Biodegradasi lignin oleh kapang P.chrysosporium akan membuka cincin aromatik untuk menghasilkan senyawa fenoksi, oksidasi senyawa fenoksi akan
|
|
- Hadi Hermanto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 47 PEMBAHASAN UMUM Lignoselulosa merupakan komponen utama dari biomassa yang dibangun dari struktur mikrofibril polisakarida yang mengikat antara lignin dan senyawa serat kasar lain seperti selulosa dan hemiselulosa. Secara alami ikatan ini banyak terdapat dalam kayu, rumput, limbah perkebunan maupun limbah pertanian. Selama proses penebalan dinding, dinding sel tanaman dan ruang interseluler diisi dengan polimer fenolik lignin. Lignifikasi terjadi secara enzimatik melalui dehidrogenasi dan selanjutnya diikuti kondensasi radikal coumaryl, coniferyl, dan synapil alkohol (Hendriks dan Zeeman, 2009). Ikatan lignoselulosa merupakan pembatas dalam pemanfaatan bahan pakan dalam ransum karena akan menurunkan tingkat kecernaan sehingga mengurangi nilai nutrisi pakan, namun ditinjau dari prekusor pembentuk dari lignin maka sangat memungkinkan hasil biodegradasinya menjadi hal yang lebih bermanfaat seperti sebagai antioksidan. Meningkatnya penggunaan antioksidan alami dalam menggantikan antioksidan sintetis telah mendorong banyak penelitian dalam bidang ini. Pemanfaatan limbah tanaman, baik yang berasal dari pertanian dan perkebunan, kehutanan maupun aktifitas industri sebagai bahan dasar penghasil antioksidan alami menjadi perhatian besar, hal ini disebabkan memungkinkan untuk menghasilkan antioksidan dengan biaya yang rendah dan juga bisa mengatasi masalah lingkungan (Moure et al. 2001). Bahan lignoselulosa yang terdiri dari polisakarida dan lignin melalui proses pemisahan menghasilkan komponen asam organik dan senyawa fenol. Proses pemisahan bisa dilakukan dengan banyak cara seperti menggunakan media asam, steam dan pemanfaatan mikroorganisme. Senyawa fenol hasil pemisahan polisakarida dan lignin sebagian besar memiliki aktifitas antioksidan ( Garrote et al. 2003) Berdasarkan sumbernya, secara umum antioksidan digolongkan dalam dua jenis, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik yang sering digunakan masyarakat antara lain butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α- tocopherol. Keuntungan menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti radikalnya yang sangat kuat, namun ternyata terdapat kekurangannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wichi (2008) dan Thompson & Moldeus (2008), antioksidan sintetik BHA dan BHT berpotensi karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran antioksidan sintetik. Irianti (2008) menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya telah lama digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas dan kandungan bioaktifnya. Biodegradasi lignin merupakan proses oksidasi yang melibatkan sejumlah enzimatis dan non-enzimatis (Sanchez, 2009). Enzim yang berperan dalam biodegradasi lignin adalah lignin peroxidase, manganese peroxidase, laccase (Martinez et al. 2004). Proses biodegradasi lignin lebih efektif dilakukan oleh white-rot fungi melalui oksidasi polimer yang menghasilkan radikal aromatik Radikal fenoksi hasil oksidasi dapat membentuk polimer lignin kembali jika tidak dioksidasi menjadi senyawa fenolik (Martinez et al. 2005). Salah satu kapang yang mampu mensekresi enzim yang berperan dalam degradasi lignin adalah kapang P.chrysosporium.
2 48 Biodegradasi lignin oleh kapang P.chrysosporium akan membuka cincin aromatik untuk menghasilkan senyawa fenoksi, oksidasi senyawa fenoksi akan menghasilkan senyawa fenol yang pada akhirnya proses degradasi akan menghasilkan CO 2 dan H 2 O. Adanya kandungan senyawa fenol yang dihasilkan dari proses biodegradasi lignoselulosa memungkinkan untuk dijadikan antioksidan. Hasil biodegradasi lignoselulosa yang berasal dari pelepah sawit oleh P.chrysosporium pada penelitian ini menunjukkan adanyanya aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Degradasi yang terjadi pada hari ke-10 dengan dosis inokulan 10 6 cfu/15g pelepah sawit menghasilkan aktifitas antioksidan tertinggi. Persentase inhibisi sebagai indikator aktivitas antioksidan yang dihasilkan adalah 89.41% dan total antioksidan µg/ml. Sementara biodegradasi lignin yang berasal dari pelepah sawit oleh P.chrysosporium menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi yaitu 92.11% dengan total antioksidan µg/ml pada hari degradasi yang sama (Tabel 1). Adanya aktivitas antioksidan yang diperoleh disebabkan karena pada proses biodegradasi lignoselulosa yang terdapat pada pelepah sawit dan biodegradasi lignin yang berasal dari pelepah sawit menghasilkan senyawa fenol yang memiliki aktivitas antioksidan. Komponen senyawa fenol yang dihasilkan dari degradasi lignin pada 10 hari fermentasi berupa 2.6 dimethoxy phenol, Vanilic acid, Coumaric acid, Vanilic acid dan Syringic aldehid, sementara pada pelepah sawit fermentasi diperoleh komponen terbesar senyawa fenol berupa Syringic acid, 2.6 dimethoxy phenol, Hidroxy Benzaldehyd, Methoxy Phenol dan Syringic aldehid (Tabel 2). Berdasarkan senyawa fenol yang diidentifikasi diperoleh adanya senyawa methoxy phenol dan derivatnya berupa 2.6 dimethoxy phenol yang teridentifikasi dengan jumlah perentase yang terbesar. Kedua senyawa ini diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi disamping senyawa fenol yang lainnya. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Beberapa hasil penelitian yang melakukan proses steam pada bahan lignoselulosa menghasilkan senyawa fenol produk derivat dari lignin berupa p-hydroxybenzoic acid, hydroxyphenyl acids (ferulic, vanillic, syringic dan coumaric acids) dan aldehydes (syringaldehyde, p- hydroxybenzaldehyde dan vanillin (Castro et al. 2008; Conde et al. 2008, 2009; Garrote et al. 2007; Sun et al. 2004) Senyawa fenol yang dihasilkan pada proses biodegradasi lignoselulosa pelepah sawit dan lignin yang berasal dari pelepah sawit oleh P.chrysosporium merupakan hasil dari kerja enzim Laccase atau ligninolytic peroxidases (LiP and MnP). Proses biodegradasi lignin oleh enzim Laccase atau ligninolytic peroxidases (LiP and MnP) yang dihasilkan oleh kapang pelapuk putih (white-rot fungi) dimualai dengan mengoksidasi polimer lignin menjadi radikal aromatik. Proses akan berkembang melalui proses non enzimatik termasuk pemecahan ikatan C-4-ether, cincin aromatik dan ikatan Cα Cβ serta proses demetoksilasi, aldehid aromatik dilepaskan dari pemecahan ikatan Cα Cβ lignin untuk digunakan sebagai substrat pembentuk H 2 O 2 oleh aryl alcohol oksidase (AAO) dalam reaksi siklus redoks yang juga melibatkan aryl alcohol dehidrogenase (AAD). Radikal penoksi dari pemecahan ikatan C-4-ether bisa mengalami depolimerasi kembali menjadi polimer lignin jika tidak segera dioksidasi menjadi senyawa fenolik. Senyawa fenol bisa dibentuk kembali melalui proses reoksidasi oleh laccase atau peroxidase. Tahapan akhir dari proses ini adalah terbentuknya
3 49 senyawa sederhana dari degradasi lignin yang masuk kedalam hifa kapang dan berinkoporasi kedalam jalur katabolik intraseluler (Martínez et al. 2005). Berdasarkan hasil dari proses biodegradasi lignoselulosa seperti yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa lignin yang terdapat pada pelepah sawit memiliki nilai positif. Aktivitas antioksidan yang diperoleh dari proses biodegradasi lignoselulosa dan lignin menjadikannya sebagai nilai tambah dan tidak hanya dianggap sebagai pembatas dalam pakan ternak. Proses biodegradasi lignoselulosa dari pelepah sawit dengan P.chrysosporium tidak hanya mampu menghasilkan antioksidan namun juga mempengaruhi perubahan nilai gizi dan fraksi serat yang terdapat pada pelepah sawit. Pada penelitian ini diperoleh dosis inokulan terbaik adalah 10 7 cfu/ml dengan lama fermentasi 10 hari. Hal ini berdasarkan dari tingkat kerja dari P.chrysosporium dalam menurunkan kandungan lignin dan nilai rasio selulosa lignin yang tinggi. Penurunan kandungan NDF pada dosis inokulan 10 7 cfu/ml dan lama fermentasi 10 hari adalah sebesar 40.16% dan penurunan kandungan ADF sebesar 40.93%. Kandungan NDF pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 65.59% sementara rataan kandungan NDF yang diperoleh setelah proses fermentasi berkisar antara %. Kandungan ADF pelepah sawit sebelum fermentasi 52.72% setelah proses fermentasi maka terjadi penurunan kandungan ADF yaitu berkisar % (Tabel 4 dan 5). Terjadi fluktuasi kandungan selulosa dan hemiselulosa setelah 10 hari fermentasi sampai pada hari ke-20 baik pada kandungan selulosa maupun pada kandungan hemiselulosa. Kandungan selulosa pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 27.79% setelah proses fermentasi kandungan selulosa pelepah sawit berkisar %. Kandungan hemiselulosa pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 12.87% dan terjadi penurunan kandungan hemiselulosa setelah proses fermentasi dengan P.chrysosporium menjadi %. Pada dosis inokulan 10 5 cfu/ml dan lama fermentasi 15 hari terjadi peningkatan kandungan hemiselulosa menjadi 13.66% (Tabel 6 dan 7). Penurunan kandungan lignin terbesar terjadi pada dosis inokulan 10 7 cfu/ml dengan lama masa inkubasi 10 hari dengan persentase penurunan 47.79%. (Tabel 8). Kehilangan kandungan lignin tergambar dari persentase degradasi lignin selama proses fermentasi berkisar antara % (Tabel 9). Penurunan ini diduga terkait dengan ketersedian nutrient hasil perombakan komponen lignoselulosa untuk pertumbuhan kapang itu sendiri. Perubahan kandungan lignin pada substrat terjadi karena perombakan struktur lignin menjadi komponen yang lebih sederhana (Nelson dan Parjo, 2011). Degradasi lignin yang tinggi pada lama fermentasi 10 hari berhubungan dengan produksi enzim ligninase yang dihasilkan oleh kapang P.chrysosporium. Arora et al. (2002) menyatakan bahwa aktivitas ligninolitik pada P.chrysosporium baru terdeteksi pada hari ke-8 walaupun kehilangan bahan organik total telah terjadi pada hari ke-4. Zeng et al. (2010) menyatakan bahwa selama proses biokonversi limbah pertanian dengan P.chrysosporium ditemukan dua puncak produksi enzim pendegradasi lignin yaitu pada hari ke-10 dan hari ke-21. Terjadi beberapa puncak produksi enzim ligninolitik selama fermentasi serutan kayu oleh P.chrysosporium (Couto et al. 2001) Potensi kapang pelapuk putih dalam mendegradasi lignin sangat bervariasi tergantung pada strain, tipe fermentasi dan periode inkubasi (Dinis et al. 2009).
4 50 Kapang P.chrysosporium mampu mendegradasi lignoselulosa secara selektif (Tuommelo et al. 2002) yaitu mendegradasi komponen lignin terlebih dahulu diikuti dengan komponen selulosa. Hal ini bisa terlihat dari rasio selulosa lignin yang terdapat pada Tabel 10. Dari hasil perhitungan rasio selulosa lignin dapat terlihat bahwa lignin terdegradasi lebih banyak dibandingkan dengan selulosa. Perolehan rasio selulosa lignin sejalan dengan proses penurunan lignin dan selulosa yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini membuktikan bahwa kapang P.chrysosporium memang lebih efektif dalam mendegradasi lignin. P.chrysosporium digambarkan sebagai penghasil lignase (Lignin peroxidase dan Mangan peroksidase) yang sesungguhnya untuk mendegradasi lignin karena memiliki nilai potensial reduksi oksidasi yang tinggi (Gold et al. 2002; Martinez, 2002) Rataan kandungan BK dan BO pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 21.68% dan 17.59%. Setelah proses fermentasi kandungan BK pelepah sawit berkisar % dan kandungan BO berkisar % (Tabel 11 dan 12). Penurunan bahan kering dapat terjadi karena pertumbuhan kapang, proses dekomposisi substrat dan perubahan kadar air. Dinis et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi penurunan kandungan bahan kering akibat metabolisme oleh P. chrysosporium disebabkan karena adanya perombakan bahan organik yang dilakukan oleh kapang. Siklus ketersediaan nutrien akan terus berlangung selama proses fermentasi, sehingga kandungan bahan kering dan bahan organik juga mengalami fluktuasi seiring dengan proses perombakan dan pemanfaatan nutrien oleh kapang. Perubahan kadar air terjadi akibat evaporasi, hidrolisis substrat atau produksi air metabolik (Gervais 2008; Ramachandran et al. 2008). Perombakan komponen lignoselulosa pelepah sawit akan meningkatkan ketersediaan nutrien yang mendorong perkembangan miselia kapang. Penurunan kandungan bahan kering dan bahan organik terjadi akibat perombakan komponen pelepah sawit oleh kapang P. chrysosporium yang menghasilkan komponen air. Rataan kandungan protein kasar setelah dilakukan proses fermentasi dengan P.chrysosporium berkisar % (Tabel 13). Sementara sebelum fermentasi kandungan protein kasar pelepah sawit adalah 5.28%. Terjadi peningkatan kandungan protein kasar sebesar % pada pelepah sawit fermentasi dengan dosis inokulan 10 7 cfu/ml dan lama fermentasi 10 hari. Peningkatan kandungan protein kasar pelepah sawit fermentasi disebabkan terjadinya perombakan bahan organik, selain itu juga menunjukkan terjadinya pertumbuhan kapang sehingga dapat memberikan sumbangan terhadap peningkatan kandungan protein kasar pada pelepah sawit fermentasi. Nelson dan Suparjo (2011) menyatakan bahwa peningkatan kandungan protein terjadi karena biokonversi gula menjadi protein miselium atau protein sel tunggal. Sekresi enzim ekstraseluler oleh P.chrysosporium turut berperan dalam meningkatkan kandungan protein biomassa substrat fermentasi. Semakin banyak miselium akibat pertumbuhan jamur makin banyak nitrogen tubuh dan ini merupakan sumbangan protein bagi substrat yang difermentasi (Musnandar, 2004). Ditambahkan Jonathan et al. (2008) peningkatan kandungan protein kasar pada proses fermentasi kemungkinan disebabkan hasil dari penambahan dari biomassa kapang terhadap substrat fermentasi. Kandungan serat kasar pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 39.85%. setelah dilakukan proses fermentasi dengan dosis inokulan 10 7 cfu/ml dan lama
5 fermentasi 10 hari terjadi penurunan kandungan serat kasar 28.38% (Tabel 14). Penurunan kandungan serat kasar dapat terjadi karena adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh kapang. Serat kasar sebagian besar berasal dari sel dinding tanaman dan mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. P.chrysosporium mempunyai kemampuan dalam mendegradasi komponen serat karena disamping menghasilkan enzim pendegradasi lignin, kapang ini juga mampu menghasilkan enzim pendegradasi selulosa (Howard et al. 2003) Kandungan BETN pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 38.31%. setelah dilakukan proses fermentasi terjadi peningkatan kandungan BETN (Tabel 15). Pada dosis 10 7 cfu/ml dan lama fermentasi 10 hari terjadi peningkatan BETN 5.95%. Nilai kandungan BETN sangat tergantung pada kandungan nutrient lain. Peningkatan kandungan BETN dapat terjadi karena perombakan karbohidrat struktural, terutama hemiselulosa menjadi bahan mudah larut (Nelson dan Suparjo, 2011). Hemiselulosa dirombak menjadi monomer gula dan asam asetat (Sanchez, 2009). P.chrysosporium selain menghasilkan enzim ligninase dan selulase (Howard et al, 2003) juga menghasilkan hemiselulase (Dasthban et al. 2009; Zeng et al. 2010). Rataan persentase peningkatan BETN pelepah sawit fermentasi berkisar %. Nelson dan Suparjo (2011) mendapatkan peningkatan kandungan BETN kulit buah kakao yang difermentasi dengan P.chrysosporium %. Kandungan lemak kasar pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 0.61%, setelah dilakukan proses fermentasi dengan P.chrysosporium tidak terjadi peningkatan yang signifikan (Tabel 16). Hal yang sama juga diperoleh pada penelitian Jonathan et al. (2012) bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap kandungan lemak kasar dari jerami padi yang difermentasi dengan Pleurotus florida dengan lama fermentasi yang berbeda. Selama proses dekomposisi saat fermentasi komponen lemak akan mengalami degradasi tetapi akan ditemukan kembali senyawa lemak baru (Guiterrez et al. 2005). Adanya aktivitas antioksidan dan penurunan kandungan lignin yang dihasilkan pada saat proses biodegradasi pelepah sawit dengan P.chrysosporium, memungkinkan pelepah sawit yang telah mengalami proses biodegradasi ini digunakan sebagai bahan pakan ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan level pemakaian fermentasi pelepah sawit dengan P. chrysosporium dalam ransum ternak ruminansia menurunkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Rata-rata kecernaan berkisar % untuk kecernaan bahan kering dan % untuk kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum yang mengandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung 40% rumput gajah+20% pelepah sawit ferementasi, (R2), 20% rumput gajah+40% pelepah sawit fermentasi (R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4). Ransum yang menggandung 60% pelepah sawit fermentasi memberikan tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik yang paling rendah (Tabel 17) Terjadinya penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik disebabkan adanya perbedaan kandungan serat kasar dari setiap perlakuan. Davidson et al (2003) menyatakan bahwa tingginya kandungan serat kasar memberikan kontribusi pada penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Dahia et al. (2004) menyatakan bahwa terjadi penurunan kecernaan 51
6 52 bahan kering dan bahan organik dengan tingkat kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum. Griswold et al. (2003) melaporkan bahwa kecenderungan peningkatan kecernaan bahan organik berhubungan dengan kecernaan bahan kering, perbedaannya hanya pada kandungan kadar abu. Peningkatan level pemakaian pelepah sawit fermentasi dengan P.chryosporium dalam ransum ternak ruminansia memberikan pengaruh dalam penurunan tingkat kecernaan NDF, ADF dan serat kasar. Rata-rata kecernaan NDF yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu %. sementara tingkat kecernaan ADF % dan % untuk tingkat kecernaan serat kasar (Tabel 17). Semakin meningkatnya level pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum menurunkan kecernaan NDF, ADF dan serat kasar. Tingkat kecernaan NDF, ADF dan serat kasar dari ransum yang menggandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dari ransum yang mengandung 20% pelepah sawit fermentasi (R2), 40% pelepah sawit fermentasi dan ( R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4), sementara ransum yang mengandung 60% pelepah sawit fermentasi memiliki kecernaan NDF, ADF dan serat kasar yang paling rendah. Ini menunjukkan bahwa meskipun biodegradasi dari pelepah sawit dengan menggunakan P.crhysosporium mampu menurunkan kandungan lignin namun nilai gizi yang dihasilkan dengan proses fermentasi belum mampu mencapai nilai gizi dari rumput gajah. Biodegradasi pelepah sawit fermentasi dengan dosis inokulan P.crhysosporium 10 7 cfu/ml dan diinkubasi selama 10 hari menunjukkan degradasi lignin yang terbaik. Kandungan lignin pelepah sawit tanpa fermentasi adalah 25.42%. sementara pelepah sawit fermentasi mengandung kadar lignin 13,27%. Ini menunjukkan bahwa meskipun kandungan lignin mampu diturunkan dengan proses fermentasi namun kandungan lignin yang dihasilkan masih lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan lignin pada rumput gajah yaitu 11.42%. Hal inilah yang menyebabkan semakin tinggi tingkat pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum maka tingkat kecernaan juga masih rendah. Lignin dalam ransum dapat menurunkan tingkat kecernaan, seperti yang dilaporkan oleh Lynd et al. (2002) bahwa ransum dengan kandungan lignoselulosa umumnya memiliki kandungan karbohidrat struktural yang tinggi dengan tingkat kristalisasi dan membuat ikatan yang kuat dengan lignin sehingga ransum sulit untuk dicerna. Kecernaan ransum dengan tingkat serat yang tinggi bisa ditingkatkan dengan memecah ikatan lignin dengan karbohidrat struktural (Annison et al, 2002). Mikroba rumen mampu mencerna zat makanan dalam ransum lebih mudah apabila kandungan lignin diturunkan. Van Soest (2002) menyatakan bahwa lignin pada dinding sel tanaman merupakan faktor penting yang membatasi kecernaan zat makanan. Suatu hubungan yang positif antara total kehilangan lignin dengan kecernaan bahan kering secara in vitro telah dilaporkan dalam banyak penelitian. Dalam penelitian ini, berdasarkan nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF, ADF dan serat kasar secara in vitro menunjukkan korelasi negatif dengan kandungan lignin. Konsentrasi N-NH 3 dan TVFA serta jumlah bakteri selulolitik dalam penelitian ini menunjukkan penurunan dengan adanya peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi didalam ransum namun tidak mempengaruhi total protozoa rumen. Rataan konsentrasi N-NH 3 yang diperoleh berkisar antara mg N/dl atau mM, rataan konsentrasi TVFA berkisar mM dan
7 53 jumlah bakteri selulolitik berkisar cfu/ml sementara total protozoa berkisar 10 5 cfu//ml. Konsentrasi N-NH 3, TVFA dan jumlah bakteri selulolitik dari ransum yang mengandung 60% rumput gajah (R1) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung 20% pelepah sawit fermentasi (R2), 40% pelepah sawit fermentasi (R3) dan 60% pelepah sawit fermentasi (R4). Ransum yang mengandung 60% pelepah sawit fermentasi menghasilkan konsentrasi N- NH 3, TVFA dan jumlah bakteri selulolitik yang paling rendah (Tabel 18). Semakin menurunnya konsentrasi N-NH 3 dengan semakin meningkatnya pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum sejalan dengan kemungkinan rendahnya kecernaan protein yang terjadi yang tergambar dari kecernaan bahan organik yang juga semakin menurun. Dari hasil penelitian diperoleh penurunan kecernaan bahan organik 22.26%, 17.18% dan 7%, antar perlakuan (R4,R3 dan R2 vs R1) juga menghasilkan penurunan konsentrasi N-NH mg N/dl, 2.11 mg N/dl, dan 1.38mg N/dl masing-masingnya. Rataan konsentrasi N-NH 3 yang diperoleh dari penelitian ini sudah mencukupi kebutuhan N-NH 3 untuk pertumbuhan optimum. Konsentrasi N-NH 3 optimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum sekitar mg N/dl cairan rumen (Alcaide et al. 2003). Penelitian yang dilakukan Nagadi et al (2000) mendapatkan bahwa laju fermentasi NDF meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi N-NH 3, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh dimana kecernaan NDF menurun seiring dengan menurunnya konsentrasi N-NH 3. Detman (2009) melaporkan bahwa konsentrasi N-NH 3 rumen optimum untuk degradasi dan konsumsi NDF berkisar antara 8-15mg N/dl, sementara Islam et al (2000) mendapatkan konsentrasi N-NH mg N/dl cairan rumen dari ransum yang mengandung 60% pelepah sawit dan 40% kosentrat. Penurunan konsentrasi N-NH 3 diikuti juga dengan semakin menurunnya jumlah bakteri selulolitik yang dihasilkan pada penelitian ini namun tidak mempengaruhi total protozoa rumen. Hal ini disebabkan karena amonia yang terbentuk merupakan sumber nitrogen utama bagi pertumbuhan mikroba. Seperti yang disampaikan oleh Chedthong dan Wanapat (2013) bahwa konsentrasi N- NH 3 rumen akan berkaitan erat dengan total bakteri dirumen disebabkan karena nitrogen merupakan sumber pembentuk dari protein mikroba. Konsentrasi N-NH mM akan menghasilkan bakteri fibrolitik log 10cfu/l dan total protozoa 5.62 log 10 cfu/l (Martin et al. 2013) ditambahkan oleh Eugene et al. (2004) yang menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam rumen berpengaruh pada konsentrasi N-NH 3 rumen, proses defaunasi akan meningkatkan konsentrasi N-NH mgn/dl. Pada saat terjadi penurunan mikoba rumen, kecernaan serat pakan juga akan menurun sehingga mengurangi konsumsi. Komposisi dan jumlah bakteri dalam rumen tergantung pada jenis dan komposisi hijauan yang digunakan dalam ransum (Pitta et al. 2010) Fiorentini et al. (2013) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba rumen akan rendah pada hijauan yang berkualitas rendah karena degradasi karbohidrat yang lebih lambat, karbohidrat digunakan untuk menghasilkan ATP yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini juga yang menjadi penyebab semakin tinggi tingkat pemakaian pelepah sawit fermentasi maka jumlah total bakteri selulolitik juga semakin menurun. Asam lemak terbang (VFA) merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat oleh mikroba dalam rumen. Konsentrasi TVFA yang diperoleh dalam
8 54 penelitian ini sudah mencukupi untuk pertumbuhan mikroba rumen, seperti yang dinyatakan oleh Sutardi (1982) bahwa kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang optimal adalah mm, sementara dalam penelitian ini konsentrasi TVFA berkisar mM Penurunan konsentrasi VFA dengan semakin meningkatnya pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum pada penelitian ini sejalan dengan terjadinya juga penurunan kecernaan serat. Semakin rendah kecernaan serat maka akan semakin rendah konsentrasi VFA yang dihasilkan. Berdasarkan persentase penurunan kecernaan NDF antar perlakuan (R4,R3 dan R2 vs R1) yang diperoleh yaitu 16.68%, 9.88% dan 6.44%, maka akan diikuti dengan penurunan konsentrasi TVFA yaitu 13.41mM, 10.05mM dan 3.65mM. Liu et al. (2002) menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara kecernaan bahan organik dan bahan kering terhadap produksi total VFA. Tingginya tingkat kecernaan in-vitro bahan organik dan serat kasar akan meningkatkan produksi total VFA rumen (Sudekum et al. 2006). Tingkat lignifikasi yang tinggi pada bahan pakan yang digunakan membatasi mikroorganisme rumen dalam memfermentasi selulosa dan hemiselulosa untuk menghasilkan energi sebagai asam lemak terbang (Tripathi et al. 2008). Peningkatan akses enzim hidrolisis selulosa dan hemiselulosa harus didahului dengan memutus ikatan lignoselulosa dinding sel. Proses degradasi serta dalam rumen membutuhkan ketersediaan protein yang menjamin untuk pertumbuhan optimum mikroba (Alcaide et al. 2003). Konsentrasi TVFA yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari konsentrasi TVFA yang dihasilkan oleh silase jagung yang menghasilkan konsentrasi TVA 94.3 mm dengan tingkat kecernaan serat kasar yang tinggi (Martin et al. 2013) sementara hasil penelitian Fiorentini et al. (2013) mendapatkan konsentrasi total VFA 113.2mM/l dan konsentrasi N-NH mg N/dl dengan ransum yang berbahan dasar jerami padi. Proses biodegradasi lignoselulosa pelepah sawit dengan menggunakan P.chrysosporium menunjukkan adanya aktivitas antioksidan. Antioksidan yang dihasilkan berasal dari degradasi lignin yang menghasilkan senyawa fenolik seperti yang terdapat pada penelitian tahap 1. Pada pemanfaatan biodegradasi pelepah sawit fermentasi didalam ransum diperoleh data bahwa peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi meningkatkan konsentrasi dan aktivitas antioksidan pada awal masa inkubasi (0 jam) in vitro begitu juga pada inkubasi 72 jam. Peningkatan konsentrasi dan aktivitas antioksidan yang dihasilkan dengan peningkatan pemakaian pelepah sawit fermentasi dalam ransum disebabkan tingginya kandungan senyawa fenolik sebagai hasil dari degradasi lignin. Rata-rata konsentrasi antioksidan yang dihasilkan pada awal inkubasi in vitro adalah µg/ml setelah inkubasi in vitro 72 jam maka terjadi penurunan konsentrasi antioksidan dengan rata-rata µg/ml. Hal yang sama juga terjadi pada nilai aktivitas antioksidan, rata-rata aktivitas antioksidan yang dihasilkan pada awal inkubasi adalah % sementara pada inkubasi 72 jam in vitro rata-rata aktivitas antioksidan yang dhasilkan adalah % (Tabel 12). Penurunan konsentrasi antioksidan pada inkubasi 72 jam in vitro kemungkinan disebabkan ada senyawa fenol yang dihidrolisis oleh enzim mikroba rumen. Baurhoo et al. (2008) menyatakan bahwa beberapa jenis mikroba rumen mampu mereduksi, mengabsorbsi dan memetabolisasi senyawa fenol seperti
BIODEGRADASI LIGNOSELULOSA OLEH KAPANG P. DAN NILAI GIZI PELEPAH SAWIT ABSTRAK
17 BIODEGRADASI LIGNOSELULOSA OLEH KAPANG P. chrysosporium TERHADAP PERUBAHAN FRAKSI SERAT DAN NILAI GIZI PELEPAH SAWIT ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk mengetahui interaksi terbaik dari dosis inokulan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Pahan (2008) nama latin pelepah sawit yaitu Elaeis guineensis,
II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pelepah Sawit Menurut Pahan (2008) nama latin pelepah sawit yaitu Elaeis guineensis, berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu elaia yang berarti zaitun, karena buahnya mengandung
Lebih terperinciPENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi ternak ruminansia. Pakan ruminansia sebagian besar berupa hijauan, namun persediaan hijauan semakin
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dimanfaatkan sebagai
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial dimanfaatkan sebagai pakan berasal dari limbah perkebunan kelapa sawit. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. Pemanfaatan limbah industri gula tebu sebagai pakan alternatif merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ruminansia adalah ketersedian pakan yang kontiniu dan berkualitas. Saat ini
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak ruminansia adalah ketersedian pakan yang kontiniu dan berkualitas. Saat ini ketersediaan hijauan makananan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar populasi ternak sapi di Indonesia dipelihara oleh petani peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al., 2011). Usaha peningkatan produktivitas
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah
TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar
Lebih terperincimenjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh
HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat Keasaman (ph) Rumen Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan taraf suplementasi asam fulvat. Faktor jenis ransum
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba
33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF NDF adalah bagian dari serat kasar yang biasanya berhubungan erat dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan. Oleh karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produktivitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah pakan. Davendra, (1993) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan berat badan maupun
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jerami Jagung Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dikurangi akar dan sebagian batang yang tersisa dan dapat diberikan kepada ternak, baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen ha
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai Negara agraris memiliki produk pertanian yang melimpah, diantaranya adalah padi dan singkong. Indonesia dengan luas area panen 13.769.913 ha dan produktivitas
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Nutrien Berbagai Jenis Rumput Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan berbeda-beda. Kadar serat dan protein kasar paling tinggi pada Setaria splendida, kadar
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering
33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian mengenai pengaruh biokonversi biomassa jagung oleh mikroba Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae,
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis proksimat bahan uji sebelum dan sesudah diinkubasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji ditunjukkan pada Tabel 3. Sementara kecernaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Total Mixed Ration (TMR) Pakan komplit atau TMR adalah suatu jenis pakan ternak yang terdiri dari bahan hijauan dan konsentrat dalam imbangan yang memadai (Budiono et al.,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Pakan Fermentasi Parameter kualitas fisik pakan fermentasi dievaluasi dari tekstur, aroma, tingkat kontaminasi jamur dan tingkat keasaman (ph). Dari kedua bahan pakan yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian Peranan Pleurotus ostreatus pada Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi dengan Pleurotus
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bungkil inti sawit (BIS) merupakan salah satu hasil samping agroindustri dari pembuatan minyak inti sawit. Perkebunan sawit berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan salah satu ternak yang penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Ransum merupakan faktor yang penting dalam peningkatan produksi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan, karena sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah keterbatasan penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun kesinambungannya sepanjang
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Karakterisasi Tongkol Jagung a. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kondisi awal tongkol jagung. Hasil analisis proksimat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan, oleh karena itu penyediaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral
Lebih terperinciIDENTIFIKASI SENYAWA FENOLIK DAN POTENSI AKTIFITAS ANTIOKSIDAN DARI PROSES BIODEGRADASI LIGNOSELULOSA PELEPAH SAWIT OLEH KAPANG P.
5 IDENTIFIKASI SENYAWA FENOLIK DAN POTENSI AKTIFITAS ANTIOKSIDAN DARI PROSES BIODEGRADASI LIGNOSELULOSA PELEPAH SAWIT OLEH KAPANG P. chrysosporium ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk menentukan waktu inkubasi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi keseluruhan kecernaan ransum. Nilai kecernaan yang paling
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam broiler mempunyai potensi yang besar dalam memberikan sumbangan terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia, karena sifat proses produksi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Daun Kersen sebagai Pakan Peningkatan produksi daging lokal dengan mengandalkan peternakan rakyat menghadapi permasalahan dalam hal pakan. Pakan yang digunakan oleh peternak rakyat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan jumlah populasi dan produksi unggas perlu diimbangi dengan peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang selalu ada di dalam ransum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan utama yang dialami oleh peternak. Hal tersebut dikarenakan harga pakan yang cukup mahal yang disebabkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pengembangan ternak ruminansia di Indonesia akan sulit dilakukan jika hanya
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan ternak ruminansia di Indonesia akan sulit dilakukan jika hanya mengandalkan hijauan. Karena disebabkan peningkatan bahan pakan yang terus menerus, dan juga
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber nitrogen pada ternak ruminansia berasal dari non protein nitrogen
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencernaan Nitrogen pada Ruminansia Sumber nitrogen pada ternak ruminansia berasal dari non protein nitrogen dan protein pakan. Non protein nitrogen dalam rumen akan digunakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan di Indonesia sampai saat ini masih sering dihadapkan dengan berbagai masalah, salah satunya yaitu kurangnya ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan khususnya
Lebih terperinciPENGARUH METODE PENGOLAHAN KULIT PISANG BATU (Musa brachyarpa) TERHADAP KANDUNGAN NDF, ADF, SELULOSA, HEMISELULOSA, LIGNIN DAN SILIKA SKRIPSI
PENGARUH METODE PENGOLAHAN KULIT PISANG BATU (Musa brachyarpa) TERHADAP KANDUNGAN NDF, ADF, SELULOSA, HEMISELULOSA, LIGNIN DAN SILIKA SKRIPSI Oleh CICI KURNIATI 05 162 007 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Suplementasi Biomineral
HASIL DAN PEMBAHASAN Suplementasi Biomineral Biomineral cairan rumen adalah suplemen mineral organik yang berasal dari limbah RPH. Biomineral dapat dihasilkan melalui proses pemanenan produk inkorporasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum banyak diminati masyarakat untuk dijadikan sebagai pakan alternatif. Produksi pisang di Sumatera
Lebih terperinciPengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di Indonesia, dihadapkan pada kendala pemberian pakan yang belum memenuhi kebutuhan ternak. Ketersediaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Perubahan Konsetrasi N-NH 3 Fermentasi pakan di dalam rumen ternak ruminansia melibatkan aktifitas mikroba rumen. Aktifitas fermentasi tersebut meliputi hidrolisis komponen bahan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah FH merupakan sapi yang memiliki ciri warna putih belang hitam atau hitam belang putih dengan ekor berwarna putih, sapi betina FH memiliki ambing yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak
34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak diekskresikan dalam feses (Tillman, dkk., 1998). Zat
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3. protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan bentuk senyawa
33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 NH3 atau amonia merupakan senyawa yang diperoleh dari hasil degradasi protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternak Indonesia pada umumnya sering mengalami permasalahan kekurangan atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai pakan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor pertanian yang memiliki produksi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Jerami Padi
TINJAUAN PUSTAKA Jerami Padi Jerami padi merupakan bagian dari batang tumbuhan tanpa akar yang tertinggal setelah dipanen butir buahnya (Shiddieqy, 2005). Tahun 2009 produksi padi sebanyak 64.398.890 ton,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Minyak daun cengkeh merupakan hasil penyulingan daun cengkeh dengan menggunakan metode penyulingan (uap /steam). Minyak daun cengkeh berbentuk cair (oil) dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan usaha peternakan adalah ketersediaan pakan ternak secara kontinyu. Saat ini sangat dirasakan produksi hijauan makanan ternak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan ternak lokal yang sebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan yang sangat berat akibat biaya pakan yang mahal. Mahalnya biaya pakan disebabkan banyaknya industri
Lebih terperinciSemua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar
38 tersebut maka produksi NH 3 semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar kisaran normal, oleh karena itu konsentrasi NH 3 tertinggi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu, semakin meningkat seiring meningkatnya pengetahuan dan pendapatan.
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan domba-domba lokal. Domba lokal merupakan domba hasil persilangan
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Domba Lokal Domba merupakan jenis ternak yang termasuk dalam kategori ruminansia kecil. Ternak domba yang dipelihara oleh masyarakat Indonesia umumnya merupakan domba-domba lokal.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit Karakteristik fisik silase diamati setelah silase dibuka. Parameter yang dilihat pada pengamatan ini, antara lain: warna, aroma silase, tekstur
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. penampilan barang dagangan berbentuk sayur mayur yang akan dipasarkan
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Limbah Sayuran Limbah sayuran pasar merupakan bahan yang dibuang dari usaha memperbaiki penampilan barang dagangan berbentuk sayur mayur yang akan dipasarkan (Muwakhid,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Ransum Komplit Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari rumput gajah, konsentrat, tepung daun kembang sepatu, dan ampas teh. Rumput gajah diperoleh dari Laboratorium
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Onggok merupakan limbah padat agro industri pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Ketersedian onggok yang melimpah merupakan salah satu faktor menjadikan onggok sebagai pakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produktivitas ternak ruminansia sangat tergantung oleh ketersediaan nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan produktivitas ternak tersebut selama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani, terutama daging kambing, menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak. peternakan. Gulma tanaman pangan mempunyai potensi untuk dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak merupakan suatu cara untuk menekan biaya produksi dalam pengembangan usaha peternakan. Gulma tanaman
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest
HASIL DAN PEMBAHASAN Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest Penelitian ini menggunakan data hasil analisa proksimat (kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan ) dan fraksi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi
1 I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dikembangbiakan oleh masyarakat. Pemeliharaan domba yang lebih cepat dibandingkan ternak sapi, baik sapi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. fungi kelompok tertentu yang memiliki kemampuan enzimatik sehingga. kekuatan kayu dan mengakibatkan kehancuran (Zabel, 1992).
TINJAUAN PUSTAKA Proses Pelapukan Pelapukan dan perubahan warna pada kayu disebabkan oleh fungi dan bakteri. Fungi dan bakteri adalah sumber kerugian utama pada produksi kayu dan penggunaannya. Pelapukan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pakan ternak. Produksi limbah perkebunan berlimpah, harganya murah, serta tidak
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin meningkatnya harga pakan untuk unggas merupakan masalah yang sering dihadapi peternak saat ini. Tidak sedikit peternak yang gulung tikar dikarenakan tidak mampu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur tiram putih ( Pleurotus ostreatus ) atau white mushroom ini merupakan salah satu jenis jamur edibel yang paling banyak dan popular dibudidayakan serta paling sering
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Bahan pakan yang digunakan di dalam ransum perlakuan penelitian ini, merupakan limbah pertanian yaitu jerami padi dan dedak padi, limbah tempat pelelangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rumen dalam menghasilkan produk metabiolit rumen (VFA, N-NH3 maupun protein
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Optimalisasi penggunaan fungsi rumen melalui peningkatan proses fermentasi rumen dalam menghasilkan produk metabiolit rumen (VFA, N-NH3 maupun protein mikroba) merupakan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok
Lebih terperinciPengaruh Pemakaian Urea Dalam Amoniasi Kulit Buah Coklat Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara in vitro
Pengaruh Pemakaian Urea Dalam Amoniasi Kulit Buah Coklat Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara in vitro (Influence of using Urea in pod cacao amoniation for dry matter and organic digestibility
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung tersedianya sampah khususnya sampah organik. Sampah organik yang berpeluang digunakan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Sagu di Riau Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga palmae. Genus Metroxylonsecara garis besar digolongkan menjadi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Penelitian ini menggunakan ransum perlakuan yang terdiri dari Indigofera sp., limbah tauge, onggok, jagung, bungkil kelapa, CaCO 3, molases, bungkil
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Nenas merupakan anggota dari famili Bromeliaceae yang terdiri dari 45 genus serta 2000
II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Potensi Nenas dan Limbahnya Sebagai Pakan Ternak Nenas merupakan anggota dari famili Bromeliaceae yang terdiri dari 45 genus serta 2000 spesies. Nenas dikenal dengan nama latin
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis bahan bakar minyak merupakan salah satu tanda bahwa cadangan energi fosil sudah menipis. Sumber energi fosil yang terbatas ini menyebabkan perlunya pengembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan pakan, yang mana ketersedian pakan khususnya untuk unggas harganya dipasaran sering
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Salah satu jenis ternak pengahasil daging dan susu yang dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing adalah
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perubahan Kualitas Gizi Kulit Kopi Keterbatasan pemanfaatan bahan baku yang berasal dari limbah agroindustri yaitu keberadaan serat kasar yang tinggi dan zat anti nutrisi,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak ruminansia adalah ketersediaan pakan yang berkualitas, kuantitas, serta kontinuitasnya terjamin, karena
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pakan Sapi Perah Faktor utama dalam keberhasilan usaha peternakan yaitu ketersediaan pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi (Firman,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Menurut Peraturan Pemerintah No. 18/1999 Jo PP 85/1999, limbah didefinisikan sebagai buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Salah satu limbah yang banyak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sampah merupakan salah satu permasalahan utama di Indonesia yang sampai saat ini
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan salah satu permasalahan utama di Indonesia yang sampai saat ini masih belum teroptimalkan penanganannya. Komposisi sampah di negara-negara berkembang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pakan Ternak Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan beragam dan tidak bisa tumbuh dengan baik bila terus diberi pakan yang sama dalam jangka waktu yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan
Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi
Lebih terperinci