KAKAWIN SENA (DALAM TINJAUAN FILOLOGIS)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAKAWIN SENA (DALAM TINJAUAN FILOLOGIS)"

Transkripsi

1 KAKAWIN SENA (DALAM TINJAUAN FILOLOGIS) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagai Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Disusun Oleh : LILIS RESTINANINGSIH C FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2 KAKAWIN SENA (Dalam Tinjauan Filologis) Disusun Oleh: LILIS RESTINANINGSIH NIM: C Telah disetujui oleh pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Drs. Supardjo, M.Hum Dra. Kartika Setyawati NIP NIP Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP

3 Telah disetujui Oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal: 7 Desember 2009 Jabatan Nama Tandatangan Ketua Drs. Imam Sutarjo, M.Hum ( ) NIP Sekretaris Drs. Sisyono EW, M.Hum (....) NIP Penguji I Drs. Supardjo, M.Hum. ( ) NIP Penguji II Dra. Kartika Setyawati ( ) NIP Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Drs. Sudarno, M.A. NIP

4 PERNYATAAN Nama : LILIS RESTINANINGSIH NIM : C Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Kakawin Sena (Dalam Tinjauan Filologis) adalah betul-betul karya sendiri bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademi berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut. Surakarta, 1 Nopember 2009 Yang membuat pernyataan LILIS RESTINANINGSIH 4

5 MOTTO Tanyakanlah pada hatimu apa yang kau inginkan, dan tanyakanlah pada jiwamu apa yang aku butuhkan karna sesungguhnya di dalam dirimu tersimpan semua jawaban atas segala pertanyaanmu. (Penulis) Kesempurnaan hidup manusia adalah ketika kamu mampu menerima segala ketentuan yang telah Allah berikan, tanpa mengeluh, dan berpasrah. (Penulis) 5

6 Skripsi ini kupersembahkan untuk: 1. Bundaku, yang senantiasa memberikan dukungan dan doa untuk hidupku. Number one mom s in the world. 2. Keluarga besar Mbah Kamsi dan Hj. Salimah (Alm) dan Engkong Hasan (Alm). Om Kos, ibu dan bapak. 3. Sahabat-sahabatku yang tidak bisa aku sebut satu per satu. 4. My little girl, Garneta Ayu Aurellia. Keponakan tante paling cantik sedunia. 6

7 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, beserta Rabb semesta alam, yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan kepada hamba-nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Kakawin Sena Dalam Tinjauan Filologis) ini disusun untuk memenuhi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Sastra, Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas sebelas Maret Surakarta. Penelitian dan penulisan skripsi ini tidak mungkin selesai bila tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Sudarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini. 2. Drs. Imam Sutardjo, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang juga telah memberikan kesempatan dan ilmunya dalam penyusunan skripsi ini. 3. Drs. Hendro Kumoro, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, yang juga telah memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi. 4. Dra. Sundari, M.Hum, selaku Pembimbing Akademik, yang telah membimbing sejak awal hingga akhir studi di Jurusan Sastra Daerah. 7

8 5. Drs. Supardjo, M.Hum, selaku Pembimbing Pertama, yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatiannya pada pembimbingan skripsi ini, juga proses kelulusan penulis. 6. Dra. Kartika Setyawati (Dosen Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada), selaku Pembimbing Kedua, yang telah berkenan untuk meluangkan waktu dan mencurahkan perhatiannya pada pembimbingan skripsi ini, hingga proses kelulusan penulis. 7. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah dan juga dosen-dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah menularkan ilmunya kepada penulis, sehingga memberikan kontribusi nyata dalam penulisan skripsi. 8. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. 9. Bapak Nindya, Pak Haji, Pak Komari, Bu Hasni, Mas Yudi, Mas Agung, Mas Bambang, Mas Adit, dan banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan namanya, Selaku, kepala bagian dan staf Koleksi Khusus Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan pelayanan terbaiknya selama proses pengumpulan data. 10. Teman-Teman Sastra Daerah angkatan 2004, Ananto, Angga, Aris, Johan, Hendi, Landung, Margono, Marsono, Koko, Mahatma, Kalih, Ragil, Eko, Mengni, Nana, Didiek, Kuma, Ayu, Ratih, Wida, Dewi, mbak Fit, Purna dan lain-lain. Terima kasih atas persahabatan dan masa-masa indah kita bersama. 11. Hening Afriana, yang telah membantu menerjemahkan beberapa refensi dalam bahasa Belanda. 8

9 12. Untuk seseorang yang pernah hadir dan membawa banyak cinta dan kebahagiaan, yang selalu menjadi motifikasi dalam hidupku. Semoga Allah senantiasa memberi perlindungan kepadamu. 13. Berbagai pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga amal dan kebaikannya mendapat balasan yang sesuai dengan amalnya dari Allah. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik yang membangun, demi perbaikan selanjutnya. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Surakarta, 1 Nopember 2009 Penulis 9

10 ABSTRAK LILIS RESTINANINGSIH C KAKAWIN SENA. (Dalam Tinjauan Filologis) Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Naskah MM ditemukan tahun 1822 di lereng gunung Merbabu (Pemakaman Kyai Windusana). Naskah MM adalah naskah yang ditulis di lereng gunung Merapi-Merbabu (Telamaya, Telaga, Wilis) di atas lontar dengan menggunakan aksara Gunung atau Buda dan sebagian aksara Jawa pada abad Naskah MM memiliki berbagai bentuk: parwa, kakawin, tutur, kidung, mantra, primbon, kratabasa dan lain-lain. Salah satu dari koleksi naskah MM adalah Kakawin Sena. Alasan pemilihan naskah KS adalah sedikitnya jumlah penelitian terhadap naskah MM, keunikan bahasa dan tulisan, kepopuleran Sena atau Bima sebagai tokoh utama, banyaknya varian, kekakawinan naskah KS. Naskah KS hanya akan dikaji secara filologis untuk mendapatkan suntingan teks yang bebas dari kesalahan dan terjemahan naskah Penelitian ini bertujuan menyajikan bentuk suntingan teks KS yang bersih dari kesalahan atau yang paling mendekati aslinya setelah melalui kajian filologis. Penelitian ini berbentuk penelitian filologi, yang menjadi objek adalah manuskrip. Sifat dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik komparatif atau perbandingan naskah. Jenis penelitian tergolong dalam penelitian pustaka (library research). Dari penelitian ini akan diterbitkan dua edisi dengan metode yang berbeda yaitu metode diplomatik dan metode kritis (terbitan dengan perbaikan). Edisi diplomatik yaitu penyajian teks sama persis seperti terdapat dalam naskah sumber. Diplomatik tidak hanya digunakan untuk menyunting naskah tunggal tapi juga pada naskah jamak. Guna memenuhi penggunaan edisi diplomatik diperlukan adanya transliterasi mengingat naskah sumber dalam tulisan non-latin. Transliterasi merupakan pemindahan dari satu tulisan ketulisan yang lain. Hal-hal dalam transliterasi yang perlu diperhatikan meliputi: pertama mengurai aksara; kedua pembagian scriptio continua ; ketiga penggunaan huruf besar; dan keempat struktur sintaksis, diantaranya tanda baca dari naskah, dan juga karakteristik pengejaan baik yang beraturan maupun tidak (S.O. Robson, 1994: 24). Edisi kritis digunakan untuk menghasilkan terbitan dengan perbaikan. Edisi kritis menurut Robson (1994: 25), dipakai untuk membantu pembaca dalam mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual yang berkaitan dengan interpretasi pemahaman isi. Dari keseluruhan proses di atas didapat naskah KS1 sebagai naskah dasar suntingan. Naskah ini tidak bisa dikatakan sebagai kakawin, karena tidak memiliki guru dan lagu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuna yang tidak standard (memperhatikan bunyi panjang pendek vokal). Fungsi naskah KS1 sebagai naskah ruwat. 10

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv MOTTO... v PERSEMBAHAN... vi KATA PENGANTAR... vii ABSTRAK... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GRAFIK... xv DAFTAR SINGKATAN..... xvii DAFTAR SISTEM TANDA...xviii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Batasan Masalah Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Manfaat Teoretis Manfaat Praktis

12 1.6 Tinjauan Pustaka Sistematika Penulisan BAB II KAJIAN TEORETIS Pengertian Filologi Obyek Penelitian Cara Kerja Filologi Penentuan Sasaran Penelitian Inventarisasi Naskah Deskripsi Naskah Perbandingan Naskah Penentuan Naskah Dasar Transliterasi Naskah Kritiks Teks Suntingan Teks dan Aparat Kritik Penerjemahan BAB III METODE PENELITIAN Bentuk dan Jenis Penelitian Sumber Data dan Data Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data BAB IV ANALISIS DATA Identifikasi Naskah Penggunaan Metrum dan Bahasa dalam Teks KS1 dan KS

13 4.3 Perbandingan Naskah, Kritik Teks, Suntingan Teks dan Aparat Kritik Perbandingan Naskah Terbitan Teks Diplomatik Terbitan Teks Dengan Perbaikan dan Terjemahan Fungsi Teks KS BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN LAMPIRAN I (Teks 154) LAMPIRAN II (Daftar Aksara) LAMPIRAN III (Daftar Metrum)

14 DAFTAR TABEL Table 1. Perbandingan pupuh dan bait...44 Table 2. Perbandingan kata per kata dan kelompok kata

15 DAFTAR GRAFIK Grafik 1. syaraning baca swaraning... 9 Grafik 2. wandaha baca wandawa...9 Grafik 3. lanḍṅṣḥṛʺṙṭa kumĕt riḍṅṣḥṛʺṙṭ baca lanḍṅṣḥṛʺṙṭak kumĕt riḍṅṣḥṛʺṙṭ....9 Grafik 4. nariŋayun baca nariŋ ayun...10 Grafik 5. dewa saḍṅṣḥṛʺṙṭaran baca dewa asaḍṅṣḥṛʺṙṭaran.10 Grafik 6. panya papal baca paḍṅṣḥṛʺṙṭnya papal 10 Grafik 7. masĕḍṅṣḥṛʺṙṭ baca mangsĕḍṅṣḥṛʺṙṭ.10 Grafik 8. deniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ yyrat magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ baca deniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ ryyat magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ..10 Grafik 9. Pengapit naskah nomor Grafik 10 dan 11. Tanda ganti bait pada naskah Grafik 12. Penanda ganti pupuh pada naskah 154 dan pengganti tanda bait pada naskah Grafik 13. Keterangan tempat atau tanda untuk transliterasi...56 Grafik 14. awaġnam astu (lempir 2r. 1a) bukan awaġnamastu...57 Grafik 15. lempir 2v. 4a na[-]rada...57 Grafik 17. lempir 7r. 1a: [-]rare...57 Grafik 16 lempir 6r. 3b: mu[-]tab...57 Grafik 18. Lempir 2v. 3b tumu<t> ma. Aksara diselipkan di atas baris

16 Grafik 19. Lempir 3v. 1b liḍṅṣḥṛʺṙṭ<ni>ra. Aksara diselipkan dibawah baris...58 Grafik 20. Lempir 4r. 1b sa<wa>rah. Aksara diselipkan dibawah baris dengan tanda silang di atas baris.58 Grafik 21. Lempir 2 rekto Grafik 22. Lempir 2 verso Grafik 23. Lempir 3 rekto Grafik 24. Lempir 3 verso Grafik 25. Lempir 4 rekto Grafik 26. Lempir 4 verso Grafik 27. Lempir 5 rekto Grafik 28. Lempir 5 verso Grafik 29. Lempir 6 rekto Grafik 30. Lempir 6 verso Grafik 31. Lempir 7 rekto Grafik 32. Lempir 7 verso Grafik 33. Lempir 8 rekto Grafik 34. Lempir 8 verso Grafik 35. Lempir 9 rekto Grafik 36. Lempir 9 verso Grafik 37. Lempir 10 rekto Grafik 38. Lempir 10 verso

17 DAFTAR SINGKATAN cm dkk. KS : Centimeter (menunjuk Ukuran). : dan kawan-kawan : Kakawin Sena. KS1 : Kakawin Sena dengan nomor koleksi 154. KS2 : Kakawin Sena dengan nomor koleksi 167. MM : Merapi-Merbabu 17

18 DAFTAR SISTEM TANDA (... ) : Menunjukkan halaman lempir dan letak baris. Selain itu juga digunakan untuk menunjukan naskah rusak atau cacat. [... ] : Menunjukkan koreksi berupa kesalahan yang dilakukan oleh penulis atau penyalin naskah. <... > : Menunjukkan koreksi berupa tambahan yang dilakukan oleh penulis atau penyalin naskah // : Menunjukkan penanda pengganti pupuh pada KS1, pada KS2 digunakan sebagai penanda pengganti bait. / : Menunjukkan kata yang teletak tepat di atas maupun di bawah lubang margo tengah. Ø : Menunjukkan penanda pengganti bait pada KS1. 18

19 ABSTRAK Naskah MM ditemukan tahun 1822 di lereng gunung Merbabu (Pemakaman Kyai Windusana). Naskah MM adalah naskah yang ditulis di lereng gunung Merapi-Merbabu (Telamaya, Telaga, Wilis) di atas lontar dengan menggunakan aksara Gunung atau Buda dan sebagian aksara Jawa pada abad Naskah MM memiliki berbagai bentuk: parwa, kakawin, tutur, kidung, mantra, primbon, kratabasa dan lain-lain. Salah satu dari koleksi naskah MM adalah Kakawin Sena. Alasan pemilihan naskah KS adalah sedikitnya jumlah penelitian terhadap naskah MM, keunikan bahasa dan tulisan, kepopuleran Sena atau Bima sebagai tokoh utama, banyaknya varian, kekakawinan naskah KS. Naskah KS hanya akan dikaji secara filologis untuk mendapatkan suntingan teks yang bebas dari kesalahan dan terjemahan naskah Penelitian ini bertujuan menyajikan bentuk suntingan teks KS yang bersih dari kesalahan atau yang paling mendekati aslinya setelah melalui kajian filologis. Penelitian ini berbentuk penelitian filologi, yang menjadi objek adalah manuskrip. Sifat dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik komparatif atau perbandingan naskah. Jenis penelitian tergolong dalam penelitian pustaka (library research). Dari penelitian ini akan diterbitkan dua edisi dengan metode yang berbeda yaitu metode diplomatik dan metode kritis (terbitan dengan perbaikan). Edisi diplomatik yaitu penyajian teks sama persis seperti terdapat dalam naskah sumber. Diplomatik tidak hanya digunakan untuk menyunting naskah tunggal tapi juga pada naskah jamak. Guna memenuhi penggunaan edisi diplomatik diperlukan adanya transliterasi mengingat naskah sumber dalam tulisan non-latin. Transliterasi merupakan pemindahan dari satu tulisan ketulisan yang lain. Hal-hal dalam transliterasi yang perlu diperhatikan meliputi: pertama mengurai aksara; kedua pembagian scriptio continua ; ketiga penggunaan huruf besar; dan keempat struktur sintaksis, diantaranya tanda baca dari naskah, dan juga karakteristik pengejaan baik yang beraturan maupun tidak (S.O. Robson, 1994: 24). Edisi kritis digunakan untuk menghasilkan terbitan dengan perbaikan. Edisi kritis menurut Robson (1994: 25), dipakai untuk membantu pembaca dalam mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual yang berkaitan dengan interpretasi pemahaman isi. Dari keseluruhan proses di atas didapat naskah KS1 sebagai naskah dasar suntingan. Naskah ini tidak bisa dikatakan sebagai kakawin, karena tidak memiliki guru dan lagu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuna yang tidak standard (memperhatikan bunyi panjang pendek vokal). Fungsi naskah KS1 sebagai naskah ruwat. 19

20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Periodesasi sastra Jawa terbagi menjadi tiga yaitu Jawa Kuna, Jawa Tengahan dan Jawa Baru. Periode Jawa Kuna berkembang pada abad ke-9 hingga abad ke-14. Periode Jawa Tengahan berkembang pada abad ke-15 hingga abad ke-17. Periode Jawa Baru berkembang pada abad ke-17 hingga sekarang. R. M. Ng. Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakan Jawi (1954) mengelompokkan karya sastra Jawa menjadi tujuh golongan yaitu, 1) kitab-kitab Jawa Kuna golongan tua diantaranya: Candhakarana, Ramayana, dan beberapa parwa Mahabharata; 2) kitab-kitab Jawa Kuna berbentuk puisi diantaranya: Arjunawiwaha, Bharatayuda, Lubdhaka; 3) kitab-kitab Jawa Kuna golongan muda diantaranya: Negarakertagama, Arjunawijaya, dan Nitisastra; 4) tumbuhnya bahasa Jawa Tengahan diantaranya: Tantu Panggelaran, Calon Arang, dan Pararaton; 5) kidung Jawa Tengahan diantaranya: Dewaruci, dan Sri Tanjung; 6) zaman Islam diantaranya: Suluk Sukarsa, Nitisruti, Serat Menak; 7) zaman Surakarta Awal diantaranya: Babad Giyanti dan Bratayuda. Dalam Ngengrengan Kasusastraan Jawa II (1956: ), S. Padmosoekotjo mengelompokkan sastra Jawa menjadi lima golongan yaitu, 1) Zaman Hindu (sebelum Zaman Majapahit); 2) Zaman Majapahit; 3) Zaman Islam; 4) Zaman Mataram; 5) Zaman Sekarang. Dalam salah satu materi kuliah yang ditulis oleh W. Hendrosaputo (2007:1-2) tentang Ciri, Bentuk, dan Jenis Susastra Jawa, memuat periodesasi sastra Jawa sebagai berikut, periode sastra Jawa Kuna menghasilkan karya sastra yang berbentuk Kakawin berupa puisi dan parwa berupa prosa; periode sastra Jawa Tengahan menghasilkan karya sastra yang berbentuk kidung berupa puisi, tutur berupa prosa dan ringgit berupa drama; periode sastra Jawa Baru menghasilkan karya sastra berbentuk tembang berupa puisi, gancaran berupa prosa, dan drama berupa drama. Penulisan kakawin di Jawa Tengah dimulai kira-kira pada abad ke-9 yang hanya mengasilkan satu kakawin yaitu Kakawin Ramayana, yang dilanjutkan di Jawa Timur pada abad ke-11 sampai ke-16, kemudian dilanjutkan di Bali sampai abad ke-20, bahkan mungkin sampai kini. Kakawin dapat bertahan hingga dua belas abad, meskipun sudah mengalami transformasi sesuai dengan persepsi masyarakat zamannya, baik dari segi bentuk maupun isinya. Pokok isinya bersumber dari Mahabharata, epik yang berasal dari India Kuno (Partini Sardjono P, 2003:3). Kakawin merupakan sastra puisi Jawa Kuna yang memiliki kekang-kekang prosodi (metrum India) dengan pemilihan gaya bahasa yang indah. Konvensi penulisan kakawin sangatlah rumit dan sulit, karena kakawin memiliki struktur formal dalam bentuk, maupun struktur naratifnya khas, konvensi prosidinya 20

21 dengan pola matra yang diadaptasi dari India. Prosodi adalah aturan persajakan yang didasarkan pada kuantitas matrik atau suku kata. Dalam kakawin memiliki ketentuan sebagai berikut. 1) Setiap bait terdiri dari 4 baris; 2) Jumlah suku kata tiap baris sama; 3) Tiap-tiap bait terikat guru (suara berat, contohnya bhū, suku kata bersuara e dan o, suku kata tertutup, suku kata pendek yang diikuti huruf rangkap seperti, dr, pr, pw, lw, dan lain-lain) diwujudkan dengan dan laghu (suara ringan yaitu suku kata hidup yang tidak panjang contoh mara, kikis, dan madhukaralalita) diwujudkan dengan È. Pada masa Jawa Tengahan, penulisan kidung menggunakan metrum macapat, begitu juga dengan tembang yang merupakan sastra puisi Jawa Baru (Zoetmulder, 1994: ). Aturan yang digunakan dalam puisi macapat yaitu 1. Guru Gatra, yaitu ketentuan jumlah baris atau larik pada setiap bait. Berkisar antara empat sampai sepuluh baris per bait. Perbedaan pupuh pertama-tama dilihat dari jumlah barisnya, misalnya tembang Durma memiliki 7 larik. 2. Guru Wilangan yaitu ketentuan jumlah silaba atau suku kata (wanda) pada setiap larik, yang berkisar antara tiga sampai duabelas kata per larik, misalnya Durma memiliki 7 larik dengan jumlah suku kata tiap larik secara berurutan: 12,7,6,7,8,5 dan 7 suku kata. 3. Gurulagu (dhongdhing) yaitu ketentuan tentang vocal pada setiap suku kata terakhir pada setiap larik. Vocal yang dipakai pada suku kata terakhir adalah a, i, u, e (taling), o, misal Asmarandana memiliki 7 larik dengan gurulagu secara berurutan jatuh pada vocal: i, a, é/o, a, a, u, dan a. Tembang macapat terdapat sebelas matra yaitu Dhandhanggula, Sinom, Asmarandana, Kinanti, Pangkur, Durma, Mijil, Maskumambang, Pucung, Gambuh, dan Megatruh. (Emuch Hermansoemantri, 1986: 97-98) Perkembangan kesusastraan Jawa tidaklah semulus yang terlihat. Ricklefs, menyatakan bahwa pada masa keraton Kartasura (abad 17-18), kesusastraan Jawa mengalami abad kegelapan atau lebih dikenal stagnasi kebudayaan yang 21

22 disebabkan oleh guncangan sosial budaya yang dialami pihak keraton (Ricklefs dalam Alex Sudewa, 1995: 1). Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Tradisi penulisan naskah dalam keraton masih tetap berlangsung walau jumlahnya sedikit dan karyanya kurang diterima masyarakat saat itu (Alex Sudewa, 1995: ). Tradisi penulisan naskah sebenarnya tidak hanya ditulis di dalam keraton tetapi juga terjadi di luar keraton, seperti di daerah pesisiran, di pesantren-pesantren, dan di sekitar lereng Merapi-Merbabu. Hal ini terbukti dengan ditemukannya naskah di daerah pesisiran, di pesantren, dan juga di lereng Merapi-Merbabu. Naskah Merapi-Merbabu pertama kali ditemukan pada tahun 1822 di rumah Kyai Windusana di lereng gunung Merbabu. Naskah Merapi-Merbabu adalah naskah yang ditulis di sekitar lareng gunung Merapi dan Merbabu (Telamaya, Telaga dan Wilis) di atas lontar dengan menggunakan aksara buda atau aksara gunung dan aksara Jawa (sebagian kecil) pada abad Naskah Merapi-Merbabu berbeda dengan naskah Jawa yang ditulis pada masa Jawa Baru, naskah Merapi-Merbabu menggunakan bahasa Jawa Baru yang arkais. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan naskah Merapi-Merbabu berkembang pada abad 16-18, abad tersebut di luar daerah Merapi-Merbabu berkembang sastra Jawa Tengahan dan sastra Jawa Baru. Bahasa Jawa Baru yang digunakan pada masyarakat Merapi-Merbabu adalah bahasa Jawa Baru yang menerima pengaruh dari bahasa Jawa Kuna dan Sunda, hal ini disebabkan pengaruh dari luar masyarakat Merapi-Merbabu tidak langsung diterima begitu saja, mereka tetap mempertahankan tradisi penulisan naskah seperti yang telah diwariskan nenek moyang mereka. Hal ini terbukti dengan koleksi Merapi-Merbabu yang memiliki berbagai bentuk di antaranya: parwa, Kakawin, tutur, kidung, mantra, primbon, kratabasa, teks agama Buddha (Kunjarakarna) dan teks berbau Islam (Tapel Adam dan Anbiya) (I. Kuntara Wiryamartana dan W. van der Molen, 2001: 51-53). Naskah Merapi-Merbabu oleh Bataviaasch Genootschap dibawa ke Batavia (Jakarta) pada tahun 1852 dan sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), dari sinilah akhirnya naskah Merapi-Merbabu mulai diteliti. Penelitian terhadap naskah Merapi-Merbabu yang telah dilakukan di antaranya: 1) Poerbatjaraka, meneliti Dewaruci yang diterbitkan pada tahun 1940; 2) Willem van der Molen, meneliti Kunjarakarna yang diterbitkan pada tahun 1983; 3) I. Kuntara Wiryamartana, meneliti Arjunawiwaha yang diterbitkan pada tahun 1990; 4) Kartika Setyawati, I. Kuntara Wiryamartana, dan Willem van der Molen, membuat Katalog Naskah Merapi-Merbabu (I. Kuntara Wiryamartana dan W. van der Molen, 2001 : 51-53). Ratusan naskah Merapi-Merbabu yang tersimpan, baru sedikit yang diteliti atau diungkap isinya, sehingga naskah menjadi artefak yang kurang bermanfaat. Dalam Buletin Yaperna No.7 yang terbit tahun 1975, Haryati Sobadio menulis bahwa naskah lama merupakan dokumen bangsa yang menarik bagi peneliti 22

23 kebudayaan lama karena memiliki kelebihan, yaitu dapat memberi informasi yang luas disbandingkan dengan puing bangunan megah, seperti: candi, makam ataupun istana. Naskah Merapi-Merbabu yang berbentuk kakawin dalam koleksi PNRI memiliki beberapa judul di antaranya: Arjunawijaya, Arjunawiwaha, Bhomakawya, Gathotkacasraya, Kunjarakarna, Mahabarata, Ramayana, Kakawin Sena, dan lain-lain. Dari berbagai judul yang ada, yang akan menjadi objek penelitian adalah naskah yang berjudul Kakawin Sena. Teks ini tergolong sesuatu yang baru, dari semua kakawin pernah yang ditemukan tidak ada satupun teks yang berjudul Kakawin Sena; teks tertua yang bercerita tentang Sena atau Bima berjudul Nawaruci, yang bercerita tentang perjalan panjang Sena mencari jati diri. Selama ini belum ada penelitian tentang Kakawin Sena. Penelitian terhadap naskah dengan tokoh Sena (Bima) pernah dilakukan oleh Poebatjaraka yang meneliti naskah Dewaruci pada tahun 1940 dan pada tahun 1934, Prijohoetama meneliti Nawaruci dan Bimasuci. Kemudian dalam buku Bahasa, Budaya dan Kasusastraan, ada salah satu artikel tulisan Alex Sudewa juga membahas tentang Dewaruci dan Nawaruci dengen judul Kawi dan Pujangga. Sena sebagai tokoh memiliki pamor yang cukup tinggi di mata masyarakat Jawa. Pencitraan terhadap Sena terjadi hingga sekarang. Citra tokoh Bima pada zaman Hindu sampai Majapahit Awal adalah sebagai pelindung keluarga, pelindung masyarakat dan juga pahlawan perang (terlihat secara tersirat pada prasasti dan relief, secara tersurat dalam parwa-parwa dan Kakawin), sedangkan pada zaman Majapahit Akhir citra tokoh Bima adalah sebagai pribadi yang mencari jati diri, dan juga menjadi objek pemujaan (tersirat pada arca dan relief dan tersurat pada karya sastra yang dihasilkan pada zaman itu). Pada zaman Jawa Baru citra Bima adalah sebagai pelindung keluarga, pelindung masyarakat, pahlawan perang, tokoh penyebar agama, dan sebagai tokoh mitos dalam lakon-lakon wayang yang berasal dari pedesaan (Woro Aryandini, 2000:6). Citra Sena atau Bima adalah gambaran yang dimiliki orang banyak terhadap diri tokoh dan kesan mental atau bayangan visual setelah membaca atau mendengar cerita tentang Sena atau Bima melingkupi watak, tingkah laku, peran dan penampilan visual. Dalam sumber data tertulis berikut petikan mengenanai citra Sena atau Bima, pertama dalam Prasasti Wukajana, bertahun 830 Saka atau 908 M dalam prasati ini nama Bima disebut dua kali yang pertama berbentuk kicaka dan yang kedua dalam pagelaran wayang dengan cerita Bima muda; kedua dalam cerita Mahabharata, tokoh bima digambarkan sebagai anak yang memiliki kesaktian melebihi teman dan saudaranya, berwatak keras, namun lembut hatinya.; ketiga dalam Kakawin Bhāratayuda dan Serat Bratayuda yang 23

24 merupakan saduran dari Kakawin Bhāratayuddha oleh Kyai Yasadipura I, watak Bima digambarkan tidak jauh berbeda dengan yang diceritakan dalam Mahabharata; keempat Nawaruci dan Serat Dewaruci, dalam naskah ini, digambarkan Bima atau Sena yang sedang mencari jati diri melalui ujian berat yang diberikan oleh Durna; dan masih bayak lagi (Bima Bungkus, Serat Bimasuci, Lampahan Bima ing Lepen Serayu, Bimaswarga). Hal ini menandakan sebagai personal Sena memiliki tempat tersendiri di hati penyalin naskah maupun penulis naskah. Sena atau lebih dikenal dengan sebutan Bima adalah tokoh Pandawa yang memiliki kesaktian luar biasa, Sena adalah tokoh yang sangat keras yang hanya tunduk pada ibu, guru dan Tuhannya. Karakter Sena yang demikian membuatnya populer di masyarakat. Naskah Kakawin Sena bercerita tentang perjalanan Sena di hutan belantara. Dilihat dari segi isi cerita Kakawin Sena merupakan bagian atau cuplikan episode dari Nawaruci. Tepatnya pada episode ruwat, Sena meruwat dewa yang diturunkan ke bumi agar dapat kembali ke Suralaya (kediaman para dewa). Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa Pandu tidak dapat memiliki keturunan (akibat kutukan dari seorang resi hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima atau Sena. Atas anugerah dari Bayu, Bima atau Sena akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang. Semasa hidupnya Bima memiliki beberapa nama diantaranya Bratasena, Bayusuta, Balawa, Birawa, Dandungwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Sena, Wijasena, Jagal Abilowo dan Werkodara. Pada masa kecil Sena lebih dikenal sebagai Bratasena, dan ketika Sena mencapai kesempurnaan ilmu Sena lebih dikenal sebagai Werkodara, dalam bahasa sanskerta vḍṅṣḥṛʺṙṭkodarah berarti perut srigala. Menurut Katalog Naskah Merapi-Merbabu, naskah yang berjudul Kakawin Sena ada dua naskah yaitu naskah dengan nomor 154 yang disimpan dalam peti 33 (154 Peti 33.Rol 852/9) dan naskah dengan nomor 167 yang disimpan dalam peti 2 24

25 (167 Peti 2.Rol 861/2), tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta. Secara garis besar kedua naskah ini memiliki kesamaan isi dan cerita. Dari segi filologis Kakawin Sena memiliki banyak varian yang menjadi ciri khas di setiap naskah Merapi-Merbabu. Pertama, pertukaran huruf y ó w ó h, kebanyakan naskah Merapi-Merbabu menggunakan y, w, dan h secara terbolikbalik. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam Jawa Baru, pertukaran y, w dan h dapat menentukan faktor usia naskah, sedang dalam naskah Merapi-Merbabu tidak menentukan usia teks. Berikut beberapa contoh: grafik 1 syaraṇṅḍṣḥḃṃṛniṇṅḍṣḥḃṃṛ baca swaraniṇṅḍṣḥḃṃṛ grafik 2 wandaha baca wandawa Kedua adanya pelesapan konsonan ataupun vokal, seperti berikut: grafik 3 lanṇṅḍṣḥḃṃṛa kumĕt riṇṅḍṣḥḃṃṛ baca lanṇṅḍṣḥḃṃṛak kumĕt riṇṅḍṣḥḃṃṛ grafik 4 nariŋayun baca nariŋ ayun grafik 5 dewa saṇṅḍṣḥḃṃṛaran baca dewa asaṇṅḍṣḥḃṃṛaran Ketiga pelesapan ng, seperti berikut: 25

26 grafik 6 panya papal baca paṇṅḍṣḥḃṃṛnya papal grafik 7 masĕṇṅḍṣḥḃṃṛ baca mangsĕṇṅḍṣḥḃṃṛ Keempat penulisan rya, yang berlaku dalam beberapa naskah Merapi-Merbabu: grafik 8 deniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ yyrat magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ baca deniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ ryyat magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ Sifat khas inilah yang menarik perhatian untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Kakawin Sena berbentuk kakawin, namun apakah benar Kakawin Sena berbentuk kakawin? Hal ini dikarenakan tidak ditemukannya tanda panjang pendek dalam teks. Apakah ini dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan penulis atau penyalin mengenai aturan yang berlaku dalam penulisan kakawin karena tenggang waktu yang cukup jauh antara sastra Jawa baru dan sastra Jawa kuna. Perhatikan contoh dibawah ini: Pupuh I bermetrum sārdulawikriḍṅita dengan pola sebagai berikut : È È È È È È È È È Baris pertama ri ṇṅḍṣḥḃṃṛ sampunya liwat tikaṇṅḍṣḥḃṃṛ jaladi ton tekaṇṅḍṣḥḃṃṛ wana ŋrit magĕng È È È È È È È È È Baris pertama tidak bermasalah, setiap suku kata sesuai dengan metrum. Baris kedua humyaṇṅḍṣḥḃṃṛ swaraniḍṅ paksi munya wurahan wre wandawa sraṇṅḍṣḥḃṃṛ humuṇṅḍṣḥḃṃṛ È È È È È È È È Baris kedua potongan kedua tidak sesuai metrum, dari sini dapat dilihat bahwa penulis atau penyalin tidak konsisten dengan metrum yang digunakan. Untuk suntingan teks akan disajikan dua suntingan yaitu suntingan teks diterbitkan secara diplomatik, dan juga diterbitkan dengan perbaikan. Diterbitkannya dua suntingan memiliki fungsi ganda, yang pertama 26

27 mempermudah peneliti lain terutama linguistik, untuk meneliti perkembangan bahasa Jawa Kuna dari zaman ke zaman; fungsi yang kedua mempermudah dalam menerjemahkan teks dan mempermudah pemahaman pembaca dalam memahami isi naskah. 1.2 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini dilakukan terhadap satu kajian yaitu hanya pada kajian filologis guna mendapatkan suntingan teks yang bebas dari kesalahan dan terjemahan dari naskah tersebut. 1.3 Rumusan Masalah Berpijak pada batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Bagaimana suntingan teks Kakawin Sena yang bersih dari kesalahan berdasarkan cara kerja filologi? 2) Bagaimana terjemahan dari Kakawin Sena? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menyajikan bentuk suntingan teks Kakawin Sena yang bersih dari kesalahan sesuai cara kerja filologi. 2) Menyajikan terjemahan agar lebih mudah untuk dipahami. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 1) Manfaat teoritis 27

28 a. Menambah kajian naskah Merapi-Merbabu. b. Menumbuhkan minat peneliti lain dari berbagai disiplin ilmu. c. Memberi kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan lain yang relevan. 2) Manfaat praktis a. Penyelamatan data Kakawin Sena dari kerusakan atau kehilangan data. b. Mempermudah pemahaman isi teks Kakawin Sena. c. Memberi informasi kepada masyarakat tentang naskah Merapi- Merbabu. 1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian naskah yang berkisah tentang salah satu tokoh Pandawa yaitu Sena atau lebih dikenal dengan nama Bima yang pernah dilakukan jumlahnya terbatas. Berikut beberapa peneliti yang melakukan penelitian tentang tokoh Sena: 1. Poebatjaraka yang meneliti naskah Dewaruci pada tahun Prijohoetama meneliti Nawaruci dan Bimasuci pada tahun Dalam buku Bahasa, Budaya dan Kasusastraan, ada salah satu artikel tulisan Alex Sudewa juga membahas tentang Dewaruci dan Nawaruci dengen judul Kawi dan Pujangga. 4. Woro Aryandini, menulis buku yang berjudul Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Buku ini mengkaji tentang citra Bima dari masa ke masa melalui media candi, relief dan naskah. 28

29 Walaupun ada beberapa peneliti yang mengulas tentang tokoh Sena, tetapi penelitian filologis yang didasarkan pada sebuah teks asli dengan Judul Kakawin Sena belum pernah dilakukan. 1.7 Sistematika Penelitian BAB I Pendahuluan Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. BAB II Kajian teoretis Bab ini meliputi tentang pengertian filologi, objek filologi, dan cara kerja filologi. BAB III Metodologi penelitian Bab ini meliputi tentang bentuk dan jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis. BAB IV Pembahasan Bab ini meliputi tentang deskripsi naskah, perbandingan naskah, suntingan teks, perbaikan teks, dan terjemahan. BAB V Penutup Kesimpulan dan Saran 29

30 BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Pengertian Filologi Secara etimologis filologi berasal dari bahasa Yunani Philos yang berarti senang dan Logos yang berarti ilmu atau pembicaraan, gabungan kedua kata ini menjadi Philologia. Maka, filologi berarti senang bicara yang kemudian berkembang menjadi senang belajar, senang kepada ilmu, senang kepada tulisan-tulisan, dan kemudian berkembang menjadi senang kepada tulisantulisan yang bernilai tinggi (karya sastra) (Baried dkk, 1985:1). Dalam kamus filologi disebutkan bahwa pengertian filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kasusastraannya (Tim Dosen UGM, 1977:16). Edwar Djamaris mengartikan filologi sebagai ilmu yang objek penelitiannya naskah lama (2003:3). Sedang, Panuti Sudjiman (1994:29) mengartikan filologi dalam dua pengertian yaitu arti sempit dan arti luas. Arti sempit filologi adalah studi tentang naskah lama untuk mendapatkan naskah yang otentik dan makna isi naskah. Arti luas filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa khususnya menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesastraan. Dalam sejarah perkembangannya, istilah filologi mengalami perubahan dan perkembangan. Pengertian dan penerapannya di Indonesia, pada awal mulanya dipengaruhi oleh para ahli terdahulu, yang sedikit banyak 30

31 dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan pemahaman tentang filologi yang berlaku dan yang diperlukan untuk karya-karya Abad Pertengahan yang menjadi sasaran dan objek kerja para peneliti filologi terdahulu. Akhirnya, filologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang berupaya mengungkapkan kandungan teks yang tersimpan dalam naskah produk masa lampau (Baried dkk, 1985:11). 2.2 Objek Penelitian Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks, yang dimaksud naskah di sini adalah semua bahan tulisan tangan nenek moyang pada kertas, lontar, kulit kayu, rotan ataupun bambu. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan juga yang berbahasa Jawa; lontar banyak dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali; kulit kayu dan rotan biasa digunakan pada naskah-naskah Batak. (Edwar Djamaris, 2002: 3). Baried dkk. (1985:54-57) menjelaskan bahwa objek penelitian filologi adalah naskah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau. Semua bahan tulisan tangan itu disebut handschrift dan manuscript. Adapun yang dimaksud dengan teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Dapat dikatakan teks terdiri dari isi, yaitu ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya. Dapat disimpulkan tentang pengertian naskah dan teks. Naskah adalah semua peninggalan nenek moyang yang berupa bahan tulisan tangan pada kertas, lontar, kulit kayu, rotan ataupun bambu yang menyimpan hasil budaya masa 31

32 lampau. Dan teks adalah de-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya. Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian filologi adalah naskah Merapi-Merbabu dengan judul Kakawin Sena, yang bercerita tentang perjalan Sena di hutan belantara. 2.3 Cara Kerja Filologi Dalam rangka melakukan penelitian filologi, perlu melakukan tahapantahapan yang terangkum dalam cara kerja filologi. Untuk penelitian ini peneliti menggunakan cara kerja filologi yang ditulis oleh Edi S. Ekajati yang dipadukan dengan cara kerja filologi menurut Edwar Djamaris, tahapan kerja yang dilakukan sebagai berikut Penentuan Sasaran Penelitian Sebelum melakukan penelitian filologi hal pertama yang harus dilakukan adalah memilih naskah dan menentukan naskah yang akan dijadikan bahan penelitian (Edi S. Ekajati, 1980: 1). Banyaknya ragam naskah baik dari tulisan, bahan, bentuk, jenis, maupun isi. Peneliti memutuskan memilih naskah Merapi-Merbabu yang teksnya ditulis dengan aksara buda yang ditulis pada daun lontar, berbentuk puisi dan berisi tentang perjalanan Sena di hutan, yang terangkum dalam KS1 dan KS Inventarisasi Naskah Inventarisasi naskah sasaran ialah kegiatan mendaftar dan mengumpulkan naskah yang judulnya sama dan sejenis untuk dijadikan objek penelitian. Hal 32

33 pertama yang dilakukan dengan mendatangi tempat-tempat koleksi atau mencari naskah melalui katalog Deskripsi Naskah Setelah naskah terpilih, hal selanjutnya yang dilakukan adalah pendeskripsian naskah yang meliputi: judul, nomor katalog, ukuran naskah, tebal naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, bahasa dan aksara yang digunakan, keadaan naskah, umur naskah, bentuk teks, pengarang atau penyalin, cara penulisan, jumlah baris per halaman, bahan naskah, fungsi sosial, dan ikhtisar naskah (Emuch Hermansoemantri, 1986: 2). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui keadaan naskah dan sejauh mana isi naskah yang akan diteliti Perbandingan Naskah Perbandingan naskah dilakukan bila peneliti menangani naskah ganda atau lebih dari satu. Perbandingan naskah dilakukan melalui berbagai cara yaitu. 1) Perbandingan kata demi kata, bertujuan untuk membetulkan kata-kata yang salah atau tidak terbaca, menentukan silsilah naskah, dan mendapatkan teks asli atau terbaik; 2) Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa, bertujuan untuk mengelompokkan cerita dalam beberapa versi dan untuk mendapatkan cerita yang bahasanya lancar dan jelas; 3) Perbandingan isi cerita bertujuan untuk mendapatkan naskah yang isinya lengkap dan tidak menyimpang serta untuk mengetahui penambahan 33

34 unsur atau pengurangan unsur yang telah ada dalam naskah semula (Edi S. Ekajati, 1980: 5). Perbandingan naskah, tetap dilakukan untuk membuktikan bahwa naskah dengan nomor 154 memiliki bacaan yang lebih baik dari pada naskah dengan nomor 167. perbandingan yang dilakukan hanya mencakup pada perbandingan kata dan kelompok kata Penentuan Naskah Dasar Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan naskah dasar, yaitu: 1) isinya lengkap dan tidak menyimpang; 2) mudah dibaca dan tulisannya jelas; 3) naskah dalam keadaan baik dan utuh; 4) mudah diphami dan bahasanya lancar; 5) umur naskah lebih tua (Edward Djamaris, 2002:18). Setelah memenuhi lima kriteria di atas maka naskah layak dijadikan naskah dasar. Untuk mendapatkan naskah yang minim dari kesalahan, naskah dasar perlu disunting terlebih dahulu kemudian diadakan kritik teks untuk membersihkan kesalahan-kesalahan yang ada Transliterasi Naskah Transliterasi adalah penggantian atau pengalihaksaraan huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang lain. Penyajian harus teliti dan lengkap, agar mudah dipahami atau pengalihan atau penggubahan suatu teks dari satu ejaan ke ejaan lain. Misalnya, naskah yang ditulis dalam ejaan lama diganti ke 34

35 dalam ejaan yang berlaku sekarang. Transkripsi juga dapat berarti pengalihan teks lisan menjadi tulisan (Edwar Djamaris, 2002:19) Kritik Teks Menurut Baried dkk. (1985: 61), kata kritik teks berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, Krinein berarti menghakimi, kriterion berarti dasar penghakiman. Kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya. Kritik teks adalah penyelidikan suatu naskah dari masa lampau dengan tujuan menyusun kembali naskah yang dipandang asli, melalui tahap resensi (penentuan naskah yang dipandang asli dengan membandingbandingkan yang termasuk satu stema), ekseminasi (naskah yang dianggap paling tinggi kadar keasliannya), dan emandasi (mengembalikan kepada bentuk yang dipandang asli) (Tim Dosen UGM, 1977: 26). Pengkajian, perbandingan, perimbangan dan penentuan teks yang asli atau teks yang autoritatif serta pembersihan teks dari segala macam kesalahan. Kritik teks berfungsi memberi evaluasi terhadap teks itu sendiri. Metode kritiks teks berdasarkan jumlah naskah yang dikaji, naskah tunggal dan naskah jamak. Dalam penelitian ini, terdapat dua teks, edisi terbitan menggunakan dua edisi yaitu metode diplomatik dan metode kritis. Edisi diplomatik hendaknya menyajikan teks sama persis seperti terdapat dalam naskah sumber. Edisi diplomatik tidak hanya digunakan untuk menyunting naskah tunggal tapi juga pada naskah jamak. Guna memenuhi 35

36 penggunaan edisi diplomatik diperlukan adanya translitersi mengingat naskah sumber dalam tulisan non-latin. Trasnliterasi merupakan pemindahan dari satu tulisan ketulisan yang lain. Hal-hal dalam transliterasi yang perlu diperhatikan meliputi: pertama mengurai aksara, jika terdapat dua aksara yang menyerupai atau sulit dimengerti berarti unsur interpretasi diperbolehkan masuk; kedua pembagian scriptio continua ; ketiga penggunaan huruf besar; dan keempat struktur sintaksis, diantaranya tanda baca dari naskah, dan juga karakteristik pengejaan baik yang beraturan maupun tidak (S.O. Robson, 1994: 24). Edisi kritis digunakan untuk menghasilkan terbitan dengan perbaikan. Edisi kritis menurut Robson (1994: 25), dipakai untuk membantu pembaca guna mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual yang berkaitan dengan interpretasi pemahaman isi Suntingan Teks dan Aparat Kritik Suntingan teks adalah menyajikan naskah yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat pada naskah yang diteliti atau penyajian teks didasarkan atas beberapa naskah untuk mendapatkan bacaan sesuai bacaan dan paling baik yang dilengkapai oleh aparat kritik. Aparat Kritik adalah catatan yang memuat pertanggungjawaban perbaikan bacaan (semua perbedaan bacaan) (Edwar Djamaris, 2002:37) Penerjemahan Terjemahan adalah pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tujuannya untuk mempermudah pemahaman sehingga teks dapat 36

37 dipahami oleh masyarakat luas (Darusuprapta, 1984:9). Terjemahan dibedakan menjadi tiga yaitu 1) Terjemahan lurus yaitu terjemahan kata demi kata, berguna untuk membandingkan segi ketata-bahasaannya; 2) Terjemahan makna yaitu kalimat yang dungkapkan dalam bahasa sumber dialihkan dengan bahasa sasaran yang sepadan; 3) Terjemahan bebas yaitu keseluruhan teks bahasa sumber dialihkan secara bebas kedalam bahasa sasaran. Dari ketiga jenis penerjemahan di atas yang digunakan dalam menerjemahkan Kakawin Sena adalah terjemahan lurus yang dipadupadankan dengan terjemahan makna. 37

38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Jenis Penelitian Penelitian ini berbentuk penelitian filologi, yang menjadi objek adalah manuskrip. Sifat dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yang berarti semata-mata menggambarkan, melukiskan, menulis, melaporkan, objek penelitian pada saat ini berdasarkan data yang ditemukan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik komparatif atau perbandingan naskah, untuk mendapatkan naskah yang sedapat mungkin mendekati aslinya sesuai dengan tujuan penelitian filologi tradisional. Jenis penelitian tergolong dalam penelitian pustaka (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data, informasi dengan bantuan buku-buku, majalah, naskah-naskah, cetakan-cetakan, kisah sejarah, dan dokumen lain yang relevan (Kartini Kartono, 1983: 28) 3.2 Sumber Data dan Data Menurut katalog naskah Merapi-Merbabu, naskah yang berjudul Kakawin Sena merupakan naskah bendel yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang beralamat di Jalan Salemba Raya No. 28A Jakarta 10430, dengan nomor katalog 154 peti 33.Rol 852/9 dan 167 peti 2.Rol 861/2. Sumber data adalah segala sesuatu yang secara langsung mampu menghasilkan atau memberikan data, dan data adalah sesuatu yang dihasilkan dari 38

39 sumber data. Berdasarkan hal tersebut dapat ditentukan bahwa data adalah Kakawin Sena, sedang sumber data penelitian ini adalah Naskah Bandel dengan nomor katalog 154 peti 33.Rol 852/9 dan 167 peti 2.Rol 861/ Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka (library research) artinya mengumpulkan data dengan cara membaca, menyimak, dan mencatat yang ada dalam objek kajian. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data terbagi menjadi tiga tahap, pertama membaca sumber informasi penelitian berupa katalog yang memuat naskah Merapi- Merbabu yaitu Katalog Naskah Merapi-Merbabu oleh Kartika Setyawati, I. Kuntara Wiryamartana, dan Willem van der Molen (2002), kedua mencatat judul naskah dan keterangan lain serta nomor katalog yang akan diteliti, langkah selanjutnya melacak ke tempat penyimpanan naskah kemudian membuat pengamatan dan deskripsi naskah. Ketiga, menggunakan teknik fotocopy atau fotografi dan teknik transliterasi. Teknik fotocopy dilakukan dengan mencetak rol film yang tersedia di PNRI menggunakan microreader printer kemudian dialih aksarakan, atau dapat juga menggunakan teknik fotografi, yaitu memotret naskah yang tersimpan di PNRI kemudian dialih aksarakan. 3.4 Teknik Analisis Data Langkah selanjutnya adalah menganalisi data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan tinjauan filologis. Analisis filologi melalui 3 tahapan yaitu, 39

40 tahapan analisis diskriptif, komparatif dan interpretasi. Diskriptif, merupakan pendeskripsian naskah secala lengkap dan utuh. Pendeskripsian naskah meliputi: judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan, identitas pengarang atau penyalin, kolofon atau kolofon, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris tiap bait, keadaan naskah, umur naskah, bahasa naskah, bentuk teks, huruf atau aksara, cara penulisan, bahan naskah, dan ikhtisar teks. Teknik yang kedua adalah komparatif, merupakan perbandingan naskah untuk mempermudah penentuan naskah dasar. Perbandingan ini dilakukan untuk menentukan naskah yang dianggap autoritatif, yaitu naskah atau sekelompok naskah yang memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan naskah yang lain seperti tahun penyalinan, kelengkapan isi, bahasa termasuk ejaannya, yang akan digunakan sebagai dasar suntingan teks. Penentuan naskah dasar ini menggunakan metode landasan. Perbadingan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya membandingkan kata per kata dan kelompok kata. Teknik interpretasi, digunakan untuk menginterpretasikan varian-varian dalam kritiks teks dan terjemahan. 40

41 BAB IV ANALISIS DATA Kajian filologis memiliki tujuan menggambarkan, melukiskan, menuliskan, melaporkan objek penelitian pada saat ini, berdasarkan data yang diketemukan atau sebagaimana adanya. Kajian ini terdiri atas indentifikasi naskah atau deskripsi naskah, transliterasi naskah, perbandingan naskah, penentuan naskah dasar, kritiks teks, suntingan dan terjemahan. 4.1 Identifikasi Naskah Tahap awal penelitian filologis adalah mendiskripsikan naskah yang diteliti. Deskripsi naskah yang meliputi: judul, nomor katalog, ukuran naskah, tebal naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, bahasa dan aksara yang digunakan, keadaan naskah, umur naskah, bentuk teks, pengarang atau penyalin, cara penulisan, jumlah baris per halaman, bahan naskah, fungsi sosial, dan ikhtisar naskah (Emuch Hermansoemantri, 1986: 2). Deskripsi naskah dapat membantu dalam memilih naskah yang paling baik untuk ditransliterasikan dan naskah yang digunakan untuk perbandingan. KS1 1. Judul naskah Kakawin Sena. Judul tersurat pada kolofon naskah itiṇṅḍṣḥḃṃṛ kakawin sena ṇṅḍṣḥḃṃṛamakta telas inurat (Lem 10v.3b), yang berarti demikianlah kakawin sena selesai 41

42 ditulis. Penulis atau penyalin naskah menamai naskah yang ditulisnya sebagai Kakawin Sena. Judul juga terdapat pada pengapit lempir yang merupakan tambahan kemudian, yang ditulis dengan tinta hitam. grafik 9 Pengapit naskah 2. Nomor naskah 154 Peti 33.Rol 852/9 Nomor naskah seperti yang terdapat dalam Katalog Naskah Merapi- Merbabu. Nomor katalog tercantum pada bagian pengapit bagian depan. Penomoran berdasarkan peti penyimpanan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Rol menunjukan nomor gulungan negatif (rol film). 3. Tempat penyimpanan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jalan Salemba raya no 28-A Jakarta Pusat Asal naskah Awal mulanya naskah Merapi-Merbabu naskah koleksi pribadi dari Kyai Windusana yang tinggal di lereng gunung Merbabu. Pertama kali 42

43 ditemukan tahun 1822 di rumah Kyai Windusana oleh Bataviaasch Genootschap, dibawa ke Batavia (Jakarta) dan pada tahun 1852 menjadi koleksi Museum Nasional sebelum akhirnya dipindahkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). 5. Keadaan naskah Naskah utuh dan komplit. Naskah cacat atau berlubang dan berceruk pada lempir 3,6,7,8,9, Ukuran naskah Pengapit 39,7 x 3,3 cm Lempir selanjutnya 39,5 x 3,3 cm 7. Tebal naskah 10 lempir Lempir pertama kosong. Penomoran atau pemberian halaman dimulai dari lempir ketiga verso, terdapat 8 halaman. Penomoran mengunakan angka dari aksara buda. Pada margo tengah (di atas lubang tengah) terdapat penomoran yang ditambahkan kemudian menggunakan angka arab yang ditulis menggunakan pensil. 8. Jumlah baris 4 baris. Pada lempir 10 verso hanya terdapat 3 baris. 43

44 9. Huruf, aksara, tulisan Jenis aksara yang digunakan adalah aksara buda atau aksara gunung yang digunakan oleh masyarakat lereng Merapi-Merbabu. Ukuran hurufnya sedang memiliki bentuk tegak lurus. Tulisan mudah dibaca karena ditulis dengan indah, rapi dan jaraknya agak renggang. bekas guratan pengutik tipis atau tajam dengan warna tinta hitam yang terbuat dari minyak kemiri yang dibakar. Untuk pergantian bait penulis menggunakan dua tanda yang tidak lazim yaitu. Tanda yang biasa digunakan adalah grafik 10 grafik Cara penulisan Naskah ditulis di atas lembaran lontar yang lontar jenis tala. Lembarannya tebal, kasar, dan kesat. Penulisan pada kedua naskah dilakukan secara bolak-balik (rekto-verso). Naskah ditulis sejajar kearah panjang lembaran naskah. Pada baris pertama dan baris keempat teks ditulis tanpa putus. Pada baris kedua dan ketiga teks ditulis terputus karena adanya lubang (margo tengah). Teks berbentuk puisi ditulis secara berdampingan lurus. Terdapat tanda batas pemisah bait. Dalam naskah terdapat penomoran naskah mengunakan nomor aksara buda, yang dimulai dari lempir ketiga verso pada 44

45 naskah 154 dan lempir kedua verso pada naskah 167. Pada margo tengah terdapat penomoran yang ditambah kemudian menggunakan angka Arab ditulis menggunakan pensil hanya pada naskah Bahan naskah Naskah menggunakan bahan lontar (borassus flabellifer), yang memiliki lembaran yang tebal, agak kasar dan kesat. 12. Bahasa naskah Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuna. Naskah Merapi-Merbabu berkembang pada abad 16-18, di mana pada lingkungan kraton berkembang karya sastra Jawa Baru, pada masyarakat Merapi-Merbabu masih mengembangkan karya sastra Jawa Kuna. Jauhnya jarak penulisan, minimnya pengetahuan dan percampuran bahasa dan budaya membuat KS1 jauh dari kata sempurna. Begitupun dengan bahasa yang digunakan, lazimnya sebuah kakawin ditulis dengan bahasa Jawa Kuna. Penggunaan bahasa Jawa Kuna merupakan syarat mutlak karya sastra dinamakan kakawin (selain metrum tentunya). Saat kita membaca naskah KS1 kita bisa menebak bahwa penulis atau penyalin berkeinginan untuk menulis karyanya dengan bahasa Jawa Kuna. Hanya saja bahasa Jawa Kuna yang kita temukan dalam naskah KS1 tidak seperti bahasa Jawa Kuna pada umumnya. Jika ada yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam naskah KS1 adalah bahasa Jawa Baru, ini tidak sepenuhnya benar karena bila dilihat dari 45

46 ciri kebahasaan dan kosakata yang digunakan lebih cenderung mengarah pada bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa naskah KS1 menggunakan bahasa Jawa Kuna hanya saja tidak sempurna, dengan perpaduan bahasa Jawa Baru. Selain itu, dalam naskah ditemukan pengaruh bahasa Sunda seperti nu mesat, nu malayu, nu mulih; anu, nu, na memiliki fungsi yang sama dengan yang dalam bahasa Indonesia. Pada naskah ini banyak sisipan nu, na, dan anu yang digunakan. Sebagian ada yang tidak dibaca dari bacaan untuk memenuhi jumlah suku kata sebagian tetap dipertahankan untuk memenuhi jumlah suku kata. Na, anu, nu, dapat berarti yang, demikianlah, lihat, dan jadi. Sebagian bahasa naskah agak sulit dipahami. Hal ini disebabkan banyaknya penggunaan kata yang tidak standard atau baku misal mḍṅṣḥṛʺṙṭgil ditulis mgil (fol 2r. 2b), wĕsy adi ditulis wsy adi (fol 3v. 1b) dan masih banyak lagi. 13. Bentuk teks Naskah berbentuk puisi atau kakawin. Penulis atau penyalin naskah berkeinginan untuk menulis naskah dalam bentuk kakawin. Hanya kakawin yang dihasilkan tidak sempurna. Dalam teks panjang pendeknya metrum tidak dapat diterapkan secara benar, sehingga naskah tidak bisa dikatakan sebagai kakawin. Hal ini dimungkinkan karena jauhnya jarak penulisan dengan masa berkembangnya sastra Jawa Kuna, minimnya pengetahuan penulis atau penyalin mengenai aturan metrum dan percampuran bahasa dan budaya membuat karya sastra masyarakat Merapi-Merbabu jauh dari kata sempurna. 46

47 14. Umur naskah Umur naskah tidak diketahui karena tidak ada kolofon atau kolofon yang menerangkan. Naskah relatif tua hal ini sesuai perkiraan perkembangan naskah Merapi-Merbabu yaitu antara abad 16 hingga abad Pengarang atau penyalin Anonim, di dalam kolofon tidak terdapat informasi tentang penulis atau penyalin naskah. 16. Asal-usul naskah Terjemahan itih kakawin sena ṇṅḍṣḥḃṃṛamakta telas sinurat jĕngira sang hyang giri dĕmalung ibang ṇṅḍṣḥḃṃṛayabya oṇṅḍṣḥḃṃṛ sri swaraswati ya nama swahaṇṅḍṣḥḃṃṛ oṇṅḍṣḥḃṃṛ Demikianlah kakawin sena selesai. Telah ditulis, di kaki Sang Hyang gunung damalung, di sebelah barat laut. Om ḍṅṣḥṛʺṙṭri Saraswati ya nama swahah om Dalam kolofon, dijelaskan bahwa teks ditulis di Gunung Damalung sisi barat laut, yang dalam The scriptoria in the Merapi-Merbabu area (1993) Gunung Damalung digolongkan dalam sisi Gunung Merbabu. Naskah Merapi- Merbabu naskah koleksi pribadi dari Kyai Windusana yang tinggal di lereng gunung Merbabu. Pertama kali ditemukan tahun 1822 di rumah Kyai Windusana oleh Bataviaasch Genootschap, dibawa ke Batavia (Jakarta) dan 47

48 pada tahun 1852 menjadi koleksi Museum Nasional sebelum akhirnya dipindahkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). 17. Fungsi sosial naskah Naskah ini lebih berfungsi sebagai hiburan, dan dapat juga berfungsi sebagai sumber pengetahuan tentang kakawin dan juga pengenalan aksara buda pada masyarakat. Isi teks berisi tentang ruwat. 18. Ikhtisar teks Kisah pengembaraan Sena di hutan dimulai dari lukisan alam di hutan. Kemudian sena bertemu dengan binatang buas dan bertarung dengan binatangbinatang itu. Binatang berubah manjadi dewa dan dewi (Iswara, Narada, Uma). Di akhir cerita para dewa mamberi anugrah aji atau senjata pada Sena, kemudian para dewa kembali ke kahyangan. KS2 1. Judul naskah Kakawin Sena. Judul naskah tidak tersurat seperti halnya KS1. Pada naskah ini ditemukan tanda panjang pendek layaknya sebuah kakawin. Naskah ini bercerita tentang tokoh yang bernama Sena yang sedang melakukan perjalanan ke hutan. Untuk itu diambil kesimpulan bahwa naskah ini berjudul Kakawin Sena. 2. Nomor naskah 48

49 167 Peti 2.Rol 861/2 Nomor naskah seperti yang terdapat dalam Katalog Naskah Merapi- Merbabu. Nomor katalog tercantum pada bagian pengapit bagian depan. Penomoran berdasarkan peti penyimpanan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Rol menunjukan nomor gulungan negatif (rol film). 3. Tempat penyimpanan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jalan Salemba raya no 28-A Jakarta Pusat Asal naskah Naskah Merapi-Merbabu merupakan naskah koleksi pribadi dari Kyai Windusana yang tinggal di lereng gunung Merbabu. Pertama kali ditemukan tahun 1822 di rumah Kyai Windusana oleh Bataviaasch Genootschap, dibawa ke Batavia (Jakarta) dan pada tahun 1852 menjadi koleksi Museum Nasional sebelum akhirnya dipindahkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). 5. Keadaan naskah Naskah utuh Seluruh lempir cacat dan berlubang sehingga menyulitkan pembaca. 6. Ukuran naskah Pengapit dan seluruh lempir berukuran 41,2 x 3,5 cm 49

50 7. Tebal naskah 8 lempir Pada lempir kedelapan verso kosong. Penomoran atau pemberian halaman dimulai dari lempir kedua verso, terdapat 5 halaman.. Penomoran menggunakan angka aksara buda. 8. Jumlah baris 4 baris Pada lempir ke 8 rekto hanya terdapat 2 baris. 9. Huruf, aksara dan Tulisan Jenis aksara yang digunakan adalah aksara buda atau aksara gunung. Ukuran hurufnya sedang tegak lurus. Tulisannya agak sulit dibaca karena goresan tinta terlalu tipis dan naskah dalam keadaan cacat. Warna tinta hitam terbuat dari minyak kemiri yang dibakar. Pergantian bait menggunakan tanda: grafik 12 Tanda ini pada naskah 154 digunakan sebagai tanda pergantian pupuh. 10. Cara penulisan Naskah ditulis di atas lembaran lontar jenis tala. Lembarannya tebal, kasar, dan kesat. Penulisan pada kedua naskah dilakukan secara bolak-balik (rekto-verso). Naskah ditulis sejajar kearah panjang lembaran naskah. Pada 50

51 baris pertama dan baris keempat teks ditulis tanpa putus. Pada baris kedua dan ketiga teks ditulis terputus karena adanya lubang (margo tengah). Teks berbentuk puisi ditulis secara berdampingan lurus. Terdapat tanda batas pemisah bait. Dalam naskah terdapat penomoran naskah mengunakan nomor aksara buda, yang dimulai dari lempir ketiga verso pada naskah 154 dan lempir kedua verso pada naskah 167. Pada margo tengah terdapat penomoran yang ditambah kemudian menggunakan angka Arab ditulis menggunakan pensil hanya pada naskah Bahan naskah Naskah menggunakan bahan lontar dari jenis tala, yang memiliki lembaran yang tebal, agak kasar dan kesat. 12. Bahasa naskah Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuna. Hal ini dilihat dari adanya tanda panjang pendek pada kata, juga pilihan kosa kata yang cenderung masuk dalam golongan bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Kuna yang digunakan tidak seperti bahasa Jawa Kuna yang kita kenal sekarang. Bahasanya telah menerima pengaruh bahasa Jawa Baru dan bahasa Sunda. Tanda panjang pendek yang digunakan tidak dapat dijadikan patokan untuk melakukan perhitungan metrum, karena cenderung tidak sesuai. Naskah Merapi-Merbabu berkembang pada abad 16-18, di mana pada lingkungan kraton berkembang karya sastra Jawa Baru, pada masyarakat Merapi-Merbabu masih mengembangkan karya sastra Jawa Kuna. Jauhnya jarak penulisan, 51

52 minimnya pengetahuan dan percampuran bahasa dan budaya membuat karya sastra masyarakat Merapi-Merbabu jauh dari kata sempurna. Begitupun dengan bahasa yang digunakan bahasa yang digunakan merupakan percampuran antara bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Baru. 13. Bentuk teks Naskah berbentuk puisi atau kakawin. 14. Umur naskah Umur naskah tidak diketahui karena tidak ada kolofon atau kolofon yang menerangkan. Naskah relatif tua hal ini sesuai perkiraan perkembangan naskah Merapi-Merbabu yaitu antara abad 16 hingga abad Pengarang atau penyalin Anonim, di dalam teks tidak terdapat informasi tentang penulis atau penyalin naskah. 16. Asal-usul naskah Dalam teks tidak ditemukan manggala ataupun kolofon yang menyebutkan waktu ataupun tempat penulisan. Naskah Merapi-Merbabu merupakan naskah koleksi pribadi dari Kyai Windusana yang tinggal di lereng gunung Merbabu. Pertama kali ditemukan tahun 1822 di rumah Kyai Windusana oleh Bataviaasch Genootschap, dibawa ke Batavia (Jakarta) dan 52

53 pada tahun 1852 menjadi koleksi Museum Nasional sebelum akhirnya dipindahkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). 17. Fungsi sosial naskah Naskah ini lebih berfungsi sebagai hiburan, dan dapat juga berfungsi sebagai sumber pengetahuan tentang kakawin dan juga pengenalan aksara buda pada masyarakat. Isi naskah bercerita rentang ruwat. 18. Ikhtisar teks Kisah pengembaraan Sena di hutan. Dimulai dari lukisan alam di hutan. Kemudian sena bertempur melawan rasaksa dan berhasil mengalahkannya. Rasaksa berubah menjadi Dewi Ratih. Di akhir cerita Dewi Ratih memberi aji kepada Sena untuk mengalahkan Raja Korawa. 4.2 Penggunaan Metrum dan Bahasa dalam Teks KS1 dan KS2 Kakawin merupakan sastra puisi Jawa Kuna yang memiliki kekang-kekang prosodi (metrum India) dengan pemilihan gaya bahasa yang indah. Konvensi penulisan kakawin sangatlah rumit dan sulit, karena kakawin memiliki struktur formal dalam bentuk, maupun struktur naratifnya khas, konvensi prosidinya dengan pola matra yang diadaptasi dari India. Prosodi adalah aturan persajakan yang didasarkan pada kuantitas matrik atau suku kata. Dalam kakawin memiliki ketentuan sebagai berikut. 1) Setiap bait terdiri dari 4 baris; 2) Jumlah suku kata tiap baris sama; 3) Tiap-tiap bait terikat guru (suara berat, contohnya bhū, suku kata bersuara e dan o, suku kata tertutup, suku kata pendek yang diikuti huruf rangkap seperti, dr, pr, pw, lw, dan lain-lain) diwujudkan dengan dan laghu (suara ringan yaitu suku kata hidup yang tidak panjang contoh mara, kikis, dan madhukaralalita) diwujudkan dengan È. Teks Kakawin Sena berbentuk kakawin, seperti yang disebutkan secara tersurat dalam kolofon teks KS1. Hanya saja metrum (panjang pendek dalam suku kata) tidak digunakan. Naskah KS1 tidak memiliki tanda panjang ataupun pendek, 53

54 seperti halnya dalam sebuah metrum kakawin. Walaupun tidak tanda panjang pendek dalam suku katanya namun setelah dilakukan pengamatan untuk menentukan metrum yang digunakan, maka didapat beberapa larik pada beberapa bait yang memiliki metrum (panjang pendek suku kata karena posisi yang bersangkutan) benar sempurna. Biasanya, metrum benar terdapat pada baris pertama, bait pertama pada setiap pupuh. Tidak semuanya baris pertama memiliki metrum benar sempurna, biasanya ada potongan yang salah walaupun tergolong dalam dominan benar. Pada baris dan bait selanjutnya penulis atau penyalin tidak lagi memperhatikan metrum yang digunakan. Perhitungan metrum dilakukan setelah dilakukan perbaikan bacaan. Perbaikan bacaan mengakibatkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan jumlah suku kata. Selain itu juga mengakibatkan perubahan tanda guru dan laghu. Untuk itu pada terbitan teks dengan perbaikan tidak lagi memperhatikan panjang pendeknya suku kata, terbitan teks dengan perbaikan hanya memperhatikan jumlah suku kata dalam setiap bait. Dengan tidak memperhatikan panjang pendek suku kata, teks KS1 tidak dapat dikatakan sebagai kakawin secara utuh, karena syarat utama sebuah kakawin adalah adanya guru (suara berat) dan lagu (suara ringan). Kesimpulan dari pernyataan di atas adalah, penulis atau penyalin berniat menulis kakawin; akan tetapi penyair tidak lagi memakai (menguasai?) metrum kakawin. Perhatikan contoh dibawah ini: Pupuh I bermetrum sārdulawikriḍṅita dengan pola sebagai berikut : È È È È È È È È È Baris pertama ri ṇṅḍṣḥḃṃṛ sampunya liwat tikaṇṅḍṣḥḃṃṛ jaladi ton tekaṇṅḍṣḥḃṃṛ wana ŋrit magĕng È È È È È È È È È Baris pertama tidak bermasalah, setiap suku kata sesuai dengan metrum. Baris kedua humyaṇṅḍṣḥḃṃṛ swaraniḍṅ paksi munya wurahan wre wandawa sraṇṅḍṣḥḃṃṛ humuṇṅḍṣḥḃṃṛ 54

55 È È È È È È È È Baris kedua potongan kedua tidak sesuai metrum, dari sini dapat dilihat bahwa penulis atau penyalin tidak konsisten dengan metrum yang digunakan. KS1 terbagi ke dalam 7 pupuh. Metrum yang digunakan adalah 1) Sārdulawikriḍṅṣḥṛʺṙṭita, dengan potongan 19 suku kata; 2) Jagaddhita, Ragakusuma, Wahirat, Wwayirat, Kosala, dengan potongan 23 suku kata; 3) Sārdulawikriḍṅṣḥṛʺṙṭita, dengan potongan 19 suku kata; 4) Jaloddhatagati, dengan potongan 12 suku kata; 5) Sārdulawikriḍṅṣḥṛʺṙṭita, dengan potongan 19 suku kata; 6) Girisa, dengan potongan 18 suku kata; 7) Jagaddhita, Ragakusuma, Wahirat, Wwayirat, Kosala dengan potongan 23 suku kata; Sedangkan naskah KS2 memiliki tanda panjang pendek seperti halnya sebuah kakawin. Setelah dilakukan perhitungan tanda panjang pendeknya tidak tepat dan tidak terdapat dalam daftar metrum yang ada. Selain metrum yang menjadi syarat lain sebuah kakawin adalah penggunaan bahasa Jawa Kuna. Kakawin merupakan produk sastra Jawa Kuna, mau tidak mau bahasa yang digunakanpun harus bahasa Jawa Kuna. Naskah KS1 adalah naskah yang ditulis pada perkembangan bahasa Jawa Baru. Hal ini sesuai dengan perkembangan sastra Merapi-Merbabu yang berkembang pada abad Dilihat dari struktur gramatikalnya, bahasa yang digunakan dalam naskah KS1 adalah bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Kuna yang dipakai tidak lagi 55

56 memperhatikan panjang pendek suara vokal. Penulis atau penyalin naskah KS1 tentunya berkeinginan menulis teks KS dengan bahasa Jawa Kuna. Akan tetapi tidak lagi memperhatikan bunti panjang pendek vokal. Apakah hal semacam ini (dihilangkannya bunyi panjang pendek vokal) memang lazim dilakukan oleh penulis di wilayah Merapi-Merbabu pada saat itu? Hal ini belum jelas benar. Dalam naskah KS1 tidak ditemukannya ciri-ciri bahasa Jawa Baru seperti penggunaan awalan ataupun akhiran dipun-, -ipun namun naskah KS1 menerima pengaruh sastra Sunda dengan digunakannya preposisi nu, anu, na yang berarti yang, demikianlah, lihat, dan jadi. Berkaitan dengan tidak adanya panjang pendek, apakah dimungkinkan bentuk ini merupakan perkembangan awal dari kakawin menuju kawi miring. Untuk mengetahui hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut. 4.3 Perbandingan Naskah, Kritik Teks, Suntingan Teks dan Aparat Kritik Perbandingan naskah dilakukan untuk menangani naskah jamak atau lebih dari satu. Perbandingan naskah dilakukan melalui berbagai cara yaitu. 1) Perbandingan kata demi kata, bertujuan untuk membetulkan katakata yang salah atau tidak terbaca, menentukan silsilah naskah, dan mendapatkan teks asli atau terbaik; 2) Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa, bertujuan untuk mengelompokkan cerita dalam beberapa versi dan untuk mendapatkan cerita yang bahasanya lancar dan jelas; 56

57 3) Perbandingan isi cerita bertujuan untuk mendapatkan naskah yang isinya lengkap dan tidak menyimpang serta untuk mengetahui penambahan unsur atau pengurangan unsur yang telah ada dalam naskah semula (Edi S. Ekajati, 1980: 5) Menurut Baried dkk. (1985: 61), kata kritik teks berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, Krinein berarti menghakimi, kriterion berarti dasar penghakiman. Kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya. Kritik teks adalah penyelidikan suatu naskah dari masa lampau dengan tujuan menyusun kembali naskah yang dipandang asli, melalui tahap resensio (penentuan naskah yang dipandang asli dengan membanding-bandingkan yang termasuk satu stema), ekseminasio (naskah yang dianggap paling tinggi kadar keasliannya), dan emandasio (mengembalikan kepada bentuk yang dipandang asli) (Tim Dosen UGM, 1977: 26). Tujuan pokok kritik teks, menurut Paul Maas (1967:1), yaitu the business of textual criticism is to produce a text as close as possible to the original (constitutio textus). Dengan kata lain tujuan kritiks teks adalah menyajikan sebuah teks dalam bentuk seasli aslinya dan betul berdasarkan bukti yang ada dalam naskah yang ada. Suntingan teks adalah menyajikan naskah yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat pada naskah yang diteliti atau penyajian teks didasarkan atas beberapa naskah untuk mendapatkan bacaan yang sesuai 57

58 bacaan dan paling baik yang dilengkapai oleh aparat kritik. Aparat Kritik adalah catatan yang memuat pertanggungjawaban perbaikan bacaan (semua perbedaan bacaan) (Edwar Djamaris, 2002:37) Perbandingan Naskah Perbandingan naskah dilakukan untuk menangani naskah ganda atau lebih dari satu. Perbandingan naskah dilakukan melalui berbagai cara yaitu. 1) Perbandingan kata demi kata. 2) Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa. 3) Perbandingan isi cerita (Edi S. Ekajati, 1980: 5). Sebelum melakukan perbandingan kata terlebih dahulu dilakukan perbandingan pupuh dan bait. KS1 mengacu pada teks Kakawin Sena dengan nomor koleksi 154 Peti 33. KS2 mengacu pada teks Kakawin Sena dengan nomor koleksi 167 Peti 2. Perhatikan tabel perbandingan berikut: KS1 KS2 PUPUH BAIT 1 V V V V V V V V V V V V V V 2 V V V V V V V V V V V V V V 3 V V V V V V V V V V V V 4 V V V V V V V V V V V V 4a v v 5 V V V V V V V V 6 V V V V V V 7 V V V V V V 8 V V V V V V 8a v v 58

59 9 V V V V V V 10 V V V V V 11 V V v V v 12 V V 13 V V 14 V V 15 V V Table 1 Perbandingan pupuh dan bait V v : Bait yang utuh. : Bait tidak utuh atau hanya setengah (2-3 baris per bait) Tabel di atas menunjukan adanya persamaan jumlah pupuh antara kedua teks, begitu juga dengan jumlah bait. Jumlah bait secara keseluruhan antara dua naskah sama yaitu 52,5 bait. KS1 memiliki tujuh pupuh, hanya saja setelah dilakukan perhitungan jumlah baris dan metrum, pupuh empat sama dengan pupuh lima, sehingga dimungkinkan pupuh empat dan pupuh lima sebenarnya satu bait seperti halnya pada teks KS2, begitu juga dengan pupuh delapan dan sembilan, keduanya memiliki jumlah pupuh dan metrum yang sama, sehingga disimpulkan teks KS1 memiliki tujuh pupuh sama dengan KS2 yang juga memiliki tujuh pupuh. Pupuh tiga dan empat pada KS2 tidak memiliki bait dua belas dan delapan hal ini dikarenakan tidak adanya tanda pemisah bait pada bait sebelumnya sehingga bait dua belas dan delapan menjadi satu dengan bait sebelumnya. Secara keseluruhan dari perbandingan pupuh dan bait belum menemukan perbedaan yang berarti. 59

60 Pada kedua teks tersebut memiliki ciri khas yang unik yang tidak akan dijumpai pada teks atau naskah Jawa pada umumnya. Pupuh ke-2 bait ke-4, pupuh ke-3 bait ke-8, memiliki jumlah suku kata yang melebihi dari ketentuan, kelebihan ini dapat dijadikan setengah bait, atau dengan kata lain bait ini memiliki 1,5 bait. Sedangkan pupuh ke-4 bait ke 11, hanya memiliki 3 tiga baris dalam satu baitnya. Kekurangan bait pada pupuh dua, tiga dan empat, tetap dibiarkan apa adanya karena dari segi jalannya cerita tidak ada cerita yang putus ataupun kurang. Hal yang demikian lazim terjadi pada naskah Merapi-Merbabu. Selanjutnya dilakukan perbandingan kata atau kelompok kata, perbandingan ini berfungsi untuk mengetahui naskah mana yang memiliki kesalahan atau kekorupan yang relatif sedikit, agar peneliti dapat menentukan naskah dasar. Untuk mempermudah peneliti memberi beberapa tanda untuk menentukan mengapa sebuah kata atau kelompok kata terpakai sebagai suntingan. 1) Tanda * dipakai untuk kata yang memiliki kebenaran bahasa; 2) Tanda ^ dipakai untuk kata yang memenuhi jumlah suku kata yang dibutuhkan; 3) Tanda ḍṅṣḥṛʺṙṭ dipakai untuk kata yang memenuhi konteks kalimat. Perhatikan tabel berikut: Pupuh KS1 KS2 Suntingan teks Bait 1.1 syaraning Syaraning swaraning* 1.1 wanḍṅṣḥṛʺṙṭaha wanḍṅṣḥṛʺṙṭaha wanḍṅṣḥṛʺṙṭawa* 1.1 mgil mgil mĕrgil* 1.1 e eng ing* 1.2 mapupul mapupul amupul* 1.2 wakoḍṅṣḥṛʺṙṭ waḍṅṣḥṛʺṙṭkoḍṅṣḥṛʺṙṭ waḍṅṣḥṛʺṙṭkoḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.2 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 1.2 malayy malayy malayw* 60

61 1.2 myaḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.3 ḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ ḍṅṣḥṛʺṙṭa ḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.3 kayu kayuḍṅṣḥṛʺṙṭ kayu* 1.3 kapya kapya kapwa* 1.3 panya panya paḍṅṣḥṛʺṙṭnya* 1.4 myasti myaḍṅṣḥṛʺṙṭ tasik myaḍṅṣḥṛʺṙṭ tasik^ 1.4 kumucuk kumucup kumucup* 1.4 jo joḍṅṣḥṛʺṙṭ joḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.4 palya pelyaḍṅṣḥṛʺṙṭ palwa* 1.4 rryat rryak rryak* 1.4 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 1.4 guḍṅṣḥṛʺṙṭnita guḍṅṣḥṛʺṙṭnitaḍṅṣḥṛʺṙṭ guḍṅṣḥṛʺṙṭnita* 1.4 watĕkĕng watĕkiḍṅṣḥṛʺṙṭ watĕkiḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.4 suralaya yuralaya suralaya* 1.5 katĕran kaktĕran katĕran* 1.5 kapita kampita kampita* 1.5 sambu y.ma sambu yama sambu yama* 1.5 kadgada gadgada gadgada* 1.6 tḍṅṣḥṛʺṙṭja tḍṅṣḥṛʺṙṭja tejaḍṅṣḥṛʺṙṭ 1.6 mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.6 puḍṅṣḥṛʺṙṭwya puḍṅṣḥṛʺṙṭwya purwa* 1.6 duŋunira duka ŋuni daŋuniraḍṅṣḥṛʺṙṭ 1.6 yo yogeḍṅṣḥṛʺṙṭ yogeḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 1.7 niraḍṅṣḥṛʺṙṭ nira nira* 1.7 huniŋa hunaŋa huniŋa* 1.7 saktinya usa sakti saktinya^ 1.7 sadyanika sadyānikan sadyanika* 1.7 mamañcan mamancana mamañcana* 1.7 masĕḍṅṣḥṛʺṙṭ. masĕḍṅṣḥṛʺṙṭ. maḍṅṣḥṛʺṙṭseh* 1.7 rya. rya. rwa* 1.8 danya ka danye kā denya kaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.8 masĕḍṅṣḥṛʺṙṭ maḍṅṣḥṛʺṙṭseḍṅṣḥṛʺṙṭ maḍṅṣḥṛʺṙṭseh* 1.8 sahhasa sahaḍṅṣḥṛʺṙṭsa sahasa* 1.8 cumuduk cumuduk cumunduk* 1.8 tanya tanayāḍṅṣḥṛʺṙṭ tanayaḍṅṣḥṛʺṙṭ 1.8 kroda krodaḍṅṣḥṛʺṙṭ kroda* 1.8 suḍṅṣḥṛʺṙṭsena susena susenaḍṅṣḥṛʺṙṭ 1.9 tanḍṅṣḥṛʺṙṭyaḍṅṣḥṛʺṙṭ tanḍṅṣḥṛʺṙṭyaḍṅṣḥṛʺṙṭ tandwa* 1.9 muḍṅṣḥṛʺṙṭca muḍṅṣḥṛʺṙṭ murcaḍṅṣḥṛʺṙṭ 1.9 ambara amahara ambara* 1.9 malyu maluy malayu* 1.9 nadeḍṅṣḥṛʺṙṭ naradeḍṅṣḥṛʺṙṭ naradeḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 1.9 dan dan hadan^ 1.10 samakta samakta samapta* 61

62 1.10 myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mawḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.10 nabda nabwaŋ nabda* 1.10 hiḍṅṣḥṛʺṙṭ hin iḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.10 samakta samakta samapta* 1.11 makeḍṅṣḥṛʺṙṭ makweḍṅṣḥṛʺṙṭ makweḍṅṣḥṛʺṙṭ* 1.11 meŋaḍṅṣḥṛʺṙṭ meŋaḍṅṣḥṛʺṙṭ mĕhah* 1.11 bibiḍṅṣḥṛʺṙṭnire kayuyun biḍṅṣḥṛʺṙṭiḍṅṣḥṛʺṙṭnireki yunyun bibinire kayungyun* 1.11 aŋajap aŋajḍṅṣḥṛʺṙṭp angajap* 1.11 mawḍṅṣḥṛʺṙṭda nireḍṅṣḥṛʺṙṭ kakuḍṅṣḥṛʺṙṭ mawḍṅṣḥṛʺṙṭda ni rekna mawĕrda nireng kaḍṅṣḥṛʺṙṭ kakungḍṅṣḥṛʺṙṭ 1.11 myaḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwang* 1.11 hĕn hĕn hĕnti^ 1.11 katuna kantuna kantuna* 1.11 hantĕnya hajtĕnya hantĕnya* 1.11 bihi bihi bibiḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.1 riḍṅṣḥṛʺṙṭ ri riḍṅṣḥṛʺṙṭ* 2.1 wurinira wurinya wurinira^ 2.1 kapapgan kapgān kapapĕgan* 2.1 isyara isyara iswara* 2.1 manĕkuḍṅṣḥṛʺṙṭ manikuḍṅṣḥṛʺṙṭ manĕkuḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.1 tyasira tnyaḍṅṣḥṛʺṙṭ sira tyas siraḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.1 kawaḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭna kahawĕriḍṅṣḥṛʺṙṭ kawarnaḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.1 amurang murang murang murang amurang murang^ 2.2 lwaḍṅṣḥṛʺṙṭ lyaḍṅṣḥṛʺṙṭ lwah* 2.2 tpiniḍṅṣḥṛʺṙṭ tpīnni tpining* 2.2 raḍṅṣḥṛʺṙṭkaḍṅṣḥṛʺṙṭŋ rakaŋ raḍṅṣḥṛʺṙṭkaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 2.2 samya samyam samya* 2.2 kilusuḍṅṣḥṛʺṙṭ giḍṅṣḥṛʺṙṭlusuḍṅṣḥṛʺṙṭ kilusu* 2.2 ahimba ahĕba ahimba* 2.2 suwaḍṅṣḥṛʺṙṭ suwaḍṅṣḥṛʺṙṭ suhun* 2.2 skariḍṅṣḥṛʺṙṭ raruh skaḍṅṣḥṛʺṙṭ sisa susūḍṅṣḥṛʺṙṭ sĕkariḍṅṣḥṛʺṙṭ lahruḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.2 handul hanḍṅṣḥṛʺṙṭal andulḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.2 aneḍṅṣḥṛʺṙṭ lan naḍṅṣḥṛʺṙṭ aneḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.3 cigaragat cĕḍṅṣḥṛʺṙṭgaragāt cigaragat* 2.3 haneḍṅṣḥṛʺṙṭka haneknya haneḍṅṣḥṛʺṙṭka* 2.3 riḍṅṣḥṛʺṙṭ ri riḍṅṣḥṛʺṙṭ* 2.3 cucakrawa cukcakrawa cucakrawa* 2.3 mabanḍṅṣḥṛʺṙṭuḍṅṣḥṛʺṙṭŋ mabaḍṅṣḥṛʺṙṭcuḍṅṣḥṛʺṙṭŋ mabanḍṅṣḥṛʺṙṭuḍṅṣḥṛʺṙṭ* 2.3 kalaŋyann kalaŋyann kalangkyang* 2.3 dyan iḍṅṣḥṛʺṙṭgala denni wḍṅṣḥṛʺṙṭan inggala^ 2.3 nanambĕḍṅṣḥṛʺṙṭ anambëḍṅṣḥṛʺṙṭ anambĕrḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.3 kumlab kunlab kumlab* 2.3 denniḍṅṣḥṛʺṙṭ denni deniḍṅṣḥṛʺṙṭ* 2.3 sawaŋ i sawaḍṅṣḥṛʺṙṭŋ iŋ sawaŋ i* 62

63 2.4 sela sena selaḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 gĕ gĕ gĕḍṅṣḥṛʺṙṭ* 2.4 ri riḍṅṣḥṛʺṙṭ riḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 lyaḍṅṣḥṛʺṙṭ lyaḍṅṣḥṛʺṙṭ lwah* 2.4 manjĕrum i manjĕrum iḍṅṣḥṛʺṙṭ manjĕrum iḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 iḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭsa i maŋsa iḍṅṣḥṛʺṙṭ maŋsaḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 maŋusi maŋuḍṅṣḥṛʺṙṭsi maŋusiḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 sasaran sasaran asasaranḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 mya myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 2.4 mwaḍṅṣḥṛʺṙṭsa pakuḍṅṣḥṛʺṙṭŋ maŋḍṅṣḥṛʺṙṭa pākaŋ maḍṅṣḥṛʺṙṭsa pakuḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 muḍṅṣḥṛʺṙṭti muḍṅṣḥṛʺṙṭtiḍṅṣḥṛʺṙṭ murti* 2.4 iḍṅṣḥṛʺṙṭ i iḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4 lyaḍṅṣḥṛʺṙṭ lyaḍṅṣḥṛʺṙṭ lwah* 2.4a ŋraḍṅṣḥṛʺṙṭ iḍṅṣḥṛʺṙṭ raḍṅṣḥṛʺṙṭ i ŋraḍṅṣḥṛʺṙṭ iḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4a wayut wayut wagyutḍṅṣḥṛʺṙṭ 2.4a draya driya driyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.1 pasasaran pasasaran asasaran* 3.1 samun semun samun* 3.1 ḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ raḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ rĕngrĕng* 3.1 lĕsĕs ḍṅṣḥṛʺṙṭsis lĕsĕs* 3.1 karoya karoya karonyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.1 bulu bulya bulu* 3.1 magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ mage magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ * 3.1 gurda gĕ maluhuḍṅṣḥṛʺṙṭ maluhuḍṅṣḥṛʺṙṭ gurda gĕḍṅṣḥṛʺṙṭ maluhuḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 3.1 sakyeniḍṅṣḥṛʺṙṭ sakweḍṅṣḥṛʺṙṭniḍṅṣḥṛʺṙṭ sakweḍṅṣḥṛʺṙṭniḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.1 ika iḍṅṣḥṛʺṙṭka ika* 3.2 latri latri ratri* 3.2 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 3.2 widi widi widyutḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.2 widi ha ḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭit widi saha ḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭit widyut saha ḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭitḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.2 myaḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwang* 3.3 niyan niyan nihan* 3.3 wanira wanira wandiraḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.3 waḍṅṣḥṛʺṙṭ waḍṅṣḥṛʺṙṭ wwang* 3.3 gandaḍṅṣḥṛʺṙṭnira ganḍṅṣḥṛʺṙṭannya gandanira^ 3.3 mure mure mare mare mure mure* 3.4 haḍṅṣḥṛʺṙṭsaḍṅṣḥṛʺṙṭ haḍṅṣḥṛʺṙṭsaḍṅṣḥṛʺṙṭ hangsyaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.4 wagra wagra wyagra* 3.4 guḍṅṣḥṛʺṙṭ guḍṅṣḥṛʺṙṭ aguḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 3.4 hasraḍṅṣḥṛʺṙṭ hasyaḍṅṣḥṛʺṙṭ sraḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 3.4 ḍṅṣḥṛʺṙṭbut haḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭbut rĕbut^ 3.4 wahika wahika wahisa* 3.4 maŋan limpa dagiḍṅṣḥṛʺṙṭ lan ati maŋan limpa lan ati maŋan limpa dagiḍṅṣḥṛʺṙṭ lan ati^ 63

64 3.4 minisaya minasaya minasaha* 3.4 deniḍṅṣḥṛʺṙṭ deḍṅṣḥṛʺṙṭni deniḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.4 sawĕknya sawĕknya sawaknya* 3.4 hasraḍṅṣḥṛʺṙṭ rinbut deniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ deniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ hasraḍṅṣḥṛʺṙṭ rinĕbut deniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 3.4 hajag haja hajag* 3.4 hana wĕknya na wĕknya hana wĕknya^ 3.5 ika rika ikaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.5 taḍṅṣḥṛʺṙṭkilnya takĕlnya taḍṅṣḥṛʺṙṭkilnya* 3.5 gĕḍṅṣḥṛʺṙṭ gĕḍṅṣḥṛʺṙṭ magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 3.5 watĕk matek watĕk* 3.5 kḍṅṣḥṛʺṙṭsḍṅṣḥṛʺṙṭsniḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭsḍṅṣḥṛʺṙṭsni karĕsrĕsniḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.5 kaḍṅṣḥṛʺṙṭ taḍṅṣḥṛʺṙṭ kaḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.5 wyaḍṅṣḥṛʺṙṭ wyaḍṅṣḥṛʺṙṭ wwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.6 hiḍṅṣḥṛʺṙṭ soriḍṅṣḥṛʺṙṭ hi sorrin hiḍṅṣḥṛʺṙṭ soriḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.6 pakĕḍṅṣḥṛʺṙṭĕkan hatĕḍṅṣḥṛʺṙṭkĕkaḍṅṣḥṛʺṙṭ pakĕḍṅṣḥṛʺṙṭĕkanḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.6 humaliḍṅṣḥṛʺṙṭ humili humiliḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.6 maḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.6 ri nuḍṅṣḥṛʺṙṭgiḍṅṣḥṛʺṙṭ ri nuŋiḍṅṣḥṛʺṙṭ ri nuḍṅṣḥṛʺṙṭgi iḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.6 naḍṅṣḥṛʺṙṭtunya ganartunnya 3.6 maḍṅṣḥṛʺṙṭsĕḍṅṣḥṛʺṙṭ ŋisiḍṅṣḥṛʺṙṭ maḍṅṣḥṛʺṙṭsĕhḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.6 ḍṅṣḥṛʺṙṭiḍṅṣḥṛʺṙṭgat garagasan sigat karagasan ḍṅṣḥṛʺṙṭiḍṅṣḥṛʺṙṭgat garagasan* 3.6 maŋlempḍṅṣḥṛʺṙṭt maḍṅṣḥṛʺṙṭlemprak maŋlemprĕt* 3.6 muluḍṅṣḥṛʺṙṭ muliḍṅṣḥṛʺṙṭ mulurḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.6 paḍṅṣḥṛʺṙṭanya pajanya paḍṅṣḥṛʺṙṭinyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.6 kesa kesya kesa* 3.7 lilaḍṅṣḥṛʺṙṭ lila lila ḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.7 tyasnya tnyas tyasnya^ 3.7 surusud surusud sinud* 3.7 lumiyat lumiyat lumihat* 3.7 sahana sahena sahana* 3.7 keli kelik kelik kelik kĕli kĕlik* 3.7 matumpaḍṅṣḥṛʺṙṭ matuha matumpaḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.7 tyasnya tnyasnya tyasnya* 3.7 magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ magĕḍṅṣḥṛʺṙṭ maḍṅṣḥṛʺṙṭgĕh* 3.8 pakĕḍṅṣḥṛʺṙṭĕkan heḍṅṣḥṛʺṙṭĕkan pakĕḍṅṣḥṛʺṙṭĕkan^ 3.8 latri latri ratri* 3.8 awanḍṅṣḥṛʺṙṭa awanḍṅṣḥṛʺṙṭa kawanḍṅṣḥṛʺṙṭa* 3.8 gya gyat gyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.8 kutupuk kukupuk kutupuk* 3.8 deŋan daŋan ḍṅṣḥṛʺṙṭĕngĕnḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.8 yatri yatri ratri* 3.8 apupu lwir apuḍṅṣḥṛʺṙṭul ldiḍṅṣḥṛʺṙṭ apupul lwir* 3.8 baḍṅṣḥṛʺṙṭniḍṅṣḥṛʺṙṭ baḍṅṣḥṛʺṙṭniḍṅṣḥṛʺṙṭ bahni* 3.8 murub muruḍṅṣḥṛʺṙṭ murub* 64

65 3.8a meguḍṅṣḥṛʺṙṭ mageḍṅṣḥṛʺṙṭ maguḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.8a lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ ldiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 3.8a kapya kapya kapwa* 3.8a miḍṅṣḥṛʺṙṭguḍṅṣḥṛʺṙṭ miguḍṅṣḥṛʺṙṭ miḍṅṣḥṛʺṙṭguḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.8a ryan ryan rwan* 3.8a ruryan rurya ruru* 3.9 ḍṅṣḥṛʺṙṭumawuḍṅṣḥṛʺṙṭ ḍṅṣḥṛʺṙṭumamawaḍṅṣḥṛʺṙṭ ḍṅṣḥṛʺṙṭumawuh^ 3.9 makĕcĕḍṅṣḥṛʺṙṭhan makejehan makĕcĕhan* 3.9 masya masya maksya* 3.9 kawada kawanba kawada* 3.9 ayun ayan ayun* 3.9 myaḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.9 ta taḍṅṣḥṛʺṙṭ taḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.9 sahasa ŋrubuḍṅṣḥṛʺṙṭŋi saha haŋrabuŋi sahasa ŋrubuḍṅṣḥṛʺṙṭŋiḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.9 tka bapang tka bapan ndhĕpaplangḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.9 maŋidĕri myaḍṅṣḥṛʺṙṭŋ idĕri maŋidĕriḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.9 sabdanya nabḍṅṣḥṛʺṙṭannya sabdanyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.9 ŋaken haḍṅṣḥṛʺṙṭgĕn ŋakenḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.10 gripa teks rusak griwaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.10 sumusaḍṅṣḥṛʺṙṭ sumasaḍṅṣḥṛʺṙṭ sumuḍṅṣḥṛʺṙṭsaḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.10 rambutnya rembutnya rambutnya* 3.10 mya myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.10 luhuḍṅṣḥṛʺṙṭriḍṅṣḥṛʺṙṭ luhuḍṅṣḥṛʺṙṭri luhuriḍṅṣḥṛʺṙṭ* 3.10 kayyan kayyan kaywan* 3.10 maḍṅṣḥṛʺṙṭŋrik myaḍṅṣḥṛʺṙṭŋrik maḍṅṣḥṛʺṙṭkrik* 3.10 syaraḍṅṣḥṛʺṙṭning syaraḍṅṣḥṛʺṙṭning swaraning* 3.10 banḍṅṣḥṛʺṙṭaluŋan maḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭaluŋan banḍṅṣḥṛʺṙṭaluŋan* 3.11 kuranḍṅṣḥṛʺṙṭa kureḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭa kuranḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.11 wewe dewa weweḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.11 asraḍṅṣḥṛʺṙṭ aprang asraḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.11 hepek epek hepeg kakapek hepek epek^ 3.12 gandaḍṅṣḥṛʺṙṭwo kanḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭwo gandaḍṅṣḥṛʺṙṭwoḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.12 bowoḍṅṣḥṛʺṙṭ bawoḍṅṣḥṛʺṙṭ bowoḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.12 popotiḍṅṣḥṛʺṙṭ ḍṅṣḥṛʺṙṭepetiḍṅṣḥṛʺṙṭ popotiḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.12 ḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭkiknya papaḍṅṣḥṛʺṙṭtiknya rĕrĕḍṅṣḥṛʺṙṭkiknyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.12 hajĕliḍṅṣḥṛʺṙṭ hajiliḍṅṣḥṛʺṙṭ hajĕlihḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.12 bujaḍṅṣḥṛʺṙṭnya bugarnya bugarnyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.13 kalawan lawan kalawan^ 3.13 kukuk bawil kukuk bawiḍṅṣḥṛʺṙṭ kukuk bawilḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.13 ummaḍṅṣḥṛʺṙṭsĕḍṅṣḥṛʺṙṭ humasiḍṅṣḥṛʺṙṭ humaḍṅṣḥṛʺṙṭsĕh* 3.13 ciciḍṅṣḥṛʺṙṭnya ciciḍṅṣḥṛʺṙṭnya cicinyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.13 wijilira wijiliḍṅṣḥṛʺṙṭ wijilira^ 3.13 hasura basura hasurakḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.13 haḍṅṣḥṛʺṙṭgurumuḍṅṣḥṛʺṙṭ hagurumuḍṅṣḥṛʺṙṭ Haḍṅṣḥṛʺṙṭguru humuḍṅṣḥṛʺṙṭ* 65

66 3.13 mayagĕm maŋagĕm maŋagĕm* 3.14 dan sekama nda yekama dan sekamaḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.14 mawata mawata mawwata* 3.14 paḍṅṣḥṛʺṙṭeḍṅṣḥṛʺṙṭekoḍṅṣḥṛʺṙṭ hetumekoḍṅṣḥṛʺṙṭ paḍṅṣḥṛʺṙṭeḍṅṣḥṛʺṙṭekoḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.14 taḍṅṣḥṛʺṙṭn talĕnan talĕnan^ 3.14 yagĕm ygemm hagĕm* 3.14 hasura hasura hasurakḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.14 hanarumbul hanarumbuḍṅṣḥṛʺṙṭ hanarumbul* 3.14 hanuwal uwal hanuwul^ 3.14 datan tan datan^ 3.14 rasĕksa rasakḍṅṣḥṛʺṙṭa rasĕksa* 3.14 kyeḍṅṣḥṛʺṙṭ kdeḍṅṣḥṛʺṙṭ kweh* 3.14 humasĕḍṅṣḥṛʺṙṭ humaḍṅṣḥṛʺṙṭsiḍṅṣḥṛʺṙṭ humaḍṅṣḥṛʺṙṭsĕhḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.15 kayyan kayyun kaywan* 3.15 syuḍṅṣḥṛʺṙṭ syaḍṅṣḥṛʺṙṭ syuhḍṅṣḥṛʺṙṭ 3.15 akĕtĕran dakĕtĕran akĕtĕran* 4.1 umasĕḍṅṣḥṛʺṙṭ umaḍṅṣḥṛʺṙṭsĕḍṅṣḥṛʺṙṭ humaḍṅṣḥṛʺṙṭsĕḍṅṣḥṛʺṙṭ* 4.1 ganal gana ganalḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.1 sireḍṅṣḥṛʺṙṭ sire sireḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.1 banohara banehara manohara* 4.1 manusa manasa manusaḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.1 tuwagana tuwagana tuhagana* 4.2 bahuka bahuki baḍṅṣḥṛʺṙṭuka bapuki bahuka bahukiḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.2 batapa ḍṅṣḥṛʺṙṭetapi betapa betapik batapa ḍṅṣḥṛʺṙṭetapiḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.2 caḍṅṣḥṛʺṙṭaka caḍṅṣḥṛʺṙṭaki canadaknya si Caḍṅṣḥṛʺṙṭaka caḍṅṣḥṛʺṙṭakiḍṅṣḥṛʺṙṭ kĕdik 4.3 si laġĕni si nagni si laġĕni^ 4.3 samay samay samya* 4.3 si latĕna si latĕni si lantana si si latĕna si latĕni* laḍṅṣḥṛʺṙṭntini 4.3 si nada si janada si janada^ 4.3 panĕmpal panĕmpil banim panĕmpal panĕmpil^ paḍṅṣḥṛʺṙṭanĕmpil 4.3 madugaḍṅṣḥṛʺṙṭ madugiḍṅṣḥṛʺṙṭ maduguḍṅṣḥṛʺṙṭ madugaḍṅṣḥṛʺṙṭ madugiḍṅṣḥṛʺṙṭ* madugiḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.4 si lĕḍṅṣḥṛʺṙṭi si baḍṅṣḥṛʺṙṭi si ḍṅṣḥṛʺṙṭncisi si banḍṅṣḥṛʺṙṭi Si lĕḍṅṣḥṛʺṙṭi si baḍṅṣḥṛʺṙṭi^ 4.4 si ḍṅṣḥṛʺṙṭĕlek si ḍṅṣḥṛʺṙṭorek si dĕrĕk si jerëk si ḍṅṣḥṛʺṙṭĕlek si ḍṅṣḥṛʺṙṭorek* 4.4 si guraḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ si garanḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ si guraḍṅṣḥṛʺṙṭahḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.4 si logeyaḍṅṣḥṛʺṙṭ si goḍṅṣḥṛʺṙṭowor si loḍṅṣḥṛʺṙṭgeyaḍṅṣḥṛʺṙṭ si gonḍṅṣḥṛʺṙṭowoḍṅṣḥṛʺṙṭ si logeyaḍṅṣḥṛʺṙṭ si goḍṅṣḥṛʺṙṭoworḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.4 si lenḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ si kolentaḍṅṣḥṛʺṙṭ si kolentaḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 4.5 galaḍṅṣḥṛʺṙṭga luḍṅṣḥṛʺṙṭgu galaŋgaḍṅṣḥṛʺṙṭ galaŋgaḍṅṣḥṛʺṙṭ galuŋguḍṅṣḥṛʺṙṭ^ galuŋguḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.5 sire sireḍṅṣḥṛʺṙṭ sireḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.5 macak mancak mancakḍṅṣḥṛʺṙṭ 66

67 4.5 kĕḍṅṣḥṛʺṙṭĕkĕḍṅṣḥṛʺṙṭ wĕḍṅṣḥṛʺṙṭ kĕḍṅṣḥṛʺṙṭĕkkep dra kĕḍṅṣḥṛʺṙṭĕkĕḍṅṣḥṛʺṙṭ wĕḍṅṣḥṛʺṙṭ^ wĕḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.5 regek regek ragak regek regek regekḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.6 si raŋga bajaḍṅṣḥṛʺṙṭ si raga bajaḍṅṣḥṛʺṙṭ Si raŋga bajaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 4.6 caraḍṅṣḥṛʺṙṭ acaraḍṅṣḥṛʺṙṭ acaraḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 4.6 si koḍṅṣḥṛʺṙṭana ḍṅṣḥṛʺṙṭana si keḍṅṣḥṛʺṙṭtana kaḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭana si konḍṅṣḥṛʺṙṭana kaḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭana^ 4.6 kulunḍṅṣḥṛʺṙṭuḍṅṣḥṛʺṙṭ kulunjaḍṅṣḥṛʺṙṭ kulunḍṅṣḥṛʺṙṭuḍṅṣḥṛʺṙṭ* 4.6 anuŋsaḍṅṣḥṛʺṙṭ aḍṅṣḥṛʺṙṭnuḍṅṣḥṛʺṙṭ hanuŋsaḍṅṣḥṛʺṙṭ^ 4.6 asaḍṅṣḥṛʺṙṭgya araḍṅṣḥṛʺṙṭŋgya saḍṅṣḥṛʺṙṭgya^ 4.7 hadukkaḍṅṣḥṛʺṙṭ andakku hadugaḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 4.7 manahut anahut manahut* 4.7 tĕkĕl tikĕl tikĕl* 4.7 puḍṅṣḥṛʺṙṭgĕl puḍṅṣḥṛʺṙṭgeġ puḍṅṣḥṛʺṙṭgĕl* 4.7 pukpak pukpuk pukpak* 4.8 kewran kawran kewran* 4.8 tyasira tĕwas sira tyasiraḍṅṣḥṛʺṙṭ 5.1 dinuḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ dinuḍṅṣḥṛʺṙṭut dinuḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 5.1 ranaḍṅṣḥṛʺṙṭkab binanak rinakabinubak ranaḍṅṣḥṛʺṙṭkab binanak* 5.1 tubyan turyan tĕbuḍṅṣḥṛʺṙṭ 5.3 hawḍṅṣḥṛʺṙṭg bawrag hawĕrĕgḍṅṣḥṛʺṙṭ 5.3 rahin rahina rahina^ 5.3 wirota jalu wiretap jale wirota jalu* 5.3 dagati dagati jagatiḍṅṣḥṛʺṙṭ 6.1 kroda kaneda kroda^ 6.1 mawrinwrin mawrindrin mawrinwrin* 6.1 gimbalare gimbal laŋurë gimbal lare^ 6.1 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ ldiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 6.2 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ liḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 6.2 manḍṅṣḥṛʺṙṭĕg manḍṅṣḥṛʺṙṭĕg maḍṅṣḥṛʺṙṭĕgḍṅṣḥṛʺṙṭ 6.2 dadya dadra dadya* 6.2 myaḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 6.2 ganyak ganya ganyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 6.2 se sasar ika mukseḍṅṣḥṛʺṙṭ sasaḍṅṣḥṛʺṙṭ muksĕḍṅṣḥṛʺṙṭ sasar ikaḍṅṣḥṛʺṙṭ tika 6.2 cĕp ni muyya ciptaḍṅṣḥṛʺṙṭniḍṅṣḥṛʺṙṭ malya Cĕp muni munyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 6.2 ḍṅṣḥṛʺṙṭp ḍṅṣḥṛʺṙṭp rĕrĕp* 7.1 tmahan tĕmiḍṅṣḥṛʺṙṭhan tĕmahan* 7.1 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ ldiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 7.1 soḍṅṣḥṛʺṙṭ ḍṅṣḥṛʺṙṭiḍṅṣḥṛʺṙṭ sorḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.1 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ ldiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 7.1 araras raras araras^ 7.1 arum manya rumnya rum maya^ 7.1 liriŋe liriḍṅṣḥṛʺṙṭŋeŋ liriŋeḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.1 alindri ya lindrinnya lindri ya^ 67

68 7.2 romanya remannya romanya* 7.2 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ rema iḍṅṣḥṛʺṙṭ rima lwir remaḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.2 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ ldiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 7.2 sasat saksat sasatḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.3 yen ya yenḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.3 lyiḍṅṣḥṛʺṙṭ ldiḍṅṣḥṛʺṙṭ lwir* 7.3 sasat sakḍṅṣḥṛʺṙṭat sasatḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.4 haŋganya jaganya haŋganyaḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.4 nipuna nipun nipuna^ 7.4 heḍṅṣḥṛʺṙṭ haḍṅṣḥṛʺṙṭ iḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 7.4 wagĕd wagĕḍṅṣḥṛʺṙṭda wagĕd^ 8.1 carita ri nnanira carita riḍṅṣḥṛʺṙṭ waḍṅṣḥṛʺṙṭnaḍṅṣḥṛʺṙṭnira carita riḍṅṣḥṛʺṙṭ waḍṅṣḥṛʺṙṭnanira^ 8.1 hyaḍṅṣḥṛʺṙṭ apsari hyaḍṅṣḥṛʺṙṭ beseri hyaḍṅṣḥṛʺṙṭ apsariḍṅṣḥṛʺṙṭ 8.1 tan paḍṅṣḥṛʺṙṭliḍṅṣḥṛʺṙṭ ta myaḍṅṣḥṛʺṙṭliḍṅṣḥṛʺṙṭ tan paḍṅṣḥṛʺṙṭliḍṅṣḥṛʺṙṭ* 8.1 lĕgĕk tgĕg lĕgĕg* 8.1 tiŋalira tiŋaliḍṅṣḥṛʺṙṭ tiŋalira^ 8.1 kratawara kratawara krĕtawaraḍṅṣḥṛʺṙṭ 8.2 ḍṅṣḥṛʺṙṭlingnyapsari ḍṅṣḥṛʺṙṭlingnya yura nglingnya sang hyang apsari^ 8.2 ya gadgada ya gadga gadgada^ 8.2 haji sraji aji* 8.2 myaḍṅṣḥṛʺṙṭ myaḍṅṣḥṛʺṙṭ mwaḍṅṣḥṛʺṙṭ* 8.2 banda bindinira banjinira banda bindinira^ 9.1 dya dyaḍṅṣḥṛʺṙṭ dwaḍṅṣḥṛʺṙṭ 9.1 tayanira tayanira tyas siraḍṅṣḥṛʺṙṭ 9.1 gadanniḍṅṣḥṛʺṙṭreki gadaḍṅṣḥṛʺṙṭnireki gadanireki* 9.1 maga malawa maga^ 9.1 huḍṅṣḥṛʺṙṭgyanya hugyannya huḍṅṣḥṛʺṙṭgyanya* 9.2 riḍṅṣḥṛʺṙṭ ri riḍṅṣḥṛʺṙṭḍṅṣḥṛʺṙṭ 9.2 atandyaḍṅṣḥṛʺṙṭ atandyaḍṅṣḥṛʺṙṭ atandya* 9.2 yyaḍṅṣḥṛʺṙṭ isyara yyaḍṅṣḥṛʺṙṭ isyara hyaḍṅṣḥṛʺṙṭ iswara* 9.3 hiriḍṅṣḥṛʺṙṭ ŋrariḍṅṣḥṛʺṙṭ hiriḍṅṣḥṛʺṙṭ* 9.3 tawukan tawukan tarukanḍṅṣḥṛʺṙṭ 9.3 sĕkĕl skĕg sĕkĕlḍṅṣḥṛʺṙṭ 9.3 saḍṅṣḥṛʺṙṭ kuti saḍṅṣḥṛʺṙṭ kuḍṅṣḥṛʺṙṭti saḍṅṣḥṛʺṙṭ kuntiḍṅṣḥṛʺṙṭ 9.3 tisnaniḍṅṣḥṛʺṙṭ tisnaniḍṅṣḥṛʺṙṭ tḍṅṣḥṛʺṙṭsḍṅṣḥṛʺṙṭaḍṅṣḥṛʺṙṭ Kolofon itih kakawin sena ḍṅṣḥṛʺṙṭamakta telas itih sena cucuḍṅṣḥṛʺṙṭatan Table 2 Perbandingan kata per kata dan kelompok kata itih kakawin sena ḍṅṣḥṛʺṙṭamakta telas 68

69 Naskah dasar untuk perbaikan teks dan suntingan teks adalah KS1, dengan alasan teks KS1 memiliki kesalahan dan kekorupan yang relatif sedikit dibanding dengan teks KS2. Dengan perhitungan perbandingan naskah KS1 memiliki jumlah benar sebanyak 157, sedangkan naskah KS2 sebanyak 38. Dari segi metrum KS1 lebih banyak mendekati kebenaran dibanding dengan teks KS2, walaupun KS2 banyak menggunakan tanda panjang dan pendek namun tanda tersebut tidak membantu dalam perhitungan metrum. Selain itu teks KS1 lebih mudah dibaca dan utuh atau mengalami kerusakan lebih sedikit dibandingkan KS Terbitan Teks Diplomatik Kakawin Sena terdapat dua naskah yang keduanya akan diterbitkan secara diplomatik. Metode ini digunakan mengingat masih sedikitnya penelitian mengenai naskah Merapi-Merbabu juga karena adanya perbedaan huruf dengan naskah Jawa pada umumnya. Edisi diplomatik yaitu menyajikan teks sama persis seperti terdapat dalam naskah sumber. Edisi diplomatik tidak hanya digunakan untuk menyunting naskah tunggal tapi juga pada naskah jamak. Guna memenuhi penggunaan edisi diplomatik diperlukan adanya translitersi mengingat naskah sumber dalam tulisan non-latin. Trasnliterasi merupakan pemindahan dari satu tulisan ketulisan yang lain. Hal-hal dalam transliterasi yang perlu diperhatikan meliputi: pertama mengurai aksara, jika terdapat dua aksara yang menyerupai atau sulit dimengerti berarti unsur interpretasi diperbolehkan masuk; kedua pembagian scriptio continua ; ketiga penggunaan huruf besar; dan keempat 69

70 struktur sintaksis, diantaranya tanda baca dari naskah, dan juga karakteristik pengejaan baik yang beraturan maupun tidak (S.O. Robson, 1994: 24). Terbitan diplomatik dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut : 1) Sistem transliterasi mengikuti sistem yang dipakai oleh I. Kuntara Wiryamartana tanpa mengalami perubahan. (lihat lampiran II) 2) Urutan lempir (lempir disingkat: Lem ) mengikuti urutan berdasarkan tatanan lempir. 3) Disajikan transliterasi berdasarkan halaman dan baris: a. Dalam teks terdapat penomoran halaman menggunakan aksara buda. Hanya saja penomoran tidak digunakan sebagai patokan lempir dan tidak dicantumkan dalam terbitan karena membingungkan. b. Recto: halaman depan disingkat dengan r ; c. Verso: halaman belakang disingkat dengan v ; d. Baris ditandai dengan angka arab dan dibagi menjadi dua bagian dengan batas margo tengah. Misalnya: 1a adalah baris pertama pada halaman sebelah kiri (dari margo kiri hingga margo tengah tepat di atas lubang sebelah kiri); 1b adalah baris pertama pada halaman sebelah kanan (dari margo tengah tepat di atas lubang sebelah kanan hingga margo kanan) ini berlaku pada baris 1 dan ke 4; 2a baris kedua dari margo kiri hingga margo tengah; 2b baris kedua dari margo tengah hingga margo kanan. Ini berlaku pada baris ke 2 dan ke 3. Pada baris pertama dan keempat diberi tanda 70

71 /./ untuk menandai kata atau kalimat tersebut tepat di atas lubang. Perhatikan gambar di bawah ini: 1a / / 1b 2b 3a 4a /.../ 4b grafik 13 4) Pemisahan ejaan dilakukan menurut bunyi teks disesuaikan dengan ejaan, yang dipakai dalam terbitan teks, misalnya: grafik 14 awaġnam astu (Lem 2r. 1a) bukan awaġnamastu 5) Koreksi yang dibuat oleh penulis dicantumkan dalam terbitan diplomatik. Koreksi atas bagian yang salah kadang-kadang berupa pembubuhan sandangan wulu dan suku pada satu aksara, kadang-kadang berupa coretan, misalnya: grafik 15 71

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar

BAB I PENDAHULUAN. pikir manusia demi menunjang keberlangsungan hidupnya. Dalam Kamus Besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Hal itu disebabkan karena budaya merupakan hasil olah rasa dan olah pikir manusia demi menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada jaman sekarang dapat dikatakan merupakan buah pikir dari warisan leluhur. Warisan leluhur dapat berupa artefak yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kepustakaan yang relevan 1.1.1 Transliterasi Transliterasi merupakan salah satu tahap/langkah dalam penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu.

Lebih terperinci

SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI

SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI SEJARAH KOLEKSI NASKAH MERAPI-MERBABU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI Oleh: Agung Kriswanto Bidang Layanan Koleksi Khusus Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Pendahuluan Kelompok koleksi naskah Merapi-Merbabu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada kertas, lontar, kulit kayu atau rotan (Djamaris, 1977:20). Naskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan obyek material filologi yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya bangsa pada masa lalu (Baried, 1985:54). Naskah yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan gugusan pulau dan kepulauan yang memiliki beragam warisan budaya dari masa lampau. Kekayaan-kekayaan yang merupakan wujud dari aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya. Salah satu budaya yang terdapat dalam masyarakat Jawa adalah budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil

BAB I PENDAHULUAN. dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah merupakan tulisan tangan berupa benda konkret yang dapat dilihat dan dipegang yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan suatu bangsa pada masa sekarang ini merupakan suatu rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin memahami lebih dalam mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan yang berupa bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis berupa naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa sangat pesat, hal ini tak luput

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan salah satu warisan nenek moyang yang masih tersimpan dengan baik di beberapa perpustakaan daerah, seperti Perpustakaan Pura Pakualaman dan Museum

Lebih terperinci

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI

ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI ANALISIS SEMIOTIK TEKSKIDUNG RUMEKSA ING WENGI A. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai khasanah sastra klasik yang beraneka ragam, yang terdiri dari sastra-sastra daerah. Sastra klasik adalah sastra dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI., Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Naskah naskah..., Andriyati Rahayu, FIB UI., Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan tentang kebudayaan kita di masa lampau tergali dari peninggalan masa lalu, termasuk di antaranya adalah naskah. Isi naskah-naskah dapat memberikan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah-naskah Nusantara sangat beraneka ragam, yang isinya mengemukakan tentang kehidupan manusia misalnya, masalah politik, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Nusantara yang terletak di kawasan Asia Tenggara sejak kurun waktu yang cukup lama memiliki peradaban dan kebudayaan tinggi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di 11 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di Nusantara. Pada masa itu, proses reproduksi naskah dilakukan dengan cara disalin. Naskah-naskah

Lebih terperinci

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA Skripsi Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Humaniora Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Fitrianna Arfiyanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuna mempunyai peran penting dalam peradaban umat manusia, karena naskah kuna berisi berbagai macam tulisan tentang: adat istiadat, cerita rakyat, sejarah, budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sanksekerta budhayah yang berasal dari bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno adalah benda budaya yang merekam informasi dan pengetahuan masyarakat lampau yang diturunkan secara turun temurun semenjak dulu sampai saat ini. Warisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya-karya peninggalan masa lampau merupakan peninggalan yang menginformasikan buah pikiran, buah perasaan, dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang

Lebih terperinci

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Ika Cahyaningrum A2A 008 057 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

NASKAH KH ANWAR RANJI WETAN MAJALENGKA. (Kajian Filologis) Proposal Skripsi

NASKAH KH ANWAR RANJI WETAN MAJALENGKA. (Kajian Filologis) Proposal Skripsi 1 NASKAH KH ANWAR RANJI WETAN MAJALENGKA (Kajian Filologis) Proposal Skripsi Oleh : Reza Sukma Nugraha 206500034 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang tertuang dalam bentuk naskah sejak abad IX 1. Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk naskah, Saputra

Lebih terperinci

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG

2015 KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN ISI NASKAH WAWACAN PANDITA SAWANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi pernasakahan di Indonesia bisa dikatakan sangat kurang peminat, dalam hal ini penelitian yang dilakukan terhadap naskah. Sedikitnya penelitian terhadap

Lebih terperinci

MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI???

MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI??? MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI??? Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa puing bangunan besar, semarak tapi belum cukup. Gambaran pikiran dan perasaan tersebut dapat dipahami lewat dokumen tertulis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Filologi 1. Pengertian Filologi Filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama (Djamaris, 1977: 20). Filologi berasal dari kata Yunani philos yang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA JAWA DALAM NASKAH DRAMA LENG DAN TUK KARYA BAMBANG WIDOYO SP

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA JAWA DALAM NASKAH DRAMA LENG DAN TUK KARYA BAMBANG WIDOYO SP KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA JAWA DALAM NASKAH DRAMA LENG DAN TUK KARYA BAMBANG WIDOYO SP SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam khazanah sastra Jawa Kuna (kawi) memang telah sejak lama memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan sastra Jawa Kuna yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. sebuah penelitian diperlukan penggunaan metode yang tepat agar hasil penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. sebuah penelitian diperlukan penggunaan metode yang tepat agar hasil penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Secara umum, metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiono, 2010:3). Dalam sebuah penelitian

Lebih terperinci

Naskah-Naskah Koleksi Merapi-Merbabu Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa

Naskah-Naskah Koleksi Merapi-Merbabu Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa Naskah-Naskah Koleksi Merapi-Merbabu Mata Rantai Sejarah Kesusastraan Jawa Oleh: Titik Pudjiastuti Makalah disajikan dalam Seminar Naskah-Naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai warisan kebudayaan para leluhur antara lain terdapat di dalam berbagai cerita lisan, benda-benda,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah naskah Wawacan Pandita Sawang yang beraksara Arab (Pegon) dan berbahasa Sunda, teks di dalamnya berbentuk puisi/wawacan. Naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut

BAB I PENDAHULUAN. Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan warisan budaya masa lampau yang penting dan patut dilestarikan. Kita juga perlu mempelajarinya karena di dalamnya terkandung nilainilai luhur

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Filologi Filologi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani philologia yang berasal dari dua kata yaitu philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata. Sehingga

Lebih terperinci

BAHASA JAWA DI KABUPATEN PURBALINGGA (KAJIAN GEOGRAFI DIALEK)

BAHASA JAWA DI KABUPATEN PURBALINGGA (KAJIAN GEOGRAFI DIALEK) BAHASA JAWA DI KABUPATEN PURBALINGGA (KAJIAN GEOGRAFI DIALEK) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh

BAB I PENDAHULUAN. sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan adalah suatu karya sastra tradisional yang mempunyai sistem konvensi sastra tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh atau pupuh pupuh, dan

Lebih terperinci

SYAIR NEGERI PATANI : Suntingan Teks dan Analisis Semiotik

SYAIR NEGERI PATANI : Suntingan Teks dan Analisis Semiotik SYAIR NEGERI PATANI : Suntingan Teks dan Analisis Semiotik SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Lebih terperinci

WASIAT NABI MUHAMMAD SAW : Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Fungsi

WASIAT NABI MUHAMMAD SAW : Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Fungsi WASIAT NABI MUHAMMAD SAW : Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Fungsi SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya

Lebih terperinci

TINJAUAN FILOLOGI DAN AJARAN MORAL DALAM SÊRAT DRIYABRATA

TINJAUAN FILOLOGI DAN AJARAN MORAL DALAM SÊRAT DRIYABRATA TINJAUAN FILOLOGI DAN AJARAN MORAL DALAM SÊRAT DRIYABRATA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia memiliki beragam suku dan tentu saja bahasa daerah

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia memiliki beragam suku dan tentu saja bahasa daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki beragam suku dan tentu saja bahasa daerah yang beragam banyaknya. Bahasa daerah yang beragam digunakan sebagai alat komunikasi oleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang

BAB II KAJIAN TEORI. Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Filologi 1. Pengertian Filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata. Dengan demikian, kata filologi membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa

Lebih terperinci

KAJIAN FILOLOGI SÊRAT SÊKAR WIJÅYÅKUSUMÅ SKRIPSI

KAJIAN FILOLOGI SÊRAT SÊKAR WIJÅYÅKUSUMÅ SKRIPSI KAJIAN FILOLOGI SÊRAT SÊKAR WIJÅYÅKUSUMÅ SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Naskah kuno merupakan hasil kebudayaan suatu bangsa yang tak ternilai harganya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan oleh nenek moyang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan dinilai sebagai identitas kepribadian dan penentu kemajuan suatu bangsa yang tidak bisa di ukur dan kehadirannya hanya dapat diketahui

Lebih terperinci

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ABSTRAK KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISI.. i ii iii iv ix xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Identifikasi Masalah.. 1.3 Batasan Masalah.

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI SERAT CARETA SAMA UN: SUNTINGAN TEKS DISERTAI ANALISIS RESEPSI. Oleh MUHAMMAD HASAN NIM

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI SERAT CARETA SAMA UN: SUNTINGAN TEKS DISERTAI ANALISIS RESEPSI. Oleh MUHAMMAD HASAN NIM SKRIPSI SERAT CARETA SAMA UN: SUNTINGAN TEKS DISERTAI ANALISIS RESEPSI Oleh MUHAMMAD HASAN NIM 121111077 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam pemerintahan. Seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Indonesia yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pengertian Filologi. kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah klasik

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pengertian Filologi. kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah klasik digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Filologi Filologi adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang bertujuan memahami kebudayaan suatu bangsa melalui teks-teks tertulis di dalam naskah-naskah

Lebih terperinci

PEMAKAIAN BAHASA JAWA DALAM ADEGAN GARA-GARA WAYANG ORANG SRIWEDARI DI KOTA SURAKARTA (Suatu Analisis Sosiolinguistik)

PEMAKAIAN BAHASA JAWA DALAM ADEGAN GARA-GARA WAYANG ORANG SRIWEDARI DI KOTA SURAKARTA (Suatu Analisis Sosiolinguistik) PEMAKAIAN BAHASA JAWA DALAM ADEGAN GARA-GARA WAYANG ORANG SRIWEDARI DI KOTA SURAKARTA (Suatu Analisis Sosiolinguistik) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra Indonesia terdiri dari karya sastra lisan dan karya sastra tulis. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN. (Ratna, 2004:34). Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN Metode dapat diartikan sebagai cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2004:34).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filologi merupakan suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baroroh-Baried,

Lebih terperinci

KAJIAN FILOLOGI NASKAH PIWULANG PATRAPING AGÊSANG SKRIPSI

KAJIAN FILOLOGI NASKAH PIWULANG PATRAPING AGÊSANG SKRIPSI KAJIAN FILOLOGI NASKAH PIWULANG PATRAPING AGÊSANG SKRIPSI Diajukan pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi sebagian persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, dan sastra (Baried, 1983: 4). Cipta sastra yang termuat dalam naskah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Naskah-naskah yang terdapat di Nusantara memiliki isi yang sangat kaya. Kekayaan itu dapat ditunjukkan oleh aneka ragam aspek kehidupan yang dikemukakan, misalnya masalah

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI NILAI KARAKTER TOKOH WERKUDARA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SKRIPSI. Oleh Mohammad Ikram Nugraha NIM

IMPLEMENTASI NILAI KARAKTER TOKOH WERKUDARA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SKRIPSI. Oleh Mohammad Ikram Nugraha NIM IMPLEMENTASI NILAI KARAKTER TOKOH WERKUDARA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH SKRIPSI Oleh Mohammad Ikram Nugraha NIM. 100210302071 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

Lebih terperinci

KAJIAN FILOLOGI DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM SERAT AMBEK SANGA SKRIPSI

KAJIAN FILOLOGI DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM SERAT AMBEK SANGA SKRIPSI KAJIAN FILOLOGI DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM SERAT AMBEK SANGA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih hidup dan berkembang cukup baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan para pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan karakter sebagian pemuda-pemudi saat ini sehubungan dengan pendidikan karakter atau kodratnya sebagai makhluk sosial, dapat dikatakan sangat memprihatinkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG, RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, MANFAAT PENELITIAN 1.1 Latar Belakang Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali Tradisional yang dibentuk oleh pupuh-pupuh. Setiap pupuh

Lebih terperinci

KAJIAN STILISTIKA PARIKAN DALAM ACARA GUYON MATON RADIO SWIBA (Swara Intan Pari Membangun) KARANGANYAR

KAJIAN STILISTIKA PARIKAN DALAM ACARA GUYON MATON RADIO SWIBA (Swara Intan Pari Membangun) KARANGANYAR KAJIAN STILISTIKA PARIKAN DALAM ACARA GUYON MATON RADIO SWIBA (Swara Intan Pari Membangun) KARANGANYAR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris.

BAB I PENDAHULUAN. Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parwa merupakan kesusastraan Jawa Kuna yang berbentuk prosa liris. Parwa berarti bagian buku/cerita (Mardiwarsito, 1986:410). Parwa juga dikatakan sebagai bagian dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. belum pernah dilakukan kegiatan transliterasi teks atas naskah Wawacan Rawi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. belum pernah dilakukan kegiatan transliterasi teks atas naskah Wawacan Rawi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian-penelitian naskah Sunda, baik yang telah dilakukan oleh orang Barat maupun oleh bangsa pribumi, sejauh pengetahuan penulis hingga kini belum pernah dilakukan kegiatan

Lebih terperinci

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah merupakan hasil medium tulis yang digunakan pada sastra klasik. Isi naskah tersebut dapat meliputi semua aspek kehidupan budaya bangsa yang bersangkutan

Lebih terperinci

SERAT LANGENDRIYA EPISODE DAMARWULAN NGARIT (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS)

SERAT LANGENDRIYA EPISODE DAMARWULAN NGARIT (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) SERAT LANGENDRIYA EPISODE DAMARWULAN NGARIT (SUATU TINJAUAN FILOLOGIS) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan

Lebih terperinci

2014 SAJARAH CIJULANG

2014 SAJARAH CIJULANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah kuno merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dalam bidang keberaksaraan yang telah dilindungi oleh UU RI No. 11 tahun 2010. Ungkapan warisan

Lebih terperinci

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan.

PATHISARI. Wosing těmbung: Sěrat Pangracutan, suntingan lan jarwanipun teks, kalěpasan. PATHISARI Skripsi punika asil saking panaliten filologi tumrap Sěrat Pangracutan ingkang kasimpěn ing Perpustakaan Pura Pakualaman Ngayogyakarta mawi kode koleksi 0125/PP/73. Skripsi punika awujud suntingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Salah satu kekayaan yang dimiliki yaitu kebudayaan.koentjaraningrat (1985) menyebutkan bahwa kebudayaan terdiri dari tujuh

Lebih terperinci

METODE EDISI: STEMMA

METODE EDISI: STEMMA METODE EDISI: STEMMA Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas Pendidikan Indonesia Objek

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI COK SAWITRI DALAM NOVEL TANTRI PEREMPUAN YANG BERCERITA TERHADAP NASKAH KIDUNG TANTRI KEDIRI TERJEMAHAN REVO ARKA GIRI SOEKATNO:

REKONSTRUKSI COK SAWITRI DALAM NOVEL TANTRI PEREMPUAN YANG BERCERITA TERHADAP NASKAH KIDUNG TANTRI KEDIRI TERJEMAHAN REVO ARKA GIRI SOEKATNO: REKONSTRUKSI COK SAWITRI DALAM NOVEL TANTRI PEREMPUAN YANG BERCERITA TERHADAP NASKAH KIDUNG TANTRI KEDIRI TERJEMAHAN REVO ARKA GIRI SOEKATNO: Kajian Intertekstualitas SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra diciptakan pengarang berdasarkan realita (kenyataan) yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung nilai filsafat, agama, dan nilai kehidupan. Tutur adalah 'nasehat' atau 'bicara'. Kata perulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Karya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan akar dari kebudayaan nasional. Keberadaan karya sastra dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan akar dari kebudayaan nasional. Keberadaan karya sastra dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra Bali merupakan bagian dari kebudayaan daerah yang merupakan akar dari kebudayaan nasional. Keberadaan karya sastra dapat memperkaya warisan budaya bangsa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Putra (1986), dalam penelitian beliau yang berjudul "Aspek Sastra Dalam Babad Dalem Suatu Tinjauan Intertekstualitas", menyatakan bahwa

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

MATERI STUDI RELIGI JAWA

MATERI STUDI RELIGI JAWA MATERI STUDI RELIGI JAWA Bahasa dan sastra; karya sastra Jawa Kuna yang tergolong tua; karya sastra Jawa Kuna yang bertembang; karya sastra Jawa Kuna yang tegolong muda; karya sastra yang berbahasa Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai salah satu penyimpanan naskah-naskah kuna warisan nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai penyimpanan naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan hasil inventarisasi naskah didapatkan bahwa naskah

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan hasil inventarisasi naskah didapatkan bahwa naskah BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil inventarisasi naskah didapatkan bahwa naskah Kempalan Dongeng yang memuat teks Kyai Prelambang dengan bertuliskakan aksara Jawa tidak ditemukan di tempat lain selain

Lebih terperinci

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa 89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa A. Latar Belakang Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra

Lebih terperinci

BAB 2 DESKRIPSI NASKAH

BAB 2 DESKRIPSI NASKAH 17 BAB 2 DESKRIPSI NASKAH Pendahuluan Dalam bab ini akan disajikan deskripsi dari naskah-naskah yang menjadi data utama. Ada empat naskah yang menjadi data utama dalam penelitian ini yaitu Ramayana, Parimbwan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nusantara memiliki beberapa jenis kesusastraan yang diciptakan, berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu kesusastraan yang berkembang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Penelitian terdahulu pernah meneliti tentang Fitoterapi yang sedang dibahas melalui skripsi ini. Penelitian yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA SOSIAL DALAM CERPEN KURMA KIAI KARNAWI KARYA AGUS NOOR (Pendekatan Sosiologi Sastra)

PROBLEMATIKA SOSIAL DALAM CERPEN KURMA KIAI KARNAWI KARYA AGUS NOOR (Pendekatan Sosiologi Sastra) PROBLEMATIKA SOSIAL DALAM CERPEN KURMA KIAI KARNAWI KARYA AGUS NOOR (Pendekatan Sosiologi Sastra) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra

Lebih terperinci

KAJIAN FILOLOGI DAN ISI KITAB PIRASATING SUJALMA MIWAH KATURANGGANING WANITA

KAJIAN FILOLOGI DAN ISI KITAB PIRASATING SUJALMA MIWAH KATURANGGANING WANITA KAJIAN FILOLOGI DAN ISI KITAB PIRASATING SUJALMA MIWAH KATURANGGANING WANITA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak warisan hasil budaya dalam bentuk naskah atau manuskrip (Marsono, 2010), yang bahkan sampai saat ini belum dapat dihitung jumlahnya. Manuskrip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C0199012 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

GAMBARAN TOKOH SINTA DALAM NOVEL SINTA OBONG KARYA ARDIAN KRESNA DAN CERITA RAMAYANA KARYA C. RAJAGOPALACHARI: Studi Sastra Bandingan

GAMBARAN TOKOH SINTA DALAM NOVEL SINTA OBONG KARYA ARDIAN KRESNA DAN CERITA RAMAYANA KARYA C. RAJAGOPALACHARI: Studi Sastra Bandingan GAMBARAN TOKOH SINTA DALAM NOVEL SINTA OBONG KARYA ARDIAN KRESNA DAN CERITA RAMAYANA KARYA C. RAJAGOPALACHARI: Studi Sastra Bandingan SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi

Lebih terperinci

RATIBU 'L-HADDAD: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Resepsi Pembaca

RATIBU 'L-HADDAD: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Resepsi Pembaca RATIBU 'L-HADDAD: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Resepsi Pembaca SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan

Lebih terperinci

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( R P K P S ) DAN BAHAN FILOLOGI NUSANTARA

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( R P K P S ) DAN BAHAN FILOLOGI NUSANTARA BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER ( R P K P S ) DAN BAHAN FILOLOGI NUSANTARA 1. NAMA MATA KULIAH : FILOLOGI NUSANTARA 2. KODE / SKS : BDN 1224 / 2 SKS 3. PRASARAT : PENGANTAR FILOLOGI

Lebih terperinci

SYAIR IBADAT : Suntingan Teks, Analisis Ajaran Tauhid dan Konsep Ekskatologi

SYAIR IBADAT : Suntingan Teks, Analisis Ajaran Tauhid dan Konsep Ekskatologi SYAIR IBADAT : Suntingan Teks, Analisis Ajaran Tauhid dan Konsep Ekskatologi SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN 24 BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari beberapa uraian yaitu, (1) objek penelitian, (2) metode, (3) prosedur penelitian, (4) teknik pengumpulan data 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan berasal dari kata gurit yang berarti gubah, karang, sadur. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai peninggalan tulisan, naskah menyimpan berbagai informasi tentang kehidupan, berbagai buah pikiran, gagasan, ajaran, cerita, paham dan pandangan hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada

BAB I PENDAHULUAN. Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jika kita membaca berbagai macam karya sastra Jawa, maka di antaranya ada karya sastra berbentuk puisi yang dikenal sebagai těmbang macapat atau disebut juga těmbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra Bali merupakan salah satu aspek kebudayaan Bali yang hidup dan berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu maka di Bali lahirlah

Lebih terperinci