-C) (%) 0,56 ± 0,10 (0,5-0,7) 0,35 ± 0,11 (0,26-0,53) 0,65 ± 0,31 (0,3-1,1) 1,67-7,00 % (C organik 4-20%) N-Total (%) 0,04 ± 0,02 0,04 ± 0,01 0,05 ± 0,02 (0,01-0,07) (0,04-0,06) (0,01-0,08) 0,4 0,7% P 2 O 5 Bray II 561,67 ± 39,30 647,0 ± 103,50 665,0 ± 171,75 (ppm) ( ) ( ) ( ) mg/l KTK (me/100 g) 26,00 ±5,48 20,67 ± 7,07 21,00 ± 5,74 (21-35) (16-32) (14,0-29,0) < 40 me/100gr Kdd (me/100 g) 2,39 ± 0,50 1,71 ± 0,29 2,54 ± 0,29 (2,0-3,1) (1,5-2,12) (2,2-2,9) - Ca (ml/100 g) 10,93 ± 1,89 8,93 ± 1,11 8,33 ± 1,24 5,0 20,0 (9,0-13,5) (8,10-10,6) (6,4-9,3) me/100 g Mg (me/100 g) 1,46 ± 0,13 1,22 ± 0,18 1,32 ± 0,09 1,5 8,0 me/100 (1,2-1,9) (1,11-1,47) (1,2-1,41) g EC (10 mmhos) 1,87 ± 0,03 1,84 ± 0,09 1,86 ± 0,02 (1,8-1,9) (1,78-1,98) (1,8-1,9) Pasir 91,19 ± 6,70 20,01 ± 8,68 76,60 ± 5,38 (82,4-97,07) (14,2-31,6) (69,4-80,4) Debu 3,76 ± 2,49 10,0 ± 7,92 9,66 ± 9,14 (0,5-5,5) (4,73-20,59) (3,3-21,9) Liat 4,91 ± 5,16 69,99 ± 16,57 13,74 ± 3,78 (0,53-1,71) (47,87-81,06) (8,7-16,8) Tekstur Pasir Liat Pasir berlempung Liat berpasir Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Tanah Fak. Pertanin UNHAS, 2005 Tekstur tanah dasar tambak di pesisir Sinjai tergolong liat berpasir, lempung, lempung liat berpasir dan lempung berpasir, tergolong cukup baik untuk 70

93 71 kontruksi pematang dan saluran irigasi karena selain tidak mudah longsor dan bocor juga mampu menahan air. Hasil analisis ph tanah di daerah pantai berkisar 7,8 8,5; untuk daerah mangrove berkisaran 7,60-8,10; dan daerah tambak berkisar 7,4-8,5. Kondisi ph yang ditemukan masih tergolong sesuai untuk budidaya udang dan ikan. Hal ini didukung oleh Boyd dan Musig (1992) ph tanah mempengaruhi kecepatan penguraian bahan organik di dasar tambak, ph yang baik 7,5 8,5. ph tanah tambak di Sinjai layak untuk pengembangan budidaya udang. Berdasarkan Boer (2001) dengan ph tanah tambak berkisar antara ph 6,91-7,43 (Lampiran 12). Keberadaan bahan organik tanah dapat meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) serta daya serap tanah terhadap basa-basa. Kandungan bahan organik (C-organik) di kawasan pesisir Sinjai, baik di daerah pantai, mangrove, dan tambak tergolong rendah bagi peruntukan budidaya udang, sehingga perlu dilakukan penambahan pupuk organik untuk meningkatkan bahan organik. Kandungan bahan organik yang ideal berkisar antara 4,0-20,0%. Unsur Nitrogen (N-Total) tanah di daerah pantai, mangrove, dan tambak juga tergolong rendah berkisar antara 0,01-0,08. Hal ini menunjukkan tanah di daerah studi kurang subur untuk pengembangan budidaya udang. Kandungan N- Total yang ideal antara 0,4-0,7%, sehingga untuk meningkatkan kandungan N- Total dengan melakukan pemupukan dan pengelohan tanah. Hasil analisis kandungan fosfor (P 2 O 5 ) untuk daerah pantai, mangrove, dan tambak dengan kisaran ppm, hasil ini tergolong sangat tinggi. Unsur makro dalam tanah merupakan indikator kesuburan tanah seperti Ca dan Mg. Hasil analisis kandungan Ca baik di daerah pantai, daerah mangrove, dan daerah tambak dengan kisaran 6,4 13,5 me 100 g -1. Hal ini tergolong baik untuk budidaya tambak. Sedangkan unsur Mg di daerah pantai, mangrove, dan tambak dengan kisaran 1,11 1,9 me100 g -1. Hasil analisis ini tergolong rendah untuk pengembangan tambak. Ketersediaan Ca berpengaruh langsung pada waktu moulting dan kualitas udang. Unsur KTK penting dalam budidaya tambak, karena menunjukkan kemampuan tanah untuk mengabsorbsi elektrolit-elektrolit seperti NH 4, Sulfida dan unsur-unsur yang bersifat racun bagi udang atau organisme air lainnya. Hasil

94 72 analisis diperoleh KTK tanah baik di daerah pesisir, mangrove, dan tambak yang diperoleh masih tergolong rendah, artinya kemampuan tanah mengabsorbsi dan menetralisir bahan beracun rendah, akibatnya perairan mudah tercemar. Nilai KTK tanah < 40 me 100 g -1 kemampuannya rendah untuk mengabsorbsi elektrolit sehingga perairan tersebut mudah tercemar. Nilai redoks potensian tanah berkisar antara -368 sampai -23 mv. Nilai ini tergolong rendah dimana nilai Redoks potensial berkisar 90 hingga 98 mv (Lampiran 12). Berdasarkan peta tanah diperoleh ada tiga jenis sedimen dasar di pesisir pantai yaitu sedimen dasar berpasir (S), pasir lanauan (sz), dan lanau pasiran (zs). Sedimen di daerah pantai didominasi oleh pasir (S), semakin kearah laut didominasi pasir lanauan (sz). Sediment lanau pasiran (zs) ditemukan pada muara sungai dan saluran tambak. Laju sedimentasi di daerah studi tergolong tinggi, hasil pengamatan hanya dalam waktu 10 tahun terjadi penambahan daratan sekitar 791,88 meter. Peta sebaran sedimen dasar perairan disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Peta sebaran dasar sedimen perairan pantai di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai

95 73 Potensi Pemanfaatan Lahan Kajian peruntukan lahan untuk pengembangan budidaya tambak berkelanjutan di kabupaten Sinjai difokuskan pada : (1) kesesuaian lahan untuk budidaya tambak; dan (2) kesesuaian lahan untuk konservasi mangrove. Potensi Areal untuk Budidaya Tambak 1. Luas Areal Budidaya Tambak Berdasarkan Elevasi Lahan dan Pasut Lahan yang sesuai untuk budidaya tambak menjadi dasar acuan dalam memetakan lokasi budidaya tambak yang layak secara teknis untuk budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif. Dasar penentuan kelayakan areal budidaya tradisional adalah lahan tambak dengan sistem pengisian air kedalam tambak 100% dilakukan secara gravitasi. Beberapa persayaratan lahan tambak agar pengisian dan pembuangan air tambak dilakukan secara gravitasi yaitu : (1) elevasi lahan tidak boleh melebihi tinggi muka air pasang tertinggi (MHHWS); (2) elevasi lahan tidak boleh kurang dari muka air surut terendah (MLLWS); (3) tunggang pasang yang ideal antara 1-2,5 meter Elevasi lahan tambak dari rata-rata muka air laut (MSL) menjadi dasar penentuan lahan tambak yang dapat dilakukan dengan sistem gravitasi. Penentuan elevasi lahan berdasarkan tunggang pasang surut 1,26 meter, maka diperoleh lahan sesuai dan layak untuk pengembangan budidaya tradisional dengan elevasi lahan 0-2 meter dari MSL, karena pengisian dan pembuangan air tambak 100% dapat dilakukan secara sistem gravitasi. Kondisi areal tambak ideal dapat dilakukan pengisian dan pembuangan air dengan cara gravitasi, disajikan pada Gambar 17. Hasil analisis elevasi lahan 2 meter dengan tunggang pasang surut 1,26 meter, diperoleh areal tambak yang layak untuk budidaya tradisional seluas 417,22 ha. Sedangkan elevasi lahan 2 9 meter dari MSL tergolong sesuai dan layak untuk budidaya semi-intensif dan intensif seluas 891,73 ha, untuk pengisian air tambak harus dilakukan dengan sistem pompa. Pemetaan lahan budidaya (perwilayaan komoditas) berdasarkan kelayakan bioteknis untuk budidaya udang tradisional, semi-intensif dan Intensif disajikan pada Gambar 18.

96 74 Pemberian tersier Η1 Tambak Pembuang tersier MHWL Η Η2 MSL Keterangan : H1= Beda tinggi yang diperlukan untuk pemberian air secara gravitasi = 15 cm H2 = Beda tinggi yang diperlukan untuk mengeluarkan air secara gravitasi = 15 cm H = Kedalaman air ± 70 cm Pasang surut ideal = tunggang pasa minimum diperlukan ± 130 cm Gambar 17 Kondisi tambak ideal untuk budidaya udang tradisional dengan sistem gravitasi. Gambar 18 Kelayakan areal budidaya tambak tradisional, semi-intensif dan intensif di kawasan Pesisir Kabupaten Sinjai

97 75 2. Luas Areal Budidaya Tambak berdasarkan Ketersediaan Air Tawar. Perhitungan luas areal budidaya tambak berdasarkan potensi air tawar berdasarkan kebutuhan air laut dan air tawar untuk budidaya udang dan budidaya bandeng. Kebutuhan salinitas optimal untuk pertumbuhan udang sekitar 20 ppt, dan bandeng sekitar 28 ppt, maka jumlah air laut dan air tawar dengan salinitas optimal untuk budidaya udang dan bandeng dihitung dengan asumsi volume air di tambak sebesar 7.204,29 m 3 ha -1, salinitas air laut 29 ppt, dan salinitas air tawar 0 ppt, dihitung dengan rumus pengenceran. Areal tambak yang sesuai dan layak berdasarkan potensi air tawar untuk budidaya udang, dibutuhkan air tawar sebesar 2.235,81 m3 ha -1. Jika rata-rata potensi air tawar yang tersedia sebesar ,84 m 3 hr -1, maka luas areal budidaya udang yang layak secara bioteknis seluas 669,41 ha. Sedangkan untuk pengembangan budidaya bandeng dengan salinitas air di tambak sekitar 28 ppt, dibutuhkan air tawar sebesar 248,43 m3 ha -1, maka luas areal budidaya bandeng yang layak secara bioteknis seluas 6.024,48 ha. 3. Luas Areal Budidaya Tambak berdasarkan Kriterian Kesesuaian Lahan. Menurut Bengen (2005), bahwa dalam proses penentu kesesuaian lahan harus dilakukan dengan membandingan kriteria faktor-faktor penentu kesesuaian lahan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Kriteria awal yang disusun umumnya dari prasyarat ekologis, selanjutnya secara terpisah hasil analisis diperoleh luas lahan berdasarkan kriteria yang dipersyaratkan. Hasil analisis kesesuaian lahan menjadi bahan bagi analisis daya dukung, analisis kapasitas asimilasi dan analisis kelayakan usahanya. Perhitungan luas potensi areal budidaya tambak di pesisir Sinjai dilakukan dengan menggunakan SIG, serta diversifikasi dengan pengamatan lapangan dan pendekatan professional adjustment. Teknik overlay terhadap layer-layer kemiringan lereng, jarak dari pantai, jarak dari sungai, jenis tanah, ketinggian, drainase, salinitas dan geologi, digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak. Dengan membuat layer masing-masing parameter yang digunakan dalam menentukan kesesuaian lahan untuk

98 76 budidaya tambak (Lampiran 13). Layer-layer parameter kriteria kesesuaian lahan budidaya tambak sebagai berikut (Gambar 19) : 1. Berdasarkan paremeter kemiringan lereng untuk kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak, diperoleh ha tergolong sangat sesuai dan 663 ha tergolong sesuai (Gambar 19.a). 2. Parameter ketinggian (elevasi) lahan untuk kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak seluas ha tergolong sesuai - sangat sesuai pada elevasi lahan 0-6 meter (Gambar 19.b). 3. Parameter salinitas perairan untuk kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak, diperoleh 264 ha lahan tergolong sangat sesuai, 497 ha tergolong sesuai, dan 77 ha sesuai marginal (Gambar 19.c). 4. Parameter jarak dari pantai untuk kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak seluas 95,76 ha tergolong sangat sesuai; 3.182,66 ha sesuai, 187 ha sesuai marginal, (Gambar 19.d). 5. Parameter jarak dari sungai untuk kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak diperoleh ha lahan tergolong sangat sesuai untuk budidaya tambak, umumnya lahan di lokasi studi berdekatan dengan sungai, (Gambar 19.e) 6. Parameter jenis tanah juga penting dalam penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak, diperoleh 961 ha lahan tergolong sesuai, dan ha lahan sesuai marginal (Gambar 19.f) 7. Parameter drainase penting penentuan kesesuaian lahan budidaya tambak dengan bobot 10 persen, diperoleh 559 ha lahan tergolong sesuai - sangat sesuai dan ha lahan sesuai (Gambar 19.g) 8. Parameter geologi berperan penting khususnya terkait dengan substrat dasar atau sedimen, diperoleh ha tergolong sangat sesuai dengan substrat dasar sedimen lepas, dan 960 ha sesuai marginal dengan substrat dasar sedimen padu (Gambar 19.h) Hasil analisis kesesuaian lahan budidaya tambak didasarkan pada parameter pembatas peruntukan lahan budidaya tambak berdasarkan aspek biofisik. Analisis ini dimaksudkan untuk menilai apakah secara biofisik lahan pesisir Sinjai sesuai bagi peruntukan budidaya tambak atau tidak.

99 77 G.19.a G.19.b G.19.c G.19.d G.19.e G.19.f G.19.g G.19.h Gambar 19 Layer-layer yang digunakan untuk kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak di kawasan Pesisir Kabupaten Sinjai

100 78 Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tambak dengan masing-masing kategori kesesuaian untuk budidaya tambak, diperoleh 673 ha lahan yang tergolong sangat sesuai; kemudia lahan yang tergolong sesuai seluas 651 ha, ha tergolong sesuai bersyarat, dan areal yang tidak sesuai permanen sekitar 899 ha, Peta kesesuaian disajikan pada Gambar 20. Potensi Areal untuk Konservasi Mangrove 1. Areal Konservasi Mangrove berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan Kawasan konservasi mangrove ditentukan dengan teknik tumpang susun (overlay) terhadap layer jarak dari pantai, bervegetasi, jenis tanah, drainase, kemiringan lereng, dan ketinggian lahan. Parameter kriteria kesesuaian lahan konservasi mangrove adalah sebagai berikut (Lampiran 14 dan Gambar 21) : 1. Jarak dari pantai merupakan parameter kriteria kesesuaian konservasi mangrove, diperoleh lahan yang tergolong cukup sesuai - sangat sesuai seluas 254 ha (Gambar 21.a). 2. Vegetasi merupakan parameter kriteria kesesuaian peruntukan kawasan konservasi mangrove, diperoleh 346 ha lahan yang tergolong cukup sesuai - sangat sesuai (Gambar 21.b). 3. Drainase merupakan parameter kriteria kesesuaian kawasan konservasi mangrove, diperoleh 296 ha lahan yang tergolong cukup sesuai - sangat sesuai (Gambar 21.c). 4. Jenis tanah merupakan parameter kriteria kesesuaian peruntukan kawasan konservasi mangrove, diperoleh 2.864,9 ha tergolong cukup sesuai jenis tanah aluvial pantai (Gambar 21.d). 5. Kemiringan lereng merupakan parameter kriterian kesesuaian kawasan konservasi mangrove. Hasil analisis diperoleh ha tergolong sangat dan 662 ha tergolong sesuai (Gambar 21.e). 6. Ketinggian lahan untuk kesesuaian kawasan konservasi mangrove, maka diperoleh ha tergolong cukup sesuai-sangat sesuai (Gambar 21.f).

101 5 6' mt mu ' KAB. BONE Sungai Tangka mt ' 5 6' mu PETA KESESUAIAN LAHAN TAMBAK WILAYAH PESISIR KAB. SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN W N E 79 S Meter Sungai Sinjai Î Legenda Î Pelabuhan Garis pantai Sungai Kelas Kesesuaian Lahan Tambak Sangat Sesuai (673,17 ha) Sesuai (651,60 ha) Sesuai Bersyarat (1.306 ha) Tidak Sesuai Permanen (899,33 ha) 5 8' 5 8' Sungai Tongke-Tongke T E L U K B O N E Peta Indeks mu KAB. SINJAI mu 3 SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN ' Sungai Baringang 5 10' Sumber: - Peta Rupa Bumi Indonesia, Tahun 1991, Bakosurtanal - Citra Landsat, Tahun Peta Tanah, Tahun 1968, Departemen Pertanian - Peta Situasi, Tahun 1999 Dinas Pekerjaan Umum, Sulawesi Selatan - Hasil Pengukuran Lapangan, Tahun 2005 Asbar C mt ' mt ' Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2007 Gambar 20 Peta kelas kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai

102 80 Gambar 21.a Jarak dari pantai untuk kesesuaian konservasi mangrove Gambar 21.b Vegetasi pantai untuk kesesuaian lahan konservasi mangrove Gambar 21.c Drainase untuk kesesuaian lahan konservasi mangrove Gambar 21.d Jenis tanah untuk kesesuaian lahan konservasi mangrove O Gambar 21.e Kemiringan lereng untuk kesesuaian lahan konservasi mangrove Gambar 21.f Ketinggian untuk kesesuaian lahan konservasi mangrove Gambar 21 Layer-layer yang digunakan untuk penentuan kesesuaian lahan 7. konservasi mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai

103 81 Hasil analisis kesesuaian diperoleh kesesuaian lahan konservasi mangrove di pesisir Sinjai, yaitu lahan yang tergolong sangat sesuai seluas 42 ha, kemudian lahan yang tergolong sesuai seluas 284 ha, lahan yang tergolong sesuai bersyarat seluas 921 ha; dan lahan yang tergolong tidak sesuai permanen seluas ha. Hasil kesesuaian lahan konservasi mangrove, disajikan pada Gambar 22. Setelah melakukan overlay terhadap parameter kesesuaian peruntukan lahan budidaya tambak dan konservasi mangrove, diperoleh peta komposit kesesuaian peruntukan lahan di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai. Hasil analisis komposit diperoleh luas kawasan yang sesuai untuk budidaya tambak seluas 1.308,95 ha; kemudian 310,90 ha lahan yang sesuai untuk konservasi mangrove; serta ha lahan sesuai untuk peruntukan lain, disajikan pada Gambar Areal Konservasi Mangrove Berdasarkan Keppres 32/90. Hasil analisis kesesuaian kawasan konservasi mangrove diperoleh kelas kesesuaian lahan yang tergolong sesuai - sangat sesuai (S1-S2) seluas 326 ha. Namun demikian, jika berdasar pada Keppres 32 tahun 1990 terntang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka kawasan hutan mangrove yang harus dipertahankan sempadan pantai (green belt) adalah (130 x tunggang pasang surut adalah 1,26 m), maka kawasan hutan mangrove yang harus dipertahankan sebagai sempadan pantai adalah 163,8 meter dari garis pantai. Hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pengembangan tambak di Sinjai, agar tetap memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dengan mempertahankan lebar sempadan pantai minimal 163,8 meter. 3. Pemanfaatan Kawasan Konservasi Mangrove Upaya rehabilitasi mangrove dengan swadaya masyarakat yang dimulai pada tahun 1986 di Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai dengan tujuan menanam bakau untuk melindungi pantai dari abrasi, dalam waktu 13 tahun luas kawasan yang berhasil ditanami mangrove sekitar 786 ha. Keberhasilan tersebut telah mendukung pengembangan usahan budidaya tambah ± ha di Pesisir Sinjai dan potensi sumberdaya perikanan disekitar kawasan tersebut.

104 5 6' mt mu ' KAB. BONE Sungai Tangka mt ' 5 6' mu PETA KESESUAIAN LAHAN KONSERVASI WILAYAH PESISIR KAB. SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN W N E 82 S Meter Sungai Sinjai Î Legenda Î Pelabuhan Garis pantai Sungai Kelas Kesesuaian Lahan Konservasi Sangat Sesuai (42,36 ha) Sesuai (284,00 ha) Sesuai Bersyarat (921,31 ha) Tidak Sesuai Permanen (2.577,96 ha) 5 8' 5 8' Sungai Tongke-Tongke T E L U K B O N E Peta Indeks mu KAB. SINJAI mu 3 SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN ' Sungai Baringang 5 10' Sumber: - Peta Rupa Bumi Indonesia, Tahun 1991, Bakosurtanal - Citra Landsat, Tahun Peta Tanah, Tahun 1968, Departemen Pertanian - Peta Situasi, Tahun 1999 Dinas Pekerjaan Umum, Sulawesi Selatan - Hasil Analisis, Tahun 2007 Asbar C mt ' mt ' Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2007 Gambar 22 Peta kesesuaian lahan untuk konservasi mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai

105 5 6' mt mu ' KAB. BONE Sungai Tangka mt ' 5 6' mu PETA KOMPOSIT KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KAB. SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN W N E 83 S Meter Sungai Sinjai Î Legenda Î Pelabuhan Garis pantai Sungai Komposit Kesesuaian Lahan Konservasi Mangrove (310,90 ha) Tambak (1.308,95 ha) Pemanfaatan Lainnya (2.205,77 ha) 5 8' 5 8' Sungai Tongke-Tongke T E L U K B O N E Peta Indeks mu KAB. SINJAI mu 3 SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN ' Sungai Baringang 5 10' Sumber: - Peta Rupa Bumi Indonesia, Tahun 1991, Bakosurtanal - Citra Landsat, Tahun Peta Tanah, Tahun 1968, Departemen Pertanian - Peta Situasi, Tahun 1999 Dinas Pekerjaan Umum, Sulawesi Selatan - Hasil Analisis, Tahun 2007 Asbar C mt ' mt ' Gambar 23 Peta komposit kesesuaian lahan di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2007

106 84 Secara ekonomi pemanfaatan lahan konservasi mangrove adalah : (1) penangkapan nener dan benur, (2) penangkapan kepiting di alam, (3) Budidaya kepiting dengan sistem kurungan bambu dan karamba, dan (4) budidaya ikan/udang dan kepiting dengan sistem empang parit (silvofishery), ( Gambar 24). Areal Tambak Mangrove Silvofishery Teluk Bone Areal Persawahan Areal Pemukiman Gambar 24 Pola pemanfaatan kawasan konservasi mangrove di Tonge-Tongke Kabupaten Sinjai. Potensi Ekosistem Mangrove Keberadaan ekosistem mangrove di Sinjai secara ekologi berperan untuk: (1) menjaga melindungi pantai dari abrasi, dan mempercepat pertumbuhan daratan; (2) produksi serasah sebagai makanan dari berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan kerang-kerangan; (3) mengurangi intrusi air laut ke pemukiman penduduk pesisir Tongke-Tongke. Secara ekonomi berperan sebagai : (1) daerah penangkapan nener dan benur, (2) penangkapan kepiting di alam, dan (3) budidaya ikan, udang dan kepiting.

107 85 Hutan mangrove di Tongke-Tongke merupakan swadaya masyarakat yang berhasil melakukan pelestarian hutan mangrove dengan baik. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah daerah dengan adanya PERDA No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove. Penetapan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove oleh pemerintah bertujuan agar hutan mangrove yang ada saat ini dijaga keberadaannya agar tetap lestari guna kepentingan masyarakat setempat. Kebijakan tersebut menyebabkan terjadi perubahan penutupan lahan mangrove dari tahun 1989 seluas 142 ha, kemudian penutupan lahan mangrove terus bertambah seiring dengan program rehabilitasi mangrove hingga pada tahun 1999 dengan luas 326,36 ha, dan tahun 2002 dengan penutupan mangrove seluas 346,05 ha (Gambar 25). Landsat TM 1989 Landsat TM 1999 Landsat TM 2002 Pangasa Pangasa Pangasa Tongke Tongke Tongke Tongke Tongke Tongke Gambar 25 Perubahan penutupan lahan mangrove berdasarkan Citra Landsat TM 1989, 1999 dan 2002 Produktivitas Ekosistem Mangrove Produksi Serasah. Hasil pengukuran diperoleh produksi serasah mangrove diperoleh sekitar 12,88 ton ha -1 th -1. Jika mangrove di Sinjai seluas 346,05 ha, berarti mangrove tersebut mampu menyumbangkan serasah sekitar 4.457,12 ton th -1 (Tabel 18). Hasil ini menunjukkan produktivitas hutan mangrove di Sinjai tergolong tinggi. Tingginya produktivitas hutan mangrove ini kemungkinan disebabkan karena jarak tanam yang rapat dan juga umur yang masih muda.

108 86 Tabel 18 Rata-rata produksi serasah (ton kering ha -1 th -1 ) Waktu Rata-Rata Produksi Serasah (ton ha -1 th -1 ) Pengamatan Daun Bunga Ranting Total September ,87 4,38 0,47 12,72 Oktober ,22 2,85 0,17 11,24 Nopember ,95 3,96 0,17 12,08 Desember ,87 6,06 0,53 15,46 Rata-Rata 8,23 4,31 0,34 12,88 Sdv. 0,45 1,33 0,19 1,83 Sumber : Hasil Pengamatan Tahun 2005 Laju Dekomposisi Serasah. Dekomposisi serasah adalah proses penghancuran organisme secara bertahap sehingga strukturnya tidak lagi dalam bentuk yang kompleks tetapi telah diuraikan menjadi bentuk-bentuk yang sederhana seperti air, karbon dioksida dan komponen mineral. Laju dekomposisi serasah tertinggi terjadi pada hari ke-15 sampai hari ke- 34, setelah itu menurun hingga hari ke-75 (Tabel 19). Pada Gambar 26 memperlihatkan hubungan antara persentase laju dekomposisi serasah dan waktu dengan koefisen determinasi (R 2 ) sebesar 0,872, dan waktu yang dibutuhkan untuk menguraikan serasah sampai 100% adalah 82 hari. Tabel 19 Persentase laju dekomposisi serasah mangrove Stasiun Waktu Pengamatan (hari ke-) Pengamatan I 40,00 50,00 70,00 80,00 II 28,00 45,00 73,00 80,00 III 45,00 55,00 72,00 80,00 IV 60,00 75,00 85,00 90,00 V 40,00 60,00 75,00 85,00 Rataan 42,60 57,00 75,00 83,00 Sdv. 11,567 11,511 5,874 4,472 Kec. Dekomposisi Serasah (%/hr) y = x R 2 = Hari ke- Gambar 26 Gafik persentase serasah daun mangrove yang mengalami dekomposisi berdasarkan waktu (hari)

109 87 Kandungan Bahan Organik dan Unsur Hara Produktivitas serasah daun mangrove ditentukan oleh kandungan bahan organik dan unsur hara yang terdapat dalam serasah daun mangrove. Kandungan unsur C, N, P dan K daun mangrove di pesisir Kabupaten Sinjai (Tabel 20). Tabel 20 Hasil analisis (P, K, C, dan N) daun mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Stasiun Parameter P (ppm) K (ppm) C (%) N total (%) St - 1 1,65 0,308 80,4 5,73 St - 2 3,71 0,210 79,6 3,50 St - 3 1,21 0,354 82,8 2,84 St - 4 1,25 0,515 82,0 3,22 St - 5 1,15 0,112 83,2 2,49 St - 6 1,15 0,320 76,4 5,11 Rataan 1,69 0,303 80,73 3,814 Sdv. 1,008 0,136 2,535 1,303 Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Tanah Fak. Pertanian UMI, 2005 Hasil analisis C, N, P, dan K dikuantifikasi dalam bentuk produktivitas, agar dapat menggambarkan kemampuan ekosistem mangrove untuk menghasilkan bahan organik dan unsur-unsur hara (Tabel 21). Tabel 21 Stasiun (g m -2 th -1 ) Produktivitas bahan organik dan unsur hara hutan mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai P K C-Organik N (kg ha -1 th -1 ) (g m -2 th -1 ) (kg ha -1 th -1 ) (g m -2 th -1 ) (kg ha -1 th -1 ) (g m -2 th -1 ) (kg ha -1 th -1 ) St - 1 2,15 21,54 0,40 4, , ,06 74, ,46 St - 2 4,84 48,43 0,27 2, , ,62 45, ,96 St - 3 1,58 15,79 0,46 4, , ,41 37, ,79 St - 4 1,63 16,32 0,67 6, , ,96 42, ,41 St - 5 1,50 15,01 0,15 1, , ,63 32, ,10 St - 6 1,51 15,04 0,42 4,18 997, ,82 66, ,16 Rataan 2,20 22,02 0,96 3, , ,58 49, ,98 Sdv. 1,32 13,16 0,18 1,78 33,09 330,98 17, ,08 Sumber : Hasil Analisis data, 2005 Dari hasil analisis menunjukkan bahwa produktivitas hutan mangrove Sinjai sebesar g C ha -1 th -1, dari 346,05 ha hutan mangrove mampu menghasilkan C-organik sekitar ,20 g C th -1, unsur N sebesar

110 ,98 kg th -1, unsur P sebesar 7.621,059 kg th -1, dan mengasilkan unsur K sebesar 1.369,667 kg th -1. Menurut White (1987) ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang tinggi sekitar g C m -2 th -1 lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Hasil penelitian Bengen, et al., (2003) kandungan C-organik daun mangrove di Kabupaten Berau sekitar 183,78-412,86 g C m -2 th -1 atau 1.837, ,56 kg C/ha/th, unsur N antara 11,17-108,07 kg/ha/th, unsur P antara 0,14-9,02 kg ha -1 th -1, dan unsur K berkisar antara 49,47-87,01 kg ha -1 th -1. Kerapatan dan Penutupan Hutan Mangrove Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh rata-rata diameter batang bagian atas pohon mangrove berkisar antara 2,0 7,9 cm dan diameter batang bagian bawah setinggi dada berkisar 2,6 8,6 cm. Hasil pengukuran menunjukkan diameter batang mangrove di Sinjai tergolong kecil dibanding dengan wilayah pesisir lainnya. Hal ini, disebabkan karena kerapatan pohon mangrove terlalu padat sekitar pohon ha -1 (Lampiran 15). Hasil pengukuran tinggi pohon mangrove sangat bervariasi antara 2,0 11 meter tergantung umur penanaman. Sedangkan nilai angka bentuk (f) pohon berkisar antara 0,75 0, 84, artinya diameter batang bagian atas dan bagian bawah hampir sama dan pohon mangrove berbentuk lurus. Mengacu pada nilai-nilai di atas, dapat diketahui volume kayu Rhizophora mucronata berkisar antara 223,48 229,32 m 3 ha -1, dengan luas mangrove sebesar 346,05 ha, maka hutan mangrove Sinjai dapat menghasilkan kayu mangrove antara , ,186 m 3. Hasil analisis penutupan penutupan mangrove Rhizophora mucronata berkisar antara 4.317, ,65 m 2 ha -1, dengan luas tutupan mangrove 346 ha berkisar antara , ,61 m 2 atau sekitar 149,41-149,41 ha atau penutupan pohon mangrove sekitar 43, 17%. Kelayakan Usaha dan Valuasi Ekonomi Kawasan Pesisir Penilaian ekonomi usaha budidaya tambak digunakan metode manfaat biaya seperti yang diungkapkan Ruitenbeek (1992) dan Munasinghe (1993). Hasil perhitungan usaha budidaya tambak polikultur udang dan bandeng diperoleh

111 keuntungan sebesar Rp ,3 ha -1 th -1, dengan nilai R-C ratio sebesar 3,65, (Lampiran 16). Hasil perhitungan diperoleh nilai NPV dalam rentang waktu 10 tahun sebesar US$ 5.430,65 ha -1. Hasil perhitungan ekonomi secara statis diperoleh US$ ,07 dan secara dinamis dengan tingkat diskonto 10% sebesar sebesar US$ ,28 (Tabel 22). Tabel 22 Estimasi nilai ekonomi usaha budidaya tambak di lokasi studi No kesesuaian lahan Luas Nilai Ekonomi (US$) (Ha) a) Statis b) Dinamis c) 1. Sangat Sesuai 673, , ,66 2. Sesuai 651, , ,62 Jumlah 1.324, , ,28 Keterangan : a) Hasil Analisis Landuse Citra Landsat (2002) b) Nilai Ekonomi sebesar US$ 578,88/ha/tahun c) Nilai Ekonomi sebesar US$ 5.430,65/ha (NPV selama 10 thn) ) Dasar perhitungan US$ 1 setara dengan Rp ,- Estimasi manfaat dan biaya untuk kegiatan budidaya rumput laut diperoleh keuntungan Rp ,9 ha th -1. Berdasarkan nilai nilai R-C ratio menunjukkan bahwa usaha budidaya rumput laut sangat layak dikembangkan (Lampiran 17). Hasil perhitungan NPV dalam rentang waktu 10 tahun sebesar US$ 4.826,28 ha -1. Hasil perhitungan secara statis diperoleh nilai ekonomi sebesar US$ ,94 th -1, dan secara dinamis dalam rentang waktu 10 tahun dengan tingkat diskonto 10% dengan lahan budidaya tambak sebesar US$ ,17, disajikan pada Tabel 23. No Tabel 23 Estimasi nilai ekonomi budidaya rumput laut di lokasi studi Kelas kesesuaian lahan Luas Nilai Ekonomi (US$) (Ha) a) Statis b) Dinamis c) 1. Sangat Sessuai 673, , ,57 2. Sesuai 651, , ,62 Jumlah 1.324, , ,17 Keterangan : a) Hasil Analisis Landuse Citra Landsat (2002) b) Nilai Ekonomi sebesar US$ 1.135,81/ha/tahun c) Nilai Ekonomi sebesar US$ 4.826,28/ha (NPV selama 10 thn) Nilai ekonomi usaha penangkapan kepiting diperoleh keuntungan sebesar Rp ,17 ha -1 th -1, dengan nilai R-C ratio dalam waktu 10 tahun sebesar 3,08, berarti layak dikembangkan (Lampiran 18). Nilai NPV usaha penangkapan kepiting bakau dalam waktu 10 tahun sebesar US$ 1.161,87 ha -1.

112 Hasil perhitungan secara statis diperoleh nilai sebesar US$ ,69, dan secara dinamis dalam waktu 10 tahun dengan tingkat diskonto 10% sebesar US$ ,26 atau US$ 6.493,55 ha -1 (Tabel 24). No. Tabel 24 Estimasi nilai ekonomi usaha penangkapan kepiting bakau Lahan Mangrove Luas Nilai Ekonomi (US$) (Ha) a) Statis b) Dinamis c) 1. Sangat Sesuai 42, , ,78 2. Sesuai 284, , ,20 Jumlah 326, , ,98 Keterangan : a) Hasil Analisis Landuse Citra Landsat (2002) b) Nilai Ekonomi sebesar US$ 1.161,87/ha/tahun c) Nilai Ekonomi sebesar US$ 6.493,55/ha (NPV selama 20 thn) Estimasi nilai ekonomi usaha budidaya kepiting di kawasan pesisir Sinjai pada (Lampiran 19). Jika luas lahan mangrove yang dimanfaatkan untuk usaha budidaya kepiting sebesar 20 % dari lahan mangrove dengan luas 65,27 ha, dengan menggunakan perhitungan statis diperoleh nilai sebesar US$ ,46, dan perhitungan dinamis dalam rentang waktu 10 tahun dengan tingkat diskonto 10 %, maka nilai estimasi ekonomi ekosistem mangrove untuk usaha budidaya kepiting di lokasi studi (65,27 ha) sebesar US$ ,47. Estimasi nilai manfaat dan biaya untuk usaha penangkapan kelelawar di kawasan mangrove Sinjai (Lampiran 20). Usaha penangkapan kelelawar diperoleh keuntungan sebesar Rp ,5 ha -1 th -1, diperoleh nilai R-C ratio 4,10 dengan masa usaha selama 10 tahun, artinya usaha ini layak dikembangkan. Nilai NPV usaha penangkapan kelelawar selama 10 tahun sebesar US$ 1.005,43 ha -1, disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Sebaran nilai ekonomi penangkapan kelelawar di lokasi studi No. Lahan Mangrove Luas Nilai Ekonomi (US$) (Ha) a) Statis b) Dinamis c) 1. Sangat Sesuai 42, , ,02 2. Sesuai 284, , ,12 Jumlah 326, , ,14 Keterangan : a) Hasil Analisis Landuse Citra Landsat (2002) b) Nilai Ekonomi sebesar US$ 162,88/ha/tahun c) Nilai Ekonomi sebesar US$ 1.005,43/ha (NPV selama 20 thn) 90

113 91 Berdasarkan perhitungan statis diperoleh nilai ekonomi sebesar US$ ,51, dan perhitungan dinamis dalam rentang waktu 10 tahun tingkat diskonto 10% nilai estimasi ekonomi mangrove untuk usaha penangkapan kelelawar sebesar US$ ,14. Nilai estimasi manfaat dan biaya usaha penangkapan benur diperoleh keuntungan sebesar Rp ,5 ha -1 th -1 dengan total manfaat Rp ha -1 th -1 dan total biaya operasi sebesar Rp ha -1 th -1, dengan nilai rata-rata R-C ratio dari usaha penangkapan nener di kawasan mangrove yang diusahakan selama 10 tahun sebesar 22,8, artinya usaha pengakapan benur menguntungkan dan layak dikembangkan (Lampiran 21). Nilai estimasi manfaat dan biaya untuk usaha penangkapan nener di kawasan hutan mangrove Sinjai (Lampiran 22), diperoleh keuntungan rata-rata Rp. 4,860,300 ha -1 th -1 dengan total manfaat rata-rata Rp. 6,035,500 ha -1 th -1 dan total biaya operasi sebesar Rp 317,500 ha -1 th -1, dengan nilai R-C ratio dengan masa usaha 10 tahun sebesar 18,9, artinya usaha penangkapan nener menguntungkan dan layak dikembangkan Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Untuk Konservasi Nilai ekonomi ekosistem mangrove untuk tujuan konservasi di Kabupaten Sinjai sesuai dengan hasil analisis GIS yang luasnya 326,36 ha dengan menggunakan perhitungan statis diperoleh sebesar US$ ,38. Sedangkan apabila menggunakan perhitungan secara dinamis dalam rentang waktu 20 tahun dengan tingkat diskonto 10% nilai estimasi ekonomi ekosistem mangrove diperoleh sebesar US$ ,91 ha -1, maka nilai ekonomi ekosistem mangrove di lokasi studi (326,36 ha) sebesar US$ ,36. Perincian nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai (Tabel 26). Tabel 26 Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Kabupaten Sinjai No. Kesesuaian Lahan Luas Nilai Ekonomi (US$) Konservasi Mangrove (Ha) a) Statis b) Dinamis c) 1. Sangat Sesuai 42, , ,43 2. Sesuai 284, , ,93 Jumlah 326, , ,36 Keterangan : a) Hasil Analisis Landuse Citra Landsat (2002) b) Nilai Ekonomi sebesar US$ 1.395,50/ha/tahun c) Nilai Ekonomi sebesar US$ ,91/ha (NPV selama 20 thn)

114 92 Analisis Manfaat Hutan Mangrove Penilaian ekonomi ekosistem mangrove dapat menggunakan pendekatan Penilaian Ekonomi Total (Total Economi Valuation), yaitu penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan hutan mangrove mengadopsi dari nilai ekonomi total (Barton, 1994). a. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Manfaat langsung yang digunakan dalam estimasi nilai ekonomi ekosistem mangrove yang dianalisis adalah budidaya polikultur (udang bandeng), budidaya rumput laut, penangkapan kepiting bakau, kelelawar, penagkapan benur, nener, bibit mangrove, kerang dan kayu bakar, disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove per hektar Jenus Manfaat Nilai Manfaat (Rp) Biaya (Rp) Manfaat Bersih (Rp) Manfaat budidaya (udang bandeng) , , ,00 Manfaat budidaya rumput laut , , ,90 Manfaat pengkapan kepiting bakau , , ,67 Manfaat pengkapan kelelawar , , ,00 Manfaat penangkapan benur , , ,00 Manfaat penangkapan nener , , ,00 Manfaat bibit mangrove , , ,00 Manfaat Kayu bakar , , ,00 Manfaat kerang , , ,00 Jumlah , , ,57 Rata-rata , , ,84 Sumber: Hasil Analisis Data Tahun 2005 b. Nilai Manfaat Tidak Langsung (Inderect Use Value) Manfaat ekosistem mangrove terbagi dua, yaitu (a) manfaat tidak langsung fisik/penahan abrasi air laut, dan (b) manfaat tidak langsung biologis tempat pemijahan dan asuhan serta penyedia bahan pakan organik bagi udang dan ikan. Menurut PT. Diagram (1994) dalam PPLH (1995), biaya pembangunan break water sekitar Rp m -3 tingkat inflasi nasional saat penelitian sekitar 4,25, biaya meningkat sebesar Rp m -3, volume bangunan break water m 3, maka nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp per sepuluh tahun atau Rp th -1 atau Rp ha -1 th -1. Nilai manfaat tidak langsung, sebagai penyedia pakan organik bagi udang menggunakan pendekatan metode regresi luasan mangrove dan produksi udang

115 (Naamin, 1990), dapat menghasilkan udang sebesar 51,97 kg th -1, diperoleh nilai manfaat tidak langsung sebagai penyedia pakan sebesar Rp ,75 th -1. c. Nilai Manfaat Pilihan Nilai manfaat pilihan dihitung berdasarkan perubahan nilai tukar antara US$ dengan rupiah pada saat penelitian sebesar Rp US$ -1 diperoleh nilai manfaat pilihan ekosistem mangrove sebesar Rp ha -1 th -1, maka manfaat pilihan bersih dari ekosistem mangrove Sinjai yaitu sebesar Rp th -1. d. Nilai Manfaat Keberadaan (Existance Value) Pendekatan perhitungan manfaat keberadaan hutan mangrove di Sinjai dengan menggunakan Contingent Value Methode (CVM). Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling (acak sengaja). Hasil wawancara dari 80 reseponden diperoleh nilai manfaat hutan mangrove sebesar Rp ha -1 th -1, sehingga nilai keberadaan hutan mangrove adalah Rp th -1. e. Nilai Manfaat Total Hutan mangrove Nilai Ekonomi Total ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir Sinjai adalah sebesar Rp ,39 th -1 yang merupakan hasil penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan, secara rinci disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove di kawasan pesisir Sinjai berdasarkan jenis manfaat No Jenis Manfaat Nilai Total (Rp th -1 ) Persentase (%) 1 Manfaat langsung ,64 17,70 2 Manfaat tidak langsung ,75 72,30 3 Manfaat pilihan ,00 0,47 4 Manfaat keberadaan ,00 9,54 Nilai Manfaat Total , Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2005 Hasil perhitungan diperoleh nilai manfaat tidak langsung dengan nilai sebesar Rp ,75,- th atau 72,30%, kemudian manfaat langsung sebesar Rp. 1,872,747,780.64,- th -1, selanjutnya manfaat keberadaan sebesar Rp ,00,- th -1 atau 9.54%, sedangkan manfaat pilihan memberikan nilai sebesar Rp ,00,- th -1 atau hanya 0,47% dari total nilai manfaat.

116 94 Kuantifikasi Air yang Tersedia di Pantai untuk Budidaya Tambak. Kuantifikasi atau volume air yang tersedia di pesisir pantai ditentukan : (1) volume air laut yang memasuki perairan pantai ketika air pasang, dan (2) debit air tawar/sungai yang memasuki perairan pantai. 1. Volume air laut yang memasuki perairan pantai ketika air pasang Daya dukung lingkungan untuk budidaya udang sangat tergantung dari volume air yang tersedia di pantai, dengan asumsi volume air laut yang masuk ke daerah pantai ketika terjadi pasang selalu berganti dari pasang yang satu ke pasang berikutnya, volume air yang berganti itulah yang disebut air yang tersedia di pantai. Karena volume air laut tersebut selalu tergantikan oleh volume air laut dari laut lepas, maka diperkirakan volume air tersebut memiliki kualitas baik untuk kegiatan budidaya. Volume air laut yang masuk ke pantai dihitung dengan formula Widigdo dan Pariwono (2003): h Vo = 0,5 h. y 2 x tg θ dengan ketentuan untuk kawasan pesisir Kabupaten Sinjai memiliki : a. Nilai h adalah kisaran pasang surut, harus >1, nilai h yang dipeoleh 1,26 cm dengan frekuensi (F) 2 kali sehari yang didasarkan atas tipe pasang surut di Kabupaten Sinjai bersifat campuran dengan dominasi semidiurnal. b. Nilai y adalah panjang garis pantai berdasarkan data Laporan Dinas Perikanan dan Kelutan Kabupaten Sinjai yaitu 17 km. c. Nilai x adalah jarak dari garis pantai pada air pasang ke arah laut sampai mencapai titik dimana kedalaman air pada saat surut terendah yaitu satu meter sama dengan kedalaman pipa pengambilan (intake) air laut untuk tambak, maka ditentukan x sejauh 791,88 m. d. θ adalah kemiringan dasar perairan pantai, hasil pengukuran diperoleh rata-rata kemiringan dasar pantai (θ) kabupaten Sinjai sebesar 8,17 o (tg 0,1450), hasil pengukuran kemiringan masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 29. Sedangkan bentuk tofografi dasar pantai dan kontur kedalaman perairan pantai, disajikan pada (Lampiran 23).

117 95 Tabel 29 Hasil pengukuran kemiringan dasar pantai di Lokasi Studi Lokasi pengukuran Tg θ Derajat ( o ) Lokasi I (120, E 5, S) 0, ,12 Lokasi II (120, E 5, S) 0,1194 6,81 Lokasi III (120, E 5, S) 0,1122 6,40 Lokasi IV (120,16876 E 5,08770 S) 0,1250 7,09 Lokasi V (120, E 5, S) 0, ,37 Rata-rata 0,1450 8,17 Hasil perhitungan volume air yang tersedia di pantai untuk kengiatan budidaya adalah sebagai berikut : Volume air yang masuk ke pantai ketika pasang naik (Vo) sebesar ,39 m 3 per periode pasang Volume air yang tersisa ketika air surut (Vs); sebesar ,26 m 3 Volume total air yang tersedia di pantai dalam satu siklus pasang surut untuk mengencerkan limbah sebesar ,17 m 3. Volume total air yang tersedia di pantai per hari (dua kali siklus pasang surut), sebesar ,33 m 3. Hasil ini menunjukkan volume air yang tersedia di pantai Sinjai setiap bulan volumenya sama, padahal kenyataannya tidak sama karena ada pengaruh debit air sungai yang berbeda-beda setiap bulan tergantung besar kecilnya curah hujan (Gambar 27). Volume airdi pantai saat pasang (x10.000) (m3/hr) Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags Sep. Okt. Nov. Des. Gambar 27 Volume air yang tersedian di pantai saat pasang Waktu tinggal adalah waktu yang diperlukan dari suatu unit volume massa air berdiam (tinggal) di suatu areal perairan tertentu sebelum digantikan oleh volume massa air baru. Hasil perhitungan diperoleh waktu tinggal air di pantai

118 96 per periode pasut sekitar 2,0012 jam, karena perairan Sinjai mempunyai 2 kali sehari, maka waktu tinggal air di pesisir pantai Sinjai adalah 4,0024 jam hr Debit air tawar/sungai yang masuk perairan pantai (Q s ). Debit bulan sungai Sinjai ditentukan berdasar : (1) curah Hujan rata-rata bulanan, (2) jumlah hari hujan (n), (3) jumlah hari dalam sebulan, (4) evapotranspirasi potensial, (5) tampungan air tanah permukaan, (6) kelembaban air tanah, dan (7) luas daerah aliran sungai. Data curah hujan dan proses perhitungan debit bulanan air sungai Sinjai, (Lampiran 24 dan 25). Penentuan debit sungai Sinjai dalam penelitian ini berdasarkan perhitungan debit sungai (Q sungai ). Debit andalan sungai Sinjai diperoleh dari debit ratarata bulanan selama 10 (sepuluh) tahun kemudian diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar, penentuan urutan dilakunan berdasarkan : 10 Q s = 1 = 3 5 Hasil perhitungan debit andalan pada urutan ke 3 yang digunakan dalam penentuan debit andalan sungai Sinjai yang digunakan untuk budidaya tambak (Tabel 30 dan Gambar 28). Tabel 30 Debit andalan Sungai Sinjai (m 3 dt -1 ) No. Urut Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nop Des 1 0,72 0,46 1,41 0,87 12,36 21,16 15,55 9,21 5,71 3,32 2,06 1,19 2 0,73 0,48 3,71 38,49 33,70 26,27 23,48 11,12 5,79 3,36 2,09 1,21 3 0,94 2,60 4,74 48,25 57,86 34,05 31,19 12,10 7,51 4,36 2,70 1,57 4 1,69 2,61 6,34 49,36 64,19 48,77 31,36 18,52 11,48 6,67 4,13 2,81 5 1,92 3,73 10,19 71,51 67,93 62,19 64,65 21,69 13,45 7,81 4,84 3,20 6 3,91 4,48 10,99 81,67 76,88 76,92 72,57 30,89 15,30 8,88 5,51 4,00 7 4,07 8,50 24,84 98,89 91,05 107,34 77,61 34,58 19,15 11,12 6,89 4, ,26 8,80 39,27 104,07 115,12 109,44 80,01 40,17 20,01 11,62 7,20 5, ,78 11,03 46,49 110,77 116,84 139,64 90,55 46,41 20,92 12,15 7,53 12, ,47 52,46 64,10 147,42 120,99 149,19 100,41 69,38 24,63 18,30 9,65 37,85 Sumber : Hasil Perhitungan Keterangan : Q80 = (n/5) 1 = (10/5) 1 = 3; Jadi Q80 diambil urutan ke-tiga Total volume air di pantai ditentukan oleh debit bulanan sungai dan volume air yang memasuki pantai ketika air pasang. Total volume air yang tersedia di pesisir pantai Sinjai berbeda-beda setiap bulan tergantung besarnya debit andalan bulanan sungai yang bermuara, (Tabel 31 dan Gambar 29).

119 97 6,000 Debit Air Sungai (x 1000) (m3/hr) 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 - Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sepr Okt Nov Des Gambar 28 Debit air sungai sinjai setiap bulan Tabel 31 Debit air sungai, volume air di pantai dan rata-rata volume air perbulan di pantai Kabupaten Sinjai. Bulan Debit sungai (m 3 S -1 ) Debit sungai (m 3 hr -1 ) Volume air masuk ke pantai (m 3 hr -1 ) Total volume air di pantai (m 3 hr -1 ) Januari 0, , , ,37 Februari 25, , , ,97 Maret 47, , , ,09 April 482, , , ,89 Mei 578, , , ,49 Juni 340, , , ,49 Juli 311, , , ,93 Agustus 121, , , ,81 September 75, , , ,93 Oktober 43, , , ,41 November 27, , , ,29 Desember 15, , , ,37 Rata-rata 172, , , ,17 Sumber : Hasil perhitungan, 2005 Volume Air di Pantai x (M3/hr) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sepr Okt Nov Des Gambar 29 Volume air yang tersedia di pantai untuk budidaya tambak

120 98 Hasil perhitungan Tabel 31 dan Gambar 29, menunjukkan volume air yang tersedia di pesisir pantai per hari berbeda-beda setiap bulan tergantung besarnya curah hujan rata-rata bulanan di lokasi studi, volume air per hari yang tersedia di pantai tertinggi terjadi pada bulan Mei (Vt) sebesar ,49 m 3, dan terendah terjadi pada bulan Januari (Vt) yaitu ,37 m 3. Kuantifikasi volume air yang tersedia di pesisir pantai untuk pengembangan budidaya tambak, ditentukan berdasarkan hasil pengamatan karakteristik perairan pantai Kabupaten Sinjai (Tabel 32). Tabel 32 Karakteristik perairan pantai Kabupaten Sinjai No Parameter Nilai 1 Panjang garis pantai (m) Rara-rata kemiringan dasar pantai ( o ) 8,17 3 Sudut pantai (Tg. θ) 0,145 4 Jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi pengambilan air laut (water intake) untuk keperluan tambak (m) 791,88 5 Kisaran pasang surut (m) 1,26 6 Volume air yang tersedia di pantai (Vo) (m 3 ) ,17 7 Frekuensi pasang surut (kali hr -1 ) 2 8 Rata-rata kecepatan arus pasang (m dt -1 ) 0,312 9 Volume air laut yang masuk ke pantai ketika pasang (Vt) (m 3 hr -1 ) ,33 10 Rata-rata debit air sungai (m 3 hr -1 ) ,84 11 Total rata-rata volume air yang tersedia di pantai untuk tambak per hari (m 3 hr -1 ) ,17 Sumber : Hasil analisis, Kebutuhan Air untuk Budidaya Udang dan Badeng Kebutuhan air untuk tambak bersumber dari : (1) air tawar dari sungai dan (2) air asin dari laut, sehingga perlu perhitungan penggunaan air tawar dan air asing untuk menentukan salinitas yang optimal bagi budidaya tambak udang.. Kebutuhan air laut dan air tawar untuk budidaya udang berbeda dengan budidaya bandeng. Salinitas optimal untuk pertumbuhan udang sekitar 20 ppt, dan bandeng sekitar 28 ppt. Kebutuhan air laut dan air tawar untuk menentukan salinitas yang optimal pada budidaya udang dan bandeng dapat hitung dengan asumsi volume air di tambak sebesar 7.204,29 m 3 ha -1, salinitas air laut 29 ppt, dan salinitas air tawar 0 ppm, maka digunakan rumus pengenceran berikut :

121 99 X Y = K (X Y) 0,0029 X 0,000 Y = K (X Y) Y = 7.204,29 X 0,0029 X 0,000 (7.204,29 X) = K (X (7.204,29 X) X = (7.204,29 x K) / 0,0029 Sehingga Y = 7.204,29 X Y = 7.204,29 (1 K/29) dimana : X = volume air laut (air asin) ; Y = volume air sungai (air tawar); K = salinitas rencana Kebutuhan Budidaya Udang. Hasil perhitungan kebutuhan air tawar dan air laut agar rata-rata salinitas air sebesar 20 ppt, dibutuhkan volume air tawar sebesar 2.235,81 m 3 ha -1 dan volume air laut sebesar m 3 ha -1. Potensi air tawar yang tersedian untuk budidaya tambak udang sebesar ,84 m 3 hr -1. Berdasarkan ketersediaan air tawar, maka luas lahan yang layan untuk budidaya udang intensif sekitar 669,41 ha. Menurut (Widigdo dan Soewardi 1999), volume air yang dibutuhkan pergantian air dengan asumsi mulai dari bulan pertama rata-rata pergantian air sebesar 5 % per hari. Selanjutnya pergantian air pada bulan ke 2 dan ke 3 sebesar 10% per hari dan pada bulan ke-4 sebesar 15% per hari. Perhitungan keseimbangan air untuk beberapa alternatif pola tanam, yang disesuaikan dengan kondisi daerah penelitian (Lampiran 26). Budidaya Bandeng. Kebutuhan air tawar dan air laut untuk budidaya bandeng dengan salinitas air sekitar 28 ppm, dibutuhkan volume air tawar sebesar 248,43 m3 ha -1 dan air laut sebesar 6.955,86 m 3 ha -1. Hasil perhitungan ini sebagai dasar penentuan pola tanam budidaya udang dan bandeng (Lampiran 27). Debit air maksimum terjadi pada waktu pengisian tambak, untuk itu volume tambak harus terisi selama 5 (lima) hari. Perhitungan debit untuk pengisian tambak adalah sebagai berikut : Volume caren = 0,30 x (1,00 1,60) x 0,50 x 4 x 99,50 = 155,20 m 3 Luas Pelataran = ( ,70)/2 x ( ,70)/2 = ,12 m 3 Volume Pelataran = 0,70 x ,12 = 7.049,09 m 3 Volume tambak = 155, ,09 = 7.204,29 m 3 ha -1, terpenuhi selama 5 hari pengisian = 1.440,86 m 3 ha -1 hr -1 = 144,09 mm hr -1 Maka kebutuhan air untuk budidaya tambak sebagai berikut :

122 100 Q = (volume P Eo max) R80 = (144,09 3 3,93) 2,15 = 148,87 mm hr -1 = lt S -1 ha -1 = 37,59 m 3 dt -1 ha -1 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dengan asumsi dalam 1 hari terjadi dua kali pasang surut dengan waktu pengisian tambak sekitar 11 jam hr -1 sama dengan detik. Jika pengisian air tambak dibutuhkan 5 hari sebagai berikut: Luas tambak yang dapat dialiri = 37,59 m 3 dt -1 ha -1 x dt = ( ,2 m 3 hr -1 ) / (1.440,86 m 3 ha -1 hr -1 ) = 1.033,16 ha maka luas lahan tambak yang layak diusahakan berdasarkan kebutuhan air seluas 1.033,16 ha. Hasil perhitungan di atas, dapat ditentukan luas lahan budidaya tambak udang yang dapat di usahakan (Lampiran 28). Estimasi Daya Dukung Lingkungan untuk Budidaya Tambak Estimasi daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak ditentukan dengan beberapa pendekatan, yaitu : (1) volume air penerima limbah sebesar kali lipat dari volume limbah yang dibuang ke pantai; (2) kapasitas ketersedian oksigen terlarut dalam perairan untuk menguraikan beban limbah organik dan (3) kapasitas asimilasi perairan terhadap limbah N dan P. Daya Dukung Berdasarkan Volume Air Laut Penerima Limbah Hasil perhitungan volume air yang tersedia di pantai untuk budidaya tambak per hari sebesar ,17 m 3 hr -1, disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Perhitungan luas tambak berdasarkan volume air di pantai dengan volume limbah Volume air laut masuk ke pantai (m 3 hr -1 ) Rataan debit sungai (m 3 hr -1 ) Total volume air di pantai (m3 hr -1 ) Valume air tambak (m 3 ) Limbah tambak (m 3 ) Luas tambak intensif (ha) ,34 Hasil perhitungan di atas, sebagai dasar penentuan luas lahan budidaya tambak intensif agar tetap lestari, jika seluruh lahan budidaya tambak yang ada dimanfaatkan untuk budidaya udang intensif dengan asumsi kemampuan produksi udang adalah 4 ton ha -1 MT -1, maka daya dukung perairan untuk mendukung usaha budidaya tambak intensif seluas 689,34 ha. Kemudian jika seluruh lahan

123 101 budidaya tambak yang ada dimanfaatkan untuk budidaya semi-intensif dengan asumsi kemampuan produksi udang adalah 2 ton ha -1 MT -1, maka daya dukung perairan untuk mendukung usaha budidaya semi-intensif seluas 1.378,68 ha. Selanjutnya jika seluruh lahan tambak dimanfaatkan untuk budidaya tradisional plus dengan asumsi produksi udang 700 kg ha -1 MT -1, maka luas lahan budidaya tambak tradisional yang didukung seluas 3.939,09 ha (Tabel 34). Tabel 34 Daya dukung lingkungan untuk mendukung usaha budidaya intensif, semi-intensif dan tradisional plus Intensif (4 ton ha -1 MT -1 ) Semi-Intensif (2 ton ha -1 MT -1 ) Tradisional Plus (700 kg ha -1 MT -1 ) Luas tambak (ha) 689, , ,09 Daya Dukung Perairan berdasarkan Ketersediaan Oksigen Terlarut Penentuan daya dukung perairan berdasarkan kandungan oksigen terlarut dalam badan air, dihitung dengan memodifikasi formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968 diacu dalam Meade, 1989), dan Boyd (1990). Hasil penelitian Widigdo (2000), dan Wedemeyer (1996) menyimpulkan bahwa kadar minimum yang dikehendaki untuk budidaya adalah 3 mg lt -1 (O out.). Sedangkan hasil pengamatan diperoleh rata-rata oksigen terlarut dalam perairan pantai (O in.) yang diamati selama 26 jam dengan selang waktu 1 jam, sebesar 6,59 mg lt -1. Hasil pengamatan di atas, dapat dihitung selisi antara oksigen terlarut yang ada di dalam (O in. ) dan di luar (O out. ) sebesar 3,59 mg lt -1. Jika rata-rata volume air yang tersedia perhari (Vt) sebesar ,17 m 3 hr -1, maka kapasitas oksigen yang tersedia dalam perairan sebesar ,17 kg O 2. Untuk menguraikan 1 kg limbah organik pakan dibutuhkan oksigen sebesar 0,2 kg (Willoughby, 1968 diacu dalam Meade, 1989), maka diperoleh daya dukung perairan Sinjai dalam menguraikan limbah organik sebesar ,87 kg. Dengan mengacu pada hasil penelitian Rustam (2005), bahwa budidaya udang intensif dengan luas petak m 2, padat tebar 30 ekor m -2, masa pemeliharaan 120 hari mampu memproduksi udang sebesar kg dengan nilai FCR 1,77. Untuk budidaya semi-intensif seluas petak m 2, dengan padat tebar 20 ekor m -2 untuk masa pemeliharaan 124 hari mampu memproduksi udang sekitar kg dengan nilai FCR 1,31. Sedangkan untuk budidaya tradisional

124 102 plus diacuh dari hasil penelitian Boer (2001) dengan luas rata-rata m 3, padat penebaran 3 ekor m -2 dengan masa pemeliharaan 130 hari mempu memproduksi udang sekitar 378 kg. Hasil penelitian ini menjadi dasar dalam penentuan daya dukung lingkungan untuk kegiatan budidaya tambak (Tabel 35). Tabel 35 Kegiatan budidaya udang berdasarkan tingkat teknologi di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Parameter Tingkat Teknologi Budidaya Intensif 1 ) Semi Intensif 1 ) Tradisional Plus 2 ) Luas petak (m 2 ) Padat penebaran (ekor m -2 ) Masa pemeliharaan (hari) Jumlah pakan (kg) Kelangsungan hidup (%) Produksi (kg) Food Convrsion Rate (FCR) 1,77 1,31 - Penggantian ait tambak 5% (1), 10% (2, 3) 3,3% (1), 5% (2), (bulan) dan 15% (4) 10% (3 dan 4) Pasang surut Sumber : 1 ) Rustam 2005, dan 2 ) Boer, 2001 Berdasarkan analisis diperoleh jumlah limbah yang terbuang ke perairan pesisir Sinjai per satuan luas (ha) tambak selama satu musim tanam sebesar kg TSS ha -1 dari tambak intensif, 1.145,9 kg TSS ha -1 dari tambak semi-intensif dan 350 kg TSS ha -1 dari tambak tradisional plus. Sementara daya dukung perairan Sinjai menguraikan limbah organik sebesar ,87 kg TSS, maka maksimum pemanfaatan lahan budidaya tambak yang diperbolehkan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan perairan adalah sebadai berikut (Tabel 36) : Tabel 36 Daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas mengasimilasi limbah budidaya tambak Teknologi Jumlah buangan limbah organik (kg ha -1 ) Luas tambak yang didukung (ha) Daya dukung produksi (ton MT -1 ) Daya dukung lingkungan mengasimilasi limbah (kg MT -1 ) Intensif 2.100,0 245,51 829, ,87 Semi Intensif 1.145,9 449,93 899, ,87 Tradisional Plus 350, , , ,87 1. Jika seluruh lahan tambak dikembangkan untuk budidaya intensif dengan produksi maksimum 3,38 ton ha -1 MT -1, maka luas lahan tambak yang diberbolehkan agar tidak melampaui daya dukung seluas 245,51 ha.

125 Jika seluruh lahan tambak dikembangkan untuk budidaya semi-intensif dengan produksi maksimum 2,0 ton ha -1 MT -1, maka luas lahan tambak yang diberbolehkan agar tidak melampaui daya dukung seluas 449,93 ha. 3. Jika seluruh lahan tambak dikembangkan untuk budidaya tradisional plus dengan produksi maksimum 0,7 ton ha -1 MT -1, maka luas lahan tambak tradisional yang diberbolehkan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan seluas 1.473,06 ha Hasil analisis menunjukkan daya dukung perairan mengasimilasi limbah organik sebesar ,87 kg MT -1, dengan batasan daya dukung produksi udang sebesar 829,79 ton MT -1 untuk budidaya intensif. Daya dukung produksi udang untuk budidaya semi-intensif sebesar 899,86 ton MT -1 dan 1.031,14 ton MT -1 untuk teknologi budidaya tradisional. Daya Dukung Perairan berdasarkan Kapasitas Asimilasi. Daya dukung lingkungan berdasarkan kapasistas asimilasi untuk budidaya yang diperkenankan untuk nitrogen adalah 1,0 mg lr -1 dan fospor 0,5 mg lt -1 (Poernomo, 1992; Boyd, 1990; dan Widigdo, 2000). Parameter penunjang dalam penentuan kapasitas asimilasi (Tabel 37). Tabel 37 Parameter dalam penentuan kapasitas asimilasi perairan pesisir Parameter Nilai Keterangan Tolat N yang diterima (mg lt -1 ) 1,0 Poernomo, 1992; MENKLH, 1995; Boyd, 1990; dan Widigdo, 2000 Total N dalam perairan (mg lt -1 ) 0,376 Hasil pengamatan Total N yang ditolerir (mg lt -1 ) 0,72 - Total N dari Budidaya (ton) 3,40 Boyd (1999) Total N dari Non budidaya (ton) 2,26 Diego-McGlone (2001, su.se/mnode/methods/powerpoint/ppt.htm Total P yang diterima (mg lt -1 ) 0,50 Poernomo, 1992; MENKLH, 1995; Boyd, 1990; dan Widigdo, 2000 Total P dalam perairan (mg lt -1 ) 0,152 Hasil Pengamatan Total P yang ditolerir (mg lt -1 ) 0,405 Widigdo (2001) Total P dari Budidaya (ton) 0,580 Boyd (1999) Total P dari Non budidaya (ton) 0,490 Diego-McGlone (2001, su.se/mnode/methods/powerpoint/ppt.htm Total limbah N dan P dihitung dengan menjumlahkan berbagai sumber percemar, yaitu : (1) insitu sebesar 25,36 ton N dan 10,25 ton P; (2) kegiatan ekonomi lahan atas (non budidaya tambak) sebesar 2,26 ton N dan 0,58 ton P; (3)

126 104 limbah dari kegiatan budidaya tambak sebesar 3,40 ton N dan 0,58 ton P. Sehingga diperoleh total limbah N dan P di perairan pantai Sinjai sebesar 31,02 ton N dan 11,32 ton P. Berdasarkan hasil perhitungan volume air yang tersedia di pantai sebesar ,17 m3, maka konsentrasi limbah N di perairan sebesar 0,450 mg lr -1 dan konsentrasi limbah P sebesar 0,1678 mg lr -1 (Tabel 38). Konsentrasi limbah N dan P pada Tabel 54, dapat ditentukan kapasitas asimilasi perairan pantai Sinjai dalam menguraikan limbah N sebesar 68,93 ton dan mampu mendukung produksi udang sebesar ton, sedangkan kapasitas asimilasi perairan untuk limbah P sebesar 34,47 ton dan mampu mendukung produksi udang sebesar ton. Tabel 38 Konsentrasi N dan P di perairan pantai Sinjai pada kondisi daya dukung lingkungan Limbah Insitu (ton) Non budidaya (lahan atas) (ton) Budidaya tambak (ton) Total limbah (ton) Volume air di pantai (m 3 ) Konsentrasi limbah (mg lr -1 ) N 25,36 2,26 3,40 31,02 68,934,266,17 0,4599 P 10,25 0,49 0,58 11,32 68,934,266,17 0,1678 Berdasarkan perhitungan kapasitas asimilasi perairan dari beban limbah N dan P menunjukkan bahwa daya dukung perairan pantai Kabupaten Sinjai masih dalam kondisi daya dukung lingkungan, artinya kapasitas produksi udang berdasarkan daya dukung asimilasi limbah N masih perlu ditingkatkan produksi udang sebesar ton, sedangkan daya dukung asimilasi limbah P masih layak ditingkatkan sebesar ton (Tabel 39). Tabel 39 Pendugaan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kabupaten Sinjai Limbah Konsentrasi limbah yang direkomendasikan (mg lt -1 ) Kapasitas asimilasi (ton) Kapasitas produksi berdasar kemampuan asimilasi (ton) Beban limbah (ton) Kapasitas produksi setelah ada limbah (ton) Kapasitas produksi yang diperkenankan (ton) N 1,0 68, *) 31, P 0,5 34, *) 11, Keterangan *) Produksi 1000 kg udang menghasilkan limbah N 21,0 kg dan P 3,6 kg (Boyd, 1999). Dari ketiga metode pendekatan estimasi daya dukung lingkungan di atas, dapat disimpulkan bahwa limbah organik dari berbagai kegiatan di kawasan pesisir termasuk budidaya tambak telah ditampung oleh badan air yang berfungsi

127 105 sebagai reservasi dalam jumlah yang cukup besar agar proses degradasi limbah dapat terjamin dan proses pencemaran lingkungan dapat teratasi. Oleh karena itu, daya dukung lingkungan berdasarkan kemampuan asimilasi beban limbah organik budidaya tambak yang dibuang ke perairan pantai berdasarkan pada tingkat teknologi budidaya intensif, semi-intensif, dan tradisional plus. Penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan umumnya disebabkan dari 35% dari pakan yang diberikan menjadi limbah organik dalam bentuk TSS yang dijadikan sebagai dasar pendekatan daya dukung lingkungan yang paling tepat digunakan dalam pengembangan budidaya tambak di lokasi studi. Berdasarkan karakteristik perairan pantai Sinjai yang berbentuk teluk, topografi dasar pantai tergolong landai, dengan substrat dasar berlumpur, dengan karakteristik pantai seperti memiliki kemampuan asimilasi perairannya tergolong rendah, maka model pendekatan yang paling sesuai/cocok untuk kondisi pesisir Pantai Sinjai adalah pendekatan daya dukung lingkungan berdasarkan kemampuan asimilasi beban limbah organik budidaya tambak. Hasil perhitungan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas produksi udang untuk mengasimilasi beban limbah organik sebesar ,87 kg, dengan daya dukung produksi udang optimal sebesar 829,79 ton MT -1 untuk teknologi budidaya udang intensif seluas 245,51 ha. Daya dukung produksi udang untuk budidaya udang semi-intensif sebesar 880,08 ton MT -1 dengan luas lahan 449,93 ha, untuk budidaya tradisional plus seluas 1.473,06 ha dengan daya dukung produksi udang sebesar 1.031,14 ton MT -1. Kombinasi Teknologi Budidaya Berdasarkan Daya Dukung Luas tambak eksisting di Kabupaten Sinjai belum dimanfaatkan secara optimal, maka perlu simulasi berbagai kombinasi teknologi budidaya tambak seperti dikonversi sebagian lahan budidaya tradisional menjadi semi-intensif dan intensif, berdasarkan kesesuaian lahan budidaya tambak dan daya dukung maksimum, disajikan pada Tabel 40. Kombinasi teknologi budidaya tambak berdasarkan kapasitas lingkungan untuk mendukung produksi udang yang masih diperbolehkan berbeda-beda berdasarkan tingkat teknologi budidaya, yaitu (1) daya dukung produksi untuk budidaya tradisional sebesar 1.031,14 ton MT -1 ; (2) daya dukung produksi untuk

128 106 budidaya semi-intensif sebesar 899,86 ton MT -1 produksi untuk budidaya intensif sebesar 829,8 ton MT -1. Tabel 40 pada, dan (3) daya dukung Luas tambak dan produksi udang pada berbagai kombinasi dalam batas daya dukung produksi maksimum. Tambak Tradisional Plus Tambak Semi Intensif Tambak Intensif Luas Total Daya dukung Total Limbah Persentase Luas (ha) Persentase Luas (ha) Persentase Luas (ha) Tambak (ha) Produksi (ton th -1 ) Organik (kg MT -1 ) 100% 1.473,06 0% - 0% , , ,00 0% - 100% 449,93 0% - 449,93 899, ,79 0% - 0% - 100% 245,51 245,51 829, ,00 90% 1.325,75 5% 22,50 5% 12, , , ,19 80% 1.178,45 10% 44,99 10% 24, ,99 997, ,38 70% 1.031,14 20% 89,99 10% 24, ,68 984, ,76 60% 883,84 25% 112,48 15% 36, ,15 968, ,95 50% 736,53 25% 112,48 25% 61,38 910,39 947, ,95 40% 589,22 30% 134,98 30% 73,65 797,86 931, ,14 30% 441,92 35% 157,48 35% 85,93 685,32 914, ,33 20% 294,61 40% 179,97 40% 98,20 572,79 898, ,51 10% 147,31 45% 202,47 45% 110,48 460,25 881, ,70 5% 73,65 45% 202,47 50% 22,76 398,88 871, ,70 0% - 50% 224,97 50% 122,76 347,72 864, ,89 0% - 47% 211,47 53% 130,12 341,59 862, ,78 Hasil kombinasi dari ketiga teknologi budidaya menunjukkan untuk teknologi budidaya tambak tradisional dengan luas maksimal ha dengan rata-rata produksi 0,7 ton MT -1 akan menghasilkan biomassa udang sebesar ton MT -1 ; kemudian untuk tambak semi-intensif dengan luas maksimum 449,93 ha dengan rata-rata produksi 2 ton MT -1 menghasilkan biomassa udang sebesar 899,86. Sedangkan tambak intensif dengan luas 245,51 ha denga rata-rata produksi 3,38 ton MT -1 akan menghasilkan 829,82 ton MT -1. Pemanfaatan lahan budidaya dengan kombinasi teknologi budidaya tambah berdasarkan daya dukung lingkungan untuk mengasimilasi buangan limbah organik (TSS). Hasil perhitungan dari ketiga teknologi budidaya udang diperoleh kombinasi yang optimal dan masih dalam batasan daya dukung lingkungan adalah 50% usaha budidaya tradisional dengan luas 736,53 ha; kemudian 25% untuk teknologi budidaya semi-intensif dengan luas lahan 112,48 ha; dan 25% budidaya intensif dengan luas lahan 61,38 ha.

129 107 Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pesisir Optimalisasi pemanfaatan kawasan pesisir Sinjai untuk pengembangan budidaya tambak digunakan Linear Goal Programming (LGP) dengan menggunakan LINDO. Program ini bertujuan untuk mengalokasikan pemanfaan lahan pesisir secara optimal dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial untuk pengembangan budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif. Kajian yang harus diperhatikan dalam penelitian ini adalah : (1) luas lahan maksimum untuk budidaya tambak berdasarkan daya dukung, (2) produksi udang maksimum berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan, (3) potensi air yang tersedia, (4) kemampuan penyerapan tenaga kerja, (5) peningkatan nilai produksi dari pemanfaatan lahan budidaya tambak, dan (6) peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Luas lahan maksimal, tenaga kerja, nilai produksi dan kebutuhan air untuk budidaya, (Tabel 41). Tabel 41 Teknologi Budidaya Luas lahan budidaya tambak, jumlah tenaga kerja dan kebutuhan air masing-masing teknologi Luas tambak lestari (ha) Tenaga Kerja (HOK Org -1 th -1 ) Nilai produksi (Rp ha -1 th -1 ) Volume Air (m 3 ) Kebutuhan penggantian air (m 3 hr -1 ) Tradisional 1.473, Semi-Intensif 449, Intensif 245, Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan dan RENSTRA Kabupaten Sinjai, telah ditargetkan produksi per hektar per tahun, kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan air dan daya dukung lingkungan (Tabel 42). Tabel 42 Kebutuhan tenaga kerja (TK), produksi, harga dan kebutuhan air Jenis Komoditas TK Produksi Harga Kebutuhan air (HOK ha -1 th -1 ) (ton ha -1 th -1 ) (Rp kg -1 ) (m 3 ha -1 ) Udang Bandeng R. Laut Target pemanfaatan lahan pesisir Sinjai adalah sebagai berikut : 1. Batas daya dukung lingkungan berdasarkan kemampuan asimilasi limbah organik sekitar kg 2. Target jumlah TK yang diserap untuk budidaya tambak sekitar HOK th -1.

130 Target produksi budidaya udang per tahun sekitar ton 4. Target produksi bandeng per tahun sekitar 5.298,8 ton. 5. Luas lahan budidaya yang sesuai untuk budidaya tambak sekitar ha. 6. Total volume air yang tersedia di pesisir pantai untuk ketiga teknologi budidaya tambak sekitar 68,934, m Target nilai produksi budidaya tambak sekitar Rp th -1. Permasalahan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah berapa besar luas lahan yang dipemanfaatan untuk budidaya udang dan bandeng pada teknologi tradisional, semi-intensif dan intensif agar pemanfaatan lahan optimal. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan lahan budidaya tambak di Pesisir Sinjai digunakan program LGP, dengan peubah pengambilan keputusan (Tabel 43). Tabel 43 Peubah pengambilan keputusan untuk optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak Komoditas Lahan budidaya tambak Budidaya Tradisional Semi-intensif Intensif Udang X 11 X 12 X 13 Bandeng R. Laut X Sivofishery X 31 Lahan Mangrove MGV. Target yang ditetapkan tidak terdapat peringkat prioritas antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial, maka peubah pengambilan keputusan untuk pengolahan data yaitu, X 11 adalah luas lahan budidaya udang dengan sistem tradisional; X 12 adalah luas lahan budidaya udang dengan sistem semi-intensif; X 13 adalah luas lahan budidaya udang dengan sistem intensif; X 21 adalah luas lahan budidaya bandeng dan rumput laut dengan sistem tradisional; X31 adalah luas lahan budidaya tambak silvofisheries dan sea faming; dan MGV adalah kawasan konservasi hutan mangrove. Untuk menyatakan variabel deviasi (simpangan) yang keterlewatkan disimbolkan dengan (d ) dan variabel ketaktercapaian disimbolkan (d - ) berdasarkan target / tujuan / sasaran. Tujuan optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir di Kabupaten Sinjai berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial dengan peningkatkan usaha budidaya dari teknologi budidaya tradisional menjadi budidaya semi-intensif dan intensif dengan input teknologi yang sesuai dan memperhatikan beberapa asumsi

131 109 seperti : kelayakan lahan budidaya semi-intensif dan intensif yang sesuai dengan peruntukan lahan budidaya tambak serta daya dukung lingkungan. a. Perumusan Fungsi Tujuan. Fungsi tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini adalah meminimumkan simpangan atau deviasi (d) dari masing-masing target, dengan fungsi tujuan sebagai berikut : Min. Z = d 1 d 2 - d 2 d 3 - d 3 d 4 - d 4 d 5 - d 5 d 6 - d 7 - d 8 - d 9 d 10 d 11 d 12 d 13 d 14 d 15 d 16 d 17 d 18 - d 19 - d 20 - b. Perumusan Fungsi Kendala Tujuan. Fungsi kendala tujuan dari masingmasing target adalah sebagai berikut. 1. Target daya dukung lingkungan berdasarkan asimilasi limbah organik Hasil perhitungan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas produksi udang untuk mengasimilasi beban limbah organik sebesar ,87 kg, dengan daya dukung produksi udang optimal sebesar 829,79 ton MT -1 untuk teknologi budidaya udang intensif seluas 245,51 ha. Daya dukung produksi udang untuk budidaya udang semi-intensif sebesar 880,08 ton MT -1 dengan luas lahan 449,93 ha, untuk budidaya tradisional plus seluas 1.473,06 ha dengan daya dukung produksi udang sebesar 1.031,14 ton MT -1, maka persamaan kendala tujuan daya dukung lingkungan adalah sebagai berikut : X ,93 X ,51 X X 21 - d 1 = kg 2. Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja Untuk mengalokasikan tenaga kerja (TK) di Kabupaten Sinjai, diperlukan data jumlah petani tambak di Kabupaten Sinjai. Dari data Dinas Perikanan dan kelautan Kabupaten Sinjai, bahwa jumlah TK yang diserap sebesar orang, maka jumlah HOK yang ditargetkan adalah : (3.100 org x 8 jam HOK -1 x 30 hr x 4 bl MT -1 x 2 kali MT) = HOK. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diperoleh bahwa untuk budidaya intensif rata-rata dibutuhkan 4 (empat) orang TK ha -1, budidaya semiintensif rata-rata dibutuhkan 2 (dua) orang TK ha -1, dan budidaya tradisional plus dibutuhkan 1 (satu) orang TK ha -1, maka persamaan kendala tujuan kebutuhan TK adalah sebagai berikut : X X X X 21 d d 2 =

132 Memaksimumkan produksi udang. Hasil analisis usaha budidaya udang diperoleh rata-rata produksi tambak udang tradisional sebesar 0,4 ton ha -1 MT -1 sama dengan 0,8 ton ha -1 th -1 (X 11 ); budidaya udang semi-intensif 2 ton ha -1 MT -1 atau 4 ton ha -1 th -1 (X 31 ); dan teknologi budidaya tambak intensif sebesar 4 ton ha -1 MT -1 atau 8 ton ha -1 th -1, maka daya dukung produksi udang sebesar ton MT -1. Persamaan kendala tujuan produksi udang sebagai berikut : 0,8 X 11 4X 12 8 X 13 - d 3 = Memaksimumkan produksi bandeng. Hasil analisis usaha budidaya tambak diperoleh rata-rata produksi bandeng sebesar 1 ton ha -1 MT -1 atau sama dengan 2 ton ha -1 th -1 (X 21 ). Jika target produksi ditingkatkan sebesar 2,5 ton ha -1 th -1, luas lahan yang sesuai untuk budidaya tradisional seluruhnya dikembangkan untuk usaha budidaya bandeng seluas 417,22 ha, maka jumlah produksi yang ditargetkan sebesar 1.043,05 ton Persamaan kendala tujuan memaksimumkan produksi bandeng adalah : 2,5 X 21 - d 4 = 1.043,05 5. Meminimumkan kebutuhan air untuk budidaya tambak. Hasil perhitungan diperoleh volume air tambak untuk budidaya tradisional 7,204 m 3 ha -1 ; jika pergantian air tambak harian 3%, kebutuhan air sebanyak m 3 ha -1 hr -1 ; kemudian volume air tambak untuk budidaya udang semi-intensif m 3 ha -1 ; jika pergantian air tambak harian 10% dibutuhkan air sebanyak m3 ha -1 hr -1 ; selanjunya volume air tambak untuk budidaya intensif m 3 ha -1 ; jika pergantian air tambak harian 15% hr -1 dibutuhkan air sebanyak m 3 ha -1 hr -1. Persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : 216,12X X X ,12 X 21 d - 5 = ,17 6. Memaksimumkan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD). Jika pemerintah menargetkan produksi tambak sebesar 3.709,16 ton ha -1 th -1 sebagai acuan optimalisasi, dengan target nilai produksi di lokasi studi sebesar Rp Jika retribusi untuk pendapatan daerah sebesar 2,5% dari nilai produksi, maka ditargetkan PAD sebesar

133 111 Rp Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan diketahui bahwa rata-rata produksi budidaya intensif (X 13 ) sebesar 6 ton ha -1 th -1 dengan harga udang Rp kg -1, berarti nilai produksi budidaya intensif sebesar Rp ha -1 th -1 ; untuk teknologi budidaya semi-intensif (X 12 ) produksi 2,8 ton th -1 dengan nilai produksi sebesar Rp ha -1 th -1 dan budidaya tradisional (X 11 ) produksi 0,8 ton th -1 dengan nilai produksi Rp ha -1 MT -1. Persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : 2,5 % x ( X X X X 21 ) d 6 = Target pemenuhan kawasan konservasi mangrove Berdasarkan analisis kesesuaian peruntukan lahan diperoleh 1.619,86 ha lahan yang sesuai untuk pengembnagan budidaya tambak dan konservasi, dalam konsep pengembangan wilayah pesisir yang lestari, maka diperuntukan 20% (323,97 ha) untuk zona preservasi termasuk green belt; 30% (485,95 ha) untuk zona konservasi; dan 50% (809,93 ha) untuk pemanfaatan intensif. Sehingga persamaan kendala tujuannya adalah : 1,2 MGV - d 7 = 809,93 8. Memaksimumkan penyerapan TK masing-masing teknologi budidaya. Persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : X X 21 d 8 = X 12 d 9 = X 13 d - 10 = Meminimumkan penggunaan lahan pada masing-masing teknologi budidaya tambak. Persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : X 11 X 21 d X 12 d X 13 d Daya dukung lahan berdasarkan teknologi budidaya. Persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : X 11 X 21 d ,06 X 12 d ,93

134 112 X13 d , Meminimumkan kebutuhan air pada masing-masing teknologi budidaya Persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : X 11 X 21 d X 12 d X 13 d Nilai produksi (Rp) pada masing-masing teknologi budidaya. Persamaan kendala tujuan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : X 11 X 21 d X 12 d X 13 d Kendala rill daerah penelitian Persamaan kendala rill daerah penelitian dinyatakan dengan persamaan serikut ini : X11 X12 X13 X21 L mgv. = 1.619,86 Hasil analisis tersebut menunjukkan hampir semua fungsi kendala tujuan dari masing-masing target yang diinginkan tercapai atau pemanfaatan lahan untuk pengembangan budidaya tambak di Sinjai tergolong optimal. Hal ini ditunjukkan dari nilai dari masing-masing variabel deviasional (d atau d - ) umumnya nilainya sama dengan nol, artinya peubah fungsi kendala tujuan dalam kondisi optimal atau sesuai dengan target yang ditetapkan. Alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak saat ini di lokasi studi seluas ha, yang terdiri dari lahan yang diusahakan untuk teknologi budidaya tradisional seluas 769 ha, dan untuk teknologi semi-intensif 264 ha. Hasil analisis daya dukung lingkungan berdasarkan kemampuan asimilasi limbah organik, maka luas budidaya tambak yang diperbolehkan berdasarkan daya dukung lingkungan di Kabupaten Sinjai jika seluruh kawasan tambak yang dikembangkan untuk budidaya tradisional seluas 1.470,06 ha; akan tetapi jika kebijakan peruntukan lahan semuanya untuk teknologi budidaya semi-intensi sebesar 449,93 ha; dan kalau seluruh lahan dikembangkan untuk tambak budidaya intensif, maka luas budidaya tambak yang diperbolehkan 245,51 ha.

135 113 Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Ekologi Sebagai Prioritas Utama (P1) Target yang ditetapkan menetukan peringkat prioritas, yaitu aspek ekologi yang menjadi prioritas I, ekonomi prioritas II dan sosial prioritas III, peubah pengambilan keputusan untuk pengolahan data yaitu, X 11 adalah luas lahan budidaya udang dengan sistem tradisional; X 12 adalah luas lahan budidaya udang dengan sistem semi-intensif; X 13 adalah luas lahan budidaya udang dengan sistem intensif; X 21 adalah luas lahan budidaya bandeng dengan sistem tradisional; X31 adalah luas lahan budidaya tambak silvofishery dan sea faming; dan L mgv adalah kawasan konservasi hutan mangrove. Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak Kabupaten Sinjai dengan peringkat prioritas (ekologi, ekonomi dan sosial) diperoleh alokasi lahan sebagai berikut : luas tambak tradisional plus untuk budidaya udang (X 11 ) yang optimal seluas 525,85 ha; luas tambak semi-intensif untuk budidaya udang (X 12 ) yang optimal seluas 350,08 ha; luas tambak intensif untuk budidaya udang (X 13 ) yang optimal seluas 117 ha; sedangkan luas tambak untuk budidaya (bandeng Rumput Laut) (X 21 ) yang optimal seluas 155 ha; dan luas budidaya tambak dengan model silvofishery dan sea faming (X 22 ) yang optimal seluas 99,85 ha. Kemudian luas kawasan untuk konservasi hutan mangrove yang optimal seluas 471,77 ha (Gambar 30 dan Lampiran 29) Luas lahan (ha) X11 X12 X13 X21 X22 MGV Gambar 30 Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan luas yang optimal dimanfaatkan untuk lahan tambak sebesar 1.247,7 ha, sementara lahan tambak eksisting seluas

136 ha mesih lebih kecil dari luas lahan optimal. Agar pemanfaatan lahan tambak di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai mencapai optimal, maka perlu dilakukan penambahan luas lahan tambak sebesar 214,7 ha. Analisis Sensitivitas. Analisis sensitivitas ini merupakan analisis setelah nilai optimalnya diketahui. Pada prinsifnya, analisis ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu : (1) analisis sensitivitas fungsi tujuan dan (2) analisis sensitivitas parameter ruas kanan (right hand side/rhs). Pertama, analisis sensitivitas parameter fungsi tujuan memberikan informasi tentang parameter/koefisien fungsi tujuan yang boleh berubah tanpa mempengaruhi nilai optimal variabel keputusan. Fungsi tujuan dalam LGP adalah meminimumkan variabel deviasional yang terdapat dalam fungsi kendala tujuan. Hasil analisis sensitivitas model optimalisasi pemanfaatan kawasan budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama (P1), ekonomi(p2), dan sosial (P3) (Lampiran 30). Koefisien untuk variabel tujuan produksi ikan bandeng dapat bertambah satuan dan berkurang hingga ,13 satuan dengan tanpa merubah nilai variabel tujuan tersebut, kemudia variabel tujuan penyerapan tenaga kerja boleh berkurang hingga 186,81 satuan dengan tanpa merubah nilai variabel tujuan tersebut. Variabel tujuan yang lain, penambahan dan pengurangan yang diperbolehkan dinyatakan pada kolom allowable increase dan allowable decrease. Kedua, analisis sensitivitas parameter ruas kanan (RHS) memberikan informasi tentang nilai RHS yang boleh berubah tanpa perubahan nilai dual pricenya. Nilai dual price merupakan nilai yang menunjukkan perubahan yang akan terjadi pada nilai fungsi tujuan bila nilai RHS berubah satu satuan. Nilai RHS yang boleh ditambahkan dan dikurangi ditunjukkan pada kolom Allwable Increase dan Allowable Decrease. Hasil analisis sensitivitas parameter ruas kanan (RHS) menunjukkan bahwa fungsi kendala daya dukung limbah tambak (K1) masih diperbolehkan ditingkatkan hingga tak terhingga dan diturunkan sebesar satuan tanpa merubah nilai dual price, selanjutnya fungsi kendala produksi udang (K2) masih diperbolehkan dinaikkan hingga tak terhingga dan diturunkan sebesar 496,48 tanpa merubah nilai dual pricenya, sementara kendala tujuan produksi

137 115 bandeng (K3) masih diperbolehkan dinaikkan hingga 523,52 satuan dan diturunkan 255,77 satuan tanpa merubah nilai dual pricenya, Demikian juga halnya dengan fungasi kendala tujuan pemanfaatan lahan budidaya tradisional (K10) masih diperbolehkan dinaikkan hingga 620,59 satuan dan diturunkan 394,96 satuan; untuk budidaya semi-intensif (K11) masih diperbolehkan dinaikkan hingga 120,36 satuan dan diturunkan 124,12 satuan tanpa merubah nilai dual pricenya; dan untuk budidaya intensif (K12) masih diperbolehkan dinaikkan hingga 62,06 satuan dan diturunkan 39,94 satuan. Hal yang sama untuk fungsi kendala daya dukung budidaya tradisional (K13) masih diperbolehkan dinaikkan hingga tak terhingga (infinity) dan diturunkan sebesar 789,96 satuan; untuk daya dukung budidaya semi-intensif (K14) masih diperbolehkan dinaikkan hingga 124,12 satuan dan diturunkan 79,87 satuan tanpa merubah nilai dual pricenya. Variabel fungsi kendala tujuan yang lain, penambahan dan pengurangan yang diperbolehkan dinyatakan pada kolom Allowable Increase dan Allowable Decrease (Lampiran 30). Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak dengan Aspek Sosial Prioritas Utama (P1). Hasil analisis optimalisasi pemanfaan lahan budidaya tambak dengan pertimbangan aspek sosial sebagai prioritas utama (P1), aspek ekonomi (P2) dan ekologi (P3) (Lampiran 31), diperoleh alokasi pemanfaatan lahan yang optimal sebagai berikut : untuk budidaya tambak tradisional plus (X 11 ) yang optimal seluas 426,00 ha; tambak semi-intensif untuk budidaya udang (X 12 ) yang optimal seluas 370,05 ha; tambak intensif untuk budidaya udang (X 13 ) yang optimal seluas 117; sedangkan tambak untuk budidaya polikultur bandeng dan rumput laut (X 21 ) yang optimal seluas 255 ha; dan budidaya tambak model silvofisheries dan sea faming (X 22 ) yang optimal seluas 0,00 ha. Selanjutnya konservasi mangrove yang optimal seluas 451,81 ha (Gambar 31). Analisis sensitivitas. Hasil analisis sensitivitas diperoleh koefisien untuk variabel tujuan penyerapan tenaga kerja dapat bertambah 164,86 satuan dan berkurang hingga 2,00 satuan dengan tanpa merubah nilai variabel tujuan tersebut, kemudian variabel tujuan daya dukung limbah berdasarkan produksi tambak masih dapat ditingkatkan hingga 1.367,96 satuan dan berkurang hingga 2,00

138 116 satuan dengan tanpa merubah nilai variabel tujuan tersebut. Selanjutnya variabel tujuan kebutuhan air untuk budidaya tambak masih dapat ditingkatkan 633,09 satuan dan hanya dikurangi hingga 2,00 satuan dengan tanpa merubah nilai variabel tujuan tersebut. Variabel tujuan yang lain, penambahan dan pengurangan yang diperbolehkan dinyatakan pada kolom Allowable Increase dan Allowable Decrease (Lampiran 32). Luas Lahan (ha) X11 X12 X13 X21 X22 MGV Gambar 31 Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek sosial sebagai prioritas utama. Hasil analisis menunjukkan bahwa fungsi kendala tujuan peningkatan produksi udang (K4) masih boleh ditingkatkan hingga 319,52 satuan dan diturunkan hingga 1.264,76 satuan tanpa merubah nilai dual price, selanjutnya fungsi kendala tujuan pemanfaatan lahan budidaya tradisional (K13) masih boleh ditingkatkan hingga 564,72 satuan dan diturunkan sebesar 395,24 satuan. Selanjutnya untuk luas lahan budidaya semi-intensif (K14) masih boleh dinaikkan hingga 162,22 satuan dan diturunkan 255,00 satuan tanpa merubah nilai dual pricenya, untuk luas lahan budidaya intensif (K15) masih boleh dinaikkan hingga 128,51 satuan dan diturunkan hingga 39,94 satuan, tanpa merubah nilai dual pricenya. Variabel fungsi kendala tujuan yang lain, penambahan dan pengurangan yang diperbolehkan dinyatakan pada kolom Allowable Increase dan Allowable Decrease (Lampiran 32). Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak Ekonomi sebagai Prioritas Utama (P1). dengan Aspek Hasil analisis optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan pertimbangan aspek ekonomi sebagai prioritas utama (P1), aspek sosial (P2) dan

139 117 ekologi (P3), alokasi lahan pemanfaatan lahan untuk budidaya udang tradisional plus (X 11 ) yang optimal seluas 426,00 ha; budidaya tambak udang semi-intensif (X 12 ) yang optimal seluas 449,93 ha; luas budidaya tambak udang intensif (X 13 ) yang optimal 117 ha; sedangkan luas tambak polikultur (bandeng rumput laut) (X 21 ) yang optimal seluas 255 ha. Kemudian luas kawasan konservasi mangrove yang optimal seluas 371,93 ha (Gambar 32 dan Lampiran 33) Luas lahan (ha) X11 X12 X13 X21 X22 MGV 0 Gambar 32 Alokasi pemanfaatan lahan yang optimal untuk budidaya tambak dengan aspek ekonomi sebagai prioritas utama. Analisis Sensitivitas. Hasil analisis sensitivitas diperoleh koefisien untuk variabel tujuan daya dukung limbah berdasarkan produksi tambak dapat ditingkatkan ,37 satuan dan berkurang hingga 2,00 satuan tanpa merubah nilai variabel tujuan tersebut. Selanjutnya variabel tujuan peningkatan produksi udang masih dapat ditingkatkan ,94 satuan dan dikurangi hingga 2,00 satuan tanpa merubah nilai variabel tujuan tersebut. Variabel tujuan yang lain, penambahan dan pengurangan yang diperbolehkan dinyatakan pada kolom Allowable Increase dan Allowable Decrease (Lampiran 34). Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter ruas kanan (RHS) menunjukkan fungsi kendala tujuan memaksimumkan produksi udang (K3) masih boleh dinaikkan hingga 319,52 satuan dan diturunkan sampai tak terhingga tanpa merubah nilai dual price, selanjutnya fungsi kendala tujuan penggunaan luas lahan untuk budidaya tradisional (K13) masih boleh dinaikkan hingga 371,93 satuan dan diturunkan sebesar 399,39 satuan, kemudian untuk budidaya semiintensif (K14) masih boleh dinaikkan hingga 162,22 satuan dan diturunkan 255,00

140 118 satuan tanpa merubah nilai dual pricenya, untuk budidaya intensif (K15) masih boleh dinaikkan hingga 128,51 satuan dan diturunkan hingga 39,94 satuan, tanpa merubah nilai dual pricenya. Kemudian daya dukung lahan untuk budidaya semiintensif (K17) masih boleh dinaikkan hingga 371,93 satuan dan diturunkan hingga 79,88 satuan tanpa merubah nilai dual pricenya. Variabel fungsi kendala tujuan yang lain, penambahan dan pengurangan yang diperbolehkan disajikan pada kolom Allowable Increase dan Allowable Decrease (Lampiran 28). Model Pemanfaatan Lahan Budidaya Tambak Secara Optimal Berdasarkan hasil analisis daya dukung lingkungan, agar pemanfaatan lahan tambak tetap lestari. Jika seluruh lahan dimanfaatkan untuk teknologi budidaya tradisional, maka luas lahan yang diperbolehkan seluas 1.473,06 ha; kemudian jika seluruh lahan budidaya dimanfaatakan untuk semi-intensif, maka luas lahan yang diperboleh 449,93 ha; jika seluruh lahan dimanfaatkan untuk budidaya intensif, maka luas lahan yang diperbolehkan 245,51 ha. Untuk mendapatkan model alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak yang terbaik direkomendasikan dengan pertimbangan kondisi sumberdaya manusia (SDM), pemerataan ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja dan daya dukung lingkungan, maka variabel optimalisasi pemanfaatan lahan dapat menggambarkan suatu model pemanfaatan lahan budidaya yang optimal dan rasional. Ketiga skenario pemanfaatan lahan budidaya tambak di pesisir Sinjai sebagai berikut : SKENARIO - I : Model pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal dengan pertimbangan aspek ekologi sebagai prioritas I > aspek ekonomi prioritas II > sosial prioritas III, dengan perbandingan luas lahan budidaya tambak dan mangrove (1208 ha : 471 ha) (Tabel 44). SKENARIO- II : Model pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal dengan pertimbangan aspek sosial sebagai prioritas I, aspek ekonomi prioritas II dan ekologi prioritas III, dengan perbandingan lahan budidaya tambak dan konservasi mangrove (1.168 ha : 451 ha) (Tabel 45). SKENARIO- III : Model pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal dengan aspek ekonomi sebagai prioritas I, aspek sosial prioritas II dan aspek ekologi prioritas III, dengan perbandingan lahan budidaya tambak dan konservasi mangrove (992 ha : 371,93 ha) (Tabel 46).

141 119 Tabel 44 Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama (P1). Variabel Optimalisasi Luas Pemanfaatan Lahan Budidaya (ha) Polikultur Semi- Tradisional Intensif (banding Intensif Plus (117 ha) R. Laut) (350 ha) (525 ha) 155 Silvofishery 99,89 Total Limbah organik (TSS) (kg) , , ,089 Produksi udang (ton/mt) ,378 Tenaga Kerja (HOK) 449, , , ,800 95,846 1,870,733 Penggantian air (m 3 /hr) 175, , ,645 33,498 21, ,221 Pengisian air tambak (m 3 / 5 hr) 234, ,000 1,051,680 33,498 21,577 2,040,756 Nilai Produksi (Rp/MT) x (000) 21,060,000 31,500,000 9,465,120 1,760,412, 1,914,9 65,700, PAD (Rp/thn) x (000) 526, , ,628 44,010, 47,873 1,642,512 Tabel 45 Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek sosial sebagai prioritas utama (P1). Variabel Optimalisasi Luas Pemanfaatan Lahan Budidaya (ha) Polikultur Semi- Tradisional Intensif (banding Intensif Plus (117 ha) R. Laut) (370 ha) (426 ha) 255 ha Silvofishery 0 ha Total Limbah organik (TSS) (kg) , , ,540 Produksi udang (ton/mt) ,206 Tenaga Kerja (HOK) 449, , , , ,813,440 Penggantian air (m 3 /hr) 175, , ,960 55, ,009,571 Pengisian air tambak (m 3 / 5 hr) 234, , ,000 55, ,881,111 Nilai Produksi (Rp/MT) x (000) 21,060,000 33,300,000 7,668,000 2,896, ,924,163 PAD (Rp/thn) x (000) 526, , ,700 72, ,623,105 Tabel 46 Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekonomi sebagai P1, sosial P2 dan ekologi P3 Variabel Optimalisasi Luas Pemanfaatan Lahan Budidaya (ha) Polikultur Semi- Tradisional Intensif (banding Intensif Plus (117 ha) R. Laut) (449 ha) (426 ha) 255 ha Silvofishery 0 ha Total Limbah organik (TSS) (kg) 245, , , ,995 Produksi udang (ton/mt) ,364 Tenaga Kerja (HOK) 449, , , ,965,120 Penggantian air (m 3 /hr) 175, ,000 92, ,678 Pengisian air tambak (m 3 / 5 hr) 234, , , ,039,111 Nilai Produksi (Rp/MT) x (000) 21,060,000 40,410,000 7,668, ,034,163 PAD (Rp/thn) x (000) 526,500 1,010, , ,800,854

142 120 Ketiga skenario model alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak di atas semuanya dalam kondisi optimal, sehingga untuk skanario yang terbaik adalah dengan memilih yang terbaik dengan berdasar pada : (1) kesiapan sumberdaya manusia yang tersedia untuk mendukung pengembangan budidaya tambak, (2) pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat yang pating tinggi, dan (3) penyerapan tenaga kerja yang paling banyak. Gabungan ketiga model tersebut disajikan pada Gambar 33. 8,000 Skenario I Skenario II Skenario III 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 Limbah (kg) x (000) Produksi (kg) x (000) Tenaga Kerja (HOK) x (000) Penggantian air (m3/hr) x (000) Pengisian air (m3/ 5 hr) x (000) Nilai Produksi (Rp) x (000000) PAD (Rp/thn) x (000000) Gambar 33 Skenario alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak berdasarkan variabel optimalisasi. Berdasarkan hasil analisis dari tiga skenario alokasi pemanfaatan lahan berdasarkan variable optimal, maka model pemanfaatan lahan budidaya yang terbaik adalah skenario III (ketiga) yaitu alokasi pemanfaatan lahan tambak dengan prioritas aspek ekonomi (P1), sosial (P2), dan ekologi (3), dengan alokasi budidaya intensif 117 ha, budidaya semi-intensif 449 ha, budidaya tradisional 426 ha, dan polikultur (banding rumput laut) 255 ha, serta konservasi mangrove 371,93 ha, karena skenario ini variabel daya dukung produksi, penyerapan tenaga kerja, nilai produksi dan PAD yang dihasilkan lebih tinggi dari Skenariao I dan Skenario II. Kemudian model pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama (P1) sebagai alternative kedua adalah skenario I dan yang ketiga adalah Skenario II.

143 121 PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN PESISIR BERBASIS KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN Segala aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya lahan tertentu dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya. Pada kenyataannya upaya untuk memakmurkan diri dan lingkungannya dibatasi oleh hak individu lainnya dan daya dukung lingkungan untuk memenuhi segenap kegiatan dalam memenuhi tujuan tersebut (Bengen, 2005). Dengan demikian perlu optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Upaya untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya lahan dan kebutuhan manusia adalah menentukan jenis komoditi, teknologi dan besaran aktivitas manusia dengan daya dukung lingkungan untuk menampungnya. Dengan demikian, setiap aktivitas ekonomi atau pembangunan di suatu kawasan harus didasarkan pada analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Alokasi pemanfaatan kawasan untuk budidaya tambak dan konservasi mangrove ditentukan berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa skenario pemanfaatan lahan dengan parameter penentu yaitu (a) kesesuaian lahan, (b) daya dukung lingkungan, (c) produktivitas lahan, (d) kelayakan ekonomi, (e) pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, dan (f) dapat diterima oleh stakeholders atau menyerap tenaga kerja. Pengembangan budidaya tambak di Sinjai dilakukan berdasarkan kaidahkaidah keberlanjutan, dengan mempertimbangkan seperti aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Dasar penentuan alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal ditentukan berdasarkan pada : (1) kesesuaian peruntukan lahan; dan (2) daya dukung lingkungan, sebagai informasi ilmiah dalam memformulasi kebijakan pengelolaan, regulasi dan pemberian lisensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Hasil penelitian ini memberikan sejumlah data dan informasi yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam pemanfaatan kawasan Pesisir Sinjai untuk budidaya tambak berkelanjuran berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan, disajikan pada Tabel 47.

144 122 Tabel 47 Kondisi bioekologi dan lingkungan pesisir Sinjai bagi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan. Parameter Nilai Keterangan Luas penutupan lahan mangrove (ha) 346,05 Citra tahun 2002 Luas lahan yang sesuai untuk konservasi Hasil analisis kesesuaian 326,36 mangrove (ha) lahan untuk konservasi Luas lahan yang sesuai untuk budidaya tambak Hasil analisis Citra, tahun 1.324,76 (ha) 2002 Luas lahan budidaya tambah Existing (ha) Data tahun 2004 luas tutupan lahan tambak (ha) 1.077,39 Citra tahun Intensif Luas lahan yang optimal dimanfaatkan untuk 440 Semi-intensif tambak seluas ha. 742 Tradisional Tipe pasang surut (Formzahl-F) 0,71 Pasut campuran dominan semidiurnal Tunggang pasang surut (cm) 126 Spring tide 74 Neap tide Kecepatan arus pasang (m dt -1 0,32 Spring tide ) 0,20 Neap tide Volume total air yang tersedia di pantai (m 3 hr -1 ) ,17 Lama tinggal air di pantai (jam) 2, kali siklus pasut Kapasitas oksigen yang tersedia di pantai (kg) ,42 - Daya dukung lingkungan menguraikan limbah organik yang ditampung (kg) Jumlah buangan limbah organik dari sisa pakan (kg ha -1 ) Luas tambak lestari yang diperbolehkan berdasarkan daya dukung limbah pakan (ha) Optimalisasi Pemanfaatan lahan dengan prioritas yaitu : Ekologi> Ekonomi > Sosial. Perbandingan Tambak : mangrove (1208 ha : 471 ha) Optimalisasi Pemanfaatan lahan dengan prioritas yaitu : Sosial > Ekonomi > Ekologi. Perbandingan Tambak : mangrove (1.168 ha : 451 ha) Optimalisasi Pemanfaatan lahan dengan prioritas yaitu : Ekonomi > Sosial > Ekologi Perbandingan Tambak : mangrove (992 ha : 371,93 ha) 2 kali siklus pasut per hari ,87 Daya dukung limbah TSS ,5 449, ,1 525,85 350,08 117,00 155,15 99,85 471,78 426,00 370,05 117,00 255,00 0,00 451,78 426,00 449,93 117,00 255,15 0,00 371,93 Intensif Semi-intensif Tradisional Intensif Semi-intensif Tradisional Tradisional udang Semi-Intensif Intensif Polikultur (bandeng RL) Silvofishery Konservasi Mangrove Tradisional udang Semi-Intensif Intensif Polikultur (bandeng RL) Silvofishery Konservasi Mangrove Tradisional udang Semi-Intensif Intensif Polikultur (bandeng RL) Silvofishery Konservasi Mangrove

145 123 Daya Dukung Fisik. Hasil perhitungan volume air yang tersedia di pantai (Vt) Kabupaten Sinjai untuk pengembangan budidaya tambak sebesar ,17 m 3, kecepatan arus pasang ketika spring tide 0,32 m dt -1. Berdasarkan volume tersebut, dapat mengaliri tambak seluas 6.893,43 ha, namun tidak semua luas lahan tersebut layak dikembangkan untuk budidaya tambak, karena kelayakan secara boteknis ditentukan oleh beberapa kriteria kesesuaian peruntukan lahan budidaya, yaitu : (1) kemiringan lereng; (2) jarak dari pantai; (3) jarak dari sungai; (4) jenis tanah; (5) ketinggian (elevasi) lahan; (6) drainase; (7) salinitas dan (8) geologi. Berdasarkan kriteria kesesuaian peruntukan lahan budidaya, diperoleh lahan yang tergolong sesuai dan sangat sesuai untuk budidaya tambak seluas 1.324,76 ha. Daya Dukung Produksi. Faktor pembatas daya dukung produksi budidaya tambah udang adalah kemampuan perairan untuk mengasimilasi limbah organik dari hasil kegiatan budidaya tambak udang. Ketersediaan oksigen terlarut bagi proses respirasi udang, ikan dan organisme perairan lainnya merupakan penentu utama daya dukung produksi mampu menghasilkan produksi udang secara berkelanjutan sebesar 829,79 ton per musim tanam (MT), maka daya dukung perairan dalam mengasimilasi limbah organik sebesar ,08 kg. Berdasarkan uji coba budidaya tambak seluas m 2 dengan padat tebar 30 ekor m -2 atau ekor ha -1 dengan periode pemeliharaan 120 hari MT -1 dibutuhkan pakan sebesar 6.557,5 kg dengan sintasan 57 %. Penebaran benur dapat dilakukan dua kali setahun dengan musim tanam pertama (MT I) dilakukan pada bulan Februari Mei dan musim tanam kedua (MT II) pada bulan Agustus November. Daya Dukung Sosial Ekonomi. Penentuan luas lahan budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten Sinjai telah mempertimbangkan status pemanfaatan lahan budidaya tambak saat ini. Pengembangan budidaya tambak diharapkan dapat menghindari munculnya konflik kepentingan penggunaan lahan di wilayah pesisir, seperti keberadaan budidaya tambak tanpa menghambat atau mengurangi produksi padi di sawah dan terjadi konservasi mangrove, tetapi diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah produk dan pendapatan masyarakat pesisir Sinjai.

146 124 Biaya produksi budidaya udang dan bandeng di lokasi studi sebesar Rp ,8 ha -1 th -1 dengan total nilai produksi sebesar Rp ,4 ha -1 th -1, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp ,3 ha -1 th -1, dengan nilai R-C ratio sebesar 3,65. Daya Dukung Ekologi. Usaha budidaya tambak udang secara intensif merupakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan perairan akibat beban limbah organik akibat pengkayaan nutrien, eutrifikasi, hypoxia dan sedimentasi, sehingga pengembangan budidaya tambak udang harus sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan budidaya tambak udang harus dalam batas daya dukung lingkungan, jumlah limbah organik dari kegiatan budidaya tambak berdasarkan kemampuan daya dukung dan asimilasi lingkungan tidak boleh melebihi ,87 kg. Hasil perhitungan jumlah limbah yang terbuang ke perairan pantai sebesar kg TSS ha -1 MT -1 untuk tambak intensif, kemudian sekitar 1.145,9 kg TSS ha -1 MT -1 untuk tambak semi-intensif dan 350 kg TSS ha -1 untuk tambak tradisional. Luas lahan budidaya intensif yang mampu didukung berdasarkan daya dukung lingkungan seluas 245,5 ha, untuk budidaya semi-intensif mampu mendukung seluas 449,93 ha dan untuk budidaya tradisional plus mempu mendukung seluas 1.473,06 ha. Arahan Pengelolaan Kawasan Pesisir Sinjai Alternatif pengelolaan yang perlu dilakukan agar pengembangan budidaya tambak yang berkelanjutan di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai adalah : 1. Arahan pengelolaan yang berhubungan dengan akumulasi limbah organik dari budidaya tambak yang dinilai terbaik dan lebih efektif adalah dengan cara : (1) memperbaiki performen pakan dan metoda pemberian pakan untuk menurunkan nilai RCF, (2) mengembangkan budidaya terpadu, dan (3) mengalokasikan sumberdaya dan akuainput pada lahan tambak yang dinilai layak dan tidak melebihi daya dukung lingkungan perairan, sehingga diharapkan akan memberikan peluang bagi keberlanjutan usaha budidaya tambak.. Karena itu, daya dukung fisik, ekologi, produksi, dan sosial harus diperhitungkan dalam pengembangan budidaya tambak berkelanjutan.

147 Arahan pengembangan budidaya tambak di pesisir Sinjai, seyogyanya mempertimbangkan fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi sumberdaya yang ada. Upaya pemanfaatan lahan budidaya tambak dan hutan mangrove hendaknya tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata, tetapi juga aspek sosial dan ekologi agar keberlanjutan pemanfaatan lahan dapat tercapai. Kecenderungan pemanfaatan lahan pesisir Sinjai saat ini, selain pembukaan lahan tambak kearah darat, juga sudah mulai membuka tambak di lahan mangrove, sehingga perlu penerapan kaidah-kaidan pembangunan keberlanjutan. Namun demikian, bila kawasan mangrove di daerah studi akan dikonversi sebagai lahan tambak, maka petak-petak tambak sebaiknya ditempatkan di belakang kawasan mangrove, atau pada jarak 163,8 meter dari garis pantai sebagaimana yang telah digariskan dalam Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Gambar 34). Ke arah mangrove Ke arah laut dike Tambak Zone pemanfaatan Daerah konservasi Integrasi budidaya - konservasi mangrove Gambar 34 Integrasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan budidaya tambak dengan sistem silvofishery. 3. Arahan pengelolaan berdasarkan hasil analisis daya dukung lingkungan, agar pemanfaatan lahan tambak tetap lertasi. Jika seluruh lahan dimanfaatkan untuk teknologi budidaya tradisional, maka luas lahan yang diperbolehkan

148 126 seluas 1.473,06 ha; kemudian jika semuanya dimanfaatakan untuk budidaya semi-intensif seluas 449,93 ha; sedangkan jika seluruh lahan dimanfaatkan untuk budidaya intensif seluas 245,51 ha. Perlu mencari model pengelolaan dengan pertimbangan pemerataan ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja dan daya dukung lingkungan agar dapat menggambarkan suatu alternatif model pemanfaatan sumberdaya yang lebih rasional. Pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal petimbangan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial, dengan alokasi budidaya tambak tradisional plus seluas 525,85 ha; budidaya semi-intensif seluas 350,08 ha; budidaya intensif seluas 117; budidaya polikultur bandeng dan rumput laut seluas 155 ha; dan budidaya tambak silvofishery dan sea faming seluas 99,85 ha (Gambar 35). 4. Membuat Regional Economic Development Plan Based on Aquaculture (REDPA) kawasan Pesisir Sinjai sebagai petunjuk pengembangan budidaya yang secara biotekno-sosio-ekonomi layak serta membantu meminimasi konflik kepentingan. Sebagai arahan pendorong pemanfaatan kawasan pesisir Sinjai yang berkelanjutan. REDPA harus diarahkan sebagai suatu komponen yang komperensif dalam sistem perencanaan wilayah pesisir secara terpadu yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Sistem ini pada akhirnya bermanfaat sebagai acuan perizinan dan lisensi serta akses kompromi antara stekeholders yang mencakup aspek persetujuan pemanfaatan wilayah untuk perikanan budidaya, transfortasi laut dan pelabuhan, pengelolaan sumberdaya perairan, pertanian dan pemukiman yang dibangun dalam kontek strategi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. REDPA pesisir Kabupaten Sinjai disajikan pada Gambar 33 dan pembagian kawasan pesisir dan peruntukannya disajikan pada Tabel Sisa pakan, feses dan eskresi dari sistem budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan merupakan bahan pencemar organik, N dan P yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan organisme budidaya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan beban limbah organik dari kegiatan budidaya tambak adalah (1) perbaikan keseimbangan protein dan energi pakan, (2) efisiensi pakan melalui teknik pemberian pakan yang baik (frekuensi dan dosis pakan yang tepat) untuk menguragi sisa pakan yang tidak termakan, dan (3) penggunaan dan pemilihan bahan baku pakan yang memiliki tingkat kecernaan yang tinggi.

149 127 K I A J B H C A F K D E G Gambar 35 Alternatif peruntukan kawasan pesisir Kabupaten Sinjai untuk pengembangan ekonomi regional berbasis budidaya tambak

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2007 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan

TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan Dasar pemikiran dari penelitian ini adalah konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan perspektif ekonomi dan ekologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT

ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah) MA SITASARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan salah satu indikator kesuburan lingkungan baik di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan kualitas tanah dan di perairan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari PENENTUAN PARAMETER PALING DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN 1 Rahmadi Tambaru 1, Enan M. Adiwilaga 2, Ismudi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2007 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGELOLAAN KAWASAN TAMBAK UDANG DAN DAMPAKNYA TERHADAP ASPEK EKONOMI SOSIAL DAN EKOLOGI DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DOMPU NTB ABUBAKAR

EFISIENSI PENGELOLAAN KAWASAN TAMBAK UDANG DAN DAMPAKNYA TERHADAP ASPEK EKONOMI SOSIAL DAN EKOLOGI DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DOMPU NTB ABUBAKAR EFISIENSI PENGELOLAAN KAWASAN TAMBAK UDANG DAN DAMPAKNYA TERHADAP ASPEK EKONOMI SOSIAL DAN EKOLOGI DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DOMPU NTB ABUBAKAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Budidaya Tambak Kegiatan budidaya tambak merupakan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji 13 3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitiaan telah dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2). Jangka waktu pelaksanaan penelitian terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci