PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT ASTRI SABRINA QHOIRUNISA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT ASTRI SABRINA QHOIRUNISA"

Transkripsi

1 PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT ASTRI SABRINA QHOIRUNISA DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Astri Sabrina Qhoirunisa NIM H

4 ABSTRAK ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh RITA NURMALINA. Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Kondisi kebutuhan yang tinggi terhadap beras menjadi dasar penting bagi pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Peningkatan produktivitas melalui intensifikasi pertanian salah satunya diwujudkan melalui penanaman padi hibrida. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan keragaan usahatani, menganalisis pendapatan usahatani serta imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor. Pendapatan atas biaya tunai per hektar per musim pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar Rp Pendapatan atas biaya total per hektar per musim pada usahatani padi inbrida yaitu sebesar Rp sedangkan pada usahatani padi hibrida pendapatan atas biaya total bernilai negatif yang berarti petani padi hibrida mengalami kerugian sebesar Rp Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 2.15 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar Nilai R/C rasio atas biaya total pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 0.99, sementara pada usahatani padi inbrida yaitu senilai Kata kunci: intensifikasi pertanian, padi hibrida, padi inbrida, pendapatan usahatani, R/C rasio ABSTRACT ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Farm Income of Hybrid Rice and Inbred Rice in Bogor Regency, West Java Province. Supervised by RITA NURMALINA. Commodity which became a staple food of Indonesian people is rice. Conditions of high demand for rice became an important base for rice farming in Indonesia to increase national rice production and productivity through extension and intensification agricultural programs. Increased productivity through intensification of agriculture one of which is realized through the hybrid rice. The purpose of this study are to describe the variability of rice farming, analyze farm income and the ratio between revenue and cost of hybrid and inbred rice farming in Bogor regency. Income based on cash costs per hectare per season on hybrid rice farming is Rp while the inbred rice farming is Rp Income based on total costs per hectare per season in inbred rice farming is Rp while the hybrid rice farming income based on total cost is negative which means hybrid rice farmers suffered a loss of Rp Value of R/C ratio based on cash cost on hybrid rice farming that is equal to 2.15, while the inbred rice farming is Value of R/C ratio based on total cost of the hybrid rice farming that is equal to 0.99, while the inbred rice farming is Key words: agricultural intensification, hybrid rice, inbred rice, farm income analysis, R/C ratio

5 PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR PROVINSI JAWA BARAT ASTRI SABRINA QHOIRUNISA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

6

7 Judul Skripsi : Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Nama : Astri Sabrina Qhoirunisa NIM : H Disetujui oleh Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 ini ialah Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji utama dan Anita Primaswari Widhiani, SP, MSi selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Melissa Amandasari, SE yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak H. Nana beserta staf dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor, Bapak Jasiman dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Penyuluhan Pertanian Perikanan (UPTD-P3) Wilayah Cibungbulang, Bapak Agah dari Gabungan Kelompok Tani Asmara Jaya Desa Ciasmara, Bapak H. Soleh dari Kelompok Tani Sadar Tani Desa Ciasmara, dan Ibu Lilis dari Kantor Desa Ciasmara yang telah membantu selama pengumpulan data. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir Lusi Fausia, M.Ec selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak dan adik, serta seluruh keluarga dan para sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat dan terima kasih atas segala dukungan dari rekanrekan Agribisnis 46. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Juni 2013 Astri Sabrina Qhoirunisa

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 7 Tujuan Penelitian 9 Manfaat Penelitian 9 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 10 TINJAUAN PUSTAKA 10 Gambaran Umum Komoditas 10 Padi Varietas Unggul 11 Tinjauan Penelitian Terdahulu 14 KERANGKA PEMIKIRAN 17 Kerangka Pemikiran Konseptual 17 Kerangka Pemikiran Operasional 21 METODE PENELITIAN 25 Lokasi dan Waktu Penelitian 25 Jenis dan Sumber Data 25 Metode Penentuan Responden 25 Metode Pengolahan dan Analisis Data 26 Definisi Operasional Penelitian 27 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28 Keadaan Geografis 28 Sosial Ekonomi Masyarakat 29 Karakteristik Petani Responden 30 HASIL DAN PEMBAHASAN 34 Keragaan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida 34 Analisis Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida 44 SIMPULAN DAN SARAN 56 Simpulan 56 Saran 58 DAFTAR PUSTAKA 58 RIWAYAT HIDUP 73

10 DAFTAR TABEL 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan menurut kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor beras di Indonesia tahun Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 sampai Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor tahun Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi tertinggi di Kabupaten Bogor tahun Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di Kecamatan Pamijahan tahun Komposisi mata pencaharian penduduk Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor tahun Karakteristik petani responden di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor tahun Perbandingan penggunaan input, produktivitas, dan harga pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per musim tanam Oktober Rata-rata penerimaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari Rata-rata biaya penggunaan pupuk padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi hibrida dan padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan R/C rasio usahatani padi hibrida dan padi inbrida per hektar per musim di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor 54 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran operasional penelitian 24 2 Rata-rata penggunaan benih padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober

11 4 Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober DAFTAR LAMPIRAN 1 Varietas padi hibrida yang telah dilepas di Indonesia hingga tahun Deskripsi padi varietas DG 1 SHS 62 3 Deskripsi padi varietas Ciherang 63 4 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi hibrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor 64 5 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor 66 6 Rata-rata pengeluaran usahatani padi hibrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari Rata-rata pengeluaran usahatani padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari Peta Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor 70 9 Dokumentasi penelitian 71

12

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia meliputi beberapa subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor perikanan, dan subsektor kehutanan. Subsektor tanaman pangan merupakan sub-sektor pertanian yang penting bagi negara Indonesia karena sub-sektor ini menjadi penyedia utama bahan pangan bagi penduduk. Menurut Suryani dan Rachman (2008), pangan merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama oleh negara dan masyarakatnya. Komitmen Indonesia tentang pangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, dimana pada Pasal 45 disebutkan bahwa kewajiban untuk mewujudkan ketahanan pangan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1996 mendefinisikan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dari atau pembuatan makanan dan minuman. Sementara itu, pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup. Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan menurut kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun 2012 a Kelompok barang konsumsi Persentase (%/kap/tahun) Makanan: - Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Lain-lain Jumlah makanan a Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah). Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya proporsi konsumsi masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap beras pada pengeluaran rata-rata setiap bulannya. Jika dilihat

14 2 dari Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi beras (padi-padian) mencapai persen dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk indonesia masih menjadikan beras sebagai komoditas utama dalam konsumsi pangan pokoknya, sesuai dengan pendapat Budijanto dan Sitanggang (2011) yang menyatakan bahwa beras memiliki posisi strategis yang berperan sebagai makanan pokok (staple food) bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2012) dan Perum BULOG (2011) pada Tabel 2, produksi padi tahun 2010 sebesar juta ton Gabah Kering Giling (GKG), terjadi kenaikan sebanyak 2.07 juta ton dibandingkan produksi tahun Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas panen padi di Indonesia seluas ribu hektar dan juga peningkatan produktivitas sebesar 0.16 kuintal per hektar. Produksi padi tahun 2011 sebesar juta ton GKG, terjadi penurunan sebesar ribu ton dibandingkan produksi tahun Penurunan produksi diperkirakan karena penurunan luas panen padi di Indonesia seluas ribu hektar dan juga penurunan produktivitas sebesar 0.35 kuintal per hektar, yang disebabkan oleh iklim ekstrim di tahun 2011 dimana terjadi gagal panen akibat kekeringan dan berkembangnya hama penyakit padi, sehingga menurunkan produktivitas padi nasional. Produksi padi tahun 2012 sebesar juta ton GKG, terjadi kenaikan sebesar 3.29 juta ton dibandingkan produksi tahun Kenaikan produksi disebabkan adanya peningkatan luas seluas ribu hektar dan disertai peningkatan produktivitas sebesar 1.56 kuintal per hektar. Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor beras di Indonesia tahun ab Tahun Luas panen Produktivitas Produksi Volume impor (ha) (ku/ha) (ton) beras (ton) a Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 dan Perum BULOG 2011 (diolah).; b Bentuk padi berupa Gabah Kering Giling (GKG). Komoditas beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia perlu dijaga ketersediaannya di dalam negeri. Selama ini pemerintah mengambil kebijakan impor beras dari berbagai negara, khususnya dari wilayah Asia, seperti Vietnam dan Thailand untuk menjaga kestabilan persediaan dalam negeri dan mencukupi kebutuhan pangan pokok masyarakat. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemerintah tidak melakukan impor beras pada tahun 2009 karena persediaan beras dalam negeri dapat tercukupi, namun pada tahun 2010 impor dilakukan sebanyak ton dan meningkat hingga 2.21 juta ton pada tahun 2011 akibat adanya penurunan jumlah produksi padi dalam negeri, sehingga impor dilakukan agar kebutuhan masyarakat tetap dapat tercukupi. Pada tahun 2012 volume impor beras

15 mengalami penurunan menjadi 1.27 juta ton diperkirakan karena produksi padi dalam negeri yang mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun Kebutuhan beras dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 persen pada tahun , apabila diproyeksikan pada tahun 2015 penduduk Indonesia akan berada pada angka 247 juta jiwa, dan mencapai 261 juta jiwa pada tahun Dengan konsumsi beras rata-rata per kapita sebesar 139 kg (BPS 2012), maka jumlah total konsumsi beras Indonesia pada tahun 2015 diproyeksikan mencapai juta ton dan sebesar juta ton pada tahun Permintaan beras yang semakin meningkat tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, tetapi juga pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan beras secara nasional meningkat dalam jumlah, mutu, dan keragaman. Sementara itu, kapasitas produksi beras nasional pertumbuhannya lambat atau dapat dikatakan stagnan (Nurmalina 2008). Kondisi peningkatan kebutuhan akan beras menjadi dasar penting bagi pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional. Peningkatan produktivitas padi nasional dapat ditempuh melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan hasil pertanian dengan memanfaatkan lahan yang tersedia dengan sebaik-baiknya menggunakan teknologi tepat guna. Sedangkan ekstensifikasi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan hasil pertanian dengan memperluas lahan pertanian. Selama ini di Indonesia lebih banyak dilakukan intensifikasi pertanian terutama di Pulau Jawa dibandingkan dengan ekstensifikasi pertanian, karena memanfaatkan kondisi tingkat kesuburan lahan yang lebih baik dan mengurangi dampak kerusakan ekosistem serta berkurangnya habitat alami hewan di alam yang dapat ditimbulkan dari ekstensifikasi pertanian. Salah satu upaya pemerintah dalam intensifikasi pertanian padi yaitu melalui Sidang Kabinet Terbatas di Departemen Pertanian pada tahun 2007 mencanangkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Program nasional ini didukung oleh berbagai kebijakan subsidi dan bantuan penyediaan pupuk, benih, dan penerapan berbagai inovasi teknologi melalui kegiatan penyuluhan dan koordinasi pihak terkait, baik di pusat maupun daerah. Strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN meliputi: 1) peningkatan produktivitas, 2) perluasan areal tanam, 3) pengamanan produksi, dan 4) pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usahatani. Operasionalisasi dari strategi peningkatan produktivitas diwujudkan melalui introduksi model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), penanaman padi hibrida, dan perbaikan intensifikasi padi melalui bantuan sarana produksi berupa bantuan subsidi pupuk termasuk pupuk organik serta benih varietas unggul baru padi hibrida dan inbrida. Belajar dari pengalaman implementasi PTT pada tahun 2007 dan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) pada tahun 1990-an, maka sejak tahun 3 1 [BPS] Badan Pusat Statistik Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia dari: Proyeksi Penduduk Indonesia [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia dari:

16 percepatan adopsi PTT oleh petani di daerah-daerah sentra produksi ditempuh melalui sekolah lapang (SL) yang biasa disebut SL-PTT (Deptan 2009). Penerapan strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN selama ini dilakukan di sentra-sentra produksi padi nasional, terutama di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau dimana sebaran areal lahan sawah padi paling banyak terkonsentrasi dan memiliki angka produksi beras tertinggi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyorini et al. (2003) yang menyatakan bahwa hampir 42 persen lahan sawah berada di Pulau Jawa, 27 persen di Sumatera, sedangkan 13, 11, dan 7 persen masing-masing berada di Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah Bali-Nusa Tenggara. Terkonsentrasinya lahan sawah di Pulau Jawa berkaitan dengan jenis tanah yang berasal dari bahan induk endapan volkan, dimana secara alami lebih subur daripada tanah-tanah sawah yang berasal dari bahan induk endapan tersier. Tingkat kesuburan tanah alami yang relatif lebih baik dan ditunjang oleh adopsi teknologi budidaya yang lebih maju mengakibatkan kesenjangan produktivitas yang tinggi antara lahan sawah di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa 3. Berdasarkan data yang tercatat di Perum BULOG (2011) dan Badan Pusat Statistik (2012), angka produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) di Pulau Jawa dalam kurun waktu 2008 hingga 2012 mengalami tren peningkatan. Penurunan produksi di Pulau Jawa hanya terjadi pada tahun 2011 namun kembali mengalami peningkatan pada tahun 2012 dengan angka produksi tertinggi selama lima tahun terakhir. Tabel 3 Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun a Daerah Sumatera Jawa DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali & Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua Luar Jawa Indonesia a Sumber: Perum BULOG 2011 dan Badan Pusat Statistik 2012 (diolah). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa apabila angka produksi padi di Pulau Jawa dibandingkan dengan produksi padi di luar Pulau Jawa, angka produksi tersebut masih lebih besar bila dibandingkan dengan total keseluruhan produksi padi dari 3 Setyorini et al Teknologi Pegelolaan Hara Lahan Sawah Intensifikasi [Internet].[diacu 2012 Oktober 8]. Tersedia dari:

17 seluruh pulau di Indonesia selain Jawa. Hal tersebut membuktikan keberadaan Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki angka tertinggi dalam produksi padi di Pulau Jawa. Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat tahun 2009, sentra produksi padi sawah di Jawa Barat meliputi Bekasi, Karawang, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu 4. Salah satu kabupaten yang menjadi sentra produksi padi di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor. 5 Tabel 4 Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 sampai 2010 a Lokasi Luas areal potensial (Ha) Jawa Barat Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Ciamis Purwakarta Jumlah a Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011). Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011), sesuai yang tercantum dalam Tabel 4, Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra padi yang memiliki potensi untuk pengembangan padi hibrida di Jawa Barat. Luas areal potensial yang terus meningkat mulai tahun 2008 hingga 2010 menunjukkan bahwa program penanaman padi hibrida di Kabupaten Bogor berpotensi untuk dikembangkan. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor mengalami fluktuasi namun trennya meningkat hingga tahun Penurunan produksi terjadi pada tahun 2007 dan 2009, yang diperkirakan akibat dari penurunan luas panen. Pada tahun 2011 produktivitas mencapai puncaknya yaitu di angka kuintal per hektar. Hal ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Bogor memiliki potensi menjadi sentra produksi padi di Provinsi Jawa Barat. 4 [Diperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Sentra Produksi Padi Sawah di Jawa Barat [Internet].[diacu 2012 Oktober 8]. Tersedia dari:

18 6 Tabel 5 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor tahun a Tahun Luas panen Produktivitas (ha) (ku/ha) Produksi (ton) a Sumber: BPS Kabupaten Bogor 2012 (diolah). Menurut data dari BPS Kabupaten Bogor tahun 2012 dalam Tabel 6, dari sebanyak 40 jumlah kecamatan di Kabupaten Bogor, Kecamatan Pamijahan merupakan kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas tertinggi. Padi merupakan komoditas utama dari sektor pertanian di Kecamatan Pamijahan. Tabel 6 Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi tertinggi di Kabupaten Bogor tahun 2011 a Luas Panen Produktivitas Kecamatan Produksi (ton) (ha) (ton/ha) Pamijahan Sukamakmur Jonggol Tanjung Sari Cariu a Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2012). Apabila dibandingkan, produktivitas padi di Kecamatan Pamijahan pada tahun 2011 berada di atas angka produktivitas padi Kabupaten Bogor pada tahun yang sama, yaitu sebesar 6.40 ton per hektar setara dengan 64 kuintal per hektar dimana produktivitas Kabupaten Bogor hanya sebesar kuintal per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Pamijahan memberikan kontribusi yang besar terhadap produktivitas padi Kabupaten Bogor. Penelitian padi hibrida di Indonesia telah diinisiasi sejak tahun 1983 dengan tujuan menjajaki prospek dan kendala penggunaan padi hibrida. Sejak tahun 1998, penelitian lebih diintensifkan dengan melakukan pembentukan tetua padi hibrida yang berasal dari plasma nutfah sendiri dengan target mendapatkan padi hibrida yang adaptif di lingkungan Indonesia dan berpotensi hasil 15 sampai 20 persen lebih tinggi dibandingkan varietas padi inbrida terbaik (Satoto dan Suprihatno 2008). Hingga tahun 2009, terdapat 37 varietas padi hibrida yang telah dilepas sejak tahun 2001, terdiri dari enam padi hibrida publik yang dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Padi (BALITPA) dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) serta 31 padi hibrida swasta seperti yang terdapat pada Lampiran 1.

19 Padi hibrida di Indonesia pada umumnya bila ditanam di lingkungan yang sesuai, mampu menghasilkan gabah 1.0 sampai 1.5 ton per hektar lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida terbaik di daerah setempat. Menurut Satoto dan Suprihatno (2008), pada demonstrasi penerapan teknologi PTT di 28 kabupaten, varietas padi hibrida Rokan dan Maro memberikan hasil rata-rata 9.05 dan 8.87 ton per hektar, sedangkan varietas inbrida kurang dari 8.0 ton per hektar. Hal tersebut memberikan bukti bahwa padi hibrida memiliki potensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional apabila disertai dengan penanganan budidaya yang baik. Peningkatan produksi dan produktivitas padi nasional yang dilakukan secara berkelanjutan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan akan beras bagi masyarakat dalam negeri dan meminimalisir impor beras pada masa yang akan datang. Peningkatan produksi padi nasional juga akan memberi dampak positif bagi petani padi Indonesia yaitu meningkatkan pendapatan usahatani yang mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani di daerah-daerah sentra produksi padi. 7 Perumusan Masalah Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2011) pada Tabel 7, dari sebanyak 15 desa yang terdapat di Kecamatan Pamijahan, Desa Ciasmara merupakan desa dengan luas panen, produktivitas, dan produksi padi tertinggi, masing-masing sebesar 950 hektar, 6.2 ton per hektar, dan ton. Sebagai sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan, dimana Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi padi di Kabupaten Bogor, maka dapat disimpulkan bahwa Desa Ciasmara adalah sentra produksi padi Kabupaten Bogor. Tabel 7 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di Kecamatan Pamijahan tahun 2010 a No. Desa Luas panen Produktivitas Produksi (Ha) (Ton/ha) (Ton) 1. Cibunian Purwabakti Ciasmara Ciasihan Gunung Sari Gunung Bunder Gunung Bunder Cibening Gunung Picung Cibitung Kulon Cibitung Wetan Pamijahan Pasarean Gunung Menyan Cimayang Jumlah a Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2011).

20 8 Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi Kabupaten Bogor dimana kegiatan bertani dianggap sebagai aktifitas turun temurun yang dijaga keberlangsungannya dalam kehidupan bermasyarakat, menjadikan kegiatan bertani padi menjadi tradisi yang berlangsung hingga saat ini. Kebiasaan bertani ini perlu didukung oleh adanya penerapan sistem usahatani yang baik, dengan tujuan agar produksi yang tinggi dapat berlangsung secara kontinyu. Di Desa Ciasmara terdapat satu Gabungan Kelompok Tani bernama Gapoktan Asmara Jaya, yang terdiri dari delapan kelompok tani. Selama ini benih padi yang digunakan oleh sebagian besar petani di Desa Ciasmara yaitu varietas Ciherang. Dalam melaksanakan usahatani, Gapoktan Asmara Jaya dan petani yang tergabung di dalamnya memperoleh pelatihan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) sejak tahun Pada bulan Oktober 2012, Desa Ciasmara memperoleh program adopsi benih padi hibrida. Pelaksanaan program SL-PTT dengan bantuan benih langsung padi hibrida yang diperoleh secara gratis tersebut secara tertulis melibatkan sebanyak 25 petani yang sebagian besar merupakan anggota kelompok tani Sadar Tani. Namun selama penelitian berlangsung, seluruh populasi petani padi hibrida yang terdapat di Desa Ciasmara hanya berjumlah 17 orang. Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk penggunaan benih padi hibrida berbeda menurut karakteristik agroekosistem. Paket teknologi yang diujicoba di lahan penelitian suatu tempat belum tentu memberikan hasil serupa bila diterapkan di sentra-sentra produksi padi lain. Benih padi hibrida yang ditanam petani sebagian besar masih diimpor dari Cina atau India, yang memiliki kondisi agroekosistem berbeda. Adopsi benih padi hibrida di Indonesia masih memiliki kendala, diantaranya yaitu produktivitas masih sangat beragam dan tidak mantap. Menurut Ruskandar (2010), di tingkat penelitian, hasil padi hibrida berkisar antara 8-10 ton per hektar atau 10 sampai 30 persen lebih tinggi dibanding padi inbrida yang saat ini mendominasi areal pertanaman padi nasional, seperti Ciherang, IR64, dan Way Apo Buru. Di lokasi tertentu dengan dukungan teknologi budidaya yang tepat, hasil padi hibrida pada tingkat petani bisa mencapai 9 ton per hektar. Akan tetapi di banyak lokasi, hasil padi hibrida belum meyakinkan dan masih rendah disebabkan oleh serangan hama penyakit dan ketidaktepatan penerapan tekonologi budidaya. Pada umumnya varietas padi hibrida belum ada yang tahan terhadap hama dan penyakit utama seperti Wereng Coklat, Hawar Daun Bakteri, dan virus tungro. Selain permasalahan kecocokan agroekosistem, perolehan benih padi hibrida dengan harga yang mahal juga menjadi permasalahan bagi petani. Berdasarkan hasil penelitian Ruskandar (2010), dengan harga benih yang berkisar antara Rp hingga Rp per kilogram, hampir seluruh petani responden di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyatakan tidak bersedia membeli dan konsekuensinya mereka enggan melanjutkan penanaman padi hibrida pada musim tanam berikutnya. Begitu pula dengan benih padi hibrida yang ditanam di Desa Ciasmara. Pemanenan yang dilakukan pada bulan Februari 2013 merupakan pemanenan perdana dari hasil musim tanam yang dimulai sejak bulan Oktober Hasil produksi yang diperoleh menjadi suatu tolak ukur apakah penggunaan padi hibrida di Desa Ciasmara lebih menguntungkan atau tidak apabila dibandingkan dengan padi inbrida yang biasa ditanam oleh petani yaitu varietas Ciherang.

21 Apabila ternyata pendapatan usahatani yang dihasilkan dengan menanam padi hibrida lebih rendah daripada padi inbrida, terdapat kemungkinan petani enggan menanam kembali padi hibrida karena adanya berbagai pertimbangan dari sudut pandang petani. Dengan demikian analisis perbandingan pendapatan usahatani antara padi hibrida dengan padi inbrida menjadi hal yang penting untuk diteliti, apakah dengan produktivitas padi hibrida yang lebih tinggi namun harga pembelian benih yang lebih mahal dapat menghasilkan pendapatan usahatani yang lebih besar dibandingkan padi inbrida. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor 2. Bagaimana pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor 3. Bagaimana imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor 9 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini meliputi: 1. Mendeskripsikan keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor 2. Menganalisis pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor 3. Menganalisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi dalam hal usahatani padi hibrida dan padi inbrida, seperti pihak petani, pemerintah, dan pembaca. Bagi petani, diharapkan hasil dari penelitian ini akan memberikan informasi yang bermanfaat terutama dalam hal keputusan memilih padi yang akan diproduksi, sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi petani. Bagi pemerintah khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, diharapkan hasil penelitian ini akan dijadikan salah satu sumber informasi dalam mengembangkan program peningkatan produksi padi hibrida yang telah dilakukan selama ini. Bagi pembaca, diharapkan hasil penelitian ini nantinya akan menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sumber informasi serta pembanding dalam melakukan penelitian selanjutnya yang relevan.

22 10 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Komoditas yang menjadi objek penelitian ini adalah komoditas padi hibrida varietas DG 1 SHS dan padi inbrida varietas Ciherang. Substansi penelitian ini hanya pada analisis keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, dan analisis R/C rasio pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara selama musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari Responden padi hibrida yang termasuk dalam penelitian ini yaitu seluruh populasi petani yang menanam padi hibrida di Desa Ciasmara, sedangkan responden padi inbrida yaitu petani anggota poktan di bawah gabungan kelompok tani Asmara Jaya di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Komoditas Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan tumbuhan Gramineae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman padi terdiri dari ribuan varietas yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, sehingga dapat dikatakan tidak ada dua varietas padi yang memiliki karakteristik sama dan terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Indica dan golongan Yaponica/sub-Yaponica (Siregar 1978). Golongan tanaman padi yang terdapat di Indonesia merupakan padi golongan Indica yang pada umumnya terdapat di negara-negara yang termasuk daerah tropis. Tanaman padi yang dipanen akan menghasilkan Gabah Kering Panen (GKP) dengan kadar air antara 18 hingga 25 persen, yang setelahnya dikeringkan atau dijemur hingga kadar air berkurang sampai pada batas maksimal 14 persen dan menjadi Gabah Kering Giling 5 (GKG). Gabah Kering Giling tersebut yang selanjutnya diproses menjadi beras. Beras merupakan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Meskipun sebagai pangan pokok beras dapat disubstitusi oleh bahan makanan lainnya, namun beras memiliki nilai tersendiri bagi orang Indonesia yang biasa mengkonsumsi nasi sebagai olahan beras dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan lain (Aak 1990). Selain itu, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Menurut Firdaus et al. (2008), beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup masyarakat dan penting sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan, dimana sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya beras telah memicu terjadinya kerusuhan pada periode awal reformasi akibat kekhawatiran masyarakat akan kekurangan stok pangan nasional. Peran dan campur tangan pemerintah menjadi sesuatu yang penting dalam rangka menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata, dan harga yang stabil agar dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Peran pemerintah Istilah Perdagangan Gabah [Internet].[diacu 2013 Januari 28]. Tersedia dari:

23 dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras dalam negeri (self sufficiency) hingga saat ini ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui kebijakan impor dan peningkatan produksi beras dalam negeri. 11 Padi Varietas Unggul Padi dikatakan termasuk varietas unggul apabila memiliki salah satu sifat keunggulan terhadap varietas sebelumnya. Keunggulan tersebut dapat tercermin pada sifat pembawaannya yang dapat menghasilkan bulir yang produksinya tinggi, pada satu satuan luas lahan dan pada satu satuan waktu. Produksi yang tinggi ini dapat terjadi karena perpaduan antara beberapa sifat yang ada pada tanaman. Beberapa sifat tanaman padi varietas unggul antara lain mempunyai banyak anakan, jumlah malai tiap anakan banyak, bulir padi pada tiap malai berjumlah lebih dari 250 bulir, respon terhadap pemupukan, tahan terhadap hama dan penyakit termasuk virus, serta berumur pendek antara 110 hingga 140 hari setelah penanaman (Aak 1990). Berdasarkan hasil penelitian Samaullah (2007), penggunaan padi varietas unggul adalah salah satu penentu keberhasilan usahatani padi. Melalui penggunaan varietas unggul dan teknik budidaya yang sesuai dapat meningkatkan produksi padi nasional. Keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 merupakan salah satu bukti bahwa penggunaan benih dari varietas unggul disertai teknik budidaya yang baik dapat meningkatkan hasil. Hingga saat ini, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah menghasilkan banyak varietas unggul yang mempunyai potensi hasil dan sifat-sifat lain yang lebih baik dari varietas unggul sebelumnya. Dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dimulai pada tahun 2007, penggunaan padi varietas unggul menjadi komponen penting dalam operasionalisasi program untuk menggantikan dominasi posisi IR64 yang produktivitas dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit telah mulai menurun. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2008) 6 dan Aak (1990), varietas unggul yang ada di Indonesia meliputi: Padi Varietas Unggul Hibrida (VUH) a. Pengertian Padi Hibrida Varietas hibrida mengandung makna bahwa benih yang digunakan untuk pertanaman produksi adalah benih generasi pertama (F1) yang berasal dari hasil persilangan antara tetua berbeda yang dipilih melalui seleksi. Secara individu, susunan genetik tanaman hibrida bersifat heterozigot homogen (Satoto et al. 2008). Virmani et al. (2004) dalam Basuki (2008) memberikan penjelasan bahwa padi hibrida komersial merupakan F1 (keturunan pertama) yang superior. Maksudnya adalah selain berasal dari induk yang lebih baik, padi hibrida komersial juga harus signifikan menunjukkan superioritas hasil (paling tidak 1 ton per hektar) atas varietas unggul inbrida dengan umur sejenis serta mempunyai kualitas gabah yang diterima konsumen. 6 [BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Varietas Unggul Padi Sawah: Pengertian dan Aspek Terkait [Internet].[diacu 2013 Januari 27]. Tersedia dari:

24 12 Perakitan padi hibrida dilandasi oleh adanya fenomena genetika yang disebut vigor hibrida atau heterosis. Menurut Satoto et al. (2008) heterosis merupakan suatu kecenderungan bahwa individu atau populasi F1 akan tampil lebih baik dibandingkan dengan salah satu tetua atau rata-rata kedua tetua pembentuknya. Keunggulan yang dihasilkan dari heterosis pada padi terlihat pada hasil gabah, komponen pertumbuhan (akar dan daun), dan komponen hasil (jumlah malai per satuan luas dan jumlah gabah per malai) yang lebih tinggi dibandingkan padi inbrida. Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), perakitan padi hibrida di Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode tiga galur, dalam arti untuk membentuk padi hibrida diperlukan tiga galur tetua, yaitu: 1) Galur mandul jantan (GMJ atau CMS atau A) Galur padi yang tidak dapat memproduksi tepungsari yang berfungsi (viable), disebabkan adanya interaksi antara gen-gen sitoplasma dan gen-gen inti disebut cytoplasmic male steril (CMS). CMS digunakan sebagai tetua betina dalam produksi benih padi hibrida. 2) Galur pelestari atau maintainer line (B) Galur pelestari mirip dengan galur-galur mandul jantan, hanya saja mempunyai tepungsari yang hidup (mempunyai viabilitas) dan mempunyai biji yang normal. Galur pelestari digunakan sebagai penyerbuk untuk melestarikan galur CMS. 3) Galur pemulih kesuburan atau restorer line (R) Restorer disebut juga sebagai tetua penghasil tepungsari atau tetua jantan. Galur pemulih kesuburan digunakan sebagai penyerbuk untuk tetua CMS dalam produksi benih hibrida. Galur pelestari (B) dan galur pemulih kesuburan (R) memiliki tepungsari yang normal (fertil) sehingga mampu menghasilkan benihnya sendiri. GMJ bersifat mandul jantan, sehingga hanya mampu menghasilkan benih bila diserbuki oleh tepungsari dari tanaman lain. Apabila GMJ diserbuki oleh galur B maka akan menghasilkan benih GMJ pula, sedangkan bila diserbuki oleh galur R, akan menghasilkan benih F 1 hibrida. Benih tersebut secara komersial dikenal dengan nama benih hibrida. b. Perkembangan Padi Hibrida di Indonesia Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), padi hibrida dirakit pertama kali di Cina pada tahun 1974 dan digunakan secara komersial sejak tahun 1976, dengan melepas varietas padi hibrida yang diberi nama Nam You 2 dan Nam You 3. Di Indonesia, penelitian padi hibrida telah dilakukan sejak tahun 1983 yang diawali dengan pengujian keragaan GMJ dan hibrida hasil introduksi. Selanjutnya, sejak tahun 1998 penelitian pemuliaan padi hibrida di Indonesia lebih diintensifkan, dengan menguji bahan pemuliaan introduksi yang disertai dengan perakitan berbagai kombinasi hibrida sendiri. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah melepas 37 varietas padi hibrida hingga tahun Varietas-varietas padi hibrida tersebut mempunyai tingkat heterosis persen lebih tinggi dibanding varietas padi inbrida. Namun tidak satupun dari ke-37 varietas tersebut yang memiliki sifat

25 tahan terhadap seluruh hama dan penyakit utama padi Indonesia. Hama dan penyakit utama yang mendapat perhatian berkaitan dengan padi hibrida adalah Wereng Batang Coklat (WBC), Hawar Daun Bakteri (HDB), dan virus tungro. Pengembangan padi hibrida di suatu wilayah harus melalui tahap pemilihan varietas yang tahan terhadap hama dan penyakit utama yang berada di wilayah tersebut, karena varietas yang tahan terhadap suatu hama penyakit tertentu pada sisi lain dapat memiliki sifat rentan terhadap jenis hama penyakit yang lain. Menurut Satoto et al. (2008), secara umum masalah-masalah dalam pengembangan padi hibrida di Indonesia saat ini antara lain: 1) masih terbatasnya jumlah varietas padi hibrida yang telah dilepas, 2) sistem dan teknologi perbenihan yang belum berkembang, padahal ketersediaan dan harga benih sangat menentukan, 3) varietas padi hibrida yang telah dilepas pada umumya masih rentan terhadap berbagai hama penyakit utama padi di Indonesia, 4) harapan petani yang sangat tinggi, 5) beberapa varietas padi hibrida mempunyai mutu beras kurang baik dibandingkan dengan beras premium, 6) keragaan yang tidak stabil yang disebabkan manajemen budidaya yang kurang cocok, 7) ketersediaan benih murni tetua atau F 1 hibrida kurang memadai, 8) hasil belum stabil dan harga benih agak mahal, 9) kebiasaan petani untuk menggunakan benih mereka sendiri (benih F 2 ), dan 10) perencanaan luas pertanaman dan produksi benih kurang matang sesuai dengan luas yang ditargetkan. Adapun strategi dalam perakitan varietas padi hibrida di Indonesia menurut Las et al. (2004), adalah sebagai berikut: 1) Pengevaluasian dan penyeleksian hibrida introduksi untuk menghasilkan varietas padi hibrida introduksi 2) Pengidentifikasian galur R dari program pemuliaan padi nasional yang sesuai bagi galur GMJ introduksi untuk menghasilkan varietas padi hibrida yang relatif lebih adaptif dibandingkan dengan hibrida introduksi 3) Pembuatan galur GMJ dan galur R dengan memanfaatkan plasma nutfah nasional untuk menghasilkan padi hibrida yang lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia 4) Pembuatan varietas hibrida dengan materi pemuliaan padi tipe baru (PTB) sehingga diharapkan potensi hasilnya persen lebih tinggi dari Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) terbaik 5) Penerapan bioteknologi untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi pemuliaan padi hibrida. Padi Varietas Unggul Nonhibrida/Inbrida 1) Varietas Unggul Nasional Padi varietas unggul nasional dihasilkan oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor sampai dengan tahun 1969 dengan daya produksi sedang. Varietas ini terdiri dari Bengawan, Si gadis, Remaja, Jelita, Dara, Syntha, Dewi Tara, Arimbi, Batara, dan Dewi Ratih. 2) Varietas Unggul Baru Kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik umur kisaran 100 sampai 135 hari setelah sebar (HSS), anakan banyak (> 20 tunas per rumpun) dan bermalai agak lebat (± 150 butir gabah per malai). Varietas ini diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1967, diantaranya berasal dari Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) di Filipina. Varietas ini 13

26 14 mempunyai daya produksi yang tinggi dan responsif terhadap pemupukan tinggi (high yielding variety). 3) Varietas Unggul Tipe Baru Kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik postur tanaman tegap, berdaun lebar dan berwarna hijau tua, beranak sedikit (< 15 tunas per rumpun), berumur 100 sampai 135 HSS, bermalai lebat (± 250 butir gabah per malai), dan berpotensi hasil lebih dari 8 ton gabah kering giling per hektar. 4) Varietas Unggul Lokal Varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai negara. Varietas ini tidak termasuk Varietas Unggul Nasional (UNGNAS), tetapi di daerah tertentu mampu menghasilkan padi lebih tinggi atau menyamai padi UNGNAS. Tinjauan Penelitian Terdahulu Kajian Empiris Mengenai Padi Hibrida Abdurachman (2011) melakukan penelitian mengenai sikap dan kepuasan petani terhadap benih padi hibrida di Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil analisis deskriptif tentang karakteristik responden, paling banyak petani berada pada kelompok usia 42 tahun, berjenis kelamin laki-laki, menikah, tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian pada motivasi petani terhadap benih padi hibrida varietas Intani 2 sebagian besar petani responden tidak termotivasi untuk menanam kembali benih padi hibrida varietas Intani 2 sebesar persen. Hasil analisis Cochran menunjukkan bahwa terdapat sembilan atribut yang dianggap penting dalam memilih benih padi untuk ditanam, yaitu benih bersertifikat, rasa nasi, tahan rebah tanaman, ketersediaan benih, pemasaran hasil panen, ketahanan terhadap hama dan penyakit, produktivitas, harga benih, dan yang terakhir harga jual gabah (GKP). Hasil analisis multiatribut Fishbein menunjukkan total nilai sikap yang diperoleh benih padi hibrida varietas Intani 2 dan benih padi inbrida varietas Ciherang ialah sebesar dan Hasil analisis Costumers Satisfaction Index (CSI) menunjukkan bahwa benih padi hibrida varietas Intani 2 memperoleh skor sebesar persen yang dianggap termasuk dalam kategori biasa atau netral. Sedangkan CSI pada benih padi inbrida varietas Ciherang ialah persen atau termasuk kedalam kategori puas. Firohmatillah (2011) meneliti tentang penerapan metode Quality Function Deployment (QFD) dan analisis sensitivitas harga pada pengembangan padi Varietas Unggul Hibrida studi kasus di Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Hasil penelitian menyatakan bahwa persyaratan konsumen yang diinginkan adalah benih padi hibrida yang memiliki karakter tingkat produktivitas tinggi, lama umur padi hibrida yaitu hari, tahan terhadap hama wereng coklat, penyakit hawar daun bakteri, dan penyakit blast, tahan terhadap virus tungro, berdaya kecambah tinggi, memiliki tingkat kerontokan (kehilangan) gabah padi hibrida saat panen dan pengangkutan pada tingkat sedang, memiliki tingkat kerontokan gabah padi hibrida saat proses penggebotan (perontokan gabah dari tangkainya) tergolong sedang, memiliki tingkat rendemen gabah menjadi beras

27 yang tinggi, memiliki jumlah anakan produktif yang tinggi, tahan rebah, karakteristik batang yang besar dan kuat, warna daun hijau tua, memiliki jumlah gabah per malai yang tinggi, ukuran benih besar, bentuk gabah ramping, tingkat kepatahan beras rendah, beras putih berkapur, tekstur nasi pulen, dan aroma nasi wangi. Berdasarkan analisis senstivitas harga, Indifferent Pricing Point (IPP) atau tingkat harga minimum untuk benih padi hibrida berada pada tingkat harga Rp per kg. Optimum Pricing Point (OPP) atau tingkat harga optimum berada pada tingkat harga Rp per kg. Marginal Cheap Price Point (MCP) atau tingkat harga terendah berada pada tingkat harga Rp per kg. Marginal Expensive Price Point (MEP) atau tingkat harga tertinggi berada pada tingkat harga Rp per kg. Rentang harga benih yang dapat diterima konsumen yaitu antara harga minimum Rp per kg dan harga optimum Rp per kg. Kajian Empiris Mengenai Usahatani Penelitian Basuki (2008) dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani Padi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani untuk Menanam Padi Hibrida (Studi Kasus Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat) bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani padi inbrida dan padi hibrida, serta mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani pada lokasi penelitian untuk menggunakan benih padi hibrida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani padi hibrida yang dilaksanakan oleh petani Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada Musim Rendeng 2006/2007 memberikan keuntungan yang lebih kecil daripada usahatani padi inbrida pada waktu dan tempat yang sama. Pendapatan atas biaya dibayarkan usahatani padi inbrida dan padi hibrida adalah Rp dan Rp R/C atas biaya dibayarkan pada usahatani padi inbrida adalah 2.10 dan R/C atas biaya dibayarkan pada usahatani padi hibrida adalah Hasil analisis regresi logistik untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi benih padi hibrida menunjukkan bahwa ada empat variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerapan benih padi hibrida di Kecamatan Cibuaya yaitu luas lahan, status lahan, rasio pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan total, dan umur. Murdani (2008) meneliti tentang analisis usahatani dan pemasaran beras Varietas Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru kasus Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil analisis usahatani per musim diketahui pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total per hektar usahatani Pandan Wangi pada setiap musim lebih besar daripada Varietas Unggul Baru. Hasil analisis usahatani per tahun diketahui pendapatan atas biaya tunai per hektar usahatani Pandan Wangi lebih kecil daripada Varietas Unggul Baru. Hal ini dikarenakan selisih antara penerimaan usahatani padi Varietas Unggul Baru dengan padi Pandan Wangi lebih besar daripada selisih antara total biaya tunai padi Varietas Unggul Baru dengan padi Pandan Wangi. Pendapatan atas biaya total per hektar per tahun padi Pandan Wangi lebih besar daripada padi Varietas Unggul Baru, karena selisih antara penerimaan usahatani padi Varietas Unggul Baru dengan padi Pandan Wangi lebih kecil daripada selisih antara biaya total padi Varietas Unggul Baru dengan padi Pandan Wangi. 15

28 16 Usahatani kedua varietas padi tersebut layak untuk diusahakan dilihat dari nilai R/C rasio. R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total usahatani padi Pandan Wangi lebih besar daripada Varietas Unggul Baru. Saluran pemasaran beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru di daerah penelitian berbeda. Pemasaran beras Pandan Wangi terdiri dari dua saluran, sedangkan pemasaran beras Varietas Unggul Baru terdiri dari tiga saluran. Rachmiyanti (2009) melakukan penelitian mengenai perbandingan usahatani padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) dengan padi konvensional kasus Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi konvensional. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI (Rp1.98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani padi konvensional, yaitu Rp2.46. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp1.54 sedangkan petani padi konvensional lebih besar dari petani padi organik tersebut, yakni sebesar Rp2.16. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI. Penelitian Nafis (2011) yang berjudul Analisis Usahatani Padi Organik dan Sistem Tataniaga Beras Organik di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa usahatani padi organik tersertifikasi mengeluarkan biaya total usahatani padi organik yaitu sebesar Rp per hektar per tahun, nilai tersebut lebih besar dibanding dengan biaya total yang dikeluarkan pada usahatani padi organik non-sertifikasi yaitu Rp per hektar per tahun. Namun, pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima oleh petani padi organik tersertifikasi yaitu Rp lebih besar dibanding pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima oleh petani padi organik nonsertifikasi yaitu sebesar Rp Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh kedua kelompok responden menguntungkan. Hal ini terlihat pada nilai rasio R/C atas biaya tunai petani padi organik tersertifikasi sebesar 3.03, sedangkan rasio R/C atas biaya tunai petani padi organik non-sertifikasi besarnya Rasio R/C atas biaya total petani padi organik tersertifikasi sebesar 1.56 dan petani padi organik non-sertifikasi sebesar Sistem tataniaga beras organik tersertifikasi terdiri dari empat saluran tataniaga, sedangkan pada sistem tataniaga beras organik non-sertifikasi terdiri dari dua saluran. Keterkaitan Kajian Empiris terhadap Penelitian Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, penelitian mengenai usahatani padi hibrida belum banyak dilakukan. Selama ini penelitian mengenai usahatani padi yang banyak dilakukan yaitu pada usahatani padi varietas inbrida yang telah lebih dulu berkembang di Indonesia. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Persamaan dengan penelitian Murdani, Rachmiyanti, dan Nafis yaitu dalam metode analisis yang digunakan dalam usahatani yang meliputi analisis pendapatan usahatani dan analisis R/C rasio, yang membedakan adalah penelitian ini tidak menganalisis pemasaran. Persamaan

29 dengan penelitian Abdurachman dan Firohmatillah dalam hal komoditas yang diteliti yaitu padi hibrida, namun berbeda dalam metode analisis yang digunakan. Persamaan dengan penelitian Basuki, penelitian ini juga menghasilkan perhitungan pendapatan usahatani padi hibrida yang lebih kecil daripada pendapatan usahatani padi inbrida. Penelitian ini menganalisis perbandingan pendapatan usahatani padi hibrida dengan padi inbrida berdasarkan keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, dan analisis R/C Rasio di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. 17 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Konseptual Konsep Usahatani Menurut Suratiyah (2006), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani di dalamnya mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin. Menurut Soekartawi (1995), ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Menurut Rivai (1980) yang diacu dalam Hernanto (1988) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat geneologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Terdapat empat unsur pokok yang biasa disebut sebagai faktor-faktor produksi dalam usahatani (Hernanto 1988) yaitu: 1) Tanah Tanah atau lahan merupakan faktor yang relatif langka bila dibandingkan dengan faktor produksi yang lainnya dan distribusi penguasaannya di masyarakat tidak merata. Tanah memiliki beberapa sifat antara lain luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, tanah kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani, meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur pokok dari modal. Sumber pemilikan tanah petani dapat diperoleh dengan membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), memperoleh pemberian negara, warisan, ataupun wakaf.

30 18 2) Tenaga Kerja Tenaga kerja usahatani merupakan faktor produksi kedua. Jenis tenaga kerja dibedakan menjadi tiga, yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan usahatani. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam maupun luar keluarga. Tenaga kerja luar keluarga biasanya diperoleh dengan cara upahan, sedangkan tenaga kerja dalam keluarga umumnya oleh para petani tidak diperhitungkan dan sulit pengukuran penggunaannya. Dalam prakteknya digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total mulai dari persiapan hingga pemanenan dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu diubah dalah bentuk hari kerja total (HK total). Untuk teknis perhitungan dapat menggunakan konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0.7 HKP; 1 ternak = 2 HKP dan 1 anak = 0.5 HKP. 3) Modal Modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barangbarang baru, yaitu produksi pertanian. Pada kegiatan usahatani, yang dimaksud dengan modal adalah tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, ikan di kolam, bahan-bahan pertanian, piutang di bank, dan uang tunai. Berdasarkan sifatnya, modal dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) modal tetap, meliputi tanah bangunan dan 2) modal bergerak yang meliputi alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, ternak, dan ikan di kolam yang habis atau dianggap habis dalam satu periode proses produksi. Besarnya modal bergerak biasanya dapat digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat usahatani. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/tetangga/keluarga), hadiah, warisan, usaha lain, ataupun kontrak sewa. 4) Pengelolaan atau Manajemen Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasaidengan sebaik-baiknya sehingga mampu menghasilkan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Usahatani di Indonesia umumnya dikelola oleh petani sendiri yang bekerja sebagai pengelola, tenaga kerja, juga sebagai salah satu konsumen produksi usahataninya. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis menjadi syarat bagi seorang pengelola. Prinsip teknis meliputi: a) perilaku cabang usaha yang diputuskan, b) perkembangan teknologi, c) tingkat teknologi yang dikuasai, d) daya dukung faktor yang dikuasai, e) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasarkan pengalaman orang lain. Prinsip ekonomis

31 antara lain: a) penentuan perkembangan harga, b) kombinasi cabang usaha, c) tataniaga hasil, d) pembiayaan usahatani, e) pengolongan modal dan pendapatan, serta f) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim dipergunakan lainnya. Pengelolaan dalam usahatani disebut juga sebagai faktor produksi tidak langsung (Suratiyah 2006). Dalam usahatani terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani, yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal adalah faktor yang dapat dikendalikan oleh petani itu sendiri yang terdiri dari petani pengelola, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan jumlah keluarga. Sedangkan faktor ekternal adalah faktor-faktor di luar usahatani yang dapat berpengaruh terhadap berhasilnya suatu usahatani. Adapun yang termasuk ke dalam faktor-faktor ekternal adalah ketersediaan sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, saprodi), fasilitas kredit dan sarana penyuluhan bagi petani. Klasifikasi usahatani menurut Suratiyah (2006) dapat dibedakan menurut: 1) corak dan sifat, dibagi menjadi komersial dan subsistence, 2) organisasi, meliputi tiga macam yaitu individual, kolektif dan koperatif, 3) pola, dibagi menjadi tiga yaitu khusus, tidak khusus dan campuran, serta 4) tipe, yang dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan komoditas yang diusahakan. Dalam melakukan kegiatan usahatani, petani dihadapkan pada kondisi untuk dapat memaksimalkan keuntungan usahatani dengan mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki dengan biaya seefisien mungkin. Untuk menganalisis usahatani, data yang diperlukan yaitu penerimaan, biaya, dan pendapatan. a. Penerimaan Usahatani Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani disebut penerimaan tunai usahatani. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut: TR = P x Q Keterangan: TR = Total penerimaan P = Harga output (Rp/Kg) Q = Jumlah output (Kg) b. Biaya Usahatani Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani (Soekartawi 1995). Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit atau tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel akan menghasilkan biaya total produksi. 19

32 20 Menurut Hernanto (1988), biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi, seperti pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau bajak, pemeliharaan pompa air, traktor dan lainnya. Tenaga kerja keluarga dapat dikelompokkan pada biaya tetap bila tidak ada biaya imbangan dalam penggunaannya. Biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya sangat tergantung pada biaya skala produksi, seperti biaya untuk pupuk, bibit, obat pembasmi hama dan penyakit, buruh atau tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya pengolahan tanah baik yang berupa kontrak maupun upah harian, dan sewa tanah. Pembagian biaya atas dasar biaya tunai dan tidak tunai juga penting dilakukan. Biaya tunai sebagai biaya yang dikeluarkan petani secara tunai termasuk bunga kredit, sedangkan biaya tidak tunai (biaya yang diperhitungkan) untuk menghitung pendapatan kerja petani jika modal, sewa lahan dan tenaga kerja dalam keluarga dan biaya bibit milik sendiri diperhitungkan. Modal yang dipergunakan petani dihitung sebagai modal pinjaman, meskipun modal tersebut milik petani sendiri. Tenaga kerja keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku pada waktu anggota keluarga menyumbang kerja pada usahatani tersebut. Lahan yang digunakan petani diperhitungkan sebagai lahan sewa yang besarnya berdasarkan rata-rata biaya sewa lahan per hektar di daerah tersebut (Ridwan 2008). Pengeluaran total usahatani menurut Soekartawi et al. (1986) didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Seharusnya pengeluaran yang dihitung dalam tahun pembukuan itu adalah yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk dalam tahun pembukuan tersebut. Dalam praktek, pemisahan pengeluaran ini terkadang tidak mungkin dilakukan karena pembukuan yang tidak lengkap. Alasan lain adalah adanya biaya bersama (joint cost) dalam produksi yang tidak mudah dipisahkan. c. Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran (Soekartawi 1995). Pernyataan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: π π atas biaya tunai π atas biaya total = TR TC = TR - biaya tunai = TR TC Keterangan : π = Pendapatan usahatani (Rp) TR = Total penerimaan usahatani (Rp) TC = Total biaya usahatani (Rp) Pendapatan kotor usahatani menurut Soekartawi et al. (1986) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual dengan jangka waktu pembukuan umumnya setahun. Untuk menghindari perhitungan ganda, maka semua produk yang dihasilkan sebelum tahun pembukuan tetapi dijual atau digunakan pada saat tahun

33 pembukuan, tidak dimasukkan ke dalam pendapatan kotor. Pendapatan kotor usahatani mencakup pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak tunai. Pendapatan kotor tunai atau penerimaan usahatani adalah nilai uang yang diterima dari usahatani yang berbentuk benda. Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang seperti hasil panen yang dikonsumsi atau yang digunakan untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Rasio Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio) R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Nilai R/C rasio atas biaya tunai dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu. Nilai R/C rasio atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut: 21 R/C rasio atas biaya tunai = R/C rasio atas biaya total = TR / biaya tunai TR / TC Analisis R/C rasio menunjukkan berapa rupiah penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani tersebut. Semakin besar nilai R/C rasio, maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan. Usahatani dapat dikatakan layak apabila nilai R/C rasionya lebih besar dari satu, yang berarti pada setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya usahatani dikatakan tidak layak apabila nilai R/C rasionya lebih kecil daripada satu, yang berarti pada setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan apabila nilai R/C rasio sama dengan satu, memiliki arti pada setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang sama dengan tambahan biaya sehingga memperoleh keuntungan normal. Kerangka Pemikiran Operasional Sektor pertanian memiliki kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional. Subsektor tanaman pangan merupakan sub-sektor pertanian yang penting bagi negara Indonesia karena sub-sektor ini menjadi penyedia utama bahan pangan bagi penduduk. Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya proporsi konsumsi

34 22 masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap beras pada pengeluaran rata-rata setiap bulannya. Komoditas beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia perlu dijaga ketersediaannya di dalam negeri. Selama ini pemerintah melakukan impor beras untuk menjaga kestabilan persediaan dan mencukupi kebutuhan beras masyarakat. Kebutuhan beras dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 persen pada tahun 2010, apabila diproyeksikan hingga tahun 2020 jumlah penduduk akan berada pada angka 261 juta jiwa. Dengan konsumsi beras rata-rata per kapita sebesar 139 kg, maka jumlah total konsumsi beras Indonesia pada tahun 2020 diproyeksikan mencapai juta ton. Kondisi peningkatan kebutuhan akan beras menjadi dasar penting bagi pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional. Peningkatan produktivitas padi nasional dapat ditempuh melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Salah satu upaya pemerintah dalam intensifikasi pertanian padi yaitu melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Operasionalisasi dari strategi peningkatan produktivitas diwujudkan melalui introduksi model PTT, penanaman padi hibrida, dan perbaikan intensifikasi padi melalui bantuan sarana produksi berupa bantuan subsidi pupuk termasuk pupuk organik serta benih varietas unggul baru padi hibrida dan inbrida. Penerapan strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN selama ini dilakukan di sentra-sentra produksi padi nasional, terutama di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau dimana sebaran areal lahan sawah padi paling banyak terkonsentrasi dan memiliki angka produksi beras tertinggi di Indonesia. Dari sebanyak enam provinsi yang terdapat di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki angka tertinggi dalam produksi padi di Pulau Jawa. Salah satu kabupaten yang menjadi sentra produksi padi di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor yang juga memiliki potensi untuk pengembangan padi hibrida di Jawa Barat, dengan luas areal potensial yang terus meningkat mulai tahun 2008 hingga 2010, menunjukkan bahwa program penanaman padi hibrida di Kabupaten Bogor berpotensi untuk dikembangkan. Penelitian padi hibrida di Indonesia telah diinisiasi sejak tahun 1983 dengan tujuan menjajaki prospek dan kendala penggunaan padi hibrida. Hingga tahun 2009, terdapat 37 varietas padi hibrida yang telah dilepas sejak tahun 2001, terdiri atas 6 padi hibrida publik yang dilepas oleh BALITPA dan BB Padi serta 31 padi hibrida swasta. Padi hibrida di Indonesia pada umumnya bila ditanam di lingkungan yang sesuai mampu menghasilkan gabah ton per hektar lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida terbaik di daerah setempat. Hal tersebut memberikan bukti bahwa padi hibrida memiliki potensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional apabila disertai dengan penanganan budidaya yang baik. Menurut data dari BPS Kabupaten Bogor pada tahun 2012, dari sebanyak 40 jumlah kecamatan di Kabupaten Bogor, Kecamatan Pamijahan merupakan kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas tertinggi. Padi merupakan komoditas utama dari sektor pertanian di Kecamatan Pamijahan. Di antara 15 desa yang terdapat di Kecamatan Pamijahan, Desa Ciasmara memiliki

35 luas panen, produktivitas, dan produksi tertinggi, masing-masing sebesar 950 ha, 6.2 ton per hektar, dan ton, sehingga dapat disimpulkan bahwa Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan dan Kabupaten Bogor. Terdapat satu Gabungan Kelompok Tani di Desa Ciasmara bernama Gapoktan Asmara Jaya, yang terdiri dari delapan kelompok tani. Selama ini benih padi yang digunakan oleh sebagian besar petani di Desa Ciasmara yaitu varietas Ciherang. Dalam melaksanakan usahatani, Gapoktan Asmara Jaya dan petani yang tergabung di dalamnya memperoleh pelatihan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) sejak tahun Pada bulan Oktober 2012, Desa Ciasmara memperoleh program adopsi benih padi hibrida dengan bantuan benih langsung padi hibrida yang diperoleh secara gratis. Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk penggunaan benih padi hibrida berbeda menurut karakteristik agroekosistem. Paket teknologi yang diujicoba di lahan penelitian suatu tempat belum tentu memberikan hasil serupa bila diterapkan di sentra-sentra produksi padi lain. Adopsi benih padi hibrida di Indonesia masih memiliki kendala, diantaranya yaitu produktivitas masih sangat beragam dan tidak mantap, yang salah satunya disebabkan oleh serangan hama penyakit dan ketidaktepatan penerapan tekonologi budidaya. Selain permasalahan kecocokan agroekosistem, perolehan benih padi hibrida dengan harga yang mahal juga menjadi permasalahan bagi petani. Begitu pula dengan benih padi hibrida yang ditanam di Desa Ciasmara. Pemanenan bulan Februari 2013 merupakan pemanenan perdana dari hasil musim tanam yang dimulai sejak bulan Oktober Hasil produksi yang diperoleh menjadi suatu tolak ukur apakah penggunaan padi hibrida di Desa Ciasmara lebih menguntungkan atau tidak apabila dibandingkan dengan padi inbrida yang biasa ditanam oleh petani yaitu varietas Ciherang. Apabila ternyata pendapatan usahatani yang dihasilkan dengan menanam padi hibrida lebih rendah daripada padi inbrida, terdapat kemungkinan petani enggan menanam kembali padi hibrida karena adanya berbagai pertimbangan dari sudut pandang petani. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut maka penelitian ini dilakukan. Analisis usahatani yang dilakukan berupa analisis keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, dan analisis R/C rasio. Oleh karena itu, perlu adanya analisis perbandingan pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida agar petani dapat memutuskan pilihan yang dapat lebih meningkatkan pendapatan usahatani atau mendatangkan keuntungan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejateraan petani di Desa Ciasmara sebagai sentra produksi padi Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara singkat, kerangka pemikiran operasional penelitian ini digambarkan pada Gambar 1. 23

36 24 Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras Beras perlu dijaga dan ditingkatkan ketersediaannya seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan beras di dalam negeri Kebijakan pemerintah meningkatkan produktivitas nasional diantaranya melalui intensifikasi pertanian Intensifikasi pertanian melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), dalam langkah operasionalisasinya menggunakan benih padi hibrida di daerah sentra produksi padi, salah satunya Kabupaten Bogor Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk penggunaan benih padi hibrida berbeda antar daerah menurut karakteristik agroekosistem Harga pembelian benih padi hibrida mahal apabila harus dibeli sendiri oleh petani Bagaimana keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor? Bagaimana pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor? Bagaimana imbangan antara penerimaan dan biaya (R/C Rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor? Analisis Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Analisis Kualitatif Analisis Kuantitatif Analisis keragaan usahatani Analisis pendapatan usahatani Analisis R/C rasio Perbandingan antara usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor Rekomendasi kepada petani padi untuk meningkatkan pendapatan usahatani Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional penelitian

37 25 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian yaitu Desa Ciasmara di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi terbesar di Kabupaten Bogor; produksinya tertinggi dibandingkan dengan desa lain serta waktu tanamnya serempak antara varietas padi hibrida dengan varietas padi inbrida. Selain itu daerah ini juga berpotensi untuk mengembangkan areal penanaman padi hibrida pada musim tanam berikutnya karena luasan areal padi sawah yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan desa lain yang berada di Kecamatan Pamijahan, sehingga Desa Ciasmara dapat dikatakan representatif terhadap kondisi usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor. Waktu pengumpulan data dimulai pada bulan Februari 2012 hingga Maret Jenis dan Sumber Data Penelitian yang akan dilakukan menggunakan data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan pengisian kuesioner melalui wawancara langsung kepada petani padi hibrida serta padi inbrida yang menjadi responden. Data primer petani padi hibrida diperoleh dari populasi petani padi hibrida. Sedangkan untuk memperoleh data primer dari petani padi inbrida, tidak semua petani Desa Ciasmara dijadikan sebagai sumber data, tetapi yang dijadikan sumber adalah sample dari petani tersebut. Data sekunder berupa data yang diperoleh melalui literatur maupun studi pustaka yang terkait dan relevan dengan penelitian. Data tersebut bersumber dari laporan penelitian, jurnal, Majalah Pangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Perum BULOG, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor, Unit Pelaksana Teknis Daerah Penyuluhan Pertanian dan Perikanan (UPTD-P3) Wilayah Cibungbulang, Kantor Desa Ciasmara, Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Perpustakaan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB, internet, dan sumber data lain yang mendukung penelitian. Metode Penentuan Responden Responden usahatani dalam penelitian ini berjumlah 34 petani yang terdiri dari petani padi hibrida dan petani padi inbrida. Jumlah responden pada kategori petani padi hibrida sebanyak 17 responden meliputi seluruh populasi petani padi hibrida di Desa Ciasmara. Sedangkan untuk petani padi inbrida terdiri dari 17 petani sampel untuk mengimbangi jumlah responden petani padi hibrida. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan random sampling untuk petani padi inbrida, dengan cara undian melalui daftar yang

38 26 diperoleh dari Tenaga Harian Lapang (THL) setempat dan ketua gabungan kelompok tani. Sedangkan penentuan responden petani padi hibrida dilakukan secara purposive pada populasi petani padi hibrida di Desa Ciasmara. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan terhadap data yang akan dikumpulkan untuk selanjutnya dianalisis lebih lanjut dan memperoleh hasil yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian. Sebelum data dianalisis lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan pengolahan data dengan melakukan pentabulasian data primer dari kuesioner agar lebih mudah dipahami. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani dan analisis R/C rasio. Dalam penelitian ini digunakan kalkulator dan software Microsoft Office Excel 2007 untuk membantu pengolahan data. Analisis Pendapatan Usahatani Penerimaan total usahatani diperoleh berdasarkan nilai produk yang dihasilkan dari produksi komoditas pertanian (Kay et al. 2004). Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Total biaya atau pengeluaran adalah semua nilai faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam periode tertentu, baik yang berupa biaya tunai maupun biaya diperhitungkan. Pendapatan atas biaya tunai merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai. Pendapatan atas biaya total merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total. Rumus perhitungan penerimaan, total biaya dan pendapatan adalah: TR = P x Q TC = biaya tunai + biaya diperhitungkan π atas biaya tunai = TR - biaya tunai π atas biaya total = TR TC Keterangan : TR : total penerimaan usahatani (Rp) TC : total biaya usahatani (Rp) P : harga output (Rp/Kg) Q : jumlah output (Kg) π : pendapatan atau keuntungan (Rp) Pendapatan dianalisis berdasarkan biaya tunai dan biaya tidak tunai atau biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai digunakan untuk melihat seberapa besar likuiditas tunai yang dibutuhkan petani untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Biaya tidak tunai digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika penyusutan, sewa lahan dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.

39 Analisis R/C Rasio Pendapatan selain dapat diukur dengan nilai mutlak juga dapat diukur analisis efisiensinya. Salah satu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio) atau analisis R/C. Nilai R/C rasio atas biaya tunai dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu, sedangkan R/C rasio atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. 27 R/C rasio atas biaya tunai = R/C rasio atas biaya total = TR / biaya tunai TR / TC Secara teoritis R/C rasio menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar nilai R/C-nya. Suatu usaha dapat dikatakan menguntungkan untuk diusahakan apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu (R/C > 1), makin tinggi nilai R/C menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh semakin besar. Namun apabila nilai R/C lebih kecil dari satu (R/C < 1), usaha ini tidak menguntungkan sehingga tidak layak diusahakan. Definisi Operasional Penelitian Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian untuk mengidentifikasi keragaan usahatani dan menganalisis pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat yaitu: 1. Umur padi adalah jumlah hari atau lamanya antara tanam dan panen. 2. Petani padi hibrida adalah petani yang melakukan kegiatan usahatani padi varietas hibrida. 3. Petani padi inbrida adalah petani yang melakukan kegiatan usahatani padi varietas inbrida 4. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. 5. Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk membayar tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat, biaya pembelian benih untuk usahatani padi hibrida, dan biaya sewa lahan sebagai imbangan terhadap penggunaan lahan bagi pemilik tanah yang diukur dalam satuan rupiah. 6. Biaya tunai adalah pengeluaran yang dibayar dengan uang, seperti biaya pembelian input produksi (benih, pupuk, pestisida), biaya untuk membayar tenaga kerja luar keluarga, iuran desa, iuran pengairan, pajak lahan, dan juga biaya untuk membayar sewa lahan atau bagi hasil bagi petani penggarap yang diukur dalam satuan rupiah. 7. Biaya total adalah penjumlahan biaya tunai maupun yang diperhitungkan yang dikeluarkan per musim tanam. Besarnya biaya total diukur dalam satuan rupiah. 8. Penerimaan total usahatani adalah jumlah hasil panen per musim tanam (kg) dikalikan dengan harga penjualan (Rp/kg). 9. Total produksi adalah jumlah produksi padi yang dihasilkan dalam satu musim tanam (kg).

40 Analisis Return Cost (R/C) rasio merupakan perbandingan antara penerimaan (revenue) dengan biaya (cost). 11. Benih sebar adalah hasil perbanyakan dari benih penjenis, benih dasar atau benih pokok yang akan disebarkan kepada petani dengan menjaga tingkat kemurnian varietas yang memenuhi standar mutu benih yang ditetapkan. 12. Gedeng hasil merupakan satuan ukuran hasil panen berupa gabah kering panen (GKP) di lokasi penelitian. Satu gedeng hasil setara dengan 6.5 kilogram GKP. 13. Gedeng lahan merupakan satuan ukuran luas lahan di lokasi penelitian. Satu hektar luas lahan setara dengan 6 gedeng lahan, atau satu gedeng lahan setara dengan m 2. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Geografis Desa Ciasmara merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Sukabumi dan memiliki luas wilayah sebesar hektar yang terdiri dari 325 hektar lahan pertanian, 200 hektar lahan kehutanan, dan hektar lahan pemukiman penduduk serta lahan lainnya. Desa Ciasmara terdiri dari tiga dusun dengan 11 Rukun Warga (RW), 30 Rukun Tetangga (RT) dan 2 Kolektor PBB. Dilihat dari posisinya, Desa Ciasmara dibatasi oleh wilayah-wilayah sebagai berikut: Sebelah utara : Desa Ciasihan Sebelah selatan : Desa Purwabakti Sebelah timur : Desa Kabandungan-Kabupaten Sukabumi Sebelah barat : Desa Cibunian Desa Ciasmara merupakan desa yang berada di daerah lereng Gunung Salak Bogor, dengan ketinggian berkisar antara 500 sampai dengan 600 meter di atas permukaan laut, memiliki suhu rata-rata antara 22 hingga 32 derajat celcius. Letak Desa Ciasmara diapit oleh dua aliran sungai, yaitu Sungai Ciasmara di bagian utara dan Sungai Parabakti di bagian selatan yang juga menjadi batas administratif dengan Desa Ciasihan dan Desa Purwabakti. Pada umumnya lahan yang terdapat di Desa Ciasmara digunakan secara produktif dan hanya sedikit yang tidak dimanfaatkan. Hal ini menunjukan bahwa kawasan Desa Ciasmara memiliki sumber daya alam yang memadai dan siap untuk dibudidayakan. Sumber air yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari masyarakat Desa Ciasmara terdiri dari dua sumber, yaitu air yang terkandung dalam tanah yang dibendung dalam sumur milik warga, dan air yang mengalir di permukaan sungai. Selain itu ada pula beberapa mata air yang dapat digunakan sebagai sumber air bersih maupun sumber air untuk pertanian. Mata air yang menjadi sumber utama bagi masyarakat Desa Ciasmara adalah mata air Cibeureum, mata air Babakan Hempak, dan mata air Ciburial. Berdasarkan informasi yang diperoleh saat penelitian berlangsung, secara umum telah terjadi

41 penurunan kualitas curah hujan dan frekuensi hujan dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun sebelumnya. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi beberapa sumber mata air yang menjadi sumber pengairan sawah milik masyarakat yang juga dipengaruhi oleh terjadinya pembalakan hutan yang tidak terkendali akibat kurangnya pengawasan dari pihak terkait. 29 Sosial Ekonomi Masyarakat Populasi penduduk di Desa Ciasmara pada tahun 2012 cukup padat, yaitu sebanyak orang yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Ciasmara tahun 2012 adalah orang. Jumlah usia produktif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan usia anak-anak. Perbandingan jumlah golongan usia anak-anak, produktif, dan lansia adalah 45 persen : 35 persen : 20 persen dari sebanyak jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk yang tergolong usia produktif baik laki-laki maupun perempuan jumlahnya hampir sama atau dapat dikatakan seimbang. Jumlah kepala keluarga kategori pra sejahtera mendominasi sebagian besar penduduk desa, meliputi sebanyak 42.5 persen dari total kepala keluarga, sedangkan untuk kepala keluarga kategori sejahtera, kaya, sedang, dan miskin masing-masing sebesar 3.9 persen, 7.2 persen, 3.8 persen, dan 24.9 persen. Tingginya angka kepala keluarga kategori pra sejahtera ini mengindikasikan bahwa Desa Ciasmara masih tergolong dalam desa tertinggal. Tabel 8 Komposisi mata pencaharian penduduk Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2012 a No. Jenis pekerjaan Jumlah (Jiwa) Persentase (%) 1 Buruh tani Petani Peternak Pedagang Tukang kayu Tukang batu Penjahit PNS Pensiunan TNI/Polri Perangkat desa Pengrajin Industri kecil Buruh industri Lain-lain Total a Sumber: Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor (2013).

42 30 Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Ciasmara bergerak dalam bidang pertanian. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 8 dimana jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani sebanyak 737 orang (42.04 persen) dan sebagai buruh tani sebanyak 317 orang (18.08 persen). Selanjutnya, sebanyak 46 orang (2.62 persen) penduduk Desa Ciasmara berprofesi sebagai peternak. Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pedagang adalah 141 orang (8.04 persen), yang berprofesi sebagai tukang kayu sebanyak 39 orang (2.22 persen), yang berprofesi sebagai tukang batu sebanyak 15 orang (0.86 persen), yang berprofesi sebagai penjahit sebanyak 12 orang (0.68 persen), sebanyak 15 orang (0.86 persen) berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, sebanyak lima orang (0.29 persen) berprofesi sebagai pensiunan. Ada pula penduduk yang berprofesi sebagai anggota perangkat desa sebanyak 48 orang (2.74 persen), yang berprofesi sebagai pengrajin sebanyak 15 orang (0.86 persen), sebanyak 46 orang (2.62 persen) berprofesi sebagai pemilik industri kecil, sebanyak 138 orang (7.87 persen) sebagai buruh industri, dan sisanya sebanyak 179 orang (10.21 persen) memiliki profesi lain selain yang disebutkan dalam tabel. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan terutama pendidikan dasar sembilan tahun baru terealisasi dalam beberapa tahun terakhir, sehingga jumlah lulusan SD dan tidak tamat SD mendominasi peringkat pertama dan kedua, masing-masing sebanyak dan penduduk. Hanya terdapat sebanyak 290 penduduk lulusan SLTA dan 28 penduduk lulusan perguruan tinggi atau diploma. Seluruh penduduk Desa Ciasmara beragama Islam. Karakteristik Petani Responden Beberapa variabel yang dianggap penting untuk dijadikan kriteria dalam melihat karakteristik petani responden yaitu umur, lama pendidikan terakhir, status usahatani, sumber modal usahatani, pengalaman bertani padi, jumlah tanggungan keluarga, perolehan kegiatan pendampingan, luas lahan yang diusahakan, dan status kepemilikan lahan. Karakteristik petani padi hibrida dan padi inbrida yang menjadi responden dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Umur Petani padi hibrida yang termasuk dalam kelompok umur tahun dan tahun memiliki jumlah serta proporsi yang sama dari keseluruhan responden petani padi hibrida, yaitu masing-masing sebanyak lima orang (29 persen). Disusul oleh kelompok umur tahun dengan persentase 18 persen. Sedangkan untuk petani padi inbrida, sebagian besar berada pada kelompok umur tahun dengan persentase sebesar 41 persen dari keseluruhan responden petani padi inbrida. Jumlah petani yang termasuk dalam usia produktif lebih banyak terdapat pada responden petani padi inbrida, yaitu yang termasuk dalam golongan umur pertama hingga ke tiga sebanyak 14 dari 17 orang responden. Sedangkan pada responden petani padi hibrida, terdapat dua orang petani yang tergolong dalam kategori usia lanjut atau berumur lebih dari atau sama dengan 61 tahun. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat petani padi inbrida yang tergolong dalam kategori usia lanjut.

43 Tabel 9 Karakteristik petani responden di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2013 a No. Karakteristik Petani padi hibrida Jumlah Persentase (orang) (%) 31 Petani padi inbrida Jumlah Persentase (orang) (%) 1. Umur (tahun) Lama pendidikan terakhir (tahun) Status usahatani Utama Sampingan Sumber modal usahatani Sendiri Pinjam ke petani lain Lainnya Pengalaman bertani padi (tahun) Jumlah tanggungan keluarga (orang) Perolehan kegiatan pendampingan Ya Tidak Luas lahan yang diusahakan Status kepemilikan lahan Pemilik Penggarap Sewa a Sumber: Data primer (diolah). Lama Pendidikan Terakhir Berdasarkan data pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa baik petani padi hibrida maupun petani padi inbrida yang menjadi responden kebanyakan memperoleh pendidikan selama 6 sampai 9 tahun, masing-masing sebesar 65 persen dan 76 persen. Peringkat kedua dalam hal lama pendidikan pada petani padi hibrida yaitu yang memperoleh pendidikan selama 10 sampai 13 tahun. Jumlah petani padi

44 32 hibrida dan petani padi inbrida yang memperoleh pendidikan selama kurang dari atau sama dengan lima tahun yaitu sebanyak dua orang (12 persen). Dominasi angka tinggi pada golongan petani yang memperoleh pendidikan 6 sampai 9 tahun di Desa Ciasmara menunjukkan bahwa kebanyakan petani hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SD dan SLTP. Hanya terdapat satu orang (6 persen) dari keseluruhan responden petani padi hibrida maupun petani padi inbrida yang memperoleh pendidikan lebih dari 14 tahun atau hingga tingkat diploma atau perguruan tinggi. Pada umumnya, orang yang memperoleh pendidikan tingkat rendah memiliki kecenderungan untuk mengusahatanikan padinya secara konvensional atau dengan teknik budidaya yang sudah biasa dilakukan secara turun temurun. Hal ini terbukti pada kondisi usahatani di lokasi penelitian, dimana petani lebih banyak melakukan usahatani padi dengan caranya sendiri, meskipun telah dicanangkan sistem tanam yang dapat meningkatkan produktivitas seperti System of Rice Intencification (SRI) dan sistem tanam jajar legowo melalui program SL-PTT. Status Usahatani Berdasarkan hasil penelitian yang tersaji pada data dalam Tabel 9, dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani padi hibrida dan petani padi inbrida yang menjadi responden menjalankan kegiatan usahataninya sebagai usaha utama. Hanya terdapat satu orang (6 persen) petani padi hibrida yang menjadikan kegiatan usahatani padi sebagai usaha sampingan, dimana usaha utamanya yaitu berupa usaha perkebunan. Sedangkan pada petani padi inbrida terdapat sebanyak empat orang (24 persen) yang menjadikan kegiatan usahatani sebagai usaha sampingan, dimana usaha utama yang dijalankan yaitu usaha perdagangan. Jenis pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh petani responden selain di bidang perkebunan dan perdagangan yaitu usaha bidang perikanan, supir angkutan umum, serta buruh atau karyawan non pertanian. Sumber Modal Usahatani Sumber modal yang digunakan untuk menjalankan kegiatan usahatani pada responden petani padi hibrida seluruhnya berasal dari modal sendiri. Modal tersebut diperoleh dari tabungan yang dihasilkan dari keuntungan berusahatani pada musim panen sebelumnya. Sedangkan pada responden petani padi inbrida tidak semuanya menggunakan modal sendiri untuk melaksanakan kegiatan usahatani. Terdapat sebanyak satu orang (6 persen) dari 17 responden yang menggunakan modal dengan meminjam dari petani lain untuk menjalankan usahataninya. Modal yang dipinjam ke petani lain dikembalikan setelah melakukan pemanenan dan dibayar tanpa dikenakan bunga, karena peminjaman modal berdasarkan kerelaan untuk membantu sesama petani dari pihak petani pemberi pinjaman. Pengalaman Bertani Padi Pengalaman bertani padi yang diukur dalam satuan tahun, menggambarkan berapa lama waktu yang dijalankan oleh petani untuk melakukan usahatani padi secara umum, baik itu padi hibrida maupun padi inbrida. Seluruh petani padi hibrida yang menjadi responden baru pertama kali menanam padi hibrida selama satu musim sejak musim tanam Oktober 2012 hingga musim panen Februari 2013.

45 Pada Tabel 9 terdapat informasi bahwa sebanyak 10 dari 17 orang (59 persen) petani padi hibrida melaksanakan usahatani padi selama tahun. Begitu pula dengan petani padi inbrida yang didominasi oleh petani dengan pengalaman bertani selama tahun, terdiri dari enam orang (35 persen). Untuk kategori petani padi hibrida yang memiliki pengalaman usahatani padi selama tahun, tahun, dan lebih dari 41 tahun masing-masing terdiri dari dua orang (12 persen). Petani padi inbrida yang memiliki pengalaman usahatani padi selama kurang dari 10 tahun dan yang berkisar antara tahun berjumlah sama, yaitu masing-masing sebanyak empat orang (24 persen). Sedangkan petani padi inbrida yang melakukan usahatani padi selama tahun berjumlah tiga orang (18 persen). Jumlah Tanggungan Keluarga Berdasarkan data yang tersaji dalam Tabel 9, baik petani padi hibrida maupun petani padi inbrida paling banyak memiliki 4-6 orang jumlah tanggungan keluarga, masing-masing sebanyak 10 orang (59 persen) dan 13 orang (76 persen). Selain itu terdapat empat orang (24 persen) petani padi hibrida dan tiga orang (18 persen) petani padi inbrida yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak kurang dari tiga orang. Hanya terdapat sebanyak satu orang (6 persen) petani padi inbrida yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak lebih dari tujuh orang. Sedangkan pada petani padi hibrida yang menjadi responden terdapat tiga orang (18 persen) yang memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih dari tujuh orang. Jumlah tanggungan keluarga yang berjumlah 4-6 orang pada umumnya terdiri dari dua atau tiga orang anak yang masih menempuh pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah, sehingga pendapatan usahatani yang diperoleh petani responden pada setiap musim panen sebagian besar dialokasikan untuk keperluan pendidikan dan sekolah bagi anak-anaknya. Perolehan Kegiatan Pendampingan Sesuai dengan data yang tercantum dalam Tabel 9, dapat disimpulkan bahwa hampir sebagian besar petani padi hibrida dan petani padi inbrida yang menjadi responden memperoleh kegiatan pendampingan dalam melaksanakan usahatani. Hanya terdapat sebanyak dua orang (12 persen) petani hibrida yang tidak memperoleh kegiatan pendampingan, sedangkan pada kelompok responden petani padi inbrida yang tidak memperoleh pendampingan berjumlah empat orang (24 persen). Kegiatan pendampingan yang diperoleh petani baik petani padi hibrida maupun petani padi inbrida berupa penyuluhan dari tenaga harian lapang (THL) utusan UPTD-P3 yang dilaksanakan sebanyak satu kali dalam dua minggu berlokasi di saung kelompok-kelompok tani yang berada di Desa Ciasmara secara bergilir. Selama penelitian berlangsung, penyuluhan dilakukan di saung milik Kelompok Tani Sadar Tani. Penyuluhan tersebut tidak berupa penyampaian informasi secara satu arah, namun disertai dengan kegiatan diskusi dan musyawarah non formal antar petani dan THL. Beberapa petani padi hibrida dan padi inbrida tidak memperoleh kegiatan pendampingan disebabkan karena kurang aktifnya petani tersebut dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh kelompok tani, serta terdapat anggapan bahwa melaksanakan usahatani padi cukup dengan 33

46 34 pengalaman dan kemampuan dari diri sendiri, tanpa perlu adanya pendampingan dari pihak terkait. Luas Lahan yang Diusahakan Petani padi hibrida sebagian besar (94 persen) melakukan kegiatan usahataninya pada lahan seluas kurang dari m 2. Hanya terdapat sebanyak satu orang (6 persen) petani padi hibrida yang melakukan usahatani di lahan dengan luas sampai dengan m 2. Tidak terdapat satupun petani padi hibrida yang melakukan kegiatan usahataninya pada lahan yang luasnya lebih dari m 2. Pada petani padi inbrida yang mejadi responden, terdapat sebanyak delapan orang (47 persen) yang mengerjakan kegiatan usahatani pada lahan dengan luas antara sampai dengan m 2, sedangkan jumlah petani padi inbrida yang mengusahakan lahannya seluas kurang dari m 2 dan yang lebih dari m 2 jumlahnya hampir sama masing-masing berjumlah lima orang (29 persen) dan empat orang (24 persen). Sebagian besar petani padi hibrida mengusahakan padi hibrida pada lahan seluas kurang dari m 2 dengan alasan penanaman benih padi hibrida pada musim tanam Oktober 2012 merupakan periode tanam padi hibrida untuk yang pertama kalinya, sehingga mereka hanya mengusahatanikan padi hibrida pada lahan yang luasannya tidak seluas apabila menanam benih padi inbrida. Selain itu juga disebabkan persediaan benih yang terbatas karena perolehan benih berasal dari bantuan pemerintah melalui program SL-PTT padi hibrida yang baru pertama kali dilaksanakan di lokasi penelitian. Status Kepemilikan Lahan Sesuai dengan data yang terlihat pada Tabel 9, sebagian besar petani padi hibrida (65 persen) dan petani padi inbrida (76 persen) yang menjadi responden dalam melakukan usahatani bertindak sebagai pemilik lahan. Selain sebagai pemilik lahan, ada pula petani responden yang dalam melakukan usahatani bertindak sebagai penggarap dan penyewa lahan. Petani padi hibrida yang bertindak sebagai petani penggarap dan petani penyewa lahan masing-masing berjumlah dua orang (12 persen) dan empat orang (24 persen). Sementara pada responden petani padi inbrida hanya terdapat satu orang (6 persen) petani penggarap dan tiga orang (18 persen) petani penyewa lahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida Keragaaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida diteliti untuk mendeskripsikan gambaran mengenai usahatani kedua varietas padi tersebut di lokasi penelitian. Analisis keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida dilakukan dengan mengidentifikasi penggunaan input, teknik budidaya, dan output usahatani yang dihasilkan. Rincian perbandingan penggunaan input, produktivitas dari output yang dihasilkan, dan harga jual gabah kering panen

47 (GKP) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel Tabel 10 Perbandingan penggunaan input, produktivitas, dan harga pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per musim tanam Oktober 2012 a No. Komponen Satuan Padi hibrida Padi inbrida Jumlah (satuan) 1. Penggunaan Input - Benih Kg/Ha Pupuk Kg/Ha Pestisida Pestisida padat Kg/Ha Pestisida cair ml/ha Tenaga Kerja TKLK HOK/Ha TKDK HOK/Ha Produktivitas Kg/Ha Harga jual GKP Rp/Kg a Sumber: Data primer (diolah). Penggunaan Input Input atau faktor produksi yang digunakan dalam melakukan usahatani padi hibrida dan padi inbrida terdiri dari benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Rata-rata penggunaan benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja dihitung berdasarkan penggunaan dalam satu hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari a. Benih Benih merupakan input usahatani yang menjadi pembeda antara usahatani padi hibrida dengan usahatani padi inbrida. Dari sebanyak 17 responden petani padi hibrida di Desa Ciasmara seluruhnya menggunakan benih padi hibrida varietas DG 1 SHS yang tergolong benih sebar dengan merek Frontline bersertifikat. Benih padi hibrida yang digunakan diproduksi oleh produsen benih padi asal Belgia PT Devgen Seeds and Crop Technology. Benih padi hibrida tersebut dilepas pada tanggal 24 September 2009 dan didistribusikan oleh PT Sang Hyang Seri. Deskripsi padi hibrida varietas DG 1 SHS dapat dilihat pada Lampiran 2. Benih padi hibrida yang digunakan seragam karena merupakan bantuan pemerintah melalui kegiatan SL-PTT yang dilakukan di lokasi penelitian. Pada responden petani padi inbrida, dari sebanyak 17 orang petani responden seluruhnya menggunakan benih padi inbrida varietas Ciherang bersertifikat yang didistribusikan oleh PT Sang Hyang Seri. Benih padi inbrida varietas Ciherang tergolong dalam benih sebar. Deskripsi padi inbrida varietas Ciherang dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada musim tanam Oktober 2012, seluruh petani responden tidak menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya

48 36 dengan alasan hasil produksi yang tidak terlalu tinggi, sehingga seluruh hasil produksi dijual tanpa ada bagian yang disisihkan untuk benih. Gambar 2 Rata-rata penggunaan benih padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 a a Sumber: Data primer. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa rata-rata penggunaan benih padi hibrida per satu hektar di lokasi penelitian yaitu sebanyak kilogram. Angka penggunaan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan anjuran penggunaan benih padi hibrida Frontline yaitu sebanyak 15 kilogram per hektar per musim tanam. Penggunaan benih padi inbrida per satu hektar di lokasi penelitian juga lebih tinggi dari anjuran penggunaan benih padi inbrida. Rata-rata penggunaan benih padi inbrida yaitu kilogram per hektar per musim tanam, dimana anjuran yang disarankan untuk benih padi inbrida hanya sebesar 25 kilogram per hektar per musim tanam. Tingginya angka penggunaan benih padi baik hibrida maupun inbrida di lokasi penelitian disebabkan oleh kekhawatiran petani akan terjadinya serangan hama terutama keong yang menyerang tanaman padi berusia muda, sehingga petani memiliki pemikiran untuk menggunakan benih dalam jumlah yang besar agar bibit yang dihasilkan berjumlah banyak sebagai persediaan untuk menyulam tanaman yang rusak akibat serangan hama. b. Pupuk Pupuk yang paling banyak digunakan oleh petani padi hibrida di Desa Ciasmara yaitu NPK Phonska, Urea, dan TSP. Dosis penggunaan pupuk majemuk NPK Phonska, Urea, dan TSP menurut anjuran yaitu masing-masing sebesar 300 kg, 100 kg, dan 50 sampai 100 kg 7 per hektar per musim. 7 [PUSRI] PT Pupuk Sriwidjaja Palembang Pengembangan Pertanian Pemupukan Berimbang [Internet].[diacu 2013 Juni 1]. Tersedia dari:

49 37 Gambar 3 Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 a a Sumber: Data primer. Berdasarkan data pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa rata-rata penggunaan pupuk NPK Phonska, Urea, dan TSP pada usahatani padi hibrida untuk satu hektar dan satu musim tanam adalah NPK Phonska 140 kg berada di bawah dosis anjuran sebesar 300 kg. Penggunaan pupuk Urea kg berada di atas dosis anjuran sebesar 100 kg. Sementara penggunaan pupuk TSP kg sesuai dengan dosis anjuran yang berkisar antara 50 sampai 100 kg. Selain itu ada pula petani yang menggunakan pupuk lain, seperti pupuk KCl, NPK Kujang, NPK Pelangi, SP-36, dan pupuk organik namun penggunanya hanya sedikit. Dari sebanyak 17 responden petani padi hibrida, yang menggunakan pupuk KCl berjumlah dua orang, NPK Kujang berjumlah tiga orang, NPK Pelangi dan SP-36 masing-masing sebanyak satu orang, serta pupuk organik berjumlah tiga orang. Penggunaan pupuk KCl pada padi hibrida per hektar untuk setiap musim tanam sebanyak 4.12 kg, NPK Kujang 9.41 kg, NPK Pelangi 20 kg, SP kg, dan pupuk organik sejumlah kg. Pupuk yang paling banyak digunakan oleh petani padi inbrida yaitu Urea, TSP, dan KCl. Dosis penggunaan pupuk tunggal untuk tanaman padi sesuai anjuran yaitu Urea sebanyak 200 sampai 250 kg, TSP sebanyak 50 sampai 100 kg, dan KCl sebanyak 75 sampai 100 kg 8. Penggunaan pupuk Urea dan TSP untuk satu hektar dalam satu musim tanam pada padi inbrida lebih tinggi dibandingkan padi hibrida, yaitu masing-masing sebesar kg dan kg. Penggunaan pupuk urea pada usahatani padi inbrida sesuai dosis yang dianjurkan, sedangkan penggunaan pupuk TSP melebihi dosis anjuran. Pupuk KCl yang digunakan pada Dosis dan Cara Pemupukan Padi [Internet].[diacu 2013 Juni 1]. Tersedia dari:

50 38 usahatani padi inbrida juga lebih besar dibandingkan padi hibrida, yaitu sebanyak kg per hektar per musim tanam. Jumlah penggunaan pupuk KCl tersebut berada di bawah dosis yang dianjurkan. Pupuk lain yang digunakan oleh petani padi inbrida di lokasi penelitian yaitu NPK Phonska sebanyak kg, NPK Kujang kg, SP kg, dan ZA sebesar 8.35 kg untuk satu hektar dalam satu musim tanam. Dari sebanyak 17 responden petani padi inbrida, jumlah petani yang menggunakan NPK Phonska sebanyak empat orang, serta NPK Kujang, SP-36, dan ZA masing-masing berjumlah satu orang. c. Pestisida Penggunaan pestisida untuk padi hibrida maupun padi inbrida jumlahnya dibatasi, bahkan hanya digunakan apabila tanaman padi terserang organisme pengganggu tanaman (OPT). Selama musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013, OPT yang muncul dan mengganggu tanaman padi di lokasi penelitian yaitu hama keong dan hama penggerek batang. Hama keong tidak diberantas dengan menggunakan pestisida, tetapi hanya melalui proses pemungutan dengan tangan. Pada Gambar 4 ditunjukkan bahwa pestisida yang paling banyak digunakan oleh petani padi hibrida untuk memberantas hama penggerek batang yaitu pestisida cair Biocron dengan rata-rata penggunaan sebanyak ml per hektar. Pada usahatani padi inbrida, pestisida cair yang paling banyak digunakan yaitu Ripcord sebanyak ml per hektar. Ada pula petani padi inbrida yang menggunakan pestisida padat Furadan untuk membasmi hama penggerek batang, rata-rata penggunaannya hanya sebesar 0.25 kg per hektar. Gambar 4 Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 a a Sumber: Data primer.

51 Selain pestisida Ripcord, Biocron, dan Furadan, terdapat jenis pestisida lain yang digunakan oleh petani padi hibrida dan petani padi inbrida di Desa Ciasmara. Pestisida cair yang juga digunakan untuk membasmi OPT yaitu Spontan, Sidametrin, dan Boomflower namun hanya sebagian kecil dari petani responden yang menggunakan pestisida tersebut, dimana masing-masing hanya sebanyak satu orang dari keseluruhan responden petani padi hibrida dan petani padi inbrida. d. Tenaga Kerja Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi hibrida dan padi inbrida terbagi menjadi dua, yaitu tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Aktifitas usahatani padi hibrida dan padi inbrida yang menggunakan tenaga kerja baik dalam maupun luar keluarga dengan sistem upah dihitung berdasarkan jumlah hari orang kerja (HOK) yang dibutuhkan, seperti pada aktifitas penggaruan, perataan tanah, pembuatan garis tanam, persemaian, penanaman, pengairan, penyulaman, penyiangan 1, penyiangan 2, pemupukan 1, pemupukan 2, pemupukan 3, pengambilan hama keong, dan penyemprotan pestisida. Sedangkan aktifitas pembajakan lahan dan pemanenan dilakukan dengan sistem borongan. Berdasarkan data yang tersaji dalam Gambar 5 dapat dilihat bahwa jumlah TKLK dan TKDK yang dibutuhkan dalam usahatani padi hibrida lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi inbrida. Pada usahatani padi hibrida, TKLK yang dibutuhkan yaitu sejumlah HOK per hektar untuk seluruh aktifitas usahatani yang menggunakan sistem upah, sementara TKLK yang dibutuhkan dalam usahatani padi inbrida lebih rendah yaitu sebesar HOK per hektar. Begitu pula dengan penggunaan TKDK pada usahatani padi hibrida jumlahnya lebih besar yaitu HOK per hektar sedangkan penggunaan TKDK pada usahatani padi inbrida hanya sebesar HOK per hektar. 39 Gambar 5 Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 a a Sumber: Data primer.

52 40 Teknik Budidaya Secara umum teknik budidaya padi hibrida dan padi inbrida tidak jauh berbeda. Petani padi di lokasi penelitian kebanyakan menerapkan teknik budidaya sesuai yang telah biasa mereka lakukan secara turun temurun, meskipun terdapat kegiatan pendampingan dari Tenaga Harian Lapang (THL) yang bekerja di bawah Unit Pelaksana Teknis Daerah Penyuluhan Pertanian dan Perikanan (UPTD-P3) wilayah Cibungbulang. Dalam melaksanakan usahatani padi hibrida, terdapat pedoman khusus dari SL-PTT, namun dalam pelaksanaannya petani padi hibrida lebih memilih untuk melakukan usahatani dengan caranya sendiri. Begitu pula dengan teknik budidaya padi inbrida dimana sebagian besar petani melakukan usahatani padi secara konvensional. Teknik budidaya padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara meliputi persemaian, pengolahan lahan, penanaman, penyulaman, penyiangan, pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta pemanenan. a. Persemaian Persemaian merupakan langkah awal yang penting dalam melaksanakan usahatani padi, karena benih yang disemai akan menentukan pertumbuhan padi di sawah. Proses persemaian ini biasanya menghabiskan waktu selama kurang lebih 20 hari. Hal pertama yang harus dilakukan yaitu menyiapkan areal persemaian di lahan sawah. Petani pada umumnya menggunakan lahan seluas 1/20 dari areal sawah yang akan ditanami padi untuk persemaian atau rata-rata seluas 500 m 2 untuk setiap satu hektar lahan sawah. Sebelum disemai, benih padi terlebih dahulu dijemur selama tiga hari setiap pukul hingga pagi agar tidak lembab. Setelah penjemuran, benih diseleksi melalui proses perendaman dengan air garam selama dua hari. Benih yang kualitasnya kurang baik akan mengapung setelah proses perendaman tersebut, sehingga harus disisihkan atau dibuang agar benih yang tersisa hanyalah yang berkualitas baik. Benih hasil seleksi perendaman air garam tersebut kemudian dimasukkan ke dalam karung untuk diperam dalam jerami selama dua hari, atau dengan menyiramkan air panas ke atas karung berisi benih padi setiap pagi dan sore selama dua hari. Apabila benih padi sudah mulai tumbuh atau berkecambah, kemudian dilakukan proses penyebaran ke lahan persemaian yang diairi namun tidak terlalu tergenang atau dalam keadaan macak-macak. Kondisi tersebut diperlukan agar benih yang disebar dapat tersebar merata di tanah dan tidak mudah busuk bila tergenang air. Setelah benih berubah menjadi bibit berumur tiga hari, barulah lahan persemaian diairi setinggi dua sampai tiga sentimeter selama kurang lebih 20 hari persemaian. Selama proses persemaian, petani di lokasi penelitian tidak menyemprotkan pestisida ataupun memberikan pupuk sebagai perangsang pertumbuhan bibit. Pemeliharaan bibit padi dilakukan dengan membasmi hama keong yang dipungut dengan tangan agar tidak merusak dan mengganggu pertumbuhan bibit padi selama masa persemaian. b. Pengolahan Lahan Pengolahan lahan yang dilakukan oleh petani di Desa Ciasmara meliputi empat tahap, yaitu pembajakan lahan dengan traktor tangan (hand tractor), penggaruan, perataaan tanah, dan pembuatan garis tanam. Tahap awal pengolahan lahan sawah dimulai dengan membajak tanah. Sebagian besar petani baik petani

53 padi hibrida maupun petani padi inbrida membajak lahannya dengan menggunakan traktor tangan, kecuali untuk petani yang luas lahannya berukuran kecil atau tidak lebih dari m 2. Pembajakan lahan dengan menyewa traktor tangan dilakukan dengan sistem borongan, dimana traktor yang disewa sudah termasuk satu orang pekerja yang mengoperasikan traktor, dan dua orang yang mengerjakan kegiatan mojokan atau memacul lahan sawah yang tidak terbajak oleh mesin traktor. Sedangkan bagi petani yang memiliki traktor tangan pribadi dalam membajak lahan tetap menggunakan sistem borongan karena memerlukan orang yang memiliki keterampilan untuk mengoperasikan traktornya. Bagi petani yang memiliki lahan seluas kurang dari m 2, pembajakan dilakukan dengan cara manual atau dengan menggunakan cangkul karena alasan menghemat biaya pembajakan dan biasanya menggunakan bantuan dari anak-anaknya sebagai tenaga kerja dalam keluarga sehingga waktu pembajakan pun berlangsung lebih lama dibandingkan bila membajak dengan traktor tangan. Waktu yang dibutuhkan oleh petani yang membajak lahannya dengan traktor tangan rata-rata selama enam hingga tujuh hari per hektar. Tujuan dari pembajakan lahan sawah yaitu untuk membalikkan tanah beserta tumbuhan, sisa tanaman sebelumnya (jerami), dan kotoran lain setelah panen hingga terbenam serta memecah tanah menjadi bongkahan. Tahap pengolahan lahan yang kedua yaitu penggaruan dengan menggunakan alat bernama garu yang terbuat dari kayu dengan permukaan seperti garpu memanjang yang dibuat sendiri atau melalui pemesanan ke tukang kayu. Proses penggaruan dilakukan untuk menghancurkan bongkahan tanah setelah dibajak, dan biasanya menghabiskan waktu selama dua hari per hektar. Tahap yang ketiga yaitu perataan tanah (nyorong) dengan menggunakan alat bernama sorong yang juga terbuat dari kayu dengan permukaan rata. Proses perataan tanah ini bertujuan untuk menghaluskan tanah hingga permukaannya rata dan siap untuk ditanami bibit padi. Pada umumnya proses perataan tanah menghabiskan waktu selama kurang lebih dua hari untuk lahan seluas satu hektar. Setelah tanah benar-benar rata dan layak untuk ditanami bibit, selanjutnya dilakukan pembuatan garis tanam (nyaplak) dengan menggunakan alat bernama garokan. Jika lahan selesai digarisi, maka siap untuk ditanami bibit padi. Seluruh proses pengolahan tanah di lokasi penelitian pada umumnya dilakukan oleh tenaga kerja pria. c. Penanaman Proses penanaman (nandur) diawali dengan pencabutan bibit dari lahan persemaian kemudian ditanam di lahan sawah. Bibit padi hibrida yang ditanam umumnya berusia 18 hingga 21 hari, sedangkan bibit padi inbrida siap untuk ditanam pada usia 25 hingga 40 hari. Sistem tanam yang dilakukan oleh petani padi hibrida dan petani padi inbrida yaitu sistem tanam tegel berbentuk persegi dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Jumlah bibit yang ditanam yaitu sebanyak dua sampai tiga bibit padi per lubang tanam dengan kedalaman kurang lebih dua sentimeter. Kegiatan penanaman bibit dilakukan oleh wanita, karena petani beranggapan bahwa tenaga kerja wanita lebih teliti dan terampil dalam mengatur kedalaman tanam, sehingga dapat meminimalisir kerusakan bibit akibat kesalahan dalam penanaman seperti akar yang bengkok atau menanam dengan kedalaman yang kurang. Penanaman padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara 41

54 42 dilakukan secara serentak setiap musim tanam. Selama tahun 2012, penanaman dilakukan pada bulan Mei dan Oktober. d. Penyulaman Setelah proses penanaman selesai, petani perlu melakukan pengawasan terhadap keberadaan bibit padi yang mati, terutama bila disebabkan oleh hama keong. Bibit yang mati tersebut dicabut dan diganti dengan bibit padi baru yang berasal dari sisa persemaian dengan umur bibit yang sama agar tanaman padi dapat tumbuh seragam. Proses penyulaman (ngayuman) dilakukan lima hingga sepuluh hari setelah penanaman bibit padi. e. Penyiangan Proses penyiangan (ngarambet) pada padi hibrida dan padi inbrida dilakukan dua kali dalam setiap musim tanam. Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman padi berumur 20 hari setelah tanam, sedangkan yang kedua dilakukan saat tanaman padi berumur 40 hari setelah tanam. Penyiangan biasa dilakukan secara tradisional yaitu dengan menggunakan tangan untuk mencabuti rumput liar (gulma) yang berada di sekitar areal persawahan agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Beberapa petani ada pula yang melakukan penyiangan dengan menggunakan alat bernama gasrokan atau lalandak untuk membersihkan gulma tersebut. Penyiangan dilakukan oleh tenaga kerja pria maupun wanita. f. Pengairan Pengairan lahan persawahan di Desa Ciasmara berasal dari sumber mata air Cibeureum, mata air Babakan Hempak, mata air Ciburial, dan Sungai Ciasmara. Oleh karena banyaknya sumber pengairan yang terdapat di Desa Ciasmara, petani jarang mengalami kesulitan dalam memperoleh air untuk mengairi sawahnya walaupun sedang musim kemarau. Pada awalnya pengairan sawah di Desa Ciasmara dikelola oleh petugas Mitra Cai yang biasa disebut ulu-ulu yang mengontrol pengairan satu desa dan terbagi menjadi beberapa area pengairan terdiri dari beberapa kelompok tani untuk setiap petugas. Namun beberapa tahun terakhir, petugas Mitra Cai kurang aktif melakukan pengontrolan sarana pengairan karena kurangnya sumber daya manusia, sehingga pengelolaan pengairan dilakukan secara bersama-sama antar petani dalam setiap kelompok tani. Iuran irigasi yang dikenakan kepada petani pun tidak memiliki angka yang pasti, hanya berlandaskan keikhlasan dari setiap petani untuk membayar iuran kepada kelompok tani setelah panen berlangsung. Apabila terjadi kerusakan atau terdapat saluran pengairan yang tidak lancar, maka menjadi tanggung jawab setiap petani untuk bergotong royong membenahi kendala tersebut. Pengairan pada padi hibrida dilakukan terus menerus sejak tanaman berusia 8 hingga 100 hari setelah tanam. Mulai hari ke-101 sampai dengan hari ke-110 atau siap panen, lahan padi dikeringkan secara bertahap. Pada padi inbrida pengairan dimulai sejak 8 hingga 115 hari setelah tanam. Selama proses pengairan yang kontinyu tersebut, sesekali air di lahan sawah dikurangi pada saat pemupukan, penyiangan, dan pemberantasan hama (keong).

55 g. Pemupukan Petani padi hibrida pada umumnya menggunakan pupuk padat seperti NPK Phonska, Urea, dan TSP. Ada pula petani yang menggunakan pupuk padat lain seperti KCl, NPK Kujang, NPK Pelangi, SP-36, dan pupuk organik namun jumlah petani yang menggunakan hanya sedikit. Pemupukan pada padi hibrida dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu musim tanam. Pemupukan pertama dilakukan setelah penyulaman (5 sampai 7 hari setelah tanam). Pemupukan kedua dilakukan pada saat penyiangan pertama (18 sampai 21 hari setelah tanam). Pemupukan ketiga dilakukan pada saat penyiangan kedua (40 sampai 45 hari setelah tanam). Pada usahatani padi inbrida, umumnya petani menggunakan pupuk Urea, TSP, dan KCl. Pupuk padat lain seperti NPK Phonska, NPK Kujang, SP-36, dan ZA juga digunakan namun hanya oleh beberapa orang petani saja. Pemupukan pada usahatani padi inbrida juga dilakukan sebanyak tiga kali dengan waktu pemupukan yang sama dengan usahatani padi hibrida. Petani padi hibrida maupun inbrida kebanyakan melakukan pemupukan sendiri dengan cara menebar rata pupuk ke lahan persawahan. Pupuk biasa diperoleh dari kios-kios pertanian yang berada di sekitar lokasi penelitian. h. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan tujuan untuk memberantas dan mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman, petani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara sangat membatasi dan cenderung menghindari penggunaan pestisida pada tanaman apabila tidak terlalu mengganggu perkembangan tanaman padi. Pada musim tanam Oktober 2012 hingga musim panen Februari 2013, di lokasi penelitian hama yang banyak ditemukan pada lahan padi sawah milik petani responden yaitu keong. Hama keong berkembang dengan cepat dan harus diantisipasi pada masa awal penanaman, yaitu sekitar 10 hari setelah tanam, karena dapat merusak akar dan batang tanaman padi yang berumur muda. Pemberantasan hama ini biasa dilakukan oleh petani dengan cara tradisional tanpa menggunakan pestisida, yaitu dengan memungut langsung dengan menggunakan tangan. Pemungutan hama keong dilakukan secara berkala dan sesering mungkin oleh petani sendiri. Waktu yang tepat untuk memungut hama keong yaitu pada saat pagi dan sore hari. Petani memiliki cara untuk mengumpulkan hama keong, yaitu dengan melakukan pengeringan lahan sawah dan menggunakan daun pepaya atau daun talas sebagai umpan yang diletakkan di pinggir lahan persawahan. Setelah hama keong berkumpul di sekitar dedaunan, barulah dipungut secara bersamaan. Selain hama keong, ada pula beberapa petani yang tanamannya diserang hama penggerek batang. Untuk mengurangi dampak kerusakan akibat serangan hama penggerek batang, rata-rata penggunaan pestisida cair yang paling banyak pada petani padi hibrida yaitu Biocron, sedangkan pada petani padi inbrida yaitu Ripcord. Namun petani padi inbrida ada yang menggunakan pestisida padat seperti Furadan. Ada pula petani yang menggunakan pestisida cair lain seperti Spontan, Sidametrin, dan Boomflower namun hanya sebagian kecil dari petani responden yang menggunakannya. 43

56 44 i. Pemanenan Pemanenan merupakan tahap akhir dari aktifitas usahatani padi di sawah. Proses pemanenan padi harus dilakukan pada waktu yang tepat, karena ketepatan waktu memanen memiliki pengaruh terhadap jumlah dan mutu gabah yang dihasilkan. Padi hibrida dipanen saat berumur 110 hari, sedangkan padi inbrida untuk varietas Ciherang dipanen setelah berumur 116 sampai 125 hari. Pemanenan padi di Desa Ciasmara dilakukan dengan sistem borongan selama dua sampai tiga hari untuk setiap satu hektar luas panen, tergantung dari banyak atau sedikitnya tenaga kerja pemanen dan keterampilan yang dimiliki oleh pekerja. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan alat bernama arit. Setelah tanaman padi selesai dipanen, bulir gabah dirontokkan dengan menggunakan alat khusus perontokan yang terbuat dari bambu bernama gegebot. Selama proses perontokkan, gegebot diberi alas berupa terpal atau karung yang dijahit untuk menampung gabah kering panen (GKP) agar tidak tercecer di lahan persawahan. Output Usahatani Output usahatani yang dihasilkan pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida yaitu berupa gabah kering panen (GKP). Pada Tabel 10 disajikan data produktivitas dari output usahatani padi hibrida dan padi inbrida di lokasi penelitian dengan satuan kilogram per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari Berdasarkan data pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa total produksi per hektar dalam satu musim pada usahatani padi hibrida lebih besar dibandingkan dengan padi inbrida. Total produksi yang dihasilkan pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar kilogram per hektar per musim. Sedangkan total produksi yang dihasilkan pada usahatani padi inbrida yaitu sebesar kilogram per hektar per musim. Dengan demikian dapat dikatakan produktivitas padi hibrida di lokasi penelitian selama musim tanam Oktober 2012 sampai dengan musim panen Februari 2013 lebih tinggi daripada produktivitas padi inbrida dengan selisih produktivitas sebesar kilogram per hektar per musim. Perbedaan produktivitas padi hibrida di lokasi penelitian belum mencapai selisih sebesar 1 ton lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas padi inbrida seperti yang seharusnya dapat dicapai. Perbedaan produktivitas yang tidak jauh berbeda dengan padi inbrida diperkirakan karena teknik budidaya yang belum sesuai dengan anjuran dan pengaruh kondisi agroekosistem, sehingga superioritas hasil yang dimunculkan belum maksimal. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida Tahapan dalam menganalisis pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara pada musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 yaitu analisis penerimaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida, analisis biaya usahatani padi hibrida dan padi inbrida, analisis pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida, serta analisis R/C rasio dalam usahatani padi hibrida dan padi inbrida untuk mengetahui efisiensi biaya usahatani. Rincian data penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi hibrida dan padi

57 inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Penerimaan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida Pemanenan padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara dilakukan secara serempak pada Februari Hasil produksi per hektar pada padi hibrida tidak seluruhnya dijual, namun ada bagian yang diambil untuk konsumsi petani dan untuk disimpan. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata harga jual gabah kering panen (GKP) untuk padi hibrida yaitu sebesar Rp per kilogram. GKP yang langsung dijual setelah panen yaitu sebanyak kg dan menghasilkan penerimaan tunai sebesar Rp Bagian dari hasil produksi yang diambil untuk konsumsi dan disimpan juga dihitung sebagai komponen penerimaan yang diperhitungkan, masing-masing berjumlah kg dan kg serta menghasilkan penerimaan diperhitungkan masing-masing sebesar Rp dan Rp Tabel 11 Rata-rata penerimaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 a Komponen penerimaan Penerimaan tunai gabah kering panen Penerimaan yang diambil untuk konsumsi Penerimaan yang diambil untuk disimpan Penerimaan yang diambil untuk benih Total penerimaan Jumlah (Kg) Padi hibrida Harga (Rp/Kg) Penerimaan (Rp) Jumlah (Kg) Padi inbrida Harga (Rp/Kg) Penerimaan (Rp) a Sumber: Data primer (diolah) Hasil produksi padi inbrida juga tidak seluruhnya dijual, namun ada bagian yang diambil untuk konsumsi petani dan untuk benih yang akan digunakan pada musim tanam selanjutnya. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata harga jual

58 46 GKP untuk padi inbrida sedikit lebih rendah dibandingkan rata-rata harga jual yang diterima oleh petani padi hibrida, yaitu sebesar Rp GKP yang langsung dijual setelah panen yaitu sebanyak kg dan menghasilkan penerimaan tunai sebesar Rp Bagian dari hasil produksi yang diambil untuk konsumsi dan benih juga dihitung sebagai komponen penerimaan yang diperhitungkan, masing-masing berjumlah kg dan kg serta menghasilkan penerimaan diperhitungkan sebesar Rp dan Rp Total penerimaan usahatani per hektar per musim tanam yang diperoleh petani padi hibrida dan petani padi inbrida tidak berbeda jauh. Petani padi hibrida memperoleh penerimaan lebih tinggi yaitu sebesar Rp per hektar per musim tanam, sedangkan petani padi inbrida memperoleh penerimaan sebesar Rp Selisih dari total penerimaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida tidak terlalu besar, yaitu Rp per hektar per musim tanam. Biaya Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida Biaya usahatani dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan biaya yang pada kenyataannya tidak dikeluarkan oleh petani dalam bentuk uang atau alat tukar lain, tetapi nilainya tetap diperhitungkan dalam perhitungan. Data rata-rata biaya usahatani padi hibrida dan padi inbrida dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. Komponen biaya yang digunakan dalam usahatani padi hibrida dan padi inbrida yaitu benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan biaya-biaya lain seperti iuran irigasi, iuran desa, pajak lahan, sewa lahan, biaya bagi hasil, serta biaya penyusutan alat. a. Biaya Pembelian Benih Petani padi hibrida yang menjadi responden tidak mengeluarkan uang untuk membeli benih padi, sehingga komponen biaya pembelian benih padi hibrida termasuk dalam biaya yang diperhitungkan. Rata-rata harga benih padi hibrida yang dijual di toko pertanian pada wilayah lokasi penelitian yaitu Rp per kilogram. Rata-rata harga benih padi inbrida yang diperoleh petani yaitu Rp per kilogram. Benih padi varietas Ciherang diperoleh petani dari toko-toko pertanian yang berada di wilayah Desa Ciasmara dalam kemasan karung berukuran lima kilogram. Biaya pembelian benih padi hibrida sebagai biaya yang diperhitungkan jumlahnya lebih besar daripada biaya pembelian benih padi inbrida sebagai biaya tunai, yaitu masing-masing sebesar Rp dan Rp untuk satu hektar pada setiap musim tanam. Biaya pembelian benih padi hibrida yang lebih besar disebabkan oleh tingginya harga benih padi hibrida per satuan kilogram yang berkisar antara enam hingga tujuh kali lipat dari harga benih padi inbrida khususnya varietas Ciherang yang biasa digunakan pada setiap musim tanam oleh petani di lokasi penelitian. b. Biaya Pupuk Biaya yang digunakan oleh petani padi hibrida dan inbrida untuk pembelian pupuk seluruhnya termasuk dalam biaya tunai. Pupuk yang digunakan oleh petani

59 responden diperoleh dari toko-toko pertanian yang terdapat di lokasi penelitian. Sesuai dengan data yang tercantum dalam Tabel 12, rata-rata harga pupuk Urea, TSP, dan KCl per satuan kilogram pada petani padi inbrida lebih mahal dibandingkan pada petani padi hibrida. Sedangkan rata-rata harga pupuk NPK Phonska, NPK Kujang, dan SP-36 pada petani padi inbrida lebih murah dibandingkan dengan petani padi hibrida. Tabel 12 Rata-rata biaya penggunaan pupuk padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 a Padi hibrida Padi inbrida Jumlah Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Pengeluaran (Rp) Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Pengeluaran (Rp) Urea TSP KCL NPK Phonska NPK Kujang NPK Pelangi SP ZA Pupuk Organik Total a Sumber: Data primer (diolah). 47 Pupuk NPK Pelangi dan pupuk organik hanya digunakan oleh responden petani padi hibrida, masing-masing seharga Rp per kilogram dan Rp per kilogram. Pupuk ZA hanya digunakan oleh responden petani padi inbrida dengan harga Rp per kilogram. Biaya tunai yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk pada petani padi hibrida yaitu sebesar Rp Sedangkan pembelian pupuk pada petani padi inbrida jumlahnya lebih besar yaitu sebesar Rp Biaya tunai yang lebih besar pada padi inbrida disebabkan oleh total penggunaan pupuk yang juga lebih besar dibandingkan dengan penggunaan pupuk pada padi hibrida. c. Biaya Pestisida Biaya yang dikeluarkan petani untuk membeli pestisida termasuk dalam biaya tunai. Pestisida yang paling banyak digunakan oleh petani padi hibrida untuk memberantas hama penggerek batang yaitu pestisida cair Biocron sebanyak ml per hektar dengan harga Rp11.76 per ml. Pada padi inbrida, pestisida cair yang paling banyak digunakan yaitu Ripcord sebanyak ml per hektar dengan harga Rp52.94 per ml. Ada pula petani padi inbrida yang menggunakan pestisida padat Furadan untuk membasmi hama penggerek batang, rata-rata

60 48 penggunaannya hanya sebesar 0.25 kg per hektar dengan harga Rp per kilogram. Selain pestisida Ripcord, Biocron, dan Furadan, terdapat jenis pestisida lain yang digunakan oleh petani padi hibrida dan petani padi inbrida di Desa Ciasmara. Pestisida cair yang juga digunakan untuk membasmi OPT yaitu Spontan, Sidametrin, dan Boomflower namun hanya sebagian kecil dari petani responden yang menggunakan pestisida tersebut, dimana masing-masing hanya sebanyak satu orang dari keseluruhan responden petani padi hibrida dan petani padi inbrida. Total biaya pestisida yang dikeluarkan oleh petani padi hibrida per hektar untuk satu musim tanam jumlahnya lebih rendah dibandingkan total biaya pestisida pada usahatani padi inbrida yaitu Rp Sementara total biaya pestisida padi inbrida yaitu sebesar Rp Angka total biaya pestisida yang lebih tinggi pada usahatani padi inbrida disebabkan karena total pengunaannya yang juga lebih tinggi dibandingkan padi hibrida. d. Biaya Tenaga Kerja Komponen biaya tenaga kerja dalam usahatani padi hibrida dan usahatani padi inbrida terdiri dari biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dan biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Biaya TKLK dihitung sebagai biaya tunai, sedangkan biaya TKDK dihitung sebagai biaya yang diperhitungkan, terdiri dari tenaga kerja petani itu sendiri dan anggota keluarga yang digunakan untuk melakukan aktifitas usahatani. Aktifitas usahatani padi hibrida dan padi inbrida yang menggunakan tenaga kerja baik dalam maupun luar keluarga dengan sistem upah, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 13 terdiri dari pengolahan lahan 2 (menggaru), pengolahan lahan 3 (menyorong/sosorong), pembuatan garis tanam (menyaplak), persemaian, penanaman, pengairan, penyulaman, penyiangan 1, penyiangan 2, pemupukan 1, pemupukan 2, pemupukan 3, pengambilan hama keong, dan penyemprotan pestisida. Aktifitas pengolahan lahan 1 (membajak) dan pemanenan dilakukan dengan sistem borongan. Aktifitas pengolahan lahan 1 atau membajak di lokasi penelitian dilakukan dengan sistem borongan menggunakan traktor tangan (hand tractor) yang disewa kepada pemilik traktor tangan ataupun milik pribadi. Biaya yang dikeluarkan untuk membajak sawah dengan sistem borongan sudah termasuk satu orang operator traktor tangan dan dua orang pekerja yang melakukan aktifitas mojokan atau meratakan lahan yang tidak terjangkau oleh traktor tangan dengan menggunakan pacul. Bagi petani padi yang tidak memiliki traktor tangan, pada umumnya mereka biasa menyewa ke petani yang memiliki traktor atau ke Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang kepengurusannya berada di bawah Gapoktan Asmara Jaya Desa Ciasmara. Bagi petani yang memiliki traktor pribadi, biaya yang dikeluarkan lebih rendah karena biaya hanya digunakan untuk membayar tenaga operator traktor tangan dan dua orang yang melakukan aktifitas mojokan dengan besaran biaya sebesar Rp per hektar per musim tanam. Sedangkan bagi yang menyewa traktor tangan, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp sampai dengan Rp per hektar per musim tanam. Berdasarkan data pada Lampiran 6, rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk sewa traktor melalui sistem borongan pada usahatani padi hibrida yaitu Rp per hektar per musim. Biaya tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan

61 rata-rata biaya sewa traktor pada usahatani padi inbrida yang besarannya yaitu Rp per hektar per musim. Aktifitas usahatani setelah membajak, mulai dari pengolahan lahan 2 (menggaru) sampai dengan penyemprotan pestisida, biaya tenaga kerjanya dihitung berdasarkan perkalian antara hari orang kerja (HOK) per hektar dengan upah per HOK. Di lokasi penelitian, satu hari kerja adalah selama enam jam yang dimulai dari pukul pagi hingga pukul siang. Jumlah hari kerja yang dibutuhkan petani untuk melaksanakan aktifitas usahatani dikonversi ke jumlah HOK. Ketetapan satu HOK dalam usahatani adalah selama delapan jam, sehingga satu hari kerja di lokasi penelitian setara dengan 6/8 HOK. Begitu pula dengan perhitungan upah selama enam jam per hari dikonversi menjadi upah per HOK. Upah selama enam jam dibagi enam untuk mengetahui nilai upah per jam, kemudian dikali delapan untuk mengetahui upah per HOK selama delapan jam. Sehingga diperoleh upah setelah konversi pada usahatani padi hibrida untuk tenaga kerja pria yaitu sebesar Rp dan Rp untuk tenaga kerja wanita. Sementara pada usahatani padi inbrida upah per HOK selama delapan jam lebih tinggi namun tidak berbeda jauh dibandingkan dengan upah rata-rata pada usahatani padi hibrida yaitu untuk tenaga kerja pria sebesar Rp dan Rp untuk tenaga kerja wanita. Hari kerja wanita (HKW) terlebih dahulu dikonversi menjadi hari kerja pria (HKP), dimana upah tenaga kerja pria dihitung sebagai satu HKP sedangkan HKW untuk tenaga kerja wanita pada usahatani padi hibrida dan usahatani padi inbrida masing-masing sebesar 0.77 dan 0.78 HKP yang diperoleh dari pembagian antara upah tenaga kerja wanita dengan upah tenaga kerja pria pada usahatani padi hibrida dan usahatani padi inbrida. Pada Tabel 13 dapat dilihat rincian penggunaan tenaga kerja dalam satuan HOK per hektar untuk setiap aktifitas usahatani padi hibrida dan usahatani padi inbrida. Pada aktifitas pengolahan lahan 2 (menggaru) dalam usahatani padi hibrida, lebih banyak digunakan TKLK dengan besaran HOK untuk total kerja sebesar HOK. Pengolahan lahan 3 (menyorong) memerlukan kerja sebesar HOK dan pembuatan garis tanam sebesar 5.51 HOK. Aktifitas persemaian pada usahatani padi hibrida lebih banyak dilakukan oleh TKDK (3.18 HOK) dengan total kerja aktifitas sebesar 3.31 HOK. Penanaman bibit padi seluruhnya dilakukan oleh TKLK pada usahatani padi hibrida dan memerlukan kerja sebesar HOK. Pengairan sawah dan penyulaman juga lebih banyak dikerjakan oleh TKDK dengan total kerja masing-masing sebesar 3.22 HOK dan 7.67 HOK. Kegiatan penyiangan 1 dan penyiangan 2 pada usahatani padi hibrida memerlukan jumlah kerja yang tinggi, yaitu masing-masing sebesar HOK dan HOK dan lebih banyak dikerjakan oleh TKDK. Pemupukan rata-rata dilakukan sebanyak tiga kali, dimana pemupukan 1 membutuhkan kerja sebesar 3.89 HOK, pemupukan 2 sebesar 3.61 HOK, dan pemupukan 3 sebesar 1.10 HOK. Pengambilan hama keong kebanyakan dilakukan oleh TKDK dengan jumlah kerja sebesar HOK. Begitu pula dengan aktifitas penyemprotan pestisida, pada usahatani padi hibrida intensitas penyemprotan sangat dibatasi dan hanya memerlukan sebesar 1.19 HOK. 49

62 50 Tabel 13 Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi hibrida dan padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor a Aktivitas TKDK (HOK/Ha) Padi hibrida TKLK (HOK/Ha) Total (HOK/Ha) TKDK (HOK/Ha) Padi inbrida TKLK (HOK/Ha) Total (HOK/Ha) Pengolahan lahan 2 (menggaru) Pengolahan lahan 3 (meyorong) Pembuatan garis tanam (menyaplak) Persemaian Penanaman Pengairan Penyulaman Penyiangan Penyiangan Pemupukan Pemupukan Pemupukan Pengambilan hama keong Penyemprotan Jumlah a Sumber: Data primer (diolah). Pada usahatani padi inbrida seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 13, aktifitas pengolahan lahan 2 (menggaru) lebih banyak menggunakan TKLK (7.72 HOK) dari total kerja aktifitas menggaru sebesar HOK. Untuk aktifitas pengolahan lahan 3 (menyorong) dan pembuatan garis tanam pada usahatani padi inbrida masing-masing memerlukan jumlah kerja sebesar 8.78 HOK dan 4.87 HOK. Persemaian pada usahatani padi inbrida lebih banyak dilakukan oleh petani sendiri yang termasuk dalam TKDK dengan jumlah kerja sebesar 2.41 HOK. Aktifitas penanaman hampir seluruhnya dilakukan oleh TKLK (15.45 HOK) dari jumlah kerja aktifitas penanaman sebesar HOK. Pengairan dan penyulaman memerlukan jumlah kerja masing-masing sebesar 1.80 HOK dan 2.87 HOK. Penyiangan 1 dan penyiangan 2 yang dilakukan pada usahatani padi inbrida memerlukan jumlah kerja yang lebih rendah dibandingkan pada usahatani padi hibrida yaitu penyiangan 1 sebesar 7.34 HOK dan penyiangan 2 sebesar 5.87 HOK. Pemupukan yang dilakukan pada usahatani padi inbrida umumnya juga sebanyak tiga kali, dimana pemupukan 1 memerlukan kerja sebesar 2.44 HOK, pemupukan 2 sebesar 1.94 HOK, dan pemupukan 3 sebesar 0.39 HOK. Pengambilan hama keong yang dilakukan dalam usahatani padi inbrida memerlukan jumlah kerja yang lebih rendah dibandingkan pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 5.53 HOK. Untuk aktifitas penyemprotan pestisida, dalam usahatani padi inbrida jumlah kerja yang dibutuhkan lebih tinggi dibandingkan

63 pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 2.62 HOK karena intensitas penggunaannya yang lebih sering dengan jumlah tenaga kerja yang juga lebih banyak. Menurut hasil penelitian, tingginya jumlah kerja yang dibutuhkan dalam penyulaman, penyiangan 1, penyiangan 2, dan pengambilan hama keong pada usahatani padi hibrida disebabkan karena adanya perlakuan yang lebih intensif dalam masing-masing aktifitas tersebut pada tanaman padi hibrida. Kegiatan penyulaman tanaman padi hibrida lebih banyak dilakukan karena lebih banyak jumlah bibit yang mati di awal masa tanam. Aktifitas penyiangan 1, penyiangan 2, dan pengambilan hama keong yang dilakukan pada usahatani padi hibrida dilakukan oleh lebih banyak tenaga kerja dan jumlah hari kerja yang lebih panjang dibandingkan pada usahatani padi inbrida, dengan pertimbangan petani lebih menjaga kondisi pertumbuhan tanaman padi hibrida karena baru pertama kali melakukan penanaman varietas hibrida, dengan harapan bila perlakuan pemeliharaan tanaman lebih intensif maka akan menghasilkan hasil yang lebih baik. Total HOK yang diperlukan dalam usahatani padi hibrida baik total HOK untuk TKLK maupun untuk TKDK lebih tinggi dibandingkan dengan total HOK dalam usahatani padi inbrida, sehingga biaya tenaga kerja untuk aktifitas usahatani dengan sistem upah pada usahatani padi hibrida berada pada angka yang lebih tinggi. Pada Lampiran 6 dapat dilihat biaya TKLK yang dikeluarkan sebagai biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp , sedangkan biaya TKDK yang termasuk dalam biaya diperhitungkan sebesar Rp Pada usahatani padi inbrida, biaya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk TKLK yaitu sebesar Rp sebagai biaya tunai dan Rp untuk TKDK sebagai biaya yang diperhitungkan sesuai yang terlihat pada Lampiran 7. Biaya pemanenan di lokasi penelitian dihitung sebagai biaya tunai berdasarkan jumlah panen yang dihasilkan, yaitu sejumlah Rp1 500 per gedeng hasil atau setara dengan Rp per kilogram GKP baik untuk padi hibrida maupun padi inbrida. Rata-rata biaya pemanenan untuk padi hibrida per hektar per musim panen Februari 2013 yaitu sebesar Rp sedangkan untuk padi inbrida biayanya lebih rendah yaitu Rp seperti yang terlihat pada Lampiran 6 dan 7. e. Iuran Irigasi/Pengairan Iuran irigasi atau pengairan termasuk dalam biaya tunai. Iuran irigasi yang dibayarkan oleh petani padi hibrida lebih rendah dibandingkan dengan iuran irigasi yang dibayar oleh petani padi inbrida. Rata-rata biaya iuran pengairan dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7 dimana untuk usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp , sedangkan rata-rata biaya iuran pengairan pada usahatani padi inbrida adalah Rp dan dibayarkan setiap musim setelah pemanenan kepada petugas Mitra Cai dengan besaran pembayaran yang tidak ditentukan secara pasti. Selama ini sistem pembayaran dilakukan secara tunai dengan nominal yang berdasarkan keikhlasan dari masing-masing petani. f. Iuran Desa Iuran desa dibayarkan sebagai biaya tunai pada setiap musim setelah pemanenan dilakukan. Iuran desa yang dibayarkan oleh petani padi hibrida lebih 51

64 52 rendah bila dibandingkan dengan iuran desa yang dibayarkan oleh petani padi inbrida di lokasi penelitian. Rata-rata biaya iuran desa yang dikeluarkan setiap musim oleh petani padi hibrida yaitu sebesar Rp Sementara rata-rata biaya iuran desa yang dibayar oleh petani padi inbrida sebesar Rp Besaran iuran desa yang dibayarkan kepada petugas pengumpul dari Kantor Desa Ciasmara juga tidak dipatok pada angka yang pasti, hanya berdasarkan kemampuan dari masing-masing petani di lokasi penelitian. Petani mengumpulkan uang iuran desa kepada ketua rukun tetangga (RT) atau ketua rukun warga (RW) masing-masing, setelah itu iuran desa yang terkumpul dibayarkan kepada petugas pengumpul di kantor desa. g. Pajak Lahan Pajak lahan di lokasi penelitian yaitu Desa Ciasmara dikenakan sebesar Rp18.67 per meter persegi dan termasuk biaya tunai. Biaya pajak lahan yang dikeluarkan oleh petani padi hibrida dan padi inbrida diperoleh dari hasil perkalian antara satuan pajak per meter persegi dengan luas lahan yang dimiliki. Pajak lahan dibayarkan setahun sekali dan dikonversi dalam satu musim per hektar kemudian dirata-ratakan. Biaya pajak lahan per musim dalam satu hektar yang dibayarkan oleh petani padi hibrida lebih rendah dibandingkan petani padi inbrida, yaitu sebesar Rp dan Rp untuk biaya pajak lahan padi inbrida seperti yang terlihat pada Lampiran 6 dan 7. Rata-rata biaya pajak lahan yang dibayarkan tergantung pada jumlah petani yang memiliki lahan sendiri untuk melakukan aktifitas usahatani. Pada responden petani padi hibrida, terdapat sebelas petani yang memiliki lahan sendiri dari total sebanyak 17 petani responden. Sementara pada petani padi inbrida dari sebanyak 17 responden terdapat 13 petani yang memiliki lahan sendiri, sehingga rata-rata biaya pajak lahan yang dikeluarkan oleh petani padi hibrida lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata biaya pajak yang dikeluarkan oleh petani padi inbrida. h. Sewa Lahan Komponen biaya sewa lahan dalam Lampiran 6 dan 7 terbagi menjadi sewa lahan sebagai biaya tunai dan sewa lahan sebagai biaya yang diperhitungkan. Biaya sewa lahan yang termasuk dalam biaya tunai merupakan biaya sewa lahan bagi petani responden yang benar-benar mengeluarkan uang tunai atau hasil produksi untuk membayar sewa lahan usahatani. Sementara biaya sewa lahan yang termasuk dalam biaya diperhitungkan merupakan biaya imbangan penggunaan lahan bagi petani yang memiliki lahan sendiri. Sewa lahan yang dibayarkan oleh petani responden berlaku untuk satu musim tanam. Pada usahatani padi hibrida, terdapat empat orang petani yang melakukan usahatani padi dengan menyewa lahan. Tiga dari empat orang responden petani padi hibrida melakukan pembayaran sewa lahan dengan natura berupa GKP yang diberikan kepada pemilik lahan setelah pemanenan. Hasil panen yang dijadikan alat pembayaran berkisar antara 45 sampai dengan 55 gedeng hasil untuk setiap satu gedeng luas lahan (1.666,67 m 2 ) yang disewa. Apabila dikonversi, dengan nilai rata-rata Rp untuk setiap satu gedeng hasil di lokasi penelitian, natura tersebut setara dengan Rp sampai dengan Rp per musim per hektar. Satu dari empat orang responden petani padi hibrida melakukan

65 pembayaran sewa lahan secara tunai sebesar Rp per musim per hektar. Pada Lampiran 6 dapat dilihat rata-rata biaya sewa lahan sebagai biaya tunai untuk usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp Sementara rata-rata biaya imbangan penggunaan lahan sebagai biaya diperhitungkan pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp Pada usahatani padi inbrida, hanya terdapat tiga orang dari 17 responden petani padi inbrida yang melakukan usahatani padi dengan menyewa lahan. Seluruh petani yang menyewa lahan pada usahatani padi inbrida membayar sewa secara natura berupa GKP dengan ukuran 40 gedeng hasil untuk setiap satu gedeng luas lahan. Apabila dikonversi, natura tersebut setara dengan uang sewa lahan senilai Rp per musim per hektar. Pada tabel yang tersaji di Lampiran 7, dapat dilihat bahwa rata-rata biaya sewa lahan sebagai biaya tunai untuk usahatani padi inbrida adalah Rp , dimana nilainya lebih rendah dibandingkan dengan biaya sewa lahan sebagai biaya tunai untuk usahatani padi hibrida. Rata-rata biaya imbangan penggunaan lahan sebagai biaya diperhitungkan pada usahatani padi inbrida yaitu Rp per hektar per musim tanam dan nilainya lebih besar bila dibandingkan dengan rata-rata biaya imbangan penggunaan lahan sebagai biaya diperhitungkan pada usahatani padi hibrida. i. Biaya Bagi Hasil Biaya bagi hasil untuk usahatani padi hibrida dan padi inbrida termasuk dalam biaya tunai. Petani sakap yang termasuk dalam responden petani padi hibrida terdiri dari dua orang, sedangkan yang termasuk dalam responden petani padi inbrida hanya terdiri dari satu orang. Pembagian hasil panen berupa GKP kepada pemilik lahan sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak atau biasa disebut maparo. Dari seluruh responden petani sakap padi hibrida dan padi inbrida, biaya yang dikeluarkan dalam melakukan usahatani ditanggung oleh petani sakap, kecuali pajak lahan. Pada responden petani padi hibrida yang menjadi petani sakap, satu orang melakukan bagi hasil dengan proporsi 1 : 1.5. Satu bagian untuk pemilik lahan dan satu koma lima bagian untuk petani sakap. Sementara satu orang yang lain melakukan bagi hasil dengan proporsi yang berbeda yaitu 1 : 9 dimana perbandingan tersebut berarti satu bagian untuk pemilik lahan dan sembilan bagian untuk petani sakap. Perbedaan proporsi pembagian hasil panen tersebut terjadi karena adanya kesepakatan antara petani sakap dengan pemilik lahan, dimana pemilik lahan tidak menggunakan angka yang pasti dalam menentukan perbandingan bagi hasil yang harus diserahkan, tetapi dilihat pada total produksi yang dihasilkan oleh petani sakap. Semakin tinggi hasil produksi, pemilik lahan akan menentukan biaya bagi hasil yang lebih tinggi pula. Petani sakap yang termasuk dalam responden petani padi inbrida hanya berjumlah satu orang. Proporsi pembagian hasil panen yaitu 1 : 3 yang berarti satu bagian untuk pemilik lahan dan tiga bagian untuk petani sakap. Rata-rata biaya bagi hasil pada usahatani padi hibrida yaitu Rp per hektar per musim tanam. Sementara rata-rata biaya bagi hasil pada usahatani padi inbrida adalah Rp dan nilainya lebih rendah dibandingkan rata-rata biaya bagi hasil pada usahatani padi hibrida. 53

66 54 j. Biaya Penyusutan Peralatan Biaya penyusutan peralatan dihitung dalam satu musim, dimana dalam satu tahun terdiri dari dua musim tanam. Pada Lampiran 6 dan 7, dapat dilihat biaya penyusutan peralatan yang ditanggung oleh petani padi hibrida yaitu sebesar Rp Sedangkan biaya penyusutan peralatan petani padi inbrida adalah Rp lebih besar bila dibandingkan dengan biaya penyusutan petani padi hibrida. Besarnya biaya penyusutan peralatan yang ditanggung oleh petani padi inbrida di lokasi penelitian mengindikasikan bahwa petani padi inbrida memiliki lebih banyak peralatan usahatani dibandingkan dengan petani padi hibrida, sehingga biaya penyusutan menjadi lebih besar. Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida Pendapatan usahatani merupakan hasil pengurangan antara total penerimaan usahatani dengan biaya usahatani yang dikeluarkan. Petani akan memperoleh pendapatan usahatani apabila penerimaan usahatani yang diperoleh lebih besar daripada biaya usahatani, atau dapat dikatakan nilai pendapatan yang dihasilkan positif. Analisis pendapatan usahatani dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai diperoleh dari pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya tunai, sedangkan pendapatan atas biaya total diperoleh dari pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya, baik biaya tunai maupun biaya yang diperhitungkan. Tabel 14 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan R/C rasio usahatani padi hibrida dan padi inbrida per hektar per musim di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor a No. Komponen Usahatani padi hibrida Jumlah (Rp) Usahatani padi inbrida Jumlah (Rp) A. Penerimaan tunai Penerimaan yang B. diperhitungkan C. Total penerimaan (A+B) D. Biaya tunai E. Biaya yang diperhitungkan F. Total biaya (D+E) G. Pendapatan atas biaya tunai H. Pendapatan atas biaya total I. R/C atas biaya tunai (C/D) J. R/C atas biaya total (C/F) a Sumber: Data primer (diolah). Berdasarkan data yang tersaji dalam Tabel 14, dapat dilihat bahwa pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total per hektar per musim tanam pada usahatani padi inbrida lebih besar dibandingkan pada usahatani padi

67 hibrida. Pendapatan atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai pada usahatani padi inbrida yang nilainya sebesar Rp Padahal jika dilihat dari total penerimaan per hektar selama satu musim, nilai total penerimaan lebih tinggi pada usahatani padi hibrida. Hal ini disebabkan biaya tunai yang dikeluarkan pada usahatani padi hibrida lebih besar dibandingkan dengan biaya tunai pada usahatani padi inbrida. Biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp sementara biaya tunai usahatani padi inbrida sebesar Rp sehingga pendapatan atas biaya tunai padi hibrida menjadi lebih rendah. Pendapatan atas biaya total pada usahatani padi inbrida memiliki nilai yang positif, yaitu sebesar Rp sedangkan pada usahatani padi hibrida pendapatan atas biaya total bernilai negatif yang berarti petani padi hibrida mengalami kerugian sebesar Rp Hal ini disebabkan karena tingginya komponen biaya total dan biaya diperhitungkan pada usahatani padi hibrida dibandingkan dengan usahatani padi inbrida yang mengakibatkan total biaya yang dihasilkan juga lebih tinggi. Total biaya pada usahatani padi hibrida adalah Rp sementara pada usahatani padi inbrida adalah Rp dengan biaya diperhitungkan pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida masingmasing sebesar Rp dan Rp Nilai biaya diperhitungkan pada usahatani padi hibrida lebih besar dibandingkan padi inbrida karena adanya komponen biaya pembelian benih dan biaya TKDK dengan nilai yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan pendapatan atas biaya total untuk usahatani padi hibrida bernilai negatif. Angka pendapatan atas biaya total yang negatif pada usahatani padi hibrida memiliki arti bahwa jika seluruh sumber daya yang digunakan dalam usahatani padi hibrida dinilai, baik yang dibayarkan secara tunai maupun yang diperhitungkan, maka petani padi hibrida tidak mampu membayar biaya tersebut atau dapat dikatakan mengalami kerugian. Analisis R/C Rasio Analisis R/C rasio memperlihatkan perbandingan antara penerimaan yang diterima oleh petani dengan setiap biaya yang dikeluarkan dalam melakukan kegiatan usahatani. Dalam penelitian ini, analisis R/C rasio terbagi menjadi dua, yaitu R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Berdasarkan data dalam Tabel 14, dapat dilihat bahwa R/C rasio atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan R/C rasio atas biaya tunai pada usahatani padi inbrida, dan nilai keduanya lebih besar dari satu. R/C atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 2.15 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar Angka R/C rasio tersebut memiliki makna bahwa dari setiap Rp1.00 biaya tunai yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp2.15 untuk petani padi hibrida dan Rp2.40 untuk petani padi inbrida. Apabila ditinjau dari biaya total yang dikeluarkan (biaya tunai dan biaya diperhitungkan), usahatani padi inbrida menghasilkan angka R/C rasio atas biaya total yang lebih tinggi dibandingkan dengan R/C rasio atas biaya total pada usahatani padi hibrida. Nilai R/C rasio pada usahatani padi inbrida lebih besar dari satu, yaitu senilai 1.21 yang berarti untuk setiap Rp1.00 biaya total yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp1.21 bagi petani padi 55

68 56 inbrida. Nilai R/C rasio pada usahatani padi hibrida memiliki nilai lebih kecil dari satu yaitu sebesar Hal itu berarti untuk setiap Rp1.00 biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi hibrida hanya menghasilkan penerimaan sebesar Rp0.99 atau dapat dikatakan petani tidak mengalami keuntungan. Dari hasil analisis R/C rasio di atas, dapat dikatakan bahwa usahatani padi inbrida lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani padi hibrida, karena memiliki nilai R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total yang lebih besar dari satu. Angka R/C yang lebih besar dari satu pada usahatani padi inbrida menunjukkan bahwa penerimaan yang diterima oleh petani dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan, baik yang berupa biaya tunai maupun biaya diperhitungkan. Selain itu petani padi inbrida juga memperoleh sisa penerimaan yang telah dikurangi dengan biaya tersebut sebagai pendapatan. Pada usahatani padi hibrida, nilai R/C rasio atas biaya tunai lebih besar dari satu, namun R/C rasio atas biaya total nilainya kurang dari satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penerimaan yang diterima oleh petani padi hibrida dapat menutupi biaya tunai yang dikeluarkan serta masih menghasilkan sisa penerimaan sebagai pendapatan. Namun nilai R/C rasio atas biaya total yang kurang dari satu menunjukkan bahwa apabila penerimaan yang diperoleh digunakan untuk menutupi seluruh biaya baik biaya tunai maupun biaya diperhitungkan, maka petani padi hibrida tidak memperoleh pendapatan dan mengalami kerugian. Nilai pendapatan usahatani dan R/C rasio usahatani padi hibrida yang lebih rendah dibandingkan dengan usahatani padi inbrida menunjukkan bahwa usahatani padi inbrida lebih menguntungkan walaupun produktivitas padi hibrida lebih tinggi. Apabila pemerintah ingin tetap menyukseskan program P2BN melalui penanaman padi hibrida, sebaiknya petani diberi fasilitas dengan bantuan subsidi input dan pendampingan mengenai teknik budidaya yang sesuai anjuran secara berkelanjutan agar dapat menekan total biaya dan meningkatkan total penerimaan pada usahatani padi hibrida, sehingga petani tetap memperoleh keuntungan usahatani dan termotivasi untuk menanam padi hibrida kembali pada musim tanam selanjutnya. Dengan demikian peningkatan produksi beras nasional dapat tercapai, disertai peningkatan kesejahteraan bagi pihak petani padi hibrida di daerah-daerah sentra produksi padi Indonesia khususnya di Kabupaten Bogor. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mengacu pada tujuan penelitian dan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Keragaaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor meliputi penggunaan input, teknik budidaya, dan output usahatani. Penggunaan input pada kedua jenis usahatani terdiri dari benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Teknik budidaya padi hibrida dan padi inbrida di lokasi penelitian secara umum tidak jauh berbeda, meliputi persemaian, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan perawatan tanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta pemanenan.

69 Bentuk hasil panen kedua varietas tersebut yaitu berupa gabah kering panen (GKP). Output usahatani yang dihasilkan dari usahatani padi hibrida lebih tinggi daripada padi inbrida dengan selisih produktivitas sebesar kilogram per hektar per musim. 2. Pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total per hektar per musim tanam di Kabupaten Bogor pada usahatani padi inbrida lebih besar dibandingkan pada usahatani padi hibrida. Pendapatan atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar Rp lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai pada usahatani padi inbrida yang nilainya sebesar Rp Padahal jika dilihat dari total penerimaan per hektar selama satu musim, nilai total penerimaan lebih tinggi pada usahatani padi hibrida. Hal ini disebabkan biaya tunai yang dikeluarkan pada usahatani padi hibrida lebih besar yaitu Rp sementara biaya tunai usahatani padi inbrida sebesar Rp sehingga pendapatan atas biaya tunai padi hibrida menjadi lebih rendah. Pendapatan atas biaya total pada usahatani padi inbrida memiliki nilai yang positif, yaitu sebesar Rp sedangkan pada usahatani padi hibrida pendapatan atas biaya total bernilai negatif yang berarti petani padi hibrida mengalami kerugian sebesar Rp Hal ini disebabkan karena tingginya komponen biaya total dan biaya diperhitungkan pada usahatani padi hibrida dibandingkan dengan usahatani padi inbrida yang mengakibatkan total biaya yang dihasilkan juga lebih tinggi. Total biaya pada usahatani padi hibrida adalah Rp sementara pada usahatani padi inbrida adalah Rp dengan biaya diperhitungkan pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida masing-masing sebesar Rp dan Rp Angka pendapatan atas biaya total yang negatif pada usahatani padi hibrida memiliki arti bahwa jika seluruh sumber daya yang digunakan dalam usahatani padi hibrida dinilai, baik yang dibayarkan secara tunai maupun yang diperhitungkan, maka petani padi hibrida tidak mampu membayar biaya tersebut atau mengalami kerugian. 3. Berdasarkan analisis R/C rasio, dapat dikatakan bahwa usahatani padi inbrida lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani padi hibrida di Kabupaten Bogor, karena memiliki nilai R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total yang lebih besar dari satu. Nilai R/C atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 2.15 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar 2.40 yang memiliki makna bahwa untuk setiap Rp1.00 biaya tunai yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp2.15 untuk petani padi hibrida dan Rp2.40 untuk petani padi inbrida. Nilai R/C rasio atas biaya total pada usahatani padi inbrida lebih besar dari satu, yaitu senilai 1.21 yang berarti untuk setiap Rp1.00 biaya total yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp1.21 bagi petani padi inbrida. Sementara nilai R/C rasio pada usahatani padi hibrida memiliki nilai lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0.99 yang berarti untuk setiap Rp1.00 biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi hibrida hanya menghasilkan penerimaan sebesar Rp0.99 atau dapat dikatakan petani tidak mengalami keuntungan. 57

70 58 Saran Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan yaitu: 1. Pemilihan varietas padi hibrida yang akan ditanam pada lokasi pelaksanaan program SL-PTT di sentra produksi padi termasuk Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian sebaiknya menggunakan varietas yang paling sesuai dengan karakteristik agroekosistem agar keunggulan yang dihasilkan dari fenomena heterosis dapat muncul, salah satunya dengan indikator superioritas hasil paling tidak sebesar satu ton per hektar di atas varietas unggul inbrida. 2. Untuk meningkatkan pendapatan atas biaya total pada usahatani padi hibrida agar dapat menghasilkan keuntungan bagi petani, dapat dilakukan dengan menekan biaya dan meningkatkan total penerimaan. Komponen biaya yang perlu ditekan terutama pada biaya tenaga kerja dan biaya benih serta biaya pupuk yang penggunaannya melebihi dosis anjuran. Peningkatan total penerimaan perlu dilakukan dengan menerapkan sistem budidaya sesuai anjuran agar output usahatani padi hibrida dapat meningkat dan berdampak pada kenaikan total penerimaan secara keseluruhan. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai peran kelembagaan yang lebih intensif dalam menerapkan sistem budidaya yang sesuai dengan anjuran, terutama dari kelompok-kelompok tani dan THL yang bertugas di lokasi penelitian. 3. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menganalisis preferensi petani terhadap penggunaan padi hibrida untuk mengetahui sikap/persepsi petani dalam penanaman kembali benih padi hibrida pada musim tanam selanjutnya di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. DAFTAR PUSTAKA Aak Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius. Abdurachman, G.G Analisis Sikap dan Kepuasan Petani terhadap Benih Padi Hibrida di Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Perakitan Padi Hibrida di Indonesia. Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia Tahun Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok Barang di Indonesia Tahun Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Impor Berdasarkan Komoditas di Indonesia Tahun Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Kabupaten Bogor Tahun Bogor (ID).

71 [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun Bogor (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas padi Menurut Desa di Kecamatan Pamijahan Tahun Bogor (ID). Basuki, Thohir Analisis Pendapatan Usahatani Padi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani untuk Menanam Padi Hibrida (Studi Kasus Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Budijanto, S., Sitanggang, A.B Produktivitas dan Proses Penggilingan Padi Terkait dengan Pengendalian Faktor Mutu Berasnya. Pangan Vol. 20, No.2, Juni Hal [Deptan] Departemen Pertanian Meraih Kembali Swasembada Beras. Jakarta (ID). Desa Ciasmara Data Profil Desa. Bogor (ID). [Diperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Daerah Pengembangan dan Anjuran Budidaya Padi Hibrida. Jakarta (ID). Firdaus, Muhammad, Baga, L.M., Pratiwi, P Swasembada Beras dari Masa ke Masa, Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional. Bogor (ID): IPB Press. Firohmatillah, Agrivinie R Penerapan Metode Quality Function Deployment (QFD) dan Analisis Sensitivitas Harga pada Pengembangan Padi Varietas Unggul Hibrida (Studi Kasus : Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hernanto, F Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Kay, Ronald D et al Farm Management Fifth Edition. New York (NY): The McGraw-Hill Companies, Inc. Las, I et al Inovasi teknologi varietas unggul padi: perkembangan, arah, dan strategi ke depan. Di dalam Kasyono F, Pasandaran E, Fagi A.M, penyunting. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal Murdani, Dian Analisis Usahatani dan Pemasaran Beras Varietas Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Kasus Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nafis, Faisal Analisis Usahatani Padi Organik dan Sistem Tataniaga Beras Organik di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurmalina, Rita Analisis indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras di beberapa wilayah Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 26, No. 1, Mei Hal [Perum BULOG] Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Statistik Ekstern Jakarta (ID). Rachmiyanti, Inggit Analisis Perbandingan Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional Kasus Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 59

72 60 Ridwan Analisis Usahatani Padi Ramah Lingkungan dan Padi Anorganik (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ruskandar, Ade Persepsi petani dan identifikasi faktor penentu pengembangan dan adopsi varietas padi hibrida. Iptek Tanaman Pangan Vol. 5, No. 2, Desember Hal Samaullah, Mohamad Yamin Pengembangan varietas unggul dan komersialisasi benih sumber padi. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN Buku 2. Balitbang Pertanian. Hal Satoto, Sutaryo, B., Suprihatno, B Prospek pengembangan varietas padi hibrida. Padi (Inovasi Teknologi Produksi). Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hal Satoto, Suprihatno, B Pengembangan padi hibrida di Indonesia. Iptek Tanaman Pangan Vol. 3, No. 1, April Hal Siregar, H Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Bogor (ID): Sastra Hudaya. Soekartawi Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI Press. Soekartawi, Soeharjo, A., Dillon, J.L., Hardaker, J.B Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): UI Press. Suratiyah, Ken Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Suryani, E., Rachman, H.P.S Perubahan Pola Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan. Majalah Pangan Nomor:52/XVIII/Oktober- Desember/2008. Hal

73 Lampiran 1 Varietas padi hibrida yang telah dilepas di Indonesia hingga tahun 2009 a No. Varietas Hibrida Sifat Institusi Pemilik Tahun Pelepasan 1. Intani 1 Hibrida swasta PT BISI Intani 2 Hibrida swasta PT BISI Miki 1 Hibrida swasta PT Kondo Miki 2 Hibrida swasta PT Kondo Miki 3 Hibrida swasta PT Kondo Maro Hibrida publik BALITPA Rokan Hibrida publik BALITPA Longping Pusaka 1 Hibrida swasta PT Bangun Pusaka Longping Pusaka 2 Hibrida swasta PT Bangun Pusaka Hibrindo R1 Hibrida swasta PT Bayer Crop Science Hibrindo R2 Hibrida swasta PT Bayer Crop Science Batang Kampar Hibrida swasta PT KNB Mandiri Batang Samo Hibrida swasta PT KNB Mandiri Hipa 3 Hibrida publik BALITPA Hipa 4 Hibrida publik BALITPA Manis 4 Hibrida swasta PT Kondo Manis 5 Hibrida swasta PT Kondo Segara Anak Hibrida swasta PT Makmur Sejahtera Brang Biji Hibrida swasta PT Makmur Sejahtera Adirasa 1 Hibrida swasta PT Triusaha Saritani Adirasa 64 Hibrida swasta PT Triusaha Saritani PP 1 Hibrida swasta PT Dupont PP 2 Hibrida swasta PT Dupont Bernas Super Hibrida swasta PT SAS Bernas Prima Hibrida swasta PT SAS SL-8-SHS Hibrida swasta SL Agritech SL-11-SHS Hibrida swasta SL Agritech Mapan P-02 Hibrida swasta PT Primasid Mapan P-04 Hibrida swasta PT Primasid Hipa5 Ceva Hibrida publik BB Padi Hipa6 Jete Hibrida publik BB Padi Sembada B3 Hibrida swasta PT Biogen Plantation Sembada B5 Hibrida swasta PT Biogen Plantation Sembada B8 Hibrida swasta PT Biogen Plantation Sembada B9 Hibrida swasta PT Biogen Plantation DG 1 SHS Hibrida swasta PT Devgen Seeds and Crop Technology DG 2 SHS Hibrida swasta PT Devgen Seeds and Crop Technology 2009 a Sumber: Balitbang Pertanian dalam Satoto et al. (2008) dan indonesia.devgen.com (2009) 61

74 62 Lampiran 2 Deskripsi padi varietas DG 1 SHS a Asal : DRH 310A x DRH 323 Golongan : Indica Umur tanaman : ± 116 hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : ± 107 cm Anakan produktif : ± 15 batang Warna kaki : Hijau Warna telinga daun : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna Warna daun : Hijau Permukaan daun : Kasar Posisi daun : Tegak Posisi daun bendera : Tegak Warna Batang : Hijau Kerebahan : Sedang Kerontokan : Sedang Bentuk gabah : Ramping Warna gabah : Kuning jerami, kadang berbulu Jumlah gabah per malai : ± 242 butir Rata-rata hasil : 8,6 ton/ha GKG Potensi hasil : 10,6 ton/ha GKG Berat butir : ± 25,0 gram Tekstur nasi : Sedang Kadar amilosa : ± 23,3 % Ketahanan terhadap hama : Agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 1 dan 2 tetapi peka biotipe 3 Ketahanan terhadap penyakit : Agak tahan penyakit hawar daun bakteri strain III, agak peka penyakit hawar daun strain IV dan VIII, serta peka terhadap penyakit tungro Keterangan : Baik dibudidayakan di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai dengan sedang dengan ketinggian di bawah 700 mdpl. Daerah non endemic hama wereng coklat, penyakit hawar daun strain IV dan VIII, serta peka terhadap penyakit tungro. a Sumber: indonesia.devgen.com (2009).

75 63 Lampiran 3 Deskripsi padi varietas Ciherang a Pemulia : Z.A. Simanulang, E. Sumadi, Aan A. Daradjat, Tarjat T. Nomor pedigri : S3383-1d-Pn Golongan : Cere Umur tanaman : hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : cm Anakan produktif : batang Warna kaki : Hijau Warna batang : Hijau Warna daun telinga : Putih Warna lidah daun : Putih Warna daun : Hijau Muka daun : Kasar pada sebelah bawah Posisi daun : Tegak Daun bendera : Tegak Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang Kerebahan : Sedang Tekstur nasi : Pulen Bobot 1000 butir : gram Kadar amilosa : 23 % Ketahanan terhadap hama : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3 Ketahanan terhadap penyakit : Tahan terhadap bakteri hawar daun (HDB) strain III dan IV Anjuran tanam : Cocok di tanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian dibawah 500 m dpl a Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009).

76 64 Lampiran 4 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi hibrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor a No. Uraian Satuan 1. Penerimaan A. Penerimaan tunai Jumlah fisik (Satuan) Harga per unit (Rp/satuan) Nilai (Rp) Gabah Kering Panen Kg/Ha B. Penerimaan yang diperhitungkan Penerimaan yang diambil untuk konsumsi Kg/Ha Penerimaan yang diambil untuk disimpan Kg/Ha Total penerimaan Rp Pengeluaran A. Biaya tunai a. Pupuk kimia Persentase terhadap total biaya (%) Urea Kg/Ha % TSP Kg/Ha % KCL Kg/Ha % NPK Phonska Kg/Ha % NPK Kujang Kg/Ha % NPK Pelangi Kg/Ha % SP 36 Kg/Ha % b. Pupuk organik Kg/Ha % c. Pestisida cair Spontan ml/ha % Sidametrin ml/ha % Biocron ml/ha % Boomflower ml/ha % Ripcord ml/ha % d. TKLK HOK/Ha % Biaya sewa traktor e. (borongan) Rp % f. Biaya pemanenan Rp % g. Iuran irigasi Rp % h. Iuran desa Rp % i. Pajak lahan Rp % j. Sewa lahan Rp % k. Biaya bagi hasil Rp % Total biaya tunai Rp % B. Biaya diperhitungkan

77 65 a. Pembelian benih Kg/Ha % b. Penyusutan alat Rp % c. TKDK HOK/Ha % d. Sewa lahan Rp % Total biaya diperhitungkan Rp % Total biaya Rp % 3. Pendapatan A. Pendapatan atas biaya tunai Rp B. Pendapatan atas biaya total Rp ( ) a Sumber: Data primer (diolah). R/C atas biaya tunai 2.15 R/C atas biaya total 0.99

78 66 Lampiran 5 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor a No. Uraian Satuan 1. Penerimaan Jumlah fisik (Satuan) Harga per unit (Rp/satuan) Nilai (Rp) A. Penerimaan tunai Gabah Kering Panen Kg/Ha B. Penerimaan yang diperhitungkan Penerimaan yang diambil untuk konsumsi Kg/Ha Penerimaan yang diambil untuk benih Kg/Ha Total penerimaan Rp Pengeluaran A. Biaya tunai Pembelian a. benih b. Pupuk kimia Kg/Ha Persentase terhadap total biaya (%) 2.393% Urea Kg/Ha % TSP Kg/Ha % KCL Kg/Ha % NPK Phonska Kg/Ha % NPK Kujang Kg/Ha % SP 36 Kg/Ha % ZA Kg/Ha % c. Pestisida padat Furadan Kg/Ha % d. Pestisida cair Spontan ml/ha % Sidametrin ml/ha % Boomflower ml/ha % Ripcord ml/ha % e. TKLK HOK/Ha % f. Biaya sewa traktor (borongan) Rp % g. Biaya pemanenan Rp % h. Iuran irigasi Rp % i. Iuran desa Rp % j. Pajak lahan Rp % k. Sewa lahan Rp % l. Biaya bagi hasil Rp %

79 Total biaya tunai Rp % B. Biaya diperhitungkan a. Penyusutan alat Rp % b. TKDK HOK/Ha % c. Sewa lahan Rp % Total biaya diperhitungkan Rp % Total biaya Rp % 3. Pendapatan A. Pendapatan atas biaya tunai Rp B. Pendapatan atas biaya total Rp a Sumber: Data primer (diolah). R/C atas biaya tunai 2.40 R/C atas biaya total

80 68 Lampiran 6 Rata-rata pengeluaran usahatani padi hibrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 a No. Jumlah Satuan Jumlah (satuan) Harga (Rp/satuan) Pengeluaran (Rp) A. Biaya tunai 1. Pupuk kimia Urea Kg/Ha TSP Kg/Ha KCL Kg/Ha NPK Phonska Kg/Ha NPK Kujang Kg/Ha NPK Pelangi Kg/Ha SP 36 Kg/Ha Pupuk organik Kg/Ha Pestisida cair Spontan ml/ha Sidametrin ml/ha Biocron ml/ha Boomflower ml/ha Ripcord ml/ha TKLK HOK/Ha Biaya sewa traktor (borongan) Rp Biaya pemanenan Rp Iuran irigasi Rp Iuran desa Rp Pajak lahan Rp Sewa lahan Rp Biaya bagi hasil Rp Total biaya tunai B. Biaya diperhitungkan 1. Pembelian benih Kg/Ha Penyusutan alat Rp TKDK HOK/Ha Sewa lahan Rp Total biaya diperhitungkan Total biaya a Sumber: Data primer (diolah).

81 Lampiran 7 Rata-rata pengeluaran usahatani padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013 a No. Jumlah Satuan Jumlah (satuan) Harga (Rp/satuan) 69 Pengeluaran (Rp) A. Biaya tunai 1. Pembelian benih Kg/Ha Pupuk kimia Urea Kg/Ha TSP Kg/Ha KCL Kg/Ha NPK Phonska Kg/Ha NPK Kujang Kg/Ha SP 36 Kg/Ha ZA Kg/Ha Pestisida padat Furadan Kg/Ha Pestisida cair Spontan ml/ha Sidametrin ml/ha Boomflower ml/ha Ripcord ml/ha TKLK HOK/Ha Biaya sewa traktor 6. (borongan) Rp Biaya pemanenan Rp Iuran irigasi Rp Iuran desa Rp Pajak lahan Rp Sewa lahan Rp Biaya bagi hasil Rp Total biaya tunai B. Biaya diperhitungkan 1. Penyusutan alat Rp TKDK HOK/Ha Sewa lahan Rp Total biaya diperhitungkan Total biaya a Sumber: Data primer (diolah).

82 70 Lampiran 8 Peta Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor Kp. Jogjogan Hilir Rw 01 Kp. Banjarkarya Kp. Jogjogan Girang Rw 02 DI PPK Kp. Sindang Anyar DI Lw Maskam Kp. Babakan Rw 03 Kp. Sindang Baru Rw 04 Kp.Cahaya DI Babakan Kp.Babakan Hempak Rw 05 Kp.Hegarmanah Rw 06 Kp. Sindang Hayu Kp.Parabakti Pasar Rw 07 S Kp.Pancasan Rw 11 Kp.Pasirtugu Rw 10 DI Cikumpeni Kp.Kebon Alas II Rw 08 DI Lw Makam Kp.Kebon Alas I Rw 09 Kp.Cibeureum DI Cibeureum

83 71 Lampiran 9 Dokumentasi penelitian (atas) Lahan sawah padi inbrida (bawah) Lahan sawah padi hibrida Saung milik kelompok tani Sadar Tani Benih padi hibrida varietas DG 1 SHS Benih padi inbrida varietas Ciherang Pembajakan sawah dengan mesin traktor tangan (hand tractor) Proses pemanenan dan perontokkan gabah dengan gegebot Alat pembuat garis tanam (garokan) Alat pemanen padi (arit)

84 72 Alat perontok gabah (gegebot) Alat untuk meratakan permukaan lahan sawah (sorong) Kegiatan penyuluhan antara THL dengan pengurus kelompok tani di lokasi penelitian pada tanggal 1 Maret 2013 Sertifikat benih padi inbrida varietas Ciherang Sertifikat benih padi hibrida varietas DG 1 SHS Salah satu toko alsintan sumber perolehan input di lokasi penelitian Alat penyemprot pestisida (hand sprayer)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Benih Padi Hibrida

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Benih Padi Hibrida II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Benih Padi Hibrida Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama

Lebih terperinci

Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat REVIEW Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat Farm Income of Hybrid Rice and Inbred Rice in Bogor Regency, West Java Province ABSTRAK Beras adalah komoditas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan terhadap pangan khususnya beras, semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sedangkan usaha diversifikasi pangan berjalan lambat. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PADI VARIETAS UNGGUL HIBRIDA: PENDEKATAN METODE QUALITY FUNCTION DEVELOPMENT DAN SENSITIVITY PRICE ANALYSIS

PENGEMBANGAN PADI VARIETAS UNGGUL HIBRIDA: PENDEKATAN METODE QUALITY FUNCTION DEVELOPMENT DAN SENSITIVITY PRICE ANALYSIS Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13, Nomor 1, Juni 212, hlm.29-45 PENGEMBANGAN PADI VARIETAS UNGGUL HIBRIDA: PENDEKATAN METODE QUALITY FUNCTION DEVELOPMENT DAN SENSITIVITY PRICE ANALYSIS Agrivinie Rainy

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011] BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Padi (Oryza sativa) merupakan salah satu bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, perkembangan perpadian (perberasan) di Indonesia telah mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pokok sebagian besar penduduk di Indonesia. karbohidrat lainnya, antara lain: (1) memiliki sifat produktivitas tinggi, (2) dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. pokok sebagian besar penduduk di Indonesia. karbohidrat lainnya, antara lain: (1) memiliki sifat produktivitas tinggi, (2) dapat 18 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya angka pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia merupakan salah satu tantangan berat yang harus dihadapi oleh sektor pertanian karena dengan pertambahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor-sektor yang berpotensi besar bagi kelangsungan perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor-sektor yang berpotensi besar bagi kelangsungan perekonomian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus mampu mengantisipasi persaingan ekonomi yang semakin ketat di segala bidang dengan menggali sektor-sektor yang

Lebih terperinci

Penampilan dan Produktivitas Padi Hibrida Sl-8-SHS di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan

Penampilan dan Produktivitas Padi Hibrida Sl-8-SHS di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Penampilan dan Produktivitas Padi Hibrida Sl-8-SHS di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan Ali Imran dan Suriany Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRACT Study of SL-8-SHS hybrid rice

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Buah-Buahan Indonesia Tahun Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Buah-Buahan Indonesia Tahun Volume (Kg) Nilai (US $) Volume (Kg) I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan produksi pertanian. Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK PERTANIAN INDONESIA: Studi Kasus Padi

VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK PERTANIAN INDONESIA: Studi Kasus Padi POLICY BRIEF VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA GENETIK PERTANIAN INDONESIA: Studi Kasus Padi Tim Peneliti: Ening Ariningsih Pantjar Simatupang Putu Wardana M. Suryadi Yonas Hangga Saputra PUSAT SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting

Lebih terperinci

peningkatan produksi dan produktifitas melalui intensifikasi, ekstensifikasi,

peningkatan produksi dan produktifitas melalui intensifikasi, ekstensifikasi, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Untuk menjaga konsistensi produksi beras dan oleh karena urgensi dari pangan itu sendiri maka dibutuhkan sebuah program yang bisa lebih mengarahkan petani dalam pencapaiannya.

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN TATANIAGA BERAS VARIETAS PANDAN WANGI DAN VARIETAS UNGGUL BARU

ANALISIS PENDAPATAN DAN TATANIAGA BERAS VARIETAS PANDAN WANGI DAN VARIETAS UNGGUL BARU Jurnal AgribiSains ISSN 2442-5982 Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 27 ANALISIS PENDAPATAN DAN TATANIAGA BERAS VARIETAS PANDAN WANGI DAN VARIETAS UNGGUL BARU (Kasus Kelompok Tani Nanggeleng Jaya Desa Songgom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

SKRIPSI MUTIARA VIANI SINAGA

SKRIPSI MUTIARA VIANI SINAGA ANALISIS KOMPARASI USAHATANI PADI SAWAH SISTEM TANAM BENIH LANGSUNG DAN SISTEM GERAKAN SERENTAK TANAM PADI DUA KALI SETAHUN KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR SKRIPSI MUTIARA VIANI SINAGA JURUSAN / SISTEM

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih Pengertian 2.2. Klasifikasi Umum Tanaman Padi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih Pengertian 2.2. Klasifikasi Umum Tanaman Padi II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih 2.1.1. Pengertian Benih adalah biji tanaman yang dipergunakan untuk keperluan dan pengembangan di dalam usaha tani, yang mana memiliki fungsi secara agronomis atau merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BENIH DAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH

PENGEMBANGAN BENIH DAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH PENGEMBANGAN BENIH DAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH Oleh : Ir. Hj. Fauziah Ali A. Pendahuluan Varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Dengan perkembangan teknologi, ubi kayu dijadikan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Usahatani Padi di Indonesia Padi merupakan komoditi pangan utama masyarakat Indonesia. Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari, mengambil porsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

Persepsi Petani dan Identifikasi Faktor Penentu Pengembangan dan Adopsi Varietas Padi Hibrida

Persepsi Petani dan Identifikasi Faktor Penentu Pengembangan dan Adopsi Varietas Padi Hibrida Persepsi Petani dan Identifikasi Faktor Penentu Pengembangan dan Adopsi Varietas Padi Hibrida Ade Ruskandar 1 Ringkasan Padi hibrida potensial dikembangkan untuk mendukung upaya peningkatan dan pemantapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu daerah harus tercermin oleh kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Selain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi dibagi kedalam tiga fase: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) reproduktif (primordial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berhasil meningkatkan produksi padi secara terus-menerus. Selama

I. PENDAHULUAN. Indonesia berhasil meningkatkan produksi padi secara terus-menerus. Selama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produksi padi nasional terus menerus mengalami peningkatan sepanjang empat tahun terakhir. Pada saat dunia mengalami penurunan produksi pangan, Indonesia berhasil meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Di Indonesia, beras tetap menjadi sumber utama gizi dan energi bagi lebih dari 90% penduduknya dengan tingkat konsumsi rata-rata 141 kg/kapita/tahun. Walaupun

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) DAN ANALISIS SENSITIVITAS HARGA PADA PENGEMBANGAN PADI VARIETAS UNGGUL HIBRIDA

PENERAPAN METODE QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) DAN ANALISIS SENSITIVITAS HARGA PADA PENGEMBANGAN PADI VARIETAS UNGGUL HIBRIDA PENERAPAN METODE QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) DAN ANALISIS SENSITIVITAS HARGA PADA PENGEMBANGAN PADI VARIETAS UNGGUL HIBRIDA (Kasus : Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) SKRIPSI HARFIANA

Lebih terperinci

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS CATUR HERMANTO dan Tim Disampaikan pada seminar proposal kegiatan BPTP Sumatera Utara TA. 2014 Kamis, 9 Januari 2014 OUTLINE 1.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai sumber bahan

Lebih terperinci

ADOPSI PETANI PADI SAWAH TERHADAP VARIETAS UNGGUL PADI DI KECAMATAN ARGAMAKMUR, KABUPATEN BENGKULU UTARA, PROVINSI BENGKULU

ADOPSI PETANI PADI SAWAH TERHADAP VARIETAS UNGGUL PADI DI KECAMATAN ARGAMAKMUR, KABUPATEN BENGKULU UTARA, PROVINSI BENGKULU ADOPSI PETANI PADI SAWAH TERHADAP VARIETAS UNGGUL PADI DI KECAMATAN ARGAMAKMUR, KABUPATEN BENGKULU UTARA, PROVINSI BENGKULU Andi Ishak, Dedi Sugandi, dan Miswarti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive). Hal ini di pilih berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN Indratmo Soekarno Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, email: indratmo@lapi.itb.ac.id, Tlp

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditas pangan yang paling dominan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimana padi merupakan bahan makanan yang mudah diubah menjadi

Lebih terperinci

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH Seminar Nasional : Reformasi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH Asmarhansyah 1) dan N. Yuliani 2)

Lebih terperinci

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Penyunting: Undang Konversi Kurnia, F. Lahan Agus, dan D. Produksi Setyorini, Pangan dan A. Setiyanto Nasional KONVERSI LAHAN DAN PRODUKSI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan sumber bahan makanan pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia. Apalagi setelah adanya kebijakan pembangunan masa lalu, yang menyebabkan perubahan sosial

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 119/Kpts/TP.240/2/2003 TENTANG PELEPASAN GALUR PADI HIBRIDA SEBAGAI VARIETAS UNGGUL DENGAN NAMA HIBRINDO R-2

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 119/Kpts/TP.240/2/2003 TENTANG PELEPASAN GALUR PADI HIBRIDA SEBAGAI VARIETAS UNGGUL DENGAN NAMA HIBRINDO R-2 KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 119/Kpts/TP.240/2/2003 TENTANG PELEPASAN GALUR PADI HIBRIDA 93011 SEBAGAI VARIETAS UNGGUL DENGAN NAMA HIBRINDO R-2 Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 377/Kpts/SR.120/5/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 377/Kpts/SR.120/5/2006 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 377/Kpts/SR.120/5/2006 TENTANG PELEPASAN GALUR PADI HIBRIDA SL - 11H SEBAGAI VARIETAS UNGGUL DENGAN NAMA VARIETAS SL 11 SHS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Gambar 10. Sebaran Usia Petani Responden

Gambar 10. Sebaran Usia Petani Responden VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Profil Responden Karakteristik petani dalam penelitian ini diidentifikasi berdasarkan usia, jenis kelamin, statuss pernikahan, jumlah anggota keluarga, pendapatan diluar usahatani,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karena pangan menempati urutan terbesar pengeluaran rumah tangga. Tanaman

I. PENDAHULUAN. karena pangan menempati urutan terbesar pengeluaran rumah tangga. Tanaman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan

Lebih terperinci

ANALISIS SIKAP DAN KEPUASAN PETANI TERHADAP BENIH PADI HIBRIDA (Studi Kasus di Kecamatan Baros Kota Sukabumi)

ANALISIS SIKAP DAN KEPUASAN PETANI TERHADAP BENIH PADI HIBRIDA (Studi Kasus di Kecamatan Baros Kota Sukabumi) ANALISIS SIKAP DAN KEPUASAN PETANI TERHADAP BENIH PADI HIBRIDA (Studi Kasus di Kecamatan Baros Kota Sukabumi) SKRIPSI DARIUS MANGARATUA MANALU H34067004 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi 7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Komoditi padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat, tentunya telah diletakkan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya

PENDAHULUAN. mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya PENDAHULUAN Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan-bahan yang mudah diubah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Padi adalah salah satu bahan makanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

KK : 2.4% Ket: ** ( sangat nyata) tn (tidak nyata) Universitas Sumatera Utara

KK : 2.4% Ket: ** ( sangat nyata) tn (tidak nyata) Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Data pengamatan tinggi tanaman padi (cm) pada umur 3 MST pada P0V1 60.90 60.33 59.33 180.57 60.19 P0V2 53.33 59.00 58.33 170.67 56.89 P0V3 62.97 61.33 60.97 185.27 61.76 P1V1 61.57 60.03 59.33

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU

KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU Yartiwi dan Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jalan Irian km

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Tahun Pertanian ** Pertanian. Tenaga Kerja (Orang)

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Tahun Pertanian ** Pertanian. Tenaga Kerja (Orang) I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, dari jumlah penduduk tersebut sebagian bekerja dan menggantungkan sumber perekonomiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan dalam pembangunan Indonesia, namun tidak selamanya sektor pertanian akan mampu menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bagi negara berkembang seperti Indonesia landasan pembangunan ekonomi negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman pangan memberikan kontribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia. Hampir 90 % masyarakat Indonesia mengonsumsi beras yang merupakan hasil olahan

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian dalam arti luas meliputi pembangunan di sektor tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas padi memiliki arti strategis yang mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, baik di pedesaan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

UPAYA PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI INPARI

UPAYA PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI INPARI UPAYA PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI INPARI Made J. Mejaya dan L. Hakim Puslitbang Tanaman Pangan Ringkasan Pada tahun 2017, sasaran produksi padi sebesar 80,76 juta ton GKG dengan produktivitas

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di Gabungan Kelompok Tani Sugih

Lebih terperinci

Lampiran 1: Deskripsi padi varietas Inpari 3. Nomor persilangan : BP3448E-4-2. Anakan produktif : 17 anakan

Lampiran 1: Deskripsi padi varietas Inpari 3. Nomor persilangan : BP3448E-4-2. Anakan produktif : 17 anakan Lampiran 1: Deskripsi padi varietas Inpari 3 Nomor persilangan : BP3448E-4-2 Asal persilangan : Digul/BPT164-C-68-7-2 Golongan : Cere Umur tanaman : 110 hari Bentuk tanaman : Sedang Tinggi tanaman : 95

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III). KATA PENGANTAR Kegiatan SL-PTT merupakan fokus utama program yang dilaksanakan dalam upaya mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi. Kegiatan ini dilaksanakan secara serempak secara nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARAWANA KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI

ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARAWANA KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI e-j. Agrotekbis 2 (3) : 332-336, Juni 2014 ISSN : 2338-3011 ANALISIS PENDAPATAN DAN KELAYAKAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KARAWANA KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI Analysis of income and feasibility farming

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Menurut Dillon (2009), pertanian adalah sektor yang dapat memulihkan dan mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Peran terbesar sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan baku pangan, dan bahan lain. Ketersediaan pangan yang cukup jumlahnya,

I. PENDAHULUAN. bahan baku pangan, dan bahan lain. Ketersediaan pangan yang cukup jumlahnya, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida 5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida Berdasarkan hasil perhitungan terhadap rata-rata penerimaan kotor antar varietas padi terdapat perbedaan, kecuali antara

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN

LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN LAMPIRAN: Surat No.: 0030/M.PPN/02/2011 tanggal 2 Februari 2011 B. PENJELASAN TENTANG KETAHANAN PANGAN ahanan pangan nasional harus dipahami dari tiga aspek, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses, serta

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PERUBAHAN PENERAPAN SISTEM TANAM TANAM DI KABUPATEN BANJARNEGARA

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PERUBAHAN PENERAPAN SISTEM TANAM TANAM DI KABUPATEN BANJARNEGARA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PERUBAHAN PENERAPAN SISTEM TANAM TANAM DI KABUPATEN BANJARNEGARA Tota Suhendrata dan Setyo Budiyanto Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mutu hidup serta kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya peningkatan

I. PENDAHULUAN. mutu hidup serta kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memegang peranan yang strategis dalam perekonomian nasional. Tujuan pembangunan pertanian adalah untuk memperbaiki taraf dan mutu hidup serta kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai iklim tropis, berpeluang besar bagi pengembangan budidaya tanaman buah-buahan, terutama buah-buahan tropika.

Lebih terperinci

Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung

Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan Jagung Zubachtirodin, M.S. Pabbage, dan Subandi Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros PENDAHULUAN Jagung mempunyai peran strategis perekonomian nasional, mengingat

Lebih terperinci