IDENTIFIKASI EMISI METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI DI LAHAN PERTANIAN HARTINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI EMISI METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI DI LAHAN PERTANIAN HARTINI"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI EMISI METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI DI LAHAN PERTANIAN HARTINI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 ABSTRAK HARTINI. Identifikasi Emisi Metan (CH 4 ) pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi di Lahan Pertanian. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan PRIHASTO SETYANTO. Sistem Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu (PTT) telah banyak dikembangkan baik pada lahan sawah irigasi maupun pada lahan sawah tadah hujan. Sistem ini menganjurkan pemberian bahan organik yang berpotensi meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga perlu dilakukan identifikasi status emisi GRK yang dalam penelitian ini difokuskan pada gas CH 4. Dalam penelitian ini diterapkan lima perlakuan, antara lain : (1) Non PTT Tergenang, (2) Non PTT Intermittent, (3) PTT Intermittent, (4) PTT Tergenang dan (5) System of Rice Intensification (SRI). Pada perlakuan pertama komponen yang diterapkan antara lain : umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), dipupuk sesuai anjuran (120 kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terus-menerus (continously flooded). Perlakuan kedua : hampir sama dengan perlakuan pertama tetapi dengan irigasi berselang (Intermittent). Perlakuan ketiga : bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD), pemberian bahan organik setara 2 ton/ha, cara tanam sistem legowo 2:1 dan irigasi intermittent. Perlakuan keempat : hampir sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus (continously flooded). Perlakuan kelima : bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), menggunaan pupuk organik 15 ton/ha, tanpa pemupukan anorganik dan jarak tanam 30 x 30 cm. Total emisi CH 4 dari kelima perlakuan cukup bervariasi. Emisi CH 4 tertinggi terdapat pada perlakuan PTT tergenang (347.03±28.41) dan Non PTT tergenang (282.93±36.46), kemudian diikuti oleh perlakuan PTT intermittent (78.33±42.02), SRI (60.73±9.13) dan Non PTT intermittent (57.87±6.76). Perlakuan PTT tergenang memiliki nilai Gabah Kering Giling (GKG) bersih tertinggi sebesar 7.10±0.08, kemudian diikuti oleh perlakuan PTT intermittent (6.76±0.14), Non PTT tergenang (6.72± 0.19), Non PTT Intermittent (6.49±1.15) dan SRI (2.41±0.34). ABSTRACT HARTINI, Identification of Methane (CH 4 ) Emission from Different Rice Crop Management Practices in Agricultural Land. Supervised by IBNUL QAYIM and PRIHASTO SETYANTO. Integrated crop management (ICM) have been developed both in irrigation and rainfall field. This system apply the organic manures to rice field, that can increase the emission of green house gases. For that reason, it is needed to identify the gases emission status where in this research we focused to identification CH 4 gases. In this research, we use five treatments, there are : (1) Non ICM under continuous flooding, (2) Non ICM under intermittent irrigation, (3) ICM, (4) ICM under continuous flooding and (5) System of Rice Intensification (SRI). Component of the first treatment are : five old seedling (25 days-old) were transplanted per hole, fertilized by 120 kg/ha N, 90 kg/ha P and 60 kg/ha K, without organic manures and under continuous flooding. The second treatment : is the same as the first treatment, except under intermittent irrigation. The third treatments : one young seedling (15 days-old) were transplanted per hole, N-fertilizer application based on leaf color chart (LCC), organic manures 2 ton/ha, intermittent irrigation, and legowo with 10 x 20 cm plant spacing with 40 cm space in row. The fourth treatment : is the same as the third treatment, except under continuous flooding. The fifth treatment : was fertilized by 15 ton/ha organic manures, transplanting of a 15 days young seedling (1 per hill), without anorganic fertilizers and square planting at 30 x 30 cm. The total emission of CH 4 from the five treatments had enough variation. The highest CH 4 emission came from ICM under continuous flooding (347.03±28.41), followed by Non ICM under continuous flooding (282.93±36.46), ICM (78.33±42.02), SRI (60.73±9.13) and Non ICM intermittent (57.87±6.76) respectively. The highest actual yield came from ICM under continuous flooded (7.10±0.08), followed by ICM (6.76±0.14), Non ICM under continuous flooding (6.72±0.19), Non ICM intermittent (6.49±1.15) and SRI (2.41±0.34) respectively.

3 IDENTIFIKASI EMISI METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI DI LAHAN PERTANIAN HARTINI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

4 Judul : Identifikasi Emisi Metan (CH 4 ) pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi di Lahan Pertanian Nama : Hartini NRP : G Menyetujui : Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Ibnul Qayim Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc NIP NIP Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Dr. Drh. Hasim, DEA NIP Tanggal lulus :

5 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi atas berkah dan rahmat-nya yang tiada pernah putus, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Identifikasi Emisi Metan (CH 4 ) pada Berbagai Sistem Pengelolaan Tanaman Padi di Lahan Pertanian tepat pada waktunya. Penelitian ini dibiayai oleh Balai Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Departeman Pertanian di Jakenan, Pati, Jawa Tengah. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu selama kegiatan penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih dihaturkan kepada Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim selaku pembimbing pertama dari Departemen Biologi FMIPA IPB dan Bapak Dr. Ir. Prihasto Setyanto, Msc selaku pembimbing kedua dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian; Bapak Nono Sutrisno selaku kepala Balai dan Bapak Asep Nugraha, terima kasih atas segala nasehatnya; keluarga besar GRK, yaitu Mbak Rina, Mbak Lina, Mbak Titi, Mbak Mira, Kak Yono, Kak Yanto, Pak Yarpani, Pak Jumari, Pak Yoto, Pak Darmin dan Pak Uwo terima kasih atas segala bantuan dan kebersamaan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian di Jakenan; kepada Mbak Mita selaku pengurus mess, keluarga laboratorium terpadu (Mas Fitra dan Bu Yulis), terima kasih atas fasilitas yang diberikan; Mas Pur, Mas Fany, Mbak Erna dan Kiki yang membuat mess selalu rame; Papa, Mama, Kakak dan Adikku tersayang yang selalu memberikan motivasi juga mencurahkan doa dan kasih sayangnya; teman-teman seperjuangan di Pati, yaitu Rika, Tyas, Tika dan Yulis, teman-teman satu angkatan (Bio 40) terutama Yusi, Chandra dan Iwan terima kasih atas semangat, saran dan kritiknya serta pihak-pihak lain yang telah banyak membantu penulis selama menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis telah berusaha menuangkan hasil penelitian dalam bentuk laporan dengan tujuan selain untuk memenuhi tugas akhir juga untuk berbagi informasi kepada setiap pembaca. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini, namun begitu penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2008 Hartini

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 September Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Wartim Sumana dengan Ibu A. Rohaeni. Riwayat pendidikan, penulis menamatkan sekolah di SMUN 13 Jakarta Utara pada tahun dan menyelesaikan Program SI Biologi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis pernah mengikuti kegiatan Bioworld divisi tanaman hias, menjadi salah satu tim redaksi dari Buletin Meiosis, serta mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama beberapa semester. Penulis pernah melakukan kegiatan praktek lapang di PT Cadbury Indonesia, dengan mengambil tema Proses Pengelolaan Limbah Cair secara Biologis di PT Cadbury Indonesia. Penulis melakukan penelitian di Jakenan, Pati, Jawa Tengah selama 7 bulan untuk menyelesaikan program S1-nya.

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... ix PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Waktu dan Tempat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA Efek GRK Terhadap Pemanasan Global... 2 Metan (CH 4 ) sebagai GRK... 2 Kontribusi Lahan Sawah pada Pemanasan Global... 3 SRI (System of Rice Intensification)... 3 Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)... 4 Komponen Teknologi PTT... 4 Varietas Padi Rendah Emisi Metan... 6 Varietas Unggul Ciherang... 6 BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat... 7 Metode Penelitian... 7 Rancangan Percobaan dan Perlakuan... 7 Pembuatan Plot, Penanaman dan Perawatan Padi... 7 Pengamatan Tanaman, Tanah serta Pengukuran Gas... 8 Analilsis Data... 9 HASIL Fluks dan Kumulatif Fluks CH ph dan Potensial Redoks Tanah Parameter-parameter Tanaman Hubungan antara CH 4 dengan parameter tanaman Hasil dan komponen hasil PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 24

8 DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil analisis tanah sebelum ditanami di kebun percobaan Balingtan Jakenan, Jateng Tinggi tanaman, jumlah anakan dan berat biomassa kering tanaman antar perlakuan Emisi CH 4 dan komponen hasil dari kelima perlakuan selama satu musim tanam DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tanam cara legowo Lay out perlakuan Pembatas plastik pada plot 1 dan Pengukuran Eh dan ph Box yang digunakan untuk menangkap gas dari tanah dan tanaman padi diletakkan pada tempat yang sama dan Pengambilan sampel gas CH Ilustrasi penanaman dan pemupukkan tanaman padi dari kelima perlakuan Fluks CH 4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam Kumulatif fluks CH 4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam Fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent Fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent Kumulatif fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent Kumulatif fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent Grafik ph selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan Grafik Eh selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan Hubungan antara jumlah anakan (x) dengan fluks CH 4 harian (y) pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI Hubungan antara biomassa kering (x) dengan fluks CH 4 harian (y) pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Deskripsi padi varietas ciherang Cara pemupukan nitrogen dengan Bagan Warna Daun (BWD) Jadwal kegiatan penelitian PTT di kebun percobaan Balingtan Hasil pengukuran fluks CH 4 (mg/m 2 /hari) selama penelitian Hasil pengukuran fluks dan kumulatif fluks CH 4 (mg/m 2 /hari) saat pengeringan pada perlakuan intermittent Hasil pengukuran ph tanah selama penelitian Hasil pengukuran Eh (mv) tanah selama penelitian Perbandingan hasil panen dari kelima perlakuan Tabel dan gambar grafik hasil pengukuran klorofil daun dari semua perlakuan Korelasi antara jumlah anakan, biomassa kering tanaman dengan fluks harian CH 4 serta korelasi antara hasil panen dengan total emisi CH

9 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global (global warming) yang diakibatkan oleh gas-gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO 2 ), metan (CH 4 ), dan dinitro oksida (N 2 O) sering dikaitkan dengan budidaya pertanian. Lahan pertanian merupakan sumber penyumbang gas CH 4 yang cukup signifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan gas CH 4. Luasnya areal tanah pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi CH 4 di atmosfer. Emisi CH 4 tahunan secara global diduga sebesar Tg/tahun dan konsentrasinya meningkat 1% tiap tahunnya. Konsentrasi CH 4 di atmosfer saat ini diperkirakan mencapai 1.7 ppmv (IPCC 1992). Emisi CH 4 dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg/tahun (Yagi & Minami 1990; Seiler et al. 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian sebesar 6,8% dari luas lahan pertanian di dunia, diduga memberi kontribusi sebesar Tg CH 4 /tahun. Pada skala nasional kontribusi tanah sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu, upaya penurunan emisi CH 4 dari tanah sawah harus tetap dilakukan. Cara mitigasi yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi CH 4 yang tinggi, yaitu pada tanah sawah beririgasi. Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat, lahan sawah beririgasi masih tetap menjadi andalan bagi produksi padi nasional. Program intensifikasi yang sudah dicanangkan sejak tiga dekade lalu, pada awalnya telah mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nyata. Namun sejak beberapa dekade terakhir, produktivitas padi cenderung melandai bahkan menurun di beberapa lokasi. Menurunnya produktivitas padi pada lahan sawah irigasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah yang kurang sempurna, kurangnya penggunaan benih bermutu, serta rendahnya penggunaan pupuk oleh petani. Petani biasanya menggunakan benih dari tanaman sebelumnya yang sudah tidak murni lagi. Pemakaian benih bermutu atau berlabel sering menjadi masalah bagi petani karena benih bermutu sulit didapatkan pada waktu diperlukan. Penghapusan subsidi pupuk dan kenaikan harga pestisida menyebabkan peningkatan biaya produksi padi yang semakin memberatkan petani. Saat ini, banyak petani yang sama sekali tidak menggunakan pupuk anorganik pada lahan pertaniannya. Selain penurunan kesuburan lahan, penggunaan satu varietas padi tanpa adanya pergiliran tanaman, serta kurangnya penggunaan pupuk organik merupakan kendala dalam peningkatan produksi padi. Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang merupakan faktor kunci dalam peningkatan produksi padi. Sedangkan rekomendasi pupuk yang berlaku saat ini masih bersifat umum dan belum mempertimbangkan kandungan atau status hara tanah, sehingga penggunaan pupuk menjadi tidak efisien. Akibatnya, setelah tahun berlangsung program intensifikasi padi sawah, terjadi ketidakseimbangan hara dalam tanah, bahkan di beberapa daerah di Pulau Jawa telah terjadi penimbunan unsur P dan K dalam tanah. Untuk mengatasi kendala tersebut Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) telah merancang suatu metode Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Sistem ini merupakan penyempurnaan dari System of Rice Intensification (SRI) yang dianggap mempunyai banyak kendala baik dalam teknis pelaksanaan di lapangan maupun dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat. PTT merupakan alternatif pengelolaan padi secara intensif pada lahan sawah irigasi. Komponen-komponen pengelolaan tanaman terpadu seperti pengelolaan hama terpadu, hara terpadu, air terpadu, dan gulma terpadu telah dipraktekkan beberapa tahun terakhir dan telah terbukti mampu meningkatkan hasil padi sawah sampai 1 ton/ha. Di daerah Tamil Nadu, India, sistem PTT yang diterapkan selama musim tanam meningkatkan hasil panen sebesar 1.5 ton/ha (Balasubramanian et al. 2006). Produksi padi gogo melalui pendekatan teknologi PTT mencapai 4.3 ton/ha (Toha et al. 2005). Di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, intensifikasi pertanian dengan PTT dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp /ha (20,72 %) dibandingkan dengan petani biasa (Arafah 2005). Sistem PTT telah banyak dikembangkan baik pada lahan sawah irigasi maupun pada

10 2 lahan sawah tadah hujan. Pemberian bahan organik pada sistem ini berpotensi meningkatkan emisi GRK. Disisi lain sistem PTT juga menerapkan irigasi intermittent yang diduga dapat menurunkan emisi GRK. Oleh sebab itu, perlu dilakukan identifikasi status emisi GRK pada sistem PTT yang nantinya akan dibandingkan dengan sistem pengelolaan tanaman padi lainnya Bila penerapan sistem PTT ini ternyata dapat menekan emisi GRK, maka sistem ini dapat menjadi cara budi daya padi yang ideal karena selain dapat menghemat penggunaan input pertanian, menaikkan hasil padi dan pendapatan petani, juga dapat mengurangi emisi GRK sehingga sistem pertanian menjadi lebih lestari dan ramah lingkungan. Tujuan Mendapatkan informasi status emisi gas metan (CH 4 ) pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi di lahan pertanian. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Juli Penelitian pengukuran emisi CH 4 dilakukan di Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Jakenan, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Balingtan Jaken secara geografis terletak pada koordinat Lintang Selatan dan Bujur Timur, beriklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata kurang dari 1600 mm/tahun. TINJAUAN PUSTAKA Efek GRK Terhadap Pemanasan Global Efek Rumah Kaca (green house effect) merupakan peristiwa yang terjadi secara alami sehingga memungkinkan kelangsungan hidup bagi semua makhluk yang ada di bumi. Tanpa adanya GRK, seperti karbondioksida (CO 2 ), metan (CH 4 ) atau dinitro oksida (N 2 O), suhu permukaan bumi akan 33 C lebih dingin dari suhu normalnya. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Akibatnya, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Proses tersebut dikenal dengan efek rumah kaca. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dampak dari terjadinya efek rumah kaca. Sejak awal jaman industrialisasi, akhir abad ke-17, konsentrasi GRK meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat C akibat emisi GRK yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Pengukuran yang dilakukan sejak tahun 1950-an menunjukkan tingkat konsentrasi GRK meningkat secara tetap dan peningkatan ini berhubungan dengan emisi GRK yang dihasilkan industri dan berbagai aktivitas manusia lainnya. Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas (energi) di atmosfer bumi. Dengan adanya akumulasi yang berlebihan tersebut, iklim global akan melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud salah satunya adalah melalui peningkatan temperatur bumi, yang kemudian dikenal dengan pemanasan global, yang diikuti dengan berubahnya iklim regional, pola curah hujan yang tidak teratur, penguapan, pembentukan awan, mencairnya es dan glasier di kutub dan perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut dapat merubah komposisi dan distribusi geografi di berbagai ekosistem seperti hutan, gurun pasir dan daerah pesisir pantai. Perubahan iklim akan mempengaruhi siklus hidrologi dan mempengaruhi persediaan air regional (Setyanto 2004a). Metan (CH 4 ) sebagai GRK Setyanto (2004b) mengemukakan bahwa metan (CH 4 ) merupakan salah satu GRK yang dihasilkan melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik. Dimana pemasukan secara intensif bahan organik berupa jerami pada keadaan tanah tergenang sangat ideal bagi berlangsungnya proses dekomposisi di lahan pertanian. Proses tersebut dilakukan oleh bakteri metanogen yang dapat merubah CO 2, asam format, asetat, metanol, metilamin dan CO menjadi CH 4 (Ciceron & Oremland 1988). Metanogen menggunakan asetat sebagai sumber karbon utama, sedangkan susbtrat lainnya seperti H 2 /CO 2 dan format berkontribusi 10-30% (Achtrich et al. 1995). Emisi CH 4 dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya ditentukan oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Sudadi 2002). Pada tanah sawah, CH 4 diproduksi sebagai hasil antara dan hasil akhir dari berbagai proses mikrobial, seperti dekomposisi anaerobik bahan organik oleh bakteri metanogen dan oksidasi CH 4 oleh metanotrof (Zehnder & Stumm 1988). Bakteri metanogen hanya aktif bila kondisi

11 3 tanah reduktif atau anaerobik telah tercapai akibat penggenangan, sedangkan metanotrof bersifat aerobik pada lapisan permukaan tanah dan zona perakaran. Bakteri metanogen dapat bekerja optimal pada redoks potensial kurang dari -150 mv. Proses metanogenesis merupakan proses biologis pada tanah yang dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah seperti suhu tanah, potensial redoks, ph tanah, akumulasi dan dekomposisi bahan organik serta varietas tanaman (Setyanto 2004). Salah satu faktor penting yang mempengaruhi cepat-lambatnya proses produksi dan konsumsi gas CH 4 adalah reaksi oksidasi-reduksi (redoks) dari oksidanoksidan tanah seperti NO 3, SO 4, Fe2O 3, MnO 4 dan CO 2 (Setyanto 2004). Sudadi (2002) mengemukakan sisa CH 4 yang tidak teroksidasi ditransportasikan ke atmosfer dengan cara difusi melalui air genangan, ebulisi (pembentukan gelembung-gelembung gas) serta transportasi melalui aerenchyma padi. Metan merupakan gas aktif yang berpengaruh terhadap iklim bumi. Kehadiran 1.7 ppm CH 4 di atmosfer menyebabkan peningkatan suhu permukaan bumi sekitar K. Kontribusi Lahan Sawah pada Pemanasan Global Lahan sawah merupakan salah satu sumber emisi CH 4, yang berkontribusi pada peningkatan pemanasan global. Lahan sawah Indonesia yang luasnya sekitar 10,9 juta hektar diduga memberi kontribusi sekitar 1% dari total global CH 4 di atmosfer (Setyanto 2006). Pada tahun 1990, emisi metan dari tanah sawah diperkirakan mencapai juta ton per tahun atau sekitar 12.5% dari emisi metan global sebesar juta ton per tahun. Hasil penelitian IRRI dengan negara-negara Asia yang dilakukan pada tahun membuktikan bahwa tingkat emisi metan dari tanah sawah di Cina ternyata hanya 3.7 juta ton per tahun, sedangkan di India, Indonesia, Filipina dan Thailand berturut-turut hanya 2.1, 1.7, 0.1 dan 0.2 juta ton per tahun. Total emisi metan dari tanah sawah di kelima negara tersebut hanya mencapai juta ton per tahun atau hanya 2-5 % dari emisi metan secara global (Sudadi 2002). Emisi metan dari tanah sawah beririgasi umumnya lebih tinggi dibandingkan tanah sawah tadah hujan dan tanah sawah air dalam. Luas tanah sawah beririgasi meliputi 50% dari total areal tanah sawah dunia. Meskipun demikian, laju emisi pada tanah sawah beririgasi di berbagai lokasi tidak seragam atau bervariasi dari kisaran rendah sampai tinggi. Penggunaan pupuk inorganik pada lahan tersebut juga menghasilkan laju emisi metan yang sangat bervariasi, sedangkan pengaruh aplikasi pupuk kandang terhadap peningkatan laju emisi metan bervariasi dari rendah hingga tinggi (Sudadi 2002). SRI (System of Rice Intensification) (Uphoff & Satyanarayana 2006) SRI atau yang lebih dikenal dengan Teknologi Intensifikasi Pertanian dikembangkan di Madagaskar 20 tahun yang lalu oleh Fr. Henry de Laulaniẻ, SJ. Sedangkan di Indonesian sendiri SRI baru diterapkan pada periode Komponen yang direkomendasikan oleh SRI antara lain: 1. Penggunaan bibit muda Bibit yang digunakan dalam SRI berumur 8-12 HSS (tidak lebih dari 15 HSS). 2. Pengaturan jarak tanam Padi ditanam dengan jarak tanam 25cm x 25cm dengan menanam 1 bibit/lubang. Pengaturan jarak tanam pada SRI bertujuan untuk mendapatkan efek tanaman pinggir pada padi. Dimana tanaman yang berada pada bagian pinggir biasanya memberikan hasil lebih tinggi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan akar tanaman menjadi lebih dalam dan luas penyerapannya. 3. Pengolahan tanah Hal ini diperlukan untuk memperoleh pertumbuhan akar yang baik dan menciptakan kondisi aerobik untuk biota tanah. Pencangkulan selain ditujukan untuk pemberantasan gulma, juga ditujukan untuk perbaikan aerasi tanah. 4. Penambahan bahan organik Dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi akar dan biota tanah. Pemupukan dengan kompos yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik dapat meningkatkan hasil pertanian. Komponen-komponen tersebut ketika diterapkan secara bersamaan dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Pengaruh nyata dari penerapan SRI dapat dilihat pada bagian akar tanaman. Sistem perakaran menjadi lebih besar dan sehat

12 4 dibandingkan dengan tanaman padi dengan penanaman cara biasa. SRI menjadi kontroversial di beberapa tempat karena dalam pelaksanaannya tidak memberikan hasil yang sama ketika diterapkan. Selain itu penggunaan benih muda dan pemberantasan gulma secara manual yang menjadi salah satu komponen SRI membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak sehingga tidak efisien. Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Pada awalnya Indonesia menerapkan SRI sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian. SRI diterapkan di Sukamandi dengan hasil panen 6.2 ton/ha pada musim hujan dan 9.2 ton/ha pada musim kering (Uphoff & Satyanarayana 2006). Namun dalam perkembangannya SRI menunjukkan kendala teknis di lapangan. Untuk itu dikembangkan teknologi pertanian terbaru yang merupakan hasil penyempurnaan dari SRI. Inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani dilakukan melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman dan sumberdaya Terpadu). Komponen teknologi yang saling bersinergi dalam PTT terdiri dari penggunaan bibit muda unggul, pemakaian bahan organik, perbaikan aerasi tanah dengan penerapan irigasi berselang (intermitten), penggunaan bagan warna daun (BWD) dan status hara tanah serta pemakaian benih bermutu. Komponen Teknologi PTT Komponen teknologi utama PTT, meskipun tidak perlu semuanya diterapkan bila tidak sesuai lokasi, diantaranya : 1. Penggunaan benih bermutu Benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, selain itu perkecambahan dan pertumbuhan tanaman akan seragam, ketika ditanam pindah bibit dari benih yang baik dapat tumbuh lebih cepat dan tegar dan benih yang baik akan memberikan hasil tinggi. Untuk memilih benih yang baik, sebelumnya benih direndam dalam larutan garam 3% atau larutan ZA (benih yang mengapung atau mengambang dibuang) (BPPTP 2004). 2. Varietas unggul adaptif spesifik lokasi Sebagai salah satu komponen intensifikasi padi, varietas unggul berperan penting dalam meningkatkan produksi, mengendalikan hama dan penyakit tanaman serta menekan pengaruh buruk kondisi lingkungan tumbuh. Dibandingkan dengan teknologi produksi lainnya, varietas unggul lebih cepat diterima petani karena lebih mudah diimplementasikan dan harganya relatif murah. Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian melalui Balitpa terus berupaya merakit varietas unggul. Hingga saat ini, Departemen Pertanian telah melepas lebih dari 175 varietas unggul padi yang sebagian besar dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian (Puslitbangtan 2007). Sesuai dengan teknologi PTT yang ditetapkan bahwa varietas yang digunakan adalah varietas unggul dengan kriteria berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama penyakit, tahan rebah, berdaya beli tinggi dengan cita rasa enak serta dapat beradaptasi dengan iklim dan tipe tanah setempat. Beberapa varietas yang dianjurkan dari varietas lokal antara lain: Pandanwangi, Rojolele dan Siam Unus; varietas unggul baru, misalnya IR64, Membramo, Way Apo Buru, Widas, Tukad Unda dan Ciherang; varietas unggul aromatik, misalnya Celebes, Sintanur, Batang Gadis dan Gilirang; padi tipe baru, misalnya Fatmawati; padi Hibrida, misalnya Maro, Rokan, Hibrida Intani-1 dan Hibrida Intani-2 (BPPTP 2004). Selama ini benih yang digunakan petani masih berkualitas rendah. 3. Tanam bibit muda (umur <15 HSS, 1 bibit/lubang) Keuntungan menggunakan bibit muda (15 HSS) adalah bibit akan cepat kembali pulih, akar lebih kuat dan dalam, tanaman akan menghasilkan anakan lebih banyak, tahan rebah, tahan kekeringan dan dapat menyerap pupuk lebih efisien (BPPTP 2004). 4. Tanam cara legowo (2:1 atau 4:1) Yaitu cara tanam berselang-seling 2 atau 4 baris tanaman dan 1 baris kosong. Gambar 1 Tanam Cara Legowo. Jarak antara baris tanaman yang dikosongkan disebut 1 unit. Semula pengenalan tanam padi jajar legowo kurang diterima oleh petani, dengan alasan meningkatkan penggunaan tenaga tanam, waktu tanam lebih lama dan umumnya kurang

13 5 yakin terhadap peningkatan produktivitas dengan berkurangnya satu baris tanaman. Tetapi setelah mengetahui hasil penerapan tanam jajar legowo banyak petani yang tertarik dan menerapkan tanam jajar legowo (BPTP 2004). Keuntungan dari tanam jajar legowo antara lain semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir), pengendalian hama dan gulma lebih mudah, penyerapan pupuk lebih efektif dan memfasilitasi ruang kosong untuk drainase. 5. Pemberian bahan organik Penggunaan bahan organik seperti kompos, jerami dan pupuk kandang diperlukan dalam meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Hakim et al. (1986) pemberian bahan organik berpengaruh pada sifat fisika tanah, yaitu kemampuan tanah menahan air meningkat, warna tanah menjadi coklat hingga hitam, serta merangsang granulasi agregat. Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah antara lain meningkatnya daya jerap tanah dan kapasitas tukar kation. Sedangkan pengaruhnya pada sifat biologi tanah antara lain meningkatnya jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah dan meningkatnya aktivitas jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik. Dilain pihak pemberian pupuk organik dan anorganik (kimia) meningkatkan emisi CH 4 (Lindau & Bollich 1993; Banik et al. 1996). Setyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa penambahan bahan organik 10 ton/ha menghasilkan rata-rata emisi CH 4 sebesar kg/ha. Nilai ini lebih kecil dibandingkan pada penambahan 5 ton/ha emisi CH 4 yang dihasilkan sebesar kg/ha. Schutz et al. (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering sebanyak 3 ton/ha menghasilkan emisi CH kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian jerami, 2 kali lebih tinggi pada penambahan 5 ton/ha dan 2.4 kali lebih tinggi pada penambahan 12 ton/ha. Yagi dan Minami (1990) mengemukakan bahwa penambahan jerami yang sudah menjadi kompos tidak memberikan emisi CH 4 yang tinggi. Semakin tinggi rasio C/N dari bahan organik (jerami) akan memberikan emisi CH 4 yang lebih besar. 6. Pengelolaan hara spesifik lokasi (Ndengan BWD; P dan K berdasarkan status hara tanah) Pemupukan secara hemat dilakukan dengan menggunakan bagan warna daun (BWD) untuk menetapkan kebutuhan nitrogen. Pemupukan P dan K dilakukan berdasarkan hasil analisis tanah dan bersifat spesifik lokasi. 7. Irigasi intermittent Pengairan berselang (intermitten) dimaksudkan untuk mengatur kondisi lahan dalam keadaan kering-tergenang secara bergantian. Manfaat pengairan berselang antara lain menghemat air irigasi, memberi kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam, mencegah timbulnya keracunan besi, mencegah penimbunan bahan organik dan gas H 2 S yang menghambat perkembangan akar, mengaktifkan mikroba yang bermanfaat, mengurangi kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen, serta memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (BPTP 2004). Setyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa secara umum kondisi tanah dengan penggenangan berlanjut (continuosly flooded) relatif mengemisi CH 4 lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi tanah macakmacak dan pengairan terputus. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pengairan terputus (intermitten irrigation) dan penggenangan berlanjut memberi kontribusi emisi CH 4 berturut-turut sebesar dan kg/ha. Rendahnya emisi CH 4 pada pengairan terputus disebabkan tidak terjadinya perubahan reduksi yang tajam pada tanah sehingga dekomposisi secara anaerobik tidak mendominasi. Cara pengairan seperti ini dapat menekan laju emisi CH 4 rata-rata sebesar 46.5%. Menurut Nugroho et al. (1994) rata-rata emisi CH 4 melalui irigasi intermitten berkisar mgch 4 m -2 h -1, sedangkan pada pengairan berlanjut berkisar antara mgch 4 m -2 h Penyiangan gulma secara manual (menggunakan landak atau gasrok) Penyiangan dapat dilakukan melalui pencabutan gulma dengan tangan, menggunakan alat gasrok/landak atau dengan menggunakan herbisida. Keuntungan penyiangan dengan alat gasrok/landak lebih ramah lingkungan (tidak menggunakan bahan kimia), lebih ekonomis dan menghemat tenaga kerja dibandingkan penyiangan dengan tangan, meningkatkan aerasi tanah dan merangsang pertumbuhan padi lebih baik.

14 6 9. Penerapan PHT bagi pengendalian OPT (Widiarta & Hendarsih 2007). Hama dan penyakit tanaman merupakan kendala yang perlu diantisipasi perkembangannya, karena dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Pengendalian hama dan penyakit dengan mengandalkan satu komponen pengendalian saja, seperti insektisida, varietas tahan atau musuh alami, belum memberikan hasil yang optimal. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman yang menekankan pentingnya pengendalian hama terpadu (Widiarta & Hendarsih 2007). Konsep PHT dihasilkan melalui pertemuan panel para ahli Badan Pangan Dunia di Roma pada tahun Intisari dari konsep PHT adalah: PHT merupakan sistem pengendalian hama dalam hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, serta menggunakan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama selalu di bawah ambang ekonomi. Di Indonesia, konsep PHT telah diakomodasikan ke dalam sistem produksi pertanian. Hal mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam integrasi PHT ke dalam PTT adalah (1) Integrasi komponen pengendalian yang sesuai ke dalam tahapan budi daya sejalan dengan stadia pertumbuhan tanaman, (2) Petani berpartisipasi aktif dalam penerapan PHT, (3) Penggunaan pestisida hanya dilakukan berdasarkan hasil pemantauan dan (4) Pemantauan disarankan dilakukan bersama dalam satu hamparan/golongan air. Penerapan PHT dalam pertanian antara lain dengan menanam tanaman yang sehat dengan pola tanam dan pergiliran tanaman yang tepat, menggunakan varietas yang tahan hama dan penyakit, pengamatan berkala di lapang, pemanfaatan musuh alami seperti predator dan patogen serangga serta penggunaan pestisida hanya bila diperlukan. 10. Cara panen dengan thresher Panen pada waktu yang tepat dengan memperhatikan umur tanaman, dengan menghitung sejak padi mulai berbunga (biasanya panen jatuh pada hari setelah padi berbunga). Jika 95% malai menguning, segera panen dengan menggunakan alat sabit bergerigi atau mesin pemanen. 11. Pascapanen Kegiatan pascapanen perlu dikelola dengan tepat, karena kehilangan hasil dan penurunan mutu selama proses panen dan pascapanen masih tinggi (± 20%) (BPTP 2004). Penanganan panen dan pascapanen yang kurang baik menyebabkan kualitas benih rendah. Proses pengeringan, penggilingan dan penyimpanan perlu menjadi perhatian agar diperoleh beras dengan kualitas tinggi. Varietas Padi Rendah Emisi Metan Tanaman padi memiliki peranan penting dalam mengemisi gas CH 4 dari lahan pertanian. Emisi CH 4 dapat ditekan dengan cara menanam varietas padi dengan emisi CH 4 rendah serta menerapkan teknik budi daya yang ramah lingkungan tanpa mengurangi hasil pertanian (Setyanto 2006). Varietas IR64 cenderung menghasilkan emisi gas CH 4 rendah dibandingkan varietas lainnya yang umum digunakan oleh petani. Varietas baru seperti Ciherang, Tukad Balian, dan Way Apoburu memberikan harapan baru, karena mampu mengurangi besarnya emisi gas CH 4 ke atmosfir. Besarnya emisi gas metana dari varietas-varietas padi mempunyai hubungan positif non linier dengan bobot kering akar padi yang berperan sebagai penghasil eksudat akar sumber karbon bagi bakteri metanogen (Wihardjaka 2006). Emisi gas CH 4 dari tanaman padi sawah ke atmosfer didasarkan pada tiga proses, yaitu pelepasan gas CH 4 dalam bentuk gelembunggelembung udara (ebulisi), proses difusi serta melalui aerenkima (Naharia 2004). Aerenkima merupakan ruang udara yang terdapat pada pelepah daun, helai daun, batang dan akar tanaman padi yang saling berhubungan satu sama lain, seolah-olah membentuk pipa kecil. Pembuluh aerenkima bertindak sebagai cerobong bagi pelepasan CH 4 ke atmosfer (Apriyanto 1997). Varietas Unggul Ciherang Ciherang merupakan varietas unggul hasil persilangan antara IR64 dengan beberapa galur lain. Hasilnya yang tinggi dan rasa nasinya yang enak adalah sifat penting varietas Ciherang yang diturunkan dari IR64. Dilepas pada tahun 2000, varietas Ciherang yang berdaya hasil tinggi dengan rasa nasi enak lebih disukai oleh sebagian petani dan konsumen di beberapa daerah, terutama di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Di Jawa Barat, luas tanam varietas Ciherang menduduki urutan kedua

15 7 setelah IR64, masing-masing 18% dan 33% (Puslitbangtan 2007). Lebih lanjut Lis (2006) melaporkan bahwa pertanian di Banten dengan menggunakan varietas Ciherang melalui teknologi PTT dapat meningkatkan produktivitas padi yang semula produktivitasnya hanya sekitar 4-5 t/ha kini produktivitasnya bisa mencapai 7,7 t/ha. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang, yang merupakan salah satu varietas unggul (Lampiran 1), pupuk N (urea) sebanyak 250 kg/ha serta pupuk P dan K buatan seperti TSP sebanyak 100 kg/ha, KCl sebanyak 100 kg/ha, pestisida jenis Fastac, Bento dan biopestisida. Sedangkan alat yang digunakan antara lain boks, termometer, klorofil meter, Eh meter, ph meter, bagan warna daun (BWD), injektor polipropilen, seperangkat kromatografi gas, komputer, kamera, plastik hitam, bor tanah, timbangan analitik, meteran, Rika moisturizer dan alat-alat bercocok tanam. Metode a. Rancangan Percobaan dan Perlakuan Rancangan percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 jenis perlakuan dan 3 ulangan. Tata letak perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2. v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 3 vv 2 vv 2 vv 5 vv 3 vv 2 vv v v v v v v v v v v v v v v v v v v v vv vv vv Pl v v Sekat v v v v v v v vv vv vv v v v v v v v v v v vv v v v vv v v v vv v v v v v v v v v I v v v II v v v III v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Gambar 2 Tata letak perlakuan. I, II, III : Ulangan 1, 2, 3, 4, 5 : Perlakuan v : Tanaman Padi Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : (1) cara penanaman padi biasa (kontrol) dengan umur bibit 25 hari (5 bibit/lubang), dipupuk sesuai anjuran (120 kg/ha N, 90 kg/ha P dan 60 kg/ha K), tanpa bahan organik dan irigasi terus-menerus (continously flooded); (2) sama dengan perlakuan pertama tetapi pengairan dilakukan secara berselang (intermittent); (3) PTT: bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), pemupukan berdasarkan BWD, pemberian bahan organik 2 ton/ha, irigasi intermittent dan cara tanam sistem legowo 2:1; (4) sama dengan perlakuan ketiga tetapi dengan irigasi terus-menerus (continously flooded); (5) System of Rice Intensification (SRI), yaitu penggunaan pupuk organik 15 ton/ha, bibit muda berumur 15 hari (1 bibit/lubang), tanpa pemupukan anorganik, jarak tanam 30 cm x 30 cm dan irigasi intermittent. b. Pembuatan Plot, Penanaman dan Perawatan Padi Pembuatan plot diawali dengan pengolahan tanah. Sebelum pengolahan, tanah dianalisis untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sebelum ditanami padi. Hasil analisis dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Hasil analisis tanah sebelum ditanami di kebun percobaan Balingtan di Jakenan, Jateng Sifat Fisika dan Kimia Tanah Hasil Analisis ph H2O 5,7 KCL 4,9 Tekstur Tanah (%) Pasir 45 Debu 46 Liat 9 Bahan Organik C (%) (Walkey & Black) 0,66 Bahan Organik N (%) (Kjeldhal) 0,05 Nisbah C/N 13 Nilai Tukar Kation (cmol/kg) NH 4 -Acetat 1N, ph 7 Ca 3.82 Mg 0,51 K 0,41 Na 0,26 KTK (cmol/kg) 4,22 Oksalat Fe 0,2 Al 0,03 Si 0,01 DTPA (ppm) Fe 266 Mn 11,6 Cu 2,3 Zn 1 P 2 O 5 (ppm) Olsen 38 K 2 O (ppm) Morgan 207 Asam humat (%) 0,33 Asam fulvat (%) 0,11

16 8 Pengolahan tanah dilakukan sebanyak dua kali, yaitu (1) pembajakan dengan traktor untuk membalik tanah dan pembuatan pematang (plotting), (2) pengolahan tanah sempurna yaitu meratakan setiap plot sehingga siap untuk ditanami. Setiap plot dibentuk dengan ukuran 5 x 6 m. Pada perlakuan 1 dan 4, yaitu perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang plot diberi pembatas plastik agar tidak mengganggu plot perlakuan intermittent (Gambar 3). perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 3. Ilustrasi penanaman dan pemupukan padi dapat dilihat pada Gambar 5 (a-e). c. Pengamatan Tanaman, Tanah serta Pengukuran Gas 1) Tinggi Tanaman Tinggi tanaman diukur sebanyak 6 kali sesuai dengan jadwal pengamatan parameter tanaman dalam kegiatan penelitian. Tanaman yang telah ditentukan, diukur tingginya dari permukaan tanah sampai ujung tanaman. 2) Jumlah Anakan Jumlah anakan yang dihitung adalah anakan aktif pada tanaman yang telah ditentukan. Gambar 3 Pembatas plastik pada plot 1 dan 4. Penanaman padi untuk perlakuan PTT dan SRI dilakukan saat bibit berumur 15 hari setelah sebar (HSS), dengan jarak tanam legowo (2:1), yaitu 10 cm x 20 cm dan legowo 40 cm untuk PTT dan 30 cm x 30 cm untuk SRI. Sedangkan untuk perlakuan Non PTT padi ditanam pada saat bibit berumur 25 HSS dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pengendalian hama dan gulma dilakukan secara terpadu, untuk perlakuan PTT dan Non PTT tanaman disemprot menggunakan Fastac dan ditaburi Furadan, sedangkan untuk perlakuan SRI disemprot menggunakan biopestisida yang komposisi utamanya terdiri dari urine sapi, rempah-rempah (sereh, bawang putih, bawang merah, jahe, kunyit, kencur), alkohol, cuka dan air cucian beras. Resep pembuatan biopestisida ini didapatkan dari kelompok petani yang mengembangkan sistem pertanian organik di Sragen, Jawa Tengah. Pemupukan untuk perlakuan Non PTT dilakukan 3 kali, yaitu sebelum tanam (pemupukan I), 48 HSS (pemupukan II) dan 64 HSS (pemupukan III). Pada perlakuan PTT pemupukan dilakukan berdasarkan BWD, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Jika terdapat > 5 dari 10 warna daun yang diamati berada pada skala 2-3, berarti tanaman membutuhkan pupuk N. Cara pemupukan menggunakan BWD dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada SRI pemupukan dengan bahan organik 15 ton/ha dilakukan pada saat pengolahan tanah kedua. Jadwal pemupukan dan pengambilan sampel gas CH 4 dari semua 3) Klorofil Daun Klorofil daun diukur menggunakan klorofil meter pada daun ke-3 dari daun muda. Tanaman dipilih secara acak sebanyak 8 kali dalam setiap plotnya. 4) Biomassa Tanaman Pengambilan biomassa dilakukan sebanyak 5 kali, dengan mencabut tanaman sampai ke akarnya. Kemudian tanaman dicuci, dikeringanginkan lalu ditimbang bobot basahnya. Selanjutnya tanaman dioven pada suhu 70 C selama 48 jam lalu ditimbang bobot keringnya. 5) Pengukuran Eh dan ph Pengukuran Eh dan ph dilakukan di lapangan pada masing-masing plot menggunakan Eh meter dan ph meter. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel gas CH 4. Pada pengukuran Eh digunakan elektroda yang ditancapkan pada tanah dan telah dikalibrasi sebelumnya (Gambar 4). (a) (b) Gambar 4 (a) Pengukuran Eh (b) Pengukuran ph.

17 9 6) Pengambilan dan Pengukuran Gas Pengambilan gas CH 4 dilakukan secara manual di lapangan menggunakan boks berukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm yang terbuat dari fleksigas. Pada saat tanaman mencapai ketinggian >60 cm digunakan box tambahan berukuran 40 cm x 40 cm x 50 cm, agar tanaman dapat masuk seluruhnya ke dalam box. Sampel gas diambil pada pukul WIB menggunakan jarum suntik ukuran 5 ml dengan interval waktu pengambilan sampel setiap menit ke-6, 12, 18 dan 24. Pengambilan sampel dilakukan pada tempat yang sama yang telah diberi tanda (Gambar 5). Sampel gas yang ada dalam injektor dibawa ke laboratorium untuk dianalisis konsentrasi gas CH 4 -nya menggunakan kromatografi gas yang dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID). Data yang dihasilkan berupa puncak (peak) akan masuk ke dalam integrator untuk diinterpretasikan dalam bentuk area. Kemudian data akan dikonversi dalam bentuk ppm menggunakan rumus sebagai berikut : C = 10.1 ppm x Ac As Keterangan : C : Konsentrasi CH 4 (ppm) 10.1 : Konsentrasi CH 4 standar (ppm) As : Area standar CH 4 Ac : Area sampel CH 4 (a) Gambar 5 (b) (a) Box yang digunakan untuk menangkap gas dari tanah dan tanaman padi diletakkan pada tempat yang sama (b) Pengambilan sampel gas CH 4. Selanjutnya dibuat kurva linier untuk mencari perbedaan konsentrasi CH 4 per waktu (ppm/menit). Data yang didapat akan dimasukkan ke dalam rumus perhitungan Fluks gas CH 4, yaitu : F = dc dt Vch mw x x Ach mv x ( T ) F : Fluks gas CH 4 (mg/m 2 /hari) dc/dt : Perbedaan konsentrasi CH 4 per waktu (ppm/menit) Vch : Volume boks (m 3 ) Ach : Luas boks (m 2 ) mw : Berat molekul CH 4 (g) mv : Tetapan volume molekul CH 4 (22.41 l) T : Suhu rata-rata selama pengambilan sampel ( 0 C) Nilai : Tetapan suhu Kelvin (IAEA 1993) Selanjutnya dari nilai fluks CH 4 yang didapat, dapat dihitung total emisi gas CH 4 (kg/ha) yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan. 7) Data Panen Data yang dimasukkan adalah komponen hasil, baik biomassa panen (bobot jerami basah dan kering), hasil aktual panen Gabah Kering Giling (GKG) dengan kadar air 14% dan potensi hasil. Potensi hasil panen dihitung berdasarkan rumus : Potensi hasil (t/ha) = malai/rumpun x gabah/malai x % gabah isi/malai x berat 1000 butir x 10-7 Presentase gabah hampa dan isi diambil dari 4 rumpun tanaman, berat 1000 butir diambil dari 5 rumpun secara acak, berat jerami basah dan berat jerami kering diambil dari ubinan yang berukuran 2 x 3 m. d. Analisis Data Data emisi CH 4 dan beberapa parameter tanaman dianalisis menggunakan program analysis of varian (ANOVA) untuk melihat perbedaan antar perlakuan dengan program SAS versi Pengujian untuk melihat sejauh mana perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) yang dilanjutkan dengan analisis regresi untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati, yaitu jumlah anakan dan biomassa kering tanaman dengan fluks harian dan emisi CH 4.

18 10 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 6 Ilustrasi penanaman dan pemupukan tanaman padi pada perlakuan (a) Non PTT tergenang, (b) Non PTT intermittent, (c) PTT intermittent, (d) PTT tergenang dan (e) SRI. : Penggenangan : Pengeringan

19 11 HASIL a. Fluks dan Kumulatif Fluks CH 4 Pola fluks CH 4 secara umum selama satu musim tanam dapat dilihat pada Gambar 7. Fluks CH 4 dari kelima perlakuan mengalami peningkatan di awal pertumbuhan tanaman dan cenderung menurun ketika tanaman memasuki fase reproduktif sampai menjelang panen. Selain fase pertumbuhan tanaman, cara budidaya pertanian juga mempengaruhi fluks CH 4 yang dikeluarkan. Hal ini dapat terlihat dari adanya kesamaan pola fluks CH 4 pada perlakuan yang mengalami proses penggenangan-pengeringan (intermittent), di mana nilai fluks CH 4 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang mengalami penggenangan terus-menerus. Nilai fluks CH 4 tertinggi terdapat pada perlakuan PTT tergenang ( mg/m 2 /hari) dan Non PTT tergenang (633.8 mg/m 2 /hari). Proses penggenangan yang terus-menerus menyebabkan nilai Eh tanah semakin menurun dan menciptakan kondisi anaerob yang sangat sesuai bagi bakteri metanogen sebagai penghasil CH 4. Sebaliknya pada perlakuan yang mengalami proses pengairan intermittent, nilai fluks CH 4 tertinggi hanya sebesar mg/m 2 /hari untuk perlakuan PTT intermittent, mg/m 2 /hari untuk perlakuan SRI dan mg/m 2 /hari untuk perlakuan Non PTT intermittent. Data fluks CH 4 selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 4. Grafik kumulatif fluks CH 4 disajikan dalam Gambar 8. Selama pelaksanaan penelitian, secara kumulatif perlakuan PTT tergenang memiliki nilai fluks CH 4 tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan Non PTT tergenang, Non PTT intermittent, PTT intermittent dan terendah pada perlakuan SRI. Pada perlakuan Non PTT intermittent dan PTT intermittent nilainya tidak jauh berbeda. Pada periode pengeringan HSS dan HSS, pengukuran CH 4 dilakukan setiap hari untuk mengetahui besarnya perubahan fluks CH 4 selama pengeringan. Grafik perubahan fluks selama pengeringan disajikan pada Gambar 9 dan 10. Fluks CH 4 saat pengeringan HSS untuk perlakuan intermittent, yaitu Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI cenderung menurun. Pada awal pengeringan (57 HSS) fluks CH 4 tertinggi terdapat pada perlakuan SRI sebesar mg/m 2 /hari diikuti oleh PTT intermittent dan Non PTT intermittent sebesar dan mg/m 2 /hari (Lampiran 5). Pada pengukuran selanjutnya nilai fluks CH 4 terus menurun sampai akhir pengeringan (63 HSS) dimana nilai fluks CH 4 tertinggi terdapat pada perlakuan Non PTT intermittent sebesar mg/m 2 /hari, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI dan PTT intermittent sebesar dan mg/m 2 /hari. Nilai fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS tidak stabil. Secara keseluruhan nilainya lebih rendah dibandingkan dengan fluks saat pengeringan pada HSS. Selama periode pengeringan, nilai fluks CH 4 terendah terdapat pada hari terakhir pengeringan (80 HSS), yaitu sebesar mg/m 2 /hari untuk perlakuan PTT intermittent, 1.75 mg/m 2 /hari untuk Non PTT intermittent dan 9.02 mg/m 2 /hari untuk perlakuan SRI (Lampiran 5). Selain proses pengeringan fase pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi besarnya fluks CH 4 yang dikeluarkan. Pada saat pengeringan HSS tanaman memasuki fase vegetatif, di mana terdapat jumlah anakan maksimum yang mempengaruhi besarnya fluks CH 4. Sedangkan pada pengeringan HSS jumlah anakan aktif menurun, sehingga nilai fluks CH 4 lebih rendah. Grafik kumulatif fluks CH 4 pada saat pengeringan dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Dari gambar tersebut dapat diketahui perlakuan yang mengalami penurunan fluks CH 4 paling besar selama periode pengeringan. Gambar 11 (periode pengeringan HSS) menunjukkan bahwa perlakuan PTT intermittent mengalami penurunan paling besar, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI dan Non PTT intermittent. Pada Gambar 12 (periode pengeringan HSS) penurunan fluks CH 4 paling besar terdapat pada perlakuan SRI, sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent dan Non PTT intermittent penurunannya tidak berbeda jauh. Data kumulatif fluks CH 4 pada saat pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 5.

20 Non PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Non PTT Intermittent PTT Tergenang Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) Pemupukan I 25 HSS Pemupukan II & BWD I 48 HSS Pemupukan III & BWD III 64 HSS Panen P HSS Panen P HSS Hari setelah sebar (HSS) Keterangan : Pengeringan Gambar 7 Fluks CH 4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam. Kumulatif fluks CH 4 (mg/m 2 ) Non PTT Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent PTT Tergenang SRI Perlakuan tergenang Perlakuan intermittent Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) Keterangan : Pengeringan Hari setelah sebar (HSS) Gambar 8 Kumulatif fluks CH 4 dari kelima perlakuan selama satu musim tanam. Tergenang Hari setelah sebar (HSS) Non PTT Intermittent PTT Intermittent Gambar 9 Fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent. SRI Tergenang

21 Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) Tergenang Hujan Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Tergenang Hari setelah sebar (HSS) Gambar 10 Fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent. Fluks CH4 kumulatif (mg/m 2 ) Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Tergenang Tergenang Hari setelah sebar (HSS) Gambar 11 Kumulatif fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent. Fluks CH4 kumulatif (mg/m 2 ) Tergenang Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Tergenang Hari setelah sebar (HSS) Gambar 12 Kumulatif fluks CH 4 saat pengeringan pada HSS untuk perlakuan intermittent.

22 14 b. ph dan Potensial Redoks Tanah Tanah sawah umumnya memiliki ph netral. Hal ini disebabkan karena adanya proses penggenangan yang menyebabkan ph, baik pada tanah masam maupun tanah alkali berkisar antara 6-7. Perubahan ph setelah penggenangan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan besi feri menjadi fero, sulfat menjadi sulfida dan CO 2 menjadi CH 4 (Ismunadji et al. 1988). Sebagian besar bakteri metanogen adalah neutrofilik, yang hidup pada kisaran ph 6-8. Wang et al. (1993) menemukan bahwa pembentukan CH 4 secara maksimum akan terjadi pada kisaran ph Selama pelaksanaan penelitian, nilai ph pada tiap perlakuan berfluktuasi sesuai dengan kondisi tanah (Gambar 13). Pada awal musim tanam (16 HSS) nilai ph tanah berkisar antara kemudian mengalami penurunan dan kenaikan pada pengukuran-pengukuran selanjutnya. ph tanah untuk perlakuan tergenang cenderung mendekati netral, nilainya berkisar pada perlakuan Non PTT Tergenang dan pada PTT Tergenang sebelum panen. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa proses penggenangan menyebabkan tanah memiliki nilai ph berkisar antara 6-7. Sebaliknya pada perlakuan intermittent, kisaran nilai ph lebih luas, yaitu untuk perlakuan Non PTT Intermittent, untuk PTT Intermittent dan untuk SRI. Nilai ph tanah pada kondisi kering cenderung mengalami penurunan. Hal ini terbukti bahwa nilai ph setelah panen mengalami penurunan dari 6.29 menjadi 5.52 pada perlakuan Non PTT tergenang dan 6.00 menjadi 5.32 pada perlakuan PTT tergenang. Data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 6. Potensial redoks (Eh) merupakan suatu petunjuk status reaksi oksidasi-reduksi pada tanah. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik (aerob), sedangkan reaksi reduksi berkaitan dengan kondisi tanah tergenang. Potensial redoks merupakan faktor penting pengontrol pembentukan CH 4 (Wang et al. 1992). Bakteri Metanogen dapat bekerja optimal pada potensial redoks <-150 mv (Setyanto 2004), sedangkan Ponnamperuma (1972) menyebutkan bahwa pembentukan CH 4 akan terjadi pada kisaran potensial redoks -250 mv hingga -300 mv. Nilai Eh selama penelitian mengalami fluktuasi yang beragam (Gambar 14). Secara umum dari kelima perlakuan, nilai Eh tanah pada perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang selalu bernilai negatif, kecuali setelah panen. Kondisi tergenang membuat tanah berada dalam keadaan reduktif, sehingga menurunkan nilai Eh. Pada perlakuan Non PTT tergenang nilai Eh berkisar antara -184 mv hingga 217 mv (setelah panen), sedangkan pada PTT tergenang berkisar antara -188 mv hingga 281 mv (setelah panen) (Lampiran 7). ph 7,80 7,60 7,40 7,20 7,00 6,80 6,60 6,40 6,20 6,00 5,80 5,60 5,40 5,20 Pengeringan Non PTT Intermittent PTT Intermittent SRI Hari setelah sebar (HSS) Pengeringan Non PTT Tergenang PTT Tergenang Panen Gambar 13 Nilai ph selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan.

23 Non PTT Tergenang PTT Intermittent SRI Non PTT Intermittent PTT Tergenang Potensial Redoks (mv) Pengeringan Pengeringan Hari setelah sebar (HSS) Gambar 14 Nilai Eh selama pelaksanaan penelitian dari kelima perlakuan. Berbeda dengan perlakuan tergenang, perlakuan yang mengalami pengairan intermittent, memiliki kisaran nilai Eh yang beragam. Pada saat pengeringan nilai Eh cenderung naik bahkan positif. Perlakuan Non PTT intermittent memiliki kisaran nilai Eh antara -159 mv hingga 271 mv, PTT intermittent -148 mv hingga 350 mv (setelah panen) dan SRI -216 mv hingga 341 mv (setelah panen). Nilai Eh mempengaruhi fluks CH 4, semakin rendah nilai Eh maka semakin meningkatkan aktivitas bakteri metanogen sebagai penghasil CH 4 dalam tanah. c. Parameter-parameter Tanaman 1. Tinggi tanaman Perbedaan tinggi tanaman antar perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 2. Secara statistik berdasarkan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) tinggi tanaman pada 39 HSS berbeda nyata pada perlakuan PTT intermittent, PTT tergenang dan SRI. Sedangkan untuk perlakuan Non PTT tergenang dan Non PTT intermittent nilainya tidak berbeda nyata. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan PTT intermittent sebesar 45.9 cm dan nilai terendah terdapat pada perlakuan Non PTT intermittent sebesar 35.1 cm. Pada 52 HSS tinggi tanaman pada perlakuan Non PTT tergenang (52.9 cm) dan SRI (55.0 cm) tidak berbeda nyata, begitu juga dengan PTT intermittent (61.7 cm) dan PTT tergenang (60.1 cm). Sedangkan untuk Non PTT intermittent (45.6 cm) nilainya berbeda nyata di antara kelima perlakuan. Tinggi tanaman pada 66 dan 82 HSS berbeda nyata untuk perlakuan Non PTT tergenang, Non PTT intermittent dan SRI. Sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang nilainya tidak berbeda nyata. Tinggi tanaman pada pengukuran 96 dan 104 HSS tidak berbeda nyata untuk perlakuan Non PTT tergenang dan PTT intermittent serta untuk perlakuan Non PTT intermittent dan SRI. Nilai yang berbeda nyata terdapat pada perlakuan PTT tergenang dengan tinggi tanaman tertinggi di antara perlakuan lainnya. 2. Jumlah anakan Perbedaan jumlah anakan antar perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 2. Berdasarkan uji DMRT, jumlah anakan pada umur tanaman 39 HSS tidak berbeda nyata pada perlakuan Non PTT intermittent dan PTT Tergenang, begitu juga dengan perlakuan PTT intermittent dan SRI. Nilai yang berbeda nyata terdapat pada perlakuan Non PTT tergenang dengan jumlah anakan 6 malai. Jumlah anakan maksimum terdapat pada umur tanaman 66 HSS, dengan jumlah anakan terbanyak terdapat pada perlakuan Non PTT tegenang dan Non PTT intermittent masing-masing 16 malai, kemudian diikuti oleh perlakuan SRI sebanyak 13 malai dan jumlah anakan terendah terdapat pada perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang dengan jumlah anakan masing-masing 10 malai. Selanjutnya jumlah anakan semakin menurun seiring dengan masuknya fase reproduktif tanaman. Pada usia tanaman 82 HSS jumlah anakan pada perlakuan Non PTT Tergenang, Non PTT intermittent dan SRI nilainya tidak berbeda nyata, begitu juga dengan perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang nilainya tidak berbeda nyata di antara kedua perlakuan.

24 16 Tabel 2 Tinggi tanaman, jumlah anakan dan berat biomassa kering tanaman antar perlakuan Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) 39 HSS 52 HSS 66 HSS 82 HSS 96 HSS 104 HSS Non PTT Tergenang 36,8 c 52,9 b 69,1 b 86,0 b 94,2 b 94,3 b Non PTT Intermittent 35,1 c 45,6 c 62,5 c 77,1 c 87,7 c 86,6 c PTT Intermittent 45,9 a 61,7 a 78,8 a 96,8 a 95,9 b 96,0 b PTT Tergenang 41,2 b 60,1 a 78,4 a 98,9 a 100,6 a 99,4 a SRI 44,6 ab 55,0 b 64,8 bc 80,8 bc 84,9 c 85,5 c Jumlah Anakan Non PTT Tergenang 6 a 13 a 16 a 12 a 10 a 10 a Non PTT Intermittent 5 b 11 ab 16 a 11 a 9 a 9 a PTT Intermittent 5 ab 8 b 10 c 8 b 6 b 6 b PTT Tergenang 5 b 8 b 10 c 7 b 7 b 7 b SRI 6 ab 13 a 13 b 11 a 10 a 11 a Biomassa Kering (g) 40 HSS 53 HSS 67 HSS 83 HSS 97 HSS Non PTT Tergenang 1,0 a 3,7 b 18,7 a 39,2 a 45,0 a Non PTT Intermittent 1,1 a 3,5 b 18,8 a 29,6 a 45,0 a PTT Intermittent 2,3 a 7,4 a 22,5 a 44,9 a 41,0 a PTT Tergenang 1,9 a 3,2 b 20,3 a 47,8 a 39,1 a SRI 2,5 a 5,9 ab 32,9 a 52,5 a 49,9 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada p= Biomassa Tanaman Perbedaan nilai biomassa tanaman baik basah maupun kering disajikan dalam Tabel 2. Biomassa tanaman yang diukur adalah biomassa total tanaman, di mana bobot akar dan bobot tanaman bagian atas dihitung secara keseluruhan. Berdasarkan uji DMRT, Nilai biomassa kering pada 40 HSS, 67 HSS, 83 HSS dan 97 HSS tidak berbeda nyata antar perlakuannya. Pada 53 HSS nilai biomassa kering tanaman untuk perlakuan Non PTT tergenang (3.67 g), Non PTT intermittent (3.47 g) dan PTT tergenang (3.23 g) tidak berbeda nyata, sedangkan untuk perlakuan PTT intermittent dan SRI nilainya berbeda nyata antar perlakuan. d. Hubungan antara CH 4 dengan parameter tanaman 1. Hubungan antara CH 4 dengan jumlah anakan Banyaknya jumlah anakan juga mempengaruhi besarnya fluks CH 4 harian. Hubungan antara fluks CH 4 harian dengan jumlah anakan pada tanaman dapat dilihat dalam Gambar 15. Terdapat hubungan yang nyata antara jumlah anakan dengan fluks CH 4 harian pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI, sedangkan untuk perlakuan lainnya tidak berhubungan nyata (Lampiran 8). 2. Hubungan antara CH 4 dengan biomassa tanaman Biomassa tanaman total diduga mempengaruhi besarnya fluks harian CH 4. Hubungan antara biomassa kering tanaman dengan fluks harian CH 4 dapat dilihat dalam Gambar 16. Nilai biomassa kering dengan fluks CH 4 harian berkorelasi pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI, sedangkan untuk kedua perlakuan lainnya tidak berhubungan nyata (Lampiran 8). e. Hasil dan komponen hasil Hasil gabah (baik aktual maupun potensial hasil) dan emisi CH 4 dari semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut diketahui bahwa nilai biomassa panen dan gabah kering giling (GKG) bersih dari keempat perlakuan, yaitu Non PTT tergenang, Non PTT intermittent, PTT intermittent dan PTT tergenang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Perlakuan SRI menunjukkan perbedaan nyata dengan nilai biomassa panen dan GKG bersih paling rendah, yaitu 2.50±0.31 t/ha dan 2.41±0.34 t/ha. Selain hasil panen aktual, nilai potensial hasil panen juga dihitung untuk mengetahui hasil panen optimum yang diharapkan dari tiap perlakuan. Perlakuan PTT intermittent memiliki potensi hasil panen terbesar, yaitu 10.61±1.00 t/ha, sedangkan untuk perlakuan Non PTT tergenang (9.08±0.30 t/ha) dan PTT tergenang

25 17 a. Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) b y = 3.16x x r = 0.916**, n= Jumlah anakan 39 HSS 52 HSS 66 HSS 82 HSS Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) a. b y = 3.42x x r = 0.888**, n= Biomassa kering (g) 40 HSS 53 HSS 65 HSS Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) c. Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) * Nyata pada taraf 5% ** Nyata pada taraf 5% dan 1% y = 10.02x x r = 0.847**, n= Jumlah anakan HSS 52 HSS 66 HSS 82 HSS y = 2.13x x r = 0.731**, n= Jumlah anakan 39 HSS 52 HSS 66 HSS 82 HSS Gambar 15 Hubungan antara jumlah anakan (x) dengan fluks CH 4 harian (y) pada perlakuan (a) Non PTT intermittent, (b) PTT intermittent dan (c) SRI. Fluks CH 4 (mg/m 2 /hari) Fluks CH4 (mg/m 2 /hari) c * Nyata pada taraf 5% ** Nyata pada taraf 5% dan 1% y = 0.60x x r = 0.924**, n= Biomassa kering (g) 40 HSS 53 HSS 65 HSS y = 0.18x x r = 0.78*, n= Biomassa kering (g) 40 HSS 53 HSS 65 HSS Gambar 16 Hubungan antara biomassa kering (x) dengan fluks CH 4 harian (y) pada perlakuan (a) Non PTT intermittent, (b) PTT intermittent dan (c) SRI.

26 18 Tabel 3 Emisi CH 4 dan komponen hasil dari kelima perlakuan selama satu musim tanam Perlakuan Biomassa panen GKG Bersih KA 14% Potensi hasil 1 Emisi CH 4 (kg/ha/musim tanam) t/ha Non PTT tergenang 8,70 + 0,82 a 6,72 + 0,19 a 9,08 + 0,30 b 282, ,46 b Non PTT intermittent 7,18 + 0,63 a 6,49 + 1,15 a 8,14 + 1,16 bc 57,87 + 6,76 c PTT intermittent 8,80 + 1,62 a 6,76 + 0,14 a 10,61 + 1,00 a 78, ,02 c PTT tergenang 8,81 + 1,03 a 7,10 + 0,08 a 8,81 + 0,74 b 347, ,41 a SRI 2,50 + 0,31 b 2,41 + 0,34 b 7,30 + 0,60 c 60,73 + 9,13 c 1 Potensi hasil dihitung berdasarkan rumus : Potensi hasil = malai/m 2 x gabah/malai x % gabah isi x berat 1000 butir pada KA 14% x 10-7 (8.81±0.74 t/ha) nilainya tidak berbeda nyata. Perlakuan Non PTT intermittent (8.14±1.16) dan SRI (7.30±0.60) nilainya berbeda nyata dari perlakuan lainnya. Total emisi CH 4 dari kelima perlakuan bervariasi. Emisi CH 4 tertinggi terdapat pada perlakuan tergenang, yaitu PTT tergenang sebesar ±28.41kg/ha/musim tanam, sedangkan perlakuan Non PTT tergenang nilainya masih lebih rendah ±36.46 kg/ha/musim tanam. Emisi CH 4 pada perlakuan intermittent tidak berbeda nyata antar perlakuannya, yaitu 57.87±6.76 kg/ha/musim tanam untuk Non PTT intermittent, 60.73±9.13 kg/ha/musim tanam untuk SRI dan 78.33±42.02 kg/ha/musim tanam untuk PTT intermittent. Berdasarkan tabel tersebut nilai CV (coefisien of varian), yaitu variasi nilai emisi CH 4 antar ulangan dari tiap perlakuan cukup baik. Perlakuan PTT tergenang memiliki nilai CV terendah, yaitu sebesar 8.19%, kemudian diikuti oleh perlakuan Non PTT intermittent (11.7%), Non PTT tergenang (12.9%), SRI (15%) dan PTT intermittent (53.6%). Variasi yang besar pada plot PTT intermittent diduga disebabkan pada saat dilakukan pengukuran kondisi lahan atau tanah tidak sama, ada yang sudah mengalami kondisi reduksi dan sebagian mengalami oksidasi. Kondisi ini disebabkan oleh kemiringan lahan yang tidak sama. PEMBAHASAN Pola fluks CH 4 selama penelitian dari kelima perlakuan berfluktuasi sesuai dengan kondisi tanah. Nilai fluks CH 4 tertinggi terdapat pada perlakuan yang mengalami penggenangan terus-menerus, yaitu Non PTT tergenang dan PTT tergenang. Proses penggenangan menciptakan kondisi anaerob yang dapat meningkatkan ph dan sekaligus menurunkan Eh tanah. Hasil pengukuran ph tanah selama penelitian menunjukkan kisaran ph untuk perlakuan Non PTT tergenang dan untuk perlakuan PTT tergenang. Nilai ph yang cenderung netral tersebut akan menghasilkan CH 4 yang optimum. Hal ini disebabkan tingginya aktivitas bakteri metanogen sebagai penghasil CH 4 yang hidup pada kisaran ph antara 6-8. Menurunnya nilai Eh pada saat penggenangan disebabkan oleh turunnya jumlah oksigen dalam tanah yang disertai dengan meningkatnya aktivitas bakteri metanogen dan kondisi anaerobik dengan nilai Eh kurang dari -150 mv (Setyanto 2004). Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tanaman padi mempunyai jaringan khusus (aerenkima) berupa rongga-rongga udara, di mana udara dapat diangkut dari pucuk daun menuju akar, sehingga kerusakan akar karena keadaan anaerob dapat diatasi. Dalam kondisi tergenang bahan organik juga akan melapuk lebih lambat dan kurang sempurna dibandingkan pada lahan kering. Setyanto et al. (1999) mengemukakan bahwa kondisi tanah dengan penggenangan berlanjut (continuosly flooded) relatif mengemisi CH 4 lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi tanah macakmacak dan pengairan terputus. Hal ini sesuai

27 19 dengan hasil penelitian, bahwa perlakuan yang mengalami pengairan berselang (intermittent) yaitu PTT intermittent, Non PTT intermittent dan SRI menghasilkan fluks CH 4 yang lebih rendah. Adanya pengeringan menciptakan kondisi aerob pada tanah dan mengaktifkan bakteri metanotrof yang berperan mengoksidasi CH 4 menjadi CO 2. Sehingga lebih banyak CH 4 yang teroksidasi sebelum dilepas ke atmosfer. Setyanto (2004) mengemukakan bahwa dari seluruh CH 4 yang diproduksi dalam tanah hanya 16.6% yang diemisikan dan sisanya dioksidasi. Rendahnya emisi CH 4 pada pengairan intermittent disebabkan tidak terjadinya perubahan reduksi yang tajam pada tanah sehingga dekomposisi secara anaerobik tidak berlangsung. Perlakuan intermittent memang ditujukan untuk mengatur kondisi lahan dalam keadaan kering-tergenang secara bergantian. Selain menghemat air irigasi, dengan intermittent dapat memberi kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam. Menurut panduan mengenai PTT yang dikeluarkan oleh BPTP (2004) disebutkan bahwa pengairan berselang memberikan manfaat pada lahan pertanian, antara lain dapat mencegah timbulnya keracunan besi, mencegah penimbunan bahan organik dan gas H 2 S yang dapat menghambat perkembangan akar, mengaktifkan mikroba yang bermanfaat, mengurangi kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah dan mempercepat waktu panen, serta memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah. Selain fluks CH 4 yang rendah, perlakuan intermittent juga mempengaruhi banyaknya jumlah anakan. Jumlah anakan pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI berhubungan nyata pada taraf 1% dan 5% serta berkorelasi dengan fluks CH 4. Sedangkan pada perlakuan Non PTT tergenang dan PTT tergenang jumlah anakan dan fluks CH 4 tidak berhubungan nyata. Pada kondisi tergenang, kemungkinan CH 4 dilepas melalui cara lain seperti pelepasan dalam bentuk gelembung udara (ebulisi), proses difusi atau melalui pembuluh aerenkima yang terdapat pada gulma. Aulakh et al. (2000) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anakan dapat meningkatkan jumlah aerenkima sehingga kapasitas angkut CH 4 menjadi lebih besar. Aerenkima merupakan jaringan khusus yang umumnya terdapat pada vegetasi lahan basah yang menjadi cerobong pelepasan CH 4 ke atmosfer. Biomassa kering tanaman juga berkorelasi dengan fluks CH 4 pada perlakuan Non PTT intermittent, PTT intermittent dan SRI. Biomassa kering yang diukur adalah biomassa total tanaman, yaitu bagian atas dan akar tanaman. Perlakuan SRI memiliki biomassa kering terbesar dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada pengukuran ke-67 HSS, hal ini diduga karena pengaturan jarak tanam lebar pada perlakuan SRI menyebabkan perkembangan perakaran yang lebih baik, sehingga mempengaruhi berat biomassa tanaman. Penerapan tanam bibit muda (15 HSS) pada perlakuan PTT dan SRI mempengaruhi umur tanaman. Waktu panen untuk kedua perlakuan tersebut, baik perlakuan dengan pengairan intermittent maupun tergenang menjadi lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan Non PTT yang ditanami dengan bibit 25 HSS. Seperti yang tercantum dalam buku panduan PTT yang dikeluarkan oleh BPTP (2004), dikemukakan bahwa terdapat beberapa keuntungan menanam padi dengan menggunakan bibit muda, di antaranya bibit akan lebih cepat beradaptasi dengan kondisi tanah setempat, akar menjadi lebih kuat dan dalam, tanaman akan menghasilkan anakan lebih banyak, tahan rebah, tahan kekeringan dan dapat menyerap pupuk lebih efisien. Perbedaan jarak tanam antar perlakuan juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil panen secara aktual. Secara umum perlakuan PTT dengan jarak tanam 10 x 20 cm dengan legowo 40 cm, memiliki hasil panen lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan Non PTT. Jumlah gabah/malai baik untuk perlakuan PTT intermittent dan PTT tergenang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan Non PTT dan SRI (Lampiran 8). Jarak tanam tersebut mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman. Fotosintesis menjadi lebih sempurna karena tanaman cukup mendapatkan cahaya matahari. Aktivitas fotosintesis ini sangat penting terutama setelah stadia terbentuknya bunga sampai saat pengisian gabah dan sekaligus untuk mempertahankan aktivitas akar. Barisan rumpun tanaman pada sistem tanam jajar legowo berada pada bagian pinggir, yang biasanya memberi hasil panen lebih tinggi (efek tanaman pinggir). Adanya baris kosong (legowo) menyebabkan penyerapan nutrisi oleh akar menjadi lebih sempurna dan tentunya mempengaruhi

28 20 pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana tinggi tanaman pada perlakuan PTT lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pemupukan selain mempengaruhi pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi hasil panen. Jika dilihat dari penampakan morfologinya, tanaman padi pada perlakuan PTT memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan Non PTT dan SRI. Perlakuan PTT menerapkan pemupukan berimbang antara pupuk organik dan anorganik. Pupuk anorganik yang diberikan tidak berlebihan dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman berdasarkan bagan warna daun (BWD). Daun tanaman padi pada perlakuan SRI tampak menguning, yang disebabkan tanaman tersebut kekurangan unsur N pada tanah. Nitrogen dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar karena merupakan unsur pembentuk molekul organik yang penting bagi tanaman, misalnya dalam pembentukan asam amino, protein, enzim, asam nukleat dan klorofil. Nitrogen diserap tanaman dalam - bentuk ion NO 3 dan NH + 4. Tanaman yang kekurangan N menunjukkan pertumbuhan yang kerdil, khlorosis, daun berwarna kuning karena kekurangan klorofil dan pada gejala yang lebih parah daun akan mengering dan gugur. Sebaliknya, tanaman padi yang banyak menyerap unsur N akan berwarna hijau, tinggi, tunas banyak, ukuran daun dan gabah lebih besar, kualitas gabah dan kadar protein lebih tinggi (Ismunadji et al. 1993). Tingkat hijau daun (klorofil) dari kelima perlakuan dapat dilihat dalam Lampiran 9. Pemberian N dalam tanah juga mempercepat pembusukan bahan organik. Terdapat peningkatan produktivitas sebesar 5.40% dengan menerapkan sistem PTT tergenang dibandingkan dengan Non PTT tergenang. Begitu juga dengan penerapan PTT intermittent di mana terdapat peningkatan produktivitas sebesar 3.93% dibandingkan dengan menerapkan sistem Non PTT intermittent. Pemberian pupuk yang berimbang dan penerapan beberapa komponen PTT, di antaranya penggunaan bibit muda, perlakuan jarak tanam legowo dan beberapa komponen PTT lainnya menjadi faktor penyebab teknologi PTT ini dapat memberikan hasil panen yang tinggi. Cara intermittent mampu menekan emisi CH 4 secara signifikan. Dengan menerapkan sistem Non PTT intermittent emisi CH 4 yang dapat ditekan sebesar 79.55% dibandingkan dengan Non PTT tergenang. Demikian halnya untuk PTT intermittent dapat menekan emisi CH 4 sebesar 77.43% dibandingkan dengan PTT tergenang. Sistem SRI juga mampu menekan emisi CH 4 sebesar 82.5% dibandingkan dengan PTT tergenang. Emisi CH 4 yang dihasilkan oleh PTT tergenang lebih besar 18.47% dibandingkan dengan Non PTT tergenang. Demikian halnya apabila dibandingkan antara Non PTT intermittent dan PTT intermittent, di mana PTT intermittent menghasilkan emisi CH 4 sebesar 26.12% dibandingkan dengan Non PTT intermittent. Perlakuan SRI menghasilkan emisi CH 4 lebih rendah 22.47% dibandingkan dengan PTT intermittent. Hal ini diduga disebabkan oleh jumlah anakan per satuan luas yang lebih banyak pada sistem PTT dibandingkan dengan Non PTT dan SRI. Hasil panen untuk perlakuan SRI, baik aktual maupun potensi hasil jauh lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan PTT dan Non PTT. Hal ini diduga karena unsur N yang dibutuhkan oleh tanaman padi tidak sepenuhnya disediakan oleh pupuk kandang yang diberikan pada tanah dengan sistem SRI. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa hasil panen pada perlakuan SRI menjadi tidak optimal. Grafik korelasi antara hasil panen (kg/ha) dan total emisi (kg/ha) tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata (Lampiran 10). Hal ini membuktikan bahwa untuk mendapatkan hasil panen yang tinggi tidak selalu diikuti dengan besarnya total emisi CH 4 yang dikeluarkan. Cara budidaya yang baik adalah budidaya padi dimana menghasilkan total emisi yang rendah, tetapi tetap dengan hasil panen yang tinggi sehingga tidak merugikan petani. IRRI (2000) menyatakan bahwa diperlukan upaya mitigasi emisi metan dari tanah sawah beririgasi, yang dapat dilakukan melalui (1) penerapan drainase temporer di mana selain dapat menurunkan laju emisi CH 4 juga dapat meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan air, (2) penggunaan kultivar padi sawah modern dengan karakteristik eksudasi akar yang rendah sehingga secara relatif laju emisi CH 4 akan menurun dan (3) penekanan peningkatan emisi CH 4 akibat penggunaan bahan organik dengan menerapkan perlakuan terhadap bahan organik sebelum diaplikasikan, misalnya dikomposkan, di mana hal tersebut juga berdampak positif terhadap peningkatan kesuburan tanah.

29 21 SIMPULAN Hasil penelitian selama satu musim tanam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan emisi antar sistem PTT maupun Non PTT. Total emisi CH 4 yang dihasilkan pada Non PTT tergenang sebesar kg/ha/musim tanam, Non PTT intermittent sebesar kg/ha/musim tanam, PTT intermittent sebesar kg/ha/musim tanam, PTT tergenang sebesar kg/ha/musim tanam dan SRI kg/ha/musim tanam. Mekipun ada kenaikan produksi antara 3.9%-5.4% dengan menerapkan sistem PTT tetapi emisi yang dihasilkan lebih tinggi 18.47%-26.12%. Sistem intermittent mampu menekan emisi CH 4 antara 77.43%-79.55% dibandingkan dengan sistem penanaman padi tergenang. Terdapat hubungan yang nyata antara jumlah anakan dan biomassa kering tanaman dengan fluks CH 4 pada sistem intermittent. SARAN Penelitian ini dilaksanakan pada musim kemarau, sebaiknya penelitian juga dilakukan pada musim tanam berikutnya, yaitu musim hujan untuk melihat perbedaan penerapan sistem irigasi intermittent sehingga diperoleh data yang lebih lengkap. DAFTAR PUSTAKA Achtrich C, Schuhmann A, Wind T, Conrad R Role of interspecies H 2 transfer to sulfate and ferric iron reducing bacteria in anoxic paddy soil. J Microbiol Ecol 16: Apriyanto Fluks metana (CH 4 ) dari sawah vertisol beririgasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Arafah Pengkajian intensifikasi padi sawah berdasarkan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. J Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(2). [terhubung berkala]. litbang. deptan. go.id/html.tp.009. html [05 Jan 2007]. Aulakh MS, Bodenbender J, Wassman R, Renneberg H Methane transport capacity of rice plant II, variation among different rice cultivar and relationship with morphological characteristic. J Nut Cycl in Agroecosyst 58: Balasubramanian V et al Integrated Crop Management (ICM): Field Evaluation and Lessons Learnt. Di dalam: Sumarno, Suparyono, Fagi AM, Adnyana MO, editor. Rice Industry, Culture and Environment. Book 1. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hlm [Balitpa] Balai Penelitian Tanaman padi Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Subang: Balai Penelitian Tanaman Padi. [BPTP] Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah. Bogor: BPPTP. Ciceron RJ, Oremland RS Biogeochemical aspects of atmospheric methane. J Global Biogeochem cycle 2: Hakim et al Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Universitas lampung. [IAEA] International Atomic Energy Agency Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural Vienna: IAEA. [IPCC] Intergovernmnetal Panel on Climate Change The supplementary Report to the IPCC Scientific. [IRRI] International Rice research Institute Rice Production, Methane Emission, and Global Warming:Link and Effects. Los Banos: IRRI. Ismunadji M, Partohardjono S, Syam M, Widjono A Padi Buku 1. Bogor:

30 22 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ismunadji M, Partohardjono S, Syam M, Widjono A Padi Buku 2. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kononova MM Soil Organic Matter. Oxford: Pergamon Press Ltd. Lindau CW, Bollich PK Methane emission from Lousiana first and ratoon crop rice. J Soil Sci 156: Lis Model inovasi kelembagaan dalam prima tani. Primatani.litbang.deptan.go.id/index php? option=comcontent&task=blogcategory&i d=47&itemid64&limit=9&limitstart=9.ht ml [05 Jan 2007]. Naharia O Teknologi pengairan dan pengolahan tanah pada budidaya padi sawah untuk mitigasi gas metana (CH 4 ) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nugroho et al Effect of intermittent irrigation on methane emission from an Indonesian paddy field. J Soil Sci Plant Nutr 10(4): Ponnamperuma FN The chemistry of submerged soils. J adv agrm 24: [Puslitbangtan] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Meningkatkan kualitas pangan /28/cakrawala/profil. htm. [05 Jan 2007]. Schutz et al A three year continous record on the influence of daytime season and fertilizer treatment on methane emission rate from an Italian rice paddy field. J Geophy Res 94: Seiler WA, Holzapfel-Pschorn, Conrad R, Schcarffe D Methane emission from rice paddies. J Atmos Chem 1: Setyanto P, Suharsih, Makarim AK, Sasa J Inventarisasi emisi dan mitigasi gas CH4 pada lahan sawah di Jakenan. Simposium Tanaman Pangan IV; Bogor, Nov Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Setyanto P Methane emission and its mitigation in rice field under different management practices in central java [disertasi]. Serdang: Program pascasarjana, University Putra Malaysia. Setyanto P Mitigasi Gas Metan dari Lahan Sawah. Di dalam: Agus F et al., editor. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm Setyanto P Varietas padi rendah emisi gas rumah kaca. Warta Penelitian dan Pengembangan pertanian 28(4). [terhubung berkala]. deptan.go.id/publication/wr pdf. [05 Jan 2007]. Sudadi U Produksi padi dan pemanasan global: Tanah sawah bukan sumber utama emisi metan. dadi.html [07 Jan 2007]. Toha HM, Permadi K, Prayitno, Yuliardi I Peningkatan produksi padi gogo melalui model pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan; Bogor, 28 Juli Bogor: BPTP Jawa Barat. hlm Uphoff N dan Satyanarayana A Prospects for rice sector improvement with the system of rice intensification, with evidence from India. Di dalam Di dalam: Sumarno, Suparyono, Fagi AM, Adnyana MO, editor. Rice Industry, Culture and Environment. Book 1. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi hlm Wang ZP, Delaune RD, Masscheleyn PH, Patrick Jr WH Soil redox and ph effects on methane production in a flooded rice soil. J Soil Sci Soc Atm 57: Wang ZP, Lindau CW, Delaune RD, Patrick Jr WH Methane production from anaerobic soil amended with rice straw

31 23 and nitrogen fertilizers. J Fertl Researc 33: Widiarta IN, Hendarsih Integrasi sistem pengendalian hama terpadu ke dalam model pengelolaan tanaman terpadu. id/publication/wr pdf. [05 Jan 2007]. Wihardjaka A Varietas padi unggul dengan emisi gas metana rendah /pdf/varietas%20padi%20unggul%20d engan%20emisi%20gas%20metana%20re ndah.pdf. [ 05 Jan 2007]. Yagi K dan Minami K Effects of organic matter applications on methane emisión from Japanese paddy fields. Di dalam: Bouwan AF, editor. Soil and the Greenhouse Effect New York: John Wiley and Sons. hlm Zehnder AJB, Stumm W Geochemistry and Biogeochemistry of Anaerobic Habitats. Di dalam: Zehnder AJB, editor. Biology of Anaerobic Organisms. New York: John Wiley & Sons. hlm 1-38.

32 LAMPIRAN 24

33 25 Lampiran 1 Deskripsi padi varietas ciherang (Balitpa 2004) Asal persilangan : IR /IR //IR ///IR 64////IR 64 Umur tanaman : hari Bentuk tanaman : tegak Tinggi tanaman : cm Anakan produktif : batang Warna kaki : hijau Warna batang : hijau Warna daun telinga : putih Warna lidah daun : putih Warna daun : hijau Muka daun : kasar pada sebelah bawah Posisi daun : tegak Daun bendera : tegak Bentuk gabah : panjang ramping Warna gabah : kuning bersih Kerontokan : sedang Kerebahan : sedang Tekstur nasi : pulen Kadar amilosa : 23 % Bobot 1000 butir : g Potensi hasil : ton/ha Ketahanan terhadap - hama : tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3 - penyakit : tahan terhadap bakteri hawar daun (HDB) strain III dan IV Anjuran tanam : cocok ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian dibawah 500 m dpl Pemulia : Tarjat T, Z A Simanullang, E Sumadi dan Aan A. Daradjat Dilepas tahun 2000

34 Lampiran 2 Cara pemupukan nitrogen dengan Bagan Warna Daun (BWD) Cara menggunakan BWD : 1. Pemupukan dasar atau pemupukan pertama N dengan takaran kg/ha dilakukan sebelum tanaman padi berumur 14 hari atau sebelum 14 hari setelah tanam pindah (14 hst). Pada pemupukan pertama ini BWD tidak perlu digunakan. 2. Pengukuran dengan BWD diawali pada hst, dilanjutkan setiap 7-10 hari sekali sampai fase primordia (pada padi hibrida dan padi tipe baru sampai 10% tanaman berbunga). 3. Pilih secara acak 10 rumpun tanaman sehat pada hamparan yang seragam, lalu pilih daun teratas yang telah membuka penuh pada satu rumpun. 4. Letakkan bagian tengah daun di atas BWD dan bandingkan warnanya. Jika warna daun berada diantara 2 skala, digunakan nilai rata-ratanya, misalnya 3.5 untuk warna 3 dan Sewaktu mengukur dengan BWD, jangan menghadap sinar matahari, sebab dapat mempengaruhi pengukuran warna. 6. Bila memungkinkan, setiap pengukuran dilakukan pada waktu yang sama oleh orang yang sama. 7. Dari 10 daun yang diamati, jika lebih dari 5 daun warnanya dalam batas kritis, yaitu dibawah skala 4.0, maka diberikan : a. Sebanyak kg urea/ha pada musim hasil rendah (di tempat-tempat tertentu seperti Subang, hasil musim kemarau biasanya lebih rendah daripada musim hujan). b. Sebanyak kg urea/ha pada musim hasil tinggi (di tempat-tempat tertentu, seperti Kuningan, hasil musim kemarau biasanya lebih tinggi dari musim hujan). c. Sebanyak 100 kg urea/ha pada pdi hibrida dan padi tipe baru, baik pada musim hasil rendah maupun musim hasil tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA. Tujuan Mendapatkan informasi status emisi gas metan (CH 4 ) pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi di lahan pertanian.

TINJAUAN PUSTAKA. Tujuan Mendapatkan informasi status emisi gas metan (CH 4 ) pada berbagai sistem pengelolaan tanaman padi di lahan pertanian. 2 lahan sawah tadah hujan. Pemberian bahan organik pada sistem ini berpotensi meningkatkan emisi GRK. Disisi lain sistem PTT juga menerapkan irigasi intermittent yang diduga dapat menurunkan emisi GRK.

Lebih terperinci

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) PENDAHULUAN Pengairan berselang atau disebut juga intermitten adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian untuk:

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN ADI BUDI YULIANTO F14104065 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Dinamika Unsur Hara pada Berbagai Sistem Pengelolaan Padi Sawah 4.1.1. Dinamika unsur N Gambar 12 menunjukkan dinamika unsur nitrogen di dalam tanah pada berbagai sistem pengelolaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007)

Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007) Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007) Asal persilangan : IR 18349-53-1-3-1-3/IR 19661-131-3-1//IR 19661-131-3-1///IR 64////IR 64 Umur tanaman : 116-125 hari Bentuk tanaman

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI Oleh : YANUESTIKA DWIJAYANTI F14103011 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut 4 perbedaan antar perlakuan digunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan emisi CH 4. HASIL a. Fluks CH 4 selama

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia dewasa ini memerlukan kerja keras dengan melibatkan puluhan juta orang yang berhadapan dengan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU BPTP RIAU 2012 PENDAHULUAN Kebutuhan beras sebagai sumber kebutuhan

Lebih terperinci

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification)

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification) BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification) PRINSIP S R I Oleh : Isnawan BP3K Nglegok Tanaman padi diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya Semua unsur potensi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat 18 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan

Lebih terperinci

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari:

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari: AgroinovasI Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Rawa Meningkatkan Produktivitas Dan Pendapatan Petani Di Lampung, selain lahan sawah beririgasi teknis dan irigasi sederhana, lahan rawa juga cukup potensial

Lebih terperinci

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH Asmarhansyah 1) dan N. Yuliani 2)

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS): INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN

PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS): INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS): INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN Ameilia Zuliyanti Siregar Departemen Agroekoteknologi Fakultas Pertanian zuliyanti@yahoo.com,azs_yanti@gmail.com Pendahuluan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah respon petani terhadap kegiatan penyuluhan PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II,

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR Oleh : Ir. Indra Gunawan Sabaruddin Tanaman Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman penting karena merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan Februari-Juli 2016. Percobaan dilakukan di Rumah Kaca dan laboratorium Kimia

Lebih terperinci

Pemanasan global (global warming) yang disebabkan

Pemanasan global (global warming) yang disebabkan SETYANTO DAN KARTIKAWATI: PENGELOLAAN TANAMAN PADI RENDAH EMISI GAS METAN Sistem Pengelolaan Tanaman Padi Rendah Emisi Gas Metan Prihasto Setyanto dan Rina Kartikawati Balai Penelitian Lingkungan Pertanian

Lebih terperinci

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Jakarta

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Jakarta No. 05 / Brosur / BPTP Jakarta / 2008 PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI SAWAH DI JAKARTA DEPARTEMEN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAKARTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teoritis 2.1.1. Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan September 2011 di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan, IPB Darmaga Bogor. Analisis tanah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN RAWA LEBAK

PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN RAWA LEBAK AgroinovasI PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN RAWA LEBAK Lahan rawa lebak merupakan salahsatu sumberdaya yang potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian tanaman pangan di Provinsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 4.1.1. Karbondioksida (CO 2 ) Keanekaragaman nilai fluks yang dihasilkan lahan pertanian sangat tergantung pada sistem pengelolaan lahan tersebut.

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA PADI DENGAN METODE S.R.I ( System of Rice Intensification ) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK POWDER 135

TEKNIK BUDIDAYA PADI DENGAN METODE S.R.I ( System of Rice Intensification ) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK POWDER 135 TEKNIK BUDIDAYA PADI DENGAN METODE S.R.I ( System of Rice Intensification ) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK POWDER 135 PUPUK ORGANIK POWDER 135 adalah Pupuk untuk segala jenis tanaman yang dibuat dari bahan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture. Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau

TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture. Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau Green Economy and Locally Appropriate Mitigation Actions in Indonesia Latar Belakang Perubahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Contoh Tanah Hasil analisa sudah diketahui pada Tabel 4.1 dapat dikatakan bahwa tanah sawah yang digunakan untuk penelitian ini memiliki tingkat kesuburan

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Karakteristik Lahan Sawah Bukaan Baru Pada dasarnya lahan sawah membutuhkan pengolahan yang khusus dan sangat berbeda dengan lahan usaha tani pada lahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi sejak tahun 80-an telah memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini berdampak kepada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT

DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT Penerapan Padi Hibrida Pada Pelaksanaan SL - PTT Tahun 2009 Di Kecamatan Cijati Kabupaten Cianjur Jawa Barat Sekolah Lapang (SL) merupakan salah satu metode

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, umur masak, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta rasa nasi. Umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai

Lebih terperinci

Pupuk Organik Powder 135 (POP 135 Super TUGAMA)

Pupuk Organik Powder 135 (POP 135 Super TUGAMA) Penggunaan pupuk kimia atau bahan kimia pada tanaman, tanpa kita sadari dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti terlihat pada gambar di atas. Oleh karena itu beralihlah ke penggunaan pupuk organik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Padi IP 400. Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Padi IP 400. Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang TINJAUAN PUSTAKA Padi IP 400 Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang mengalami pengindentifikasian guna meningkatkan produksi padi tanpa memerlukan tambahan fasilitas irigasi dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36,

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36, 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di lahan sawah irigasi Desa Sinar Agung, Kecamatan Pulau Pagung, Kabupaten Tanggamus dari bulan November 2014 sampai April

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN VARIETAS UNGGUL PADI RAWA PADA 2 TIPE LAHAN RAWA SPESIFIK BENGKULU

PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN VARIETAS UNGGUL PADI RAWA PADA 2 TIPE LAHAN RAWA SPESIFIK BENGKULU PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN VARIETAS UNGGUL PADI RAWA PADA 2 TIPE LAHAN RAWA SPESIFIK BENGKULU BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN

Lebih terperinci

Implementasi Budidaya Tanaman Padi. Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu. Oleh : ASEP FIRMANSYAH

Implementasi Budidaya Tanaman Padi. Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu. Oleh : ASEP FIRMANSYAH Implementasi Budidaya Tanaman Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu Oleh : ASEP FIRMANSYAH Produksi padi nasional belum mencapai target sementara kebutuhan beras nasional terus meningkat Telah terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH 11:33 PM MASPARY Selain ditanam pada lahan sawah tanaman padi juga bisa dibudidayakan pada lahan kering atau sering kita sebut dengan budidaya padi gogo rancah. Pada sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim global merupakan salah satu issu lingkungan penting dunia dewasa ini, artinya tidak hanya dibicarakan di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Padi. L.) merupakan tanaman pangan golongan Cerealia

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Padi. L.) merupakan tanaman pangan golongan Cerealia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Budidaya Padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan golongan Cerealia (Marlina,2012), Batang pada tanaman padi beruas-ruas yang di dalamnya berongga (kosong), biasanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI Prof. Dr. Marwoto dan Prof. Dr. Subandi Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MALANG Modul B Tujuan Ikhtisar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Penelitian terdiri dari percobaan lapangan dan analisis tanah dan tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian tanaman pangan merupakan sektor pertanian yang memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, Kasihan, Bantul dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso BUDIDAYA PADI RATUN Marhaenis Budi Santoso Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui peningkatan indeks panen dan peningkatan produksi tanaman setiap musim tanam. Padi Ratun merupakan salah satu

Lebih terperinci

bahasa Perancis dinamakan Le Syst me de Riziculture Intensive disingkat RSI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification

bahasa Perancis dinamakan Le Syst me de Riziculture Intensive disingkat RSI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification Pendahuluan System of Rice Intensification (SRI) merupakan sistem budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien berbasis pada pengelolaan tanaman, biologi tanah, tata air dan pemupukan secara terpadu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi CO 2. lingkungan yang belum ada mekanisme pasarnya. Jenis barang dan jasa yang

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi CO 2. lingkungan yang belum ada mekanisme pasarnya. Jenis barang dan jasa yang TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi CO 2 Lahan Sawah Lahan pertanian bukan hanya menghasilkan barang dan jasa yang dapat langsung dinilai harganya berdasarkan harga pasar, tetapi juga memberikan jasa lingkungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah 54 II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktivitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran. 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan 4.1.1 Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis dan dosis amelioran tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman padi ciherang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui percobaan rumah kaca. Tanah gambut berasal dari Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Jambi, diambil pada bulan

Lebih terperinci

MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH PENDAHULUAN

MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH PENDAHULUAN MINAT PETANI TERHADAP KOMPONEN PTT PADI SAWAH Siti Rosmanah, Wahyu Wibawa dan Alfayanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui minat petani terhadap komponen

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI

PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI PENGGUNAAN BERBAGAI PUPUK ORGANIK PADA TANAMAN PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI Endjang Sujitno, Kurnia, dan Taemi Fahmi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang,

Lebih terperinci

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani. 85 VI. KERAGAAN USAHATANI PETANI PADI DI DAERAH PENELITIAN 6.. Karakteristik Petani Contoh Petani respoden di desa Sui Itik yang adalah peserta program Prima Tani umumnya adalah petani yang mengikuti transmigrasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik

Lebih terperinci

BAHAN METODE PENELITIAN

BAHAN METODE PENELITIAN BAHAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan penelitian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dengan ketinggian tempat ± 25 m dpl, dilaksanakan pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi Metan Dari Lahan Sawah. dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi Metan Dari Lahan Sawah. dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan Dari Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktifitas manusia (Sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO

KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO Yati Haryati dan Agus Nurawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Email : dotyhry@yahoo.com

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengolahan Tanah dan Pemanasan Global Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan untuk menyiapkan tempat persemaian, memberantas gulma, memperbaikai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kailan adalah salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam kelas dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan cabang-cabang akar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai ekonomis, serta harus terus dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu: 15 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di lapang pada bulan Februari hingga Desember 2006 di Desa Senyawan, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara hayati. Mikroba penambat nitrogen hidup bebas pada tanah sawah

TINJAUAN PUSTAKA. secara hayati. Mikroba penambat nitrogen hidup bebas pada tanah sawah TINJAUAN PUSTAKA Tanah sawah Tanah sawah adalah habitat yang sangat unik untuk penambatan nitrogen secara hayati. Mikroba penambat nitrogen hidup bebas pada tanah sawah digolongkan menjadi dua kelompok

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Tanaman padi saat berumur 1-3 MST diserang oleh hama keong mas (Pomacea caanaliculata). Hama ini menyerang dengan memakan bagian batang dan daun tanaman yang

Lebih terperinci

Pengelolaan Tanaman Terpadu. Samijan, Ekaningtyas Kushartanti, Tri Reni Prastuti, Syamsul Bahri

Pengelolaan Tanaman Terpadu. Samijan, Ekaningtyas Kushartanti, Tri Reni Prastuti, Syamsul Bahri Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) JAGUNG Penyusun Samijan, Ekaningtyas Kushartanti, Tri Reni Prastuti, Syamsul Bahri Design By WAHYUDI H Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 15 II. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilaksanakan terdiri atas dua percobaan yaitu percobaan inkubasi dan percobaan rumah kaca. Percobaan inkubasi beserta analisis tanah

Lebih terperinci

ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU ABSTRAK

ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU ABSTRAK ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU Nurmegawati dan Wahyu Wibawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl Irian km 6,5 Kota Bengkulu ABSTRAK Pemanfaatan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Oktober 2014 hingga Maret

Lebih terperinci

Teknologi BioFOB-HES (High Energy Soil)

Teknologi BioFOB-HES (High Energy Soil) Upaya meningkatkan produksi padi Indonesia terus dilakukan dalam upaya untuk mencapai swasembada beras. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi laju peningkatan kebutuhan beras yang diperkirakan mencapai 41,5

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya Padi merupakan komoditas strategis yang mendapat prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Berbagai usaha telah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan laut. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian,Perlakuan dan Analisis Data

BAB III METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian,Perlakuan dan Analisis Data BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan mulai Oktober 2014 Februari 2015. Penelitian dilaksanakan di Desa Semawung Kec. Andong, Kab. Boyolali,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lahan bekas tambang PT. Aneka Tambang Tbk (ANTAM), Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa tengah pada bulan Maret

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di desa Kleseleon, kecamatan Weliman, kabupaten Malaka, proinsi Nusa Tenggara Timur pada lahan sawah bukaan baru yang

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PERUBAHAN PENERAPAN SISTEM TANAM TANAM DI KABUPATEN BANJARNEGARA

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PERUBAHAN PENERAPAN SISTEM TANAM TANAM DI KABUPATEN BANJARNEGARA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PERUBAHAN PENERAPAN SISTEM TANAM TANAM DI KABUPATEN BANJARNEGARA Tota Suhendrata dan Setyo Budiyanto Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci