4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum Salah satu faktor lingkungan yang penting dalam kultivasi mikroalga adalah cahaya. Cahaya merupakan faktor utama dalam fotosintesis (Arad dan Richmond 2004). Kultivasi P. cruentum pada penelitian ini menggunakan intensitas cahaya lux. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap pertumbuhan sel yang dihasilkan. Pertumbuhan yang optimum akan menghasilkan jumlah sel yang optimum pula dan hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah biomassa P. cruentum yang dihasilkan. Intensitas cahaya pada rentang lux mendekati intensitas cahaya yang optimal bagi pertumbuhan P. cruentum. Kusumawarni (1998) melaporkan bahwa pertumbuhan sel P. cruentum tertinggi dengan warna merah terbaik pada kultivasi diperoleh pada pemberian intensitas cahaya 2000 lux. Kultivasi P. cruentum disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 Kultivasi Porphyridium cruentum skala laboratorium. Suhu yang digunakan saat proses kultivasi berkisar antara o C dan kelembaban udara %. Suhu saat kultivasi berada pada kisaran suhu pertumbuhan bagi P. cruentum. Vonshak (1988) menyatakan bahwa sel Porphyridium dapat tumbuh pada kisaran suhu C dan aktivitas optimum fotosintesis dari kultur P. cruentum terjadi pada suhu 25 C. Media kultivasi yang digunakan ada 2 jenis, yaitu modifikasi media Becker (Becker 1994) dan media pupuk (Larastri 2006). Media Becker yang digunakan terdiri dari berbagai asupan nutrien, yaitu MgSO 4, MgCl 2, CaCl 2,

2 17 KNO 3, KH 2 PO 4, NaHCO 3, Tris-HCl, Fe-EDTA, dengan modifikasi tanpa pemberian trace element. Media pupuk yang digunakan terdiri dari NPK, TSP, vitamin, dan Fe-EDTA. Proses kultivasi hanya menggunakan nutrien awal yang diberikan dalam media masing-masing tanpa penambahan nutrien selama kultivasi berlangsung. Kurva pertumbuhan yang dihasilkan dari masing-masing media disajikan pada Gambar 4. (b) (c) (1) Kultivasi dalam modifikasi media Becker (b) (c) (d) (a) (2) Kultivasi dalam media pupuk Gambar 4 Kurva pertumbuhan Porphyridium cruentum. Keterangan: (a) fase lag ; (b) fase logaritmik ; (c) fase stasioner ; (d) fase kematian

3 18 Kultivasi P. cruentum dalam modifikasi media Becker maupun media pupuk menggunakan inokulum dari media Becker (dilengkapi trace element) berumur 6 hari. Kurva pertumbuhan kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker menunjukkan keberlangsungan hidup yang lebih panjang daripada media pupuk. Gambar 4 menampilkan kurva pertumbuhan P. cruentum dalam media Becker (1) memasuki fase stasioner pada hari ke-6 dengan log kepadatan sel sebesar 6,44-6,47 sel/ml hingga akhir pengamatan hari ke-8, sedangkan dalam media pupuk (2) mengalami fase stasioner (c) pada hari ke-4 kemudian memasuki fase kematian (d) pada hari ke-7 dengan jumlah sel menurun yang ditunjukkan oleh log kepadatan sel sebesar 5,95 sel/ml saat akhir pengamatan pada hari ke-8. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker tidak teramati fase adaptasi yang terjadi, namun mengalami fase logaritmik hingga hari ke-6 kemudian memasuki fase stasioner. Kultur mengalami pertumbuhan yang ditunjukkan pada Gambar 4 (1) dengan peningkatan log kepadatan sel dari 5,21-6,44 sel/ml hingga hari ke-6. Hari selanjutnya, sel tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan dimana log kepadatan sel berada pada kisaran 6,44-6,47 sel/ml hingga pengamatan hari ke-8. Kultur P. cruentum dalam media pupuk mengalami fase adaptasi dari awal kultivasi hingga hari ke-1. Fase logaritmik dicapai setelah hari ke-1 hingga hari ke-4. Fase stasioner dicapai setelah hari ke-4 hingga hari ke-7 dan selanjutnya memasuki fase kematian hingga akhir pengamatan pada hari ke-8. Medium inokulum awal (Becker) berbeda dengan medium yang digunakan saat kultivasi (modifikasi pupuk) sehingga perbedaan medium ini mengakibatkan penyesuaian sel untuk bertahan hidup dan sel akan mati ketika tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan baru tersebut. Sel yang mati mengakibatkan jumlah sel menurun yang ditunjukkan pada Gambar 4 (2) log kepadatan sel pada hari ke-1 sebesar 5,72 sel/ml dimana nilai ini menurun dari log kepadatan sel awal kultur sebesar 5,79 sel/ml. Proses adaptasi berlangsung cepat yang ditandai dengan jumlah log sel meningkat secara signifikan hingga hari ke-4 yaitu log kepadatan sel mencapai 6,54 sel/ml. Kultur pada hari ke-4 hingga hari ke-7 menunjukkan sel tidak mengalami pertambahan jumlah yang signifikan, yaitu berada pada kisaran 6,52-6,54 sel/ml. Fase kematian mulai berlangsung pada hari ke-7, yaitu

4 19 terjadi penurunan log kepadatan sel hingga akhir pengamatan hari ke-8 yaitu mencapai 5,95 sel/ml. Perbedaan pola pertumbuhan P. cruentum pada penelitian ini terjadi karena perbedaan media, yaitu modifikasi media Becker dan pupuk. Kultur dalam modifikasi media Becker tidak teramati fase adaptasi melainkan membentuk pola pertumbuhan yang langsung memasuki fase logaritmik, sedangkan kultur dalam media pupuk mengalami adaptasi dari hasil pengamatan dengan rentang waktu satu hari. Fase adaptasi dapat terjadi akibat adanya pergantian media atau kondisi kultivasi (Lee dan Shen 2004). Hal ini terjadi karena inokulum awal yang digunakan, yaitu menggunakan media Becker dimana komposisinya relatif sama dengan modifikasi media Becker yang digunakan pada penelitian ini sehingga adaptasi berlangsung sangat cepat dan tidak teramati saat pengamatan per hari, sedangkan media pupuk hanya terdiri dari 4 nutrien yaitu NPK, TSP, vitamin, dan FeCl 3 -EDTA sehingga mengalami fase adaptasi lebih lama dalam pertumbuhannya. Kusmiyati dan Agustini (2007) menyatakan bahwa stok (inokulum) awal yang digunakan berpengaruh terhadap fase yang dialami kultur saat proses kultivasi. Inokulum pada fase logaritmik menyebabkan kultur cepat melanjutkan perbanyakan sel tanpa adaptasi terlalu lama. Umur kultur dalam modifikasi media Becker lebih panjang daripada media pupuk. Komposisi nutrien dalam media pupuk belum optimal bagi pertumbuhan P. cruentum sehingga kultur dalam media pupuk mengalami siklus hidup lebih pendek. Nutrien berperan dalam pertumbuhan sel sehingga ketika tidak dilakukan penambahan nutrien maka ketersediaan nutrien dalam kultur akan semakin sedikit. Nutrien menjadi faktor pembatas sehingga menyebabkan kompetisi dalam pertumbuhan sel. Fogg dan Thake (1987) menyatakan bahwa jumlah sel yang semakin bertambah menyebabkan kepadatan sel meningkat dan penetrasi cahaya menjadi berkurang, sehingga menyebabkan pertumbuhan sel menjadi terhambat bahkan sel mengalami kematian. Derajat keasaman (ph) dari air laut yang digunakan pada kultivasi P. cruentum, yakni sebesar 7,9. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker memiliki ph sebesar 7,5 sedangkan dalam media pupuk memiliki ph sebesar 7,6 dimana ph dalam kedua media ini termasuk dalam kisaran ph

5 20 pertumbuhan P. cruentum. Borowitzka dan Borowitzka (1988) menyatakan bahwa P. cruentum dapat tumbuh dengan baik pada kisaran ph 5,2-8,3 dengan derajat keasaman (ph) optimum untuk fotosintesis, yaitu 7,5. Salinitas air laut yang digunakan pada kultivasi P. cruentum sebesar 3% yang diukur menggunakan alat refraktometer. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker memiliki salinitas sebesar 7,4% sedangkan dalam media pupuk sebesar 4,0%. Salinitas dari media Becker maupun media pupuk ini lebih besar dibandingkan dengan salinitas air laut yang digunakan. Pengaruh penambahan nutrien mengakibatkan terbentuknya garam dalam media sehingga menyebabkan salinitas meningkat. Kultur dengan media Becker memiliki salinitas yang sangat tinggi yakni lebih dari dua kali dari salinitas air laut, namun kultur tetap dapat tumbuh. Borowitzka dan Borowitzka (1988) menyatakan bahwa Porphyridium dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup besar, yaitu 0,5-2 kali konsentrasi air laut (3,5%). Richmond (1988) menjelaskan bahwa salinitas media Becker P. cruentum pada kisaran 3,5-4,5% dapat memacu pertumbuhan yang optimal namun salinitas 4,6% tidak menghambat proses pertumbuhan, sedangkan pada kondisi salinitas kurang dari 3,5%, Porphyridium tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya jika ditumbuhkan pada kultur terbuka. 4.2 Pemanenan Biomassa Porphyridium cruentum Tahap pemanenan pada penelitian ini diawali dengan tahap pengendapan sebelum dilakukan sentrifugasi untuk mengurangi biaya dalam pemanenan biomassa. Umumnya pemisahan biomassa P. cruentum dilakukan melalui sentrifugasi untuk mendapatkan sejumlah biomassa dari suatu kultur, namun dengan adanya tahapan pengendapan akan mengefisienkan proses pemanenan sehingga biaya pemanenan dapat ditekan. Kapasitas sentrifugasi yang sama akan menghasilkan jumlah biomassa basah yang lebih banyak bila melalui tahap pengendapan terlebih dahulu karena biomassa dalam cairan yang disentrifugasi telah terkonsentrasi dari jumlah kultur yang lebih banyak sehingga proses pemanenan menjadi lebih efisien. Pemanenan biomassa dilakukan dengan cara memisahkan biomassa dan cairan media, melalui pengendapan selama 10 hari di dalam lemari pendingin.

6 21 Lemari pendingin menjaga kultur agar tidak mengalami pertumbuhan lebih lanjut setelah pemanenan sebab dalam lemari pendingin tercipta kondisi gelap dan dingin selama proses pengendapan berlangsung. Kultur dipanen pada fase stasioner, yaitu dalam modifikasi media Becker dipanen pada umur 7 hari, sedangkan kultur dalam media pupuk dipanen pada umur 4 hari. Proses pengendapan membentuk 2 lapisan, yakni lapisan biomassa di bagian bawah dan lapisan cairan media di bagian atas. Hasil pengendapan kultur P. cruentum ini dapat dilihat pada Gambar 5. (a) (b) Gambar 5 Pemanenan biomassa Porphyridium cruentum (a) kultur awal panen ; (b) kultur setelah pengendapan 10 hari. Hasil pengendapan biomassa ini kemudian dikumpulkan dan langsung disentrifugasi menggunakan sentrifuse dingin dengan suhu 4 o C dan kecepatan rpm selama 15 menit. Proses sentrifugasi ini menyebabkan biomassa terpadatkan pada dasar tabung sehingga mempermudah dalam pemisahan biomassa P. cruentum. Biomassa yang telah terkumpul kemudian dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air menggunakan freeze dryer selama 6 jam. Biomassa P. cruentum basah dan kering yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 6. (a) (b) Gambar 6 Biomassa Porphyridium cruentum (a) basah ; (b) kering.

7 22 Aplikasi komersial pertama yang dilakukan melalui freeze drying dalam metode pengeringan adalah bidang industri pharmaceutical (antibiotik, sel, plasma darah) (Berk 2009). Pengeringan dilakukan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu rendah dan tekanan terkontrol, sehingga dapat mempertahankan komponen aktif yang ada pada biomassa P. cruentum agar tidak mengalami kerusakan akibat suhu tinggi. Suhu tinggi menyebabkan kerusakan komponen bioaktif dari suatu bahan. Hal ini sesuai dengan Yuan et al. (2011) yang menjelaskan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen bioaktif diantaranya terjadi penurunan akumulasi komponen flavonoid baicalin dan baicalein pada Scutellaria baicalensis seiring dengan meningkatnya perlakuan suhu yang digunakan yaitu 25 o C dan 40 o C. Jumlah baicalin dengan perlakuan suhu 40 o C mengalami penurunan hingga 43% pada hari ke-22, sedangkan baicalein pada perlakuan suhu 40 o C tidak terdeteksi pada HPLC. 4.3 Ekstraksi Senyawa Antibakteri Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari suatu bahan (Berk 2009). Metode ekstraksi yang digunakan mengacu pada Kusmiyati dan Agustini (2007) dan Naviner et al. (1999). Komponen antibakteri yang ingin dipisahkan dari mikroalga P. cruentum ini diperoleh melalui ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Pelarut yang berbeda ini digunakan untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni sehingga komponen antibakteri terbebas dari komponen lain yang dapat mengganggu dalam pengujian aktivitasnya. Tahap ekstraksi pertama dilakukan menggunakan pelarut polar organik, yaitu etanol 96%. Pelarut etanol 96% merupakan salah satu pelarut terbaik dalam ekstraksi yang dapat mengekstrak sebagian besar komponen sel mikroalga termasuk komponen gula, asam amino, garam, protein hidrofobik, dan pigmen (Grima et al. 2004). Etanol 96% dicampur dengan 5 gram biomassa P. cruentum kemudian diaduk menggunakan magnetic stirer selama 30 menit sehingga diperoleh larutan ekstrak kasar. Larutan ekstrak kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit untuk memperoleh larutan ekstrak yang terbebas dari komponen pengotor dari biomassa yang terbawa dalam ekstrak. Ekstrak yang masih mengandung etanol kemudian dipisahkan melalui evaporasi.

8 23 Rendemen ekstrak etanol dari biomassa yang dikultivasi dalam media Becker adalah 18,2%, yakni sebanyak 0,91 gram, sedangkan biomassa dari kultur dalam media pupuk hanya menghasilkan rendemen sebesar 2,8%, yakni sebanyak 0,14 gram. Hasil ekstrak dari kultur dalam media pupuk tidak dilanjutkan ekstraksi dan pengujian aktivitas antibakteri karena jumlah rendemen yang terlalu kecil sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan menuju tahapan selanjutnya. Rendemen ekstrak kasar dari kultur dalam media pupuk jauh lebih sedikit dibandingkan rendemen kultur dengan modifikasi Becker. Hal ini diduga karena adanya tepung pengisi (filler) dalam pupuk sehingga kebutuhan nutrien belum terpenuhi. Sifat pupuk mudah larut dalam air terkait dengan fungsinya sebagai pelengkap unsur hara yang dibutuhkan tanaman menyebabkan nutrien dalam pupuk lebih cepat terlarut dan dimanfaatkan dalam pertumbuhan P. cruentum. Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyatakan bahwa pemberian pengisi (filler) pada pupuk bertujuan agar pupuk dengan kadar tinggi memiliki ratio fertilizer tepat sesuai dengan keinginan dan mempermudah penggunaannya agar lebih merata sebagai pupuk pada tanaman terestrial. Komponen pengisi ini juga dapat menghambat pertumbuhan dalam proses kultivasi karena tepung pengisi akan meningkatkan kepadatan partikel dalam kultur sehingga menyebabkan umur kultur dalam media pupuk lebih singkat. Kematian sel lebih cepat terjadi karena terhalangnya penetrasi cahaya sebagai faktor penting dalam pertumbuhan sel. Fogg dan Thake (1987) menyatakan bahwa kepadatan sel yang meningkat akan mengakibatkan terhambatnya penetrasi cahaya sehingga menghambat pertumbuhan sel bahkan lama-kelamaan akan mengakibatkan kematian sel. Tahap ekstraksi selanjutnya menggunakan pelarut non-polar yaitu diklorometan. Ekstrak kasar hasil ekstraksi etanol yang telah dievaporasi, ditambah diklorometan dan akuades dengan perbandingan 1:1 kemudian dilakukan homogenisasi melalui pengocokan. Hasil pengocokan membentuk dua lapisan, yaitu lapisan akuades di bagian atas dan lapisan diklorometan di bagian bawah. Lapisan diklorometan disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama

9 24 15 menit sehingga diperoleh ekstrak P. cruentum dalam larutan diklorometan. Ekstrak dalam campuran diklorometan ini kemudian dipisahkan melalui proses evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi diklorometan dan air adalah 3,4%, yakni sebanyak 0,17 gram. Tahap ekstraksi akhir menggunakan pelarut diklorometan dengan penambahan NaOH 0,5N. Pelarut NaOH bersifat alkali dimana pelarut alkali digunakan untuk mengekstrak secara langsung komponen lipid dari biomassa mikroalga (Grima et al. 2004). Larutan NaOH dipisahkan dan dilakukan penetralan menggunakan HCl 8N agar NaOH habis bereaksi dengan HCl membentuk garam. Larutan ini kemudian dilakukan penambahan diklorometan sehingga lipid terlarut dalam pelarut diklorometan, dan ekstrak dipisahkan dari pelarut diklorometan melalui proses evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi akhir yang diperoleh adalah 1% dari 5 gram biomassa yang diekstraksi, yakni sebesar 0,05 gram ekstrak. Hasil ekstrak akhir P. cruentum sebelum evaporasi dan setelah evaporasi disajikan pada Gambar 7. (a) Gambar 7 Ekstrak akhir Porphyridium cruentum (a) sebelum evaporasi ; (b) setelah evaporasi. 4.4 Aktivitas Antibakteri Pengujian aktivitas antibakteri dari P. cruentum dilakukan terhadap bakteri Gram-positif S. aureus, S. epidermidis, B. subtilis, B. cereus, dan bakteri Gram-negatif yakni E. coli. Hasil zona hambat ekstrak P. cruentum disajikan pada Gambar 8 dan diameter zona hambat terhadap bakteri uji pada Tabel 1. Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan bahwa ekstrak P. cruentum memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-positif (S. subtilis dan S. aureus) dengan rentang zona hambat sebesar 6,50 mm hingga 11,10 mm, (b)

10 25 namun tidak menunjukkan aktivitas antibakteri pada bakteri Gram-negatif (E.coli) pada ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut etanol, dan pelarut diklorometan dalam berbagai kondisi, yakni diklorometan/akuades dan diklorometan/naoh. Respon yang berbeda dari dua golongan bakteri terhadap hasil ekstraksi ini disebabkan karena adanya perbedaan kepekaan pada bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif terhadap senyawa ekstrak tersebut. Bakteri Gram-positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri karena struktur dinding sel bakteri Gram-positif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja menghambat pertumbuhan sel bahkan menyebabkan kematian sel. Jumlah ekstrak P. cruentum yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri tiap sumur yaitu 400 μg, 600 μg, dan 800 μg. Bakteri yang digunakan memiliki OD (optical density) pada rentang 0,6 sampai 0,8. Kontrol positif yang digunakan, yaitu kloramfenikol (10 μg), sedangkan kontrol negatif, yaitu diklorometan (20 μl) yang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi. Tabel 1 Diameter zona hambat ekstrak P. cruentum terhadap bakteri uji Bahan uji Diameter zona hambat (mm) S. aureus S. epidermidis B. subtilis B. cereus E. coli Ekstrak P. cruentum 400 μg/sumur 1,00 2,53 2,20 1,58 0 Ekstrak P. cruentum 600 μg/sumur 1,43 3,10 2,88 2,00 - Ekstrak P. cruentum 800 μg/sumur 2,28 4,00 3,33 2,10 - Kloramfenikol 10 μg/sumur 25,10 23,50 24,40 23,20 28,45 Diklorometan 20 μl/sumur Keterangan : (-) : Tidak dilakukan pengujian Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak yang diberikan maka semakin besar zona hambat yang dihasilkan pada seluruh bakteri Gram-positif yang diuji. Bakteri S. epidermidis memiliki diameter zona hambat paling besar dibandingkan dengan jenis bakteri lain dari setiap konsentrasi, yaitu 2,53 mm pada konsentrasi ekstrak P. cruentum 400 μg/sumur, 3,10 mm pada konsentrasi 600 μg/sumur, dan meningkat menjadi 4,00 mm pada konsentrasi ekstrak P. cruentum 800 μg/sumur.

11 26 Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak P. cruentum menunjukkan zona hambat yang semakin besar terhadap bakteri S. aureus, B. subtilis, dan E. coli. Wesierska et al. (2005) melaporkan zona hambat semakin besar seiring dengan meningkatnya konsentrasi cystatin ayam yang digunakan pada berbagai bakteri dan salah satu bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus. Konsentrasi (IC 50 ) sebesar μg cystatin/ml menghambat sebagian pertumbuhan bakteri, sedangkan konsentrasi μg cystatin/ml dapat menghambat seluruh pertumbuhan bakteri uji. Kontrol negatif dan kontrol positif digunakan sebagai pembanding dalam menentukan aktivitas antibakteri dari ekstrak P. cruentum. Kontrol negatif berupa diklorometan digunakan sebagai pembanding untuk melihat pengaruh pelarut yang digunakan pada tahap ekstraksi terhadap zona hambat yang dihasilkan ekstrak. Tabel 1 menunjukkan bahwa diklorometan tidak menghasilkan zona hambat sehingga pelarut diklorometan tidak mempengaruhi hasil dari zona hambat ekstrak terhadap bakteri uji. Kontrol positif kloramfenikol memiliki zona hambat lebih besar daripada ekstrak P. cruentum. Kloramfenikol sebagai antibiotik dengan spektrum luas yang aktif terhadap banyak bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Kloramfenikol relatif tidak beracun bagi mamalia bila digunakan secara terapeutik, antibiotik ini dapat menyebabkan beberapa kelainan yang gawat di dalam darah beberapa pasien. Hal ini menyebabkan anjuran pemakaiannya hanya pada kasus-kasus yang tidak dapat diobati secara efektif dengan antibiotik lain (Pelczar dan Chan 2005). Hal ini menyebabkan diameter zona hambat yang terbentuk sangat besar terhadap seluruh bakteri uji, yaitu pada kisaran 23,20-28,45 mm. Zona hambat ekstrak P. cruentum terhadap bakteri uji pada Gambar 8 menunjukkan hasil terbesar hingga terkecil berturut-turut adalah S. epidermidis, B. subtilis, B. cereus, dan S. aureus. Perbedaan besarnya zona hambat terjadi akibat adanya berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas komponen antibakteri. Vigil et al. (2005) menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi aktivitas komponen antimikroba (antibakteri) antara lain yaitu fisiologi sel bakteri, jenis komponen antibakteri, interaksi antara komponen uji dengan medium yang digunakan, serta suhu inkubasi yang digunakan.

12 27 Ekstrak P. cruentum Staphylococcus aureus Staphylococcus epidermidis Kontrol (+) Kontrol (-) Ekstrak P. cruentum Bacillus subtilis Kontrol (+) Bacillus cereus Kontrol (-) Ekstrak P. cruentum Kontrol (+) Kontrol (-) Escherichia coli Gambar 8 Zona hambatan ekstrak Porphyridium cruentum pada bakteri uji. Ekstrak P. cruentum dengan konsentrasi 400 μg, 600 μg, dan 800 μg yang digunakan menunjukkan daya hambat yang cukup baik terhadap bakteri Gram-positif namun tidak menghasilkan zona hambat pada bakteri Gram-negatif.

13 28 Diameter zona hambat yang diperoleh dari seluruh bakteri Gram-positif memiliki rentang nilai 1-4 mm, sehingga termasuk kategori zat yang memiliki daya hambat lemah sebagai antibakteri. Nazri et al. (2011) menyatakan bahwa senyawa antibakteri termasuk kategori lemah bila memiliki zona hambat 0-9 mm. Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan bahwa ekstrak P. cruentum tidak menghasilkan aktivitas antibakteri pada bakteri Gram-negatif (E. coli) terkait dengan struktur sel Gram-negatif lebih kompleks daripada bakteri Gram-positif sehingga resisten terhadap komponen antibakteri dari ekstrak P. cruentum yang diekstrak secara bertingkat menggunakan pelarut etanol, diklorometan/akuades, dan diklorometan/naoh. Bakteri Gram-negatif (contoh: E. coli) memiliki struktur dinding sel berlapis dan kompleks. Dinding sel hanya memiliki 10% peptidoglikan dan sebagian besar dinding sel tersusun oleh membran luar. Lapisan membran luar terdir atas fosfolipid, protein, dan polisakarida. Lipid dan polisakarida terhubung dan membentuk struktur kompleks pada lapisan membran luar sel. Struktur dinding sel bakteri Gram-positif lebih sederhana, yaitu memiliki lapisan tunggal terdiri atas 90% peptidoglikan dan substansi lain berupa asam teikoat (Madigan et al. 2009). P. cruentum merupakan salah satu sumber mikroalga yang kaya AA (arachidonic acid) sekitar 36% dari total asam lemak pada suhu kultivasi 25 C dan termasuk salah satu asam lemak tak jenuh yang penting dalam bidang pharmaceutical (Becker 2004). Komponen antibakteri P. cruentum diduga berasal dari komponen lipid. Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan hasil identifikasi senyawa antibakteri dari P. cruentum dengan Kromatografi Gas Spektrometri Massa menunjukkan senyawa dominan yaitu asam lemak metil heksadekanoat (asam palmitat) sebanyak 41,15%.

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Februari hingga Agustus 2011. Tempat pelaksanaan penelitian adalah Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal 6 dari 1 maka volume bakteri yang diinokulasikan sebanyak 50 µl. Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Sebanyak 0.1 gram serbuk hasil ekstraksi flaonoid dilarutkan dengan 3 ml kloroform dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan 4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan 4.1.1 Latar belakang Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati perairan yang luar biasa besarnya. Sumberdaya yang tidak dapat secara

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis

Hari Gambar 17. Kurva pertumbuhan Spirulina fusiformis 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi Spirulina fusiformis Pertumbuhan Spirulina fusiformis berlangsung selama 86 hari. Proses pertumbuhan diketahui dengan mengukur nilai kerapatan optik (Optical Density).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya 1 BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1. Subjek Penelitian Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak mengkudu terhadap daya hambat Streptococcus mutans secara in vitro maka dilakukan penelitian pada plate

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh daya antibakteri ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis secara in vitro dengan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis zat antibakteri isolat NS(9) dari bekasam ikan nila (Oreochromis niloticus) terdiri dari tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah karakterisasi isolat NS(9) yang bertujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Karakteristik morfologi L. plantarum yang telah didapat adalah positif, berbentuk batang tunggal dan koloni berantai pendek. Karakteristik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Porphyridium cruentum Porphyridium cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk kelas Rhodophyceae, hidup bebas atau berkoloni yang terikat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode yang paling efisien untuk mengekstrak kandungan lipid dari mikroalga Botryococcus braunii.adapun metode yang digunakan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin berkembang dengan pesat, terutama perkembangan antibiotik yang dihasilkan oleh mikrobia. Penisilin

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Agustus 2006 sampai Juli 2007, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat Ekstrak Ampas Teh Hijau Metode Difusi Agar Hasil pengujian aktivitas antibakteri ampas teh hijau (kadar air 78,65 %

Lebih terperinci

SINTESIS METIL ESTER DARI LIPID Bacillus stearothermophilus DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI MENGGUNAKAN BF 3. Dessy Dian Carolina NRP

SINTESIS METIL ESTER DARI LIPID Bacillus stearothermophilus DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI MENGGUNAKAN BF 3. Dessy Dian Carolina NRP SINTESIS METIL ESTER DARI LIPID Bacillus stearothermophilus DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI MENGGUNAKAN BF 3 Dessy Dian Carolina NRP 1406 100 024 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Surya Rosa Putra, MS Latar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung dan uji proksimat di Politeknik Lampung 2012. B. Materi

Lebih terperinci

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis

PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis Oleh : Teguh Muhamad Akbar C34102006 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kelimpahan sel Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way Anova

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium 23 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus subtilis dan Bacillus cereus yang diperoleh di Laboratorium

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL

UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL Dian Pinata NRP. 1406 100 005 DOSEN PEMBIMBING Drs. Refdinal Nawfa, M.S LATAR BELAKANG Krisis Energi Sumber Energi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan organisme air fotoautropik uniseluler atau multiseluler (Biondi and Tredici, 2011). Mikroalga hidup dengan berkoloni, berfilamen atau helaian pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui 3 kali pengulangan perlakuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi Enzim α-amilase Enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis ITBCCB148 diperoleh dengan menanam isolat bakteri dalam media inokulum selama 24 jam. Media inokulum tersebut

Lebih terperinci

5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis

5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis 5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis 5.1 Pendahuluan 5.1.1 Latar belakang Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai tujuan tergantung struktur kimia

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Juli 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel yang dilakukan di persawahan daerah Cilegon,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Insektisida Nabati Hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang terbanyak diperoleh dari biji S. mahagoni, diikuti daun T. vogelii, biji A.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI

PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI PEMANFAATAN TETES TEBU (MOLASES) DAN UREA SEBAGAI SUMBER KARBON DAN NITROGEN DALAM PRODUKSI ALGINAT YANG DIHASILKAN OLEH BAKTERI Pseudomonas aeruginosa Desniar *) Abstrak Alginat merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06

HASIL. (%) Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06 Etil Asetat 0,32 ± 0,03 Etanol 70% 12,13 ± 0,06 6 HASIL Kadar Air dan Rendemen Hasil pengukuran kadar air dari simplisia kulit petai dan nilai rendemen ekstrak dengan metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil perhitungan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBAKTERI DARI KULTUR MIKROALGA Spirulina platensis

EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBAKTERI DARI KULTUR MIKROALGA Spirulina platensis 179 EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBAKTERI DARI KULTUR MIKROALGA Spirulina platensis Kusmiati dan Ni Wayan S. Agustini Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong-

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini berlangsung selama tujuh bulan, yakni mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2011. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Ilmu

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan antibakteri perlu dilakukan untuk mengetahui potensi senyawa antibakteri dari bakteri asam laktat dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Daya hambat suatu senyawa antibakteri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Identifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Identifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Identifikasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana) Diketahui ciri-ciri dari tanaman manggis (Garcinia mangostana yaitu, Buah berwarna merah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Mikroalga merupakan organisme tumbuhan paling primitif berukuran seluler yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan produsen primer perairan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Komposisi (g/l) 1.5 0,

3 METODE PENELITIAN. Komposisi (g/l) 1.5 0, 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB dan Indonesian Center

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kimia yang diproduksi oleh mikroorganisme yang dapat membunuh atau

I. PENDAHULUAN. kimia yang diproduksi oleh mikroorganisme yang dapat membunuh atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengobatan saat ini, perkembangan antibiotik untuk mengontrol pertumbuhan mikroorganisme patogen juga semakin berkembang. Menurut Madigan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kepadatan Sel Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENAMBAHAN NUTRISI MAGNESIUM DARI MAGNESIUM SULFAT (MgSO 4.7H 2 O) DAN NUTRISI KALSIUM DARI KALSIUM KARBONAT (CaCO 3 ) PADA KULTIVASI TETRASELMIS CHUII UNTUK MENDAPATKAN KANDUNGAN LIPID MAKSIMUM Dora Kurniasih

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol)

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol) 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian disusun menggunakan metoda statistika rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, dimana faktor yang diujikan adalah pengaruh konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Nigeria sering menggunakan kombinasi obat herbal karena dipercaya

BAB I PENDAHULUAN. dan Nigeria sering menggunakan kombinasi obat herbal karena dipercaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prinsip pengobatan kombinasi terhadap suatu penyakit telah lama dikembangkan dalam pengobatan kuno. Masyarakat Afrika Barat seperti Ghana dan Nigeria sering menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini telah dilaksanakan pada percobaan uji mikrobiologi dengan menggunakan ekstrak etanol daun sirih merah. Sebanyak 2,75 Kg daun sirih merah dipetik di

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Metabolit sekunder Alkaloid Terpenoid Steroid Fenolik Flavonoid Saponin

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Metabolit sekunder Alkaloid Terpenoid Steroid Fenolik Flavonoid Saponin BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Uji fitokimia Golongan senyawa kimia dari berbagai bimga tanaman dahlia pada umumnya sama yaitu mengandung golongan senyawa terpenoid, fenolik dan flavonoid.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V.

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V. 27 PEMBAHASAN Dari tiga isolat sp. penghasil antimikrob yang diseleksi, isolat sp. Lts 40 memiliki aktivitas penghambatan paling besar terhadap E. coli dan V. harveyi dengan indeks penghambatan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan tanaman khas Indonesia yang telah dimanfaatkan untuk berbagai pengobatan. Beberapa bagian tanaman tersebut telah mengalami pengujian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. D. Alat dan bahan Daftar alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

BAB III METODE PENELITIAN. D. Alat dan bahan Daftar alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian dasar dengan menggunakan metode deskriptif (Nazir, 1998). B. Populasi dan sampel Populasi yang digunakan

Lebih terperinci

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Tanin Analisis Statistik Uji Minyak Atsiri  Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) terbentuknya warna merah karena penambahan H 2 SO 4. Uji Saponin. Sebanyak.1 gram ekstrak jawer kotok ditambahkan 5 ml akuades lalu dipanaskan selama 5 menit. Kemudian dikocok selama 5 menit. Uji saponin

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB III METODE PENELITIAN A. 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan memberikan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol (Nazir, 1999). Pada penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. S.Thypi. Diperkirakan angka kejadian ini adalah kasus per

BAB I PENDAHULUAN UKDW. S.Thypi. Diperkirakan angka kejadian ini adalah kasus per BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid termasuk salah satu penyakit infeksi bakteri yang banyak ditemukan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit infeksi yang ditularkan melalui

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama pencahayaan terhadap laju pertumbuhan Botryococcus braunii dan pembentukan hidrokarbon. Untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Hasil Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang berasal dari daerah Sumalata, Kabupaten Gorontalo utara. 4.1.1 Hasil Ektraksi Daun Sirsak

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2011 hingga Agustus 2011 di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Uji Identifikasi Fitokimia Uji identifikasi fitokimia hasil ekstraksi lidah buaya dengan berbagai metode yang berbeda dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif kandungan senyawa

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2012 sampai Juli 2012. Proses preparasi sampel dan ekstraksi (maserasi) dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan.

Lebih terperinci

Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Lampiran 1 Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Kurva Standar HPLC siklo(tirosil-prolil) Luas area (kromatogram HPLC) 60000000.00 50000000.00 40000000.00 30000000.00

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Pemisahan senyawa total flavanon 4.1.1.1 Senyawa GR-8 a) Senyawa yang diperoleh berupa padatan yang berwama kekuningan sebanyak 87,7 mg b) Titik leleh: 198-200

Lebih terperinci

BAB III METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu

BAB III METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 - Januari 2017 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Akar Nanas Kering dan Hidroponik Akar nanas kering yang digunakan dalam penelitian ini merupakan akar nanas yang tertanam dalam tanah, berwarna coklat dan berupa suatu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian obat kumur ekstrak etanol tanaman sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus acidophilus secara in vitro merupakan

Lebih terperinci

Kultivasi, reproduksi dan pertumbuhan Bakteri

Kultivasi, reproduksi dan pertumbuhan Bakteri Kultivasi, reproduksi dan pertumbuhan Bakteri 1. Persyaratan Nutrisi Bakteri 2. Tipe-tipe Nutrisi Bakteri 3. Kondisi Fisik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Bakteri 4. Reproduksi Bakteri 5. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahan-bahan dari alam tersebut dapat berupa komponen-komponen biotik seperti

BAB I PENDAHULUAN. Bahan-bahan dari alam tersebut dapat berupa komponen-komponen biotik seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat alami yang digunakan oleh masyarakat semuanya bersumber dari alam. Bahan-bahan dari alam tersebut dapat berupa komponen-komponen biotik seperti tumbuhan maupun

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi enzim fibrinolitik Cacing tanah P. excavatus merupakan jenis cacing tanah yang agresif dan tahan akan kondisi pemeliharaan yang ekstrim. Pemeliharaan P. excavatus dilakukan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pembuatan Media Pertumbuhan. Untuk membuat larutan f/2-si Guillard, sebelumnya terlebih dahulu disiapkan

Lampiran 1. Pembuatan Media Pertumbuhan. Untuk membuat larutan f/2-si Guillard, sebelumnya terlebih dahulu disiapkan LAMPIRAN 63 Lampiran 1. Pembuatan Media Pertumbuhan a. Media f/2-si Guillard Untuk membuat larutan f/2-si Guillard, sebelumnya terlebih dahulu disiapkan larutan stok dengan komposisi seperti dalam Tabel

Lebih terperinci

Rumusan masalah Apakah ada efek antibakteri Aloe vera terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar?

Rumusan masalah Apakah ada efek antibakteri Aloe vera terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar? Alur Pikir LAMPIRAN 1 Bahan medikamen saluran akar Tujuan : Memperoleh aktivitas antimikroba di saluran akar. Menetralkan sisa-sisa debris di saluran akar. Mengontrol dan mencegah nyeri. Ca(OH) 2 Bahan

Lebih terperinci

POSTER (Kode : H-05)

POSTER (Kode : H-05) MAKALAH PENDAMPING POSTER (Kode : H-05) ISBN : 978-979-1533-85-0 VARIASI PENAMBAHAN KH 2 PO 4 SEBAGAI SUMBER FOSFAT TERHADAP PEMBENTUKAN KAROTEOID DAN β-karoten Dunaliella salina Ni Wayan Sri Agustini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 4 April 2016 sampai 16 Agustus 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Material dan Hayati Departemen

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2009 bertempat di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN: 1. Mikrobia penyebab kerusakan dan mikrobia patogen yang dimatikan. 2. Panas tidak boleh menurunkan nilai gizi / merusak komponen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di 24 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini sudah dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juli 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Biokimia Jurusan Kimia FMIPA

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Pencarian kondisi analisis optimum levofloksasin a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT Pada penelitian ini digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah, dikelompokan dalam filum Thalophyta karena tidak memiliki akar,

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. 1 I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar.

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan unggulan Indonesia dan kontribusinya terhadap ekspor non migas nasional cukup besar. Dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen Penelitian diawali dengan tahap persiapan dan pemurnian kembali dari keempat kultur bakteri asam laktat (BAL) yaitu Lactobacillus

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN Pertemuan Minggu ke 6 Kelas B Juni Sumarmono & Kusuma Widayaka ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN 2017 Kualitas Baik Edible (dapat dimakan)

Lebih terperinci