BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta. a. Kategori jumlah beringin di Kota Yogyakarta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta. a. Kategori jumlah beringin di Kota Yogyakarta"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta a. Kategori jumlah beringin di Kota Yogyakarta Berikut ini adalah tabel kategori jumlah pohon pada lokasi persebaran pohon beringin di Kota Yogyakarta. Tabel 5. Kategori Jumlah Pohon pada Lokasi Persebaran Pohon Beringin No Kategori Jumlah Pohon Jumlah Lokasi pohon pohon pohon pohon pohon pohon 1 Sumber: Analisis data primer. b. Jumlah individu habitus dan jumlah lokasi persebaran habitus beringin di Kota Yogyakarta Berikut ini adalah tabel jumlah habitus dan jumlah lokasi persebaran pohon beringin di Kota Yogyakarta. Tabel 6. Jumah Habitus dan Jumlah Lokasi Persebaran Pohon Beringin No Habitus Jumlah Individu Jumlah Lokasi 1 Pancang Tiang Pohon Semai Bonsai Epifit 16 4 Sumber: Analisis data primer. 53

2 2. Ukuran Pohon Beringin a. Diameter batang setinggi dada, umur, dan tinggi pohon Berikut ini adalah tabel ukuran pohon beringin yang dikategorikan berdasarkan interval kelas 1 sampai 5. Ukuran tersebut meliputi diameter, umur, dan tinggi pohon beringin. Tabel 7. Kategori Ukuran Pohon Beringin di Kota Yogyakarta Jumlah No Interval Diameter (cm) Umur (th) Tinggi (m) Jumlah Sumber: Analisis data primer. 3. Kemampuan Beringin dalam Mereduksi Bahan Pencemar Udara a. Pohon beringin dalam menyerap logam berat timbal (Pb) Pengujian Kandungan Pb dalam daun dan kulit batang beringin dilakukan di Laboratorium Instrumen SMK SMTI Yogyakarta. Data hasil pengujian dengan teknik AAS terlihat pada Tabel 8. 54

3 Tabel 8. Kandungan Pb pada Daun dan Kulit Batang Kode Sampel Konsentrasi Pb (mg/kg) Daun Beringin Daun Beringin Daun Beringin Daun Preh Daun Preh Daun Preh Kulit Batang Beringin Kulit Batang Beringin Kulit Batang Beringin Kulit Batang Preh Kulit Batang Preh Kulit Batang Preh 3 0 Sumber: Analisis data primer. b. Pohon beringin dalam menyerap partikel debu 1) Berat debu hasil jerapan daun dan berat debu per pengamatan Rata-rata luas daun dan rata-rata berat debu yang terjerap pada daun beringin dan preh ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Berat Rata-Rata Debu yang Terjerap pada Daun dan Luas Rata-Rata Daun Rata-rata berat debu Rata-rata luas Nama yang terjerap (g) daun (cm 2 ) Beringin Preh Beringin Preh Sampel Sampel Sampel Sampel Sumber: Analisis data primer. 55

4 Kapasitas jerapan debu per pengamatan pada daun beringin dan Preh dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Kapasitas Jerapan Debu pada Daun Per Sampel Sampel Kapasitas jerapan debu per pengamatan (g/m 2 ) Beringin Preh Sumber: Analisis data primer. 2) Kapasitas jerapan debu per hari Kapasitas jerapan debu per hari diperoleh dari selisih antar dua pengamatan. Kemudian diambil perolehan angka yang paling besar (P3- P4). Angka tersebut dibagi selisih hari pengambilan sampel, sehingga menghasilkan kapasitas jerapan debu per hari (Tabel 11). Tabel 11. Data Kapasitas Jerapan Debu Per Hari Jenis Selisih Kapasitas jerapan P2-P1 P3-P2 P4-P3 debu per hari (g/m 2 ) Beringin ( ) ( ) Preh ( ) ( ) Sumber: Analisis data primer. 3) Kapasitan jerapan debu per tanaman per hari Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari diperoleh dari luas tajuk dikalikan dengan kapasitas jerapan debu per hari, sehingga diperoleh angka seperti yang ditunjukkan pada Tabel

5 Spesies Tabel 12. Kapasitas Jerapan Debu Per Tanaman Per Hari Luas tajuk (m 2 Kapasitas jerapan debu per ) tanaman per hari (g) Pancang Tiang Pohon Pancang Tiang Pohon Beringin (Ficus benjamina) Preh (Ficus ribes) Sumber: Analisis data primer. 4. Pengetahuan Masyarakat Tradisional Kota Yogyakarta tentang Beringin B. Pembahasan Kategori pengetahuan masyarakat tradisional ditunjukkan pada Tabell 13. Tabel 13. Kategori Hasil Wawancara No Narasumber menjawab pertanyaan Kategori 1 Narasumber Narasumber Narasumber Narasumber Narasumber Narasumber Narasumber Narasumber Sumber: Analisis data primer. 1. Eksistensi dan Distribusi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta Eksistensi pohon beringin tidak lepas dari peranan sejarah masa lalu sejak zaman Kerajaan Mataram. Popularitasnya merupakan peran inisiatif masyarakat tradisional Kota Yogyakarta dalam perspektif mitologi. Pohon beringin dianggap sebagai pohon sakral dan suci serta dikenal sebagai pohon kehidupan. Sampai saat ini eksistensinya di tengah masyarakat tetap terjaga dan 57

6 berguna bagi lingkungan sekitar baik secara ekologi dan sosial-budaya. Dengan demikian, secara langsung masyarakat telah berpartisipasi dalam rangka implementasi pelestarian keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Filosofi dalam sejarah kehidupan keraton dan mitologi pohon beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta merupakan fondasi utama yang menjadikan pohon beringin tetap eksis sampai saat ini. Kedua fondasi tersebut merupakan manifestasi dari adanya keyakinan dalam diri masyarakat yang diperoleh dari praktik ajaran agama. Sudut pandang tersebut menjadikan ajaran agama sebagai komponen yang begitu berperan dalam ekologi. Ajaran agama dan masyarakat tradisional menjadi komponen terpenting dalam pengelolaan lingkungan. Keduanya memberikan andil dalam menghindari inefisiensi dalam rangka upaya penyelenggaraan pengelolaan lingkungan. Dalam kerangka aksi konservasi masyarakat tradisional berperan sebagai variabel intervening (Gambar 23). Masyarakat tradisional mempengaruhi hubungan kuat lemahnya antara stimulasi dengan tanggapan, pengetahuan, dan perilaku oleh karena adanya sikap dan pola pikir masyarakat. Ajaran agama, keyakinan, dan sejarah pohon beringin merupakan stimulator dari sikap dan pola pikir masyarakat tradisional Kota Yogyakarta yang kemudian menghasilkan tanggapan, pengetahuan, dan perilaku. Ketiga variabel ini dapat berupa respon positif dan negatif. Hal tersebut, tergantung pada sikap dan pola pikir masyarakat yang didukung oleh pemahaman masing-masing individu. 58

7 Variabel Bebas Stimulasi (ajaran agama, keyakinan, sejarah pohon Beringin) Variabel Intervening Sikap dan Pola Pikir Masyarakat Tradisional Variabel Moderator Tanggapan Pengetahuan Perilaku Variabel terikat Aksi Konservasi Gambar 23. Variabel dalam Aksi Konservasi Pohon Beringin (Modifikasi dari Zuhud. 2007: 6) Aksi konservasi masyarakat Kota Yogyakarta terhadap pohon beringin diinisiasi dari filosofi dan kedudukan pohon beringin sebagai tanaman keraton. Pohon beringin memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan tanaman lainnya dalam tatanan filosofi tanaman keraton. Selain filosofi dan kedudukannya, pohon beringin juga berperan dalam arsitektur tata ruang wilayah Yogyakarta. Sejarah pembangunan wilayah Yogyakarta berpusat di kawasan keraton yang ditunjukkan dengan bingkai warisan budaya sumbu imaginer. Sistematik urutan sumbu imaginer dari selatan ke utara meliputi Laut Selatan, Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Keraton, Alun-alun Utara Tugu Golong Gilig, Gunung Merapi (Gambar 2). Pada bagian tengah kedua alun-alun tersebut ditanami pohon beringin. Hal ini menambah poin keunikan jika pohon beringin benar-benar hendak dijadikan maskot tumbuhan dari Kota 59

8 Yogyakarta. Pohon beringin yang berada di bagian tengah Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan memiliki arti dan nama tersendiri. a b Gambar 24. Pohon Beringin di Alun-alun Kota Yogyakarta. a. Pohon Beringin di Alun-alun Selatan. b. Pohon Beringin di Alun-alun Utara Berdasarkan hal tersebut diatas, secara garis besar peranan pohon beringin kaitannya dengan aksi konservasi di wilayah Yogyakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Filosofi, kedudukan, mitologi, dan penanaman Pohon beringin dalam sejarah tata ruang wilayah Yogyakarta merupakan 4 poin penting yang selama ini menjadi tonggak dalam aksi konservasi pohon beringin bagi masyarakat tradisional Kota Yogyakarta. Dengan demikian, masyarakat tradisional berperan penting dalam aksi konservasi keanekaragaman hayati. Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta merupakan implementasi dari adanya aksi konservasi masyarakat tradisional terhadap pohon beringin. 60

9 Gambar 25. Empat Poin Penting Aksi Konservasi Pohon Beringin di Kota Yogyakarta Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta terletak pada 83 lokasi (Lampiran 1). Penentuan lokasi mengacu pada Peta Kota Yogyakarta terbitan CV Indo Prima Sarana Surabaya Yogyakarta City Map. Peta tersebut dipilih karena peta ini merupakan pedoman wisata di Kota Yogyakarta. Tidak menutup kemungkinan bahwa jalan raya yang berada dalam layout peta tersebut sering dilewati oleh wisatawan. Sensus pohon beringin dilakukan berdasarkan lokasi yang terdapat pohon beringin. 61

10 Gambar 26. Peta Distribusi Beringin di Kota Yogyakarta 62

11 Berdasarkan sensus diperoleh kemelimpahan jumlah sebanyak 899 individu beringin yang tersebar pada 83 lokasi, sedangkan sebanyak 21 lokasi dari total 104 lokasi yang termasuk sampel lokasi tidak terdapat pohon beringin. Pohon yang telah tersensus kemudian ditentukan posisi koordinat menggunakan GPS. Setelah itu data diolah menggunakan aplikasi ArcGis untuk membuat Peta Distribusi Pohon beringin di Kota Yogyakarta seperti yang terlihat pada Gambar 26. a. Kategori jumlah pohon beringin Kategorisasi jumlah pohon beringin di Kota Yogyakarta ditunjukkan pada Grafik 1. Kategori jumlah pohon digunakan untuk memberikan informasi jumlah pohon beringin yang ditemukan di lokasi penelitian. Terdapat 4 kategori jumlah pohon dari 6 interval yang telah ditentukan. Interval 1 sampai 20 pohon merupakan kategori jumlah pohon yang paling banyak ditemukan sedangkan interval 101 sampai 120 pohon merupakan kategori jumlah pohon yang paling sedikit. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat 72 lokasi dengan jumlah antara 1 sampai 20 pohon beringin. Lokasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada kategori antara 21 sampai 40 pohon hanya terdapat pada 5 lokasi yakni Jalan S.O. 1 Maret (27 pohon), Jalan Sugeng Jeroni (28 pohon), Jalan Sultan Agung (28 pohon), Jalan Faridan M. Noto (35 pohon), dan Jalan Letjend. Suprapto (37 pohon). Kategori jumlah pohon dengan interval 41 sampai 60 pohon ditemukan pada 5 lokasi yang meliputi Jalan 63

12 Gedong Kuning (49 pohon), Jalan Veteran (52 pohon), Alun-alun Utara (50 pohon), Jalan Kapten Tendean (50 pohon), Kebun Binatang Gembira Loka (56 pohon). Kategori pohon dengan interval 101 sampai 120 pohon hanya terdapat di Jalan Tamansiswa dengan jumlah 108 pohon beringin. Grafik 1. Kategori Jumlah Pohon pada Lokasi Penelitian Kategori jumlah pohon dapat digunakan untuk monitoring dalam upaya pengelolaan lingkungan khususnya Ruang Terbuka Hijau Tepi Jalan (RTHTJ). Dengan adanya kategori jumlah pohon pihak pengelola dapat dengan mudah menentukan jumlah pohon yang akan ditanam sebagai tanaman penghijau tepi jalan kaitannya dengan tanaman dalam menyerap polutan udara. Dengan demikian, laju pencemaran udara dapat dikendalikan. 64

13 Pola distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta berbentuk jalur di tepi jalan raya karena persebarannya dibantu oleh manusia. Pola distribusi pohon beringin di lapangan terbuka maupun halaman perkantoran ditanam pada spot tertentu sesuai dengan fungsi. Terkecuali pola distribusi yang terdapat di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Penanaman pohon beringin di tengah alun-alun dan bagian tepinya mempunyai makna filosofi tersendiri. Bagian tepi Alun-alun Utara ditanami pohon beringin sejumlah 62 pohon pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I. Akan tetapi, jumlah tersebut sudah berkurang menjadi 48 pohon karena faktor usia dan faktor alam. Berbeda dengan tepi Alun-alun Selatan hanya terdapat 3 pohon beringin yang ditanam di bagian tepi dan berbagai jenis pohon lainnya. Gambar 27. Visusalisasi Pola Distribusi Pohon Beringin pada Jalan Raya Berhambatan Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta membentuk pola teratur. Pohon beringin yang tersebar mayoritas ditanam dalam bis beton. Berdasarkan hasil pengamatan pohon beringin hanya terdapat pada tepi jalan raya berhambatan dan bebas hambatan. Dengan kata lain, pohon beringin tidak ditemukan di tengah median jalan. Dari segi estetika pohon 65

14 beringin yang ditemukan, beberapa ada yang berhabitus bonsai. Dengan demikian, pohon beringin telah memenuhi syarat estetika sebagai tanaman penghijau. b. Beringin sebagai pohon hutan kota Menurut Fandeli, dkk (2004: 39), hutan kota didefinisikan sebagai kawasan hijau di kota yang terdiri dari kumpulan pohon dan kerapatannya dapat menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan di luar area tersebut. Hutan kota dapat berada di taman kota, tempat rekreasi, tempat olah raga, pemakaman, lahan pertanian, jalur hijau jalan, dan pekarangan. Mengacu pada hal tersebut maka lokasi yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi jalur hijau tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan tempat rekreasi Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL) merupakan kawasan hutan kota. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya hutan kota meliputi tujuan yang dikaitkan dengan fungsi hutan kota, popularitas tanaman, persepsi dan sosial-ekonomi (Fandeli, dkk. 2004: 41). Tujuan merupakan aspek utama dalam perencanaan dan pembangunan kawasan hutan kota. Tujuan pengadaan hutan kota berhubungan dengan fungsi sedangkan fungsi tergantung pada lokasi. Tanaman yang digunakan tergantung pada peruntukkan kawasan. Menurut Mukhlison (2013: 39-41), pengadaan hutan kota harus didasarkan pada fungsi agar hutan kota berguna secara optimal bagi seluruh 66

15 makhluk hidup. Dalam pemenuhan fungsi tersebut, maka hutan kota harus memenuhi syarat silvikultural, manajemen, dan estetika. Syarat-syarat silvikultural diantaranya meliputi jenis pohon yang berada dalam rentang tumbuh yang sesuai dengan kebutuhannya (iklim dan edafik), dapat tumbuh pada tanah miskin hara, mampu memulihkan kesuburan tanah, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, kondisi sealalu evergreen, batang pokok dan cabang kuat sehingga tidak mudah tumbang dan patah, akar tidak merusak jalan, beton, dan bangunan yang ada disekitarnya, toleran terhadap suhu tinggi dan penyinaran matahari, dan toleran terhadap kekurangan air. Manjemen merupakan syarat yang selalu ada dalam pengelolaan berbagai praksis kehidupan. Syarat manajemen jenis pohon hutan kota diantaranya bertajuk tebal dan rapat sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman peneduh, bertajuk kuat dan rapat sehingga dapat berfungsi sebagai tanaman pelindung angin, serta berkemampuan tinggi dalam pengurangan pencemaran lingkungan perkotaaan (udara, air, tanah). Syarat estetika yang harus terpenuhi untuk jenis pohon hutan kota yakni pohon memiliki tajuk, percabangan daun dan atau bunga yang indah sehingga akan menambah unsur keindahan ruang perkotaan. Selain itu, jenis pohon yang memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan, memiliki buah berukuran relatif kecil sehingga ketika jatuh tidak membahayakan manusia dan merusak fasilitas sekitarnya. Pohon tidak menghasilkan getah beracun atau berbahaya bagi makhluk hidup dan tidak menghasilkan serbuk sari yang dapat 67

16 menyebabkan alergi, keduanya merupakan syarat lain untuk jenis pohon sebagai komposisi hutan kota. Grafik 2. Perbandingan Skor Maksimal dan Skor Hasil Syarat Tanaman Hutan Kota pada Pohon Beringin Pohon beringin merupakan salah satu jenis tanaman yang sesuai untuk dijadikan komposisi pohon dalam hutan kota. Mengacu pada persyaratan tersebut di atas, skor pohon beringin hampir memenuhi semua syarat yang telah disebutkan (Grafik 2). Skor maksimal pada grafik tersebut menggambarkan skor nilai pemenuhan syarat pohon beringin sebagai komposisi tanaman dalam hutan kota. Skor hasil tersebut merupakan nilai yang didapatkan berdasarkan hasil survei dengan kategori persyaratan silvikultural, manajemen, dan estetika jenis pohon hutan kota. Pada Grafik 2 terlihat bahwa pohon beringin memiliki skor syarat silvikultural sebesar 23 dengan skor maksimal 24. Berarti hanya selisih 1 nilai dari skor 68

17 maksimal. Di samping itu, skor hasil dan skor maksimal pada syarat manajemen dan syarat estetika terlihat keduanya menduduki nilai yang sama yakni sebesar 14 dan 10. Dengan demikian, pohon beringin telah memenui syarat sebagai jenis pohon pembentuk hutan kota. Gambar 28. Benalu pada Pohon Beringin sebagai Fungsi Konservasi Flora Jenis pohon sebagai syarat komposisi hutan kota juga harus memenuhi fungsi produksi dan konservasi flora dan fauna (Fandeli. 2004: 41). Pohon beringin yang telah tumbang ataupun kayu beringin yang sengaja digunakan sebagai fungsi produksi dapat dijadikan sebagai perabotan rumah tangga yang unik karena adanya akar nafas yang menyelubungi batang utama pohon. Hal tersebut, menjadikan pohon beringin akan terkesan unik jika dimanfaatkan sebagai perabotan maupun properti lainnya sesuai dengan kreatifitas. Walaupun tingkat kekerasan kayu pohon beringin tergolong rendah. Akan tetapi, dalam hal keawetan kayu dapat diatasi dengan proses 69

18 pengawetan. Pohon beringin merupakan suaka bagi berbagai fauna seperti serangga, burung, reptil, dan flora seperti benalu (Gambar 28). Meskipun pohon beringin berperan dalam konservasi flora. Di sisi lain, pohon beringin dapat merusak jenis pohon hutan kota lainnya. Daya adaptasi yang tinggi menyebabkan pohon ini dapat tumbuh pada media dengan unsur hidup dan media tanpa unsur hidup. Hal tersebut perlu menjadi perhatian lebih bagi pihak pengelola hutan kota. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan empat jenis habitus pohon beringin yakni semai, pancang, tiang, pohon, dan epifit. Diantara kelima habitus tersebut terdapat satu habitus yang dapat tumbuh pada pohon lain bahkan dapat mematikan pohon tersebut. Epifit merupakan habitus beringin yang hidup dengan cara menempel pada pohon lain, tetapi tidak menyerap sari makanan dari pohon tersebut (parasit). Oleh karena laju pertumbuhan akar nafas pohon beringin yang cepat menyebabkan pohon inang tercekik dan dapat menyebabkan kematian, sehingga akar nafas tersebut disebut sebagai akar pencekik (strangler). Selain itu, pohon beringin memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga dapat tumbuh pada media dengan unsur tak hidup seperti tembok, jembatan yang berbahan beton dan batu. 70

19 1) 2) 3) 4) Gambar 29. Beringin Tumbuh pada Berbagai Media. 1), 3) Beringin Tumbuh pada Media Beton. 2) Beringin Tumbuh pada Media Pohon. 4) Beringin Pencekik (Strangler) (Sumber: Dokumentasi Pribadi). Foto yang tersaji pada Gambar 29 menggambarkan cara beringin beradaptasi untuk tetap mempertahankan hidupnya dengan tumbuh pada berbagai habitat. Hal ini merupakan suatu kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya dalam penggunaan pohon beringin sebagai tanaman penghijau memberikan kemudahan dalam cara tanam dan pemeliharaan. Cara tanam beringin sebagai tanaman penghijau jalan di Kota Yogyakarta yaitu dengan cara ditanam dalam bis beton. Pohon beringin mampu tumbuh 71

20 pada kondisi unsur hara dan kandungan air rendah. Selain itu, pohon ini dapat tumbuh pada pohon lainnya. Dengan demikian, diperlukan pengawasan terhadap tanaman hutan kota yang lain. Jika terdapat beringin tumbuh liar pada tanaman hutan kota yang lain, segera dilakukan tindakan pencabutan terhadap beringin tersebut. Dalam keadaan alami pohon beringin dapat mencapai tinggi 30 meter lebih dengan tajuk yang rapat dan luas. Selain itu, akar nafasnya yang menyelubungi batang dan tumbuhnya sulur di dahannya membuat pohon ini terkesan angker. Oleh karenanya, menjadi suatu masalah yang perlu dipertimbangkan jika pohon beringin dijadikan tanaman penghijau tepi jalan sebagai upaya pengadaan hutan kota sehingga diperlukan usaha untuk mengatasinya. Walaupun demikian, pohon beringin mempunyai kelebihan yang dapat dijadikan solusi dari adanya permasalahan tersebut. Pohon beringin merupakan pohon yang dapat dijadikan bonsai sehingga akan tetap kerdil dan tidak mengganggu aktivitas jalanan. Hal tersebut menambah poin nilai estetika pada pohon beringin. Dari hasil pengamatan pohon beringin yang digunakan sebagai tanaman penghijau jalan terdapat beberapa model pemangkasan (pruning) seperti yang tampak pada Gambar

21 1) 2) 3) Gambar 30. Model Pemangkasan Pohon Beringin pada Jalur Hijau Jalan di Kota Yogyakarta. 1) Model Piramida Terbalik. 2) Model Tabung, 3) Model Bertingkat (Sumber: Dokumentasi Pribadi). Telah banyak dilakukan penelitian mengenai kemampuan pohon beringin dalam mereduksi bahan pencemar udara. Hasil penelitian Purwaningsih (2007: 35) menyatakan bahwa beringin merupakan jenis tumbuhan yang memiliki peran tinggi dalam menyerap karbon dioksida (CO2) diantara beberapa spesies tumbuhan lainnya (Tabel 14). Jika dibandingkan dengan Angsana, Tanjung, Sawo Kecik, dan Asam yang merupakan tanaman keraton, maka beringin yang paling unggul dalam penyerapan CO2. Tanjung dan Angsana yang merupakan pohon penghijau tepi jalan memiliki kemampuan dalam menyerap CO2 yang rendah jika dibandingkan dengan beringin. Karbon dioksida (CO2) merupakan gas sisa hasil pembakaran bahan bakar minyak kendaraan, juga berasal dari dampak negatif adanya penggundulan hutan, pembakaran kayu dan kertas. Dampak negatif dari 73

22 adanya surplus gas CO2 di udara menyebabkan pemanasan global yang ditandai dengan adanya peningkatan suhu lingkungan. Gas CO2 bersama H2O bereaksi dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O6). Dengan adanya fenomena tersebut maka tumbuhan berperan dalam mereduksi gas CO2 di udara. Analoginya jika suatu tumbuhan memiliki daun banyak yang secara visual terlihat dari ketebalan dan kerapatan tajuk maka tumbuhan tersebut memiliki daya serap CO2 yang tinggi. Tabel 14. Daya Serap Karbon Diksida pada Beberapa Jenis Tumbuhan No Nama Jenis Daya Serap Karbon dioksida/pohon 1 Beringin *), **) Angsana *) Tanjung *) Trembesi Nangka Mahoni Sawo Kecik **) Asam **) Sumber: Purwaningsih (2007:35). Keterangan: *) : Tanaman penghijau yang ditanam oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta **) : Tanaman keraton yang ditanam di kawasan Keraton Kota Yogyakarta Lubis & Suseno (2002: 143), menyatakan bahwa tanaman berakar gantung relatif baik digunakan sebagai tanaman penghijau pinggir jalan. Laporan hasil penelitiannya menyatakan bahwa sampel tanaman Ficus yang digunakan mampu menyerap dan menjerap logam berat timbal (Pb). 74

23 Sampel tanaman tersebut merupakan tanaman perkotaan yang difungsikan sebagai tanaman penghijau. Sampel yang digunakan meliputi Ficus elliptica, Ficus benjamina dan Ficus sp. Sampel organ yang diujikan untuk mengetahui kandungan Pb-nya ialah daun, batang, dan akar nafas. Dilaporkan bahwa ketiga sampel organ tersebut memiliki kandungan Pb dengan variasi nilai yang berbeda-beda (Tabel 15). Tabel 15. Kandungan Logam Pb pada Organ Tanaman Tiga Spesies Ficus No Organ Jenis tanaman Ficus elliptica Ficus benjamina Ficus sp. Kadar Pb (mg/kg) 1 Daun Batang Akar gantung Sumber: Lubis & Suseno (2002: 146). c. Distribusi habitus beringin di Kota Yogyakarta Penentuan kategori habitus pohon beringin berdasarkan pada diameter setinggi dada atau Diameter at the Breat Height (DBH). Habitus yang telah ditemukan dan dikategorikan berdasarkan DBH meliputi pancang, tiang, dan pohon. Semai ditentukan berdasarkan perkiraan ketinggian. Bonsai ditentukan berdasarkan penampakan batang. Epifit ditentukan berdasarkan tempat tumbuh. Secara keseluruhan terdapat lima jenis habitus pohon beringin di Kota Yogyakarta yakni pancang, tiang, pohon, semai, bonsai, dan epifit. Kategori jumlah kelima habitus pohon beringin dapat dilihat pada Grafik 3. 75

24 Kategori Jumlah Habitus Semai Pancang Tiang Pohon Bonsai Epifit Grafik 3. Jumlah Kategori Habitus Pohon Beringin di Kota Yogyakarta Berdasarkan Grafik 3 di atas habitus yang mempunyai jumlah paling banyak adalah tiang sebanyak 128 individu. Kemudian secara berurutan dari habitus yang memiliki jumlah terbesar sampai yang terkecil yakni, pohon sebanyak 68 individu, pancang sebanyak 61 individu, semai sebanyak 41 individu, bonsai sebanyak 34 individu, dan epifit memiliki jumlah paling kecil sebesar 16 individu. Keseluruhan habitus beringin yang ditemukan sebanyak 348 individu sedangkan jumlah keseluruhan pohon beringin yang ditemukan di Kota Yogyakarta sebesar 899 individu. Jumlah pohon yang tidak termasuk ke dalam kategori habitus merupakan pohon yang tidak terukur diameternya karena memiliki akar nafas yakni sebesar 551 pohon. 76

25 Jumlah Lokasi Semai Pancang Tiang Pohon Bonsai Epifit Grafik 4. Jumlah Lokasi Persebaran Habitus Pohon Beringin Distribusi habitus pohon beringin pada lokasi penelitian dapat disimak pada Lampiran 2. Dari hasil perhitungan habitus pohon memiliki jumlah yang paling banyak tersebar pada lokasi penelitian yakni 31 lokasi. Habitus pancang dan tiang masing-masing tersebar pada 27 dan 30 lokasi. Habitus semai tersebar pada 20 lokasi dan bonsai tersebar pada 16 lokasi. Epifit merupakan habitus yang paling sedikit jumlahnya dan tersebar hanya pada 4 lokasi penelitian. Perhitungan persebaran habitus pada lokasi penelitian bertujuan untuk mengetahui peranan beringin dalam fungsi ekologi, estetika sebagai pohon kota (urban tree), dan reduksi pencemar udara. Dimuka telah disinggung bahwa beringin merupakan spesies tumbuhan yang memiliki daya serap karbon paling tinggi dibanding dengan Tanjung dan Angsana sebagai tanaman penghijau tepi jalan. Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa 77

26 semakin banyak kategori habitus pohon beringin yang tersebar di lokasi penelitian maka kemampuan dalam mereduksi logam berat Pb, debu, dan gas CO2 di udara semakin tinggi. Hal tersebut, berkaitan dengan kerapatan dan ketebalan tajuk pohon beringin. Semua habitus pohon beringin yang ditemukan baik semai, pancang, tiang, pohon, bonsai, dan epifit memiliki kemampuan dalam mereduksi bahan pencemar udara baik secara adsorpsi dan absorpsi melalui organorgan tubuhnya. Asap dan debu merupakan polutan dari aktivitas perkotaan. Polutan tersebut terbuang ke udara oleh karena adanya angin sebagai agen distribusinya. Polutan dapat menempel pada bagian organ-organ tumbuhan yang kemudian dijerap dan atau diserap oleh habitus pohon beringin. Akan tetapi, dari beberapa habitus yang telah disebutkan di atas memiliki potensi yang berbeda terkait fungsi. Semai sebagai tanaman penghijau jalan lebih berfungsi dalam estetika, selain dapat menyerap polutan di udara. Demikian pula dengan bonsai walaupun habitus ini memiliki ketinggian yang relatif lebih tinggi dibandingkan semai. Epifit lebih berfungsi ke arah penyerap polutan udara dan seperti yang telah disinggung di muka bahwa habitus ini juga merupakan habitus yang merusak pohon hutan kota lainnya. d. Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta Distribusi pohon beringin di Kota Yogyakarta tidak luput dari peran serta masyarakat terkait dengan popularitas pohon beringin sejak zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini. Popularitas tersebut didukung oleh 78

27 adanya kepercayaan masyarakat tentang mitologi, filosofi, sejarah dan fungsi pohon beringin dalam tata ruang Kota Yogyakarta. Dari hasil penelitian ditemukan dua spesies beringin (Ficus spp.) yakni Ficus benjamina dikenal dengan nama beringin dan Ficus ribes dikenal dengan nama Preh. Beringin tumbuh tersebar pada tepi jalan raya, halaman perkantoran/instansi, lapangan terbuka, dan taman rekreasi Kebun Binatang Gembira Loka (KBGL). Distribusi beringin di Kota Yogyakarta merupakan reaksi dari adanya aksi konservasi yang telah lama dilakukan oleh masyarakat Kota Yogyakarta. Telah disinggung di muka bahwa pohon beringin merupakan pohon keraton yang paling diistimewakan daripada pohon. Selain faktor aksi konservasi dari masyarakat Yogyakarta, distribusi beringin juga didukung oleh adanya faktor internal dari pohon beringin. Adapun faktor-faktor internal yang mempengaruhi distribusi beringin antara lain: 1) Pohon beringin secara praktis mudah tumbuh pada berbagai media dengan pemeliharaan bahkan tanpa pemeliharaan. Pohon beringin seperti yang telah disinggung di muka dapat tumbuh pada media beton, batu, dan pohon lainnya. 2) Arsitektur pohon beringin yang memiliki tajuk tebal dan rapat memiliki sifat selalu hijau (evergreen) dan juga mampu menyerap polutan dari udara. 79

28 3) Pohon beringin memiliki daya adaptasi tinggi, dapat tumbuh pada media marginal, mudah dibudidayakan dalam bis beton yang berada di tepi jalan. Sekalipun bis beton sudah hancur karena tekanan dari akar pohon beringin, tetapi pohon ini masih dapat hidup dengan memanfaatkan sela-sela paving. Hal tersebut dilakukan agar akar dapat masuk ke dalam tanah untuk menyerap unsur hara seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. 4) Pohon beringin memiliki akar nafas yang dapat menyerap polutan di udara dan dapat masuk ke dalam tanah bersamaan dengan akar utama. Fungsi akar beringin juga berkaitan dengan kemampuan beringin dalam perluasan bidang penyerapan unsur hara. a) b) Gambar 31. Kemampuan Beringin Tumbuh pada Media Bis Beton. a) Akar Beringin Masuk ke dalam Sela-sela Paving. b) Beringin Masih Dapat Tumbuh pada Bekas Pot/Bis. 80

29 5) Dalam pemeliharaan sebagai tanaman penghijau kota, pohon beringin dapat dipangkas sampai batas ujung batang komersil dan dapat trubus kembali, sehingga menjadikan pohon ini dapat dipelihara dalam berbagai perawatan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan. 2. Ukuran Pohon Beringin Ukuran pohon merupakan manifestasi pertumbuhan dan perkembangan. Ukuran pohon penting dalam bidang ekologi kaitannya dengan habitus dan fungsi dalam ekosistem. Ukuran pohon dalam ekosistem hutan kota merupakan salah satu komponen yang digunakan dalam menentukan fungsi dan peruntukan pohon dalam suatu kawasan. Parameter ukuran pohon dalam penelitian ini meliputi diameter, tinggi pohon, dan penutupan tajuk. a. Diameter batang setinggi dada Pohon beringin yang memiliki diameter setinggi dada diukur pada pohon yang normal. Diameter pohon tidak diukur pada pohon yang memiliki akar nafas, batang bonsai, habitus yang memiliki tinggi batang kurang dari 1,3 m dari pangkal batang, dan habitus semai. Data diameter batang setinggi dada digunakan untuk menentukan kategori habitus pohon beringin, umur dan basal area. Diameter batang juga dapat digunakan untuk mengukur estimasi Radius Persebaran Akar (RPA) pohon di dalam tanah. Ditemukan 6 kelompok habitus beringin di Kota Yogyakarta yang meliputi semai, pancang, tiang, pohon, bonsai dan epifit. Pengelompokan pancang, tiang, dan pohon berasal dari ukuran diameter. Habitus pancang 81

30 dikategorikan berdasarkan diameter batang yang besarnya kurang dari < 10 cm, tiang > 10 cm sampai < 20 cm, dan pohon dengan diameter > 20 cm. Habitus semai dikelompokkan berdasarkan ketinggiannya yakni < 150 cm. Bonsai dikelompokkan berdasarkan penampakan batang. Pengelompokkan epifit didasarkan pada adanya akar pembelit yang tumbuh pada pohon lain. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan sebanyak 257 habitus dengan jumlah pancang sebanyak 61, tiang sebanyak 128, dan pohon sebanyak 68. Menurut Day & Wiseman (2009: 1), pohon yang mempunyai diameter 15 cm perkiraan persebaran akar meliputi radius 6 m dari titik berdirinya batang pohon. Melalui persamaan tersebut dapat diprediksi Radius Persebaran Akar (RPA) pohon beringin di Kota Yogyakarta dengan asumsi bahwa penanaman beringin dalam pot diabaikan (Lampiran 3). Dari hasil perhitungan didapatkan rata-rata RPA pada pancang meliputi area 3,12 m dari batang. Tiang memiliki RPA sebesar 5,79 m, dan pohon memiliki RPA sebesar 10,47 m. b. Tinggi pohon beringin Seperti halnya pengukuran diameter batang setinggi dada. Pengukuran ketinggian pohon terbatas pada pohon tertentu. Pohon beringin dalam penelitian merupakan pohon penghijau khususnya pohon yang berada di tepi jalan. Perlakuan yang dilakukan oleh dinas terkait agar fungsi pohon penghijau tetap terpenuhi memberikan batasan dalam pengukuran tinggi pohon. Fungsi yang dimaksud ialah terutama fungsi estetika dan 82

31 keselamatan pengguna jalan. Perlakuan pemeliharaan yang mempengaruhi ketinggian pohon ialah pemangkasan (pruning). Pemangkasan yang dilakukan oleh pihak terkait (DLH Kota Yogyakarta) dilakukan setiap 3 bulan sekali. Berdasarkan pengamatan, terdapat tiga model pemangkasan yakni model piramida terbalik, model tabung, dan model bertingkat (Gambar 30). Tidak semua pohon yang tergolong dalam salah satu habitus (pancang, tiang, ataupun pohon) memiliki ukuran ketinggian. Hal tersebut, terbatas pada kondisi pohon yang dipangkas sehingga ukuran tinggi pohon tidak diukur seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh sebab itu, dilakukan uji t-test untuk mengetahui perbedaan rata-rata tinggi beringin yang ditemukan pada masing-masing habitus. Rata-rata tinggi pohon yang paling besar terdapat pada habitus pohon (N±mean±SD; 68 ± 9,16 ± 7,68). Habitus tiang memiliki rata-rata urutan kedua setelah habitus pohon (N±mean±SD; 128 ± 4,15 ± 3,08) sedangkan habitus pancang memiliki nilai rata-rata paling rendah diantara kedua habitus lainnya (N±mean±SD; 61 ± 4,06 ± 2,88). Rata-rata ketinggian dari seluruhnya ialah 5,79 m. Jumlah individu dalam kelompok pancang yang tidak terukur ketinggian pohonnya sejumlah 12 dari jumlah keseluruhan 61 individu, pada habitus tiang 18 dari 128 individu, dan pada pohon sejumlah 16 dari total keseluruhan 68 individu (Lampiran 4). 83

32 Pengukuran ketinggian yang diperoleh pada beringin dengan batang akar nafas dan habitus bonsai tersaji pada Lampiran 5. Dari total keseluruhan 505 individu Beringin yang berakar nafas, sebanyak 179 individu tidak terukur ketinggiannnya karena pohon terpapas. Sejumlah 326 individu beringin berakar nafas terukur ketinggiannya (N±mean; 326 ± 14,02). Habitus bonsai memiliki individu yang terukur ketinggiannya sebanyak 28 individu dari keseluruhan 34 individu bonsai. Sejumlah 6 individu bonsai tidak terukur ketinggiannya. Habitus bonsai yang terukur ketinggiannya memiliki rata-rata sebesar (N±mean: 28 ± 8,8). Beringin yang termasuk ke dalam kategori tinggi batang < 1,3 m sebanyak 26 individu tidak terukur ketinggiannya sedangkan sebanyak 19 individu terukur ketinggiannya dari keseluruhan jumlah 45 individu beringin. Individu yang terukur ketinggiannya memiliki rata-rata paling rendah tinggi kurang dari <1,3 m (N±mean: 19 ± 5,03) dibandingkan bonsai. c. Umur pohon beringin Umur pohon beringin dihitung dari perolehan diameter setinggi dada. Pengukuran jari-jari dan jumlah lingkaran tahun (annual ring) dilakukan pada pohon sampel yang berada di Jalan Sugeng Jeroni arah barat pohon ke-10 pada sub individu ke-2 dengan keliling 45 cm sehingga diperoleh diameter dan jari-jari sebesar masing-masing 14 cm dan 7 cm (setelah dibulatkan). Berdasarkan pengamatan diperoleh sejumlah 14 lingkaran pada pohon sampel (Gambar 9). Kemudian dicari besarnya penambahan 84

33 lingkaran tahun per tahun dengan pembagian antara jari-jari dengan jumlah lingkaran tahun pada pohon sampel. Setelah dilakukan perhitungan dengan pembagian tersebut diperoleh angka sebesar 0,5 cm/ring. Perhitungan umur pohon dilakukan melalui pembagian antara jari-jari (r) dengan penambahan lingkaran tahun per tahunnya. Dengan demikian, dapat diperoleh perhitungan umur pada pohon beringin di Kota Yogyakarta khususnya pada beringin yang terukur diameternya. Berdasarkan hasil analisis t-test diperoleh beda rata-rata umur antar ketiga habitus. Pancang memiliki nilai rata-rata umur yang paling rendah (N±mean±SD; 61 ± 7,8 ± 1,7) sedangkan tiang memiliki niali rata-rata yang lebih tinggi (N±mean±SD; 128 ± 14,4 ± 2,4). Pohon memiliki nilai rata-rata umur paling tinggi dibandingkan dengan kedua habitus lainnya (N±mean±SD; 68 ± 26,1 ± 7,0). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan umum bahwa semakin lama waktu suatu tumbuhan tumbuh maka akan semakin tua umurnya. Pernyataan ini berlaku bagi pohon kota yang dibuktikan dengan uji beda rata-rata terhadap umur pohon beringin di Kota Yogyakarta. Penanaman dalam pot pada pohon beringin di Kota Yogyakarta yang telah terukur ternyata secara deskriptif tidak memberikan pengaruh yang begitu nyata pada ketiga habitus (pancang, tiang, dan pohon). Hal tersebut ditunjukkan pada beda rata-rata antar ketiga habitus tersebut. Selain penanaman dalam pot, pohon beringin yang ditemukan juga mengalami 85

34 pemangkasan secara periodik. Pemangkasan mengakibatkan pertumbuhan pohon menjadi lambat. Hal tersebut terlihat pada pengamatan terhadap pohon beringin yang mengalami pemangkasan periodik dalam jangka waktu yang lama secara performansi akan mengalami perubahan menjadi bonsai (kerdil). Walaupun demikian, hal ini memberikan nilai positif terhadap fungsi estetika beringin sebagai pohon kota. Dengan demikian, umur pohon beringin di Kota Yogyakarta dilihat dari perbandingan beda rata-rata antara pancang, tiang, dan pohon tidak dipengaruhi oleh adanya penanaman dalam pot/bis dan pemangkasan. Grafik 5. Jumlah Kategori Umur Pohon Beringin Kategori umur pohon beringin didasarkan pada interval 5 angka (1-5 th, 6-10 th, th, th, th, th, th, th, th, th, 86

35 51-55 th, th, th ). Jumlah individu kategori umur pada interval 1-5 th terdapat 8 individu, pada interval 6-10 th tedapat 54 individu, interval th terdapat 94 individu, interval th terdapat 35 individu, dan interval th, th, th, th, th, th, th, th, th dengan masing-masing jumlah individu 38, 15, 2, 1, 3, 1, 0, 0,1. Kategori umur pohon dengan jumlah individu paling banyak terdapat pada interval umur th sedangkan kategori umur dengan jumlah individu terkecil terdapat pada interval th, th, dan th dengan masing-masing jumlah 1 individu. Rata-rata umur pohon beringin di Kota Yogyakarta sebesar 15,9 tahun dengan nilai tengah 14,4 tahun. Dengan pengertian lain bahwa umur pohon beringin mayoritas sebesar 15,9 tahun dengan variasi dari total keseluruhan umur pohon yang terhitung sebesar 61,2 (enam puluh satu koma dua). Rata-rata umur tersebut berhubungan dengan kategori jumlah pohon yang paling banyak ditemukan yakni pada habitus tiang. Habitus tiang beringin di Kota Yogyakarta terhitung sebesar 128 individu dengan rentang umur sekitar 10 sampai 20 tahun. Hubungan diameter dengan umur diperoleh melalui pengujian korelasi Pearson. Berdasarkan uji tersebut (Lampiran 10), diameter menunjukkan hubungan secara positif dengan umur (r= 1.000). Nilai r hubungan diameter dengan umur adalah 0,000 (0,000<0,05) yang berarti korelasi antar kedua variabel adalah signifikan. Hubungan korelasi termasuk ke dalam kategori korelasi sempurna yang ditunjukkan dengan perolehan harga sebesar 1. Hal 87

36 tersebut dapat dijelaskan dengan rumus yang digunakan untuk menghitung umur pohon. Pada pohon sampel untuk menghitung umur pohon (Gambar 9) terukur jari-jari sebesar 7 cm dengan jumlah lingkaran tahun sebanyak 14 lingkaran. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan penambahan besar lingkaran tahun per tahunnya dengan pembagian jari-jari dengan jumlah lingkaran sehingga didapatkan angka 0,5 cm/ring. Sehingga nilai umur yang diperoleh akan sama dengan nilai diameter yang terukur. Hal ini, hanya terjadi pada penambahan lingkaran tahun per tahun sebesar 0,5 cm/ring. d. Basal Area (BA) dan Proporsi Crown Cover (CC) beringin Besarnya intersepsi kaitannya dengan umur pohon akan berbeda mengingat umur pohon kaitannya dengan habitus sedangkan habitus berkaitan dengan basal area. Basal area berkaitan dengan tajuk, tajuk inilah yang akan menampung air hujan. Berdasarkan uji beda rata-rata habitus pancang yang telah terukur memiliki basal area paling kecil (mean±sd; 24,5 ± 5,4) sedangkan tiang memiliki basal area yang lebih besar daripada pancang (mean±sd; 45,2 ± 7,7). Habitus pohon memiliki basal area paling besar dibandingkan dengan kedua habitus tersebut di atas (mean±sd; 82,7 ± 22,3). Luas penutupan tajuk pohon sampel pada pancang sebesar 5,93 m 2, tiang 35,76 m 2, dan pohon 572,26 m 2. Basal area dan luas penutupan tajuk beringin besar nilainya berbanding lurus. Pengukuran persentase luas penutupan tajuk hanya dilakukan pada sampel pohon yang berada di 88

37 tengah-tengah Alun-alun Selatan. Estimasi penutupan tajuk pohon beringin sebesar 90% dan termasuk kategori Domin-Kranji level 9 yang berarti pohon beringin memiliki penutupan tajuk hampir penuh. Dengan demikian, cahaya matahari yang melewati tajuk pohon beringin sebesar 10% dan tingkat absorbansinya sebesar 90%. Gambar 32. Persentase Penutupan Tajuk Pohon Beringin Basal area merupakan salah satu pengukuran oleh karena adanya tajuk selain luas penutupan tajuk. Berbeda dengan tumbuhan lainnya marga Ficus mempunyai akar nafas termasuk salah satunya yang paling dikenal ialah beringin (Ficus benjamina). Tajuk beringin yang rapat dan lebar serta lebatnya akar nafas yang tumbuh di sekitar batangnya membuat pohon ini menampung lebih banyak air hujan seluas permukaan tajuk dan akar nafasnya (Gambar 33). Kerapatan tajuk merupakan salah satu parameter kerapatan vegetasi selain komposisi. 89

38 Dengan adanya kerapatan tajuk dan akar nafas pada beringin memberikan peluang kemungkinan kelipatan jumlah air hujan yang terintersepsi dan yang lolos melalui aliran batang. Begitupula terjadi kenaikan besarnya transpirasi oleh pohon beringin oleh karena luasnya tajuk dan akar nafas tersebut. Kelipatan tersebut di atas dibandingkan dengan pohon yang memiliki tajuk kerapatan sama tetapi tidak memiliki Gambar 33. Akar Nafas pada Pohon Beringin Tua akar nafas. Dengan demikian, perlu diadakannya penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan besarnya intersepsi pada pohon beringin dengan pohon lainnya. Tentunya perbandingan tersebut harus memiliki kesepadanan luas tajuk antar kedua pohon yang akan dibandingkan besarnya intersepsi tersebut. 90

39 3. Kemampuan Beringin dalam Mereduksi Bahan Pencemar Udara Telah dilakukan penelitian terhadap kemampuan beringin kota (urban weeping fig) dalam menyerap (absorbsi) dan menjerap (adsorbsi) logam berat Pb pada kulit batang dan daun. Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan daun beringin dalam menjerap partikel debu. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa beringin benar-benar mampu menyerap dan menjerap Pb melalui daun dan kulit batangnya. Selain menyerap dan menjerap Pb, beringin juga mampu menyerap partikel debu melalui permukaan daunnya. Jenis beringin yang ditemukan dan sekaligus sebagai pohon sampel meliputi Ficus benjamina (beringin) dan Ficus ribes (preh). a. Kandungan logam berat timbal (Pb) pada beringin dan preh Hasil penelitian terhadap kemampuan beringin dan preh dalam menyerap dan menjerap logam berat Pb ditunjukkan pada Grafik 6. Ketiga sampel kulit batang beringin secara keseluruhan dari hasil rata-rata memiliki kandungan sebesar 0,5 mg/kg logam Pb dalam 15 g bobot kering. Pada sampel kulit batang beringin (1) memiliki angka sebesar 1,1 mg/kg. Angka tersebut terpaut tinggi jika dibandingkan dengan kedua sampel lainnya yakni sebesar 0,1 mg/kg pada sampel (2) dan 0,3 mg/kg pada sampel (3). Rata-rata kandungan Pb pada kulit batang preh sebesar 0,1 mg/kg dalam 15 g bobot kering. Dari ketiga sampel kulit batang preh yang telah diuji, hanya terdapat dua sampel yang positif mengandung Pb yakni pada sampel (1) sebesar 0,3 mg/kg, pada sampel (2) sebesar 0,1 mg/kg, 91

40 sedangkan sampel (3) tidak terdeteksi adanya logam Pb di dalam kulit batang preh. Perbandingan kedua spesies sampel pohon preh dan beringin dalam menjerap logam berat Pb yakni 1:5. Artinya kedua sampel pohon mampu menyerap dan menjerap polutan Pb. Akan tetapi, sampel pohon beringin lebih efisien dalam menyerap dan menjerap Pb melalui kulit batangnya. Grafik 6. Kandungan Pb pada Kulit Batang Beringin dan Preh Menimbang dari hasil perbandingan tersebut di atas terdapat faktor kemungkinan yang mempengaruhi kandungan Pb sekaligus dapat dijadikan parameter dalam pengukuran Pb khususnya pada pohon kota (urban trees). Umur pohon sampel perlu diperhatikan dalam menguji perbandingan dua spesies ataupun lebih terhadap kandungan Pb di dalam kulit batang maupun di dalam batang pohon. Batang dan kulit batang memiliki keterkaitan langsung dari awal pertumbuhan pohon hingga pohon dijadikan sampel. 92

41 Kedua sampel pohon yang digunakan dalam penelitian ini hampir memiliki umur yang sama berdasarkan perhitungan menggunakan konversi diameter pohon. Pengukuran umur tersebut terikat pada pertimbangan bahwa pohon sampel merupakan pohon kota bukan pohon alam yang secara alami hidup bebas. Berdasarkan perhitungan, pohon preh yang ditemukan di lapangan berumur 15,9 tahun sedangkan pohon beringin berumur 14,3 tahun. Umur pohon beringin hanya terpaut 1,6 tahun dari pohon preh. Melihat hasil keseluruhan Pb yang terjerap pada kulit batang beringin sebesar 0,5 mg/kg sedangkan pada kulit batang preh sebesar 0,1 mg/kg. Logikanya semakin tua umur pohon maka kandungan Pb yang terakumulasi di dalam batang maupun kulit batang akan semakin banyak. Fakta yang diperoleh dari hasil pengujian kandungan Pb pada kulit batang dalam penelitian ini tidak menunjukkan hal demikian. Sebaliknya, kandungan Pb yang lebih banyak terdapat pada kulit batang Beringin yang memiliki umur lebih muda dari pohon preh. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor yakni perbedaan lokasi kedua sampel pohon, lamanya waktu lampu merah menyala, lebar jalan, volume kendaraan, jenis kendaraan, dan jenis bahan bakar. Pohon sampel yang digunakan berada dekat dengan lampu merah yakni pohon beringin yang memenuhi kategori terdapat di Jalan Tamansiswa arah utara (barat jalan) pohon ke-49. Sampel pohon preh yang memenuhi kategori dekat lampu merah dan ketegori lainnya di Jalan Sugeng Jeroni 93

42 arah barat (selatan jalan) pohon ke-9. Kategori lainnya ialah sampel kulit batang berada pada ketinggian ±3 m dari atas permukaan tanah dan pengambilan sampel dilakukan pada kulit batang yang berhadapan dengan jalan. Akan tetapi, kenyataan yang ditemukan di lapangan pada penentuan pohon sampel preh khususnya. Pohon preh yang terdapat paling dekat dengan lampu merah di Jalan Sugeng Jeroni (arah barat, selatan jalan pohon ke-10) seluruh permukaan kulit batangnya yang berada sekitar ±3 m sampai percabangan batang tercemar cat. Dengan demikian, di pilih pohon ke-9 tersebut di atas. Meskipun pohon tersebut juga tercemar cat pada bagian berada di bawah ketinggian sekitar ±3 m. Akan tetapi, pengambilan sampel kulit batang preh masih dapat dilakukan pada bagian yang tidak terkena cat pada ketinggian tersebut. Adanya pencemaran cat pada kulit batang sampel akan mempengaruhi kuantitas kandungan Pb. Telah diketahui bahwa cat mengandung campuran unsur logam berat Pb. Oleh karenanya, dalam kasus pengambilan sampel untuk keperluan pengujian Pb sekiranya hal-hal lain yang mengandung Pb harus dihindarkan agar sampel betul-betul murni berasal dari cemaran yang diinginkan. Dalam penelitian ini, sumber cemaran yang diinginkan ialah polutan asap kendaraan bermotor. Pertimbangan lain dalam menguji perbandingan kandungan Pb pada beberapa spesies tanaman pada kulit batang atau batang pohon ialah tekstur permukaan kulit batang. Permukaan kulit batang preh memiliki tekstur lebih halus ketimbang permukaan kulit batang beringin yang bertekstur 94

43 kasar (Gambar 34). Beringin yang kulit batangnya bertekstur kasar memiliki kandungan Pb yang tinggi. Hal ini senada dengan pernyataan Fandeli (2004: 65), kandungan Pb yang terjerap dan terserap dipengaruhi oleh kekasaran kulit batang. Beberapa pohon yang berkulit kasar mempunyai kandungan Pb yang tinggi. Tekstur permukaan kulit batang lebih berpengaruh terhadap kandungan Pb yang terserap dan terjerap ketimbang ukuran daun. 1) 2) Gambar 34. Tekstur Permukaan Kulit Batang Pohon Sampel. 1) Permukaan Kulit Batang Beringin. 2) Permukaan Kulit Batang Preh Kandungan Pb pada daun beringin dan daun preh terlihat pada Grafik 7. Dari masing-masing tiga sampel daun dengan berat masing-masing 15 g bobot kering diperoleh rata-rata kandungan Pb pada daun beringin sebesar 0,3 mg/kg dan daun preh sebesar 0,6 mg/kg. Hasil rata-rata tersebut didapatkan perbandingan kandungan Pb pada daun beringin dan preh sebesar 1:2. Artinya daun preh dalam menyerap dan menjerap Pb lebih 95

44 efisien dibandingkan daun beringin. Pada grafik tersebut menunjukkan bahwa sampel daun beringin (1) menyerap dan menjerap Pb sebanyak 0,3 mg/kg, sampel (2) sebanyak 0,4 mg/kg, dan sampel (3) sebanyak 0,2 mg/kg. Angka perolehan tersebut terpaut tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan kandungan Pb yang diserap dan dijerap oleh daun preh. Pada sampel daun Grafik 7. Kandungan Timbal (Pb) pada Daun Beringin dan Preh Preh (1) terkandung Pb sebesar 0,4 mg/kg, sampel (2) sebesar 0,5 mg/kg. Terjadi lonjakan angka terhadap kandungan Pb pada sampel (3) daun preh yakni sebesar 1,0 mg/kg. Merujuk pada grafik dan hasil pembahasan, pada sampel kulit batang dibandingkan dengan preh maka beringin memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyerap dan menjerap Pb. Pada sampel daun, Pb yang terserap dan terjerap pada preh lebih tinggi dibandingkan beringin. Artinya, fungsi kedua spesies beringin dan preh dalam menyerap dan menjerap Pb hasil emisi 96

45 pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor saling melengkapi. Dalam artian salah satu spesies tidak berperan dominan dalam menyerap dan menjerap Pb. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua spesies sebagai tanaman penghijau jalan di Kota Yogyakarta memiliki keseimbangan fungsi dalam menyerap polutan Pb. Daun memiliki umur tersendiri berbeda dengan kulit batang dan batang yang umurnya merupakan penentu umur pohon. Oleh karena itu, sampel daun yang digunakan merupakan daun dewasa yang diasumsikan bahwa daun tersebut memiliki kandungan Pb yang terjerap dan terserap secara tersendiri. Walaupun, dalam proses metabolisme tumbuhan daun memperoleh asupan hara dari jaringan akar dan batang. Oleh karenanya, dalam kasus penelitian ini umur pohon bukan menjadi suatu parameter pertimbangan dalam pengujian kandungan Pb yang terjerap dan terserap pada daun. Ukuran daun merupakan parameter pertimbangan yang secara konkret berpengaruh terhadap kandungan Pb. Ukuran daun Preh lebih kecil dibandingkan ukuran daun beringin yang lebih besar (Gambar 35). Akan tetapi, kemampuan dalam menyerap dan menjerap Pb lebih tinggi pada sampel daun Preh dan sampel daun Beringin memiliki kemampuan yang lebih rendah. Logikanya permukaan daun yang lebih luas seharusnya dapat menampung Pb yang lebih banyak. Kenyataan dari hasil pengujian kandungan Pb pada sampel daun tidak demikian. Beberapa kemungkinan yang dapat mempengaruhi kandungan Pb pada sampel daun tersebut di atas 97

46 ialah lokasi, perbedaan lokasi sampel pohon, lamanya waktu lampu merah menyala, lebar jalan, volume kendaraan, jenis kendaraan, dan jenis bahan bakar. 1) 2) Gambar 35. Ukuran Daun Pohon Sampel. 1) Daun Preh. 2) Daun Beringin. Kesamaan dari kedua spesies sampel pohon beringin dan preh yakni berada paling dekat dengan lampu merah. Akan tetapi, keduanya berada pada lokasi yang berbeda. Sampel pohon beringin berada di Jalan Tamansiswa sedangkan pohon preh berada di Jalan Sugeng Jeroni. Perbedaan lokasi tersebut dipengaruhi oleh volume kendaraan yang lewat. Volume kendaraan yang lewat akan berpengaruh terhadap sumbangsih polusi hasil emisi kendaraan terutama Pb. Emisi kendaraan dipengaruhi oleh adanya jenis bahan bakar yang digunakan. Lama waktu kendaraan 98

47 berhenti saat lampu merah menyala hingga muncul lampu hijau tanda kendaraan berjalan akan mempengaruhi besaran emisi yang dihasilkan. Selain hal-hal tersebut di atas, angin merupakan agen yang berperan dalam distribusi Pb di udara. Di Jalan Tamansiswa terdapat dua Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) yang dalam istilah penelitian ini disebut dengan lampu lalin. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada lampu merah bagian utara yang merupakan lokasi dekat dengan sampel pohon beringin memiliki lama waktu lampu merah menyala selama 123 detik dengan lebar jalan berlawanan arah ± 6 meter, sedangkan lampu merah bagian barat Jalan Sugeng Jeroni yang juga merupakan lokasi dekat dengan sampel pohon preh memiliki lama waktu lampu merah selama 82 detik dengan lebar jalan berlawanan arah ± 8 meter. Lebar jalan akan mempengaruhi tata letak kendaraan berhenti yang berakibat pada besaran emisi. Selain waktu dan lebar jalan, jarak antara lampu lalin dengan pohon sampel terkait dengan emisi kendaraan akan berpengaruh terhadap polutan yang dijerap maupun diserap oleh organ-organ pohon tersebut. Jarak antara pohon sampel pada kedua lokasi tersebut hampir sama yakni ± 50 meter dari lampu lalin. Selain jarak, faktor lain yang akan berpengaruh terhadap adsorpsi dan absorpsi polutan oleh tumbuhan ialah lebar jalan yang berada dekat lampu lalin dan sampel pohon. 99

48 b. Pohon beringin dan preh dalam menjerap partikel debu Debu yang melayang-layang di udara dapat tertangkap oleh adanya tumbuhan dengan habitus semai, pancang, tiang, dan pohon. Debu yang tertangkap tersebut akan mengalami peristiwa sorpsi pada organ-organ tumbuhan seperti kulit batang, cabang, ranting dan daun. Semua jenis daun tumbuhan mampu menjerap partikel debu dari udara termasuk daun pohon beringin dan preh. Debu yang diukur hanya debu yang berasal dari peristiwa penjerapan (adsorpsi) pada permukaan luar daun. Debu yang terjerap pada daun beringin dan preh diambil untuk kemudian diukur beratnya. Pengukuran berat debu menggunakan metode gravimetri seperti yang telah dijelaskan di muka. 1) Berat debu hasil jerapan daun dan berat debu per pengamatan Berat debu yang terjerap pada permukaan luar daun beringin dan breh diukur menggunakan timbangan analitik dengan satuan berat gram. Dilakukan sebanyak empat kali pengamatan dengan lima kali ulangan sampel dalam pengukuran debu melalui metode gravimetri. Selisih jumlah hari menjadi pertimbangan dalam pengamatan jerapan debu. Pengamatan kedua terpaut dua hari dari pengamatan ke-1, begitu seterusnya untuk pengamatan ke-3 dan ke-4. Pengambilan sampel daun pengamatan pertama dilakukan pada tanggal 2 September Secara berurutan pengambilan sampel daun kedua, ketiga, dan keempat dilakukan pada tanggal 4, 6, dan 8 September

49 Grafik 8. Rata-rata Jerapan Debu pada Daun Beringin dan Preh Jerapan debu hasil pengukuran ditunjukkan pada Grafik 8. Pengamatan pertama pada sampel daun beringin menunjukkan berat debu yang terjerap sebesar 0,01476 g sedangkan pada sampel daun Preh debu yang terjerap sebesar 0,00378 g. Pengamatan ke-2 tertera angka sebesar 0,01324 g dan pengamatan ke-3 angka yang tertera sebesar 0,01094 g pada sampel daun beringin. Angka tersebut mengalami penurunan dari pengamatan pertama. Hal serupa juga terjadi pada sampel daun preh. Debu yang terjerap pada daun preh pada pengamatan ke-2 sebesar 0,00266 g dan pengamatan ke-3 sebesar 0,00174 g. Hasil pengukuran pada ketiga pengamatan tersebut dari dua jenis sampel daun beringin dan daun preh terus mengalami penurunan angka. Terjadi peningkatan angka yang begitu berarti bagi kepentingan fungsi daun 101

50 beringin dan preh dalam menjerap debu. Hal tersebut ditunjukkan pada pengamatan ke-4 khususnya pada sampel daun beringin. Tertera angka sebesar 0,11348 g pada pengamatan ke-4. Angka ini melebihi skala 0,1 yang tertera pada nilai aksis vertikal dari grafik di atas. Berat debu yang terjerap pada daun preh pengamatan ke-4 juga mengalami kenaikan angka sebesar 0,00396 g. Dihitung rata-rata dari keempat pengamatan maka terdapat angka sebesar 0, g debu yang terjerap pada daun beringin. Rata-rata keempat pengamatan terhadap debu yang terjerap pada sampel daun preh sebesar 0, g. Dari perhitungan rata-rata kedua sampel tersebut pada masing-masing pengamatan jelas terlihat bahwa daun beringin memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun preh. Rata-rata luas daun beringin dari keempat pengamatan lebih besar dibandingkan dengan daun preh (Grafik 9). Luas daun beringin pada pengamatan ke-1, 2, dan 3 secara berurutan terus mengalami kenaikan angka terhadap luas daun. Akan tetapi, hal tersebut tidak berdampak pada kenaikan angka terhadap debu yang terjerap pada daun beringin. Sebaliknya, debu yang terjerap pada sampel daun beringin dari pengamatan ke-1,2, dan 3 secara berurutan mengalami penurunan angka. Logikanya, semakin luas daun maka debu yang terjerap akan semakin tinggi. Penurunan angka jerapan debu juga terjadi pada sampel daun preh pada pengamatan yang sama. Faktor yang menyebabkan 102

51 fluktuasi pada grafik di atas ialah terjadinya hujan pada rentang hari pengambilan sampel. Hujan terjadi tepat satu hari sebelum pengambilan sampel pengamatan ke-2 dan pengamatan ke-3. Oleh karena itu, terjadi penurunan angka jerapan debu pada pengamatan ke-2 dan ke-3. Pada pengambilan sampel daun untuk pengamatan ke-4 tidak terjadi hujan pada hari sebelumnya. Terjadi kenaikan angka jerapan debu pada Beringin dan Preh walaupun luas daun kedua jenis sampel ini lebih rendah dibandingkan dengan luas daun pada pengamatan ke-3. Grafik 9. Rata-rata Luas Daun Beringin dan Preh Perolehan angka jerapan debu per pengamatan ditunjukkan pada Grafik 10. Grafik tersebut bersifat fluktuatif seperti halnya pada grafik sebelumnya karena angka-angka yang diperoleh merupakan hasil konversi dari Grafik 8 jerapan debu pada daun Beringin dan Preh. 103

BAB I PENDAHULUAN. Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek

BAB I PENDAHULUAN. Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek fundamental dalam pengelolaan lingkungan khususnya dalam konservasi keanekaragaman hayati.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sugiyono (2015: 7-8), penelitian kuantitatif berlandaskan pada filsafat positivisme

BAB III METODE PENELITIAN. Sugiyono (2015: 7-8), penelitian kuantitatif berlandaskan pada filsafat positivisme BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Menurut Sugiyono (2015: 7-8), penelitian kuantitatif berlandaskan pada filsafat positivisme

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN DISTRIBUSI BERINGIN (Ficus spp.) SEBAGAI MITIGASI PENCEMARAN UDARA DI KOTA YOGYAKARTA

EKSISTENSI DAN DISTRIBUSI BERINGIN (Ficus spp.) SEBAGAI MITIGASI PENCEMARAN UDARA DI KOTA YOGYAKARTA Eksisitensi dan Distribusi... (Lain Miftahu Suad) 165 EKSISTENSI DAN DISTRIBUSI BERINGIN (Ficus spp.) SEBAGAI MITIGASI PENCEMARAN UDARA DI KOTA YOGYAKARTA EXISTENT AND DISTRIBUTION OF WEEPING FIG (Ficus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sempurna. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon

BAB I PENDAHULUAN. sempurna. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang cukup besar. Di sisi lain dengan makin meningkatnya jumlah kendaraan dan pemakaian bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses meningkatnya suhu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SINTESIS

ANALISIS DAN SINTESIS 55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Batam sebagai salah satu daerah industri yang cukup strategis, membuat keberadaan industri berkembang cukup pesat. Perkembangan industri ini di dominasi oleh industri berat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UMUM Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan

Lebih terperinci

REKOMENDASI Peredam Kebisingan

REKOMENDASI Peredam Kebisingan 83 REKOMENDASI Dari hasil analisis dan evaluasi berdasarkan penilaian, maka telah disimpulkan bahwa keragaman vegetasi di cluster BGH memiliki fungsi ekologis yang berbeda-beda berdasarkan keragaman kriteria

Lebih terperinci

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut : BENTUK DAN FUNGSI HUTAN KOTA 1. Bentuk Hutan Kota Pembangunan hutan kota dan pengembangannya ditentukan berdasarkan pada objek yang dilindungi, hasil yang dicapai dan letak dari hutan kota tersebut. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hutan merupakan bagian penting di negara Indonesia. Menurut angka resmi luas kawasan hutan di Indonesia adalah sekitar 120 juta hektar yang tersebar pada

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan arteri primer

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

Peta PT. Pindo Deli Pulp and Paper Mills Karawang Sumber: Gambar 3. Lokasi Penelitian

Peta PT. Pindo Deli Pulp and Paper Mills Karawang Sumber:  Gambar 3. Lokasi Penelitian 25 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama 6 bulan, berlangsung dari bulan Maret 2010 sampai bulan Agustus 2010. Penelitian ini mengambil tempat di Kawasan Industri PT Pindo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan akan menyebabkan kualitas lingkungan menurun karena tingginya aktivitas manusia. Perkembangan kota seringkali diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

BAB VI R E K O M E N D A S I

BAB VI R E K O M E N D A S I BAB VI R E K O M E N D A S I 6.1. Rekomendasi Umum Kerangka pemikiran rekomendasi dalam perencanaan untuk mengoptimalkan fungsi jalur hijau jalan Tol Jagorawi sebagai pereduksi polusi, peredam kebisingan

Lebih terperinci

Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem

Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem DAYA DUKUNG LINGKUNGAN JASA EKOSISTEM PADA TUTUPAN HUTAN DI KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Daya Dukung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. DAS ini memiliki panjang sungai utama sepanjang 124,1 km, dengan luas total area sebesar

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 1. Lokasi Kasus Penelitian

METODOLOGI. Gambar 1. Lokasi Kasus Penelitian 8 METODOLOGI Lokasi dan waktu Penelitian ini dilakukan dengan memilih kasus di sepanjang Jalan KH. Rd. Abdullah bin Nuh, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pohon Plus Pohon induk merupakan pepohonan terpilih di antara pepohonan yang ada di suatu areal pengelolaan hutan yang di tunjuk sebagai pohon tempat pengambilan organ

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora) maupun binatang (fauna) dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi dan dengan luas sedemikian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... 1 Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tujuan... 5

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... 1 Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tujuan... 5 1 DAFTAR ISI Kata Pengantar... 1 Daftar Isi... 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 3 1.2 Permasalahan... 4 1.3 Tujuan... 5 BAB II PEMBAHASAN/ISI 2.1 Hakikat Penghijauan Lingkungan... 6 2.2 Peran

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

IV. Pemilihan Tanaman Lanskap Kota

IV. Pemilihan Tanaman Lanskap Kota Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) IV. Pemilihan Tanaman Lanskap Kota Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan,S.P., MAgr, PhD. Tujuan Memahami kriteria tanaman Lanskap Kota Mengetahui berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki manfaat serbaguna dalam kehidupan. Selain sebagai sumber daya penghasil kayu dan sumber pangan yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Central Business District (CBD) Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang, pada Pasal 1 disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai

Lebih terperinci

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif PEMBAHASAN UMUM Dalam studi ini salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan antara konsentrasi partikel Pb yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dengan besarnya penurunan konsentrasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 19 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENGHIJAUAN KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi. MINGGU 3 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 1 Sub Pokok Bahasan : a. Pengertian ekosistem b. Karakteristik ekosistem c. Klasifikasi ekosistem Pengertian Ekosistem Istilah ekosistem merupakan kependekan dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Rumput dapat dikatakan sebagai salah satu tumbuh-tumbuhan darat yang paling berhasil dan terdapat dalam semua tipe tempat tumbuh dan pada bermacam-macam keadaan. Bentuk

Lebih terperinci

III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA

III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) III. RUANG DAN FUNGSI TANAMAN LANSKAP KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan, S.P., MAgr, PhD. Tujuan Memahami bentuk-bentuk ruang dengan tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9)

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota merupakan suatu tempat yang menjadi pusat dari berbagai kegiatan manusia. Saat ini kota menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan pemukiman.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1 Peta Lokasi Jalur Hijau Jalan Gerilya Kota Purwokerto. bio.unsoed.ac.id

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1 Peta Lokasi Jalur Hijau Jalan Gerilya Kota Purwokerto. bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah HCl 0,7 %, NaOH1 N, ZnSO4 5%, Ba(OH)2 0,3 N, Akuades, Pereaksi Cu, Alkohol 70%. Sedangkan alat yang digunakan adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padi Padi merupakan tanaman pertanian kuno yang sampai saat ini terus dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan merupakan tanaman pangan yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERTAMANAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan keindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan faktor penting kehidupan, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan. Perubahan

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Emisi Karbondioksida (CO 2 ) yang Dikeluarkan Kendaraan Bermotor di Kota Bogor Tahun 2010 Emisi CO 2 dari kendaraan bermotor dapat diketahui dengan cara terlebih dahulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Papilionaceae; genus Arachis; dan spesies Arachis hypogaea L. Kacang tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43), BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kota berupa pembangunan infrastruktur, namun sayangnya terdapat hal penting yang kerap terlupakan, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Lingkup Arsitektur Lansekap Lansekap sebagai gabungan antara seni dan ilmu yang berhubungan dengan desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya merupakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena makhluk hidup sangat dianjurkan. Kita semua dianjurkan untuk menjaga kelestarian yang telah diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah perkotaan pada umumnya tidak memiliki perencanaan kawasan yang memadai. Tidak terencananya penataan kawasan tersebut ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara semakin hari semakin memprihatinkan. Terutama dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut Ismiyati dkk (2014), kendaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama menjadi bagian budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian ribuan tahun yang lalu. Mula-mula manusia membunuh

Lebih terperinci