KOMPOSISI KIMIA Chaetoceros gracilis YANG DIKULTIVASI DENGAN PENYINARAN DAN DIPANEN PADA UMUR KULTUR YANG BERBEDA RISKA ISTIQOMAH APRIMARA C

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOMPOSISI KIMIA Chaetoceros gracilis YANG DIKULTIVASI DENGAN PENYINARAN DAN DIPANEN PADA UMUR KULTUR YANG BERBEDA RISKA ISTIQOMAH APRIMARA C"

Transkripsi

1 KOMPOSISI KIMIA Chaetoceros gracilis YANG DIKULTIVASI DENGAN PENYINARAN DAN DIPANEN PADA UMUR KULTUR YANG BERBEDA RISKA ISTIQOMAH APRIMARA C DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Komposisi Kimia Chaetoceros gracilis yang Dikultivasi dengan Penyinaran dan Dipanen pada Umur Kultur yang Berbeda adalah hasil karya saya sendiri dan belum disajikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, Mei 2010 Riska Istiqomah Aprimara NIM C

3 RINGKASAN RISKA ISTIQOMAH APRIMARA. Komposisi Kimia Chaetoceros gracilis yang Dikultivasi dengan Penyinaran dan Dipanen pada Umur Kultur yang Berbeda. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan DESNIAR. Indonesia sebagai negara tropis dengan wilayah perairan yang cukup besar, memiliki keanekaragaman sumber daya laut yang tinggi. Fitoplankton secara umum membutuhkan faktor-faktor tertentu untuk pertumbuhannya, antara lain cahaya dan nutrien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kurva pertumbuhan dan komposisi kimia dari C. gracilis yang dikultivasi pada penyinarn dan umur panen yang berbeda. Penelitian ini dilakukan dengan kultivasi C. gracilis pada media NPSi dengan lama penyinaran 12 dan 24 jam dengan lampu TL, penyinaran dengan sinar matahari dan penyinaran dengan matahari penambahan NaHCO 3, kemudian penentuan kurva petumbuhan, dan penentuan komposisi kimia C. gracilis yaitu kadar air, abu, karbohidrat, protein, dan lemak. Kultur dengan lama penyinaran 12 jam (A) umur panen 8 dan 14 hari memiliki kepadatan sel masing-masing berturut-turut adalah 9,75x10 5 sel/l dan 1,07x10 6 sel/l. Kultur dengan lama penyinaran 24 jam (B) umur panen 8 dan 14 hari memiliki kepadatan sel masing-masing berturut-turut adalah 2,30x10 6 sel/l dan 2,20x10 6 sel/l. Kultur dengan penyinaran sinar matahari (C) umur panen 8 dan 14 hari memiliki kepadatan sel 3,55x10 6 sel/l dan 2,70x10 6 sel/l. Kultur dengan penyinaran sinar matahari dan penambahan NaHCO 3 (D) umur panen 8 dan 14 hari memiliki kepadatan sel masing-masing berturut-turut adalah 2,60x10 6 sel/l dan 1,80x10 6 sel/l. Laju pertumbuhan kultur A, B, C, dan D pada hari ke 8 dan 14 masingmasing adalah 0,19 sel/hari dan 0,12 sel/hari; 0,30 sel/hari dan 0,18 sel/hari; 0,33 sel/hari dan 0,17 sel/hari; 0,30 sel/hari dan 0,14 sel/hari. Berat kering C. gracilis dari kultur A, B, C, dan D pada hari ke 8 dan 14 masing-masing adalah 0,27 g/l dan 0,23 g/l; 0,28 g/l dan 0,24 g/l; 0,23 g/l dan 0,23 g/l; 0,24 g/l dan 0,28 g/l. Produktivitas C. gracilis kultur A, B, C, dan D umur panen 8 dan 14 hari masing-masing adalah 0,05 g/l/hari dan 0,02 g/l/hari; 0,05 g/l/hari dan 0,04 g/l/hari; 0,04 g/l/hari dan 0,03 g/l/hari; 0,07 g/l/hari dan 0,03 g/l/hari. Kadar air C. gracilis kultur A, B,C, dan D umur panen 8 dan 14 hari masing-masing adalah 5,76% dan 5,28%; 5,80% dan 5,86%; 5,65% dan 5,32%; 5,81% dan 5,36%. Kadar abu Chaetoceros gracilis kultur A, B, C, dan D umur panen 8 dan 14 hari masing masing adalah 31,93% dan 36,00%; 33,05% dan 38,65%; 36,38% dan 32,32%; 38,34% dan 30,36 %. Kandungan karbohidrat kultur A, B, C, dan D umur panen 8 dan 14 hari masing masing adalah 12,38% dan 10,92%; 11,80% dan 11,53%; 10,19% dan 13,03%; 9,53% dan 13,45%. Kandungan protein kultur A, B, C dan D umur panen 8 dan 14 hari adalah 39,87% dan 44,37%; 30,12% dan 35%; 30,50% dan 28,63%; 23,87% dan 22,87%. Kandungan lipid kultur A, B, C, dan D umur panen 8 hari dan 14 hari masing-masing adalah 6,77% dan 11,81%; 10,95% dan 16,41%; 16,36% dan 18,05%; 23,86% dan 25,40%. Komposisi kimia C. gracilis berbedabeda bergantung pada kondisi lingkungan seperti nutrien, cahaya, suhu, salinitas.

4 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

5 KOMPOSISI KIMIA Chaetoseros gracilis YANG DIKULTIVASI DENGAN PENYINARAN DAN DIPANEN PADA UMUR KULTUR YANG BERBEDA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Ilmu Kelautan RISKA ISTIQOMAH APRIMARA C DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 Judul : Komposisi Kimia Chaetoseros gracilis yang Dikultivasi dengan Penyinaran dan Dipanen pada Umur Kultur yang Berbeda Nama NRP : Riska Istiqomah Aprimara : C Menyetujui Pembimbing 1, Pembimbing 2, (Ir. Iriani Setyaningsih, MS) NIP: (Desniar, S.Pi, M.Si) NIP: Mengetahui : Ketua Departemen, (Dr. Ruddy Suwandi, MS., M Phil.) NIP : Tanggal lulus :...

7 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas banyaknya nikmat dan berkah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Komposisi Kimia Chaetoceros gracilis yang Dikultivasi dengan Lama Penyinaran dan Dipanen pada Umur Kultur yang Berbeda. Shalawat serta salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberikan teladan terbaik dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Desniar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing. Dr. Agoes M Jacoeb Dipl. Biol selaku dosen penguji. Ungkapan terima kasih kepada ayah, ibu dan serte seluruh keluarga atas doa, cinta, kasih sayang, perhatian, pengorbanan dan dukungan yang senantiasa diberikan kepada penulis sampai hari ini dan hingga esok nanti. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat berguna kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Bogor, Mei 2010 Riska Istiqomah Aprimara

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 14 April 1987 dari ayah AR. Wahyu Amara dan ibu Neni Komala. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara. Penulis memulai jenjang formal pada pendidikan Sekolah Dasar Negeri Santiong ( ), kemudian penulis melajutkan di SLTP Negeri 1 Cicalengka ( ), dan melanjutkan di SMA Negeri 1 Cicalengka ( ) dan pada tahun 2005 lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis pernah mengikuti organisasi, diantaranya pengurus DKM Al Hurriyah periode 2005/2006 sebagai anggota DPU, pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM-C) periode 2006/2007 sebagai sekertaris, pengurus Forum Keluarga Muslim FPIK (FKM-C) periode 2007/2008 dan 2008/2009 sebagai anggota divisi Cerdas, serta menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN) periode 2008/2009 sebagai anggota PSDM. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Iktiologi pada tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009, mata kuliah Iktiologi Fungsional 2007/2008, mata kuliah Mikrobiologi Hasil Perairan 2008/2009, serta mata kuliah Pendidikan Agama Islam 2008/2009. Pada tahun 2007 penulis memenangi juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat FPIK yang diadakan oleh BEM C. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Komposisi Kimia Chaetoceros gracilis yang Dikultivasi dengan Penyinaran dan Dipanen pada Umur Kultur yang Berbeda dibawah bimbingan Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Desniar, S.Pi, M.Si.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... vii DAFTAR LAMPIRAN... ix 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Chaetoceros gracilis Daur Hidup Chaetoceros gracilis Pertumbuhan Chaetoceros gracilis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Unsur hara Derajat keasaman (ph) Pengaruh cahaya terhadap komosisi kimia Pengaruh suhu terhadap fotosintesis dan sintesis kimia CO 2 bebas Salinitas Komposisi Kimia Mikroalga METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Tahapan Penelitian Prosedur Analisis Penentuan kurva pertumbuhan Laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis Produktivitas Chaetoceros gracilis Analisis kadar air Analisis kadar abu Analisis total karbohidrat Analisis total protein Analisis total lipid Analisis data HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Chaetoceros gracilis... 24

10 4.2 Komposisi Kimia Chaetoceros gracilis Kadar air Kadar abu Karbohidrat Protein Lipid KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

11 DAFTAR GAMBAR No Halaman 1 Morfologi sel Chaetoceros gracilis Struktur sel Chaetoceros Reproduksi seksual dan aseksual pada jenis Chaetoceros Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur dan volume media terbatas Spektrum cahaya matahari Spektrum cahaya lampu TL Penyerapan panjang gelombang cahaya oleh pigmen klorofil dan karoten Diagram alir metode penelitian Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis Perubahan warna selama kultivasi Chaetoceros gracilis Kadar air Chaetoceros gracilis Kadar abu Chaetoceros gracilis Rata-rata kandungan karbohidrat Chaetoceros gracilis Siklus Calvin Rata-rata kandungan protein Chaetoceros gracilis Rata-rata kandungan lipid Chaetoceros gracilis

12 DAFTAR TABEL No Halaman 1 Panjang gelombang pada cahaya tampak Komposisi kimia beberapa mikroalga Laju pertumbuhan, berat kering, dan produktivitas C. gracilis... 26

13 DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1 Medium Guillard yang telah dimodifikasi Medium NPSi (Nitrogen-phosphat-silika) Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis Data jumlah sel Chaetoceros gracilis Data laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis Berat kering Chaetoceros gracilis Produktivitas Chaetoceros gracilis Data kadar air Chaetoceros gracilis Data kadar abu Chaetoceros gracilis Data absorbansi karbohidrat Data absorbansi protein Data berat lipid yang dihasilkan Chaetoceros gracilis Perbandingan harga media Guillard dan NPSi Gambar hasil uji komposisi kimia Chaetoceros gracilis... 62

14 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis dengan wilayah perairan yang cukup besar, memiliki keanekaragaman sumber daya laut yang tinggi. Salah satu sumber daya laut tersebut adalah mikroorganisme. Mikroorganisme termasuk mikroba dan fitoplankton bermanfaat untuk industri farmasi, kimia, kosmetik, pertanian dan lain-lain. Organisme laut juga mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan. Salah satu jenis biota yang berpotensi untuk dikembangkan adalah mikroalga. Mikroalga sebagai salah satu mikroorganisme laut mempunyai potensi yang sangat besar dalam memproduksi lemak, protein dan karbohidrat. Salah satu jenis mikroalga yang berpotensi untuk dikembangkan adalah diatom. Diatom merupakan fitoplankton yang termasuk dalam kelas Bacillariophyceae. Kelompok ini merupakan fitoplankton yang paling umum dijumpai di laut, salah satunya adalah Chaetoceros. Chaetoceros gracilis merupakan mikroalga yang hidup di perairan dingin sampai perairan panas dan merupakan plankton neritik yang mempunyai setae. Mikroalga tersebut membentuk koloni dengan sel-sel yang terikat dengan setae yang panjang membentuk filamen (Lee 1980). Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, cahaya, CO 2, dan nutrien (Fogg 1975). Faktor pertumbuhan mikroalga mempengaruhi komponen kimia yang dihasilkan oleh mikroalga. Renaud (2002) menyatakan bahwa semakin rendah suhu kultivasi pada Chatoceros maka komposisi lemaknya semakin meningkat, namun Chaetoceros dapat tumbuh baik pada suhu o C. Araújo dan Gracia (2005) menyatakan bahwa Chaetoceros cf. wighamii yang dikultivasi pada suhu o C dapat menggunakan nutrisinya untuk pembentukan asam lemak yang tinggi. Cahaya mempengaruhi pertumbuhan mikroalga sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan oleh mikroalga dapat diganti oleh lampu tube lamp (TL) (Myers 1962 diacu dalam Akbar 2008).

15 Media umumnya yang digunakan untuk pertumbuhan diatom adalah f/2 (Guillard). Kurniawati (2006) menyatakan bahwa Chaetoceros amami dapat ditumbuhkan pada media NPSi (Nitrat-Fosfat-Silikat). Harga media NPSi lebih murah dibanding dengan media Guillard. Pengaruh faktor pertumbuhan seperti nutrien dan lama penyinaran pada Chaetoceros gracilis yang dikultivasi pada media NPSi terhadap komposisi kimia seperti protein, lemak dan karbohidrat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang komposisi kimia pada Chaetoceros gracilis yang dikultivasi pada media NPSi dengan penyinaran yang berbeda dan dipanen pada fase log dan stasioner. 1.2 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 Mendapatkan kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam media NPSi dengan penyinaran yang berbeda. 2 Menentukan komposisi kimia dari Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dengan penyinaran lampu TL dan dipanen pada umur yang berbeda. 3 Menentukan komposisi kimia dari Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dengan penyinaran sinar matahari dan penambahan NaHCO 3 yang dipanen pada umur berbeda.

16 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Chaetoceros gracilis Genus Chaetoceros memiliki lebih dari 160 spesies dan merupakan genus terbesar dari kelas Bacillariophyceae yang hidup di perairan panas. Chaetoceros merupakan plankton neuritik yang memiliki setae yang digunakan untuk membentuk filamen yang membuatnya terus melayang di permukaan air (Lee 1980). Klasifikasi Chaetoseros garcilis (Bold & Wynne 1985) adalah sebagai berikut : filum kelas ordo subordo famili genus spesies : Chrysophyta : Bacillariophyceae : Centridae : Biddulpphiineae : Chaetoceradeae : Chaetoceros : gracilis Arinardi (1997) menyatakan bahwa Chaetoceros gracilis merupakan jenis yang umum dijumpai diperairan lepas pantai Indonesia. Chaetoceros termasuk jenis diatom yang sering disebut golden brown algae karena kandungan pigmen kuning yang lebih banyak daripada pigmen hijau sehingga bila populasinya padat, perairan akan terlihat coklat muda. Sel Chaetoceros gacilis dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Morfologi sel Chaetoceros gracillis (Sunesen et al. 2008)

17 Chaetoceros berbentuk sel tunggal tidak berantai dan bercangkang cembung. Ukuran Chaetoceros berkisar 2-20 µm, serta memiliki setae (alat gerak). Setae mula-mula muncul pada sudut-sudutnya, membentuk kurva dan kemudian menjadi paralel bentuknya. Auksospora terdapat di tengah-tengah sel induk yang bercangkang kasar, serta memiliki panjang apikal axisnya sebesar 6-10 µm (Araújo & Garcia 2005). Dinding sel Chaetoceros dibentuk dari dua bagian (epiteka dan hipoteka) dan satu atau dua girdle bands. Girdle bands merupakan bagian yang melingkar dari dinding sel yang menyatukan antara katup epiteka dan hipoteka. Bagian terluar dari dinding sel Chaetoceros disebut frustule. Sitoplasma berbentuk seperti kantung tipis sepanjang dinding sel atau dapat juga memenuhi sebagian besar bagian dalam sel. Nukleus biasanya terdapat di tengah-tengah sel. Pada sel Chaetoceros terdapat satu atau lebih kromatofor yang berukuran kecil atau besar. Resting spores dibentuk pada sebagian besar spesies neritik, biasanya pada bagian silinder di dekat girdle band sel induk. Katup cangkang spora sering kali terdapat bersama-sama dengan spina atau spikula (Anonim 1999). Bentuk struktur sel Chaetoceros dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Struktur sel Chaetoceros (Castro & Huber 2007) Penelitian terhadap Chaetoceros gracilis sudah banyak dilakukan diantaranya sebagai pakan alami yang efektif untuk larva udang pada budidaya udang laut (Junior et al. 2004). Nilai nutrisi spesies mikroalga sebagai pakan umumnya ditentukan oleh ukuran sel, kemampuannya untuk dicerna serta komposisi biokimianya (Archer & Barber 2004 diacu dalam Kurniawati 2006).

18 2.2 Daur Hidup Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis berkembang biak dengan cara aseksual (vegetatif) dan seksual (generatif). Spesies ini juga melewati suatu fase yang diketahui sebagai resting spore. Resting spore adalah suatu fase ketika diatom membentuk spora yang tidak aktif bermetabolisme. Resting spore terbentuk ketika kondisi lingkungan diatom kurang mendukung pertumbuhannya, yaitu ketika kandungan nutrisi di lingkungan rendah, intensitas cahaya kurang, dan kondisi stres lainnya. Pada keadaan resting spore, diatom memiliki frustule yang tebal. Kedua valve-nya (dinding sel) menjadi lebih tebal dan kurang berpori, sedangkan girdle menjadi kurang berkembang karena pada kondisi resting spore sel tidak membelah. Spora ini memiliki cadangan energi dalam bentuk produk fotosintesis. Sitoplasma terkondensasi menjadi suatu masa berwarna coklat gelap yang mengandung lipid dan polifosfat. Apabila sel kemudian berada pada kondisi yang memungkinkan, maka sel akan kembali berfungsi secara normal (Dodge 1973). Perkembangan resting spore pada Chaetoceros gracilis terjadi secara vegetatif. Resting spore terbentuk karena adanya kontraksi yang kuat pada protoplasma dan pengeluarannya pada bagian tengah dinding sel (Smith 1951 diacu dalam Pribadi 1998). Reproduksi secara vegetatif yaitu dengan membelah diri melalui mitosis (profase, metafase, anafase, telofase dan sitokinesis). Pada proses mitosis protoplasma membelah menjadi dua, masing-masing sel anak mendapatkan epiteka dan satu sel anak lainnya mendapatkan hipoteka. Setiap sel baru berkembang dari bagian epiteka akan tumbuh besar menyerupai ukuran induknya. Sementara itu sel baru yang mendapatkan hipoteka akan tumbuh lebih kecil dari pada sel induknya (Lee 1980). Reproduksi secara generatif terjadi saat sel membelah secara meiosis, memproduksi 32 gamet jantan, kemudian dilepaskan sebagai kerumunan uniflagelata. Sel-sel yang memproduksi gamet jantan memiliki lebar 1,5-2 kali ukuran tingginya. Sel-sel yang memproduksi gamet betina ukuran tingginya dua kali lebih besar dari lebarnya. Gamet jantan berenang ke arah girdle sel betina, dari flageeum akan bersatu dengan gamet betina di dalam frustule. Sel-sel yang berisi sel pembentuk auksospora akan memproduksi sel-sel baru dengan frustule

19 ukuran maksimum. Daur hidup Chaetoceros gracilis secara seksual dan aseksual dapat dilihat pada Gambar 3. Pembelahan ini terus berlanjut hingga ukuran sel hasil pembelahan semakin kecil. Jika sudah batas terkecil, anak-anak sel tersebut akan keluar dari cangkang sel (protoplasma). Isi sel tanpa cangkang ini akan membesar hingga ukurannya sama dengan sel induk semula. Jika fase ini telah dilewati, anak-anak sel tersebut akan membentuk cangkang (protoplasma) yang baru. Isi sel yang keluar dari cangkangnya ini dinamakan auksospora (Bachtiar 2003). Bentuk auksospora akan menjadi tunggal dengan cara memperbesar protoplasmanya. Gambar 3 Reproduksi seksual dan aseksual pada jenis Chaetoceros (Castro & Huber 2006) 2.3 Pertumbuhan Chaetoceros gracilis Pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Perkembangan sel dalam kultur mikroalga terdiri atas lima fase yaitu fase lag (adaptasi), fase eksponensial (logaritmik), fase penurunan laju pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian (Fogg 1975). Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur disajikan pada Gambar 4.

20 Keterangan : 1. Fase lag (adaptasi) 2. Fase eksponensial (logaritmik) 3. Fase deklinasi 4. Fase stasioner 5. Fase kematian Gambar 4 Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur (Fogg 1975) Fase pertama adalah fase lag atau adaptasi dimana pada fase ini populasi yang baru ditransfer mengalami penurunan tingkat metabolisme karena fase inokulum yang tidak merata dan terjadi proses adaptasi terhadap media kultur. Fase kedua adalah fase eksponensial (logaritmik) dimana percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan (Fogg 1975). Fase deklanasi terjadi dengan berakhirnya fase logaritma dengan tidak ada pertumbuhan. Hal ini terjadi karena kekurangan nutrisi (Nitrogen dan Phospat). Fase stasioner merupakan akhir dari produksi biomassa yang menjadi konstan. Pada fase ini konsentrasi maksimum biomassa tercapai. Fase kematian ditandai dengan terjadinya penurunan produksi biomassa karena sel lisis (Vonshak 1985 diacu dalam Diharmi 2001). 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Sintesis Komponen Kimia Fitoplankton merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk senyawa organik melalui proses fotosintesis, oleh sebab itu cahaya sangat diperlukan sebagai sumber energi. Energi yang diperlukan dalam proses ini diperoleh dari penyerapan cahaya oleh pigmen-pigmen fotosintetik. Pertumbuhan suatu jenis fitoplankton sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara mikro dan makro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di dalam media kulturnya. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh pada pertumbuhan dan sintesis komponen kimia Chaetoceros gracilis antara lain nutrisi, cahaya, suhu, ph, kandungan CO 2 bebas dan salinitas (BPPP 1990 diacu dalam BBL 2002).

21 2.4.1 Unsur hara Faktor pembatas dalam kultivasi Chaetoceros gracilis adalah komposisi nutrisi yang bervariasi dalam media tumbuhnya. Beberapa unsur ini dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar dan disebut hara makro (macro-nutrient). Faktor utama dalam media tersebut sangat tergantung dari hara nitrogen, fosfor dan silikat (Richmond 1988). Nitrogen diperlukan sel dalam jumlah besar sebagai komponen protein, asam nukleat dan komponen seluler lain. Nitrogen pada umumnya digunakan oleh organisme dalam bentuk nitrat (NO - 3 ) dan amonium (NH + 4 ). Amonium adalah salah satu bentuk nitrogen yang sebagian besar diasimilasi oleh fitoplankton. Amonium tidak memerlukan reduksi terlebih dahulu untuk asimilasi menjadi asam amino (Deacon 2004 diacu dalam Kurniawati 2006). Nitrogen dapat berpengaruh terhadap metabolisme seluler, yaitu menyebabkan penurunan efisiensi transfer energi ke fotosistem II pada reaksi fotosintesis akibat konsentrasi nitrogen yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Fosfor berperan sebagai elemen struktural asam nukleat, adenosine trifosfat dan fosfolipid, serta metabolisme energi terutama untuk menghasilkan ATP pada proses fotosintesis (Raynolds 1984). Bold dan Wynne (1985) menyatakan bahwa fosfor merupakan salah satu unsur yang berperan dalam proses penyusunan karbohidrat dan senyawa nitrogen. Lombardi dan Wangersky (1991) menyatakan bahwa fosfat dapat menurunkan klorofil dalam sel. Gula terfosforilasi yang kaya energi muncul dalam proses fotosintesis. Pada sistem perairan laut, fosfor terdapat dalam bentuk terlarut. Fosfor terlarut dimanfaatkan oleh fitoplankton dan diubah menjadi fosfor organik. Fitoplankton kemudian dimangsa oleh zooplankton, yang mengekskresikannya sebagai fosfor inorganik. Kandungan fosfor dalam perairan rendah karena elemen ini sulit diperoleh dan merupakan elemen biologi aktif yang cepat habis apabila digunakan oleh produsen. Fitoplankton menyerap dan menyimpan fosfat dalam jumlah banyak untuk kehidupannya. Oleh karena itu, apabila semua fosfat dalam air digunakan, maka pertumbuhan fitoplankton akan terhenti meskipun jumlah nitrogen cukup (Fogg 1975). Buckman dan Brady (1982) menyatakan bahwa fosfor berpengaruh baik pada proses pembelahan sel dan pembentukan lemak

22 pada organisme. Pupuk TSP merupakan salah satu sumber fosfor yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroalga (Havlin et al diacu dalam Prabowo 2009). Silikat merupakan komponen yang penting bagi kehidupan mikrolaga dari jenis diatom, karena diatom memanfaatkan silikat dalam jumlah yang besar untuk pembentukan frustule eksternalnya. Berat silikat mempengaruhi pergerakan sel, ukuran sel dan akumulasi penyimpanan produk fotosintesis pada diatom. Selain itu, silikat juga mempengaruhi bentuk dan kekuatan selnya. Penyerapan silikat oleh diatom bergantung kepada ph medium (Raynolds 1984). Silikat juga berpengaruh terhadap proses pembentukan klorofil dalam sel dan memicu pembentukan trigliserida pada Chaetoceros (Lombradi & Wangersky 1981). Sumber silikat di alam terdapat sebagai padatan atau koloidal yaitu SiO 2 (Raynolds 1984). Selain hara makro diperlukan juga hara mikro (micro-nutrient) untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis. Hara mikro ini berupa unsur-unsur kelumit (trace element) dan vitamin. Trace element diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil seperti Fe (besi), Mn (mangan), Cu (tembaga), Zn (seng), B (boron), Mo (molibdenum) dan Co (cobalt) Derajat keasaman (ph) Beberapa alga melakukan fotosintesis maksimum pada ph 7-8 (Priyambodo & Wahyuningsih 2002). Namun fitoplankton dapat tumbuh dengan baik pada kisaran ph optimum 8-8,5 (BBL 2002). Untuk pertumbuhan optimum Chaetoceros sp. memerlukan ph antara 7,5-8,5 (Najmuhabah 2004). Derajat keasaman (ph) berkaitan erat dengan karbon dioksida dan alkalinitas (Mackereth et al diacu dalam Effendi 2000). Pada ph < 5, alkalinitas bisa mencapai nol. Semakin tinggi nilai ph, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin sedikit kadar CO 2 bebas. Adanya peningkatan ph dapat mengubah ion penyusun alkalinitas sehingga pada kondisi ini alga dapat memanfaatkan bikarbonat dan karbonat sebagai sumber karbon (Effendi 2000).

23 2.4.3 Cahaya Mikroalga memerlukan intensitas cahaya yang cukup untuk melakukan fotosintesis. Oleh sebab itu, di perairan laut umumnya diatom ditemui sebagai plankton dan hidup pada permukaan air atau pada zona litorial yang dangkal. Cahaya adalah sumber energi yang memicu reaksi-reaksi dalam proses fotosintesis. Fotosintesis mengasilmilasi karbon inorganik dan mengkonversinya menjadi materi organik. Besarnya kebutuhan intensitas cahaya berkaitan dengan kepadatan kultur mikroalga. Semakin tinggi konsentrasi sel maka intensitas cahaya yang diperlukan juga semakin tinggi agar cahaya mencapai kultur mikroalga secara merata (Coutteau 1998 diacu dalam Pribadi 1998). Cahaya matahari merupakan campuran semua warna violet sampai merah dengan intensitas yang sesuai dengan pola radiasi benda hitam. Cahaya yang digunakan untuk proses fotosintesis adalah cahaya tampak yang memiliki panjang gelombang nm (Campbell et al. 2002). Cahaya tampak terdiri atas beberapa macam warna yaitu violet, biru, hijau, kuning, orange, dan merah. Panjang gelombang cahaya tampak dapat dilihat pada Tabel 1. Spektrum cahaya matahari dapat dilihat pada Gambar 5. Tabel 1 Panjang gelombang warna pada cahaya tampak Warna Panjang gelombang (nm) Violet Biru Hijau Kuning Orange Merah Gambar 5 Spektrum cahaya matahari (Campbell et al. 2002)

24 Lampu flourescent atau lampu neon, sering juga disebut dengan lampu TL. Cahayanya berwarna putih menjadikannya lebih terang dibandingkan dengan lampu pijar biasa. Cahaya putih pada lampu TL ternyata merupakan campuran tiga panjang gelombang saja yang dominan yaitu biru, hijau dan jingga (Qadafi 2009). Sinar lampu TL dengan intensitas cahaya lux. Kisaran optimum intensitas cahaya bagi pertumbuhan fitoplankton adalah lux (BBL 2002). Spektrum cahaya pada lampu TL dapat dilihat pada Gambar 6 Gambar 6 Spektrum cahaya lampu TL (Fitriansyah 2007) Cahaya yang digunakan untuk proses fotosintesis adalah cahaya biru dan merah. Cahaya biru dan merah merupakan cahaya yang paling efektif diserap oleh klorofil, merupakan warna yang paling bermanfaat sebagai energi untuk reaksi terang (Campbell et al. 2002). Penyerapan panjang gelombang cahaya oleh pigmen klorofil dan karoten dapat dilihat pada Gambar 7. Absorbansi cahaya oleh pigmen klorofil Panjang gelombang Gambar 7 Penyerapan panjang gelombang cahaya oleh pigmen klorofil dan karoten (Campbell et al. 2002)

25 2.4.4 Suhu Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung karena reaksi kimia enzimatis yang merperdalam proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu. Pengaruh suhu tak langsung adalah karena suhu akan menentukan struktur hidrologis. Suhu akan sangat menentukan berat jenis air. Makin rendah suhu air akan semakin tinggi berat jenisnya (Nontji 2006). Lipid Chaetoceros sp. yang dikultur pada suhu 25 o C, 27 o C, 30 o C, 33 o C, dan 35 o C masing-masing berturut-turut adalah 16,8%, 14,8%, 12,2%, 12,4%, dan 12,1% dari berat kering (Renaud et al. 2001). Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah suhu maka persentase lemak semakin tinggi. Wijaksono (2008) menyatakan bahwa berat lipid pada suhu o C adalah 8,78 pg/sel (picogram per sel) dan pada suhu o C adalah 1,53 pg/sel. Suhu kultur fitoplankton dapat bervariasi, tergantung dari komposisi medium kultur, spesies dan strain kultur. Secara umum suhu optimum untuk kultur fitoplankton adalah C. Sebagian besar mikroalga umumnya toleran terhadap suhu o C (Coutteu 1998 diacu dalam Pribadi 1998) Karbon dioksida (CO 2 ) bebas Karbon diosida (CO 2 ) di dalam media kultur merupakan faktor penting untuk fitoplankton, karena secara langsung dipakai sebagai bahan untuk membentuk molekul-molekul organik melalui proses fotosentesis. Suplai CO 2 bebas ke dalam media kultur biasanya dilakukan dengan aerasi (BBL 2002). Aerasi diperlukan untuk memberikan kebutuhan oksigen maupun udara yang mengandung sumber karbon bagi aktivitas metabolik mikroorganisme. Aerasi sangat diperlukan untuk mencegah pengendapan atau sedimentasi mikroalga serta untuk memastikan bahwa semua sel dalam populasi tersebut memperoleh intensitas dan nutrisi yang sama Salinitas Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Fluktuasi salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan osmose di dalam sel fitoplankton. Umumnya fitoplankton air laut hidup normal pada salinitas optimum (Isnansetyo & Kurniastuti 1995).

26 2.5 Komposisi Kimia Mikroalga Komposisi kimia mikroalga bergantung pada kondisi lingkungan seperti nutrien, suhu, cahaya, salinitas (Borowitzka & Borowitzka 1988). Kandungan nutrisi yang ada dalam media berpengaruh terhadap sintesis komponen kimia. Makronutrien seperti karbon, nitrogen, fosfat dan sulfur berpengaruh terhadap sintesis karbohidrat, protein, dan lemak. Silikat berpengaruh terhadap sitesis dinding sel (Reynolds 1984). Komposisi kimia beberapa mikroalga jenis Bacillariophyceae dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia beberapa mikroalga (persen) Mikroalga Protein Lemak Karbohidrat Serat kasar NFE Chaetoceros sp 35,00 6,9-6,6 Chaetoceros calcitrans 25,13 8,12 1,32 14,16 Skeletonema costatum 22,30 2,55 0,26 22,46 Coscinodiscus sp 17,00 1,80-4,1 Phaeodactilum tricormutum 33,00 6,60-24,0 Diatomae (Campuran) 2,90 0,90 0,30 2,30 Nitzschia frustulum 33,00 21, ,00 Isochrysis galbana 30,40 16,00 2,99 24,22 Sumber : Isnansetyo dan Kurniastiti (1995) Abu 28,00 51,29 51,43 57,00 7,60 6,50-26,33 Pigmen 1, ,50 2, Nilai nutrisi dari Chaetoceros gracilis adalah karbohidrat terlarutnya sebanyak 0,1±0,01 mg/l, protein terlarut 0,58±0,02 mg/l, total asam amino bebas 15,25±1,40 mg/l (Junior et al. 2004), dan asam lemak Chaetoceros sp. adalah 16,8% dari berat kering ketika sel yang dikultur pada suhu 25 o C (Renaud et al. 2002).

27 3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari 2009 sampai Bulan Desember 2009 di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2, Laboratoium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain erlenmeyer, toples kaca, galon berwarna putih (ukuran 5 dan 15 L), selang, aerator, lampu tube lamp (TL) (18 W), alat pengatur suhu (AC), mikroskop, hemasitometer, mikropipet, timbangan, vacum pump, homogenizer, sentrifuse, tabung sentrifuse, pipet, filter kramik, hemositometer, mikroskop, freeze dryer dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kultur Chaetoceros gracilis. Kultur mikroalga tersebut diperoleh dari koleksi mikroalga Laboratorium Marikultur Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Ancol, Jakarta Utara. Mikroalga tersebut dikultivasi di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor menggunakan media Guillard. Adapun komposisi dari media Guillard dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan yang digunakan untuk kultivasi menggunakan media NPSi (nitratfosfat-silikat) yang terdiri dari: air laut, urea ((NH 2 ) 2 CO), TSP (Triple Super fosfat/ Ca(H 2 PO 4 ) 2 ), SiO 2, vitamin, trace element. Komposisi media NPSi dapat dilihat pada Lampiran 2. Selain itu menggunakan NaHCO 3 (soda kue) untuk perlakuan. Bahan untuk menguji protein adalah larutan NaOH 4%, Na 2 CO 3 20%, NA-K-Tartat 20%, CuSO 4. 5H 2 O 5%, aquades, BSA, larutan Folin-Ciocalteu. Bahan untuk menguji lemak adalah klorofom, metanol, MgCl 2. Bahan untuk menguji karbohidrat adalah glukosa, larutan fenol 5%, dan H 2 SO 4 95,5%.

28 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini meliputi: 1) kultivasi Chaetoceros gracilis pada media NPSi dengan lama penyinaran 12 dan 24 jam dengan lampu TL, media penambahan NaHCO 3 dan penyinaran sinar matahari, 2) penentuan kurva petumbuhan, dan 3) penentuan komposisi kimia Chaetoceros gracilis. Diagram penelitian dapat dilihat pada Gambar 9. Chaetoceros gracilis Kultivasi dalam Media NPSi Penyinaran lampu TL; 12 jam (A) Penyinaran lampu TL; 24 jam (B) Penyinaran sinar matahari (C) Penyinaran sinar matahari; NaHCO 3 (D) Perhitungan jumlah sel setiap hari Pemanenan pada fase akhir log dan stasioner Penentuan Laju Pertumbuhan Pengeringan Biomassa Analisis protein, lemak, karbohidrat, kadar air, kadar abu. Gambar 9 Diagram alir metode penelitian Kultivasi Chaetoceros gracilis dimulai dengan pembuatan media kultur. Media NPSi dibuat dengan perbandingan N:P:Si adalah 3:1:4 (Lampiran 3). Kultivasi dilakukan 2 tahap yaitu kultivasi skala kecil untuk perhitungan kurva

29 pertumbuhan, dan skala besar untuk pengambilan biomassa. Kultivasi skala kecil dilakukan dalam toples berkapasitas 2,2 L sebanyak 6 buah yang berisi larutan medium sebanyak 2 L. Kultivasi skala besar dilakukan dalam akuarium berkapasitas 35 L, dan galon berkapasitas 14 L. Air laut yang digunakan sebelumnya telah disterilkan dengan cara penyinaran UV selama 30 menit. Kultivasi dilakukan dengan penyinaran memakai lampu TL lux selama 12 dan 24 jam pada suhu 25 o C. Kultivasi dengan sinar matahari dilakukan di luar ruangan pada suhu o C. Aerasi dilakukan menggunakan aerator bermerk Resun Air Pump selama 24 jam. Pemanenan dan pengeringan dilakukan pada kultur yang masuk dalam fase akhir log dan awal stasioner. Pemanenan biomassa dilakukan dengan metode filtrasi yang menggunakan filter keramik yang bermerek British Portacel yang dihubungkan dengan pompa air bermerk Deng Yuan Typ 2,600. Biomassa yang diperoleh dibekukan dalam freezer sampai membeku. Setelah membeku, biomassa dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer yang bermerek Yamato hingga diperoleh biomassa dalam bentuk bubuk. 3.4 Prosedur Analisis Penentuan kurva pertumbuhan (Hadioetomo 1993) Pertumbuhan C. gracilis diamati dengan cara mengambil sampel setiap hari menggunakan mikro pipet, kemudian dimasukkan ke dalam chamber hemositometer, selanjutnya dihitung jumlah sel secara langsung menggunakan mikroskop. Hasil perhitungan nilainya dikonversikan ke dalam nilai logaritmik dan dibuat kurva pertumbuhan dengan jumlah sel (logaritmik) sebagai sumbu y dan waktu (hari) sebagai sumbu x. Proses perhitungan jumlah sel ini dengan metode hitung langsung sebagai berikut: a) Permukaan hitung hemositometer dan kaca penutup dibersihkan dari sisa-sisa minyak. b) Tutup kaca hemositometer diletakan pada permukaan hemositometer. Suspensi biakan Chaetoceros hasil pengambilan contoh dikocok, kemudian diambil dengan mikropipet sekitar 20 µl. Suspensi tersebut diteteskan pada tempat menaruh sampel yang terdapat pada

30 hemositometer hingga suspensi Chaetoceros menyebar pada ruang hitung. c) Hemositometer diletakkan di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat dalam 80 kotak kecil yang terletak dalam bagian tengah yang berukuran 0,2 mm 2 (5 x 16 x 0,0025 mm 2 ) dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400. Perhitungan jumlah sel dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. d) Formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai berikut: Keterangan N : kepadatan sel (sel/ ml) N1 : jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1) N2 : jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2) 1 mm : panjang hemositometer dalam 80 kotak 0,2 mm : lebar hemositometer dalam 80 kotak 0,1 mm : tinggi hemositometer dalam 80 kotak e) Hasil perhitungan diplotkan pada grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan dengan umur kultur (hari) sebagai sumbu x dan log kepadatan sel (sel/ml) sebagai sumbu y Laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis (Chrismadha et al. 1997) Laju pertumbuhan mikroalga diperoleh dari data jumlah kepadatan sel selama kultivasi mikrolaga. Rumus laju pertumbuhan mikroalga adalah sebagai berikut : Keterangan : µ = laju tumbuh (pembelahan sel/ hari) Xt = kepadatan sel pada hari t (sel/ml) Xo = kepadatan awal hari (sel/ml) t = waktu (hari)

31 3.4.3 Produktivitas Chaetoceros gracilis (Chrismadha 1993) Produktivitas Chaetoceros gracilis diukur dengan pengukuran berat kering dikali dengan laju pertumbuhan. Pengukuran berat kering (biomassa) diukur dengan menyaring sampel sebanyak 50 ml dengan menggunakan kertas saring. Padatan yang tersaring kemudian dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50 ºC. Residu Chaetoceros gracilis yang telah dikeringkan kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Berat kering ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : Keterangan : Bt : Berat akhir (berat kertas saring + endapan) yang telah dikeringkan (g) Bo: Berat awal (berat kertas saring) (g) Keterangan : Produktivitas (g/l/hari) Berat kering (g/hari) Laju pertumbuhan (sel/hari) Analisis kadar air (AOAC 2005) Pengukuran kadar air dilakukan menggunakan oven. Prosedur analisis kadar air dimulai dengan pengeringan cawan porselin dalam oven selama 1 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 menit, selanjutnya ditimbang beratnya sampai diperoleh berat cawan yang konstan (X1). Sampel ditimbang sebanyak 2-3 g (A), kemudian dimasukan ke dalam cawan. Cawan yang berisi sampel diletakan dalam oven selama 4-6 jam dengan suhu 105 ºC. Cawan tersebut dipindahkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali sampai diperoleh berat yang konstan (X2). Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus: Keterangan : X1 : berat cawan kosong setelah dikeringkan (g) X2 : berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g) A : berat sampel (g)

32 3.4.5 Analisis kadar abu (AOAC 2005) Analisis kadar abu dilakukan dengan pengovenan cawan selama 4 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan beratnya ditimbang hingga diperoleh berat cawan yang konstan (A). Sampel ditimbang sebanyak 2-3 g dan dimasukkan ke dalam cawan (B). Cawan yang berisi sampel diletakan dalam tanur pengabuan dengan suhu 700 ºC sampai terbentuk abu yang berwarna putih yang menunjukkan bahwa semua sampel telah menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai diperoleh berat cawan yang konstan (C) kadar abu dihitung menggunakan rumus sebagai berikut : Keterangan: A: berat cawan kosong (g) B: berat cawan + sampel awal (g) C: berat cawan + sampel akhir (g) Analisis kadar karbohidrat (Kochert 1978 diacu dalam Kurniawati 2006) Pengukuran karbohidrat diawali dengan larutan standar yang digunakan glukosa (100 µg/ml). Larutan standar digunakan untuk membuat 6 larutan gula (sampai volume total 2,00 ml) yang masing-masing mengandung 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 µg gula. Hal tersebut dilakukan untuk kedua larutan standar. Reagen yang digunakan adalah 5% larutan fenol dan H 2 SO 4 pekat. Sampel sebanyak 0,02 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dilarutkan dengan 10 ml H 2 SO 4 2N. Larutan tersebut disentrifugasi 3,000 rpm selama 15 menit. Setelah itu, sampel dan standar diambil masing-masing 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan fenol serta 5 ml asam sulfat. Larutan reaksi didiamkan selama 10 menit pada posisi berdiri. Lalu diletakkan ke dalam water bath selama 1 jam pada suhu 100 o C. Kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Data absorbansi standar glukosa dibuat kurva standar untuk perhitungan total karbohidrat. Hasil regresi linier didapatkan persamaan y = ax + b, dimana nilai y adalah hasil absorbansi pengukuran karbohidrat OD 485 nm dan x adalah total karbohidrat (µg/ml).

33 3.4.7 Analisis total protein (Lowry et al. 1951) Beberapa larutan yang harus disiapkan untuk analisis ini antara lain pembuatan larutan Cu-alkalin, larutan standar, dan larutan Folin-Ciocalteu-Fenol. Larutan Cu-alkalin: - dibuat larutan NaOH 4% - dibuat larutan Na 2 CO 3 20% - dibuat larutan NaK-Tartat 20% - dibuat larutan CuSO 4. 5H 2 O 5% Larutan Cu-alkalin dibuat dengan mencampurkan 20 ml larutan NaOH 4% + 10 ml larutan Na 2 CO 3 20% + aquades hingga volume tepat 100 ml + 1 ml larutan Na-K Tartat 20% dan 1 ml larutan CuSO 4.5H 2 O 5% larutan Cu alkalin harus dibuat baru setiap kali akan dianalisis. Larutan standar : 1) standar protein yang digunakan adalah BSA 2) larutan stok standar, dilarutkan 50 mg BSA ke dalam 100 ml aquades dalam botol reagen dan disimpan pada suhu 0 o C 3) larutan standar diperbaharui setiap bulan Larutan Folin-Ciocalteu-Fenol Kandungan total protein ditentukan berdasarkan kurva standar hasil pengukuran spektrofotometri. Penentuan total protein diawali dengan menimbang 4 mg sampel lalu dilarutkan dalam 20 ml aquades kemudian diambil sebanyak 2 ml ke dalam tabung sentrifuge 10 ml. Lalu tambahkan larutan Cu-alkalin volume 5 ml ke dalam setiap sampel dan pada satu seri standar. Sampel dan standar dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruang kemudian ditambahkan 2 kali 0,3 ml folinciocalteu- fenol. Sampel didiamkan selama 15 menit pada suhu ruang lalu disentrifuge pada kecepatan 3,000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dan diukur pada panjang gelombang 660 nm. Data absorbansi standar BSA dibuat kurva standar untuk perhitungan total protein. Hasil regresi linier didapatkan persamaan y = ax + b, dimana nilai y adalah hasil absorbansi pengukuran protein OD 660 nm dan x adalah total protein (µg/ml).

34 3.4.8 Analisis total lipid (Bligh & Dyer 1959) Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode total lipid. Sampel sebanyak 1 ml ditambahkan 3,75 ml larutan klorofoam/metanol (2/1) lalu diaduk selama menit, lalu ditambahkan 1,25 ml klorofoam, lalu aduk selama 1 menit setelah itu ditambahkan 1,25 ml air dan diaduk selama 1 menit. Penambahan klorofoam dan air bertujuan memisahkan larutan menjadi dua bagian, lapisan klorofoam mengandung lemak dan lapisan metanol dan air tidak mengandung lemak (Pomeranz dan Meloan 2002). Campuran tersebut selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 200 rpm selama 20 menit, setelah selesai lalu fase bagian atas dibuang dan fase bagian bawahnya diambil. Fase bagian bawah lalu disemprotkan gas N 2 sehingga yang tertinggal adalah lemak (Cyberlipid 2006). Perhitungan lipid : Keterangan: X1 : Berat tabung vial + sampel setelah disemprotkan N 2 X2 : Berat tabung vial kosong A : Berat sampel Analisis data Analisis data diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan dari percobaaan yang telah dilakukan. Pada penelitian ini analisa data yang digunakan dianalisis secara deskriptif menggunakan tabel dan grafik. Analisa ini menggambarkan pengaruh perlakuan yang diberikan yaitu, lama penyinaran, sumber cahaya, penambahan NaHCO 3, terhadap pertumbuhan C. gracilis yang meliputi kepadatan sel, laju pertumbuhan, berat kering dan produktivitas. Selain itu, analisa ini juga menggambarkan perlakuan yang diberikan yaitu, lama penyinaran, sumber cahaya, penambahan NaHCO 3, dan umur panen mempengaruhi terhadap komposisi senyawa kimia C. gracilis.

35 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros gracilis Pertumbuhan organisme uniseluler didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa sel dan disertai ukurannya oleh sintesis makromolekul yang menghasilkan struktur baru (Becker 1994). Pertumbuhan C. gracilis ditandai dengan peningkatan jumlah sel dan perubahan warna selama kultivasi. Pola pertumbuhan C. gracilis dapat dilakukan dengan menghitung jumlah sel setiap hari menggunakan hemositometer dan mikroskop. Nilai kepadatan sel yang didapat diturunkan sebagai hasil dari logaritmik (log) jumlah sel yang kemudian diplotkan ke dalam sebuah grafik sehingga di dapat sebuah kurva pertumbuhan. Tabel kepadatan sel C. gracilis dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Kurva pertumbuhan C. gracilis dapat dilihat pada Gambar 9. Secara umum pertumbuhan C. gracilis memiliki 4 fase, yaitu: fase adaptasi, logaritmik, stasioner dan kematian (Fogg 1975). Gambar 9 menunjukkan bahwa selama kultivasi dengan penyinaran 12 jam (A) mengalami fase adaptasi pada hari ke-1 sampai hari ke-3, sedangkan pada perlakuan penyinaran 24 jam (B), sinar matahari (C) dan sinar matahari dengan penambahan NaHCO 3 (D) tidak mengalami fase adaptasi. Fase logaritmik kultur A terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-8, kultur B, C, dan D pada hari ke-1 sampai hari ke-8. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah sel. Fase stasioner kultur A, B, C dan D pada hari ke-8 sampai hari ke-20. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan yang konstan, selanjutnya mengalami fase kematian pada hari ke-21 sampai hari ke-26. Berdasarkan penelitian Renaud et al. (2002) diketahui bahwa komposisi kimia C. gracilis maksimum terdapat pada fase stasioner. Pada fase ini pertumbuhan tidak terjadi lagi. Oleh sebab itu, pada penelitian ini diambil komposisi kimia pada fase akhir log (8 hari) dan fase pertengahan stasioner (14 hari). Kepadatan sel pada kultur A, B, C, dan D umur panen 8 hari dan 14 hari masing-masing berturut-turut, yaitu 9,75x10 5 sel/l dan 1,07x10 6 sel/l; 2,30x10 6 sel/l dan 2,20x10 6 sel/l; 3,55x10 6 sel/l dan 2,70x10 6 sel/l; 2,60x10 6 sel/l

36 dan 1,80x10 6 sel/l. Hasil penelitian Renaud et al. (2002) kepadatan sel Chaetoceros yang dikultivasi dengan pencahayaan 12 jam adalah 3,98x10 6 sel/l. Kepadatan sel pada masing-masing kultur (A, B, C, D) berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa lama penyinaran (A dan B), sumber cahaya (A, B dan C, D), penambahan NaHCO 3 (C, dan D) dan umur kultur (A, B, C, dan D) berpengaruh terhadap kepadatan sel. b c d b d A B Sumber: Setyaningsih et al. (2008) C D Keterangan : a = fase lag (adaptasi), b = fase logaritmik, c = fase stasioner, d = fase kematian Gambar 9 Kurva pertumbuhan C. gracilis dengan lama penyinaran 12 jam (A), 24 jam (B), penyinaran dengan matahari (C), dan penyinaran dengan sinar matahari + NaHCO 3 (D) Kepadatan sel dengan perlakuan B lebih tinggi dibanding dengan A. Hal ini diduga karena dengan penyinaran 24 jam (B) fotosintesis terjadi terus menerus sehingga menyebabkan pembelahan sel lebih banyak dibanding dengan kultur 12 jam (A). Kepadatan sel dengan sumber cahaya sinar matahari (C dan D) lebih besar dibanding dengan penyinaran lampu TL (A dan B). Hal ini diduga karena

37 intensitas cahaya matahari ( lux) lebih tinggi dibanding dengan lampu TL ( lux). Kepadatan sel dengan penambahan NaHCO 3 (D) lebih rendah dibanding dengan tanpa NaHCO 3 (C). Hal ini diduga karena dengan penambahan NaHCO 3 dapat menyebabkan ph kultur berubah sehingga pertumbuhan sel dapat terhambat. Kepadatan sel pada umur panen 8 hari lebih tinggi dibanding dengan umur panen 14 hari. Hal ini diduga karena kandungan nutrien Pertumbuhan C. gracilis dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti nutrien, cahaya, suhu, ph, kandungan CO 2 bebas, dan salinitas (BPPP 1990 diacu dalam BBL 2002). Nutrien yang biasa digunakan untuk pertumbuhan diatom adalah media Guillard. Larastri (2006) menyatakan bahwa diatom dapat ditumbuhkan pada media pupuk (NPSi). Penelitian ini menggunakan media NPSi yang terdiri dari nitrogen ((NH 2 ) 2 CO), fosfat (TSP), dan silikat (metasilikat). Nitrogen merupakan mineral yang diperlukan sel sebagai komponen pembentukan protein, asam nukleat, dan komponen seluler lain (Reynolds 1984). Urea dalam media akan dipecah menjadi ammonium (Deacon 2004, Salisbury & Ross 1994 diacu dalam Kurniawati 2006). Nitrogen dapat berpengaruh terhadap metabolisme seluler, yaitu menyebabkan penurunan efisiensi transfer energi ke fotosistem II pada reaksi fotosintesis akibat konsentrasi nitrogen yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Pada awal kultivasi sumber nitrogen dalam media banyak, semakin lama kultivasi kandungan nitrogen menurun (Kurniawati 2006). Fosfor berperan sebagai elemen struktural asam nukleat, adenosine trifosfat dan fosfolipid, serta metabolisme energi terutama untuk menghasilkan ATP pada proses fotosintesis (Raynolds 1984). Lombardi dan Wangersky (1991) menyatakan bahwa fosfat dapat menurunkan klorofil dalam sel. Gula terfosforilasi yang kaya energi muncul dalam proses fotosintesis. Buckham dan Brady (1982) menyatakan bahwa fosfat berpengaruh baik pada proses pembelahan sel dan pembentukan lemak pada organisme. Silikat adalah komponen yang paling penting dalam kehidupan mikroalga dari jenis diatom, karena diatom memanfaatkan silikat dalam jumlah sangat besar untuk pembentukan frustule eksternalnya (Raynolds 1984).

38 Sumber cahaya yang digunakan selama kultivasi adalah lampu tube lamp (TL) dengan intensitas cahaya lux dan sinar matahari lux. Cahaya yang digunakan untuk proses fotosintesis adalah cahaya tampak yang memiliki panjang gelombang nm, terdiri atas beberapa macam warna yaitu violet, biru, hijau, kuning, orange, dan merah (Campbell et al. 2002). Penelitian Qadafi (2009) menyatakan bahwa lampu TL memiliki cahaya tampak biru hijau, dan jingga masing-masing berturut adalah 480 nm, 560 nm dan 680 nm. Kultur C dan D menghasilkan sel yang lebih banyak dibanding dengan kultur A dan B. Hal ini diduga karena intensitas cahaya matahari lebih tinggi dibanding dengan lampu TL. Intensitas cahaya 2500 lux dapat meningkatkan pertumbuhan C. gracilis, namun semakin tinggi konsentrasi sel maka intensitas cahaya yang diperlukan juga semakin tinggi agar cahaya mencapai kultur mikroalga secara merata (Coutteau 1998 diacu dalam Pribadi 1998). Suhu ruangan selama kultivasi berfluktuasi sekitar o C, sedangkan suhu di luar ruangan sekitar o C. Menurut Renaud et al. (2002) pada suhu 30 o C memiliki laju pertumbuhan yang optimum. Hasil penelitian Renaud et al (2002) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan Chaetoseros pada suhu 25 o C, 27 o C, 30 o C, 33 o C dan 35 o C masing-masing berturut-turut adalah 0,74 per hari, 0,84 per hari, 0,87 per hari, 0,76 per hari dan 0,78 per hari. Pertumbuhan C. gracilis juga nampak dari perubahan warna kultur selama kultivasi. Perubahan warna pada kultur A, B, C, dan D awal kultivasi (hari ke-0) masih bening (tidak berwarna), setelah hari ke-8 berwarna coklat keemasan, dan hari ke-14 berwarna coklat pekat dengan terdapat sedikit endapan. Perubahan warna tersebut merupakan indikator meningkatnya kepadatan sel C. gracilis. Warna kuning keemasan hingga coklat disebabkan oleh pigmen yang dikandung pada C. gracilis, yaitu karotenoid (Isnansetyo & Kurniastuti 1995). Karotenoid yang ada dalam diatom sekitar 0,02% (Becker 1994). Perubahan warna dalam pertumbuhan C. gracilis selama kultivasi dapat dilihat pada Gambar 7.

39 ( A B C dan D C C C (1) (2) (3) Gambar 10 Perubahan warna selama kultivasi C. gracilis (A) penyinaran lampu TL 12 jam (B) penyinaran lampu TL 24 jam (C) sinar matahari (D) sinar matahari dengan penambahan NaHCO 3 pada (1) hari ke-0 (2) hari ke-8 (3) hari ke-14. Selain kepadatan sel dan perubahan warna, pertumbuhan C. gracilis dapat dilihat juga melalui laju pertumbuhan, berat kering dan produktivitas. Laju pertumbuhan, berat kering dan produktivitas C. gracilis dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Laju pertumbuhan, berat kering, dan produktivitas C. gracilis Sampel A B C D Laju pertumbuhan (hari ke-) Berat kering (g/l) Produktivitas (g/l per hari) 8 hari 14 hari 8 hari 14 hari 8 hari 14 hari 0,19 0,30 0,33 0,30 0,12 0,18 0,17 0,14 0,27 0,28 0,22 0,24 0,23 0,24 0,23 0,28 0,05 0,05 0,04 0,07 0,02 0,04 0,03 0,03

40 Laju pertumbuhan merupakan parameter untuk mengukur kecepatan pertambahan sel dalam periode waktu tertentu. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa laju pertumbuhan sel C. gracilis pada kultur B lebih tinggi dibanding dnegan kultur A pada umur panen yang sama. Hal ini menunjukan bahwa lama penyinaran mempengaruhi terhadah laju pertumbuhan. Hal ini diduga karena lama penyinaran 24 jam (B) menyebabkan fotosintesis terus menerus sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan kultur D lebih kecil dibanding dengan kultur C pada umur panen yang sama. Hal ini diduga bahwa penambahan NaHCO 3 sedikit menurunkan laju pertumbuhan. Penambahan NaHCO 3 dapat menyebabkan meningkatnya jumlah karbon dalam media kultur. Kandungan karbon yang berlebih akan membuat ph media meningkat sehingga kondisi fisik lingkungan kultur berubah (Maroto et al. 2004). Laju pertumbuhan kultur B, C, dan D umur panen 8 hari lebih besar dibanding dengan kultur A. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dengan pencahayaan sinar matahari sama dengan laju pertumbuhan dengan pencahayaan lampu TL 24 jam. Laju pertumbuhan pada kultur A, B, C dan D dengan umur panen 8 hari lebih tinggi dibanding dengan umur panen 14 hari. Hal ini diduga pada umur panen 14 hari nutrien yang ada dalam media kultivasi semakin berkurang, sehingga pertumbuhan C. gracilis semakin melambat. Berat kering merupakan salah satu parameter yang menunjukkan pertumbuhan C. gracilis. Hasil pengukuran berat kering pada kultur B lebih tinggi dibading dengan kultur A pada umur panen yang sama. Hal ini diduga karena lama penyinaran pada kultur 24 jam (B) mengalami fotosintesis terus menerus sehingga dapat meningkatkan berat kering. Berat kering kultur D lebih tinggi dibanding kultur C pada umur panenyang sama. Hal ini diduga bahwa penambahan NaHCO 3 dapat meningkatkan berat kering. Berat kering umur panen 8 hari hampir sama dengan umur panen 14 hari. Hal ini menunjukan bahwa umur panen tidak mempengaruhi berat kering C. gracilis. Berat kering pada kultur A dan B dengan umur panen 8 hari lebih besar dibanding pada umur panen 14 hari, sedangkan kultur C dan D pada umur panen 8 hari lebih kecil dibanding dengan umur panen 14 hari. Hal ini menunjukkan bahwa sumber penyinaran berpengaruh terhadap berat kering. Penyinaran dengan lampu TL yang memiliki intensitas

41 cahaya konstan sedssangkan sinar matahari intensitas cahaya yang berfluktuatif dapat mempengaruhi berat kering. Berat kering pada kultur A, B, C pada umur 8 hari lebih tinggi dibanding dengan umur panen 14 hari, hal ini menunjukkan bahwa umur panen berpengaruh terhadap berat kering, namun, berbanding terbalik pada kultur D umur panen 14 hari lebih tinggi dibanding umur panen 8 hari, hal ini diduga karena pengaruh dari penambahan NaHCO 3. Produktivitas adalah kemampuan suatu organisme untuk menghasilkan produk yang dihasilkan dengan jumlah waktu yang dibutuhkan. Produktivitas kultur A pada umur panen 8 hari sama dengan kultur B, akan tetapi pada umur panen 14 hari kultur B lebih tinggi dibanding kultur A. Hal ini menunjukkan bahwa lama penyinaran mempengaruhi terhadap produktivitas. Produktivitas sel C. gracilis pada kultur D dengan umur panen 8 hari lebih tinggi dibanding kultur C, akan tetapi pada umur panen 14 hari kultur C sama dengan kultur D. Hal ini diduga oleh adanya penambahan NaHCO 3 pada kultur D menyebabkan meningkatnya jumlah karbon dalam media kultur. Produktivitas C. gracilis pada kultur A, B, C dan D dengan umur panen 8 hari lebih tinggi dibanding dengan umur panen 14 hari. Hal ini diduga semakin lama kultivasi maka kandungan nutrien dalam media semakin berkurang menyebabkan produktivitas menurun. Keterbatasan unsur nitrogen membuat sel mikroalga tidak mampu melakukan proses biosintesa dan metabolisme secara maksimal (Michael 1980 diacu dalam Csavina 2008). Berdasarkan hasil pengukuran terhadap pertumbuhan C. gracilis pada kultur A, B, C, dan D dengan perlakuan yang diberikan diketahui bahwa sumber cahaya matahari lebih baik dibanding dengan sumber cahaya lampu TL, dan lama pencahayaan dengan lama 24 jam lebih baik dibanding dengan yang 12 jam, serta penambahan NaHCO 3 dapat mempercepat pertumbuhan dan kematian C. gracilis. 4.2 Komposisi Kimia Chaetoceros gracilis Kadar air Kadar air C. gracilis pada kultur A, B, C, dan D dengan umur panen 8 hari dan 14 hari masing-masing berturut-turut adalah 5,76% dan 5,28%; 5,80% dan 5,86%; 5,65% dan 5,32%; 5,81% dan 5,36%. Gambar histogram pengukuran kadar

42 air pada kultur A, B, C dan D dengan umur panen 8 dan 14 hari dapat dilihat pada Gambar 11. Keterangan : A = Lama penyinaran 12 jam dengan lampu TL B = Lama penyinaran 24 jam dengan lampu TL C = Penyinaran dengan sinar matahari D = Penyinaran dengan sinar matahari + NaHCO 3 Gambar 11 Kadar air Chaetoceros gracilis Kadar air dari biomassa kering C. gracilis pada kultur A, B, C, dan D umur panen 8 hari hampir sama dengan umur panen 14 hari. Hal ini diduga bahwa kadar air C. gracilis tidak dipengaruhi oleh lama penyinaran, sumber cahaya, penambahan NaHCO 3, dan umur panen. Kadar air dari hasil penelitian ini rendah. Hal ini disebabkan karena dilakukan pengeringan terlebih dahulu dengan menggunakan freeze dryer sekitar 4-6 jam Kadar abu Kadar abu C. gracilis pada kultur A, B, C, dan D dengan umur panen 8 hari dan 14 hari masing masing berturut-turut adalah 31,93% dan 36,00%; 33,05% dan 38,65%; 36,38% dan 32,32%; 38,34% dan 30,36%. Kadar abu Chaetoceros hasil penelitian Renaud et al. (2002) pada suhu 25 o C dan 30 o C masing-masing berturut-turut adalah 15% dan 18% dari berat kering dan media yang digunakan adalah Guillard. Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menyatakan bahwa kadar abu Chaetoceros sp. adalah 28%. Kadar abu yang tinggi pada penelitian ini diduga karena pengaruh filtrasi. Filtrasi yang digunakan adalah jenis

43 filter keramik, sehingga kemungkinan pada saat filtrasi biomassa sel C. grasilis yang menempel pada keramik menghambat lolosnya garam-garam pada media, sehingga pada saat pengujian kadar abu, mineral yang masih ada pada biomassa ikut teruji. Gambar histogram pengukuran kadar abu pada kultur A, B, C dan D dengan umur panen 8 dan 14 hari dapat dilihat pada Gambar 12. Keterangan : A = Lama penyinaran 12 jam dengan lampu TL B = Lama penyinaran 24 jam dengan lampu TL C = Penyinaran dengan sinar matahari D = Penyinaran dengan sinar matahari + NaHCO 3 Gambar 12 Kadar abu Chaetoceros gracilis Kadar abu pada kultur A dengan umur panen 8 hari dan 14 hari lebih rendah dibanding dengan kultur B. Hal ini menunjukkan bahwa lama penyinaran berpengaruh terhadap kadar abu yang dihasilkan. Hal ini diduga bahwa fotosintesis pada penyinaran 24 jam terjadi terus menerus, sehingga sel melakukan metabolisme terus menerus yang akan menghasilkan kadar garam yang dihasilkan lebih banyak dibanding dengan penyinaran 12 jam (Suseno 1974). Kadar abu kultur D lebih tinggi dibanding dengan kultur C. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan NaHCO 3 dapat meningkatkan kadar abu. Kadar abu C. gracilis umur panen 8 hari pada kultur A dan B lebih tinggi dibanding dengan pada kultur C dan D pada umur panen yang sama. Hal ini diduga bahwa penyinaran dengan sinar matahari lebih besar intensitasnya dibanding dengan

44 lampu TL. Lampu TL memiliki intensitas cahaya sekitar lux sedangkan matahari lux. Kadar abu kultur A dan B dengan umur panen 8 hari lebih tinggi dibanding dengan umur panen 14 hari, akan tetapi sebaliknya pada kultur C dan D dengan umur panen 8 hari lebih rendah dibanding dengan umur panen 14 hari. Hal ini menunjukkan bahwa umur panen tidak mempengaruhi terhadap kadar abu C. gracilis Karbohidrat Persentase kadar karbohidrat C. gracilis pada kultur A, B, C, dan D dengan umur panen 8 hari dan 14 hari masing masing berturut-turut adalah 12,38% dan 10,92%; 11,80% dan 11,53%; 10,19% dan 13,03%; 9,53% dan 13,45%. Kadar karbohidrat yang dihasilkan dari penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Renaud et al. (2002) yang menyatakan bahwa Chaetoceros yang dikultivasi pada suhu 25 dan 33 o C dalam medium Guillard, dipanen pada fase log kandungan karbohidratnya sebesar 13,1 % dan 11,3 %. Gambar histogram persentase kadar karbohidrat pada kultur A, B, C dan D dengan umur panen 8 dan 14 hari dapat dilihat pada Gambar 13. Keterangan : A = Lama penyinaran 12 jam dengan lampu TL B = Lama penyinaran 24 jam dengan lampu TL C = Penyinaran dengan sinar matahari D = Penyinaran dengan sinar matahari + NaHCO 3 Gambar 13 Rata-rata kandungan karbohidrat Chaetoceros gracilis

45 Kadar karbohidrat pada kultur A lebih tinggi dibanding dengan kultur B pada umur panen yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa lama penyinaran berpengaruh terhadap kadar karbohidrat. Hal ini diduga karena lama penyinaran 24 jam (B) fotosintesis terus menerus sehingga kemungkinan terjadi fotoinhibisi pada kultur menyebabkan kadar karbohidrat menurun. Kadar karbohidrat pada kultur C hampir sama dengan kultur D pada umur panen yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan NaHCO 3 tidak memberikan pengaruh terhadapa kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat pada kultur A dan B dengan umur panen 8 hari lebih tinggi dibanding dengan pada kultur C dan D, akan tetapi pada kultur A dan B dengan umur panen 14 hari lebih rendah dibanding dengan pada kultur C dan D. Hal ini menunjukkan bahwa sumber cahaya dan umur panen mempengaruhi kadar karbohidrat yang dihasilkan C. gracilis. Sumber cahaya lampu TL dengan intensitas cahaya yang konstan, dan nutrien yang terbatas sehingga kadar karbohidrat pada kultur A dan B umur panen 8 hari lebih sedikit dibanding dengan umur panen 14 hari. Sebaliknya pada kultur C dan D dengan sumber cahaya matahari memiliki intensitas cahaya yang tidak konstan yaitu, lux menyebabkan kadar karbohidrat pada umur panen 14 hari lebih tinggi dibanding dengan umur panen 8 hari. Karbohidrat merupakan hasil utama dari proses fotosintesis (Campbell et al. 2002). Setiap organisme yang berfotosintesis akan mereduksi CO 2 menjadi karbohidrat dengan mekanisme siklus Calvin. Adapun skema siklus Calvin dapat dilihat pada Gambar 14. Dalam siklus Calvin, CO 2, dan H 2 O dari lingkungan secara enzimatis digabungkan dengan molekul akseptor 5-karbon untuk menghasilkan 2 buah molekul intermediet 3-karbon (3-fosfogliserat/PGA). Intermediet tersebut kemudian direduksi menjadi karbohidrat dengan menggunakan ATP dan NADPH (Campbell et al. 2002). Proses pembentukan karbohidrat dalam siklus Calvin terjadi dalam reaksi berikut : 6 CO H 2 O + 12NADPH + 18ATP Frutosa-6-fosfat + 12NADP + + 6H + +18ADP + 17Pi

46 Gambar 14 Siklus Calvin (Campbell et al. 2002) Protein Persentase kadar protein C. gracilis pada kultur A, B,C, dan D dengan umur panen 8 hari dan 14 hari masing-masing berturut-turut adalah 39,87% dan 44,37%; 30,12% dan 35,00%; 30,50% dan 28,63%; 23,87% dan 22,87%. Hasil protein yang didapat dari penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan penelitiannya Renaud et al. (2002), dimana kandungan protein Chaetoceros berkisar antara 57,3%-62,5% dari berat kerning dalam medium f/2 (Guillard). Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) Chaetoceros sp. mengandung protein sebesar 35%. Perbedaan ini diduga karena nutrien yang digunakan untuk pertumbuhan C. gracilis mempengaruhi sintesis protein. Gambar histogram kadar protein pada kultur A, B, C, dan D dengan umur panen 8 dan 14 hari dapat dilihat pada Gambar 15.

47 Keterangan : A = Lama penyinaran 12 jam dengan lampu TL B = Lama penyinaran 24 jam dengan lampu TL C = Penyinaran dengan sinar matahari D = Penyinaran dengan sinar matahari + NaHCO 3 Gambar 15 Rata-rata kandungan protein Chaetoceros gracilis Kadar protein pada kultur A lebih tinggi dibanding dengan kultur B pada umur panen yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa lama pencahayaan mempengaruhi terhadap protein yang dihasilkan. Hal ini diduga karena pada lama pencahayaan 24 jam (B) fotosintesis terjadi terus menerus sehingga kemungkinan terjadi fotoinhibisi. Kadar protein pada kultur C dengan umur panen 8 hari dan 14 hari lebih tinggi dibanding dengan kultur D. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan media NaHCO 3 dapat mempengaruhi hasil protein. Penambahan NaHCO 3 dapat meningkatkan terhadap kadar CO 2 dalam media sehingga mempengaruhi juga terhadap ph media (Maroto et al. 2004). Peningkatan ph dalam media juga mempengaruhi terhadap metabolisme sel, yaitu salah satunya adalah sintesis protein. Kadar protein C. gracilis pada kultur A dan B dengan umur panen 8 hari dan 14 hari lebih tinggi dibanding dengan kultur C dan D. Kadar protein kultur A dan B umur panen 8 hari lebih rendah dibanding dengan umur panen 14 hari, akan tetapi pada kultur C dan D dengan umur panen 8 hari lebih tinggi dibanding dengan umur panen 14 hari. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan sumber cahaya dan umur panen mempengaruhi terhadap kadar protein C. gracilis. Sumber cahaya lampu TL memiliki sinar biru dengan panjang gelombang tetap yaitu 480 nm (Fitriansyah 2007) dapat mensintesis protein lebih banyak dibanding

48 dengan cahaya matahari yang memiliki panjang gelombang tidak tetap yaitu, berkisar antara nm (Campbell et al. 2002), sehingga kadar protein dengan penyinaran sinar matahari lebih rendah dibanding dengan sinar lampu TL, Lipid Persentase kadar lipid C. gracilis pada kultur A, B, C, dan D dengan umur panen 8 hari dan 14 hari masing-masing berturut-turut adalah 6,77% dan 11,81%; 10,95% dan 16,41%; 16,36% dan 18,05%; 23,86% dan 25,40%. Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menyatakan bahwa kandungan lipid Chaetoceros sp. adalah 6,9%. Hasil penelitian Renaud et al. (2002) yang menyatakan bahwa C. gracilis yang ditumbuhkan pada suhu 25 dan 33 o C adalah 16,8% dan 12,4%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penyinaran matahari dapat meningkatkan kadar lipid. Gambar histogram kadar lipid C. gracilis pada kultur A, B, C, dan D dengan umur panen 8 hari dan 14 hari dapat dilihat pada Gambar 16. Kadar lipid kultur B lebih tinggi dibanding dengan kultur A pada umur panen yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa lama penyinaran berpengaruh terhadap kadar lipid. Hal ini diduga karena lama penyinaran 24 jam (B) fotosintesis terjadi terus menerus sehingga lipid dapat disintesis lebih banyak dibanding dengan penyinaran 12 jam (A). Kadar lipid kultur C dan D lebih tinggi dibanding dengan kultur A dan B. Hal ini menunjukkan bahwa sumber cahaya mempengaruhi terhadap produksi lipid C. gracilis. Sumber cahaya matahari yang memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi dibanding dengan lampu TL diduga mempengaruhi sintesis lipid dalam fotosintesis. Kadar lipid kultur D lebih tinggi dibanding dengan kultur C. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan NaHCO 3 dapat meningkatkan produksi lipid dengan adanya unsur C dan O sebagai unsur pembentukan lipid. Kadar lipid kultur C dan D lebih tinggi dibanding dengan kultur A dan B pada umur panen yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sumber cahaya mempengaruhi terhadap kadar lipid sel Chaetoceros. Hal ini diduga karena sumber cahaya matahari dengan intensitas cahaya yang tinggi lebih sekitar lux lebih baik untuk sintesis lipid dibanding dengan cahaya lampu TL dengan intensitas cahaya lux.

49 Keterangan : A = Lama penyinaran 12 jam dengan lampu TL B = Lama penyinaran 24 jam dengan lampu TL C = Penyinaran dengan sinar matahari D = Penyinaran dengan sinar matahari + NaHCO 3 Gambar 16 Rata-rata kandungan lipid Chaetoceros gracilis Kadar lipid C. gracilis umur panen 14 hari (A, B, C, dan D) lebih tinggi dibanding dengan umur panen 8 hari. Hal ini menunjukkan bahwa umur panen mempengaruhi produksi lipid. Semakin lama umur panen maka semakin tinggi kadar lipid yang dihasilkan. Kadar lipid yang tinggi pada fase stasioner diduga karena energi hasil dari fotosintesis disimpan dalam bentuk lemak. Reaksi fotosintesis terjadi dalam kloroplas yang mengandung tilakoid dan pigmen yang menangkap sinar matahari. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persentase lipid dari C. gracilis meningkat seiring dengan bertambahnya umur kultur. Pada fase stasioner kandungan lipid meningkat, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Saavedra et al. (2005) bahwa kandungan lipid selama pertumbuhan semakin meningkat sampai akhir fase stasioner. Lipid dapat disintesis dari karbohidrat dan protein, karena dalam metabolisme, ketiga zat tersebut bertemu di dalam daur Krebs. Sebagian besar pertemuannya berlangsung melalui pintu gerbang utama siklus (daur) Krebs, yaitu Asetil Ko-enzim A. Akibatnya ketiga macam senyawa tadi dapat saling mengisi sebagai bahan pembentuk semua zat tersebut. Lipid dapat dibentuk dari protein dan karbohidrat, karbohidrat dapat dibentuk dari lemak dan protein dan seterusnya.

50 Sintesis lipid dari karbohidrat dimulai dengan penguraian glukosa menjadi piruvat sehingga menghasilkan gliserol. Tahap kedua glukosa diubah menjadi gula fosfat kemudian menjadi asetil ko-a sehingga menghasilkan asam lemak. gliserol dan asam lemak jika digabungkan akan menghasilkan lipid (Campbell et al.2002). Sintesis lipid dari protein diawali dengan perubahan protein menjadi asam amino dengan bantuan enzim protease. Sebelum terbentuk lemak asam amino mengalami deaminasi lebih dahulu, setelah itu memasuki daur Krebs. Banyak jenis asam amino yang langsung ke asam piruvat sehingga menghasilkan asetil ko-a. Asam amino serin, alanin, valin, leusin, isoleusin dapat terurai menjadi asam piruvat, selanjutnya asam piruvat menjadi gliserol sehingga menghasilkan fosfogliseroldehid. Fosfogliseraldehid dengan asam lemak akan mengalami esterifkasi membentuk lipid (Campbell et al.2002). Berdasarkan hasil pengukuran terhadap komposisi kimia C. gracilis yang dikultivasi pada perbedaan lama penyinaran, sumber cahaya, penambahan NaHCO 3 dan umur panen diduga bahwa perlakuan yang diberikan tidak mempengaruhi terhadap kadar air. Persentase kadar abu, karbohidrat, protein dan lipid dapat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Richmond (1988) bahwa komposisi kimia dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya adalah cahaya, nutrien, salinitas, suhu dan karbondioksida.

51 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kultur dengan dengan penyinaran 12 jam (A) mengalami fase adaptasi sedangkan pada kultur dengan penyinaran 24 jam (B), sinar matahari (C) dan sinar matahari dengan penambahan NaHCO 3 (D) tidak mengalami fase adaptasi. Fase logaritmik kultur A terjadi pada hari ke 4 sampai hari ke 8, kultur B, C, dan D pada hari ke-1 sampai hari ke-8. Fase stasioner kultur A, B, C dan D pada hari ke-9 sampai hari ke-20, kemudian kultur mengalami fase kematian pada hari ke-21 sampai hari ke-26. Laju pertumbuhan C. gracilis dengan penyinaran matahari lebih besar dibanding dengan penyinaran lampu TL dengan kepadatan 3,55x10 6 sel/l, laju pertumbuhan 0,3316 sel per/hari, berat kering 0,229 g/l, dan produktivitas 0,07 g/l/hari. Chaetoceros gracilis yang diberi perlakuan pencahayaan berbeda memiliki kadar air dan kadar abu yang hampir sama. Kandungan karbohidrat dengan perlakuan pencahayaan sinar matahari penambahan NaHCO 3 pada umur panen 14 hari lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya, yaitu 13,45%. Kandungan protein dengan perlakuan pencahayaan lampu TL 12 jam pada umur panen 14 hari lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya, yaitu 44,37%. Kandungan lipid dengan perlakuan pencahayaan sinar matahari penambahan NaHCO 3 pada umur panen 14 hari lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya, yaitu 25,40%. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai komposisi kimia dari Chaetoceros gracilis dari perlakuan yang lainnya, seperti: derajat keasaman (ph), salinitas, atau kandungan CO 2 bebas. Selain itu, perlu diketahui mengenai kandungan logam, jenis asam amino dan asam lemak.

52 DAFTAR PUSTAKA Akbar TM Pengaruh cahaya terhadap senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 43 hal. Anonim Antibacterially active extracts from the marine algae Chaetoceros and metodhs of use. united States Patent [15 Desember 2009]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemyst. Arlington, Virginia, USA: Published by The Association of Official Analitycal Chemyst. Inc. Araújo SC, Gracia VMT Growth and biochemical composition of the diatom, Chaetoceros cf wighamii brightwell under different temperature, salinity and carbondioxide level. I. Protein, charbohidrats and lipids. Aquaculture 246: Arinardi OH Status pengetahuan plankton di Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 30: Becker EW Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge: University press. 279 hal. Bachtiar Y Menghasilkan Pakan Alami untuk Ikan Hias. Jakarta: Agromedia Pustaka. 62 hal. [BBL] Balai Budidaya Laut Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Lampung: Balai Budidaya Laut Lampung. Dirjen Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. 102 hal. Bligh EG, Dyer WJ A rapid method for total lipid extraction and purification. Can. J. Biochem.Physiol. 37: Bold CH, Wynne JM Introduction to Algae, Structure and Reproduction. Englewood Cliffs: Prentice-hall, Inc. 720 hal. Borowitzka MA, Borowitzka LJ Microalgal Biotechnology. Cambridge: University Press. 477 hal. Buckham NC, Brady HO The Nature and Properties of Soils. Soegiman, penerjemah; Jakarta: Brata Karya Aksara. 291 hal

53 Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG Biology edisi ke lima. Jilid I. Jakarta: Erlangga. 438 hal. Castro P, Huber ME Marine Biology sixth edition. Australia: Global Coastal Strategies. 431 hal. Ciberlipid Special Procedures. www. Cyberlipid. [12 Desember 2009]. Chrismadha T Growth and lipid production of Phaedodactylum tricornutum bohlin in a tubular-photobioreaktor. [tesis]. Perth: Murdoch University. 211 hal. Chrismadha T, Nasution SH, Mardiati Y, Rosidah, Kurniasih A Respon tumbuh alga Ankistrodesmus convulutus dan Chorella sp. terhadap intensitas cahaya. LIMNOTEX vol 4 (1) Csavina JL The Optimization of Growth Rate and Lipid Content from Select Algae Strains. [tesis]. Ohio: Faculty of Russ College of Engineering and technology of Ohio University. 99 hal. Diharmi A Pengaruh pencahayaan terhadap kandungan pigmen bioaktif mikrolaga Spirulina platensis strain lokal (INK). [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Dodge JD The Fine Structure of Algal Cells. London : Academic Press. 261 hal. Effendi H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Bogor: Menejeman Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. 258 hal. Fitriansyah Sejarah lampu neon. Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung. lampu neon. [2 April 2010] Fogg GE Algal Cultures and Phytoplankton Ecology. London: University of Wisconsin Press. 126 hal. The Hadioetomo RS Mikrobiologi Dasar dalam Prakten (teknik dan prosedur dasar laboratorium). Jakarta: Penertbit PT Gramedia. 187 hal. Isnansetyo A, Kurniastuti Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton : Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius. 116 hal.

54 Junior AMM, Egídio BN, Maria LK, Enide EL Chemical compositon of three microalgae species for possible use in mariculture. Brazilian Archives of Biology and Technology an International Journal. Vol 50. 3: Kurniawati AR Peningkatan produktivitas kultur diatom Chaetoceros amami melalui optimasi rasio N: P: Si. [tesis]. Bandung: Program Studi Bioteknologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. 71 hal. Larastri R Biomassa diatom perifik pada substrat biocrete dengan konsentrasi P yang berbeda. [skripsi]. Bogor : Departemen Menejemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lee RE Phycology. Canada: Cambrige University Press. 614 hal. Lombardi AT, Wangersky PJ Particulate lipid class composition of three marine phytoplankters Chaetoceros gracilis, Ishochrysis galbana (Tahiti) and Dunaliella tertiolecta grown in batch cultur. Hidrobiology. 1: 306 Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, dan Randall RJ Protein measurement with the folin phenol reagent. Missouri: Departement of Pharmacology, Washington University School of Medicine, St. Louis. The Journal of Biological Chemistry. [7 Juli 2009] Mattjik AA, Sumertajaya M Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. 263 hal. Maroto JMR, Jimenez C, Aguilera J, Niell FX Air bubling results in carbon loss during microalgal cultivation in bicarbonate-enriched media: experimental data and process. J. Aquacultural Engineering. 33: Pomeranz Y, Meloan CE Food analysis, Theory & Practice. Edisi ke- 3. Maryland: aspen Publisher, Inc. 778 hal. Prabowo DA Optimasi pengembangan media untuk pertumbuhan Chlorella sp. pada skala laboratorium. [skripsi]. Bogor : Program Studi Ilmu dan teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pribadi TDK Ekstraksi senyawa antibakteri dari mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis dan uji aktivitasnya terhadap beberapa bakteri. [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

55 Priyambodo K, Wahyuningsih T Budidaya Pakan Alami untuk Ikan. Cetakan ke-2. Jakarta : Penebar Swadaya. Reynolds CS The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Melbourne Sydney: Cambridge University Press. Hal: Renaud SM, Thinh LV, Lambrinidis G, Parry DL Effect of temperature on growth, chemical composition and fatty acid composition of tropical Australian microalga grown in batch cultur. Australia: Faculty of Sience, Information Technology and Education, Northern Terrritory University, Darewin. Aquaculture. 211: Richmond A Spirulina. Dalam: Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds). Microalga Biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press. 152 hal. Saavedra MPS, Voltolina D The growth rate biomass production and composition of Chaetoceros sp grown with different light sourch. Mexico: Aquacultural Engineering. 36: Setyaningsih I, Harjito L, Monintja DR, Sondita MFA, Bintang M, Lailati N, Panggabean L Ekstraksi senyawa antibakteri dari diatom Chaetoceros gracilis dengan berbagai metode. Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Teknologi Kelautan. Jurnal Kelautan Nasional. Vol. 2 (1). Sunesen I, Hernandez Becerril DU, Sar EA Marine diatoms from Buenos Aires coastal waters (Argentina). V. Spesies of the genus Chaetoceros. J. Biologia Marina Oceanografi 43(2): Suseno H Fisiologi Tumbuhan Metabolisme Dasar dan Beberapa Aspeknya. Bogor : Departemen Botani, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yanase R, Imai T The effect of light intensity and temperature on the growth of several marine algae useful for rearing molluscan larvae. Japan: Departement of Fisheries, Faculty of Agriculture, Tohoku University, Sendai. Tohoku Journal of Agricultural Research. Vol.19 (1) Wijaksono B Komposisi polyunsaturated fatty acid (PUFA) Chaetoceros gracilis yang dikultivasi pada suhu berbeda. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Petanian Bogor.

56 LAMPIRAN

57 Lampiran 1 Medium Guillard yang telah dimodifikasi Bahan Jumlah 1. NaNO 3 dan H 2 PO 4.H 2 O** NaNO 3 8,451 gr H 2 PO 4.H 2 O 1 gr Aquades 100 ml 2. Na 2 SiO 3.H 2 O** Na 2 SiO 3.H 2 O 1,2 gr Aquades 100 ml 3. FeCl 3.H 2 O** FeCl 3.H 2 O 0,145 gr Aquades 100 ml 4. NaEDTA** NaEDTA 1 gr Aquades 100 ml 5. Vitamin stok** Vitamin B1 20 µl Biotin 1 ml atau 0,01 gr/ 100 ml Vitamin B12 1 ml atau 0,01 gr/ 100 ml Aquades 100 ml 6. Trace element** Trace Metal A* CuSO 4.5H 2 O 1,95 gr ZnSO 4.7H 2 O 4,4 gr Aquades 100 ml Trace metal B* NaMoO 4.2H 2 O 1,26 gr (NH 4 ).Mo 7 O 24.4H 2 O 6,43 gr Aquades 100 ml Trace metal C* MnCl 2.4H 2 O 3,6 gr Aquades 100 ml Trace metal D* CoCl 2.6H 2 O 2 gr Aquades 100 * masing masing 0,1 ml/ ml aquades ** masing masing 1 ml /1000 ml air laut Ket: NaSiO 3.H 2 O dan vitamin stok yang digunakan berupa NaSiO 3.H 2 O dan vitamin stok teknis Sumber : Puslitbang Oseonologi LIPI diacu dalam Pribadi (1998)

58 Lampiran 2 Medium NPSi (Nitrogen-Phosphor-Silika) yang telah dimodifikasi Bahan 1. Urea ((NH 2 ) 2 CO) (N) **** Aquades 2. TSP (Ca 2 (HPO 4 ) 2 ) (P) ** Aquades 3. Silikat (Si(OH) 2 (Si) *** Aquades 4. Vitamin stok** Vitamin B1 Biotin Vitamin B12 Aquades 5. Trace element** Trace Metal A* CuSO 4.5H 2 O ZnSO 4.7H 2 O Aquades Trace metal B* NaMoO 4.2H 2 O (NH 4 ).Mo 7 O 24.4H 2 O Aquades Trace metal C* MnCl 2.4H 2 O Aquades Trace metal D* CoCl 2.6H 2 O Aquades Jumlah 2,17 g 100 ml 0,3125 g 100 ml 0,2941 g 100 ml 20 µl 1 ml atau 0,01 gr/ 100 ml 1 ml atau 0,01 gr/ 100 ml 100 ml 1,95 gr 4,4 gr 100 ml 1,26 gr 6,43 gr 100 ml 3,6 gr 100 ml 2 gr 100 ml * masing masing 0,1 ml/ ml aquades ** masing masing 1 ml /1000 ml air laut *** masing masing 3 ml / 1000 ml air laut **** masing masing 4 ml / 1000 ml air laut Sumber : Larastri (2006) Perhitungan Pupuk 1. Pupuk Urea yang digunakan mengandung 46% N maka unutk mg Urea = 4600 mg N. Sehingga jika akan dibuat pupuk induk Urea dengan konsentrasi ppm N dibutuhkan pupuk Urea sebesar : akuades atau 21, 739 gram urea dalam 1 liter

59 2. Pupuk TSP yang digunakan menggunakan 32 % P 2 O 5 maka untuk 1000 mg TSP = 320 P 2 O 5. Sehingga jika akan dibuat pupuk induk TSP dengan konsentrasi 1000 ppm P 2 O 5 dibutuhkan pupuk TSP sebesar atau 3,125 gram TSP dalam 1 liter akuades. 3. Pupuk Sodium Metasilika yang digunakan mengandung 34% Si(OH) 2 maka untuk 1000 mg Sodium Metasilika = 340 mg Si(OH) 2. Sehingga jika akan dibuat ppuk induk Sodium Metasilika dengan konsentrasi 1000 ppm Si(OH) 2 dibutuhkan pupuk Sodium Metasilika sebesar: atau sebesar 2,941 gram sodium metasilika dalam 1 liter akuades.

60 Lampiran 3 Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis Jenis bahan Penggunaan 1. Pereaksi lipid Penentuan konsentrasi lipid Wheatman Klorofom Metanol Aquades 2. Pereaksi protein Penentuan konsentrasi protein Wheatman NaOH 4% (w/v) Na 2 CO3 20% Na-K Tartat 20% CuSO4. 4H2O 5% BSA Folin Ciocaltue-fenol 3. Pereaksi karbohidrat Penentuan konsentrasi karbohidrat H2SO4 98% Fenol 5% H2SO4 2N Glukosa

61 Lampiran 4 Data jumlah sel Chaetoceros gracilis Hari ke Jumlah sel Jumlah sel Log jumlah sel Hari ke 12 jam 24 jam Log jumlah sel , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0000

62 Hari ke Jumlah sel cahaya matahari Log jumlah sel Hari ke Jumlah sel cahaya matahari + NaHCO 3 Log jumlah sel , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Contoh perhitungan : Perhitungan kepadatan sel Chaetoceros gracilis Diketahui : N1 = 9 N2 = sel/ ml

63 Lampiran 5 Data laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis Hari ke- Jumlah sel Laju pertumbuhan penyinaran 12 jam Hari ke - Jumlah sel Laju pertumbuhan penyinaran 24 jam , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0600

64 Hari ke Jumlah sel Laju pertumbuhan Penyinaran matahari Hari ke Jumlah sel Laju pertumbuhan penyinaran matahari + NaHCO , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Contoh perhitungan : Perhitungan laju partumbuhan sel Chaetoceros gracilis pada lama penyinaran 12 jam Diketahui : Xt = Xo= t = 8

65 Lampiran 6 Berat kering Chaetoceros gracilis sampel Ulangan berat kosong berat akhir berat kering 12 jam log 1 1,1884 1,1992 0, ,2076 1,2131 0, ,2049 1,2294 0, jam stas 1 1,2113 1,2183 0, ,2059 1,2167 0, ,1987 1,2152 0, jam log 1 1,2163 1,2333 0, ,2103 1,2229 0, ,2112 1,2237 0, jam stas 1 1,1904 1,1987 0, ,1902 1,2088 0, ,2140 1,2232 0,184 luar log 1 1,2204 1,2383 0, ,2120 1,2204 0, ,2274 1,2355 0,162 luar stas 1 1,2113 1,2167 0, ,1884 1,2053 0, ,1738 1,1863 0,250 luar NaHCO3 log luar NaHCO3 stat Contoh perhitungan : 1 1,1808 1,1934 0, ,1867 1,1986 0, ,2182 1,2308 0, ,1738 1,1892 0, ,1770 1,1877 0, ,1806 1,1965 0,318 Perhitungan berat kering pada sampel Chaetoceros gracilis Diketahui : berat awal Wheatman Berat sampel setelah dioven Sampel = 1,1884 g = 1,1992 g = 50 ml

66 Lampiran 7 Produktivitas Chaetoceros gracilis Sampel Ulangan Berat kering Laju tumbuh sel Produktivitas 12 jam log 1 0,216 0, ,04 2 0,110 0, ,02 3 0,490 0, ,09 12 jam stas 1 0,140 0, ,01 2 0,216 0, ,02 3 0,330 0, ,03 24 jam log 1 0,340 0, ,06 2 0,252 0, ,05 3 0,250 0, ,04 24 jam stas 1 0,166 0, ,02 2 0,372 0, ,06 3 0,184 0, ,03 luar log 1 0,358 0, ,06 2 0,168 0, ,03 3 0,162 0, ,03 luar stas 1 0,108 0, ,01 2 0,338 0, ,05 3 0,250 0, ,04 luar NaHCO3 log 1 0,252 0, ,07 2 0,238 0, ,06 3 0,252 0, ,07 luar NaHCO3 stat 1 0,308 0, ,04 2 0,214 0, ,03 3 0,318 0, ,04 Contoh perhitungan : Perhitungan produktivitas pada sampel Chaetoceros gracilis Diketahui : berat kering = 0,216 Laju tumbuh sel = 0, Produktivitas = Berat kering x laju tumbuh sel = 0,216 x 0, = 0,04

67 Lampiran 8 Data kadar air Sampel berat kosong berat akhir % kadar air Ratarata ulangan ulangan ulangan ulangan ulangan ulangan j8 20, , ,416 21,6003 5,52 6,00 5,76 12j14 18, , , ,8232 4,86 5,70 5,28 24j8 23, , , ,6351 5,10 6,50 5,80 24j14 19, , , ,5912 5,80 5,93 5,86 Luar 8 19, , , ,5453 6,50 4,81 5,65 Luar 14 20, , , ,9644 5,96 4,68 5,32 NaHCO3 L8 19, , , ,6061 5,67 5,96 5,81 NaHCO3 L14 19, , , ,4811 5,52 5,20 5,36 Contoh perhitungan % kadar air: Keterangan : X1 : berat cawan kosong setelah dikeringkan (gram) X2 : berat cawan + sampel setelah dikeringkan (gram) A : berat sampel (gram) kadar air = 5,52%

68 Lampiran 9 Data kadar abu berat kosong Berat akhir abu %kadar abu sampel ulangan 1 ulangan 2 ulangan 1 ulangan 2 ulangan 1 ulangan 2 ratarata 12j8 20, , , , ,89 31,98 31,93 12j14 18, , , , ,01 30,00 36,00 24j8 23, , , , ,00 33,10 33,05 24j14 19, , , , ,02 38,28 38,65 Luar 8 19, , , , ,30 37,47 36,38 Luar 14 20, , , , ,76 33,89 32,32 NaHCO 3 19, ,6657 L8 20, , ,98 34,70 38,34 NaHCO 3 19, ,0331 L14 20, , ,91 37,81 30,36 Contoh perhitungan % kadar abu : Keterangan: A: berat cawan kosong (gram) B: berat cawan + sampel awal (gram) C: berat cawan + sampel akhir (gram) % kadar abu = 31,89

69 Lampiran 10 Data absorbansi karbohidrat Sampel Absorbansi KH ulangan 1 Absorbansi KH ulangan 2 µ/ml KH ulangan 1 µ/ml KH ulangan 2 %KH ulangan 1 %KH ulangan 2 12j8 1,010 1, ,50 247,50 12,37 12,37 12J14 0,802 0, ,25 241,75 9,76 12,08 24j8 1,017 0, ,00 223,00 12,45 11,15 24j14 0,953 0, ,00 228,50 11,65 11,42 L8 0,877 0, ,00 193,75 10,70 9,68 L14 1,076 1, ,75 257,75 13,18 12,88 NaHCO3L8 0,712 0, ,75 208,75 8,63 10,43 NaHCO3L14 1,069 1, ,00 276,25 13,10 13,81 Data absorbansi kurva standar glukosa Konsentrasi (ppm) Absorbansi , , , , , , , , , , ,634 Dari data absorbansi standar glukosa dibuat kurva untuk perhitungan total karbohidrat. Dari hasil regresi linier kurva standar didapatkan persamaan sebagai berikut y = 0,004x+0,021 dimana nilai y adalah hasil absorbansi pengukuran glukosa pada OD 485 nm dan x adalah total glukosa (µg/ml). Contoh perhitungan : Perhitungan total karbohidrat pada sampel Chaetoceros gracilis: Konsentrasi glukosa

70 Diketahui : Absorbansi sampel = 1,010 b = 0,021 a = 0,004 Konsentrasi glukosa = 247, 25 µg/ ml = 12,37 %

71 Lampiran 11 Data absorbansi protein Sampel Absorbansi Protein ulangan 1 Absorbansi Protein ulangan 2 µ/ml Protein ulangan 1 µ/ml Protein ulangan 2 % Protein ulangan 1 % Protein ulangan 2 12j8 0,346 0, ,50 40,25 12J14 0,274 0, ,50 29,75 24j8 0,436 0, ,75 44,37 24j14 0,181 0, ,87 35,00 L8 0,276 0, ,75 30,25 L14 0,252 0, ,25 29,50 NaHCO3L8 0,216 0, ,25 24,50 NaHCO3L14 0,212 0, ,75 23,00 Data absorbansi kurva standar BSA Konsentrasi (ppm) A540 nm , , , , , , , , , , ,153 Dari data absorbansi standar BSA dibuat kurva untuk perhitungan total protein. Dari hasil regresi linier kurva standar didapatkan persamaan sebagai berikut y = 0,002x+0,030 dimana nilai y adalah hasil absorbansi pengukuran protein pada OD 660 nm dan x adalah total protein (µg/ml). Contoh perhitungan : Perhitungan total protein pada sampel Chaetoceros gracilis: Konsentrasi protein Diketahui : Absorbansi sampel = 0,346 Konsentrasi protein b = 0,030 a = 0,002 = 158 µg/ ml = 39,50 %

72 Lampiran 12 Data berat lipid yang dihasilkan Chatoceros gracilis berat awal berat akhir berat lipid persentase lemak Sampel ulangan ulangan ulangan ulangan ulangan ulangan ulangan ulangan J8 1,4473 1,4473 1,4871 1,4875 0,0398 0,0402 6,74 6,81 12J14 1,4473 1,4473 1,4958 1,5281 0,0485 0,0808 8,22 13,69 24J8 1,4473 1,4473 1,5673 1,5210 0,1200 0, ,33 12,49 24J14 1,4473 1,4473 1,5268 1,5072 0,0795 0, ,47 10,15 Luar 10,2393 6, ,2412 6,7415 0,0019 0, ,87 17,88 luar stas 5,5253 8,0838 5,5275 8,0885 0,0022 0, ,46 18,65 luar +NaHCO 3 10,2686 8, ,2723 8,0467 0,0037 0, ,41 24,31 luar +NaHCO 3 stas 10,3082 8, ,3098 8,2503 0,0016 0, ,80 25,00 Contoh perhitungan : Perhitungan % lipid pada sampel Chaetoceros gracilis: Diketahui : berat vial isi = 1,5268 berat vial kosong = 1,4473 berat sampel = 0,0795 = 13,47%

73 Lampiran 13 Perbandingan Harga Media Guillard dan NPSi Daftar Harga Media Guillard : 1. NaNO 3 = Rp /500 gram 2. Na 2 SiO 3.H 2 O = Rp /2,5 liter 3. FeCl 3. H 2 O = Rp /250 gram 4. Na-EDTA = Rp /100 gram 5. Vitamin = Rp / 100 ml 6. Trace element = Rp ,46/100 ml 7. Air Laut = Rp. 400/lt Daftar Harga NPSi : 1. TSP = Rp. 1625/ kg 2. Silikat = Rp / kg 3. Urea = Rp / kg 4. Vitamin = Rp / 100 ml 5. Trace element = Rp ,46/100 ml 6. Air Laut = Rp. 400/lt Perbandingan Harga media/ 1 liter TSP = 0,3125 x1x x1625 0, Silikat = Urea = 0,2941 x4x 100 2, x3x x9000 0, x1800 0,11719 Total =Rp ,44/liter Perbandingan Harga media Guillard/L NaNO 3 = 8,451 x x ,24356 Na 2 SiO 3.H 2 O = 1,2 100 x x

74 FeCl 3. H 2 O = 0, x x ,554 Total = Rp.2,098.01/liter

75 Lampiran 14 Gambar hasil uji komposisi kimia Chaetoceros gracilis Gambar hasil uji karbohidrat Gambar hasil uji lemak Gambar hasil uji protein Gambar hasil kadar abu Gambar hasil uji kadar air

76 Gambar vacuum pump Gambar water bath Gambar lux meter Gambar aerometer Gambar mikroskop Gambar freeze dryer

77 Gambar spektrofotometer Gambar ruangan UV Gambar sentrifuse Gambar proses pemanenan Gambar pengatur lama pencahayaan Gambar hemositometer

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan 4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan 4.1.1 Latar belakang Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati perairan yang luar biasa besarnya. Sumberdaya yang tidak dapat secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Mikroalga merupakan organisme tumbuhan paling primitif berukuran seluler yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan produsen primer perairan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain 3 unit bak kultivasi (p = 100 cm, l = 60 cm dan t = 40 cm), 6 unit aquarium (p = 40 cm, l = 25 cm dan t = 27

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Februari hingga Agustus 2011. Tempat pelaksanaan penelitian adalah Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal walaupun secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung pada bulan Juli - Agustus 2011. B. Materi Penelitian B.1. Biota Uji Biota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan organisme air fotoautropik uniseluler atau multiseluler (Biondi and Tredici, 2011). Mikroalga hidup dengan berkoloni, berfilamen atau helaian pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. Klasifikasi Tetraselmis sp. menurut Bold & Wynne (1985) adalah sebagai berikut: Filum Kelas Ordo

Lebih terperinci

BAB III METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu

BAB III METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 - Januari 2017 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis Oleh : Teguh Muhamad Akbar C34102006 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2009 bertempat di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum Salah satu faktor lingkungan yang penting dalam kultivasi mikroalga adalah cahaya. Cahaya merupakan faktor utama dalam fotosintesis (Arad dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha budidaya ikan pada dewasa ini nampak semakin giat dilaksanakan baik secara intensif maupun ekstensif. Usaha budidaya tersebut dilakukan di perairan tawar, payau,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah, dikelompokan dalam filum Thalophyta karena tidak memiliki akar,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan mikroorganisme prokariotik atau eukariotik yang dapat berfotosintesis dan dapat tumbuh dengan cepat serta dapat hidup dalam kondisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kelimpahan sel Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way Anova

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Komposisi (g/l) 1.5 0,

3 METODE PENELITIAN. Komposisi (g/l) 1.5 0, 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB dan Indonesian Center

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung dan uji proksimat di Politeknik Lampung 2012. B. Materi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan.

I. PENDAHULUAN. Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan. Peningkatan benih berkualitas mampu didapatkan dengan pengontrolan panti benih dan pakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pakan merupakan kebutuhan penting dan berpengaruh besar dalam kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya usaha budidaya perikanan. Pakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pembagian tugas yang jelas pada sel sel komponennya. Hal tersebut yang

TINJAUAN PUSTAKA. pembagian tugas yang jelas pada sel sel komponennya. Hal tersebut yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan tanaman yang mendominasi lingkungan perairan. Morfologi mikroalga berbentuk

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kepadatan Sel Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis L A M P I R A N 69 Lampiran 1. Prosedur Analisis A. Pengukuran Nilai COD (APHA,2005). 1. Bahan yang digunakan : a. Pembuatan pereaksi Kalium dikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) adalah dengan melarutkan 4.193 g K

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2015 di Balai Besar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2015 di Balai Besar III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari Maret 2015 di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung (BBPBL), Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol)

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol) 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian disusun menggunakan metoda statistika rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, dimana faktor yang diujikan adalah pengaruh konsentrasi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PUPUK CAIR TNF UNTUK BUDIDAYA Nannochloropsis sp ABSTRAK

PEMANFAATAN PUPUK CAIR TNF UNTUK BUDIDAYA Nannochloropsis sp ABSTRAK ejurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 1 Oktober 013 ISSN: 303600 PEMANFAATAN PUPUK CAIR TNF UNTUK BUDIDAYA Nannochloropsis sp Leonardo Bambang Diwi Dayanto *, Rara Diantari dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa Desniar *) Abstrak Alginat merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2015 di Balai Besar

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2015 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2015 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung dan Laboratorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK TOTAL Nannochloropsis sp. PADA FOTOPERIODE YANG BERBEDA ABSTRAK

KANDUNGAN LEMAK TOTAL Nannochloropsis sp. PADA FOTOPERIODE YANG BERBEDA ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume I No 2 Februari 2013 ISSN: 2302-3600 KANDUNGAN LEMAK TOTAL Nannochloropsis sp. PADA FOTOPERIODE YANG BERBEDA Meytia Eka Safitri *, Rara Diantari,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Scenedesmus sp. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan sebagian besar dapat hidup di lingkungan akuatik seperti perairan tawar

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

Biota kultur yang digunakan dalam penelitian adalah Nannochloropsis sp. yang dikultur pada skala laboratorium di BBPBL Lampung.

Biota kultur yang digunakan dalam penelitian adalah Nannochloropsis sp. yang dikultur pada skala laboratorium di BBPBL Lampung. III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 13-21 Januari 2014 bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENAMBAHAN NUTRISI MAGNESIUM DARI MAGNESIUM SULFAT (MgSO 4.7H 2 O) DAN NUTRISI KALSIUM DARI KALSIUM KARBONAT (CaCO 3 ) PADA KULTIVASI TETRASELMIS CHUII UNTUK MENDAPATKAN KANDUNGAN LIPID MAKSIMUM Dora Kurniasih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada bidang akuakultur, mikroalga umumnya telah dikenal sebagai pakan alami untuk pembenihan ikan karena dan memiliki peran sebagai produsen primer di perairan dan telah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PERCOBAAN 1. Variabel Penyerapan CO 2 memerlukan suatu kondisi optimal. Dalam penelitian ini akan dilakukan beberapa variasi untuk mencari kondisi ideal dan menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva (Renaud et.al, 1999). Pemberian pakan

I. PENDAHULUAN. yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva (Renaud et.al, 1999). Pemberian pakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakan alami memiliki peran penting dalam usaha akuakultur, terutama pada proses pembenihan. Peran pakan alami hingga saat ini belum dapat tergantikan secara menyeluruh.

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis (Fisiologi Tumbuhan) Disusun oleh J U W I L D A 06091009027 Kelompok 6 Dosen Pembimbing : Dra. Tasmania Puspita, M.Si. Dra. Rahmi Susanti, M.Si. Ermayanti,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan

I. PENDAHULUAN. Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan penting dalam pembentukan biomolekul, namun demikian apabila organisme sedang kekurangan energi,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Penelitian Perlak uan Uji Persiapan Alat dan Bahan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Penelitian Perlak uan Uji Persiapan Alat dan Bahan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Perlak uan Uji Penelitian ini dilakukan dengan mengkultur spirulina Spirulina fusiformis dalam skala laboratorium (1 liter) dengan pencahayaan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan pembenihan pakan alami telah terbukti baik untuk larva.

I. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan pembenihan pakan alami telah terbukti baik untuk larva. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kegiatan pembenihan pakan alami telah terbukti baik untuk larva. Pakan alami yang banyak digunakan dalam budidaya perikanan adalah mikroalga. Mikroalga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keunggulan dalam keragaman hayati seperti ketersediaan mikroalga. Mikroalga merupakan tumbuhan air berukuran mikroskopik yang memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga Tujuan Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah mengetahui teknik kultur Chaetoceros sp. dan Skeletonema sp. skala laboratorium dan skala massal serta mengetahui permasalahan yang

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON CRYSOPHYTA

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON CRYSOPHYTA KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON CRYSOPHYTA (Paheodactylum sp., Chaetoceros sp., DAN Pavlova sp.) PADA BERBAGAI TINGKAT KANDUNGAN UNSUR HARA NITROGEN, FOSFOR DAN SILIKAT (Composition and Abundance

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Limbah cair usaha kegiatan peternakan dari MT Farm Ciampea b. Air Danau LSI IPB. c.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk dunia di masa mendatang akan menghadapi dua permasalahan yang serius, yaitu kelangkaan bahan bakar fosil dan perubahan iklim global yang diakibatkan akumulasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995)

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Bahan sejumlah kurang lebih 1 g ditimbang. Sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%. Sampel kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 30 juli 2014 bertempat di

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 30 juli 2014 bertempat di III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 30 juli 2014 bertempat di Laboratorium Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung. Uji protein dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Laboratorium

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Laboratorium 16 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Laboratorium Fitoplankton Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. 3.2. Materi

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam Dalam 100 g bayam mengandung 426 mg nitrat dan 557 mg fosfor dan konsentrasi nitrat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,9-3,5

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fitoplankton Chaetoceros sp. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum Heterokontophyta, kelas Bacillariophyta) berbentuk uniseluler, walaupun demikian terdapat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014 bertempat di Laboratorium

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014 bertempat di Laboratorium III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014 bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dimulai pada tanggal 1 April 2016 dan selesai pada tanggal 10 September 2016. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 4 April 2016 sampai 16 Agustus 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Material dan Hayati Departemen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung pada bulan November 2012. 3.2 Materi Penelitian 3.2.1 Biota uji Biota uji yang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

PENGARUH SALINITAS DAN NITROGEN TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN TOTAL Nannochloropsis sp. ABSTRAK

PENGARUH SALINITAS DAN NITROGEN TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN TOTAL Nannochloropsis sp. ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014 ISSN: 2302-3600 PENGARUH SALINITAS DAN NITROGEN TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN TOTAL Nannochloropsis sp. Nindri Yarti *, Moh.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan dibagi menjadi dua jenis, pakan buatan dan

I. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan dibagi menjadi dua jenis, pakan buatan dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan. Pakan menghabiskan lebih dari setengah biaya produksi dalam kegiatan budidaya ikan. Dalam kegiatan budidaya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2012 bertempat di Bendungan Batu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2012 bertempat di Bendungan Batu III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2012 bertempat di Bendungan Batu Tegi Kabupaten Tanggamus dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Departemen

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) Pengujian daya serap air (Water Absorption Index) dilakukan untuk bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 Setelah dilakukan peremajaan pada agar miring

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 Mei 2015 di UPT

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 Mei 2015 di UPT III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 Mei 2015 di UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi Universitas Lampung, analisis

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama pencahayaan terhadap laju pertumbuhan Botryococcus braunii dan pembentukan hidrokarbon. Untuk mencapai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monotyledonae : Gramineae (Poaceae)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath, 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Januari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Juni 2013. 2. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Formulasi :... (1) pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali pengulangan.

LAMPIRAN. Formulasi :... (1) pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali pengulangan. LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Penghitungan kelimpahan diatom Formulasi :... (1) Dimana N adalah jumlah sel mikroalga yang teramati Bidang Pengamatan pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali pengulangan.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos LAMPIRA 30 Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC 1984) Cawan alumunium kosong dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada temperatur 100 o C. Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan eksperimental. B. Tempat dan Waktu Tempat penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November Penelitian ini

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November Penelitian ini III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Biomassa Jurusan Kimia

Lebih terperinci