KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA STATUS GIZI PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA STATUS GIZI PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR."

Transkripsi

1 KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA STATUS GIZI PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Arina Manasik DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRACT ARINA MANASIK. Energy and Nutrients Intake, and Nutritional Status of Elderly Patients in Gayatri Room Marzoeki Mahdi Hospital. Supervised by SITI MADANIJAH and VERA URIPI. Services and facilities of healthcare for elderly are the increasing number of elderly response in Indonesia. Gayatri Room in Marzoeki Mahdi Hospital (RSMM) is the only one special ward for elderly patients in Bogor. The purposes of this research are to identify and to analyze energy and nutrients intake, and nutritional status of elderly patients in Gayatri Room, RSMM, Bogor. This research uses cross sectional design and take place in Gayatri Room and Nutrition Unit. The subjects of this research are 30 hospitalized elderly in Gayatri Room. Descriptive and correlative statistical methode are used to process all the data. Hospital meals consists of meals provided by Nutrition Unit and commercial formula. Meals provided by Nutrition Unit gives availability of energy and nutrients sufficiently, except vitamin E and folic acid. It means that if patients consume it optimally, they would meet their nutrition requirement. Energy and nutrients availability of commercial formula is lower than meals provided by Nutrition Unit and it can not meet nutrition requirement. Combination of meals and commercial formula gives availability of energy and nutritients sufficiently, and more patients have excessive. But, energy and nutrients intake of hospital meals in most patients is still low. Some patients not only consume energy and nutrients from hospital meals, but also from non-hospital meals, parenteral nutrition, and supplement. Pearson s correlative test shows that there is no significant correlation between age and Body Mass Index (BMI) (p = 0,537; r = -0,117), age and energy requirement (p = 0,129; r = -0,283), and age and level of energy intake from hospital meals (p = 0,574; r = 0,111). Spearman s correlative test shows that there is no significant correlation between amount of disease and BMI (p = 0,466; r = -0,138). Keywords: intake, nutritional status, elderly patients, hospital meals

3 RINGKASAN ARINA MANASIK. Konsumsi Energi dan Zat Gizi serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. (Dibimbing oleh Siti Madanijah dan Vera Uripi) Penyelenggaraan sarana bagi kegiatan dan layanan yang dikhususkan bagi lansia merupakan usaha yang diharapkan dapat semakin meningkatkan jaminan terhadap kesehatan lansia (Komnas Lansia 2008). Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan satu-satunya ruang rawat inap kelas II plus khusus lansia dengan diagnosa minimal tiga jenis penyakit yang tersedia di Kota Bogor. Penyelenggaraan makanan yang diberikan kepada pasien di Ruang Gayatri masih dilakukan secara bersama dengan pasien umum lainnya. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaan konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri RSMM. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik pasien dan jenis penyakit, (2) Menganalisis status gizi pasien, (3) Menganalisis kebutuhan energi dan zat gizi pasien, (4) Menganalisis ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula khusus), (5) Menganalisis konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS, (6) Menganalisis hubungan antara variabel usia dengan status gizi (IMT), variabel status gizi (IMT) dengan jumlah penyakit, variabel usia dengan kebutuhan energi, dan variabel usia dengan tingkat konsumsi energi dari ketersediaan makanan RS. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan pada bulan Oktober hingga November 2010 berlokasi di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri RSMM Bogor. Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien lansia di Ruang Gayatri RSMM Bogor yang berada saat penelitian berlangsung. Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dengan kriteria inklusi yang terdiri dari (1) Bersedia diukur tinggi atau panjang badan dan berat badan atau lingkar lengan atas, (2) Bersedia diwawancara atau ada pihak keluarga yang dapat memberikan informasi mengenai pasien, (3) Dirawat di Ruang Gayatri selama minimal tiga hari, dan (4) Tidak dalam keadaan berpuasa sehingga dapat diamati konsumsi pangannya selama tiga hari. Jumlah pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi hingga batas waktu penelitian sebanyak 30 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik pasien, jenis penyakit, status gizi, kebutuhan, ketersediaan, serta konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS. Data sekunder meliputi gambaran umum RSMM, Ruang Gayatri, dan Instalasi Gizi. Data diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuesioner, serta informasi yang diperoleh dari rekam medis dan dokumentasi RS. Pengolahan data meliputi perhitungan terhadap kebutuhan energi dan zat gizi masing-masing pasien, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS, konsumsi energi dan zat gizi pasien dari berbagai sumber, dan status gizi menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for windows. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif serta analisis korelasi menggunakan Uji Pearson dan Uji Spearman. Sebanyak 63,3% pasien berjenis kelamin wanita. Usia pasien berkisar antara 60 hingga 100 tahun. Sebanyak 60% pasien termasuk dalam kategori usia lanjut (elderly). Status pernikahan sebanyak 63,3% pasien adalah duda atau janda. Sebanyak 60% pasien mendapat biaya perawatan RS dari keluarga. Jenis penyakit yang diderita oleh paling banyak pasien adalah gangguan

4 kardiovaskuler. Selain itu, sebanyak 36,7% pasien menderita gangguan penyerta berupa anemia, dan 60% berisiko low intake. Makanan RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS adalah energi sebanyak 117,5% dari kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 1,8 g/kg BB; karbohidrat sebanyak 66,6% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak 34,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali vitamin E dan asam folat. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari formula komersial adalah energi sebanyak 65,1% dari kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 0,5 g/kg BB; karbohidrat sebanyak 43,7% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak 14,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali asam folat, vitamin B12, mineral kalsium, dan besi. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah energi sebanyak 141,2% dari kebutuhan energi pasien; protein sebanyak 2,3 g/kg BB; karbohidrat sebanyak 66,6% dari kebutuhan energi; lemak sebanyak 40,1% dari kebutuhan energi; serta vitamin dan mineral lebih dari sama dengan 77% AKG, kecuali vitamin E dan asam folat. Makanan RS merupakan sumber utama energi dan zat gizi ketika pasien dirawat di RS. Secara umum konsumsi makanan pokok dan sayuran cenderung rendah karena masih kurang dari konsumsi minimal yang disarankan dari ketersediaan. Lauk hewani dan nabati cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan batas konsumsi minimal yang disarankan dari ketersediaan. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah energi sebanyak 71,6% dari kebutuhan energi, protein sebanyak 1 g/kg BB, lemak sebanyak 19,9% dari total kebutuhan energi, dan karbohidrat sebanyak 44% dari total kebutuhan energi. Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral masih kurang dari 77% AKG, kecuali vitamin A. Hasil Uji Korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel usia dengan IMT (p > 0,05) (p = 0,537; r = -0,117), variabel usia dengan kebutuhan energi (p = 0,129; r = -0,283), dan variabel usia dengan konsumsi energi dari makanan RS (p = 0,574; r = 0,111). Hasil Uji Korelasi Spearman memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara variabel jumlah penyakit yang diderita dengan Indeks Massa Tubuh (p > 0,05) (p = 0,466; r = -0,138). Faktor dari dalam diri pasien yang mempengaruhi konsumsi makanan RS meliputi adanya penurunan kondisi fisik karena faktor usia dan penyakit serta kondisi psikis yang mempengaruhi nafsu dan kemampuan makan pasien. Faktor dari luar diri pasien meliputi konsistensi makanan yang tidak sesuai dengan kemampuan makan pasien, rasa makanan, serta kegiatan konsultasi gizi yang belum merata ke seluruh pasien lansia di Ruang Gayatri. Disarankan kepada pihak RS untuk lebih memperhatikan pelayanan makanan, tekstur makanan, porsi, frekuensi, serta rasa masakan sehingga pasien dapat mengkonsumsi makanan RS dengan baik. Penelitian mengenai daya terima dan persepsi pasien terhadap makanan RS disarankan untuk dilakukan sebagai masukan bagi penyelenggaraan makanan selanjutnya. Pelayanan konsultasi gizi dengan dokter atau ahli gizi supaya lebih ditingkatkan agar pasien dapat mengkonsumsi makanan RS secara optimal melalui dorongan dari keluarga.

5 KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI SERTA STATUS GIZI PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR ARINA MANASIK Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NRP : Konsumsi Energi dan Zat Gizi, serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor : Arina Manasik : I Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dr. Vera Uripi NIP: NIP: Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP: Tanggal lulus:

7 PRAKATA Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia-nya sehingga skripsi dengan judul Konsumsi Energi dan Zat Gizi, serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dapat diselesaikan. Atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing skripsi I dan dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing skripsi II, yang telah memberikan arahan, nasehat, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M. Sc selaku dosen pembimbing akademik, atas bimbingan dan perhatian selama penulis melaksanakan studi. 3. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. 4. dr. Erry Dharma Irawan, SpKj selaku Direktur Utama RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang memberi izin penulis melaksanakan penelitian di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri RSMM. 5. dr. Anna Hoengdrayana Then, SpGk, M.Gizi selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian berlangsung. 6. Ns. Aldi Andeksa, S.Kep selaku Kepala Ruang Gayatri, Hj. Hera Ganefi TD, DCN, MARS selaku Kepala Instalasi Gizi, para perawat, dan tenaga gizi yang telah membantu penulis dalam proses penelitian. 7. Bapak, Ibu, dan Adik-adik (Dila, Jamil, Riris) atas doa dan dukungan selama ini yang tiada henti untuk penulis. 8. Teman-teman Gizi 43 (terutama Andris, Anne, Dini, Ghaida, dan Wulan), serta seluruh penghuni Griya MBL (terutama Sofi, Lia, Nana, dan Vika) atas kebersamaan selama ini Alhamdulillahi Jaza Kumullohu Khoiron. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Juni 2011 Arina Manasik

8 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Arina Manasik dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Februari 1988, dari pasangan Bapak H. Nur Ali dan Ibu Hj. Winarni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Pertiwi IV dan SD Negeri 08 Pagi Cilandak Barat. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 85 Pondok Labu dan SMA Negeri 46 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI, dan pada tahun 2007 penulis diterima pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani masa perkuliahan penulis pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode Beberapa kepanitian yang telah diikuti penulis antara lain Masa Perkenalan Departemen dan Fakultas (2008) dan Nutrition Fair (2009). Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan yang didanai Dikti pada tahun Selain itu, penulis juga pernah melakukan Kuliah Kerja Profesi pada tahun 2009 di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat, serta Internship Bidang Dietetika di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta pada tahun Penulis juga pernah menjadi tenaga enumerator dalam Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Kota Bogor yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010.

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR Halaman DAFTAR LAMPIRAN... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kegunaan... 3 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia... 4 Makanan untuk Pasien Rawat Inap... 6 Perencanaan Menu... 6 Pemilihan Bahan Makanan... 7 Pengolahan Bahan Makanan... 7 Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan... 8 Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia... 8 Energi... 9 Protein Karbohidrat Lemak Vitamin dan Mineral Status Gizi Lansia KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan R. Gayatri Gambaran Umum Instalasi Gizi Perencanaan Menu Bahan Makanan, Standar Porsi, Pengolahannya Pendistribusian Karakteristik Pasien Jenis Penyakit dan Status Gizi Jenis Penyakit Status Gizi Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Ketersediaan Energi dan Zat Gizi dari Makanan RS Makanan Olahan RS Formula Komersial Makanan Olahan RS dan Formula Komersial x xii

10 Konsumsi Makanan RS Konsumsi Makanan Pokok Konsumsi Lauk Hewani dan Nabati Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan Konsumsi Makanan Selingan dan Formula Komersial Konsumsi Energi dan Zat Gizi dari Sumber Pangan Konsumsi Energi Konsumsi Protein Konsumsi Karbohidrat dan Lemak Konsumsi Vitamin dan Mineral Hubungan antar Variabel Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia dan Status Pernikahan Hubungan Usia dengan Indeks Massa Tubuh Hubungan Status Gizi dengan Jumlah Penyakit Hubungan Usia dengan Kebutuhan Energi Hubungan Usia dengan Tingkat Konsumsi Energi Makanan Olahan RS terhadap Ketersediaan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 67

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun Variabel, cara, dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data Pengkategorian variabel karakteristik individu Faktor aktivitas Faktor stress Ketentuan kebutuhan energi dan zat gizi pada diet khusus Pengkategorian tingkat kecukupan energi dan zat gizi Status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Kerangka menu berdasarkan kelas perawatan Standar porsi bahan makanan untuk pasien umum kelas II Sebaran pasien berdasarkan karakteristik Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit Sebaran pasien berdasarkan status gizi Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS terhadap kebutuhan Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan protein makanan olahan RS Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS terhadap AKG Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari formula komersial Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS dan formula komersial Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS dan formula komersial Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap AKG Konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan Konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan Konsumsi setiap lauk nabati terhadap ketersediaan... 51

12 29 Konsumsi sayuran terhadap ketersediaan Konsumsi buah-buahan terhadap ketersediaan Konsumsi makanan selingan dan formula komersial terhadap Ketersediaan Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein total Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat total Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak total Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral total terhadap AKG Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan... 59

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Analisis konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia rawat inap Cara penarikan contoh Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi mikro terhadap AKG. 58

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuesioner penelitian 68 2 Struktur organisasi Ruang Gayatri 73 3 Keadaan Ruang Gayatri RSMM 74 4 Struktur organisasi Instalasi Gizi RSMM Siklus menu pasien Ruang Gayatri dan pasien kelas II Keadaan Instalasi Gizi dan Pantry Data karakteristik pasien Perhitungan tingkat konsumsi minimal makanan RS.. 79

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini kemajuan tingkat kesehatan, sosial ekonomi, kemajuan ilmu kedokteran, kebersihan lingkungan, keadaan gizi yang baik, dan kemajuan di bidang teknologi pangan telah meningkatkan usia harapan hidup Indonesia. Semakin meningkatnya usia harapan hidup, berarti jumlah manusia lanjut usia praktis akan bertambah banyak (Astawan & Wahyuni 1988). Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 16,02 juta orang naik menjadi sekitar 16,80 juta orang pada tahun 2005, dan naik lagi menjadi sekitar 18,96 juta orang pada tahun 2007 (BPS 2007). Jumlah lansia tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi 28 juta orang lebih (Depkominfo 2009). Memiliki usia panjang bukanlah tanpa masalah. Sebagian lansia ada yang tergolong sehat, dan ada pula yang mengidap penyakit kronis (Arisman 2003). Berkurangnya fungsi imun selama proses penuaan juga mengakibatkan mudahnya lansia terserang penyakit infeksi (Harris 2004). Angka kesakitan penduduk lansia cenderung meningkat meskipun relatif kecil selama kurun waktu tahun 2003 hingga 2007, yaitu sebesar 28,5% pada tahun 2003, meningkat menjadi 30,0% pada tahun 2005, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 31,1% (BPS 2007). Penyelenggaraan sarana bagi kegiatan dan layanan yang dikhususkan bagi lansia merupakan usaha yang diharapkan dapat semakin meningkatkan jaminan terhadap kesehatan lansia (Komnas Lansia 2008). Satu-satunya rumah sakit di Kota Bogor yang menyediakan pelayanan ruang rawat inap akut bagi pasien lansia yang memiliki minimal tiga macam gangguan kesehatan adalah Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi. Darmojo dan Martono (2006) menjelaskan bahwa bangsal geriatri akut adalah bangsal atau ruang rawat inap tempat penderita geriatri dengan penyakit akut atau subakut dilakukan tindakan penilaian, kuratif, dan rehabilitatif jalur cepat oleh tim geriatri. Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) mendefinisikan penderita geriatri sebagai mereka yang secara kronologis dan biologis telah berusia lanjut (berusia 60 tahun ke atas) dan menderita lebih dari dua macam penyakit yang secara umum merupakan penyakit degeneratif. Perawatan di rumah sakit berarti memisahkan penderita dari lingkungannya sehari-hari termasuk juga kebiasaan dalam makanannya, cara

16 makanan itu dihidangkan, tempat makan, waktu makan, dan sebagainya. Perubahan lingkungan dan kebiasaan ini dapat merupakan beban mental bagi penderita yang akan menghambat penyembuhan penyakitnya (Subandriyo & Santoso 1995). Hasil penelitian McWhirter dan Pennington (1994) menemukan bahwa sebanyak 200 dari 500 pasien rumah sakit mengalami gizi kurang, 171 pasien mengalami gizi lebih, dan hanya 129 pasien yang memiliki status gizi normal. Berdasarkan Data Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (2001) dalam Setiati (2006), menunjukkan bahwa di ruang rawat akut Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2001 didapatkan masalah gizi (gizi kurang, gizi buruk, hipoalbuminemia, dan anemia) sebesar 28,8% dari seluruh masalah pasien geriatri yang dirawat. Perhitungan energi atau analisis diet sering digunakan untuk menilai asupan pangan dan zat gizi aktual pada pasien (Hammond 2004). Perhatian pada hal-hal tersebut kemudian menjadi gagasan dari penelitian yang berjudul Konsumsi Energi dan Zat Gizi serta Status Gizi Pasien Lansia di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia rawat inap tersebut. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keadaan konsumsi energi dan zat gizi, serta status gizi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik pasien dan jenis penyakit. 2. Menganalisis status gizi pasien. 3. Menganalisis kebutuhan energi dan zat gizi pasien. 4. Menganalisis ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial). 5. Menganalisis konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS. 6. Menganalisis hubungan antara variabel usia dengan status gizi (IMT), variabel status gizi (IMT) dengan jumlah penyakit, variabel usia dengan

17 kebutuhan energi, dan variabel usia dengan tingkat konsumsi energi dari ketersediaan makanan RS. Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna bagi peneliti untuk mengembangkan diri dan memperluas pengetahuan serta wawasan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai konsumsi energi dan zat gizi, juga status gizi pasien lansia yang dirawat di Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit dalam upaya meningkatan pelayanan gizi bagi pasien lansia, sehingga dengan dukungan gizi yang baik diharapkan lama rawat pasien akan lebih singkat.

18 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia Penuaan adalah proses normal yang dimulai sejak masa konsepsi sampai dengan akhirnya mati (Harris 2004). Lanjut usia sesuai dengan undangundang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah seseorang yang telah mencapai lebih dari 60 tahun ke atas. Klasifikasi lansia berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut (elderly) (60 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008). Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis. Selama masa pertumbuhan, proses anabolisme lebih banyak terjadi daripada proses katabolisme. Saat tubuh sampai pada masa kedewasaan, tingkat katabolisme atau perubahan degeneratif menjadi lebih besar daripada regenerasi anabolik (Harris 2004). Stieglietz (1954) dalam Darmojo dan Martono (2006) menerangkan bahwa penyakit pada populasi lansia berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penyakit pada usia lanjut bersifat multi patologis atau mengenai multi organ atau sistem, degeneratif dan saling terkait, kronis dan cenderung menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya kematian, dan biasanya juga mengandung psikologis dan sosial. Selain itu sering terjadi polifarmasi dan iatrogenesis, yaitu menderita penyakit baru akibat penggunaan obat-obatan yang berlebihan dibandingkan dengan diagnosa. Brocklehurst dan Allen (1987) dalam Darmojo dan Martono (2006) menambahkan satu hal lagi yang penting yaitu usia lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut. Selama proses penuaan, pembuluh darah menjadi kurang elastis dan meningkatnya resistensi periferal sehingga meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Peningkatan resistensi pembuluh darah dapat mengganggu aliran darah ke jantung sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskuler (Harris 2004).

19 Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang atau keadaan gizi lebih (kegemukan). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur para lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor keturunan, dan faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan dalam tubuh secara mekanis, secara metabolik, traumata (kecelakaan), maupun gangguan kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988). Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada lansia. Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus mengalami penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama jumlah nefron yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah (Harris 2004). Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri (Darmojo & Martono 2006). Masalah gizi merupakan masalah paling penting dalam perawatan pasien usia lanjut. Penurunan berat badan sebagai akibat kekurangan gizi merupakan masalah utama yang seringkali dijumpai pada usia lanjut yang dirawat (Setiati 2006). Angka kematian yang berhubungan dengan underweight adalah sama dengan angka kematian yang berhubungan dengan obesitas, terutama pada lanjut usia (Harris 2004). Salah gizi adalah keadaan gizi kurang atau gizi lebih karena asupan zat gizi di bawah atau di atas kisaran yang dianjurkan dalam waktu yang lama (Sandjaja et al. 2009). Kejadian salah gizi pada seorang pasien mempunyaki efek negatif untuk mental maupun fisik pasien. Salah gizi pada seorang pasien merupakan faktor yang memperpanjang masa rawat pasien, meningkatkan kebutuhan untuk pelayanan yang dengan tingkat ketergantungan perawat yang lebih tinggi, butuh perawatan intensif yang lebih tinggi, meningkatkan terjadinya komplikasi dari penyakit yang diderita pasien dan tentunya akan meningkatkan angka kematian baik karena penyakitnya atau komplikasi dari penyakitnya (Daldiyono & Syam 2002). Angka kejadian kekurangan energi dan protein pada pasien lansia yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 30% sampai dengan 65% (Fogt et al dalam Setiati 2006). Suatu studi di Swedia mendapatkan 29% lansia mengalami salah gizi ketika awal masuk rumah sakit (Thomas et al dalam Setiati

20 2006). Studi lain di luar negeri mendapatkan sekitar 60% lansia yang di rawat di rumah sakit mengalami kekurangan energi dan protein pada saat masuk rumah sakit atau mengalami salah gizi ketika dirawat sampai sebelum keluar dari rumah sakit (Sullivan et al dalam Setiati 2006). Makanan untuk Pasien Rawat Inap Pengaturan makanan pada orang sakit sangat berperan dalam proses penyembuhan penyakitnya, sama halnya dengan perawatan dan pengobatan penyakit (Subandriyo & Santoso 1995). Pelayanan kesehatan paripurna seorang pasien memerlukan tiga jenis asuhan yang terdiri atas asuhan medik, asuhan keperawatan, dan asuhan gizi. Tujuan utama dari asuhan gizi adalah memenuhi kebutuhan zat gizi pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada pasien yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Kerjasama tim dari unsur yang terkait untuk mewujudkan tujuan tersebut meliputi membuat diagnosa masalah gizi, menentukan kebutuhan terapi gizi, memilih dan mempersiapkan bahan atau makanan atau formula khusus (oral, enteral, dan parenteral) sesuai kebutuhan, melaksanakan pemberian makanan, evaluasi/pengkajian gizi dan pemantauan (Depkes RI 2003). Cara pemberian terapi gizi dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu secara oral, enteral, dan parenteral. Pemberian secara oral merupakan cara yang paling aman, mudah, dan terbaik. Pemberian gizi secara suplementasi oral dilakukan bila pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan secara cukup, sehingga diperlukan dukungan gizi untuk memenuhi kebutuhannya (Setiati 2006). Penentuan terapi gizi pasien perlu berpedoman pada tepat gizi (bahan makanan), tepat formula, tepat bentuk, tepat cara pemberian, serta tepat dosis dan waktu (Depkes RI 2003). Porsi makanan yang dikonsumsi hendaknya kecil, tetapi frekuensinya lebih sering, supaya tidak memberi rasa jenuh, pengab atau mual (Roedjito 1989). Perencanaan Menu Perencanaan menu merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada dan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, variasi bahan makan, kombinasi yang dapat diterima oleh penderita, persiapan dan penampilan makanan, dan cara-cara pelayanan. Pola menu sehari yang dianjurkan di Indonesia adalah gizi seimbang yang terdiri dari makanan sumber

21 zat tenaga, makanan sumber zat pembangun, dan makanan sumber zat pengatur (Subandriyo & Santoso 1995). Tujuan dari perencanaan menu adalah tersedianya siklus menu sesuai klasifikasi pelayanan yang ada di rumah sakit. Siklus menu pada umumnya direncanakan pada waktu tertentu misalnya 10 sampai dengan 15 hari (Depkes RI 2003). Siklus menu satu sampai dua minggu cocok digunakan pada rumah sakit dengan masa rawat pasien sekitar dua sampai empat hari. Siklus menu selama tiga sampai empat minggu biasa digunakan pada masa rawat dalam jangka waktu yang lama (Gregoire & Spears 2007). Pemilihan Bahan Makanan Kejelian memilih bahan pangan adalah merupakan langkah awal untuk menentukan mutu akhir suatu hidangan. Pemilihan diusahakan bahan makanan yang masih segar secara alami (Astawan & Wahyuni 1988). Konsumsi supaya diutamakan pada makanan yang dapat mendukung penyembuhan penyakit dan menghindari makanan yang malah akan memperburuk kondisi penyakit (Wirakusumah 2001). Pengolahan Bahan Makanan Pengolahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah (memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi (Depkes RI 2003). Tujuan dari pemasakan terdiri atas meningkatkan nilai estetik bahan makanan dengan memaksimalkan kualitas (warna, tekstur, dan cita rasa), membunuh organisme berbahaya sehingga makanan yang akan dikonsumsi terjamin aman secara mikrobiologi, dan meningkatkan daya cerna serta mempertahankan nilai gizi (Payhe-Palacio & Theis 2009). Proses pemasakan terdiri dari enam macam, yaitu pemasakan dengan medium udara, pemasakan dengan medium air, pemasakan dengan menggunakan lemak, pemasakan langsung melalui dinding panci, pemasakan dengan kombinasi, dan pemasakan dengan elektromagnetik (Depkes RI 2003). Lansia yang kesulitan mengunyah sebaiknya dipilihkan makanan-makanan yang lunak dan mudah dikunyah, seperti buah-buahan, sari buah, daging giling, susu, ikan, telur, dan lain-lainnya. Beberapa alat dapat digunakan untuk membuat makanan menjadi lebih mudah dikunyah seperti alat pencacah daging, mixer, crusher, grinder, blender dan peralatan-peralatan lainnya perlu disediakan (Astawan & Wahyuni 1988).

22 Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan Setelah mengalami proses pemasakan, makanan harus mengalami proses pemorsian dan penyaluran dari dapur ke ruang perawatan. Makanan diporsikan berdasarkan berat, ukuran, atau jumlah makanan. Standar porsi tidak hanya diperlukan untuk kontrol biaya, namun juga untuk menciptakan dan mempertahankan kepuasan konsumen (Payhe-Palacio & Theis 2009). Waktu pemorsian makanan khusus harus dilakukan bersamaan dengan makanan biasa sehingga penyajian pada satu ruangan dapat dilakukan secara serempak. Harus ada tanda khusus untuk plato dengan makanan biasa dan plato dengan makanan khusus (Subandriyo & Santoso 1995). Pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang dilayani (makanan biasa atau makanan khusus). Tujuannya adalah pasien mendapat makanan sesuai diet dan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga sistem penyaluran makanan yang biasa dilaksanakan di rumah sakit, yaitu sistem yang dipusatkan (sentralisasi), sistem yang tidak dipusatkan (desentralisasi), dan kombinasi antara sentralisasi dan desentralisasi (Depkes RI 2003). Pendistribusian makanan secara sentralisasi dilaksanakan dengan ketentuan makanan pasien dibagi dan disajikan dalam alat makan di tempat pengolahan makanan. Pendistribusian makanan secara desentralisasi yaitu makanan pasien dibawa dari tempat pengolahan ke dapur ruang perawatan pasien dalam jumlah besar, untuk selanjutnya disajikan dalam alat makan masing-masing pasien sesuai dengan permintaan makanan. Pendistribusian makanan kombinasi dilakukan dengan cara sebagian makanan ditempatkan langsung ke dalam alat makanan pasien sejak dari tempat produksi (dapur), dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam wadah besar, pendistribusiannya dilaksanakan setelah sampai di ruang perawatan (Depkes RI 2003). Waktu khusus bagi pasien untuk makan harus ditetapkan jika terdapat cukup staf. Alat makan seperti sendok, garpu, pisau, barang tembikar, dan tatanan makanan mungkin dibutuhkan (Watson 2003). Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia Masing-masing lansia memiliki kebutuhan gizi yang unik sehingga saran diet seharusnya diberikan secara individu (Harris 2004). Faktor-faktor yang

23 terkait dengan kebutuhan gizi lansia terdiri dari aktivitas fisik, kemunduran biologis, pengobatan, serta depresi dan kondisi mental (Wirakusumah 2001). Kebutuhan gizi dalam keadaan sakit, selain tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keadaan sehat juga dipengaruhi oleh jenis dan berat ringannya penyakit (Almatsier 2005). Lansia yang sedang sakit akut dihitung kebutuhan energi dan zat gizinya berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan untuk merespon keadaan hiperkatabolik yang disebabkan oleh stres penyakit (Arisman 2003). Menurut Depkes RI (2003), penentuan kebutuhan gizi diberikan kepada pasien atas dasar status gizi, pemeriksaan klinis, dan data laboratorium. Selain itu, perlu juga memperhatikan kebutuhan untuk penggantian zat gizi, kebutuhan harian, kebutuhan tambahan karena kehilangan serta tambahan untuk pemulihan jaringan atau organ yang sedang sakit. Energi Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat diketahui dengan menghitung kebutuhan energi sehari, atau menghitung persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme basal (Frary & Johnson 2004). Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary & Johnson 2004). Kebutuhan energi pada pasien gagal jantung kongestif tergantung pada berat badan aktual, pembatasan aktivitas, dan tingkat keparahan. Pasien gagal jantung parah yang kurang gizi kebutuhan energinya meningkat sebesar 30 50% di atas energi metabolisme basal, atau sebesar 35 kkal/kg BB (Krummel 2004). Asupan energi yang dianjurkan bagi pasien gagal ginjal kronik adalah sebesar kkal/kg BB/hari (Hartono 2006). Optimalisasi asupan energi adalah prinsip utama dalam terapi gizi dalam penyakit paru-paru. Keadaan overfeeding atau underfeeding seharusnya dicegah. Secara umum kebutuhan energi pada pasien penyakit paru-paru adalah sebesar 1,2 sampai 1,5 kali dari energi metabolisme basal (Heimburger &

24 Weinsler 1997). Faktor stres pada keadaan infeksi ringan hingga sedang ialah sebesar 1,2 1,4 (Hartono 2006). Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008). Protein Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Salah satu fungsi khas protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2006). Asupan protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg berat badan umumnya aman bagi lansia. Kebutuhan protein meningkat sehubungan dengan adanya penyakit infeksi dan kronis. Stres fisik dan psikologis dapat merangsang keadaan keseimbangan nitrogen negatif. Infeksi, penurunan fungsi saluran pencernaan, dan perubahan metabolisme yang disebabkan karena penyakit kronis dapat mengurangi efisiensi penggunaan nitrogen dari makanan dan meningkatkan ekskresi nitrogen (Harris 2004). Menurut Adult Treatment Panel (ATP) III, konsumsi protein yang disarankan adalah 15% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Perencanaan makan bagi penyandang diabetes di Indonesia adalah hidangan dengan asupan protein sekitar 10 15% dari total kebutuhan energi (PERKENI 2002 dalam Hartono 2006). Asupan protein pada pasien paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah sebesar 15 20% dari total kebutuhan energi (Heimburger & Weinsler 1997). Dorfman (2004) menyatakan konsumsi protein sedang atau sebesar 15 20% dari total kebutuhan energi dianjurkan bagi penderita asam urat. Kebutuhan protein dalam situasi stres, seperti alcoholic hepatitis, sepsis, infeksi, perdarahan pada gastrointestinal, dan asites yang parah dapat diberikan minimal 1,5 g protein perkilogram berat badan perhari (Hasse & Matarese 2004). Asupan protein sehari untuk pasien gagal ginjal yang belum mengalami dialisis (predialisis) adalah 0,6 0,8 g/kg BB/hari (PDGKI 2008). Konsumsi diet tinggi protein sebesar 1,5 g/kg BB/hari dalam keadaan anemia digunakan dalam regenerasi sel darah dan menjaga fungsi hati (Stopler 2004). Karbohidrat Asupan karbohidrat diperlukan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Kontribusi karbohidrat terhadap kebutuhan energi total pada lansia secara umum adalah sekitar 45% sampai 65% (Harris 2004).

25 Selain jumlah, kebutuhan karbohidrat dalam keadaan sakit sering dinyatakan dalam bentuk karbohidrat yang dianjurkan. Contoh pada kasus diabetes melitus dan dislipidemia dengan trigliserida darah tinggi, tidak dianjurkan penggunaan gula sederhana (Almatsier 2005). Sumber karbohidrat kompleks supaya ditingkatkan, seperti sayuran, serealia, kacang-kacangan, serta buah-buahan yang mengandung serat, phytochemicals, vitamin, dan mineral (Harris 2004). Menurut ATP III, konsumsi karbohidrat yang disarankan adalah 50 60% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Persentase kontribusi karbohidrat terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien penyakit paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah 50 60% (Heimburger & Weinsler 1997). Lemak Kontribusi lemak terhadap total kebutuhan energi yang disarankan adalah sebesar 25% sampai 35%, serta meningkatkan asupan lemak tak jenuh ganda dan tunggal, serta mengurangi asupan lemak jenuh (Harris 2004). Kebutuhan lemak dalam keadaan sakit bergantung jenis penyakit. Penyakit tertentu seperti dislipidemia membutuhkan modifikasi jenis lemak (Almatsier 2005). Pembatasan asupan lemak pada makanan bermanfaat dalam mengontrol berat badan dan pencegahan kanker. Pembatasan lemak sampai dengan kurang dari 20% total kebutuhan energi dapat mempengaruhi kualitas diet dan memberikan efek yang negatif dari segi cita rasa, rasa kenyang, dan asupan (Harris 2004). Menurut ATP III, konsumsi lemak yang disarankan adalah 25 35% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Asupan lemak pada penderita asam urat harus lebih sedikit, sedangkan asupan karbohidrat harus mengandung lebih banyak untuk membantu pengeluaran asam urat yang lebih mudah larut dalam urin yang alkalis (Hartono 2006). Perbandingan komposisi zat gizi makro dalam menyumbang kebutuhan energi pada penderita asam urat ialah 50 55% dari karbohidrat, dan lemak tidak lebih dari 30% (Dorfman 2004). Persentase kontribusi lemak terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien penyakit paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah 20 30% (Heimburger & Weinsler 1997). Persentase pemenuhan kebutuhan energi total dalam diet rendah sisa adalah 10-25% dari lemak, dan 60-80% dipenuhi dari karbohidrat. Diet rendah

26 sisa diberikan kepada pasien diare berat, peradangan saluran cerna akut, serta pada pra dan pascabedah saluran cerna (Hartono 2005). Vitamin dan Mineral Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis, dan pengobatan (Harris 2004). Seiring berlangsungnya proses penuaan maka kepadatan zat gizi dalam makanan menjadi lebih diperhatikan. Makanan seseorang harus menyediakan cukup cairan, kalsium, serat, zat besi, protein, asam folat, dan vitamin A, B 12, dan C tanpa energi yang ekstra (Harris 2004). Vitamin A, C, dan E juga sebagai antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat radikal bebas (Wirakusumah 2001). Fungsi utama vitamin E adalah untuk mencegah oksidasi PUFA pada membran sel. Karena kurangnya data yang mendukung, American Heart Association (AHA) tidak merekomendasikan suplementasi vitamin E untuk mencegah penyakit kardiovaskuler. Suplementasi β-karoten juga tidak memberikan keuntungan pada pencegahan penyakit kardiovaskuler. Karena itu, suplementasi vitamin E dan β-karoten tidak disarankan, sedangkan konsumsi makanan yang kaya antioksidan disarankan (Krummel 2004). Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah daripada orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2004). Penyerapan zat besi dan pencegahan anemia gizi besi dapat dilaksanakan dengan meningkatkan asupan pangan sumber zat besi, vitamin C, daging, ikan, dan unggas setiap waktu makan, serta mencegah mengkonsumsi teh dan kopi dalam jumlah besar bersamaan dengan waktu makan (Stopler 2004). Saran asupan vitamin C pada pasien dengan nefrolitiasis yang berusia di atas 50 tahun adalah kurang dari 2 g perhari (Wilkens 2004). Defisiensi vitamin larut air seperti vitamin B1, B6, B12, dan asam folat berkaitan dengan penyakit alcoholic liver. Jika diduga terjadi defisiensi, suplementasi vitamin B1 dalam dosis besar (100 mg) diberikan selama batas waktu tertentu (Hasse & Matarese 2004). Defisiensi tiamin (B1) karena pemberian obat furosemid pertama kali terjadi pada tikus percobaan. Defisiensi

27 sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit serta pada pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark 2004). Eksresi vitamin B1 dilakukan melalui urin dalam bentuk utuh dan sebagian kecil dalam bentuk metabolit (Almatsier 2006). Kebanyakan kasus anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam folat (Stopler 2004). Lansia sering juga mengalami masalah dengan vitamin B 12, meskipun sudah mengkonsumsi dalam jumlah yang cukup. Vitamin B 12 diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif sehingga dapat berfungsi dalam memproduksi sel darah merah. Terganggunya penyerapan vitamin B 12 dapat menyebabkan pernicious anemia (Harris 2004). Lapisan lambung lansia mengalami penipisan, serta sekresi HCL dan pepsin berkurang. Hal itu mengakibatkan penyerapan vitamin B 12 dan zat besi menurun (Arisman 2003). Anemia yang terjadi pada lansia lebih terkait pada penyakit dan pengobatan, atau menurunnya kemampuan penyerapan akibat pengobatan (Harris 2004). Pengobatan pada penyakit TB dapat mengganggu metabolisme pyridoxine (vitamin B6) (Mueller 2004). Isoniazida (Asam Iso Nikotenat Hidroksida atau INH) yang dipakai untuk pengobatan penyakit paru-paru merupakan antagonis vitamin B6 karena membentuk kompleks dengan piridoksal fosfat yang tidak aktif (Almatsier 2006). Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause, dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003). Lansia yang dibatasi atau dilarang makan daging dan ikan berisiko mengalami defisiensi seng karena rendahnya bioavailibilitas seng dari sumber pangan lainnya. Defisiensi seng berhubungan dengan gangguan fungsi imun, anoreksia, dysgeusia (kehilangan nafsu makan), dan lamanya proses penyembuhan (Harris 2004). Lansia yang tidak mengalami masalah dengan tekanan darah dan retensi cairan dapat mengkonsumsi natrium sekitar 2 4 g/hari, dan meningkatkan asupan kalium (Harris 2004). Penyakit-penyakit tertentu seperti sirosis hati, penyakit ginjal tertentu, dekompensasio kordis, dan hipertensi esensial dapat menyebabkan gejala edema dan atau hipertensi. Dalam keadaan demikian asupan garam natrium perlu dibatasi (Almatsier 2005). Menurut Wirakusumah

28 (2001) makanan yang mengandung cukup tinggi kalium merupakan salah satu obat yang cukup manjur bagi penderita hipertensi. Kalium berfungsi untuk memelihara keseimbangan garam (Na) dan cairan serta membantu mengontrol tekanan darah yang normal. Asupan natrium dalam sehari disarankan bagi pasien dengan gangguan kardiovaskuler adalah kurang dari 2400 mg (6,4 g garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium sekitar 90 mmol perhari (3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai kebutuhan (NCEP 2002). Di Indonesia telah direkomendasikan angka kecukupan gizi untuk lansia sehat, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia Zat Gizi Pria Wanita th 65 th th 65 th Vitamin A (RE) 600,0 600,0 500,0 500,0 Vitamin E (mg) 15,0 15,0 15,0 15,0 Vitamin B1 (mg) 1,2 1,0 1,0 1,0 Vitamin B6 (mg) 1,7 1,7 1,5 1,5 Vitamin B 12 (mcg) 2,4 2,4 2,4 2,4 Asam Folat (mcg) 400,0 400,0 400,0 400,0 Vitamin C (mg) 90,0 90,0 75,0 75,0 Kalsium (mg) 800,0 800,0 800,0 800,0 Besi (mg) 13,0 13,0 12,0 12,0 Seng (mg) 13,4 13,4 9,8 9,8 Sumber: WNPG VIII dalam LIPI (2004) Kebutuhan vitamin dan mineral pada orang sakit juga dapat diambil dari AKG yang dianjurkan. Vitamin dan mineral perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen untuk menjamin kebutuhan dalam keadaan tertentu (Almatsier 2005). Status Gizi Lansia Status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang dimakan sehari-hari (Astawan & Wahyuni 1988). Lansia seperti tahapan-tahapan usia lainnya dapat mengalami baik keadaan gizi lebih maupun gizi kurang (Darmojo & Martono 2006). Status gizi lansia dapat dinilai dengan cara-cara yang baku bagi berbagai tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan tidak langsung. Jellife (1966) dalam Gibson (2005) menerangkan bahwa penilaian secara langsung dilakukan melalui pemeriksaan antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Antropometri merupakan salah satu macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2001).

29 Laporan WHO tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT berdasarkan WHO untuk populasi Asia ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun 2004 Klasifikasi IMT (kg/m 2 ) BB kurang (underweight) < 18,5 Severe underweight < 16,0 Moderate underweight 16,0 16,9 Mild underweight 17,0 18,49 Normal 18,5 24,9 BB Lebih (overweight) 25 Pra-obes 25 29,9 Obes 30 Obes I 30 34,9 Obes II 35 39,9 Obes III 40 ` Sumber: PDGKI (2008).

30 KERANGKA PEMIKIRAN Kejadian gizi salah akibat dirawat di rumah sakit (hospital malnutrition) disebabkan karena perhatian dari pengelola rumah sakit sebagian besar baru melihat kepada segi penyediaan makanan saja tetapi belum mempertimbangkan tentang kuantitas dan kualitas makanan yang dibutuhkan serta diterima oleh masing-masing pasien (Subandriyo & Santoso 1995). Pencegahan terjadinya salah gizi pada pasien yang dirawat di rumah sakit memerlukan pengamatan dan pengawasan yang cukup terhadap asupan atau konsumsi pangan pasien (Hammond 2004). Tujuan dari penyelenggaraan makanan adalah menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi pasien yang membutuhkannya (Depkes RI 2003). Menurut Syafiq et al (2009), beberapa fungsi zat gizi antara lain sebagai sumber energi, mengatur metabolisme dan keseimbangan (air, mineral, dan asam basa), memelihara jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak, dan berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit. Makanan RS merupakan sumber utama zat gizi untuk pasien yang dirawat di RS, namun pada beberapa pasien juga mengkonsumsi makanan dari luar RS, formula khusus, serta dalam bentuk non-pangan yaitu suplemen dan cairan infus (gizi parenteral). Baliwati dan Retnaningsih (2004) menuturkan, kebutuhan gizi berbeda antar individu karena dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain tahap perkembangan (usia), faktor fisiologis tubuh, keadaan sakit dan dalam masa penyembuhan, aktivitas fisik, dan ukuran tubuh (berat badan dan tinggi badan). Kebutuhan mineral dan vitamin dapat diambil dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Almatsier 2005). Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Frary & Johnson 2004). Hal ini mendasari analisis hubungan antara variabel usia dengan kebutuhan energi pasien. Status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi (Sandjaya et al. 2009). Lansia merupakan kelompok usia yang berisiko terhadap salah gizi karena adanya penyakit yang diderita, ketidakmampuan fisik, kesehatan gigi dan mulut yang buruk, pengobatan, isolasi sosial, keterbatasan ekonomi, atau gangguan kesehatan mental (Harris 2004). Hal ini mendasari

31 analisis hubungan antara variabel usia dengan status gizi, dan hubungan antara status gizi dengan jumlah penyakit. Ketika sakit maka nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan keadaan salah gizi, sedangkan energi yang mereka butuhkan akan meningkat, khususnya dalam kondisi infeksi dan setelah cedera (Watson 2003). Hal ini mendasari dilakukannya analisis hubungan antara usia dan tingkat konsumsi energi dari makanan RS. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari pemilihan dan pengolahan bahan makanan, karakteristik individu, kebutuhan energi dan zat gizi pasien, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial), konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan makanan luar RS), dan jenis penyakit. Analisis hubungan antara variabel yang dianalisis terdiri dari hubungan antara status gizi dengan usia, hubungan antara status gizi dengan jumlah penyakit, hubungan antara usia dengan kebutuhan energi, dan hubungan antara usia dengan tingkat konsumsi energi terhadap ketersediaan makanan RS. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

32 - Perencanaan Menu makanan RS - Bahan Makanan, Standar Porsi, Pengolahan, dan Pendistribusiannya Karakteristik Pasien Gizi parenteral dan suplemen Makanan luar RS Ketersediaan Makanan RS (Makanan Olahan RS dan Formula Komersial) Konsumsi Makanan RS - Biaya rawat - Status pernikahan - Pihak perawat sebelum di RS - Lama rawat - Usia - Jenis kelamin - BB dan TB Konsumsi Energi dan Zat Gizi Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Status Gizi Penyakit/ Faktor Stres Keterangan: = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan antar variabel yang diteliti = hubungan antar variabel yang tidak diteliti Gambar 1 Analisis konsumsi energi dan zat gizi, serta status gizi pasien lansia rawat inap

33 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Ruang Gayatri merupakan ruang rawat inap khusus lansia dengan minimal tiga jenis penyakit dan satu-satunya yang ada di Kota Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga November Cara Pengambilan Contoh Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien lansia di Ruang Gayatri RS. dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang berada saat penelitian berlangsung. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sebanyak 51 orang pasien berhasil dijumpai selama penelitian berlangsung di Ruang Gayatri, namun jumlah pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dan dapat diperoleh hingga batas waktu penelitian adalah sebanyak 30 orang. Kriteria inklusi yang ditetapkan meliputi: - Pasien yang bersedia diukur tinggi atau panjang badan dan berat badan atau lingkar lengan atasnya. - Pasien yang bersedia diwawancara, atau ada pihak keluarga yang dapat memberikan informasi mengenai pasien. - Pasien yang dirawat selama minimal tiga hari dan tidak dalam keadaan berpuasa sehingga dapat diamati konsumsi energi dan zat gizi selama tiga hari baik dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial) serta makanan luar RS. Gambar 2 menjelaskan cara pengambilan contoh dalam penelitian. Populasi penelitian = 51 orang 21 orang keluar Kriteria inklusi 30 orang responden Gambar 2 Cara penarikan contoh

34 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan menggunakan kuesioner (Lampiran 1). Data sekunder diperoleh dari dokumentasi pihak rumah sakit (RS). Data primer meliputi karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, perkiraan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), sumber pembiayaan perawatan RS, status pernikahan, dan pihak yang merawat), status gizi, kebutuhan energi dan zat gizi, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial), dan konsumsi energi dan zat gizi total (makanan RS dan makanan luar RS). Data sekunder terdiri dari gambaran umum RSMM, Ruang Gayatri dan Instalasi Gizi, perencanaan menu, bahan makanan, standar porsi, pengolahan, pendistribusian makanan RS, usia, jenis penyakit, dan lama rawat. Data ketersediaan energi dan zat gizi makanan olahan RS perhari beberapa bahan makanan diperoleh dengan cara penimbangan sampel makanan RS. Setelah diketahui kuantitas porsi setiap jenis makanan olahan RS dan formula komersial, data konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dapat diperoleh dengan cara mengamati banyaknya sisa yang tidak dikonsumsi oleh pasien. Data konsumsi makanan luar RS diperoleh melalui Recall Method. Pengamatan sisa konsumsi makanan di RS memiliki kemiripan dengan recall method, karena kedua metode ini sama-sama mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa yang lalu. Recall method dilakukan selama dua hingga tiga hari. Metode ini memiliki kelemahan dalam tingkat ketelitian, karena informasi yang diperoleh berdasarkan hasil ingatan responden (Soehardjo et al 1988). Mengingat kondisi pasien yang lemah maka untuk meminimalisir kesalahan informasi berdasarkan daya ingat, pengamatan sisa makanan dipilih sebagai metode dalam mengamati konsumsi makanan RS. Cara serta alat yang digunakan dalam pengumpulan data pada masingmasing variabel ditunjukkan pada Tabel 3.

35 Tabel 3 Variabel, cara, dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data Variabel Cara Pengumpulan Data Alat yang Digunakan Umur ( 60 tahun) Mencatat dari buku rekam medis (RM) Kuesioner Karakteristik Pasien Wawancara langsung dan RM Kuesioner Antropometri (perkiraan BB dan TB dengan pengukuran LLA dan TB) Penimbangan dan pengukuran Pita meter Lama rawat Mencatat dari RM Kuesioner Jenis penyakit Mencatat dari RM Kuesioner Perencanaan menu, BM, standar porsi, pendistribusian, gambaran RS, Instalasi Gizi, Ruang Gayatri Kebutuhan energi dan zat gizi pasien Ketersediaan energi dan dan zat gizi Konsumsi energi dan zat gizi Mencatat dari dokumentasi RS Pengamatan, pencatatan data-data dari RM, dan perhitungan Penimbangan sampel makanan RS Pengamatan sisa makanan RS, formula khusus, dan recall makanan luar RS Dokumen RS Kuesioner Timbangan makanan dan kuesioner Kuesioner Beberapa variabel karakteristik pasien dikategorikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Pengkategorian variabel karakteristik individu Jenis Kelamin Variabel 1= Laki-laki 2= Perempuan Kategori Sumber pembiayaan perawatan RS Status Perkawinan Pihak yang Merawat (sebelum di RS) 1= Penghasilan/uang pensiunan 2= Keluarga 3= Asuransi kesehatan 4= Lain-lain. 1= Tidak Menikah 2= Menikah dan masih memiliki pasangan 3= Duda/Janda 1= Tinggal sendiri 2= Keluarga 3= Panti Jompo

36 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Pengolahan data meliputi editing, coding, data entry, cleaning dan data analysis dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for windows. Selain itu dilakukan pula perhitungan terhadap kebutuhan energi dan zat gizi masing-masing pasien, ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan RS, konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS, dan status gizi pasien. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi Komponen utama yang menentukan kebutuhan energi adalah Angka Metabolisme Basal (AMB) yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Harris Bennedict (Almatsier 2005), yaitu: Laki laki = , 7 BB + 5 TB 6, 8 U Perempuan = , 6 BB + 1, 8 TB (4, 7 U) Kebutuhan energi untuk AMB diperhitungkan menurut berat badan ideal jika IMT contoh pada saat itu berstatus gizi lebih atau gizi kurang tingkat ringan (IMT = 17,0 18,5), dan menggunakan berat badan aktual jika berstatus gizi normal atau gizi kurang tingkat sedang (IMT = 16,0 16,9) sampai berat (IMT < 16,0). Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary & Johnson 2004). Cara menetapkan BB ideal yang sederhana dengan menggunakan rumus Brocca (Almatsier 2005), yaitu: BB Ideal kg = TB cm %[TB cm 100] Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat diketahui dengan menghitung jumlah kilokalori kebutuhan energi sehari, atau menghitung persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme basal (Frary & Johnson 2004). Cara menentukan kebutuhan energi keadaan sakit dapat dilihat pada rumus (Almatsier 2005): Kebutuhan Energi = AMB faktor aktivitas faktor stres Faktor aktivitas pasien selama dirawat dapat dilihat pada Tabel 5.

37 Tabel 5 Faktor aktivitas Aktivitas Faktor Tirah-baring total a) 1,1 Dapat duduk b) 1,2 Ambulatori c) 1,3 Sumber: a) Frary dan Johnson (2004), b) Garrow et al. (2000), c) Hartono (2006) Faktor stres pada penyakit tertentu ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Faktor stres Stres/jenis penyakit Faktor Gagal jantung parah dengan gizi kurang a) 1,3 1,5 Penyakit paru-paru b) 1,2 1,5 Gagal ginjal b) 1,2 1,5 Peradangan saluran cerna c) 1,3 Infeksi ringan hingga sedang d) 1,2 1,4 Sumber: a) Krummel (2004), b) Heimburger dan Weinsler (1997), c) Almatsier (2005), d) Hartono (2006). Apabila kebutuhan energi yang diperoleh adalah berkisar antara kkal/kg BB/hari maka perhitungan kebutuhan energi tersebut sudah sesuai untuk pasien yang berada dalam kondisi akut. Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008). Kebutuhan protein pada pasien lansia yang tidak memiliki gangguan akan konsumsi protein adalah 1,0 1,25 g/kg BB per hari. Kebutuhan lemak normal adalah tidak lebih dari 25% 35% dari kebutuhan energi total. Kebutuhan karbohidrat yang dianjurkan bagi lansia adalah sekitar 45% 65% dari total kebutuhan energi per hari (Harris 2004). Penentuan kebutuhan tersebut diperuntukkan bagi lansia secara umum. Penentuan kebutuhan energi dan zat gizi pada pasien yang membutuhkan penyesuaian terhadap jenis penyakit dan kondisinya dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan pada kasus yang disertai komplikasi maka pengaturan kebutuhan energi dan zat gizinya dapat disesuaikan.

38 Tabel 7 Ketentuan kebutuhan energi dan zat gizi pada diet khusus No Jenis Penyakit Energi Protein Lemak Karbohidrat Vitamin dan Mineral 1 Gangguan syaraf Cukup 15% total E 20 30% total E 55 60% total E Sesuai AKG 2 Kardiovaskuler Cukup (35 kkal/kg BB pada Gagal jantung kongestif) 15% total E 25 35% total E 55 60% total E Sesuai AKG 3 Asam urat Cukup 15 20% total E 30% total E 50 65% total E Sesuai AKG 4 Diabetes Melitus Cukup 10 15% total E 25% total E 60 65% total E Sesuai AKG 5 Penyakit paru-paru (tanpa hiperkapnia) Cukup 15 20% total E 25 30% total E 50 60% total E Sesuai AKG 6 Gastrointestinal Cukup 15% total E 25% total E 60% total E Sesuai AKG 7 Fatty liver Cukup 1,5 g/kg BB 25 30% total E Sisa total E Sesuai AKG 8 Cystitis dan Nefrolitiasis Cukup 1 1,25 g/kg BB 25 30% total E 45 65% total E Sesuai AKG 10 Gagal ginjal kronik kkal/kg BB 0,8 g/kg BB 25% total E Sisa total E Sesuai AKG 11 Sindrom Steven Johnson Cukup 1 1,25 g/kg BB 25 35% total E 45 65% total E Sesuai AKG 12 Anemia Cukup 1,5 g/kg BB 25% total E Sisa total E Sesuai AKG Sumber: diolah dari NCEP (2002), Krummel (2004), PERKENI (2002) di dalam Hartono (2006), Dorfman (2004), Heimburger dan Weinsler (1997), Hartati (2005), Hasse dan Matarese (2004), PDGKI (2008), Stopler (2004), dan Harris (2004).

39 Perhitungan ketersediaan, konsumsi, dan kecukupan energi dan zat gizi Data ketersediaan makanan yang disajikan dan data konsumsi makanan dalam sehari dikonversi ke dalam energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, kalsium, besi, seng, natrium, dan kalium berdasarkan Tabel Komposisi Pangan Indonesia tahun 2009 dan daftar komposisi energi dan zat gizi dari buku The Composition of Foods (Mc Cance 2007). Setelah diperoleh data kebutuhan, ketersediaan, dan konsumsi energi dan zat gizi pada setiap pasien, selanjutnya adalah menentukan tingkat ketersediaan dan tingkat kecukupan (konsumsi terhadap kebutuhan) menggunakan rumus-rumus berikut: Tk. Ketersediaan Energi dan Zat Gizi Makro = Σ Energi dan zat gizi pada mak RS kebutuhan Energi dan zat gizi 100% Tk. Ketersediaan Vitamin dan Mineral = Σ vitamin dan mineral pada mak RS AKG vitamin dan mineral 100% jumlah total Energi yang dikonsumsi Tk. Kecukupan Energi = 100% kebutuhan Energi Tk. Kecukupan Vitamin dan Mineral = jumlah vitamin dan mineral yg dikonsumsi AKG vitamin dan mineral 100% Kemudian data tersebut selanjutnya akan dikategorikan seperti pada Tabel 8. Tabel 8 Pengkategorian tingkat ketersediaan dan kecukupan energi dan zat gizi Variabel Tingkat ketersediaan energi Kategori - defisit, <90% angka kebutuhan - normal, % angka kebutuhan - lebih, 120% angka kebutuhan Tingkat kecukupan energi - Defisiensi tingkat berat, <70% angka kebutuhan - Defisiensi tingkat sedang, 70 79% angka kebutuhan - Defisiensi tingkat ringan, 80-89% angka kebutuhan - Normal, % angka kebutuhan - Lebih, 120% angka kebutuhan Tk. Kecukupan vitamin dan mineral - Kurang, <77% AKG - Cukup, 77% AKG Sumber: Depkes (1996) dalam Sukandar (2007). Konsumsi terhadap makanan RS (makanan olahan dan formula komersial) juga diamati berdasarkan preferensi terhadap bahan makanan dari setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk nabati dan hewani, sayuran,

40 buah-buahan, selingan, dan formula komersial). Batas konsumsi minimal yang ditetapkan disesuaikan dengan ketersediaan energi dan zat gizi yang terkandung pada makanan RS. Makanan pokok merupakan sumber utama energi sehingga batas konsumsi minimal yang disarankan untuk makanan pokok disesuaikan dengan ketersediaan energi. Lauk nabati dan hewani merupakan sumber utama protein sehingga batas konsumsi minimal yang disarankan untuk lauk nabati dan hewani disesuaikan dengan ketersediaan protein. Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama vitamin dan mineral sehingga batas konsumsi minimal yang disarankan untuk sayuran dan buah-buahan disesuaikan dengan ketersediaan vitamin dan mineral. Konsumsi makanan selingan dan formula komersial diamati tanpa batas konsumsi minimal karena bukan merupakan sumber utama energi dan zat gizi. Pengamatan pada pemberian makanan selingan dan formula dilakukan dengan menghitung frekuensi pasien yang mengkonsumsi 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100% dari setiap jenis makanan yang disediakan. Hal ini bertujuan untuk melihat preferensi pasien terhadap makanan selingan dan formula komersial. Perhitungan Status Gizi Data BB dan TB digunakan untuk menghitung kebutuhan energi dan zat gizi, serta menilai status gizi contoh secara antropometri dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Kebanyakan pasien tidak dapat melakukan pengukuran TB dalam posisi berdiri tegak maka diganti dengan pengukuran panjang badan (PB) dengan menggunakan pita meter untuk menentukan perkiraan TB. Pasien yang tidak dapat diukur BB menggunakan timbangan detecto maka perkiraan BB ditentukan dengan menggunakan lingkar lengan atas (LLA) dengan memakai pita meter. Nilai normal/ideal LLA bagi orang dewasa adalah 26,3 cm pada laki-laki, dan 25,7 cm pada perempuan (Hartono 2006). Adapun rumus memperkirakan BB menggunakan LLA adalah sebagai berikut: BB perempuan = LLA [ TB % TB 100 ] BB laki laki = LLA [ TB % TB 100 ] Keterangan: BB = berat badan (kg) LLA= Lingkar lengan atas (cm) TB = Tinggi badan (cm)

41 Rumus Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah sebagai berikut dan kategori status gizi pasien berdasarkan IMT ditunjukkan pada Tabel 9. Analisis Data IMT = Berat Badan (Kg) {Tinggi Badan m } 2 Tabel 9 Status gizi berdasarkan IMT pada populasi Asia Status Gizi Indeks Massa Tubuh Gizi Kurang < 18,5 Normal 18,5 25 Gizi lebih > 25 Sumber: WHO (2004) dalam PDGKI (2010) Data yang telah diolah selanjutnya dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Adapun data yang dianalisis secara deskriptif adalah karakteristik pasien, jenis penyakit, status gizi, kebutuhan gizi, ketersediaan, serta konsumsi energi dan zat gizi. Data yang dianalisis secara tabulasi silang meliputi jenis kelamin dan usia, serta jenis kelamin dan status perkawinan. Analisis korelasi menggunakan Uji Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara variabel usia dengan status gizi, hubungan antara variabel usia dengan kebutuhan energi, dan hubungan antara usia dengan tingkat konsumsi energi terhadap ketersediaan makanan RS. Uji Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara variabel jumlah penyakit dengan status gizi.

42 Definisi Operasional Pasien lansia: adalah pasien yang berusia lebih dari sama dengan 60 tahun dan menjalani rawat inap di Ruang Gayatri RSMM Bogor. Penyakit yang diderita: adalah jenis penyakit yang diderita oleh pasien Ruang Gayatri saat penelitian berlangsung. Status gizi: merupakan suatu kondisi tubuh pasien lansia sebagai akibat konsumsi, absorbsi, dan utilisasi zat gizi yang ditentukan berdasarkan rumus IMT. Lama rawat: yaitu jumlah hari contoh mendapat perawatan inap di Ruang Gayatri. Makanan rumah sakit: adalah makanan yang disediakan oleh instalasi gizi melalui mekanisme penyelenggaraan makanan untuk pasien rawat inap Ruang Gayatri. Pemilihan bahan makanan: adalah kegiatan memilih bahan makanan yang akan diolah menjadi makanan bagi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri RSMM. Pengolahan makanan: merupakan proses mengubah bahan makanan menjadi makanan yang akan dihidangkan bagi pasien lansia yang dirawat di Ruang Gayatri RSMM. Siklus menu: adalah susunan hidangan makanan yang disajikan untuk pasien Ruang Gayatri dalam satu putaran menu. Standar porsi: merupakan ukuran, berat, dan jumlah bahan makanan yang diporsikan untuk setiap pasien Ruang Gayatri. Kebutuhan energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat-zat gizi yang dibutuhkan pada setiap individu (pasien) untuk mencapai dan mempertahankan status gizi adekuat, dengan mempertimbangkan angka metabolisme basal (AMB), faktor aktivitas fisik selama sakit, dan faktor stress akibat penyakit yang diderita. Ketersediaan energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat gizi yang terkandung dalam makanan yang disediakan oleh instalasi gizi rumah sakit pada setiap pasien perhari. Konsumsi energi dan zat gizi: yaitu jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi oleh pasien rawat inap rata-rata perorang perhari, baik dari makanan yang disediakan RS maupun lainnya (formula khusus dan makanan luar RS).

43 Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi: adalah perbandingan antara jumlah energi dan zat gizi yang terkandung di dalam makanan RS terhadap kebutuhan atau AKG pasien. Tingkat kecukupan (konsumsi terhadap kebutuhan) energi dan zat gizi: adalah perbandingan antara jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi dari makanan RS dan makanan luar RS terhadap kebutuhan atau AKG pasien.

44 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor (RSMM) terletak di Jalan dr. Semeru No. 114 Bogor. Rumah sakit ini berdiri pada tanggal 1 Juli 1882 sebagai rumah sakit jiwa pertama di Indonesia dan diresmikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perawatan pasien gangguan jiwa yang sebelumnya dirawat di rumah sakit umum, rumah sakit tentara, penjara, dan kantor polisi dengan cara perawatan kurungan menjadi perawatan rumah sakit jiwa yang lebih manusiawi. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya perubahan status rumah sakit menjadi status badan layanan umum, maka pihak RSMM berusaha untuk memenuhi dan mengembangkan berbagai pelayanan, baik di pelayanan umum, pelayanan NAPZA, maupun di bagian pelayanan psikiatrik. Salah satu pengembangan di bidang pelayanan umum adalah dibentuknya pelayanan Psikogeriatri (Ruang Akut) yang merupakan salah satu pelayanan yang bersifat khusus dengan memerlukan keterampilan tersendiri karena begitu kompleks permasalahan yang dihadapi oleh pasien lansia, sehingga dibutuhkan perawatan yang komprehensif dan bersifat spesialistik yang menangani rawat jalan, rawat inap, emergensi, dan homecare. British Geriatric Society yang mempelopori ilmu ini, mendefinisikan geriatri sebagai cabang ilmu penyakit dalam yang berkepentingan dengan aspek pencegahan, peningkatan, pengobatan, rehabilitasi, dan psikososial dari penderita usia lanjut. Psikogeriatri atau psikiatri geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatri pada usia lanjut (Darmojo & Martono 2006). Ada empat ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu (Komnas Lansia 2008): 1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia. 2. Adanya akumulasi dan penyakit-penyakit degeneratif lanjut usia secara psikososial. 3. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia ke arah kerusakan atau kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak.

45 4. Munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, atau trauma psikis. Pelayanan psikogeriatrik RSMM diresmikan oleh Direktur Utama RSMM pada tanggal 8 Juni 2009 dengan nama Ruang Gayatri serta memiliki visi, misi, dan tujuan yang mengacu pada rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang berkembang, dan merupakan satu-satunya ruang rawat lansia di Kota Bogor. Pelayanan psikogeriatrik RSMM mengedepankan pelayanan berbentuk Tim Psikogeriatrik yang terdiri dari Konsultan Geriatrik, Spesialis Gizi, Spesialis Internis, Spesialis Rehabilitasi Medis dan Perawat Profesional. Kriteria pasien yang dirawat di ruangan ini adalah berusia di atas 60 tahun, didiagnosa memiliki satu penyakit dan dua komplikasi yang dikonsultasikan ke bagian dokter Konsultan Geriatrik dan dokter Tim-nya. Visi Ruang Gayatri adalah mengutamakan pelayanan yang bermutu, memuaskan, dan tepat bagi lansia sehingga dapat menjadi lansia yang sehat dan sejahtera. Misi ruang rawat inap ini adalah memberikan pelayanan secara profesional dengan mengedepankan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Ruang Gayatri memiliki slogan yang berbunyi Bertambah Umur, Bertambah Sehat dan Berguna. Ketenagaan dalam pelayanan keperawatan di Ruang Gayatri berjumlah 13 orang tenaga perawat, satu orang tenaga administrasi, dan dua orang cleaning service. Kapasitas ruang geriatrik adalah tujuh buah tempat tidur, yang terdiri dari empat tempat tidur untuk pasien perempuan, dan tiga tempat tidur untuk pasien laki-laki. Selain itu, terdapat pula Ruang Rehabilitasi Medik, dua kamar mandi untuk laki-laki dan perempuan, satu ruang perawatan, satu ruang pertemuan, untuk keluarga dan Tim Psikogeriatrik dan satu ruang dapur. Dinding di Ruang Gayatri dipasangi handball stainless hingga kamar mandi. Alat-alat kesehatan yang dipergunakan disesuaikan dengan kondisi lansia, mulai dari alatalat standar hingga alat-alat kesehatan khusus. Ruang Gayatri termasuk dalam ruang rawat inap kelas II plus (Lampiran 2 dan 3). Gambaran Umum Instalasi Gizi Instalasi Gizi Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor memberikan pelayanan gizi bagi pasien NAPZA, psikiatri, dan umum. Dapur untuk pasien psikiatri, NAPZA, dan umum terletak dalam satu gedung namun tempat pengolahan makanan untuk masing-masing pelayanan berbeda. Gedung Instalasi Gizi RSMM terdiri dari beberapa bagian, antara lain kantor administrasi;

46 tempat penerimaan bahan makanan; tempat penyimpanan bahan makanan pasien NAPZA, MPKP, dan Psikiatri; tempat penyimpanan bahan makanan kering; dapur untuk persiapan dan pengolahan, serta tempat distribusi makanan untuk pasien NAPZA, MPKP, dan Psikiatri; dapur untuk persiapan dan pengolahan makanan untuk pasien Umum; dapur pembuatan snack; tempat pemasakan air; tempat penyimpanan alat-alat masak; mushola dan tempat penitipan barang karyawan; dan dua buah toilet. Penyelenggaraan makanan untuk pasien umum ditujukan pada pasien kelas VIP, I, II, dan III. Penyelenggaraan makanan untuk pasien Ruang Gayatri dilaksanakan seperti kepada pasien kelas II. Instalasi Gizi RSMM Bogor memiliki 54 pegawai yang terdiri dari 11 orang ahli gizi, lima orang tenaga gizi, 10 orang pramusaji, dan 28 orang juru masak. Sebanyak lima orang tenaga gizi dan 10 orang pramusaji ditugaskan dalam penyelenggaraan makanan di pantry pasien umum (Lampiran 4). Perencanaan Menu Siklus menu 11 hari digunakan dalam penyelenggaraan makanan untuk pasien psikiatri, NAPZA, MPKP, dan pasien umum. Menu yang digunakan berbeda antar masing-masing pelayanan. Kerangka menu yang diperuntukkan bagi pasien umum adalah sama untuk setiap kelas perawatan. Perbedaan terletak pada jumlah satuan penukar (SP) dan jenis bahan makanannya. Lauk hewani pada makan pagi dan siang untuk pasien kelas VIP dan kelas I adalah 2 SP yang terdiri dari satu jenis lauk yang sama dengan kelas II dan III, serta satu jenis lauk yang berbeda. Kelas II dan III mendapatkan 1 SP lauk hewani untuk setiap waktu makan. Buah dan snack atau makanan selingan bagi pasien VIP jenisnya dibedakan dengan kelas I, II, dan III. Buah yang diberikan pada saat makan malam kepada pasien VIP berjumlah 2 SP yang terdiri dari satu jenis buah yang sama dengan kelas I, II, dan III, serta satu jenis buah yang berbeda. Pasien kelas III mendapatkan buah hanya saat makan siang saja, yaitu sebanyak 1 SP. Ruang Gayatri yang merupakan ruang rawat inap kelas II plus memiliki siklus menu dan kerangka menu seperti pasien kelas II (Lampiran 5). Kerangka menu pada penyelenggaraan makanan bagi pasien umum di RSMM dapat dilihat pada Tabel 10.

47 Tabel 10 Kerangka menu berdasarkan kelas perawatan Waktu makan Kerangka Menu Jumlah SP setiap kelas perawatan VIP I II III Makanan pokok Pagi Lauk hewani* Sayur Selingan I Snack** Makanan pokok Lauk hewani* Siang Lauk nabati Sayur Buah*** Selingan II Snack** Makanan pokok Lauk hewani Sore Lauk nabati Sayur Buah*** Keterangan: * lauk hewani tambahan jenisnya berbeda ** snack untuk kelas VIP berbeda dengan kelas I, II, dan III ***buah untuk kelas VIP berbeda dengan kelas I, II, dan III Bahan Makanan, Standar Porsi, dan Pengolahannya Bahan Makanan Bahan makanan yang digunakan hampir semuanya adalah bahan makanan dalam keadaan segar, hanya bakso, kembang tahu, makaroni, dan soun saja bahan makanan olahan yang digunakan untuk pelengkap masakan. Bahan makanan pokok secara umum adalah beras (nasi, nasi tim, atau bubur). Havermut, kentang, dan roti diberikan pada pasien dengan permintaan khusus. Pasien dalam penelitian ini mendapatkan nasi, nasi tim, atau bubur sebagai makanan pokok. Lauk hewani yang digunakan terdiri dari ayam, daging sapi, ikan kakap, telur puyuh, telur ayam, dan ikan gurame. Lauk nabati yang digunakan antara lain tahu, tempe, kentang, dan makaroni. Sayuran yang digunakan terdiri dari wortel, kapri, buncis, kembang kol, brokoli, paprika, sawi hijau, labu siam, jagung manis, jamur kuping, sedap malam, bayam, labu siam, terung panjang, oyong, semi, jamur supa, dan kacang panjang. Buah-buahan yang diberikan antara lain jeruk, pisang raja sereh, semangka, pisang ambon, papaya, melon, dan anggur. Bahan makanan dalam pembuatan makanan selingan terdiri dari kacang hijau, agar-agar, tepung susu, tepung terigu, tepung beras, tepung hunkwe, maizena, telur ayam, margarin, cokelat manis, cokelat chips, cokelat bubuk, keju, gula aren, gula pasir, santan, sirup, pisang raja, semangka, melon, papaya,

48 stroberi, jeruk manis, pisang tanduk, dan jambu biji. Bahan makanan tersebut kemudian diolah menjadi makanan dalam bentuk kue-kue, bubur, dan minuman. Standar Porsi dan Pengolahan Bahan Makanan Daya tampung pasien pada pelayanan rawat inap pasien umum adalah sebanyak 100 orang, sehingga jumlah porsi maksimal yang disiapkan adalah 100 porsi. Instalasi gizi menetapkan standar porsi untuk setiap bahan makanan. Standar porsi yang diberikan untuk pasien lansia Ruang Gayatri adalah sama dengan standar porsi untuk pasien umum. Standar porsi tersebut diperoleh dari dokumentasi Unit Perencanaan dan Perbekalan dan ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11 Standar porsi bahan makanan untuk pasien umum kelas II Bahan makanan Satuan Jumlah Keterangan Beras Gram 400 Sehari Ayam Gram 125 Sekali penyajian Daging sapi Gram 60 Sekali penyajian Ikan Gram 65 Sekali penyajian Telur ayam Gram 60 Sekali penyajian Telur puyuh Gram 40 Sekali penyajian Tempe Gram 50 Sekali penyajian Tahu Gram 50 Sekali penyajian Sayur Gram 100 Sekali penyajian Buah Gram 150 Sehari Snack Buah 2 Sehari Pengumpulan data ketersediaan tidak menggunakan dokumen standar porsi tersebut tetapi dari hasil penimbangan sampel makanan. Proses pengolahan yang dilakukan antara lain terdiri dari perebusan, pengetiman, pengukusan, penggorengan, penumisan, pemasakan dengan oven, ataupun kombinasi dari cara memasak tersebut. Proses pengolahan tersebut ditujukan pada penyelenggaraan makanan pasien umum, termasuk pasien lansia Ruang Gayatri. Pendistribusian Makanan RS Setelah makanan untuk pasien umum matang, selanjutnya makanan diantarkan menggunakan mobil dari Instalasi Gizi menuju pantry yang dikhususkan untuk ruang rawat umum. Selanjutnya makanan didistribusikan sesuai dengan diet masing-masing pasien dan diberi label. Makanan yang sudah disiapkan selanjutnya diantarkan oleh pramusaji kepada pasien. Berdasarkan proses tersebut terlihat bahwa Instalasi Gizi RSMM Bogor menerapkan sistem distribusi desentralisasi, yaitu makanan pasien dibawa dari tempat pengolahan menuju dapur dalam jumlah banyak untuk selanjutnya disajikan dalam alat makan masing-masing pasien sesuai dengan permintaan

49 makanan. Peralatan makan yang digunakan untuk pelayanan makanan pasien Ruang Gayatri terdiri dari satu pasang plato aluminium beserta tutupnya, satu buah piring keramik, satu buah sendok plastik, dan satu buah nampan. Selain itu, setiap kali waktu makan pasien juga mendapatkan satu gelas air mineral kemasan. Diet konsistensi biasa, lunak, dan saring terdiri dari tiga kali makan utama (pagi, siang, dan sore) dan dua kali selingan. Diet dengan konsistensi cair memiliki waktu dan frekuensi yang telah disesuaikan dengan resep diet yang diberikan oleh dokter gizi. Secara umum, penyelenggaraan makanan yang dimulai dari proses perencanaan anggaran belanja makanan hingga tahap pendistribusian makanan bagi pasien lansia di Ruang Gayatri adalah sama dengan penyelenggaraan makanan bagi pasien umum lainnya (Lampiran 6). Karakteristik Pasien Sebanyak 63,3% pasien berjenis kelamin wanita. Usia pasien berkisar antara 60 hingga 100 tahun. Klasifikasi lansia berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut (elderly) (60 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008). Rata-rata usia pasien adalah 72 tahun. Sebanyak 60% pasien termasuk dalam kategori usia lanjut/elderly. Pasien yang berstatus sebagai duda atau janda yaitu sebesar 63,3%. Sebelum pasien dirawat di RS, sebagian besar yaitu 93,3% pasien mengaku tinggal serumah bersama keluarga. Berdasarkan Komnas Lansia (2008), lansia yang hidupnya sendirian atau karena meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat akan mengalami kesepian. Keadaan lansia tersebut terkadang diperburuk dengan menurunnya kondisi kesehatan. Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan dengan hidupnya, sehingga ia berharap agar kematian segera datang menjemputnya. Sebanyak 60% pasien mendapat biaya perawatan RS dari keluarga. Kisaran lama rawat pasien adalah 3 33 hari. Sebanyak 43,3% pasien dirawat selama 3 6 hari. Sebesar 30% pasien keluar dari Ruang Gayatri atas permintaan keluarga (APK) atau sebelum dokter menyatakan pasien sudah diperbolehkan pulang. Alasan keluarga meminta pasien untuk dipulangkan antara lain pertimbangan biaya, pindah ke ruang dengan kelas yang lebih tinggi, ataupun karena pertimbangan ketiadaannya anggota keluarga yang mampu menunggu pasien selama dirawat di RS (Lampiran 7). Sebaran pasien berdasarkan karakteristiknya ditunjukkan pada Tabel 12.

50 Tabel 12 Sebaran pasien berdasarkan karakteristik Karakteristik pasien n % Total Jenis kelamin Wanita 19 63,3 30 Pria 11 36,7 Usia Usia lanjut (60 74 tahun) 18 60,0 Usia lanjut tua (75 90 tahun) 11 36,7 30 Usia lanjut sangat tua (> 90 tahun) 1 3,3 Status pernikahan Menikah dan masih memiliki pasangan Duda atau janda ,7 63,3 30 Pihak yang merawat sebelum dirawat di RS Tinggal sendiri Keluarga ,7 93,3 30 Sumber pembiayaan Keluarga 18 60,0 Asuransi kesehatan 10 33,3 30 Lainnya (bantuan dari pihak lain) 2 6,7 Lama rawat 3 6 hari 13 43, hari 7 23,3 > 10 hari 1 3,3 APK 9 30,0 Jenis Penyakit Jenis Penyakit dan Status Gizi Setiap pasien yang dirawat di Ruang Gayatri adalah pasien lansia yang didiagnosa memiliki minimal tiga jenis penyakit. Jenis penyakit yang diderita oleh contoh dikelompokkan menjadi gangguan sistem syaraf, sistem kardiovaskuler, sindrom metabolik dan asam urat, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal dan hati, sistem urinaria, dan sindrom Steven Johnson. Gangguan sistem syaraf meliputi penyakit stroke, vertigo, parase, dan tekanan intrakranial. Stroke merupakan serangan mendadak gangguan pembuluh darah otak yang dapat berupa stroke iskemik maupun stroke hemoragik (Hartono 2006). Parese adalah suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan, atau gerakan terganggu. Jenis parese yang diderita pasien adalah hemiparese dan tetraparese. Vertigo merujuk pada halusinasi dari gerakan yang dapat linear, jatuh, atau goyang. Seringkali digambarkan sebagai sensasi berputar baik pada salah satu dari rotasi sendiri (subjective vertigo) atau rotasi dari lingkungan sekelilingnya (objective vertigo). Pada kebanyakan kasuskasus, gejala dari vertigo menyiratkan penyakit dari telinga bagian dalam atau sistim vestibular (keseimbangan) (Anonim 2008a). Tekanan intrakranial adalah peningkatan tekanan otak normal yang dapat disebabkan karena peningkatan 30

51 tekanan cairan serebrospinal atau karena adanya tumor dalam otak (Anonim 2009a). Gangguan sistem kardiovaskuler meliputi hipertensi, gagal jantung kongestif, dan kardiomegali. Hipertensi merupakan tekanan darah arteri yang abnormal tinggi, ditandai dengan tekanan darah sistolik di atas 140 mmhg atau tekanan darah diastolik di atas 90 mmhg (Krummel 2004). Gagal jantung kongestif adalah sindrom yang dicirikan oleh ketidakmampuan jantung dalam mempertahankan aliran darah yang memadai di dalam sistem sirkulasi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, retensi cairan dan natrium yang berlebihan, edema perifer dan paru, serta jantung yang keletihan dan membengkak. Kardiomegali adalah istilah untuk pembesaran jantung (Hartono 2006). Sindrom metabolik adalah kumpulan keadaan seperti kegemukan perut dan gangguan toleransi glukosa, kenaikan kadar trigliserida, hipertensi ringan dan mikroalbuminuria. Diabetes melitus merupakan kumpulan keadaan yang disebabkan oelh kegagalan pengendalian gula darah. Kegagalan ini terjadi karena dua hal, yaitu (1) produksi hormon insulin yang tidak memadai atau tidak ada, atau (2) resistensi insulin yang meningkat. Asam urat berhubungan dengan gangguan metabolisme purin yang menimbulkan hiperurisemia jika kadar asam urat dalam darah melebihi 7,5 mg/dl (Hartono 2006). Gangguan sistem pernafasan terdiri dari tuberkulosis, bronko pneumonia, dan efusi pleura. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacteria, khususnya Mycobacterium tuberculosis, M. bovis, atau M. africanum (Mueller 2004). Pneumonia adalah suatu infeksi dari satu atau dua paru-paru yang biasanya disebabkan oleh bakteri-bakteri, virus-virus, atau jamur. Jadi bronkopneumonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim (Anonim 2009b). Efusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak di antara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada (Anonim 2011). Gangguan gastrointestinal dan hati meliputi dispepsia, tukak peptik, hematemesis, melena, gastroenteritis, fatty liver, dan hepatoma. Dispepsia adalah gangguan pada saluran pencernaan yang ditandai dengan rasa sakit pada perut bagian atas yang berulang atau kronis, atau perut terasa cepat penuh atau kenyang, dapat disertai kembung, mual, atau sakit pada ulu hati (Sandjaja

52 et al 2009). Hematemesis-melena adalah keadaan muntah dan buang air besar berupa darah akibat luka atau kerusakan pada saluran cerna (Hartati 2005). Gastroenteritis (diare) dicirikan dengan buang air besar sering berkonsistensi cair dengan volum biasanya melebihi 300 ml, disertai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan, terutama narium dan kalium. Fatty liver adalah salah fase awal dalam patogenesis penyakit Alcoholic liver (Beyer 2004). Kanker hati adalah suatu kanker yang timbul dari hati, dan dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma (Anonim 2008b). Mukosa lambung dan duodenum secara normal terlindung dari aksi pencernaan oleh asam lambung dan pepsin dengan mensekresi mukus, memproduksi bikarbonat, membuang kelebihan asam melalui aliran darah normal, serta memperbarui dan memperbaiki sel epitel yang terluka. Tukak peptik adalah terdapatnya tukak yang terjadi akibat adanya gangguan terhadap mekanisme dan pertahanan ini (Beyer 2004). Gangguan sistem urinaria meliputi sistitis, nefrolitiasis, dan gagal ginjal kronis. Sistitis adalah infeksi kandung kemih sedangkan nefrolitiasis adalah terdapatnya batu ginjal (Anonim 2008c). Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel karena suatu penyakit. Terapi diet hanya bersifat membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronis (Hartono 2006). Sindrom Steven Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50% penyebab SSJ adalah obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Proses hipersensitivitas itu memicu kerusakan kulit sehingga terjadi: (1) kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, (2) stres hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia, dan glukosuria, (3) kegagalan termoregulasi, (4) kegagalan fungsi imun, dan (5) infeksi (Harsono 2006). Beberapa pasien juga mengalami gangguan penyerta seperti anemia, penurunan kemampuan ataupun nafsu makan sehingga menyebabkan low intake, dan masalah status gizi lebih ataupun kurang. Penyakit yang paling banyak diderita adalah gangguan kardiovaskuler, selanjutnya sindrom metabolik

53 dan asam urat, gastrointestinal dan hati, pernafasan, syaraf, ginjal, dan sindrom Steven Johnson. Selain diagnosa utama, sebanyak 36,7% pasien menderita anemia. Pasien yang dinyatakan berisiko low intake karena adanya gangguan seperti penurunan kesadaran, mual, muntah, ataupun penurunan nafsu makan adalah 60% pasien. Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit dan gangguan penyerta dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit Jenis penyakit dan gangguan penyerta n % Gangguan kardiovaskuler 24 80,0 Sindrom metabolik dan asam urat 10 33,3 Gangguan gastrointestinal dan hati 10 33,3 Gangguan pernafasan 7 23,3 Gangguan syaraf 6 20,0 Gangguan ginjal 4 13,3 Sindrom Steven Johnson 1 3,3 Status Gizi Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT untuk populasi Asia Pasifik berdasarkan WHO (2004) dalam PDGKI (2008) adalah kurang (IMT< 18,5), normal (IMT= 18,5 24,9), dan lebih (IMT 25). Kisaran IMT pasien adalah 12,6 hingga 26,5. Rata-rata nilai IMT pasien adalah 19,0 sehingga digolongkan berstatus gizi normal. Setengah dari pasien berstatus gizi normal. Sebaran pasien berdasarkan status gizi ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran pasien berdasarkan status gizi Status gizi n % Kurang ( 18,5) 12 40,0 Normal (18,5 25,0) 15 50,0 Lebih (>25,0) 3 10,0 Total ,0 Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Kebutuhan energi berubah dalam keadaan sakit. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan energi orang sakit dapat dilakukan dengan menurut persen kenaikan kebutuhan di atas Angka Metabolisme Basal (AMB), yaitu dengan mengalikan AMB dengan faktor aktivitas dan faktor trauma atau stres (Almatsier 2005). Kebutuhan protein, lemak, dan karbohidrat ditentukan berdasarkan keadaan penyakit yang diderita pasien, serta disesuaikan dengan asupan zat gizi makro bagi lansia yang disarankan dalam Harris (2004). Kebutuhan vitamin dan mineral berdasarkan Angka Kecukupan

54 Gizi untuk lansia ditetapkan sesuai ketentuan dalam WNPG VIII tahun Kebutuhan energi dan zat gizi pasien disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 15 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi Energi dan zat gizi Rata-rata±SD Energi (kkal) ± 244 Protein (g) 51,6 ± 13,3 Lemak (g) 37,8 ± 6,8 Karbohidrat (g) 203,8 ± 33,8 Vit.A (RE) 537 ± 49 Vit. E (mg) 15 ± 0 Vit. B1 (mg) 1,0 ± 0,1 Asam folat (mcg) 400 ± 0 Vit. B6 (mg) 1,6 ± 0,1 Vit. B12 (mcg) 2,4 ± 0,0 Vit. C (mg) 81 ± 7 Kalsium (mg) 800 ± 0 Besi (mg) 12 ± 1 Seng (mg) 11,1 ± 1,8 Selama dirawat di RS, pasien memperoleh energi dan zat gizi untuk memenuhi kebutuhannya melalui makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial) yang dikelola oleh Instalasi Gizi RS dan makanan dari luar RS yang dibawa oleh keluarga pasien yang berkunjung. Selain memperoleh dalam bentuk pangan, sebanyak 90% (27 orang) pasien juga memperoleh energi dan zat gizi dari cairan infus (Futrolit, Asering, Renosan, Ringer Laktat, Aminofluid, NaCl, dan Dekstrosa 5%) serta sebanyak 26,7% (8 orang) pasien mendapatkan suplemen (Bion 3, Neurobion, Lesichool, Cal 95, dan Neurodex). Pemberian cairan infus dan suplemen ditangani oleh bagian farmasi. Ketersediaan Energi dan Zat Gizi dari Makanan RS Makanan RS yang diberikan oleh pihak Instalasi Gizi RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial. Pemberian makanan olahan RS dan formula komersial ini disesuaikan dengan keadaan pasien dan diresepkan oleh dokter (preskripsi diet). Makanan RS diberikan kepada pasien berupa makanan olahan RS saja, formula komersial saja, atau kombinasi makanan olahan RS bersama dengan formula komersial. Makanan olahan RS merupakan hasil penyelenggaraan makanan yang dilakukan oleh pihak Instalasi Gizi RS. Makanan olahan RS meliputi makanan utama (pagi, siang, dan sore) dan makanan selingan. Formula komersial yang dimaksud adalah makanan cair yang tersedia di pasaran. Almatsier (2005) menggolongkan formula komersial sebagai makanan cair penuh. Makanan cair penuh adalah makanan yang berbentuk cair atau semi cair pada suhu ruang dengan kandungan serat minimal dan tidak tembus pandang bila diletakkan

55 dalam wadah bening. Makanan ini dapat diberikan melalui oral atau enteral (pipa), secara bolus atau drip (tetes). Makanan cair penuh diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan mencernakan makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran cerna, serta pra dan pasca bedah. Formula komersial yang diberikan kepada pasien selama penelitian berlangsung terdiri dari Entrasol, Peptisol, Diabetasol, dan Hepatosol. Makanan Olahan RS Data ketersediaan energi dan zat gizi makanan olahan RS diperoleh dari 25 orang (83,3%) pasien. Sebagian dari mereka mendapatkan makanan olahan RS selama tiga hari berturut-turut, sebagian lagi mendapatkan makanan olahan RS selama dua hari, dan sisanya mendapatkan makanan olahan RS selama satu hari. Ketersediaan Energi Rata-rata ketersediaan energi dari makanan olahan RS adalah ± 101 kkal atau 117,5% terhadap kebutuhan energi pasien. Depkes (1996) dalam Sukandar (2007) mengkategorikan tingkat ketersediaan energi terhadap kebutuhan menjadi tiga, yaitu defisit (< 90% angka kebutuhan), normal (90 119% angka kebutuhan), dan lebih ( 120% angka kebutuhan) sehingga ratarata ketersediaan energi dari makanan olahan RS tersebut dikategorikan normal. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi ialah kkal dan kkal sehingga dapat menyumbang sekitar 104,6 129,4% terhadap rata-rata kebutuhan energi pasien. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dapat memberikan energi kepada pasien dalam jumlah yang normal hingga berlebih. Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS terhadap kebutuhan pasien. Tabel 16 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS terhadap kebutuhan Kategori n % Defisit 3 12,0 Normal 14 56,0 Lebih 8 32,0 Total ,0 Lebih dari separuh pasien (56%) memiliki tingkat ketersediaan energi terhadap kebutuhan yang termasuk dalam kategori normal dan 32% pasien termasuk kategori lebih. Hanya sebagian kecil pasien (12%) yang mengalami defisit terhadap ketersediaan energi. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika pasien

56 mampu mengkonsumsi makanan RS dengan baik maka kebutuhan energinya akan terpenuhi. Ketersediaan Protein Rata-rata ketersediaan protein sehari dari makanan olahan RS adalah 74,5 ± 8,6 g atau 1,8 g/kg berat badan (BB). Nilai minimum dan maksimum ketersediaan protein adalah 61,0 g dan 105,2 g, sehingga bila rata-rata BB pasien adalah 44,9 kg maka asupan dari ketersediaan protein makanan olahan RS adalah sekitar 1,4 2,3 g/kg BB. Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg BB umumnya aman bagi lansia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka sebagian besar pasien mendapatkan protein dari makanan olahan RS dengan jumlah yang melebihi dari ketentuan asupan protein bagi lansia. Hal ini terjadi karena standar porsi lauk hewani dan nabati yang diberikan kepada pasien lansia masih disamakan dengan pasien umum lainnya. Tidak ada pasien yang mendapatkan protein dari makanan olahan RS dalam jumlah yang kurang. Sebanyak 16% pasien mendapatkan protein dalam jumlah asupan yang disarankan bagi lansia dan sebagian besar pasien (84%) mendapatkan protein dalam jumlah berlebih. Hal ini terjadi karena pasien lansia di Ruang Gayatri mendapatkan lauk nabati dan hewani dengan standar porsi yang sama dengan pasien umum. Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan protein makanan olahan RS Ketersediaan protein n % < 1 g/kg BB 0 0,0 1 1,25 g/kg BB 4 16,0 > 1,25 g/kg BB 21 84,0 Total ,0 Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus mengalami penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama jumlah nefron yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah (Harris 2004). Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri (Dharmojo & Martono 2006). Ketersediaan Karbohidrat Rata-rata ketersediaan karbohidrat perhari dari makanan olahan RS adalah 222,4 ± 38,2 g atau 66,6% dari total kebutuhan energi. Haris (2004) mengatakan bahwa asupan karbohidrat yang disarankan bagi lansia adalah sebanyak 45 65% dari total kebutuhan energi perhari. Berdasarkan ketentuan

57 tersebut maka rata-rata ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum sebesar 176,3 g dan 373,5 g, sehingga makanan RS dapat menyumbangkan sebanyak 51,8 109,7% dari rata-rata total kebutuhan energi perhari. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dapat memberikan karbohidrat kepada pasien dalam jumlah yang normal hingga berlebih. Sebagian besar pasien (60%) mendapatkan karbohidrat dari makanan RS dengan jumlah sesuai ketentuan bagi lansia dan sisanya (40%) mendapatkan dalam jumlah berlebih. Hal ini terjadi karena pasien lansia di Ruang Gayatri mendapatkan makanan pokok dengan standar porsi yang sama dengan pasien umum. Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS Ketersediaan Lemak Ketersediaan karbohidrat n % < 45% keb. E 0 0, % keb. E 15 60,0 > 65% keb. E 10 40,0 Total ,0 Rata-rata ketersediaan lemak dalam sehari dari makanan RS adalah 50,1 ± 6,6 g atau 34,1% dari total kebutuhan energi. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan lemak makanan RS adalah sebesar 40,3 g dan 68,2 g, sehingga makanan RS dapat menyumbangkan lemak sebanyak 26,6 45% dari rata-rata kebutuhan energi pasien sehari. Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan lemak yang disarankan bagi lansia adalah sebanyak 25 35% dari total kebutuhan energi sehari. Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak dari makanan olahan RS. Tabel 19 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS Ketersediaan lemak n % < 25% keb. E 5 20, % keb. E 11 44,0 > 35% keb. E 9 36,0 Total ,0 Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan lemak pada lansia tidak hanya diperhatikan masalah jumlah tetapi juga perlu ditekankan untuk mengurangi konsumsi asam lemak jenuh dan memilih asam lemak tak jenuh. Sumber asam lemak jenuh yang digunakan dalam makanan RS adalah minyak kelapa sawit,

58 margarin, santan, dan VCO (Virgin Coconut Oil). Penggunaan minyak kelapa sawit dan santan dalam pengolahan makanan sangat dibatasi, bahkan pada beberapa pasien dengan diet tertentu dibebaskan dari minyak goreng dan santan. Penggunaan margarin hanya terbatas pada pembuatan kue sebagai snack, sehingga penggunaan margarin jarang digunakan. VCO adalah minyak kelapa yang pembuatannya tidak menggunakan proses pemanasan seperti pembuatan minyak kelapa pada umumnya. VCO mengandung asam lemak jenuh rantai sedang atau medium chain triacylglysera (MCT) yang lebih mudah diserap, lebih cepat diutilisasi (Sandjaja 2009). Asam laurat di dalam VCO cukup tinggi yaitu 53%. MCT yang masuk ke dalam tubuh akan langsung dibakar untuk menghasilkan energi sehingga menciptakan kenetralan terhadap kolesterol. Monolaurin yang merupakan bentuk ubahan dari asam lemak ini di dalam tubuh manusia adalah suatu bentuk senyawa monogliserida. Senyawa ini bersifat sebagai antivirus, antibakteri, dan antijamur (Rindengan & Novarianto 2006). Beberapa pasien juga diberikan tambahan minyak kanola dan minyak zaitun ke dalam campuran makanannya. Minyak kanola dan minyak zaitun merupakan sumber asam lemak tak jenuh tunggal (Ettinger 2004). Pemberian minyak kanola dan minyak zaitun masih dilakukan hanya kepada pasien dengan rekomendasi dokter, sehingga tidak semua pasien mendapatkannya. Ketersediaan Vitamin dan Mineral Tingkat kecukupan vitamin dan mineral diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu kurang (< 77% AKG) dan cukup ( 77% AKG) (Depkes 1996 dalam Sukandar 2007). Berdasarkan data pada Tabel 20 dan ketentuan dalam Depkes (1996) tersebut, terlihat bahwa jika pasien mengkonsumsi makanan olahan RS dengan baik maka kecukupan vitamin A, vitamin B1, B6, B12, C, kalsium, besi, dan seng akan terpenuhi. Berbeda dengan kecukupan vitamin E dan asam folat yang tidak akan terpenuhi walaupun sudah mengkonsumsi makanan olahan RS dengan baik, karena ketersediaan vitamin E dan asam folat yang masih kurang dari 77% rata-rata AKG.

59 Tabel 20 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS terhadap AKG Vitamin dan mineral Makanan RS Rata-rata % terhadap AKG Vitamin A (RE) ± ,4 Vitamin E (mg) 4±1 27,5 Vitamin B1 0,8 ± 0,2 78,5 Asam folat 213 ± 29 53,3 Vitamin B6 1,9 ± 0,2 123,4 Vitamin B12 (mcg) 3,4 ± 0,5 140,3 Vitamin C (mg) 115 ± ,2 Kalsium (mg) 791 ± 94 98,9 Besi (mg) 16 ± 1 132,6 Seng (mg) 11,6 ± 1,6 106,3 Natrium (mg) ± Kalium (mg) ± Tingkat kecukupan vitamin A terhadap AKG mencapai 587,4%, namun ini tidak berarti bahwa pasien berisiko kelebihan vitamin A. Berdasarkan Almatsier (2006), kelebihan vitamin A hanya bisa terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran RE untuk jangka waktu yang lama atau RE perhari. Rendahnya konsumsi lemak dari makanan olahan RS mengurangi keoptimalan dalam penyerapan vitamin A. Vitamin A merupakan suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak (Almatsier 2006). Rata-rata ketersediaan natrium dan kalium dari makanan olahan RS adalah 1008 ± 511 mg dan 1933 ± 143 mg. Disarankan untuk membatasi asupan natrium sekitar 2 4 g perhari dan meningkatkan asupan mineral seperti kalium (Harris 2004). Kalium berfungsi untuk memelihara keseimbangan garam (Na) dan cairan serta membantu mengontrol tekanan darah yang normal. Asupan natrium yang disarankan bagi pasien dengan gangguan kardiovaskuler ialah kurang dari 2400 mg (6,4 g garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium sekitar 90 mmol perhari (3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai kebutuhan (NCEP 2002). Formula Komersial Ketersediaan energi dan zat gizi dari formula komersial diperoleh dari dua orang (6,7%) pasien. Kedua orang pasien tersebut selama tiga hari pengamatan memperoleh makanan RS berupa formula komersial saja. Salah satu pasien merupakan pasien dengan diagnosa stroke, dan satu pasien lainnya adalah pasien yang mengalami tukak peptik dan hematemesis.

60 Ketersediaan Energi Rata-rata ketersediaan energi dari formula komersial adalah 875 ± 177 kkal atau 65,1% terhadap kebutuhan sehingga dikategorikan defisit. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi adalah 750 kkal dan kkal sehingga formula komersial dapat menyumbang energi sebanyak 55,1 73,4% terhadap rata-rata kebutuhan energi dan dikategorikan defisit. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian formula komersial tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan energi pasien. Salah satu syarat diet dari makanan cair penuh (formula komersial) adalah bila diberikan lebih dari tiga hari harus dapat memenuhi kebutuhan energi dan protein (Almatsier 2005). Ketersediaan Protein Rata-rata ketersediaan protein dari formula komersial adalah 24,5 ± 4,9 g atau 0,5 g/kg BB. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan protein adalah 21,0 dan 28,0 g sehingga formula komersial dapat menyediakan protein sebanyak 0,5 g/kg rata-rata berat badan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian formula komersial saja tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan protein pasien. Ketersediaan Karbohidrat Rata-rata ketersediaan karbohidrat dari formula komersial adalah 147,0 ± 29,7 g atau 43,7% terhadap kebutuhan energi pasien. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan karbohidrat adalah 126,0 g dan 168,0 g sehingga karbohidrat dari formula komersial dapat menyumbangkan 37,0 49,3% terhadap rata-rata kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian formula komersial saja tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan karbohidrat pasien. Ketersediaan Lemak Rata-rata ketersediaan lemak dari formula komersial adalah 21,0 ± 4,2 g atau 14,1% terhadap kebutuhan energi pasien. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan lemak adalah 18,0 g dan 24,0 g sehingga lemak dari formula komersial dapat menyumbangkan 11,8 16,3% terhadap rata-rata kebutuhan energi. Ketersediaan Vitamin dan Mineral Ketersediaan vitamin A, E, B1, B6, C, dan mineral seng formula komersial mampu memenuhi minimal 77% AKG, sedangkan ketersediaan asam folat, vitamin B12, mineral kalsium, dan besi masih kurang dari 77% AKG. Rata-rata

61 ketersediaan natrium dan kalium dari formula komersial adalah 455 ± 92 mg dan 630 ± 127 mg sehingga kandungan natrium masih lebih rendah dari batas maksimal dan kandungan kalium lebih rendah daripada yang dianjurkan. Tabel berikut menunjukkan ketersediaan vitamin dan mineral yang terkandung pada formula komersial. Tabel 21 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari formula komersial Vitamin dan Mineral Rata-rata ketersediaan % terhadap AKG Vitamin A (RE) 589 ± ,7 Vitamin E (mg) 12 ± 2 77,0 Vitamin B1 1,6 ± 0,3 161,0 Asam folat 235 ± 47 58,6 Vitamin B6 1,3 ± 0,3 86,3 Vitamin B12 (mcg) 1,8 ± 0,4 72,9 Vitamin C (mg) 60 ± 12 79,3 Kalsium (mg) 466 ± 94 58,2 Besi (mg) 6 ± 1,2 49,6 Seng (mg) 11,6 ± 2,3 117,9 Natrium (mg) 455 ± 92 - Kalium (mg) 630 ± Makanan Olahan RS dan Formula Komersial Diet makanan olahan RS yang disertai dengan pemberian formula komersial terdiri dari makanan olahan RS yang diberikan sebagai makanan utama (pagi, siang, dan sore) serta formula komersial sebagai selingan. Data ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS dan formula komersial berasal dari enam orang (20%) pasien. Ketersediaan Energi Rata-rata ketersediaan energi dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah ± 291 kkal atau 141,2% terhadap kebutuhan sehingga dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi adalah kkal dan kkal sehingga makanan olahan RS dan formula komersial dapat menyumbang energi sebanyak 90,3 151,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian makanan olahan RS dan formula komersial mampu memenuhi kebutuhan energi pasien bahkan hingga dikategorikan berlebih. Berikut adalah tabel sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan. Tabel 22 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan Kategori n % Defisit 0 0,0 Normal 1 16,7 Lebih 5 83,3 Total 6 100,0

62 Hanya satu orang (16,7%) dari pasien yang mendapatkan energi dari RS dikategorikan normal, selebihnya (83,3%) dikategorikan berlebih. Ketersediaan Protein Rata-rata ketersediaan protein dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 78,2 ± 12,4 g atau 2,3 g/kg berat badan (BB). Nilai minimum dan maksimum ketersediaan protein adalah 60,5 g dan 92,6 g atau sekitar 1,3 2,1 g/kg rata-rata berat badan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian makanan olahan RS yang disertai formula komersial sebagai selingan menyediakan protein dengan kategori lebih (> 1,25 g/kg BB). Seluruh pasien (enam orang) mendapatkan protein dengan jumlah yang melebihi dari asupan protein yang disarankan bagi lansia. Ketersediaan Karbohidrat Rata-rata ketersediaan karbohidrat perhari dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 241,8 ± 50,8 g atau 66,6% dari total kebutuhan energi sehingga dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum sebesar 170,3 g dan 225,3 g, sehingga makanan olahan RS dan formula komersial dapat menyumbangkan sebanyak 50,0 66,2% total kebutuhan energi perhari dari karbohidrat. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dan formula komersial dapat memberikan karbohidrat kepada pasien dalam jumlah yang normal hingga berlebih. Hanya 16,7% (satu orang) pasien yang mendapatkan karbohidrat dari makanan olahan RS dan formula komersial dalam jumlah yang sesuai dengan asupan yang disarankan bagi lansia sedangkan sebagian besar pasien (lima orang) mendapatkan karbohidrat yang dikategorikan berlebih. Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan ditampilkan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS dan formula komersial Ketersediaan Lemak Ketersediaan karbohidrat n % < 45% keb. E 0 0, % keb. E 1 16,7 > 65% keb. E 5 83,3 Total 6 100,0 Rata-rata ketersediaan lemak dalam sehari dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 55,0 ± 13,9 g atau 40,1% dari total kebutuhan energi. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan lemak makanan olahan RS dan

63 formula komersial adalah sebesar 35,4 g dan 78,3 g, sehingga kombinasi antara makanan olahan RS dan formula komersial dapat menyumbangkan lemak sebanyak 23,4 51,7% dari rata-rata kebutuhan energi pasien sehari. Sebagian besar pasien (66,7%) mendapatkan lemak dari makanan olahan RS dan formula komersial dengan jumlah yang lebih banyak dari 35% total kebutuhan energi. Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak dari makanan olahan RS dan formula komersial. Tabel 24 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS dan formula komersial Ketersediaan lemak n % < 25% keb. E 1 16, % keb. E 1 16,7 > 35% keb. E 4 66,6 Total 6 100,0 Ketersediaan Vitamin dan Mineral Jika pasien mengkonsumsi makanan olahan RS dan formula komersial dengan baik maka kecukupan vitamin A, vitamin B1, B6, B12, C, kalsium, besi, dan seng akan terpenuhi. Berbeda dengan kecukupan vitamin E dan asam folat yang tidak akan terpenuhi walaupun sudah mengkonsumsi makanan RS dengan baik, karena ketersediaan vitamin E dan asam folat yang masih kurang dari 77% rata-rata AKG. Rata-rata ketersediaan natrium dan kalium dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 979 ± 335 mg dan ± 338 mg sehingga kandungan natrium masih lebih rendah dari batas maksimal dan kandungan kalium lebih rendah daripada yang dianjurkan. Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan RS dan formula komersial terhadap AKG diperlihatkan pada Tabel 25. Tabel 25 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap AKG Vitamin dan mineral Makanan RS Rata-rata % terhadap AKG Vitamin A (RE) ± ,3 Vitamin E (mg) 8 ± 4 55,6 Vitamin B1 2,0 ± 1,9 197,2 Asam folat 275 ± 68 68,8 Vitamin B6 2,3 ± 0,4 146,0 Vitamin B12 (mcg) 3,6 ± 0,7 151,6 Vitamin C (mg) 125 ± ,6 Kalsium (mg) 900 ± ,4 Besi (mg) 18 ± 3 139,3 Seng (mg) 15,6 ± 2,7 136,8 Natrium (mg) 979 ± Kalium (mg) ± 338 -

64 Konsumsi Makanan RS Makanan RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial. Selanjutnya akan dibahas mengenai konsumsi makanan olahan dan formula komersial untuk melihat preferensi pasien terhadap setiap jenis makanan RS. Batasan konsumsi minimal merupakan konsumsi minimal terhadap makanan RS yang harus dicapai oleh pasien agar kebutuhan gizi dapat tercukupi dari kandungan energi dan zat gizi yang tersedia di dalam makanan RS. Konsumsi Makanan Pokok Makanan pokok merupakan sumber utama energi dan karbohidrat bagi pasien yang memperoleh makanan olahan RS. Makanan pokok yang diberikan oleh RS kepada pasien lansia di Ruang Gayatri meliputi nasi, nasi tim, dan bubur. Berdasarkan rata-rata ketersediaan energi yang terkandung di dalam makanan olahan RS maka pasien perlu mengkonsumsi minimal 75% dari makanan pokok agar kebutuhan energi dapat terpenuhi (Lampiran 8). Jika diamati dari setiap pemberian makanan olahan RS maka semua makanan pokok cenderung dikonsumsi kurang dari 75%. Tabel 26 menampilkan konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan. Tabel 26 Konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan Konsumsi dari ketersediaan Total Bahan makanan < 75% 75% n n % n % Nasi ,8 5 15,2 Nasi tim ,0 0 0,0 Bubur , ,2 Konsumsi Lauk Hewani dan Nabati Lauk hewani dan nabati merupakan sumber utama protein bagi pasien yang mendapatkan makanan olahan RS. Berdasarkan rata-rata ketersediaan protein dari makanan olahan RS maka pasien perlu mengkonsumsi minimal 50% dari setiap porsi lauk hewani dan nabati yang disediakan agar kebutuhan protein dapat terpenuhi (Lampiran 8). Lauk hewani dari makanan RS meliputi daging ayam, daging sapi, ikan kakap, telur puyuh, telur ayam, dan ikan gurame. Lauk yang berasal dari ikan kakap dan telur ayam pasien cenderung dikonsumsi di bawah 50%. Lauk yang berasal dari ikan gurame tidak memiliki kecenderungan untuk dikonsumsi kurang dari 50% atau lebih dari sama dengan 50%. Lauk yang berasal dari daging ayam, daging ayam suwir, daging sapi, daging sapi cincang, dan telur puyuh cenderung dikonsumsi lebih dari 50%. Jika diamati dari besar persentase maka

65 daging ayam suwir lebih cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50% dibandingkan daging ayam, sedangkan daging sapi cincang lebih cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50% dibandingkan daging sapi. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsistensi makanan mempengaruhi konsumsi pasien. Tabel 27 menunjukkan konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan. Tabel 27 Konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan Konsumsi dari ketersediaan Total Bahan makanan < 50% 50% n n % n % Daging ayam , ,7 Daging ayam suwir , ,7 Daging sapi , ,5 Daging sapi cincang , ,0 Ikan kakap ,9 8 47,1 Ikan gurame ,0 8 50,0 Telur puyuh , ,0 Telur ayam ,6 4 36,4 Lauk nabati yang disediakan oleh instalasi gizi RS meliputi tahu, tempe, makaroni, dan olahan kentang. Tabel 28 menampilkan konsumsi setiap lauk nabati terhadap ketersediaan. Tabel 28 Konsumsi setiap lauk nabati terhadap ketersediaan Konsumsi dari ketersediaan Total Bahan makanan < 50% 50% n n % n % Tahu , ,2 Tempe , ,4 Olahan kentang 9 0 0, ,0 Olahan makaroni ,0 1 50,0 Berdasarkan Tabel 28 terlihat bahwa lauk nabati yang berasal dari tahu dan olahan kentang cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50%, sedangkan tempe cenderung dikonsumsi kurang dari 50%. Lauk olahan makaroni tidak memiliki kecenderungan dikonsumsi kurang atau lebih dari sama dengan 50%. Data-data yang diperoleh tentang konsumsi lauk hewani dan nabati tersebut menunjukkan bahwa aspek konsistensi makanan adalah hal yang perlu diperhatikan. Selain itu, diperlukan dukungan mental melalui konsultasi tentang pangan dan gizi agar konsumsi lauk hewani dan nabati dari RS dapat dikonsumsi secara optimal. Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama vitamin dan mineral bagi pasien yang mendapatkan makanan olahan RS. Berdasarkan rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS maka pasien perlu

66 mengkonsumsi minimal 75% dari sayuran dan buah-buahan yang disediakan agar kebutuhan vitamin dan mineral dapat terpenuhi (Lampiran 8). Tabel 29 menunjukkan bahwa konsumsi seluruh sayuran cenderung kurang dari 75% ketersediaan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan konsumsi sayuran dari makanan RS yang seperti itu maka pasien belum bisa memenuhi kebutuhan vitamin dan mineralnya. Tabel 29 Konsumsi sayuran terhadap ketersediaan Konsumsi dari ketersediaan Total Bahan makanan < 75% 75% n n % n % Wortel , ,6 Kapri , ,2 Buncis , ,0 Kembang kol , ,0 Terung panjang ,6 3 21,4 Bayam ,3 5 22,7 Oyong ,0 1 20,0 Sawi hijau ,7 9 17,3 Kentang ,4 3 17,6 Labu siam , ,0 Jagung manis , ,7 Jamur kuping ,9 9 39,1 Jamur supa ,4 4 28,6 Kacang panjang ,0 1 25,0 Jagung kecil ,0 2 25,0 Tauge ,5 3 37,5 Brokoli ,0 1 25,0 Jamur merang ,0 1 25,0 Berdasarkan pengamatan, buah-buahan yang disediakan oleh Instalasi Gizi RS dalam penyelenggaraan makanan meliputi pepaya, melon, semangka, jeruk, apel, anggur, pisang ambon, dan pisang raja sereh. Tabel berikut menunjukkan sebaran konsumsi pada setiap jenis buah-buahan yang diberikan RS. Tabel 30 Konsumsi buah-buahan terhadap ketersediaan Konsumsi terhadap ketersediaan Total Bahan makanan < 75% 75% n n % n % Pepaya , ,5 Melon , ,6 Semangka , ,0 Jeruk , ,7 Apel ,0 0 0,0 Anggur ,7 1 14,3 Pisang ambon ,7 3 33,3 Pisang raja sereh , ,1 Jus buah ,0 9 60,0

67 Berdasarkan Tabel 30 konsumsi buah-buahan seperti jeruk, apel, anggur, pisang ambon, dan pisang raja sereh masih kurang dari 75%. Konsumsi buah seperti pepaya, melon, semangka, dan jus buah sudah lebih dari sama dengan 75%. Hal ini dikarenakan buah pepaya, melon, semangka, dan buah-buahan yang disajikan dalam bentuk jus memiliki tekstur yang mudah dikonsumsi oleh pasien dari pada buah-buahan yang lain. Konsumsi Makanan Selingan dan Formula Komersial Makanan selingan yang diberikan oleh Instalasi Gizi RS dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu bubur kacang hijau, bubur sumsum, puding atau agar-agar, kue, minuman, buah, biskuit dan krakers, serta formula komersial. Secara umum terdapat kecenderungan pasien untuk menghabiskan (konsumsi 100%) setiap makanan selingan yang diberikan, kecuali biskuit dan krakers yang cenderung tidak dikonsumsi sama sekali (konsumsi 0%). Hal ini terjadi diduga karena kurangnya motivasi contoh untuk mengkonsumsi biskuit dan krakers tersebut. Biskuit dan krakers diberikan dalam bentuk biasanya tanpa meningkatkan penampilan atau bentuk yang menarik. Formula khusus komersial merupakan jenis selingan yang memiliki kecenderungan dihabiskan paling besar terlihat dengan persentase yang tertinggi. Hal ini terjadi diduga karena konsistensinya yang cair lebih memudahkan pasien untuk mengkonsumsinya, namun biaya untuk pemberian formula komersial ini tergolong mahal. Berdasarkan pemberian setiap selingan kepada seluruh pasien yang diamati selama tiga hari, konsumsi makanan selingan ditunjukkan pada Tabel 31. Tabel 31 Konsumsi makanan selingan dan formula komersial terhadap ketersediaan Konsumsi terhadap ketersediaan Total Jenis selingan 100% 75% 50% 25% 0% n n % n % n % n % n % Bubur kc.hijau ,3 2 13,3 2 13,3 4 26,7 2 13,3 Bubur sumsum ,3 1 9,1 1 9,1 1 9,1 1 9,1 Puding ,7 0 0,0 9 26,5 1 2,9 2 5,9 Kue ,4 4 8,3 5 10,4 0 0, ,8 Biskuit dan krakers ,0 0 0,0 2 25,0 0 0,0 4 50,0 Buah ,7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 33,3 Minuman ,4 0 0,0 5 22,7 3 0,0 6 7,1 Formula komersial ,1 2 7,1 1 3,6 0 0,0 2 7,1 Astawan dan Wahyuni (1988) menjelaskan, pada lansia yang mengalami kesulitan mengunyah maka makanan-makanan keras yang sulit dikunyah harus dihindari. Berdasarkan pengamatan, pada pasien dengan resep diet lunak

68 terkadang mendapatkan lauk, sayur, dan buah-buahan dengan konsistensi yang sama seperti pada pasien yang mendapatkan diet biasa (nasi biasa). Selain itu, rasa masakan dan cara pramusaji memberikan pelayanan makanan kepada pasien diduga juga mempengaruhi konsumsi pasien terhadap makanan RS. Harris (2004) menyatakan bahwa pelayanan yang menyenangkan dan rasa makanan yang enak pada suatu kondisi lansia yang mampu makan secara mandiri ataupun membutuhkan bantuan, dapat membantu memperbaiki keadaan gizi lansia. Terapi diet ketat yang seringkali memiliki rasa tidak enak tidak menjamin tercapainya tujuan-tujuan kesehatan pada lansia bahkan memberikan dampak negatif pada kualitas hidup lansia. Beberapa pasien tidak hanya mendapatkan asupan energi dan zat gizi dari makanan RS tetapi juga diberikan formula komersial, cairan infus, suplemen, dan bahkan beberapa pasien mendapatkan makanan dari luar RS yang dibawakan oleh keluarga. Konsumsi Energi dan Zat Gizi dari Sumber Pangan Selama dirawat di Ruang Gayatri, sumber energi dan zat gizi yang diperoleh pasien terdiri dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial), cairan infus (gizi parenteral), suplemen, dan makanan luar RS. Sumber yang tersedia dalam bentuk pangan hanyalah makanan RS dan makanan luar RS saja. Terdapat 27 orang (90%) pasien yang mendapatkan makanan dari luar RS. Konsumsi energi dan zat gizi total yang selanjutnya akan dibahas adalah konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS. Konsumsi Energi Rata-rata konsumsi energi pasien dari makanan RS adalah 824 ± 328 kkal. Rata-rata konsumsi energi pasien dari makanan luar RS adalah 115 ± 103 kkal. Rata-rata konsumsi energi total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah 939 ± 345 kkal. Tingkat Konsumsi Energi terhadap Kebutuhan Rata-rata tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan yang diperoleh pasien dari makanan RS adalah 63,3% sedangkan makanan luar RS adalah 8,4%. Berdasarkan konsumsi pasien terhadap makanan RS tersebut menunjukkan bahwa pasien masih mengalami defisiensi energi tingkat berat. Rata-rata tingkat konsumsi energi total terhadap kebutuhan adalah 71,6% sehingga dikategorikan defisiensi energi tingkat sedang. Makanan luar RS memberikan kontribusi energi terhadap kebutuhan yang rendah tetapi memiliki

69 potensi untuk mengoptimalkan konsumsi energi pasien. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan dari ketegori defisiensi tingkat berat menjadi defisiensi tingkat sedang setelah dibantu oleh makanan luar RS. Selain itu, sebaran pasien berdasarkan konsumsi energi dari makanan RS menunjukkan terdapat 86,7% pasien yang mengalami defisiensi energi (tingkat berat, sedang, dan normal), 6,7% pasien dikategorikan normal, dan 6,7% dikategorikan lebih. Terlihat perbaikan konsumsi energi pada pasien yang mendapatkan makanan dari luar RS dibandingkan konsumsi energi dari makanan RS saja. Sebanyak 81,5% pasien mengalami defisiensi energi (tingkat berat, sedang, dan ringan), 11,1% pasien dikategorikan normal, dan 7,4% pasien dikategorikan lebih. Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan ditunjukkan pada Tabel 32. Tabel 32 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan Kategori Makanan RS Makanan RS dan Makanan luar RS* n % n % Defisiensi tingkat berat 18 60, ,1 Defisiensi tingkat sedang 5 16,7 4 18,5 Defisiensi tingkat ringan 3 10,0 5 14,8 Normal 2 6,7 3 11,1 Lebih 2 6,7 3 7,4 Total , ,0 Kontribusi Energi dari Makanan RS dan Makanan Luar RS Rata-rata kontribusi energi dari makanan luar RS adalah 12,2% dari total konsumsi energi sedangkan rata-rata kontribusi energi dari makanan RS adalah 87,8% dari total konsumsi energi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumsi energi pasien masih berasal dari makanan RS. Kisaran kontribusi makanan RS terhadap total konsumsi energi pasien adalah 41,8 100% dan kisaran kontribusi makanan luar RS terhadap total konsumsi energi pasien adalah 0 58,2%. Hanya satu orang (3,3%) pasien yang mengkonsumsi energi terbesar dari makanan luar RS, sedangkan sisanya (96,7%) mengkonsumsi energi terbesar dari makanan RS. Konsumsi Protein Rata-rata konsumsi protein pasien dari makanan RS adalah 37,2 ± 18,6 g. Rata-rata konsumsi protein pasien dari makanan luar RS adalah 2,6 ± 2,5 g. Rata-rata konsumsi protein total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah 39,8 ± 18,7 g. Makanan luar RS menyumbangkan 6,6% protein dari total

70 konsumsi protein sedangkan makanan RS menyumbangkan sebagian besar konsumsi protein yaitu 93,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumsi protein pasien masih berasal dari makanan RS. Konsumsi Protein terhadap Kebutuhan Harris (2004) menyatakan bahwa asupan protein yang dianjurkan bagi lansia secara umum adalah 1 1,25 g/kg BB. Secara berturut-turut, rata-rata konsumsi protein dari makanan RS dan makanan luar RS adalah 0,9 g/kg BB dan 0,1 g/kg BB pasien sehingga masih kurang daripada yang disarankan bagi lansia. Rata-rata konsumsi protein total adalah 1 g/kg BB sehingga dikategorikan cukup. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun makanan luar RS memberikan kontribusi protein yang rendah namun mampu memperbaiki rata-rata konsumsi protein pasien. Perbaikan rata-rata konsumsi protein pasien tidak disertai dengan meningkatnya persentase pasien yang mendapatkan asupan protein 1 1,25 g/kg BB setelah diberikan makanan luar RS. Hal ini mengindikasikan bahwa makanan luar RS yang diberikan kepada pasien sebagian besar tidak mengandung protein dalam jumlah yang sesuai. Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein terhadap kebutuhan ditunjukkan pada Tabel 33. Tabel 33 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein total Kategori Makanan RS Makanan RS dan Makanan luar RS n % n % < 1,0 g/kg BB 18 60, ,0 1,0 1,25 g/kg BB 7 23,3 4 14,8 1,25 g/kg BB 5 16,7 6 22,0 Total , ,0 Konsumsi Karbohidrat dan Lemak Konsumsi Karbohidrat Rata-rata konsumsi karbohidrat total adalah 144,6 ± 70,9 g atau 44,0% dari total kebutuhan energi. Harris (2004) menuturkan bahwa asupan karbohidrat yang disarankan bagi lansia secara umum adalah 45 65% dari total kebutuhan energi. Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa rata-rata konsumsi karbohidrat pasien masih dikategorikan kurang. Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat terhadap kebutuhan ditampilkan pada tabel berikut ini. Tabel 34 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat total Konsumsi lemak n % < 45% kebutuhan energi 17 56, % kebutuhan energi 10 33,3 > 65% kebutuhan energi 3 10,0 Total ,0

71 Lebih dari setengah pasien masih mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah kurang. Rendahnya konsumsi karbohidrat tersebut mempengaruhi konsumsi energi pasien sehingga masih banyak pasien yang mengalami defisiensi energi. Hartono (2006) mengatakan bahwa karbohidrat merupakan unsur gizi yang diperlukan dalam jumlah besar untuk menghasilkan energi. Kebutuhan karbohidrat yang besar terjadi karena zat gizi ini terpakai habis dan tidak didaur ulang. Tanpa asupan karbohidrat dari makanan, tubuh dapat mengalami ketoasidosis sebagai akibat dari oksidasi lemak yang merupakan sumber energi alternative dalam keadaan kekurangan karbohidrat. Selain itu, karbohidrat juga berfungsi menjaga agar protein tidak dijadikan sumber energi. Konsumsi Lemak Rata-rata konsumsi lemak total adalah 28,7 ± 12,2 g atau 19,9% dari total kebutuhan energi. Sebagian besar pasien masih mengkonsumsi lemak dalam jumlah kurang dari 25% total kebutuhan energi. Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak terhadap kebutuhan ditampilkan pada Tabel 35. Tabel 35 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak total Konsumsi lemak n % < 25% kebutuhan energi 24 80, % kebutuhan energi 4 13,3 > 35% kebutuhan energi 2 6,7 Total ,0 Hartono (2006) menjelaskan bahwa lemak dan minyak merupakan zat gizi makro penting yang menempati urutan kedua sesudah karbohidrat sebagai bahan bakar untuk memberikan energi kepada sel-sel tubuh. Lemak juga mempunyai fungsi lain yang tidak dimiliki karbohidrat seperti pembentukan komponen membran sel, hormon, dan vitamin larut lemak. Konsumsi Vitamin dan Mineral Rata-rata tingkat konsumsi vitamin A dari makanan RS terhadap AKG dikategorikan cukup ( 77% AKG), namun konsumsi vitamin dan mineral yang lainnya belum dapat memenuhi AKG pasien perhari (< 77% AKG). Rata-rata tingkat konsumsi vitamin dan mineral dari makanan RS ditampilkan pada Tabel 36.

72 Tabel 36 Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral total terhadap AKG Vitamin dan mineral Rata-rata konsumsi Tk. konsumsi thd AKG Vit.A (RE) 1074 ± ,5 Vit. E (mg) 3 ± 3 21,1 Vit. B1 (mg) 0,6 ± 0,3 58,5 Asam folat (mcg) 122 ± 60 30,4 Vit. B6 (mg) 1,1 ± 0,5 70,3 Vit. B12 (mcg) 1,8 ± 0,8 74,4 Vit. C (mg) 58 ± 32 73,1 Kalsium (mg) 426 ± ,3 Besi (mg) 9 ± 4 71,7 Seng (mg) 6,3 ± 3,2 57,9 AKG asam folat dari seluruh pasien tidak terpenuhi oleh asupan dari makanan RS. AKG vitamin A sebagian besar pasien sudah terpenuhi dari asupan makanan RS. AKG vitamin E, B1, B6, B12, C, mineral kalsium, besi, dan seng pada sebagian besar pasien tidak terpenuhi dari asupan makanan RS. Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi vitamin dan mineral dari makanan RS terhadap AKG disajikan pada Gambar 3. Cukup Kurang (%) Zn Fe Ca Vit.C Vit.B12 Vit.B6 Asam Folat Vit.B1 Vit.E Vit.A Gambar 3 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi mikro terhadap AKG Vitamin A, C, dan E juga sebagai antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat radikal bebas (Wirakusumah 2001). Kebanyakan kasus anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam folat (Stopler 2004). Beberapa pasien yang menderita asites atau edema akibat retensi cairan mendapatkan obat Furosemide yang bersifat diuretik. Defisiensi tiamin (B1) karena pemberian obat furosemid pertama kali terjadi pada tikus percobaan. Defisiensi sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit serta pada pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark 2004). Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause,

73 dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003). Defisiensi seng berhubungan dengan gangguan fungsi imun, anoreksia, dysgeusia (kehilangan nafsu makan), dan lamanya proses penyembuhan (Harris 2004). Rendahnya tingkat kecukupan vitamin dan mineral terhadap ketersediaan dari makanan RS menunjukkan masih rendahnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang merupakan sumber utama dari vitamin dan mineral. Hubungan antar Variabel Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia dan Status Pernikahan Berdasarkan Susenas 2004, angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Angka harapan hidup perempuan di Provinsi Jawa Barat adalah 68 tahun, sedangkan angka harapan hidup laki-laki adalah 63,8 tahun (BPS 2004). Hal tersebut juga ditunjukkan pada Tabel 37 bahwa persentase pasien pria yang berusia lanjut adalah lebih banyak daripada wanita, sedangkan persentase pasien wanita yang berusia lanjut tua dan lanjut sangat tua adalah lebih banyak daripada pria. Tabel 37 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia Usia Wanita Pria n % n % Usia Usia lanjut 11 57,9 7 63,6 Usia lanjut tua 7 36,8 4 36,4 Usia lanjut sangat tua 1 5,3 0 0,0 Total , ,0 Persentase pada pasien pria yang masih memiliki pasangan adalah lebih banyak dari pada wanita, dan persentase janda lebih banyak daripada duda. Terjadinya hal ini diduga akibat perceraian karena kematian suami. Komnas Lansia (2008) mengatakan bahwa kematian pasangan hidup merupakan suatu hal yang dapat menjadi stressor psikososial yang paling berat. Hal tersebut juga ditunjukkan pada Tabel 38. Tabel 38 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan Status perkawinan Wanita Pria n % n % Status perkawinan Menikah (masih ada pasangan) 2 10,5 9 81,8 Duda atau janda 17 89,5 2 18,2 Total , ,0

74 Hubungan Usia dengan Indeks Massa Tubuh Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis (Harris 2004). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) (p>0,05) (r = -0,117; p = 0,537). Hal ini terjadi diduga karena adanya faktor lain yang turut pula mempengaruhi status gizi pasien. Lansia yang mengalami masalah gizi disebabkan oleh sejumlah faktor seperti fisik, patologis, dan psikososial (Watson 2003). Hubungan Status Gizi dengan Jumlah Penyakit Kekurangan energi dan protein adalah penurunan jaringan tidak berlemak dari tubuh secara patologis yang disebabkan karena kelaparan (starvation) atau kombinasi kelaparan dengan stres katabolik. Adanya kondisi kekurangan energi dan protein sedang dan berat dapat diketahui pada usia lanjut berdasarkan komposisi tubuh, penurunan berat badan, hasil laboratorium, dan pengukuran antropometri. Kekurangan energi dan protein berkaitan dengan tingginya komplikasi penyakit (Setiati 2006). Berdasarkan hasil Uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah penyakit yang diderita dengan Indeks Massa Tubuh (p > 0,05) (r = -0,138; p = 0,466). Hal ini diduga karena status gizi pasien tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penyakit yang diderita, namun juga jenis dari penyakitnya. Hubungan Usia dengan Kebutuhan Energi Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Frary & Johnson 2004). Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan kebutuhan energi (p > 0,05) (r = -0,283; p = 0,129). Hal ini diduga karena kebutuhan energi pada lansia yang sakit juga dipengaruhi oleh adanya penyakit yang diderita. Lansia yang menderita penyakit maka energi yang mereka butuhkan akan meningkat, khususnya dalam kondisi infeksi dan setelah cedera (Watson 2003).

75 Hubungan Usia dengan Tingkat Konsumsi Energi Makanan Olahan RS terhadap Ketersediaan Beberapa perubahan fisiologis yang berpengaruh seperti perubahan sensorik yang menyebabkan pengurangan kemampuan untuk mencium dan merasakan makanan menyebabkan nafsu makan berkurang. Ketika sakit maka nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan keadaan salah gizi (Watson 2003). Hasil Uji Pearson menunjukkan tidak ada hubungan nyata antara variabel usia dengan tingkat konsumsi energi terhadap ketersediaan dari makanan olahan RS (p > 0,05) (r = 0,111; p = 0,574). Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia bukanlah satu-satunya hal yang mempengaruhi pasien dalam mengkonsumsi makanan RS. Selain itu, hal-hal lain seperti keadaan penyakit, psikologis, dan motivasi untuk cepat sembuh juga mempengaruhi pasien untuk mengkonsumsi makanan RS secara optimal. Watson (2003) menerangkan, ketika sakit maka nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan keadaan salah gizi. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (1986) dalam Subandriyo dan Santoso (1995) menjelaskan, bagi pasien rawat inap yang memerlukan terapi diet maka terhadap pasien tersebut akan dilakukan perencanaan, pengolahan, hingga penyajian makanan khusus atau diet. Selain itu diberikan pula penyuluhan atau konsultasi gizi dan evaluasi kemajuan penyakitnya. Pasien yang tidak memerlukan terapi diet maka pasien tersebut akan mendapat makanan biasa dan apabila berminat maka pasien tersebut bisa mendapatkan penyuluhan gizi. Konsultasi mengenai gizi dan pangan kepada pasien dan keluarga dirasa amat perlu untuk meningkatkan motivasi pasien untuk sembuh, salah satu cara yaitu dengan mengoptimalkan konsumsi makanan RS. Berdasarkan Komnas Lansia (2008), penyakit pada lansia sering merupakan gangguan fisik dan psikis (jiwa) secara bersamaan, khususnya pada mereka yang telah lama menderita sakit sering mengalami tekanan jiwa (depresi). Pengobatan sebaiknya dilakukan tidak hanya terhadap gangguan fisik saja, tetapi juga gangguan jiwanya.

76 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Contoh pada penelitian ini memiliki karakteristik seperti mayoritas berjenis kelamin wanita (63,3%), berusia lanjut (elderly) (60 74 tahun) (60%), berstatus duda atau janda (63,3%), tinggal serumah bersama keluarga sebelum contoh dirawat di RS (93,3%), dan biaya perawatan diperoleh dari keluarga (60%). Paling banyak contoh (43,3%) dirawat selama 3 6 hari. Setiap pasien yang dirawat di Ruang Gayatri didagnosa memiliki minimal 3 jenis penyakit. Penyakit yang paling banyak diderita oleh pasien adalah gangguan kardiovaskuler dan yang paling sedikit adalah sindrom Steven Johnson. Sebanyak 50% contoh berstatus gizi normal sedangkan sisanya mengalami keadaan salah gizi, baik gizi kurang maupun gizi lebih. Mengingat porsi makanan yang diberikan kepada pasien lansia sama dengan porsi yang diberikan kepada pasien umum lainnya maka makanan olahan RS sudah memberikan ketersediaan energi dan zat gizi (kecuali vitamin E dan asam folat) yang dapat mencukupi kebutuhan gizi pasien lansia di Ruang Gayatri. Tidak hanya porsi saja, namun pada umumnya penyelenggaraan makanan bagi pasien lansia di Ruang Gayatri disamakan seperti pasien umum. Pemberian formula komersial saja dalam sehari ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pasien. Kombinasi pemberian antara makanan RS dan formula komersial dapat menyediakan energi dan zat gizi (kecuali vitamin E dan asam folat) dalam jumlah yang cukup hingga berlebih. Makanan pokok dan sayuran cenderung dikonsumsi kurang dari jumlah minimal yang disarankan dari ketersediaan. Secara umum makanan lauk nabati dan hewani cenderung dikonsumsi sesuai jumlah yang disarankan dari ketersediaan. Namun, pada beberapa jenis lauk yang memiliki konsistensi lebih lembut ternyata lebih cenderung dikonsumsi dengan baik daripada lauk dengan konsistensi yang lebih keras. Buah-buahan yang memiliki konsistensi lembut seperti pepaya, melon, semangka, dan jus cenderung dikonsumsi sesuai jumlah yang disarankan. Secara umum terdapat kecenderungan pasien untuk menghabiskan setiap makanan selingan yang diberikan, kecuali biskuit dan krakers yang cenderung tidak dikonsumsi sama sekali. Formula komersial merupakan jenis makanan selingan yang paling cenderung dihabiskan oleh pasien.

77 Sebagian besar pasien masih mengkonsumsi energi dan zat gizi (kecuali vitamin A) dalam jumlah yang rendah sehingga banyak pasien yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya. Selain formula komersial dan makanan luar RS, energi dan zat gizi juga diperoleh pasien melalui sumber non pangan yaitu suplemen dan cairan infus. Berdasarkan Uji Korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel usia dengan status gizi (p = 0,537; r = -0,117), usia dengan kebutuhan energi (p = 0,129; r = -0,283), serta usia dengan tingkat konsumsi energi makanan RS terhadap ketersediaan (p = 0,574; r = 0,111). Berdasarkan Uji Korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang nyata antara variabel jumlah penyakit dengan status gizi (p = 0,466; r = -0,138). Masih rendahnya konsumsi pasien terhadap makanan RS dapat disebabkan oleh faktor dari dalam diri pasien maupun faktor dari luar. Faktor dari dalam diri pasien meliputi adanya penurunan kondisi fisik karena faktor usia dan penyakit, serta kondisi psikososial yang mempengaruhi nafsu dan kemampuan makan pasien. Faktor dari luar diri pasien dapat meliputi konsistensi makanan yang tidak sesuai dengan kemampuan makan pasien, rasa makanan, serta kegiatan konsultasi gizi yang belum merata ke seluruh pasien lansia di Ruang Gayatri. Saran Berdasarkan rendahnya konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS maka disarankan kepada pihak RS untuk meningkatkan pelayanan makanan sehingga pasien dapat mengkonsumsi makanan RS dengan baik. Standar porsi makanan bagi pasien lansia di Ruang Gayatri sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan agar secara ekonomi lebih efisien serta menghindari konsumsi energi dan zat gizi yang berlebihan. Tekstur makanan sebaiknya lebih disesuaikan dengan kemampuan mengunyah dan menelan pasien. Pemberian makanan sebaiknya dilakukan dalam porsi kecil namun frekuensi yang sering. Penelitian mengenai daya terima dan persepsi pasien terhadap makanan RS disarankan untuk dilakukan sehingga dapat memberikan masukan bagi penyelenggaraan makanan untuk pasien Ruang Gayatri selanjutnya. Selain itu, pelayanan konsultasi gizi dengan dokter atau ahli gizi supaya lebih ditingkatkan agar pasien dan keluarga dapat lebih memahami makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh diberikan serta meningkatkan motivasi pasien dalam mengkonsumsi makanan RS secara optimal.

78 DAFTAR PUSTAKA Almatsier S Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia. Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. [Anonim]. 2008a. Vertigo. [30 Maret 2011] b. Kanker hati. [30 Maret 2011] c. Infeksi saluran kencing orang dewasa. [30 Maret 2011] a. Peningkatan tekanan intrakranial. [30 Maret 2011] b. Asuhan keperawatan bronkopneumonia. [30 Maret 2011] Efusi pleura. [30 Maret 2011]. Arisman Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Astawan M, Wahyuni M Gizi dan Kesehatan Manula. Bogor: Medyatama Sarana Perkasa. Baliwati YF, Retnaningsih Kebutuhan gizi. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm [BPS] Badan Pusat Statistik Angka Harapan Hidup. [20 Desember 2010] Statistik Penduduk Lanjut Usia Jakarta: BPS. Daldiyono, Syam AF Peran Nutrisi dalam Proses Penyembuhan Pasien Rawat Inap. Di dalam: Idrus Alwi, editor. Naskah Lengkap Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Pr. hlm Darmojo RB, Martono H Buku Ajar Geriatri. Edisi ke-3. Jakarta: UI-Press [Depkominfo] Departemen Komunikasi dan Informasi Jumlah lansia di Indonesia 16,5 juta orang. [25 Mei 2010]. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI. Dorfman L Medical nutrition therapy for rheumatic disorders. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food,

79 Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Ettinger S Macronutrients: Carbohydrates, Proteins, and Lipids. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Frary CD, Johnson RK Energy. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Garrow et al Human Nutrition and Dietetics. Edisi ke-10. London: Harcourt. Gregoire MB, Spears MC Foodservice Organization, a Managerial and Systems Approach. Ed ke-6. New Jersey: Prentice Hall. Gibson RS Principles of Nutritional Assessment. New york: Oxford University Press. Hammond KA. Dietary and Clinical Assessment. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Harris NG Nutrition in aging. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Harsono A Naskah lengkap Continuing Education, Sindroma Steven Johnson: Diagnosis dan Penatalaksanaan. Surabaya: FK-Unair. Hartono A Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC. Hasse JM, Matarese LE Medical nutrition therapy for liver, biliary system, and, exocrine, pancreas disorders. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Heimburger DC, Weinsler RL Handbook of Clinical Nutrition. Edisi ke-3. Missouri: Mosby. Mc Cance, Widdowsons The Composition of Foods. Ed ke-6. London: The Royal Society of Chemistry. [Komnas Lansia] Komisi Nasional Lanjut Usia Pedoman Rumah Pelayanan dan Kegiatan Lansia. Jakarta: Komisi Nasional Lanjut Usia. Krummel DA Medical nutrition therapy in cardiovascular disease. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm

80 [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. McWhirter JP, Pennington CR Incidence and recognition of malnutrition in hospital. British Medical Journal 308: Mueller DH Medical nutrition therapy for pulmonary disease. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm [NCEP] National Cholesterol Education Program Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Washington: National Institutes of Health. Payhe-Palacio J, Theis M Introduce to Foodservice. Ed ke-11. New Jersey: Prentice Hall. [PDGKI] Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia Pedoman Tata Laksana Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI. Rindengan B, Novarianto H Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Jakarta: Penebar Swadaya. Roedjito D Kajian Penelitian Gizi. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Sandjaja et al Kamus Gizi. Jakarta: Kompas. Setiati S Terapi Nutrisi Pasien Usia Lanjut yang Dirawat di Rumah Sakit. Di dalam: Harjodisastro D, Syam AF, Sukrisman L, editor. Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI Pr. hlm Soehardjo et al Survey Konsumsi Pangan. Bogor: Faperta-IPB. Stopler T Medical nutrition therapy for anemia. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Subandriyo VU, Santoso H Pengelolaan Makanan di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Supariasa IDN, Fajar I, Bakri B Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Syafiq A et al Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers. Watson K Keperawatan pada Lansia. Jakarta: EGC. Wilkens KG Medical nutrition therapy for renal disorders. Di dalam: L Kathleen Mahan dan Sylvia Escott-Stump, editor. Krause s Food,

81 Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders Pr. hlm Wirakusumah ES Menu Sehat untuk Lanjut Usia. Jakarta: Puspa Swara. Witte KA, Clark AL Nutrition and Heart Disease: Causation and Prevention. London: CRC Press.

82

83 Lampiran 1 Kuesioner penelitian Kuesioner Penelitian KONSUMSI ENERGI DAN ZAT GIZI, SERTA STATUS GIZI PASIEN LANSIA DI RUANG GAYATRI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Oleh: Arina Manasik DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 I. Biodata Pasien Nama : No. Rekam Medik : Pendamping Wawancara : Alamat Pasien : Nomor Telepon/ Handphone : Agama : Suku Bangsa : II. Karakteristik Individu Jenis Kelamin : 1. L 2. P Usia : tahun BB/ LLA (coret salah satu) : kg/..cm TB/ PB (coret salah satu) : cm/ cm Sumber biaya perawatan RS : 1. Penghasilan/ pensiunan 3. Askes 2. Keluarga 4. Lain-lain.. Status Pernikahan : 1. Belum Menikah 2. Menikah dan masih memiliki pasangan 3. Duda/ Janda Sebelum di RS dirawat oleh : 1. Tinggal sendiri 3. Panti Jompo 2. Keluarga 4. Lain-lain. III. Informasi Mengenai Perawatan dan Penyakit

84 Tanggal masuk : :..hari tanggal keluar : Lama dirawat Aktivitas fisik : Ambulatori/ Dapat duduk/ Tirah Baring (lingkarkan salah satu) Faktor stress : Penyakit yang diderita : Data laboratorium dan obat-obatan (isi di bawah ini) :

85 IV. Informasi Konsumsi Hari 1 (Hari/ Tanggal:.../..) a. Makanan RS Waktu Makan Jenis Diet : Konsistensi Makanan : Menu Bahan makanan Ukuran Σ yang dikonsumsi ( salah satu) gr yang standar porsi dikonsumsi URT gr 0 ¼ ½ ¾ 1 b. Gizi Parenteral : 1. Ya (Jenis: ) 2. Tidak c. Suplemen : 1. Ya (Jenis: ) 2. Tidak d. Makanan Luar RS Waktu Makan Menu Bahan makanan Ukuran URT gram

86 Hari 2 (Hari/ Tanggal:.../..) e. Makanan RS Waktu Makan Jenis Diet : Konsistensi Makanan : Menu Bahan makanan Ukuran Σ yang dikonsumsi ( salah satu) gr yang standar porsi dikonsumsi URT gr 0 ¼ ½ ¾ 1 f. Gizi Parenteral : 1. Ya (Jenis: ) 2. Tidak g. Suplemen : 1. Ya (Jenis: ) 2. Tidak h. Makanan Luar RS Waktu Makan Menu Bahan makanan Ukuran URT gram

87 Hari 3 (Hari/ Tanggal:.../..) i. Makanan RS Waktu Makan Jenis Diet : Konsistensi Makanan : Menu Bahan makanan Ukuran Σ yang dikonsumsi ( salah satu) gr yang standar porsi dikonsumsi URT gr 0 ¼ ½ ¾ 1 j. Gizi Parenteral : 1. Ya (Jenis: ) 2. Tidak k. Suplemen : 1. Ya (Jenis: ) 2. Tidak l. Makanan Luar RS Waktu Makan Menu Bahan makanan Ukuran URT gram

88 Lampiran 2 Struktur organisasi Ruang Gayatri Pelaksana (Pujiastuti) Penanggung Jawab R. Gayatri (dr. Eddy Supriadi, SpPD) Dokter Ruangan (dr. Iriawan) Kepala Tim I (Dedeh Sukarsih) Pelaksana (H. Aropah Maulana) Pelaksana (H. Andri Tiyono) Pelaksana (Eva S. Ramdhani) Kepala Ruangan (Ns. Aldi Andeksa, S.Kep) Pelaksana (Dwi Hartanto) Pelaksana (Semuel Sumoket) Administrasi (Ridwan Siban SAB) Cleaning Service (Wahyu B) Pelaksana (Ratna Susilowati) Kepala Tim II (Ilem Br. Ginting) Pelaksana (Anita Meidyastuti) Pelaksana (Fairus Ali Abdad) Pelaksana (Galih Pristianto)

89 Lampiran 3 Keadaan Ruang Gayatri RSMM Bagian depan Ruang Gayatri Bagian dalam Ruang Gayatri Bagian dalam Ruang Gayatri Kamar mandi Ruang Gayatri

90 Lampiran 4 Struktur organisasi Instalasi Gizi RSMM Kepala Instalasi Gizi (Hj. Hera Ganefi TD, DCN, MARS) Kepala Unit Perencanaan dan Perbekalan (Nunung Nurusalma, SKM) Kepala Unit Produksi (Novarina Madjid, SKM) Kepala Unit Asuhan Nutrisi, Litbang Gizi dan Mutu (Temu Salmawati, SP) Koordinasi Administrasi, Perencanaan (Suherman Munarto, AMG) Koordinasi Perbekalan, Monitoring, dan Evaluasi (Sri Hasanah, SP) Koordinasi Penyelenggaraan Makanan Umum (Mutmainah, SP) Koordinasi Penyelenggaraan Makanan Napza (Dwi Setyarini, SKM) Koordinasi Penyelenggaraan Makanan Psikiatri (Meidersayenti, S.Gz) Koordinator Konsultasi Gizi Pelayanan Gizi, dan Rawat Inap (Ernyati Pahpahan, AMG ) Koordinator Pelayanan Gizi Rawat Jalan, Litbang Gizi dan Mutu (Heni Rohaeni, AMG)

91 Lampiran 5 Siklus menu pasien Ruang Gayatri dan pasien kelas II Waktu I II III IV Pagi Nasi/ Tim/ Bubur Semur Ayam Suwir Sop Sayuran Nasi/Tim/Bubur Semur Daging+Kentang Cah Wortel, Labu Siam, Jagung Manis Nasi/Tim/Bubur Telur Puyuh BB Kecap Kacang Polong Sup Makaroni Nasi/Tim/Bubur Tm. Bola-bola Daging+Kacang Polong Tm Buncis, Wortel, Supa Snack Bubur Kacang Hijau Mini Cake Pandan Bolu Gulung Bubur Sumsum Siang Nasi/ Tim/ Bubur Daging BB Asam Manis+Brokoli Tm. Tahu Paprika Cah Sayuran Jeruk Nasi/Tim/Bubur Bola-bola Daging Tempe BB Kuning Kimlo Semangka Nasi/Tim/Bubur Bistik Daging Kacang Polong Schotel Kentang Capcay Melon Nasi/Tim/Bubur Ayam BB Kecap Bacem Tempe Sayur Lodeh Pepaya Snack Agar Pelangi Cocktail Buah Dadar isi Vla Pisang Penyet Sore Nasi/Tim/Bubur Pepes Ikan Kakap Oseng-oseng Tempe Sayur BB kuning Pisang Raja Sereh Nasi/Tim/Bubur Ayam Bakar BB Kecap Tahu Bacem Bening Bayam+Labu Siam Pepaya Nasi/Tim/Bubur Tm. Ayam Brokoli Sop Tahu Tm. Labu Siam,Wortel,Soun Pisang Raja Sereh Nasi/Tim/Bubur Semur Daging+Brokoli Tahu BB Saos Tomat Bening Bayam Labu Siam Anggur Waktu V VI VII VIII Pagi Nasi/Tim/Bubur Ayam Saos Tiram Paprika Sop Sayuran Nasi/Tim/Bubur Orak-arik Telur Sop Makaroni Nasi/Tim/Bubur Soto Daging Tm Labu Siam, Soun Nasi/Tim/Bubur Bistik Ayam Tm. Buncis,Wortel,Jamur Supa Snack Biskuit Regal Puding Hunkwe Bubur Kacang Hijau Roti Siang Nasi/Tim/Bubur Kakap Asam Manis Sop Tahu Cah Sayuran Pisang Ambon Nasi/Tim/Bubur Rolade Daging Saos Tomat Oseng Tahu+Paprika Kimlo Melon Nasi/Tim/Bubur Gurame Saos Tomat Oseng-oseng Tempe Paprika Cah Buncis Semi Wortel Jeruk Nasi/Tim/Bubur Daging Iris Saos Tomat+Paprika Schotel Kentang Capcay Papaya Snack Sop Buah Papais Brownies Kukus Puding Agar Sore Nasi/Tim/Bubur Semur Daging Tempe+Soun Tm. Sayuran (Wortel,Bakso, Nasi/Tim/Bubur Opor Ayam BB Perkedel Kentang Cah Kacang Panjang+Wortel Nasi/Tim/Bubur Empal Daging Tumis Oyong, Wortel,Soun Mi Schotel Nasi/Tim/Bubur Ayam Bakar Tahu BB Kuning Cah Sawi

92 Kb.Kol,Sawi Hijau) Semangka Semangka Anggur Hijau,Wortel,Bakso,Taoge Pisang Raja Sereh Lampiran 5 Siklus menu pasien Ruang Gayatri dan pasien kelas II (lanjutan) Waktu IX X XI Pagi Nasi/ Tim/ Bubur Telur puyuh BB Kuning Tm.Bayam+Wortel Nasi/Tim/Bubur Bistik Daging Tm Sawi Hijau,Tahu, Wortel Nasi/Tim/Bubur Ayam Suwir Cah Wortel,Brokoli,Kapri,Jaur Merang Snack Sus Isi Vla Mini Cake Cokelat Fooding Cokelat Saos Vla Siang Nasi/ Tim/ Bubur Empal Daging Bacem Tempe Sayur Asem Semangka Nasi/Tim/Bubur Ayam Ungkep Bakar Tempe Saos Tomat Sop Sayur Jeruk Manis Nasi/Tim/Bubur Bola-bola daging Makaroni Schotel Tumis Buncis, Wortel Semi Baso Semangka Snack Sarang Burung Pie Buah Bolu Gulung Sore Nasi/Tim/Bubur Ayam Ungkep Semur Tahu Kimlo Melon Nasi/Tim/Bubur Ikan Gurame Saos Tomat Tahu Bacem Sayur Lodeh Pepaya Nasi/Tim/Bubur Puyung Hai Saos Tomat Oseng Tempe Paprika Sup Kuning Segar Pepaya

93 Lampiran 6 Keadaan Instalasi Gizi dan Pantry Pengolahan makanan bagi pasien umum Pantry saat distribusi makanan Makanan untuk pasien Ruang Gayatri dan pasien umum kelas II

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia TINJAUAN PUSTAKA Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia Penuaan adalah proses normal yang dimulai sejak masa konsepsi sampai dengan akhirnya mati (Harris 2004). Lanjut usia sesuai dengan undangundang Nomor

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan cross sectional survey karena pengambilan data dilakukan pada satu waktu dan tidak berkelanjutan (Hidayat 2007). Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Keterangan: N = besar populasi n = besar subyek d 2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1) n = 1 + N (d 2 )

METODE PENELITIAN. Keterangan: N = besar populasi n = besar subyek d 2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1) n = 1 + N (d 2 ) METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu yang tidak berkelanjutan. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR.

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR. PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Temu Salmawati PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH

DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

Syarat makanan untuk bayi dan anak :

Syarat makanan untuk bayi dan anak : DIET ORANG SEHAT GOLONGAN ORANG SEHAT 1. BAYI DAN ANAK v masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat v ASI merupakan makanan ideal bagi bayi v Usia > 4 bulan perlu makanan tambahan v Perlu pengaturan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat dan Waktu Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE Desain, Tempat dan Waktu Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian mengenai konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan lansia menggunakan desain cross sectional. Desain ini merupakan pengamatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi energi pada kelompok umur 56 tahun ke atas yang. mengkonsumsinya di bawah kebutuhan minimal di provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi energi pada kelompok umur 56 tahun ke atas yang. mengkonsumsinya di bawah kebutuhan minimal di provinsi Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bedasarkan hasil data riskesdas tahun 2010, rata-rata kecukupan konsumsi energi pada kelompok umur 56 tahun ke atas yang mengkonsumsinya di bawah kebutuhan minimal di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah keseimbangan antara pemasukan zat gizi dari bahan makanan yang dimakan dengan bertambahnya pertumbuhan aktifitas dan metabolisme dalam tubuh. Status

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan

Lebih terperinci

Nutrition in Elderly

Nutrition in Elderly Nutrition in Elderly Hub gizi dg usia lanjut Berperan besar dalam longevity dan proses penuaan Percobaan pada tikus: restriksi diet memperpanjang usia hidup Menurunkan peny kronis Peningkatan konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta.

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diet Pasca-Bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier,

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berbagai macam jenis penyakit yang diderita oleh pasien yang dirawat di rumah sakit membutuhkan makanan dengan diet khusus. Diet khusus adalah pengaturan makanan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Menurut WHO (2011) secara global hampir mencapai satu milyar orang memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi) dan dua pertiga ada di negara berkembang. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih ditemukan berbagai masalah ganda di bidang kesehatan. Disatu sisi masih ditemukan penyakit akibat infeksi dan sisi yang lain banyak ditemukan masalah

Lebih terperinci

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif dr. Yulia Megawati Tenaga Kerja Adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (double burden). Disamping masalah penyakit menular dan kekurangan gizi terjadi pula peningkatan

Lebih terperinci

Mitos dan Fakta Kolesterol

Mitos dan Fakta Kolesterol Mitos dan Fakta Kolesterol Oleh admin Selasa, 01 Juli 2008 09:19:20 Apakah mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tidak baik bagi tubuh? Apakah kita tak boleh mengonsumsi makanan berkolesterol?

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n =

METODE PENELITIAN. n = 24 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study karena pengumpulan variabel independen dan dependen dilakukan pada satu waktu yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah lansia (Khomsan, 2013). Menurut Undang-Undang No.13/1998

BAB I PENDAHULUAN. jumlah lansia (Khomsan, 2013). Menurut Undang-Undang No.13/1998 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu dampak dari keberhasilan pembangunan nasional di bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial antara lain meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaan gizi normal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kemajuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini kemajuan teknologi berkembang dengan sangat pesat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kemajuan teknologi tersebut berpengaruh

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Makanan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Makanan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan yang berupaya mencapai pemulihan penderita. Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan kegiatan terpadu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

Pola Makan Sehat. Oleh: Rika Hardani, S.P.

Pola Makan Sehat. Oleh: Rika Hardani, S.P. Pola Makan Sehat Oleh: Rika Hardani, S.P. Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-2, Dengan Tema: ' Menjadi Ratu Dapur Profesional: Mengawal kesehatan keluarga melalui pemilihan dan pengolahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1 20 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional study dengan metode survey observational. Tempat penelitian dipilih dengan metode purposive yaitu di UPT

Lebih terperinci

A. Asuhan nutrisi pada pasien HIV Aids

A. Asuhan nutrisi pada pasien HIV Aids A. Asuhan nutrisi pada pasien HIV Aids Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV. Mereka akan mengalami penurunuan berat badan dan hal ini berkaitan erat dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan. kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 3% perdekade.

BAB I PENDAHULUAN. bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan. kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 3% perdekade. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh

Lebih terperinci

Fungsi Makanan Dalam Perawatan Orang Sakit

Fungsi Makanan Dalam Perawatan Orang Sakit P e n g e r t i a n D i e t DASAR DIETETIK M u s l i m, M P H l m u D i e t I Cabang ilmu gizi yang mengatur pemberian makan pada kelompok/perorangan dalam keadaan sehat/sakit dengan memperhatikan syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemasan merupakan hal yang penting dan diperlukan oleh konsumen, terutama bagi konsumen dengan kondisi medis tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. kemasan merupakan hal yang penting dan diperlukan oleh konsumen, terutama bagi konsumen dengan kondisi medis tertentu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pengetahuan diet dan perilaku membaca informasi nilai gizi makanan kemasan merupakan hal yang penting dan diperlukan oleh konsumen, terutama bagi konsumen dengan kondisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makanan merupakan suatu kegiatan atau proses menyediakan makanan dalam jumlah yang banyak atau dalam jumlah yang besar. Pada institusi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 15 METODOLOGI PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian ini menggunakan desain crossecsional study, semua data yang dibutuhkan dikumpulkan dalam satu waktu (Singarimbun & Effendi 2006).

Lebih terperinci

KOMPOSISI TUBUH LANSIA I. PENDAHULUAN II.

KOMPOSISI TUBUH LANSIA I. PENDAHULUAN II. KOMPOSISI TUBUH LANSIA I. PENDAHULUAN Lansia merupakan salah satu bagian dari siklus hidup manusia yang menjadi tahap akhir dari kehidupan. Pada lansia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan masyarakat Indonesia merupakan usaha yang dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa dapat berhasil dilaksanakan

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study dimana seluruh pengumpulan data dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makronutrien maupun mikronutrien yang dibutuhkan tubuh dan bila tidak

BAB I PENDAHULUAN. makronutrien maupun mikronutrien yang dibutuhkan tubuh dan bila tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi sangat penting bagi kesehatan manusia dan diperlukan untuk menentukan kualitas fisik, biologis, kognitif dan psikososial sepanjang hayat manusia. Komposisi zat

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN Diza Fathamira Hamzah Staff Pengajar Program Studi Farmasi

Lebih terperinci

METODE. n = Z 2 P (1- P)

METODE. n = Z 2 P (1- P) 18 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu. Lokasi penelitian adalah TKA Plus Ihsan Mulya Cibinong.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS. Susilowati, SKM, MKM.

PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS. Susilowati, SKM, MKM. 1 PENATALAKSANAAN DIIT PADA HIV/AIDS Susilowati, SKM, MKM. 2 Masih ingat pebasket internasional Earvin Johnson? Pemain NBA tersohor itu membuat berita mengejutkan dalam karier bermain basketnya. Bukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Sampel dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dengan rentang usia 20-55 tahun. Menurut Hurlock (2004) rentang usia sampel penelitian ini dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola makan vegetarian telah menjadi pola makan yang mulai banyak menjadi pilihan masyarakat saat ini. Vegetarian adalah orang yang hidup dari mengkonsumsi produk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini biasanya menyerang tanpa tanda-tanda. Hipertensi itu sendiri bisa menyebabkan berbagai

Lebih terperinci

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI

KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI 1 KONSUMSI PANGAN, PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN STATUS GIZI PADA REMAJA DI KOTA SUNGAI PENUH KABUPATEN KERINCI PROPINSI JAMBI Oleh: FRISKA AMELIA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan

Lebih terperinci

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia umumnya digunakan untuk menggambarkan makanan yang dianggap bermanfaat bagi kesehatan, melebihi diet sehat normal yang diperlukan bagi nutrisi manusia. Makanan Sehat "Makanan Kesehatan" dihubungkan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengukuran Antropometri Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthoropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran tubuh. Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan ideal adalah model kurus dan langsing, obesitas dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. perempuan ideal adalah model kurus dan langsing, obesitas dipandang sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan merupakan suatu proses yang pasti dialami oleh setiap manusia. Banyak faktor yang berperan dalam proses penuaan. Salah satunya adalah obesitas. Seiring dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari persentase pria dan wanita dari penduduk lanjut usia berdasarkan estimasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dari persentase pria dan wanita dari penduduk lanjut usia berdasarkan estimasi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk lanjut usia pria lebih rendah dibanding wanita. Terlihat dari persentase pria dan wanita dari penduduk lanjut usia berdasarkan estimasi dan proyeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah dan proporsi penduduk usia lanjut. Proporsi penduduk usia lanjut di Indonesia

Lebih terperinci

TENTANG KATEGORI PANGAN

TENTANG KATEGORI PANGAN LAMPIRAN XIII PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KATEGORI PANGAN 13.0 Produk Pangan Untuk Keperluan Gizi Khusus 4 Pangan untuk keperluan gizi khusus

Lebih terperinci

Munro, dkk (1987), older elderly: tahun -.85 tahun M. Alwi Dahlan : -. > 60 tahun Gerontologi ilmu yang mempelajari tetang proses penuaan.

Munro, dkk (1987), older elderly: tahun -.85 tahun M. Alwi Dahlan : -. > 60 tahun Gerontologi ilmu yang mempelajari tetang proses penuaan. Gizi Manula Batasan: Usia 65 tahun > Menurut WHO: -.Usia pertengahan ( Middle Age) 45-59 th -.Lanjut usia (Ederly) 60-74 th -.Lanjut Usia Tua (Old) 75 90 th -.Usia sangat tua (Very Oil) > 90 th Durmin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan salah satu dari 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan salah satu dari 5 kondisi yang berisiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit gangguan pada jantung dan pembuluh darah, termasuk penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung kongestif, penyakit vaskular

Lebih terperinci

penyakit kardiovaskuler (Santoso, 2011).

penyakit kardiovaskuler (Santoso, 2011). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber serat pangan yang mudah ditemukan dalam bahan pangan dan hampir selalu terdapat pada hidangan sehari-hari masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. OBESITAS. 2.1.1. Pengertian Obesitas. Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang

Lebih terperinci

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN WANITA LANJUT USIA TENTANG DIET HIPERTENSI DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG.

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN WANITA LANJUT USIA TENTANG DIET HIPERTENSI DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk lansia semakin meningkat dari tahun ke tahun di perkirakan ada 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaum lanjut usia, namun juga telah diderita usia dewasa bahkan usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. kaum lanjut usia, namun juga telah diderita usia dewasa bahkan usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh banyak orang khususnya masyarakat Medan. Hipertensi merupakan akibat dari pola hidup yang salah dan beban

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 16 METODOLOGI PENELITIAN Desain Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini adalah Cross sectional study yaitu rancangan yang digunakan pada penelitian dengan variabel sebab atau faktor resiko dan

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

B A B II TINJAUAN PUSTAKA B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. STATUS GIZI Status gizi atau tingkat konsumsi pangan adalah suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi status kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diet gagal ginjal adalah diet atau pengaturan pola makan yang dijalani oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet tersebut dapat

Lebih terperinci

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang di nyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Overweight dan obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian yang serius karena merupakan peringkat kelima penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan karena adanya penyempitan pembuluh

Lebih terperinci

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes GIZI KESEHATAN MASYARAKAT Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes Introduction Gizi sec. Umum zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan memperbaiki jaringan tubuh. Gizi (nutrisi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung beristirahat. Dua faktor yang sama-sama menentukan kekuatan denyut nadi

BAB I PENDAHULUAN. jantung beristirahat. Dua faktor yang sama-sama menentukan kekuatan denyut nadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekanan darah merupakan ukuran tekanan yang digunakan oleh aliran darah melalui arteri berdasarkan dua hal yaitu ketika jantung berkontraksi dan ketika jantung beristirahat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. terutama di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di Indonesia, terutama di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran, penurunan kematian bayi, penurunan fertilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia. Sebelumnya menduduki peringkat ketiga (berdasarkan survei pada tahun 2006). Laporan Departemen

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

Mengatur Berat Badan. Mengatur Berat Badan

Mengatur Berat Badan. Mengatur Berat Badan Mengatur Berat Badan Pengaturan berat badan adalah suatu proses menghilangkan atau menghindari timbunan lemak di dalam tubuh. Hal ini tergantung pada hubungan antara jumlah makanan yang dikonsumsi dengan

Lebih terperinci

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI OLEH : KELOMPOK 5 HAPPY SAHARA BETTY MANURUNG WASLIFOUR GLORYA DAELI DEWI RAHMADANI LUBIS SRI DEWI SIREGAR 061101090 071101025 071101026 071101027 071101028 Nutrisi adalah apa yang manusia makan dan bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi Tanggal 16 Oktober 2014 PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi PENDAHULUAN Usia 6 bulan hingga 24 bulan merupakan masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan, penyerapan dan penggunaan zat gizi. Status gizi berkaitan dengan asupan makanan yang dikonsumsi baik

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN PENELITIAN HUBUNGAN POLA KONSUMSI ENERGI, LEMAK JENUH DAN SERAT DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER Usdeka Muliani* *Dosen Jurusan Gizi Indonesia saat ini menghadapi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. absolute atau relatif. Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani

BAB I PENDAHULUAN. absolute atau relatif. Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan hormon insulin secara absolute atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi penyebab kematian utama di Indonesia. Penyebabnya adalah terjadinya hambatan aliran darah pada arteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM, baik aspek

BAB I PENDAHULUAN. adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM, baik aspek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM, baik aspek terus berkembang meskipun

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data 22 METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang menggambarkan hubungan antara asupan makanan dan komposisi lemak tubuh terhadap kapasitas daya tahan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin meningkatnyausia harapan hidup penduduk akibatnya jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan penurunan fungsi organ tubuh, maka resiko terjadinya penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering terjadi pada lansia antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah >140 mm Hg (tekanan sistolik) dan/ atau

Lebih terperinci

ASUHAN GIZI; NUTRITIONAL CARE PROCESS

ASUHAN GIZI; NUTRITIONAL CARE PROCESS ASUHAN GIZI; NUTRITIONAL CARE PROCESS Oleh : Adisty Cynthia Anggraeni, S. Gz. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan sebuah masalah keluarga yang sifatnya jangka panjang dan kebisaan makan yang sehat harus dimulai sejak dini. Masalah gizi pada anak di Indonesia akhir-akhir

Lebih terperinci