MENELAAH KASUS PAILIT PT DIRGANTARA INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENELAAH KASUS PAILIT PT DIRGANTARA INDONESIA"

Transkripsi

1 MENELAAH KASUS PAILIT PT DIRGANTARA INDONESIA BAB I PENDAHULUAN PT Dirgantara Indonesia (PT DI) (Indonesian Aerospace Inc.) adalah perusahaan pertama dan satusatunya yang di miliki Indonesia yang bergerak di bidang industri pesawat terbang. Bahkan PT DI tidak memiliki pesaing di kawasan Asia Tenggara sampai dengan saat ini. PT DI merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keseluruhan sahamnya di miliki oleh Pemerintah Indonesia. PT DI mulai berdiri pada tanggal 26 April 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direkturnya. Pada tanggal 11 Oktober 1985 perusahaan ini berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia pada tanggal 24 Agustus Kegiatan usaha PT DI tidak hanya memproduksi berbagai macam pesawat namun juga helikopter, senjata serta menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan untuk mesin-mesin pesawat. PT DI juga menjadi sub-kontraktor untuk untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, Fokker dan lain sebagainya. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai tahun 1997 ternyata juga berdampak pada kinerja perusahaan PT DI. Tahun , PT DI yang pernah memiliki karyawan sampai dengan 16 ribu orang, harus melakukan rasionalisasi jumlah karyawannya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya. Dalam proses PHK ini para karyawan merasa di rugikan dengan tidak adanya pemenuhan pembayaran kompensasi pensiun kepada karyawan yang di PHK. Kondisi ini menyebabkan beberapa karyawan menempuh jalur hukum dengan mengajukan permohonan pailit atas PT DI kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

2 BAB II LANDASAN TEORI Definisi Pailit Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Failiet yang berarti mogok atau berhenti membayar. Sedangkan dalam dalam Black s Law Dictionary pailit atau Bangkrupt adalah : the state or condition of e person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bangkrupt UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU) pasal 1 ayat 1 menjelaskan mengenai definisi kepailitan yaitu : Kepailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya di lakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan pemerintah. Kreditor adalah pihak (orang/perseorangan atau badan hukum) yang mempunyai tagihan karena suatu perjanjian yang di bentuk dengan pihak lain (orang/perseorangan atau badan hukum, Pihak ini di sebut sebagai debitor) atau karena adanya Undang-undang sehingga tagihan ini dapat di tagih di muka pengadilan.kreditor dapat terbagi dalam tiga golongan :

3 1. Kreditor Separatis Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditor separatis. 2. Kreditor Preferen Kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. UUK-PKPU menggunakan istilah hak-hak istimewa, sebagaima yang diatur dalam KUH Perdata. Hak istimewa mengandung makna hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya. 3. Kreditor Konkuren Kreditor konkuren adalah kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitor yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Istilah yang digunakan dalam Bahasa Inggris untuk kreditor konkuren adalah unsecured creditor. Debitor adalah pihak (orang/perseorangan atau badan hukum) yang utang karena suatu perjanjian yang di bentuk dengan pihak lain (orang/perseorangan atau badan hukum, Pihak ini di sebut sebagai kreditor) atau karena adanya Undang-undang sehingga pelunasan utang ini dapat di lakukan di muka pengadilan. Yang di maksud dengan Sita umum dalam kepailitan adalah sita dan eksekusi yang di lakukan bersamasama untuk kepentingan seluruh kreditor, kecuali kreditor separatis dan preferen, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan sepihak dari masing-masing kreditor. Sesuai dengan Pasal 1132 KUH perdata bahwa harta benda milik debitor merupakan jaminan bersama para Kreditor yang sesuai dengan asas keadilan kecuali terdapat sebab-sebab yang sah yang menyebabkan salah satu kreditor di dahulukan. Syarat syarat pengajuan pailit Berdasarkan UUK PKPU pasal 2 ayat 1, permohonan pailit dapat di ajukan oleh :

4 1. Debitor sendiri 2. Atas permintaan seorang atau lebih kreditor. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. 5. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpangan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. 6. Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri Keuangan. UUK PKPU Pasal 2 ayat 3 dan ayat 5 menyatakan tentang pengertian debitor Bank, debitor perusahaan efek dan debitor perusahaan asuransi : - Bank : Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. - Perusahaan Efek : pihak yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek dan atau Manager Investasi - Perusahaan asuransi : perusahaan asuransi dan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam undangundang yang mengatur mengenai usaha perasuransian. Dasar Hukum dan Asas Asas Hukum Kepailitan Sebagai dasar umum (peraturan umum) dari lembaga kepailitan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya pasal 1131 dan Sedangkan dasar hukum yang khusus tentang kepailitan di Indonesia saat ini di atur dalam Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan Asas asas hukum kepailitan adalah : 1. Asas Keseimbangan

5 UU ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya. 4. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil maupun materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Pengertian Badan Umum Milik Negara (BUMN) BUMN, khususnya persero pada dasarnya adalah sebuah korporasi, sebuah badan usaha berbadan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Dengan memahami makna dan konsekuensi badan hukum, akan didapat pemahaman yang utuh tentang persero. Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak-hak melakukan suatu perbuatan sebagai manusia, memiliki kekayaan sendiri, serta digugat dan menggugat di depan Pengadilan. Korporasi sebagai badan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada dirinya, yakni : 1. Terbatasnya tanggung jawab.

6 Pada dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian atau utang korporasi. Jika badan usaha itu adalah PT, maka tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia kuasai. Selebihnya, ia tidak bertanggung jawab. 2. Perpetual succession. Sebagai sebuah korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak memiliki akibat atas status atau eksistensinya. Bahkan dalam konteks PT, pemegang saham dapat mengalihkan saham yang dia miliki kepada pihak ketiga. Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan perseroan yang bersangkutan, jika PT yang bersangkutan adalah PT Terbuka dan sahamnya sudah terdaftar di bursa efek (listed), terdapat kebebasan untuk mengalihkan saham tersebut. 3. Memiliki kekayaan sendiri. Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh badan itu sendiri, tidak oleh pemilik, oleh anggota atau pemegang saham adalah kelebihan utama badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham. 4. Memiliki kewenangan kontraktual serta dapat menuntut dan dituntut atas nama dirinya sendiri. Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat dituntut dan menuntut dimuka Pengadilan. Apabila melihat ketentuan Pasal 1 Undang-Undang BUMN, bahwa disebutkan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan : a) Badan usaha atau perusahaan; b) Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dikuasai oleh negara; c) Negara melakukan penyertaan secara langsung; d) Modal penyertaan dari kekayaan negara yang dipisahkan.

7 Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang BUMN, penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari : 1. Anggaran Pendapatan Belanja Negara Termasuk dalam APBN yaitu proyek-proyek Pemerintah yang dikelola oleh BUMN atau piutang negara yang dijadikan penyertaan modal; 2. Kapitalisasi cadangan Kapitalisasi cadangan ini adalah penambahan modal disetor yang berasal dari cadangan; 3. Sumber lainnya. Termasuk dalam kategori ini antara lain keuntungan revaluasi aset. BUMN menjalankan tugas pokoknya dalam melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Dengan telah terbitnya Undang-Undang BUMN, maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah : 1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Disini BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. 2. Mengejar keuntungan. Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 ayat 1 huruf a, meskipun maksud dan tujuan persero adalah mengejar keuntungan, namun dalam hal tertentu untuk melaksanakan pelayanan umum, persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan Pemerintah harus disertai dengan pembiayaan berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial sedangkan untuk Perum yang bertujuan menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsipprinsip pengelolaan perusahaan yang baik.

8 3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap usaha BUMN baik barang maupun jasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. 4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. BAB III PEMBAHASAN MASALAH PT DI merupakan hasil karya anak bangsa yang menjadi bagian dari tonggak sejarah penerbangan di Indonesia. Berikut adalah kronologi berdirinya PT DI : Tahun Deskripsi 1914 Bagian Uji Terbang yang bertugas untuk meneliti prestasi pesawat udara untuk daerah tropis didirikan di Surabaya Bagian Pembuatan Pesawat Udara yang memproduksi pesawat-pesawat buatan Canada AVRO-AL, dengan modifikasi badan dibuat dari tripleks lokal di bangun di Sukamiskin Pembuatan pesawat terbang rancangan LW. Walvaren dan MV. Patisi dengan nama PK KKH di lakukan di salah satu bengkel di Jl Pasirkaliki dan Jl Kebon Kawung Bandung 1945 Agustinus Adisutjipto merancang, menguji terbangkan dan menerbangkan dalam pertempuran

9 yang sesungguhnya pesawat Cureng/Nishikoren peninggalan Jepang yang di modifikasi menjadi versi serang darat. Pesawat ini di terbangkan pertama kali pada Oktober 1945 di Tasikmalaya 1946 Wiweko Soepono, Nurtanio Pringgoadisurjo dan J Sumarsono membuka sebuah bengkel di Magetan untuk memproduksi pesawat layang jenis Zogling dengan nama NWG Wiweko Soepono membuat pesawat terbang bermotor dengan menggunakan mesin motor Harley Davidson dengan nama WEL X, yang kemudian di kenal dengan register RI - X Nurtanio dkk melanjutkan proyek pembuatan pesawat dan membuahkan hasil berupa Si Kumbang, Belalang 89 dan Kunang Agustus 1960 Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP (yang kemudian menjadi LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) di bentuk. Tahun 1961 LAPIP mengadakan kontrak kerja sama dengan Pemerintah Polandia untuk membangun pabrik pesawat PZL 104 Wilga (Gelatik). Tahun 1966, LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service, maintenance, repair & overhaul Tanggal 28 April 1976 berdasarkan Akte Notaris No 15 di Jakarta, PT IPTN (PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio) secara resmi berdiri dengan

10 Direktur Utama Dr. BJ Habibie 1985 dan 2000 Tanggal 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN. Tanggal 24 Agustus IPTN merubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PT DI) atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid Memasuki Masa Sulit Prospek cemerlang PT DI saat itu ternyata harus pupus bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi Asia Krisis tersebut seolah menjegal kiprah PT. DI sebagai industri penerbangan saat itu. Pemerintah Indonesia mengurangi alokasi dana government spending, salah satunya dengan tidak lagi memberi suntikan dana bagi PT DI, demi menanggulangi krisis ekonomi. Akibatnya, krisis keuangan terjadi dalam tubuh PT DI, sehingga harus melakukan rasionalisasi anggaran dengan melakukan pengurangan jumlah karyawannya orang. Berikut adalah kronologis peristiwa p itan PT DI oleh para mantan karyawannya : Tanggal Deskripsi 11 Juli 2003 Dirut PT DI, Edwin Sudarmo yang merumahkan semua karyawannya yang berjumlah karyawan 19 Agustus 2003 RUPSLB PT DI mengukuhkan SK Dirut dan menyetujui PHK karyawannya. BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) menjadi pemilik 92,7% saham PT DI 3 September 2003 Ratusan karyawan PT DI unjuk rasa di Jakarta 6 Oktober 2003 Dirut PT DI mencabut SK merumahkan karyawan.

11 Sebagai gantinya, diterbitkan 2 SK baru: permohonan izin PHK karyawan yang tidak mengikuti seleksi ulang dan merumahkan sementara karyawan yang menunggu hasil seleksi. Pada tahun 2003 karyawan PT DI hanya menerima 10 % 25% gaji. 4 November 2003 Rapat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) memutuskan BPPN akan menalangi pesangon karyawan. 13 November 2003 Sidang kabinet terbatas menyetujui PHK karyawan dan di targetkan selesai pada 21 November Desember 2003 Perundingan bipartit karyawan dan manajemen PT DI buntu. Depnaker mengambil alih kasus ini 23 Desember 2003 PT DI tidak mampu lagi membayarkan gaji karyawan yang terkena PHK. Karyawan memblokir perusahaan. 30 Desember 2003 Dirut Dirgantara Indonesia Edwin Soedarmo menolak anjuran Menaker membayar pesangon 2 kali ketentuan UU. 13 Januari 2004 Sidang pertama perundingan karyawan dan manajemen PT DI di Depnaker gagal. 15 Januari 2004 Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) meminta manajemen dan karyawan PT DI melakukan negosiasi ulang, dan 718 karyawan setuju PHK. 29 Januari 2004 P4P meluluskan rencana PHK terhadap karyawan. 12 Februari 2004 Serikat Pekerja PT DI mengajukan banding atas putusan P4P ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha

12 Negara (PTTUN). 23 Februari 2004 Pesangon untuk karyawan yang diberhentikan sebesar Rp 440 miliar, akan dibayarkan Dialokasikan dana sebesar Rp. 40 milyar oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun Juli 2007 Permohonan pernyataan pailit PT DI diajukan oleh beberapa mantan karyawan PT DI kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Putusan Pailit dan Penyelesaiannya Permohonan Pailit Melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Surat Permohonan Pernyataan pailit di ajukan oleh Heryono, Nugroho dan Sayudi yang merupakan mantan karyawan PT DI, bersama kuasa hukumnya Ratna Wening Purbawati, kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 3 Juli Ketiga orang ini dianggap sebagai Kreditor yang selanjutnya di sebut sebagai Pemohon. Pihak termohon adalah PT Dirgantara Indonesia (persero) (PT DI) yang beralamat di Jln Pajajarn No. 154, Bandung. Fakta fakta yang diungkapkan Pemohon dalam kasus ini adalah : 1. Adanya Utang yang Jatuh waktu dan dapat ditagih a. Pemohon adalah termasuk dari orang pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya oleh termohon berdasarkan putusan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4 Pusat) No: 142/03/02-8/X/PHK/ tanggal 29 Januari 2004 yang telah berkekuatan hukum tetap. b. Berdasarkan amar putusan P4 pusat menyebutkan bahwa PT DI wajib memberikan kompensasi pensiun dengan mendasarkan pada upah pekerja terakhir dan jaminan hari tua sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992.

13 c. Terdapat perhitungan dana pensiun yang menjadi kewajiban termohon untuk membayar kepada pemohon yang besarnya adalah: pemohon I: Rp ,82, pemohon II: Rp ,22, pemohon III: Rp ,91. d. Kewajiban termohon untuk membayar kompensasi pensiun kepada pemohon adalah merupakan hutang termohon kepada pemohon sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU). e. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak Putusan P4 Pusat tanggal 29 Januari Adanya kreditor lain Disamping pemohon, termohon juga mempunyai hutang kepada: a. Nelly Ratnasari, sebesar Rp ,25. b. Sukriadi Djasa, sebesar Rp ,81. c. Para pekerja lain yang totalnya 3500 orang dengan total piutang sejumlah kurang lebih Rp ,00. akan hadir dan akan mengikuti persidangan selaku para kreditur dari termohon. d. Bank Mandiri, dengan piutang sebesar Rp ,00 Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga untuk memutus sebagai berikut: 1. Menyatakan termohon, PT. DI pailit dengan segala akibat hukumnya. 2. Menunjuk Taufik Nugraha,S.H sebagai kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit 3. Menunjuk Hakim pengawas dari pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat. 4. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya perkara ini. Atau. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon yang seadil - adilnya. Termohon kemudian menyampaikan Surat Tanggapan tertanggal 7 Agustus 2007 yang mengatakan sebagai berikut: Termohon pailit menolak dan membantah permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit dengan alasan-alasan yaitu sebagai berikut: 1. Permohonan pailit cacat hukum karena pemohon pailit tidak mempunyai kepastian hukum untuk mengajukan permohonan pailit terhadap termohon pailit. Termohon pailit adalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Keuangan.

14 Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (UUK PKPU), yang dapat mengajukan kepailitan terhadap termohon pailit selaku BUMN hanyalah Menteri keuangan. 2. Termohon pailit menyangkal adanya utang karena termohon pailit tidak memiliki utang atau kewajiban dalam bentuk apapun kepada pemohon pailit. 3. Permohonan Pailit diajukan berdasarkan Putusan P4P padahal atas Putusan P4P tersebut proses hukumnya belum selesai. 4. Unsur Utang dapat di tagih dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 UUK - PKPU tidak terpenuhi karena yang didalilkan tidak ada 5. Unsur jatuh tempo dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 UUK - PKPU tidak terpenuhi karena tidak ada utang yang telah jatuh tempo atau utang yang menyatakan waktu pembayaranya dari termohon pailit kepada pemohon pailit. 6. Unsur pembuktian sederhana dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 UUK - PKPU tidak pernah terpenuhi karena utang yang didalilkan tidak pernah ada. 7. Permohonan pailit cacat hukum karena utang yang didalilkan oleh pemohon pailit masih dalam taraf perselisihan dan saat ini perselisihan yang dimaksud sedang ditangani oleh Pusat Mediasi Nasional. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Hakim Ketua Ny. Andriani Nurdin, SH. MH yang mengadili kasus ini membacakan hasil putusannya dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 4 September Isi dari putusan dengan Nomor 41/Pailit/2007/PN.Niaga/jkt.Pst adalah sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan bahwa PT. Dirgantara Indonesia (persero) pailit dengan segala akibat hukumnya. 3. Mengangkat Taufik Nugroho,SH sebagi curator dalam kepailitan ini. 4. Menunjuk H. Zulfahmi, SH, M.Hum, Hakim Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas. 5. Membebankan kepada Termohon Pailit untuk membayar biaya perkara sebesar Rp ,00. Permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung Dalam menghadapi hasil putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ini, PT DI bersama dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) kemudian mengajukan Permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Pemohon Kasasi I adalah PT DI, sedangkan Pemohon II/Kreditor adalah PT Perusahaan

15 Pengelola Aset (Persero). Heryono, Nugroho dan Sayudi merupakan Pihak Termohon dalam pengajuan kasasi ini. Alasan-alasan yang di kemukakan para Pemohon adalah sebagai berikut : Pemohon I : 1. Judex Facti telah salah dalam penerapan hukum mengenai kepastian hukum para termohon kasasi dengan menyatakan bahwa para termohon kasasi dapat mengajukan permohonan pailit sebagimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UUK - PKPU beserta penjelasannya. 2. Judex facti telah salah dalam penerapan hukum mengenai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK PKPU. 3. Judex Facti tidak berwenang atau melampaui batas wewenang untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo karena terbukti bahwa pembuktian perkara a quo tidak memenuhi syarat pembuktian sederhana sebagaimana ditentukan oleh Pasal (8) Ayat 4 UUK PKPU. 4. Judex Facti telah lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan peraturan perundang- Undangan terkait dengan kompetensi absolut atas putusan P4P yang menjadi dasar pengajuan permohonan pailit a quo yang seharusnya masih dalam proses pemeriksaan perkara di peradilan umum. 5. Judex Facti tidak mempertimbangkan asas-asas yang mendasari Undang-Undang Kepailitan sebagimana dimaksud dalam Penjelasan UUK - PKPU. Pemohon II/Kreditor : 1. Bahwa Pemohon Kasasi II selaku Kreditor Lain dari PT DI sangat keberatan atas segala pertimbangan hukum Amar Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 2. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain mengajukan Permohonan Kasasi berikut memori kasasi berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UUK - PKPU. 3. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain mengatakan kasasi dan menyerahkan memori kasasi pada tanggal 12 September 2007, yaitu dalam tenggang waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UUK PKPU. 4. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain sangat keberatan atas dijatuhkannya status kepailitan terhadap PT DI. 5. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain memiliki hak tagih. 6. Bahwa terhadap pinjaman tersebut telah diberikan jaminan-jaminan.

16 7. Bahwa sejak tahun 2003 Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain bersama sama dengan kementrian BUMN telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan guna menjaga keberlangsungan usaha dan menjaga kesinambungan bagi penyediaan lapangan kerja sebagai bagian dari sasaran pembangunan nasional. 8. Bahwa dalam putusannya, judex facti sama sekali tidak memperhatikan asas-asas yang mendasari UUK PKPU. 9. Judex Facti tidak memperhatikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Judex facti jelas tidak mempertimbangkan kreditor-kreditor lain yang mendukung kelangsungan usaha PT DI. 10. Bahwa disamping itu PT DI adalah merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri strategis penerbangan berskala internasional yang telah membawa harum nama bangsa dan Negara di dunia internasional. Pengajuan kasasi oleh Pemohon I dan II akhirnya di putuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada tanggal 22 Oktober 2007, dengan ketua majelis Mariana Sutadi, SH dengan isi seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt. Sus/2007, sebagai berikut : Mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon kasasi PT. Dirgantara Indonesia (Persero), dan PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) tersebut: Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.41/Pailit/PN>Niaga/Jkt.Pst tanggal 4 September Mengadili Sendiri: Menolak Permohonan Para Pemohon; Menghukum para termohon kasasi/ para pemohon untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp ,00 BAB IV

17 KESIMPULAN DAN SARAN Dari kasus di atas dapat di tarik kesimpulan kesimpulan sebagai berikut : 1. Terjadi perbedaan penafsiran antara Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung, khususnya dalam menilai kepemilikan modal dalam PT DI. Menurut Mahkamah Agung PT DI memenuhi klasifikasi sebagai BUMN yang seluruh sahamnya adalah milik Negara, dan juga merupakan perusahaan yang sangat dibutuhkan karena merupakan objek vital nasional. Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik berbentuk Perusahaan Umum (Perum) atau Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan (Menkeu) sesuai dengan UUK - PKPU pasal 2 ayat (5) 2. Putusan pailit terhadap PT DI dirasa terlalu dini, karena Hakim seharusnya memperhatikan asas kelangsungan usaha dan asas keadilan yang ada pada UUK - PKPU Saran yang bisa saya sampaikan dalam menanggapi kasus pailit PT DI ini adalah sebaiknya system hukum di Indonesia untuk beberapa kasus dilakukan common law. Sehingga tidak terjadi kontroversi terhadap hukum yang sudah tertulis dengan keputusan hukumnya.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia)

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah LBHK semester I Angkatan V Oleh: Prasaja Pricillia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN 1.1 Hak Tanggungan 1.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan Hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 LITERATUR Kitab Undang Undang Hukum Perusahaan ( Prof. Drs. C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, S.H., M.H.) Hukum Perusahaan Perseroan

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004)

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004) Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan,

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, 114 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: a. UU Perbankan, UU Bank Indonesia, PP No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan Hasil Penelitian dan Pembahasan yang telah penulis

BAB V KESIMPULAN, KETERBATAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan Hasil Penelitian dan Pembahasan yang telah penulis BAB V KESIMPULAN, KETERBATAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan Hasil Penelitian dan Pembahasan yang telah penulis paparkan dalam tulisan ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Akibat

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

Analisa Kasus PHK. Ditinjau dari Teori Egoisme Kelompok. PT Dirgantara Indonesia. Oleh: Kelompok 2 (Karet / Hevea Braziliensis)

Analisa Kasus PHK. Ditinjau dari Teori Egoisme Kelompok. PT Dirgantara Indonesia. Oleh: Kelompok 2 (Karet / Hevea Braziliensis) Analisa Kasus PHK PT Dirgantara Indonesia Ditinjau dari Teori Egoisme Kelompok Oleh: Kelompok 2 (Karet / Hevea Braziliensis) ARIE WIBOWO IRAWAN (P056110763.40E) BASUKI RAHMANTO (P056110803.40E) MOCHAMAD

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR (Studi Putusan Pailit Pengadilan Niaga No. 14/Pailit/2008, Mahkamah Agung No. 917/K/Pdt.Sus/2008 dan Peninjauan Kembali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H A. PENGANTAR Disaat pertama kali kita mendengar Pailit, maka yang pertama kali ada di dalam bentak kita adalah bangkrut. Bangkrut, diidentikkan dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa P U T U S A N No. 313 K/TUN/2000.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara Tata Usaha Negara dalam tingkat kasasi telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT Bank Rakyat Indonesia ( Persero ) Tbk atau dikenal dengan nama bank BRI merupakan salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang perbankan mempunyai fungsi intermediary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan bisnisnya, suatu perusahaan pasti ingin mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan bisnisnya, suatu perusahaan pasti ingin mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan bisnisnya, suatu perusahaan pasti ingin mendapatkan hasil yang maksimal. Perusahaan yang telah mencapai targetnya, tentu ingin mengembangkan usahanya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PEDAGANGAN BERJANGKA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

MAHKAMAH AGUNG. memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari;

MAHKAMAH AGUNG. memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari; PUTUSAN Nomor 16 PK/N/1999 ==================================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

Heri Hartanto - FH UNS

Heri Hartanto - FH UNS 1 Kekuasaan Kehakiman Psl 13 UU 14/1970 Jo. UU 4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman : memungkinkan di bentuk peradilan khusus di dalam peradilan Umum. Psl 8 UU 2/1986 Jo. UU 8/2004 ttg Peradilan Umum : Di dlm

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Penundaan kewajiban pembayaran utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang Penundaan kewajiban pembayaran utang PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor atau kreditor Debitor mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO. 69 BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.022/K/N/2001) 4.1 Posisi Kasus Untuk membantu memahami kewenangan menggugat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur

BAB I PENDAHULUAN. akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur yang sudah jatuh tempo,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017

P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 P U T U S A N Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus penundaan kewajiban pembayaran utang (prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M P U T U S A N Nomor 2 K/Pdt.Sus-Pailit/2018 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus kepailitan prosedur renvoi pada

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet. BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan 1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU 21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci