BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.
|
|
- Suharto Kartawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri berasal dari bahasa Perancis Faillite, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Jadi, kata Pailit dalam bahasa Indonesia itu dapat diartikan yaitu adanya suatu keadaan berhenti membayar. Mengenai definisi dari kepailitan itu sebagaimana terjemahan istilah Belanda Faillisement tidak dapatditemukan dalam peraturan kepailitan (Faillisement Verordenings yang diundangkan dalam Staatsblad Hindia Belanda tahun 1905 Nomor 271 juncto Staatsblad tahun 1906 No.348). 1 Peraturan peninggalan Hidia Belanda tersebut dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan masalah utang piutang, sehingga pemerintah memperbaharuinya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan perubahan terakhirnya adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang. Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, 1 BravikaBungaRamadhani, Penyelesaian Utang Piutang Melaui Kepailitan (Studi kasus pada Putusan Mahkamah Agung RI tentang PT Prudential Life Insurance), Tesis, Program Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, h. 46.
2 22 yaitu dalam Pasal 2 mendefinisikan pailit sebagai debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dari pengertian pailit tersebut dapat diartikan sebagai adanya ketidakmampuan debitur untuk membayar kepada kreditur atas utang-utangnya yang telah jatuh waktu. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun pihak ketiga atas suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. 2 Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan debitor yang tidak mampu membayar. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun mmenolak permohonan kepailitan yang diajukan. 3 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang menyebutkan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dkemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan deitur. Setiawan, dalam bukunya : Ordonansi Kepailitan serta Aplikasi 2 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, h Ibid.
3 23 Kini, mengemukakan bahwa utang seharusnya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (dimana debitur telah menerima sejumlah uang tertentu dari krediturnya) maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu Para Pihak Yang Terlibat Dalam ProsesKepailitan 1. Pihak pemohon pailit Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengabil insiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah : 1. Pihak debitur itu sendiri. 2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditur. 3. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum. 4. Pihak Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank. 5. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah suatu perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian. 4 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h.34.
4 24 6. Menteri Keuangan jika debitur perusahaan asuransi, reasuransi, dana pension, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan umum. 2 Pihak Debitur Pailit Pihak debitur pailit adalah pihak yang dapat memohon atau dimohonkan pailit ke pengadilan berwenang untuk kepentingannya sendiri. Istilah dalam bahasa Inggris disebut juga Voluntary Petition sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Kepailitan yang menandakan bahwa suatu permohonan pernyataan pailit bukan saja untuk kepentingan kreditornya, tetapi dapat pula diajukan untuk kepentingan debitornya sendiri, yang menjadi debitur pailit adalah debitur yang memiliki 2 atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1 utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Namun, ketentuan tersebut membuka kemungkinan bagi debitur yang beritikad tidak baik untuk melakukan rekayasa demi kepentingannya. 3 Hakim Niaga Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh hakim tunggal), baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. Untuk perkara niaga lainnya yang tidak merupakan perkara kepailitan diperbolehkan diperiksa oleh hakim tunggal dengan penetapan Mahkamah Agung, hakim majelis tersebut merupakan hakim-hakim pada Pengadilan Niaga, yakni hakim-hakim Pengadilan Negeri yang diangkat menjadi hakim Pengadilan Niaga berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Di samping itu, juga hakim ad hoc yang diangkat dari
5 25 kalangan para ahli dengan keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan tentang pengunaan hakim ad hoc tersebut tetap dipertahankan dalam Pasal 302 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan dengan keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai hakim ad hoc, baik pada tingkat pertama, kasasi, maupun pada peninjauan kembali. 5 4 Kurator Dalam tahap kepailitan, kurator merupakan pihak yang sangat penting keberadaannya. Setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka debitur demi hukum tidak berwenang melakukan pengurusan dan atau pengalihan terhadap harta kekayaannya yang sudah menjadi harta pailit sehingga, dalam setiap putusan pailit oleh pengadilan, maka di dalamnya terdapat pengangkatan kurator yang ditunjuk untuk melakukan pengurusan dan pengalian harta pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Dari proposisi ini, maka tampak bahwa kurator sangat menentukan terselesaikannya pemberesan harta pailit. 6 Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang menyatakan bahwa dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Apabila pihak yang berwenang 5 Bravika Bunga Ramadhani, Op,Cit, h M.Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan, Kencana Prenada Media, Jakarta. h. 108.
6 26 mengajukan permohonan pailit tidak mengajukan usulan pengangkatan kurator kepada pengadilan maka Balai Harta Peninggalan dapat diangkat selaku kurator. Pasal 70 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud kurator lainnya selain Balai Harta Peninggalan adalah : a. Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailt; b. Telah terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan. Kurator yang diangkat haruslah idependen dan tidak boleh ada conflict of interest (benturan kepentingan) baik dengan debitur maupun kreditur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 perkara. Dalam jangka waktu paling lambat 5 hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator wajib mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut : c. Nama, alamat, dan pekerjaan debitur; d. Nama hakim pengawas; e. Nama, alamat, dan pekerjaan kurator; f. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kurator sementara, apabila telah ditunjuk dan; g. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor.
7 27 Dalam melaksanakan tugasnya kurator tidak diharuskan mendapatkan persetujuan dari atau menyampaikan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. Kurator juga dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberasan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Sehubungan dengan hal tersebut maka Kurator dapat digugat dan wajib membayar ganti kerugian apabila karena kelalaiannya atau terutama karena kesengajaannya telah menyebabkan harta pailit mengalami kerugian, dan kemanakah gugatan terhadap Kurator tersebut dalam Undang-Undang Kepailitan tidak mengaturnya namun karena Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa gugatan pailit saja maka gugatan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Negeri. 7 5 Hakim Pengawas Untuk mengawasi pelaksanaan pemberesan harta pailit, maka dalam putusan kepailitan, oleh pengadilan harus diangkat hakim pengawas di samping pengangkatan Kurator. Pengangkatan hakim pengawas pada Pasal 15 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa, dalam putus pailit harus diangkat seorang hakim pengawas yang ditujuk oleh hakim pengadilan. 7 Sutan Remy, Op.Cit, h. 223.
8 28 Tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator. Selain itu, hakim pengawas dapat memberikan pendapatnya kepada pengadilan niaga sebelum pengadilan memutuskan sesuatu yang menyangkut dengan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit dan wajib didengarkan oleh pengadilan. Hakim pengawas berwenang untuk mendengarkan keterangan para saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepalitan serta, pemanggilan saksi di atas namakan hakim pengawas. Terhadap semua penetapan hakim pengawas, dalam waktu 5 hari setelah penetapan tersebut dibuat, dapat diajukan permohonan banding. 6 Panitia Kreditur Panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga panitia kreditur tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditur. Ada 2 macam panitia kreditur yang diperkenankan oleh Undang-Undang Kepailitan yaitu : 1. Panitia kreditur sementara (yang ditunjuk dalam putusan pernyataan pailit; 2. Panitia kreditur tetap, yakni panitia yang dibentuk oleh hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara. Atas permintaan kreditur konkuren dan berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa (simple majority), hakim pengawas
9 29 berwenang menggantikan panitia kreditur sementara dengan panitia kreditur tetap, atau membentuk panitia kreditur tetap jika tidak diangkat panitia kreditur sementara. Dalam hal ini, hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditur untuk membentuk suatu panitia kreditur tersebut. 8 Panitia Kreditor setiap waktu berhak meminta diperlihatkan semua buku, dokumen, dan surat mengenai kepailitan dan Kurator wajib memberikan kepada Panitia Kreditor semua keterangan yang diminta apabila diperlukan, Kurator dapat mengadakan rapat dengan Panitia Kreditor, untuk meminta nasihat. Sebelum mengajukan gugatan atau meneruskan perkara yang sedang berlangsung, ataupun menyanggah gugatan yang diajukan atau yang sedang berlangsung, Kurator wajib meminta pendapat Panitia Kreditor. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap sengketa tentang pencocokan piutang, tentang meneruskan atau tidak meneruskan perusahaan dalam pailit, dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, 38, 39, 59 ayat (3), 106, 107, 184 ayat (3), dan 186 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang, tentang cara pemberesan dan penjualan harta pailit, dan tentang waktu maupun jumlah pembagian yang harus dilakukan. Pendapat Panitia Kreditor sebagaimana dimaksud pada Pasal 83 ayat (1) UUPKPU tersebut tidak diperlukan, apabila Kurator telah memanggil Panitia Kreditor untuk mengadakan rapat guna memberikan pendapat, namun dalam jangka waktu 7 hari setelah pemanggilan, Panitia Kreditor tidak memberikan pendapat tersebut Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya, Bandung, h.
10 30 Kurator tidak terikat oleh pendapat Panitia Kreditor. Dalam hal Kurator tidak menyetujui pendapat Panitia Kreditor maka Kurator dalam waktu 3 hari wajib memberitahukan hal itu kepada Panitia Kreditor apabila Panitia Kreditor tidak menyetujui pendapat Kurator, Panitia Kreditor dalam waktu 3 hari setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta penetapan Hakim Pengawas. Dalam hal Panitia Kreditor meminta penetapan Hakim Pengawas maka Kurator wajib menangguhkan pelaksanaan perbuatan yang direncanakan selama 3 hari Syarat-Syarat Kepailitan Agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut : 9 a. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitur sudah tidak mampu atau tidak mau membayar utang-utangnya; b. Harus terdapat lebih dari seorang kreditur, dan salah satu diantaranya memiliki piutang yang sudah dapat ditagih atau sudah jatuh waktu. Namun yang menjadi persoalan adalah tidak adanya ukuran yang pasti mengenai keadaan berhenti membayar baik dalam undang-undang, yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana Zainal Asikin, 1994, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Cet.II, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h Ibid.
11 31 Mengenai syarat paling sedikit harus ada dua kreditor memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila debitor memiliki paling sedikit dua kreditor, mengenai syarat ini dikenal sebagai concursus creditorium. Syarat kedua kepailitan adalah debitur tidak membayar sedikitnya satu utangnya. Apabila syarat adanya 2 kreditur atau lebih telah terpenuhi, syarat berikutnya adalah debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utangnya. Pengertian tidak membayar disini adalah tidak atau belum membayar lunas seluruh utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, baik utang pokok beserta bungannya. Utang adalah kewajiban yang timbul dari perikatan. Paham ini, seperti dikatakan Asser bahwa arti utang secara etimologis berasal dari kata gotisch skulanatau sollen yang diartikan harus dikerjakan menurut hukum. Pada perkembangannya, kata utang digunakan untuk menunjukkan kewajiban yang timbul dari perikatan baik dari perjanjian ataupun Undang-Undang. Namun, dikaji dari perspektif normatif sebagaimana bunyi ketentuan pasal 1 angka 6 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. 11 Syarat selanjutnya adalah utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Adapun yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat 11 Lilik Mulyadi, 2010, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, h
12 32 ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik yang timbul karena perjanjian, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau arbritase. Penentuan jatuh waktu adalah mudah, sekedar melihat pengaturan perjanjian atau penetapan pihak berwenang sebagaimana dijelaskan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa cukup dengan lewatnya waktu yang ditentukan pada saat debitur tidak membayar utangnya Perusahaan Asuransi Jenis Usaha Perasuransian Dalam Pasal 1 angka (4) UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dibagi berbagai jenis perusahaan asuransi seperti Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan perusahaan Konsultas Akturia. Namun tidak memberi definisi yang jelas mengenai perusahaan asuransi. Kententuan Pasal 2 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa: (a) Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melauli pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap 12 Ibid, h. 92.
13 33 kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. (b) Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa akturia. Dalam pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransia menyatakan bahwa Usaha asuransi dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa tidak pasti. 2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. 3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam asuransi utang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Dalam pasal 3 huruf (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, usaha penunjang usaha asuransi dikelompokkan menajdi 5 yakni Usaha Pialang Asuransi, Usaha Pialang Reasuransi, Usaha Penilaian Kerugian Asuransi, Usaha Konsultan Aktuaria, Usaha Agen Asuransi. Berdasarkan apa yang dijabarkan dalam Pasal 3 di atas, dapat dilihat bahwa kegiatan usaha di bidang perasuransian dibedakan antara usaha utama di bidang
14 34 asuransi dan usaha penunjang di bidang asuransi. Untuk itu, persyaratan untuk menjalankan kegiatan ini pun mempunyai syarat tersendiri. 13 Selain pengelompokkan menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dan penyelenggaraan usahanya menjadi 2 kelompok, yaitu: a. Usaha asuransi sosial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial yang bersifat wajib (compulsary) berdasarkan undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. b. Usaha asuransi komersial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary) berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif ekonomi) Bentuk Usaha Perasuransian Badan usaha dibagi menjadi 2 yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Ciri-ciri badan usaha yang berbadan hukum adalah yang menjadi subjek hukum dalam badan hukum itu sendiri dan tanggung jawabnya yang terbatas, dimana para pengurus badan hukum tersebut hanya bertanggung jawab sebatas pada saham yang dimilikinya saja. badan usaha yang tidak berbadan hukum yang menjadi subjek hukumnya adalah pengusaha tersebut dan tanggung jawabnya meliputi harta pribadi para pengurusnya. 13 Sentosa Sembiring, 2004,Hukum Asuransi, Nuansa Aulia, Bandung, h. 155.
15 bahwa 35 Berdasarkan kententuan Pasal 7 UU Usaha Perasuransian menyebutkan 1. Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk : a. Perusahaan Perseroan (PERSERO); b. Koperasi; c. Usaha Bersama (Mutual). 2. Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan akturia dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan. 3. Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Merujuk kepada ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian di atas, tampak bahwa untuk menjalankan kegiatan usaha perasuransian hal pertama yang harus diperhatikan adalah bentuk badan hukumya yang akan menjadi identitas usaha perasuransian yang akan dijalankan. Hal tersebut dianggap penting, sebab untuk mendirikan badan usaha berbadan hukum mempunyai persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang badan usaha yang dimaksud. 14 Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas dan atau Perusahaan Perseroan (Persero), maka 14 Ibid, h. 156.
16 36 pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi, maka untuk memperoleh status badan hukum itu Koperasi pendiriannya harus mengikuti ketetuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sedangkan,badan usaha bersama hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus, sehingga untuk sementara ketentuan usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur dengan Peraturan Pemerintah Izin Usaha Perasuransian Mengenai perizinan usaha perasuransian, sesuai Pasal 9 ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian disebutkan bahwa setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan program asuransi sosial. Pengertian Menteri yang dimaksud disini, sesuai ketentuan Pasal 1 butir 14 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan ijin usaha harus dipenuhi persyaratan mengenai: c. Anggaran Dasar d. Susunan organisasi e. Permodalan f. Kepemilikan
17 g. Keahlian di bidang perasuransian 37 h. Kelayakan rencana kerja i. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Keahlian dibidang perasuransian yang dimaksud dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian dibidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko, penilai kerugian asuransi, dan sebagainya sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyaratan dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing (pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian). Dalam pengertian batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan
Lebih terperinciBAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah
Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur
Lebih terperinciKepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan
Lebih terperinciKepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan
Lebih terperinciTUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1
TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan
Lebih terperinci1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak
UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan
Lebih terperinciDIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di
Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir risiko yang berkemungkinan dapat menimbulkan kerugian atas harta kekayaannya atau jiwa seseorang
Lebih terperinciBAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur
BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar
Lebih terperinciBAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37
51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004
29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.
BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D
PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D 101 09 205 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-undang Kepailitan. Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,
Lebih terperinciPENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah
Lebih terperinciKepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates
Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan
Lebih terperinciOTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan
Lebih terperinciB. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN
3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciPENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS
PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang
Lebih terperinciBAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat
27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa,
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perusahaan Asuransi 1. Pengertian Perusahaan Asuransi Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau
Lebih terperinciUU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)
Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit
Lebih terperinciSyarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004)
Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana
Lebih terperinciBAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI
BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang
Lebih terperinciApakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)
1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana
Lebih terperinciPELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO
PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa gejolak moneter
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana
Lebih terperinciBAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR
BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemberian Kredit 1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Dana yang diterima dari masyarakat, apakah itu berbentuk simpanan berupa tabungan, giro, deposito pada akhirnya akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang
Lebih terperinciBAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA
20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,
Lebih terperinci2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah
No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
Lebih terperinciKOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI
KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : SHAFIRA HIJRIYA
Lebih terperinciBAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU
21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga
Lebih terperinciUPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN
Jurnal Independent Vol 3 Nomor 2 UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM Abstrak Pailit sebagaimna tercermin dalam pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor.37 tahun 2004 adalah
Lebih terperinciLex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014
AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk
Lebih terperinciBentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciPenundaan kewajiban pembayaran utang
Penundaan kewajiban pembayaran utang PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor atau kreditor Debitor mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor
Lebih terperincikemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian
Lebih terperinciBAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.
BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama
Lebih terperinciDisusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H
Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H A. PENGANTAR Disaat pertama kali kita mendengar Pailit, maka yang pertama kali ada di dalam bentak kita adalah bangkrut. Bangkrut, diidentikkan dengan keadaan
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 membuat perekonomian Indonesia belum seutuhnya stabil bahkan sampai saat ini. Banyak dunia usaha yang
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
BATANG TUBUH PENJELASAN RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAH REASURANSI,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan hilangnya sumber penghasilan. Atau karena pengeluaran. keadaan itu sebagai bangkrut (Lilik Mulyadi, 2010 : 45).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, setiap subjek hukum (badan hukum atau individu) pasti pernah mengalami kesulitan keuangan. Kadangkala penghasilan yang diterima ternyata
Lebih terperinciIMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak
IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini
Lebih terperinciNOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan
Lebih terperinciLex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016
AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.337, 2014 EKONOMI. Asuransi. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004
BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Syarat Peraturan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam ilmu hukum dagang, penundaan kewajiban
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah
vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia
Lebih terperinciDosen Pengampu: Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. DISUSUN OLEH Asawati Nugrahani (E )
Pertanggung Jawaban Pengembalian Premi Asuransi oleh Perusahaan Asuransi Pailit Terhadap Pemegang Polis (Studi Kasus Asuransi Jiwa Bumi Asih) Tugas Ini Disusun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Nilai UAS Metode
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia
Lebih terperinciWEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN
0 WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Lebih terperinciBAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN
15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan
Lebih terperinciBAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang
BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR A. Syarat dan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh Debitur Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hukum Perusahaan Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan
Lebih terperinci(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Bahasa Perancis, Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Bahasa Latin serta Bahasa
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aspek-Aspek Hukum dalam Kepailitan 1. Definisi Kepailitan Istilah kepailitan berasal dari kata pailit, istilah tersebut juga dapat kita lihat dari Bahasa Perancis, Bahasa Belanda,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aspek-Aspek Kepailitan 1. Definisi dan Asas-Asas Kepailitan Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso (1993:18-19) menjelaskan definisi dari kepailitan yaitu, secara etimologi kepailitan
Lebih terperinci