BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI"

Transkripsi

1 38 BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI A. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pasal Terkait Tentang Ahli Sebelum akhirnya seorang seorang dokter mengamalkan profesi nya atau melakukan tugas nya sebagai dokter, ada hal yang harus di perhatikan ialah Kode Etik Kedokteran Indonesia 34. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No. 221/PB/A.4/2002 tertanggal 19 April 2002 telah membuat keputusan PB IDI tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Dengan adanya Penetapan Kode Etik Indonesia dan Penerapan Kode Etik Indonesia ini para dokter yang menjalankan profesi kedokterannya telah di beri pedoman baku. Keharusan mengamalkan Kode Etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang di dasarkan PP No 26 Tahun Rumusan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang di uraikan dalam beberapa bagian mengenai kewajiban-kewajiban seorang dokter. Kewajiban yang pertama ialah Kewajiban Umum seorang dokter. Pada bagian ini di sampaikan bahwa dokter harus menjujung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter. Sumpah dokter di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun Lafal ini terus di sempurnakan sesuai dengan dinamika perkembangan internal dan eksternal profesi kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Penyempurnaan di lakukan pada Musyawarah Kerja Nasional 34 Alfred C. Satyo, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dan Profesi Dokter,(Medan: UPT. Penerbitam dan Percetakan USU (USU Press), 2004),hal 263

2 39 Etik Kedokteran II, tahun 1981, pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pembinaan Dan Pembelaan Anggota (MP2A), tahun 1993, dan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran III, tahun Isi dari sumpah dokter tersebut ialah 36 : Demi Allah saya bersumpah, bahwa : 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan 2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter. 3. Saya akan memelihara sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran. 4. Saya akan 5. merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya. 6. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam. 7. Saya akan menghormati setiap hidup insani dari saat pembuahan. 8. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. 9. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, 35 Alfred C. Satyo, Ibid, hal Alfred C. Satyo, Ibid, hal 274

3 40 gender, politik, kedudukan social dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien. 10. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya. 11. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara sekandung. 12. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia. 13. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan diri saya. Pengambilan sumpah dokter merupakan saat yang sangat penting artinya bagi seorang dokter, karena pada kesempatan ini ia berikrar bahwa dalam mengamalkan profesinya, ia akan selalu mendasarinya dengan kesanggupan yang telah diucapkannya sebagai sumpah. Oleh karena itu upacara pengambilan sumpah hendaknya dilaksankan dalam suasana yang hikmat. Suasana hikmat dapat diwujudkan bila upacara pengambilan sumpah dilaksanakan secara khusus, mendahului acara pelantikan dokter. Untuk yang beragama Islam diawali dengan Demi Allah saya bersumpah, untuk penganut agama lain mengucapkan lafal yang diharuskan sesuai yang ditentukan oleh agama masing-masing. Seperti yang beragama Kristen mengganti kata sumpah dengan kata janji. Sesudah itu lafal sumpah di ucapkan secara bersamasama.

4 41 Selain mengenai sumpah dokter pada bagian kewajiban umum ini mengatur dokter untuk menjalankan profesi nya dengan standar yang tertinggi, bersikap jujur, dan Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Setiap tindakan yang dilakukan dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan aspek pelayanan kesehatan dan mengabdi pada masyarakat dan juga setiap dokter harus memebri keterangan atau pendapat yang dapat di buktikan kebenarannya Kewajiban yang kedua ialah mengenai kewajiban dokter terhadap pasien 37. Di dalam bagian ini dokter di tuntut harus bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Selain itu setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia dan setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. sejawatnya Kewajiban yang ketiga ialah mengenai kewajiban dokter terhadap teman 38. Dalam bagian ini setiap dokter harus memperlakukan teman sesama dokter atau teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin di perlakukan dan setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali dengan persetujuan dan berdasarkan prosedur yang etis. 37 Alfred C. Satyo, Ibid, hal Alfred C. Satyo, Ibid, hal 266

5 42 Kewajiban yang berikutnya ialah kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri 39. Di dalam bagian ini dokter juga di tuntut untuk harus menjaga kesehataanya supaya dapat bekerja dengan baik dan setiap dokter juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. Kode Etik Kedokteran Indonesia di buat untuk mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokterannya sehungga mengatur kewajiban dokter secara umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. Hal tersebutlah yang mengatur profesi kedokteran dalam menjalankan tugas nya. Selain dari Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi dokter, ada juga aturan atau ketentuan hukum yang mengatur seorang dokter atau lebih tepatnya dalam hal ini dokter ahli atau kedokteran forensik sebagai ahli sehingga dapat menyadari keterlibatan dalam membantu penegak hukum dan memahami ketentuan hukum yang berhubungan dengan bantuan yang di berikan dokter forensik. Pasal yang mengatur ketentuan hukum yang berkaitan dengan permintaan bantuan dokter kepada penegak hukum. Dimulai dari hal yang berhak meminta bantuan dokter ahli. Penyidik merupakan pihak yang dapat meminta bantuan dokter ahli 40. Menurut Pasal 6 KUHAP Peyidik ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam hal 39 Alfred C. Satyo, Ibid, hal Paper Rita Mawarni, bab II tentang beberapa ketentuan hukum yang berhubungan dengan bidang ilmu kedokteran kehakiman, 2013, hal 12

6 43 ini Penyidik memiliki kewenangan untuk mendatangkan orang ahli yang di perlukan dan di periksa sebagai tersangka perkara seperti yang tertuang dalam Pasal 7 KUHAP huruf h. Untuk kalangan kesehatan yang perlu di perhatikan adalah tentang ketentuan dalan huruf (h) tersebut. Ketika dalam kasus yang di tangani oleh penyidik tersebut, penyidik mengalami kesulitan dan perlu untuk menemukan bukti yang kuat maka ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus meurut Pasal 120 KUHAP. Seperti dalam hal penyidik kesulitan mengenai yang terjadi pada kesehatan atau yang terjadi pada korban maka ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus seperti Dokter Forensik. Ahli atau Dokter Forensik yang diminta tersebut harus mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Berdasarkan Pasal 180 KUHAP jika di dalam persidangan ada hal yang diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, maka Hakim Ketua Sidang dapat meminta keterangan ahli untuk datang di sidang pengadilan melalui penyidik. Setelah pihak yang berhak meminta batuan dokter forrensik maka selanjutnya ialah wewenang penyidik dalam meminta batuan dokter 41. Penyidik berwenang dalam melakukan atau mengajukan permintaan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter lainnya. Dalam hal ini penyidik untuk kepentingan peradilan 41 Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 13

7 44 dalam menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana maka ia dapat mengajukan permintaan keterangan ahli. permintaan keterangan ahli dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu di sebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat, hal mengenai permintaan keterangan ahli ini diatur dalam Pasal 133 KUHAP. Di dalam hal pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat tidak boleh langsung dilakukan pemeriksaannya. Penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban seperti yang di atur dalam Pasal 134 KUHAP. Penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut, jika dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan pemeriksaan mayat atau pemeriksaacn bedah mayat. Selanjutnya ialah ketentuan hukum mengenai peran dokter dalam sidang pengadilan 42. Seorang ahli dalam hal ini dokter forensik wajib bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan ahli sesuai dengan Pasal 160 ayat 4 KUHAP, jika seorang ahli menolak untuk bersumpah maka ia akan di sandera di rumah tahanan negara paling lama empat belas hari dan pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan. Jika dalam hal tenggang waktu penyanderaan ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dokter forensik atau dokter 42 Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 15

8 45 ahli wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan jika dimintai pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman, dan dokter ahli bersumpah atau berjanji untuk memberikan keterangan dengan sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya seperti yang di sampaikan dalam Pasal 179 KUHAP. Keterangan ahli merupakan salah satu bagian dari lima alat bukti. Hakim didalam menjatuhkan pidana kepada tersangka haruslah memenuhi sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, merujuk pada Pasal 183 dan 184 KUHAP. Keterangan dokter ahli atau dokter forensik dapat mendukung atau membantu meyakinkan hakim untuk menjatuhkan pidana kepada seorang tersangka. Menurut Pasal 186 KUHAP keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang di berikan oleh dokter forensik disebut keterangan ahlli sedangkan keterangan yang di berikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan 43. Setiap ahli yang di panggil ke persidangan dan ahli tersebut memenuhi panggilan tersebut dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang di tuliskan dalam Pasal 229 KUHAP. Ketentuan hukum yang berikutnya ialah sanksi hukum terhadap yang menghalang-halangi atau menolak untuk memberikan bantuan 44. Jika dalam proses 43 Paper Rita Mawarni, Ibid, hal Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 16

9 46 penyidikan terhadap mayat korban, ada orang atau pihak yang mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik maka orang atau pihak tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, berdasarkan pada Pasal 222 KUHP dan Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi ahli namun dengan sengaja saksi ahli tersebut tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, maka saksi ahli tersebut akan di ancam dengan hukuman pidana penjara paling lama sembilan bulan bagi perkara pidana, sedangkan dalam perkara bukan pidana akan di penjara paling lama enam bulan, hal tersebut berdasarkan Pasal 224 KUHP. Dari beberapa hal diatas mengenai ketentuan hukum yang mengatur seorang dokter sebagai ahli atau dokter forensik menjelaskan bahwa profesi kedokteran forensik sangat di butuhkan dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana. Pengetahuan yang dimiliki seorang dokter forensik membatu agar pelaksanaan bantuan hukum dapat berjalan dengan baik, fakta-fakta yang penting dalam mencari kebenaran. B. Permintaan Bantuan Dokter Ahli Dan Peran Dokter Ahli Seseorang tidak dapat di jatuhi hukuman pidana kecuali apabila ada sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah dan oleh keyakinan hakim, sesuai dengan apa yang di sebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

10 47 yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa 45 : 1. Untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang terdakwa diperlukan keyakinan hakim. 2. Keyakinan hakim tersebut harus timbul dari alat bukti. Keyakinan yang timbul karena hal-hal lain (misalnya tampang, gerak-gerik atau riwat yang jelek dari terdakwa) bukan merupakan keyakinan yang dikehendaki oleh undang-undang. Oleh karenanya keyakinan yang demikian ini mungkin lebih tepatnya disebut petunjuk, tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memidanakan seseorang. 3. Jumlah minimal alat bukti yang dapat dipakai untuk membentuk keyakinan Hakim ialah dua buah. Dalam hal ini menjadi tugas penyidik dalam penyidikan dan Jaksa Penuntut Umum untuk membawa alat bukti yang di perlukan di sidang pengadilan. Alat bukti antara lain apa yang telah di sebutkan ialah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Dalam hal ini penulis membahas alat bukti mengenai dokter kehakiman sebagai ahli dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Ada beberapa ketentuan tentang tata-laksana dalam permintaan dokter sebagai ahli. 45 Alfred C. Satyo, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Medan: buku 3 bacaan wajib mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara, 1990) hal 28

11 48 1. Tata-Laksana Permintaan Bantuan Dokter Ketentuan tentang tata-laksana bantuan dokter sebagai ahli tidak hanya dapat di temukan pada pasal - pasal dari KUHAP yang mengatur tentang ahli, tetapi juga pada pasal-pasal yang mengatur tentang saksi. Hal ini sesuai denga bunyi Pasal 179 KUHAP, yang menyatakan bahwa segala ketentuan yang berlaku bagi saksi juga berlaku bagi ahli. Selain itu, ketentuan tentang tata - laksana bantuan dokter sebagai ahli juga dapat ditemukan dalam peraturan pemerintah No 27 tahun Tatalaksana tersebut meliputi 46 : 1. Waktu pengajuan permintaan (kapan permintaan dokter dapat diajukan). 2. Pejabat yang berhak mengajukan permintaan (siapa yang berhak meminta bantuan dokter). 3. Cara mengajukan permintaan bantuan dokter. 4. Dokter yang dapat dimintai bantuan nya. 5. Cara dokter menyampaikan keterangannya. 1. Kapan permintaan dokter dapat diajukan. Sebagaimana diketahui bahwa proses peradilan dari suatu tindak pidana dibagi menjadi berbagai tingkat. Dari berbagai tingkat itu maka permintaan bantuan dokter sebagai ahli hanya dapat diajukan pada tingkat : 1. Penyidikan 2. Penyidikan tambahan 46 Ibid, hal 33

12 49 Penyidikan tambahan adalah penyidikan yang dilakukan atas petunjuk umum berkenaan dengan dikembalikannya berkas perkara karena belum lengkap. Dalam hal ini belum lengkap karena penyidik lalai tidak memanfaatkan bantuan dokter sebagai ahli sedangkan dalam perkara tersebut bantuan dokter seharusnya perlu atau kurang lengkap atau kurang tepat dalam pemeriksaan visum maka penuntut umum dapat menyarankannya kembali. 3. Sidang pengadilan 2. Siapa yang berhak meminta bantuan dokter Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, tidak semua orang dapat meminta bantuan dokter dalam menyelidiki suatu kasus tindak pidana. Seperti yang telah diuraikan sebelum nya bahwa yang berhak meminta bantuan dokter sebagai ahli ialah penyidik dan Hakim. Hakim ketua sidang dapat meminta bantuan dokter sebagai ahli dalam hal ; 1. Diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan. 2. Timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap hasil keterangan ahli dari seorang dokter sehingga perlu dimintakan pemeriksaan atau penelitiaan ulang oleh dokter lain. Sudah tentu yang akan mengajukan permintaan bantuan kepada dokter ialah jaksa penuntut umum karena ia yang berwenang melaksanakan semua penetapan hakim. Maka agar tidak terjadi kesalah pahaman dengan dokter yang dimintai

13 50 bantuan itu, jaksa penuntut umum dalam surat permintaannya perlu menyebutkan bahwa permintaan tersebut diajukan dalam rangka melaksanakan penetapan hakim. Mengenai korban tindak pidana atau keluarganya, tidak dibenarkan mengajukan permintaan langsung kepada dokter. Mereka hanya dibenarkan melaporkan tindak pidana yang dialaminya kepada pihak kepolisian dan selanjutnya pihak kepolisianlah yang akan melakuan penyidikan, termasuk mengajukan permintaan bantuan dokter sebagai ahli. Demikian juga terdakwa atau penasehat hukumnya, kalau mereka menghendaki bantuan dokter karena menurut pendapatnya keterangannya akan menguntungkan pihaknya, mereka hanya dibenarkan mengajukan permohonan kepada hakim ketua sidang. Kerjasama penyidik dan dokter Agar proses penyidikan dapat berjalan dengan lancar, maka penyidik dan dokter perlu bekerja sama dan juga perlu mengetahui bagaiman cara penanganan yang seharusnya bila mereka diharuskan melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP). Proses kerja sama tersebut dapat dilakukan antara lain dengan 47 : a. Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana pada suatu tempat yang menyangkut nyawa manusia (mati) telah terjadi, maka pihak penyidik dapat meminta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut. (Pasal 120 dan Pasal 133 KUHAP) 47 Abdul Mun im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik edisi Pertama,(Jakarta: Binarupa Aksara,1997) hal 286

14 51 b. Dokter tersebut harus selalu mengigat untuk tidak melakukan tindakantindakan yang dapat merubah, menggangu atau merusak keadaan di tempat kejadian perkara tersebut, walaupun sebagai kelanjutan dari pemeriksaan itu dokter harus mengumpulkan segala bukti. c. Sebelum dokter memulai melakukan pemeriksaan maka terlebih dahulu aparat keamanan haruslah menjaga keamanan dilokasi kejadian dan dijaga keaslian TKP tersebut. Sebelum dokter datang ke TKP ada beberapa hal yang perlu dicatat oleh dokter, seperti 48 : a. Siapa yang meminta datang ke TKP, bagaimana permintaan tersebut sampai ketangan dokter, dimana TKP serta saat permintaan itu diajukan. b. Meminta informasi secara global tentang kasus nya dengan demikian dokter dapat membuat persiapan seperlunya. c. Di TKP, dokter harus membuat foto dan sketsa yang mana harus disimpan dengan baik oleh karena ada kemungkinan ia akan di ajukan ke persidangan. d. Pembuatan foto atau sketsa harus memenuhi standart sehingga kedua belah pihak yaitu dokter dan penyidik tidak akan memeberikan penafsiran yang berbeda atas objek yang sama. e. Dokter tidak boleh menambah ataupun mengurangi benda-benda yang ada di TKP tersebut. 3. cara mengajukan permintaan bantuan dokter 48 Ibid, hal 288

15 52 Ada beberapa hal yang wajib dilakukan untuk mengajukan permintaan bantuan dokter sebagai ahli adalah sebagai berikut : 1. Permintaan itu harus diajukan secara tertulis. 2. Harus disebutkan dengan jelas pemeriksaan yang dikehendaki misalnya dalam hal objek yang dimintakan pemeriksaan mayat itu harus di tegaskan untuk pemeriksaan luar saja atau bedah jenazah. 3. Surat permintaan tersebut harus di sampaikan kepada dokter bersama-sama dengan objek yang akan di periksanya terutama mengenai objek korban hidup yang menderita luka-luka. 4. Hal ini sangat perlu untuk tidak menyulitkan dokter dalam memberikan keterangannya berkenaan dengan rahasia kedokterannya 5. Dalam hal objek orang mati itu sudah di kubur maka permintaan itu sudah tentu dapat di ajukan terlebih dahulu, sedangkan objek orang mati tersebut dapat di gali di kemudian hari bersama-sama dokter. 4. Dokter yang dapat dimintai bantuannya Dari segi yuridis, setiap dokter adalah ahli, baik dokter tersebut ahli ilmu kedokteran kehakiman ataupun bukan, oleh sebab itu setiap dokter dapat dimintai bantuannya untuk membantu membuat terang perkara pidana oleh pihak yang berwenang. Akan tetapi supaya dapat diperoleh suatu bantuan yang maksimal, permintaan bantuan itu perlu diajukan pada dokter yang memiliki keahlian yang sesaui dengan objek yang akan di periksa.

16 53 Contohnya antara lain : 1. Untuk objek korban mati sebaiknya diminta kepada ahli ilmu kedokteran kehakiman. 2. Untuk objek korban hidup yang menderita luka-luka sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli bedah. 3. Untuk objek korban hidup akibat tindakan pidana seksual sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli kandungan. 4. Untuk objek yang berkaitan dengan gigi (untuk kepentingan identifikasi) sebaiknya dimintakan bantuan kepada dokter gigi. 5. Untuk objek terdakwa yang menderita/diduga menderita penyakit jiwa sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli jiwa. Jika disatu daerah tidak ada dokter dengan keahlian seperti diatas, maka dokter umum dapat dimintakan bantuannya. Tiap-tiap dokter yang diminta bantuannya sebagai ahli wajib memberikan bantuannya sebatas kemampuan yang dimilikinya. Pemeriksaan penunjang yang tidak dapat di lakukan oleh dokter tersebut, wajib diberitahukan kepada penyidik agar penyidik dapat mengajukan permintaan pemeriksaan itu kepada pihak lain, seperti pemeriksaan toksikologi (mengenai pengaruh bahan kimia) Cara dokter dalam menyampaikan keterangannya 49 Alfred C. Satyo, Op.Cit, hal 37

17 54 Keterangan dokter sebagai ahli hanya dapat diberikan kepada pemintanya melalui 2 cara, yaitu secara tertulis dan secara lisan. a. Secara tertulis Keterangan tertulis dari dokter sebagai ahli dapat disampaikan pada tingkat penyidikan, penyidikan tambahan, sidang pengadilan. Jika keterangan tertulis ini dibuat dengan sumpah atau dengan mengingat sumpah maka keterangan itu nanti disidang pengadilan dapat berlaku sebagai alat bukti yang sah (alat bukti surat) tanpa perlu menghadirkan dokter kesidang pengadilan. Keterangan tertulis seperti itu di sebut Visum et Repertum. b. Secara lisan dari dokter sebagai ahli juga dapat diberikan pada tingkat penyidikan, penyidikan tambahan, sidang pengadilan. Keterangan lisan di hadapan penyidik pada tingkat penyidikan atau penyidikan tambahan tidak dapat berlaku sampai alat bukti yang sah tanpa menghadirkan dokter pada sidang pengadilan, 2. Peran Dokter Ahli a. Dokter sebagai pembuat Visum et Repertum Tugas dokter ahli dalam membantu penyidikan bagi kepentingan peradilan atas adanya tindak pidana, ialah membuat visum et repertum dan menjadi saksi ahli dalam persidangan. visum et repertum berguna untuk kepentingan peradilan sehingga membuat terang suatu kasus tindak pidana dan membantu meyakinkan hakim dalam memutuskan suatu tindak pidana.

18 55 permintaan Visum et Repertum kepada dokter forensik ada beberapa tahapan, antara lain 50 : 1. Penyidik meminta bantuan kepada dokter kehakiman untuk membuat visum et repertum. Dalam hal ini penyidik membuat permintaan surat permintaan visum et repertum kepada kepala atau direktur Rumah Sakit yang di tuju untuk pembuatan visum et repertum. 2. Dokter memberikan hasil visum et repertum. Dokter memberikan hasil visim et repertum kepada pihak penyidik, yang nantinya hasil visum tersebut di berikan kepada jaksa penuntut umum. 3. Penyidik memberikan hasil visum et repertum kepada Jaksa Penuntut Umum. Penyidik memberikan hasil visum tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum untuk di pelajari lebih lanjut tentang apa yang terjadi pada tubuh korban, jika Jaksa Penuntut Umum merasa kurang dengan hasil visum maka Jaksa Penuntut Umum mengembalikan hasil visum tersebut kepada penyidik dan penyidik mengembalikan kembali kepada dokter yang membuat visum et repertum tersebut. Setelah Jaksa Penuntut Umum merasa sudah pas dengan hasil visum tersebut maka hasil visum tersebut yang dibawa ke persidangan. 4. Hakim pengadilan meminta jaksa penuntut umum untuk memanggil dokter yang membuat visum et repertum. 50 Paper Rita Mawarni, tentang cara permintaan visum et repertum, 2013

19 56 Hakim membaca dan memeriksa hasil visum tersebut, jika hakim merasa kurang tepat atau kurang yakin dan atau tidak mengetahui secara jelas, maka hakim meminta jaksa penuntut umum untuk memanggil dokter tersebut ke persidangan sebagai saksi ahli untuk memberikan keterangan yang ia ketahui. Dari tahapan tersebut bisa dibuat skema seperti berikut : Permintaan v.e.r Penyidik Dokter yang bertugas Membalas v.e.r Jaksa Penuntut Umum Hakim Pengadilan Pengertian harafiah visum et repertum berasal dari kata visual yaitu melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti apa yang dilihat dan ditemukan sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan ditemukan atas bukti hidup,

20 57 mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya 51. Dokter berperan utama sebagai pelaksana pembuatan visum et repertum, khususnya dalam kasus-kasus kematian seseorang yang diduga sebagai korban tindak pidana yang memerlukan dilakukannya tindakan bedah mayat forensik (otopsi) untuk memastikan penyebab kematian korban, kedudukan dokter adalah sebagai pembuat visum et repertum. Pembuatan visum et repertum memberikan tugas sepenuhnya kepada dokter sebagi pelaksana dilapangan untuk membantu hakim menemukan kebenaran materiil dalam memutuskan perkara pidana. Dokter dilibatkan untuk turut memberikan pendapatnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang di miliki dalam pemeriksaan perkara pidana, apabila alat bukti yang ada berupa tubuh manusia atau bagian dari tubuh manusia. Dalam memutuskan perkara pendapat dokter diperlukan karena hakim sebagai pemutus perkara tidak dibekali ilmu-ilmu yang berhubungan dengan anatomi tubuh manusia 52. Oleh sebab itulah di perlukan bantuan dokter untuk memastikan sebab, cara dan waktu kematian pada peristiwa kematian tidak wajar karena pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan atau kematian yang mencurigakan. Pada korban tidak dikenal diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui identitasnya, begitu juga pada korban penganiyaan, pemerkosaan, pengguguran kandungan dan peracunan diperlukan pemeriksaan oleh dokter untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi secara medis. 51 Sri Ingeten br. Perangin angin, Skripsi, Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana. (Medan: USU Repository,2008), hal Ibid

21 58 Hasil pemeriksaan dan laporan tertulis akan digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dan alat bukti dalam menyidik, menuntut dan mengadili pada perkara pidana. Dalam hal ini tampaklah bahwa laporan pemeriksaan dalam proses penegakan hukum. Oleh karena itu dokter sebagai pemberi jasa dibidang kedokteran kehakiman dari semula harus menyadari bahwa laporan hasil pemeriksaan dan kesimpulan serta keterangan di sidang pengadilan yang baik dan terarah akan membantu proses penyidikan, persidangan serta pemutusan perkara. Jika dilihat menurut sifatnya, ada berbagai jenis dan bentuk visum et repertum, antara lain 53 : 1. Jenis jenis Visum et Repertum 1. Visum et Repertum untuk korban hidup Yang termasuk visum untuk korban hidup adalah visum yang diberikan untuk korban luka-luka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas : a. Visum Seketika (definitive) Yaitu visum yang langsung diberikan setelah korban selesai diperiksa. Visum inilah yang paling banyak diuat oleh dokter. b. Visum Sementara Yaitu visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis 53 Megawati, Skripsi, Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan di Bawah Umur,(Medan: USU Repository, 2012), hal 17

22 59 kekerasan. Sehingga dapat menahan tersangka atau sebagai petunjuk dalam menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini belum di tulis kesimpulan. Pemberian visum sementara ini hanya merupakan barang bukti untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa atas telah terjadinya suatu peristiwa pidana, misalnya penganiyaan, pemerkosaan, percobaan membunuh dan lain-lain. Penangkapan dan penahanan tidak dapat dilakukan secara sewenangwenang dengan hanya dilandasi adanya dugaan. Akan tetapi harus didasarkan atas bukti-bukti permulaan. Apabila si korban sudah sembuh atau sudah meninggal, maka dokter harus mengganti visum sementara yang telah dikeluarkan terdahulu dan berkewajiban untuk membuat visum yang baru. Dalam visum yang baru sebagai pengganti visum sementara, dokter telah sampai pada kesimpulan tentang apa yang dilihat dan diketahuinya dari tubuh korban untuk bahan pembuktian dipersidangan. Sedangkan visum sementara tadi tidak dapat diajukan sebagai alat bukti karena dalam visum sementara dokter belum sampai pada suatu kesimpulan terhadap apa yang dilihat dan didapat dari pemeriksaan korban. c. Visum Lanjutan Yaitu visum yang diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan merupakan lanjutan dari visum sementara yang telah di berikan sebelumnya. Dalam visum ini harus dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara yang telah diberikan. Dalam visum ini dokter telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang terakhir merawat penderita.

23 60 2. Visum et Repertum Jenazah Visum et repertum jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu : a. Visum dengan pemeriksaan luar Pemeriksaan luar yang dimaksud tidak dapat memberikan kepada umum apakah pemeriksaan pertama bagian luar saja, oleh karena kurang jelas disebutkan tetapi mungkin pembuat undang-undang hanyalah pemeriksaan luar saja. Pemeriksaan mayat yang hanya ditujukan pada bagian luar saja pada umumnya kurang dapat memberikan hasil yang diharapkan dalam membuktikan faktor penyebab kematian sikorban atau dengan kata lain hasil pemeriksaan tersebut kurang sempurna. b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam Visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam ( autopsy ). Masalah disini adalah hambatan dari keluarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah mayat. Pemeriksaan bedah mayat berarti membuka semua rongga tubuh ( kepala, dada, perut, dan pinggul ) dan memeriksa semua alat-alat (organ) untuk dapat menentukan sebab kematian maupun penyakit atau kelainan yang mungkin terdapat pada si korban. Apabila ditinjau dari segi yuridis, pemeriksaan bedah mayat bukanlah sekedar menentukan kematian sikorban saja melainkan melalui pemeriksaan tersebut akan dapat menjawab apakah perbuatan terdakwa merupakan satu-satunya penyebab kematian korban atau pada korban terdapat penyakit atau kelainan yang

24 61 mempermudah atau mempercepat kematiannya sehingga berdasarkan teori yang dianut oleh hakim pada saat mengadili perkara dapat dijatuhi hukuman seadil-adilnya. Permintaan bedah mayat ini merupakan otopsi dan harus mendapat izin dan persetujuan dari keluarga korban serta memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan. Hasil dari pemeriksaan bedah mayat tersebut nantinya dituangkan oleh saksi ahli kedalam visum et repertum. Dokter dalam membuat visum et repertum jenazah dari mayat yang diperiksanya tidak dapat menyebutkan bahwa si korban mati akibat pembunuhan walaupun dokter mengetahui bahwa kematian sikorban disebabkan karena pembunuhan. Dokter dalam kesimpulannya hanya membuat keterangan tentang kematian korban, misalnya,kematian akibat keracunan, pendarahan diotak dan sebagainya. 3. Visum et Repertum pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) 4. Visum et Repertum penggalian mayat 5. Visum et Repertum mengenai umur 6. Visum et Repertum psikiatrik Visum et Repertum psikiatrik sehubungan dengan Pasal 44 KUHP yang berisi: (1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. (2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selamalamanya satu tahun untuk diperiksa. 7. Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, mani dll

25 62 2. Bentuk atau susunan Visum et Repertum Bentuk visum yang sekarang adalah warisan para pakar kedokteran kehakiman yaitu : H Muller, Mas Sutedjo dan Sutomo Tjokonegoro 54. Hanya pada visum et repertum psikiatrik yang ditentukan langsung oleh pemerintah namun pada dasarnya tidak banyak yang berbeda dengan bentuk Visum et Repertum. Bentuk Visum et Repertum psikiatrik dimana objek yang diperiksa adalah pelaku dari tindak pidana, dibuat bila hakim memerlukannya yaitu untuk dapat mengetahui sampai sejauh mana si pelaku dapat diminta tanggung jawabnya atas perbuatan yang telah dilakukannya. Bentuk atau susunan visum et repertum, antara lain 55 : 1. Pro Yustisia Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan apabila dibuat diatas kertas bermaterai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap Visum et Repertum yang dibuatnya harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila dokter menulis Pro-Yustisia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai. Penulisan kata Pro-Yustisia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (pro-yustisia). Hail ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang arti sebenarnya kata pro-yustisia ini. Bila dokter sejak semula 54 Sri Ingeten br. Perangin angin, Op.Cit, hal Abdul Mun im Idries, Op.Cit, hal 6

26 63 memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang syah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan kata lain kata Pro-Yustisia harus dicantumkan dikiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai. 2. Pendahuluan pendahuluan memuat seperti : a. Identitas pemohon visum et repertum. b. Tanggal dan pukul diterima permohonan visum et repertum. c. Identitas dokter yang melakukan pemeriksaan. d. Tanggal dan pukul dilakukannya pemeriksaan korban/luar mayat. e. Tanggal dan pukul dilakukannya pemeriksaan korban dalam mayat. f. Identitas korban seperti : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan. g. Keterangan penyidik mengenai luka dan cara kematian. h. Rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya dan pukul berapa korban meninggal dunia. i. Keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit. 3. Pemeriksaan Bagian yang terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif dan pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada

27 64 tubuh korban seperti apa adanya. Misalnya terdapat suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, dan lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapat kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya adalah karena dengan lampiran foto atau sketsa pemakaian visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum. Bagian ini harus ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga orang awam dapat mengerti dan hanya kalau perlu disertakan istilah kedokteran atau asing dibelakangnya didalam kurung. Angka harus di tulis dengan huruf. Misalnya 4 CM di tulis dengan empat centimeter. Tidak dibenarkan menulis diagnosa misalnya luka bacok, luka tembak dan sebagainya tetapi luka harus dilukis dengan kata (description). Untuk memeriksa korban hidup bagian ini memuat : a. Keadaan umum seperti jenis kelamin, umur menurut perkiraan dokter, tinggi badan, berat badan dan keadaan gizi. b. Keadaan luka, hasil pemeriksaan luka yang di dapatkan pada korban. c. Tindakan atau operasi yang telah dilakukan. d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dengan dokter ahli lain. Untuk pemeriksaan korban mati, bagian ini memuat :

28 65 a. Pemeriksaan luar mayat Keadaan umum : jenis kelamin, umur menurut perkiraan dokter, tinggi badan, berat badan, keadaan gizi, lebam mayat, kaku mayat, kepala, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak, alat kelamin, dan dubur. b. Pemeriksaan dalam Alat rongga dada, rongga perut, leher dan kepala. c. Pemeriksaan tambahan Toksologi yaitu ilmu tentang efek racun dari obat. Histopatologi yaitu ilmu tentang jaringan tubuh Bakteriologi yaitu ilmu tentang kuman. 4. Kesimpulan Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka atau korban lainnya perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan. Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif. 5. Penutup Pada bagian ini, visum et repertum ditutup dengan : demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam stb. 1937/350 atau sesuai dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP : keterangan ahli ini dapat

29 66 juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Ketentuan ini sangat memudahkan dokter dalam membuat visum et repertum, tidak perlu setiap kali disumpah oleh penyidik kalau membuat visum et repertum. Visum et repertum harus dibuat sejujur-jujurnya dan sengaja dari ketentuan ini dapat dipidana berdasarkan pasal 242 KUHP yaitu sumpah palsu. b. Dokter Sebagai Ahli Dalam Persidangan Salah satu tugas pokok dari hukum acara pidana ialah untuk menemukan kebenaran materil, yaitu kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Tugas itu tidaklah mudah bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak menyaksikan sendiri bagaimana proses berlangsungnya tindak pidana itu dan siapa yang menjadi pelakunya. Tugas yang berat tersebut harus dilaksanakan hanya dengan memanfaatkan saksi, terdakwa/tersangka dan barang bukti. Tidaklah sulit bagi penyidik, penuntut umum dan hakim untuk memeriksa saksi dan terdakwa agar mau memberikan keterangan yang sebenarnya, tetapi untuk menjadikan agar barang bukti dapat membantu mengungkapkan suatu tindak pidana, mereka akan mendapat kesulitan oleh sebab itu diperlukan para ahli untuk mengungkapkan peristiwa pidana yang terjadi tersebut 56. Keterangan saksi berbeda dengan keterangan ahli, keterangan saksi diberikan berdasarkan pada hal yang dilihat, didengar atau dialami sendiri seperti yang tertulis 56 Alfred C. Satyo, Op.Cit, hal 13

30 67 dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yaitu, Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri. sedangkan ahli memberikan pendapat atau sangkaan berdasarkan dari pengetahuan atau keahlian khusus yang ia miliki. Seperti yang tertulis dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Kepada seorang ahli, diberlakukan segala aturan yang berlaku pada saksi seperti pada Pasal 185 KUHAP. Namun, diantara keduanya terdapat perbedaan dalam hal keterangan yang diberikan maupun lafal sumpah yang dinyatakan sebelum memberi keterangan. Lafal sumpah saksi pun berbeda dengan lafal sumpah ahli. Lafal bagi saksi berbunyi:... Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar, tak lain daripada yang sebenarnya. Sedangkan lafal bagi ahli berbunyi:... Saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya. Dengan demikian, maka ahli bukanlah orang yang akan memberi keterangan mengenai fakta yang ia dengar atau ia lihat, melainkan ahli menyampaikan pendapat sebagaimana pengetahuan yang dikuasainya Rafiqa Qurrata A yun,skripsi, Keterangan Ahli Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia,(Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hal 30

31 68 Bantuan yang dapat diberikan dokter sebagai ahli dalam rangka menemukan kebenaran materil ialah memberikan keterangan tentang 58 : 1. Teori Dibidang Kedokteran Dalam hal ini dokter di tingkat penyidikan atau di tingkat pemeriksaan di pengadilan, hanya diminta untuk memberikan keterangannya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran untuk membuat terang perkara pidana. Kepada dokter tidak disodori sesuatu barang bukti untuk di periksa, melainkan disodori berbagai pertanyaan atau diminta menerangkan sesuatu hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang mungkin dapat membantu memperjelas perkara pidana yang sedang diperiksa. Jika misalnya ada seseorang tenaga medis di tuduh melakukan kelalaian sehingga menyebabkan pasiennya meninggal dunia maka dalam mengadili perkara seperti ini hakim perlu meminta bantuan dokter atau lebih untuk memberi keterangan tentang berbagai hal, misalnya tentang prosedur yang benar dari suatu tindakan medik bagi penanggulangan penyakit pasien tersebut atau untuk menilai apakah tindakan medik yang telah diberikan oleh tenaga medis yang di adili itu telah memenuhi standar pengobatan atau belum. Jadi, dalam perkara ini dokter yang di panggil tersebut hanya akan menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang tidak diketahui oleh penegak hukum. 58 Alfred C. Satyo, Op.Cit, hal 15

32 69 2. Sesuatu Objek Dalam hal ini dokter disodorkan sesuatu objek benda untuk di periksa dan dianalisa lebih dahulu sebelum ia memberikan keterangannya kepada pihak peminta mengenai objek benda tersebut. Objek benda itu bisa terdakwa, korban atau objek objek lain 59. a. Objek terdakwa Objek terdakwa perlu dimintakan keterangan kepada dokter sebagai ahli apabila : 1. Terdakwa menunjukan gejala-gejala kelainan jiwa, pemeriksaan dokter disini adalah untuk membuktikan : a. Apakah ia benar-benar menderita penyakit jiwa? b. Apa jenis penyakit jiwa tersebut? c. Apakah jenis penyakit jiwa tersebut menyebabkan ia tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya? 2. Terdakwa yang tidak diketahui dengan jelas berapa umurnya. Terdakwa yang demikian ini perlu diketahui umurnya agar dapat ditentukan statusnya sebagai terdakwa anak-anak atau terdakwa dewasa. Dalam tata cara mengadili terdakwa anak berbeda dengan tata cara mengadili terdakwa dewasa. Sidang pengadilan anak-anak harus tertutup, di dalam rangan tidak berkesan sebagai ruang sidang pengadilan dan pejabat-pejabat yang mengadilinya tidak boleh memakai toga. Bila terbukti bersalah hukuman yang di berikan dapat berupa hukuman badan, di serahkan menjadi anak negara atau di kembalikan kepada orang tuanya untuk dididik. 59 Alfred C. Satyo, Op.Cit, hal 16

33 70 3. Terdakwa dicurigai menderita impotensi, sedangkan tindak pidana yang dituduhkan merupakan tindak pidana yang mempunyai unsur persetubuhan (pemerkosaan, perzinahan, dsb). Perlu di ketahui bahwa seorang penderita impotensi tidak mungkin dapat melakukan persetubuhan, dengan demikian tidak mungkin ia dapat melakukan tindak pidana perkosaan atau perzinahan. 4. Terdakwa wanita yang diduga melakukan tindak pidana Infantieide (menbunuh bayinya sendiri), tetapi ia menyangkal telah melahirkan anak. Melalui pemeriksaan dokter akan dapat dibuktikan apakah ia benar-benar telah melahirkan anak atau tidak. b. Objek korban Objek korban terdiri atas korban hidup dan korban mati, selanjutnya korban hidup terdiri atas yang menderita luka-luka dan tindak pidana seksual. Sedangkan korban mati terdiri atas bayi dan bukan bayi : 1. Objek korban hidup yang menderita luka-luka, akibat penganiyaan, percobaan pembunuhan, peracunan, dan sebagainya, perlu dimintakan keterangan dokter sebagai berikut : a. Jenis luka yang diderita b. Jenis kekerasannya (benda penyebab luka) c. Kualifikasi lukanya. 2. Objek korban hidup dari tindak pidana seksual, bantuan dokter dalam perkara ini untuk membuktikan : a. Ada tidaknya tanda-tanda akibat persetubuhan.

34 71 b. Ada tidaknya luka-luka, jika ada luka-luka maka dijelaskan tentang : jenis luka yang diderita, jenis kekerasannya, dan kualifikasi lukanya. c. Dalam hal diduga korban persetubuhan mau sama mau di bawah umur, sedang korban itu tidak jelas umurnya, maka perlu dimintakan keterangan dokter tentang umur korban. 3. Objek korban mati bayi, perlu dimintakan keterangan kepada dokter tentang : a. Apakah bayi itu viable (mempunyai kemampuan hidup diluar kandungan) atau tidak b. Apakah bayi lahir hidup atau mati c. Apakah kematiannya wajar (karena penyakit) atau tidak wajar, jika tidak wajar perlu ditentukan : jenis lukanya, jenis kekerasannya, dan sebab kematiannya. d. Lamanya bayi sempat hidup diluar kandungan. 4. Objek korban mati bukan bayi, bantuan dokter dipelukan untuk mengetahui : a. Apakah kematiannya wajar karena penyakit atau tidak wajar. b. Jika tidak wajar perlu diketahuk antara lain : jenis lukanya, jenis kekerasannya, dan sebab kematiannya. c. Objek - objek lain Termasuk objek objek lain ialah : a. Bercak darah / bercak yang di duga darah b. Bercak mani / bercak yang di duga mani

35 72 c. Benda benda atau jaringan jaringan yang berasal atau duduga berasal dari tubuh manusia. Objek lain-lain ini perlu dimintakan bantuan kepada dokter ahli agar dari objek tersebut dapat membantu menemukan kebenaran materil. C. Kewajiban Dokter Sebagai Ahli Menyadari pentingnya peranan dokter dalam membantu menyelesaikan perkara-perkara pidana, maka pembuat Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter apabila ia diminta bantuannya sebagai ahli. Dokter dapat dikenai sanksi apabila tidak melaksanakan kewajibannya tanpa alasan yang sah. Kewajiban-kewajiban itu ialah 60 : 1. Kewajiban Memberikan Keterangan Ahli Ketentuan yang mewajibkan dokter memberikan keterangan sebagi ahli apabila diminta bantuannya dapat dilihat pada Pasal 179 ayat 1 KUHAP, yang menyatakan : setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang berlaku pada tingkat pemeriksaan disidang pengadilan, yang apabila dengan sengaja tidak di patuhi oleh yang bersangkutan tanpa alasan yang sah dapat di kenai sanksi berdasarkan Pasal 224 KUHP. 60 Alfred C. Satyo, Op.Cit, hal 40

36 73 Alasan yang sah yang dapat yang menyebabkan dokter tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai ahli yaitu : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. b. Saudara terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga. c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa. Sebenarnya alasan-alasan itu diperuntukan bagi saksi, tetapi karena ada ketentuan didalam KUHAP yang menyatakan bahwa semua ketentuan untuk saksi berlaku bagi mereka yang memberikan keterangan ahli maka alasan-alasan tersebut berlaku juga bagi dokter. Demikian juga ketentuan yang menyatakan bahwa mereka mempunyai alasan mengundurkan diri dapat memberikan keterangan di bawah sumpah apabila mereka menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya. Tanpa persetujuan dari penuntut umum dan terdakwa, mereka hanya boleh memberikan ketrangan tanpa sumpah. Pada tingkat penyidikan dan penyidikan tambahan dokter juga mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai ahli apabila diminta. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 120 KUHAP.

37 74 2. Kewajiban Mengucapkan Sumpah Atau Janji Pada tingkat pemeriksaan disidang pengadilan, dokter wajib mengucapkan sumpah atau janji sebagai ahli sebelum ia memberikan keterangan dan juga sesudah memberikan keterangannya apabila dipandang perlu oleh hakim. Dalam hal dokter menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan penyidik sewaktu memberikan keterangan lisan, dokter tidak boleh disandera. Penyanderaan hanya dimingkinkan pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan surat penetapan hakim ketua sidang. D. Kendala Yang Dihadapi Dokter Dalam Membantu Pembuktian Perkara Pidana Di dalam melakukan tugas-tugasnya pada proses pemeriksaan untuk mempermudah proses penyidikan, dokter sering mendapat hambatan dalam pemeriksaannya. Hambatan-hambatan tersebut ialah 61 : 1. Keterbatasan fasilitas ilmu forensik di Indonesia dapat dikatakan masih jauh tertinggal dengan negara-negara maju, seperti yang diketahui bahwa ilmu forensik ini sangat penting dalam membuat terang suatu kasus kejahatan namun sarana ataupun fasilitas kurang didukung dengan baik dari pemerintah, dan juga kemampuan rumah sakit atau institusi kesehatan dalam menyimpan data rekam medis juga terbatas. 2. Kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter. Didalam menyelesaikan suatu perkara tidak jarang seorang penyidik memerlukan bantuan dokter untuk ikut melakukan pemeriksaan di Tempat Kejadian 61 Sri Ingeten br. Perangin angin, Op.Cit, hal 72

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

Sumpah Dokter SAYA BERSUMPAH BAHWA :

Sumpah Dokter SAYA BERSUMPAH BAHWA : Sumpah Dokter SAYA BERSUMPAH BAHWA : 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan. 2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat

Lebih terperinci

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes visum et Repertum Keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwewenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum VISUM et REPERTUM Pengertian Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi. Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

Lebih terperinci

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KONSEP MATI MENURUT HUKUM KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana. 22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

RELEVANSI Skm gatra

RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER DIVISI BIOETIKA DAN MEDIKOLEGAL FK USU RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan surat-surat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

MEDIKO LEGAL PADA HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI. Dr. H. Edi Sulistyono, MM ( Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Pati )

MEDIKO LEGAL PADA HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI. Dr. H. Edi Sulistyono, MM ( Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Pati ) MEDIKO LEGAL PADA HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI Dr. H. Edi Sulistyono, MM ( Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Pati ) SUMPAH DOKTER Demi Allah ( Demi Tuhan ) saya bersumpah, bahwa: 1. Saya akan membaktikan hidup

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini tentu akan menyebabkan Indonesia memiliki perilaku dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Visum et Repertum 2.1.1. Pengertian Visum et Repertum Secara harfiah kata Visum et Repertum berasal dari kata visual (melihat) dan reperta (temukan), sehingga Visum et Repertum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF 0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindaraan terjadi melalui

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN MEDIS

SURAT KETERANGAN MEDIS SURAT KETERANGAN MEDIS & VISUM et REPERTUM Presented by : Sarah Habibah Nurul Azizah M David Grandisa Deden Panji W Neti Watini LAB. ILMU KEDOKTERAN FORENSIK & MEDIKOLEGAL FK UNJANI SURAT KETERANGAN MEDIS

Lebih terperinci

Istilah kode berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.

Istilah kode berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan. Apa itu Kode Etik? Aturan etika adalah terjemahan dari asasasas etika menjadi ketentuan-ketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter Prof. dr. AMRI AMIR, Sp.F(K), DFM, SH K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering terjadi Dibutuhkan

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN SKRIPSI/ PENULISAN HUKUM TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : Laurensius Geraldy Hutagalung NPM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna PENGANTAR MEDIKO-LEGAL Budi Sampurna PROFESI KEDOKTERAN SUMPAH HIPOKRATES : LARANGAN-LARANGAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN (Hindari perbuatan amoral / non standar) UTAMAKAN KEBEBASAN PROFESI RAHASIA KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2017 KKI. Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan Pengaduan Disiplin. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016 PERAN FORENSIK DALAM KASUS MALPRAKTEK MENURUT PASAL 133 KUHAP 1 Oleh : Ridwan Darma 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran ilmu kedokteran forensik dalam mengusut

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil pengamatan dan pembahasan dapat ditarik sebagai kesimpulan berikut : 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum Didalam prosedur tetap Rumah Sakit Umum

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

Urgensi Pemeriksaan Kedokteran Forensik pada Fase Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana Oleh: Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H.*) 1. Pendahuluan Dalam penerapan dan penegakan hukum, khususnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci