RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

Transkripsi

1 20 Des 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari kebhinekaan suku, ras, adat istiadat, agama, bahasa dan berbagai perbedaan lain yang terjadi di setiap kehidupan masyarakat yang ada di Indonesia, di satu sisi memberikan suatu nilai tersendiri, di sisi lain berbagai perbedaan tersebut dapat memunculkan terjadinya konflik baik vertikal maupun horisontal yang akan berdampak terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; b. bahwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius juga dapat terjadi sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparatur negara; c. bahwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius merupakan tindak pidana yang menjadi musuh bersama bagi seluruh umat manusia, sehingga negara Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional mempunyai kewajiban untuk melakukan penuntutan; d. bahwa negara terutama pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia; e. bahwa pelaksanaan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia mewajiban negara untuk melakukan penuntutan secara individu terhadap para pelaku tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; f. bahwa untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat dan juga memberikan pemulihan terhadap para korban, pemerintah perlu membentuk Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk menyelesaikan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; 1

2 g. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di beberapa daerah seperti Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua sehingga perlu dilakukan penyesuaian pengaturan mengenai pengadilan hak asasi manusia; h. bahwa berdasarkan praktik dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditemukan berbagai kendala yang disebabkan adanya kelemahan pengaturan yang menghambat proses penyelesaian tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4151 ); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633); 6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4635); 7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4958); 8. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 9. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077); 2

3 Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 2. Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. 3. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 4. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. 5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 6. Dalam menjalankan undang-undang ini, Komnas HAM bertindak selaku penyelidik dan penyidik terhadap perkara Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius. 7. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri. 8. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, 3

4 sebagai akibat tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, termasuk korban adalah ahli warisnya. 9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 10. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari kebenaran materiil dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut menjadikan terang peristiwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang terjadi dan menentukan tersangkanya. 11. Penuntutan adalah serangkaian tindakan penuntut umum untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, membuat surat dakwaan, dan melimpahkan berkas perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius ke pengadilan yang berwenang dengan permintaaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 12. Pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak, di dalam persidangan pengadilan hak asasi manusia, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Bagian Kedua Tempat Kedudukan Pasal 3 (1) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius berkedudukan di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, Makassar, Jayapura dan Banda Aceh. 4

5 (2) Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di: a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah; b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara; d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Barat; e. Jayapura yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat, f. Banda Aceh yang meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. BAB III LINGKUP KEWENANGAN Pasal 4 Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara yang termasuk dalam tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. Pasal 5 Pengadilan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius juga berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia, maupun warga negara asing yang berdomisili di Indonesia. Pasal 6 Pengadilan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan. Pasal 7 Tindak Pidana hak asasi manusia yang paling serius meliputi: 5

6 a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan; c. kejahatan perang. Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian suatu kelompok, semata-mata karena alasan kebangsaan, etnis, ras, atau keagamaan: a. membunuh anggota kelompok tersebut; b. menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok tersebut; c. dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok tersebut yang diperkirakan menyebabkan kehancuran fisik baik secara keseluruhan atau sebagian; d. memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain. Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan berikut yang dilakukan dengan pengetahuan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil manapun : a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; e. pemenjaraan atau perampasan kebebasan fisik lainnya yang berat, yang melanggar aturan-aturan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan paksa, sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain apapun yang beratnya setara; h. persekusi terhadap kelompok atau kolektivitas apapun yang dapat dikenali atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, keagamaan, jender, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam pasal ini atau setiap kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan ini; 6

7 i. penghilangan orang secara paksa; j. kejahatan apartheid; k. perbuatan tidak manusiawi lain yang bersifat serupa yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Pasal 10 (1) Kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c adalah kejahatan perang yang pada khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. (2) Kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu setiap perbuatan berikut yang dilakukan terhadap orang-orang atau hak-milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang terkait: 1. pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja; 2. penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis; 3. dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan; 4. perusakan luas dan perampasan hak-milik, yang tidak dibenarkan oleh keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan; 5. memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk bekerja dalam pasukan musuh; 6. secara sengaja merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi lainnya atas pengadilan yang adil dan pengadilan pada umumnya; 7. deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah; 8. penyanderaan. b. pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam kerangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatanperbuatan berikut ini: 1. secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu; 2. secara sengaja melakukan serangan terhadap obyek-obyek sipil, yaitu, obyek yang bukan merupakan sasaran militer; 3. secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan 7

8 kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada obyek-obyek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata; 4. secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap obyek-obyek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka-panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi; 5. menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer; 6. membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah menyerahkan diri atas kemauannya sendiri; 7. memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau bendera atau lencana dan seragam militer dari pihak lawan atau milik Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-tanda khusus dari Konvensi Jenewa, yang menyebabkan kematian atau luka-luka serius pada individu-individu tertentu; 8. pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu sendiri maupun ke luar wilayah tersebut; 9. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempattempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh bahwa tempat tersebut bukan obyek militer; 10. membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut; 11. membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk pada bangsa atau angkatan perang lawan; 12. menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para tawanan; 13. menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang yang tak dapat dihindarkan; 8

9 14. menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak lawan; 15. memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri, bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya perang; 16. menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai lewat serangan; 17. menggunakan racun atau senjata yang diberi racun; 18. menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa; 19. menggunakan peluru yang menyebar atau merata dengan mudah di dalam badan seseorang, seperti peluru dengan selongsong keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan torehan; 20. menggunakan senjata-senjata, proyektil dan material atau cara-cara berperang yang secara alamiah menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau yang bersifat tidak pandang bulu dengan melanggar hukum internasional mengenai sengketa bersenjata yang secara luas dilarang; 21. melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia; 22. melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 9 huruf g, sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa; 23. menggunakan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu kebal terhadap operasi militer; 24. secara sengaja menunjukkan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; 25. secara sengaja menggunakan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu metode peperangan dengan menghilangkan obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sengaja menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Konvensi Jenewa; 26. menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertikaian. c. dalam hal suatu sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, pelanggaran serius terhadap Pasal 3 bersama empat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu, setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan 9

10 terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan di luar pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain: 1. kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya segala jenis pembunuhan, pemotongan anggota tubuh (mutilasi), perlakuan kejam dan penyiksaan; 2. melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan; 3. menyandera; 4. dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa didahului oleh putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang, yang memberikan seluruh jaminan hukum yang secara umum diakui sangat diperlukan. d. ketentuan ayat 2 (b) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya. e. pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, dalam kerangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu setiap perbuatan berikut ini: 1. secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap individu sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian; 2. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; 3. secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada orang-orang dan obyek-obyek sipil berdasarkan hukum konflik bersenjata; 4. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempattempat di mana orang-orang yang sakit dan terluka dikumpulkan, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut bukan sasaran militer; 5. menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai melalui kekerasan/serangan; 6. melakukan perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9, sterilisasi paksa, dan bentuk apa pun lain kekerasan seksual yang juga merupakan 10

11 pelanggaran serius terhadap pasal 3 bersama Jenewa; empat Konvensi 7. memberlakukan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau memanfaatkan mereka untuk ikut serta secara aktif dalam pertikaian; 8. memerintahkan perpindahan penduduk sipil dengan alasan yang berkaitan dengan sengketa, kecuali apabila keamanan orang-orang sipil tersebut terancam atau alasan militer yang amat penting menuntutnya; 9. membunuh atau melukai secara curang seorang lawan tempur; 10. menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal kepada tawanan; 11. menempatkan orang-orang yang berkuasa dari pihak lain dalam sengketa itu sebagai sasaran mutilasi/pemotongan anggota tubuh secara fisik atau percobaan medis atau suatu jenis percobaan ilmiah yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun tidak melaksanakan demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dari orang atau orang-orang tersebut; 12. menghancurkan atau merampas hak milik dari seorang lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut sangat dituntut oleh kebutuhan dari sengketa tersebut; f. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf e berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain dengan sifat yang sama. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata yang berlangsung dalam wilayah suatu negara apabila terjadi sengketa bersenjata yang berkelanjutan antara para pejabat pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau antara kelompok-kelompok semacam itu. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf c dan huruf e tidak boleh mempengaruhi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga atau memulihkan hukum dan ketertiban dalam negeri atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas wilayah negara dengan segala cara yang sah. BAB IV PRINSIP-PRINSIP YANG DAPAT DITERAPKAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA Bagian Satu 11

12 Hukum Yang Dapat Diterapkan Pasal 11 (1) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dilaksanakan dengan menerapkan: a. seluruh ketentuan dalam undang-undang ini, termasuk unsur-unsur tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam pasal 7. b. prinsip serta peraturan hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip hukum internasional mengenai sengketa bersenjata yang berlaku dalam hal undang-undang ini tidak mengatur secara jelas. c. prinsip-prinsip hukum umum yang sesuai dengan hukum-nasional dan sistem hukum internasional termasuk hukum nasional dari suatu Negara yang telah memeriksa dan memutus perbuatan yang sama dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius, dengan syarat bahwa prinsip-prinsip itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini, dengan hukum internasional serta norma dan standar yang diakui secara internasional. (2) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dapat menerapkan prinsip dan aturan hukum yang tertuang dalam putusan-putusan pengadilan internasional yang mempunyai yurisdiksi atas tindak pidana yang sama dengan yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (3) Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang diatur dalam undang-undang ini harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi. (4) Dalam hal terdapat perubahan dalam hukum yang dapat diterapkan kepada suatu kasus tertentu sebelum dijatuhkannya putusan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius yang berkekuatan hukum tetap, maka berlaku hukum yang lebih menguntungkan bagi orang yang sedang diselidiki, disidik, dituntut atau diperiksa. (5) Penerapan dan penafsiran hukum sebagaimana diatur dalam pasal ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan harus diterapkan tanpa pembedaan atas dasar seperti jender, umur, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan, etnis atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Bagian Kedua Tanggung Jawab Pidana Individual Pasal 12 12

13 (1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius baik secara sendiri-sendiri, bersama-sama dengan orang lain, atau melalui orang lain, bertanggung jawab secara individual dan dapat dipidana sesuai dengan undang-undang ini. (2) Ketentuan yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana individual sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak akan mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. Bagian Ketiga Permufakatan Jahat, Percobaan, dan Pembantuan Pasal 13 Setiap orang bertanggung jawab secara pidana atas suatu tindak pidana dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius, dalam hal orang tersebut: a. melakukan suatu kejahatan bersama-sama dengan orang lain atau melalui orang lain, tanpa memandang apakah orang lain itu bertanggung jawab secara pidana. b. memerintahkan, melakukan tindakan-tindakan tertentu atau menyebabkan dilakukannya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dalam kenyataan memang terjadi atau merupakan tindakan percobaan. c. membantu, bersekongkol atau membantu dilakukannya tindakan atau membantu dilakukannya tindakan percobaan untuk melakukan kejahatan, termasuk menyediakan sarana untuk melakukan tindak pidana tersebut. d. dengan cara lain apapun mendukung tindakan atau percobaan tindak pidana tersebut oleh sekelompok orang yang bertindak dengan tujuan yang sama. Dukungan tersebut harus secara sengaja dan harus merupakan salah satu dari : i. dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan tindak pidana atau tujuan pidana dari kelompok tersebut, dimana kegiatan atau tujuan tersebut mencakup perbuatan tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius ini; atau ii. dilakukan dengan pengetahuan tentang maksud dari kelompok tersebut untuk melakukan tindak pidana. e. mencoba melakukan kejahatan dengan tindakan yang memulai pelaksaannya dengan langkah-langkah yang menentukan, namun tindak pidana tersebut tidak terjadi karena keadaan yang tidak tergantung pada maksud orang tersebut. Seseorang yang menghentikan upaya untuk melakukan tindak pidana tersebut atau disamping itu menghentikan diselesaikannya tindak pidana tersebut, tidak dapat dipidana untuk melakukan tindakan percobaan 13

14 berdasarkan undang-undang ini jika orang tersebut sepenuhnya dan secara sukarela menghentikan tindak pidana tersebut. f. berkenaan dengan kejahatan genosida, secara langsung dan terbuka menghasut orang-orang lain untuk melakukan tindak pidana genosida. Bagian Keempat Unsur Mental Pasal 14 Setiap orang bertanggung jawab secara pidana dan dipidana untuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 4 apabila unsur materiil dilakukan dengan suatu maksud dan pengetahuan, kecuali ditentukan lain. Bagian Kelima Tanggung Jawab Komandan dan Atasan Lainnya Pasal 15 (1) Seorang komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh pasukan dibawah komando dan pengendaliannya, atau kekuasaan dan pengendalian yang efektif sebagaimana mungkin terjadi, sebagai suatu akibat dari kegagalannya untuk melakukan pengendalian yang semestinya atas pasukan tersebut, dimana: a. seorang komandan militer atau seseorang baik telah mengetahui atau, berdasarkan pada kondisi pada saat itu, seharusnya telah mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatankejahatan tersebut, dan b. seorang komandan militer atau seseorang gagal untuk mengambil tindakan yang semestinya dan layak dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan mereka, atau untuk menyerahkan hal tersebut kepada pihak berwenang untuk penyelidikan dan penuntutan. (2) Seorang atasan bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh bawahan-bawahan yang ada dalam kewenangan dan kendali efektifnya, sebagai suatu akibat dari kegagalannya untuk melakukan pengendalian secara layak terhadap bawahan-bawahan tersebut, dimana: a. atasan tersebut baik mengetahui ataupun secara sengaja mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan-bawahan 14

15 tersebut sedang, telah, atau baru saja melakukan atau akan melakukan kejahatan tersebut; b. kejahatan tersebut terkait dengan aktivitas-aktivitas yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian yang efektif dari atasan, dan c. atasan telah gagal untuk mengambil seluruh tindakan yang diperlukan dan layak atau semestinya dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan tindak kejahatan tersebut atau untuk menyerahkan hal tersebut kepada pihak berwenang untuk penyidikan dan penuntutan. Bagian Keenam Tidak Berlakunya Jabatan Resmi Pasal 16 (1) Setiap orang diperlakukan sama di hadapan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi. (2) Setiap orang yang menduduki suatu jabatan resmi sebagai seorang Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota suatu pemerintahan atau parlemen, atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan orang tersebut dari tanggung jawab pidana dalam undang-undang ini. (3) Jabatan resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dijadikan suatu alasan untuk mengurangi hukuman atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan. (4) Kekebalan atau peraturan khusus yang mungkin terkait dengan jabatan resmi dari seseorang, baik di bawah hukum nasional atau internasional, tidak menghalangi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk melaksanakan kewenangannya atas orang tersebut. Bagian Ketujuh Perintah Atasan Pasal 17 (1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan atas perintah suatu pemerintah atau seorang atasan, baik militer atau sipil, tidak membebaskan tanggung jawab pidana orang tersebut, kecuali dalam hal: a. Orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dari Pemerintah atau atasan yang bersangkutan; b. Orang tersebut tidak tahu bahwa perintah itu melawan hukum; dan 15

16 c. Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum. (2) Perintah untuk melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perintah yang melawan hukum. Bagian Kedelapan Kekeliruan Fakta atau Kekeliruan Penerapan Hukum Pasal 18 (1) Suatu kekeliruan fakta dapat dijadikan dasar untuk menghilangkan tanggung jawab pidana hanya bila kekeliruan fakta tersebut meniadakan unsur mental yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan tersebut. (2) Suatu kekeliruan penerapan hukum tentang apakah suatu jenis tindakan tertentu merupakan suatu tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius tidak boleh menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana. Suatu kekeliruan penerapan hukum hanya bisa menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana jika hal itu membuktikan tidak adanya unsur mental yang diperlukan oleh kejahatan yang dilakukan itu, atau sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14. Bagian Kesembilan Alasan Penghapusan Tanggung Jawab Pidana Pasal 19 (1) Setiap orang tidak bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7, dalam hal pada waktu perbuatan itu dilakukan, orang tersebut dalam keadaaan : a. menderita sakit ingatan atau cacat mental yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum; b. berada dalam keadaan keracunan yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai ketidakabsahan atau sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum, kecuali kalau orang tersebut telah meracunkan diri secara suka rela dibawah keadaan yang diketahui oleh orang tersebut, atau mengabaikan risiko, bahwa sebagai akibat dari keracunan tersebut, ia mungkin sekali melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius; c. melakukan tindakan secara masuk akal dan proporsional untuk membela dirinya sendiri atau orang lain atau, dalam hal kejahatan perang, hak milik 16

17 yang amat penting bagi kelangsungan hidup dari orang atau orang lain atau hak milik yang amat penting untuk memenuhi suatu misi militer, terhadap suatu penggunaan kekuatan yang tidak sah dan segera terjadi. d. melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 yang disebabkan oleh tekanan yang timbul dari ancaman kematian yang segera terjadi atau kerugian fisik secara serius yang berkelanjutan atau segera terjadi terhadap orang itu atau seseorang lain, dan orang itu bertindak seperlunya dan masuk akal untuk mengindari ancaman ini, dengan syarat bahwa orang itu tidak bermaksud menimbulkan suatu kerugian yang lebih besar daripada kerugian yang diupayakan untuk dihindari. (2) Majelis hakim dapat menetapkan alasan-alasan bagi penghapusan tanggung jawab pidana yang ditetapkan dalam undang-undang ini kepada perkara yang sedang diperiksanya. (1) Majelis hakim dapat mempertimbangkan alasan-alasan bagi penghapusan tangung jawab pidana selain dari alasan-alasan yang disebutkan dalam ayat (1) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bagian Kesepuluh Daluarsa Pasal 20 Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dalam undang-undang ini tidak tunduk pada setiap ketentuan mengenai daluarsa. Bagian Kesebelas Ne Bis In Idem Pasal 21 (1) Setiap orang tidak dapat diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk kedua kalinya dalam hal orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sebelumnya, kecuali ditentukan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (2) Setiap orang tidak boleh diperiksa dan diputus dalam suatu pengadilan lain untuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dimana orang tersebut telah dihukum atau dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (3) Setiap orang yang yang telah diperiksa dan diputuskan oleh suatu pengadilan lain untuk perbuatan yang juga dilarang berdasarkan undang-undang ini dapat 17

18 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius berkenaan dengan perbuatan yang sama, kecuali proses perkara dalam pengadilan lain itu: a. bertujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana untuk kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius; atau b. dilakukan secara tidak mandiri atau tidak memihak sesuai dengan normanorma mengenai proses pengadilan yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara atau keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memeriksa orang yang bersangkutan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. BAB V HUKUM ACARA Bagian Kesatu Umum Pasal 22 Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Bagian Kedua Penangkapan Pasal 23 (1) Komnas HAM sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga kuat terlibat melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan bukti yang cukup. (2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan. (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. 18

19 (4) Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik. (5) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. (6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan. Bagian Ketiga Paragraf 1 Penahanan Pasal 24 (1) Komnas HAM sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan. (2) Jaksa Agung sebagai penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penuntutan. (3) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. (4) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan mempersulit jalannya pemeriksaan, melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. (5) Tersangka atau terdakwa yang masih dalam status dinas aktif tidak dapat dikecualikan dari tindakan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Paragraf 2 Jangka Waktu Penahanan Pasal 25 (1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. 19

20 (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 26 (1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 27 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 28 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 29 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung. 20

21 Bagian Keempat Penyelidikan Paragraf 1 Komnas HAM Sebagai Penyelidik Pasal 30 (1) Penyelidikan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh Komnas HAM. (2) Penyelidikan dilakukan berdasarkan adanya dugaan telah terjadi tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. (3) Penyelidikan dapat dilakukan baik atas laporan, pengaduan, maupun atas inisiatif Komnas HAM sebagai penyelidik. (4) Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat. (5) Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan dalam lingkup proyustisia. Paragraf 2 Tim Penyelidik Ad Hoc Pasal 31 (1) Pembentukan tim penyelidik ad hoc merupakan kewenangan Komnas HAM. (2) Tim penyelidik ad hoc dibentuk melalui Surat Keputusan Ketua Komnas HAM berdasarkan keputusan rapat Sidang Paripurna Komnas HAM. (3) Tim penyelidik ad hoc terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan tim penyelidik ad hoc diatur dalam Peraturan Komnas HAM. Paragraf 3 Pengambilan Sumpah bagi Penyelidik Pasal 32 21

22 (1) Sebelum melaksanakan tugasnya sebagai penyelidik, penyelidik ad hoc wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agama atau kepercayaannya masingmasing dengan lafal sebagai berikut : Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apa pun kepada siapa pun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan. (2) Pengambilan sumpah atau janji penyelidik tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh Pimpinan Komnas HAM. Paragraf 4 Kewenangan Penyelidik Pasal 33 (1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 di atas, penyelidik berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, serta mencari keterangan dan barang bukti; b. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; c. mencari keterangan dan barang bukti; d. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab; (2) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa: 22

23 a. penangkapan, b. larangan meninggalkan tempat, c. penggeledahan dan penyitaan, d. pemeriksaan dan penyitaan surat, e. mengambil sidik jari, f. membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Paragraf 5 Laporan hasil penyelidikan Pasal 34 Penyelidikan Komnas HAM disampaikan dalam bentuk Laporan Penyelidikan yang sekurang-kurangnya memuat: a. bentuk-bentuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; b. lingkup penyelidikan; c. prosedur dan metoda yang digunakan dalam evaluasi bukti-bukti; d. nama-nama orang yang diduga terlibat dalam peristiwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; e. keterangan saksi, korban dan orang-orang yang diduga sebagai pelaku; f. catatan mengenai fakta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk penyelesaian perkara; g. gambaran kejadian-kejadian khusus secara rinci serta bukti-bukti yang mendasari hasil temuan; dan h. kesimpulan dan rekomendasi yang didasarkan pada hasil temuan, fakta berikut dasar-dasar hukumnya. Paragraf 6 Hasil Penyelidikan Pasal 35 Penyelidik menyerahkan laporan hasil penyelidikan yang telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius kepada penyidik guna ditindaklanjuti dengan penyidikan. 23

24 Bagian Kelima Penyidikan Paragraf 1 Penyidikan oleh Komnas HAM Pasal 36 (1) Penyidikan perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh Komnas HAM. (2) Dalam melakukan penyidikan Komnas HAM dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau unsur masyarakat. (3) Penyidik ad hoc dapat dipilih dari unsur masyarakat yang memiliki keahlian khusus. (4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Paragraf 2 Pemberitahuan Penyidikan Pasal 37 (1) Pada saat penyidik mulai melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, penyelidik memberitahukan hal itu kepada penuntut. (2) Pemberitahuan disampaikan kepada penuntut paling lambat 7 (tujuh) hari setelah rapat Sidang Paripurna Komnas HAM memutuskan dilakukannya penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. (3) Setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan, penuntut segera membentuk penuntut atau penuntut ad hoc. Paragraf 3 Kewenangan Upaya Paksa Pasal 38 (1) Dalam melaksanakan penyidikan, Komnas HAM dapat melakukan upaya paksa. (2) Kewenangan melakukan upaya paksa merupakan kewenangan yang melekat pada institusi Komnas HAM. 24

25 (3) Kewenangan upaya paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan Komnas HAM apabila : a. orang yang dipanggil untuk dimintakan keterangannya tidak memenuhi panggilan setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut; b. lembaga, pejabat atau pihak terkait tidak menyerahkan dokumendokumen, alat bukti atau benda lain yang terkait dengan peristiwa. (4) Dalam hal melakukan upaya paksa penyidik dapat meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 4 Jangka Waktu Penyidikan dan Hasil Penyidikan Pasal 39 (1) Penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai daerah hukumnya. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat penghentian penyidikan oleh penyidik. (5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan. (6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius berkedudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Paragraf 5 Penyerahan Berkas Hasil Penyidikan 25

26 Pasal 40 (1) Apabila pemeriksaan penyidikan telah selesai dan lengkap, penyidik menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum. (2) Berkas pemeriksaan di tingkat penyidikan tersebut mencakup: a. pembuktian terhadap unsur-unsur kejahatan yang termasuk dalam tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. b. analisis dari penyidik menyangkut uraian peristiwa, saksi, korban, tersangka. c. berkas dan berita acara sebagaimana diatur di dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Paragraf 6 Sumpah bagi penyidik Pasal 41 Sumpah Penyidik ad hoc lafalnya berbunyi sebagai berikut : Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serat mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hokum dan keadilan. Bagian Keenam Hasil Penyidikan 26

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 26/2000, PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA *12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 208, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999)

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 002/KOMNAS HAM/IX/2011 TENTANG PROSEDUR PELAKSANAAN PENYELIDIKAN PROYUSTISIA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

Lebih terperinci

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL STATUTA ROMA STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bahan TIMUS 23-06-04 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 16 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA http://welcome.to/rgs_mitra ; rgs@cbn. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.485,2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMNAS HAM. Surat Keterangan. Korban. Pelanggaran HAM Barat. Pemberian. Tata Cara. PERATURAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 001A/PER.KOMNAS

Lebih terperinci

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Artikel I. Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 Kekuasaan ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG

KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-225/A/J.A/05/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 35,2004 YUDIKATIF. KEHAKIMAN. HUKUM. PERADILAN. Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAFTAR ANOTASI Halaman 1. Sejak Rabu,

Lebih terperinci

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. a.bahwa dalam rangka

Lebih terperinci