PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA
|
|
- Farida Iskandar
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga setuju dengan kesimpulan yang dicapai tentang pelanggaran Pasal 8 (pas. 8) Konvensi dengan beberapa keragaman dalam penalarannya. Namun saya merasa tidak dapat setuju dengan rekan-rekan terkemuka saya dengan cara mereka menafsirkan Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi dan dengan kesimpulan yang mereka ambil bahwa hak atas akses ke pengadilan seharusnya dilihat ke dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dan bahwa hak tersebut dianggap telah menjadi bagian didalamnya. Hasil dari interpretasi mereka adalah bahwa Pemerintah Kerajaan Inggris telah melakukan suatu pelanggaran terhadap Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi dengan melarang tahanan Golder menggunakan haknya untuk mengakses pengadilan. Saya selanjutnya memberi alasan utama atas perbedaan pendapat saya sesingkat mungkin dalam bagian keputusan ini. Tidak ada keraguan bahwa jawaban untuk pertanyaan apakah hak atas akses ke pengadilan tercantum dalam Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1), tergantung pada konstruksi pasal tersebut. Kami sangat terbantu oleh perwakilan dari kedua belah pihak dalam menjalankan tugas kami ini. Tampaknya ada kesepakatan tidak tertulis bahwa Pasal 31, 32 dan 33 dari Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, meskipun tanpa efek retroaktif, mengandung prinsip-prinsip penafsiran suatu perjanjian. Masih ada penerapan aturan penafsiran yang dirumuskan dalam Konvensi untuk Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi Eropa. Pasal 31 Paragraf 1 dari Konvensi Wina berbunyi "Sebuah perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan makna apa adanya yang didalamnya terdapat persyaratan perjanjian sesuai konteks serta dengan tetap mengingat obyek dan tujuanya". Itikad baik tidak lagi dipertanyakan, oleh karenanya yang perlu dipertimbangkan lebih jauh adalah (a) teks, (b) konteks, (c) objek dan tujuan. Dua elemen terakhir sangat mungkin tumpang tindih satu sama lain. A. Teks Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) Konvensi Eropa mengatakan: "Dalam penentuan hak dan kewajiban sipilnya atau terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, setiap orang berhak atas persidangan yang adil dan terbuka dalam jangka waktu yang wajar oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak yang ditetapkan oleh hukum. Keputusan harus dibacakan secara terbuka tetap tetapi pers dan publik dapat dikecualikan dari seluruh atau sebagian dari proses persidangan demi kepentingan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu
2 masyarakat demokratis, di mana kepentingan seorang anak remaja atau perlindungan kehidupan pribadi pihak yang bersangkutan mengharuskan demikian, atau sejauh benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam situasi khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan." Pasal 6 (pas. 6-1), yang dipahami dalam arti sederhana dan biasa, mengacu pada tuntutan pidana yang dijatuhkan kepada seseorang dan pada hak dan kewajiban seseorang ketika hak dan kewajiban tersebut sedang dalam pertimbangan hukum di pengadilan. kata-kata yang mengikuti pembukaan paragraf, yaitu kata-kata yang mengikuti frase "Dalam penentuan hak dan kewajiban sipil atau tindak pidana terhadapnya" khusus terkait dengan pelaksanaan proses, yaitu, dengar pendapat publik dalam waktu yang wajar dihadapan pengadilan yanng tidak memihak dan dibacakannya keputusan di depan umum dan lebih lanjut bahwa pengecualian dan / atau pembatasan yang dijelaskan secara rinci dalam paragraf yang sama lagi-lagi secara eksklusif berhubungan dengan publisitas proses pengadilan dan tidak lebih dari itu, sangat kuat menunjukkan bahwa Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) hanya berurusan dengan proses pengadilan yang sudah dilakukan dihadapan pengadilan dan bukan dengan hak ats akses ke pengadilan. Dengan kata lain, Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) diarahkan untuk pengadilan yang adil dan fair saja. Referensi dibuat untuk versi bahasa Perancis dari Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dan secara khusus untuk kata-kata "contestations sur ses droits" dalam Pasal (pas. 6-1). Kata-kata yang dikutip di atas menyampaikan makna yang lebih luas daripada kata-kata yang sama dalam bahasa Inggris dalam teks versi bahasa Inggris. Kata-kata dalam teks bahasa Perancis, yang diperdebatkan, merangkum tuntutan yang belum mencapai tahap pemeriksaan pengadilan. Teks berbahasa Inggris dan Perancis keduanya sama-sama otentik. Jika kata-kata yang digunakan dalam satu teks hanya bisa mewakili arti yang lebih sempit, maka kedua teks dapat disandingkan dengan melampirkan kepadanya arti yang tidak terlalu luas. Bahkan jika kita menerapkan Pasal 33 Konvensi Wina dalam rangka mencari mana dari salah satu teks yang lebih tinggi, kita harus melihat kembali pasal sebelumnya, yaitu Pasal 31 dan 32 di Konvensi yang sama sebagai pedoman. Setelah melakukan ini, saya tidak dapat menemukan alasan yang cukup untuk merubah pandangan yang baru saja saya sampaikan. Setelah membaca banyak dari teks tersebut, tidak diragukan lagi bahwa teks tersebut merupakan "sumber utama dari interpretasinya sendiri". B. Konteks Saya berlanjut kepada aspek kontekstual Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Seperti yang saya katakan tadi, pengujian aspek ini pasti akan tumpang
3 tindih dengan pertimbangan yang berhubungan dengan obyek dan tujuan perjanjian. Tidak diragukan lagi, bahwa interpretasi adalah satu-satunya cara yang memperhatikan smua fakta relevan sebagai satu kesatuan. Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) berada di Bagian I dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental dimana bagian ini terdiri dari Pasal 2-18 (pas. 2, pas. 3, pas. 4, pas. 5, pas. 6, pas. 7, pas. 8, pas. 9, pas. 10, pas. 11, pas. 12, pas. 13, pas. 14, pas. 15, pas. 16, pas. 17, pas. 18) yang mendefinisikan hak dan kebebasan yang diberikan kepada orang yang berada dalam yurisdiksi Negara-Negara Pihak. Pasal 1 (pas. 1) mensyaratkan Negara Pihak untuk "menjamin hak dan kebebasan setiap orang yang berada dalam yurisdiksinya seperti yang dijelaskan pada Bagian I Konvensi ini. Kewajiban dalam Konvensi ini yang harus dijalankan oleh Negara Pihak terkait dengan hak dan kebebasan yang telah disebutkan. Tampaknya hampir tidak mungkin bagi setiap orang memperdebatkan bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) mendefinisikan hak atas akses ke pengadilan. Pembahasan Bagian I mengungkapkan: Pasal 5, paragraf 4 dan 5 (pas. 5-4, pas. 5-5), berurusan dengan proses yang akan diambil dihadapan pengadilan untuk memutuskan keabsahan atau sebaliknya suatu penahanan dan memberikan kepada korban penahanan tidak sah sebuah hak atas kompensasi yang dapat ditegakkan. Pasal 9, 10 dan 11 (pas. 9, pas. 10, pas. 11) berurusan dengan hak atau kebebasan dalam hal berpikir, berekspresi beragama, berkumpul dan berserikat, dll. Yang signifikan dari pasal-pasal ini (pas. 9, pas. 10, pas. 11) adalah pada kenyataannya setiap pasal menetapkan secara rinci restriksi dan limitasi yang terikat pada hak tersebut. Pasal 13 (pas. 13) mengatakan: "Setiap orang yang hak dan kebebasannya, seperti yang termaktub dalam Konvensi ini, dilanggar maka ia akan mendapatkan pemulihan efektif dihadapan otoritas nasional kedatipun pelanggaran itu telah dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi." Pasal ini (pas. 13) mengindikasikan bahwa hak atas akses ke pengadilan berkaitan dengan pelanggaran hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Konvensi. Dalam pandangan saya, pengadilan termasuk kedalam lingkup otoritas nasional yang disebutkan dalam Pasal 13 (pas. 13). Pasal 17 (pas. 17) menyebutkan, antara lain, tidak ada pembatasan lebih jauh daripada yang sudah di berikan dalam Konvensi diperbolehkan terhadap hak dan kebebasan yang sudah diatur didalamnya. Relevansi Pasal 17 (pas. 17) terletak pada fakta bahwa, jika hak atas akses diinterpretasikan dari Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), maka hak atas akses tersebut pastilah hak tersebut bersifat absolut karena tidak ada restriksi dan limitasi yang disebutkan terkait dengan hak ini. Tidak seorang pun
4 dapat dengan yakin berpendapat bahwa Konvensi mempertimbangkan hak atas akses ke pengadilan sebagai hak yang mutlak dan tidak dapat dibatasi. Sudah sangat dipahami dan mungkin diabaikan bahwa hak atas akses ke pengadilan nasional, dalam bentuk peraturan, ada didalam semua masyarakat demokratis beradab. Hak tersebut, dan penerapannya, umumnya diatur oleh konstitusi, perundang-undangan, adat dan hukum lain dibawahnya seperti misalnya perintah atau keputusan pengadilan. Pasal 60 (pas. 60) Konvensi juga tetap menjaga hak asasi manusia semacam itu yang telah diatur dalam peraturan nasional. Hak atas akses ke pengadilan tidak diragukan lagi termasuk ke dalam hak asasi manusia seperti yang disebutkan dalam Pasal 60 (pas. 60) diatas. Ini adalah cara menutupi celah penuntutan karena tidak ada ketentuan khusus untuk hak atas akses ke pengadilan yang dibuat di Konvensi. Kompetensi pengadilan, dan juga hak seseorang untuk memulai proses hukum dihadapan pengadilan, diatur oleh undang-undang dan peraturan yang sudah disebutkan diatas. Seseorang dapat memulai proses tersebut dengan mendaftarkan suatu tindakan, petisi atau permohonan ke register pengadilan tingkat pertama atau tingkat yang lebih tinggi. Orang tersebut harus membayar biaya yang sudah ditentukan (kecuali berhak atas bantuan hukum) dan akan dikeluarkan surat tertulis pemanggilan atau pemberitahuan lainnya. Seseorang mungkin dicegah dengan atau tanpa syarat untuk melakukan proses hukum yang dikarenakan masalah umur, kondisi mental, pailit, gugatan yang sembrono dan menggusarkan. Seseorang juga mungkin akan diminta membuat pernyataan keamanan biaya dan seterusnya. Setelah proses dimulai dan sebelum kasus meningkat ke tahap persidangan, terdapat banyak langkah prosedur yang terlibat. Pejabat utama, atau seorang hakim dalam majelis dan bukan dalam pengadilan terbuka, diberdayakan untuk menangani kasus dalam kategori tertentu secara ringkas dan pada akhirnya menangani gugatan berupa suatu tindakan, petisi atau permohonan. Sebagai contoh kasus, adalah ketika tuntutan yang disahkan melalui sebuah surat perintah, atau seperti yang dinyatakan dalam pemohonannya, tidak mengungkapkan penyebab diajukannya suatu gugatan atau, dalam kasus terdakwa, jawaban atau pembelaannya tidak mengungkapkan pembelaan yang valid dalam hukum. Semua penyimpangan ini adalah hanya untuk menekankan bahwa jika Konvensi menginginkan untuk memasukkan hak atas akses sebagai bagian integral dari Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), mereka yang menyusun draf Konvensi akan, tanpa keraguan, meneruskan praktek mereka yang terus mengubah, setelah menetapkan suatu hak asasi dan kebebasan, kemudian menetapkan juga didalamnya restriksi dan limitasi yang melekat pada hak dan kebebasan tersebut. Pastinya jika hak atas akses, secara terpisah dari yang secara jelas disebutkan dalam Konvensi, pasti akan diakui oleh semua orang dalam
5 dalam yurisdiksi Negara Pihak, tidak dibatasi oleh hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh peraturan nasional, dan hak tersebut secara jelas diatur dalam Konvensi. Mengingat kepedulian dan kepedihan yang ditanggung dalam menentukan hak asasi dan kebebasan manusia dalam Konvensi dan secara teliti mengatur pembatasannya pula, menunjukkan dengan kuat bahwa hak atas akses tidak secara jelas dan tidak secara tersirat atau tidak secara sengaja terkandung dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Mungkin ada yang mengungkapkan: jika tidak ada hak atas akses ke pengadilan, apa gunanya membuat ketentuan yang banyak sekali untuk mengatur pelaksanaan proses hukum sebelum persidangan dimulai? Jika memang, ketentuan yang berhubungan dengan hak atas akses tidak ada samasekali dalam Konvensi walaupun bukan ini masalahnya saya akan mengakui bahwa dengan implikasi dan keinginan yang cukup hak semacam ini dapat dilihat sebagai bagian dari Konvensi, walaupun tidak harus berada di dalam yang diperdebatkan. Saya akan bertindak berdasar asumsi bahwa Negara Pihak mengabaikan keberadaan hak atas akses. C. Obyek dan Tujuan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tidak berarti dapat diremehkan, ketika dipahami sesuai apa adanya, tanpa ada hak atas akses yang dimasukkan ke dalamnya. Dengar pendapat publik dalam jangka waktu yang wajar dihadapan pengadilan yang tidak memihak, dengan penyampaian keputusan didalam sidang terbuka, - walaupun semua ini bisa dicerna sebagai masalah prosedural namun meskipun demikian bersifat mendasar dalam pengaturan hukum, dan oleh karena itu Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) memiliki alasan dan layak berada dalam Piagam Hak Asasi Manusia, tanpa mencangkokkan hak atas akses ke dalamnya. Ruang lingkup penerapannya tetap akan sangat luas. Pembukaan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental dalam paragraf penutupnya menyatakan: "Telah diputuskan, dimana Pemerintah Negara-negara Eropa yang memiliki pemikiran yang sama dan memiliki warisan yang sama dalam hal tradisi politik, cita-cita, kebebasan dan supremasi hukum, untuk mengambil langkah pertama untuk secara bersama-sama menegakkan hak tertentu yang disebutkan dalam Deklarasi Universal." Menurut saya, Pemerintah Kerajaan Inggris tidak melanggar kata-kata "mengambil langkah pertama" dan kata-kata "penegakan hak tertentu", yang ada dalam paragraf tersebut. Untuk referensi yang dibuat untuk persiapan pembuatan Konvensi, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Eropa tentang Pendirian, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan instrumen internasional lainnya, saya cukup membuat pengamatan yang sangat singkat. Dalam persiapan pembuatan Deklarasi, pada draf awal
6 memasukkan secara jelas kata-kata "hak atas akses" tetapi kata-kata ini kemudian dihilangkan sebelum draf ini menjadi bentuk final. Pasal 8 Deklarasi Universal mengandung hak atas akses ke pengadilan untuk pelanggaran hak fundamental yang diberikan oleh konstitusi atau oleh undang-undang. Pasal 10 Deklarasi Universal kurang lebih sesuai dengan bagian utama Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) pada Konvensi Eropa dan tidak mengacu pada hak atas akses. Tampaknya bagian utama Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) mengikuti pola Pasal 10 Deklarasi Universal dan juga Pasal 14 paragraf 1 pada Kovenan Internasional Pasal 7 Konvensi Eropa tentang Pendirian menyatakan secara jelas suatu "hak atas akses ke otoritas kehakiman dan administrasi yang berkompeten". Hal yang sama juga diterapkan pada Pasal 2 paragraf 3 dari Kovenan Internasional. Penjelasan diatas mendukung pandangan bahwa jika memang hak atas akses ke pengadilan akan dimasukkan kedalam suatu perjanjian, maka harus dijelaskan secara jelas. Saya sudah berusaha untuk menyentuh unsur utama interpretasi dalam urutan tertentu. Ketika semua unsur disatukan dan dilihat kemajemukannya, dalam pikiran saya efek gabungan ini akan mendorong kekuatan yang lebih besar terhadap ketepatan dari pendapat yang disampaikan. Untuk Pasal 8 (pas. 8). Menteri Dalam Negeri, dengan tidak memperbolehkan tahanan Golder berkomunikasi dengan pengacaranya dengan maksud melakukan gugatan atas pencemaran nama baik terhadap petugas penjara, Tn. Laird, telah menghilangkan kesempatan bagi Golder untuk mendapatkan nasehat hukum yang independen. Dalam situasi ini, saya menemukan bahwa hak Golder untuk berkorespondensi telah diingkari dan pengingkaran tersebut adalah suatu pelanggaran terhadap Pasal 8 (pas. 8). Dalam hak tindakan pencemaran nama baik, Tn Laird mungkin bisa berhasil jika memohon hak istimewa dan membuktikan tidak adanya niat jahat. Menteri Dalam Negeri atau Kepala Penjara mungkin mempunyai alasan untuk percaya bahwa Golder tidak memiliki kemungkinan melanjutkan gugatannya, tapi pada prinsipnya saya cenderung melihat bahwa kecuali terdapat alasan keamanan sebagai pengesamping, seorang tahanan harus diperbolehkan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan, seorang pengacara dan mendapatkan nasehat hukum yang independen.
UNOFFICIAL TRANSLATION
UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /
Lebih terperinciPrinsip Dasar Peran Pengacara
Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7
Lebih terperinciPROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1
PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 Negara-negara Pihak pada Protokol ini, Menimbang bahwa untuk lebih jauh mencapai tujuan Kovenan Internasional tentang
Lebih terperinciKOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH
KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Lebih terperinciDAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)
DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat
Lebih terperinciKepengacaraan Untuk Kepentingan Publik dan Pemajuan dan Perlindungan HAM
Kepengacaraan Untuk Kepentingan Publik dan Pemajuan dan Perlindungan HAM Disampaikan oleh : A.H. Semendawai, SH, LLM Disampaikan dalam acara Konferensi Public Interest Lawyer Network (PILNET) Jakarta,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciKOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1
1 KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1 A. Kewajiban untuk melaksanakan Kovenan dalam tatanan hukum dalam negeri 1. Dalam Komentar Umum No.3 (1990) Komite menanggapi persoalan-persoalan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi
Lebih terperinciK189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011
K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 2 K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011 K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi
Lebih terperinci15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional
Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
Lebih terperinciPERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT
PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat
Lebih terperinciDAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA
DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciKONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN
LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Lebih terperinciK111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN
K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan
Lebih terperinciDAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA
DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciDAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005
DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal
Lebih terperinciKONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG]
KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] Untuk keperluan kutipan versi AS, teks bahasa Inggris bersertifikasi PBB dipublikasikan dalam 52
Lebih terperinciMAHKAMAH EROPA UNTUK HAK ASASI MANUSIA SIDANG (PARIPURNA) KASUS GOLDER v. PEMERINTAH INGGRIS. (Pengaduan no. 4451/70) KEPUTUSAN STRASBOURG
MAHKAMAH EROPA UNTUK HAK ASASI MANUSIA SIDANG (PARIPURNA) KASUS GOLDER v. PEMERINTAH INGGRIS (Pengaduan no. 4451/70) KEPUTUSAN STRASBOURG 21 Februari 1975 Dalam kasus Golder, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi
Lebih terperinciDAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.
DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara
Lebih terperinciATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM
ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh
Lebih terperinciDAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA
DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017 Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali I. PEMOHON Donaldy Christian Langgar. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Pasal 69 Undang-Undang
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE
DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciKELOMPOK KERJA UNTUK PENAHANAN SEWENANG-WENANG. Lembar Fakta No. 26. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia
KELOMPOK KERJA UNTUK PENAHANAN SEWENANG-WENANG Lembar Fakta No. 26 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia Tak seorang pun bisa ditangkap, ditahan, dan diasingkan secara sewenang-wenang. Deklarasi Universal
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Lebih terperinciC. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan Hak mendapatkan pengajaran Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat C. Konsep
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
Lebih terperinciK 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949
K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 2 K-95 Konvensi Perlindungan Upah, 1949 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan
Lebih terperinci13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat
13. KESIMPULAN Majelis Hakim Yang Terhormat Maksud saya menuliskan Pembelaan saya sendiri adalah untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang mudah dipahami, dengan demikian agar tidak ada lagi keraguan
Lebih terperinciKOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Lebih terperinciKonvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN
Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat I. PEMOHON 1. PT. Indikator Politik Indonesia, diwakili oleh Burhanuddin, selaku Direktur Utama, sebagai Pemohon I;
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA
BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM
Lebih terperinciKONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA
KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi
Lebih terperinciKONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA
KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA Kongres Organisasi Ketenagakerjaan Internasional. Setelah diundang ke Jenewa oleh Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan Internasional,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme I. PARA PEMOHON 1. Umar Abduh; 2. Haris Rusly; 3. John Helmi Mempi; 4. Hartsa Mashirul
Lebih terperinciTelah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:
LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciK 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000
K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 2 K-183 Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan
Lebih terperinciHak atas Informasi dalam Bingkai HAM
Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN
Lebih terperinciPeranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA
Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999 Dalam Perkara Keberatan Terhadap Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA Fenomena proses penegakan hukum di Indonesia Dibentuknya berbagai Komisi
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciDAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA
DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA
KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciRingkasan Putusan.
Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap
PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Profesi hukum termasuk didalamnya profesi Notaris, merupakan suatu profesi khusus yang sama dengan profesi luhur lainnya yakni profesi dalam bidang pelayanan kesehatan,
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciRingkasan Putusan.
Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Lebih terperinciJakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG PETUNJUK- PETUNJUK BAGI BEBERAPA PANITERA MENGENAI PENAFSIRAN DARI PERATURAN-PERATURAN UNDANG-UNDANG KASASI DALAM PERKARA-PERKARA PERDATA MAHKAMAH
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
Lebih terperinciKONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA
KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIII/2015 Pengumuman Terhadap Hak Cipta Yang Diselenggarakan Pemerintah
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIII/2015 Pengumuman Terhadap Hak Cipta Yang Diselenggarakan Pemerintah I. PEMOHON Bernard Samuel Sumarauw. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang
Lebih terperinciIndonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention
Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention This translation was kindly prepared by Dr. Afifah Kusumadara, Vannia Nur Isyrofi, and Hary Stiawan (lecturer and students at the Faculty of
Lebih terperinciK81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN
K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat I. PEMOHON 1. PT. Indikator Politik Indonesia, diwakili oleh Burhanuddin, selaku Direktur Utama, sebagai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id
Lebih terperinciDEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA
DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon
I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,
Lebih terperinci*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana
Lebih terperinciUMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan
Lebih terperinciKOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1
KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Lebih terperinciBAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk
56 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 269/Pdt.P/2014/PA.Mlg. TENTANG PENCATATAN PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH DILANGSUNGKAN AKAD NIKAH Salah satu akibat perkawinan
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG
Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinci