BAB 1. PENDAHULUAN. dimana barang bukti yang diperiksa tersebut tidak mungkin dihadapkan di sidang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1. PENDAHULUAN. dimana barang bukti yang diperiksa tersebut tidak mungkin dihadapkan di sidang"

Transkripsi

1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam melakukan tugas dan profesinya, seorang dokter mempunyai tugas utama adalah menegakkan diagnosis medis bagi penderita untuk kemudian memberikan terapi yang tepat dan rasional dengan tujuan mengembalikan kondisi tubuh penderita tersebut sefisiologis mungkin. Terdapat pula tugas lain yang patut diperhatikan oleh setiap dokter dalam kaitan dengan pengabdian kepada masyarakat, yaitu membantu proses penegakan hukum dengan melakukan pemeriksaan dan perawatan korban sebagai akibat suatu tindak pidana, baik korban hidup maupun korban mati, juga pemeriksaan terhadap barang bukti lain yang diduga berasal dari tubuh manusia. Untuk melaksanakan tugas tersebut maka pihak yang berwenang (penyidik) akan menyertainya dengan surat permintaan visum et repertum (SPVR), dengan demikian maka dokter akan melaporkan hasil pemeriksaannya secara tertulis kepada pihak peminta visum et repertum tersebut. Hasil dari pemeriksaan secara tertulis tersebut dituangkan dalam bentuk surat keterangan ahli yang lazim disebut visum et repertum. Pembuatan visum et repertum dimaksudkan sebagai ganti barang bukti, dimana barang bukti yang diperiksa tersebut tidak mungkin dihadapkan di sidang pengadilan dalam keadaan sebagaimana adanya. Hal ini dimungkinkan karena barang bukti tersebut yang ada hubungannya dengan tubuh manusia (misalnya: luka, mayat, atau bagian tubuh lainnya) segera akan berubah menjadi sembuh atau membusuk. Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan 1

2 penuntut umum, oleh karena pembuktian merupakan bagian dari proses peradilan pidana, maka tata cara pembuktian tersebut terikat pada Hukum Acara Pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun Dalam pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dari bunyi pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 kiranya dapat dipahami bahwa pemidanaan baru boleh dijatuhkan oleh hakim apabila: 1. Terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah 2. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana 3. Dan perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat 1, Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 adalah: 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Keterangan terdakwa 5. Petunjuk Menurut pendapat dr. Tjan Han Tjong visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan corpus delicti. Dalam perkara pidana yang lain dimana tanda buktinya (corpus delicti) merupakan suatu benda (tidak bernyawa) misalnya senjata tajam/api yang dipakai untuk melakukan suatu tindak pidana, barang hasil curian/penggelapan, mata uang yang dipalsukan dan lain-lain pada umumnya selalu 2

3 dapat diajukan di muka sidang pengadilan sebagai barang/tanda bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan corpus delicti yang berupa tubuh manusia, oleh karena misalnya luka-luka pada tubuh seseorang akan selalu berubah-ubah yaitu mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjadi busuk dan dikubur, jadi kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan, maka oleh karenanya corpus delicti yang demikian itu tidak mungkin disediakan/diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti oleh visum et repertum. Inti dari suatu visum et repertum pada dasarnya terletak pada bagian kesimpulan karena di dalamnya terdapat jenis luka, kekerasan luka, dan kualifikasi luka. Dalam proses peradilan, jenis luka dan kekerasan luka membuktikan adanya "peristiwa hukum", sedangkan kualifikasi luka mampu menggambarkan "akibat hukum" suatu kecederaan. Kualifikasi luka dapat membantu penegak hukum untuk menjatuhkan keputusan hukum, kualifikasi luka ini dapat berdasarkan: 1. KUHP pasal 352 yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian (sebagai penganiayaan ringan). 2. KUHP pasal 351 ayat 1 yaitu penganiayaan yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian. 3. KUHP pasal 351 ayat 2 yaitu penganiayaan yang menimbulkan luka berat. 1.2 Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari refrat ini adalah mengetahui tentang visum et repertum pada korban hidup sekaligus tentang kualifikasi luka Tujuan Khusus 1. Mengetahui tentang visum et repertum 2. Mengetahui tentang visum et repertum pada korban hidup 3. Mengetahui tentang kualifikasi luka 3

4 4. Mengetahui dasar-dasar hukum atau undang-undang yang bersangkutan dengan visum et repertum 1.3 Permasalahan 1. Pengertian visum et repertum 2. Landasan hukum visum et repertum 3. Bentuk dan susunan visum et repertum 4. Macam-macam visum et repertum korban hidup 5. Landasan hukum kualifikasi luka 6. Pembagian kualifikasi luka 4

5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Visum et Repertum Definisi Visum Et Repertum Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran forensik atau dokter bukan ahli kedokteran forensik. Keterangan ini dibuat dalam bentuk tulisan yang dahulu dikenal sebagai Visum et Repertum yang berisi tentang seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana. Menurut dr. Abdul Mun im Idries, Sp.F, pengertian Visum et Repertum (VR) secara hukum adalah (Idries, 1997): 1. Laporan dari ahli untuk pengadilan, khususnya dari pemeriksaan oleh dokter, dan di dalam perkara pidana 2. Surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah/janji (jabatan/khusus), tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya 3. Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan. Dalam kamus hukum tahun 1972 (oleh Prof. Subekti, SH dan Tjirosudibio), V.e.R adalah suatu surat keterangan seorang dokter yang memuat kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seseorang untuk menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan mana diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat didefinisikan visum et repertum sebagai laporan tertulis untuk yustisi yang dibuat oleh dokter atas sumpah tentang segala sesuatu yang diamati (terutama yang dilihat dan ditemukan) pada 5

6 benda yang diperiksa. (Visum=dilihat, Repertum=ditemukan). Istilah Visum et Repertum ini dapat ditemukan dalam lembaran Negara tahun 1937 Nomor : 350 Pasal I yang terjemahannya : Visa et Reperta pada dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Negeri Belanda atau Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti tercantum dalam pasal 2, mempunyai daya bukti yang sah dalam perkara pidana selama Visa et Reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal-hal yang diamati oleh dokter itu pada benda-benda yang diperiksa. (Anonim, 2006) Dengan berlakunya KUHAP maka Lembaran Negara tahun 1937 Nomor 350 ini seharusnya dicabut. Namun karena isi Lembaran Negara tersebut tidak bertentangan dengan KUHAP sedang istilah Visum et Repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, maka Menteri Kehakiman dalam peraturan Nomor: M.04.UM tahun 1983 pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik disebut Visum et Repertum. Oleh karena itu keterangan ahli/keterangan hasil pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik seperti dimaksud KUHAP tidak lain adalah Visum et Repertum Dasar Hukum Dari Visum Et Repertum Visum et Repertum merupakan pengganti sepenuhnya barang bukti yang diperiksa, maka oleh karenanya pula Visum et Repertum pada hakekatnya adalah menjadi alat bukti yang sah. Baik di dalam kitab hukum acara pidana yang lama, yaitu RIB maupun kitab hukum acara pidana (KUHAP) tidak ada satu pasalpun yang memuat perkataan Visum et Repetum. Hanya di dalam lembaran negara tahun 1973 no 350 pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkaraperkara pidana. Didalam KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk keterangan ahli, pendapat 6

7 orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP: pasal 187 butir c). Bila kita lihat perihal apa yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah menurut KUHAP pasal 184 ayat 1 yaitu: 1. Keterangan saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan Terdakwa Maka visum et repertum dapat dikatakan sebagai keterangan ahli maupun sebagai surat. Hal ini tercantum dalam Pasal 186 Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli katakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. (Idries, 1997). Di dalam penjelasan pasal 186 diterangkan bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Pasal 187 Visum et Repertum dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: 7

8 a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal sesuatu keadaan yang diminta secara resmi padanya. d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain Tujuan Visum Et Repertum Tugas seorang dokter dalam bidang Ilmu Kedoteran Forensik adalah membantu para petugas kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana yang behubungan dengan pengrusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan dalam pemberitaan dari Visum et Repertum itu harus sesungguh-sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu pemeriksaan, dan demikian Visum et Repertum merupakan kesaksian tertulis. Visum et Repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga daripadanya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. 8

9 Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana yang tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu proses perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang dalam bagian pemberitaan sehingga dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksan medik tersebut yang tertuang dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dapat diketahui dengan jelas apa yang terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh atau jiwa manusia. (Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997) Macam-macam Visum et Repertum 1. Visum et repertum korban hidup a. Visum et Repertum Diberikan bila korban setelah diperiksa atau diobati, tidak terhalang menjalankn jabatan/ mata pencaharian. b. Visum et Repertum sementara Diberikan apabila setelah diperiksa, ternyata: - Korban perlu dirawat/ diobservasi - Korban terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian Visum et repertum sementara ini dipergunakan sebagai bukti untuk menahan terdakwa. Dan karena belum sembuh, maka visum et repertumnya tidak memuat kualifikasi luka. c. Visum et Repertum lanjutan Diberikan apabila setelah dirawat/ diobservasi, ternyata: - Korban sembuh 9

10 - Korban belum sembuh, pindah rumah sakit atau dokter lain - Korban belum sembuh, kemudian pulang paksa atau melarikan diri - Korban meninggal dunia Kualifikasi luka dalam visum et repertum lanjutan dibuat setelah korban selesai dirawat. 2. Visum et repertum mayat 3. Visum et repertum pemeriksaan TKP 4. Visum et repertum penggalian mayat 5. Visum et repertum mengenai umur 6. Visum et repertum psikiatrik 7. Visum et repertum mengenai bukti lain (Hoediyanto, 2007; Mabes Polri, 1985) Yang Berhak Meminta Visum et Repertum adalah: 1. Penyidik Landasan hukum: Pasal 6 KUHAP (1) Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 7 KUHAP (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; Pasal 120 KUHAP 10

11 (1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Pasal 133 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Penyidik adalah polri dengan pangkat serendah-rendahnya AIPDA (ajudan inspektur dua), namun di daerah terpencil mungkin saja seorang polisi berpangkat BRIPDA dapat diberi wewenang sebagai penyidik,oleh karena di daerah tersebut tidak ada yang pangkatnya lebih tinggi. 2. Penyidik pembantu Landasan hukum: Pasal 1 KUHAP (3) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 10 KUHAP (1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini. Pasal 11 KUHAP 11

12 Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah BRIPDA (Brigadir Dua). 3. HakimPidana Landasan hukum: Pasal 180 (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Hakim pidana biasanya tidak langsung meminta visum et repertum pada dokter, akan tetapi hakim dapat memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dengan vsum et repertum, kemudian jaksa melipahkan pemberitaan hakim kepada penyidik. 4. Hakim Perdata Hakim perdata berwenang meminta visum et repertum. Hal ini diatur dalam HIR (Herziene Inlands Reglement). Hal ini dikarenakan disidang pengadilan perdata tidak ada jaksa, maka hakim perdata dapat langsung meminta visum et repertum kepada dokter. 5. Hakim Agama Bahwa hakim agama boleh meminta visum et repertum telah diatur dalam undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok 12

13 kekuasaan kehakiman Pasal 10. Hakim agama hanya mengadili perkara yang menyangkut agama Islam. (Hoediyanto, 2007; Mabes Polri, 1985) Yang Berhak Menbuat Visum et Repertum adalah: Pasal 120 KUHAP (1)Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Pasal 133 KUHAP (1)Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Pasal 1 KUHAP (28)Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seperti yang tercantum dalam pasal-pasal di atas, telah ditentukan bahwa yang berhak membuat visum et repertum adalah: 1. Ahli kedokteran kehakiman 2. Dokter atau ahli lainnya (Hoediyanto, 2007) Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum Hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu mengajukan permintaan visum et repertum untuk korban hidup adalah: 1. Permintaan harus diajukan secara tertulis (KUHAP Pasal 133(3)). Tidak dibenarkan meminta secara lisan, melalui telepon atau melalui pos. 13

14 a. Di sudut kiri atas dicantumkan alamat pemohon visum et repertum. b. Di sudut kanan atas dijelaskan kepada siapa permintaan visum et repertum tersebut ditujukan. Surat permintaan visum et repertum tersebut dapat dialamatkan kepada pimpinan Rumah Sakit atau dokter yang dikehendaki pemohon. c. Keterangan tentang identitas korban dengan menyebutkan nama, jenis kelamin, umur, kebangsaan, agama, alamat, dan pekerjaan. d. Keterangan tentang peristiwa yang dialami korban seperti kejahatan kesusilaan, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, dan sebagainya. e. Permintaan pengobatan dan perawatan korban. f. Harap dilaporkan kepada pihak pemohon visum et repertum bila korban sembuh, pindah rumah sakit lain, pulang paksa, melarikan diri atau meninggal. g. Kolom untuk keterangan lain. h. Keterangan tentang identitas pemohon visum et repertum dilengkapi dengan tanda tangan dan cap dinas di sudut kanan bawah. i. Keterangan tentang identitas penerima visum et repertum disertai tanda tangan, tanggal dan jam di sudut kiri bawah. 2. Korban adalah barang bukti, maka surat permintaan visum et repertum harus diserahkan sendiri oleh polisi bersama-sama korban kepada dokter. 3. Tidak dibenarkan mengajukan surat permintaan visum et repertum tentang peristiwa yang telah lampau mengingat rahasia kedokteran (Instruksi Kapolri No.Inst/E/20/IX/75). Pasal 170 KUHAP (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. (Hoediyanto, 2007; Atmodirono, 1980; Ranoemihardja, 1991) 14

15 2.2 Kualifikasi Luka Pengertian Luka Suatu luka dapat didefinisikan sebagai rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh suatu trauma. Ada bermacam-macam penyebab luka, yaitu yang disebabkan oleh tembakan, aliran listrik, persentuhan dengan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia, dan sebagainya. Dalam menyelesaikan suatu perkara terutama suatu tindak pidana, tidak jarang penyidik membutuhkan bantuan dari para ahli dalam bidang pengetahuan masingmasing. Bilamana bantuan ini berhubungan dengan bidang kedokteran, maka sudah selayaknya bahwa yang diminta bantuan adalah seorang dokter. Salah satu peranan seorang dokter adalah ikut menegakkan dan membela kebenaran serta keadilan yang diwujudkan dalam bentuk visum et repertum. Tidak jarang dokter dihadapkan untuk ikut memeriksa korban yang menderita luka atas permintaan penyidik Landasan Hukum Kualifikasi Luka Pada kesimpulan visum et repertum untuk orang atau korban hidup, yaitu pada visum et repertum lanjutan, harus dilengkapi dengan kualifikasi luka. Dalam proses peradilan, jenis luka dan kekerasan luka membuktikan adanya Peristiwa hukum, sedangkan kualifikasi luka mampu menggambarkan akibat hukum sesuatu kecederaan. Kualifikasi luka ini akan memudahkan hakim untuk menjatuhkan pidana. Pasal 351 : (1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp ,- (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, si tersalah dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. (KUHP 90). (3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun (KUHP 358). (4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. 15

16 (5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. (KUHP 37, 53, 184 s, 353 s, 356, 487) Pasal 352 KUHP (1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp ,- hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya. (2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. Pasal 353 KUHP (1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. (2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. (3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selamalamanya sembilan tahun. Pasal 354 KUHP (1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya sepuluh tahun. Pasal 355 KUHP (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 90 KUHP 16

17 Yang dikatakan luka berat pada tubuh yaitu : KUHP 184, 213 s, 288, 306, 333 s, 358, 360, 365, 495 s. Dari pasal-pasal KUHP di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu tindak pidana penganiayaan itu mengakibatkan : I. Luka dengan derajat luka atau kualifikasi luka sebagai berikut : 1. Luka derajat pertama (Luka golongan C) ialah : Luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan menjalankan jabatan atau pekerjaan pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan). 2. Luka derajat kedua (Luka golongan B) ialah : Luka yang berakibat penyakit atau halangan menjalankan jabatan atau pekerjaan untuk sementara waktu pasal 351 (1) KUHP (penganiayaan). 3. Luka derajat ketiga (Luka golongan A) ialah : Luka yang menyebabkan rintangan/halangan tetap dalam menjalankan jabatan, pekerjaan atau pencaharian. -- pasal 351 (2), 353 (2), 354 (1), dan pasal 90 KUHP (penganiayaan yang mengakibatkan Luka Berat = Zwaarlichamelijk letsel) Pembagian kualifikasi luka Dalam menyelesaikan suatu perkara terutama suatu tindak pidana, tidak jarang penyidik membutuhkan bantuan dari para ahli dalam bidang pengetahuan masing-masing. Bilamana bantuan ini berhubungan dengan bidang kedokteran, maka sudah selayaknya bahwa yang diminta bantuan adalah seorang dokter. Salah satu peranan seorang dokter adalah ikut menegakkan dan membela kebenaran serta keadilan yang diwujudkan dalam bentuk visum et repertum. Tidak jarang dokter dihadapkan untuk ikut memeriksa korban yang menderita luka atas permintaan penyidik. Suatu luka dapat didefinisikan sebagai rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh suatu trauma. Ada bermacam-macam penyebab luka, yaitu yang disebabkan oleh tembakan, aliran listrik, persentuhan dengan benda tumpul, benda tajam, bahan kimia, dan sebagainya. 17

18 Pada kesimpulan visum et repertum untuk orang atau korban hidup, yaitu pada visum et repertum lanjutan, harus dilengkapi dengan kualifikasi luka. Dalam proses peradilan, jenis luka dan kekerasan luka membuktikan adanya Peristiwa hukum, sedangkan kualifikasi luka mampu menggambarkan akibat hukum sesuatu kecederaan. Kualifikasi luka ini akan memudahkan hakim untuk menjatuhkan pidana. Kualifikasi luka ini dapat didasarkan pada: 1. Luka derajat pertama (luka golongan C), pada KUHP pasal 352 yaitu: Luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian (penganiayaan ringan). 2. Luka derajat kedua (luka golongan B), pada KUHP pasal 351 ayat 1 yaitu: Luka yang berakibat penyakit atau halangan untuk sementara waktu (penganiayaan). 3. Luka derajat ketiga (luka golongan A), pada pasal 351 (2), 353 (2), 354 (1), jo pasal 90 KUHP yaitu: Luka yang menyebabkan rintangan/halangan menjalankan jabatan, pekerjaan atau pencaharian (penganiayaan yang menimbulkan luka berat Zwaar Lichamelijk Letsel). Yang harus diperhatikan ialah: a. Jenis luka apa yang terjadi b. Jenis senjata apa yang menyebabkan terjadinya luka itu c. Kualifikasi dari pada luka itu. Dari pasal-pasal dalam KUHP tentang penganiayaan merupakan istilah hukum yang tidak dikenal dalam istilah kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya menimbulkan luka, maka dalam kesimpulan visum et repertum kata penganiayaan diganti dengan kata LUKA. Di dalam KUHP tidak disebutkan 18

19 kriteria luka sedang dan ringan. Tetapi untuk luka berat menurut KUHP pasal 90, maka luka berat meliputi: 1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut. 2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian. 3. Kehilangan salah satu panca indera. 4. Mendapat cacat berat. 5. Menderita sakit lumpuh. 6. Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih. 7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberikan harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut. Bahaya maut disini haruslah ditinjau dari keadaan penderita pada waktu diperiksa untuk pertama kali, dan keadaan setelah perawatan. Misalnya: seseorang tertusuk pisau diperutnya sehingga ususnya keluar. Keadaan ini menimbulkan bahaya maut. Bila setelah dirawat (operasi) kemudian sembuh, haruslah tetap dianggap luka yang menimbulkan bahaya maut. 2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian. Misalnya: seorang pianis professional mengalami luka pada jari-jarinya, dan setelah sembuh terjadi ankilosis sendi-sendi tangan dan jarinya, sehingga dia tidak lagi biasa memainkan piano dengan baik. 3. Kehilangan salah satu panca indera. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa panca indera manusia terdiri dari: penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecap. Kehilangan salah satu panca indera misalnya karena lukanya menyebabkan sebelah matanya buta. Satu mata buta sudah termasuk kehilangan salah satu panca inderanya, walaupun 19

20 mata yang satunya masih dapat berfungsi dengan baik. Sebaliknya kehilangan daun telinga tidak termasuk dalam kategori ini. 4. Cacat berat. Misalnya: kehilangan salah satu lengan atau tungkai, wajah menjadi rusak karena disiram air keras atau dibakar. Gigi rontok tidak termasuk dalam kategori ini. Untuk menambah pengetahuan sejauh mana pihak Asuransi Jasa Raharja memberi ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalu lintas, berikut PP No.18 tahun 1965 tentang ketentuan-ketentuan pelaksanaan dalam kecelakaan lalu lintas jalan pasal 10 ayat Dalam hal cacat tetap yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b pasal ini, pembayaran dana dihitung menurut daftar dan ketentuan-ketentuan perhitungan lebih lanjut sebagai berikut: Bagian cacat Kanan Kiri - Dua lengan atau dua kaki 100% 100% - Satu lengan dan satu kaki 100% 100% - Penglihatan dari kedua mata 100% 100% - Akal budi seluruhnya dan tidak dapat sembuh yang menyebabkan tidak dapat melakukan suatu pekerjaan 100% 100% - Lengan dari sendi bahu 70% 60% - Lengan dari atau diatas sendi siku 65% 55% - Tangan dari atau diatas sendi pergelangan tangan 60% 50% - Satu kaki 50% 50% - Penglihatan dari satu mata 30% 30% - Ibu jari tangan 25% 20% - Telunjuk tangan 15% 10% - Kelingking tangan 10% 5% - Jari tengah atau jari manis tangan 10% 5% - Tiap-tiap jari kaki 5% 5% 5. Menderita Lumpuh. Luka yang diderita korban, menyebabkan kelumpuhan. Misalnya: korban menderita trauma di collumna vertebralis yang akhirnya mengalami kelumpuhan. 6. Terganggu kekuatan akal selama 4 minggu atau lebih. 20

21 Jika karena suatu trauma kepala akibat kecelakaan, seorang korban dapat menderita amnesia atau aphasia sensorik atau motorik selama waktu 4 minggu atau lebih. Yang menjadi persoalan jika timbulnya gangguan jiwa ini jauh setelah peristiwa dan yang bersalah telah dijatuhi pidana. Tentunya pidana yang telah dijatuhkan lebih ringan dari semestinya. Sekali pidana telah dijatuhkan oleh hakim, tidak bisa diulang disidang pengadilan. Sesuai dengan Nebis in idem pasal 76 KUHP, tetapi dalam perkara perdata bukan merupakan halangan untuk menuntut ganti rugi. 7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Yang dimaksud disini adalah jika oleh karena suatu ruda paksa terhadap seorang perempuan (yang hamil), baik disengaja ataupun tidak mengakibatkan perempuan tersebut mengalami keguguran atau matinya kendungan. Ini harus dibedakan dengan penguguran, yang dalam KUHP pasal 346, 347 dan 348 diartikan sebagai: sengaja menggugurkan kandungan yang dilakukan perempuan itu sendiri atau orang lain atas permintaan perempuan itu sendiri atau orang lain dengan atau tanpa persetujuannya. Dalam kualifikasi luka tersebut diatas dapat dijumpai istilah pekerjaan jabatan dan pekerjaan pencaharian. Siapa yang mempunyai pekerjaan jabatan, ditentukan dalam pasal 92 KUHP, antara lain semua anggota angkatan perang, pegawai negeri. Sedangkan yang mempunyai pekerjaan pencaharian ialah karyawan atau orang dengan profesi tertentu. Yang harus diperhatikan pada kualifikasi luka ialah: 1. Keadaan luka pada tubuh korban, apakah: - Luka itu sudah sembuh - Luka itu belum sembuh, namun korban tidak perlu dirawat lebih lanjut dirumah sakit. - Korban perlu diobservasi dirumah sakit sebelum dapat ditemukan kualifikasi lukanya. 2. Pekerjaan korban, apakah: 21

22 - Korban mempunyai tugas jabatan seperti pegawai negeri. - Korban mempunyai pekerjaan pencaharian seperti karyawan. - Korban tidak mempunyai pekerjaan seperti ibu rumah tangga Tujuan dan Manfaat Kualifikasi Luka Untuk menjawab jenis tindak pidana yang terjadi, perlu dijelaskan dalam kesimpulan VeR tentang jenis luka pada korban. Secara morfologis suatu luka dapat memiliki karakteristik tertentu sehingga deskripsi jenis luka dapat diasosiasikan dengan benda penyebabnya, besarnya energi pada jaringan, dan konsekuensinya pada korban. Luka dengan jenis kekerasan mekanik, misalnya deskripsi luka lecet yang terdiri dari luka lecet gores, luka lecet geser, atau luka lecet tekan, dengan bentuk tertentu dapat memberi gambaran benda penyebabnya. Selain itu, arah luka lecet juga perlu dicantumkan untuk memberi petunjuk terhadap arah kekerasan yang terjadi. Sedangkan pada memar, warna, dan luas luka dapat memberi petunjuk mengenai waktu dan besar kekerasan yang terjadi. Sehingga kualifikasi luka bermanfaat dalam membantu penegak hukum untuk menjatuhkan keputusan hukum. 22

23 BAB 3. PEMBAHASAN 3.1 Visum et Repertum Korban Hidup Bentuk dan susunan visum et repertum korban hidup Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah warisan para tokoh kedokteran kehakiman FK Unair/RSU dr. Soetomo Surabaya, yaitu: Prof. H. Muller, Prof. Mas Soetejo, dan Prof. Soetomo Tjokronegoro, ketiganya telah almarhum. Bentuk visum et repertum yang telah diatur oleh pemerintah adalah visum et repertum psikiatrik, yang tidak banyak berbeda dengan bentuk visum et repertum diatas (Hoediyanto, 2005). BAGIAN-BAGIAN VISUM ET REPERTUM 1. PRO JUSTISIA Kata ini dicantumkan di sudut kiri atas, dan dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai. 2. PENDAHULUAN Bagian ini memuat antara lain: a. Identitas pemohon visum et repertum b. Identitas dokter yang memeriksa/membuat visum et repertum c. Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya) d. Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan e. Identitas korban f. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana korban dirawat, dan waktu korban meninggal dunia. 23

24 g. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan atau mengantar korban pada dokter dan waktu saat korban diterima di rumah sakit 3. PEMBERITAAN Yang dimaksud dalam bagian ini ialah: a. Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, berupa umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, serta keadaan umumnya b. Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban c. Tindakan-tindakan atau operasi yang telah dilakukan d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter lain. Di dalam bagian ini memakai bahasa Indonesia sedemikian rupa sehingga orang awam (bukan dokter) dapat mengerti, hanya kalau perlu disertai istilah kedokteran/asing di belakangnya dalam kurung. Angka harus ditulis dalam huruf, misalnya 4 cm ditulis empat sentimeter. Tidak dibenarkan menulis diagnosa luka, misalnya luka bacok, luka tembak, luka harus dilukiskan dengan kata (to describe, beschrijven). Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai apa yang diamati, terutama apa yang dilihat dan ditemukan pada korban/benda oleh dokter. 4. KESIMPULAN Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa, mengenai hasil pemeriksaan sesuai dengan pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Seseorang melakukan pengmatan dengan kelima panca indera (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan). 5. PENUTUP Memuat kata Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan. Diakhiri dengan tanda tangan, nama lengkap/nip dokter. Yang dimaksud dengan sumpah adalah: - Untuk dokter pemerintah: sumpah pegawai negeri 24

25 - Untuk dokter swasta: sumpah lafal dokter yang diucapkan pada waktu dilantik jadi dokter - Untuk ahli lain: sumpah pegawai negeri atau disumpah khusus Di samping hal-hal tersebut di atas perlulah diketahui pula: - Dalam pemberitaan tidak boleh ditulis apa yang diketahui dokter dari orang lain. - Kesimpulan bersifat subjektif, dan jika dalam keraguan harus berpegang pada asas in dubio pro rea. - Visum et repertum dibuat sejujur-jujurnya, bila sengaja menyimpang dapat dituntut karena memberi keterangan palsu berdasarkan pasal 242 KUHP. (Hoediyanto, 2005) Macam-macam Visum et Repertum Korban Hidup Selama ini orang mengenal istilah visum et repertum pada bedah mayat, padahal pasien korban perlukaan dan keracunan pun berhak mendapatkan prosedur ini kalau memang laporan medisnya dijadikan bahan pemeriksaan secara hukum. Yang menjadi pusat pelayanan pertama pada korban, umumnya untuk korban hidup adalah ruang Instalasi Gawat Darurat (IRD). Dari seluruh kasus yang ditangani IRD Rumah Sakit, sekitar 50-70% merupakan kasus perlukaan dan keracunan dan kasus kasus itu berupa forensik klinik. Saat datang berobat atau beberapa hari sesudah kejadian, pasien dilengkapi dengan surat permintaan visum et repertum dari penyidik untuk rumah sakit. Macam-macam visum et repertum korban hidup melipiti : 1. visum et repertum luka 2. visum et repertum sementara 3. visum et repertum lanjutan 1. Visum et repertum luka Diberikan bila korban setelah diperiksa/diobati, tidak terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian (Apuranto, Hariadi dan Hoediyanto, 2006). Dengan demikian dapat dikatakan visum et repertum luka diberikan bila korban tidak 25

26 memerlukan perawatan lebih lanjut (Atmodirono, Haroen dan Atmodirono, Anna Haroen, 1980). Dalam visum et repertum ini pada kesimpulannya digolongkan pada luka kualifikasi C (sesuai dengan penganiayaan ringan). Tetapi dalam visum et repertum, dokter sama sekali tidak boleh menulis kata penganiayaan dalam kesimpulannya, karena istilah penganiayaan adalah istilah hukum (Atmodirono, Haroen dan Atmodirono, Anna Haroen, 1980). 2. Visum et Repertum Sementara Diberikan apabila setelah diperiksa ternyata korban perlu perawatan lebih lanjut baik di rumah sakit ataupun di rumah, dan atau korban terhalang menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian (Apuranto, Hariadi dan Hoediyanto, 2006). Jadi, bila seseorang masih dipandang perlu oleh dokter untuk mendapatkan pengawasan, maka dibuatlah visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara dapat digunakan sebagai bukti untuk menahan terdakwa (Atmodirono, Haroen dan Atmodirono, Anna Haroen, 1980). Jadi dengan menggunakan visum et repertum sementara, seseorang yang telah melakukan penganiayaan sehingga menyebabkan luka yang membuat korban terhalang untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian dapat ditahan. Pada kesimpulan visum et repertum sementara tidak mencantumkan kualifikasi luka, karena masih dalam pengobatan atau perawatan belum selesai (Atmodirono, Haroen dan Atmodirono, Anna Haroen, 1980). 3. Visum et Repertum Lanjutan Diberikan apabila setelah korban dirawat/diobservasi ternyata korban sembuh, meninggal, pindah rumah sakit, atau pindah dokter. Dalam visum ini dimuat kualifikasi luka setelah korban dirawat. Bila ternyata korban meninggal maka dibuat visum et repertum jenazah Tata Cara Pembuatan Visum et Repertum Korban Hidup Petunjuk pembuatan Visum et Repertum Korban Hidup adalah sebagai berikut: 26

27 A. Petunjuk Umum 1. Karena untuk kepentingan penegakan hukum, maka Visum et Repertum dibuat degan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh penegak hukum. 2. Isi harus relevan dengan maksud dan tujuan dimintakannya keterangan tersebut, yaitu untuk membuat terang perkara pidana, dan harus mampu menjawab masalah yang dihadapi penegak hukum dalam proses peradilan perkara pidana. 3. Memenuhi persyaratan formal, yaitu dibuat dengan sumpah atau janji yang diucapkan di depan penegak hukum atau dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan. B. Petunjuk membuat diskripsi luka Diskripsi luka harus seobjektif mungkin, meliputi : 1. Jumlah luka 2. lokasi luka, meliputi : a. lokasi berdasarkan regio anatominya. b. Lokasi berdasarkan garis garis koordinat atau bagian-bagian tubuh tertentu. 3. Bentuk luka, meliputi : a. Bentuk sebelum dirapatkan b. Bentuk setelah dirapatkan 4. Ukuran luka, meliputi : a. Ukuran sebelum dirapatkan b. Ukuran setelah dirapatkan 5. Sifat-sifat luka, yaitu : a. Garis batas luka - Bentuk (teratur atau tidak teratur) - Tepi (rata atau tidak) - Sudut luka (ada atau tidak, jumlahnya berapa dan bentuknya runcing atau tidak) 27

28 b. Daerah di dalam garis batas luka, meliputi : - Tepi luka (rata atau tidak serta terdiri dari jaringan apa saja) - Antara kedua tebing ada jembatan jaringan atau tidak - Dasar luka (terdiri atas jaringan apa, warnanya, perabaannya, ada apa saja di atasnya. c. Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi : - Memar (ada atau tidak) - Tatoase (ada atau tidak) - Jelaga (ada atau tidak) - Bekuan darah (ada atau tidak) - Lain-lain (ada atau tidak) C. Petunjuk pembuatan kesimpulan Kesimpulan harus memuat : 1. Jenis luka /kelainan yang ditemukan 2. Jenis benda penyebabnya 3. Bagaimana cara benda itu menimbulkan luka/kelainan 4. Apa akibatnya dan derajat lukanya. Cara menyatakan derajat luka pada kesimpulan : 1. Luka derajat I ( luka yang tidak menimbulkan penyakit, atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pekerjaan mata pencaharian) Contoh: Pada laki-laki yang berumur tujuh belas tahun ini didapatkan luka-luka lecet dan memar akibat benda tumpul. Luka-luka tersebut tidak berakibat penyakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan. 2. Luka derajat II ( luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan jabatan atau pencaharian untuk sementara waktu) Contoh: Pada laki-laki berumur sekitar dua puluh satu tahun ini didapatkan adanya luka memar dan luka terbuka akibat kekerasan benda tumpul. Luka-luka tersebut mengakibatkan penyakit atau halangan melakukan jabatan atau pekerjaan selama dua minggu. 28

29 3. Luka derajat III (luka berat, atau yanmg mengancam jiwa) Contoh: Pada perempuan yang berumur sekitar dua puluh lima tahun ini didapatkan luka-luka lecet, memar serta robeknya jaringan limpa. Luka-luka tersebut selain mendatangkan bahaya maut juga tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna. (Idries,2002) Pokok-pokok isi kesimpulan Visum Et Repertum yang berhubungan dengan kualifikasi luka adalah sebagai berikut: 1. Kasus tindak pidana dengan korban hidup (V et R) Pokok-pokok isi kesimpulan Contoh bunyi kesimpulan pada VR 1. Jenis luka/kelainan yang ditemukan Telah diperiksa seorang wanita, umur 25 tahun. Ditemukan sebuah luka oleh senjata tajam yang 2. Bagaimana cara benda itu dibacokkan ke kepalanya sehingga menimbulkan luka / kelainan mengakibatkan kerusakan pada otak. Sebab 3. Apa akibatnya atau derajat lukanya kematian karena rusaknya otak tersebut 2. Cara menyatakan derajat luka pada bagian kesimpulan a. Luka ringan Definisi Luka Ringan Contoh cara menulis kesimpulan Luka yang tidak menimbulkan 1. Pada dahi orang tersebut ditemukan memar penyakit atau halangan dalam akibat persentuhan dengan benda tumpul yang menjalankan pekerjaan tidak menimbulkan penyakit atau halangan jabatan atau pekerjaan menjalankan pekerjaan mata pencahariannya pencahariannya sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, petani, pedagang, dll 2. Pada orang tersebut ditemukan luka lecet di 29

30 pergelangan tangan sebelah kiri akibat persentuhan dengan benda tumpul. Luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatannya sebagain mahasiswa (belajar) atau ibu rumah tangga b. Luka sedang Definisi luka sedang Luka yang dapat menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pekerjaan pencaharian untuk sementara waktu. (Sementara waktu harus dinyatakan berapa hari/berapa bulan Contoh cara menulis kesimpulan 1. Pada orang tersebut ditemukan luka tusuk di bahu kiri akibat persentuhan dengan benda tajam. Akibatnya korban menderita penyakit tetanus selama satu bulan 2. Ditemukan luka robek pada pelipis sebelah kanan. Luka tersebut diakibatkan oleh persentuhan dengan benda tumpul. Akibatnya korban tidak dapat menjalankan pekerjaan mata pencahariannya sebagai sopir selama tujuh hari 3. Pada perut orang tersebut ditemukan luka iris akibat persentuhan dengan benda tajam sehingga menyebabkan yang bersangkutan mendapatkan halangan menjalankan pekerjaan jabatannya sebagai pelajar selama lima hari 4. Ditemukan luka etsa (luka bakar) akibat persentuhan dengan zat kimia asam keras akibatnya korban tidak dapat menjalankan pekerjaan jabatannya sebagai ibu rumah tangga selama delapan hari 5. Pada orang tersebut ditemukan patah tulang sebelah kanan akibat persentuhan dengan benda tumpul. Patah tulang tersebut sekarang belum sembuh 30

31 dan sudah 1,5 bulan lamanya menyebabkan korban tidak dapat menjalankan pekarjaan mata pencahariannya sebagai polisi. Diharapkan patah tulang tersebut akan sembuh sempurna dalam waktu setengah bulan lagi dan selama waktu tersebut korban juga tidak akan dapat menjalankan pekerjaannya c. Luka Berat Definisi Luka Berat a.penyakit atau luka yang tak dapat diharapkan sembuh dengan sempurna b. Luka yang datang / mendatangkan bahaya maut c.rintangan tetap menjalankan pekerjaan jabatan atau pekerjaan mata pencaharian d. Kehilangan salah satu panca indra Contoh cara menulis kesimpulan 1. Pada orang tersebut ditemukan luka robek pada kornea (selaput bening mata) kiri akibat persentuhan dengan benda tumpul. Luka tersebut tidak dapat diharapkan sembuh dengan sempurna (fungsinya tidak dapat pulih kembali) 2. Pada perut sebelah kiri orang tersebut ditemukan luka tusuk menembus limpa dan mengakibatkan perdarahan sebanyak (500 cc) di rongga perut. Keadaan tersebut dapat mendatangkan bahaya maut 3. Pada tangan kiri orang tersebut ditemukan luka-luka serta remuknya tulang-tulang sehingga menyebabkan kekakuan pada kelima jari tangannya. Akibatnya korban mendapat rintangan tetap (selamanya) dalam menjalankan pekerjaan mata pencahariannya sebagai pemain biola 4. Pada orang tersebut ditemukan luka memar pada kepalanya akibat persentuhan dengan benda 31

32 e.cacat besar atau kudung f. Menyebabkan kelumpuhan g. Mengakibatkan gangguan daya pikir 4 minggu lamanya atau lebih h. Mengakibatkan keguguran atau matinya janin dalam kandungan tumpul menyebabkan ia menderita gegar otak dan tidak berfungsinya syaraf pendengaran 5. Pada orang tersebut ditemukan luka-luka pada wajahnya serta hilangnya daun telinga sebelah kiri karena persentuhan dengan benda tumpul. Akibatnya yang bersangkutan menderita cacat besar 6. Pada orang tersebut ditemukan patah tulang punggung (vertebra) akibat persentuhan dengan benda tumpul. Akibatnya ia mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya 7. Pada orang tersebut ditemukan 5 buah memar pada kepalanya akibat persentuhan dengan benda tumpul. Akibatnya ia mengalami gangguan daya pikir selama 38 hari 8. Pada orang tersebut ditemukan memar pada perutnya akibat persentuhan dengan benda tumpul sehingga bayi yang dikandungnya meninggal dunia D. Visum et Repertum Korban Hidup dan Permasalahannya Terkait dengan visum et repertum korban hidup, ada kalanya seorang korban mendapat dua atau lebih visum et repertum sementara dan lanjutan. Sebagai contoh, seseorang bernama X dianiaya oleh majikannya bernama Y. Si X yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Y mengalami luka bakar akibat disetrika oleh majikannya, dan tangan kanannya patah setelah dipukuli bertubi-tubi. Lalu si X dibawa ke rumah sakit A, kemudian dokter membuatkan visum et repertum sementara. Lalu ternyata keluarga X memindahkan X ke rumah sakit B di kotanya. Dokter di rumah sakit A membuatkan visum et repertum lanjutan untuk korban X. Kemudian dokter di rumah sakit B menerima korban X atas rujukan dari rumah sakit A, membuat visum et repertum sementara korban X. Bila setelah dirawat di rumah 32

33 sakit B korban X sembuh dan pulang, dokter rumah sakit B membuatkan visum et repertum lanjutan, yang dalam kesimpulannya memuat kualifikasi luka korban X. Sementar bila ternyata setelah dirawat di rumah sakit B ternyata korban X meninggal dunia, maka dokter membuat visum et repertum jenazah. Perlu ditekankan, kapan seorang dokter berhak dan atau berkewajiban memberikan visum et repertum korban hidup. Visum et repertum diberikan bila ada SPVR (Surat Permintaan Visum et Repertum) dari kepolisian. Bila ada SPVR seorang dokter berkewajiban memberikan visum et repertum sebagai bukti tertulis untuk peradilan. Pada beberapa kasus, mungkin suatu saat dokter menemukan kejanggalan pada pasiennya, dan merasa curiga kalau pasiennya telah mengalami penganiayaan, maka dokter berhak menghubungi pihak berwajib, untuk menindak lanjuti, selanjutnya pihak berwajib akan membuatkan SPVR, sehingga dokter yang bersangkutan dapat membuatkan visumnya Waktu penyerahan visum et repertum kepada penyidik Memang tidak ada batasan kapan visum et Repertum harus selesai dan diserahkan kepada penyidik. Tetapi sebaiknya secepatnya karena hal ini berkaitan dengan penahanan seorang tersangka yang belum tentu bersalah. Menurut pasal-pasal di KUHAP KUHAP Oleh Lama Penahanan Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Penyidik Diperpanjang oleh penuntut umum Penuntut umum Diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri Hakim Pengadilan negeri Diperpanjang oleh ketua pengadilan agama Hakim pengadilan tinggi Diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi Hakim Mahkamah Agung Max 20 hari Max 40 hari Max 20 hari Max 30 hari Max 30 hari Max 60 hari Max 30 hari Max 60 hari Max 50 hari 33

34 Diperpanjang oleh ketua mahkamah agung Max 60 hari Jadi disarankan untuk menyerahkan visum et repertum sebaiknya kurang dari 20 hari. 3.2 Contoh Aplikasi Kualifikasi Luka Untuk mendapatkan gambaran yang konkrit dalam hal luka yang disebabkan oleh suatu tindak pidana, maka di bawah ini digambarkan berbagai kemungkinan dari luka itu, misalnya dalam kasus sebagai berikut : Si A dengan sengaja menendang perut si B Sebagai akibat daripada tendangan si A itu maka timbul beberapa kemungkinan pada tubuh si B yaitu : Kemungkinan I : Pada perut si B kulitnya bengkak, merah dan sakit, tetapi hal itu tidak menyebabkan penyakit atau halangan menjalankan jabatan atau pekerjaan. Bagi dokter hal itu berarti luka derajat pertama (luka ringan), dan bagi hakim perbuatan itu merupakan penganiayaan ringan. Jadi dalam Visum et Repertum harus dicantumkan : Luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan menjalankan jabatan atau pekerjaan. Kemungkinan II : Perut si B luka sehingga terpaksa harus diobati dan dirawat di Rumah Sakit, misalnya selama seminggu, dan setelah itu si B sembuh dan tidak menunjukkan akibat-akibat lain lagi. Bagi dokter hal itu berarti luka derajat kedua (luka sedang), dan dicantumkan dalam visum et repertum : Luka yang berakibat penyakit atau halangan menjalankan jabatan atau pekerjaan untuk sementara waktu/seminggu. Kemungkinan III : 34

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum VISUM et REPERTUM Pengertian Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan

Lebih terperinci

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KONSEP MATI MENURUT HUKUM KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes visum et Repertum Keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwewenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2015

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Visum et Repertum 2.1.1. Pengertian Visum et Repertum Secara harfiah kata Visum et Repertum berasal dari kata visual (melihat) dan reperta (temukan), sehingga Visum et Repertum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindaraan terjadi melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini tentu akan menyebabkan Indonesia memiliki perilaku dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi. Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7 BAB V PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7 (tujuh) pengadilan negeri di Karesidenan Surakarta menunjukkan hasil penelitian bahwa keberadaan Visum et Repertum

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana. 22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia

BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Visum et Repertum Visum et Repertum berasal dari bahasa Latin. Kata visum atau visa dalam bentuk tunggalnya berarti tanda melihat atau melihat, sedangkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB II KASUS POSISI. Tanggal 18 september 2014 terjadi pengeroyokan di PGC Cililitan Jakarta

BAB II KASUS POSISI. Tanggal 18 september 2014 terjadi pengeroyokan di PGC Cililitan Jakarta BAB II KASUS POSISI Tanggal 18 september 2014 terjadi pengeroyokan di PGC Cililitan Jakarta Timur yang menyebabkan tewasnya sopir angkot yang bernama M Ronal. Kejadian tersebut berawal dari rebutan penumpang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RELEVANSI Skm gatra

RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER DIVISI BIOETIKA DAN MEDIKOLEGAL FK USU RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan surat-surat

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF 0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV 4.1.Hasil Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat Puskesmas Rawat Inap Wilayah Sleman Yogyakarta sebanyak 4 puskesmas yang terdiri atas Puskesmas Mlati II,

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN MEDIS

SURAT KETERANGAN MEDIS SURAT KETERANGAN MEDIS & VISUM et REPERTUM Presented by : Sarah Habibah Nurul Azizah M David Grandisa Deden Panji W Neti Watini LAB. ILMU KEDOKTERAN FORENSIK & MEDIKOLEGAL FK UNJANI SURAT KETERANGAN MEDIS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 644/PID/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. I. Nama : AZHARI Alias JIRO

P U T U S A N NOMOR : 644/PID/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. I. Nama : AZHARI Alias JIRO 1 P U T U S A N NOMOR : 644/PID/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara perkara pidana dalam tingkat banding, telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan dengan kekerasan tajam maupun tumpul atau keduanya, seksual, kecelakaan lalu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK NO: 262/Pid. B/2006/PN. GRESIK TENTANG KEALPAAN YANG MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK NO: 262/Pid. B/2006/PN. GRESIK TENTANG KEALPAAN YANG MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK NO: 262/Pid. B/2006/PN. GRESIK TENTANG KEALPAAN YANG MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI A. Kasus tentang Kealpaan yang Menyebabkan Orang Lain Mati Tindak pidana

Lebih terperinci

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna PENGANTAR MEDIKO-LEGAL Budi Sampurna PROFESI KEDOKTERAN SUMPAH HIPOKRATES : LARANGAN-LARANGAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN (Hindari perbuatan amoral / non standar) UTAMAKAN KEBEBASAN PROFESI RAHASIA KEDOKTERAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

P U T U S A N No : 155 /Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / Tgl. lahir : 27 tahun/ 25 Mei 1984;

P U T U S A N No : 155 /Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / Tgl. lahir : 27 tahun/ 25 Mei 1984; P U T U S A N No : 155 /Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan acara biasa pada peradilan tingkat

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kejahatan sudah ada sejak manusia dan masyarakat ada, demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kejahatan sudah ada sejak manusia dan masyarakat ada, demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan sudah ada sejak manusia dan masyarakat ada, demikian pula cara mengatasi masalah kejahatan ini telah lama dilakukan oleh para ahli sejak dahulu kala. Kajian

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1951 TENTANG PERNYATAAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG KECELAKAAN TAHUN 1947 NR. 33, DARI REPUBLIK INDONESIA UNTUK SELURUH INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

DASAR HUKUM PEMERIKSAAN FORENSIK 133 KUHAP

DASAR HUKUM PEMERIKSAAN FORENSIK 133 KUHAP DASAR HUKUM PEMERIKSAAN FORENSIK Pasal 133 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

: Tani / Guru Madrasah.

: Tani / Guru Madrasah. P U T U S A N NOMOR : 364 /PID/2012/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------ PENGADILAN TINGGI DI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-pekara pidana pada pengadilan tingkat banding telah

Lebih terperinci

FORMAT LAPORAN KASUS FORENSIK

FORMAT LAPORAN KASUS FORENSIK FORMAT LAPORAN KASUS FORENSIK Nama DM : 1. Achmad Juanda NIM : 1407101030361 2. Muhammad Ikbar NIM : 1407101030344 3. Thifla Farhani NIM : 1407101030267 4. Nurul Hikmah Amanatillah NIM : 1407101030233

Lebih terperinci

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI 38 BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI A. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pasal Terkait Tentang Ahli Sebelum akhirnya seorang seorang dokter mengamalkan profesi nya atau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 3 2013 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 16/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. 1. N a m a : ASRAN NASUTION

P U T U S A N. Nomor : 16/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. 1. N a m a : ASRAN NASUTION P U T U S A N Nomor : 16/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI Nur Widowati 1, Rano Indradi Sudra 2, Tri Lestari 2 Mahasiswa APIKES Mitra Husada Karanganyar 1, Dosen

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci