ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA"

Transkripsi

1 ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2007

2 ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan Di Kabupaten Gresik adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Bogor, Agustus 2007 Penulis Viv Djanat Prasita P

3 iii Abstract VIV DJANAT PRASITA. Analyses of the Environmental Carrying Capacity and Optimalization of the Coastal Zone for brackishwater fishponds in Gresik Regency, East Java. Under the direction of BAMBANG WIDIGDO, SARWONO HARDJOWIGENO, SUGENG BUDIHARSONO. This research is carried out to analysis the environmental carrying capacity and develops model for optimalization of the coastal zone for brackish water fishponds. The research has been conducted in Gresik, East Java by using the survey method and collecting secondary data from the other researches and related institutions. In this research, three approaches used for analyzing the environmental carrying capacity of the brackish water fishponds, ie.: regression analysis, quantitative method for availability water in waters and weighted methods from land suitability class. Furthermore, it is used the linear goal programming (LGP) for optimalization modeling of spatial utilization. The result shows that utilization of the coastal zone for the brackishwater fishponds has been over to its environmental carrying capacity. This phenomena seems from the maximal production of brackishwater ponds 12,134.4 tons at land areas of 10,943.5 hectares which was happened in By using the first approach (regression analysis), the limiting land areas used to declare as an environmental carrying capacity is estimated around 9, ha. The second approach using water quantity method also shows that the land areas for traditional, semi-intensive and intensive cultures as follow 9, ha, 1, ha and ha. The last approach yields the land areas which can be used for milkfish (Chanos chanos) culture is 9, ha and this for shrimp culture is 9, ha. These areas are used as limiting factors for optimalization of the coastal zone for brackish water fishponds. Based on the concept of sustainable development, such as; production, work force, and carrying capacity, the LGP optimalization model results optimal land areas for shrimp and milkfish traditional cultures as follows ha and 8, ha. The optimal land area for mangrove is 2295,85 ha. Key words: land suitability, environmental carrying capacity, and optimalization.

4 iv Abstrak VIV DJANAT PRASITA. Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan di Kabupaten Gresik. Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO, SARWONO HARDJOWIGENO, SUGENG BUDIHARSONO. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji analisis daya dukung lingkungan dan mengembangkan model optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan di Gresik Jawa Timur. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei dan pengumpulan data sekunder dari berbagai hasil penelitian lain maupun hasil laporan dari instansi terkait. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan analisis daya dukung lingkungan, yaitu : analisis regresi, metode kuantitatif ketersediaan air di perairan, dan metode pembobotan dari kelas kesesuaian lahan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan linear goal programming (LGP) untuk membuat model optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan. Hasil kajian memperlihatkan bahwa pemanfaatan lahan pesisir untuk pertambakan di daerah studi sudah melampaui batas luas tambak yang dapat didukung oleh lingkungannya. Fenomena ini terlihat dari produksi tambak maksimum ,4 ton pada saat luas lahannya ,5 ha yang terjadi pada tahun Dengan pendekatan analisis regresi, luas lahan yang dapat didukung untuk budidaya tambak sebesar 9.378,89 ha sedangkan dengan metode kuantitatif menghasilkan luas lahan yang dapat didukung untuk budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif berturut-turut sebesar 9.413,49 ha, 1.647,36 ha and 941,35 ha. Dengan metode pembobotan, luas area yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya bandeng (Chanos chanos) dan udang secara tradisional masing-masing sebesar 9.882,89 ha dan 9.457,28 ha. Luas area yang diperoleh dari perhitungan daya dukung tersebut digunakan sebagai faktor pembatas dalam optimasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan. Dengan memperhatikan faktor kendala yang didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan, seperti kendala produksi, tenaga kerja dan daya dukung lingkungan, model optimasi LGP menghasilkan luas lahan optimal untuk budidaya bandeng dan udang secara tradisional berturut-turut sebesar 8, ha dan ha. Luas lahan optimal untuk konservasi mangrove sebesar 2295,85 ha. Kata kunci : kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan dan optimalisasi.

5 ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2007

6 iii Judul Disertasi Nama N I M : Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan di Kabupaten Gresik : Viv Djanat Prasita : P Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Bambang Widigdo K e t u a Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc. A n g g o t a Dr. Ir. Sugeng Budiharsono A n g g o t a Diketahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Tanggal Ujian :. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Lulus :

7 viii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Glagah Ombo Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 17 Pebruari 1965 sebagai anak pertama dari pasangan Muhammad Soeprandjono dan Siti Dachriyah. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengerahuan Alam Universitas Airlangga Surabaya, lulus pada tahun Pada Tahun 1994, penulis melanjutkan studi program master S-2 pada Department of Land Information di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) Melbourne Australia dan menamatkannya pada tahun Pada tahun 2001, penulis mendapatkan kesempatan lagi melanjutkan studi program octor S-3 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dengan Beasiswa BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Jakarta dan Instansi Universitas Hang Tuah Surabaya. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan Universitas Hang Tuah Surabaya sejak tahun Mata Kuliah yang diasuh antara lain : Sistem Informasi Geografi (SIG), Penginderaan Jauh dan Pemrograman Komputer. Selama mengikuti program S3 di IPB Bogor, penulis aktif menggeluti dan terlibat dalam kegiatan penelitian maupun proyek pada bidang kelautan dan perikanan di pusat maupun daerah. Penulis telah menyumbangkan tulisannya di dalam buku Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan pada Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan tahun Selain itu, pada tahun 2004, penulis pernah mendapatkan kesempatan penelitian hibah kebaharian dari Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Pada tahun , penulis kembali mendapatkan kesempatan penelitian hibah bersaing dari departemen yang sama. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Evaluasi Kondisi Lingkungan Perairan Kawasan Pertambakan di Gresik Jawa Timur, pada NEPTUNUS, Majalah Ilmiah Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya, (ISSN ), Edisi Juli 2005, Volume 12, Nomor 1. Artikel lain berjudul Kajian Daya Dukung Lingkungan Kawasan Pertambakan di Pantura Kabupaten Gresik Jawa Timur, akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (ISSN ), Edisi Juni 2008, Volume 15, Nomor 1. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari riset program S3 penulis.

8 vi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah disertasi ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah tersebut berjudul Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan di Kabupaten Gresik yang dikerjakan sejak bulan Juni Disertasi ini memuat dua kajian pokok, yaitu analisis daya dukung lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan. Pertama, kajian analisis daya dukung lingkungan pertambakan merupakan pengembangan dari naskah artikel yang telah diterbitkan pada NEPTUNUS, Majalah Ilmiah Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya, (ISSN ), Edisi Juli 2005, Volume 12, Nomor 1 dan hasil kajian daya dukung lingkungan tersebut akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (ISSN ), Edisi Juni 2008, Volume 15, Nomor 1. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Widigdo, Bapak Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, dan Bapak Dr. Ir. Sugeng Budiharsono selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, yang telah memberi bimbingan, arahan dan saran. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staf atas bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di IPB Bogor. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Adiana Setiawati, M.T. beserta staf dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik, Kepala Bappeda Kabupaten Gresik beserta staf dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gresik beserta staf yang telah membantu selama pengumpulan data. Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo, M.Sc. sebagai Rektor Universitas Hang Tuah yang telah mengijinkan studi S3 di IPB dan telah memberi semangat dalam penyelesaian disertasi ini. Terimakasih kepada Bapak Drs Mintardjono, M.T. selaku dekan Fakultas Teknologi Kelautan dan Perikanan beserta stafnya yang telah membantu dan memberi dorongan moral yang tulus. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Ir. Nuhman, M.Kes., Ibu Ir. Is Yuniar M.Si. serta mahasiswa perikanan dan oseanografi yang telah membantu dalam kegiatan survei lapangan maupun diskusi-diskusi yang

9 vii menarik. Terimakasih juga disampaikan kepada Drs. Giman Gilmawan M.Kes., Kepala Lab. Kimia dan Ir. Rudi Siap Bintoro, M.T. Kepala Lab. Oseanografi yang telah membantu analisis data kualitas air dan mengijinkan penggunaan seperangkat alat pengamatan oseanografi. Terimakasih yang tak terhingga kepada istriku tercinta, Any Wintolo dan anak-anakku Farah Fauziah Vivany, Rafif Ahmad Vivany dan Nisrina Mumtaz Vivany yang telah memberikan cinta, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan demi tercapainya cita-cita orang yang mereka sayangi. Tanpa hal tersebut sulit rasanya disertasi ini dapat diselesaikan. Terima kasih untuk ayahanda Mochammad Soeprandjono dan ibunda Siti Dachriyah yang sejak penulis lahir telah mendidik dan memberikan doa agar sukses dalam meraih cita-cita. Demikian juga terimakasih kepada adik-adikku semua atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2007 Penulis Viv Djanat Prasita

10 ix Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar. 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari Institut Pertanian Bogor.

11 x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. xii DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN.. xv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah.. 2 Tujuan Penelitian... 2 Hipotesis Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA 6 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan Daya Dukung Wilayah Pesisir Evaluasi Kesesuaian Lahan Pesisir untuk Pertambakan Model Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan.. 24 Arahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Saat Ini Di Kabupaten Gresik 26 METODOLOGI 29 Waktu dan Lokasi Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Metode Pengumpulan Data.. 29 Metode Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN 40 Karakteristik Biofisik Wilayah Pesisir di Daerah Studi Evaluasi Kesesuaian Lahan Kawasan Pertambakan... 55

12 xi Kajian Daya Dukung Kawasan Pertambakan Kelayakan Usaha Budidaya Tambak Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambakan secara Berkelanjutan.. 88 Matriks Keseluruhan Hasil Penelitian KESIMPULAN DAN SARAN 93 Kesimpulan S a r a n DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

13 xii DAFTAR TABEL Halaman 1. Perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya untuk tiga tingkatan budidaya di Indonesia Perbedaan budidaya tambak tradisional, semi-intensif dan Intensif Kualitas air untuk udang Kualitas air untuk bandeng Beberapa parameter dan peralatan yang digunakan Data curah hujan selama 10 tahun terakhir Hasil analisa contoh tanah tambak pada kedalaman 0 30 cm Hasil analisa contoh lumpur tambak pada kedalaman 0 30 cm Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT Hasil analisis kualitas air pada SPT Hasil analisis kandungan logam berat air sungai di Sungai Bengawan Solo Kecamatan Bungah Hasil analisis kandungan logam berat air laut di Mengare- Kecamatan Bungah Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 13 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 13 bagi budidaya tambak bandeng pada musim hujan dan musim kemarau Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 1 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 34 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 112 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau Ringkasan kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial untuk budidaya udang dan bandeng di daerah studi... 67

14 xiii 21. Penilaian daya dukung lingkungan untuk budidaya udang pada musim hujan berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir SPT nomor Penilaian daya dukung lingkungan untuk budidaya udang pada musim kemarau berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir SPT nomor Ringkasan hasil penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan untuk budidaya udang dan bandeng Ringkasan nilai luas tambak di daerah studi yang masih dapat di dukung oleh lingkungan Analisis biaya manfaat usaha budidaya bandeng dan udang per hektar Analisis NPV usaha tambak per hektar Analisis B/C Ratio Usaha Tambak per Hektar Variabel yang dipakai dalam optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk produk tambak udang dan Bandung dengan budidaya tradisional, semi-intensif, dan intensif Produksi rerata udang dan bandeng di daerah studi Kebutuhan tenaga kerja untuk tiap jenis budidaya Jenis dan harga produksi di Kabupaten Gresik Hasil penilaian daya dukung lingkungan di daerah studi Ringkasan hasil model optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan di daerah studi dengan dan tanpa daya dukung lingkungan Arahan pengelolaan wilayah pesisir untuk kawasan pertambakan... 91

15 xiv DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan Ilustrasi kondisi perairan pantai Hubungan tingkat produksi dan rentang waktu hidup (life time) yang diharapkan dari sistem budidaya tambak udang Produksi tambak di Kabupaten Gresik Tahun Peta lokasi studi dan pengambilan sampel Curah hujan rata-rata di daerah studi selama 10 tahun terakhir Peta sebaran mangrove Perkembangan produksi (ton) dan luas lahan (ha) tambak pada Tahun di daerah studi Hubungan produktivitas (kg/ha) terhadap luas tambak (ha) di daerah studi

16 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kesesuaian lahan untuk tambak (brackistwater fishpond) Penggunaan lahan di daerah studi Sifat tanah di daerah studi Karakteristik oseanografi daerah studi Kualitas perairan daerah studi Produksi dan produktivitas tambak di daerah studi Perhitungan parameter daya dukung lingkungan (DDL) Hubungan antara parameter lingkungan dengan kelas kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungannya Metode penentuan skor dalam penilaian daya dukung lingkungan Hasil penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir Perhitungan biaya-manfaat usaha budidaya bandeng dan udang Data pemilik tambak, luas tambak dan jenis budidaya di Kabupaten Gresik Jawa Timur Program LINDO untuk model optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan dengan pertimbangan daya dukung lingkungan Program LINDO untuk model optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan tanpa pertimbangan daya dukung lingkungan 146

17 P E N D A H U L U A N Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan. Wilayah tersebut sangat kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai kegiatan yang ada di luar maupun di dalam wilayah itu sendiri. Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir menjadikan wilayah ini sebagai tempat pembuangan limbah, dapat mengakibatkan hilangnya potensi yang ada. Karena itu, penataan ruang wilayah pesisir merupakan suatu keharusan dan harus ditaati agar tidak terjadi konflik antar pengguna dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir. Wilayah pesisir di Kabupaten Gresik didominasi oleh kegiatan budidaya tambak tradisional ikan bandeng dan udang, yang kebutuhan airnya hanya menggantungkan kondisi pasang surut. Kegiatan tersebut memberikan kontribusi produksi perikanan cukup nyata bagi Propinsi Jawa Timur, yaitu ikan bandeng sebesar 16166,7 ton dari 38639,5 ton (41,84 %), udang windu sebesar 1098,9 ton dari 10299,3 ton (10,66 %), udang putih sebesar 1158,8 ton dari ton (24,04 %).(Dinas Perikanan dan Kelautan, 2002). Namun demikian, mulai tahun 2001, produksi mulai menurun. Di Kecamatan Ujung Pangkah, produksi yang telah mencapai 5.142,47 ton pada tahun 2000 turun menjadi 4.168,62 ton.pada tahun Demikian juga produksi tambak di Kecamatan Sidayu dan Bungah produksinya menurun masing-masing dari 3.401,18 ton dan 3.759,70 ton pada tahun 1999 menjadi 2.021,36 ton dan 3.381,40 ton pada tahun Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pemerintah daerah Kabupaten Gresik merencanakan perbaikan wilayah tersebut untuk meningkatkan produktivitas tambak, mengingat kawasan tersebut merupakan produsen perikanan yang diandalkan. Untuk itu, perlu kajian mendalam dalam menentukan penyebab rendahnya produktivitas dan penurunan produksi tersebut.

18 2 Perumusan masalah Bertitik tolak dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah utama yang ada di kawasan pertambakan Kabupaten Gresik, yaitu : 1. Produktivitas tambak di daerah studi relatif rendah yang disebabkan oleh lahan pesisirnya kurang cocok untuk budidaya udang dan bandeng. 2. Terjadi penurunan produksi budidaya tambak mulai tahun 2000 sampai saat ini, yang disebabkan oleh lingkungan (biofisik dan sosek) kurang mampu mendukung kegiatan budidaya tersebut. 3. Pengelolaan kawasan pertambakan yang kurang baik terlihat dari ketidakseimbangan ruang wilayah pesisir (daya dukung lingkungan dan kawasan konservasi mangrove kurang diperhatikan dengan sungguhsungguh dalam mengelola kawasan pertambakan). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Menentukan luas lahan tambak yang sesuai untuk budidaya udang dan bandeng. 2. Menentukan luas lahan tambak yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya. 3. Menentukan luas lahan yang optimal untuk budidaya tambak secara tradisional, semi-intensif maupun intensif sebagai dasar dalam penyusunan arahan pengelolaan kawasan pertambakan secara berkelanjutan. Hipotesis Hipotesis yang menjadi dasar pengembangan disertasi ini adalah : 1. Produktivitas tambak yang rendah sebagai akibat dari lingkungan kawasan pertambakan yang kurang sesuai untuk budidaya udang dan bandeng. 2. Pemanfaatan lahan pesisir untuk budidaya tambak tradisional di daerah studi telah melampaui batas luasan lahan yang dapat didukung untuk budidaya tersebut. 3. Pengelolaan kawasan tambak saat ini (tanpa perhitungan daya dukung lingkungan dan kawasan konservasi) kurang optimal dalam mencapai sasaran kebijakan perikanan budidaya yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik.

19 3 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Hasil evaluasi kesesuaian lahan dan perairan akan memberikan informasi kondisi dan potensi sumberdaya pesisir yang tepat bagi pengembangan / pembangunan daerah sedangkan daya dukung lingkungan wilayah pesisir dapat memberikan informasi tentang batasan dalam pembangunan daerah, terutama pengembangan untuk perikanan (pertambakan), yang bermanfaat sebagai masukan bagi evaluasi RTRW Kabupaten Gresik, khususnya untuk kawasan pesisir terpilih : Kecamatan Ujung Pangkah, Kecamatan Sidayu dan Kecamatan Bungah. 2. Hasil penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan dunia usaha pada khususnya karena dengan penelitian ini, pengguna kawasan tambak dapat mengetahui kondisi pesisir dan daya dukung lingkungannya serta usaha-usaha yang terkait dengan pengelolaan tambak secara optimal dan berkelanjutan. Kerangka Pemikiran Wilayah pesisir di Kabupaten Gresik didominasi oleh kegiatan budidaya tambak yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pada awalnya kegiatan budidaya tersebut cukup baik untuk memperbaiki kehidupan masyarakat lokal, namun demikian, saat ini produktivitas tambak tersebut rendah dan produksinya menurun. Solusi permasalahan tersebut akan diperjelas berikut ini. Pertama, produktivitas tambak rendah dapat disebabkan oleh lingkungan kawasan pertambakan yang kurang sesuai untuk budidaya udang maupun bandeng. Karena itu, evaluasi kesesuaian lahan pesisir untuk pertambakan sangat diperlukan. Selain itu, produktivitas tambak rendah dapat juga disebabkan oleh kondisi sosial yang terkait dengan ketrampilan masyarakat dalam menjaga lingkungan kawasan tambak. Sementara faktor ekonomi, terutama terkait dengan sistem permodalan. masyarakat rendah. Karena itu, evaluasi kelayakan usaha budidaya tambak masyarakat juga diperlukan. Kedua, penurunan produksi tambak dapat disebabkan oleh kondisi daya dukung lingkungan, ekonomi maupun sosial di kawasan pertambakan yang rendah. Daya dukung lingkungan rendah dapat disebabkan oleh limbah tambak

20 4 kumulatif, terutama yang mengendap dan masuk ke dalam tanah. Pada saat ini budidaya tambak yang dilakukan di daerah studi adalah budidaya tradisional namun pada tahun 1990-an budidaya semi-intensif dan intensif pernah diterapkan sehingga sebagian limbah budidaya tambak tersebut masih tersisa dan berpengaruh buruk pada kualitas lingkungan perairan. Oleh karena itu, analisis dukung lingkungan kawasan pertambakan perlu dilakukan. Ketiga, pengelolaan kawasan pertambakan yang kurang baik dapat juga sebagai penyebab dua permasalahan sebelumnya. Pada saat ini pemanfaatan kawasan pertambakannya tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan dan kebutuhan kawasan konservasi mangrove sehingga hasilnya tidak optimal berdasarkan target yang ditentukan oleh pemerintah daerah yang dinyatakan pada rencana strategi (renstra) maupun RTRW Kabupaten Gresik. Oleh karena itu, analisis optimalisasi dan arahan pengelolaan wilayah pesisir sangat dibutuhkan untuk perbaikan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam penyelesaian masalah tersebut di atas, ada empat hal yang perlu dilakukan, yaitu : 1. evaluasi kesesuaian lahan pesisir untuk budidaya udang dan bandeng, 2. penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan, 3. evaluasi kelayakanan usaha budidaya tambak masyarakat, 4. analisis optimalisasi pemanfaatan ruang kawasan pertambakan untuk teknologi budidaya yang tepat sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir Kabupaten Gresik, dan 5. evaluasi pengelolaan kawasan pertambakan. Keterkaitan antar komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil kajian ke-5 komponen tersebut dapat memberikan ukuran dalam pengelolaan kawasan pertambakan, seperti luas lahan budidaya tambak yang optimal sesuai dengan kondisi dan potensi serta daya dukung kawasan untuk mencapai target produksi yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, hasilnya dapat dipakai untuk memberikan arahan dalam pengelolaan lingkungan di dalam maupun luar kawasan pertambakan.

21 5 Wilayah Pesisir di Kabupaten Gresik Permasalahan : Pengelolaan kawasan tambak yang kurang optimal dan berkelanjutan Kegiatan budidaya tambak dominan Produktivitas relatif rendah. Produksi tambak menurun Faktor Penyebab : Pengelolaan kawasan tambak yang kurang baik Kondisi lingkungan kawasan tambak kurang sesuai untuk budidaya udang dan bandeng.. Kondisi sosial (SDM) dan ekonomi (permodalan) masyarakat rendah. Daya dukung (lingkungan, ekonomi, dan sosial) untuk pertambakan rendah Solusi : Evaluasi kesesuaian lahan pesisir untuk budidaya udang dan bandeng Evaluasi keberlanjutan usaha budidaya tambak masyarakat. Penentuan daya dukung kawasan pertambakan Potensi dan kendala pengelolaan kawasan tambak (Supply) Target / sasaran pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Gresik Kajian Optimalisasi pemanfaatan ruang kawasan pertambakan untuk teknologi budidaya yang tepat, sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir kabupaten Gresik. Hasil dan Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambakan Berkelanjutan : - Luas lahan budidaya tambak yang optimal sesuai dengan kondisi dan potensi serta daya dukung kawasan untuk mencapai target produksi yang ditentukan oleh pemerintah daerah. - Arahan pengelolaan lingkungan di dalam maupun luar kawasan tambak. Gambar 1. Kerangka pemikiran

22 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Sejak dicanangkan teori dan konsep pembangunan berkelanjutan oleh komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan yang juga dikenal dengan komisi Brundtland (WCED,1987), semua konsep dan teori yang terkait dengan pembangunan tertuju pada pola pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan tersebut adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengandung dua gagasan penting, yaitu ; kebutuhan, terutama kebutuhan esensial kaum miskin sedunia dan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Menurut Cincin-Sain dan Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga aspek utama, yaitu : (1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia, yaitu pembangunan yang menekankan manusia sebagai pusat perhatian; (2) pembangunan yang memperhatikan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati; (3) pembangunan sosial secara adil dalam distribusi keuntungan pembangunan, yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi, dan antar negara. Ketiga ide utama ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan oleh pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yaitu : Bagaimana pembangunan tersebut akan memperbaiki kualitas hidup manusia? Bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi sumberdaya alam dan lingkungannya? Adakah keadilan sosial dalam distribusi keuntungan dari pembangunan?. Munasinghe(1992) menggambarkan ketiga aspek pembangunan berkelanjutan tersebut dalam suatu segitiga Mobius yang sisinya terdiri dari

23 7 komponen ekonomi, lingkungan dan sosial, yang dinyatakan pada Gambar 2. Keberlanjutan ekonomi, adalah untuk memaksimumkan aliran pendapatan yang dapat dibangkitkan dalam pengelolaan dari stok modal yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan memfokuskan kepada segala sesuatu tentang kelangsungan hidup dan berfungsinya sistem alam secara normal. pertumbuhan efisiensi stabilitas persamaan antar generasi kebutuhan dasar Kemiskinan Persamaan hak Keberlanjutan Evolusi secara sinergis penilaian / internalisasi terjadinya dampak persamaan antar generasi nilai-nilai / budaya pemberdayaan konsultasi pemerintahan keanekaragaman hayati sumberdaya alam polusi Gambar 2 Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan Akhirnya, keberlanjutan sosial merupakan kondisi sosial yang mampu mendukung secara penuh kualitas kehidupan yang adil dan sejahtera, sehat, serta produktif bagi semua anggota masyarakat pada masa kini dan masa mendatang. Bengen (2000) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan suatu ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak.

24 8 Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Kegiatan pembangunan wilayah pesisir sangat kompleks karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antar daratan dan lautan. Tentu saja, wilayah pesisir akan dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan yang ada di daratan maupun di lautan atau di wilayah pesisir itu sendiri. Dahuri (1998) menyatakan bahwa ditinjau dari perspektif ekologi, terdapat empat pedoman pembangunan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yaitu : (1) keharmonisan ruang; (2) pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal ; (3) pengendalian polusi dan (4) minimasi dampak lingkungan. (1). Keharmonisan ruang. Keharmonisan ruang mengandung makna bahwa ruang pesisir (lahan dan laut) tidak hanya untuk pembangunan intensif tetapi juga untuk zona konservasi dan preservasi. Oleh karena itu, wilayah pesisir dibagi menjadi tiga zona, yaitu : (1) preservasi ; (2) konservasi ; dan (3) pembangunan intensif. Zona preservasi meliputi daerah yang memiliki nilai alami tinggi, biasanya dikaitkan dengan sifat unik dan luar biasa dari kondisi alam tersebut. Zona preservasi ini hanya diperuntukkan bagi kegiatan riset, pendidikan, dan rekreasi terbatas (ekowisata). Sebagai contoh sabuk hijau mangrove merupakan salah satu zona preservasi, sesuai dengan UU No 27 / Sedangkan zona konservasi merupakan zona pemanfaatan sumberdaya pesisir secara bijaksana. Hal tersebut mengandung makna bahwa kegiatan pembangunan harus berdasarkan teori menjaga dan memanfaatkan sumberdaya pesisir yang dapat pulih. Kegiatan yang diperbolehkan adalah rekreasi, permukiman, perburuan, perikanan terbatas (artisanal), konstruksi infrastruktur terbatas. Zona berikutnya adalah zona pembangunan intensif. Zona ini diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan yang merusak lingkungan, seperti : industri, pelabuhan, permukiman padat, budidaya tambak intensif, pertanian intensif. (2). Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal hanya dapat dilakukan apabila pemanfaatannya tidak melebihi daya dukungnya. Hal tersebut senada dengan

25 9 pernyataan Clark (1985) dalam Dahuri (1998), yaitu apabila wilayah pesisir dipertimbangkan sebagai penyedia (supplier), kriteria optimalitas (keberlanjutan) untuk pemanfaatan tidak boleh melebihi jumlah sumberdaya pulih (renewable resources) yang diambil dari pada yang dihasilkan maupun yang diperbaharui selama periode waktu tertentu. Sedangkan untuk sumberdaya tak pulih (nonrenewable resources), eksploitasinya harus dilakukan secara bijaksana sehingga dampak yang terkait tidak membahayakan lingkungan pesisirnya. Goodland and Ledec (1987) dalam Dahuri (1998) menyatakan bahwa laju pengambilan sumberdaya tak pulih harus selambat mungkin sehingga memberikan kesempatan transisi masyarakat secara berurut ke sumberdaya yang dapat diperbaharui sebagai penggantinya. (3). Pengendalian polusi. Pengendalian polusi bertujuan untuk memastikan bahwa semua limbah dari kegiatan pembangunan baik yang di wilayah pesisir maupun di luarnya tidak melampaui kapasitas asimilasi. Kapasitas asimilasi merupakan kemampuan wilayah pesisir menyerap sejumlah limbah tertentu sebelum terjadi kerusakan lingkungan atau kesehatan. Dalam hal ini, kapasitas asimilasi dapat dinyatakan sebagai daya dukung wilayah pesisir dalam menerima limbah. (4). Minimisasi dampak lingkungan. Minimisasi dampak lingkungan merupakan suatu keharusan dalam pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan. Semua kegiatan pembangunan mempunyai dampak pada ekosistem alami. Sebagai contoh adalah budidaya tambak intensif, konversi mangrove ke pemanfaatan tertentu, ekowisata massal, dan pembangunan industri. Menurut Bengen (2000), secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Seperti pernyataan Dahuri (1998), keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan sebagai zona pemanfaatan tetapi sebagian harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keberadaan zona-zona ini sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah dan sumber keanekaragaman hayati. Zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya seluas 30-50% dari luas totalnya.

26 10 Fungsi Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan Fungsi mangrove mempunyai banyak manfaat dalam menjaga ekosistem wilayah pesisir. Bengen (2000) menyatakan beberapa fungsi ekologis penting dari mangrove, yaitu : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari aberasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) sebagai penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon bakau yang rontok. Sebagian detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi pemakan detritus dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan, (3) sebagi daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung ditetapkan bahwa kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian dengan lebar 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat dan sempadan sungai adalah 100 meter di kanan-kiri sungai besar serta 50 meter di kanan-kiri sungai kecil. Sempadan pantai dan sempadan sungai merupakan lahan potensial sebagai jalur hijau demi menjaga kelangsungan ekosistem di dalamnya. Jalur hijau mangrove ditentukan dengan lebar minimal 130 kali nilai rerata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Untuk kawasan pertambakan, keberadaan pohon mangrove difungsikan sebagai sabuk hijau yang dikenal sebagai mangrove green belt (MGB). Boers(2001) menyatakan bahwa MGB dapat difungsikan sebagai penyaring (filter) air yang masuk tambak dari penyakit ikan atau udang yang disebabkan oleh virus maupun bakteri karena beberapa hewan, seperti oyster, berkoloni dengan akar pohon mangrove melalui kegiatan pemangsaan. Boers (2001) juga memberikan model ideal pertambakan di wilayah pesisir. Beberapa sifat yang harus ada dalam model tersebut, yaitu : 1. Pasang surut yang signifikan 2. Sabuk hijau mangrove / mangrove green belt (MGB) 3. Aliran air satu arah (one way flow of water) 4. Tambak biofilter (biofilter pounds) 5. Tambak penyangga (buffer pounds)

27 11 Tambak biofilter berfungsi untuk mempertahankan kualitas air sebelum dimasukkan ke tambak budidaya atau pembesaran udang.tambak biofilter ini biasanya diisi dengan rumput laut (seaweeds) dan organisme pemangsa untuk menghilangkan penyakit, bahan partikulat terlarut, dan nutrien. Sedangkan tambak penyangga (buffer ponds) berfungsi untuk mencegah pemangsa udang masuk kedalam tambak budidaya karena mangrove sebagai sabuk hijau juga merupakan habitat bagi sejumlah predator, seperti kadal (Varannus spp.). Daya Dukung Wilayah Pesisir Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung merupakan istilah yang lebih umum untuk karakter lingkungan dan kemampuannya dalam mengakomodasi suatu kegiatan tertentu atau laju suatu kegiatan tanpa dampak yang tidak dapat diterima (Gesamp, 1986 dalam Nautilus Consultants, 2000). Dalam prakteknya, dikenal beberapa istilah daya dukung. Daya dukung adalah jumlah organisme, atau jumlah kegiatan usaha atau total produksi, yang dapat didukung oleh suatu area, ekosistem atau garis pantai yang didefinisikan (Nautilus Consultants, 2000). Untuk suatu wilayah yang didefinisikan, dikenal dengan istilah daya dukung wilayah, yaitu kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan berbagai pemanfaatan sumberdaya (kegiatan pembangunan). (Clark, 1992). Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi dapat menurun akibat kegiatan manusia yang menghasilkan limbah atau kerusakan alam, seperti bencana alam, atau bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (Clark,1996). Scones (1993) membagi daya dukung menjadi dua, yaitu : daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.

28 12 Menurut Bengen (2002a), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi 4 macam, yaitu : daya dukung ekologis, fisik, sosial dan ekonomi. 1. Daya Dukung Ekologis : tingkat maksimum (baik jumlah maupu volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. 2. Daya Dukung Fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa menyebabkan penurunan kualitas fisik. 3. Daya Dukung Sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. 4. Daya Dukung Ekonomis : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Dari keempat daya dukung tersebut yang sering digunakan adalah daya dukung ekologis, yang juga disebut sebagai daya dukung lingkungan. Pada penelitian ini akan lebih diprioritaskan pada kajian daya dukung lingkungan dari pada daya dukung lainnya. Daya dukung lingkungan dan daya dukung ekonomis akan dijabarkan lebih detil pada sub-bab berikut ini. Daya Dukung Lingkungan (Daya Dukung Ekologis) Menurut Purnomo (1992), daya dukung lingkungan merupakan nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung lingkungan lahan pantai untuk pertambakan ditentukan oleh kualitas air, air sumber (asin dan tawar), hidro-osenografi (arus, pasang surut), topografi dan klimatologi daerah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di daerah hulu. Dengan kata lain daya dukung lingkungan ditentukan oleh kualitas / karakteristik lahan dan perairannya. Allen dan Hardy (1980) dalam Clark (1996) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan dampak lingkungan, daya dukung lingkungan merujuk pada tingkat maksimum kegiatan yang akan mengakibatkan penurunan sumberdaya

29 13 secara fisik atau kerusakan habitat alami. Dalam konteks pembangunan, sering digunakan istilah batas perubahan yang dapat diterima. Konsep ini kelihatan lebih fleksibel dengan harapan dampak bawaannya karena pembangunan akan memodifikasi sumberdaya (Clark, 1996). Daya dukung suatu kawasan perairan didefinisikan sebagai kemampuan dalam memproduksi biota (ikan / udang) dengan tidak menunjukkan gejala perusakan kualitas air (pencemaran) (Widigdo dan Pariwono, 2003). Limbah yang dibuang dari proses produksi tidak mengakibatkan proses eutrifikasi perairan penerimanya. Limbah cair tambak biasanya dibuang ke sungai, perairan pantai atau langsung ke laut. Kapasitas atau daya tampung perairan untuk menerima limbah berbanding lurus dengan kualitas perairan. Rakocy dan Alison (1981) dalam Widigdo dan Pariwono, (2003) menyatakan bahwa untuk menjaga kualitas perairan masih tetap layak (tanpa melebihi daya dukung lingkungan) untuk budidaya, maka perairan penerima limbah dari kegiatan budidaya harus memiliki volume antara kali lipat dari volume limbah yang dibuang ke perairan. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka jumlah limbah organik (V limbah tambak) yang dibuang ke perairan pesisir yang tidak melampaui daya dukung lingkungan adalah maksimum seperseratus kali dari volume air yang tersedia (V perairan). Secara matematis, hal tersebut dapat ditulis sebagai berikut : V perairan > 100 V limbah tambak.... (1) Dengan penyerderhanaan (dasar laut di perairan pantai yang diamati mempunyai variasi yang kecil) dan memperhatikan Gambar 3, volume perairan dapat dihitung dengan menggunakan rumus V perairan = 0,5 h y ( 2 x ( h / tan θ )) (2) x Air Pasang θ h Air Surut Kedalaman Air Intake Gambar 3 Ilustrasi kondisi perairan pantai

30 14 Dengan ketentuan : y = panjang garis pantai kawasan h = kisaran pasang x = jarak dari garis pantai pada air pasang ke arah laut sampai mencapai titik dimana kedalaman air pada saat surut adalah satu meter dan tidak lagi terpengaruh oleh gerakan turbulen air dasar. θ = sudut kemiringan pantai Dengan diketahuinya V perairan, maka V limbah dapat dihitung berdasarkan rumus (2). Karena limbah utama dari kegiatan budidaya udang adalah bahan organik yang terutama berasal dari sisa-sisa pakan, kotoran, dan bahan-bahan terlarut, maka prediksi limbah dapat dikaitkan dengan jumlah pakan yang diberikan. Dari hasil monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994) dalam DKP-Dirjen UP3K dan PKSPL-IPB (2000) terhadap tambak udang intensif menyebutkan bahwa 15 % dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85 % yang dimakan sebagian besar juga dikembalikan lagi ke lingkungan dalam bentuk limbah. 20 % dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah padat berupa faeces. Jadi limbahnya sebesar 35 % dari pakan yang diberikan. Untuk jenis tambak tertentu ( intensif / semi intensif / tradisional ), jumlah pakan dapat dikaitkan dengan udang yang dihasilkan yaitu dengan Food Conversion Ratio (FCR) dan produktivitas tambak akan juga terkait dengan luas tambak. Jadi luas tambak yang sesuai dengan daya dukungnya juga dapat ditentukan. Luas tambak ini yang akan digunakan sebagai pembatas dalam pengembangan pemanfaatan ruang pesisir. Dengan diketahuinya daya dukung, pemanfaatan wilayah pesisir, khususnya untuk pertambakan, dapat dilaksanakan secara berkelanjutan karena daya dukung tersebut sebagai salah satu kriteria atau batasan dalam pengembangan / pengelolaan wilayah pesisir. Widigdo dan Pariwono (2003) juga mengembangkan metode penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan. Metode penilaian daya dukung tersebut didasarkan pada ketersediaan air yang ada di perairan untuk menampung limbah budidaya tambak. Metode tersebut sudah diterapkan di pantai utara Jawa Barat (Kabupaten Subang, Teluk Jakarta dan Subang) untuk budidaya udang.

31 15 Metode penilaian daya dukung lingkungan ini juga sudah diujicobakan oleh Rustam (2005) dan Sitorus (2005). Rustam (2005) menggunakan metode tersebut untuk menentukan daya dukung lingkungan kawasan pesisir Kabupaten Barru Sulawesi Selatan untuk budidaya udang. Dengan metode tersebut, luas areal tambak yang dapat didukung oleh perairan di daerah tersebut agar tetap lestari sebesar 694,6 ha untuk tambak intensif atau 1389,2 ha tambak semiintensif. Hasil tersebut digunakan untuk menggambarkan rencana pengembangan budidaya perikanan di daerah tersebut. Selain itu, Rustam juga meggunakan pendekatan lainnya dalam menentukan daya dukung lingkungan, yaitu :berdasarkan oksigen terlarut dengan limbah organik dan kapasitas asimilasi perairan (kemampuan perairan untuk menerima limbah tanpa menyebabkan perairan tercemar). Lebih jauh Sitorus(2005) menggunakan metode estimasi daya dukung lingkungan tersebut untuk pengembangan areal tambak berdasarkan laju biodegradasi limbah tambak di perairan pesisir Kabupaten Serang. Meskipun metode ini menggunakan penyederhanaan dan beberapa asumsi namun metode ini telah memberikan gambaran tentang ketersediaan air di perairan sekitar kawasan pertambakan. Kelemahan metode penentuan daya dukung lingkungan ini hanya didasarkan pada pendekatan ketersediaan air di perairan wilayah pesisir. Padahal di beberapa lokasi, ketersediaan air bukan merupakan faktor pembatas dalam pengembangan budidaya tambak sehingga pendekatan yang lain masih perlu dipertimbangkan lagi selain metode tersebut. Metode penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan masih terus dikembangkan. Menurut Purnomo (1992) daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen fisika, kimia, dan biologi dalam suatu kesatuan ekosistem. Dari ide tersebut, timbul pemikiran untuk mengkaitkan kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif dengan daya dukung lingkungan yang bersifat kuantitatif karena kesesuaian lahan pesisir juga dipakai untuk mengevaluasi potensi pesisir untuk budidaya perikanan secara menyeluruh. Oleh karena itu, metode penilaian daya dukung lingkungan dengan pendekatan yang baru dan menyeluruh ini akan diuji cobakan dalam penelitian ini. Metode ini akan mengkuantifikasi kelas kesesuaian lahan untuk pertambakan menjadi nilai daya dukung lingkungan kawasan pertambakan.

32 16 Pada penelitian ini, daya dukung kawasan pertambakan tersebut dipakai sebagai faktor pembatas dan dipertimbangkan sebagai prioritas utama dalam optimalisasi pemanfaatan lahan pesisirnya. Pertimbangan daya dukung sebagai prioritas utama karena pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan sudah melampaui daya dukung. Oleh karena itu, optimalisasinya lebih cenderung ditekankan pada perbaikan kualitas lingkungan sehingga diharapkan ke depan pengelolaan kawasan pertambakan tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Daya Dukung Ekonomis Daya dukung ekonomis suatu kawasan pertambakan merupakan tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum pada suatu kawasan pertambakan dan ditentukan oleh tujuan usaha budidaya tambak secara ekonomi. Salah satu cara untuk menentukan daya dukung ekonomis ini adalah melihat produksi maksimum suatu kawasan pertambakan dalam rentang waktu tertentu, yang dikaitkan dengan rentang waktu hidup budidaya tambak tersebut. Daya dukung ekonomis kawasan pertambakan pernah dilakukan oleh Cheng Gong, et al., (1997). Mereka memprediksi nilai daya dukung budidaya persisir dan laut di Xiamen dengan metode analisis regresi. Metode penilaian daya dukung ekonomis ini dipakai berdasarkan laporan kondisi produksi secara riil dan time-series sehingga daya dukung yang dicari sebenarnya daya dukung ekonomis. Hasil akhir metode ini adalah luas lahan yang masih dapat didukung dalam kegiatan budidaya. Hasil tersebut sangat baik untuk memprediksi daya dukung suatu kawasan karena nilai variabelnya berdasarkan kondisi riil yang telah terjadi. Namun demikian, metode ini memerlukan data perkembangan produktivitas tambak dan luas lahan tambak secara time-series sehingga di beberapa tempat data time-series tersebut susah didapatkan. Produksi budidaya tambak secara intensif lebih banyak dibandingkan dengan produksi budidaya tambak secara semi-intensif maupun tradisional tetapi rentang waktu hidupnya lebih pendek daripada keduanya. Produksi budidaya tambak yang paling rendah adalah budidaya tambak secara tradisional tetapi rentang waktu hidup yang paling panjang. Perbandingan tingkat produksi dan rentang waktu hidup tambak disajikan pada Gambar 4.

33 17 15 Produksi (ton ha -1 th -1 ) Intensif 10 5 Semi Intensif Extensif 0 Polikultur tradisional Tahun Gambar 4 Hubungan tingkat produksi dan rentang waktu hidup (life time) yang diharapkan dari sistem budidaya tambak udang. Sebagai gambaran, perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya udang untuk tiga tingkatan sistem budidaya di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Nilai produksi tambak udang tradisional, semi-intensif dan intensif berturut-turut sebesar 162, dan kg ha -1 th -1 sedangkan biaya total perawatan tambak udang terkecil adalah biaya perawatan budidaya semiintensif, yaitu 3,77 $US kg -1. Namun demikian untuk harga udang justru sebaliknya, yaitu : harga udang tertinggi dihasilkan dari budidaya udang tambak tradisional. Hal ini dapat disebabkan oleh kualitas udang yang lebih alami (tidak banyak dipengaruhi oleh pakan buatan). Secara umum, nilai produksi tambak tradisional, semi-intensif dan intensif untuk setiap musim tanam berturut-turut sebesar kg ha -1, 1 2 ton ha -1, dan 2 5 ton ha -1 (Deb,1998). Tambak tradisional sedikit atau bahkan tidak menimbulkan dampak lingkungan dibandingkan dengan tambak semi-intensif

34 18 maupun intensif karena benih dan pakannya diambil secara alami. Perbedaan masing-masing budidaya tambak tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya untuk tiga tingkatan budidaya di Indonesia No. Komponen budidaya Tradisional Semi-intensif Intensif 1. Produksi (kg ha -1 th -1 ) Biaya ($US kg -1 ) - Biaya variabel 2,66 2,95 3,40 - Biaya tetap 1,20 0,82 1,19 Total biaya 3,86 3,77 4,59 3. Harga udang 6,84 6,83 6,48 4. Keuntungan (Profit) 2,98 3,06 1,89 5. Keuntungan per ha per tahun (Profitability) 482, , ,88 Sumber : Boers (2001) Tabel 2. Perbedaan budidaya tambak tradisional, semi-intensif, dan intensif. No. Parameter Tradisional Semi-intensif Intensif 1. Produksi kg ha ton ha ton ha Benih Alami Alami / Hatchery Hatchery 3. Padat Penebaran < 10 ekor m <30 ekor m -2 > 30 ekor m Pakan Alami Pellet Pellet 5. Dampak terhadap lingkungan Tidak ada / sedikit Sedang - tinggi Sangat tinggi 6. Pengelolaan air Pasang surut Pompa/aerasi Pompa/aerasi 7. Kincir Tidak ada > 4 ha -1 > 8 ha Kedalaman air 0,3 0,5 m 0,6 1,5 m 1,0 1,5 m 9. Luas tambak 3 10 ha 0,5 1,0 ha 0,25 0,5 ha 10. Waktu pemeliharaan Sumber : Deb (1998) 4 6 bulan 3 4 bulan 3 4 bulan Di Kabupaten Gresik, jenis tambak yang berkembang adalah tambak tradisional dengan budidaya udang dan ikan bandeng. Budidaya ikan bandeng lebih berkembang dari pada budidaya udang. Pada tahun 2002, produksi bandeng sebesar 87,75 % (16.166,70 ton / ,40 ton) dan produksi udang hanya 12,25 %. Hal ini terlihat dari produksi yang dihasilkan selama tiga tahun (tahun ), data disajikan pada Gambar 5. Jadi sebenarnya ditinjau dari produksi maksimum suatu tambak, daya dukung ekonomis budidaya tambak tradisional lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung ekonomis budidaya tambak intensif maupun semi-intensif namun demikian rentang waktu hidup usaha budidayanya paling lama. Dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, produksi maksimum suatu tambak juga ditentukan

35 19 oleh kondisi lingkungan perairannya sehingga keberlanjutan usaha budidaya tambak ditentukan juga oleh kondisi lingkungan perairan. Oleh karena itu, dalam pengelolaan wilayah pesisir, daya dukung ekologis perlu juga diperhatikan dalam mempertimbangkan pemilihan teknologi budidaya tambak yang akan diterapkan pada suatu kawasan pertambakan. Produksi Produksi tambak tambak (ton) (Ton) ,1 Produksi tambak (Ton) di Kabupaten Gresik Pada Tahun ,9 1015, ,6 1072,8 1084, ,7 1158,8 1098, Tahun Bandeng Udang Windu Udang Putih Sumber : BPS ( ) Gambar 5 Produksi tambak (ton) di Kabupaten Gresik pada tahun Evaluasi Kesesuaian Lahan Pesisir untuk Pertambakan Menurut FAO (1976), proses penilaian kesesuaian lahan tambak adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan tambak dengan kualitas lahan pesisir yang terbawa pada satuan peta lahannya. Oleh karena itu, perlu dijelaskan tentang syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan budidaya tambak. Syarat-syarat penggunaan lahan pesisir tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan tergantung pada letak geografis. Pada penelitian ini akan memakai syarat-syarat penggunaan lahan pesisir yang mendekati dengan kondisi daerah penelitian. Namun demikian, persyaratan secara umum akan diuraikan berikut ini.

36 20 Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan lahan untuk budidaya tambak, yaitu : sumber air (debit dan kualitasnya), amplitudo pasang surut, topografi, iklim, dan sifat tanah. Sumber air merupakan faktor yang utama dalam budidaya tambak karena air merupakan media untuk kehidupan ikan dan tempat pertumbuhan plankton dimana plankton merupakan salah satu sumber makanan ikan. Karena pentingnya sumber air bagi kehidupan perairan tambak, maka sumber air ini baik debit maupun kualitasnya dapat dijadikan sebagai ukuran penentuan daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya tambak. Selain itu, sumber air tersebut sangat sensitif terhadap pembangunan / pengembangan wilayah pesisir sedangkan amplitudo pasang surut, topografi, iklim dan sifat tanah cenderung kurang peka. Sumber air dapat ditinjau dari kuantitas dan kualitas. Kuantitas air yang lalu lalang di perairan budidaya sangat dipengaruhi oleh pola arus dan pasang surut yang akan dijelaskan kemudian. Widigdo (2001) menyatakan bahwa kuantitas air sangat membantu dalam proses mencerna limbah tambak yang diterima kawasan tersebut. Makin banyak kuantitas air yang lalu lalang makin tinggi kapasitas mencerna limbahnya. Sedangkan kualitas air menurut Boyd (1991) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) mengemukakan bahwa kualitas air akan mempengaruhi produksi ikan dalam tambak. Kualitas air tersebut antara lain : (a) oksigen terlarut, (b) salinitas, (c) suhu, (d) kekeruhan dan warna (kecerahan), (e) kemasaman (ph), (f) amoniak (NH 3 ),dan (g) hidrogen sulfida (H 2 S). Penilaian kualitas air untuk udang dan bandeng dinyatakan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Selain sumber air (kuantitas dan kualitas), amplitudo pasang surut, topografi, iklim, dan sifat tanah merupakan parameter penentu syarat kesesuaian lahan untuk tambak. Amplitudo pasang surut (pasut) merupakan salah satu penciri batasan dari wilayah pesisir. Amplitudo pasut tersebut menjadi syarat penting dalam penentuan lokasi tambak udang dan ikan bandeng, seperti yang dinyatakan Widigdo (2001) yaitu bahwa lahan yang cocok untuk kegiatan budidaya tambak adalah daerah yang masih terjangkau pasang surut dan lebih ideal lagi apabila terdapat sungai untuk membuat salinitas ideal bagi pertumbuhan udang dan bandeng.

37 21 Tabel 3 Kualitas air untuk udang (Achmad,1991; Boyd,1991) No Peubah Kadar Kualitas 1 Oksigen terlarut > 5 Baik (ideal : 7 10 mg/l pada siang hari) (mg L -1 ) 1 5 Pertumbuhan terhambat < 1 2 Salinitas ( o / oo) > 35 > 50 < 12 3 Suhu ( o C) < 12 > 25 4 Kecerahan (cm) < 25 > 40 5 ph 7 9 > 10 < 7 6 Amoniak (NH 3) (mg L -1 ) 7 H 2S (mg L -1 ) < 0,1 0,1 0,25 > 0,25 Udang mati Baik Masih tumbuh normal Pertumbuhan lambat Mulai mati Tidak terganggu sehebat salinitas tinggi, tetapi metabolisme pigmen tidak sempurna (warna udang lebih biru), kulit lunak. Baik Masih tumbuh normal Nafsu makan mulai turun Mulai berbahaya Mulai mati Mulai berbahaya sampai mulai mati Baik Phytoplankton die-off oksigen terlarut turun cepat Tidak baik,phytoplankton terlalu sedikit Baik Tidak baik Tidak baik < 0,3 Optimal Baik Keracunan Kematian massal Tabel 4 Kualitas air untuk bandeng No Peubah Kadar Kualitas 1 Oksigen terlarut (mg L -1 ) > 3 Baik 2 Salinitas ( o / oo) Baik 3 Suhu ( o C) Baik 4 Kecerahan (cm) Baik 5 ph 7,5 8,5 Baik 6 Amoniak (NH 3) (mg L -1 ) - 7 H 2S (mg L -1 ) - 8 Alkalinitas (ppm) > 150 Baik Sumber : Arsyad dan samsi (1990) dalam Hardjowigeno (2001) Rerata tinggi air pasang dan rerata tinggi air surut merupakan hal yang harus diperhatikan dalam budidaya tambak. Rerata tinggi air pasang adalah rerata dari air pasang tertinggi dan air pasang terendah, sedangkan rerata tinggi air surut adalah rerata dari air surut tertinggi dan air surut terendah. Kedua rerata tersebut diperlukan untuk menetapkan daerah yang dinilai masih berada dalam batas-batas air pasang surut. Apabila daerah tersebut masih terletak dalam batas- batas pasang surut maka pembuatan tambak udang dan bandeng masih dimungkinkan. Selain itu, pada saat bulan purnama dan perbani, air pasang tertinggi tidak boleh melampaui tinggi pematang utama maupun pematang antara

38 22 tambak. Pada saat surut tertinggi, air kira-kira sejajar dengan pelataran tambak sehingga parit keliling masih penuh berisi air. Topografi terkait dengan kecuraman, panjang dan bentuk lereng. Daerah yang datar dan masih dapat digenangi langsung oleh air pasang surut merupakan daerah yang sesuai untuk pertambakan. Ketinggian daerah tersebut tidak boleh melebihi tinggi permukaan air pasang tertinggi dan juga tidak boleh lebih rendah daripada tinggi permukaan air surut terendah (tempat-tempat yang merupakan cekungan) sekalipun masih dekat pantai. Topografi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan kesulitan dalam pengelolaan air. Iklim menyatakan kondisi curah hujan dan bulan kering di suatu tempat. Suseno (1988) menyatakan bahwa curah hujan yang cukup baik untuk tambak adalah antara mm th -1 dengan bulan kering 2 3 bulan. Curah hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk tambak karena pengelolaan tambak memerlukan pengeringan dasar tambak secara berkala untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H 2 S. Sebaliknya, curah hujan yang terlalu rendah dan bulan kering yang terlalu panjang juga kurang baik untuk pertambakan. Dalam budidaya tambak, tanah mempengaruhi kondisi tambak, antara lain: tanah sebagai sumber hara dan pertumbuhan klekap maupun sebagai sumber unsur beracun dalam air tambak. Beberapa unsur hara yang mudah larut dalam air dapat mempengaruhi kualitas air tambak yang kemudian dapat mempengaruhi pertumbuhan plankton dan organisme lain dalam tambak tersebut. Klekap yang tumbuh di atas tanah berlumpur, umumnya lebih subur dari pada yang tumbuh di atas tanah berpasir. Selain tersebut di atas, tekstur tanah yang bersifat porous dapat juga menimbulkan masalah dalam pengelolaan tambak karena tambak kurang mampu menahan air. Porositas yang tinggi umumnya disebabkan tekstur tanah yang kasar. Semakin kasar tekstur tanahnya semakin tinggi pula porositasnya sehingga semakin kurang cocok untuk budidaya tambak. Secara umum, semua persyaratan kesesuaian lahan pesisir untuk budaya tambak disajikan pada Lampiran 1. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor pembatas terberat atau yang paling sulit diatasi dan faktor pembatas yang dipakai sebagai pembeda kelas tingkat kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian

39 23 lahan ditentukan berdasarkan metode FAO dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) berikut ini. 1. Kelas : sangat sesuai. Lahan tidak memiliki factor pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan atau hanya memiliki pembatas yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi dan tidak menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. 2. Kelas : cukup sesuai. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. 3. Kelas S3 : sesuai marjinal. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan 4. Kelas N1 : tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya sehingga mencegah penggunaan lahan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. 5. Kelas N2 : tidak sesuai untuk selamanya. Lahan mempunyai pembatas permanent yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Sebenarnya dalam penilaian kesesuaian lahan, ada dua istilah penting, yaitu : kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual atau alami merupakan kesesuaian lahan yang belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada disetiap satuan peta. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan actual, pertama kali dilakukan penilaian terhadap masing-masing kualitas lahan berdasar atas karakteristik lahan terjelek, kemudian kelas kesesuaian lahannya ditentukan berdasarkan atas kualitas lahan terjelek. Kesesuaian lahan potensial merupakan kesesuaian lahan yang akan dicapai setelah dilakukan usaha perbaikan lahan. Kesesuaian lahan potensial

40 24 tersebut menggambarkan kondisi yang diharapkan setelah diberikan masukan (input) sesuai dengan tingkat pengelolaan yang akan diterapkan sehingga tingkat produktivitas suatu lahan dapat diperkirakan. Untuk menentukan jenis usaha perbaikan, karakteristik lahan yang tergabung dalam kualitas lahan harus diperhatikan. Dalam budidaya tambak udang maupun ikan bandeng, sebenarnya kesesuaian lahan aktual / alami diterapkan pada jenis budidaya tradisional sedangkan untuk budidaya semi-intensif maupun intensif akan banyak terkait dengan kesesuaian lahan potensial karena di dalam budidaya semi-intensif dan intensif itu sendiri sudah menggunakan input teknologi dalam sistem budidayanya, seperti : penggunaan pompa untuk mengambil sumber air, penggunaan aerasi untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut. Model Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU RI Nomor 27, 2007). Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna tanah, tataguna air, tataguna udara dan tataguna sumberdaya lainnya. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir untuk pertambakan tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan tata ruang daratannya karena wilayah pesisir yang digunakan untuk tambak juga dipengaruhi oleh aktivitas di darat, terutama yang terkait dengan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu, dalam perencanaan pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan harus memahami karakter sumberdaya dan proses lingkungan, karakter ekonomi dan masyarakat lokal, serta kekuatan dan kelemahan daerah studi dalam ekonomi nasional maupun internasional. Pemodelan LGP untuk Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Pesisir Model optimasi pemanfatan ruang pesisir akan dikembangkan dengan menggunakan pemrograman tujuan ganda. Salah satu dari pemrograman tujuan ganda adalah linear goal programming (LGP). Pendekatan ini telah digunakan oleh beberapa peneliti lain untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan. Program tujuan ganda merupakan teknik pemrograman matematik untuk menyelesaikan suatu masalah, penarikan keputusan dengan beberapa tujuan /

41 25 sasaran. Ciri utama program tujuan ganda ini adalah : (1) sasaran yang ingin dicapai diberi urutan prioritas, (2) pemenuhan sasaran berdasarkan urutan prioritas, dari yang tinggi ke rendah, (3) sasaran tidak harus terpenuhi secara tepat, tetapi mengurangi penyimpangan dari sasaran. Menurut Gallagher and Watson (1980) dalam Budiharsono (2001), pengembangan model LGP tersebut pada dasarnya bertujuan meminimumkan simpangan (deviasi) terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kendala-kendala atau syarat ikatan yang ada, yaitu kendala tujuan. Secara umum model LGP tersebut adalah sebagai berikut: Meminimumkan fungsi Tujuan : Kendala tujuan / target : Kendala riil / fungsional : Dengan ketentuan : X : peubah keputusan (jenis penggunaan ruang) ke j e a g f d d ij P k W i j k kj i k j i + i ki n j= 1 a kjj P m + Min Z = Pk Wkl ( di + di ) X n j j= 1 e ij f k X j k = 1 + d i atau : koefisien Xj pada kendala tujuan (goal) ke- i : koefisien Xj pada kendala riil ke- k : sasaran / tujuan target ke - i : jumlah sumberdaya k yang tersedia : jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) terhadap tujuan ke-i (g i ) : jumlah unit deviasi yang kelebihan (+) terhadap tujuan ke- i (g i ) : faktor prioritas ordinal ke- k : bobot relatif dari d + i dan d - i dalam urutan prioritas ke- k : 1, 2, 3., m, nomor fungsi kendala : 1, 2, 3., n, nomor peubah keputusan : 1, 2, 3., p, urutan prioritas dari fungsi kendala. Model optimalisasi LGP telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan. Mahmudi (2002) menggunakannya dalam mengoptimalkan penggunaan lahan dan penetapan daya dukung lingkungan di daerah tangkapan air Cilampuyang, Sub-Das l = 1 d + i n j= (3) = g a kjj i X j... (4) f k... (5) + X, d, d 0... (6) d j i i d + i i = 0... (7)

42 26 Cimanuk Hulu, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Yulistyo (2006) juga menggunakan LGP untuk keperluan analisis kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan di Ternate, Maluku Utara. LGP diterapkan untuk mengalokasikan jumlah armada dari teknologi penangkapan yang terpilih secara optimum. Kelemahan model LGP ini adalah apabila asumsi yang dipakai untuk mendeskripsikan keadaan kurang tepat. Kesalahan dapat terjadi apabila fungsi tujuan dan kendala yang sebenarnya tidak linier tapi diasumsikan linear. Namun demikian, apabila fungsi tujuan dan kendala memang linear atau mendekati linear, maka LGP tersebut merupakan model yang sangat baik untuk menyelesaikan permasalahan optimalisasi. Jadi penggunaan model LGP tersebut bermanfaat dan diterapkan untuk berbagai bidang kajian yang berbeda-beda. Pada penelitian ini, aplikasi LGP tersebut digunakan untuk optimalisasi pemanfaatan lahan dengan pertimbangan faktor ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Selain itu, optimalisasi tersebut dirumuskan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan sebagai faktor pembatas dan merupakan prioritas utama. Hal tersebut merupakan suatu pendekatan optimalisasi lahan secara komprehensif dan aplikasi LGP yang belum pernah diujicobakan dalam suatu penelitian. Arahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Saat ini Di Kabupaten Gresik Berdasarkan RTRW Kabupaten Gresik , daerah studi termasuk dalam Satuan Wilayah Pengembangan Pertama (SWP I). Kegiatan utama yang dikembangkan di wilayah ini adalah pengembangan perikanan, pertanian tanaman pangan, perkebunan, pertambangan, perumahan, pariwisata dan industri kecil. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Khusus Gresik Utara Tahun (BAPPEDA KAB GRESIK dan ITS, 2002), tiga kecamatan pada daerah studi (Kecamatan Sidayu, Bungah dan Ujungpangkah) merupakan kawasan andalan untuk sektor budidaya perikanan. Disebutkan juga bahwa sub sektor unggulan ini perlu dibenahi. Usaha yang harus dilakukan diarahkan pada kegiatan berikut ini : 1. Peningkatan teknologi budidaya tambak, 2. Penanggulangan masalah pencemaran air,

43 27 3. Rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang, 4. Peningkatan teknologi armada dan alat penangkap ikan, 5. Peningkatan kualitas SDM nelayan dan petani tambak, 6. Peningkatan penanganan pasca panen produk perikanan. Selain itu disebutkan juga bahwa Kabupaten Gresik akan mengembangkan wilayah pesisirnya untuk perluasan industri. Pengembangan industri tersebut hingga sampai Kecamatan Manyar, sebelah selatan daerah studi. Dari arahan penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang Khusus Gresik Utara Tahun (BAPPEDA KAB GRESIK dan ITS, 2002) diketahui bahwa penggunaan lahan untuk usaha budidaya tambak di Kecamatan Bungah dan Ujungpangkah cenderung menurun. Untuk Kecamatan Bungah, luas tambak menurun dari 3160,76 ha (kondisi eksisting) menjadi 2960,76 ha dan Kecamatan Ujungpangkah, luas tambak menurun dari 4060,3 ha (kondisi eksisting) menjadi 1268,00 ha sedangkan penggunaan lahan di Kecamatan Sidayu tetap dipertahankan, yaitu seluas 1447 ha. Secara umum, pola penggunaan lahan di daerah studi dapat dibedakan menjadi empat bagian, yaitu : tambak, permukiman / perumahan, tegalan dan sawah. Pola penggunaan lahan tersebut diperlihatkan pada Lampiran 2. Hasil perhitungan berdasarkan peta digital dan citra satelit 2005 memperlihatkan bahwa penggunaan lahan yang ada didominasi oleh kawasan pertambakan (11.911,50 ha), kemudian diikuti tegalan (6.178,81 ha), sawah (5.546,33 ha) dan permukiman (1.393,48 ha). Luas masing-masing penggunaan lahan tersebut sedikit berbeda dengan data dari Badan Pusat Statistik / BPS (2002) yang dapat dilihat pada Lampiran 2, untuk kawasan pertambakan seluas 8.972,94 ha, tegalan sebesar 6.218,86 ha, permukiman seluas 2.940,00 ha, dan sawah sebesar 2.862,33 ha. Perbedaan luas penggunaan lahan tersebut dapat terjadi karena dasar penentuan luasnya memang berbeda. Pada penelitian ini, luas kawasan pertambakan ditentukan berdasarkan peta karena luas tersebut diperoleh dari kondisi kawasan pertambakan saat ini berdasarkan citra satelit tahun 2005 dan 2002 serta sumber lain yang disebutkan pada peta. Luas kawasan pertambakan tersebut lebih besar dari pada luas tambak yang dinyatakan BPS. Luas kawasan pertambakan tersebut termasuk luas mangrove, oleh karena itu, jumlahnya lebih besar.

44 28 Berdasarkan BPS (2002), di Kecamaan Ujung Pangkah, luas tambak, tegalan, permukiman dan sawah berturut-turut sebesar 4.304,11 ha, 3.275,12 ha, 1.156,00 ha dan 874,78 ha. Di Kecamaan Sedayu, luas tambak, tegalan, sawah dan permukiman berturut-turut sebesar 1.742,55 ha, 1.273,28 ha, 968 ha dan 867 ha. Di Kecamaan Bungah, luas tambak, tegalan, sawah dan permukiman berturut-turut sebesar 2.926,28 ha, 1.670,46 ha, 1.018,89 ha dan 917,00 ha. Jadi di ketiga kecamatan daerah studi, penggunaan lahan tambak merupakan penggunaan lahan yang terbesar. Oleh karena itu, kondisi biofisik maupun kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat setempat sangat bergantung pada kondisi tambak. Pertambakan di daerah studi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu tambak sepanjang tahun terus menerus dan tambak yang dirotasi dengan padi sawah. Usaha tambak sepanjang tahun dijumpai pada daerah tepi pantai di sekitar vegetasi mangrove yang selalu tersedia air payau sepanjang tahun. Pergiliran (rotasi) tambak dan padi sawah dijumpai pada lahan di sekitar tepian sungai Bengawan Solo. Pada musim kemarau saat kandungan salinitasnya relatif tinggi, lahan digunakan untuk tambak. Jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng dan udang (udang windu dan udang galah). Usaha pertambakan di daerah studi telah lama dikembangkan oleh masyarakat setempat. Pada awalnya kegiatan pertambakan hanya ditujukan untuk budidaya ikan bandeng, tetapi dengan adanya peningkatan permintaan pasar (domestik maupun internasional) terhadap jenis-jenis udang penaid (udang windu) menyebabkan terjadinya pergantian jenis komoditas yang dipelihara di tambak, yaitu dari ikan bandeng ke udang windu. Selain itu, dengan berkembangnya teknologi budidaya tambak maka usaha pertambakan di daerah studi mengalami pergeseran pola usaha, yaitu dari budidaya ekstensif (tradisional) ke budidaya semi-intensif dan intensif. Pergeseran pola usaha budidaya tersebut terjadi sekitar tahun 1990 an. Pergeseran pola usaha tersebut tidak diikuti dengan pengelolaan kawasan pertambakan yang baik. Air limbah yang dibuang ke perairan digunakan kembali oleh tambak lainnya. Hal ini yang mengakibatkan kualitas lingkungan tambak menurun sedikit demi sedikit dan pada akhirnya secara kumulatif mengakibatkan produksi tambak menurun. Pada saat ini usaha tambak di daerah pasang surut berubah hanya ke budidaya tradisional dan tradisional plus.

45 M E T O D O L O G I Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2004 sampai September 2006 di Kabupaten Gresik Jawa Timur yang berada pada posisi antara 6 o 49-7 o 05 Lintang Selatan dan 112 o o 40 Bujur Timur. Lokasi penelitian ini adalah wilayah pesisir kawasan pertambakan di Kecamatan Ujung Pangkah, Sidayu dan Bungah Kabupaten Gresik. Kawasan pertambakan tersebut berada mulai dari garis pantai hingga 4 km ke arah darat (berdasarkan salah satu kriteria kesesuaian budidaya tambak) (Gambar 6). Di daerah penelitian sebagian besar didominasi oleh tambak dan kemudian diikuti oleh tanah tegalan, sawah, hutan dan permukiman. Selain itu, daerah penelitian ini termasuk di daerah hilir Sungai Bengawan Solo. Keberadaan sungai tersebut merupakan potensi sebagai sumber air tawar utama bagi budidaya tambak yang akan berfungsi menjaga salinitas air tambak yang sesuai dengan kebutuhan budidaya tersebut dan sekaligus rawan terhadap pencemaran limbah dari luar maupun dalam wilayah studi. Oleh karena itu, kondisi sungai tersebut merupakan salah satu bagian yang sangat penting untuk dikaji pada penelitian ini. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada kajian yang terkait dengan isu dan permasalahan utama yang ada di daerah penelitian, yaitu : produktivitas tambak rendah dan produksinya menurun. Fokus kajian permasalahan tersebut berkaitan dengan kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan, optimalisasi dan pengelolaan kawasan pertambakan. Metode Pengumpulan Data Data Primer. Data primer yang dikumpulkan meliputi (1) data biogeofisik dan (2) data sosial ekonomi budaya, terutama usaha budidaya tambak.

46 ' ' Lokasi pengamatan sampel hidro-oseanografi: pasang surut, kecepatan arus, dan lereng pantai. Kecamatan Panceng L2 $Z $Z B T2 $Z Tn3 Tn1 Banyu Urip $Z $Z Kecamatan Ujung Pangkah Tn2 T3 B1 $Z B2 $Z T1 B5 B5, LB2,, $Z & Tn7 6 50' T4 $Z $Z $Z L3 L T5 $Z Tn4 T6 Sidayu $Z B4 L4 $Z $Z Kecamatan Sidayu T10, Tn5 T7 $Z Tn6 Kecamatan Bungah T8 $Z T11 $Z $Z Bungah T ' Keterangan lokasi pengambilan kualitas air dan Tanah : L : Laut, T : Tambak B : Bengawan/Sungai LB : Logam berat, Tn : Tanah LB1 6 50' 7 00' Gambar 65 Peta Lokasi Studi dan dan Pengambilan Contoh Sampel Keterangan : $Z Lokasi Pengambilan Sampel Batas Administrasi Penggunaan Lahan Pemukiman / Pekarangan Sawah, 1 x / tahun rotasi dg palawija Sawah, 2 x / tahun rotasi dg palawija Tambak Tambak, rotasi padi sawah Tegalan Wilayah Laut Kabupaten Lamongan Kabupaten Gresik Sungai Lokasi Studi U Propinsi Jawa Timur Sumber : Hasil Kompilasi dari - Peta RBI Skala 1:25.000, Bakosurtanal Citra Satelit Landsat ETM Peta Vegetasi dan Pertanian Skala 1: Puslitanak Bogor Hasil Survei Kecamatan Manyar Kilometer ' '

47 31 (1). Data biogeofisik. Data biogeofisik meliputi : (1) hidro-oseanografi (a. pasang surut, b. arus pasut, dan c. lereng pantai), (2) sifat tanah, (3) kualitas air dan (4) keberadaan ekosistem mangrove. Pengamatan parameter hidrooseanografi dilakukan di satu titik pengamatan, yaitu di perairan pesisir Kecamatan Ujung Pangkah (Gambar 6). Hidro-oseanografi diamati dengan menggunakan papan berskala, meteran, tali rafia, stopwatch, current meter, senter dan trimpot. Sifat tanah dan lumpur dilakukan pada beberapa lokasi (lihat peta lokasi pengambilan contoh tanah pada Lampiran 3) masing-masing sebanyak 7 dan 6 titik lokasi. Penentuan lokasi pengamatan tersebut didasarkan pada data sekunder SPT (Satuan Peta Tanah) yang diterbitkan Puslitanak (1995). Parameter tanah dan lumpur yang diamati adalah ph, N, C, P, K, Na, Ca, dan Mg. Analisis tanah dan lumpur dilakukan di Laboratorium Tanah Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN) Surabaya. Kualitas air diamati di beberapa lokasi pengamatan (Gambar 6) dan dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan. Pengambilan sampel kualitas air tersebut didasarkan pada peta SPT karena hasil pengamatan kualitas air tersebut dipakai untuk evaluasi kesesuaian lahan pesisir yang juga didasarkan pada peta SPT. Parameter kualitas air yang diamati meliputi : suhu, kecerahan, ph, salinitas, DO, BOD, padatan terlarut, amonia, nitrit dan nitrat. Beberapa parameter kualitas air tersebut diamati langsung di lapangan dan sebagian lainnya dianalisis di laboratorium. Secara lengkap parameter kualitas air dan peralatan yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Analisis air dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Hang Tuah Surabaya. Tabel 5 Beberapa parameter dan peralatan yang digunakan No Parameter Alat Keterangan 1. Suhu( o C) Termometer Pengukuran langsung 2. Kecerahan (m) Secchi disk Pengukuran langsung 3. ph ph meter Pengukuran langsung 4. Salinitas (ppt) Refraktrometer Pengukuran langsung 5. Oksigen terlarut (ppm) DO meter / titrasi Pengukuran langsung 6. BOD (ppm) Botol sampel, BOD meter Laboratorium 7. Padatan terlarut (mg/l) Botol sampel dan Ice box Laboratorium 8. Amonia (ppm) Spektrofotometer Laboratorium 9. Nitrit (ppm) Spektrofotometer Laboratorium 10. Nitrat (ppm) Spektrofotometer Laboratorium

48 32 Parameter logam berat dan bahan pencemar lain, seperti deterjen dan Organochlorin juga diamati pada dua lokasi, yaitu : di perbatasan perairan Kecamatan Bungah dan Kecamatan Manyar, dan perbatasan Sungai Bengawan Solo Kecamatan Bungah dan Kecamatan Manyar (di perbatasan perbedaan pemanfaatan lahan pesisir yang diduga sebagai sumber pencemar dari Industri). Parameter logam berat tersebut adalah Cu, Cd, Pb, Zn, Cr, Hg, dan Fe. Parameter logam berat dan bahan pencemar deterjen dan Organochlorin tersebut selanjutnya dianalisis di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Surabaya. Pengamatan mangrove dilakukan melalui interpretasi citra satelit dengan software ER-Mapper dan pengamatan langsung di lapangan tentang keberadaan ekosistem tersebut. Selain itu, interpretasi dan pengamatan lapangan untuk daerah aberasi dan akresi juga dilakukan. Dari interpretasi tersebut, masingmasing obyek dapat ditentukan luasnya dengan menggunakan analisis citra satelit dan SIG (Sistem Informasi Geografik), yang dijelaskan pada sub-bab berikutnya. (2). Keadaan sosial ekonomi budaya. Pengumpulan data keadaan sosial ekonomi budaya masyarakat dilakukan melalui wawancara. Wawancara dilakukan dengan orang yang mewakili kondisi responden (petani tambak dan masyarakat) secara keseluruhan. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang seluk beluk usaha budidaya tambak di daerah studi, antara lain : produksi tambak, sistem budidaya, biaya-biaya dan manfaat / keuntungan yang diperoleh oleh petani tambak. Selain itu, juga dilakukan penyebaran kuesioner yang dimaksudkan untuk mengetahui persepsi dan preferensi (keinginan) petani tambak dan masyarakat setempat terhadap pengelolaan wilayah pesisir kawasan pertambakan. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah aktor atau stakeholder, terutama petani tambak dan tokoh masyarakat yang mempengaruhi pengambilan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir di kawasan pertambakan Kabupaten Gresik. Di daerah studi, kelompok masyarakat dan pengusahanya cenderung seragam, yaitu petani tambak dan nelayan. Untuk penelitian ini, pemilihan responden hanya pada petani tambak dan masyarakat (nelayan) yang terkait dengan pemanfaatan lahan pesisir untuk pertambakan. Petani tambak di daerah studi dibagi dua kelompok, yaitu petani tambak tradisional dan petani

49 33 tambak semi-intensif. Untuk responden yang mewakili kelompok petani tambak maupun masyarakat diambil dari tiga kecamatan (Ujung Pangkah, Sidayu dan Bungah). Data Sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran berbagai laporan, pustaka, dan hasil survei yang ada dari berbagai instansi / lembaga terkait. Data sekunder ini pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu : data keruangan dalam bentuk peta dan data atribut / tabular dalam bentuk teks atau tabel. Data peta yang dikumpulkan antara lain : peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) sekala 1 : , peta Topografi tahun 2000 bersekala 1: dari Bakosurtanal-Bogor, dan peta SPT (Satuan Peta Tanah) bersekala 1: untuk Kabupaten Gresik dari Puslitanak-Bogor. Metode Analisis Data Metode analisis data yang dipakai pada penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : (1) analisis daya dukung, (2) pengembangan model optimalisasi pemanfaatan ruang pesisir untuk pertambakan, dan (3) analisis keberlanjutan usaha budidaya tambak. Metode Analisis Daya Dukung Dalam penilaian daya dukung kawasan pertambakan digunakan tiga metode analisis, yaitu: (1) analisis regresi polinomial, (2) analisis daya dukung yang mengacu pada kuantitas air di perairan; dan (3) analisis daya dukung lingkungan dengan sistem pembobotan. (1). Metode analisis regresi polinomial. Metode analisis regresi polinomial pada penelitian ini dimaksudkan untuk memprediksi luas lahan pertambakan yang dapat didukung. Metode analisis regresi tersebut (Sudjana, 2005) adalah sebagai berikut : Y = a + b X + c X 2.. (8) Dengan ketentuan : X : variabel peubah luas lahan tambak (Ha) Y : variabel produktivitas tambak (Ton / Ha)

50 34 Koefisien a, b, dan c ditentukan berdasarkan data yang diperoleh dan dihitung dengan persamaan berikut ini. 2 Yi = n. a + b X i + c X i + 2 X iyi = a X i b X i + c X i Yi = a X i b X i + c X 3 i X... (9) 4 i... (10)... (11) Penerapan metode regresi polinomial pada penelitian ini menggunakan Software Microsoft Excel. Dalam metode analisis regresi ini yang penting adalah koefisien korelasi dan koefisien determinasi. Koefisien korelasi R ditentukan dengan rumus berikut ini. R = n n n X. Y 2. n 2 Y i Dengan ketentuan : X : variabel peubah luas lahan tambak (ha) Y : variabel tergantung, yaitu produktivitas tambak (ton / ha) Koefisien determinasi (R 2 ) merupakan koefisien yang menyatakan keragaan nilai-nilai Y yang dapat dijelaskan oleh hubungan linearnya dengan X. (2). Analisis daya dukung lingkungan yang mengacu pada kuantitas air di perairan. Metode penentuan daya dukung lingkungan ini adalah sebagai berikut: 1. Pengamatan parameter-parameter y, h, x dan θ yang digunakan untuk menentukan volume air perairan yang dinyatakan dengan rumus (Widigdo dan Pariwono, 2003) berikut ini... (13) V perairan = 0,5 h y ( 2 x ( h / tan θ )) Dengan ketentuan : y = panjang garis pantai kawasan h = kisaran pasang x = jarak dari garis pantai pada air pasang ke arah laut sampai mencapai titik dimana kedalaman air pada saat surut adalah satu meter dan tidak lagi terpengaruh oleh gerakan turbulen air dasar. θ = sudut kemiringan pantai i i i i= 1 i= 1 i= 1 n Yi 2 2 X i X i Yi i= 1 i= 1 i= 1 i= 1 n X. n n n. (12)

51 35 2. Pengamatan parameter-parameter yang terkait dengan kondisi tambak, seperti: tinggi rata-rata air tambak, luas tambak saat ini. 3. Menentukan luas tambak maksimum yang masih dapat didukung oleh kawasan pesisir di daerah studi dengan memperhatikan pernyataan bahwa perairan penerima limbah harus memiliki volume kali lipat dari volume limbah yang dibuang ke perairan. (3) Analisis daya dukung lingkungan dengan sistem pembobotan. Analisis daya dukung lingkungan ini mengacu pada modifikasi pemikiran Purnomo (1992), yaitu daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Dari pemikiran tersebut diduga adanya keterkaitan / hubungan antara daya dukung lingkungan dengan kesesuaian lahan pesisirnya. Karena daya dukung lingkungan bersifat kuantitatif sedangkan kesesuaian lahan bersifat kualitatif, metode analisis daya dukung lingkungan ini sebenarnya merupakan proses kuantifikasi dari kelas kesesuaian lahan dengan cara pemberian bobot pada kelas kesesuaian lahan. Lahan pertambakan di daerah studi terdiri dari beberapa satuan peta tanah (SPT), yaitu SPT1, SPT13, SPT34, dan SPT112 (Puslitanak,1995). Penentuan batas satuan-satuan peta tanah (lahan) sebagian didasarkan pada sifat-sifat lahan yang mudah dipetakan seperti relief atau lereng, bentuk lahan (landform), jenis tanah dan bahan induk tanah. Luas lahan pesisir yang dapat didukung untuk usaha budidaya tambak tertentu dinyatakan sebagai berikut : A = Dengan ketentuan : A s : Luas lahan pada nomor SPT tertentu s : Indeks nomor SPT tertentu S : Jumlah nomor SPT yang diperhitungkan k : konstanta daya dukung lingkungan, s= 1 B : bobot nilai kelas kesesuaian lahan pesisir i : indeks kualitas lahan pesisir j : indeks karakteristik lahan pesisir S k M N (1/ N) B ij i= 1 j= 1. A s.. (14) k = ( 1/ M ).. (15)

52 36 M : jumlah komponen kualitas lahan pesisir N : jumlah parameter karakteristik lahan pesisir Nilai pembobotan kualitas/ karakteristik kesesuaian lahan berada antara 0, 1, 2, dan 3. Lahan yang mempunyai kelas kesesuaian lahan terbaik (optimal) diberikan bobot tertinggi, misal = 3 dan sebaliknya lahan yang mempunyai kelas kesesuaian lahan terendah diberikan bobot terendah, yaitu 1 dan lahan yang tidak sesuai tidak diberikan bobot (Nol) karena lahan tersebut tidak produktif untuk usaha yang ditentukan. Dari ketiga metode pendekatan tersebut, hasil penilaian daya dukung di daerah studi diharapkan lebih mendekati ke keadaan yang sebenarnya. Hasil penilaian pendekatan pertama (regresi polynomial) merepresentasikan status daya dukung lingkungan saat ini yang mana teknologi yang diterapkan adalah budidaya tambak secara tradisional. Hasil penilaian pendekatan kedua berdasarkan ketersediaan air di perairan memberikan gambaran kebutuhan air apabila kawasan tambak dikembangkan ke arah budidaya intensif. Hal ini akan membantu menilai kelayakan pengembangan tambak di daerah studi secara semi-intensif dan intensif. Pada akhirnya, hasil penilaian dengan pendekatan ketiga tersebut dipakai untuk menilai daya dukung lingkungan secara komprehensif. Metode dengan pendekatan terakhir tersebut merupakan penilaian daya dukung lingkungan secara alami / aktual, tanpa input teknologi. Dengan ketiga pendekatan tersebut, penilaian daya dukung lingkungan dapat ditentukan lebih akurat sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai faktor pembatas dalam optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir untuk pertambakan. Metode Pengembangan Model Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Metode yang digunakan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang pesisir adalah linear goal programming (LGP). Penetapan target ditentukan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pengelolaan wilayah pesisir di daerah penelitian. Sedangkan perumusan model akan memperhitungkan kemampuan / ketersediaan ruang (lahan) di wilayah pesisir yang bersangkutan. Target optimalisasi dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan informasi rencana strategi pengembangan wilayah pesisir dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Gresik. Target tersebut adalah sebagai berikut :

53 37 - Luas mangrove minimal yang harus dipertahankan / direboisasi tidak kurang dari standar program dinas kehutanan (atau kebutuhan mangrove untuk budidaya tambak) - Perluasan tambak tidak melebihi daya dukungnya - Jumlah tenaga kerja yang diserap lebih besar atau sama dengan jumlah penduduk angkatan kerja di daerah telitian (usia tahun) - Pendapatan asli daerah (PAD) meningkat lebih besar atau sama dengan jumlah yang diprogramkan. Selain target tersebut, ada tiga hal utama dalam perumusan model, yaitu : peubah keputusan, kendala riil dan kendala tujuan. 1. Peubah keputusan - XM : luas mangrove - X11 : luas lahan yang sesuai untuk tambak tradisional (ekstensif) udang - X12 : luas lahan yang sesuai untuk tambak semi intensif udang - X13 : luas lahan yang sesuai untuk tambak intensif udang - X21 : luas lahan yang sesuai untuk tambak tradisional (ekstensif) bandeng - X31 : luas lahan yang sesuai untuk tambak polikultur bandeng, udang dan rumput laut. 2. Kendala riil - Luas wilayah penelitian, yaitu : XM + X11 + X12.+ X33 = LWP 3. Kendala tujuan / sasaran Kendala Lahan Ekologi Mangrove (LEM) m i : perubahan luas mangrove per tahun pada penggunaan sumberdaya lahan X j ( ha th -1 ) LEM : target luas lahan ekologi mangrove yang dicanangkan dalam program pembangunan wilayah pesisir m1. XM - d + 1 = LEM Kendala lahan peruntukan tambak yang masih dapat didukung (LTD) b i : perubahan luas budidaya tambak tradisional per tahun pada penggunaan sumberdaya lahan X j (juta Rp ha -1 th -1 ) LTD : target luas lahan budidaya tambak maksimum yang masih

54 38 dapat didukung oleh kawasan pesisir di daerah penelitian, diperoleh dari hasil perhitungan daya dukung kawasan tambak. b2. X11 + b3. X12 + b4. X d 2 = LTD Kendala pendapatan asli daerah (PAD) p i : pendapatan asli daerah per tahun pada penggunaan sumberdaya lahan X j (juta Rp ha -1 th -1 ) PAD : target PAD dari sektor pariwisata dan perikanan tambak sesuai program pembangunan wilayah pesisir yang direncanakan p2. X11+ p3.x12 + p4.x13 + p5.x d d + 4 = PAD Kendala tenaga kerja t i : tenaga kerja yang diperlukan pada penggunaan sumberdaya lahan X j (orang ha -1 th -1 ) TK : target tenaga kerja di daerah penelitian, yaitu jumlah penduduk angkatan kerja (usia tahun) t2.x11 + t3. X12 + t4.x t5.x33 + d d + 5 = TK Karena banyaknya tujuan yang ingin dicapai, diperlukan penetapan prioritas tujuan. Menurut Budiharsono (2001), tujuan yang paling penting atau paling dahulu yang hendak dicapai ditetapkan sebagai prioritas ke-1, kemudian prioritas ditetapkan berdasarkan kepentingan tujuan tersebut. Pada penelitian ini, yang paling diutamakan adalah nilai daya dukung lingkungan kawasan karena hal tersebut merupakan isu utama. Kemudian prioritas selanjutnya adalah luas pengembangan tambak secara semi-intensif maupun intensif yang tidak melampaui daya dukung, serta penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Metode Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Tambak Analisis kelayakan usaha budidaya tambak yang dipakai dalam penelitian ini adalah penilaian biaya-manfaat dari kegiatan budidaya udang dan bandeng yang sedang atau akan dilaksanakan. Dengan metode ini, kelayakan usaha budidaya tambak tersebut dapat diketahui. Metode penilaian biaya-manfaat tersebut dihitung dengan menggunakan prosedur berikut ini. B i = B T it t = 0 1+ t ( r)... (16) C i = T C it t = ( + ) t 0 1 r... (17)

55 39 Dengan ketentuan : i : 1 untuk pemanfaatan tambak bandeng 2 untuk pemanfaatan tambak udang Bi : nilai keuntungan total saat ini Bit : total keuntungan pilihan i pada tahun t, t = 0,1,2,. T Ci : nilai biaya total saat ini Cit : total biaya pilihan i pada tahun t, t = 0,1,2,. T r : laju diskon (discount rate). Dalam evaluasi pilihan pengelolaan, prosedur didasarkan pada nilai tertinggi NPV, yaitu selisih antara nilai manfaat saat ini dengan nilai biaya saat ini. Apabila hasil analisis mendapatkan nilai NPV > 0, maka usaha budidaya tambak tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila nilai NPV = 0, maka usaha budidaya tambak tersebut tidak untung dan tidak rugi. Apabila nilai NPV < 0, maka usaha budidaya tambak tidak layak untuk diusahakan. Rumusan NPV tersebut adalah sebagai berikut : NPV i = B i C i... (18) Lebih lanjut, usaha budidaya tambak tersebut dianalisis dengan BCR, yaitu perbandingan nilai manfaat (keuntungan) usaha saat ini dengan nilai biaya investasi yang telah dikeluarkan saat ini. Secara matematis dinyatakan dengan rumus berikut ini. BCR i = B i / C i... (19) Apabila nilai BCR > 1, maka usaha budidaya tambak tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila BCR < 1, maka usaha budidaya tambak tersebut tidak layak dilakukan. Apabila BCR = 1, maka usaha budidaya tambak tersebut tidak memberikan keuntungan dan perlu ditinjau kembali. Untuk analisis sosial dan budaya, akan dipakai analisis kecenderungan (trend) kondisi sosial dan budaya daerah penelitian dengan menggunakan regresi linier. Selain itu, untuk mengetahui sejauh mana kondisi sosial budaya masyarakat dalam mendukung kegiatan pertambakan di wilayah pesisir akan digunakan teknik wawancara.

56 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biofisik Wilayah Pesisir di Daerah Studi Topografi Topografi daerah studi memiliki lereng 0 1 % ( < 2 %) dengan bentuk lereng cekung dan relief datar. Secara topografis, daerah ini sangat sesuai untuk pertambakan. Iklim Keadaan curah hujan di Kabupaten Gresik selama sepuluh tahun (tahun ) rata-rata mencapai 2009 mm/tahun. Untuk budidaya tambak, curah hujan tersebut sangat rendah yang mempengaruhi ketersediaan air tawar relatif kurang. Selain curah hujan yang rendah pada periode tersebut, rata-rata bulan kering dengan curah hujan kurang 60 mm juga cukup lama, yaitu selama 4 bulan, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6 dan Gambar 7. Bulan Tabel 6 Data curah hujan selama 10 tahun terakhir. Curah hujan (mm) Tahun Ratarata Jan ,6 Peb ,9 Mar ,0 April ,6 Mei ,7 Juni , ,9 Juli ,0 Agust ,9 Sept ,6 Okt ,0 Nop ,9 Des ,4 Total , ,9 Sumber : Dinas Pertanian Sub Din Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Gresik (BPS, ) Curah hujan tersebut sangat berpengaruh dengan kebutuhan air tawar yang dimasukkan ke tambak. Dengan kondisi curah hujan yang demikian, petani tambak harus mengatur pola tanam (masa tanam dan panen), yaitu musim tanam I pada bulan Pebruari s/d Mei dan musim tanam II pada bulan Oktober s/d

57 41 Januari. Sedangkan pengeringan tambak dilakukan pada bulan Juni s/d September. Curah hujan rata-rata selama 10 tahun terakhir Curah hujan ratarata (mm) Curah hujan (mm) Jan. Peb. Mar. April Mei Juni Juli Agust Sept. Okt. Nop. Des. Bulan Gambar 7 Curah hujan rata-rata di daerah studi selama 10 tahun terakhir. Tanah Pengamatan tanah dilakukan pada bulan Juni Lokasi pengambilan contoh diperlihatkan pada Lampiran 3 dan hasil analisis contohnya disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Hasil analisis tanah dibahas berdasarkan satuan peta tanah (SPT) pada peta tanah semi detil yang dibuat oleh Puslitanak (1995). Peta tanah semi detil tersebut ditunjukkan pada Lampiran 3. SPT yang terkait dengan kawasan pertambakan adalah SPT nomor: 1, 2, 11, 12, 13, 34, dan 112. Kawasan pertambakan di daerah pasang surut meliputi SPT 1, 13, 34 dan 112 sedangkan tambak non-pasang surut meliputi SPT 2, 11, dan 12. SPT 13 merupakan kompleks Seri Randuboto - Singkapan batu gamping. Berdasarkan peta tersebut, luas lahan pada SPT 13 ini sebesar 9.218,08 ha (Lampiran 3). Satuan peta ini terdiri dari Seri Randuboto 60% (Typic Tropaquepts), Singkapan Terumbu Karang (30%), dan Seri Golokan 10 % (Lithic Tropaquepts). Seri tanah ini mempunyai reaksi tanah alkalis dengan ph tanah

58 42 sebesar 8 dan Tekstur liat, Lereng 0 1 %, Bentuk lereng cekung dan Relief datar. Karakteristik seri tanah pada satuan peta ini disajikan pada Lampiran 3. Tabel 7 Hasil analisa contoh tanah tambak pada kedalaman 0 30 cm No Macam Analisa Satuan Lokasi ph H20 KCl 7,8 7,0 7,8 7,2 7,7 7,1 7,7 7,0 7,6 7,1 6,0 5,1 7,5 6,8 2 N Total (Kjeldahl) % 0,11 0,15 0,10 0,22 0,11 0,25 0,11 3 C Organik (Walkey and % 0,84 0,97 1,02 1,92 1,14 2,83 1,28 Black) 4 C / N P Tersedia (Olsen) mg/ kg 9,92 12,55 13,83 11,69 8,25 10,33 9,61 6 K dd (NH4Oac 1 M) me/100g 1,89 0,91 2,15 2,40 3,48 2,17 0,37 7 Na dd (NH4Oac 1 M) me/100g 1,51 0,67 1,84 1,37 2,34 1,89 0,21 8 Ca dd (NH4Oac 1 M) me/100g 30,13 30,88 30,59 31,26 27,76 28,00 29,25 9 Mg dd (NH4Oac 1 M) me/100g 2,00 2,85 2,11 3,17 2,58 4,98 3,64 10 Jumlah Basa me/100g 35,53 43,30 36,68 45,20 36,16 37,03 33,46 11 Kejenuhan Basa (KB) % KTK (NH4Oac 1 M) me/100g 35,86 43,58 36,75 45,75 36,16 39,46 33,46 13 Tekstur (Pipet) - Pasir - Debu - Liat Klas Tekstur % % % Liat Liat Berdebu Liat Berdebu Tabel 8 Hasil analisa contoh lumpur tambak pada kedalaman 0 30 cm No Macam Analisa Satuan Liat Liat Liat Lempung liat berdebu Lokasi ,4 7,7 7,8 7,6 7,5 6,9 6,9 7,1 7,1 7,0 1 ph H20 KCl 2 N Total (Kjeldahl) % 0,13 0,13 0,18 0,15 0,17 3 C Organik (Walkey and Black) % 1,03 1,18 1,73 1,83 2,14 4 C / N P Tersedia (Olsen) mg/ kg 12,09 14,01 12,16 15,42 19,41 6 K dd (NH4Oac 1 M) me/100g 1,94 2,12 3,87 3,53 3,58 7 Na dd (NH4Oac 1 M) me/100g 1,54 1,49 2,54 2,78 2,65 8 Ca dd (NH4Oac 1 M) me/100g 17,52 18,54 20,67 19,02 19,25 9 Mg dd (NH4Oac 1 M) me/100g 15,45 9,44 11,69 12,89 11,33 10 Jumlah Basa me/100g 36,45 41,59 48,76 38,43 36,82 11 Kejenuhan Basa (KB) % KTK (NH4Oac 1 M) me/100g 36,93 41,88 49,93 38,43 37,07 13 Fe ppm 28,57 34,28 19,98 17,12 25,71 14 S % 0,027 0,023 0,023 0,030 0, Tekstur (Pipet) - Pasir - Debu - Liat Klas Tekstur % % % Liat Keterangan Lokasi : 1 : Tambak Ujung Pangkah 2 : Bantaran Sungai Bengawan Solo (Ujung Pangkah) 3 : Tambak dekat Sungai Lewehan 4 : Tambak Randuboto 5 : Tambak dekat Sungai Kalingapuri 6 : Tambak Mengare 7 : Bantaran Sungai Bengawan Solo (Sembayat) Liat Liat Liat Liat

59 43 Hasil analisis tanah dan lumpur dasar tambak pada SPT 13 ini disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT 13 No Parameter Kondisi lumpur Kondisi tanah Standar kualitas tanah tambak *) 1 ph 6, ,094 7, , ,5 2 N (%) 0, ,009 0, ,005 0,4 0,7 3 C Organik (%) 1, ,347 1, , P (mg/ l) 13, ,365 10, , K (me/100g) 2, ,711 2, ,696 0,5 1,0 6 Na (me/100g) 1, ,597 1, ,341 0,7 1,0 7 Ca (me/100g) 18, ,625 29, ,240 5,0 20,0 8 Mg (me/100g) 12, ,463 2, ,252 1,5 8,0 9 Fe (ppm) 26, , S (%) 0, ,003 - < 2 11 Tekstur Liat Liat-Liat berdebu Liat berpasir Sumber : *) Widigdo (2000) Catatan : Pengambilan contoh tanah dan lumpur pada lokasi 1, 3, dan 5. Hampir semua sifat tanah yang dianalisis di laboratorium kurang memenuhi standar kualitas tanah untuk tambak, kecuali kandungan Ca, Fe dan S yang ada di dalam lumpur dan kandungan Mg yang ada di dalam tanah. Sedangkan tekstur tanah tambak sesuai dengan penelitian Puslitanak (1995), yaitu : liat liat berdebu. Tekstur tanah berpengaruh pada konstruksi tambak. Semakin tinggi kadar liat dan semakin sedikit kadar pasir akan membuat semakin stabil dan semakin kedap air. Tekstur tanah liat juga kurang sesuai untuk budidaya udang karena tanah liat ini termasuk tanah yang subur untuk pertumbuhan klekap, namun sangat cocok untuk budidaya bandeng hal ini sesuai dengan pendapat Kisto (1984), yang mengatakan bahwa pada tekstur tanah liat pertumbuhan klekap sangat lebat dibanding dengan tekstur tanah yang lain, seperti liat berlumpur, lempung liat berpasir, dan lempung berpasir. Kondisi ini akan dibahas pada evaluasi kesesuaian lahan untuk pertambakan. Nilai ph tanah lebih besar daripada nilai ph standar kualitas tanah tambak. Nilai ph tanah tersebut berpengaruh pada kesuburan perairan karena kelarutan unsur hara dalam air ditentukan pula oleh derajat keasaman tanah dan air. Nilai unsur N, P dan C-organik berada di bawah standar kualitas tanah tambak, yang berarti tanah tambak pada SPT 13 ini kurang subur. Kandungan

60 44 unsur hara N dan P rendah biasanya diatasi dengan penambahan pupuk urea dan TSP. Satuan peta berikutnya yang cukup luas adalah SPT 1 yang merupakan Konsosiasi Seri Lebak Kerep dengan komposisi Lebak Kerep sebesar 85 % (Typic Hidraquents), Randuboto 10 % (Typic Halaquepts), dan Manyar 5 % (Typic Halaquepts). Masing-masing seri tanah ini bersifat agak alkalis dengan ph sekitar 8. Seri tanah ini bertekstur liat berdebu, relief datar, dan lereng 0 1 % dengan bentuk cekung. Luas lahan pada SPT 1 adalah 1.269,98 ha (Lampiran 3). Hasil analisis tanah dan lumpur dasar tambak pada SPT 1 ini disajikan pada Tabel 10. Dari tabel tersebut terlihat bahwa hampir semua sifat tanah yang dianalisis di laboratorium kurang memenuhi standar kualitas tanah untuk tambak, kecuali kandungan Ca, Fe dan S yang ada di dalam lumpur dan kandungan Mg yang ada di dalam tanah. Tekstur tanah tambak yang dianalisis memang sesuai dengan penelitian Puslitanak (1995), yaitu : liat liat berdebu. Tabel 10 Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT 1 No Parameter Kondisi lumpur Kondisi tanah Standar kualitas tanah tambak *) 1 ph 7, ,050 6, , ,5 2 N (%) 0, ,005 0, ,015 0,4 0,7 3 C Organik (%) 1, ,205 2, , P (mg/ l) 15, ,625 11, , K (me/100g) 3, ,145 2, ,115 0,5 1,0 6 Na (me/100g) 2, ,055 1, ,260 0,7 1,0 7 Ca (me/100g) 19, ,710 29, ,630 5,0 20,0 8 Mg (me/100g) 11, ,180 4, ,905 1,5 8,0 9 Fe (ppm) 22, , S (%) 0, ,009 - < 2 11 Tekstur Liat Liat - Liat berdebu Liat berpasir Sumber : *) Widigdo (2000), Purnomo (1991) Catatan : Pengambilan contoh tanah dan lumpur pada lokasi 4. SPT 112 merupakan Kompleks Seri Lasem Surjan - Bulangan yang berada di sepanjang bantaran sungai Bengawan Solo. Komposisi tanahnya terdiri dari Seri Lasem (60 %), seri Surjan (20 %) dan seri Bulangan (20 %). Seri Lasem (Chromic Haplusterts) mempunyai sifat : drainase agak terhambat sedang, permeabilitas lambat sedang, reaksi tanah alkalis. Seri Surjan (Chromic Haplusterts) mempunyai sifat : drainase sedang, permeabilitas sedang, reaksi tanah alkalis (ph 8,0). Tanah berkembang dari aluvium sungai.

61 45 Seri Bulangan (Typic Haplusterts) mempunyai sifat drainase terhambat - agak terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah alkalis (ph 8,0). Hasil analisis laboratorium tanah juga memperlihatkan kondisi tanah yang kurang subur karena kandungan N, P dan C-organik lebih rendah dari pada standar kualitas tanah tambak. Hasil analisis laboratorium untuk tanah pada SPT 112 ini disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT 112 No Parameter Kondisi tanah Standar kualitas tanah tambak *) 1 ph (7, ,200) 5 6,5 2 N (%) (0, ,020) 0,4 0,7 3 C Organik (%) (1, ,155) P (mg/ l) (11, ,470) K (me/100g) (0, ,270) 0,5 1,0 6 Na (me/100g) (0, ,230) 0,7 1,0 7 Ca (me/100g) (30, ,815) 5,0 20,0 8 Mg (me/100g) (3, ,395) 1,5 8,0 9 Tekstur Liat berdebu Lempung liat berdebu Liat berpasir Sumber : *) Widigdo (2000), Purnomo (1991) Catatan : Pengambilan contoh tanah pada lokasi 2 dan 7. SPT 34 merupakan Asosiasi Seri Taman Parengkulon - Karangjuwet yang menempati lahan datar pada fisiografi rawa belakang, kemiringan lereng 0 sampai 1 persen, bentuk lereng cekung. Komposisi tanahnya terdiri dari Seri Taman (40 %), seri Parengkulon (30 %) dan seri Karangjuwet (30 %). Seri Taman (Aeric Tropaquepts) mempunyai sifat : tanah dalam, drainase terhambat - agak terhambat, permeabilitas lambat sedang, reaksi tanah netral agak alkalis. Tanah berkembang dari bahan induk aluvium sungai. Seri Parengkulon (Typic Tropaquepts) mempunyai sifat : tanah dalam, drainase sangat terhambat - terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah agak alkalis (ph 8,0). Tanah berkembang dari bahan induk aluvium halus. Seri Karangjuwet (Fluventic Eutrodepts) mempunyai sifat : tanah dalam, drainase sedang - baik, permeabilitas sedang - cepat, reaksi tanah agak alkalis. Tanah berkembang dari bahan induk aluvium sungai. Satuan peta tanah di sekitar kawasan tambak lainnya adalah SPT 2, 11, dan 12. yang akan dikaji berdasarkan hasil survei Puslitanak (1995). Satuan peta nomor 2 (SPT2) menempati lahan datar pada fisiografi pesisir lumpur. Satuan peta tanah ini berupa Asosiasi Seri Lebak Kerep Permukiman dengan komposisi tanahnya seri Lebak Kerep 80 % (Typic Hidraquents) dan permukiman

62 46 20%. Seri Lebak Kerep mempunyai sifat tanah dalam, drainase terhambat-agak terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah agak alkalis. Tanah ini berkembang dari bahan induk aluvium marin. Luas lahan pada SPT 2 ini sebesar 142,92 ha (Lampiran 3). Satuan peta tanah nomor 11 menempati lahan datar pada fisiografi teras marin sub resen dengan kemiringan lereng 0 sampai 1 persen dan bentuk lereng cekung. Satuan peta ini terdiri dari seri Karangkitir (50%), seri Ketapanglor (20%), dan seri Golokan (20 %) termasuk di dalamnya seri Randuboto (10%). Seri-seri tanah pada satuan peta ini berkembang dari bahan induk aluvium marin. Seri Karangkitir (Typic Tropaquepts) mempunyai sifat tanah agak dalam drainase agak terhambat sedang, permeabilitas lambat sedang, reaksi tanah agak alkalis (ph 8.0). Tanah ini berkembang dari bahan induk aluvium marin. Seri Ketapanglor (Leptic Haplusterts) mempunyai sifat tanah agak dalam, drainase sedang, permeabilitas sedang, reaksi tanah agak alkalis. Seri Golokan (Lithic Tropaquepts) mempunyai sifat tanah dangkal, drainase agak terhambat sedang, permeabilitas lambat sedang, reaksi tanah agak alkalis (ph 8.0). Seri Randuboto (Typic Tropaquepts) mempunyai sifat tanah dalam, drainase terhambat-agak terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah netral agak alkalis. Luas lahan pada SPT 11 sebesar 221,83 ha (Lampiran 3). Satuan peta nomor 12 menempati lahan datar pada fisigrafi delta arkuit, kemiringan lereng 0 sampai 1 persen, bentuk lereng cekung. Satuan peta ini terdiri dari Seri Manyar (50%), Seri Randuboto (20%), seri Lebakkerep (20 %), dengan inklusi Seri Karangan (5%), dan Perengkulon (5%). Seri Manyar (Typic Tropaquepts) mempunyai sifat tanah dalam, drainase sangat terhambatterhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah agak alkalis (ph 8,0). Tanah ini berkembang dari bahan induk aluvium marin (halus). Seri Randuboto (Typic Tropaquepts) mempunyai sifat tanah dalam, drainase terhambat-agak terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah netral - agak alkalis (ph 8,0). Tanah ini berkembang dari bahan induk aluvium marin (halus). Seri Lebak Kerep mempunyai sifat tanah dalam, drainase terhambat-agak terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah agak alkalis. Tanah ini berkembang dari bahan induk aluvium marin. Seri Karangan (Typic Tropaquepts) mempunyai sifat tanah dalam, drainase sangat terhambat-terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah agak alkalis (ph 8,0). Tanah ini berkembang dari bahan induk aluvium sungai. Seri

63 47 Perengkulon (Typic Tropaquepts) mempunyai sifat tanah dalam, drainase sangat terhambat-terhambat, permeabilitas sangat lambat lambat, reaksi tanah agak alkalis (ph 8,0). Tanah ini berkembang dari bahan induk aluvium marin (halus). Luas lahan pada SPT 12 ini sebesar 416,48 ha (Lampiran 3). Karakteristik satuan peta tanah (SPT) pada kawasan pertambakan di daerah studi diperlihatkan pada Lampiran 3. Oseanografi Pengamatan parameter oseanografi antara lain : pasang surut, arus, aberasi / akresi dan lereng pantai. Pasang Surut. Hasil pengamatan pasang surut 15 piantan (seri pendek) memperlihatkan bahwa tunggang pasang surut rata-rata pada pasang tertinggi sebesar 212 cm dan rata-rata pasang surut pada waktu pasang terendah sebesar 128 cm sedangkan rata-rata pasang surut astronomi sebesar 238 cm. Tipe pasang surut di daerah studi termasuk tipe pasut tunggal. Hasil pengamatan dan pengolahan datanya disajikan pada Lampiran 4. Nilai tunggang pasang surut pada saat pasang tertinggi dan pasang terendah tersebut sangat berguna dalam perencanaan dasar tambak, seperti pembuatan tanggul dan saluran agar kawasan tambak mudah dialiri air pasut tersebut. Untuk pengamatan seri panjang, Dihidros (2004) mengamati pasang tertinggi sebesar 215 cm dan surut terendah sebesar 34 cm. Lebih jauh, dari pengamatan Ameralda Hess (2004), diperoleh LWS = 0, MSL = 127 cm dan HWS = 248 cm, sehingga amplitudo pasut di daerah studi sebesar 248 cm. Namun demikian, lokasi pengamatan Ameralda Hess tersebut sedikit agak jauh dari daerah studi. Dari ketiga pengamatan tersebut di atas, kondisi pasang surut tersebut sangat sesuai untuk budidaya tambak karena amplitudo pasut tersebut masih dalam kisaran cm. Arus. Hasil pengamatan arus pasut di daerah penelitian disajikan pada Lampiran 3. Pada kedalaman 1,7 m, kecepatan arus pasut tertinggi sebesar 2,743 m s -1 dan terendah sebesar 1,219 m s -1. Pada kedalaman 1 meter, kecepatan arus pasut tertinggi sebesar 2,134 m s -1 dan terendah sebesar 0,914 m s -1. Pada kedalaman 0,5 m, kecepatan arus pasut tertinggi sebesar 1,524 m s -1 dan terendah sebesar 0,610 m s -1. Kecepatan arus pasut tersebut sebenarnya mengikuti kondisi pasang surutnya, yaitu kecepatan arus tertinggi terjadi pada saat berada pada posisi MSL, dan kecepatan arus pasut terendah pada saat

64 48 berada pada posisi MHHWS (Mean Higher High Water Spring) dan MLLWS (Mean Lower Low Water Spring). Pengamatan arus sungai secara lokal juga dilakukan pada hulu sungai Bengawan Solo. Pengamatan arus diambil bulan Oktober 2005 pada saat air surut. Hasil pengamatan arus tersebut juga diperlihatkan pada Lampiran 4. Pada stasiun pengamatan B4 diperoleh kecepatan arus rata-rata permukaan 11,125 x10-2 m s -1, kecepatan arus rata-rata kedalaman 1 m sebesar 9,754 x 10-2 m s -1 dan kecepatan arus rata-rata kedalaman 3 m sebesar 7,061 x 10-2 m s -1. Jadi di stasiun pengamatan B4, kecepatan arus rata-rata sebesar 9,313 x 10-2 m s -1. Dengan luas penumpang sungai sebesar 577,92 m 2 (105 m x 5,504 m), maka debit air diperkirakan sebesar 53,8 m 3 s -1. Pada stasiun pengamatan B5 diperoleh kecepatan arus rata-rata permukaan 9,09 x 10-2 m s -1, kecepatan arus rata-rata kedalaman 1 m sebesar 8,69 x ,0869 m s -1, dan kecepatan arus rata-rata kedalaman 3 m sebesar 7,82 x 10-2 m/s. Jadi di stasiun pengamatan B5, kecepatan arus rata-rata sebesar 8,53 x 10-2 m s -1. Dengan luas penumpang sungai sebesar 585,2 m 2 (110 m x 5,32 m), maka debit air diperkirakan sebesar 49,94 m 3 s -1. Pada saat banjir, debit air sungai Bengawan Solo tersebut dapat mencapai 2100 m 3 s -1 sedangkan pada saat kemarau dapat turun hingga 18 m 3 s -1 (Amerada Hess, 2004). Pengaruh sungai Bengawan Solo cukup besar dalam proses sedimentasi yang terjadi di daerah studi. Sungai tersebut mempunyai luas Daerah Aliran Sungai (DAS) paling besar di pulau Jawa dengan hulu sungai di Jawa Tengah dan hilirnya di Jawa Timur. Di daerah studi, sungai tersebut beserta cabangnya terbentang seluas 799,8 ha (luas dihitung dari peta). Proses Akresi dan Aberasi. Akresi dan aberasi terjadi di sepanjang pantai di daerah studi. Di Kecamatan Ujung Pangkah, kedua peristiwa tersebut telah terjadi. Lokasi akresi dan aberasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Dalam lima tahun, besarnya luas lahan yang teraberasi adalah ,72 m 2 = 232,3 ha (dihitung dari luas di peta) sedangkan luas lahan yang bertambah (akresi) sebesar ,05 m 2 = 979,6 ha. Aberasi dan akresi pantai tersebut sangat berpengaruh pada beberapa tambak. Aberasi dan akresi tersebut dipengaruhi oleh sungai Bengawan Solo. Aberasi juga terjadi di desa Banyu Urip dan desa Delegan Kecamatan Ujung Pangkah sedangkan akresi hanya terjadi di Kecamatan Ujung Pangkah sebagai akibat dari sedimentasi sungai Bengawan Solo. (Lampiran 4).

65 49 Lereng Pantai. Lereng pantai di daerah studi sebenarnya sangat landai. Hal tersebut dapat dilihat dari profil penampang melintang di tiga kecamatan, yang disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan perhitungan dari profil penampang melintang tersebut, sudut kemiringan rata-rata pantai di Kecamatan Ujung Pangkah, Sidayu dan Bungah berturut-turut sebesar 0,17 o ; 0,10 o dan 0,34 o. Pembuatan profil tersebut ditentukan dari satu titik di darat dan satu titik di laut dengan koordinat lintang-bujur sehingga profil kemiringan pantai dapat ditentukan berdasarkan kedua titik tersebut. Secara lebih detil, hasil perhitungan tersebut disajikan pada Lampiran 3. Hasil perhitungan tersebut memperlihatkan bahwa kemiringan pantai di daerah studi sangat bervariasi dan cenderung landai. Kualitas Air Pengamatan kualitas air dilakukan di outlet tambak (T), aliran sungai / bengawan (B) dan laut (L). Data kualitas perairan dan pengolahan datanya dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisis laboratorium kualitas air pada masing-masing satuan peta tanah (SPT) dapat dilihat pada Tabel 12. Kualitas air pada musim hujan dan kemarau di beberapa titik pengamatan pada SPT1 dan SPT13 menunjukkan kondisi yang baik kecuali parameter TSS yang kurang dari nilai baku mutu kegiatan budidaya perikanan sedangkan salinitas dan kandungan PO 4 -P pada musim kemarau melebihi nilai baku mutunya. Nilai salinitas yang tinggi pada musim kemarau mengakibatkan kondisi tambak yang kurang cocok untuk budidaya udang dan bandeng. Hal ini akan dikaji pada evaluasi kesesuaian lahan. Kandungan PO 4 -P yang tinggi merupakan akibat dari limbah budidaya tambak di kawasan tersebut. Tabel 12 Hasil analisis kualitas air pada SPT a). SPT 1 Parameter Musim Hujan Musim Kemarau Baku Mutu ** Suhu ( o C) (30, ,816) (30, ,247) Salinitas ( o / oo ) (21, ,700) (38, ,888)* 5 35 ph (7, ,408) (7, ,408) 6,5 8,5 Kecerahan (cm) (22, ,494) (29, ,431) > 5 DO 5 (mg L -1 ) (5, ,216) (3, ,147) > 3 BOD (mg L -1 ) (1, ,249) (5, ,705) < 25 TSS (mg L -1 ) (17, ,809)* (17, ,392)* NO 3 -N (mg L -1 ) (3, ,037) (5, ,276) - NO 2 -N (mg L -1 ) (0, ,001) (0, ,002) < 0,25 PO 4 P(mg L -1 ) (0, ,388) (11, ,959) 0,05 0,50 Catatan : Kualitas air diamati pada lokasi tambak T7, T8 dan T9

66 50 b). SPT 13 Parameter Musim Hujan Musim Kemarau Baku Mutu** Suhu ( o C) (30, ,067 (31, ,826) Salinitas ( o / oo ) (19, ,106 (39, ,976)* 5 35 ph (7, ,236 (8, ,344) 6,5 8,5 Kecerahan (cm) (22, ,772 (26, ,532) > 5 DO 5 (mg L -1 ) (5, ,258 (3, ,057) > 3 BOD (mg L -1 ) (1, ,314 (7, ,869) < 25 TSS (mg L -1 ) (18, ,178* (21, ,741)* NO 3 -N (mg L -1 ) (2, ,361 (5, ,487) - NO 2 -N (mg L -1 ) (0, ,005 (0, ,020) < 0,25 PO 4 P(mg L -1 ) (0, ,154 (9, ,808)* 0,05 0,50 Catatan : Kualitas air diamati pada lokasi tambak T1, T2, T3, T4, T5 dan T6. c). SPT 34 Parameter Musim Hujan Musim Kemarau Baku Mutu** Suhu ( o C) (29, ,500) (30, ,500) Salinitas ( o / oo ) (15, ,500) (25, ,500) 5 35 ph (7, ,250) (7, ,250) 6,5 8,5 Kecerahan (cm) (25, ,500) (29, ,500) > 5 DO 5 (mg L -1 ) (5, ,250) (4, ,300) > 3 BOD (mg L -1 ) (1, ,050) (3, ,150) < 25 TSS (mg L -1 ) (15, ,500) (18, ,500) NO 3 -N (mg L -1 ) (2, ,232) (5, ,149) - NO 2 -N (mg L -1 ) (0, ,001) (0, ,001) < 0,25 PO 4 P(mg L -1 ) (0, ,398) (0, ,003) 0,05 0,50 Catatan : Kualitas air diamati pada lokasi tambak T10 dan T11. d). SPT 112 Parameter Musim Hujan Musim Kemarau Baku Mutu** Suhu ( o C) (29, ,373) (29, ,837) Salinitas ( o / oo ) (3, ,454)* (35, ,944) 5 35 ph (7, ,382) (7, ,471) 6,5 8,5 Kecerahan (cm) (17, ,853) (49, ,563) > 5 DO 5 (mg L -1 ) (3, ,618) (5, ,048) > 3 BOD (mg L -1 ) (1, ,934) (3, ,592) < 25 TSS (mg L -1 ) (24, ,179)* (15, ,119)* NO 3 -N (mg L -1 ) (0, ,411) (1, ,226) - NO 2 -N (mg L -1 ) (0, ,007) (0, ,008) < 0,25 PO 4 P (mg L -1 ) (0, ,021) (0, ,465)* 0,05 0,50 Catatan : Kualitas air diamati pada lokasi sungai B1, B2, B3, B4, B5 dan B6. *) Di luar batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya berdasarkan **) bakumutu kriteria MENKLH (1988), Purnomo (1991) dan Widigdo (2000). Selain parameter di atas, kandungan logam berat pada air sungai dan laut sebagai sumber air tambak juga dianalisis di laboratorium. Dari hasil analisis laboratorium logam berat untuk contoh air sungai dan pantai yang disajikan

67 51 pada Tabel 13 dan Tabel 14 menunjukkan bahwa kandungan logam beratnya masih sesuai untuk budidaya Udang dan Bandeng karena kandungan logam tersebut berada di bawah ambang batas optimal, kecuali kandungan besi (Fe) sebesar 0,1002 mg L -1. Tabel 13 Hasil analisis kandungan logam berat air sungai di Sungai Bengawan Solo Kecamatan Bungah No Parameter Satuan Hasil analisis Kriteria*) 1. Tembaga (Cu) mg L -1 < 0,0153 < 0,06 2. Kadmium (Cd) mg L -1 < 0,0010 < 0,01 3. Timbal (Pb) mg L -1 0,0030 < 0,01 4. Seng (Zn) mg L -1 0,0106 < 0,1 5. Krom Heksavalen (Cr) mg L -1 < 0,0030 < 0,01 6. Raksa (Hg) mg L -1 < 0,0010 < 0, Besi (Fe) mg L -1 0,1002 0,01 8. Deterjen sebagai MBAS μg L -1 0,1124 < 1,0 9. Organochlorin μg L -1 Negatif < 0,02 *) Kriiteria optimum untuk kegiatan budidaya berdasarkan kriteria MENKLH (1988), Purnomo (1991) dan Widigdo (2000). Kandungan logam berat masih dapat terdeteksi di perairan tersebut namun demikian bukan berarti bahwa perairan tersebut sudah tercemar logam berat, tetapi logam berat itu bisa ada dalam suatu perairan karena berasal dari pelarutan tanah dasar perairan tersebut yang kemungkinan juga mengandung logam berat atau berasal dari pelapukan batuan-batuan dasar yang ada di daerah tersebut. Tabel 14 Hasil analisis kandungan logam berat air laut di Mengare-Kecamatan Bungah No Parameter Satuan Hasil analisis Kriteria*) 1. Tembaga (Cu) mg L -1 < 0,0153 < 0,06 2. Kadmium (Cd) mg L -1 < 0,0010 < 0,01 3. Timbal (Pb) mg L -1 0,0037 < 0,01 4. Seng (Zn) mg L -1 0,0075 < 0,1 5. Krom Heksavalen (Cr) mg L -1 < 0,0030 < 0,01 6. Raksa (Hg) mg L -1 < 0,0010 < 0, Besi (Fe) mg L -1 0,0037 0,01 8. Deterjen sebagai MBAS μg L -1 0,001 < 1,0 9. Organochlorin μg L -1 Negatif < 0,02 Catatan : **) Baku Mutu SK. Men LH No. Kep.51/Men.LH/2004 Lampiran III,

68 52 Mangrove Berdasarkan hasil pengamatan citra satelit, kondisi mangrove di daerah penelitian terlihat pada daerah tertentu di sepanjang muara Sungai Lewean, Sungai Sumbalan, Sungai Lebakan, Sungai Sumbalan dan tanjung Ujungpangkah serta di sebagian pesisir (M1 pada Gambar 8). Kenyataan di lapangan terlihat bahwa mangrove tersebut selain di pinggiran sungai dan sebagian pinggir pantai dan juga menyebar di hampir seluruh area pertambakan. Mangrove tersebut di citra satelit tidak nampak karena kondisi kerapatannya kecil sehingga mangrove tersebut tidak dapat diwakili ke dalam satu pixel citra satelit ( 1 pixel = 30 x 30 meter). Perkiraan luas mangrove di daerah studi yang dapat terlihat di citra sebesar 1134,6 Ha (dihitung dari peta). Dari hasil penelitian Mahmud (2002), kerapatan vegetasi Mangrove di Sungai Lewean sebesar 16 pohon / 100 m 2, 280 semai / 25 m 2, dan 18 belta (anakan) / m 2. Kemudian, kerapatan vegetasi mangrove di Sungai Sumbalan sebesar 24 pohon / 100 m 2, 380 semai / 25 m 2, dan 11 belta (anakan) / m 2. Jumlah semai yang banyak ini pada kedua tempat tersebut menunjukkan regenerasi alam yang baik. Jenis Mangrove pada daerah tersebut adalah Avicennia alba, Avicenia marina, Sonneratia caseolaris. Namur demikian kehidupan komunitas mangrove di daerah Mengare (M2 pada Gambar 8) dalam kondisi memprihatinkan dan menjurus pada kerusakan. Tidak dijumpai adanya upaya perlindungan mangrove yang masih tumbuh. Di sekitar muara-muara banyak dijumpai sampah seperti plastik, kayu, kain, botol dan gelas air mineral, yang menumpuk di muara dan tersangkut diantara akar-akaran mangrove. Hal ini dapat menghambat regenerasi mangrove karena benih akan mati, hal ini menyebabkan benih tidak dapat menempel ke substratnya. Tekanan lingkungan yang diterima habitat tersebut diperberat lagi dengan perannya sebagai penerima limbah baik limbah rumah tangga maupun limbah dari pabrik yang mengalir masuk ke perairan Sungai Mengare. Selain itu jumlah vegetasi dari pohon relatif rendah, hal ini berkaitan dengan perilaku masyarakat yang mendapat tekanan ekonomi, yaitu dengan melambungnya harga minyak tanah, menyebabkan pohon mangrove ditebangi untuk kayu bakar.

69 ' ' ' 6 50' Gambar Peta Sebaran Mangrove 9240 M Keterangan : Mangrove Sungai Kawasan Pertambakan Tambak Tambak, rotasi padi sawah Bukan Tambak Wilayah Laut Kabupaten Lamongan Kabupaten Gresik Lokasi Studi Propinsi Jawa Timur M2 7 00' 7 00' Sumber : Hasil Kompilasi dari - Peta RBI Skala 1:25.000, Bakosurtanal Citra Satelit Landsat ETM Hasil Survei U Kilometer ' '

70 54 Di sekitar tambak, mangrove juga tumbuh dengan kerapatan yang rendah. Penyebaran mangrove di sepanjang pematang pertambakan sangat berperan penting dalam meningkatkan daya dukung tambak karena mangrove berfungsi sebagai penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (limbah organik), sebagai penghasil sejumlah dentritus terutama yang berasal dari daun dan dahan yang rontok, sebagai daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan. Seperti yang telah disebutkan di bab tinjauan pustaka bahwa untuk luasan tambak 1 ha diperlukan 2,8 ha mangrove untuk mendegradasi limbah P pada budidaya tambak semi-intensif dan 21,7 ha mangrove pada budidaya tambak intensif. Karena budidaya yang ada di daerah studi sistemnya tradisional, tentunya kebutuhan mangrove lebih kecil dari intensif. Luas budidaya tambak saat ini sebesar 8.972,94 ha sehingga luas mangrove yang dibutuhkan sebesar ,23 ha untuk tambak semi-intensif dan sebesar ,798 ha untuk tambak intensif. Padahal saat ini, luas mangrovenya hanya 1.134,6 ha. Jadi apabila ditinjau dari kebutuhan mangrove, perubahan sistem budidaya pola tradisional ke intensif atau semi intensif di daerah studi belum memungkinkan. Kebutuhan mangrove untuk mendukung budidaya udang semi-intensif dan intensif tersebut sangat besar sehingga kebutuhan tersebut kurang dapat dipenuhi. Untuk tujuan optimasi pemanfaatan lahan pesisir untuk pertambakan digunakan syarat minimal yang dicapai, yaitu luasan sabuk hijau mangrove sempadan pantai sebesar 130 kali tunggang pasang surut. Berdasarkan arahan rencana tata ruang Gresik Utara (lebar sabuk hijau = 130 x tunggang pasut + 100m = 130 x 2, = 375,6 m) dan hasil perhitungan dari peta dengan menggunakan fasilitas Buffering dan Area Calculation pada software ArcView 3.3 diperoleh luasan sabuk hijau sebesar 2085,4. ha. Fasilitas buffering berfungsi membuat deliniasi luasan mangrove sepanjang pantai dengan jarak 375,6 dari garis pantai dan fasilitas area calculation menghitung luas area polygon yang dihasilkan dari proses buffering.

71 55 Evaluasi Kesesuaian Lahan Kawasan Pertambakan Evaluasi kesesuaian lahan pada SPT 13, 1, 34 dan 112.adalah sebagai berikut : SPT13 Evaluasi kesesuaian lahan pesisir SPT13 ini merupakan hal yang paling penting karena sekitar 70 % budidaya tambak di daerah studi pada SPT ini. Pada SPT13 ini, kemiringan / lereng lahan sebesar 0 1 % yang sangat sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak udang dan bandeng. Kedalaman tanah sampai ke hamparan batuan pada SPT 13 ini sebesar cm. Kedalaman tanah tersebut mempengaruhi kedalaman tambak yang telah dan akan dibuat pada SPT ini. Ditinjau dari kedalaman tanah, SPT 13 ini sangat sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. Tekstur tanahnya adalah liat liat berdebu yang sangat halus. Tekstur tanah yang sangat halus tersebut kurang baik untuk pertumbuhan organisme dasar tambak atau klekap (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) sehingga tekstur tanah pada SPT ini termasuk sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk budidaya tambak. Tekstur tanah ini merupakan faktor penghambat dalam pengelolaan tambak karena ditinjau dari segi teknologi tekstur tanah sulit diperbaiki dan biaya perbaikannya mahal. Salah satu teknologi yang dapat mengatasi masalah tekstur tanah tersebut adalah teknologi Biocrete, yaitu lapisan penutupan setebal 3 5 cm yang terdiri dari lapisan injuk, pasir dan semen. Lapisan biocrete dipergunakan untuk bahan lapisan penutupan lereng bagian dalam pematang tambak dan dinding saluran air, yang sebelumnya dilapisi membran plastik. Teknologi biocrete ini sudah dipakai untuk mengatasi tanah berpasir yang porositasnya tinggi yang telah diujicoba oleh Widigdo (1996). Untuk penerapan teknologi biocrete pada tanah dengan tekstur liat, diperlukan kajian kelayakan teknis maupun ekonomi. Teknologi biocrete ini dapat dipakai untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari sesuai marjinal (S3) menjadi cukup sesuai () atau bahkan sangat sesuai ().

72 56 Tambak membutuhkan kondisi air yang menggenang karena itu drainase tanah yang cepat, yaitu air mudah hilang baik melalui peresapan ke dalam tanah maupun aliran permukaan tidak cocok untuk tambak. Dalam budidaya tambak dasar tambak telah dibuat pematang-pematang untuk menahan air sehingga aliran permukaan menjadi kecil. Dengan demikian drainase tanah banyak dipengaruhi oleh peresapan air ke dalam tanah, baik secara vertikal maupun horisontal atau porositas tanah. Drainase tanah tambak pada SPT ini dikategorikan termasuk sangat terhambat dan sangat sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. Tanah pada SPT ini juga tidak mengandung gambut sehingga ditinjau dari keberadaan gambut, tanah ini tergolong sangat sesuai untuk budidaya tambak. Kandungan oksigen terlarut (DO) air di saluran tambak pada SPT 13 ini sebesar (5, ,258) mg L -1 saat musim hujan dan (3, ,057) mg L -1 saat musim kemarau. Kandungan oksigen terlarut tersebut cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak, namun demikian pada saat musim kemarau beberapa air tambak kandungan oksigen terlarutnya di bawah 3 mg L -1 yang menjadikan sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3). Nilai DO rendah pada saat musim kemarau tersebut karena waktu pengambilan sampelnya dilakukan pada saat air surut sehingga beberapa lokasi sampling memang airnya keruh karena saat pembuangan limbah tambak. Salinitas air tambak pada SPT13 ini sebesar (19, ,106) o / oo pada saat musim hujan dan (39, ,976) o / oo pada saat musim kemarau. Salinitas tersebut saat musim hujan sangat sesuai (kelas kesesuian ) dan pada saat musim kemarau sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3). Oleh karena itu, pada saat musim kemarau kebutuhan air tawar sangat tinggi. Kebutuhan air tawar tersebut sebagian tambak diambil dari sumur bor. Penggunaan sumur bor untuk mengatasi kebutuhan air tawar tersebut dapat menimbulkan masalah instrusi air laut, yang semakin menjorok ke arah daratan. Suhu air tambak pada SPT13 ini sebesar (30, ,067) o C pada saat musim hujan dan (31, ,826) pada saat musim kemarau. Suhu air saluran tambak tersebut cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak udang dan bandeng. Kecerahan air tambak pada SPT13 ini sebesar (22, ,772) cm pada saat musim hujan dan (26, ,532) cm pada saat musim kemarau.

73 57 Kecerahan air saluran tambak tersebut cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. ph air tambak pada SPT13 ini sebesar (7, ,236) pada saat musim hujan dan (8, ,344) pada saat musim kemarau. ph air saluran tambak tersebut sangat sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. Konsentrasi Amoniak yang ada di perairan daerah penelitian berada pada kisaran 0 0,2 mg L -1. Konsentrasi tersebut tidak mengganggu kehidupan biota yang di budidayakan di dalam tambak. Air laut yang keluar masuk muara sungai dan dapat dimanfaatkan untuk mengairi tambak bergerak naik (pasang) dan turun (surut). Hasil pengamatan amplitudo pasang surut (tunggang pasang) sebesar 2,12 meter. Hal ini sangat sesuai untuk budidaya tambak. Iklim merupakan salah satu parameter penting untuk menilai kesesuaian lahan tambak karena dasar tambak perlu dikeringkan secara berkala dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H 2 S dan amoniak. Oleh karena itu, curah hujan dan bulan-bulan kering (curah hujan < 60 mm) sangat dibutuhkan. Di daerah studi, curah hujan rata-rata selama 10 tahun terakhir sebanyak 1.656,9 mm th -1 dan bulan keringnya selama 4 bulan dalam setahun. Kondisi iklim tersebut menjadikan daerah studi sesuai marjinal. Masalah iklim dapat diatasi dengan pengaturan pola tanam budidaya udang maupun bandeng serta manajemen air tambak yang lebih baik, yaitu dengan sistem semi-tertutup. Sistem semi-tertutup merupakan sistem budidaya tambak yang diterapkan apabila kondisi perairan fluktuatif sebagai akibat dari pengaruh musim. Pada prinsipnya, sistem semi-tertutup ini adalah penggunaan air buangan sampai dengan umur pemeliharaan tertentu (90 hari) melalui kolamkolam filter, sedimentasi, treatment dan aerasi (Soewardi, 2002). Secara ringkas, hasil evaluasi kesesuaian lahan dan perairan pada SPT13 dapat dilihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kelas kesesuaian lahan dan perairan pada SPT 13 untuk budidaya tambak udang adalah S3tai, yang artinya daerah tersebut termasuk sesuai marjinal untuk budidaya udang dengan faktor penghambat tekstur tanah, salinitas dan iklim. Sedangkan pada SPT yang sama untuk bandeng daerah tersebut adalah S3ai,

74 58 yang artinya daerah tersebut termasuk sesuai marjinal untuk budidaya bandeng dengan faktor penghambat salinitas dan iklim. Faktor penghambat salinitas dan iklim ini sebenarnya terkait dengan kebutuhan air tawar yang tersedia di perairan. Tabel 15 Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 13 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau. Kualitas / Karakteristik Lahan Nilai Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Sumber Data Topografi (l) Lereng (%) 0 1 Puslitanak, 1995 Tanah (t) Kedalaman (cm) Tekstur Drainase Tebal gambut Kedalaman pirit Air (a) Oksigen terlarut(mg L -1 ) Salinitas ( o /oo) Suhu ( o C) Kecerahan (cm) ph Amoniak (NH3) (mg L -1 ) H2S (mg L -1 ) Hidrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) Liat (c) Sangat terhambat Tanpa - (5, ,258)* (3, ,057)** (19, ,106)* (39, ,976)** (30, ,067)* (31, ,826)** (22, ,772)* (26, ,532)** (7, ,236)* (8, ,344)** 0 0,2-2,12 ; 1,81 2,48 S3 - S3 S Iklim (i) Bulan kering (< 60 mm) Curah hujan (mm th -1 ) 4 bulan 1656,9 S3 Kelas Kesesuaian Lahan S3tai tai Sumber : Hasil analisis (2007) Catatan : * Musim hujan dan ** Musim kemarau - - Data Primer (2006), Prasita dkk., 2005 dan Puslitanak, 1995 Data Primer (2006) dan Prasita dkk., 2005 Data Primer (2006) dan Dihidros (2004) dan Ameralda Hess ( 2004) BPS, 2001 Permasalahan tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan penyediaan air tawar yang cukup. Saat ini, petani tambak menggunakan pompa air untuk mengambil air dari sumbur bor untuk mengatasi permasalahan yang muncul.

75 59 Dengan input teknologi tersebut, kelas kesesuaian lahan potensialnya untuk budidaya udang dan bandeng menjadi tai (cukup sesuai) dan ai (cukup sesuai) dengan faktor penghambat masih sama. Tabel 16 Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 13 bagi budidaya tambak bandeng pada musim hujan dan musim kemarau. Kualitas / Karakteristik Lahan Nilai Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Sumber Data Topografi (l) Lereng (%) 0 1 Puslitanak, 1995 Tanah (t) Kedalaman (cm) Tekstur Drainase Tebal gambut Kedalaman pirit Air (a) Oksigen terlarut(mg L -1 ) Salinitas ( o /oo) Suhu ( o C) Kecerahan (cm) ph Amoniak (NH3) (mg L -1 ) H2S (mg L -1 ) Hidrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) Liat (c) Sangat terhambat Tanpa - (5, ,258)* (3, ,057)** (19, ,106)* (39, ,976)** (30, ,067)* (31, ,826)** (22, ,772)* (26, ,532)** (7, ,236)* (8, ,344)** 0 0,2-2,12 ; 1,81 2,48 - S3 S Iklim (i) Bulan kering (< 60 mm) Curah hujan (mm th -1 ) 4 bulan 1656,9 S3 Kelas Kesesuaian Lahan S3ai tai Sumber : Hasil analisis (2007) Catatan : * Musim hujan dan ** Musim kemarau Data Primer (2006), Prasita dkk., 2005 dan Puslitanak, 1995 Data Primer (2006) dan Prasita dkk., 2005 Data Primer (2006) dan Dihidros (2004) dan Ameralda Hess ( 2004) BPS, 2001 SPT1 Pada SPT1 ini, beberapa parameter untuk evaluasi kesesuaian lahan nilainya sama dengan nilai pada SPT13, seperti: kemiringan / lereng, kedalaman tanah, tekstur tanah, drainase, amplitudo dan iklim sehingga kelas kesesuaian

76 60 untuk parameter tersebut sama. Namun demikian nilai parameter yang terkait dengan kualitas air pada SPT1 ini memiliki nilai yang berbeda-beda dan nilai tersebut akan dievaluasi kesesuaiannya untuk budidaya tambak. Kandungan oksigen terlarut (DO) air di saluran tambak pada SPT 1 ini sebesar (5, ,216) mg L -1 saat musim hujan dan (3, ,147) mg L -1 saat musim kemarau. Kandungan oksigen terlarut tersebut cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak, namun demikian pada saat musim kemarau beberapa air tambak kandungan oksigen terlarutnya di bawah 3 mg L -1 yang dapat menjadikan sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3). Nilai DO rendah pada saat musim kemarau tersebut karena waktu pengambilan sampelnya dilakukan pada saat air surut sehingga beberapa lokasi sampling memang airnya keruh karena saat pembuangan limbah tambak. Salinitas air tambak pada SPT1 ini sebesar (21, ,700) o / oo pada saat musim hujan dan (38, ,888) o / oo pada saat musim kemarau. Salinitas tersebut saat musim hujan sangat sesuai (kelas kesesuian ) dan pada saat musim kemarau sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3). Oleh karena itu, pada saat musim kemarau kebutuhan air tawar sangat tinggi. Kebutuhan air tawar tersebut sebagian tambak didukung dari sumur bor. Penggunaan sumur bor untuk mengatasi kebutuhan air tawar tersebut dapat menimbulkan masalah instrusi air laut. Suhu air tambak pada SPT1 ini sebesar ((30, ,816) o C pada saat musim hujan dan (30, ,247) pada saat musim kemarau. Suhu air saluran tambak tersebut cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak udang dan bandeng. Kecerahan air tambak pada SPT1 ini sebesar (22, ,494) cm pada saat musim hujan dan (29, ,431) cm pada saat musim kemarau. Untuk budidaya tambak, kecerahan air saluran tambak tersebut pada musim kemarau cukup sesuai (kelas kesesuaian ) namun pada musim hujan termasuk sesuai marjinal. ph air tambak pada SPT1 ini sebesar (7, ,408) pada saat musim hujan dan musim kemarau. ph air saluran tambak tersebut sangat sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. Secara keseluruhan evaluasi kesesuaian lahan dan perairan pada SPT 1 ini dapat dilihat pada Tabel 17. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kelas

77 61 kesesuaian lahan aktual pada SPT 1 untuk budidaya tambak udang adalah S3tai, yang artinya daerah tersebut termasuk sesuai marjinal untuk budidaya udang dengan faktor penghambat tekstur tanah, salinitas (pada musim kemarau) dan iklim. Sedangkan pada SPT yang sama untuk bandeng daerah tersebut adalah S3ai, yang artinya daerah tersebut termasuk sesuai marjinal untuk budidaya bandeng dengan faktor penghambat salinitas dan iklim. Jadi secara keseluruhan kelas kesesuaian lahan SPT1 ini sama dengan SPT13. Tabel 17 Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 1 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau. Kualitas / Karakteristik Lahan Nilai Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Sumber Data Topografi (l) Lereng (%) 0 1 Puslitanak, 1995 Tanah (t) Kedalaman (cm) Tekstur Drainase Tebal gambut Kedalaman pirit Air (a) Oksigen Terlarut (mg L -1 ) Salinitas ( o /oo) Suhu ( o C) Kecerahan (cm) ph Amoniak (NH3) (mg L -1 ) H2S (mg L -1 ) Hidrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) Liat (c) Liat berdebu Sangat terhambat Tanpa - (5, ,216)* (3, ,147)** (21, ,700)* (38, ,888)** (30, ,816)* (30, ,247)** (22, ,494)* (29, ,431)** (7, ,408)* (7, ,408)** - - 2,12 ; 1,81 2,48 S3 - S3 S3 Iklim (i) Bulan kering (< 60 mm) Curah hujan (mm th -1 ) 4 bulan 1656,9 S3 Kelas Kesesuaian Lahan S3tai tai Sumber : Hasil analisis (2007) Catatan : * Musim hujan dan ** Musim kemarau Data Primer (2006), Prasita dkk., 2005 dan Puslitanak, 1995 Data Primer (2006) dan Prasita dkk., 2005 Data Primer (2006), Dihidros (2004) dan Amoralda Hess ( 2004) BPS, 2001

78 62 Kelas kesesuaian lahan pada SPT1 ini dapat ditingkatkan dengan input teknologi, seperti yang telah dibahas pada SPT13. Dengan input teknologi, kelas kesesuaian lahan potensialnya untuk budidaya udang dan bandeng adalah tai dan ai. SPT34 Pada SPT34 ini, beberapa parameter yang dipakai untuk evaluasi kesesuaian lahan nilainya sama dengan nilai pada SPT sebelumnya, seperti: kemiringan / lereng, kedalaman tanah, tekstur tanah, drainase, amplitudo dan iklim sehingga kelas kesesuaian untuk parameter tersebut sama. Namun demikian nilai parameter yang terkait dengan kualitas air pada SPT 34 ini nilainya berbeda-beda dan akan dievaluasi kesesuaiannya untuk budidaya tambak udang dan bandeng. Kandungan oksigen terlarut (DO) air di saluran tambak pada SPT 34 ini sebesar (5, ,250) mg L -1 saat musim hujan dan (4, ,300) mg L -1 saat musim kemarau. Kandungan oksigen terlarut tersebut cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak, namun demikian pada saat musim kemarau beberapa air tambak kandungan oksigen terlarutnya di bawah 3 mg/l yang dapat menjadikan sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3). Nilai DO rendah pada saat musim kemarau tersebut karena waktu pengambilan sampelnya dilakukan pada saat air surut sehingga beberapa lokasi sampling memang airnya keruh karena saat pembuangan limbah tambak. Salinitas air tambak pada SPT34 ini sebesar (0 + 0) o / oo pada saat musim hujan dan (25, ,500) o / oo pada saat musim kemarau. Salinitas tersebut saat musim hujan sesuai marjinal (kelas kesesuian S3) dan pada saat musim kemarau cukup sesuai (kelas kesesuaian ). Oleh karena itu, pada saat musim hujan sebagian tambak pada SPT ini digunakan untuk padi sawah. Suhu air tambak pada SPT34 ini sebesar (29, ,500) o C pada saat musim hujan dan (30, ,500) pada saat musim kemarau. Suhu air saluran tambak tersebut pada musim hujan sangat sesuai (kelas kesesuaian ) dan pada musim hujan cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak udang dan bandeng. Kecerahan air tambak pada SPT34 ini sebesar (25, ,500) cm pada saat musim hujan dan (29, ,500) cm pada saat musim kemarau. Untuk

79 63 budidaya tambak, kecerahan air saluran tambak tersebut pada kedua musim cukup sesuai (kelas kesesuaian ). ph air tambak pada SPT34 ini sebesar (7, ,250) pada saat musim hujan dan musim kemarau. ph air saluran tambak tersebut cukup sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. Secara keseluruhan evaluasi kesesuaian lahan dan perairan pada SPT 34 ini dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 34 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau. Kualitas / Karakteristik Lahan Nilai Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Sumber Data Topografi (l) Lereng (%) 0 1 Puslitanak, 1995 Tanah (t) Kedalaman (cm) Tekstur Drainase Tebal gambut Kedalaman pirit Air (a) Oksigen Terlarut (mg L -1 ) Salinitas ( o /oo) Suhu ( o C) Kecerahan (cm) ph Amoniak (NH3) (mg L -1 ) H2S (mg L -1 ) Hidrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) Liat (c) Liat berdebu Sangat terhambat Tanpa - (5, ,250)* (4, ,300)** (0 + 0)* (25, ,500)** (29, ,500)* (30, ,500)** (25, ,500)* (29, ,500)** (7, ,250)* (7, ,250)** - - 2,12 ; 1,81 2,48 S3 - S3 - - Iklim (i) Bulan kering (< 60 mm) Curah hujan (mm th -1 ) 4 bulan 1656,9 S3 Kelas Kesesuaian Lahan S3ti tai Sumber : Hasil analisis (2007) Catatan : * Musim hujan dan ** Musim kemarau - S3 - - Data Primer (2006), Prasita dkk., 2005 dan Puslitanak, 1995 Data Primer (2006) dan Prasita dkk., 2005 Data Primer (2006) dan Dihidros (2004) dan Ameralda Hess ( 2004) BPS, 2001

80 64 Pada tabel tersebut terlihat bahwa kelas kesesuaian lahan dan perairan pada SPT 34 untuk budidaya tambak udang adalah S3tai, yang artinya daerah tersebut termasuk sesuai marjinal untuk budidaya udang dengan faktor penghambat tekstur tanah, iklim dan air (salinitas) untuk musim hujan sedangkan pada musim kemarau, parameter air(salinitas) bukan faktor penghambat. Sedangkan pada SPT yang sama untuk bandeng daerah tersebut adalah S3ai, yang artinya daerah tersebut termasuk sesuai marjinal untuk budidaya bandeng dengan faktor penghambat iklim dan air (salinitas) sedangkan pada musim kemarau parameter air (salinitas) juga bukan faktor penghambat. Penggunaan teknologi dapat meningkatkan kelas kesesuaian lahan pada SPT34 ini, seperti yang telah dibahas pada SPT13 dan SPT1. Dengan input teknologi, kelas kesesuaian lahan potensialnya untuk budidaya udang dan bandeng adalah tai dan ai. SPT112 Pada SPT112 ini, beberapa parameter yang dipakai untuk evaluasi kesesuaian lahan nilainya sama dengan nilai pada SPT sebelumnya, seperti: kemiringan / lereng, kedalaman tanah, tekstur tanah, drainase, amplitudo dan iklim sehingga kelas kesesuaian untuk parameter tersebut sama. Namun demikian nilai parameter yang terkait dengan kualitas air pada SPT 112 ini nilainya berbeda-beda dan akan dievaluasi kesesuaiannya untuk budidaya tambak. Kandungan oksigen terlarut (DO) air di sungai Bengawan Solo pada SPT112 ini sebesar (3, ,618) mg L -1 saat musim hujan dan (5, ,048) mg L -1 saat musim kemarau. Kandungan oksigen terlarut tersebut sangat sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. Salinitas air tambak pada SPT112 ini sebesar (3, ,454) o / oo pada saat musim hujan dan (35, ,944) o / oo pada saat musim kemarau. Salinitas tersebut saat musim hujan cukup sesuai (kelas kesesuian ) dan pada saat musim kemarau sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3). Nilai standar deviasi pada pengukuran salinitas pada SPT112 ini menunjukkan bahwa salinitas sungai Bengawan Solo sangat bervariasi. Pada musim hujan, salinitas sungai tersebut yang mengalir di Kecamatan Bungah dan Sidayu memiliki salinitas nol

81 65 sedangkan salinitas sungai yang di Ujung Pangkah sebagian nol dan hanya di dekat muara yang salinitasnya cukup tinggi. Oleh karena itu, pada saat musim hujan, air sungai tersebut dipakai untuk sumber air padi sawah, terutama untuk lahan sebelah barat sungai Bengawan Solo. Suhu air tambak pada SPT112 ini sebesar (29, ,373) o C pada saat musim hujan dan (29, ,837) pada saat musim kemarau. Suhu air saluran tambak tersebut pada musim hujan dan musim kemarau (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak udang dan bandeng. Kecerahan air tambak pada SPT112 ini sebesar (17, ,853) cm pada saat musim hujan dan (49, ,563) cm pada saat musim kemarau. Untuk budidaya tambak, kecerahan air saluran tambak tersebut pada kedua musim cukup sesuai (kelas kesesuaian ). ph air tambak pada SPT112 ini sebesar (7, ,382) pada saat musim hujan dan (7, ,471) pada saat musim kemarau. ph air saluran tambak tersebut sangat sesuai (kelas kesesuaian ) untuk budidaya tambak. Secara keseluruhan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan perairan pada SPT 112 ini dapat dilihat pada Tabel 19. Pada tabel tersebut terlihat bahwa kelas kesesuaian lahan dan perairan pada Nomor SPT112 untuk budidaya tambak udang adalah N1a, yang artinya daerah tersebut termasuk tidak sesuai pada saat ini untuk budidaya udang dan bandeng dengan faktor penghambat air (kecerahan) untuk musim kemarau musim hujan. Penggunaan teknologi dapat meningkatkan kelas kesesuaian lahan pada SPT112, dari kelas kesesuaian N1a (tidak sesuai) menjadi S3a(sesuai marjinal). Namun demikian SPT ini merupakan bantaran sungai Bengawan Solo yang hanya dipakai sebagai sumber air tawar. Secara keseluruhan, ringkasan hasil evaluasi kelas kesesuaian lahan pesisir untuk budidaya tambak di daerah studi disajikan pada Tabel 20. Dari tabel tersebut terlihat bahwa semua lahan tambak di wilayah studi tergolong dalam kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marjinal) dengan faktor penghambat yang hampir sama, yaitu : tanah, air, dan iklim untuk budidaya udang sedangkan untuk budidaya ikan bandeng faktor penghambatnya air dan iklim. Faktor penghambat air, terutama salinitas, dapat diatasi dengan pemberian pompa untuk mengatur salinitas yang sesuai untuk budidaya tambak sedangkan faktor penghambat iklim

82 66 dan tanah sulit diperbaiki sehingga hal ini merupakan faktor penghambat yang mengakibatkan produktivitas tambak rendah. Jadi hasil evaluasi kesesuaian lahan ini membuktikan hipotesis ke-2 yang menyatakan bahwa produktivitas tambak yang rendah sebagai akibat dari kondisi lingkungan kawasan pertambakan yang kurang mendukung (sesuai marjinal). Dengan input teknologi, kondisi lingkungan (kelas kesesuaian lahan) dapat ditingkatkan menjadi lebih baik, yaitu kelas kesesuaian lahan (cukup sesuai). Tabel 19 Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 112 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau. Kualitas / Karakteristik Lahan Nilai Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Kelas Kesesuaian Lahan Potensial Sumber Data Topografi (l) Lereng (%) 0 1 Puslitanak, 1995 Tanah (t) Kedalaman (cm) Tekstur Drainase Tebal gambut Kedalaman pirit Air (a) Oksigen terlarut(mg L -1 ) Salinitas ( o /oo) Suhu ( o C) Kecerahan (cm) ph Amoniak (NH3) (mg L -1 ) H2S (mg L -1 ) Hidrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) Liat (c) Liat berdebu Sangat terhambat Tanpa - (3, ,618)* (5, ,048)** (3, ,454)* (35, ,944)** (29, ,373)* (29, ,837)** (17, ,853)* (49, ,563)** (7, ,382)* (7, ,471)** - - 2,12 ; 1,81 2,48 S3 - S3 N1 N S3 S3 Iklim (i) Bulan kering (< 60 mm) Curah hujan (mm th -1 ) 4 bulan 1656,9 S3 Kelas Kesesuaian Lahan N1a S3a Sumber : Hasil analisis (2007) Catatan : * Musim hujan dan ** Musim kemarau - - Data Primer (2006), Prasita dkk., 2005 dan Puslitanak, 1995 Data Primer (2006) dan Prasita dkk., 2005 Data Primer (2006) dan Dihidros (2004) dan Ameralda Hess ( 2004) BPS, 2001

83 67 Tabel 20 Ringkasan kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial untuk budidaya udang dan bandeng di daerah studi No Nomor SPT Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Potensial Luas (ha) Keterangan 1 13 S3tai tai 9.218,08 budidaya udang 2 13 S3ai tai 9.218,08 budidaya bandeng 3 1 S3tai tai 1.269,98 budidaya udang 4 1 S3ai tai 1.269,98 budidaya bandeng 5 34 S3tai tai 1.186,68 budidaya udang 6 34 S3ai tai 1.186,68 budidaya bandeng N1a S3a 1.386,09 budidaya udang N1a S3a 1.386,09 budidaya bandeng Sumber : Hasil analisis (2007) Rendahnya produktivitas tambak yang disebabkan oleh penurunan kualitas lingkungan ini pernah juga dinyatakan oleh Maarif et al. (2000). Penurunan kualitas lingkungan tersebut sebagai akibat dari kesalahan manajemen lingkungan perairan, penerapan teknologi budidaya dan mewabahnya penyakit. Kajian Daya Dukung Kawasan Pertambakan Dalam kajian daya dukung kawasan pertambakan di daerah studi digunakan dua pendekatan, yaitu : (1) pendekatan secara langsung melalui analisis regresi polinomial dan (2) pendekatan secara tidak langsung melalui penghitungan kuantitas air di perairan dan penghitungan berdasarkan kualitas lahan pesisir yang diberi nilai / skor. Kajian daya dukung yang pertama merupakan kajian daya dukung ekonomis sedangkan kajian daya dukung yang kedua adalah daya dukung lingkungan. Kajian daya dukung lingkungan ini akan dibahas lebih detil pada penelitian ini. Estimasi Daya Dukung Ekonomis dengan Analisis Regresi Polinomial Daya dukung ekonomis pertambakan di daerah studi dapat ditentukan dari kecenderungan perkembangan produksi dan luas lahan, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 9. Penentuan daya dukung tersebut dilakukan melalui analisis model regresi Cheng Gong, et al. (1997). Gambar 9 memperlihatkan bahwa produksi tambak meningkat seiring dengan meningkatnya luas lahan tambak. Produksi maksimum sebesar ,4 ton terjadi pada tahun 1999 pada saat luas tambak sebesar ,5 ha (produktivitas lahan tambak maksimum 1,11 ton ha -1 ). Data lengkap pada Lampiran 6. Setelah tahun tersebut produksi berfluktuasi dengan kecenderungan menurun seiring dengan meningkatnya luas lahan. Kondisi tersebut memberikan

84 68 makna bahwa produksi pada lahan tambak di daerah tersebut sudah maksimal. Hal ini mengindikasikan bahwa daya dukung kawasan pertambakan tersebut sudah terlampaui. Fenomena ini akan dikaji lebih mendalam dengan beberapa metode / pendekatan dalam penentuan daya dukung yang dijelaskan sebelumnya. Perkembangan Produksi dan Luas Lahan Tambak di Daerah Studi Nilai Produksi (Ton) Produksi (ton) Produksi Tambak (Ton) Luas Lahan (Ha) Luas lahan (ha) Luas Lahan (Ha) Tahun Gambar 9 Perkembangan produksi (ton) dan luas lahan (ha) tambak di daerah studi pada tahun Analisis regresi antara produktivitas tambak (kg ha -1 ) dengan luas lahan tambak (ha) yang disajikan pada Gambar 10 menghasilkan persamaan berikut : Y = - 0,00009 X 2 + 1,6882 X 6923,7 Dengan koefisien determinasi R 2 sebesar 0, (20) Hubungan Produktivitas(Kg/Ha) terhadap Luas Tambak(Ha) di Daerah Studi 1400 Produktivitas (kg/ha) (Kg/Ha) y = -9E-05x 2 + 1,6882x ,7 R 2 = 0, Luas lahan Tambak tambak (Ha)(ha) Gambar 10 Hubungan produktivitas (kg ha -1 ) terhadap luas tambak (ha) di daerah studi.

85 69 Untuk mendapatkan nilai X (luas tambak) pada saat nilai Y (produktivitas) maksimum, maka fungsi Y tersebut diturunkan sama dengan nol (dy / dx = 0). Jadi persamaan turunan tersebut menjadi dy/dx = - 0,00018 X + 1,6882 = 0... (21) Dengan demikian, nilai X (luas lahan tambak) = 9.378,89 ha. Dengan substitusi nilai X pada persamaan, maka nilai Y (produktivitas tambak) = 949,01 kg ha -1. Jadi luas lahan tambak dengan produksi maksimum sebesar 9.378,89 ha, dan produktivitas maksimum yang memungkinkan sebesar 949,01 kg ha -1 ( 0,9 ton ha -1 ). Produktivitas tambak tersebut merupakan nilai produksi tambak maksimum di daerah studi dengan sistem budidaya secara tradisional dan merupakan daya dukung ekonomis kawasan tambaknya. Daya dukung ekonomis tersebut pernah terlampaui pada tahun Jadi dengan pendekatan analisis regresi ini dapat diketahui bahwa pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk pertambakan di daerah studi sudah melampaui daya dukung ekonomisnya sehingga hipotesis pertama telah terbukti. Pembuktian hipotesis tersebut akan diperkuat dengan pembuktian nilai daya dukung lingkungan yang dibahas pada sub-bab berikutnya. Penentuan Daya Dukung Lingkungan Kawasan Pertambakan dengan Pendekatan Ketersediaan Air Budidaya tambak menghasilkan limbah cair yang biasanya dibuang ke sungai, perairan pantai, dan laut. Limbah tambak tersebut akan diencerkan oleh perairan sekitarnya. Kemampuan kawasan pertambakan dalam menerima limbah tersebut dikatakan sebagai daya dukung lingkungan kawasan pertambakan, yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Dalam penentuan daya dukung lingkungan dengan metode pendekatan kedua ini dipakai rumus pada persamaan (1) dan (2) yang telah dibahas pada Bab Tinjauan Pustaka, yaitu : V perairan > 100 V limbah tambak... (22) dan V perairan = 0,5 h y ( 2 x ( h / tan θ ))... (23) Selain itu, pada pendekatan ini digunakan asumsi bahwa produksi maksimum budidaya 7 ton ha -1 MT -1. (MT merupakan satuan musim tanam). Berdasarkan rumus tersebut dan data yang telah diperoleh di Kecamatan Ujung Pangkah, perhitungan luas areal tambak yang dapat didukung adalah sebagai berikut.

86 70 Kemiringan pantai = 0,17 o. Kisaran pasut (h) = 2,12 m Jarak (X) = 1203,84 m Panjang garis pantai = m Volume perairan = 0,5 h y ( 2 x ( h / tan θ )) = 0,5(2,12). (44.133). (2 (1203,84) (2,12 / 0,007)) = ,99 m 3. Karena jenis pasutnya tunggal (data pada Lampiran 4), maka frekuensi pasang / hari sebanyak 1 kali sehingga volume perairan yang tersedia adalah sama, yaitu: ,99 m 3. Oleh karena itu, volume limbah tambak yang dapat didukung sebesar ,99 m 3 dan volume tambak maksimumnya sebesar m 3. Jadi luas tambak maksimum yang dapat didukung sebesar 791,91 ha. Perlu diketahui bahwa target produksi maksimum yang diasumsikan adalah 7 ton ha -1 MT -1. Jadi daya dukung maksimum perairan tersebut adalah ton MT -1 (7 ton ha -1 MT -1 x 791,91 ha). Produksi maksimum tersebut dicapai apabila pengelolaan tambak dilakukan secara intensif. Apabila pengelolaan tambak dilakukan secara semi-intensif dengan target produksi 2 4 ton ha -1 MT -1, maka luas tambak 1385,85 ha. Apabila pengelolaan tambak dilakukan secara tradisional dengan target produksi kg ha -1 MT -1, maka luas tambak 7919,12 ha. Secara ringkas, penentuan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan di daerah studi disajikan pada Lampiran 7. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa luas lahan tambak udang yang dapat didukung dengan pengelolaan tradisional, semi-intensif dan intensif berturut-turut adalah 9.413,49 ha, 1.647,36 ha, dan 941,35 ha. Pada saat ini, pemanfaatan lahan pesisir untuk budidaya tambak tradisional di daerah studi sudah melebihi luas lahan dari hasil hitungan tersebut. Penentuan daya dukung dengan metode ini belum cukup menggambarkan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan secara keseluruhan, namun demikian daya dukung ini telah memberikan informasi luas lahan yang dapat didukung terkait dengan ketersediaan air di kawasan pertambakan tersebut. Pendekatan ini sebenarnya masih ada kekurangan, karena daya dukung lingkungan kawasan pertambakan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan air saja. Beberapa faktor penentu daya dukung lingkungannya masih terlewatkan,

87 71 seperti : padatan tersuspensi (suspended solid), dan kualitas airnya. Selain itu, kualitas lahan pesisirnya juga belum diperhitungkan. Dengan pendekatan ini, lokasi lahan yang terkait dengan daya dukung lingkungan yang dihitung juga tidak dapat dilihat secara spasial. Menurut Purnomo (1992), daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikembangkan metode penentuan daya dukung lingkungan dengan pembobotan yang dikembangkan dari evaluasi kesesuaian lahan pesisir sehingga secara spasial lokasi yang terkait dengan daya dukung lingkungan tersebut dapat terlihat lebih nyata. Penentuan Daya Dukung Lingkungan Tambak secara Komprehensif Konsep dan kriteria dalam penentuan daya dukung lingkungan. Sebagai dasar penentuan daya dukung lingkungan ini adalah keterkaitan kelas kesesuaian lahan pesisir dengan daya dukung lingkungannya. Hal ini berkembang dari pemikiran bahwa kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh parameter lingkungan yang juga menentukan daya dukung lingkungannya. Dalam pengembangan konsep daya dukung lingkungan ini, pada prinsipnya ada tiga hubungan antara parameter lingkungan dan kelas kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungannya. Ketiga hubungan tersebut disajikan pada Lampiran 8. Penerapan konsep dalam penentuan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan. Konsep dan kriteria di atas akan diterapkan dengan menggunakan rumus pada persamaan 14 dan 15 dari Bab Metodologi dan metode perhitungannya disajikan pada Lampiran 9. Perhitungan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan untuk SPT13 dapat diperlihatkan pada Tabel 21 dan 22, lebih lengkapnya disajikan pada Lampiran 10. Skor ditentukan berdasarkan nilai karakteristik lahan / perairan yang diamati di lapangan. Satuan Skor tersebut dinyatakan dalam persen. Sebagai contoh adalah skor untuk lereng, tekstur, dan drainase. Sedangkan Skor Tertimbang menyatakan skor yang tertimbang untuk kualitas lahan / perairan. Sebagai contoh adalah skor

88 72 untuk topografi, tanah, dan air. Metode penentuan skor secara lengkap disajikan pada Lampiran 9. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak udang pada SPT 13 saat musim hujan dan musim kemarau sebesar 82,7 % dan 78,7 % terhadap keseluruhan lahan yang sesuai sedangkan daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak bandeng pada SPT 13 saat musim hujan dan musim kemarau sebesar 86,4 % dan 82,0 % terhadap keseluruhan lahan yang sesuai. Tabel 21 Penilaian daya dukung lingkungan untuk budidaya udang pada musim hujan berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir SPT nomor 13. Penilaian daya dukung lingkungan Kelas Skor Persentase Kesesuaian (%) Skor Kualitas / Karakteristik Lahan Nilai parameter Topografi (l) Lereng (%) 0 1 % Tanah (t) Kedalaman sampai hamparan batuan (cm) Persentase kualitas lahan Tekstur Liat (c) S3 1 33,3 83,3 Drainase Sangat terhambat Tebal Gambut (cm) Tanpa Kedalaman Pirit (cm) Air (a) Oksigen terlarut (mg L -1 ) (5, ,258) 2 66,7 Salinitas ( o /oo) (19, ,106) Suhu ( o C) (30, ,067) 2 66,7 80,2 Kecerahan (cm) (22, ,772) 2 66,7 PH (7, ,236) Amonia (NH3) (mg L -1 ) H2S (mg L -1 ) Higrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) 2, Iklim (i) Bulan kering ( < 60 mm) 4 S3 1 33,3 50,0 Curah hujan (mm th -1 ) 1656,9 S3 1 33,3 Jadi daya dukung sebesar 413,5 / 5 = 82,7 %.

89 73 Tabel 22 Kualitas / Karakteristik Lahan Penilaian daya dukung lingkungan untuk budidaya udang pada musim kemarau berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir SPT nomor 13. Nilai parameter Penilaian daya dukung Lingkungan Kelas Kesesuaian Skor (%) Persentase Skor Persentase kualitas lahan pesisir Topografi (l) Lereng (%) 0 1 % Tanah (t) Kedalaman sampai hamparan batuan (cm) Tekstur Liat (c) S3 1 33,3 83,3 Drainase Sangat terhambat Tebal Gambut (cm) Tanpa Kedalaman Pirit (cm) Air (a) Oksigen terlarut (mg L -1 ) (3, ,057) S3 1 33,3 Salinitas ( o /oo) (39, ,976) S3 1 33,3 Suhu ( o C) (31, ,826) 2 66,7 60,0 Kecerahan (cm) (26, ,532) 2 66,7 PH (8, ,344) Amonia (NH3) (mg L -1 ) H2S (mg L -1 ) Higrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) 2, Iklim (i) Bulan kering ( < 60 mm) 4 S3 1 33,3 50,0 Curah hujan (mm th -1 ) 1656,9 S3 1 33,3 Jadi daya dukung sebesar 393,3 / 5 = 78,7 %. Untuk SPT 1, daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak udang pada saat musim hujan dan musim kemarau bernilai sama, yaitu sebesar 80,0 % sedangkan daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak bandeng pada saat musim hujan dan musim kemarau juga bernilai sama, yaitu sebesar 83,3 %. Hasil penilaian daya dukung lingkungan ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 23. Pada tabel terlihat bahwa nilai daya dukung lingkungan pada saat musim kemarau lebih kecil dibandingkan nilainya pada saat musim hujan. Dengan demikian daya dukung lingkungan yang dipakai untuk mewakili SPT yang bersangkutan dipilih nilai yang terkecil, yaitu pada saat musim kemarau tersebut.

90 74 No Tabel 23 Nomor SPT Ringkasan hasil penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan untuk budidaya udang dan bandeng Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Luas lahan yang sesuai (ha) Koefisien daya dukung lingkungan (%) Luas lahan yang didukung (ha) Jenis budidaya Musim Hujan Musim Kemarau 1 13 S3tai 9.218,08 82,7 78, ,63 udang 2 13 S3ai 9.218,08 86,4 82, ,83 bandeng 3 1 S3tai 1.269,98 80,0 80, ,98 udang 4 1 S3ai 1.269,98 83,3 83, ,89 bandeng 5 34 S3tai 1.186,68 81,4 80,0 949,34 udang 6 34 S3ai 1.186,68 84,7 83,3 988,50 bandeng Sumber : Hasil analisis (2007) Jadi luas lahan yang sesuai (marjinal) untuk budidaya udang dan bandeng sebesar ,74 ha sedangkan luas lahan yang dapat didukung oleh lingkungan untuk kegiatan budidaya udang sebesar 9.457,28 ha dan untuk kegiatan budidaya bandeng sebesar 9.882,89 ha. Hasil penentuan daya dukung tambak tersebut mendekati daya dukung kondisi nyata di lapangan, yaitu : 9.378,89 ha. Ringkasan Penilaian Daya Dukung dan Kondisi Lingkungan Kawasan Pertambakan Dari tiga pendekatan penilaian daya dukung lingkungan di atas diperoleh hasil yang saling menguatkan yaitu daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak secara tradisional di daerah studi sudah terlampaui. Hal ini terutama terlihat dari hasil kajian dengan pendekatan pertama. Hasil analisis regresi selama 20 tahun memperlihatkan bahwa luas lahan pesisir yang menghasilkan produktivitas tambak maksimum (0,9 ton ha -1 ) adalah sebesar 9.378,89 ha. Di lain pihak, pengembangan kawasan tambak pada tahun 1999 sampai ,5 ha dengan produksi ,4 ton (produktivitas tambak 1,11 ton ha -1 ). Oleh karena itu, pada tahun tersebut sebenarnya daya dukung lingkungan tambaknya sudah terlampaui. Hasil analisis dengan metode kedua adalah luas lahan pesisir yang masih dapat didukung untuk budidaya tambak udang tradisional, semi-intensif dan intensif berturut-turut sebesar 9.413,49 ha, 1.647,36 ha dan 941,35 ha. Hal ini mendukung pernyataan daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak secara tradisional sudah terlampaui. Konsekuensi dari hasil analisis daya dukung dengan pendekatan ketersediaan air ini menyatakan bahwa pengembangan

91 75 tambak secara intensif maupun semi-intensif tidak mungkin lagi dilakukan karena luas lahan tambak yang dapat didukung oleh ketersediaan air di perairan makin sedikit. Hasil analisis dengan metode ketiga menunjukkan bahwa luas lahan tambak tradisional yang dapat didukung untuk budidaya udang dan bandeng adalah 9.457,28 ha dan 9.882,89 ha. Hasil ini selaras dengan metode sebelumnya bahwa daya dukung lingkungan untuk budidaya tambak secara tradisional sudah terlampaui. Selain itu, metode ketiga ini dapat dipakai untuk memperlihatkan beberapa faktor yang menyebabkan daya dukungnya rendah. Hal ini terkait dengan faktor pembatas dalam penilaian kelas kesesuaian lahan, seperti faktor iklim, kualitas air dan tanah, yang sesuai secara marjinal. Pada akhirnya, ketiga metode pendekatan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan yang diringkas pada Tabel 24, masing-masing dapat dipakai sebagai faktor pembatas dalam optimalisasi pemanfaatan ruang pesisir untuk pertambakan. Ketiga pendekatan tersebut bersifat saling melengkapi dalam kaitannya sebagai faktor pembatas dalam optimalisasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk pertambakan di daerah studi. Tabel 24 Ringkasan nilai luas lahan tambak di daerah studi yang masih dapat di dukung oleh lingkungan. Dasar / Metode Penentuan Nilai Luas No Keterangan Daya Dukung Lingkungan Tambak (ha) 1. Kondisi riil produksi tambak ,50 Terjadi pada tahun 1999 maksimum 2. Metode analisis regresi polinomial 3. Metode pendekatan kuantitatif 9.378,89 Luas lahan yang menghasilkan produktivitas tambak maksimum 9.413, ,36 941,35 4. Metode pembobotan 9.457,28 Sumber : Hasil analisis (2007) 9.882,89 Tradisional Semi-intensif Intensif Luas lahan tambak tradisional yang dapat didukung untuk budidaya udang. Luas lahan tambak tradisional yang dapat didukung untuk budidaya bandeng.

92 76 Pengembangan lahan tambak yang melebihi daya dukung di daerah studi ini sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang mengijinkan masyarakat untuk membuka lahan tambak secara bersama-sama dengan mengkonversi hutan mangrove yang ada. Widigdo (2000) juga menyatakan tentang lemahnya kebijakan tata ruang di pantai utara Jawa sehingga hutan mangrove sebagai greenbelt telah habis dikonversi menjadi tambak. Oleh karena itu, selanjutnya hutan mangrove di daerah studi harus direhabilitasi/reboisasi, terutama kawasan konservasi sempadan pantai. Target luas mangrove yang harus direboisasi adalah minimal selisih antara luas total kawasan pertambakan dikurangi dengan luas tambak yang masih dapat didukung sehingga besarnya adalah 4463,17 ha. (13.842,06 ha ,89 ha). Reboisasi mangrove ini sebaiknya dilakukan di tiga kecamatan, terutama di Kecamatan Sedayu. Kelayakan Usaha Budidaya Tambak Usaha budidaya tambak di daerah studi telah dilakukan sejak 1980 an. Jenis komoditi yang dibudidayakan adalah ikan bandeng dan udang. Usaha budidaya tersebut dilakukan secara turun temurun. Beberapa metode budidaya pernah dicoba, seperti budidaya tradisional dan semi-intensif, namun demikian perkembangan terakhir usaha budidaya tersebut kurang menggembirakan. Produksi tambaknya berfluktuatif dalam 5 tahun terakhir, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana usaha budidaya yang dilakukan masyarakat di daerah studi menguntungkan sehingga kelayakan usaha budidaya tambak tersebut dapat dievaluasi. Analisisi kelayakan usaha budidaya (finansial) tersebut meliputi analisis biaya manfaat / Benefit Cost Ratio (BCR), Net Present Value (NPV) untuk budidaya bandeng dan udang. Net Present Value (NPV) Usaha Budidaya Tambak. Perhitungan analisis biaya manfaat usaha budidaya tambak ini menggunakan asumsi laju diskonto 10 % dan laju inflasi harga konsumen ratarata 3 tahun terakhir sebesar 9,36 % (BPS Kab. Gresik, 2003). Hasil perhitungan biaya dan manfaat usaha budidaya bandeng dan udang dinyatakan pada Tabel 25. Usaha budidaya bandeng lebih menguntungkan dari pada usaha budidaya udang tradisional karena usaha budidaya bandeng manfaatnya lebih besar dan biayanya lebih kecil dibandingkan usaha budidaya udang. Besar manfaat usaha

93 77 budidaya bandeng dan udang per hektar selama 5 tahun diperkirakan sebesar Rp ,- dan Rp ,- sedangkan biayanya sebesar Rp ,- dan Rp ,-Untuk perkiraan usaha budidaya bandeng dan udang per hektar selama 10 tahun diperoleh manfaat Rp ,- dan Rp ,- sedangkan biayanya sebesar Rp ,- dan Rp ,-. Tabel 25 Analisis biaya manfaat usaha budidaya bandeng dan udang per hektar Komponen / Perkiraan waktu usaha Budidaya 5 th 10 th Bandeng Biaya (Cost) (Rp) , ,- Manfaat (Benefit) (Rp) , ,- Udang Tradisional Biaya (Cost) (Rp) , ,- Manfaat (Benefit) (Rp) , ,- Sumber : Hasil analisis (2007) Perbandingan usaha budidaya tambak tersebut lebih jelas dengan menggunakan nilai NPV. Nilai NPV budidaya bandeng lebih besar sekitar dua hingga tiga kali dibandingkan usaha budidaya udang baik untuk perkiraan waktu 5 tahun maupun 10 tahun. Nilai NPV budidaya bandeng untuk perkiraan usaha 5 tahun dan 10 tahun sebesar Rp ,- dan Rp ,- sedangkan nilai NPV budidaya udang untuk perkiraan usaha 5 tahun dan 10 tahun sebesar Rp ,- dan Rp ,-. Nilai NPV usaha budiaya tambak tersebut disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Analisis NPV usaha tambak per hektar Jenis Budidaya Perkiraan waktu usaha 5 th 10 th Bandeng (Rp) , ,- Udang Tradisional (Rp) , ,- Sumber : Hasil analisis (2007) Oleh karena itu, usaha budidaya bandeng merupakan usaha yang lebih berkembang di daerah studi dibandingkan usaha budidaya udang. Usaha budidaya bandeng tersebut sekitar 87,25 % dari keseluruhan budidaya yang ada di Kabupaten Gresik. Benefit Cost Ratio (BCR) Usaha Budidaya Tambak. Kriteria investasi BCR merupakan indeks efisiensi yang perhitungannya menggunakan data dari NPV. BCR ini menunjukkan ukuran berapa kali lipat

94 78 keuntungan / manfaat (benefit) yang akan diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Hasil perhitungan BCR usaha budidaya tambak di daerah studi disajikan pada Tabel 27. Usaha budidaya bandeng jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha budidaya udang. Nilai BCR budidaya bandeng untuk perkiraan waktu usaha 5 tahun dan 10 tahun sebesar 1,46 dan 1,51 sedangkan Nilai BCR usaha budidaya udang sebesar 1,12 dan 1,10. Hal tersebut berarti bahwa keuntungan usaha budidaya bandeng sekitar tiga kali biaya yang dikeluarkan sedangkan keuntungan usaha budidaya udang tradisional hanya 1,3 kali biaya yang dikeluarkan. Secara detil, perhitungan NPV dan BCR tersebut dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari kajian di atas, status keberlanjutan usaha budidaya bandeng oleh masyarakat lebih besar dibandingkan status tersebut untuk usaha budidaya udang secara tradisional. Dengan demikian, kedua usaha budidaya perikanan secara tradisional tersebut masih layak dilakukan oleh masyarakat. Tabel 27 Analisis B/C Ratio usaha tambak per hektar Jenis Budidaya Perkiraan waktu usaha 5 th 10 th Budidaya Bandeng 1,46 1,51 Budidaya Udang Tradisional 1,12 1,10 Sumber : Hasil analisis (2007) Usaha budidaya udang secara semi-intensif maupun intensif di daerah studi pernah dilakukan tetapi usaha budidaya tersebut kurang berhasil (Data dapat dilihat pada Lampiran 12). Kegagalan usaha tersebut dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain : petani tambak pada saat itu belum mengetahui kondisi kawasan pertambakan sesungguhnya, manajemen air masih tradisional, hama penyakit (virus). Peningkatan usaha semi-intensif dan intensif membutuhkan penggunaan teknologi budidaya yang lebih baik agar lingkungan kawasan pertambakan tidak tercemar oleh limbah budidayanya. Untuk peningkatan usaha budidaya dari tradisional ke semi-intensif atau intensif sebaiknya diuji coba daerah yang sesuai dan lokasi yang ekonomis (Pilot Project).

95 79 Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan Seperti yang telah diuraikan di dalam kerangka pikir bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga aspek utama, yaitu : ekonomi, lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, di dalam optimalisasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk pertambakan ini juga didasarkan pada ke tiga aspek pembangunan berkelanjutan tersebut. Untuk merealisasi konsep optimalisasi pemanfaatan ruang tersebut digunakan model optimalisasi Linear Goal Programming (LGP). Model optimalisasi LGP ini digunakan untuk mengalokasikan ruang wilayah pesisir bagi budidaya tambak udang atau bandeng secara tradisional, semiintensif maupun intensif. Dengan model LGP, ketiga aspek pembangunan berkelanjutan tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk target / fungsi kendala tujuan. Pertama, fungsi kendala untuk aspek ekonomi antara lain peningkatan produksi tambak, PAD. Kedua, fungsi kendala untuk aspek lingkungan adalah pemenuhan daya dukung dan peningkatan luas mangrove. Ketiga, fungsi kendala untuk aspek sosial adalah penyerapan tenaga kerja. Ketiga aspek pembangunan berkelanjutan tersebut akan diterapkan berdasarkan kondisi dan potensi daerah sehingga penerapannya disesuaikan dengan prioritas isu / masalah yang muncul. Karena hasil penilaian daya dukung menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan pertambakannya sudah melampaui daya dukungnya maka prioritas pertama adalah aspek lingkungan, yaitu peningkatan kualitas lingkungan. Model optimalisasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir pada penelitian ini mengacu pada rencana strategi pembangunan kelautan dan perikanan serta mempertimbangkan arahan rencana tata ruang yang ada di Kabupaten Gresik. Model tersebut akan mensimulasikan fungsi pemanfaatan ruang yang optimal dengan beberapa skenario luas lahan untuk budidaya tambak tradisional, semiintensif dan intensif serta luas lahan untuk kawasan konservasi sebagai upaya peningkatan daya dukung kawasan pertambakan. Pada penelitian ini, daya dukung merupakan faktor pembatas utama dalam optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir karena hal tersebut merupakan prasarat agar pembangunan pesisir di kawasan pertambakan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Beberapa sasaran proyeksi kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan tahun di Kabupaten Gresik adalah sebagai berikut (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gresik, 2001) :

96 80 1. Produksi budidaya tambak air payau ditargetkan kenaikan 3,5 % per tahun. Produksi budidaya tambak untuk Tahun 2003 sebesar 23,78 ribu Ton. 2. Peningkatan ekspor hasil perikanan ditargetkan naik 20 % per tahun. Pada Tahun 2003, besarnya ekspor hasil perikanan sebesar 3,17 ribu Ton. 3. Pendapatan per cápita petani ikan meningkat sebanyak 4 % per tahun. Pendapatan per kápita petani ikan pada tahun 2003 sebesar Rp. 10,95 Juta. 4. Tenaga kerja petani ikan ditargetkan meningkat 50 orang per tahun. Dalam penentuan sasaran optimalisasi di daerah studi digunakan analisis kecenderungan kenaikan dari sasaran dari Dinas Kelautan dan Perikanan tersebut. Untuk pengolahan data, areal tambak tradisional budidaya udang dan bandeng berturut-turut disimbolkan dengan X 11, dan X 21, sedangkan areal tambak semi-intensif budidaya udang dinyatakan dengan X 12 dan areal tambak intensif budidaya udang disimbolkan dengan X 13 serta XM dipakai untuk menyatakan areal konservasi mangrove. Sedangkan d + dan d - dipakai untuk menyatakan variabel deviasi (simpangan) yang keterlewatkan dan ketidaktercapaian dari target / tujuan / sasaran. Untuk lebih jelasnya, pernyataan variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 28. Variabel ini akan dipakai untuk tujuan optimalisasi pemanfaatan ruang pesisir pada pembahasan selanjutnya. Tabel 28 Variabel yang dipakai dalam optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk produk tambak udang dan bandeng dengan budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif No Produk Tambak Mangrove Jenis Budidaya Tradisional Semi-Intensif Intensif 1. Udang X 11 X 12 X Bandeng XM X Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pertambakan Dengan Batasan Daya Dukung Lingkungan (DDL) Pemanfaatan lahan pesisir di daerah studi saat ini digunakan untuk budidaya bandeng dan udang baik secara tradisional maupun semi-intensif. Untuk tujuan optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir ke depan tambak tradisional yang ada dapat ditingkatkan menjadi tambak semi-intensif dan intensif dengan

97 81 input teknologi budidaya yang sesuai dan memperhatikan beberapa asumsi antara lain : lokasi tambak semi-intensif dan intensif harus sesuai dengan kondisi yang dipersyaratkan dan tidak melebihi daya dukungnya. Perumusan Fungsi Kendala Tujuan. Fungsi kendala tujuan dari masingmasing target adalah sebagai berikut : 1. Target peningkatan produksi 3,5 % per tahun. Berdasarkan data statistik dari Dinas Perikanan Kabupaten Gresik, produksi tambak di daerah penelitian (Kecamatan Ujung Pangkah, Sedayu dan Bungah) pada tahun 2003 tercatat ,2 ton ha -1 dan diharapkan ada peningkatan setiap tahun sebesar 3,5 % sehingga target produksi tambak 5 tahun ke depan sebesar ,03 ton ha -1. Menurut hasil wawancara masyarakat, produksi rata-rata tambak udang tradisional dan semi-intensif sebesar 1 ton ha -1 th -1 (0,5 ton ha -1 MT -1 ) dan 3 ton ha -1 th -1 (1,5 ton ha -1 MT -1 ) serta tambak bandeng tradisional sebesar 1,5 ton ha -1 th - 1. Karena budidaya tambak intensif di daerah studi tidak ada data pendukung, maka digunakan asumsi produksi tambak intensif yang layak, yaitu 8 ton ha -1 th -1 (4 ton ha -1 MT -1 ). Secara ringkas, produksi rerata udang dan bandeng di daerah studi tersaji pada Tabel 29. Tabel 29 Produksi rerata udang dan bandeng di daerah studi No. Jenis Budidaya Produksi rerata Keterangan (ton/ha/mt) 1. Udang Tradisional 0,5 Hasil wawancara 2. Udang Semi-intensif 1,5 Hasil wawancara 3. Udang Intensif 4 Asumsi 4. Bandeng Tradisional 0,75 Hasil wawancara Jadi kendala tujuan produksi dinyatakan oleh persamaan berikut ini. X X X ,5 X 21 - d + 1 = ,03 2. Target penyerapan tenaga kerja 50 orang per tahun. Untuk mengalokasikan tenaga kerja (petani tambak) di daerah studi, maka diperlukan data jumlah petani tambak yang telah dijelaskan sebelumnya. Jumlah petani tambak tersebut sebanyak 7613 orang. Pengembangan dan perbaikan tambak semi-intensif / intensif selama 5 tahun diharapkan menyerap tenaga kerja sebesar 250 orang dan jumlahnya menjadi orang. Dengan demikian jumlah hari orang kerja (HOK) yang ditargetkan HOK (7863 org x 8 jam HOK -1 x 30 hari x 4 bulan MT -1 x 2 MT). Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa usaha

98 82 budidaya tambak tradisional membutuhkan tenaga kerja sebanyak 1 (satu) orang / ha, tambak semi-intensif membutuhkan tenaga kerja sebanyak 3 (tiga) orang / ha, dan tambak intensif membutuhkan tenaga kerja sebanyak 5 (lima) orang / ha. Kebutuhan tenaga kerja untuk tiap jenis budidaya disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Kebutuhan tenaga kerja untuk tiap jenis budidaya No. Jenis Kebutuhan HOK th -1 Keterangan Budidaya Tenaga Kerja ha Tradisional Semi-intensif satuan tenaga kerja = 2 musim x 4 bln x 30 hr x 3. Intensif jam = 1920 Sumber : data primer (wawancara) Jadi persamaan kendala tujuan penyerapan tenaga kerja adalah sebagai berikut : (X 11 + X 21 ) X X 13 d d 2 = Target peningkatan PAD. Pendapata Asli Daerah (PAD) diperoleh dari retribusi nilai jual hasil perikanan (tambak udang dan bandeng) sebesar 5 7 % dari nilai jualnya. Dari hasil wawancara harga udang yang diproduksi tambak tradisional, semi-intensif dan intensif dengan ukuran (15 20 ekor kg) berkisar Rp ,- dan harga bandeng dengan ukuran (5 ekor kg -1 ) yang diproduksi tambak tradisional sebesar Rp ,-. Harga setiap jenis produksi udang dan bandeng tersebut disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Jenis dan harga produksi tambak di Kabupaten Gresik No. Jenis Harga Keterangan Produksi (Rp kg -1 ) 1. Udang Windu ekor kg ekor kg -1 Campuran 2. Bandeng ekor kg -1 5 ekor kg -1 Sumber : data primer (wawancara) Berdasarkan hasil perhitungan data BPS Kabupaten Gresik, produksi bandeng 87,75 % lebih besar dibandingkan dengan produksi udang sehingga produksi tambak ,2 ton berarti produksi bandeng sebesar 9.297,11 ton bandeng dan udang sebesar 1.298,09 ton. Dengan demikian nilai produksi tambak sebesar Rp ,-. Apabila diasumsikan

99 83 retribusi berjalan lancar maka PAD yang diperoleh sebesar Rp ,-. Oleh karena itu, persamaan kendala tujuan (dalam juta rupiah) untuk peningkatan PAD adalah : + 5 % (47 ( X X X 13 ) + 10 (1,5 X 21 )) - d 3 = 7699,066,- + 2,35 X ,05 X ,8 X ,75 1,5 X 21 - d 3 = 7699, Target pemenuhan daya dukung kawasan budidaya tambak Berdasarkan hasil perhitungan daya dukung kawasan pertambakan diperoleh berbagai nilai luas lahan yang dapat didukung, seperti yang disajikan pada Tabel 32. Karena fungsi nilai daya dukung sebagai faktor pembatas dalam pengembangan / pengelolaan kawasan pertambakan, maka batasan luas lahan budidaya yang dapat didukung diambil nilai yang terkecil, yaitu : 9.378,89 Ha (dengan metode analisis regresi). Jadi pengembangan tambak di daerah studi tidak boleh melebihi daya dukung kawasan pertambakan tersebut sehingga persamaan kendala tujuannya adalah sebagai berikut : X 11 + X 12 + X 13 + X 21 - d + 4 = 9.378,89 Tabel 32 Hasil penilaian daya dukung kawasan pertambakan No Dasar / Metode Penentuan Daya Nilai Luas Dukung Kawasan Pertambakan Tambak (ha) 1. Kondisi riil luas tambak pada saat produksi maksimum ,50 2. Metode analisis regresi polinomial 9.378,89 3. Metode pendekatan kuantitatif : - Tradisional - Semi-intensif - Intensif 4. Metode pembobotan : - Budidaya udang - Budidaya bandeng 9.413, ,36 941, , ,89 Selain batasan keseluruhan tersebut, ada batasan untuk masing-masing jenis budidaya tambak. Untuk batasan pengembangan tambak semi intensif, luas lahan tambak yang dapat didukung sebesar 1.647,36 ha. Hal ini terlihat lebih besar dari data Dinas Perikanan Kabupaten Gresik untuk budidaya semi-intensif yaitu : 1176,124 ha. Oleh karena itu, data dari dinas dipilih sebagai batas luas pengembangan tambak semi-intensif sehingga persamaan kendala tujuannya adalah sebagai berikut : X 12 < 1.176,24

100 84 Untuk budidaya tambak intensif, daya dukungnya sebenarnya tergantung dari teknologi yang dipakai. Batasan daya dukung yang dipakai saat ini adalah hasil dari metode kuantitas air di perairan, yaitu 941,35 ha sehingga persamaan kendala tujuannya adalah sebagai berikut : X 13 < 941,35 5. Target pemenuhan kawasan konservasi mangrove Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh sebelumnya, luas mangrove sebesar 1134,6 ha. Luas mangrove tersebut diharapkan minimal bertambah 20 % per tahun dan memenuhi Mangrove Green Belt (MGB) sebesar 2149,04 ha. Sehingga persamaan kendala tujuannya adalah sebagai berikut : + 1,2 X M - d 5 > Kendala riil daerah penelitian Persamaan kendala riil daerah penelitian dinyatakan dengan persamaan berikut ini. X 11 + X 12 + X 13 + X 21 + XM = Perumusan Fungsi Tujuan. Tujuan dari persoalan ini adalah meminimumkan simpangan atau deviasi dari tiap-tiap target yang telah ditentukan di atas. Oleh karena itu, fungsi tujuannya adalah sebagai berikut : Minimumkan Z = d1 + + d2 + + d2 + + d3 + + d4 + Perumusan Model Matematika. Secara keseluruhan permasalahan pada skenario I optimalisasi pemanfaatan ruang pesisir untuk pertambakan dapat ditulis sebagai berikut. a. Fungsi Tujuan + Minimumkan Z = d 1 + d d 2 + d 3 + d 4 b. Kendala Tujuan 1. Target peningkatan produksi X X X ,5 X 21 - d + 1 = ,03 2. Target penyerapan tenaga kerja (X 11 + X 21 ) X X 13 d d 2 = Target PAD usaha budidaya tambak (satuan juta) + 2,35 X ,05 X ,8 X ,75 1,5 X 21 - d 3 = 7699, Target pemenuhan daya dukung kawasan budidaya tambak X 11 + X 12 + X 13 + X 21 - d + 4 = 9.378,89 (Batas luas lahan tambak)

101 85 X 12 < 1.176,24 (Batas pengembangan lahan budidaya semi-intensif) X 13 < 941,35 (Batas pengembangan lahan budidaya intensif) 5. Target pemenuhan kawasan konservasi mangrove + 1,2 X M - d 5 > Kendala riil daerah penelitian X M + X 11 + X 12 + X 13 + XM = Model matematika tersebut di atas selanjutnya diterjemahkan ke dalam program LINDO. Program tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 13. Hasil program LINDO memberikan nilai yang optimal dan bahkan beberapa fungsi tujuan melewati target yang ditentukan. Hal ini ditunjukkan dari nilai variabel deviasional keterlewatan (d + ) yang memiliki nilai nol dan positif sedangkan nilai variabel deviasional ketidaktercapaian (d - ) memiliki nilai nol saja. Hasil program tersebut menunjukkan bahwa luas tambak tradisional budidaya udang (X 11 ) dan bandeng (X 21 ) yang optimal sebesar 415,56 ha dan 8963,33 ha sedangkan tambak semi-intensif (X 12 ) dan intensif (X 13 ) yang optimal tidak ada. Luas mangrove yang optimal sebesar 2295,85 ha. Jadi untuk mengoptimalkan kawasan tambak sesuai dengan target yang telah ditentukan, pemerintah daerah cukup mengelola budidaya tambak secara tradisional plus dengan luas mangrove yang ditingkatkan. Analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas ini merupakan analisis setelah nilai optimalnya diketahui. Pada prinsipnya, analisis ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : (1) analisis sensitivitas fungsi tujuan dan (2) analisis sensitivitas parameter ruas kanan (right hand side / RHS) dari fungsi kendala. Pertama, analisis sensitivitas parameter fungsi tujuan memberikan informasi tentang parameter / koefisien fungsi tujuan yang boleh berubah tanpa mempengaruhi nilai optimal variabel keputusan. Fungsi tujuan dalam LGP adalah meminimumkan variabel deviasional yang terdapat dalam fungsi kendala tujuan. Koefisien untuk variabel tujuan d + 1 dapat bertambah hingga 2,2 satuan dan berkurang hingga 1, satuan dengan tanpa merubah nilai variabel tujuan d + 1 tersebut. Demikian juga hal ini berlaku pada koefisien untuk variabel tujuan lainnya, d + 2, d - 2, d + 3 dan d + 4. Penambahan dan pengurangan yang diperbolehkan dinyatakan pada kolom Allowable Increase dan Allowable Decrease (Lampiran 13).

102 86 Kedua, analisis sensitivitas parameter ruas kanan (RHS) memberikan informasi tentang nilai RHS yang boleh berubah tanpa perubahan nilai dual pricenya. Nilai dual price merupakan nilai yang menunjukkan perubahan yang akan terjadi pada nilai fungsi tujuan bila nilai RHS berubah satu satuan. Nilai RHS yang boleh ditambah dan dikurang ditunjukkan pada kolom Allowable Increase dan Allowable Decrease pada Lampiran 13. Pada kendala produksi (K_PROD), nilai RHSnya dapat dinaikkan sebesar dan diturunkan hingga tak terbatas (infinity) tanpa perubahan nilai dual price. Pada kendala daya dukung lingkungan kawasan pertambakan (K_DDL), nilai RHSnya dapat dinaikkan sebesar 504,98 dan diturunkan hingga 1515,89 satu satuan tanpa perubahan nilai dual price. Hal ini berarti bahwa batas luas lahan kawasan pertambakan yang dapat didukung boleh dinaikkan dan diturunkan sebesar 504,98 ha dan 1515,89 ha tanpa perubahan nilai dual pricenya. Jadi nilai RHS pada kendala daya dukung lingkungan tersebut hanya dapat dinaikkan dan diturunkan sebesar nilai tersebut. Dengan kata lain, parameter daya dukung lingkungan pada model optimalisasi ini cukup sensitif. Untuk memperjelas kondisi ini, kendala daya dukung lingkungan pada model optimalisasi pemanfaatan lahan tersebut akan dihilangkan dan hasil tersebut merupakan skenario / model yang muncul apabila pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan pertambakan tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Hal ini akan dikaji pada sub-bab berikut ini. Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pertambakan Tanpa Batasan DDL Pengembangan tambak tanpa memperhitungkan daya dukung kawasan pertambakan akan mengakibatkan produksi tambak yang dapat menurun sehingga pengelolaan kawasannya tidak berkelanjutan. Pada sub-bab ini akan dicoba mengoptimalisasi pemanfaatan lahan pesisir untuk kawasan pertambakan tanpa memperhitungkan daya dukungnya. Perumusan fungsi tujuan dan fungsi kendalanya hampir sama dengan perumusan sebelumnya namun fungsi kendala daya dukungnya diabaikan / dihapuskan. Hasil eksekusi model ini secara lengkap disajikan pada Lampiran 14. Program tersebut juga menghasilkan nilai fungsi optimal namun demikian luas lahan yang optimal ada pada tambak udang semi-intensif (X 12 ) sebesar 375,37 ha dan tambak bandeng (X 21 ) sebesar 6736,86 ha dengan luas mangrove (XM)

103 87 yang harus ditingkatkan sekitar 2 kali dari luas mangrove yang dihasilkan dari model sebelumnya, yaitu sebesar 4562,49 ha. Perbandingan Hasil Model Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan Pertambakan Dengan dan Tanpa Daya Dukung Lingkungan Model optimalisasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk pertambakan dikembangkan dari hasil pembuktian hipotesis bahwa daya dukung lingkungan kawasan pertambakan sudah terlampaui dan produktivitas tambak rendah sebagai akibat dari lahan tambak yang sesuai marjinal. Dengan kondisi tersebut, hasil optimalisasinya mengarah pada pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk budidaya tradisional dengan memperhatikan kawasan konservasi mangrove. Hasil model optimalisasi tersebut disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Ringkasan hasil model optimalisasi pemanfaatan ruang kawasan pertambakan di daerah studi dengan dan tanpa daya dukung lingkungan. No. Variabel Optimalisasi 1. Luas tambak udang tradisional (ha) 2. Luas tambak udang semiintensif (ha) 3. Luas tambak udang intensif (ha) 4. Luas tambak bandeng tradisional (ha) 5. Luas kawasan konser-vasi mangrove (ha) Dengan daya dukung lingkungan (Model 1) Hasil Model Optimalisasi Tanpa daya dukung lingkungan (Model 2) Kondisi tambak Tahun 2000 Kondisi tambak pasang surut saat ini 415,56 - * ** - 375, , , ,86 * ** 2295, , ,6 Catatan : *) Data tambak tradisional udang dan bandeng digabung sebesar 8008,21 ha (Dinas Perikanan Kabupaten Gresik, 2001) **) Hasil wawancara : Tambak udang dan bandeng di daerah pasang surut dilakukan secara tradisional (plus).

104 88 Dari ringkasan hasil model tersebut menunjukkan bahwa Model 2 lebih sulit dibandingkan Model 1 untuk mencapai sasaran kebijakan perikanan budidaya Pemkab Gresik karena pada Model 2 Pemkab harus mengusahakan budidaya udang secara semi-intensif dan meningkatkan kawasan konservasi mangrove seluas 4 x (empat kali) dari kondisi saat ini. Dengan kata lain, pengelolaan kawasan tambak saat ini (tanpa perhitungan daya dukung lingkungan dan kawasan konservasi) kurang optimal untuk mencapai target yang telah ditentukan oleh Pemkab. Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambakan Secara Berkelanjutan Dari hasil kajian sebelumnya, pemanfaatan wilayah pesisir untuk budidaya tambak di daerah studi sudah melampaui daya dukung lingkungannya. Luas lahan tambak optimum yang dapat didukung oleh lingkungan perairan pesisir sebesar 9.378,89 ha dengan teknologi budidaya bandeng maupun udang secara tradisional. Pengembangan tambak dengan penerapan teknologi budidaya intensif dapat dilakukan dengan tidak melampaui daya dukungnya. Lahan tambak yang dikembangkan secara semi-intensif maupun intensif tidak boleh melebihi daya dukungnya, yaitu sebesar 1.647,36 ha dan 941,35 ha. Karena daya dukung lingkungan sudah terlampaui, optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan dibatasi secara ketat oleh daya dukung lingkungan tersebut. Selain daya dukung lingkungan, pertimbangan ekonomi seperti produksi dan PAD maupun sosial masyarakat seperti tenaga kerja juga dimasukkan sebagai faktor kendala dalam optimalisasi. Dengan pertimbangan tersebut, pemanfaatan kawasan pertambakan akan optimal apabila kawasan tersebut diusahakan untuk budidaya bandeng seluas 8.963,33 ha (76,77 %) dan udang secara tradisional sebesar 415,56 ha (3,56 %) serta luas mangrove sebesar 2295,85 ha (19,66 %). Dengan demikian, ditinjau dari segi biofisik, pemanfaatan ruang kawasan pertambakan diarahkan pada peningkatan daya dukung lingkungan dengan perluasan kawasan konservasi mangrove dan jenis budidaya tambak yang ada tetap secara tradisional plus. Hal ini dapat dilakukan dengan pengembangan metode budidaya tambak secara tumpang sari (silvofishery). Ditinjau dari segi ekonomi (analisis usaha budidaya tambak di daerah studi), budidaya bandeng lebih menguntungkan dari pada budidaya udang. Hal

105 89 ini terlihat dari nilai NPV dan BCR pada masing-masing budidaya tersebut. Nilai NPV dan BCR tersebut sangat tergantung pada nilai SR (survival rate). Nilai SR budidaya bandeng sekitar dua kali lebih tinggi dibandingkan nilai SR budidaya udang. Hasil kajian budidaya tersebut selaras dengan hasil optimasi pemanfaatan ruang kawasan pertambakannya yaitu sebagian besar kawasan pertambakan diperuntukkan untuk budidaya bandeng. Dengan demikian, usaha budidaya bandeng tetap merupakan usaha budidaya yang terbaik. Usaha budidaya udang dapat dilakukkan pada lokasi yang kondisi lingkungannya yang lebih baik (sesuai untuk budidaya udang) sehingga nilai SR budidaya udang nya tinggi. Ditinjau dari kondisi sosial masyarakat, budidaya tambak merupakan usaha utama masyarakat di sekitar kawasan pertambakan. Hasil budidaya tambak tersebut akan optimal apabila pengelolaan kawasan pertambakan dilakukan secara benar dan tepat sehingga pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja lokal yang lebih banyak. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan pertambakan diarahkan pada community-based management (pengelolaan berbasis masyarakat) untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hal ini dapat dilakukan dengan menyadarkan masyarakat, terutama petani tambak akan pentingnya kondisi lingkungan, seperti kawasan konservasi mangrove sehingga sebagian lahan tambaknya dapat ditanam mangrove atau mengusahakan tambaknya secara tumpang sari (sylvofishery). Pengelolaan kawasan pertambakannya akan lebih mudah dan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Untuk perbaikan kondisi kawasan pertambakan berdasarkan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial budaya saat ini diperlukan beberapa langkah nyata yang disajikan pada Tabel 34, antara lain : 1. Peningkatan teknologi budidaya tambak hanya dapat dilakukan di daerah tambak rotasi padi sawah. Pada saat ini, di daerah ini dikembangkan budidaya udang vanamae, baik secara tradisional, semi-intensif maupun intensif dengan sumber air tawar maupun asin dari sumur bor. Perubahan usaha tambak tradisional ke usaha tambak semi-intensif dan intensif harus didahului dengan beberapa pemenuhan persyaratan kondisi lingkungan kawasan pertambakan agar usaha tersebut berhasil karena perubahan tersebut akan terkait dengan banyaknya limbah yang terbuang di perairan. Oleh karena itu, setiap pengusaha tambak pada daerah ini

106 90 yang menggunakan teknologi budidaya semi-intensif maupun intensif diwajibkan melakukan analisis mengenai dampak lingkugan (AMDAL) agar limbah di parairan dapat dikendalikan. 2. Peningkatan teknologi pada tambak pasang surut sudah tidak memungkinkan karena kondisi lingkungan kurang mendukung dan daya dukungnya sudah terlampaui. Peningkatan teknologi budidaya diarahkan ke teknologi tambak polikultur udang windu, bandeng dan rumput laut. Karena itu, peningkatan teknologi budidaya tambak di lokasi pasang surut ini harus didahului perbaikan kualitas lingkungannya, seperti : pengaturan air, rehabilitasi mangrove. 3. Pada saat ini, air buangan masih bercampur dengan air masukan tambak. 4. Rehabilitasi mangrove. Mangrove yang tersedia saat ini masih kurang, yaitu sebesar 1134,6 ha. Rehabilitasi mangrove terutama dilakukan di sepanjang garis pantai sebagai sabuk hijau mangrove. 5. Penanggulangan masalah pencemaran air. Usaha ini dapat dinyatakan dengan mempertahankan lingkungan tambak sesuai dengan daya dukung lingkungannya. 6. Peningkatan kualitas SDM petani tambak. Kualitas SDM dapat ditingkatkan melalui sekolah formal, seperti SD, SMP, SMA dan Sekolah Perikanan, maupun kegiatan informal, seperti kursus / training tentang masalah perikanan. 7. Peningkatan penanganan pasca panen produk perikanan, yang berarti peningkatan fasilitas dan sarana/prasarana perikanan. 8. Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Usaha peningkatan PAD ini sangat tergantung pada keseriusan pemerintah daerah / pusat dalam membantu petani tambak dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada dan lingkungannya.

107 91 Tabel 34 Arahan pengelolaan wilayah pesisir untuk kawasan pertambakan Sasaran / Target No Kondisi Saat ini 1. Pertambakan tradisional (dominan) dengan air masukan dan air keluaran bercampur 2 Belum terjadi pencemaran yang berarti. 3 Mangrove dengan kerapatan tinggi hanya terdapat pada daerah tertentu. Di beberapa pantai terjadi aberasi. 4. Pengolahan produk perikanan masih tradisional. 5. SDM yang memahami pertambakan dan lingkungannya sangat sedikit 6. PDRB dari sektor perikanan relatif masih sedikit. yang akan dicapai Rumusan Keterangan peningkatan teknologi budidaya tambak Penanggulangan masalah pencemaran air Rehabilitasi mangrove Peningkatan penanganan pasca panen produk perikanan Peningkatan kualitas SDM petani tambak Peningkatan pendapatan daerah (PAD) asli Peningkatan teknologi ditujukan pada : - Perbaikan dalam pengaturan air masuk dan keluar tambak (aspek hidrologi). - kemampuan masyarakat setempat Penataan ruang (zonasi) yang mempertimbangkan kelangsungan budidaya tambak. Rehabilitasi mangrove minimal sebagai sabuk hijau mangrove / Green Belt (MGB). Pengembangan industri berbasis sumberdaya (peikanan) dan masyarakat lokal Penyerapan tenaga kerja lokal yang berkualitas dalam usaha pertambakan. Peningkatan teknologi ke intensif tidak mungkin karena kondisi lingkungan sekitar tidak memungkinkan selain itu juga budidaya intensif kurang berkelanjutan. Daya dukung lingkungan pertambakan dapat dijadikan sebagai salah satu batasan dalam penataan ruang wilayah pesisir. Pada Tambak tradisional, mangrove sangat diperlukan Masyarakat lokal harus diberdayakan untuk mengurangi kemiskinan daerah. Masyarakat lokal harus diberdayakan untuk mengurangi kemiskinan daerah.

108 92 Matriks keseluruhan hasil penelitian Tujuan / Arah yang akan Hasil Solusi / Arahan Pendekatan dicapai Produktivitas rendah Klas S3tai (sesuai Dengan input Evaluasi kesesuaian lahan akibat dari lingk. tambak kurang sesuai untuk budidaya udang dan bandeng. marjinal, faktor penghambat tekstur, salinitas dan iklim) untuk udang dan teknologi, klas kesesuaian lahan potensial menjadi tai. Salinitas diatasi (Hipotesis I) S3ai untuk bandeng. dg pompa air tawar. Analisis D.D Pemanfaatan budidaya lahan tambak Regresi : 9.378,89 ha Diperlukan analisis - Regresi (10.943,50 ha) telah K. Air: : 9.413,49 ha; D.D. lingkungan yang - Ketersediaan melampaui batas 1.647,36 ha ; lebih akurat dengan air luasan lahan yang 941,35 ha memberi bobot yang - Skoring didukung. (Hipotesis II) Skoring: 9.219,94 ha; 9.605,22 ha sesuai. Optimalisasi pemanfaatan lahan tambak dg kendala : Produksi, TK, PAD, DDL, KK. (Pilar Pemb. Berkelanjutan) Pengelolaan kawasan tambak saat ini kurang optimal dalam mencapai sasaran kebijakan PemKab Gresik. (Hipotesis III) Dg DDL (ha) = 415,56(Udang Trad. ; 8963,33 (Bandeng) ; 2295,85 (Mangrove) Tanpa DDL (ha) := 375,38 (Udang Semiintensif); 6736,86 (Bandeng); 4562,50 (Mangrove) Pengelolaan tambak secara berkelanjutan harus dengan memperhitungkan daya dukung dan kawasan konservasi mangrove. Kelayakan usaha Mendukung pembuktian hipotesis III. Budidaya bandeng lebih layak dari udang Di daerah pasut, budidaya bandeng masih lebih baik

109 KESIMPULAN DAN SARAN K e s i m p u l a n 1. Semua satuan peta tanah (SPT) pada lahan tambak di daerah studi tergolong dalam kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marjinal) dengan faktor penghambat yang hampir sama, yaitu : tanah, air, dan iklim. Luas lahan tambak yang sesuai marjinal tersebut sebesar ,74 ha. Faktor penghambat air, terutama salinitas, sudah dapat diatasi dengan pemberian pompa sedangkan faktor penghambat iklim dan tanah belum dapat diatasi. Hal ini merupakan faktor penghambat utama dalam pengelolaan tambak di daerah studi yang mengakibatkan produktivitas tambak rendah. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah penerapan teknologi biocrete dan sistem manajemen air semi-tertutup yang masih harus diuji kelayakan teknis maupun ekonominya. Dengan cara ini, kelas kesesuain lahannya dapat ditingkatkan menjadi (cukup sesuai) untuk budidaya udang dan bandeng. 2. Tiga metode penilaian daya dukung lingkungan telah dapat membuktikan hipotesis yang menyatakan bahwa pemanfaatan lahan pesisir untuk pertambakan tradisional plus di daerah studi sudah melampaui batas luas lahan yang dapat didukung sehingga produksi tambak menurun. Luas lahan pesisir yang dapat didukung untuk budidaya tambak tradisional diperoleh dari nilai terkecil hasil penilaian ketiga metode yang dipakai, yaitu sebesar 9,378,89 ha sedangkan untuk batasan pengelolaan budidaya intensif dan semi-intensif diperoleh dari hasil penilaian daya dukung ketersediaan air di perairan. 3. Pengelolaan kawasan tambak saat ini kurang optimal dalam mencapai sasaran kebijakan perikanan budidaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik. Pengelolaan kawasan tersebut akan optimal apabila daya dukung lingkungan dan kawasan konservasi diperhitungkan. Luas lahan yang optimal sebesar 415,56 ha untuk budidaya udang dan 8.963,33 ha untuk budidaya bandeng serta luas kawasan konservasi mangrove sebesar 2.295,85 ha. Adapun arahan pengelolaan kawasan pertambakan tersebut adalah sebagai berikut :

110 94 Ditinjau dari segi biofisik, pemanfaatan kawasan pertambakan sebaiknya diarahkan pada peningkatan daya dukung lingkungan dengan perluasan kawasan konservasi mangrove dan jenis budidaya tambak yang ada tetap secara tradisional. Pengembangan budidaya tambak secara tumpang sari (silvofishery) sangat memungkinkan. Program revitalisasi udang vanamae (Program Revan) yang berada di daerah non-pasang surut harus dikaji ulang karena limbah tambaknya dapat berpengaruh pada daya dukung lingkungan. Ditinjau dari segi ekonomi, budidaya bandeng lebih menguntungkan dari pada budidaya udang. Salah satu indikatornya adalah nilai survival rate (SR) budidaya bandeng sekitar dua kali lebih tinggi dibandingkan nilai SR budidaya udang. Oleh karena itu, usaha budidaya bandeng di daerah studi merupakan usaha budidaya yang terbaik pada saat ini. Ditinjau dari kondisi sosial masyarakat, budidaya tambak merupakan usaha utama masyarakat di sekitar kawasan pertambakan. Pengelolaan kawasan pertambakan diarahkan pada community-based management (pengelolaan berbasis masyarakat) untuk mendapatkan hasil yang optimal. Penyuluhan masyarakat, terutama petani tambak akan pentingnya kondisi lingkungan sangat diperlukan. Dengan demikian, pengelolaan kawasan pertambakannya akan lebih mudah dan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. S a r a n 1. Kelemahan metode penilaian daya dukung lingkungan dengan metode pembobotan adalah asumsi nilai bobot pada karakteristik dan kualitas lingkungan diaggap sama. Oleh karena itu, perbaikan metode ini perlu dilakukan, antara lain: kajian nilai pembobotan secara lebih detil pada masing-masing karakteristik / kualitas lingkungan yang dinilai. penambahan parameter karakteristik / kualitas lingkungan sangat dimungkinkan apabila parameter tersebut memang berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan. 2. Kelemahan model optimalisasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir untuk pertambakan adalah pada asumsi bahwa hubungan variabelnya dianggap linier. Untuk memperbaiki model tersebut diperlukan pengembangan model lain.

111 DAFTAR PUSTAKA Achmad Pengelolaan peubah mutu air yang penting dalam tambak udang intensif. Infis Manual Seri No.25.Ditjen Perikanan, Jakarta Anonim Planning for Coastal Aquaculture Development : A training course handbook. Nautilus Consultants, UK. /pdfs/aquaplan.pdf. Antoine, J., F.J. Dent, D. Sims, and R. Brinkman Agro-ecological zones and resource management domains (RMDs) in relation to land use planning. Multicriteria Analysis for Land Use Management. Eds. Beinat E and P. Nijkamp, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Netherlands. Ameralda Hess Analisis Dampak Lingkungan Pengembangan Lapangan Gas Ujung Pangkah dan Fasilitas Penunjangnya, Block Pangkah, Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur. Arsyad, H. dan S. Samsi Budidaya ikan bandeng (Chanos chanos forsk). Infis Manual Seri No.25.Ditjen Perikanan, Jakarta BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten Gresik dan Lemlit ITS (Lembaga Penelitian Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) Rencana TataRuang Khusus Gresik Utara Tahun , Gresik. Battelle Envonmental Evaluation System Final Report on Environmental Evaluation System for Water Resources Planning, Battelle Columbus Laboratories, Ohio, USA. Bengen, D.G. 2000a. Pengelolaan Ekosistem Wilayah Pesisir. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Penyunting : D.G. Bengen. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bengen, D.G. 2000b. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bengen, D.G. 2002a. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, D.G. 2002b. Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pelatihan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Samarinda, Indonesia. Boers, J Sustainable Aquaculture : The Economic and Environmental Rehabilitation of Traditional Aquaculture Ponds At Sinjai, South, Sulawesi, Indonesia. Canadian International Development Agency and Environmental Impact Management Agency, Indonesia.

112 96 Boyd, C. E Tata Laksana Budidaya Udang Bertanggung Jawab. Global Aquaculture Alliance St.Louis, MO USA. 60 hal. Boyd, C. F Water quality management and aeration in shrimp farming. Central Research Institute for fisheries, Jakarta. Budiharsono, S Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. BPS (Biro Pusat Statistik) Gresik dalam Angka Gresik, Jawa Timur, Indonesia Gresik dalam Angka Gresik, Jawa Timur, Indonesia Gresik dalam Angka Gresik, Jawa Timur, Indonesia Gresik dalam Angka Gresik, Jawa Timur, Indonesia Gresik dalam Angka Gresik, Jawa Timur, Indonesia. Canter, L. W. and Lorent G. H Handbook of Variables for Environmental Impact Assessment. Ann Arbor Science, Michigan, USA. Cheng Gong, L. Shaojing, L.in Yuanshao, Yang Shengyun and Xu Zhenzu Estimation of carrying capacity for mariculture development in Xiamen, People s Republic of China, p In The Regional Workshop on Partnerships in the Application of Integrated Coastal Management, November 1997, Chonbury, Thailand. 167 p. Chowdhury, M.A.K, R.B. Shivappa and J. Hambrey Concept of Environmental Capacity, and Its Application to Planning and Management of Coastal Aquaculture. Aquaculture and Aquatic Resources Management Program, Asian Institute of Technology, Thailand. /pdfs/chowdhury%20shivappa%20hambrey.pdf. Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht Integrated Coastal and Ocean Management. Island Press. Washington, USA. Clark, J.R. (Ed.) Coastal Resources Management : Development Case Studies. Coasta Management Publication No.3,NPS/AID Series, Research Planning Institute, Columbia, S.C. 749 pp. Clark, J.R Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No United Nations / FAO, Rome. 167pp. Clark, J.R Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Washington, USA. Dahuri, R., J.Rais, S.P.Ginting, dan M.J. Sitepu Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. Dahuri, R The Application of Carrying Capacity Concept for Sustainable Coastal Resources Development in Indonesia, Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, 1(1):13-20, IPB, Bogor

113 97 Deb, A.K Environmental and Socio-Economic Impacts of Shrimp Culture in the Coastal Areas of Bangladesh. Ocean and Coastal Management 41, p Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur Laporan Statistik Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Dihidros (Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL) Survei Hidrografi untuk Penyapuan Ranjau di Perairan Ujung Pangkah, Gresik,Jawa Timur, Indonesia. DKP-Dirjen UP3K (Departemen Kelautan dan Perikanan - Direktorat Jenderal Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil) dan PKSPL-IPB (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor) Penyusunan Kriteria Ekobiologis untukpemulihan dan Pelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. Bogor, Indonesia. FAO A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bull. No 32. Rome. Gallagher,C.A. and H.J. Watson Quantitative Methods for Bussiness Decisions. Mc Graw Hill Book Co. Kogakusha. Tokyo. Hambrey, J., M. Phillips, M.A.K. Chowdhury and R.B. Shivappa Composite guidelines for the environmental assessment of coastal aquaculture development. Aquaculture and Aquatic Resources Management Program, Asian Institute of Technology, Thailand. /pdfs/seacam1.pdf. Hardjowigeno, S Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. Hardjowigeno, S dan Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Pres. Kisto Mintardjo, dkk Persyaratan Tanah dan Air dalam Pedoman Budidaya Tambak. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Maarif, M.S. dan A. Somamiharjo Strategi peningkatan produktivitas udang tambak. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesai, Volume 9 Nomor 2, Intsitut Pertanian Bogor, Bogor. Mahmudi Optimasi Penggunaan Lahan dan Penetapan Daya Dukung Lingkungan di Daerah Tangkapan Air Cilampuyang, Sub-Das Cimanuk Hulu, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Thesis, Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Munangsinghe Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper No.3. The World Bank. Washington. Nautilus Consultants Planning for Coastal Aquaculture Development, A Training Course Handbook. Oktober Pemkab (Pemerintah Kabupaten) Gresik Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gresik, Tahun Gresik, Indonesia. Prasita, V. Dj, Is Yuniar, dan Nuhman Evaluasi Kondisi Lingkungan Perairan Kawasan Pertambakan di Gresik Jawa Timur, Neptunus ISSN , Juli 2005, vol.12.

114 98 Purnomo, A Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan, Seri Pengembangan Hasil Penelitian No. PHP/KAN/PATEK/004/1992, Jakarta. Purnomo, A Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Udang Ramah Lingkungan. Ditjen Perikanan. Jakarta. PUSLITANAK (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat), Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semi Detil (Skala 1:50.000) Daerah Pantai Timur Laut (Tuban-Gresik) Propinsi Jawa Timur untuk Menunjang Pengembangan Industri dan Konservasi Hutan. Bogor. Rachmansyah, Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Rustam, Analisis Dampak Kegiatan Pertambakan terhadap Daya Dukung Kawasan Pesisir (Studi Kasus Tambak Udang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan) [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Sitorus, H Estimasi Daya Dukung Lingkungan Pesisir untuk Pengembangan Areal Tambak berdasarkan Laju Biodegradasi Limbah Tambak di Perairan Pesisir Kabupaten Serang [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Soeseno, S Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak, PT. Gramedia, Jakarta. Soewardi, K., Pengelolaan Kualitas Air Tambak. Seminar Penetapan Standar Kualitas Air Buangan Tambak, Ditjen Perikanan Budidaya, Puncak, 7 9 Agustus Soil Survey Staff Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat., Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suyanto, S.R. dan A. Mujiman Budidaya Udang Windu, PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Thia-Eng, C Policies for Sustainable Shrimp Culture. Bangkok FAO Technical Consultation on Policies for Sustainable Shrimp Culture. Bangkok,Thailand. WCED (World Commision on Environment and Development) Hari Depan Kita Bersama (terjemahan), PT. Gramedia. Jakarta Widigdo, B Tambak Teknologi Biotek untuk Budidaya Udang di Lahan Pasir. Penas IX Pertasikencana Juli 1996 di Mataram NTB. Widigdo, B Diperlukan Pembakuan Kriteria Eko-Biologis untuk Menentukan Potensi Alami Kawasan Pesisir untuk Budidaya Udang. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Penyunting : D.G. Bengen. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Widigdo, B., Perencanaan dan Pengelolaan Budidaya Perairan Wilayah Pesisir, Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Taerpadu. Hotel Bidakara, Jakarta, 8 16 Oktober 2001.

115 99 Widigdo, B., dan J. Pariwono, Daya Dukung Perairan di Pantai Utara Jawa Barat untuk Budidaya Udang(Studi Kasus di Kabupaten Subang, Teluk Jakarta dan Serang), Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1, Widigdo, B., Permasalahan Dalam Budidaya Udang dan Alternatif Solusinya, Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1, Yulistyo Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab di Ternate, Maluku Utara [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

116 LAMPIRAN-LAMPIRAN 100

117 101 Lampiran 1 Kesesuaian lahan untuk tambak (brackistwater fishpond) Kualitas / Karakteristik Lahan Topografi (l) Lereng (%) Tanah (t) Kedalaman sampai hamparan batuan (cm) Tekstur Tabel 1 Kesesuaian lahan untuk tambak Kesesuaian S3 N1 N2 < 2 < > 3 > < 75 cl,scl,sicl (agak halus) vfsl,l,sil,si (sedang) sc,s ic,c (halus) cosl,fsl (agak kasar) cos,fs,vfs, los,lfs,lvfs (kasar) Sangat cepat Drainase Sangat buruk Buruk Agak buruk, baik Cepat Tebal Gambut (cm) Tanpa Tanpa < > 50 Kedalaman Pirit (cm) > < 50 Air (a) Oksigen terlarut (mg/l) > < 1 Salinitas ( o /oo) > 50 < 12 Suhu ( o C) < Kecerahan (cm) < 20; >40 PH 7,5 8,5 8, > 11; < 4 6 7,5 4 6 Amonia (NH3) < 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 > 0,5 H2S (mg/l) < 0,1 < 0,1 0,1 0,2 > 0,2 Higrologi (h) Amplitudo pasang surut (m) 1,5 2,5 1 1,5 2,5 3,0 0,5 1 3,0 3,5 > 0,5 < 3,5 Iklim (i) Bulan kering ( < 60 mm) Curah hujan (mm/th) Sumber : Hardjowigeno S. dan Widiatmaka (2007) < 1 > 5 <1000 >3500

118 102 Lampiran 2 Penggunaan lahan di daerah studi Tabel 2 Penggunaan lahan di daerah studi No Penggunaan Lahan Luas (ha) *) Luas di Peta (ha) **) % 1 Pertambakan Ujung Pangkah Sidayu Bungah 8.972, , , , ,50 47,6 2 Tegalan Ujung Pangkah Sidayu Bungah 3 Permukiman Ujung Pangkah Sidayu Bungah 6.218, , , , , ,00 867,00 917, ,33 874,78 968, , ,81 24, ,48 5,6 4 Persawahan 5.546,33 1) Ujung Pangkah 2.730,50 22,2 2) Sidayu 1.129,55 3) Bungah 1.686,28 Total , ,12 100,0 Catatan : *) Sumber dari BPS (2002) **) Hasil perhitungan dari peta skala 1 : dengan Software ARCVIEW 1) Sawah rotasi dengan tambak 2) Sawah rotasi dengan palawija 1x / tahun 3) Sawah rotasi dengan palawija 2x / tahun

119 ' ' ' 6 50' Gambar Peta Penggunaan Lahan Keterangan : Penggunaan Lahan Pemukiman / Pekarangan Sawah, 1 x / tahunr otasi dg palawija Sawah, 2 x / tahunr otasi dg palawija Tambak Tambak, rotasi padi sawah Tegalan Wilayah Laut Kabupaten Lamongan Kabupaten Gresik Sungai Lokasi Studi Propinsi Jawa Timur ' ' Sumber : Hasil Kompilasi dari - Peta RBI Skala 1:25.000, Bakosurtanal Citra Satelit Landsat ETM Peta Vegetasi dan Pertanian Skala 1: Puslitanak Bogor Hasil Survei U Kilometer ' '

120 104 Lampiran 3 Sifat tanah di daerah studi Tanah diklasifikasikan pada tingkat Famili dan Seri menurut Sistem Taksonomi (Soil Survey Staffs, 1992). Prosedur klasifikasi tanah mengacu pada Pedoman Klasifikasi Seri Tanah (Sarwono H. dkk, 1993). Distribusi satuan tanah di daerah studi disajikan pada Gambar 2 dan keterangan lengkapnya pada Tabel 3. Ringkasan sifat utama seri-seri tanahnya (Puslitanak, 1995) disajikan pada Tabel 4. Adapun luas lahan pada SPT disajikan pada Tabel 5.

121 105

122 106 Tabel 3 Keterangan satuan peta tanah (SPT) di kawasan pertambakan dan sekitarnya NO Seri Komposisi Subgroup Tanah Reaksi tanah ph Tekstur tanah Lereng Bentuk Relief SPT (%) Lereng Lebak Kerep (85%), Manyar 1 Konsosiasi (5%) Typic Hidraquents Agak alkalis 8 Liat - Liat berdebu 0-1 Cekung Datar Lebakkerep liat berdebu Randuboto (10%) Typic Halaquepts Agak alkalis 8 Liat berdebu - Liat 2 Asosiasi Lebak Kerep (80%) Typic Hidraquents Agak alkalis 8 Liat - Liat berdebu 0-1 Cekung Datar Lebakkerep Permu kiman Permukiman (20%) 11 Kompleks Seri Karangkitir(50%) Typic Tropaquepts Agak alkalis 8 Liat Liat 0-1 Cekung Datar Karangkitir - Ketapanglor (20%) Leptic Halusterts Agak alkalis 8 Berdebu Ketapang Lor Inclusi seri Randuboto (10%) Typic Tropaquepts Agak alkalis 8 12 Kompleks Seri Manyar (50%) Typic Tropaquepts Agak alkalis 8 Liat berdebu 0-1 Cekung Datar Manyar - Randuboto Seri Randuboto(20%) Typic Tropaquepts Agak alkalis 8 Lebakkerep SeriLebakkerep(20%) Typic Hidraquents Agak alkalis 8 Seri Karangan (5%) Typic Tropaquepts Agak alkalis 8 13 Kompleks Seri Randuboto(60%) Typic Tropaquepts Agak alkalis 8 Liat 0-1 Cekung Datar Randuboto-Singka- Singkapan Terumbu pan terumbukarang Karang (30%) Seri Golokan (10%) Lithic Tropaquepts Agak alkalis 8 32 Asosiasi Seri Pesanggrahan(55%) Vertic Tropaquepts Agak alkalis 8 Liat 0-1 Cekung Datar Pesanggrahan-Kedung soko Seri Kedungsoko(45%) Typic Tropofluvents Agak alkalis 8 Berlempung kasar 34 Asosiasi Taman (40 %) Aeric Tropaquepts Netral-agak alkalis Liat 0-1 Cekung Datar Taman-Perengkulon Perengkulon (30 %) Typic Tropaquepts Agak alkalis 8 Liat Karangjuwet Karangjuwet (30 %) Fluventic Eutropepts Agak alkalis Lempung berliat 112 Kompleks Lasem (60 %) Chromic Haplusterts Agak alkalis 8 Liat 0-1 Cekung Datar Lasem Surjan - Surjan (20 %) Chromic Haplusterts Agak alkalis 8 Liat Bulangan Bulangan (20 %) Typic Haplusterts Agak alkalis 8 Liat Sumber : PUSLITANAK,1995

123 107 Tabel 4 Penjelasan sifat utama seri tanah daerah penelitian Parameter Randuboto Lebakkerep Manyar Kedalaman solum(cm) Kedalaman tanah (cm) Drainase Terhambat Sangat terhambat Sangat Terhambat Permeabilitas Sangat lambat Sangat lambat Sangat lambat Bahan Induk Aluvium marin (halus) Aluvium marin (halus) Aluvium marin (halus) Lereng (%) 0 3 % 0-1 % 0 1 % Klasifikasi (USDA,1992) Typic Tropaquepts, sangat halus, campuran (kalk.), isohipertermik Typic Hydraquents, sangat halus, campuran (kalk.), isohipertermik Typic Tropaquepts, sangat halus, campuran (kalk.), isohipertermik Lapisan Atas : Ketebalan (cm) Warna Kelabu, kelabu gelap, kelabu pucat Kelabu sangat gelap - kelabu Tekstur Liat Liat liat berdebu Liat berdebu liat Struktur Pejal Pejal Pejal Reaksi Tanah (ph) Netral Agak alkalis Netral Lapisan Bawah : Ketebalan (cm) Kelabu, kelabu gelap, cokl gelap kekelabuan Warna Kelabu, kelabu gelap, kelabu pucat Kelabu gelap kelabu kehijauan Tekstur Liat berdebu Liat liat berdebu Liat berdebu liat Struktur Pejal Pejal Pejal Reaksi Tanah (ph) Netral Agak alkalis Netral Kedalaman air tanah (cm) Dangkal Di permukaan Dangkal Kemudahan untuk diolah Mudah Sedang Sedang Faktor pembatas utama Genangan banjir Drainase, salinitas Genangan banjir Pengelolaan konservasi Tambak udang Tambak Penyebaran terluas Rawa belakang Delta arkuit SPT Profil pewakil HP72 SL60 HR5 Sumber : PUSLITANAK,1995 Kelabu, kelabu muda, kelabu kehijauan

124 108 Lanjutan Parameter Karangkitir Ketapanglor Karangan Kedalaman solum(cm) Kedalaman tanah (cm) Drainase Sangat terhambat Agak terhambat Terhambat Permeabilitas Sangat lambat Lambat Lambat Bahan Induk Aluvium marin (halus & kasar) Aluvium marin Aluvium sungai (halus) Lereng (%) 0 1 % 0-1 % 0 3 % Klasifikasi (USDA,1992) Typic Halaquepts, berlempung kasar, campuran (kalk.), isohipertermik Leptic Haplustersts, halus, campuran, isohiperternik Vertic Tropaquepts, sangat halus, campuran (kalk.), isohiperternik Lapisan Atas : Ketebalan (cm) Warna Kelabu gelap kelabu olive Kelabu tua Kelabu, kelabu gelap, coklat kekelabuan Tekstur Liat liat berdebu Liat berpasir Liat Struktur Pejal Pejal Gumpal bersudut Reaksi Tanah (ph) Agak alkalis Agak alkalis Agak alkalis Lapisan Bawah : Ketebalan (cm) Warna Kelabu gelap kelabu olive Kelabu tua Kelabu, kelabu gelap, coklat kekelabuan Tekstur Lempung berkerikil Liat berat Struktur Pejal Gumpal agak bersudut Reaksi Tanah (ph) Agak alkalis Agak alkalis Kedalaman air tanah (cm) Dangkal, di permukaan Dangkal Sedang Kemudahan untuk diolah Sedang Sulit / berat Sedang Faktor pembatas utama Salinitas Salinitas Genangan banjir Pengelolaan konservasi - Tambak dan sawah Sawah Penyebaran terluas Teras marin subresen Teras marin subresen Rawa belakang Profil pewakil EA 140 TB 78 HR 49 Sumber : PUSLITANAK,1995

125 109 Lanjutan Parameter Perengkulon Golokan Pendowolimo Kedalaman solum(cm) > Kedalaman tanah (cm) > Drainase Baik Sangat terhambat Terhambat Permeabilitas Agak cepat Sangat lambat Lambat Bahan Induk Batukapur Aluvium marin (halus) Aluvium sungai (halus) Lereng (%) 0 15 % 0-1 % 0 1 % Klasifikasi (USDA,1992) Inceptic Eostrostoxs, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik Typic Hydraquents, sangat halus, campuran (kalk.), isohipertermik Vertic Tropaquepts, sangat halus, isohipertermik Lapisan Atas : Ketebalan (cm) Warna Merah kotor coklat Kelabu sangat gelap - Kelabu gelap kemerahan kelabu Tekstur Liat Liat liat berdebu Liat Struktur Gumpal agak membulat Pejal Pejal Reaksi Tanah (ph) Agak masam - netral Agak alkalis Netral - agak alkalis Lapisan Bawah : Ketebalan (cm) Warna Merah kotor merah gelap Kelabu gelap kelabu Kelabu gelap - kelabu kehijauan Tekstur Liat Liat liat berdebu Liat Struktur Gumpal Pejal Gumpal bersudut Reaksi Tanah (ph) Netral agak masam Agak alkalis Netral Kedalaman air tanah (cm) Sangat dalam Di permukaan Dangkal Kemudahan untuk diolah Sedang Sedang Sulit Faktor pembatas utama Unsur hara Drainase, salinitas Tekstur, air tanah Pengelolaan konservasi Tambahan pupuk Saluran drainase Penyebaran terluas Lereng strata Delta arkuit Rawa belakang Profil pewakil CD 99 SL60 HP 116 Sumber : PUSLITANAK,1995

126 110 Lanjutan Parameter Taman Karangjuwet Banyuurip Kedalaman solum(cm) Kedalaman tanah (cm) Drainase Agak terhambat Baik Terhambat Permeabilitas Lambat Cepat Lambat Bahan Induk Aluvium sungai (halus) Aluvium sungai (halus dan kasar) Aluvium sungai (halus) Lereng (%) Klasifikasi (USDA,1992) Aeric Tropaquepts, sangat halus, campuran (kalk.), isohiperternik Fluventic Eutropepts, berliat di atas berlempung, campuran (kalk.), isohiperternik Typic Endoaquerts, sangat halus, monmorinolitik, isohiperternik Lapisan Atas : Ketebalan (cm) Warna Coklat, coklat tua, coklat Coklat, coklat kekelabuan, coklat Kelabu hitam kekelabuan gelap kekelabuan Tekstur Lempung berliat Lempung berliat Liat Struktur Pejal - Pejal Reaksi Tanah (ph) Netral Agak alkalis Agak alkalis Lapisan Bawah : Ketebalan (cm) Warna Coklat kekelabuan, coklat Coklat coklat olive Kelabu tua olive gelap kekelabuan, coklat Tekstur Liat liat berdebu Lempung berliat Liat Struktur Gumpal agak membulat - Pejal Reaksi Tanah (ph) Agak alkalis Agak alkalis Agak alkalis Kedalaman air tanah (cm) Dangkal Dalam Sedang Kemudahan untuk diolah Mudah Mudah Berat Faktor pembatas utama Genangan banjir Genangan banjir Tekstur, drainase Pengelolaan konservasi Sawah Tegalan Pembuatan saluran drainase Penyebaran terluas Rawa belakang Jalur aliran sungai Rawa belakang Profil pewakil CD 57 AR 6 HP 121 Sumber : PUSLITANAK,1995

127 111 No. 1 2 Nomor SPT 3 SPT 11 4 SPT 12 5 SPT 13 6 SPT 34 7 SPT Tabel 5 Luas SPT pada kawasan pertambakan Nama Luas (m 2 ) Luas (Ha) SPT 1 Konsosiasi Lebakkerep , ,98 SPT 2 Asosiasi Seri Lebakkerep , ,92 Kompleks Seri Karangkitir Seri Ketapanglor Kompleks Seri Manyar Seri Randuboto Seri Lebakkerep Kompleks Seri Randuboto Singkapan Batugamping Asosiasi Seri Taman Perengkulon Karang juwet Kompleks Seri Lasem Surjan Bulangan , , , , , , , , , ,09 SPT X2 Permukiman / pekarangan , ,27 SPT X3 Areal Penambangan , ,71 SPT X8 Singkapan batuan , ,76 Catatan : Pada pemetaan semi detil skala 1 : Satuan Peta tersusun sebagian besar adalah kompleks dan asosiasi dari fase seri tanah, sedangkan konsosiasi diketemukan dalam jumlah kecil. Wadah dari SPT berupa polygon hasil delineasi pada peta. Unsur penyusun polygon SPT adalah satuan tanah, lereng, relief, landform, dan bahan induk. Satuan tanah terdiri kelas tanah pada kategori tingkat seri tanah dan disusun berdasarkan komposisi dan proporsinya pada setiap SPT.

128 112 Lampiran 4 Karakteristik oseanografi daerah studi Pasang surut Pengamatan pasang surut (pasut) dilakukan selama 15 hari pada tanggal 9 23 Juni 2006 di perairan Gresik dengan posisi Palem Pasut terletak pada koordinat : 6,90554 o LU ; 112,50704 o BT. Hasil pengamatan pasang surut 15 piantan (seri pendek) tersebut diperlihatkan pada Gambar 3 dan data pengamatannya pada Tabel 6. Di lokasi yang sama, pengamatan pasang surut juga pernah dilakukan oleh Dihidros-TNI AL (2004). Hasilnya diperlihatkan pada Gambar 4 dan data pengamatannya pada Tabel 7. Dari hasil pengamatan pasang surut tersebut, konstanta pasutnya dapat ditentukan dengan metode admiralty. Hasil perhitungan konstanta pasut tersebut diperlihatkan pada Tabel Pasang Surut 15 Piantan ( 9-24 Juni 2006) Di Perairan Ujung Pangkah Gresik Tinggi Pasut (Cm) Waktu (Jam) Gambar 3 Grafik pasang surut seri pendek (15 piantan) di perairan Ujung Pangkah, Gresik

129 113 NO NO Tabel 6 Data pasang surut seri pendek (15 piantan / 9 23 Juni 2006) di perairan Ujung Pangkah, Gresik. TANGGAL J A M Sumber : Data Primer; Catatan : Palem Pasut terletak pada koordinat : 6,90554 o LU ; 112,50704 o BT. Tabel 7 Data pasang surut seri panjang (29 piantan /11Nopember 9 Desember 2003) di perairan Ujung Pangkah, Gresik. TANGGAL J A M

130 Sumber : Survei Hidrografi untuk Penyapuan Ranjau di Perairan Ujung Pangkah, Gresik,(Dihidros TNI-AL, 2004)

131 115 Pasang Surut 29 Piantan (11 November - 9 Desember 2003) di Perairan Ujung Pangkah, Gresik Tinggi (Cm) Waktu (Jam) Gambar 4 Grafik pasang surut seri panjang (29 piantan) di perairan Ujung Pangkah, Gresik Tabel 8 Konstanta pasang surut di perairan Ujung Pangkah Gresik Komponen Pasang Surut Amplitudo (Cm) g ( o ) So 84 0 M S N K K O P M MS Sumber : Hasil analisis data primer Dengan ketentuan : M 2 : Komponen utama bulan N 2 : Komponen elips bulan S 2 : Komponen utama matahari K 2 : Komponen bulan

132 116 K 1 : Komponen bulan O 1 : Komponen utama bulan P 1 : Komponen utama matahari M 4 : Komponen utama bulan MS 4 : Komponen utama matahari bulan. Untuk menentukan tipe pasang surut digunakan bilangan Formzahl(F), yaitu : F = (K 1 + O 1 ) / (M 2 + S 2 ) Dengan ketentuan : F > 3 Tipe Pasut Tunggal (diurnal) 1,5 < F < 3 Tipe Pasut Campuran Condong ke Tunggal (mixed diurnal type) 0,25< F < 1,5 Tipe Pasut Campuran Condong ke Ganda (mixed semi diurnal type) F < 0,25 Tipe Pasut Ganda (semidiurnal). Dengan demikian tipe pasang surut daerah studi adalah F = ( ) / (11 + 2) = 106 / 13 = 8,15 (Tipe Pasut Tunggal). Karakteristik pasang surut di daerah studi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik pasang surut di perairan Ujung Pangkah Gresik Karakteristik Tidal Level Formula Level (cm) Higher Astronomical Tide (HAT) LAT + 2 (K1+ O1+ + M2) + 119,0 Mean Higher High Water Spring (MHHWS) LAT + + M2+ 2 (K1+ O1) + 106,0 Mean Higher High Water Neap (MHHWN) LAT + + M2 + 2 K1 + 64,0 Mean Sea Level (MSL) - - Mean Lower Low Water Neap (MLLWN) LAT + + M2 + 2 O1-64,0 Mean Lower Low Water Spring (MLLWS) LAT + + M2-106,0 Lower Astronomical Tide (HAT) MSL K1 O1 M2-119,0 Sumber : Data primer.

133 117 Arus pasut. No Tabel 10 Waktu Pengamatan (WIB) Hasil pengamatan arus pasang surut pada tanggal Juni 2006 di perairan Ujung Pangkah Kecepatan Arus Pasut (m/s) pada kedalaman 1,7 m 1 m 0,5 m ,743 2,134 1, ,134 1,829 1, ,829 1,524 1, ,524 1, , ,219 1, ,829 1, ,134 1,829 1, ,438 2,134 1, ,134 1,829 1, ,829 1, ,219 1, ,524 1, ,134 2,134 1, ,829 1,524 1,219 Sumber : Hasil Analisis Catatan : Kecepatan arus ditentukan dengan rumus V = penunjuk arus (counter / menit) x 2,18 + 0,02 = feet / seconds =..x 0,3048 m/s Lereng pantai. Tabel 11 Hasil penentuan sudut kemiringan lereng pantai No. Dari posisi (BT; LS) Ke posisi (BT; LS) Jarak Y (m) Jarak X (m) Tan θ θ (deg) ,5655 ; 6, ,6067 ; 6, ,0033 0, ,4929 ; 6, ,4976 ; 6, ,0030 0, ,4985 ; 6, ,5062 ; 6, ,0011 0, ,5542 ; 6, ,5788 ; 6, ,0038 0, ,5222 ; 6, ,5071 ; 6, ,0009 0, ,5279 ; 6, ,5041 ; 6, ,0010 0, ,5231 ; 6, ,5045 ; 6, ,0013 0, ,5305 ; 6, ,5188 ; 6, ,0012 0, ,5469 ; 6, ,5650 ; 6, ,0033 0, ,5499 ; 6, ,5732 ; 6, ,0041 0, ,5676 ; 6, ,5840 ; 6, ,0051 0, ,5754 ; 6, ,5926 ; 6, ,0038 0, ,5857 ; 6, ,6060 ; 6, ,0043 0, ,5849 ; 6, ,6129 ; 6, ,0041 0,23

134 ,5836 ; 6, ,6160 ; 6, ,0051 0, ,5797 ; 6, ,6078 ; 6, ,0020 0, ,5896 ; 6, ,6073 ; 6, ,0041 0, ,5970 ; 6, ,6155 ; 6, ,0045 0, ,6065 ; 6, ,6345 ; 6, ,0023 0, ,6190 ; 6, ,6501 ; 6, ,0012 0,07 Kecamatan Sidayu Sudut kemiringan pantai rata-rata 0,0029 0, ,6328 ; 7, ,6566 ; 6, ,0011 0, ,6284 ; 7, ,6823 ; 6, ,0019 0, ,6298 ; 7, ,6550 ; 6, ,0012 0, ,6356 ; 7, ,6737 ; 7, ,0025 0, ,6406 ; 7, ,6565 ; 7, ,0016 0, ,6463 ; 7, ,6590 ; 7, ,0018 0, ,6476 ; 7, ,6597 ; 7, ,0018 0, ,6255 ; 7, ,6498 ; 6, ,0008 0, ,6377 ; 7, ,6517 ; 7, ,0026 0, ,6383 ; 7, ,6540 ; 7, ,0014 0,08 Kecamatan Bungah Sudut kemiringan pantai rata-rata 0,0017 0, ,6493 ; 7, ,6557 ; 7, ,0051 0, ,6449 ; 7, ,6507 ; 7, ,0040 0, ,6521 ; 7, ,6593 ; 7, ,0032 0, ,6550 ; 7, ,6600 ; 7, ,0078 0, ,6414 ; 7, ,6464 ; 7, ,0042 0, ,6456 ; 7, ,6557 ; 7, ,0077 0, ,6514 ; 7, ,6564 ; 7, ,0071 0, ,6536 ; 7, ,6593 ; 7, ,0036 0, ,6622 ; 7, ,6622 ; 7, ,0105 0, ,6536 ; 7, ,6557 ; 7, ,0059 0,34 Sudut kemiringan pantai rata-rata 0,0059 0,34 Catatan : Jarak X dan Y adalah jarak memanjang ke arah laut dan kedalaman yang ditentukan dengan msl (mean sea level) sebagai titik acuan.

135 119 Dari Posisi: Ke: Gambar 5 Profil lereng pantai di kecamatan Ujung Pangkah Dari Posisi : Ke Posisi : Gambar 6 Profil lereng pantai di Kecamatan Sidayu Dari Posisi: Ke: Gambar 7 Profil lereng pantai di Kecamatan Bungah Akresi dan Abrasi Peta perubahan garis pantai di daerah studi disajikan pada Gambar 8 di bawah ini.

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK VIV DJANAT PRASITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2007 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan

TINJAUAN PUSTAKA. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Sejak dicanangkan teori dan konsep pembangunan berkelanjutan oleh komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KAWASAN PERTAMBAKAN DI PANTURA KABUPATEN GRESIK JAWA TIMUR 1

KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KAWASAN PERTAMBAKAN DI PANTURA KABUPATEN GRESIK JAWA TIMUR 1 KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KAWASAN PERTAMBAKAN DI PANTURA KABUPATEN GRESIK JAWA TIMUR 1 (Study on the Environmental Carrying Capacity of the Brackishwater Fishponds in the North Coast of Gresik Regency,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BANYUPUTIH TERHADAP LIMBAH TAMBAK UDANG BERDASARKAN VOLUME AIR YANG TERSEDIA DI PERAIRAN

ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BANYUPUTIH TERHADAP LIMBAH TAMBAK UDANG BERDASARKAN VOLUME AIR YANG TERSEDIA DI PERAIRAN Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 6, No. 1, Februari 2015 ISSN :2086-3861 ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BANYUPUTIH TERHADAP LIMBAH TAMBAK UDANG BERDASARKAN VOLUME AIR YANG TERSEDIA DI PERAIRAN ASSESSMENT

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PROSPEK USAHA TAMBAK DI KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO JAWA TIMUR TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2

PROSPEK USAHA TAMBAK DI KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO JAWA TIMUR TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROSPEK USAHA TAMBAK DI KECAMATAN SEDATI KABUPATEN SIDOARJO JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Oleh : Hamdani

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UULH = Undang-Undang Lingkungan Hidup no 23 Tahun 1997, yang paling baru adalah UU no 3 tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pesisir Pantai Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Daerah daratan merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL , Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana UNDIP JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume, Issue : () ISSN ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL Dzati Utomo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124 DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Kata Pengantar Pernyataan Keaslian Tulisan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Peta Daftar Lampiran Intisari Abstract i ii iii iv v ix xi xii xiii

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI

ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI ANALISIS SPASIAL SUMBERDAYA PESISIR KABUPATEN BANGKA BARAT UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN AMINI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penentuan karakteristik

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci