BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
|
|
- Irwan Tedjo
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentukbentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memiliki kontrol terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ. Hukum Nasional : Dalam pasal 297 KUHP tidak diatur pengertian perdagangan orang secara jelas. Dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
2 pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 2. Hukuman yang Berlaku Protokol Palermo Tahun 2000 : Negara penerima trafficking sesuai protokol PBB memiliki kewajiban Hukum Nasional : mengembalikan korban trafficking(pasal 8) Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak lakilaki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 2 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
3 orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (enam ratus juta rupiah). 3. Status Korban Perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Sebagai tambahan atas pengambilan langkah-langkah menurut pasal 6 Protokol ini, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang layak yang memungkinkan korban perdagangan orang untuk tetap tinggal di wilayahnya,sementara maupun permanen, dalam kasuskasus tertentu(pasal 7) Dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam ayat 1 pasal ini, setiap Negara Pihak harus memberikan pertimbangan yang layak atas faktor-faktor kemanusiaan dan kasih(pasal 7) Hukum Nasional : Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahliwarisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian
4 atas: kehilangan kekayaan atau penghasilan penderitaan biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibatperdagangan orang 4. Tempat rehabilitasi korban perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Tidak dijelaskan sama seperti dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007, tetapi secara terperinci mengatur keamananan, hak, fasilitas yang diberikan terhadap korban perdagangan orang. Hukum Nasional : Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. (Pasal 52). 5. Pemulangan korban perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Wajib dipulangkan ke negera asalnya tanpa penundaan yangberlebihan atau tidak beralasan, harus memverifikasi apakah orang yang menjadi korban perdagangan orang adalah warga
5 negaranya atau mendapatkan hak sebagai penduduk tetap di dalam wilayahnya pada saat orang tersebut memasuki wilayah dari Negara Pihak penerima (Pasal 8). Hukum Nasional : Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang (Pasal 51) 6. Kebijakan-Kebijakan Negara Protokol Palermo Tahun 2000 : a. Untuk mencegah dan memerangi perdagangan; dan b. Untuk melindungi korban perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, dari kemungkinan untuk menjadi korban kembali. Negara-negara Pihak harus berupaya keras untuk melaksanakan langkah-langkah lain yang ditetapkan seperti penelitian, informasi dan kampanye media masa dan inisiatif-inisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah dan memerangi perdagangan. Kebijakan-kebijakan, program-program, dan langkah-langkah lain yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini haruslah, secara layak, menyertakan kerja sama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat sipil lainnya. Hukum Nasional :
6 Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateralpasal 59 ayat (1) 7. Pencegahan dan pemberantasan korban perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Negara-negara Pihak harus mengambil atau memperkuat langkahlangkah lain, termasuk melalui kerja sama bilateral atau multilateral, untuk menekan faktor-faktor yang menyebabkan orang-orang, terutama perempuan dan anak-anak, menjadi rentan terhadap perdagangan, seperti misalnya kemiskinan, keterbelakangan pembangunan dan kurangnya kesempatan yang setara(pasal 9) Hukum Nasional : Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang (Pasal 57 ayat (1)). B. ANALISIS Komparisi Protokol Palermo dan Undang-Undang Di Indonesia yang mengatur tentang Human Trafficking 1. Defenisi Human Trafficking Berdasarkan pengertian tentang perdagangan orang (Human Trafficking) yang tertuang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 yang mana perdagangan
7 orang berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau pemanfaatan sebuah posisi. Pada umumnya pengertian Human Trafficking dalam protokol tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian Human Trafficking dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 secara garis besar Human Trafficking berarti tindakan perekrutan, pengangkutan, penampuangan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan. Ini menunjukan bahwa ratifikasi Protokol Palermo Tahun 2000 menjadi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 secara garis besarnya mengakomodasi apa itu Human Trafficking/ Perdagangan Orang. Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak menggunakan kata perbudakan dan penghambaan tidak dipakai akan tetapi diganti dengan kalimat memegang kendali atas orang lain begitu pun juga dengan eksploitasi seksual yang tidak dirumuskan lagi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sehingga kalimat memegang kendali atas orang lain memiliki makna yang luas bagi mengartikan beberapa kata seperti prostitusi, seksual, perbudakan, kerja paksa, sebagaimana pengertian Human Trafficking dalam Protokol Palermo Tahun 2000 maka penulis menemukan bahwa dalam meratifikasi Protokol Palermo Tahun 2000 tersebut tidak memiliki banyak perbedaan dalam merumuskan pengertian Human Trafficking. Human Trafficking dalam KUHP sebagaimana tertuang dalam Pasal 297 tidak secara terperinci menjelaskan apa itu Human Trafficking hanya memuat ancaman pidana bagi orang yang melakukan perdagangan wanita dan anak lakilaki yang belum dewasa. Pengertian Human Trafficking dalam pasal ini belum
8 terlalu jelas disebabkan hanyalah mengatur tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur, berbanding terbalik dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahum 2007 yang mana Human Trafficking (perdagangan orang) bukan hanya bagi wanita dan anak laki-laki di bawah umur tetapi juga diterapkan bagi laki-laki dewasa. 2. Hukuman yang berlaku Sebagaimana yang tertuang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 tidak mengatur tentang sanksi bagi orang yang melakukan Human Trafficking, disebabkan karena sanksi yang dapat diterapakan bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, hanyalah disebutkan untuk negara penerima trafficking dikembalikan ke negara asal. Pengembalian koraban tersebut dengan maksud agar supaya pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat diberikan sanksi di negara asal, hal ini berkaitan dengan yuridiksi hukum bagi suatu negara. Dalam KUHP sudah dirumuskan ancaman pidananya dengan penjara paling lama 6 tahun bagi orang yang melakukan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur. Ancaman 6 tahun yang dirumuskan dalam KUHP sudah pasti menunjukkan bahwa negara secara tegas ingin memberantas Human Trafficking bagi di dalam negeri maupun luar negeri keseriusan. Ratifikasi Protokol Palermo menjadi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah mengatur tentang sanksi bagi perdagangan orang, jika pada Protokol Palermo hanya mengatur tentang korban perdagangan orang dikembalikan ke negara asal. Akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sanksi yang diatur maksimum 15 tahun dan minimum 3 tahun dan juga denda paling sedikit Rp ,00 dan paling banyak Rp ,00. Perdagangan orang merupakan tindak pidana yang luar biasa oleh sebab itu negara dalam
9 memberantasnya pun dilakukan dengan keseriusan. Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam bagan diatas maka perbedaan yang penulis temukan dalam penelitian ini adalah tidak diaturnya sanksi yang jelas di dalam Protokol Palermo Tahun 2000 akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah dengan jelas mengatur tentang sanksi bagi pelaku Human Trafficking. 3. Status Perdagangan Orang Status korban perdagangan orang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 hanya mengintrupsikan kepada negara pihak untuk mempertimbangkan langkah yang layak bagi korban perdagangan orang untuk tetap tinggal di wilayahnya diartikan sebagai negara harus melindungi para korban perdagangan orang dalam kebijakan-kebijakan legislatif yang baik dalam rangka mewujudkan kenyamanan bagi korban perdagangan orang dengan mempertimbangkan faktorfaktor kemanusiaan dan kasih. Asas Kemanusiaan mejadi dasar dalam melaksanakan perlindungan kepada korban, yang mana dalam Pasal 6 Undang- Undang No 12 Tahun 2011, Asas Kemanusiaan mengartikan bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 setiap korban Human Trafficking atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi yang dimaksud adalah ganti rugi yang diderita oleh korban perdagangan orang. Dalam perbedaan antara Protokol Palermo dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 negara memiliki fungsi yang berbeda Protokol Palermo menginstrusikan bagi negara melindungi korban dalam lingkungan sosialnya
10 akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 menginstrusikan untuk negara melakukan ganti rugi bagi korban perdagangan orang dengan maksud untuk mengembalikan segala bentuk yang korban alami. Persamaan antara Protokol Palermo dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 adalah negara memiliki fungsi yang sentral dalam melindungi korban perdagangan orang. 4. Tempat Rehabilitasi Perdagangan Orang Tempat rehabilitasi perdagangan orang tidak secara terperinci diatur dalam Protokol Palermo Tahun 2000 sama halnya dengan Undang -Undang No 21 Tahun 2007 yang sudah secara terperinci mengatur tentang tempat rehabilitasi perdagangan orang, dalam Protokol Palermo Tahun 2000 hanya merumuskan korban perdagangan orang untuk dikembalikan ke negara asalnya. Lebih lanjut dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah mengatur keamanan untuk korban perdagangan orang, hak bagi perdagangan orang, fasilitas yang diberikan bagi korban bahkan setiap daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Rumah perlindungan sosial dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pemulihan, rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban yang memerlukan perlindungan secara khusus untuk memulihkan psikis. Perbedaan dalam hal pengaturan tempat rehabilitasi korban perdagangan orang antara Protokol Palermo dan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sangatlah jelas seperti yang penulis kemukakan bahwa Protokol Palermo tidak mengatur secara terperinci apa itu tempat rehabilitasi hanyalah pemulangan korban ke negara asal akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah sangat jelas mengatur tentang tempat rehabilitasi korban perdagangan orang. Rehabilitasi yang dimaksudkan adalah pemulihan dari gangguan terhadap
11 fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun masyarakat. Korban perdagangan orang berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang dan juga berhak menerima restitusi. Restitusi yang diberikan dengan maksud untuk memelihara atau memulihkan fisik maupun psikis bagi korban. 5. Pemulangan Korban Perdagangan Orang Protokol Palermo mewajibkan korban dipulangkan ke negara asalnya secepatnya dengan maksud agar hak-hak korban perdagangan orang dapat dilindungi oleh negara asalnya. Hak yang dimaksud bukan hanya perlindungan hukum akan tetapi pemulihan dan pengobatan psikis dan fisik yang diderita oleh korban. Peran negara dianggap penting untuk melindungi para korban oleh sebab itu dalam Protokol Palermo diwajibkan untuk secepatnya negara tempat perdagangan orang memulangkan korban perdagangan orang dikembalikan ke negara asalnya. Dalam ratifikasinya negara menjalankan apa yang diperintahkan oleh Protokol Palermo, jika pada Protokol Palermo hanya menginstruksikan negara untuk secepatnya memulangkan korban perdagangan orang, di dalam ratifikasinya negara sudah lebih memuat dan mengatur tentang hak-hak korban perdagangan orang. Yang penulis temukan dalam penelitian ini bahwa dalam ratifikasinya sudah mengalami pemaknaan yang jelas tentang pemulangan korban dengan maksud agar hak korban seperti ganti rugi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
12 sosial dilaksanakan oleh negara. Sebuah langkah maju demi melindungi dan memulihkan psikis dan fisik korban perdagangan orang Dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak mengatur secara eksplisit tentang pemulangan orang, hanyalah menginstruksikan negara agar melakukan kerja sama dalam bidang menanggulangi kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kerja sama yang dimaksudkan, menurut penulis ini berarti negara dalam melindungi setiap warga negaranya mampu memantau dan memperhatikan bahkan ketika mereka menjadi koraban perdagangan orang, oleh sebab itu ada perbedaan antara Protokol Palermo dan hukum nasional tentang pemulangan korban. 6. Kebijakan-kebijakan Negara Kebijakan negara yang diatur dalam Protokol Palermo untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, dan juga melindungi korban perdagangan orang sebagaimana yang diatur dalam ratifikasi maka ada persamaan antara kebijakan negara yang dirumuskan dalam Protokol Palermo dan Undang- Undang No 21 Tahun 2007 bahwa negara memiliki fungsi untuk melakukan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Negara wajib melaksanakan kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Bahkan dalam Undang- Undang No 21 Tahun 2007 negara mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Perbedaan yang penulis temukan dalam penelitian ini adalah dalam Protokol Palermo ada sedikit penekanan untuk mengutamakan perempuan dan anak-anak akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak dirumuskan hal demikian yang mana hanya mewajibkan dalam melakukan pencegahan dalam
13 tindak pidana perdagangan orang negara melakukan kerja sama internasional. Kerja sama yang dirumuskan dalam Protokol Palermo adalah kerja sama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat sipil dalam melaksakan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Perbedaan lainnya negara harus melakukan langkah penelitian, kampanye media massa, dan inisiatif-inisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, hanya dirumuskan dalam Protokol Palermo dan tidak dirumuskan lebih lanjut dalam Undang-Undang No 21 Tahun Pencegahan dan Pemberantasan Korban Perdagangan Orang Protokol Palermo Tahun 2000 dalam merumuskan pencegahan dan pemberantasan, maka negara memiliki peran yang besar melalui kerja sama bilateral atau multilateral. Negara dalam hal pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dapat melakukan kerja sama dengan negara-negara lain, dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 pemerintah daerah dan keluarga dilibatkan dalam pencegahan perdagangan orang ini menunjukkan bahwa dalam perbedaan peran untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, jika dalam Protokol Palermo hanya negara yang dilibatkan maka di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 bukan hanya negara tetapi keluarga memiliki peran penting dalam melaksanakan pencegahan perdagangan orang. Sebagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang maka menurut penulis dapat dilakukan melalui beberapa cara: Pertama, peningkatan pendidikan masyarakat khususnya pendidikan bagi anak-anak dan perempuan yang status sosialnya rendah termasuk sarana dan prasarana. Kedua, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang. Ketiga, perlu diupayakan adanya jaminan bagi keluarga khususnya perempuan
14 dan orang dalam status sosial rendah untuk memperoleh pendidikan peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial. Masyarakat secara umum sangat rawan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang memadai tentang tindak pidana perdagangan orang untuk itulah diperlukan sosialisasi secara baik dan menyebarluaskan informasi tentang apa dan bagaimana praktek Human Trafficking yang harus diwaspadai. Langkah selanjutnya, untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang adalah memberantas kemiskinan, ketidaksetaraan gender, sempitnya lapangan kerja. Di samping itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang memerlukan adanya perdagangan hukum yang tegas, tanpa perdagangan hukum yang tegas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang akan sia-sia.
Institute for Criminal Justice Reform
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional
Lebih terperinciBAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU
PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP
BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciBUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG
BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBINAAN, KOORDINASI, PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinci-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Pekerja Migran. Pelindungan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,
Lebih terperinciDAFTAR ISI Halaman...3 Halaman...33 Halaman...49 Halaman...59
ii DAFTAR ISI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014. Halaman...3 Peraturan Pemerintah
Lebih terperinciANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN
B U K U S A K U B A G I ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Penyusun Desainer : Tim ACILS dan ICMC : Marlyne S Sihombing Dicetak oleh : MAGENTA FINE PRINTING Dikembangkan
Lebih terperinciLaporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak
2012 Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 2 1.1. Latar Belakang
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2014
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa perdagangan orang
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR
SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN
BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa setiap
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK
GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a.
Lebih terperinciWALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014
WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014 T E N T A N G GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN EKSPLOTASI SEKSUAL ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciSANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA
SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh I. Gst. Ayu Stefani Ratna Maharani I.B. Putra Atmadja Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG
SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KOTA SURABAYA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi
Lebih terperinciKABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 11 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENANGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIANJUR, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN
SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Lebih terperinciPerdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia
0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO
PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) 21022 Kode Pos 92311 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 03 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem hukum dalam suatu negara, dalam hal ini negara kita, Indonesia. Suatu bentuk penerapan peraturan yang dapat
Lebih terperinciDAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM
No. 7, 2007 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI Oleh : Kadek Dwika Agata Krisyana Pembimbing : I Ketut Sudiarta Program Kekhususan : Hukum Pidana, Universitas
Lebih terperinciPerdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menyebutkan bahwa : Perdagangan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh : ANI PURWANTI 1 I Pendahuluan Kejadian yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak perempuan yang dikenal
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak
7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciLex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015
RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG YANG DIBEBANKAN KEPADA PELAKU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 1 Oleh: Greufid Katimpali
Lebih terperinciBREBES, 20 AGUSTUS Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan saya ucapkan selamat pagi.
ARAHAN KEPALA BIRO BINA SOSIAL SETDA PROVINSI JAWA TENGAH PADA FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) DALAM RANGKA PEMETAAN PELAKSANAAN KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TRAFFICKING TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek perdagangan orang di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan tersebut, serta belum
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013
LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 7 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
Lebih terperinciBUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciWALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN
WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KOTA PARIAMAN, Menimbang :
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU,
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN RIAU
GUBERNUR KEPULAUAN RIAU PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH SINGGAH PADA PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK ENGKU PUTERI PROVINSI KEPULAUAN RIAU GUBERNUR
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk Allah Subhana Wata ala yang memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk Allah Subhana Wata ala yang memiliki kedudukan mulia dari segi penciptaan dan kerangka jasadnya, sehingga Allah memberikan mandat kepada
Lebih terperinciDiadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002
Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa perdagangan orang merupakan
Lebih terperinciWALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN
WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR, Menimbang : a. bahwa Kota
Lebih terperinci-2- dialami pihak korban dalam bentuk pemberian ganti rugi dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pida
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I SOSIAL. Anak. Korban Tindak Pidana. Restitusi. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 219) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan hal
Lebih terperinciBAB II Pengaturan Hukum Mengenai Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang A. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pengaturan hukum mengenai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Di masa lalu
BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Perdagangan orang (trafficking) telah lama terjadi dimuka bumi ini. Perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Hal
Lebih terperinciBUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,
SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT
PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, ANAK, MASYARAKAT DAN KELUARGA BERENCANA PROVINSI KALIMANTAN BARAT JL. SULTAN ABDURRACHMAN NO.
Lebih terperinciA. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG KHUSUS ANAK DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI KORBAN DAN RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA TRAFIKING (Studi Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam) Eliwarti Ferri Aries Suranta ABSTRAK
PERLINDUNGAN SAKSI KORBAN DAN RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA TRAFIKING (Studi Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam) Eliwarti Ferri Aries Suranta ABSTRAK Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,
BUPATI SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia
Lebih terperinciBAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Sebelum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Aspek lain dari perlindungan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciKekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga
Lebih terperinciHAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN
1 HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN Saya akan mengawali bab pertama buku ini dengan mengetengahkan hak pekerja yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam dunia ketenagakerjaan. Sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK C. Tindak Pidana Persetubuhan dalam KUHPidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap
Lebih terperinciPERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak fisik dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA 2.1 Pengertian Perlindungan Hukum Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY
Lebih terperinci