KULTIVASI DIATOM PENGHASIL BIOFUEL JENIS Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis PADA SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KULTIVASI DIATOM PENGHASIL BIOFUEL JENIS Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis PADA SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR"

Transkripsi

1 KULTIVASI DIATOM PENGHASIL BIOFUEL JENIS Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis PADA SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR YOGA TRISWANTO SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: KULTIVASI DIATOM PENGHASIL BIOFUEL JENIS Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis PADA SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, Januari 2011 YOGA TRISWANTO C

3 RINGKASAN YOGA TRISWANTO. Kultivasi Diatom Penghasil Biofuel Jenis Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis pada Sistem Indoor dan Outdoor. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI SUNUDDIN. Penelitian dengan topik kultivasi diatom penghasil biofuel pada sistem indoor dan outdoor ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2010 di Laboratorium PT. Suri Tani Pemuka (Japfa), Unit Hatchery Udang Vannamei, Jalan Raya Gilimanuk km 35, Desa Pemutaran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Singaraja, Propinsi Bali. Penghitungan kelimpahan diatom menggunakan haemocytometer dan mikroskop. Parameter yang diukur meliputi kelimpahan diatom, suhu salinitas, derajat keasaman (ph), dan intensitas cahaya. Analisis yang digunakan meliputi penghitungan kelimpahan, laju pertumbuhan spesifik dan maksimum (µ dan µ maks ), serta uji validitas Pearson. Kultivasi pada sistem indoor memperlihatkan bahwa Chaetoceros gracilis memiliki µ maks (0,520) dan kelimpahan maksimum tertinggi sebesar 7, sel/ml diikuti dengan Skeletonema costatum yang memiliki µ maks 0,515 dengan kelimpahan maksimum sebesar 1, sel/ml. Thalassiosira sp. memiliki µ maks 0,482 dengan kelimpahan maksimum terendah yaitu 0, sel/ml. Kultivasi pada sistem outdoor memperlihatkan bahwa Skeletonema costatum memiliki µ maks (0,506) yang lebih tinggi dibandingkan dua spesies lainnya dengan kelimpahan maksimum sebesar 1, sel/ml yang lebih rendah dibandingkan Chaetoceros gracilis sebesar 2, sel/ml. Chaetoceros gracilis memiliki µ maks (0,268) yang lebih rendah dibandingkan Skeletonema costatum dan kelimpahan maksimum tertinggi dibandingkan dua spesies diatom lainnya. Thalassiosira sp. memilki µ maks (0,205) terendah dengan kelimpahan maksimum (0, sel/ml) terendah dibandingkan dua spesies diatom lainnya. Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis pada sistem indoor memiliki µ maks lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Kelimpahan tertinggi pada kultivasi ketiga spesies tersebut juga dijumpai pada perlakuan sistem indoor. Diatom yang dianggap paling efektif dikultur dalam sistem indoor adalah Chaetoceros gracilis, sedangkan yang efektif dikultur dalam sistem outdoor adalah Skeletonema costatum.

4 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

5 KULTIVASI DIATOM PENGHASIL BIOFUEL JENIS Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis PADA SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR YOGA TRISWANTO SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 SKRIPSI Judul Skripsi: Nama Mahasiswa: Nomor Pokok: Departemen: KULTIVASI DIATOM PENGHASIL BIOFUEL JENIS Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis PADA SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR Yoga Triswanto C Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Utama Adriani Sunuddin, S. Pi., M. Si Anggota Mengetahui, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc Kepala Departemen Tanggal Lulus: 3 Januari 2011

7 KATA PENGANTAR Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul KULTIVASI DIATOM PENGHASIL BIOFUEL JENIS Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., DAN Chaetoceros gracilis PADA SISTEM INDOOR DAN OUTDOOR diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua dan keluarga. Tidak lupa ucapan terima kasih diucapkan kepada Ibu Mujizat Kawaroe selaku dosen pembimbing utama, Ibu Adriani Sunuddin selaku pembimbing anggota, Bapak Agus Somamihardja selaku pembimbing lapang dan juga yang telah memberikan izin tempat untuk melakukan kegiatan penelitian, Pak Irza, Pak Petyanto, Ilmi, Adi, Aris, Yafril, Dwi, Agung, Ugi, Vicky, Romdon, Heru, Mas Hadi, Mbak Ika, Mbak Ni luh, keluarga besar ITK khususnya angkatan 43, staf karyawan PT. Suri Tani Pemuka (Japfa) Unit Hatchery Bali-Banyuwangi, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi penelitian ini. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun orang lain dan dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya. Bogor, Januari 2011 Yoga Triswanto vi

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi 1. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Biologi, Morfologi, dan Habitat Diatom Skeletonema costatum Thalassiosira sp Chaetoceros gracilis Persyaratan Kultivasi Mikroalga Nutrien Faktor-Faktor Lingkungan Fase Pertumbuhan Mikroalga Biofuel dari Mikroalga Teknik Kultivasi Mikroalga BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Sterilisasi Alat dan Bahan Persiapan Media Proses Kultivasi Penghitungan Kelimpahan Mikroalga (Jumlah Sel) Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Media Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Diatom pada Sistem Indoor Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Skeletonema costatum Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Thalassiosira sp Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chaetoceros gracilis Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Diatom pada Sistem Outdoor Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Skeletonema costatum vii

9 4.2.2 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Thalassiosira sp Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chaetoceros gracilis Perbandingan Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik pada Kedua Sistem Skeletonema costatum Thalassiosira sp Chaetoceros gracilis Kualitas Air Kualitas Air pada Sistem Indoor Kualitas Air pada Sistem Outdoor KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

10 DAFTAR TABEL Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan Kelimpahan ( 10 6 sel/ml) dan laju pertumbuhan spesifik (µ) diatom pada sistem indoor Kelimpahan ( 10 6 sel/ml) dan laju pertumbuhan spesifik (µ) diatom pada sistem outdoor Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Skeletonema costatum pada sistem indoor Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Thalassiosira sp. pada sistem indoor Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Chaetoceros gracilis pada sistem indoor Kualitas air Skeletonema costatum pada kultivasi sistem indoor Kualitas air Thalassiosira sp. pada kultivasi sistem indoor Kualitas air Chaetoceros gracilis pada kultivasi sistem indoor Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Skeletonema costatum pada sistem outdoor Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Thalassiosira sp. pada sistem outdoor Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Chaetoceros gracilis pada sistem outdoor Kualitas air Skeletonema costatum pada kultivasi sistem outdoor Kualitas air Thalassiosira sp. pada kultivasi sistem outdoor Kualitas air Chaetoceros gracilis pada kultivasi sistem outdoor Suhu air pada kultivasi sistem outdoor Intensitas cahaya pada kultivasi sistem indoor Intensitas cahaya pada kultivasi sistem outdoor Komposisi kimiawi pupuk analis (F2) Komposisi kimiawi pupuk teknis ix

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bentuk sel Skeletonema costatum Bentuk sel Thalassiosira sp Bentuk sel Chaetoceros gracilis Grafik fase pertumbuhan mikroalga Diagram alir prosedur penelitian kultivasi diatom Diagram alir kultivasi diatom Grafik kelimpahan diatom pada sistem indoor Grafik kelimpahan diatom pada sistem outdoor Kelimpahan Skeletonema costatum pada sistem indoor dan outdoor Kelimpahan Thalassiosira sp. pada sistem indoor dan outdoor Kelimpahan Chaetoceros gracilis pada sistem indoor dan outdoor Suhu pada kultivasi sistem indoor Salinitas pada kultivasi sistem indoor Derajat keasaman (ph) pada kultivasi sistem indoor Intensitas cahaya pada kultivasi sistem indoor Suhu pada kultivasi sistem outdoor Kisaran fluktuasi suhu dalam 1 hari Salinitas pada kultivasi sistem outdoor Derajat keasaman (ph) pada kultivasi sistem outdoor Intensitas cahaya pada kultivasi sistem outdoor x

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Penghitungan kelimpahan diatom Penghitungan laju pertumbuhan spesifik dan laju pertumbuhan spesifik maksimum Uji validitas Pearson dan uji lanjut regresi Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik diatom pada kultivasi sistem indoor Kualitas air pada kultivasi sistem indoor Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik diatom pada kultivasi sistem outdoor Kualitas air pada kultivasi sistem outdoor Intensitas cahaya pada sistem kultivasi indoor dan outdoor Komposisi kimiawi pupuk F2 dan pupuk teknis Dokumentasi foto alat dan bahan penelitian Dokumentasi foto kegiatan kultivasi diatom xi

13 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diatom merupakan kelompok mikroalga atau fitoplankton dari Divisi Chrysophyta yang memiliki keunggulan dibandingkan kelompok lainnya karena memiliki distribusi yang luas, variatif dan dijumpai di hampir semua permukaan substrat (mampu merekam sejarah habitat), siklus hidup pendek, reproduksi cepat, banyak spesies yang sensitif terhadap perubahan lingkungan, mampu merefleksikan perubahan kualitas air dalam jangka pendek dan panjang, mudah pencuplikan; pengelolaan dan identifikasinya. Diatom mempunyai kontribusi 40-45% produktivitas laut sehingga lebih produktif dibandingkan dengan hutan hujan di seluruh dunia. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila diatom mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus silika dan karbon di alam sehingga kesinambungan perikanan terjaga (Mann dan Lazier, 2006). Pemanfaatan diatom sebagai bioindikator perairan telah banyak diimplementasikan. Diatom juga berpotensi untuk menyerap gas buang CO 2 yang dihasilkan oleh proses pembakaran baik kendaraan, industri, respirasi, dan dekomposisi. Kultivasi diatom telah banyak dimanfaatkan sebagai pakan alami dalam bidang budidaya. Beberapa spesies mikroalga kelompok diatom memiliki potensi untuk dijadikan salah satu solusi dalam mengatasi masalah krisis sumber daya minyak. Hal ini dikarenakan adanya kandungan asam lemak pada diatom (Pratoomyot et al., 2005). Diatom dapat diekstraksi secara besar-besaran dalam menghasilkan biofuel. Diatom dapat diproduksi dalam waktu yang sangat singkat karena siklus hidup pendek dan reproduksi cepat dan proses produksinya ramah lingkungan. 1

14 2 Ada tiga jenis spesies diatom yang biasa yang digunakan sebagai pakan udang vaname yaitu Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis. Ketiga spesies diatom tersebut sudah dapat dilakukan kultur secara besar-besaran namun hanya sebagai pakan saja. Kemudahan dalam kultur memungkinkan untuk dilakukan penelitian terhadap pemanfaatan dalam penghasil biofuel melalui analisis asam lemaknya. Kultur mikroalga terdiri dari dua sistem yaitu sistem indoor dan sistem outdoor. Kedua sistem kultivasi ini membutuhkan beberapa tahapan yang harus diperhatikan untuk dapat memenuhi target produksi yang maksimal sehingga diperlukan pengetahuan dasar sifat biologi mikroalga seperti pertumbuhan. Oleh karena itu sangat penting untuk membandingkan pertumbuhan tiga spesies diatom (Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis) pada kedua sistem tersebut untuk mengetahui jenis diatom dengan hasil kultivasi maksimal yang dapat digunakan untuk ekstraksi menjadi biofuel. 1.2 Tujuan Tujuan dari Penelitian ini adalah membandingkan laju pertumbuhan tiga spesies diatom (Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis) pada sistem kultivasi indoor dan outdoor.

15 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi, Morfologi, dan Habitat Diatom Diatom merupakan mikroalga uniseluler yang distribusinya sangat universal di semua tipe perairan. Diatom memiliki bentuk kehidupan yang kosmopolit dan merupakan penyusun utama mikroalga baik di ekosistem perairan tawar maupun laut dengan jumlah spesies terbesar dibandingkan komunitas mikroalga lainnya. Diatom mempunyai keunikan dan sangat spesifik, karena arsitektur dan anatomi dinding selnya yang tersusun dari silika, menyebabkannya dapat tersimpan dalam kurun waktu yang sangat lama di dalam sedimen (Soeprobowati dan Suwarno, 2009). Diatom dibedakan dengan tumbuhan lain sebab dinding selnya terdiri dari silikon (silikat) yang terdiri dari dua bagian utama masing-masing bagian disebut valve, menyatu bagaikan kaleng pastiles. Masing-masing valve sering memiliki hiasan halus dan bagus. Umumnya kromatofora berwarna coklat keemasan dan klorofil ditutupi oleh pigmen berwarna coklat (Basmi, 1999). Diatom sering terlihat dalam bentuk buih kuning pada permukaan air dalam kolam dan selokan (Pandey dan Trivedi, 2005). Diatom (Bacillariophyceae) merupakan pembagian kelas dari divisi Chrysophyta (Basmi, 1999). Dinding sel diatom sangat unik dan tersusun secara simetris yang membuat kelompok ini dipisahkan dari alga lainnya (Pandey dan Trivedi, 2005). Diatom umumnya uniseluler (soliter), namun pada beberapa spesies ada yang hidup berkoloni (koloni sederhana) dan saling bergandengan satu sama lain dengan sarung lendir (Basmi, 1999). 3

16 4 Bentuk uniselular diklasifikasikan kedalam dua order berdasarkan bentuk selnya yaitu diatom Pennales (Pennales) dengan bentuk bilateral simetris dan diatom centris (Centrales) dengan bentuk radial simetris (lingkaran) apabila dilihat dari atas (Basmi, 1999; Pandey dan Trivedi, 2005). Ordo Centrales hiasan valve-nya berbentuk jari-jari lingkaran, sedangkan pada Pennales secara bilateral. Pergerakan tidak pernah dijumpai pada jenis-jenis anggota Centrales, namun hanya pada pennales yang valvenya berbentuk memanjang (Basmi, 1999). Diatom Centrales biasanya berbentuk panjang dengan filamen berantai dan valve berdempet, melalui berbagai mekanisme, sel saling berdekatan pada valve yang mengikuti pembelahan sel. Sel biasannya berisi banyak kloroplas kecil dan sebuah vakuola yang besar. Diatom Centrales biasanya planktonik dan lebih sering ditemukan pada air laut dan payau dibandingkan air tawar (Darley, 1982). Frustule simetri pada diatom Pennales merupakan bentuk bilateral; setiap valve berbentuk seperti kano dibandingkan sebuah lingkaran cakram. Diatom Pennales biasanya berisi dua atau satu kloroplas yang besar, kloroplas berbentuk H dan vakuola kecil pada ujung sel. Diatom Pennales melimpah di habitat air tawar dan air laut, serta pada beberapa jenis sering berasosiasi dengan substrat. Diatom Pennales sering menempel pada tanaman, hewan, batuan atau butir pasir dengan sebuah lapisan getah atau tangkai atau mungkin juga secara bebas bergerak pada permukaan air atau dalam sedimen yang berlumpur (Darley, 1982). Kelompok diatom terdiri dari kira-kira 190 genera yang diklasifikasikan ke dalam spesies yang sebagian besar ditemukan dalam keadaan hidup dan sebagian lagi ditemukan dalam bentuk fosil (Pandey dan Trivedi, 2005).

17 5 Edhy et al. ( 2003) menyebutkan diatom memiliki beberapa karakteristik yang di antaranya : - Sel tunggal dengan dinding yang ditutupi silikat. - Zat warna berupa klorofil-a dan c, β-karoten, fukoxantin, diatoxanthin dan diadinixanthin. - Thalus disebut frustula yang terdiri dari valve (atas) dan girdle (bawah). - Reproduksi aseksual dengan pembelahan dan seksual dengan oogami dan isogami. Reproduksi diatom secara aseksual biasanya berlangsung dengan cara sederhana, yaitu dengan melakukan pembelahan sel dimana setengah protoplasma (yaitu protoplasma di dalam epiteka) dan protoplasma setengah lainnya (yang berada di hipoteka) menjadi frustul diatom baru (individu baru). Teka yang dibangun dalam proses pembentukan frustul baru selalu hipoteka, dan kelak individu baru tersebut membelah lagi seperti cara di atas, sehingga makin lama terbentuklah frustul-frustul baru yang lebih kecil, sampai batas tertentu sehingga frustul terkecil tadi tidak mampu (secara alami) atau tidak sanggup membelah lagi. Dengan demikian, selama proses pembelahan sel tersebut selalu terbentuk frustul (individu) baru yang sama besar dengan induk dan seterusnya. Fase pembelahan terakhir (frustul terkecil), mereka tidak lagi melakukan pembelahan seperti diatas, tetapi protoplasmanya membesar membentuk spora yang disebut auxospora, yang mendesak cangkang menjadi terbuka sehingga auxospora meninggalkan cangkang. Demikian pula halnya dengan frustul terkecil lainnya juga membentuk auxospora. Dua auxospora dapat menyatu (bergabung menjadi satu) dan mereka membesarkan diri sampai sebesar nenek moyangnya

18 6 terdahulu, lalu terbentuklah epiteka dan hipoteka, dan akhirnya terbentuk frustul baru (individu baru) yang bentuk, besar, dan sifat (karakternya) sama dengan nenek moyangnya dahulu dan pada pembelahan sel pertama bentuknya sama dengan nenek moyangnya dahulu. Namun adapula bentuk frustul yang lebih besar dari moyangnya dahulu, dan pada pembelahan sel pertama bentuknya sama dengan nenek moyang berikut hiasan-hiasan valve-nya. Demikian pula dengan pembelahan sel (frustul) menjadi dua bagian akibat protoplasmanya tumbuh membesar sehingga mendesak epiteka dan hipoteka samapai kedua teka tadi terlepas (terpisah) satu sama lain, yang masing-masing membawa setengah protoplasma induk. Ordo Centrales pembelahan sel sama seperti yang diuraikan di atas, yang akhirnya terbentuk auxospora, dan dua auxospora menyatu sehingga terbentuk individu baru. Pembesaran kembali sel diatom melalui formasi penyatuan dua auxospora terjadi pada sejumlah spesies-spesies diatom. Meskipun demikian, nampaknya hal tersebut tidak berlaku secara universal. Dalam proses pembelahan sel tersebut terbentuk sel yang sama besar dengan sel induk, dan ada pula sel-sel baru yang semakin kecil, namun auxospora ini jarang dijumpai sewaktu mengambil sampel diatom diperairan alami (Basmi, 1999). Dalam beberapa hal, reproduksi berlangsung diantara diatom, terutama untuk spesies-spesies yang hidup di laut di zona dekat pantai (neritik), juga pada spesies-spesies yang hidup di air tawar, mereka dapat membentuk spora diam. Spora-spora diam ini biasanya lebih kecil dari sel-sel diatom aslinya, dan dibungkus oleh dinding sel tebal (berat), serta mempunyai karakteristik baik bentuk maupun hiasannya sesuai dengan spesiesnya. Spora diam ini ada yang

19 7 membebaskan diri dari frustulnya, namun ada pula yang tetap berada di dalam frustul. Dalam kasus demikian, ada spora yang melanjutkan hidupnya sebagai diatom planktonis, namun ada juga yang jatuh ke dasar perairan menjadi diatom benthik, di dasar perairan berlumpur. Spora diam ini dapat hidup bertahan dan tumbuh dalam kondisi buruk (musim dingin) dan pada kondisi lingkungan normal kembali maka ia akan hidup normal seperti biasanya (Basmi, 1999). Reproduksi seksual berlangsung baik melalui sel-sel yang sama seperti auxospora, atau melalui perkawinan antara dua mikrospora yang berflagella (biasannya secara isogamet), yang kemudian kedua mikrospora tersebut mengalami fusi (peleburan) sehingga membentuk satu axospora, seperti yang banyak terjadi pada anggota Pennales. Kedua auxospora yang mengalami fusi tersebut dibungkus oleh lendir dan kemudian membentuk dua gamet. Hasil fusi dua axospora lainnya juga membentuk dua gamet. Masing-masing gamet dari bentukan hasil fusi auxospora yang berbeda tadi kemudian bertemu (kawin) yang akan melahirkan individu baru (Basmi, 1999). Contoh dari spesies kelompok diatom diantarannya adalah Chaetoceros gracilis, Skeletonema costatum, dan Thalassiosira sp. (Edhy et al., 2003). Ketiga spesies ini merupakan kelompok diatom yang memiliki pola bentuk sentris (Panggabean dan Sutomo, 2000).

20 Skeletonema costatum Klasifikasi Skeletonema costatum menurut Bougis (1979) dalam Tjahjo et al. (2002) dan Edhy et al. (2003) adalah sebagai berikut: Divisi: Chrysophyta Classis: Bacillariophyceae Ordo: Centrales Family: Skeletonemoidae Genus: Skeletonema Spesies: Skeletonema costatum Sumber: SBRC. Gambar 1. Bentuk sel Skeletonema costatum Skeletonema costatum merupakan mikroalga bersel tunggal, dengan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm. Alga ini dapat membentuk untaian rantai yang terdiri dari epiteka pada bagian atas dan hipoteka pada bagian bawah, serta pada setiap sel dipenuhi oleh sitoplasma (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Bentuk sel Skeletonema costatum dapat dilihat pada Gambar 1. Kamat (1976) dalam Tjahjo et al. (2002) melaporkan bahwa dinding sel Skeletonema costatum mempunyai

21 9 frustula yang dapat menghasilkan skeletal external yang berbentuk silindris (cembung) dan mempunyai duri-duri yang berfungsi sebagai penghubung antar frustula yang satu dengan frustula yang lainnya sehingga membentuk filamen. Skeletonema costatum merupakan diatom yang bersifat euritermal yaitu mampu tumbuh pada kisaran suhu 3 30 o C dan temperatur optimal adalah o C (Susetyowati, 1994 dalam Tjahjo et al., 2002). Daerah penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis, terdapatnya mulai dari pantai sampai lautan, sebagai meroplankton dan benthos. Perkembangbiakan diatom Skeletonema hanya dapat terjadi secara aseksual (Mudjiman, 1999 dalam Nugraheny, 2001). Bentuk sel Skeletonema costatum dapat dilihat pada Gambar Thalassiosira sp. Klasifikasi Thalassiosira sp.munurut Edhy et al. (2003) adalah sebagai berikut: Divisi: Chrysophyta Kelas: Bacillariophyceae Ordo: Centrales Famili: Coscinodiscineae Genus: Thalassiosira Spesies: Thalassiosira sp. Cleve (1873) dalam Somers (1972) menjelaskan genus Thalassiosira memiliki karakteristik berupa benang mukosa sentral halus yang menghubungkan sel dalam rantai yang longgar. Ada juga sebagian kecil sel yang menempel dalam sebuah massa mukosa. Thalassiosira sp. memiliki karakteristik yaitu pori-pori

22 10 sentral mukosa yang sering disebut dengan single apiculus (Hendley, 1959 dan Hasle, 1968 dalam Somers, 1972). Deskripsi morfologi umum yang telah disepakati sebelumnya untuk Thalassiosira sp. meliputi bentuk rantai dan inmucilage yang menempel pada koloni, benang-benang kitin menghubungkan sel dalam rantai, bentuk sel terlihat mengelilingi persegi dengan sebuah cekungan dalam pusat valve, sebuah rimoportula besar diantara muka valve dan mantel, sebuah lingkaran kecil yang diam dan dua atau tiga lingkaran kecil fultoportulae dan susunan areola (Becerril et al., 2009). Sumber: SBRC Gambar 2. Bentuk sel Thalassiosira sp. Diatom laut, Thalassiosira sp. yang dikultivasi pada medium N:P:Si= 11:1:6 memberikan biomassa sebesar 0,067 g/ml, dengan kandungan karbohidrat sebesar 7,7%, kandungan protein sebesar 0,93% dan kandungan lemak sebesar 9,69% (Purba, 2008). Bentuk sel Thalassiosira dapat dilihat pada Gambar 2.

23 Chaetoceros gracilis Klasifikasi Chaetoceros gracilis menurut Zipcodezoo (2009) dan Edhy et al. (2003) adalah sebagai berikut: Divisi: Chrysophyta Classis: Bacillariophyceae Ordo: Centrales Family: Chaetocerotaceae Genus : Chaetoceros Spesies: Chaetoceros gracilis Sumber : reed-mariculture.com (2010 ) Gambar 3. Bentuk sel Chaetoceros gracilis Lavens dan Sorgeloos (1996) dalam Suantika et al. (2009) menyatakan Chaetoceros gracilis merupakan diatom sentrik yang soliter, organisme uniseluler dengan ukuran mulai dari 0,5 μm hingga 2,0 μm. Kandungan nutrisi rata-rata Chaetoceros gracilis adalah klorofil a 0,34 pg/sel (1,04%), protein 9,0 pg/sel (12%), karbohidrat 2,0 pg/sel (4,7%), dan lemak 5,2 pg/sel (7,2%).

24 12 Spesies ini dapat hidup pada temperatur o C dan spesies ini dapat dikultur secara masal pada air laut yang diperkaya dengan pupuk anorganik atau pupuk kandang (Tjahjo et al., 2002). Chaetoceros merupakan salah satu genus diatom penting dalam mikroalga laut, karena Chaetoceros merupakan genus terbesar dengan jumlah spesies sekitar 400. Secara ekologi genus ini juga berperan sebagai produsen primer serta merupakan makanan penting bagi biota lain, terutama udang (Von-Quillfedlt, 2001 dalam Setiawati, 2009; Panggabean, 2007 dalam Setiawati, 2009). Bentuk Sel Chaetoceros Gracilis dapat dilihat pada Gambar Persyaratan Kultivasi Mikroalga Sylvester et al. (2002) menyatakan bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan suatu jenis mikroalga sangat erat kaitannya dengan ketersediaan nutrien (unsur hara) serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Dengan demikian faktor-faktor yang menentukan keberhasilan budidaya mikroalga seperti pemilihan lokasi yang tepat dan penggunaan media yang sesuai dengan segala persyaratannya adalah langkah awal yang perlu dilakukan dalam melaksanakan budidaya mikroalga Nutrien Mikroalga membutuhkan berbagai macam unsur anorganik, baik sebagai makro nutrien maupun mikro nutrien. Unsur makro nutrient terdiri dari N, P, K, C, Si, S, dan Ca serta unsur mikro nutrient terdiri dari Fe, Zn, Cu, Mg, Mo, Co, B, dan lain-lain (Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003; Cahyaningsih, 2009).

25 13 Unsur N merupakan komponen utama dari protein sel yang merupakan bagian dasar kehidupan organisme. Nitrogen yang dibutuhkan untuk media kultur terdiri dari beberapa substansi berikut : KNO 3 ; NaNO 3 ; NH 4 Cl; (NH 2 )CO (urea) dan lain-lain. Unsur P sangat dibutuhkan dalam proses protoplasma dan inti sel. Fosfor juga merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, fosfolipid, enzim, dan vitamin. Dengan demikian fosfor sangat berperan nyata dalam semua aktifitas kehidupan mikroalga. Fosfor yang dibutuhkan pada kultur mikroalga dapat diperoleh dari KH 2 PO 4 ; NaH 2 PO 4 ;Ca 3 PO 4 ; Ca 3 PO 4 (TSP) dan lain-lain. Unsur K selain berperan dalam pembentukan protoplasma juga berperan penting dalam kegiatan metabolisme dan aktifitas lainnya. Karbon juga diperlukan dalam pertumbuhan mikroalga. Sumber karbon yang dimanfaatkan mikroalga sebagian besar bersifat anorganik dalam bentuk CO 2 dan bicarbonat. Silika merupakan nutrien yang banyak dimanfaatkan oleh mikroalga jenis Bacillariophyceae (diatom) sebagai salah satu sumber elemen untuk membentuk komposisi frustula pada lapisan sel Bacillariophyceae dalam proses asimilasi. Sulfur juga merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan dalam pembentukan protein. Sulfur juga merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan dalam pembentukan protein. Sulfur untuk media kultur alga dapat diperoleh dari NH 4 SO 4 (ZA); CuSO 4 dan lain-lain. Unsur Ca berperan dalam penyelarasan dan pengaturan aktifitas protoplasma dan kandungan ph di dalam sel. Sumber Ca antara lain adalah CaCl 2 dan Ca(NO 3 ) 2 ( Kurniastuty dan Julianasary, 1995 dalam Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003; Cahyaningsih, 2009)

26 14 Unsur Ferrum berperan penting dalam pembentukan kloroplas dan sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur besi juga merupakan bahan dasar sitokrom dan heme atau nonheme protein, kofaktor untuk beberapa enzim. Pada kultur alga komponen besi dapat diperoleh dari FeCl 3, FeSO 4 dan FeCaH 5 O 7. Unsur Zn Juga dibutuhkan oleh mikroalga yang berasal dari sumber mineral ZnCl 2 dan ZnSO 4. Unsur Cuprum yang dibutuhkan oleh mikroalga biasanya bersumber dari mineral yaitu CuSO 4. 5H 2 O. Unsur Magnesium merupakan kation sel yang utama dan bahan dasar klorofil. Kation sel utama, kofaktor anorganik untuk banyak reaksi enzimatik berfungsi di dalam penyatuan substrat dan enzim. Unsur molibdenum dibutuhkan oleh mikroalga dalam bentuk Na 2 MoO 4.H 2 O. Unsur kobalt dibutuhkan oleh mikroalga dapat diperoleh dari CoCl 2. Unsur boron dibutuhkan mikroalga dalam bentuk H 3 BO 3 (Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003; PT. Suri Tani Pemuka, 2005; Cahyaningsih, 2009) Faktor-Faktor Lingkungan Pertumbuhan suatu jenis fitoplanton atau mikroalga sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di dalam media kulturnya. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga antara lain cahaya, suhu, ph, kandungan CO 2 bebas dan tekanan osmosis (salinitas) (Sylvester et al., 2002). Mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk senyawa organik dari senyawa-senyawa anorganik melalui proses fotosintesis. Dengan demikian cahaya mutlak diperlukan sebagai sumber energi (Sylvester et al., 2002). Laju fotosintesis akan tinggi bila intensitas cahaya tinggi dan menurun bila intensitas cahaya berkurang (Edhy et al., 2003).

27 15 Budidaya mikroalga di dalam laboratorium, cahaya matahari dapat digantikan dengan sinar lampu TL dengan intensitas cahaya lux. Intensitas cahaya adalah jumlah cahaya yang mengenai satu satuan permukaan. Satuannya adalah footcandle atau lux. Kisaran optimum intensitas cahaya bagi pertumbuhan mikroalga adalah lux (Sylvester et al., 2002). Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis dan merupakan faktor yang menentukan dalam pertumbuhan mikroalga. Umumnya pada kondisi laboratorium, perubahan suhu air dipengaruhi oleh temperatur ruangan dan intensitas cahaya. Pada kultivasi mikroalga skala massal yang dilakukan di luar ruangan, suhu sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Kisaran optimum bagi pertumbuhan mikroalga umumnya adalah o C (Sylvester et al., 2002). Kebanyakan sel termasuk mikroalga sangat peka terhadap derajat keasaman cairan yang menjadi media hidupnya. Batas ph untuk pertumbuhan jasad merupakan suatu gambaran dari batas ph bagi kegiatan enzim. Jika suatu enzim menunjukan kegiatannya pada ph tertentu, kenaikan dan penurunan ph dapat menyebabkan kegiatan enzim itu berubah. ph optimum untuk kultivasi diatom adalah kisaran 7-8 (Sylvester et al., 2002; Cahyaningsih, 2009). Senyawa CO 2 adalah gas atmosfer yang terdiri dari satu atom karbon dan dua atom oksigen. Karbon dioksida dihasilkan oleh semua hewan, tumbuhtumbuhan, fungi, dan mikroorganisme pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan dan mikroalga pada proses fotosintesis. CO 2 di dalam media kultur merupakan faktor penting untuk mikroalga, karena secara langsung dipakai sebagai bahan untuk membentuk molekul-molekul organik seperti karbohidat melalui proses fotosintesa (Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003).

28 16 Sebagai salah satu organisme yang hidup di dalam air, salinitas merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroalga. Fluktuasi salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan osmosis di dalam sel mikroalga. Salinitas yang terlampau tinggi atau rendah dapat menyebabkan tekanan osmosis di dalam sel menjadi lebih rendah atau lebih tinggi, sehingga aktifitas sel terganggu. Hal ini mempengaruhi ph protoplasma sel dan menurunkan kegiatan enzim di dalam sel. Umumnya mikroalga air laut hidup normal pada salinitas optimum (Sylvester et al., 2002). Salinititas optimum untuk diatom adalah (Cahyaningsih, 2009). 2.3 Fase Pertumbuhan Mikroalga Edhy et al. (2003) menjelaskan terdapat 4 fase dalam pertumbuhan mikroalga yaitu fase lag (istirahat), fase logaritmik (pertumbuhan eksponensial), fase stasioner (pertumbuhan stabil), dan fase deklinasi (kematian). Fase-fase pertumbuhan mikroalga tersebut dapat dlihat pada Gambar 4. Fase lag merupakan fase ketika populasi mikroalga tidak mengalami perubahan, tetapi ukuran sel pada fase ini meningkat. Fotosintesis masih aktif berlangsung dan organisme mengalami metabolisme tetapi belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatannya belum meningkat. Dalam perairan tambak kondisi air masih bening atau remang-remang dengan transparansi >80 cm. Fase logaritmik diawali dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang terus menerus, pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal. Dalam perairan tambak ditandai dengan air yang mulai berwarna sampai warna pekat dengan transparansi cm bahkan dapat <30 cm.

29 17 Sumber : Edhy et al. (2003) Gambar 4. Grafik fase pertumbuhan mikroalga Fase stasioner merupakan fase dengan pertumbuhan yang mulai mengalami penurunan dibandingkan fase logaritmik. Pada fase ini, laju reproduksi atau pembelahan sel sama dengan laju kematian dalam arti penambahan dan pengurangan plankton relatif sama sehingga kepadatan plankton cenderung tetap. Dalam perairan tambak fase ini memperlihatkan warna yang cenderung stabil dan sebaiknya dipertahankan supaya tidak terjadi droping plankton. Fase deklinasi merupakan fase ketika terjadi penurunan jumlah atau kepadatan mikroalga. Pada fase ini laju kematian lebih cepat dibandingkan laju reproduksi. Laju kematian mikroalga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien, cahaya, temperatur, dan umur mikroalga itu sendiri. Dalam perairan tambak kematian mikroalga ditandai dengan meningkatnya transparansi, adanya perubahan warna, serta terdapat busa atau buih.

30 Biofuel dari Mikroalga Biofuel yang dapat terbarukan dibutuhkan untuk menggantikan minyak yang dijadikan bahan bakar yang berkontribusi pada pemanasan global dan ketersediaannya yang terbatas. Biodiesel dan bioethanol merupakan bahan bakar yang berpotensi dapat diperbarui yang menarik perhatian besar. Biodiesel dan bioethanol diproduksi oleh tanaman pertanian menggunakan metode yang ada yang keberadaannya tidak dapat menggantikan minyak fosil yang dijadikan bahan bakar, tapi ada sebuah alternatif. Oleh karena itu dibutuhkan penemuan baru bahan baku yang cocok untuk produksi bahan bakar yang tidak mengurangi ketersediaan minyak nabati yang dapat dikonsumsi manusia sebagai makanan. Salah satu alternatifnya yaitu mikroalga. Mikroalga lebih memiliki potensi untuk dijadikan biodiesel dibandingkan biofuel (Chisti, 2008). Minyak dari mikroalga mengandung lipid yang cocok untuk esterifikasi atau transesterifikasi (Umdu et al., 2008). Di antara berbagai jenis alga, mikroalga merupakan kelompok biota yang menjanjikan hasil lebih baik karena: 1. Memiliki laju pertumbuhan yang tinggi (Ritt-man, 2008 dalam Umdu et al., 2008). 2. Kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah komposisi media untuk tumbuh (Naik et al., 2006 dalam Umdu et al., 2008). 3. Dapat dipanen lebih dari sekali dalam satu tahun (Schenk et al., 2008 dalam Umdu et al., 2008). 4. Dapat menggunakan air laut atau air limbah (Schenk et al., 2008 dalam Umdu et al., 2008).

31 19 5. Karbondioksida di atmosfer, merupakan sumber untuk pertumbuhan mikroalga (Schenk et al., 2008 dalam Umdu et al., 2008) 6. Biodiesel dari lemak alga merupakan non toksik dan bersifat biodegradable secara cepat. (Schenk et al., 2008 dalam Umdu et al., 2008). 7. Mikroalga yang digunakan untuk biodiesel mampu berproduksi kali lebih cepat dibandingkan tanaman daratan (Chisti, 2007). 2.5 Teknik Kultivasi Mikroalga Teknik kultivasi mikroalga terbagi menjadi tiga tahap yaitu skala laboratorium (indoor), skala semi-massal (semi-outdoor) dan skala massal (outdoor). Biasanya ketiga tahapan tersebut tidak semuanya dapat dilaksanakan. Mengingat diperlukannya tenaga, tempat dan biaya yang cukup besar. Untuk pembenihan skala kecil atau rumah tangga biasanya hanya melakukan kultur skala semi massal dan skala massal, sedangkan bibitnya diperoleh dari unit-unit pembenihan besar lainnya atau dari instansi pemerintah (Anjar et al., 2002). Kultur mikroalga skala laboratorium (indoor) memerlukan kondisi lingkungan yang stabil, sehingga perlu dilengkapi dengan AC agar suhu ruangan selalu terkendali dan ruangan terisolasi dengan lingkungan luar, selain itu ada beberapa jenis mikroalga tumbuh lebih baik pada suhu yang relatif rendah. Sumber aerasi (pengudaraan) digunakan Hi-blower tersendiri dan dilengkapi dengan saringan untuk memperkecil terjadinya kontaminasi. Pupuk yang digunakan pada skala laboratorium terbuat dari bahan kimia PA (pro analis) dengan dosis pemakaian 1 ml pupuk untuk 1 liter volume kultur. Jenis dan formula pupuk adalah yang sudah distandarkan dan umum digunakan yaitu Conwy, Guilard, dan Rhyter modifikasi F. Hal ini dimaksudkan agar

32 20 pertumbuhan mikroalga optimal sehingga didapatkan bibit (starter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya. Dalam kultur skala laboratorium ada beberapa kegiatan yang umum dilakukan antara lain: sterilisasi alat; bahan dan air media; isolasi mikroalga; kultur di media agar; kultur di media cair; pembuatan pupuk; penghitungan mikroalga dan penyimpanan (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995; Anjar et al., 2002). Kultur skala semi massal dimulai dari volume 30 liter hingga 100 liter dalam wadah aquarium yang diletakkan di luar laboratorium. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukkan ke dalam akuarium, kemudian dimasukkan ke dalam akuarium, selanjutnya dimasukkan inokulum sekitar 1/10 bagian dari total volume budidaya. Inokulum berasal dari kultur skala laboratorium. Pupuk yang digunakan sama dengan pupuk yang digunakan pada kultur skala laboratorium dan diberikan sesuai takaran yang dibutuhan. Pencahayaan hanya mengandalkan cahaya matahari pada siang hari. Pada keadaan tertentu di mana cahaya matahari kurang memadai, dapat menggunakan lampu TL atau lampu sorot. Aerasi dijaga jangan sampai mati, karena hal ini akan menghambat pertumbuhan mikroalga dan dapat menyebabkan kematian (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Menurut Cahyaningsih (2009), kultur semi massal dilakukan di outdoor (di luar laboratorium) dengan penyinaran cahaya matahari yang tak langsung. Kultur massal atau outdoor dimulai dari 1 ton sampai 20 ton atau lebih. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukkan ke dalam bak-bak kultur. Selanjutnya dilakukan pemupukan dan diberi aerasi. Inokulum yang berasal dari kultur semi massal dimasukkan sebanyak 1/10 bagian sebagai bibit. Pupuk yang digunakan untuk kultur massal outdoor biasanya menggunakan pupuk teknis seperti urea,

33 21 ZA, NPK dan KNO 3 sebagai sumber nitrogen dan TSP, SP3, NPK sebagai sumber fosfatnya. Vitamin dan mikronutrien lainnya bisa ditambahkan sebagai pelengkap. Umumnya pada kultur mikroalga dari kelas diatom perlu ditambahkan silikat sekitar 5-20 ppm. Kultur skala massal menggunakan penyinaran matahari secara langsung menggunakan penyaring fiber dengan perbandingan 1:5 (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995; Ari et al., 2002; Cahyaningsih, 2009).

34 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2010 di Laboratorium PT. Suri Tani Pemuka (Japfa), Unit Hatchery Udang Vannamei, Jalan Raya Gilimanuk km 35, Desa Pemutaran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Singaraja, Propinsi Bali. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Aerator Indoor Tekno Takatsuki 1/ - Autoklaf - 1/ Celcius Bambu 50 cm x 2 cm 3/ - Batu Aerasi - 36/ - Blower (Aerator Outdoor) 12 hp 2/ - Botol Gelas 1 L 9/ - Boks Stirofom Garuda Approved 73 x 42 x / - Bulb Assistent 2/ - Bunsen - 1/ - Erlenmeyer Schott Duran 250 ml 2/ - Erlenmeyer Schott Duran 500 ml 1/ - Filter bertingkat Hayward Pro Series 2/ - Filter ozon - 1/ - Filter UV - 1/ - Galon Aqua 19 L 3/ - Gelas Beker Schott Duran 150 ml 2/ - Gelas Ukur 50 ml Pyrex 2/ - Gelas Ukur 100 ml Pyrex 2/ - Gelas Ukur 1 L Pyrex 2/ - Haemocytometer Assistant (Neubauer) 25x10-4 mm 2 1/ sel/ml Hotplate Labinco L-32 1/ Celcius Kran Aerator - 24/ - Lampu TL Philips Lifemax TLD 36 watt 9/ - Luxmeter Konica Minolta T-10 Illuminance 1/ Lux Mikroskop Olympus CH-BI45-2 1:200x 1/ - Oven Memmert 1/ Celcius ph meter Eutech Cyberscan ph 310 1/ - Pipa Kaca - 3/ - 22

35 23 Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian (Lanjutan) Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Pipet mohr Pyrex 1 ml 3/ ml Pipet mohr Pyrex 5 ml 3/ ml Pipet mohr Pyrex 10 ml 3/ ml Pipet tetes - 3/ - Pipet Volumetrik Pyrex 10 ml 1/ - Pipet Volumetrik Pyrex 25 ml 1/ - Refraktometer Hand Refraktometer Atago 1/ - Selang aerasi - 45 meter/ - Sendok Plastik - 9/ - Sprayer 1 L 1/- Tabung reaksi Pyrex 16 x 150 ml 9/ - Teko Ukur Lion Star 600 ml 1/ - Teko Ukur Lion Star 1 L 2/ - Thermometer Air Raksa (Hg) 1/ Celcius Timbangan analitik AND EK-3000i 1/ gram Toples Plastik Jumbo 5 L 12/ - Wadah Es Krim 100 ml 3/ - Wadah Es krim 75 ml 12/ - Pipa Paralon ¾ inch 10 meter/ - Air laut L/ - Air Tawar L/ - Akuades - 10 L/ - Alkohol 100% 1 L / - Alumunium foil - 1/ - Azumit gram/ - Bibit Chaetoceros gracilis - 1/ - Bibit Skeletonema costatum - 1/ - Bibit Thalasiossira sp. - 1/ - EDTA - 25 gram/ - FeCl - 2 gram/ - HCl 10% 2 L/ - Klorin 12% 5 L/ - KNO 3-50 gram/ - Natrium tiosulfat 25% 3 L/ - Na 2 PO 4-4 gram/ - Pupuk analis F2 dan vitamin mix 2 L/ - Silikat - 10 gram/ - Tipol - 1 L/ -

36 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan secara bertahap untuk mencapai hasil yang baik dan benar. Prosedur penelitian yang dilakukan pada proses kultivasi secara umum terdiri dari sterilisasi alat dan bahan, persiapan media, proses kultivasi, dan penghitungan kelimpahan. Prosedur penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 5. Sterilisasi Alat dan Bahan Klorinasi Perendaman HCl Pemanasan Persiapan Media Penurunan Salintas Pemberian Pupuk Proses Kultivasi Penuangan Bibit Penghitungan Parameter Fisika dan Kimia Penghitungan Kelimpahan Analisis Data Laju Pertumbuhan Uji Validitas Pearson Gambar 5. Diagram alir prosedur penelitian kultivasi diatom Sterilisasi Alat dan Bahan Sterilisasi merupakan suatu metode yang dilakukan untuk membersihkan peralatan dan media yang digunakan untuk kultivasi dari hal-hal yang dapat

37 25 menggangu pertumbuhan mikroalga yang dikultivasi. Sterilisasi bertujuan untuk membersihkan alat serta bahan yang akan digunakan untuk isolasi maupun kultivasi mikroalga dari mikroorganisme ataupun bahan kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroalga. Sterilisasi dalam kultivasi mikroalga skala indoor terdiri atas sterilisasi ruang, peralatan kultivasi, dan media cair. Sterilisasi ruang dilakukan dengan cara menyiapkan ruang dan rak yang akan digunakan sebagai laboratorium kultivasi. Ruangan dibersihkan dari debu dan kotoran lainnya dengan cara menyapu, mengelap, dan mengepel ruangan, termasuk rak kultivasi hingga bersih dengan menggunakan larutan klorin 1%. Terakhir, ruangan yang sudah bersih dan kering disemprot alkohol 70% menggunakan sprayer. Peralatan kultivasi yang disterilisasi meliputi peralatan gelas, peralatan plastik, selang dan wadah kultivasi. Peralatan kultivasi mula-mula disterilisasi dengan cara mencuci terlebih dahulu dengan tipol yang kemudian dibilas dengan air tawar. Kemudian dilakukan perendaman dengan HCl 0.2% selama 24 jam dan dibilas kembali dengan air tawar. Sterilisasi alat-alat gelas dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 120 o C selama 1,5 jam. Sedangkan untuk sterilisasi selang aerasi dan batu aerasi dilakukan pada autoklaf dengan suhu 121 o C selama 15 menit. Peralatan gelas yang telah dipanaskan kemudian dikeringkan dan dibungkus dengan alumunium foil. Sterilisasi peralatan yang tidak tahan panas dan berukuran besar, misalnya galon dan toples plastik, dilakukan dengan merendamnya dalam larutan klorin 40 ppm. Sterilisasi media cair dilakukan dengan menggunakan penembakan sinar UV dan ozonisasi yang terlebih dahulu dilakukan filtrasi bertingkat 50 µm, 10

38 26 µm, 5 µm, dan 2 µm. Sterilisasi media cair untuk fase test tube, Erlenmeyer, dan botol kaca menggunakan autoklaf dengan cara dipanaskan pada suhu 121 o C kurang lebih selama 1 jam untuk mensterilkan 10 L media cair. Kemudian Media cair disimpan dalam wadah steril yang tertutup rapat. Sterilisasi media cair untuk fase toples dan galon juga dilakukan menggunakan filter bertingkat 50 µm, 10 µm, 5 µm, 2 µm namun hanya diklorinasi dengan konsentrasi 25 ppm dan diaerasi selama 24 jam. Kemudian media cair tersebut dinetralisir dengan natrium tiosulfat 25 ppm untuk menghilangkan kandungan klorin pada media cair tersebut. Pupuk yang digunakan pada kultivasi indoor disterilisasi dengan menggunakan autoklaf yang sama halnya dengan media cair yang digunakan pada fase test tube, Erlenmeyer, dan botol kaca. Sterilisasi laboran dilakukan dengan menyemprotkan alkohol 70% pada kedua tangan untuk menghindari kontaminasi pada mikroalga ketika laboran berinteraksi dengan kultivan. Sama halnya dengan sistem indoor, sterilisasi pada sistem outdoor terbagi menjadi sterilisasi ruang dan bak, sterilisasi peralatan kultivasi, dan sterilisasi media cair. Sterilsasi mula-mula dilakukan dengan cara menyiapkan ruang dan bak yang akan digunakan. Ruangan dan bak dibersihkan dari debu dan kotoran lainnya dengan cara mencuci, membilas, dan mengelap ruangan beserta bak yang akan digunakan untuk kultivasi hingga bersih menggunakan cairan klorin 1%. Ruang dan bak dikeringkan dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari selama satu hari. Peralatan kultivasi yang disterilisasi meliputi peralatan gelas, peralatan plastik, selang dan wadah kultivasi. Peralatan kultivasi mula-mula disterilisasi dengan cara mencuci terlebih dahulu dengan tipol yang kemudian dibilas dengan

39 27 air tawar. Kemudian dilakukan perendaman dengan HCl 0,2% selama 24 jam dan dibilas kembali dengan air tawar. Sterilisasi alat-alat gelas dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 120 o C selama 1,5 jam. Sterilisasi selang dan batu aerasi dilakukan dengan perendaman menggunakan larutan HCl 10% selama 24 jam. Peralatan gelas yang telah dipanaskan kemudian dikeringkan dan dibungkus dengan alumunium foil. Sterilisasi peralatan yang tidak tahan panas dan berukuran besar misalnya boks stirofom dilanjutkan dengan melakukan perendaman menggunakan larutan klorin dengan konsentrasi 40 ppm. Sterilisasi media cair dilakukan dengan menggunakan ozonisasi yang terlebih dahulu dilakukan filtrasi bertingkat 50 µm, 10 µm, 5 µm, dan 2 µm dan diklorinasi dengan konsentrasi 50 ppm yang diaerasi selama 24 jam. Kemudian media cair tersebut dinetralisir dengan natrium tiosulfat 50 ppm untuk menghilangkan kandungan klorin pada media cair tersebut. Pupuk yang digunakan pada kultivasi outdoor juga disterilisasi dengan menggunakan autoklaf yang sama halnya seperti pupuk yang digunakan pada sistem indoor Persiapan Media Media air untuk fase botol gelas 1 L dan Erlenmeyer 250 ml pada sistem indoor dibuat dengan cara menurunkan salinitas air laut menjadi 28 dengan menambahkan air tawar atau akuades terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit. Setelah dingin, air dapat digunakan sebagai media kultivasi mikroalga. Media air untuk fase toples dan galon pada sistem indoor dipersiapkan dengan cara menembakan sinar UV, ozonisasi, dan menyaring air laut dengan filter bertingkat terlebih dahulu. Kemudian air laut dimasukan ke dalam toples

40 28 dan galon dan disterilisasi menggunakan klorin 25 ppm. Sebelum digunakan sebagai media kultivasi, air laut diaerasi selama 24 jam dan dinetralkan klorinnya dengan cara menambahkan natrium tiosulfat 25 ppm. Media yang digunakan dalam sistem outdoor adalah air laut dengan salinitas 28. Air laut yang digunakan terlebih dahulu dilakukan penyaringan secara bertingkat dan penembakan sinar UV. Kemudian, media disterilisasi dengan klorin sebanyak 50 ppm dan selanjutnya diaerasi, keesokan harinya dinetralkan dengan natrium tiosulfat 50 ppm Proses Kultivasi Kultivasi mikroalga pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6. Kultur pada Tes Tube 10 ml Kultur pada Erlenmeyer 250 ml Kultur pada Botol Kaca 1 L Sistem Indoor Kultur pada Galon 10 L Kultur pada Toples 4 L Kultur pada Galon 18 L Pengamatan Kelimpahan Harian Kultur pada Bak Stirofom 45 L Sistem Outdoor Gambar 6. Diagram alir kultivasi diatom

41 29 Proses kultivasi sistem indoor memiliki beberapa tahapan. Kultivasi pada Erlenmeyer dilakukan dengan cara menyiapkan Erlenmeyer ukuran 250 ml. Strain yang berasal dari test tube dipindahkan pada Erlenmeyer yang berukuran 250 ml sebanyak 10% dari volume media dan diisi air laut hingga mencapai 200 ml dan ditutup dengan alumunium foil. Setelah 7 hari strain dipindahkan ke botol kaca yang berukuran 1 L dengan persentase 10% strain mikroalga dari botol kaca. Setelah 3 hari mikroalga siap dipindahkan ke galon dengan media sebanyak 10 L dan juga dengan persentase 10% dari media air pada galon. Setelah 3 hari, strain pada media galon dipindahkan ke toples dengan volume media 4 L. Strain yang dituangkan sebanyak 10% dari media yang digunakan pada toples yaitu 400 ml. Volume inilah dilakukan pengamatan selama 15 hari dengan 3 kali pengulangan. Proses kultivasi pada sistem outdoor merupakan tahapan lanjutan dari sistem indoor. Kultivasi sistem outdoor diawali dengan penuangan strain sebanyak 10% dari ukuran bak yang digunakan pada kultivasi. Media air yang akan digunakan pada sistem outdoor memiliki volume 45 L sehingga strain yang dituang adalah sebanyak 4,5 L. Strain mikroalga yang dituang berasal dari kultivasi pada sistem indoor. Sistem outdoor juga dilakukan pengamatan selama 15 hari dan juga dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan Penghitungan Kelimpahan Mikroalga (Jumlah Sel) Monitoring kelimpahan dilakukan sebanyak 1 kali dalam 24 jam dan dimulai pada hari ke-0 (t 0 ) hingga hari ke-15 (t 15 ). Monitoring kelimpahan dilakukan pada setiap sampel spesies dan pada kedua sistem (indoor dan outdoor). Tujuan monitoring kelimpahan adalah mengetahui jumlah sel dan laju

42 30 pertumbuhan mikroalga dengan menghitung nilai kelimpahannya. Peralatan yang digunakan adalah mikroskop dan Haemocytometer. Monitoring kelimpahan dilakukan dengan melihat jumlah mikroalga pada kotak kecil Haemocytometer yang dilakukan pada 5 titik pandang dan 3 kali ulangan. Adapun formulasi yang digunakan ada pada persamaan (1).... (1) Dimana N adalah jumlah sel mikroalga yang teramati Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Media Pengukuran parameter fisika dan kimia dilakukan pada toples yang berisi media air laut sebanyak 4 L dan pada bak stirofom yang berkapasitas 45 L. Parameter fisika yang diukur adalah suhu, salinitas, dan cahaya, sedangkan parameter kimia yang diukur adalah ph. Pengukuran suhu, salinitas dan ph dilakukan dilakukan sebanyak 1 kali dalam 24 jam dan dimulai pada hari ke-0 (t 0 ) hingga hari ke-15 (t 15 ). Pengukuran cahaya yang dilakukan pada sistem indoor hanya 1 kali sedangkan pada sistem outdoor sebanyak 9 kali dalam waktu 24 jam, dengan rentang waktu 1 jam pada pukul WITA. 3.4 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan kepadatan pada ketiga spesies diatom (Chaetoceros gracilis, Skeletonema costatum, dan Thalassiosira sp.) dan juga pada kedua sistem (sistem indoor dan sistem outdoor. Perbandingan tersebut digambarkan dengan menggunakan grafik, laju pertumbuhan spesifik (µ), dan laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks ). Kualitas air dianalisis

43 31 menggunakan uji validitas Pearson untuk melihat korelasi yang terjadi dan uji lanjut regresi untuk melihat pengaruh parameter kualitas air terhadap kelimpahan dengan selang kepercayaan 0,05. Laju pertumbuhan spesifik (µ) mikroalga dihitung dengan rumus menurut Krichnavaruk et al (2004), pada persamaan (2)....(2) Dimana N t adalah kepadatan populasi pada waktu ke-t, N 0 adalalah kepadatan populasi sel pada waktu 0, T 0 adalah waktu awal dan T t adalah waktu pengamatan. Laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks ) dihitung dari kelimpahan pada saat awal kultivasi hingga puncak kelimpahan maksimum, dimana N t adalah puncak kelimpahan maksimum, N 0 adalah kelimpahan pada awal kultivasi sedangkan T t adalah waktu pada saat kelimpahan maksimum dan T 0 adalah kelimpahan pada saat awal kultivasi.

44 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Diatom Pada Sistem Indoor Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga spesies diatom yang dikultur selama lima belas hari pada sistem indoor memiliki pola pertumbuhan yang berbeda. Jumlah kelimpahan awal spesies diatom yang dikultivasi juga memiliki jumlah yang berbeda. Skeletonema costatum memiliki kelimpahan awal sebesar 0, sel/ml, Thalassiosira sp. memiliki kelimpahan awal sebesar 0, sel/ml, dan Chaetoceros gracilis memiliki jumlah kelimpahan awal sebesar 0, sel/ml. Grafik kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik diatom pada sistem indoor dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 7. Tabel 2. Kelimpahan ( 10 6 sel/ml) dan laju pertumbuhan spesifik (µ) diatom pada sistem indoor Skeletonema costatum Thalassiosira sp. Chaetoceros gracilis Hari 10 6 sel/ml µ 10 6 sel/ml µ 10 6 sel/ml µ 0 0,15-0,05-0,54-1 0,87 1,754 0,29 1,754 1,60 1, ,19 0,316 0,64 0,794 3,81 0, ,42 0,179 0,74 0,145 6,63 0, ,81 0,239 0,84 0,134 7,09 0, ,97 0,085 0,84 0,000 7,25 0, ,41-0,336 0,90 0,064 6,14-0, ,59-0,870 0,57-0,453 5,21-0, ,25-0,857 0,62 0,075 4,49-0, ,14-0,588 0,75 0,196 5,83 0, ,44-1,139 0,70-0,069 4,44-0, ,006-2,079 0,62-0,127 4,34-0, ,47-0,279 2,04-0, ,39-0,182 1,31-0, ,27-0,357 1,19-0, ,21-0,254 0,67-0,575 32

45 33 Gambar 7. Grafik kelimpahan diatom pada sistem indoor Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Skeletonema costatum Pola pertumbuhan Skeletonema costatum hanya memiliki 1 buah puncak populasi pada hari ke-5 dengan nilai kelimpahan sebesar 1, sel/ml. Skeletonema costatum memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 1,754. Laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks ) yang dihitung dari awal kultur hingga puncak maksimum pada Skeletonema costatum adalah 0,515. Fase lag Skeletonema costatum diduga terjadi kurang dari 24 jam. Keadaan ini dapat dilihat dari kelimpahan dan nilai µ pada hari ke-1 yang semula 0, sel/ml meningkat secara drastis menjadi 0, sel/ml dalam waktu 24 jam yang berarti Skeletonema costatum memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan barunya sehingga mampu tumbuh dengan laju yang cepat pada hari ke-1. Daya adaptasi yang cepat pada Skeletonema costatum dapat diduga karena kondisi

46 34 lingkungan yang baru memiliki kondisi yang sama pada lingkungan sebelumnya. Fase eksponensial diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-4. Fase stasioner yaitu laju pertumbuhan yang relatif tetap diduga terjadi pada hari ke-4 hingga hari ke-5. Keadaan ini ditunjukan dengan adanya nilai µ yang semakin berkurang mendekati nilai 0 sebesar 0,085 pada saat memasuki hari ke-5. Fase deklinasi diduga terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-11. Keadaan ini ditunjukan dengan nilai µ yang bernilai negatif sebesar -0,336 yang berarti terjadi penurunan jumlah kelimpahan pada saat memasuki hari ke-6. Kelimpahan akhir yang didapat pada hari ke-11 adalah sebesar 0, sel/ml. Pengamatan kelimpahan pada hari ke-12 menunjukan populasi Skeletonema costatum yang berjumlah 0. Turunnya laju pertumbuhan Skeletonema costatum dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001) Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Thalassiosira sp. Thalassiosira sp. memiliki pola pertumbuhan dengan dua buah puncak populasi yaitu hari ke-6 dengan nilai kelimpahan sebesar 0, sel/ml dan hari ke-9 dengan nilai kelimpahan sebesar 0, sel/ml. Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungan dibandingkan Chaetoceros

47 35 gracilis. Keadaan ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 1,754 dengan kelimpahan awal Thalassiosira sp sebesar 0, sel/ml yang meningkat menjadi 0, sel/ml. Laju pertumbuhan spesifik maksimum Thalassiosira sp. adalah sebesar 0,482. Fase lag Thalassiosira sp. diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Keadaan ini dapat dilihat dari bentuk grafik dan nilai µ yang menunjukan bahwa Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga waktu yang dibutuhkan untuk beradapatasi terhadap lingkungan terlihat singkat yaitu kurang dari 24 jam. Fase eksponensial pada Thalassiosira sp. diduga terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-4 yang ditunjukan oleh adanya peningkatan drastis secara eksponensial. Fase stasioner diduga terjadi pada hari ke-4 hingga hari ke-6. Keadaan ini dikarenakan laju pertumbuhan yang semakin menurun pada hari ke-4 hingga hari ke-6. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ yang diperoleh pada hari ke-4 sebesar 0,134 yang menunjukan terjadinya penurunan laju pertumbuhan. Fase deklinasi dapat diduga terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-15. Namun pada hari ke-8 terdapat kenaikan laju pertumbuhan kembali hingga hari ke-9. Hal ini diduga karena Thalassiosira sp. memasuki periode kriptik di mana sel-sel yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel mikroalga yang lisis untuk pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan populasinya kembali (Suantika, 2009). Setelah hari ke-9 kelimpahan Thalassiosira sp. semakin menurun hingga hari ke-15 dengan kelimpahan akhir sebesar 0, sel/ml. Penurunan nilai

48 36 kelimpahan ini juga dapat diduga karena berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001) Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis memiliki pola pertumbuhan dengan dua buah puncak populasi yang lebih besar nilai kelimpahannya dibandingkan dua spesies lainnya yaitu hari ke-5 dengan kelimpahan sebesar 7, sel/ml dan hari ke-9 sebesar 5, sel/ml. Chaetoceros gracilis juga memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Keadaan ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 1,088. Hal ini dikarenakan lingkungan pada saat kultur memiliki kondisi yang sama pada lingkungan sebelumnya. Laju pertumbuhan spesifik maksimum Chaetoceros gracilis adalah sebesar 0,520. Fase lag Chaetoceros gracilis dapat diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dapat dilihat dari nilai kelimpahan dan bentuk grafik yang terjadi pada hari ke-1 yang menunjukan pola pertumbuhan yang langsung memasuki fase eksponensial. Fase eksponensial terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-3. Fase stasioner dapat diduga terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Hal ini dapat dilihat dari nilai kelimpahan Chaetoceros gracilis yang semakin menurun pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Selanjutnya terjadi fase deklinasi pada hari ke-5 hingga

49 37 hari ke-15. Keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kelimpahan yang menurun pada hari ke-6. Kondisi ini juga dapat dilihat dari nilai µ (µ = -0,166) yang bernilai negatif pada saat memasuki hari ke-6. Hari ke-9 terjadi peningkatan kelimpahan kembali. Keadaan ini dapat diduga karena sel-sel Chaetoceros gracilis memasuki periode kriptik di mana sel-sel Chaetoceros gracilis yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel Chaetoceros gracilis yang lisis untuk pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan populasinya kembali (Suantika, 2009). Fase deklinasi berlanjut kembali hingga hari ke-15 dengan jumlah kelimpahan akhir sebesar 0, sel/ml. Fase deklinasi dapat terjadi karena nutrisi kultur telah habis dan terjadi akumulasi senyawa NH 4+ dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk ekstraseluler dari mikroalga yang meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Chaetoceros gracilis (Fogg, 1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009). Hasil yang dapat disimpulkan dari µ maks dan kelimpahan maksimum ketiga spesies diatom pada sistem indoor adalah Chaetoceros gracilis memiliki laju pertumbuhan yang tertinggi dengan µ maks sebesar 0,520 dan kelimpahan maksimum sebesar 7, sel/ml diikuti Skeletonema costatum dengan µ maks sebesar 0,515 dan kelimpahan maksimum sebesar 1, sel/ml. Thalassiosira sp. memiliki µ maks terendah sebesar 0,482, dan kelimpahan maksimum terendah sebesar 0, sel/ml. Chaetoceros gracilis memiliki µ maks dan kelimpahan tertinggi karena memiliki kemampuan untuk memanfaatkan nutrisi dari sel-selnya yang telah lisis untuk meningkatkan populasi (Suantika, 2009).

50 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Diatom Pada Sistem Outdoor Kultur pada sistem outdoor yang dilakukan selama 15 hari memperlihatkan pola pertumbuhan yang berbeda pada ketiga spesies diatom. Jumlah kelimpahan awal spesies diatom yang dikultivasi juga memiliki jumlah yang berbeda. Skeletonema costatum memiliki kelimpahan awal sebesar 0, sel/ml, Thalassiosira sp. memiliki kelimpahan awal sebesar 0, sel/ml, dan Chaetoceros gracilis memiliki kelimpahan awal sebesar 0, sel/ml. Tabel 3 dan Gambar 8 menunjukan kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Diatom yang dikultur pada sistem outdoor. Tabel 3. Kelimpahan ( 10 6 sel/ml) dan laju pertumbuhan spesifik (µ) diatom pada sistem outdoor Skeletonema costatum Thalassiosira sp. Chaetoceros gracilis Hari 10 6 sel/ml µ 10 6 sel/ml µ 10 6 sel/ml µ 0 0,13-0,11-0,43-1 0,38 1,084 0,18 0,470 0,95 0, ,83 0,791 0,26 0,384 1,31 0, ,36 0,487 0,31 0,157 1,51 0, ,54 0,127 0,36 0,167 1,81 0, ,61 0,042 0,39 0,074 1,91 0, ,30-0,211 0,41 0,056 2,38 0, ,83-0,451 0,47 0,127 2,79 0, ,67-0,208 0,43-0,074 2,43-0, ,51-0,274 0,37-0,167 2,21-0, ,42-0,204 0,27-0,298 1,58-0, ,24-0,556 0,13-0,714 1,29-0, ,13-0,583 0,11-0,234 1,07-0, ,12-0,134 0,72-0,379 1,09 0, ,06-0,167 0,83-0, ,04-0,318 0,57-0,379

51 39 Gambar 8. Grafik kelimpahan diatom pada sistem outdoor Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Skeletonema costatum Pola pertumbuhan Skeletonema costatum pada sistem outdoor hanya memiliki satu buah puncak populasi pada hari ke-5 dengan nilai kelimpahan sebesar 1, sel/ml. Skeletonema costatum memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 yaitu sebesar 1,084. µ maks pada Skeletonema costatum adalah sebesar 0,506. Fase lag pada Skeletonema costatum diduga terjadi kurang dari 24 jam. Keadaan ini dapat dilihat dari kelimpahan dan nilai µ pada hari ke-1 yang semula 0, sel/ml meningkat secara drastis menjadi 0, sel/ml dalam waktu 24 jam yang berarti bahwa Skeletonema costatum memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan barunya sehingga mampu tumbuh dengan laju yang cepat pada hari ke-1. Fase eksponensial diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-3. Fase stasioner yaitu laju pertumbuhan mengalami penurunan diduga terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Keadaan ini ditunjukan dengan adanya nilai

52 40 µ yang semakin berkurang mendekati nilai 0 sebesar 0,042 pada saat memasuki hari ke-5. Fase deklinasi diduga terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-13. Kelimpahan akhir yang didapat pada hari ke-13 adalah sebesar 0, sel/ml. Keadaan ini ditunjukan dengan nilai µ yang bernilai negatif yaitu sebesar -0,211 yang artinya terjadi penurunan jumlah kelimpahan pada saat memasuki hari ke-6. Pengamatan kelimpahan pada hari ke-14 menunjukan populasi Skeletonema costatum yang berjumlah 0. Turunnya laju pertumbuhan Skeletonema costatum dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial dan adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001) Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Thalassiosira sp. Pola pertumbuhan Thalassiosira sp. pada sistem outdoor hanya memiliki 1 buah puncak kelimpahan pada hari ke-7 dengan nilai kelimpahan sebesar 0, sel/ml. Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi yang lebih rendah terhadap lingkungan dibandingkan 2 spesies lainnya. Keadaan ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 0,470 dengan kelimpahan awal (hari ke-0) sebesar 0, sel/ml meningkat menjadi 0, sel/ml. Hal ini mengindikasikan bahwa Thalassiosira sp. memiliki daya adaptasi lingkungan yang rendah karena adanya pemindahan strain dari rungan terkontrol ke ruangan yang terbuka. Laju

53 41 pertumbuhan spesifik maksimum Thalassiosira sp. adalah sebesar 0,205. Nilai µ maks pada spesies Thalassiosira sp. lebih rendah dibandingkan µ maks dua spesies lainnya. Fase lag Thalassiosira sp. diduga terjadi hingga hari ke-1. Keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kelimpahan awal (hari ke-0) yang meningkat pada hari ke-1 namun jumlah kelimpahan pada hari ke-1 tidak mencapai dua kali lipat kelimpahan awalnya. Fase eksponensial pada Thalassiosira sp. diduga terjadi pada hari ke-1 hingga hari ke-5 yang menunjukan kelimpahan meningkat drastis secara eksponensial. Fase stasioner diduga terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-8. Keadaan ini dikarenakan laju pertumbuhan yang semakin menurun pada hari ke-6 hingga hari ke-8. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ yang diperoleh pada hari ke-6 yaitu sebesar 0,056 yang menunjukan terjadinya penurunan laju pertumbuhan. Fase deklinasi dapat diduga terjadi pada hari ke-8 hingga hari ke-15. Hari ke-15, Thalassiosira sp. memiliki kelimpahan akhir sebanyak 0, sel/ml. Fase deklinasi ini ditentukan berdasarkan nilai µ yang bernilai negatif pada saat memasuki hari ke-8 yaitu sebesar -0,074. Penurunan nilai kelimpahan dapat diduga karena berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001).

54 Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis pada sistem outdoor memiliki pola pertumbuhan dengan dua buah puncak kelimpahan maksimum pada hari ke-7 dengan kelimpahan sebesar 2, sel/ml dan pada hari ke-13 sebesar 1, sel/ml. Chaetoceros gracilis juga memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai µ pada hari ke-1 sebesar 0,798. Keadaan ini mengindikasikan bahwa Chaetoceros gracilis memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungan barunya yang dipindahkan dari lingkungan indoor menuju outdoor. Selain itu, Chaetoceros gracilis memiliki laju pertumbuhan spesifik maksimum sebesar 0,268. Fase lag Chaetoceros gracilis dapat diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dapat dilihat dari nilai kelimpahan dan bentuk grafik pada Gambar 8 yang terjadi pada hari ke-1 yang menunjukan pola pertumbuhan yang langsung memasuki fase eksponensial. Fase eksponensial terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-7. Fase stasioner dapat diduga terjadi pada hari ke-7 hingga hari ke-8 dan dapat diduga terjadi dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Kondisi ini terlihat dari bentuk grafik pertumbuhan yang langsung memperlihatkan penurunan nilai kelimpahan yang curam antara hari ke-7 dan ke-8 sehingga pendugaan fase stasioner terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Fase deklinasi terjadi pada waktu kurang dari 24 jam di hari ke-8 hingga hari ke-15. Kondisi ini juga dapat dilihat dari nilai µ (µ = -0,141) yang bernilai negatif pada saat memasuki hari ke-8 Hari ke-13 kelimpahan Chaetoceros gracilis mengalami peningkatan kembali. Keadaan ini dapat diduga karena sel-sel Chaetoceros gracilis memasuki periode

55 43 kriptik di mana sel-sel Chaetoceros gracilis yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel Chaetoceros gracilis yang lisis untuk pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan populasinya kembali (Suantika, 2009). Fase deklinasi berlanjut kembali hingga hari ke-15 dengan jumlah kelimpahan akhir sebesar 0, sel/ml. Fase deklinasi dapat terjadi karena nutrisi kultur telah habis dan terjadi akumulasi senyawa NH 4+ dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk ekstraseluler dari mikroalga yang meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Chaetoceros gracilis (Fogg, 1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009). Hasil yang dapat disimpulkan pada penelitian sistem outdoor adalah Skeletonema costatum memiliki laju pertumbuhan spesifik maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dua spesies lainnya yaitu 0,506 dengan kelimpahan maksimum sebesar 1, sel/ml. Chaetoceros gracilis memiliki laju pertumbuhan spesifik maksimum sebesar 0,268 dengan nilai kelimpahan maksimum sebesar 2, sel/ml. Thalassiosira sp. memilki nilai µ maks sebesar 0,205 dengan kelimpahan sebesar 0, sel/ml. Laju pertumbuhan spesifik maksimum yang dihitung dari awal kultur hingga puncak maksimum tertinggi terdapat pada Skeletonema costatum namun kelimpahan tertinggi terdapat pada spesies Chaetoceros gracilis. Walaupun nilai kelimpahan maksimum lebih besar namun belum tentu nilai µ maks lebih besar. Keadaan ini dipengaruhi oleh jumlah kelimpahan awal strain yang dituangkan pada saat kultur.

56 Perbandingan Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik pada Kedua Sistem Skeletonema costatum Pola pertumbuhan Skeletonema costatum pada sistem indoor memiliki satu buah puncak populasi yaitu pada hari ke-5 dengan nilai kelimpahan sebesar 1, sel/ml. Pola pertumbuhan Skeletonema costatum pada sistem outdoor juga memiliki satu buah puncak populasi pada hari ke-5 namun dengan nilai kelimpahan yang lebih kecil sebesar 1, sel/ml. Skeletonema costatum saat hari ke-1 pada sistem indoor memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan yang lebih tinggi (µ = 1,754) dibandingkan pada sistem outdoor (µ = 1,084). Hal ini diduga karena media strain sebelumnya memiliki lingkungan yang sama pada media strain yang digunakan pada penelitian pada sistem indoor sedangkan pada media outdoor, media strain sebelumnya memiliki kondisi lingkungan yang berbeda dengan kondisi yang relatif terkontrol pada sistem indoor yang dipindahkan ke dalam media outdoor yang tidak terkontrol lingkungannya. µ maks yang dihitung pada awal kultur hingga puncak kelimpahan maksimum pada spesies Skeletonema costatum sistem indoor adalah sebesar 0,515 sedangkan pada sistem outdoor memiliki nilai µ maks lebih rendah yaitu 0,506. Hal ini menunjukan bahwa laju pertumbuhan spesifik maksimum pada sistem indoor lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan spesifik maksimum pada sistem outdoor. Kedua pola pertumbuhan ini dapat dilihat pada Gambar 9.

57 45 Gambar 9. Kelimpahan Skeletonema costatum pada sistem indoor dan outdoor Fase lag Skeletonema costatum pada kedua sistem diduga terjadi kurang dari 24 jam. Keadaan ini dapat dilihat dari kelimpahan dan nilai µ pada hari ke-1 pada kedua sistem yang memiliki nilai yang cukup besar. Skeletonema costatum pada kedua sistem diduga memiliki daya adaptasi yang cukup tinggi berdasarkan nilai µ yang dihitung. Fase eksponensial pada kedua sistem juga diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Fase eksponensial pada sistem indoor terjadi hingga hari ke-4 dan sistem outdoor terjadi hingga hari ke-3. Hal ini memperlihatkan bahwa fase eksponensial pada sistem outdoor lebih cepat dibandingkan fase eksponensial pada sistem indoor. Fase stasioner pada sistem indoor diduga terjadi pada hari ke-4 hingga hari ke- 5 sedangkan pada sistem outdoor terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Keadaan ini memperlihatkan bahwa waktu fase stasioner pada sistem indoor lebih cepat dibandingkan pada sistem outdoor. Sistem indoor lebih lambat memasuki fase

58 46 stasioner dibandingkan sistem outdoor. Fase deklinasi pada sistem indoor diduga terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-11 sedangkan pada sistem outdoor terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-13. Keadaan ini memperlihatkan bahwa fase deklinasi pada sistem outdoor memiliki waktu yang lebih lama dibandingkan pada sistem indoor. Kelimpahan akhir pada sistem indoor hanya terjadi hingga hari ke-11 sedangkan kelimpahan akhir pada sistem outdoor terjadi hingga hari ke-13. Hal ini dapat diduga karena waktu yang lebih cepat menuju kelimpahan maksimum dan tingginya kelimpahan pada sistem indoor yang mengakibatkan pengurangan mikronutrien sebagai faktor pembatas yang banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial dibandingkan pada sistem outdoor. Turunnya laju pertumbuhan Skeletonema costatum pada kedua sistem dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial dan adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2006) Thalassiosira sp. Pola pertumbuhan Thalassiosira sp. pada sistem indoor memiliki dua buah puncak populasi yaitu pada hari ke-6 dengan kelimpahan sebesar 0, sel/ml dan hari ke-9 dengan kelimpahan sebesar 0, sel/ml. Pola pertumbuhan Thalassiosira sp. pada sistem outdoor hanya memiliki satu buah puncak kelimpahan pada hari ke-7 dengan nilai kelimpahan yang lebih kecil. Keadaan ini dapat dilihat pada Gambar 10 yang menunjukan bentuk pola pertumbuhan Thalassiosira sp. pada

59 47 kedua sistem yang berbeda. Thalassiosira sp. pada sistem indoor memiliki laju pertumbuhan relatif pada hari ke-1 yang lebih besar (µ = 1,754) dibandingkan pada sistem outdoor yaitu sebesar 0,470. Hal ini mengindikasikan bahwa daya adaptasi Thalassiosira sp. pada sistem indoor lebih cepat dibandingkan pada sistem outdoor. Kondisi ini dikarenakan media strain sebelumnya memiliki lingkungan yang sama pada media strain yang digunakan pada penelitian pada sistem indoor sedangkan pada media outdoor, media strain sebelumnya memiliki kondisi lingkungan yang berbeda yaitu dengan kondisi yang relatif terkontrol pada sistem indoor yang dipindahkan ke dalam media outdoor yang tidak terkontrol lingkungannya. Pada sistem indoor, µ maks sebesar 0,482 dan pada sistem outdoor sebesar 0,205. Kondisi ini memperlihatkan bahwa µ maks pada sistem indoor lebih tinggi dibandingkan µ maks pada sistem outdoor. Gambar 10. Kelimpahan Thalassiosira sp. pada sistem indoor dan outdoor Fase lag Thalassiosira sp. pada sistem indoor diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam sedangkan pada sistem outdoor fase lag. diduga terjadi hingga

60 48 hari ke-1. Hal ini memperlihatkan bahwa fase lag pada sistem indoor membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan pada sistem outdoor. Keadaan ini dikarenakan daya adaptasi Thalassiosira sp. pada sistem indoor yang lebih tinggi dibandingkan pada sistem outdoor. Fase eksponensial pada sistem indoor diduga terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-4, sedangkan pada sistem outdoor diduga terjadi pada hari ke-1 hingga hari ke-1 hingga hari ke-5. Hal ini menunjukan bahwa Thalassiosira sp. pada sistem indoor memiliki waktu yang lebih cepat pada fase eksponensial dibandingkan sistem outdoor. Fase stasioner pada sistem indoor diduga terjadi pada hari ke-4 hingga hari ke- 6 dan pada sistem outdoor diduga terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-8. Kondisi ini menunjukan bahwa sistem indoor dan sistem outdoor memiliki waktu yang sama pada fase stasioner. Sistem indoor lebih cepat memasuki fase stasioner dibandingkan sistem outdoor. Fase deklinasi pada sistem indoor dapat diduga terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-15 sedangkan pada sistem outdoor diduga terjadi pada hari ke-8 hingga hari ke-15. Fase deklinasi Thalassiosira sp.pada kedua sistem mungkin dapat berlanjut kembali melebihi hari ke-15. Perbedaan waktu fase deklinasi pada kedua sistem memperlihatkan bahwa sistem indoor memiliki fase deklinasi yang lebih lama dibandingkan pada sistem outdoor. Penurunan nilai kelimpahan pada kedua sistem dapat diduga karena berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan

61 49 oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001) Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis pada sistem indoor memiliki pola pertumbuhan dengan dua buah puncak kelimpahan maksimum yaitu pada hari ke-5 dengan kelimpahan sebesar 7, sel/ml dan pada hari ke-9 sebesar 5, sel/ml sedangkan pada sistem outdoor juga memiliki pola pertumbuhan dengan dua buah puncak kelimpahan maksimum yaitu pada hari ke-7 dengan kelimpahan sebesar 2, sel/ml dan pada hari ke-13 sebesar 1, sel/ml. Kedua pola pertumbuhan ini dapat dilihat pada Gambar 11. Chaetoceros gracilis pada sistem indoor memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan pada sistem outdoor. Keadaan ini dapat dilihat dari nilai µ pada sistem indoor sebesar 1,088 dan sistem outdoor sebesar 0,798. Hal ini dapat dikarenakan media strain sebelumnya memiliki lingkungan yang sama pada media strain yang digunakan pada penelitian sistem indoor sedangkan pada media outdoor, media strain sebelumnya memiliki kondisi lingkungan yang berbeda yaitu dengan kondisi yang relatif terkontrol pada sistem indoor yang dipindahkan ke dalam media outdoor yang tidak terkontrol lingkungannya. Laju Pertumbuhan spesifik maksimum pada sistem indoor lebih besar (µ maks = 0,520) dibandingkan pada sistem outdoor (µ maks = 0,268).

62 50 Gambar 11. Kelimpahan Chaetoceros gracilis pada sistem indoor dan outdoor Fase lag pada sistem indoor dan sistem outdoor dapat diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dapat diduga bahwa fase lag pada sistem indoor membutuhkan waktu yang sama dengan sistem outdoor. Keadaan ini juga menunjukan bahwa daya adaptasi Chaetoceros gracilis sp. pada sistem indoor hampir sama dengan sistem outdoor. Fase eksponensial pada sistem indoor terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-3 sedangkan fase eksponensial pada sistem outdoor terjadi pada waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-7. Hal ini memperlihatkan bahwa sistem indoor memiliki rentang waktu yang lebih singkat dalam mencapai fase eksponensial dibandingkan pada sistem outdoor. Sistem indoor memiliki waktu yang lebih cepat untuk memasuki fase eksponensial dibandingkan sistem outdoor. Fase stasioner pada sistem indoor dapat diduga terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-5. Fase stasioner pada sistem outdoor dapat diduga terjadi pada hari ke-7 hingga hari ke-8 yang mungkin terjadi dalam rentang waktu kurang dari 24 jam.

63 51 Kondisi ini menunjukan bahwa kultur Chaetoceros gracilis pada sistem indoor memiliki rentang waktu yang lebih lama dalam fase stasioner dibandingkan pada sistem outdoor. Fase deklinasi pada sistem indoor terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-15 sedangkan pada sistem outdoor fase deklinasi terjadi pada waktu kurang dari 24 jam di hari ke-8 hingga hari ke-15. Keadaan ini memperlihatkan bahwa fase deklinasi pada sistem indoor memiliki rentang waktu yang lebih lama dibandingkan pada sistem outdoor. Fase deklinasi pada kedua sistem dapat diduga masih bisa berlanjut hingga hari berikutnya. Kedua sistem terdapat peningkatan populasi kembali yaitu sistem indoor pada hari ke-9 dan sistem outdoor pada hari ke-13. Keadaan ini dapat diduga karena sel-sel Chaetoceros gracilis memasuki periode kriptik di mana sel-sel Chaetoceros gracilis yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel-sel Chaetoceros gracilis yang lisis untuk pertumbuhannya sehingga dapat meningkatkan populasinya kembali (Suantika, 2009). ). Fase deklinasi berlanjut kembali hingga hari ke-15 dengan jumlah kelimpahan akhir pada sistem indoor sebesar 0, sel/ml dan sistem outdoor sebesar 0, sel/ml. Fase deklinasi dapat terjadi karena nutrisi kultur telah habis dan terjadi akumulasi senyawa NH 4+ dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk ekstraseluler dari mikroalga yang meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Chaetoceros gracilis (Fogg, 1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009). Hasil yang disimpulkan adalah Skeletonema costatum pada sistem indoor memiliki laju pertumbuhan spesifik maksimum lebih besar dibandingkan sistem

64 52 outdoor. Kelimpahan tertinggi Skeletonema costatum terdapat pada perlakuan sistem indoor. Thalassiosira sp. pada sistem indoor memilki laju pertumbuhan spesifik maksimum yang lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Kelimpahan tertinggi Thalassiosira sp. juga terdapat pada sistem indoor. Chaetoceros gracilis pada sistem indoor sama halnya memiliki laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks ) yang lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Kelimpahan tertinggi Chaetoceros gracilis juga terdapat pada sistem indoor. Perlakuan sistem indoor pada ketiga spesies diatom ternyata memberikan laju pertumbuhan spesifik maksimum dan jumlah kelimpahan yang lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Hal ini dapat diduga karena lingkungan yang berbeda pada proses kultivasi. 4.4 Kualitas Air Kualitas Air pada Sistem indoor Perubahan suhu air harian saat kultivasi pada ketiga spesies dapat dilihat pada Gambar 12. Perubahan suhu dari hari ke-0 hingga hari ke-15 diakibatkan karena adanya penyesuaian media terhadap suhu lingkungan. Air pada saat pertama kali dituang dalam wadah media kultivasi memiliki suhu 35,0 o C. hal ini dikarenakan adanya proses penembakan sinar UV yang menyebabkan tingginya suhu air.

65 53 Gambar 12. Suhu pada kultivasi sistem indoor Hari ke-0 dapat dilihat terjadi penurunan suhu hingga 27,0-28,0 o C. Penurunan suhu dengan nilai minimum pada ketiga spesies terjadi pada hari ke-9 dengan kisaran 23,7-24,7 o C. Penurunan suhu yang dicapai pada hari ke-15 adalah 25,3-25,8 o C. Skeletonema costatum pada saat kultivasi memiliki kisaran perubahan suhu antara 23,7-27,0 o C, Thalassiosira sp. memiliki kisaran perubahan suhu antara 24,5-27,8 o C dan Chaetoceros gracilis memiliki kisaran perubahan suhu antara 24,7-27,0 o C. Berdasarkan analisis validitas Pearson, fluktuasi suhu tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan dengan kelimpahan pada ketiga spesies diatom yang dikultur. Kisaran suhu pada ketiga spesies tersebut termasuk ke dalam kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan mikroalga yaitu 19,0 32,0 o C (Sylvester et al., 2002 dan Cahyaningsih, 2009). Perubahan salinitas media kultur indoor dapat dilihat pada Gambar 13. Salinitas awal pada saat kultivasi diatom adalah 28,0. Kenaikan salinitas media kultivasi pada sistem indoor berkorelasi positif terhadap waktu. Skeletonema

66 54 costatum memiliki salinitas maksimum pada hari ke-15 sebesar 34,5, Thalassiosira sp. memiliki salinitas maksimum pada hari ke-15 sebesar 31,7, dan Chaetoceros gracilis memiliki salinitas maksimum pada hari ke-15 sebesar 34,0. Kenaikan salinitas dapat diduga karena adanya penguapan air yang disebabkan oleh pengadukan atau aerasi dan adanya pengaruh panas dari lampu TL sehingga mengakibatkan terjadinya penguapan Gambar 13. Salinitas pada kultivasi sistem indoor Berdasarkan uji validitas Pearson, parameter salinitas dan kelimpahan Skeletonema costatum menunjukan hubungan yang nyata sedangkan pada Thalassiosira sp. dan Chaetoceros gracilis tidak menunjukan hubungan yang nyata. Uji lanjut menggunakan analisis regresi memperlihatkan bahwa salinitas mempengaruhi kelimpahan Skeletonema costatum (p<0,05). Salinitas yang diamati pada ketiga spesies termasuk ke dalam salinitas optimum bagi pertumbuhan mikroalga 25,0-35,0 (Sylvester et al., 2002).

67 55 Perubahan derajat keasaman (ph) dalam kultur ketiga spesies diatom yang dilakukan selama 15 hari pengamatan cenderung berfluktuatif. Perubahan derajat keasaman (ph) pada media kultivasi sistem indoor dapat dilihat pada Gambar 14. Kisaran perubahan ph pada Skeletonema costatum adalah 7,60-8,31. ph pada hari ke-0 adalah 8,20 dan pada hari ke-15 adalah 8,00. Kisaran perubahan ph pada Thalasiossira sp. adalah 7,80 8,60 dengan ph hari ke-0 adalah 8,10 dan hari ke-15 adalah 8,10. Kisaran perubahan ph pada Chaetoceros gracilis adalah 8,00-8,40 dengan ph hari ke-0 adalah 8,20 dan hari ke-15 adalah 8,10. Gambar 14. Derajat keasaman (ph) pada kultivasi sistem indoor Perubahan ph pada saat kultivasi mikroalga dapat disebabkan karena adanya perubahan kelarutan CO 2 dan mineral di dalam medium pertumbuhan (Suantika, 2009). Berdasarkan uji validitas Pearson, dapat dikatakan bahwa ph tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan jumlah kelimpahan pada ketiga spesies diatom yang dikultur.

68 56 Intensitas cahaya pada sistem indoor memiliki kisaran yang cukup stabil. Cahaya yang digunakan pada sistem indoor hanya bergantung pada lampu TL. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 15 yang menunjukan intensitas cahaya pada sistem indoor yang diukur selama 9 jam memiliki kisaran antara lux dengan rata-rata lux. Gambar 15. Intensitas cahaya pada kultivasi sistem indoor Kisaran ini dapat dikatakan cukup stabil dibandingkan kisaran pada sistem outdoor. Hal ini dikarenakan penggunaan lampu TL 36 watt yang memiliki pencahayaan yang cukup konstan selama kegiatan kultur. Kisaran ini dapat dikatakan optimum karena intensitas cahaya bagi pertumbuhan mikroalga adalah lux (Sylvester et al., 2002).

69 Kualitas Air pada Sistem Outdoor Suhu air selama 15 hari kultur diatom pada sistem outdoor menunjukan terjadinya fluktuatif yang memiliki rentang antara 23,5 27,0 o C. Perubahan suhu media kultivasi pada sistem outdoor dapat dilihat pada Gambar 16. Fluktuasi suhu dapat disebabkan ruangan kultur bukan merupakan ruang yang terkontrol seperti pada ruang indoor. Pengukuran suhu pada saat penelitian dilakukan pada pagi hari pukul WITA. Gambar 16. Suhu pada kultivasi sistem outdoor Suhu air pada awal kultur pada ketiga spesies yaitu 26,0 o C dan suhu air pada akhir kultur pada ketiga spesies berkisar antara 25,3 25,8 o C. Pengaruh suhu tersebut dapat diduga karena adanya fluktuasi suhu harian berdasarkan cuaca yang berada diwilayah tempat kultur. Suhu terendah pada ketiga spesies terdapat pada hari ke-5 yaitu sebesar 23,5 o C. Kondisi ini disebabkan karena cuaca pada hari ke-4

70 58 dan hari ke-5 dalam kondisi hujan. Gambar 17 menunjukan suhu media yang diukur dalam 1 hari berkisar antara 24,7 30,0 o C. Kondisi ini diukur dalam cuaca yang cerah. Suhu minimum 24,7 o C terjadi pada pukul WITA dan suhu maksimum 30,0 o C terjadi pada pukul dan WITA. Perubahan suhu dalam 1 hari disebabkan pengaruh panas cahaya matahari yang diterima media air pada saat kultur. Gambar 17. Kisaran fluktuasi suhu dalam 1 hari Kisaran suhu pada Skeletonema costatum adalah 23,7 26,8 o C. Suhu awal pada kultur Skeletonema costatum adalah 26,0 o C dan suhu pada hari akhir kultur adalah sebesar 25,8 o C. Berdasarkan analisis validitas Pearson, fluktuasi suhu tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan dengan kelimpahan Skeletonema costatum yang dikultur. Thalassiosira sp. memiliki kisaran suhu air antara 23,5-27,0 o C. Suhu awal pada saat kultur Thalassiosira sp. adalah 26,0 o C dan suhu akhir adalah 25,3 o C. Berdasarkan analisis validitas Pearson, fluktuasi suhu tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan dengan kelimpahan Thalassiosira sp.

71 59 yang dikultur. Kisaran suhu pada kultur spesies Chaetoceros gracilis adalah 23,8 26,8 o C. Suhu air pada awal kultur Chaetoceros gracilis adalah sebesar 26,0 o C dan suhu air pada akhir kultur adalah sebesar 25,5 o C. Berdasarkan analisis validitas Pearson, fluktuasi suhu tidak menunjukkan adanya korelasi yang signnifikan dengan kelimpahan Chaetoceros gracilis yang dikultur. Kisaran suhu pada ketiga spesies tersebut termasuk ke dalam kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan mikroalga yaitu 19,0 32,0 o C (Sylvester et al., 2002 dan Cahyaningsih, 2009). Salinitas harian yang diukur pada ketiga spesies memperlihatkan terjadinya kenaikan salinitas berbanding lurus dengan lamanya waktu kultivasi. Kenaikan salinitas ini dipengaruhi oleh adanya penguapan air sehingga volume air pada wadah semakin berkurang namun konsentrasi garam semakin meningkat akibat adanya penguapan. Penguapan air dapat disebabkan karena adanya pengaruh panas yang berasal dari cahaya matahari maupun lingkungan kultur. Gambar 18. Salinitas pada kultivasi sistem outdoor

72 60 Salinitas yang diukur pada media sistem outdoor dapat dilihat pada Gambar 18. Salinitas awal pada awal kultur pada ketiga spesies adalah 28 dan salinitas akhir pada saat kultur berkisara antara 42,8 47,0. Skeletonema costatum memiliki salinitas akhir sebesar 42,5. Thalassiosira sp. memiliki salinitas akhir sebesar 44,0. Chaetoceros gracilis memiliki salinitas akhir sebesar 47,0. Uji validitas Pearson memperlihatkan adanya korelasi antara perubahan salinitas dengan kelimpahan Skeletonema costatum dan Thalassiosira sp sedangkan pada Chaetoceros gracilis tidak menunjukan adanya korelasi yang signifikan. Uji lanjut menggunakan analisis regeresi memperlihatkan bahwa perubahan salinitas mempengaruhi kelimpahan Skeletonema costatum dan Thalassiosira sp. (p<0,05). Salinitas yang diamati pada spesies Skeletonema costatum dan Thalassiosira sp. pada hari ke-0 hingga hari ke-7 termasuk ke dalam salinitas optimum bagi pertumbuhan mikroalga sedangkan pada Chaetoceros gracilis salinitas optimum berada pada hari ke-0 hingga hari ke-5. Keadaan ini dapat diduga terjadinya pengaruh kenaikan salinitas yang mengakibatkan adanya penurunun laju kelimpahan diatom yang dikultur. Salinitas optimum bagi pertumbuhan mikroalga 25,0-35,0 (Sylvester et al., 2002). Derajat keasaman (ph) media air sistem outdoor pada ketiga spesies diatom memiliki nilai yang berfluktuatif yaitu antara 8,03 8,24. Perubahan nilai ph pada ketiga spesies diatom diduga karena adanya perubahan kelarutan CO 2 dan mineral di dalam medium pertumbuhan. Perubahan derajat keasaman (ph) pada sistem outdoor dapat dilihat pada Gambar 19.

73 61 Kisaran perubahan ph pada Skeletonema costatum adalah 8,03-8,23 dengan ph hari ke-0 adalah 8,03 dan hari ke-15 adalah 8,04. Kisaran perubahan ph pada Thalasiossira sp. adalah 8,06 8,24, dengan ph pada hari ke-0 adalah 8,06 dan hari ke-15 adalah 8,21. Kisaran perubahan ph pada Chaetoceros gracilis adalah 8,09-8,24 dengan ph hari ke-0 adalah 8,09 dan hari ke-15 adalah 8,16. Perubahan ph pada saat kultivasi mikroalga dapat disebabkan karena adanya perubahan kelarutan CO 2 dan mineral di dalam medium pertumbuhan (Suantika, 2009). Berdasarkan uji validitas Pearson, dapat dikatakan bahwa ph tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan dengan kelimpahan pada ketiga spesies diatom yang dikultur. Gambar 19. Derajat keasaman (ph) pada kultivasi sistem outdoor Intensitas cahaya pada sistem outdoor memiliki kisaran yang berfluktuatif. Cahaya yang digunakan pada sistem outdoor hanya bergantung pada sinar matahari. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 20 yang menunjukan intensitas cahaya pada saat kultur berkisar antara lux.

74 62 Gambar 20. Intensitas cahaya pada kultivasi sistem outdoor Pengukuran cahaya diukur dari pukul hingga pukul WITA dengan rentang waktu 1 jam. Pukul WITA intensitas cahaya yang terukur adalah sebesar lux. Puncak maksimum intensitas cahaya terjadi pada pukul WITA yaitu sebesar lux. Pukul WITA intensitas cahaya yang terukur adalah sebesar 228 lux. Intensitas cahaya optimum diduga hanya berlangsung selama 3 jam yaitu pada pukul WITA dan WITA. Intensitas cahaya bagi pertumbuhan mikroalga adalah lux (Sylvester et al., 2002).

75 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kultivasi pada sistem indoor memperlihatkan bahwa Chaetoceros gracilis memiliki laju pertumbuhan spesifik maksimum dan kelimpahan maksimum tertinggi. Skeletonema costatum memiliki nilai µ maks dengan urutan kedua dan kelimpahan maksimum Skeletonema costatum lebih besar dibandingkan Thalassiosira sp. Thalassiosira sp. merupakan spesies yang memiliki µ maks terendah di antara 3 diatom yang dikultivasi dan juga kelimpahan maksimum yang lebih rendah dibandingkan dua spesies diatom lainnya. Kultivsi pada sistem outdoor memperlihatkan bahwa Skeletonema costatum memiliki µ maks yang lebih tinggi dibandingkan dua spesies lainnya dengan kelimpahan maksimum yang lebih rendah dibandingkan Chaetoceros gracilis. Chaetoceros gracilis memiliki µ maks yang lebih rendah dibandingkan Skeletonema costatum dan nilai kelimpahan maksimum tertinggi dibandingkan dua spesies diatom lainnya. Thalassiosira sp. memilki µ maks terendah juga dengan kelimpahan maksimum terendah dibandingkan dua spesies diatom lainnya. Skeletonema costatum pada sistem indoor memiliki µ maks lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Kelimpahan tertinggi pada Skeletonema costatum juga terdapat pada perlakuan sistem indoor. Thalassiosira sp. pada sistem indoor memilki µ maks yang lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Kelimpahan tertinggi Thalassiosira sp. juga terdapat pada sistem indoor. Chaetoceros gracilis pada sistem indoor sama halnya memiliki µ maks yang lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Kelimpahan tertinggi Chaetoceros gracilis juga terdapat pada sistem indoor. Perlakuan sistem indoor pada ketiga 63

76 64 spesies ternyata memberikan laju pertumbuhan spesifik maksimum dan jumlah kelimpahan yang lebih besar dibandingkan pada sistem outdoor. Spesies diatom yang dianggap paling efektif dikultivasi dalam sistem indoor adalah Chaetoceros gracilis sedangkan spesies diatom yang dianggap efektif dikultivasi dalam sistem outdoor adalah Skeletonema costatum. 5.2 Saran Penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengujian kandungan nitrat dan phoshat pada media kultivasi serta penelitian yang dilakukan sebaiknya melihat musim terlebih dahulu agar tidak terjadi kontaminasi mikroba akibat pengaruh cuaca yang mengakibatkan kegagalan dalam kultivasi.

77 DAFTAR PUSTAKA Anjar,.I.M.S., E. Rusyani, dan L. Erawati Budidaya Fitoplankton Skala Laboratorium. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung Tahun Hal: Ari, W.K., W. Tjahjo, dan Anindiastuti Budidaya Fitoplankton Skala Massal. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung Tahun Hal: Basmi, J Planktonologi: Chrysophyta-Diatom, Penuntun Identifikasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Becerril, D.U.H., P.M.G. Sara., dan A.B.C. Sofia Morphological variability of the planktonic diatom Thalassiosira delicatula Ostenfeld emend. Hasle from the Mexican Pacific, in culture conditions. Acta Bot. Croat. 68 (2): Cahyaningsih, S Standar Nasional Indonesia Perbenihan Perikanan (pakan alami). Pelatihan MPM-CPIB Pembenihan Udang, Juni 2009, Situbondo. Balai Budidaya Air Payau Situbondo, Situbondo. Chisti, Y Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances. 25: Biodiesel from microalgae beats bioethanol. Cell Press. 26: Darley, W.M Algal Biology: a physiological approach. Blackwell Scientific Publication. Edinburg. Edhy, W.A., P. Januar, dan Kurniawan Plankton di Lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari. Laboratorium Central Department, Aquaculture Division PT. Central Pertiwi Bahari. Tulang Bawang. Hasle, G. R. dan E.E Syvertsen: Marine Diatoms m.html. [17 Maret 2010] Isnansetyo, A. dan Kurniastuty Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton. Kanisius. Yogyakarta. 65

78 66 Krichnavaruk, S., L. Worapanne., P. Sorawit., dan P. Prasert Optimal growth conditions and the cultivation of Chaetoceros calcitrans in airlift photobioreactor. Chemical Engineering. 105(2005): Mann, K.H. dan J.R.N. Lazier Dynamics of Marine Ecosystem. Hal rd edition. Blackwell Scientific Publication, London. UK. Nugraheny, N Skripsi. Ekstraksi Bahan Anti-bakteri dari Diatom Laut Skeletonema costatum. Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pandey, S.N. dan P.S. Trivedi A textbook of algae.vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi. Panggabean, L.M.G dan Sutomo Karakteristik Pertumbuhan Beberapa Jenis Diatomae dalam Kultur Laboratoris. Seminar Lustrum IX Fakultas Biologi dan Kongres I Kabiogama, September 2000, Yogyakarta. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. Indonesia. Pratoomyot, J., P. Srivilas, dan T. Noiraksar Fatty Acids Composition of 10 Microalgal Species. Songklanakarin J. Sci. Technol. 27 (6): PT. Suri Tani Pemuka Prosedur Kultur Plankton Indoor. Unit Hatchery Udang Vannamei PT. Suri Tani Pemuka, Bali. Purba, O.S Tesis. Pengembangan Medium Untuk Peningkatan Produktivitas Kultur Batch Diatom Laut Thalassiosira sp. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Reed-mariculture Instant Algae. [20 Januari 2010] Setiawati, M. D Skripsi. Uji Toksisitas Pada Mikroalga Chaetoceros gracilis. Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutomo Kultur Tiga Jenis Mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp. dan Chaetoceros gracilis) dan Pengaruh Kepadatan Awal terhadap Pertumbuhan C. gracilis di Laboratorium. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 37 : Somers, D Scanning Elektron Microscope Studies On Some Species Of The Centric Diatom Genera Thalassiosira and Coscinodiscus. Biol Jb. Dodonaea. 40: Suantika, G., A. Pingkan, dan S. Yusuf Tesis. Pengaruh Kepadatan Awal Inokulum terhadap Kualitas Kultur Chaetoceros gracilis (Schuut) pada Sistem Batch. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

79 67 Suprobowati, T.R. dan H. Suwarno Diatom dan Paleolimnologi: Studi Komparasi Perjalanan Sejarah Danau Lac Saint-Augustine Quebeq-City, Canada dan Danau Rawa Pening Indonesia. Biota. 14 (1): Sylvester, B., D.D. Nelvy, dan Sudjiharno Persyaratan Budidaya Fitoplankton. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung Tahun Hal: Tjahjo, W., L. Erawati, dan S. Hanung Biologi Fitoplankton. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung Tahun Hal: Umdu, E.S., T. Mert, dan S. Erol Transesterification of Nannochloropsis oculata microalga s lipid to biodiesel on Al 2 O 3 supported CaO and MgO catalysts. Bioresource Technology. 100: Zipcodezoo Taxonomy Chaetoceros gracilis. [20 Januari 2010]

80 LAMPIRAN

81 LAMPIRAN 1. Penghitungan kelimpahan diatom Formulasi :... (1) Dimana N adalah jumlah sel mikroalga yang teramati Bidang Pengamatan pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali pengulangan. Contoh Pengamatan pada Skeletonema costatum hari ke-0 pada Ulangan 1 sistem indoor N 1 = 2, N 2 =4, N 3 = 2. Penyelesaian : N 1 = Kelimpahan (sel/ml) = 2 x (25/5) x 10 4 = 0, sel/ml N 2 = Kelimpahan (sel/ml) = 4 x (25/5) x 10 4 = 0, sel/ ml N 3 = Kelimpahan (ind/ml) = 2 x (25/5) x 10 4 = 0, sel/ml N rata-rata pada ulangan 1 didapat 0, sel/ml 2. Penghitungan laju pertumbuhan spesifik dan laju pertumbuhan spesifik maksimum Laju pertumbuhan spesifik (µ) mikroalga dihitung dengan rumus berikut menurut Krichnavaruk et al. (2004).... (2) Dimana N t = kepadatan populasi pada waktu t, N o = kepadatan populasi sel pada waktu o, T o = waktu awal T t = waktu pengamatan. 68

82 69 Laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks ) dihitung dari kelimpahan pada saat awal kultur hingga puncak kelimpahan maksimum, dimana N t adalah puncak kelimpahan maksimum, N o adalah kelimpahan pada awal kultur sedangkan T t adalah waktu pada saat kelimpahan maksimum dan T o adalah kelimpahan pada saat awal kultur. Contoh : Skeletonema costatum pada sistem indoor yang memiliki kelimpahan pada hari ke-0 = 0, sel/ml, kelimpahan hari ke-1 = 0, sel/ml, Kelimpahan hari ke-2 = 1, sel/ml dan kelimpahan maksimum pada hari ke-5 = 1, sel/ml. Laju pertumbuhan spesifik (µ) pada hari ke-1 adalah = 1,754 Laju pertumbuhan spesifik (µ) pada hari ke-2 adalah µ = 0,316 Laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks ) adalah µmaks = 0, Uji validitas Pearson dan uji lanjut regresi Uji validitas Pearson dilakukan dengan menggunakan SPSS. Uji validitas Pearson digunakan untuk melihat korelasi dua variable pada penelitian yang dilakukan dengan derajat signifikan 0,05. Variabel yang digunakan dalam uji Pearson pada penelitian ini adalah Kelimpahan diatom pada ketiga spesies dan Kualitas air (Suhu, Salinitas, ph). Penggunaan uji pearson pada penelitian ini dengan membuat tabel yang memiliki 4 kolom dimana kolom pertama adalah kelimpahan diatom dan kolom yang lain adalah kualitas air.

83 70 Contoh: Kelimpahan Skeletonema costatum dan kualitas air pada sistem indoor Menu yang dipilih adalah Analyze, Correlate, Bivariate, dan Pearson. Apabila terlihat ada hubungan maka dilanjutkan dengan uji lanjut menggunakan analisis regresi. Contoh: salinitas memiliki korelasi dengan kelimpahan. Uji lanjut regresi menggunakan software minitab. Hal yang pertama kali dilakukan adalah membuat dua kolom untuk variabel x dan y. Kemudian melihat bentuk grafik dengan memilih menu Graph, Scatterplot, dan masukan variabel x dan y. Kemudian menentukan pola grafik yang terbentuk, linear, kuadratik, atau kubik.

84 71 Pola yang terbentuk dari kelimpahan Skeletonema costatum dan salinitas adalah kubik. Kemudian dilanjutkan dengan melihat pengaruh salinitas terhadap kelimpahan dengan cara masuk ke menu Stat, Regression, Fitted line plot, masukan variabel x dan y dan pilih kubik. Hasil yang didapat adalah salinitas mempengaruhi kelimpahan Skeletonema costatum. Hal ini dapat dilihat dari nilai P kubik yang kurang dari 0,05.

85 72 4. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik diatom pada kultivasi sistem indoor Tabel 4. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Skeletonema costatum pada sistem indoor No Tanggal Hari Pengulangan ( 10 6 sel/ml) Rata-rata ( 10 6 sel/ml) µ µ maks 0 1/06/2010 Selasa 0,13 0,12 0,20 0, /06/2010 Rabu 0,68 0,98 0,93 0,87 1, /06/2010 Kamis 0,98 1,48 1,20 1,18 0, /06/2010 Jumat 1,22 1,55 1,50 1,42 0, /06/2010 Sabtu 2,05 1,63 1,73 1,81 0, /06/2010 Minggu 2,12 2,00 1,78 1,97 0,085 0, /06/2010 Senin 1,75 1,70 0,77 1,41-0, /06/2010 Selasa 0,83 0,42 0,52 0,59-0, /06/2010 Rabu 0,38 0,23 0,13 0,25-0, /06/2010 Kamis 0,17 0,15 0,10 0,14-0, /06/2010 Jumat 0,,10 0,003 0,00 0,04-1, /06/2010 Sabtu 0,02 0,00 0,00 0,006-2, /06/2010 Minggu 0,00 0,00 0,00 0, /06/2010 Senin 0,00 0,00 0,00 0, /06/2010 Selasa 0,00 0,00 0,00 0, /06/2010 Rabu 0,00 0,00 0,00 0,00 - -

86 73 Tabel 5. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Thalassiosira sp,pada sistem indoor No Tanggal Hari Pengulangan ( 10 6 sel/ml) Rata-rata ( 10 6 sel/ml) µ µ maks 0 1/6/2010 Selasa 0,67 0,05 0,03 0,50-1 2/6/2010 Rabu 0,32 0,25 0,30 0,29 1, /6/2010 Kamis 0,70 0,55 0,67 0,64 0, /6/2010 Jumat 0,83 0,57 0,82 0,74 0, /6/2010 Sabtu 0,85 0,85 0,83 0,84 0, /6/2010 Minggu 0,85 0,87 0,82 0,84 0, /6/2010 Senin 1,00 0,88 0,82 0,90 0,064 0, /6/2010 Selasa 0,63 0,55 0,53 0,57-0, /6/2010 Rabu 0,60 0,62 0,63 0,62 0, /6/2010 Kamis 0,73 0,70 0,82 0,75 0, /6/2010 Jumat 0,68 0,65 0,77 0,70-0, /6/2010 Sabtu 0,68 0,65 0,52 0,62-0, /6/2010 Minggu 0,47 0,53 0,40 0,47-0, /6/2010 Senin 0,42 0,43 0,32 0,39-0, /6/2010 Selasa 0,38 0,25 0,18 0,27-0, /7/2010 Rabu 0,283 0,22 0,13 0,21-0,254 -

87 74 Tabel 6. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Chaetoceros gracilis pada sistem indoor Pengulangan ( 10 6 sel/ml) Rata-rata No Tanggal Hari ( 10 6 µ µ sel/ml) maks /6/2010 Selasa 0,53 0,45 0,63 0, /6/2010 Rabu 1,70 1,58 1,52 1,60 1, /6/2010 Kamis 3,27 3,82 4,33 3,81 0, /6/2010 Jumat 6,70 6,98 6,20 6,63 0, /6/2010 Sabtu 7,05 7,10 7,13 7,09 0, /6/2010 Minggu 6,93 7,53 7,28 7,25 0,022 0, /6/2010 Senin 6,85 5,75 5,82 6,14-0, /6/2010 Selasa 6,40 4,75 4,47 5,21-0, /6/2010 Rabu 5,13 4,03 4,32 4,49-0, /6/2010 Kamis 5,83 5,57 6,08 5,83 0, /6/2010 Jumat 4,00 4,05 5,28 4,44-0, /6/2010 Sabtu 3,92 3,78 5,32 4,34-0, /06/2010 Minggu 1,30 2,42 2,42 2, /06/2010 Senin 0,85 1,23 1,83 1,31-0, /06/2010 Selasa 0,62 1,22 1,75 1,19-0, /06/2010 Rabu 0,45 0,73 0,83 0,67-0,575 -

88 75 No 5. Kualitas air pada kultivasi sistem indoor Tabel 7. Kualitas air Skeletonema costatum pada kultivasi sistem indoor Suhu ( o C) Salinitas ( ) ph Ulangan Rata Ulangan Rata Ulangan rata rata ,00 27,00 27,00 27,00 28,00 28,00 28,00 28,00 8,13 8,19 8,20 8, ,00 26,00 27,00 26,33 28,00 28,00 28,00 28,00 8,35 8,27 8,31 8, ,00 26,00 27,00 26,33 28,50 28,50 28,50 28,50 8,02 8,00 8,01 8, ,50 26,00 27,00 26,17 29,00 28,50 29,00 28,83 8,16 8,33 8,22 8, ,50 25,00 26,00 25,17 29,50 29,00 30,00 29,50 8,04 8,00 7,92 7, ,00 25,00 24,50 24,83 30,00 30,50 30,50 30,33 8,07 8,01 7,94 8, ,00 25,00 26,00 25,33 30,00 31,00 31,00 30,67 7,78 7,66 7,67 7, ,50 24,00 25,50 24,67 30,50 32,00 32,00 31,50 7,73 7,67 7,43 7, ,50 24,00 24,50 24,33 31,00 32,50 32,50 32,00 7,35 7,67 7,71 7, ,50 23,50 24,00 23,67 31,00 33,00 33,00 32,33 7,55 7,70 7,72 7, ,50 24,50 25,25 24,75 31,50 33,50 33,00 32,67 7,80 7,88 7,88 7, ,50 24,50 25,00 24,67 32,00 34,00 33,50 33,17 7,83 7,80 7,88 7, ,50 24,50 25,50 24,83 32,00 34,00 34,00 33,33 7,90 7,86 7,87 7, ,00 24,00 25,00 24,33 32,50 34,50 34,00 33,67 7,93 7,91 7,87 7, ,00 25,00 25,50 25,17 33,00 35,00 34,50 34,17 7,81 7,85 7,85 7, ,50 25,00 25,50 25,33 33,50 35,00 35,00 34,50 7,91 7,99 7,97 7,96 Rata -rata

89 76 No Tabel 8. Kualitas air Thalassiosira sp, pada kultivasi sistem indoor Suhu ( o C) Salinitas ( ) ph Ulangan Rata Ulangan Rata Ulangan rata rata ,50 27,50 27,50 27,50 28,00 28,00 28,00 28,00 8,23 8,00 8,21 8, ,50 27,00 27,50 27,00 28,00 28,00 28,00 28,00 8,20 8,21 8,33 8, ,50 27,00 28,00 27,17 28,50 28,00 28,00 28,17 8,23 8,30 8,39 8, ,50 28,00 28,00 27,83 29,00 28,50 28,50 28,67 8,54 8,54 8,59 8, ,50 26,00 27,00 26,17 29,50 29,00 29,00 29,17 8,51 8,59 8,22 8, ,00 25,50 25,50 25,67 30,00 29,00 29,50 29,50 8,43 8,43 8,17 8, ,00 26,00 27,00 26,33 30,00 29,00 30,00 29,67 8,08 8,17 7,90 8, ,50 25,50 26,50 25,83 30,50 29,50 30,00 30,00 8,06 8,15 7,81 8, ,50 25,00 25,00 24,83 31,00 30,00 30,00 30,33 8,04 8,06 7,89 8, ,50 24,50 24,50 24,50 31,00 30,00 30,00 30,33 7,95 7,95 7,75 7, ,50 25,00 25,50 25,33 31,00 30,00 30,50 30,50 8,08 8,09 7,91 8, ,50 25,00 25,50 25,33 31,00 30,00 31,00 30,67 8,07 8,05 7,84 7, ,50 25,50 26,00 25,67 31,50 30,50 31,00 31,00 8,13 8,07 7,88 8, ,00 24,50 25,00 24,83 32,00 30,50 31,00 31,17 8,12 8,09 7,89 8, ,00 25,50 25,50 25,67 32,00 31,00 31,50 31,50 8,05 8,05 7,92 8, ,00 25,50 25,50 25,67 32,00 31,00 32,00 31,67 8,14 8,12 8,00 8,09 Rata -rata

90 77 No Tabel 9. Kualitas air spesies Chaetoceros gracilis pada kultivasi sistem indoor Suhu ( o C) Salinitas ( ) ph Ulangan Rata Ulangan Rata Ulangan rata rata ,00 27,00 27,00 27,00 28,00 28,00 28,00 28,00 8,25 8,23 8,23 8, ,50 26,00 26,00 26,17 28,00 28,50 28,00 28,17 8,26 8,17 8,25 8, ,50 26,50 26,50 26,50 28,50 29,00 28,50 28,67 8,25 8,18 8,02 8, ,00 26,00 27,00 26,67 29,00 29,50 29,50 29,33 8,44 8,29 8,40 8, ,50 25,50 26,00 25,67 29,50 30,00 30,00 29,83 8,43 8,31 8,45 8, ,50 24,00 26,00 25,17 30,00 31,00 30,50 30,50 8,32 8,22 8,32 8, ,50 25,00 24,50 25,00 30,00 31,50 30,50 30,67 8,12 8,05 8,14 8, ,50 25,00 25,00 24,83 30,00 31,50 31,00 30,83 8,15 8,10 8,14 8, ,50 25,00 24,50 24,67 30,50 32,00 31,00 31,17 8,11 8,14 8,11 8, ,50 25,50 24,00 24,67 31,00 32,00 31,50 31,50 8,01 8,03 8,09 8, ,50 25,00 24,50 25,00 31,50 32,50 32,00 32,00 8,08 8,12 8,08 8, ,00 25,50 25,00 25,17 32,00 33,00 32,50 32,50 8,05 8,10 8,07 8, ,50 25,00 25,00 25,17 32,50 33,50 33,00 33,00 8,07 8,14 8,14 8, ,50 25,00 25,00 24,83 32,50 34,00 33,50 33,33 8,11 8,14 8,13 8, ,50 26,00 25,50 25,67 33,00 34,50 34,00 33,83 8,03 8,09 8,08 8, ,00 26,00 25,50 25,83 33,00 35,00 34,00 34,00 8,10 8,15 8,12 8,12 Rata -rata

91 78 6. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik diatom pada kultivasi sistem outdoor Tabel 10. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Skeletonema costatum pada sistem outdoor No Tanggal Hari Pengulangan ( 10 6 sel/ml) Rata-rata ( 10 6 sel/ml) µ µ maks 0 16/6/2010 Rabu 0,13 0,15 0,10 0, /6/2010 Kamis 0,42 0,32 0,40 0,38 1, /6/2010 Jumat 0,82 0,97 0,72 0,83 0, /6/2010 Sabtu 1,32 1,37 1,38 1,36 0, /6/2010 Minggu 1,43 1,68 1,50 1,54 0, /6/2010 Senin 1,48 1,80 1,53 1,61 0,042 0, /6/2010 Selasa 1,10 1,42 1,38 1,30-0, /6/2010 Rabu 0,62 1,02 0,85 0,83-0, /6/2010 Kamis 0,47 0,82 0,73 0,67-0, /6/2010 Jumat 0,33 0,60 0,60 0,51-0, /6/2010 Sabtu 0,25 0,48 0,52 0,42-0, /6/2010 Minggu 0,07 0,27 0,38 0,24-0, /6/2010 Senin 0,03 0,13 0,23 0,13-0, /6/2010 Selasa 0,03 0,13 0,18 0,12-0, /6/2010 Rabu 0,00 0,00 0,00 0, /7/2010 kamis 0,00 0,00 0,00 0,00 - -

92 79 Tabel 11. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Thalassiosira sp, pada sistem outdoor No Tanggal Hari Pengulangan ( 10 6 sel/ml) Rata-rata ( 10 6 sel/ml) µ µ maks 0 16/6/2010 Rabu 0,08 0,17 0,08 0, /6/2010 Kamis 0,17 0,22 0,15 0,18 0, /6/2010 Jumat 0,23 0,33 0,22 0,26 0, /6/2010 Sabtu 0,37 0,28 0,27 0,31 0, /6/2010 Minggu 0,43 0,33 0,32 0,36 0, /6/2010 Senin 0,48 0,35 0,33 0,39 0, /6/2010 Selasa 0,50 0,38 0,35 0,41 0, /6/2010 Rabu 0,50 0,47 0,43 0,47 0,127 0, /6/2010 Kamis 0,43 0,45 0,42 0,43-0, /6/2010 Jumat 0,38 0,37 0,35 0,37-0, /6/2010 Sabtu 0,23 0,28 0,30 0,27-0, /6/2010 Minggu 0,10 0,13 0,17 0,13-0, /6/2010 Senin 0,10 0,12 0,10 0,11-0, /6/2010 Selasa 0,05 0,08 0,08 0,07-0, /6/2010 Rabu 0,03 0,07 0,08 0,06-0, /7/2010 kamis 0,03 0,05 0,05 0,04-0,318 -

93 80 Tabel 12. Kelimpahan dan laju pertumbuhan spesifik Chaetoceros gracilis pada sistem outdoor Pengulangan ( 10 6 sel/ml) Rata-rata No Tanggal Hari ( 10 6 µ µ sel/ml) maks /6/2010 Rabu 0,48 0,42 0,38 0, /6/2010 Kamis 1,00 0,78 1,07 0,95 0, /6/2010 Jumat 1,32 1,33 1,28 1,31 0, /6/2010 Sabtu 1,53 1,55 1,45 1,51 0, /6/2010 Minggu 1,92 1,90 1,60 1,81 0, /6/2010 Senin 2,17 1,92 1,63 1,91 0, /6/2010 Selasa 2,33 2,55 2,27 2,38 0, /6/2010 Rabu 2,77 2,80 2,82 2,79 0,159 0, /6/2010 Kamis 2,13 2,70 2,45 2,43-0, /6/2010 Jumat 1,65 2,60 2,38 2,21-0, /6/2010 Sabtu 1,27 1,93 1,55 1,58-0, /6/2010 Minggu 0,95 1,63 1,28 1,29-0, /6/2010 Senin 0,93 1,30 0,97 1,07-0, /6/2010 Selasa 0,90 1,42 0,97 1,09 0, /6/2010 Rabu 0,63 0,98 0,87 0,83-0, /7/2010 Kamis 0,45 0,72 0,53 0,57-0,379 -

94 81 No 7. Kualitas air pada kultivasi sistem outdoor Tabel 13. Kualitas air Skeletonema costatum pada kultivasi sistem outdoor Suhu ( o C) Salinitas ( ) ph Ulangan Rata Ulangan Rata Ulangan rata rata ,00 26,00 26,00 26,00 28,00 28,50 28,00 28,17 8,01 8,04 8,03 8, ,00 26,00 26,00 26,00 28,50 28,50 28,50 28,50 8,12 8,12 8,11 8, ,00 26,50 27,00 26,83 29,00 30,00 29,00 29,33 8,23 8,24 8,23 8, ,00 26,50 26,00 26,17 30,00 30,00 30,00 30,00 8,16 8,17 8,18 8, ,50 25,00 25,00 25,17 30,50 30,50 30,00 30,33 8,04 8,10 8,10 8, ,00 23,50 23,50 23,67 31,00 31,00 30,50 30,83 8,10 8,12 8,14 8, ,00 24,00 24,00 24,33 32,00 31,50 31,50 31,67 8,14 8,14 8,14 8, ,00 25,50 25,50 25,67 33,00 33,00 33,00 33,00 8,18 8,18 8,16 8, ,50 25,50 25,00 25,33 34,00 33,50 34,50 34,00 8,14 8,15 8,13 8, ,50 25,50 25,50 25,50 35,00 34,00 35,50 34,83 8,14 8,16 8,14 8, ,00 26,00 25,50 25,83 36,00 35,00 36,50 35,83 8,10 8,12 8,12 8, ,00 26,00 25,50 25,83 37,00 36,00 37,00 36,67 8,14 8,17 8,15 8, ,00 26,00 26,00 26,00 38,00 37,00 39,00 38,00 8,14 8,16 8,16 8, ,00 24,00 24,00 24,33 39,50 38,50 41,00 39,67 8,16 8,11 8,13 8, ,50 26,50 26,00 26,33 41,00 40,00 43,50 41,50 8,09 8,09 8,09 8, ,00 26,00 25,50 25,83 42,50 41,00 45,00 42,83 8,00 8,06 8,05 8,04 Rata -rata

95 82 No Tabel 14. Kualitas air Thalassiosira sp, pada kultivasi sistem outdoor Suhu ( o C) Salinitas ( ) ph Ulangan Rata Ulangan Rata Ulangan rata rata ,50 26,00 26,50 26,00 28,00 28,00 28,00 28,00 8,06 8,07 8,05 8, ,50 26,00 26,50 26,00 28,50 28,50 28,50 28,50 8,15 8,14 8,11 8, ,00 27,00 27,00 27,00 29,00 29,00 29,00 29,00 8,24 8,24 8,24 8, ,00 26,00 25,50 25,83 30,50 30,00 30,00 30,17 8,17 8,15 8,18 8, ,00 25,00 25,50 25,17 31,00 30,00 30,50 30,50 8,09 8,12 8,14 8, ,00 24,00 23,50 23,50 32,00 31,00 31,00 31,33 8,17 8,19 8,20 8, ,50 24,00 24,00 23,83 32,50 31,50 31,50 31,83 8,12 8,20 8,22 8, ,50 26,00 26,00 25,83 33,50 33,00 32,50 33,00 8,21 8,27 8,25 8, ,00 24,50 25,50 25,00 35,00 33,50 33,00 33,83 8,11 8,17 8,18 8, ,00 25,00 25,50 25,17 37,00 34,00 34,00 35,00 8,13 8,22 8,21 8, ,00 26,50 26,00 25,83 39,00 35,50 35,00 36,50 8,11 8,18 8,18 8, ,00 26,00 26,00 25,67 41,50 37,00 35,50 38,00 8,15 8,18 8,21 8, ,00 26,00 26,00 26,00 43,00 38,00 36,50 39,17 8,16 8,20 8,20 8, ,00 24,50 25,00 24,50 45,00 39,00 38,00 40,67 8,16 8,18 8,16 8, ,00 26,00 27,00 26,33 48,00 40,00 39,00 42,33 8,13 8,18 8,22 8, ,00 25,00 26,00 25,33 51,00 41,00 40,00 44,00 8,19 8,21 8,22 8,21 Rata -rata

96 83 No Tabel 15. Kualitas air Chaetoceros gracilis pada kultivasi sistem outdoor Suhu ( o C) Salinitas ( ) ph Ulangan Rata Ulangan Rata Ulangan rata rata ,00 26,00 26,00 26,00 28,00 28,00 28,00 28,00 8,08 8,09 8,09 8, ,00 25,50 26,00 25,83 29,00 29,00 28,50 28,83 8,17 8,20 8,20 8, ,00 26,50 27,00 26,83 30,00 30,00 29,50 29,83 8,23 8,25 8,25 8, ,50 25,50 25,50 25,50 31,00 31,00 30,00 30,67 8,20 8,23 8,23 8, ,50 25,50 25,00 25,33 31,50 32,00 30,50 31,33 8,16 8,18 8,16 8, ,00 24,00 23,50 23,83 32,00 33,00 31,00 32,00 8,15 8,14 8,14 8, ,50 23,50 24,00 24,00 32,50 34,00 32,00 32,83 8,21 8,16 8,18 8, ,00 25,00 25,50 25,50 34,00 35,50 33,00 34,17 8,22 8,19 8,19 8, ,50 25,00 24,50 25,00 35,00 37,00 34,00 35,33 8,20 8,20 8,19 8, ,50 24,50 25,00 24,33 35,50 38,00 34,50 36,00 8,19 8,18 8,17 8, ,00 25,00 26,00 25,67 37,00 39,00 36,00 37,33 8,22 8,20 8,22 8, ,00 25,00 25,50 25,50 38,00 40,00 38,00 38,67 8,23 8,23 8,23 8, ,50 25,00 26,00 25,50 40,00 43,00 40,00 41,00 8,23 8,23 8,23 8, ,50 23,00 24,50 24,00 41,00 45,00 41,00 42,33 8,18 8,18 8,23 8, ,50 25,00 26,50 26,00 43,00 49,00 42,00 44,67 8,24 8,22 8,25 8, ,00 24,50 26,00 25,50 45,00 53,00 43,00 47,00 8,20 8,13 8,16 8,16 Rata -rata

97 84 Tabel 16. Suhu air pada kultivasi sistem outdoor Jam (WITA) Suhu Air Outdoor ( o C) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata 5 24,50 26,00 25,50 25, ,00 25,50 25,00 24, ,50 25,00 25,00 24, ,00 25,00 25,00 25, ,00 25,50 25,50 25, ,00 26,50 227,00 93, ,50 28,00 28,00 27, ,50 28,50 30,00 29, ,00 29,50 31,00 29, ,00 30,00 31,00 30, ,50 30,00 30,00 29, ,00 29,50 29,50 29, ,50 29,00 29,00 28, ,00 29,00 28,50 28, ,00 28,50 28,00 27, ,50 28,00 27,50 27, ,00 27,50 27,00 26,83

98 85 8. Intensitas cahaya pada sistem kultivasi indoor dan outdoor Tabel 17. Intensitas cahaya pada kultivasi sistem indoor Jam (WITA) Intensitas Cahaya (Lux) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,67 Rata-rata total 4593,73 Tabel 18. Intensitas cahaya pada kultivasi sistem outdoor Jam (WITA) Intensitas Cahaya (Lux) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,70 221,30 205,10 228,03

99 86 9. Komposisis kimiawi pupuk F2 dan pupuk teknis Tabel 19. Komposisi kimiawi pupuk analis (F2) No Senyawa Berat (gr) Konsentrasi Pemakaian (ppm) 1 NaNO 3 75,000 75,000 2 NaH 2 PO 4 5,650 5,650 3 Na 2 SiO 3 21,000 21,000 4 FeCl 3 3,150 3,150 5 Na 2 EDTA 4,160 4,160 6 Trace Metal: CuSO 4.5H 2 O 0,010 0,010 ZnSO 4.7H 2 O 0,022 0,022 CoCl 2.6H 2 O 0,010 0,010 MnCl 2.4H 2 O 0,180 0,180 Na 2 MoO 4 2H 2 O 0,006 0,006 7 Vitamin mix: Biotin 0,010 0,010 B1 0,010 0,010 Thiamin HCl 0,200 0,200 Tabel 20. Komposisi kimiawi pupuk teknis No Senyawa Berat (gr) Konsentrasi Pemakaian (ppm) 1 KNO 3 50,0 50,0 2 Na 2 PO 4 4,0 4,0 3 Azumit 2,5 2,5 4 FeCl 2,0 2,0 5 Na 2 EDTA 2,5 2,5 6 Silikat 10,0 10,0

100 Dokumentasi foto alat dan bahan penelitian 1. Haemocytometer 2. Handcounter 3. Akuades 4. ph meter 5. Bulb 6. GelasUkur

101 88 7. Bunsen 8. Rak dan test tube 9. Hotplate 10. Pipet volumetrik 11. Pipet mohr 12. Mikroskop

102 Refraktometer 14. Erlenmeyer 15. Thermometer 16. Teko ukur 17. Filter Bertingkat 18. Blower Outdoor

103 Oven 20. Lampu TL 36 watt 21. Kombinasi pupuk F2 22. Silikat 23. Aerator indoor 24. Lux meter

104 Stirofoam dan botol gelas 26. Kran dan pipa aerasi 27. Bromin test 28. Selang aerasi 29. Batu aerasi 30. Rak kultur dantoples 5 liter

105 Pupuk teknis (FeCl 3, Silikat, KNO3, 32. Timbangan digital Na2PO4, Azumit,dan Na2EDTA) 11. Dokumentasi foto kegiatan kultivasi diatom 1. Kultur tahap test tube 2. Kultur tahap erlenmeyer 3. Kultur tahap botol kaca 4. Kultur tahap galon

106 93 5. Kultur tahap toples 6. Persiapan kultur indoor 7. Kultur hari ke-0 indoor 8. Kultur hari ke-1 indoor 9. Kultur hari ke-5 indoor 10. Kultur Hari ke-10 indoor

107 Kultur hari ke-15 indoor 12. Skeletonema costatum sistem indoor 13. Thalassiosira sp sistem indoor 14. Chaetoceros gracilis sistem indoor 15. Kultur tahap outdoor 16. Persiapan kultur outdoor

108 Kultur hari ke-0 outdoor 18. Kultur hari ke-1 outdoor 19. Kultur hari ke-5 outdoor 20. Kultur hari ke-10 outdoor 21. Kultur hari ke-15 outdoor 22. Skeletonema costatum sistem outdoor

109 23. Thalassiosira sp. sistem outdoor 24. Chaetoceros gracilis sistem outdoor 96

110 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah, 1 Maret 1988 dari Ayah Rinto Tarsa dan Ibu Sri Welas Asih. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) YP IPPI Cakung, Jakarta. Pada Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui Jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, Penulis menjadi Asisten Luar Biasa mata kuliah Oseanografi Umum tahun , Asisten Luar Biasa mata kuliah Biologi Laut tahun , dan Asisten Luar Biasa mata kuliah Oseanografi Kimia tahun Selain itu penulis juga pernah mengikuti beberapa organisasi internal dan eksternal kampus seperti anggota UKM IPB Century Divisi Produksi tahun , Anggota Hubungan Luar dan Komunikasi Himiteka tahun , dan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bogor sebagai Ketua Bidang Pembina Anggota Komisariat C pada tahun Penulis Juga pernah berperan sebagai panitia Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru FPIK tahun 2008 dan panitia Perancangan Undang- Undang Kepemudaan dan Olahraga tahun Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis melaksanakan penelitian dengan judul Kultivasi Diatom Penghasil Biofuel Jenis Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis pada Sistem Indoor dan Outdoor

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2010 di Laboratorium PT. Suri

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2010 di Laboratorium PT. Suri 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2010 di Laboratorium PT. Suri Tani Pemuka (Japfa), Unit Hatchery Udang Vannamei, Jalan Raya Gilimanuk km

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan penyusun utama mikroalga baik di ekosistem perairan tawar maupun

2. TINJAUAN PUSTAKA. merupakan penyusun utama mikroalga baik di ekosistem perairan tawar maupun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi, Morfologi, dan Habitat Diatom Diatom merupakan mikroalga uniseluler yang distribusinya sangat universal di semua tipe perairan. Diatom memiliki bentuk kehidupan yang kosmopolit

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Formulasi :... (1) pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali pengulangan.

LAMPIRAN. Formulasi :... (1) pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali pengulangan. LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Penghitungan kelimpahan diatom Formulasi :... (1) Dimana N adalah jumlah sel mikroalga yang teramati Bidang Pengamatan pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 3 kali pengulangan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Mikroalga merupakan organisme tumbuhan paling primitif berukuran seluler yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan produsen primer perairan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung pada bulan Juli - Agustus 2011. B. Materi Penelitian B.1. Biota Uji Biota

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2009 bertempat di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga Tujuan Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah mengetahui teknik kultur Chaetoceros sp. dan Skeletonema sp. skala laboratorium dan skala massal serta mengetahui permasalahan yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Januari di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung dan uji proksimat di Politeknik Lampung 2012. B. Materi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Diatom merupakan mikroalga uniseluler yang distribusinya sangat

2. TINJAUAN PUSTAKA. Diatom merupakan mikroalga uniseluler yang distribusinya sangat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi, Morfologi, dan Habitat Diatom Diatom merupakan mikroalga uniseluler yang distribusinya sangat universal di semua tipe perairan. Disebut diatom karena selnya terdiri dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol)

BAB III METODE PENELITIAN. konsentrasi limbah cair tapioka (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 0% atau kontrol) 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian disusun menggunakan metoda statistika rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor, dimana faktor yang diujikan adalah pengaruh konsentrasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way

BAB III METODE PENELITIAN. Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kelimpahan sel Chlorella sp. tiap perlakuan. Data di analisa menggunakan statistik One Way Anova

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 hingga bulan April

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 hingga bulan April 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 hingga bulan April 2010 bertempat di Laboratorium Kultivasi Mikroalga di Pusat Penelitian Surfaktan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Juni 2012

3. BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Juni 2012 11 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Juni 2012 bertempat di Laboratorium Kultivasi Mikroalga di Pusat Penelitian Surfaktan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014 bertempat di Laboratorium

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014 bertempat di Laboratorium III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014 bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan organisme air fotoautropik uniseluler atau multiseluler (Biondi and Tredici, 2011). Mikroalga hidup dengan berkoloni, berfilamen atau helaian pada

Lebih terperinci

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan

4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan 4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan 4.1.1 Latar belakang Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati perairan yang luar biasa besarnya. Sumberdaya yang tidak dapat secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan Pada bulan Februari - Maret 2015 di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, Desa Hanura, Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu ± ,42 Km (Dahuri dkk, 2011). Di laut, tumbuh dan berkembang

I. PENDAHULUAN. yaitu ± ,42 Km (Dahuri dkk, 2011). Di laut, tumbuh dan berkembang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ± 80.791,42 Km (Dahuri dkk, 2011). Di laut, tumbuh dan berkembang berbagai jenis mikroalga

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung pada bulan November 2012. 3.2 Materi Penelitian 3.2.1 Biota uji Biota uji yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan bahan persediaan bahan bakar fosil berkurang. Seiring menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan bahan persediaan bahan bakar fosil berkurang. Seiring menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan bahan bakar fosil saat ini semakin meningkat sehingga dapat menyebabkan bahan persediaan bahan bakar fosil berkurang. Seiring menipisnya persediaan bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal walaupun secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Laboratorium

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Laboratorium 16 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Laboratorium Fitoplankton Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. 3.2. Materi

Lebih terperinci

Biota kultur yang digunakan dalam penelitian adalah Nannochloropsis sp. yang dikultur pada skala laboratorium di BBPBL Lampung.

Biota kultur yang digunakan dalam penelitian adalah Nannochloropsis sp. yang dikultur pada skala laboratorium di BBPBL Lampung. III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 13-21 Januari 2014 bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan mikroorganisme prokariotik atau eukariotik yang dapat berfotosintesis dan dapat tumbuh dengan cepat serta dapat hidup dalam kondisi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN. Bahan penelitian yang akan digunakan adalah S. platensis, pupuk Azolla pinnata,

IV METODOLOGI PENELITIAN. Bahan penelitian yang akan digunakan adalah S. platensis, pupuk Azolla pinnata, IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 di Laboratorium Pendidikan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. Klasifikasi Tetraselmis sp. menurut Bold & Wynne (1985) adalah sebagai berikut: Filum Kelas Ordo

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PUPUK CAIR TNF UNTUK BUDIDAYA Nannochloropsis sp ABSTRAK

PEMANFAATAN PUPUK CAIR TNF UNTUK BUDIDAYA Nannochloropsis sp ABSTRAK ejurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 1 Oktober 013 ISSN: 303600 PEMANFAATAN PUPUK CAIR TNF UNTUK BUDIDAYA Nannochloropsis sp Leonardo Bambang Diwi Dayanto *, Rara Diantari dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha budidaya ikan pada dewasa ini nampak semakin giat dilaksanakan baik secara intensif maupun ekstensif. Usaha budidaya tersebut dilakukan di perairan tawar, payau,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sering digunakan oleh seluruh manusia di dunia ini. Menurut Departemen

BAB 1 PENDAHULUAN. sering digunakan oleh seluruh manusia di dunia ini. Menurut Departemen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahan bakar fosil telah menjadi bahan bakar yang paling luas dan sering digunakan oleh seluruh manusia di dunia ini. Menurut Departemen Energi dan Sumber Daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan.

I. PENDAHULUAN. Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan. Peningkatan benih berkualitas mampu didapatkan dengan pengontrolan panti benih dan pakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 30 juli 2014 bertempat di

III. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 30 juli 2014 bertempat di III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 30 juli 2014 bertempat di Laboratorium Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung. Uji protein dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan akumulasi emisi karbondioksida (CO 2 ). Kelangkaan bahan bakar fosil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk dunia di masa mendatang akan menghadapi dua permasalahan yang serius, yaitu kelangkaan bahan bakar fosil dan perubahan iklim global yang diakibatkan akumulasi

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN SAHABUDDIN PenelitiPada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Dan Penyuluhan Perikanan Dipresentasikan pada Kuliah umum Praktik Lapang Terpadu mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pembagian tugas yang jelas pada sel sel komponennya. Hal tersebut yang

TINJAUAN PUSTAKA. pembagian tugas yang jelas pada sel sel komponennya. Hal tersebut yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan tanaman yang mendominasi lingkungan perairan. Morfologi mikroalga berbentuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

BAB III METODE PENELITIAN. diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Pengambilan data penelitian diperoleh dari perhitungan kepadatan sel dan uji kadar lipid Scenedesmus sp. tiap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode deskriptif kualitatif. Perlakuan dalam penelitian ini diulang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode deskriptif kualitatif. Perlakuan dalam penelitian ini diulang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan metode deskriptif kualitatif. Perlakuan dalam penelitian ini diulang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung dari bulan Januari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keunggulan dalam keragaman hayati seperti ketersediaan mikroalga. Mikroalga merupakan tumbuhan air berukuran mikroskopik yang memiliki

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN

III. METODELOGI PENELITIAN 18 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Maret - April

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah, dikelompokan dalam filum Thalophyta karena tidak memiliki akar,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan, pengamatan laju pertumbuhan Kappaphycus

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Usaha pengembangan budidaya perairan tidak dapat lepas dari pembenihan jenisjenis

I. PENDAHULUAN. Usaha pengembangan budidaya perairan tidak dapat lepas dari pembenihan jenisjenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budidaya memegang peranan penting untuk lestarinya sumber daya ikan. Usaha pengembangan budidaya perairan tidak dapat lepas dari pembenihan jenisjenis unggulan. Pembenihan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pakan merupakan kebutuhan penting dan berpengaruh besar dalam kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya usaha budidaya perikanan. Pakan

Lebih terperinci

The Growth of Chlorella spp Culturing with Some Density of Inoculum. Lady Diana Tetelepta

The Growth of Chlorella spp Culturing with Some Density of Inoculum. Lady Diana Tetelepta PERTUMBUHAN KULTUR Chlorella spp SKALA LABORATORIUM PADA BEBERAPA TINGKAT KEPADATAN INOKULUM The Growth of Chlorella spp Culturing with Some Density of Inoculum Lady Diana Tetelepta Jurusan Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Selada Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), khususnya dalam hal bentuk daunnya. Tanaman selada cepat menghasilkan akar tunggang diikuti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton merupakan mikro alga sehingga dalam dunia pembenihan

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton merupakan mikro alga sehingga dalam dunia pembenihan TINJAUAN PUSTAKA Fitoplankton Fitoplankton merupakan mikro alga sehingga dalam dunia pembenihan sering hanya disebut alga. Alga merupakan organisme yang tersedia melimpah di alam dan dibedakan menjadi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Scenedesmus sp. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan sebagian besar dapat hidup di lingkungan akuatik seperti perairan tawar

Lebih terperinci

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2013

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2013 TUGAS AKHIR SB 091358 PENGARUH KOMBINASI KONSENTRASI MEDIA EKSTRAK TAUGE (MET) DENGAN PUPUK UREA TERHADAP KADAR PROTEIN Spirulina sp. PADA MEDIA DASAR AIR LAUT Dwi Riesya Amanatin (1509100063) Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pencemaran masalah lingkungan terutama perairan sekarang lebih diperhatikan,

I. PENDAHULUAN. Pencemaran masalah lingkungan terutama perairan sekarang lebih diperhatikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pencemaran masalah lingkungan terutama perairan sekarang lebih diperhatikan, terutama setelah berkembangnya kawasan industri baik dari sektor pertanian maupun

Lebih terperinci

BAB III METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu

BAB III METODE. 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 - Januari 2017 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

NAMA TEKNOLOGI/ALAT : Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina sebagai bahan baku industri non pangan

NAMA TEKNOLOGI/ALAT : Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina sebagai bahan baku industri non pangan Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina Sebagai bahan baku industri non pangan INFORMASI UMUM NAMA TEKNOLOGI/ALAT : Penanganan pasca panen biomassa Alga Spirulina sebagai bahan baku industri non

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK TOTAL Nannochloropsis sp. PADA FOTOPERIODE YANG BERBEDA ABSTRAK

KANDUNGAN LEMAK TOTAL Nannochloropsis sp. PADA FOTOPERIODE YANG BERBEDA ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume I No 2 Februari 2013 ISSN: 2302-3600 KANDUNGAN LEMAK TOTAL Nannochloropsis sp. PADA FOTOPERIODE YANG BERBEDA Meytia Eka Safitri *, Rara Diantari,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam Dalam 100 g bayam mengandung 426 mg nitrat dan 557 mg fosfor dan konsentrasi nitrat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,9-3,5

Lebih terperinci

BUKU PANDUAN PRAKTIKUM BUDIDAYA MAKANAN ALAMI

BUKU PANDUAN PRAKTIKUM BUDIDAYA MAKANAN ALAMI BUKU PANDUAN PRAKTIKUM BUDIDAYA MAKANAN ALAMI OLEH: TIM ASISTEN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013 I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian. (BBPBAP) Jepara, gulma air Salvinia molesta, pupuk M-Bio, akuades,

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian. (BBPBAP) Jepara, gulma air Salvinia molesta, pupuk M-Bio, akuades, 9 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biakan murni Spirulina platensis yang diambil

Lebih terperinci

SNTMUT ISBN:

SNTMUT ISBN: PENAMBAHAN NUTRISI MAGNESIUM DARI MAGNESIUM SULFAT (MgSO 4.7H 2 O) DAN NUTRISI KALSIUM DARI KALSIUM KARBONAT (CaCO 3 ) PADA KULTIVASI TETRASELMIS CHUII UNTUK MENDAPATKAN KANDUNGAN LIPID MAKSIMUM Dora Kurniasih

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dapat melakukan fotosintesa. Klasifikasi Nannochloropsis sp. menurut Renny

II. TINJAUAN PUSTAKA. dapat melakukan fotosintesa. Klasifikasi Nannochloropsis sp. menurut Renny II. TINJAUAN PUSTAKA A. Nannochloropsis sp. A.1. Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah salah satu jenis Chlorophyta yang dapat melakukan fotosintesa. Klasifikasi

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan dan memiliki nilai gizi tinggi yaitu, kandungan protein 74%, lemak

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan dan memiliki nilai gizi tinggi yaitu, kandungan protein 74%, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga yang mudah dibudidayakan dan memiliki nilai gizi tinggi yaitu, kandungan protein 74%, lemak 4%, dan karbohidrat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

BAB 3 BAHAN DAN METODE

BAB 3 BAHAN DAN METODE BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April Mei 2007 di Laboratorium Ekologi Hewan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian yang bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu pada medium Murashige-Skoog

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. digunakan sebagai sumber pakan alami untuk pembenihan larva udang, ikan dan

I. PENDAHULUAN. digunakan sebagai sumber pakan alami untuk pembenihan larva udang, ikan dan I. PENDAHULUAN Spirulina platensis merupakan alga hijau berfilamen yang sudah banyak digunakan sebagai sumber pakan alami untuk pembenihan larva udang, ikan dan krustase, karena memiliki nilai nutrisi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB 3 BAHAN DAN METODE

BAB 3 BAHAN DAN METODE BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Metode Penelitian Penelitian: Laju Pertumbuhan Populasi Brachionus plicatilis O. F Muller Dengan Penambahan Vitamin C Pada Media CAKAP dilaksanakan pada bulan Mei 2010 di Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN Petunjuk Praktikum KULTUR JARINGAN TUMBUHAN SBG 147. Disusun Oleh : Victoria Henuhili victoria@uny.ac.id JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan

I. PENDAHULUAN. Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein berperan penting dalam pembentukan biomolekul, namun demikian apabila organisme sedang kekurangan energi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 April 2013 hingga 9 Mei 2013 dan terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama merupakan penelitian pendahuluan

Lebih terperinci