BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Peranan Iklan Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai setiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui (Morrisan 2010). Adapun maksud dibayar pada definisi tersebut menunjukkan fakta bahwa ruang dan waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya dibeli. Maksud kata nonpersonal berarti suatu iklan melibatkan media massa (TV, radio, majalah, koran, atau tabloid) yang dapat mengirimkan pesan kepada sejumlah besar kelompok individu pada saat bersamaan. Dengan demikian, sifat nonpersonal iklan berarti pada umumnya tidak tersedia kesempatan untuk mendapatkan umpan balik yang segera dari penerima pesan (kecuali dalam hal direct response advertising). Karena itu, sebelum pesan iklan dikirimkan, pemasang iklan harus betul-betul mempertimbangkan bagaimana audiens akan menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap pesan iklan yang dimaksud. Iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang paling dikenal dan paling banyak dibahas orang. Hal tersebut kemungkinan karena daya jangkaunya paling luas. Iklan juga menjadi instrumen promosi yang paling penting, khususnya bagi perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada masyarakat luas (Morrisan 2010). Belanja iklan di Indonesia pada semester I 2012 (hingga bulan Juni 2012) telah mencapai 40 triliun rupiah, yaitu 25% lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu. Iklan televisi berkontribusi sebesar 68 persen dari total belanja iklan, 30 persen oleh iklan koran dan media cetak, dan sisanya radio (Siregar 2012). Menurut Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran atau perdagangan pangan. Sidang Committee on Food Labelling (CCFL) ke 34 bulan Mei 2006 menyimpulkan bahwa iklan pangan adalah segala bentuk komunikasi atau representasi (visual atau oral) kepada masyarakat atau sekelompok masyarakat, tidak termasuk label pangan, dalam rangka mempengaruhi pilihan, kesan, pendapat atau perilaku konsumen terhadap suatu produk pangan, untuk secara langsung atau tidak langsung meningkatkan penjualan produk tersebut. Meskipun definisi tersebut bersifat umum, penggunaan klaim gizi atau klaim kesehatan yang sesuai diperbolehkan. Iklan mempunyai peranan yang sangat penting dalam dunia perdagangan. Bagi perusahaan, iklan memegang peranan penting dalam memasarkan produk barang dan jasa. Meningkatnya belanja iklan yang dilakukan oleh perusahaan menunjukkan bahwa iklan dianggap sebagai alat yang efektif untuk membujuk pembeli dalam strategi pemasaran. Iklan merupakan salah satu alat pemasaran yang paling banyak dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan (Krisanto 2007). Informasi mengenai jenis barang, kegunaan, kualitas, harga, maupun pihak produsen dapat diperoleh dari keberadaan iklan. Bagi konsumen, iklan yang baik sangat membantu dalam menentukan pilihan barang atau jasa yang dibutuhkan sesuai dengan selera dan kemampuan finansialnya. Sedangkan bagi produsen, iklan merupakan sarana penyampaian informasi tentang produk yang dihasilkan dengan harapan dapat memperlancar pemasarannya. Bahkan para pelaku usaha meyakini bahwa iklan memberikan sumbangsih yang berharga pada pasca produksi (Endrawati 2006).

2 Dari perspektif perlindungan konsumen, iklan merupakan sumber informasi tentang produk yang harus dapat dibuktikan kebenarannya. Informasi yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan dalam iklan yang disebarkan dapat dituntut (Sukmaningsih 1997 diacu dalam Gardenia 2010). 2.2 Sasaran, Tujuan, dan Jenis Iklan Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus untuk memenuhi fungsi pemasaran. Untuk dapat menjalankan fungsi pemasaran, maka apa yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan tentu saja harus mampu meraih simpatik masyarakat agar berperilaku sedemikian rupa sehingga sesuai dengan maksud strategi pemasaran perusahaan untuk mencapai omset penjualan yang optimal serta pada akhirnya mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Periklanan harus mampu mengarahkan konsumen untuk membeli produk-produk yang ditawarkan tersebut sehingga diyakini dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pembeli (Endrawati 2006). Singkatnya iklan harus dapat memengaruhi pemilihan serta keputusan untuk membeli apa yang diiklankan itu. Sifat dan tujuan iklan berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dan satu situasi dengan situasi lainnya. Demikian juga, konsumen yang menjadi target suatu iklan juga berbeda antara satu jenis produk dengan produk lainnya. Suatu perusahaan beriklan dengan tujuan untuk mendapatkan respon atau aksi segera melalui iklan media massa. Perusahaan lain mungkin bertujuan untuk lebih mengembangkan kesadaran atau ingin membentuk citra positif dalam jangka panjang bagi barang atau jasa yang dihasilkannya (Morrisan 2010). Menurut Kristianto (2007), iklan berfungsi menciptakan kesadaran dalam bentuk bujukan atau rayuan dan memelihara keinginan untuk membeli dari konsumen. Iklan digunakan untuk menciptakan kesadaran terhadap nama suatu merek atau produk, baik produk baru maupun yang lama. Kesadaran yang dibangun diimbangi dengan penyajian informasi dengan cara meyakinkan akan kegunaan atau keuntungan dari penggunaan suatu produk sehingga dapat mempengaruhi persepsi konsumen. Selain itu, iklan menjadi media untuk menjaga atau mempertahankan daya tarik dari produk supaya konsumen tidak bermaksud menggantikan produk yang lama dengan produk baru dari kompetitor. Disebutkan pada Brody dan Lord (2000), untuk iklan produk baru harus mampu menimbulkan product atau brand awareness, mengomunikasikan keunggulan produk dengan jelas dan perbedaannya dengan produk kompetitor, serta bukti bahwa produk mampu memberikan keuntungan yang dijanjikan. Iklan setidaknya harus memenuhi tiga kualitas spesifik, yaitu relevan, original, dan memberikan dampak. Industri biasanya mengalokasikan pengeluaran untuk iklan dalam tiga cara, yaitu berdasarkan jenis media, waktu, dan wilayah cakupan iklan. Selain itu perlu dipertimbangkan pula fragmentasi audiens, yang pada prinsipnya adalah pesan pada iklan harus sampai ke konsumen target produk yang diiklankan. Meskipun, pada pelaksanaannya sulit karena banyaknya pilihan yang tersedia. Iklan pada media adalah cara terbaik untuk membangun awareness pada konsumen dengan cepat, dan membangun loyalitas konsumen terhadap brand produk melalui informasi konsisten mengenai keunggulan produk yang disampaikan. Jenis iklan berdasarkan tujuannya dikategorikan menjadi tiga, yaitu iklan nasional, iklan lokal, dan iklan primer dan selektif (Marisson 2010). Iklan nasional bertujuan menginformasikan atau mengingatkan konsumen kepada perusahaan atau merek yang diiklankan beserta berbagai fitur atau kelengkapan yang dimiliki dan juga keuntungan, manfaat, kegunaan, penggunaan, serta menciptakan atau memperkuat citra produk bersangkutan sehingga konsumen akan cenderung membeli produk yang diiklankan itu. Iklan lokal bertujuan mendorong konsumen untuk berbelanja pada toko-toko 5

3 tertentu atau menggunakan jasa lokal untuk mengunjungi suatu tempat atau institusi tertentu. Jenis ketiga yaitu iklan primer bertujuan mendorong permintaan terhadap suatu jenis produk tertentu atau keseluruhan industri, sedangkan iklan selektif memusatkan perhatian untuk menciptakan permintaan terhadap suatu merek tertentu. Engel et.al. (1995) membagi iklan berdasarkan keberpihakan pesan, yaitu: (1) iklan informasional, yaitu iklan yang pesannya memberikan informasi, (2) iklan komparatif, yaitu iklan yang pesannya berusaha untuk merebut bisnis dari produk yang sudah ada; (3) iklan transformasional, yaitu iklan yang pesannya berusaha membuat pengalaman produk lebih kaya dan lebih hangat daripada yang diperoleh semata-mata dari uraian obyektif dari merek yang diiklankan. 2.3 Media Iklan Penyampaian berita dan informasi dalam iklan memerlukan media-media yang secara langsung dapat diterima oleh individual. Media yang digunakan dalam periklanan secara umum dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu media lini atas (above the line) dan media lini bawah (below the line) berdasarkan Rangkuti (2009). Media lini atas terdiri dari media surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Media lini atas memiliki karakteristik yang khas, yaitu informasi yang disebarkan bersifat serempak, atau informasi yang sama dapat disebarluaskan dalam waktu yang sama sehingga mampu menjangkau khalayak secara luas. Sementara yang termasuk kategori media lini bawah misalnya poster, leaflet, folder, spanduk, baliho, balon udara, direct mail, Points of Purchase (POP), bus stop, bus panel, flyers, dan sebagainya. Karakteristik khas dari media lini bawah yaitu komunikan yang dijangkau terbatas baik dalam jumlah maupun luas wilayah, mampu menjangkau khalayak yang tidak terjangkau oleh media lini atas, dan cenderung tidak serempak. Menurut Wells et.al. (2006), media dalam pengiklanan terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) media cetak, diantaranya surat kabar, tabloid, dan majalah; (2) media broadcast, atau media yang bersifat disiarkan dan menggunakan indra yang lebih dari sekedar penglihatan, contohnya iklan radio dan televisi; dan (3) media interaktif alternatif, yaitu media yang langsung terhubung dengan personalnya, contohnya iklan melalui internet, , dan video game. Media cetak telah menjadi media untuk beriklan selama lebih dari dua abad. Selama bertahuntahun, pada awal kelahirannya, media cetak menjadi satu-satunya media massa yang tersedia bagi para pemasang iklan. Seiring dengan pertumbuhan media penyiaran, khususnya televisi, kebiasaan membaca media cetak menurun. Walaupun dewasa ini televisi memegang peranan dominan dalam dunia periklanan, media cetak tetap memiliki peranan penting bagi pembaca dan pemasang iklan. Media cetak memungkinkan pemasang iklan untuk menyajikan informasi secara lebih detail dan dapat diolah menurut tingkat kecepatan pemahaman pembacanya. Media cetak tidak memiliki sifat yang terlalu intrusif, dalam arti terlalu masuk dalam kehidupan audiensinya sebagaimana televisi. Media cetak membutuhkan upaya dari pihak pembaca agar iklan yang disajikan mampu memberikan efek. Untuk alasan inilah media cetak disebut juga media dengan keterlibatan tinggi (high- involvement media) (Morissan 2010). Contoh media cetak adalah surat kabar, tabloid, dan majalah. Hampir setiap majalah saat ini diterbitkan untuk memenuhi segala tipe audiens berdasarkan segmentasi tertentu, seperti segmentasi demografis, gaya hidup tertentu, aktivitas, minat, atau ketertarikan pada bidang tertentu. Jenis atau tipe majalah yang luas dan bermacam-macam ini menjadikan majalah sebagai salah satu media yang menarik bagi para pemasang iklan. Berdasarkan Belch dan Belch (2001), majalah dibagi menjadi tiga kategori besar menurut audiensinya, yaitu majalah konsumen (consumer magazine), majalah pertanian 6

4 (farm magazine), dan majalah bisnis (business publications). Majalah konsumen dapat diklasifikasikan lagi ke dalam sejumlah kategori antara lain majalah umum (contoh: Tempo, Gatra), majalah wanita (contoh: Kartini, Femina), majalah pria (contoh: Matra, ME), majalah kesehatan (contoh: Higina), majalah wisata (contoh: Travel Club, Tamasya), dan sebagainya. Majalah juga dapat diklasifikasikan berdasarkan frekuensi penerbitannya: mingguan, bulanan, dua bulanan, dan sebagainya. Majalah konsumen pada umumnya mendominasi industri majalah di Indonesia. Majalah konsumen sangat cocok digunakan sebagai media iklan bagi pemasar yang membidik konsumen umum dan juga khusus. Kategori kedua adalah majalah pertanian yang dirancang untuk memenuhi minat pembaca di bidang pertanian dan peternakan, sedangkan kategori majalah bisnis adalah majalah yang diterbitkan untuk para pebisnis, masyarakat yang bekerja pada sektor industri tertentu atau mereka yang memiliki profesi tertentu. Jenis media cetak kedua adalah surat kabar atau koran yang juga memiliki peran penting bagi pemasang iklan. Kebanyakan surat kabar terbit setiap hari sehingga disebut juga dengan surat kabar harian yang melayani kebutuhan masyarakat skala nasional atau lokal. Ada pula media cetak jenis tabloid, yang berbentuk seperti surat kabar namun berukuran lebih kecil dan terbit dalam jangka waktu mingguan (tiap satu atau dua minggu). Isi berita tabloid dapat dikonsumsi dalam jangka waktu yang lebih lama. Seperti majalah, tabloid memiliki segmentasi pembaca tertentu. Penelitian ini menggunakan media cetak karena media tersebut saat ini masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, bagi pembaca yang ingin memperoleh informasi, dan juga bagi para pemasang iklan. Selain itu, dalam pemantauannya media cetak lebih mudah daripada media elektronik. Media cetak yang digunakan sebagai sumber adalah dari jenis majalah dan tabloid, khususnya yang memiliki segmentasi pembaca wanita khususnya yang sudah berkeluarga. 2.4 Klaim Iklan Klaim adalah setiap pesan atau representasi, termasuk dalam bentuk gambar, grafik atau simbol yang menyatakan, memberi kesan atau secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu pangan memiliki karakteristik tertentu (Anonim 2007). Dalam Codex Alimentarius Guidelines for Use Nutrition and Health Claims, CAC/GL diuraikan definisi klaim adalah segala bentuk uraian yang menyatakan, menyarankan atau secara tidak langsung menyatakan perihal karakteristik tertentu suatu pangan yang berkenaan dengan asal usul, kandungan gizi, sifat, produksi, pengolahan, komposisi atau faktor mutu lainnya. Klaim gizi atau klaim kesehatan banyak dijumpai pada berbagai label dan iklan pangan. Perkembangan pengetahuan tentang zat gizi dan non gizi serta peranannya dalam kesehatan manusia merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan klaim gizi dan kesehatan. Klaim gizi dan kesehatan yang tercantum pada label maupun iklan pangan memberikan gambaran tentang keberadaan dan manfaat suatu zat yang terdapat dalam pangan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pernyataan (klaim) manfaat kesehatan adalah pernyataan bahwa produk pangan tertentu mengandung zat gizi atau non gizi tertentu yang bermanfaat jika dikonsumsi atau tidak boleh bagi kelompok tertentu, misalnya untuk anak-anak berusia di bawah lima tahun, kelompok usia lanjut, ibu hamil dan menyusui, dan sebagainya. Terkait dengan klaim pada label dan iklan pangan, di Indonesia dikenal istilah klaim kandungan zat gizi (termasuk klaim perbandingan zat gizi), klaim fungsi zat gizi, dan klaim manfaat terhadap kesehatan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Teknis Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional (BPOM RI 2005). Pengelompokan dan penamaan klaim gizi dan klaim kesehatan 7

5 di beberapa negara tidak selalu sama, namun pada tingkat internasional kesepakatan klaim gizi dan kesehatan yang dituangkan dalam standar atau pedoman Codex Alimentarius Commission (CAC) digunakan sebagai acuan. Pada prinsipnya semua negara mengatur beberapa hal yang sama tentang klaim antara lain tidak boleh menyesatkan konsumen dan tidak memuat klaim yang dikaitkan dengan peranan sebagai obat; pengobatan (treatment), pencegahan (preventive) atau penyembuhan (cure) penyakit. Pengertian menyesatkan, sering kali mengundang diskusi panjang terutama antara produsen dan instansi pemerintah terkait. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pencantuman pernyataan yang menyesatkan masih mungkin terjadi pada pangan yang benar telah ditambah, diperkaya atau difortifikasi dengan vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lain. Hal tersebut terjadi jika karena pola pengonsumsian pangan yang bersangkutan, maka penambahan, pengayaan atau fortifikasi tidak memberi manfaat apapun bagi konsumen kecuali manfaat komersial yang diperoleh produsen. Dengan semakin ketatnya persaingan antar produsen, berbagai cara dilakukan termasuk pencantuman klaim yang dapat mengelabui konsumen. Empat jenis klaim yang digunakan untuk mengelabui konsumen diantaranya: (1) klaim yang tampak objektif, seperti klaim tentang kandungan gizi tertentu dalam suatu produk pangan yang harus dibuktikan melalui pengujian atau dibandingkan dengan standar yang telah ada, (2) klaim yang subjektif, seperti klaim yang menampilkan persepsi individu (kesukaan, pilihan, kepercayaan) yang mungkin menghasilkan tafsiran berbeda antar individu, klaim seperti ini sulit dibuktikan, (3) klaim dengan dua arti, yaitu klaim yang menampilkan dua sisi pesan yang bersifat pro dan kontra (sebagian benar dan sebagian salah), dan (4) klaim yang tidak mempunyai dasar, yaitu tidak didukung logika sehingga klaim yang dibuat hanya ditujukan untuk kepentingan promosi yang lebih mengutamakan segi persuasi dibanding segi informasinya (Sumarwan 2002). Klaim sebagai salah satu komponen yang dapat dicantumkan pada label dan iklan, terlebih dahulu harus melalui pengkajian oleh para ahli yang relevan dan tidak memihak serta didasarkan atas bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga memenuhi kriteria berikut: (1) sejalan dengan kebijakan gizi dan kesehatan nasional, (2) tidak dihubungkan dengan pengobatan dan pencegahan penyakit pada individu, (3) tidak mendorong kepada pola konsumsi yang salah, (4) berdasarkan diet total khusus untuk klaim kesehatan, (5) benar dan tidak menyesatkan (Restiani 2008). Codex Alimentarius Commission (CAC 2004), mengelompokan klaim gizi dan kesehatan sebagaimana tercantum dalam gambar 1 berikut. Klaim gizi Klaim kandungan zat gizi Klaim perbandingan zat gizi Klaim pada iklan Klaim fungsi zat gizi Klaim kesehatan Klaim fungsi lain Klaim penurunan risiko penyakit Gambar 1. Pengelompokan klaim pada iklan (CAC 2004) 8

6 2.4.1 Klaim Gizi Menurut Pedoman Codex klaim gizi adalah adalah setiap representasi yang menyatakan, memberi kesan atau secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu pangan mempunyai sifat (properties) tertentu yang tidak terbatas pada nilai energi, kandungan protein, lemak dan karbohidrat serta vitamin dan mineral (CAC 2004). Berikut adalah yang tidak termasuk dalam klaim gizi yaitu: daftar ingredien, pernyataan zat gizi yang wajib dicantumkan, pernyataan jumlah dan mutu zat gizi atau ingredien tertentu pada label sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1, dalam Pedoman Codex tersebut diuraikan bahwa klaim gizi terdiri dari klaim kandungan zat gizi (nutrient content claim) dan klaim perbandingan (comparative claim). Klaim kandungan zat gizi menguraikan tentang level suatu zat gizi yang terkandung dalam suatu pangan dan klaim perbandingan adalah suatu klaim yang membandingkan level zat gizi dan/atau energi pada dua atau lebih pangan. Bentuk pernyataan yang dikaitkan dengan klaim kandungan gizi antara lain sumber, tinggi, rendah dan untuk klaim perbandingan zat gizi antara lain dikurangi, lebih dari (CAC 2004). Penggunaan klaim gizi tersebut harus memenuhi persyaratan spesifik untuk masing-masing zat gizi. Indonesia mengatur klaim kandungan zat gizi dalam dua kelompok berdasarkan pada level zat gizi di dalam pangan yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), yaitu 10 19% AKG dan kelompok lainnya sama dengan atau lebih dari 20% AKG (BPOM RI 2005). Dibandingkan dengan ketentuan Codex, persyaratan yang diberlakukan di Indonesia lebih sederhana dan bersifat umum. Klaim kandungan zat gizi di Indonesia berlaku untuk 38 jenis zat gizi dan non gizi; yaitu vitamin A, karotenoid, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B12, asam folat, vitamin C, vitamin D, vitamin E, kalium, kalsium, zat besi, seng, tembaga, iodium, magnesium, mangan, selenium, kromium, boron, vanadium, gula alkohol, asam lemak tidak jenuh, whey protein, laktoferin, protein kedelai, lisin, serat pangan, prebiotik, probiotik, kolin, isoflavon, fitosterol dan fitostanol dan polifenol. Khusus untuk natrium, pernyataan dan persyaratan kandungannya dikaitkan dengan pengurangan penggunaan natrium. Bentuk pernyataan klaim gizi untuk natrium adalah: bebas, sangat rendah, rendah, kurang, sedikit mengandung dan tidak digarami. (BPOM RI 2005) Klaim Kesehatan Klaim kesehatan adalah setiap representasi yang menyatakan, memberi kesan atau secara tidak langsung menyatakan terdapat hubungan antara suatu pangan atau unsur pokok dari pangan tersebut dengan kesehatan (CAC 2004). Klaim kesehatan meliputi: 1) klaim fungsi zat gizi (nutrient function claims) yang menguraikan peranan fisiologis zat gizi dalam pertumbuhan, perkembangan dan fungsi normal tubuh, 2) klaim fungsi lain (other function claims) yang berkenaan dengan efek menguntungkan spesifik dari mengkonsumsi pangan atau unsur pokok pangan tersebut dalam konteks total diet terhadap fungsi normal atau aktivitas biologis tubuh yang dihubungkan dengan kontribusi terhadap kesehatan atau terhadap peningkatan suatu fungsi atau untuk memodifikasi atau mempertahankan kesehatan, dan 3) klaim penurunan risiko penyakit (reduction of disease risk claim) yang terkait dengan konsumsi suatu pangan atau unsur pokok pangan dalam konteks total diet, terhadap penurunan risiko terjadinya suatu penyakit/atau kondisi kesehatan (CAC 2004). Uni Eropa telah menetapkan peraturan tentang klaim gizi dan kesehatan sebagaimana tertuang dalam Regulation (EC) No. 1924/2006 of The European Parliament and the Council on Nutrition and 9

7 Health Claims made on Foods tanggal 20 December 2006 (Anonim 2007). Peraturan yang diberlakukan sejak Juli 2007 tersebut memuat persyaratan umum pencantuman klaim gizi dan kesehatan, antara lain: (1) terbukti secara ilmiah mempunyai manfaat gizi atau fisiologis, (2) zat gizi atau non gizi yang diklaim terdapat dalam produk akhir sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, (3) jika dimungkinkan terdapat dalam bentuk yang dapat digunakan tubuh, (4) jumlah pangan yang wajar dikonsumsi memberikan sejumlah zat gizi atau non gizi sebagaimana klaim yang dicantumkan, (5) secara rata-rata konsumen dapat mengerti manfaat kesehatan yang dimaksudkan klaim dan klaim dikaitkan dengan pangan dalam bentuk yang siap dikonsumsi sesuai petunjuk perusahaan. Dalam ketentuan tersebut juga ditetapkan bahwa penggunaan klaim gizi dan kesehatan hanya diizinkan jika produk memenuhi profil zat gizi (nutrient profile) yang akan ditetapkan. Profil zat gizi tersebut dimaksudkan untuk menjamin bahwa pangan yang memuat klaim tentang kesehatan tidak mengandung sejumlah zat gizi yang terkait dengan penyakit kronis jika dikonsumsi secara berlebihan (Anonim 2007). Jepang merupakan salah satu negara yang memelopori pembuatan peraturan tentang klaim kesehatan. Di Jepang pangan yang diizinkan memuat klaim tentang manfaat kesehatan dikenal dengan istilah FOSHU (Food for Specified Health Use) dan pangan dimaksudkan untuk memperbaiki masalah kesehatan yang serius seperti meningkatkan kondisi pencernaan, menurunkan kadar yang tinggi dari kolesterol, tekanan darah dan glukosa, meningkatkan penyerapan mineral, dan mencegah kerusakan gigi (Hawkes 2004). Banyak negara tidak atau belum mengatur klaim kesehatan dan menurut Hawkes (2004) pengaturan klaim kesehatan tidak mudah dilakukan bahkan telah menimbulkan kontroversi. Dalam pengaturan klaim kesehatan, pemerintah harus memperhatikan keseimbangan antara potensi pencapaian sasaran kesehatan masyarakat dengan kenyataan bahwa klaim kesehatan dapat mengelabui atau menyesatkan konsumen jika tidak didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan hubungan manfaat tersebut (Hawkes 2004). 2.5 Pangan Fungsional Istilah pangan fungsional pertama kali di gunakan tahun 1980 di Jepang dengan istilah Foods for Spesified of Health Use (FOSHU). Saat ini pangan fungsional masih terus berkembang baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk di Indonesia. Selain fungsinya semakin beragam, bentuk produknya sendiri juga semakin bervariasi. Di samping itu, produsen untuk satu jenis pangan fungsional pun semakin banyak. Pada tahun-tahun mendatang, pangan fungsional tampaknya masih akan terus berkembang. Kesadaran masyarakat semakin tinggi akan pentingnya mencegah daripada mengobati. Karena itu, masyarakat akan semakin memilih makanan yang menawarkan fungsi kesehatan tertentu. Diperkirakan, harapan hidup seseorang juga semakin baik, menandakan perlunya produk untuk mereka yang lanjut usia, yaitu mereka yang umumnya lebih perhatian terhadap manfaat kesehatan dari suatu pangan. Selain itu, di tahun 2000, Indonesia menduduki tempat ke-empat sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbesar. Diperkirakan, Indonesia akan tetap menduduki posisi ke-empat di tahun 2030 dengan 21,3 milyar penderita diabetes. Ada juga studi yang disebutkan oleh World Health Organization, yang menunjukkan bahwa prevalensi orang dengan berat badan berlebih (Indeks Massa Tubuh = IMT = 25) di Indonesia mencapai 38% untuk pria dan 49% untuk wanita. Hal-hal ini akan menjadi penunjang perkembangan pangan fungsional di Indonesia (Susana 2008). Di Indonesia, pada tahun 2005 telah ditetapkan Peraturan Kepala Badan POM Nomor: HK tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Pada peraturan tersebut 10

8 diuraikan mengenai definisi pangan fungsional yaitu pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa komponen fungsional yang telah diizinkan antara lain vitamin, mineral, gula alkohol, serat pangan, fitosterol dan fitostanol, prebiotik serta probiotik. Komponen pangan fungsional tidak boleh memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain (Restiani 2008). Pangan fungsional didefinisikan oleh Shaver dan Weinrib (2006) sebagai komponen makanan atau makanan yang telah terbukti memberikan manfaat kesehatan khusus di luar gizi dasar. Manfaat kesehatan sering berasal dari komponen makanan yang tidak dianggap nutrisi di bawah definisi tradisional, misalnya, lycopene dari tomat atau β-glukan dari gandum. Komponen-komponen sehat dapat berasal dari sumber makanan konvensional seperti antioksidan dan serat dalam buah-buahan dan sayuran, serat larut dalam sarapan sereal gandum, atau isoflavon yang berasal dari kedelai. Sumbersumber lain dari komponen makanan sehat mungkin dari makanan tidak umum dalam diet Amerika seperti biji rami, sumber asam lemak esensial, atau yogurt, sumber nutrisi yang memberi makan bakteri menguntungkan dalam perut. Dalam kasus lain, komponen pangan fungsional ditambahkan ke produk makanan tradisional, seperti kalsium untuk jus jeruk atau vitamin untuk tepung terigu. Bioteknologi pangan akan terus menyediakan sarana baru untuk pengembangan pangan fungsional. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan hasil kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberikan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan pada jumlah penggunaan yang dianjurkan. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan Pengawasan Obat dan Makanan 2001). Agriculture and Agri-Food Canada (2007) menyebutkan bahwa makanan fungsional diciptakan melalui berbagai cara, diantaranya: (1) fortifikasi dengan vitamin dan/atau mineral untuk memberikan manfaat kesehatan tambahan (misalnya minuman kedelai fortifikasi dan jus buah dengan kalsium), (2) penambahan bahan bioaktif (misalnya, muffin dengan beta glucan, yogurts dengan probiotik dan minuman dengan ramuan campuran), dan (3) peningkatan komponen bioaktif melalui pemuliaan tanaman, pengolahan, atau khusus teknik pakan ternak (misalnya, telur, susu dan daging dengan omega-3, minyak canola tinggi karotenoid, dan gandum dengan tingkat lutein tinggi). Pangan fungsional merupakan salah satu jenis pangan yang cenderung untuk mencantumkan klaim kesehatan, karena dianggap mengandung senyawa yang memberikan pengaruh fisiologis pada tubuh. Fungsi-fungsi fisiologis yang dimaksud diantaranya adalah meningkatkan daya tahan tubuh, mengatur ritmik kondisi fisik, mencegah penuaan, dan mencegah penyakit yang berkaitan dengan makanan (Fardiaz 2004). Klaim yang diizinkan digunakan pada produk pangan fungsional meliputi klaim kandungan gizi, klaim fungsi gizi dan klaim manfaat terhadap kesehatan. Contoh klaim kandungan gizi yang diizinkan adalah diperkaya kalsium, mengandung serat pangan, tinggi asam folat. Contoh klaim fungsi gizi yang diizinkan adalah Kalsium berperan dalam pembentukan tulang dan mempertahankan kepadatan tulang dan gizi. Contoh klaim manfaat terhadap kesehatan adalah Latihan fisik rutin dan diet yang sehat disertai dengan kalsium yang cukup, membantu remaja dan wanita dewasa memelihara kesehatan dengan baik dan dapat mengurangi risiko terjadinya kerapuhan tulang dikemudian hari. Persyaratan yang harus dipenuhi antara lain jumlah kalsium dan kandungan fosfor (Restiani 2008). 11

9 2.6 Diagram Pohon Keputusan (Decision Tree) Keputusan merupakan pilihan alternatif, jadi mengambil keputusan atau melakukan tindakan artinya memilih dari alternatif yang tersedia. Untuk memudahkan penggambaran keadaan keputusan dengan jalan memilih alternatif secara sistematis dan komprehensif atau menyeluruh, perlu digunakan suatu diagram yang pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kronologis tentang kejadian apa yang mungkin terjadi sebagai akibat dari alternatif tindakan atau keputusan. Diagram ini disebut diagram pohon keputusan (decision tree) karena gambarnya menyerupai pohon yang bercabang-cabang (Supranto 2005). Decision tree merupakan salah satu metode klasifikasi yang paling populer karena mudah untuk diinterpretasi oleh manusia. Decision tree adalah model prediksi menggunakan struktur pohon atau struktur berhirarki. Konsep dari pohon keputusan adalah mengubah data menjadi pohon keputusan dan aturan-aturan keputusan. Manfaat utama dari penggunaan decision tree adalah kemampuannya untuk mem-break down proses pengambilan keputusan yang kompleks menjadi lebih simpel sehingga pengambil keputusan akan lebih menginterpretasikan solusi dari permasalahan (Dermawan 2009). Sistem yang dibangun dalam penelitian ini mengambil konsep decision tree, yaitu struktur hirarki alternatif yang ada untuk mengambil sebuah keputusan. Pada diagram tersebut disusun pertanyaan-pertanyaan dan alternatif jawaban berdasarkan poin-poin peraturan tentang iklan pangan yang telah dikelompokkan menjadi beberapa kategori pelanggaran umum dan khusus produk tertentu. Decision tree tersebut menghasilkan sebuah keputusan atau kesimpulan bahwa suatu iklan memenuhi ketentuan (MK) atau tidak memenuhi ketentuan (TMK) untuk tiap poin atau subkategori pelanggaran. Di akhir akan diketahui level kesesuaian (compliance) iklan tersebut secara keseluruhan dan untuk tiap kategori pelanggaran. Penyusunan tiap poin pelanggaran dalam hirarki tersebut diatur menurut Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut UU tersebut, yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangundangan. Pasal 7 UU tersebut menyebutkan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden, (6) Peraturan Daerah Provinsi, dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. 2.7 Peraturan-Peraturan yang Terkait dengan Pelanggaran Iklan Pangan Iklan pangan yang beredar pada media diatur dalam beberapa Peraturan Perundang-Undangan, yang pada dasarnya memuat ketentuan bahwa iklan pangan tersebut dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 UU Pangan No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yaitu setiap iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan bahwa suatu "keterangan dianggap tidak benar" apabila keterangan 12

10 tersebut bertentangan dengan kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan. Yang dimaksud dengan "keterangan yang menyesatkan" adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat, atau keamanan pangan yang meskipun benar, dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan. Penjelasan mengenai keterangan tidak benar dan keterangan yang menyesatkan juga disebutkan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Keterangan tentang pangan yang dimaksud baik dalam bentuk gambar dan atau suara, pernyataan, dan atau bentuk apapun lainnya (dalam Pasal 44). Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan dapat mengenai: (1) harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa, (2) kegunaan suatu barang dan/atau jasa, (3) kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa, (4) tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan, maupun (5) bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Tinjauan pustaka terhadap Peraturan Perundang-undangan berikut dibagi berdasarkan kategori pelanggaran, yaitu (1) iklan pangan yang menggunakan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan, (2) iklan pangan yang melanggar norma kesusilaan atau menggunakan model iklan anak-anak berusia di bawah lima tahun, (3) iklan pangan yang mendiskreditkan atau merendahkan pangan lain baik secara langsung maupun tidak langsung, (4) iklan pangan yang mengarah bahwa pangan seolah-olah sebagai obat, (5) iklan pangan yang mencantumkan logo, tulisan, atau referensi, (6) iklan pangan yang mencantumkan klaim gizi, manfaat kesehatan, dan keamanan pangan, (7) iklan pangan yang mengandung pernyataan berkaitan dengan proses, asal, dan sifat bahan pangan, (8) iklan pangan yang menyertakan undian, sayembara, dan hadiah, (9) iklan pangan yang mengandung bahan tertentu atau untuk kelompok orang tertentu, (10) iklan produk pangan khusus (hasil olah susu jenis susu krim penuh, susu kental manis, susu skim dan filled milk, pengganti air susu ibu (PASI) atau susu bayi atau infant formula, vitamin, makanan pelengkap (food suplement) dan mineral, makanan diet, atau minuman beralkohol Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan Kategori pelanggaran A yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan penggunaan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan. Peraturan pertama yang menjadi sub kategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Pasal 9 ayat 1 poin j UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap. Selanjutnya, sub kategori (2) bersumber pada Pasal 50 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan dilarang memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan. Peraturan selanjutnya yang mengatur penggunaan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan yaitu Petunjuk Teknis Umum poin ke-8 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah 13

11 Tangga dan Makanan dan Minuman, serta Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh dimuat dengan ilustrasi peragaan maupun kata-kata yang berlebihan sehingga dapat menyesatkan konsumen. Tidak dirinci lebih lanjut dalam peraturan tersebut mengenai contoh katakata berlebihan yang dimaksud. Subkategori (4) untuk kategori pelanggaran tersebut bersumber dari Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan-iklan produk pangan dilarang menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah, statistik, dan grafik untuk menyesatkan khalayak atau menciptakan kesan yang berlebihan dan tak bermakna. Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan juga menyebutkan iklan produk pangan dilarang menggunakan pernyataan bahwa produk pangan tersebut dapat meningkatkan kecerdasan atau meningkatkan IQ. Peraturan tersebut menjadi dasar subkategori (5) kategori pelanggaran A. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran A berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai penggunaan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Norma Kesusilaan dan Penggunaan Model Iklan Anak-Anak Berusia di Bawah Lima Tahun Kategori pelanggaran B yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan norma kesusilaan dan penggunaan model iklan anak-anak berusia di bawah lima tahun. Peraturan pertama yang menjadi dasar subkategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Pasal 44 ayat 2 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebutkan bahwa setiap iklan tentang pangan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya, dalam Pasal 47 ayat 2 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan bahwa iklan dilarang sematamata menampilkan anak-anak berusia dibawah 5 (lima) tahun dalam bentuk apapun, kecuali apabila pangan tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia dibawah 5 (lima) tahun. Pada penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pengeksploitasian anak dalam iklan pangan, khususnya yang semata-mata menampilkan anak-anak dibawah lima tahun namun bukan untuk pangan yang khusus anak-anak kelompok usia tersebut. Dalam konteks iklan pangan tersebut, dapat saja menampilkan anak-anak berusia dibawah lima tahun, namun ditampilkan dalam suatu konteks yang lebih luas, misalnya bersama keluarga. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran B berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai dengan norma kesusilaan dan penggunaan model iklan anak-anak berusia di bawah lima tahun Larangan Iklan Pangan yang Mendiskreditkan atau Merendahkan Pangan Lain Baik Secara Langsung Maupun Tidak Langsung Kategori pelanggaran C yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan iklan pangan yang mendiskreditkan atau merendahkan pangan lain baik secara langsung maupun tidak langsung. 14

12 Peraturan pertama yang menjadi dasar subkategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Pasal 9 ayat 1 poin i UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain. Dalam Pasal 47 ayat 1 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan juga disebutkan bahwa iklan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluaskan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya. Larangan mendiskreditkan produk lain bertujuan agar konsumen mempunyai kebebasan memilih berdasarkan pengetahuannya sendiri terhadap suatu produk pangan tanpa dipengaruhi oleh iklan yang bersifat mendiskreditkan produk lain sejenis. Selanjutnya, subkategori (2) untuk kategori pelanggaran tersebut diatur dalam Petunjuk Teknis Umum poin ke-13 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman. Poin dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh dengan sengaja menyatakan seolah-olah makanan yang berlabel gizi mempunyai kelebihan dari makanan yang tidak berlabel gizi. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran C berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai iklan pangan yang mendiskreditkan atau merendahkan pangan lain baik secara langsung maupun tidak langsung Larangan Iklan Pangan yang Mengarah Bahwa Pangan Seolah-Olah Sebagai Obat Kategori pelanggaran D yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan iklan pangan yang mengarah bahwa pangan seolah-olah sebagai obat. Kategori pelanggaran tersebut diatur dalam beberapa peraturan, yaitu Pasal 53 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat, Petunjuk Teknis Umum poin ke-10 dan Petunjuk Teknis Khusus poin ke-6 (h) Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa iklan makanan dilarang mencantumkan bahwa suatu makanan dapat menyehatkan dan dapat memulihkan kesehatan, dan Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa dilarang mengiklankan pangan yang mengarah ke pendapat bahwa pangan seolah-olah sebagai obat. Penjelasan Pasal 53 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan menjelaskan lebih lanjut bahwa pangan berbeda dengan obat dan masing-masing mempunyai karakter yang spesifik, yaitu pangan tidak menyembuhkan sedangkan obat untuk penyembuhan. Pangan tidak dapat berfungsi sebagai obat, sehingga mengiklankan pangan sebagai obat merupakan perbuatan yang menipu konsumen. Iklan yang MK untuk kategori pelanggaran D berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai iklan pangan yang mengarah bahwa pangan seolah-olah sebagai obat. 15

13 2.7.5 Larangan Iklan Pangan Berkaitan Pencantuman Logo, Tulisan, atau Referensi Kategori pelanggaran E yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan pencantuman logo, tulisan, dan referensi. Peraturan pertama yang menjadi dasar subkategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Petunjuk Teknis Khusus poin ke-7 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa kata halal tidak boleh diiklankan. Dalam Bab VI Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan juga dijelaskan bahwa pada prinsipnya kehalalan produk pangan tidak untuk diiklankan, baik berupa tulisan maupun ucapan pada media massa. Penggunaan tulisan halal atau logo halal dalam iklan produk pangan hanya boleh untuk pangan yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesa (MUI) atau lembaga yang berwenang dan telah mendapat persetujuan pencantuman dan/atau logo halal pada label dari Badan PM RI. Oleh karena itu, subkategori (1) kategori pelanggaran E mengatur larangan pencantuman kata halal atau logo halal pada iklan pangan. Selanjutnya, sub kategori (2) yang diatur dalam Bab II Ketentuan Umum Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan berisi larangan mengenai iklan pangan yang mencantumkan logo yang menyinggung perasaan etnis atau kelompok sosial tertentu. Pada Bab IX peraturan tersebut juga mengatur larangan iklan pangan yang memuat pernyataan dan/atau menampilkan nama, logo, atau identitas lembaga yang melakukan analisis dan mengeluarkan sertifikat terhadap pangan. Peraturan tersebut menjadi dasar subkategori (3) kategori pelanggaran E. Subkategori terakhir untuk kategori pelanggaran tersebut yaitu melarang iklan pangan yang memuat referensi, nasehat, peringatan, atau pernyataan dari tenaga kesehatan (antara lain dokter, ahli farmasi, perawat, bidan), tenaga profesi lain (antara lain psikolog, ahli gizi, tenaga analisis laboratorium), organisasi profesi, atau orang dengan profesi keagamaan, seperti yang diatur dalam Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK Tentang Pedoman Periklanan Pangan. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran E berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai pencantuman logo, tulisan, dan referensi Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Klaim Gizi, Manfaat Kesehatan, dan Keamanan Pangan Kategori pelanggaran F yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan klaim gizi, manfaat kesehatan, dan keamanan pangan. Peraturan pertama yang menjadi dasar subkategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Pasal 56 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan yang menyebutkan bahwa iklan yang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan telah diperkaya dengan vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lainnya tidak dilarang, sepanjang hal tersebut benar dilakukan pada saat pangelolaan pangan tersebut. Dijelaskan lebih lanjut pada Petunjuk Teknis Umum poin ke-6 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman bahwa iklan makanan boleh mencantumkan pernyataan diperkaya atau 16

14 kaya sumber vitamin dan mineral bila pada sejumlah makanan yang biasa dikonsumsi satu hari terdapat paling sedikit ½ dari jumlah yang dianjurkan (RDA/AKG). Selanjutnya, subkategori (2) berdasar pada Petunjuk Teknis Umum poin ke-6 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa pernyataan makanan berkalori dapat diiklankan bila makanan tersebut dapat memberikan minimun 300 Kcal per hari. Subkategori (3) bersumber pada Petunjuk Teknis Umum poin ke-14 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh memuat pernyataan nilai khusus pada makanan apabila nilai tersebut tidak seluruhnya berasal dari makanan tersebut, tetapi sebagian diberikan oleh makanan lain yang dapat dikonsumsi bersama-sama (seperti nilai kalori pada makanan serealia untuk sarapan yang biasanya dimakan dengan susu dan gula). Subkategori selanjutnya untuk kategori pelanggaran F didasarkan oleh Petunjuk Teknis Umum poin ke-15 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh menyatakan bahwa makanan seolah-olah merupakan sumber protein, kecuali 20% kandungan kalorinya berasal dari protein dan atau kecuali jumlah yang wajar dikonsumsi per hari mengandung tidak kurang dari 10 gram protein. Kemudian, subkategori (5) diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan yang menyebutkan bahwa klaim kandungan zat gizi yang diizinkan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam peraturan tersebut. Dalam peraturan tersebut dijelaskan klaim kandungan zat gizi adalah klaim yang menggambarkan kandungan zat gizi dalam pangan. Pasal 9 ayat 2 dan 3 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan mengatur bahwa klaim rendah... (nama komponen pangan) atau bebas... (nama komponen pangan) hanya boleh digunakan pada pangan olahan yang telah mengalami proses tertentu sehingga kandungan zat gizi atau komponen pangan tersebut menjadi rendah atau bebas dan harus sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Pangan olahan yang secara alami rendah atau bebas mengandung komponen tertentu, dilarang memuat klaim kandungan zat gizi rendah atau bebas yang terkait dengan komponen tersebut. Pencantuman klaim tersebut ditulis rendah... (nama komponen pangan) atau bebas... (nama komponen pangan). Peraturan tersebut menjadi dasar subkategori pelanggaran (6). Subkategori selanjutnya bersumber pada Pasal 10 Ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan yang menyebutkan bahwa klaim perbandingan zat gizi hanya dapat digunakan untuk pangan olahan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) pangan olahan yang dibandingkan adalah pangan sejenis tetapi dengan varian yang berbeda dari produsen yang sama, (b) perbedaan kandungan dinyatakan dalam persentase, pecahan atau dalam angka mutlak terhadap pangan sejenis, (c) perbedaan relatif kandungan zat gizi yang dibandingkan sekurangkurangnya 10 % ALG (lebih tinggi atau lebih rendah) untuk zat gizi mikro sedangkan untuk energi dan zat gizi lain sekurang-kurangnya 25 % (lebih tinggi atau lebih rendah), dan (d) perbedaan mutlak sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan rendah atau sumber sebagaimana ditetapkan dalam klaim kandungan zat gizi. Klaim perbandingan zat gizi adalah klaim yang membandingkan 17

Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum. A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan

Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum. A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan Q1 Apakah iklan pangan yang dievaluasi menggunakan kata-kata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Iklan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Iklan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Iklan Kleppner (1986) menyatakan bahwa iklan (advertisement) berasal dari bahasa latin ad-vere berarti menyampaikan pikiran dan gagasan pada pihak lain. Pengertian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.18,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Label dan Iklan. Pangan Olahan. Pengawasan Klaim. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: 1. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne No. 887, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Klaim. Pangan Olahan. Label dan Iklan. pengawasan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR MUTU GIZI, PELABELAN, DAN PERIKLANAN SUSU FORMULA PERTUMBUHAN DAN FORMULA PERTUMBUHAN ANAK USIA 1-3 TAHUN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN UMUM Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan salah satu tujuan penting

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK 00.05.52.0685 TENTANG KETENTUAN POKOK PENGAWASAN PANGAN FUNGSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI,

Lebih terperinci

Mata Kuliah - Etika Periklanan-

Mata Kuliah - Etika Periklanan- Mata Kuliah - Etika Periklanan- Modul ke: PP Terkait Periklanan Fakultas FIKOM Ardhariksa Z, M.Med.Kom Program Studi Marketing Communication and Advertising www.mercubuana.ac.id HUKUM POSITIF KU Perdata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembangunan Decision Tree Decision tree merupakan struktur hirarki alternatif yang ada untuk mengambil sebuah keputusan. Decision tree dalam penelitian ini dibangun sebagai

Lebih terperinci

Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan

Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 2005 Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.23.11.11.09605 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.06.51.0475 TAHUN 2005 TENTANG

Lebih terperinci

Modul ke: ETIKA PERIKLANAN. Overview. Fakultas ILMU KOMUNIKASI. Kartika, SIP, M.Ikom. Program Studi Advertising & Marketing Communication

Modul ke: ETIKA PERIKLANAN. Overview. Fakultas ILMU KOMUNIKASI. Kartika, SIP, M.Ikom. Program Studi Advertising & Marketing Communication Modul ke: 01 Cherry Fakultas ILMU KOMUNIKASI ETIKA PERIKLANAN Overview Kartika, SIP, M.Ikom Program Studi Advertising & Marketing Communication Agenda Aturan-aturan pemerintah yang ada berkaitan dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

Etika Periklanan. Kaitan Peraturan Pemerintah dengan Periklanan MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Etika Periklanan. Kaitan Peraturan Pemerintah dengan Periklanan MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh MODUL PERKULIAHAN Kaitan Peraturan Pemerintah dengan Periklanan Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Ilmu Periklanan dan Kode MK Komunikasi Komunikasi 02 Periklanan Abstract

Lebih terperinci

2016, No Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2016, No Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg No.792, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Label Gizi. Acuan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN

Lebih terperinci

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011 SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011 DIREKTUR STANDARDISASI PRODUK PANGAN BADAN POM RI 1 Maret 2012 1 LIST PERATURAN 1. Peraturan Kepala Badan POM No.HK.03.1.23.11.11.09605 Tahun 2011

Lebih terperinci

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif dr. Yulia Megawati Tenaga Kerja Adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

2011, No BAB 9 FORMAT

2011, No BAB 9 FORMAT 5 LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.23.11.11. TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.06.51.0475

Lebih terperinci

KLAIM PENURUNAN RISIKO PENYAKIT

KLAIM PENURUNAN RISIKO PENYAKIT LAMPIRAN V PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.23.12.11.09909 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN KLAIM DALAM LABEL DAN IKLAN PANGAN OLAHAN KLAIM PENURUNAN RISIKO PENYAKIT 1. Asam

Lebih terperinci

Mencermati Label dan Iklan Pangan. Purwiyatno Hariyadi

Mencermati Label dan Iklan Pangan. Purwiyatno Hariyadi Mencermati Label dan Iklan Pangan Purwiyatno Hariyadi Hanya dengan menonton televisi atau membaca surat kabar kita bisa merasakan adanya perubahan arah yang terjadi pada industri pangan. Perubahan itu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah terciptanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk. cair. Pangan merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk. cair. Pangan merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan tubuh yang memiliki dua bentuk yaitu padat dan cair. Pangan merupakan istilah

Lebih terperinci

Advertisement of Nutrition Message in Food Product. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

Advertisement of Nutrition Message in Food Product. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Advertisement of Nutrition Message in Food Product Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tren penggunaan pesan terkait kesehatan oleh produsen semakin meningkat, sehingga memberikan konsekuensi penting

Lebih terperinci

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR PENGUJIAN BAHAN PANGAN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR PENGUJIAN BAHAN PANGAN No. BAK/TBB/BOG311 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2010 Hal 1 dari 9 BAB III ACUAN LABEL GIZI Jika kita membeli produk makanan atau minuman di supermarket, seringkali Informasi Nilai Gizi yang tercetak pada kemasan

Lebih terperinci

a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab;

a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

Berikut adalah beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam Pedoman ini.

Berikut adalah beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam Pedoman ini. Berikut adalah beberapa istilah dan definisi yang digunakan dalam Pedoman ini. 2.1 Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

Grup I- Label Pangan

Grup I- Label Pangan Grup I- Label Pangan Label produk pangan adalah setiap keterangan mengenai produk pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Zat Gizi dan Non Gizi dalam Klaim Gizi dan Kesehatan

TINJAUAN PUSTAKA Zat Gizi dan Non Gizi dalam Klaim Gizi dan Kesehatan TINJAUAN PUSTAKA Zat Gizi dan Non Gizi dalam Klaim Gizi dan Kesehatan Klaim gizi dan kesehatan yang tercantum pada label maupun iklan pangan memberikan gambaran tentang keberadaan dan manfaat suatu zat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas dari semakin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas dari semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan kehidupan sosial masyarakat saat ini tidak lepas dari semakin pesatnya perkembangan teknologi dan informasi. Arus teknologi dan informasi yang terjadi

Lebih terperinci

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia umumnya digunakan untuk menggambarkan makanan yang dianggap bermanfaat bagi kesehatan, melebihi diet sehat normal yang diperlukan bagi nutrisi manusia. Makanan Sehat "Makanan Kesehatan" dihubungkan dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Sikap..., Ferina Rahmawati, F.PSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Sikap..., Ferina Rahmawati, F.PSI UI, 2008 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya perkembangan produkproduk penopang kehidupan manusia, kehidupan kita hampir tak bisa lepas dari sekumpulan iklan.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.192, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Alat. Perbekalan. Rumah Tangga. Iklan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2013 TENTANG IKLAN ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber nutrisi lengkap dan mengandung gizi tinggi. Kandungan kalsium susu sangat dibutuhkan dalam masa pertumbuhan dan pembentukan tulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi Susu pada saat remaja terutama

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi Susu pada saat remaja terutama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi Susu pada saat remaja terutama dimaksudkan untuk memperkuat tulang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.710, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Minuman. Khusus. Ibu Hamil. Menyusui. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2013

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3867) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN 7 2013, No.709 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN PERSYARATAN KEAMANAN, MUTU DAN GIZI FORMULA PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Lembaga Pemberi Kode Halal Asing yang Disahkan Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Lembaga Pemberi Kode Halal Asing yang Disahkan Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) 62 LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Lembaga Pemberi Kode Halal Asing yang Disahkan Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampiran 2. Checklist Kesesuaian Pencantuman Label I II N O JENIS PRODUK 1 2 3 4 5 6 7 8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktorfaktor lain menentukan

Lebih terperinci

INFORMASI NILAI GIZI

INFORMASI NILAI GIZI Format Informasi Nilai Gizi untuk pangan yang biasa dikombinasikan dengan pangan lain sebelum dikonsumsi INFORMASI NILAI GIZI Takaran saji. (URT) ( g) Jumlah Sajian per Kemasan :. JUMLAH PER SAJIAN Sereal

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.5.1.2569 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA PENILAIAN PRODUK PANGAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.00.05.23.3644 TE N TA N G KETENTUAN POKOK PENGAWASAN SUPLEMEN MAKANAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

FORM PENILAIAN IKLAN PANGAN. Nama produk Jenis produk. (lihat kategori pangan ) : Cetak/elektrobik/luar ruang. Tanggal terbit media

FORM PENILAIAN IKLAN PANGAN. Nama produk Jenis produk. (lihat kategori pangan ) : Cetak/elektrobik/luar ruang. Tanggal terbit media LAMPIRAN 1 FORM PENILAIAN IKLAN PANGAN Nama produk Jenis produk Jenis media Nama media Tanggal terbit media :. :.. (lihat kategori pangan ) : Cetak/elektrobik/luar ruang :. :.. I No Uraian Ya Tidak Penilaian

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGAWASAN PERIKLANAN PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGAWASAN PERIKLANAN PANGAN OLAHAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGAWASAN PERIKLANAN PANGAN OLAHAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2013 TENTANG ANGKA KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN BAGI BANGSA INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2013 TENTANG ANGKA KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN BAGI BANGSA INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2013 TENTANG ANGKA KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN BAGI BANGSA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi susu pada saat remaja terutama dimaksudkan untuk memperkuat tulang sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PENCANTUMAN INFORMASI KANDUNGAN GULA, GARAM, DAN LEMAK SERTA PESAN KESEHATAN UNTUK PANGAN OLAHAN DAN PANGAN SIAP SAJI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN MINUMAN KHUSUS IBU HAMIL DAN/ATAU IBU MENYUSUI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label PENDAHULUAN Latar Belakang Label merupakan salah satu alat komunikasi untuk menyampaikan sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label yang disusun secara baik akan memudahkan konsumen

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Apakah Diet Makanan Saja Cukup Sebagai Obat Diabetes Alami?

Apakah Diet Makanan Saja Cukup Sebagai Obat Diabetes Alami? Apakah Diet Makanan Saja Cukup Sebagai Obat Diabetes Alami? Bicara tentang diabetes pasti juga perlu membicarakan mengenai diet makanan bagi penderita diabetes. Diet makanan bagi penderita diabetes dapat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI)

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI) MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai macam produk sejenis, disertai

BAB I PENDAHULUAN. membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai macam produk sejenis, disertai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kehidupan dunia bisnis yang mengalami perkembangan dan perubahan membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai macam produk sejenis, disertai dengan isu globalisasi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT) Department of Food Science and Technology Bogor Agricultural University http://itp.fateta.ipb.ac.id Tujuan Aturan Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999) Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung

Lebih terperinci

Lampiran 1. Checklist Survei Pencantuman Label pada Produk Susu Formula dan Makanan Bayi

Lampiran 1. Checklist Survei Pencantuman Label pada Produk Susu Formula dan Makanan Bayi 41 Lampiran 1. Checklist Survei Pencantuman Label pada Produk Susu Formula dan Makanan Bayi I II NO Nama Produk 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 a b c d a b c a b c d e f a b

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN FILE EDIT 16 November 2016 Masukan dapat disampaikan kepada Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen melalui email mmi_stand_ot@yahoo.com, telp/fax 021-4241038 paling lambat

Lebih terperinci

2016, No Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Neg

2016, No Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Neg No. 738, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Periklanan Pangan Olahan. Pengawasan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesaing baru maupun pesaing yang sudah ada yang bergerak dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. pesaing baru maupun pesaing yang sudah ada yang bergerak dalam bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia industri di Indonesia telah berkembang sangat pesat, hal ini menyebabkan kondisi persaingan dunia bisnis dewasa ini semakin bertambah ketat. Semakin tingginya

Lebih terperinci

PADA LIMA MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL

PADA LIMA MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL ANALISIS KESESUAIAN IKLAN PRODUK KOSMETIK DENGAN Kep.Men.Kes RI No: 386/Men.Kes/SK/IV/1994 PADA LIMA MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009 SKRIPSI Oleh : ANDI PURWANTO

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR: HK.00.05.52.6291 TENTANG KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI, Menimbang : Mengingat : a. b. c. d. 1. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gaya makanan junk food dan fast food yang tren di tengah masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. gaya makanan junk food dan fast food yang tren di tengah masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menuntut sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, seiring dengan kemajuannya, kesehatan yang

Lebih terperinci

TANTANGAN PENGEMBANGAN INDUSTRI MAJALAH PADA ERA DIGITAL. Oleh: Tri Diah Cahyowati, MSi. Morissan, M.A

TANTANGAN PENGEMBANGAN INDUSTRI MAJALAH PADA ERA DIGITAL. Oleh: Tri Diah Cahyowati, MSi. Morissan, M.A TANTANGAN PENGEMBANGAN INDUSTRI MAJALAH PADA ERA DIGITAL Oleh: Tri Diah Cahyowati, MSi Morissan, M.A Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana, 2011 Abstrak: Industri majalah di Indonesia dewasa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen Pengertian konsumen menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebelum berlakunya

Lebih terperinci

BAB I. Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai. dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan

BAB I. Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai. dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan masyarakatnya

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN SAJI PANGAN OLAHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN SAJI PANGAN OLAHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN SAJI PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Media massa merupakan salah satu sumber informasi yang digunakan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Media massa merupakan salah satu sumber informasi yang digunakan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Media massa merupakan salah satu sumber informasi yang digunakan dan banyak dipercaya oleh masyarakat. Masyarakat dapat melihat dunia tanpa harus keluar rumah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku Kedokteran EGC. hlm ibid. hlm. 140

BAB I PENDAHULUAN. Buku Kedokteran EGC. hlm ibid. hlm. 140 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua makhluk hidup akan selalu melakukan aktivitas setiap harinya. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia tentunya akan selalu membutuhkan energi. Energi

Lebih terperinci

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi memberikan dampak positif dan negatif terhadap gaya hidup dan pola konsumsi makanan pada masyarakat di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di pasar saat ini adalah berbentuk flake. Sereal dalam bentuk flake dianggap

BAB I PENDAHULUAN. di pasar saat ini adalah berbentuk flake. Sereal dalam bentuk flake dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan gaya hidup menuntut semua serba cepat dan praktis, tidak terkecuali makanan, sehingga permintaan akan sereal sarapan yang praktis dan bergizi semakin meningkat.

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian

BAB II KERANGKA TEORI. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian BAB II KERANGKA TEORI Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian (Sugiyono, 2006:55). Dalam pengertian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:HK TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:HK TENTANG NOMOR:HK.00.05.5.1142 TENTANG ACUAN PENCANTUMAN PERSENTASE ANGKA KECUKUPAN GIZI PADA LABEL PRODUK PANGAN RI, Menimbang : a. bahwa pangan yang disertai pernyataan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melihat perkembangan zaman dan teknologi yang ada pada saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. Melihat perkembangan zaman dan teknologi yang ada pada saat ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Melihat perkembangan zaman dan teknologi yang ada pada saat ini, membuat komunikasi menjadi lebih mudah dan beragam, mulai dari bentuk komunikasi satu arah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI )

TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI ) TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI ) Sebagai acuan bagi produsen pangan dalam memproduksi MP-ASI, Indonesia telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang MP-ASI yang terdiri

Lebih terperinci

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes GIZI DAUR HIDUP Rizqie Auliana, M.Kes rizqie_auliana@uny.ac.id Pengantar United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam, sehingga kebutuhan zat gizinya dapat terpenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam, sehingga kebutuhan zat gizinya dapat terpenuhi. BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk dapat melangsungkan hidupnya, manusia memerlukan makanan karena makanan merupakan sumber gizi dalam bentuk kalori,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan.

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada balita dapat menimbulkan beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. perubahan pola makan yang ternyata berdampak negatif pada meningkatnya

I PENDAHULUAN. perubahan pola makan yang ternyata berdampak negatif pada meningkatnya I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Gambar 1. Grafik Perkembangan Produksi Susu Provinsi Jawa Barat Tahun (Ton) Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, 2010

I PENDAHULUAN. Gambar 1. Grafik Perkembangan Produksi Susu Provinsi Jawa Barat Tahun (Ton) Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, 2010 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan telah mengalami peningkatan kinerja dari tahun ke tahun. Salah satu acuan dalam melihat kinerja suatu sektor adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yaitu 373 per

BAB I PENDAHULUAN. sesuai hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yaitu 373 per 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) dan anak di Indonesia masih cukup tinggi sesuai hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yaitu 373 per 100.000 kelahiran hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Status nutrisi adalah kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Status nutrisi adalah kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Status nutrisi Status nutrisi adalah kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan dan manfaat zat zat gizi. Perubahan pada dimensi tubuh mencerminkan keadaan kesehatan

Lebih terperinci

Pola hidup sehat untuk penderita diabetes

Pola hidup sehat untuk penderita diabetes Pola hidup sehat untuk penderita diabetes Penanganan diabetes berfokus pada mengontrol kadar gula darah (glukosa). Hal tersebut dapat dijalankan dengan memperhatikan pola makan dan olahraga, serta merubah

Lebih terperinci

PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT

PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT Oleh : ENDANG SUPRIYATI, SE KETUA KWT MURAKABI ALAMAT: Dusun Kenteng, Desa Puntukrejo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. APA YANG ADA dibenak dan PIKIRAN

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN ANALISIS KANDUNGAN GIZI BERDASARKAN STUDI LITERATUR Studi literatur ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya mengenai empat jenis produk yang diproduksi PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsumsi susu di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2012, konsumsi susu di Indonesia masih didominasi oleh susu bubuk, namun bila

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1055, 2015 BPOM. Takaran Saji. Pangan Olahan. Pengawasan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN TAKARAN

Lebih terperinci