I. PENDAHULUAN. Indonesia (Barber et al.,1994). Menyadari pentingnya keberadaan sumber daya
|
|
- Utami Indradjaja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiga elemen yang berpengaruh pada kebijakan di sektor kehutanan adalah sifat dan fungsi hukum di Indonesia, konflik antara institusi pemerintah dan asumsi serta prioritas para rimbawan yang menjadi staf pada birokrasi di Indonesia (Barber et al.,1994). Menyadari pentingnya keberadaan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan dan lahan bagi masyarakat Indonesia, maka para pendiri bangsa Indonesia melalui Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 mengamanatkan kepada negara agar mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 tadi menempatkan negara sebagai penguasa dari seluruh sumber daya hutan di Indonesia. Namun Pemerintahan Indonesia mengejawantahkan pasal tersebut sebagai otoritas eksklusif diatas segala aspek kehidupan masyarakat. Kebijakan yang mengatur tentang lahan baru muncul pada tahun 1960 yaitu Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, sebagai penjabaran Pasal 33 UUD Penyusunan undang undang tersebut dilatar belakangi oleh semangat land reform dan berusaha menjembatani antara hak kepemilikan dalam konsep hukum barat dan sistem yang berlaku di Indonesia (pasal 3 UUPA). Undang Undang Agraria tersebut menekankan bahwa tanah adalah barang yang berfungsi sosial (Pasal 6 UUPA) daripada fungsi produksi dimana pada hukum barat tanah dapat diperjualbelikan dalam sebuah sistem ekonomi pasar (Thornburn, 2004). Undang undang agrarian tersebut dapat 1
2 2 dikatakan progresif di jamannya karena dalam pasal pasalnya mengatur masalah landreform, pembatasan kepemilikan tanah, distribusi kepemilikan tanah berdasar pada kebutuhan lahan dan mensyaratkan pemilik tanah untuk menjaga kondisi kesuburan tanah dan meskipun hak milik dihargai dengan tanda sertifikat Negara sewaktu waktu bisa mengambil untuk kepentingan nasional. UUPA tersebut pada akhirnya tidak efektif dijalankan karena dinamika politik yang terjadi. Kejatuhan Soekarno akibat peristiwa 1965 turut berpengaruh pada Undang Undang tersebut karena pada pemerintahan Orde Baru semua yang berbau komunis dan sosialis diharamkan. Orde Baru banyak mengeluarkan undang undang sektoral baru seperti UU Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Penanaman Modal Asing yang bertolak belakang dan atau bertumpang tindih dengan UUPA tadi (Thorburn, 2004). Pertentangan antara UUPA dan UU Kehutanan antara lain adalah terkait status hutan, disebutkan bahwa hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah itu adalah tanah negara. Dengan demikian konsekuensinya adalah tanah-tanah di kawasan hutan negara itu sejatinya adalah tanah negara. Namun demikian, dalam praktik administrasi, terjadi hambatan dalam pengadministrasian tanah negara di kawasan hutan. Sampai dengan saat ini pengadministrasian tanah negara pada umumnya berlaku di kawasan non hutan, padahal sesuai dengan pemahaman terkait hutan negara dalam konteks UU Kehutanan sendiri, pengadministrasian tanah negara seharusnya dilakukan di seluruh wilayah Indonesia tanpa membedakan kawasan hutan atau non hutan, sesuai amanat Pasal 19 UUPA (Sumarjono, 2012). Selanjutnya menurut Sumarjono (2012) ketidak sinkronan terdapat antara UUPA dengan UU
3 3 Pertambangan No 11 tahun 1967, pada UUPA berorientasi pada konservasi tanah dan nasionalisme dan anti monopoli swasta sedangkan pada UU pertambangan lebih pada eksploitasi, dan pro kapitalisme. Pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, Indonesia dibayangi oleh kebangkrutan ekonomi. Pemerintah Indonesia berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Soeharto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, dan pendapatan per kapita pertahun dibawah US $ 100, hutang luar negeri yang tinggi dan perlunya modal untuk pemulihan ekonomi (Simon, 2000). Pemanfaatan sumber daya hutan berupa kayu di hutan luar Jawa merupakan jalan keluar bagi pemerintahan Orde Baru untuk mengatasi permasalahan ekonomi. Sumber daya hutan adalah salah satu aset negara yang paling gampang untuk segera dicairkan sebagai devisa negara (Barber et al., 1994). Menurut UU Kehutanan No 5 tahun 1967, lahan hutan yang sangat luas tersebut kemudian berada di bawah yurisdiksi Direktur Jenderal Kehutanan dan tidak menjadi subjek dari UUPA. Semua kebijakan yang keluar setelah itu diarahkan untuk mengejar investasi asing demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang memang rusak pada akhir periode Orde Lama (Thorburn, 2004). UU Kehutanan No 5 tahun 1967 tadi dilatar belakangi oleh peraturan yang di buat oleh Belanda sebelumnya yaitu Undang Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun 1927 dimana semangat dari peraturan tersebut adalah monopoli oleh negara dan ditujukan untuk mencari keuntungan sebanyak banyaknya
4 4 (Simon, 2000). Semenjak tahun 1967 kebijakan dan perundang-undangan sektoral yang mengatur kehutanan, pertambangan dan pengadaan tanah untuk proyek proyek pembangunan berhasil memusatkan kewenangan pengelolaan tanah dan sumber daya alam serta membuatnya menjadi kawasan hutan negara dan perkebunan (Peluso et al,2012). Demi alasan pertumbuhan ekonomi, kebijakan kebijakan tata guna lahan tadi sudah tidak mengacu pada UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tetapi menggunakan dasar UUD 1945 Pasal 33 dan lebih ditekankan pada penguasaan sumber daya alam yang ditafsirkan secara berlebihan. Kawasan Hutan pertama kali digunakan sebagai terminologi hukum pada UU Kehutanan Tahun 1967 dan menjadi satu satuan pembatas yurisdiksi Departemen Kehutanan seperti tertuang pada UU Kehutanan Tahun Proses untuk menetapkan cakupan aktual dapat ditelusuri lewat Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perencanaan Kehutanan yang disahkan Presiden Suharto pada tahun 1970 (PP No 33/1970). Pemerintah untuk beberapa waktu lamanya telah memberikan konsesi pembalakan di luar Pulau Jawa, bahkan sebelum UU Kehutanan Tahun 1967 diberlakukan (Hermosillas dan Fay, 2006). PP No. 33/1970 memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Kehutanan (yang pada saat itu berada di bawah Departemen Pertanian) untuk mendefinisikan Kawasan Hutan Negara. Peraturan yang mengatur penetapan Kawasan Hutan diterbitkan pada tahun 1974 (Surat Keputusan Dirjen No. 85/1974) dan hingga pertengahan tahun 80-an hampir tiga perempat wilayah tanah di Indonesia ditetapkan sebagai Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan,
5 5 yang pada saat itu baru berdiri sendiri terpisah dari Departemen Pertanian. Proses penetapannya dilakukan melalui Tata-Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Dasar dasar pembuatan peta tersebut tersebut diciptakan lewat kajian-kajian di atas meja dan peta-peta vegetasi berdasarkan citra penginderaan jarak jauh dan didukung oleh proses penilaian biofisik yang sangat rumit, kondisi topografi, curah hujan dan kepekaan tanah terhadap erosi (Peluso, 1995 ; Hermosilla dan Fay, 2006). Proses keluarnya peta Tata Guna Hutan Kesepakatan tersebut dibayangi oleh besarnya pemasukan Negara dari sektor kehutanan. Komersialisasi hutan luar Jawa adalah salah satu hasil perubahan besar situasi politik di Indonesia. (Barber et al., 1994) Pada tahun 1992 muncul kebijakan pemerintah tentang perencanaan tata ruang yaitu UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang. UU tersebut menempatkan Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Dalam Negeri sebagai aktor kunci. Hal tersebut melemahkan kekuasaan Departemen Kehutanan sehingga ada semacam perlawanan dari Departemen Kehutanan (McCarthy, 2000). Pada fase ini dapat dikatakan terjadi friksi diantara birokrat dalam hal penataan ruang dan akhirnya muncullah dengan apa yang disebut dengan Peta Padu Serasi pada tahun Persoalan tidak berhenti sampai disini karena ternyata ada beberapa provinsi yang menentang sehingga terjadi konflik alokasi lahan. Salah satu provinsi yang masih bermasalah dengan penetapan kawasan tersebut adalah provinsi Riau yang kemudian berlanjut pada Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan pecahan dari Provinsi Riau. Provinsi Riau tidak mau mengikuti apa yang ada pada peta padu serasi dan tetap memakai Peta TGHK sebagai acuan spasial ( Brockhaus,2011).
6 6 Pulau Batam merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan peta TGHK daerah tersebut merupakan kawasan lindung. Posisi pulau Batam yang sangat strategis membuat pemerintah berusaha untuk memanfaatkan kawasan di Pulau batam sebagai kawasan perekonomian maka untuk itu ditetapkanlah Pulau Batam sebagai kawasan otorita tersendiri dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun Dalam keputusan presiden tersebut disebutkan bahwa Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam adalah penguasa yang bertanggung jawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam. Kawasan Pulau Batam yang dikelola oleh Otorita Batam merupakan salah satu usaha pemerintah pusat untuk menambah pemasukan negara pada awal Orde Baru, sedangkan alokasi kawasan hutan yang berada di Pulau Batam merupakan produk dari Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Kehutanan. Kedua produk kebijakan tersebut merupakan peraturan yang didasari oleh kepentingan ekonomi yaitu untuk mendapatkan pemasukan negara. Pada titik ini terjadi gap antara kebijakan pemerintah pusat sendiri. Kebijakan yang awalnya sama sama bertujuan untuk mendapatkan pemasukan negara akhirnya malah bertentangan pada pelaksanaan selanjutnya. Pada masa kini terjadi tarik ulur kepentingan antara kepentingan lingkungan oleh Kementerian Kehutanan dan Kepentingan ekonomi oleh pihak Otorita Batam Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah persoalan konflik yang terjadi antara Badan Otorita Batam, Pengusaha dan Kementerian Kehutanan yang terjadi
7 7 setelah keluarnya Peta Kawasan Hutan Pulau Batam yang berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 463/Menhut-II/2013 tanggal26 Juni 2013 dimana pada peta tersebut kawasan kawasan yang sudah menjadi hunian dan kawasan industri menjadi masuk dalam kawasan hutan. Badan Pengelola Batam yang merupakan penerus dari Badan Otorita Batam menyayangkan keluarnya SK Menteri Kehutanan tersebut. Menurut mereka sudah berupaya menuntaskan masalah melalui tim terpadu dan akibat dari keputusan tersebut dikhawatirkan akan menggagalkan investasi yang akan masuk maupun sedang berjalan. Kementerian Kehutanan sendiri tetap bersikukuh untuk tetap bertahan karena memang sebenarnya status dari lahan lahan tersebut adalah hutan lindung. Hal tersebut dapat kita cermati dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai Kawasan Hutan (pada saat Provinsi Riau dan Kepri masih menjadi 1) dan secara khusus untuk Pulau Batam kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 47/KPTS- II/1987tanggal 24 Februari 1987 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Kotamadya Batam, Provinsi Daerah Tingkat I Riau seluas Ha sebagai Kawasan Hutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana dinamika dalam proses alih fungsi dan penggunaan kawasan hutan di Pulau Batam
8 8 2. Siapa saja yang terlibat dan bagaimana kewenangan dan kepentingan dalam kebijakan penggunaan kawasan di Daerah Otorita Batam, apa kepentingannya, dan seberapa besar pengaruh dan hegemoni yang dimiliki oleh aktor tersebut 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dinamika kebijakan alih fungsi dan penggunaan kawasan di Pulau batam 2. Menganalisa kewenangan, kepentingan, dan kewenangan para aktor dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan fungsi kawasan 1.4. Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada permasalahan kebijakan alih fungsi lahan di dilihat dari segi kuasa aktor. Fungsi kawasan TWA Muka Kuning adalah kawasan konservasi yang dikelola dan merupakan tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Dari awal penetapan kawasan kawasan ini juga sudah terdapat penggunaan lain selain kegiatan kehutanan yang dilakukan oleh Pengelola Batam tapi tetap dilaksanakan proses tata batas. Letak TWA Muka Kuning juga merupakan alasan penting untuk diteliti karena berada di tengah tengah Pulau Batam dan mendapat tekanan tinggi dari keberadaan masyarakat di sekitarnya. Manfaat lain TWA Muka Kuning adalah sebagai resapan air untuk Dam Sei Ladi.
9 Manfaat penelitian Selama ini salah satu masalah krusial dalam pengelolaan hutan adalan penataan kawasan. Salah satu adalah karena adanya perbedaan kepentingan diantara stakeholder di pengelolaan hutan dan lahan sehingga seringkali terjadi konflik. Penelitian yang ada selama ini biasanya lebih banyak mengemukakan konflik yang bersifat horizontal yaitu antara pemerintah dan masyarakat. Pada penelitian ini mengangkat permasalahan yang terjadi antara pemerintah pusat dan lembaga yang dibentuk juga oleh pemerintah pusat yaitu antara Kementerian Kehutanan dan Badan Otorita Batam. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk mencegah terjadinya konflik di masa depan. Dari penelitian ini akan didapatkan gambaran yang terjadi pada konflik yang terjadi di antara dua lembaga pemerintah tersebut. Diharapkan hasil dari penelitian ini akan dipakai sebagai pertimbangan pada perencanaan kawasan hutan di masa datang sehingga tidak terjadi carut marut kawasan hutan Keaslian Penelitian Banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai masalah penggunaan lahan dalam kawasan hutan di Indonesia. Selama ini penelitian tersebut lebih banyak menyorot permasalahan pengaruh kekuasaan negara terhadap penggunaan lahan dan akibat yang ditimbulkannya. Penelitian pertama adalah hasil dari tulisan Yurdi Yasmi, Yuliana Cahya, Christian Purba dan Eva Wollenberg. Penelitian dikumpulkan dan berujud dalam
10 10 sebuah buku tersebut merupakan hasil studi lapangan dan kumpulan artikel selama kurun waktu 1997 sampai dengan Penelitian bahwa konflik meningkat tajam pada tahun 2000 dimana masa itu adalah transisi dari sentralistik ke desentralisasi. Lokus penelitian berada di Kalimantan Timur, Sumatera dan Jawa. Pihak pihak yang berkonflik dalam penelitian ini antara lain antara negara dengan masyarakat, Swasta dengan masyarakat, dan BUMN dengan masyarakat. Penyebab utama konflik adalah mengenai masalah akses masyarakat terhadap hutan. Penelitian tentang penggunaan lahan dan kekuasaan negara lainnya adalah penelitian Fay dan Michon (2005) yang berjudul Redressing Forestry Hegemony When a Forestry Regulatory Framework is Best Replaced by an Agrarian One. Dalam kasus penelitian yang dilaksanakan di Thailand,Philipina dan Indonesia tersebut menyebutkan bahwa delineasi kawasan hutan negara dan klasifikasi lahan merupakan kekuasaan negara. Peran masyarakat lokal dipinggirkan dan keputusan untuk mengatur lingkunganya dan sumber daya. Penelitian ini menekankan kepada efek sosial ekonomi dari kebijakan klasifikasi lahan yang bias. Penelitian yang meneliti permasalahan konflik kebijakan selanjutnya adalah penelitian oleh Sumanto dan Sujatmoko (2008) pada kasus Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) penelitian di Hambala Sumba Timur. Penelitian didasarkan pada banyaknya kenyataan bahwa banyak lokasi KHDTK yang mengalami tekanan dan konflik serius. Penelitian lebih menekankan pada dinamika konflik dan mengkaji kemungkinana resolusi konflik. Hasil penelitian
11 11 menunjukkan bahwa konteks konflik utama adalah pada kebijakan antara pengelola KHDTK dan Pemda Sumba Timur. Di dalam penelitian yang akan dilakukan terdapat beberapa kesamaan antara lain mengenai obyek penelitian yaitu konflik, kebijakan dan tenurial namun dalam penelitian ini akan lebih ditekankan pada pola kepentingan dan power yang dimiliki oleh masing masing aktor. Konflik yang ada dalam penelitian sebelumnya kebanyakan terjadi antara negara sebagai pemegang kuasa dan masyarakat atau swasta dengan masyarakat pada penelitian ini adalah terjadi antara lembaga pemerintah. Konflik yang sama yaitu antara lembaga pemerintah memang ada pada penelitian oleh Edi Sumanto dan Sujarwo Sujatmoko hanya saja pada penelitian yang akan dilaksanakan ini berbeda pendekatannya yaitu dengan menggunakan teori power. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran baru tentang carut marut kebijakan penggunaan lahan di Indonesia.
12 12
INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN
INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPenataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan
Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Disampaikan oleh: Direktur Jenderal Penataan Ruang Komisi Pemberantasan Korupsi - Jakarta, 13 Desember 2012 Outline I. Isu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.
KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,
Lebih terperinciBAB I PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
BAB I PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA Perkembangan Hukum (agraria) yang berlaku di suatu negara, tidak dapat dilepaskan dari politik agraria yang diberlakukan dan atau dianut oleh Pemerintah
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan lindung seperti ekosistem mangrove memiliki peran cukup penting bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut karena umumnya masyarakat
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang
Lebih terperinciPermasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah
Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH
PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN 1996 Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran yang sangat penting artinya alam
Lebih terperinci8 KESIMPULAN DAN SARAN
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat
Lebih terperinciOleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan
Lebih terperinciHUKUM ADAT DAN KOMERSIALISASI HUTAN DI LUAR JAWA PADA MASA ORDE BARU
HUKUM ADAT DAN KOMERSIALISASI HUTAN DI LUAR JAWA PADA MASA ORDE BARU Sebelum periode pemerintahan Orde Baru (sebelum tahun 1966), hutan-hutan alam tropika di luar Jawa pada umumnya belum dimanfaatkan secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi
Lebih terperinciOleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015
Oleh : Ketua Tim GNPSDA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pontianak, 9 September 2015 Data dan Informasi Kawasan Hutan 2 KAWASAN HUTAN KALIMANTAN BARAT, KALIMANTAN TENGAH, KALIMANTAN SELATAN,
Lebih terperinciRoad Map Pembaruan Agraria di Indonesia
Road Map Pembaruan Agraria di Indonesia Agraria di Indonesia merupakan persoalan yang cukup pelik. Penyebabnya adalah karena pembaruan agraria lebih merupakan kesepakatan politik daripada kebenaran ilmiah,
Lebih terperinciPAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PEMDA RIAU HARUS MELIBATKAN PUBLIK DALAM GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (GNPSDA) KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PENGANTAR Hasil kajian Jikalahari menunjukkan
Lebih terperinciSEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA
Mendorong Pengakuan, Penghormatan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Indonesia Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Devi Anjarsari NIM : 11.12.5833 Kelompok : Nusa Jurusan : S1 SI SEKOLAH TINGGI
Lebih terperinciOleh Deddy Permana / Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera selatan
Oleh Deddy Permana / Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera selatan www.wbh.or.id Penjaringan Aspirasi Masyarakat Sebagai Masukan Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019 di Gedung Serbaguna Pasca Sarjana Universitas
Lebih terperinciBAB I PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM AGRARIA
BAB I PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM AGRARIA Perkembangan sejarah hukum agraria di Indonesia, dapat dilihat dalam 4 (empat) tahapan, yaitu tahap Indonesia sebelum merdeka (masa kolonial), tahap Pemerintahan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang:
Lebih terperinciANALISIS MODEL TENURIAL DALAM UNIT MANAJEMEN KPH
ANALISIS MODEL TENURIAL DALAM UNIT MANAJEMEN KPH Analisa Model Tenurial Dalam Unit Manajemen KPH PUSPIJAK I. Pendahuluan II. Landasan Teori III. Kerangka Pikir Tenurial Kawasan Hutan IV. Tahapan Analisis
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah memiliki peran yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang masalah Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar dan kecil, serta masyarakatnya mempunyai beraneka ragam agama, suku bangsa, dan
Lebih terperinciPENGATURAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA,
PENGATURAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA, Antara yang Tersurat dan Tersirat Kajian Kritis Undang-undang Terkait Penataan Ruang Dan Sumber Daya Alam IPB International Convention center (IICC) 12 September
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan
Lebih terperinciPERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK
PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,
Lebih terperinciDAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32
T O P I K U T A M A DAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32 DWI MARTANI Ketua Departemen Akuntansi FEUI dan Anggota Tim Implementasi IFRS-IAI Abstrak Pencabutan PSAK memberikan dampak pada
Lebih terperinciMAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)
MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka
Lebih terperinciIMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI. Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT PADA IUPHHK-HTI OPERATIONAL HTI Oleh : Dr. Bambang Widyantoro ASOSIASI PENGUSAHA HUTAN INDONESIA Disampaikan pada acara: FOCUS WORKING
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan atau hutan tropis yang cukup luas di dunia. Kawasan hutan di Indonesia mencapai ±137,09 Juta ha
Lebih terperinciLaporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN
BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi
Lebih terperinciPemberian Izin RKT HTI oleh Mentri Kehutanan di Provinsi Riau Merupakan Pelanggaran Terhadap Konstitusi. Oleh : Raflis 1 Yayasan Kabut Riau
Pemberian Izin RKT HTI oleh Mentri Kehutanan di Provinsi Riau Merupakan Pelanggaran Terhadap Konstitusi. Oleh : Raflis 1 Yayasan Kabut Riau Pendahuluan Bumi air dan seluruh kekayaan alam yang berada dibawahnya
Lebih terperinciMenimbang: Mengingat:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Menimbang: Presiden Republik Indonesia, a. bahwa tanah memiliki peran yang sangat
Lebih terperinciPROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN
KERTAS KEBIJAKAN PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu agenda RPJMN diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan nasional yang juga terjadi
Lebih terperinciLaporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar
Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 36/Kpts-IV/1985 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NO. 453/KPTS/UM/6/1982 TANGGAL 28 JUNI 1982 SEPANJANG MENYANGKUT
Lebih terperinci[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara
Menghadirkan Negara Agenda prioritas Nawacita yang kelima mengamanatkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria (landreform) dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar.
Lebih terperinciPeraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)
Lebih terperinciJURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 14 Nomor 1, Juni 2016
JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412-6982 Volume 14 Nomor 1, Juni 2016 TINJAUAN TERHADAP PRIVATISASI AIR SEBAGAI KONSEKUENSI ATAS PEMBATALAN UU SUMBERDAYA AIR NO. 7 TAHUN 2004 Zeffitni
Lebih terperinci1 BAB I. PENDAHULUAN
1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia, merupakan
Lebih terperinciWarta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang
No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan
Lebih terperinci~ 2 ~ C:\Documents and Settings\BAHAN WEB\Per-UU\NSPK hilang Agustus1.rtf
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA REKOMENDASI GUBERNUR DALAM RANGKA PERMOHONAN ATAU PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) HUTAN ALAM
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran yang
Lebih terperinciPERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014
PERAN STRATEGIS KPH Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014 KONDISI KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP Model Mukomuko ditetapkan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan paradigma pengelolaan hutan di dunia,yang meliputi paradigma
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia sejalan dengan perkembangan paradigma pengelolaan hutan di dunia,yang meliputi paradigma penambangan kayu (timber
Lebih terperinciUU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)
UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) Tentang: KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 63/Menhut-II/2008
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 63/Menhut-II/2008 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN REKOMENDASI GUBERNUR DALAM RANGKA PERMOHONAN ATAU PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) HUTAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 3-1972 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 37, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3682) UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan dilaksanakan di daerah-daerah, baik yang bersifat sektoral maupun regional. Ini
Lebih terperinciHarmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan
Lampiran KESATU Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Bab 1. Pendahuluan Konflik perizinan dan hak terjadi atas klaim pada areal yang sama Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengelolaan hutan. Ketidakpastian kawasan hutan dapat menghambat pencapaian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kepastian tenurial dinilai menjadi salah satu prakondisi kelangsungan pengelolaan hutan. Ketidakpastian kawasan hutan dapat menghambat pencapaian efektifitas pengelolaan
Lebih terperinciSERBA SERBI HUTAN DESA (HD)
SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang
Lebih terperinciMonitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015
Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 #1. Sektor Pertambangan Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di Jabar,
Lebih terperinciManifesto Aidit dalam Peranan Koperasi Dewasa Ini
Manifesto Aidit dalam Peranan Koperasi Dewasa Ini Ilustrasi: Moh. Dzikri Handika Melalui buku Peranan Koperasi Dewasa Ini (PKDI), Aidit secara tegas meletakkan koperasi sebagai gerakan sosial dan ekonomi
Lebih terperinciKAWASAN PESISIR KAWASAN DARATAN. KAB. ROKAN HILIR 30 Pulau, 16 KEC, 183 KEL, Pddk, ,93 Ha
LUAS WILAYAH : 107.932,71 Km2 LUAS DARATAN 86.411,90 Km2 LAUTAN 21.478,81 Km2 GARIS PANTAI 2.078,15 Km2 KAWASAN DARATAN KAB. ROKAN HULU 16 KEC,153 KEL, 543.857 Pddk, 722.977,68 Ha KAB. KAMPAR 21 KEC,245
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 732/Kpts-II/1998 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBAHARUAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 732/Kpts-II/1998 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBAHARUAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN Menimbang : MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, a. bahwa dengan Keputusan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk
Lebih terperinciKONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA
KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA (Bahan Kata Sambutan Gubernur Sumatera Utara pada Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia Sektor Kehutanan dan
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Profil Pertanahan Provinsi Kalimantan Barat Kementerian PPN / Bappenas
KATA PENGANTAR Tanah atau agraria berasal dari beberapa bahasa. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepedulian masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan baik global maupun regional akibat adanya pembangunan ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Stockholm
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang
Lebih terperinciMendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur
POLICY PAPER No 02/2014 Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur Oleh : u AR PA POLICY PAPER No 02/2014 Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari
Lebih terperinciKelembagaan Pemerintah RINGKASAN EKSEKUTIF
RINGKASAN EKSEKUTIF Salah satu alasan mendasar perlunya pengkajian tugas dan fungsi Departemen-departemen adalah bahwa sejak masa kemerdekaan hingga sekarang ini belum dilakukan audit secara komprehensif
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.
Lebih terperinciIV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang
IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah memiliki keterkaitan dengan berbagai perspektif, yang beberapa diantaranya adalah perspektif sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Karena keterkaitannya dengan berbagai
Lebih terperinciSTATUS LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN YANG BERALIH FUNGSI MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN. Noor Azizah*
Al Ulum Vol.52 No.2 April 2012 halaman 36-40 36 STATUS LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN YANG BERALIH FUNGSI MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN Noor Azizah* PENDAHULUAN Dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang
Lebih terperinciARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BIDANG PERTANAHAN TAHUN 2015-2019 DEPUTI MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH Jakarta, 21 November 2013 Kerangka Paparan 1. PENDAHULUAN
Lebih terperinciINDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman
INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Hasil Pemantauan di Sektor Kehutanan
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENGEMBANGAN RESTORASI EKOSISTEM
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN RESTORASI EKOSISTEM (Target, Progres, dan Tantangan) Seminar Restorasi Ekosistem
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Selain sebagai sumber utama minyak nabati, kelapa sawit
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat
Lebih terperinciPERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR
PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional (HTN), memberikan ruang yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional (HTN), memberikan ruang yang cukup luas dan bertanggung jawab dalam arti untuk keperluan pribadi maupun untuk keperluan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.
7 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG RENCANA MAKRO PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. Hutan
Lebih terperinciPP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)
PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, maka pembangunan harus dilaksanakan secara berkelanjutan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemekaran daerah atau desentralisasi merupakan sebuah aspirasi masyarakat untuk kemajuan daerahnya sendiri dimana daerah otonom baru mempunyai kewenangan sendiri untuk
Lebih terperincidisampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011
disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG TIM TERPADU DALAM RANGKA PENELITIAN PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir. H. Isran
Lebih terperinciPentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman manusia Indonesia hidup bertani dan menetap, dimulai pola penguasaan tanah secara adat dan berlangsung turun temurun tanpa memiliki tanda bukti kepemilikan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan
Lebih terperinci