Badon Pembinaan Hukum Nasional him. 93

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Badon Pembinaan Hukum Nasional him. 93"

Transkripsi

1 Badon Pembinaan Hukum Nasional him. 93 PRINSIP HUKUM UMUM DALAM STATUTA ROMA 1998' Oleh : Trihoni Nalesti DewP Seperti kita ketahui bahwasanya Undang-Undang Pengadilan HAM dalam beberapa aturannya secara eksplisit mengadopsi ketentuan Statuta Roma Adopsi yang dilakukan bersifat parsial tennasuk dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip hukum pidana umum yang diberlakukan. Tidak dimasukkannya seluruh ketentuan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hukum pidana umum yang berlaku dalam hukum internasional ini dalam praktiknya dapat menimbulkan permasalahan dalam penerapan Undang Undang Pengadilan HAM mengingat pentingnya fungsi prinsip-prinsip hukum umum tersebut dalam menuntun hakim mengambil keputusannya. Prinsip hukum umum dalam hukum intemasional mempunyai tempat penting karena merupakan sumber hukum, yaitu tempat dapat ditemukannya ketentuan yang berlaku bagi suatu peristiwa yang tertentu. Dalam Pasal38 ayat (I) Statuta Mahkamah [nternasional, prinsip hukum umum menempati posisi sebagai sumber hukum yang utama, di samping peijanjian dan kebiasaan, dalam hukum intemasional. Ketiga sumber hukum utama tersebut akan saling melengkapi. Sementara dalam ketentuan Statuta Roma dinyatakan bahwa sumber hukum Mahkamah: (1) Statuta sendiri; (2) perjanjian-perjanjian yang berkaitan; (3) prinsjp-prinsip hukum umum yang diambil oleh Mahkamah sesuai dengan hukum intemasional serta nonna dan standaryang diakui secara intemasional; (4) prinsip dan aturan hukum sebagaimana ditafsirkan dalam keputusan-keputusannya terdahulu. 3 Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka tulisan ini akan membahas mengenai prinsip-prinsip hukum pi dana umum yang dianut oleh Statuta Rom a. Penelusuran prinsip-prinsip hukum umum ini perlu dilakukan terutama sebagai referensi bagi hukum nasional dalam hal ini Undang-Undang Pengadilan HAM dalam mengatur masalah yang berkaitan. 1 Makalah disuslui untuk dipresentasikan pada Lokakarya Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Kaitannya Dengan Hukum Humaniter Internasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Committee International of The Red Cross, Jakarta. 19 Desember l Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. 1 Pasal 21 Statuta Roma 1998

2 him Badan Pembinaan Hukum Nasiona/2009 I. Kewajiban Negara untuk Menghukum/Mengekstradisi Prinsip utama yang dianut oleh Statuta Roma adalah kewajiban semua negara untuk mengadili atau mengekstradisi pelaku kejahatan yang ada dalam yurisdiksi Mahkamah. Kewajiban ini timbul berdasar pada hukum kebiasaan sehingga menjadi kewajiban semua negara apakah mereka sudah menjadi pihak dalam berbagai petianjian ataukah belum. Dalam Mukadimah Statuta ditegaskan pula bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat intemasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambillangkah-langkah ditingkat nasional dan dengan memajukan kerja sama intemasional. Usaha ini dilakukan dengan tekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan sehingga akan memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan. Mengingat hal tersebut di atas maka merupakan kewajiban setiap Negara untuk melaksanakan jurisdiksi pidananya terhadap orangorang yang bertanggungjawab atas kejahatan intemasional tersebut. 2. Complementarity (Pelengkap) Prinsip tersebut di atas terlihat akan berkaitan dengan prinsip complementarity. 4 Berdasar prinsip complementarity ini maka Mahkamah hanya sebagai pelengkap pengadilan nasional suatu negara karena negara tersebut sudah mempunyai kewaj iban berdasar hukum intemasional untuk mengadili individu yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi. Mahkamah hanya akan mengadili apabila negara tersebut: a. Tidak mampu (unable) atau tidak bersedia (unwilling), atau b. Hanya menjalankan pengadilan pura-pura untuk membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana c. tidak menjalankan pengadilan secara independen (mandiri) dan imparsial (tidak memihak). 5 Jadi Mahkamah tidak akan mengadili suatu kasus jika kasus sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali jika: (I) Negara tersebut tidak bersedia atau benarbenar tidak dapat melakukan penyelidikan atau penuntutan; (2) langkahlangkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau keputusan nasional yang 'Pasal1 dan 17 Statuta Roma 1998 l Pasal20 ayat (3) Statuta Roma 1998

3 Badan Pembinaan Hukum Nasiona/2009- hlm. 95 diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan; (3) ada suatu penangguhan yang tidak dapat dibenarkan dalam langkah-langk:ah hukum yang tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkamah; atau (4) langk:ah-langk:ah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak. 2. Nebis in idem Masih berkaitan dengan kedua prinsip tersebut di atas, maka dikenal prinsip Ne bis in idem, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun diadih di depan Mahkamah atau di depan suatu pengadilan lain berkenaan dengan perbuatan yang merupakan dasar kejahatan yang untuk itu orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Mahkamah. Namun prinsip ini dapat dikecualikan jika: (I) pengadilan bertujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggungjawab pi dana untuk kejahatan yang berada di dalarn jurisdiksi Mahkamah; atau (2) pengadilan tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak sesuai dengan norma-norma mengenai proses yang diakui oleh hukum intemasional 3. Praduga Tak Bersalah dan Hak atas Peradilan yang Adil Sementara prinsip-prinsip hukum pidana umum yang berkaitan dengan terdakwa adalah asas praduga tak bersalah yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang harus dianggap tak bersalah sampai terbukti bersalah di depan Mahkamah sesuai dengan hukwn yang berlaku, sehingga tanggungjawab terletak pada Penuntut Urn urn untuk membuktikan kesalahan tertuduh dan untuk menghukum tertuduh, Mahkamah harus merasa yakin mengenai kesalahan dari tertuduh tanpa ada keraguan yang masuk akal. 16 Prinsip lain berkaitan dengan hak-hak terdakwa ini adalah bahwa terdakwa berhak atas peradilan yang adil (fair trial) Nullum Crimen Sine Lege 8 Berdasarkan prinsip ini seseorang hanya akan dihukum atas suatu perbuatan jika perbuatan tersebut sudah diatur dalam Statuta pada saat ' Pasal 66 Statuta Roma 1998 ' Pasal 67 Statuta Roma Pasal 22 dan Pasal 24 Statuta Roma 1998

4 him Badan Pembinaan Hukum Nasional 2009 perbuatan dilakukan (lex scripta), dilakukan setelah aturan tersebut berlaku mengikat (lex praevia ), didefinisikan dengan penjelasan yang memadai (lex certa) dan tidak diperluas dengan analogi (lex stricta). Prinsip kejelasan dan larangan untuk melakukan analogi membawa konsekuensi bahwa keraguan (maksud yang mendua) harus diselesaikan demi kepentingan terdakwa. Lebih lanjut, prinsip hukum tertulis (lex scripta) dan nonretroaktif (lex praevia) memberikan terdakwa hak untuk bergantung pada hukum yang sudah diatur dan valid pada saat perbuatan dilakukan. Dalam kasus adanya perubahan hukum sebelum keputusan dibuat maka kemudian dipilih hukum yang lebih menguntungkan bagi terdakwa. Namun demikian pengertian istilah hukum dalam prinsip nullum crimen sine lege harus dipahami dalam cakupan yang luas yang tidak hanya mencakup hukum yang diperjanjikan dan tertulis, tetapi juga kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum. Sebagai konsekuensinya prinsip nonretroaktif akan mendasarkan bukan hanya pacta hukum yang tertulis dan diperjanjikan sebelumnya tetapi juga hukum kebiasaan intemasional. Hal ini diperkuat oleh PasaJ 15 ayat (2) the International Covenant on Civil and Political Right. 5. Nulla Poena Sine Lege 9 Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah hanya boleh dihukum oleh hukuman yang didasarkan pacta Statuta. Prinsip ini akan sangat berkaitan dengan adanya hukuman yang dinyatakan terhadap tindakan pidana yang dilakukan. 6. Non-retroakti 1 Mahkamah mempunyai jurisdiksi hanya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta ini. Kalau suatu Negara menjadi pihak dari Statuta ini setelah Statuta ini mulai berlaku, Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan setelah di berlakukannya Statuta ini untuk Negara terse but, kecuali kalau Negara tersebut telah membuat suatu deklarasi. Negara tersebut dapat, dengan deklarasi yang disampaikan kepada Panitera, menerima pelaksanaan jurisdiksi oleh Mahkamah berkenaan dengan kejahatan yang dipersoalkan Pasal 23 Statuta Roma " Pasal II Statuta Roma Pasall2 ayat (3) Statuta Roma 1998

5 Badan Pembinaan Hukum Nasional2009- hlm Pertanggungjawaban pidana individual Statuta Roma menganut pertanggungjawaban pidana individual, bukan pertanggungjawaban Negara. Doktrin 'individual criminal responsibility' menuntut pertanggungjawaban bukan hanya pelaku yang sesungguhnya tetapi juga mereka yang membantu terjadinya tindak pi dana tersebut Berdasar Pasal25 Statuta ICC prinsip pertanggungjawaban pidana perorangan mencakup: a. Keterlibatan dalam perbuatan pidana b. Hasutan c. Persekongkolan d. Percobaan melakukan kejahatan (tidak biasa disebutkan dalam Konvensi Jenewa 1949) Demikian pula pasal ini memasukkan siapa saja yang dengan sengaja 'commits (melakukan), orders (memerintahkan), solicits induces (membujuk), aids (membantu), abets (menghasut), assists, contributes (menyumbang), attempted commission of such by group of persons acting within a common purpose, attempts (mencoba). Perlu ditegaskan bahwa pertanggungjawaban individual ini jangan sampai menghilangkan pertanggungjawaban negara terutama dalam memberikan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Seperti halnya disebutkan dalam Pasal25 (4) Statuta Roma, "Tidak ada ketentuan dalam Statuta Roma yang berkaitan dengan tanggung jawab individual akan mempengaruhi tanggungjawab negara berdasarkan hukum intemasional." Di samping itu, Statuta Roma menganut prinsip Tidak Dimasukkannya Jurisdiksi atas Orang-Orang di Bawah Delapan Belas Tahun dengan menyebutkan bahwa Mahkamah tidak mempunyai jurisdiksi atas seseorang yang berumur kurang dari delapan betas tahun pada saat dilakukannya suatu kejahatan yang dilaporkan. 8. Tidak relevannyajabatan resmi Dalam Statuta Roma disebutkan bahwa Statuta berlaku sama terhadap semua orang tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi. Secara khusus, jabatan resmi sebagai seorang Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota suatu pemerintahan atau parlemen, wakil terpilih

6 him Badan Pembinaan Hulrum Nasional 2009 atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan seseorang dari tanggungjawab pidana di bawah Statuta ini, demikian pula dalam dan mengenai dirinya sendiri, tidak merupakan suatu alasan untuk mengurangi hukuman. Kekebalan atau peraturan prosedural khusus yang mungkin terkait dengan jabatan resmi dari seseorang, baik di bawah hukum nasional atau intemasional, tidak menghalangi Mahkamah untuk melaksanakan jurisdiksinya atas orang tersebut Tanggungjawab komandan atau atasan lainnya 13 Superior responsibility merupakan pertanggungjawaban yang menekankan pacta kelalaian melakukan suatu kewajiban (delik Omisi).u Sifat pertanggungjawaban ini bukanlah strict liability 15,tetapi harus dibuktikan dulu bahwa atasan tersebut gaga! untuk: (a) mencegah terjadinya tindakan melawan hukum tersebut; (b) menyediakan segala saran a untuk mencegah atau menghalangi tindakan tersebut; atau (c) melakukan penyelidikan, mengadili dan menghukum pelaku. 16 Terdapat 3 (tiga) elemen dalam superior responsibility. Elemen pertama, adanya hubungan superior-subordinate dengan pengawasan yang efektif dari superior (komandan militer atau atasan lainnya) terhadap bawahan (sub-ordinate) pelak.u kejahatan. Hubungan superior-subordinate memerlukan hubungan hirarki yang bersifat baik formal maupun informal dimana atasan adalah seseorang yang lebih senior daripada bawahan. Hubungan ini tidak terbatas pada struktur model komando militer yang ' 1 Pasal 27 Statuta Roma Sebagian pendapat mengenai masalah doktrin superior responsibility ini pemah disampalkan penulis pada Sidang Eksaminasi I Putusan Pengadilan HAM Abepura yang diselenggarakan oleh ELSAM pada tanggall6 Agustus 2007 di Hotel Haris Jakarta. " Yoram Dinstein, 2004, The Conduct of Hostilities under the Law of International Armed Conflict, Cambridge University Press, Cambridge. hlm Contoh sifat command responsibility yang berdasarkan pada strict liability telah ditunjukkan oleh kasus Jenderal Yamashita pada akhir Perang Dunia II. Yamashita tetap dipersalahkan sebagai atasan yang bertanggungjawab atas perbuatan bawahnya yang melakukan kejahatan perang walaupun ia tidak mengetahui perbuatan bawahannya karena hubungan komunikasi yang telah hancur dan putus. Dalam perkembangannya terjadi penolakan terhadap sifat strict liability ini. 10 M. CherifBas~iuum Crimes Against Humanity in International Criminal Law, Martinus NijhoffPublishers, DordrechVBoston!London. hlm. 368.

7 Badan Pembinaan Hukum Nasional hlm. 99 kaku. 17 Adanya hubungan sub-ordinasi antara superior dan sub-ordinate merupakan salah satu syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban atasan. Bergantung darimana asal kekuasaan (otoritas), hubungan ini dapat dibangun melalui dua cara yaitu de jure dan de facto. Kekuasaan atasan untuk menjalankan otoritas yang berasaj dari pendelegasian perintah secara resmi dari institusi yang bersangkutan terhadap bawahan menunjukkan otoritas yang bersifat de jure. Namun demikian, kedudukan sesuatu perintah tidak hanya ditentukan oleh status formalnya saja. Dalam kondisi ketiadaan pemberian otoritas formal, seorang atasan harus secara aktual mempunyai hak untuk mengontrol bawahannya. Kekuasaan de jure menentukan kompetensi dan kewenangan seseorang. Namun demikian, perintah de jure bukanlah faktoryang menentukan dari otoritas aktual, sebab problem identifikasi akan muncul ketika tidak ada legislasi, tidak jelas, atau jika ada, otoritas tersebut tidak. cukup menggambarkan fungsi aktual seseorang dan sejauh mana otoritas yang dimiliki secara aktual. Dengan demikian akan dibutuhkan kemudian otoritas hubungan yang bersifat de facto. 11 Sementara itu maksud dari pengawasan efektif adalah bahwa prinsip superior responsibility harus diterapkan hanya pada para atasan yang memiliki kontrol efektif atas bawahan mereka. Pertanggungjawaban hanya akan muncul berkaitan dengan tindak.an-tindakan yang dilakukan pasukan atau bawahan yang berada dibawah kontrol dan komando efektif, atau di bawah kewenangan efektif dari komandan atau atasan yang bersangkutan. 1 " Elemen kedua adalah adanya mental state (mens rea). Maksud dari elemen ini adalah adanya pengetahuan atau pengetahuan yang konstruktif dari superior bahwa suatu perbuatan melanggar hukum (kejahatan) baru saja terjadi, sedang terjadi, atau sedang berlangsung. Terdapat 3 (tiga) macam standar mengetahui yaitu: (a) apabila seorang atasan telah mengetahui (had knowledge) bahwa kejahatan telah atau akan dilak.ukan dan tidak mencegah atau menghukum pelakunya. Standar mengetahui dalam kasus ini adalah 'actual knowledge' (betul-betul mengetahui); 11 Semanza, Trial Chamber ITCY, May IS, 2003, paragraph ~ IIi as Bantekast, July 1999, "The Contem(?Orary Law of Superior Responsibility", the Ameri can Journal of lmernational Law, Vol. 93 No Claire de ihan & Edwin Shorts, 2003, International Criminal Law and Human Right, Sweet & Maxwell, London, him. 139.

8 him. I 00 - Bad an Pembinaan Hukum Nasional2009 (b) apabila seorang atasan seharusnya mengetahui. Standar mengetahui adalah 'dianggap mengetahui' (presumption of knowledge); (c) apabila seorang atasan seharusnya sudah menjadikan tugasnya untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan pasukannya atau orang yang berada di bawah pengendaliannya. Standar mengetahui adalah 'had reason to know'. 20 Penerapan persoalan mengenai pengetahuan akan terjadinya kejahatan berbeda antara komandan militer dan atasan lainnya. Komandan militer bertanggung jawab j ika ia mengetahui a tau berdasarkan keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan kejahatan. Sementara itu atasan lain selain komandan mil iter dianggap bertanggungjawab jika ia mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan kejahatan. Dasar pembedaan ini adalah karena asumsi bahwa dalam struktur militer rantai komando biasanya berfungsi secara memadai karenanya setiap komandan dapat bergantung dari adanya rantai komando yang memadai tersebut untuk memperoleh inforrnasi yang lebih baik daripada atasan sipil lainnya. Dengan demikian nampak bahwa atasan sipil mempunyai pertanggungjawaban,yang lebih terbatas daripada atasan militer. Elemen ketiga adalah adanya kegagalan dari superior untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan yang dimungkinkan untuk mencegah atau menghentikan kejahatan atau menghukum pelaku kejahatan. Kegagalan seorang komandan atau atasan Jainnya untuk mengambillangkah-langkah yang diperlukan dapat dikategorikan menjadi dua: (a) kegagalan untuk mengambil langkah-langkah preventif; (b) kegagalan untuk mengambil langkah-langkah represif. Komandan atau atasan lainnya bertanggungjawab secara pidana jika mereka gaga! untuk melaksanakan segala cara untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran yang terjadi. Jadi superior dianggap gaga! untuk melakukan tindakantindakan preventif Jika mereka tabu setelah terjadinya pelanggaran atau tidak mempunyai cara yang tersedia untuk mencegah ataupun menghentikan 1 " Eddy Djunaedi Karnasudirja, 2005, Tanggung Jawab Seorang Atasan terhadap Bawahan yang Melakukan f'elanggaran HAM Bera/ dan Penerapannya oleh Pengadilan Pidana lnternaswnal dan Pengadi!an Hak Asasi Manusia Indonesia, LPP HAN, Jakarta, hlm. 18 dan hlm

9 Badan Pembinaan Hukum Nasiona/ him. I 01 pelanggaran, mereka tetap bertanggungjawab jika mereka gagaj untuk melakukan tindakan represif yaitu dengan membawa pelaku kejahatan ke pengadilan. Secara lebih spesifik, mereka juga bertanggungjawab jika mereka tidak menyerahkan pelaku kepada otoritas yang berwenang untuk diadakan investigasi dan penghukuman, atau paling tidak melaporkan peristiwa pelanggaran kepada otoritas yang berwenang. 21 Pasal 28 Statuta Roma secara khusus menentukan bahwa pertanggungjawaban pidana diberikan oleh superior yang gaga! untuk melaksanakan pengawasan secara memadai atas pasukan atau bawahan yang berada di bawah komando dan pengawasannya yang efektif. Kelalaian melaksanakan tugas pengawasan yang efektif hanya akan relevan jika mengakibatkan suatu kejahatan yang dilakukan oleh pasukannya atau orangorang yang berada di bawah komandonya. Hal ini mengindikasikan adanya kewajiban hukum seorang superior untuk memberi informasi dan selaju mengawasi semua orang yang secara struktural hirarkis berada di bawah komando dan pengawasan efektifnya. Berdasarkan haj ini maka seorang superior akan bertanggungjawab secara pidana jika tidak melakukan pengawasan terhadap bawahannya secara memadai melalui pemberian informasi, pendidikan, nasehat, dan/atau pengawasan atas manfaat dari penerapan hukum yang tepat. Terjadinya peristiwa pelanggaran hukum yang dilakukan pasukan atau bawahan menunjukkan bahwa atasan tidak menggunakan seluruh kewenangan dan segala cara yang dimilikinya untuk mempengaruhi bawahannya untuk bertindak secara hukum dan untuk tidak terlibat dalam tindakan-tindakan yang melswan hukum, terutama atas kejahatan. 22 Pertanggungjawaban pidana yang sudah dilakukan oleh seorang bawahan yang melakukan kejahatan tidak menghapuskan pertanggungjawaban atasan karena dapat berarti menyangkut kegagalan untuk bertindak sebagaimana mestinya, kegagalan untuk mencegah, dan kegagalan untuk menghukum. Namun demikian kegagalan untuk bertindak akan sangat tergantung pada pengetahuan yang dimiliki atasan dan kesempatan untuk bertindak. Sebaliknya kepatuhan terhadap perintah "Claire de THAN & Edwin Shorts, op. cit., him Geert-Jan Ale~ander Knoops, 200J\ An Introduction to The Law of /nterndtiondi Criminal Tribunals: A Comparative StUdy, Ardstey, New York, him. 66.

10 him. I 02 - Badan Pembinaan Hukum Nasional 2009 atasan tidak serta merta mengindikasikan bahwa atasan atau mereka yang berada di atas rantai komando bertanggungjawab secara pidana jika perintah tersebut salah dipahami atau diterapkan oleh bawahan. n I 0. Tidak dapat diterapkannya ketentuan pembatasan Statuta Roma menyebutkan bahwa, "Kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah tidak tunduk pada setiap ketentuan pembatasan." Ketentuan pembatasan yang dimaksud seperti halnya pembatasan mengenai daluwarsa yang biasa diterapkan oleh hukum nasional suatu negara. Alasan terhadap larangan ketentuan daluwarsa dengan alasan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang meninggalkan tidak saja duka dan derita yang begitu dalam bagi jutaan manusia, namun juga menunjukkan rendahnya moralitas para pelaku, sehingga keyakinan hukum dari manusia bemurani akan terguncang hila tidak diberikan reaksi apapun terhadap peristiwa tersebut. Ketentuan-ketentuan tentang daluwarsa dalam masalah kejahatan-kejahatan serius terhadap kemanusiaan di Belanda misalnya telah dicabut oleh UU tertanggal 8 April 1971, Stb 210, juga oleh Pasal 3 UU Pelaksana Konvensi Genosida. Pencabutan tersebut dilakukan juga sebagai konsekuensi dari Konvensi PBB tentang daluwarsa tertanggal 26 November Negara lain misalnya Jerman memberlakukan pencabutan demikian. 2 ~ Dan temyata memang tidak dapat diberlakukannya ketentuan daluwarsa dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang sekarang sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan intemasional. 3 s Dalam UU Pengadilan HAM ketentuan mengenai tidak berlakunya daluwarsa disebutkan pada Pasal46 yang menyebutkan bahwa, "Untuk pelanggaran hak asasi man usia yang berat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai daluwarsa." 11. Unsur mental Mental elemen (mens rea) adalah unsur mental dalam suatu tindakan Hfbid. hlm Jam Remmelink, 2003, Hul...-um Pidana: Komentar alas Pasa/-pasa/ terpenling dari Kitab Undang-Undang Hukum Belanda dan Padanannya da/am Kitab Undang-Undang Hukum Pida=lndonesia, Gramedia Media Pustaka, Jakarta, hlm >J William A. Schabas, 200\, An Introduction to the International CrimiiUII Court, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. 93.

11 Badan Pemhinaan Hukum Nasiona/2009- him. 103 yang menjadikan dapat dipidananya suatu perbuatan (tindakan) tersebut, yang meliputi niat (kesengajaan), pengetahuan (kesadaran) dari faktafakta dan keadaan-keadaan yang relevan. 26 Mengingat seriusnya tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah, maka Pasal30 paragraph (I) Statuta Roma mendefnisikan konsep mental elemen ini. Seseorang dinyatakan mempunyai niat dalam hubungannya dengan perbuatan, hila orang tersebut bermaksud untuk ikut serta dalam perbuatan. Sementara niat dalam hubungannya dengan akibat, jika orang tersebut bermaksud untuk menimbulkan konsekuensi atau menyadari bahwa akan terjadi dajam jalannya peristiwa yang biasa. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai suatu kesadaran bahwa suatu keadaan ada atau suatu konsekuensi akan terjadi dalam perkembangan kejadian yang biasa. 12. Pembelaan Berikut beberapa prinsip yang dapat digunakan sebagai pembelaan dimuka persidangan yang tercantum dajam Statuta Roma: a. Alasan penghapus tanggung jawab pi dana Statuta menyebutkan bahwa seseorang tidak bertanggungjawab secara pidana, kalau pada waktu perbuatan itu dilakukan oleh orang tersebut: (I) Orang terse but menderita sakit ingatan atau cacat mental yang merusak kemampuan orang tersebut untuk. menilai ketidakabsahan atau sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum; (2) Orang itu berada dalam keadaan keracunan yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai ketidak-absahan atau sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan, kecuali kalau orang tersebut telah meracunkan diri secara suka rei a di bawah keadaan 26 Pengantar umum unsur-unsur kejahatan St.atuta Roma

12 him. I 04 - Badan Pembinaan Hukum Nasional 2009 yang diketahui oleh orang tersebut, atau mengabaikan risiko, bahwa sebagai akibat dari keracunan tersebut, ia mungkin sekali melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah; (3) Orang tersebut berbuat secara masuk aka! untuk membela dirinya sendiri atau seseorang lain atau, dalam hal kejahatan perang, hak milik yang amat penting bagi kelangsungan hidup dari orang atau seseorang lain atau hak milik yang amat penting untuk memenuhi suatu misi militer, terhadap suatu penggunaan kekuatan yang tidak sah dan segera terjadi dengan suatu cara yang proporsional dengan besamya bahaya terhadap orang atau orang-orang lain atau hak milik yang dilindungi. Kenyataan bahwa orang itu terlibat dalam suatu operasi yang dilakukan oleh angkatan bersenjata tidak dengan sendirinya merupakan alasan untuk meniadakan tanggung jawab pi dana berdasarkan sub ayat ini; ( 4) Perbuatan yang dinyatakan merupakan suatu kejahatan di bawah jurisdiksi Mahkamah disebabkan oleh tekanan yang timbul dari ancaman kematian yang segera terjadi atau kerugian fisik secara serius yang berkelanjutan atau segera terjadi terhadap orang itu atau seseorang lain, dan orang itu bertindak seperlunya dan masuk aka! untuk menghindari ancaman ini, dengan syarat bahwa orang itu tidak bermaksud menimbulkan suatu kerugian yang lebih besar ketimbang kerugian yang diupayakan untuk dihindari. Ancaman semacam itu mungkin: (a) Dilakukan oleh orang-orang Jain; atau (b) Ditimbulkan oleh keadaan-keadaan lain di luar penguasaan orang tersebut. b. Kekeliruan fakta atau kekeliruan penerapan hukum Suatu kekeliruan fakta akan menjadi dasar pengecualian bagi tanggung jawab pidana hanya jika hal itu membuktikan tidak adanya unsur mental yang diperlukan oleh kejahatan yang dilakukan itu. Suatu

13 Badan Pembinaan Hukum NasionaJ hlm. I 05 kekeliruan penerapan hukum tentang apakah suatu jenis tindakan tertentu merupakan suatu kejahatan dalamjurisdiksi Mahkamah tidak boleh menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana. Suatu kekeliruan penerapan hukum hanya bias menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana jika hal itu membuktikan tidak adanya unsur mental yang diperlukan oleh kejahatan yang dilakukan itu, atau sebagaimana dinyatakan dalam pasal33. c. Perintah atasan dan ketentuan hukum Kenyataan bahwa suatu kejahatan dalam jurisdiksi Mahkamah telah dilakukan oleh seseorang sesuai dengan perintah suatu Pemerintah atau seorang atasan, baik militer atau sipil, tidak membebaskan tanggungjawab pidana orang tersebut kecuaji kalau: (1) Orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dati Pemerintah atau atasan yang bersangkutan; (2) Orang tersebut tidak tabu bahwa perintah itu melawan hukum; dan (3) Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum. Untuk keperluan pasal ini, perintah untuk melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melawan hukum. Ketentuan mengenai perintah atasan ini tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM, sementara masalah ini sangat potensial menjadi suatu masalah yang pelik, mengingat hukum pi dana kita memungkinkan bahwa perintahjabatan dapat menjadi alasan pembenar yang dapat hapuskan pidananya. Seperti pasal 31 R-KUHP menyebutkan bahwa, "Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang-undangan." dan Pasal32 yang menyebutkan, "Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintahjabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang." Ketentuan ini bisa diterima dalam kaitan dengan tindak pidana umum, tetapi mungkin tidak dapat diberlakukan

14 him. I 06 - Badan Pembinaan Hukum Nasional2009 dalam hal tindak pi dana intemasional terlebih tindak pi dana yang menjadi keprihatinan serius masyarakat intemasional. Dalam hal tindak pidana demikian, orang tetap dianggap bertanggungjawab walaupun j ika perbuatan yang dilakukannya itu sesuai dengan hukum nasional dan diberikan oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, perlu diatur ketentuan mengenai ketentuan tentang perintah atasan yang bagaimana yang dapat digunakan sebagai pembelaan agar hal tersebut tidak akan melanggengkan impunity.

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB KOMANDAN. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M

UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB KOMANDAN. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB KOMANDAN Rudi M. Rizki, S.H., LL.M Makalah ini disampaikan dalam Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar Hukum HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan

Lebih terperinci

UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN

UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN A Oleh: Rudi M. Rizki Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KOMANDO

TANGGUNG JAWAB KOMANDO TANGGUNG JAWAB KOMANDO Disampaikan Oleh Fadillah Agus pada Lokakarya yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, Hotel Jogja Plaza, 23-27 Januari 2006 1 BENTUK-BENTUK PERTANGGUNG JAWABAN PELANGGARAN

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI OLEH: AGUSTINUS POHAN DISAMPAIKAN DALAM PUBLIC SEMINAR ON CORPORATE CRIMINAL LIABILITIES JAKARTA 21 FEBRUARI 2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERTANGGUNGJAWABAN

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Faiq Tobroni, SHI., MH. Perkembangan Asas Asas Legalitas 1. Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek

Lebih terperinci

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL STATUTA ROMA STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal

Lebih terperinci

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga

Lebih terperinci

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana 2 Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, seperti ratifikasi Indonesia terhadap keempat Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang- Undang Nomor 59 Tahun 1958, Konsekuensi tersebut,

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

Faiq Tobroni, SHI., MH. Bahan Kuliah Faiq Tobroni

Faiq Tobroni, SHI., MH. Bahan Kuliah Faiq Tobroni Faiq Tobroni, SHI., MH Asas Legalitas 1. Ps 1 (1) KUHP: suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih dulu dalam suatu ketentuan perundangundangan. 2. Nullum delictum, nulla

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 20 Des 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Pembuktian : Tanggungjawab Komando

Pembuktian : Tanggungjawab Komando Pembuktian : Tanggungjawab Komando I. Pendahuluan Saat ini Pengadilan HAM Tanjung Priok telah memasuki tahap pembuktian, yaitu tahap pemeriksaan saksi. Bahkan, dalam salah satu berkas, yaitu berkas perkara

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas isu hukum yang muncul sebagai rumusan masalah dalam bab pertama (Supra 1.2.). Ide-ide yang penulis simpulkan didasarkan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

Kapita Selekta Ilmu Sosial

Kapita Selekta Ilmu Sosial Modul ke: Kapita Selekta Ilmu Sosial Hukum Pidana Fakultas ILMU KOMUNIKASI Finy F. Basarah, M.Si Program Studi Penyiaran Hukum Pidana Kapita Selekta Ilmu Sosial Ruang lingkup: Mengenai Hukum Pidana secara

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL oleh Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Ne bis in idem principle

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Menurut Black's Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain : 102 a. Merupakan satu kewajiban terikat dalam hukum atau keadilanuntuk

Lebih terperinci

"Itu Kejahatan": Perampasan kemerdekaan secara tidak sah

Itu Kejahatan: Perampasan kemerdekaan secara tidak sah Siapapun dia, termasuk Hakim, Jaksa dan Polisi, tak sah merampas kemerdekaan tanpa dasar yang sah. Perampasan kemerdekaan, apakah itu penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan wajib dengan perintah yang

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindakan pidana itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA oleh Sang Ayu Ditapraja Adipatni I Wayan Sutarajaya I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM NASIONAL. Oleh : Mustafa Abdullah ABSTRAK

MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM NASIONAL. Oleh : Mustafa Abdullah ABSTRAK MEMPERTANYAKAN KEMBALI KEPASTIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM NASIONAL Oleh : Mustafa Abdullah ABSTRAK Kepastian Hukum menurut Sistem Hukum Nasional (Siskumnas), seperti apa yang

Lebih terperinci

SURAT TERBUKA KEPADA KETUA PANSUS RUU TERORISME DPR RI TENTANG RENCANA REVISI UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

SURAT TERBUKA KEPADA KETUA PANSUS RUU TERORISME DPR RI TENTANG RENCANA REVISI UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME AI Index: ASA 21/5273/2016 Mr. Muhammad Syafii Ketua Pansus RUU Terorisme Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Jl. Gatot Subroto, Senayan Jakarta, 10270, Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan PENDAPAT HUKUM (.DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang- Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana, yang mengandung

Lebih terperinci

ASAS KESALAHAN DALAM STATUTA ROMA

ASAS KESALAHAN DALAM STATUTA ROMA ASAS KESALAHAN DALAM STATUTA ROMA Basri 1 Abstrak Asas kesalahan adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana (mens rea), adalah menunjuk kepada unsur -unsur pembuat delik,

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci