HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 22 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Induksi Kalus Embriogenik. Jenis media dasar dan komposisi media yang digunakan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi kecepatan terjadinya induksi kalus dari jaringan yang digunakan. Selain itu, adanya zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam media kultur juga merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan induksi kalus dari jaringan eksplan yang dikulturkan. Shirin et al. (2007) mengatakan bahwa adanya auksin 2,4-D dalam media kultur dapat mempercepat terjadinya induksi kalus. Tao (2002) menyatakan bahwa 2,4-D merupakan golongan auksin paling baik untuk mengiduksi terjadinya kalus dibandingkan golongan auksin 4-CPA, NAA, T, MCPA, dicamba, dan picloram. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa respon nuselus terhadap perlakuan media kultur memberikan pengaruh terhadap peubah lamanya induksi kalus. Berdasarkan uji F terhadap umur tumbuh kalus dari setiap media kultur yang di uji (M1, M2, M3, M4) secara umum memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Tabel 1 menunjukan bahwa komposisi media kultur M1 merupakan media yang terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dari eksplan nuselus, diikuti oleh media M2, M3 dan M4. Kecepatan induksi kalus pada media M1 adalah selama 22.4 hari, 25.2 hari pada media M2, 27.3 hari pada media M3, dan 29.1 hari pada media M4. Tabel. 1 Respon nuselus terhadap perlakuan media kultur terhadap lama inisiasi kalus dan persentase pembentukan kalus. Media kultur M1 M2 M3 M4 Lama inisiasi kalus (hari) 22.4 a 25.2 ab 27.3 b 29.1 b Persentase eksplan menjadi kalus (%) a b b b rata-rata jumlah PEM Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. M1 = Murashige & Tucker + 3 mg/l BAP + 1 mg/l 24-D, M2 = Murashige & Skoog + 3mg/l BAP, M3 = Murashige & Skoog + Vit. MW, M4 = Murashige & Tucker + 0,5 mg/l NAA + 1,5 mg/l BAP. Semua media perlakuan ditambah 500 mg/l ekstark malt.

2 23 Kecepatan terjadinya induksi kalus pada media M1 diduga karena adanya kombinasi auksin (1 mg/l 2,4-D) dengan sitokonin (3 mg/l BAP) dan penambahan 500 mg/l ekstrak malt. 2,4-D merupakan senyawa golongan auksin yang sangat baik untuk mengiduksi terbentuknya kalus. Kiong et al. (2008) menyatakan 2,4-D merupakan senyawa auksin yang paling baik digunakan untuk induksi kalus embriogenik pada berbagai jenis eksplan jeruk manis dimana waktu inisiasi ratarata selama 25.7 hari. Watter dan Constabel (1992) menyatakan bahwa BAP dapat memacu pertumbuhan kalus baru dan dapat meningkatkan persentase terbentuknya tunas. Aftal et al Menyatakan bahwa BAP merupakan sitokinin yang sangat baik untuk memacu pertumbuhan kalus setelah terinduksi oleh auksin. Husni (2010) menyatakan bahwa dengan pemberian 3 mg/l BAP dapat mempercepat waktu inisiasi kalus dimana rata-rata waktu yang dibutuhkan selama 14 hari pada jeruk Siam Simadu dan Siam Pontianak. Hal ini didukung oleh Wattimena (1992) yang menyatakan bahwa pada beberapa tanaman sitokinin sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus. Sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman berfungsi antara lain untuk proses pembelahan sel. Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa persentase kalus terbesar yang terbentuk juga berasal dari media kultur M1 dengan persentase kalus tumbuh sebesar 40%. Hal ini berbeda nyata dengan perlakuan pada media kultur M2, M3 dan M4 dimana persentase terbentuknya kalus tumbuh berturut 32.12%, 25% dan 27.02%. Husni 2010 menyatakan bahwa media MT merupakan media terbaik bila dibandingkan dengan media MS dan MW dimana persenatse pembentukan kalus pada media MT sebesar 82 %. Altaf et al menyatakan bahwa kombinasi 0.25 mg/l BAP dan 0.05 mg/l 2,4 D juga dapat menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Kinov Mandarin. Kalus yang dihasilkan dari media perlakuan M1 bersifat embriogenik dimana ciri kalus embriogenik yaitu mempunyai sturktur pre embrio (PEM) (Husni 2010). Tingginya jumlah PEM yang dihasilkan pada media M1, selain pengaruh ZPT yang diberikan kemungkinan dikarenakan komposisi media dasar dan vitamin penunjang. Komposisi media dasar pada media kultur M1 adalah Murashige & Tucker (MT) dimana komposisi vitaminnya10 kali lebih banyak dari pada kompsisi vitmain media kultur Murashige & Skoog (MS). Hal ini didukung

3 24 A B C C Pre embrio Pre embrio Globular Globular Pre embrio D Gambar 5. Induksi kalus embriogenik dari eksplan nuselus pada media perlakuan M1 (A= nuselus, B = kalus, C = PEM perbesaran 40x, D = kalus embriogenik mengandung PEM dan globular) Hasil penelitian Husni (2010) yang menggunakan media dasar tersebut mendapatkan persentase pembentukan kalus pada jeruk siam Simadu sebesar 86% dan jeruk siam Pontianak sebesar 88%. PEM yang dihasilkan merupakan calon embrio somatik (Gambar 5C). PEM akan berkembang menjadi tanaman baru setelah ditumbuhkan pada media pendewasaan dan dilanjutkan pada media perkecambahan. Media M1 merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik walaupun hasilnya tidak berbeda nyata dengan media lainnya. Gambar 5B menunjukkan kalus terbaik pada media M1 stelah 4 MST dengan tekstur yang remah. Rata-rata PEM yang terbentuk pada media M1 adalah 31.0, kemudian diikuti media perlakuan M2, M4 dan M3. Gambar 5D memperlihatkan struktur kalus yang embriogenik dimana pada kalus tersebut terlihat banyak PEM dan sebagian ada yang mangandung struktur globular. Selain pengaruh ZPT diduga komposisi vitamin yang terdapat pada media MT lebih kaya unsur hara yang dibutuhkan sel untuk dapat berkembang. Hal ini didukung oleh pendapat Olivera et al. (1994) yang melaporkan bahwa media dasar MT merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik pada jeruk Cleopatra Mandarin (Citrus reticulata Blanco). Hal serupa juga dilaporkan oleh Husni et al. (2010)

4 25 yang melaporkan bahwa media MW dan MT merupakan media terbaik untuk menginduksi terjadinya kalus dengan struktur PEM pada jeruk siam Simadu dan Pontianak. 2. Proliferasi Kalus Embriogenik Komposisi media dasar sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kalus. Inisiasi pembentukan kalus baru berhubungan dengan penambahan diameter kalus. Diharapkan dengan terbentuknya kalus baru maka peluang memperbanyak kalus yang embriogenik semakin besar. Selain media dasar, komposisi vitamin sebagai faktor penunjang juga memberikan peranan penting dalam terjadinya pembentukan kalus baru. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa kandungan media dasar, penambahan vitamin dan komponen penunjang sangat berpengaruh terhadap penambahan diamater kalus yang terlihat pada grafik laju pertambahan diameter kalus pada Gambar 6. Pertambahan diameter kalus (mm) 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 2,5 2,3 2,4 2,2 1,8 1,7 1,7 1,7 1,8 1,4 1,4 1,5 1,6 1,5 1,5 1, Laju pertambahan kalus minggu ke Gambar 6. Pertambahan diamater kalus pada media perlakuan MK1, MK2, MK3, dan MK4. MK4 merupakan media kultur terbaik jika dibandinagkan dengan media MK1, MK2, dan MK3. Grafik pertambahan diameter kalus memperlihatkan bahwa Perlakuan MK4 merupakan media yang sangat responsif terhadap pertambahan diameter kalus. Selama 4 minggu rata-rata pertambahan diameter kalus pada media MK4 sebesar 2.3 mm pada minggu ke-1, 2.5 mm pada minggu ke-2, 2.4 mm pada minggu ke-3, dan 2.2 mm pada minggu ke-4. Media dasar MK4 adalah MW dengan penambahan Kasein hidrolisat. Kasein hidrolisat berperan dalam inisiasi pembentukan kalus baru (Shiaty et al. 2004) Kasein MK1 MK2 MK3 MK4

5 26 hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan ditambahkan dalam media in vitro sebagai sumber asam amino (Gunawan 1992). Sukma (2004) menyatakan Penambahan kasein hidrolisat dapat membantu meningkatkan hasil biomasa dan kandungan protein total yang didapat dari kultur tanaman paria belut (Trichosanthes cucumerina). Vitamin yang digunakan pada media kultur MK4 adalah MW dimana di dalam komposisi vitamin ini terdapat biotin dan ca-pantothenat. Peran ca-panthotenat pada media MW sebagai penyumbang kalsium dan asam panthotenat yang berfungsi untuk mencegah terjadinya penuaan pada jaringan. Defisiensi kalsium menyebabkan translokasi karbohidrat terganggu sehingga sel yang terdapat pada jaringan yang aktif membelah menjadi mati (Gunawan 1992). Sedangkan asam pantotenat yang terdapat pada ca-panthotenat berperan dalam proses perubahan karbohidrat menjadi energi dan dapat mempercepat proses proliferasi jaringan (Wetter & Constabel 1992). Hal ini sesuai dengan pendapat Husni (2010) yang menyatakan bahwa respon inisiasi kalus dari eksplan nuselus jeruk Siam terbaik berasal dari media kultur dengan penambahan vitamin MW. Penambahan vitamin MW pada induksi kalus embriogenik, regenerasi kalus embriogenik menjadi tunas, regenerasi protoplas menjadi kalus dan tunas pada tanaman terung-terungan sangat baik digunakan (Husni et al. 2004). Penambahan kasein hidorlisat pada media MK4 turut memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan media kultur lainnya. Pengaruh kasein hidrolisat terhadap pertumbuhan sel kalus pernah dilaporkan Rahim et al. (2000); Ricci et al. (2007); Carimi (2005) menyatakan bahwa asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat dapat meningkatkan bobot dan laju pertumbuhan kalus. Kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks dan dapat ditambahkan dalam media in vitro sebagai sumber asam amino (Siregar et al. 2004). Penambahan kasein hidrolisat pada media kultur dapat memperbesar fase sekunder dari eksplan yang dikulturkan (Sukma et al. 2003). Penambahan kasein hidrolisat ke dalam media dapat memacu pembentukan kalus yang embriogenik. Kasein hidrolisat merupakan sumber N di dalam media dimana asam amino yang terdapat pada kasein hidrolisat merupakan senyawa organik kompleks sebagai sumber N organik. Sumber N organik lebih cepat

6 27 diserap tanaman dari pada sumber N anorganik. Lestari et al. (2009) menyatakan bahwa penambahan 500 mg/l kasein hidrolisat memberikan pengaruh yang baik dalam regenerasi kalus embriogenik. Kalus yang dihasilkan pada media kultur MK4 juga tetap bersifat embriogenik dengan struktur kalus yang remah dan banyak mengandung PEM (Gambar 7C ) A B C Gambar 7. Proliferasi kalus embriogenik dari pada media MK4 (A= umur kalus 3 minggu, B = penampakan kalus secara mikroskopik C= PEM ). Penambahan kasein hidrolisat pada media yang mengandung vitamin Morel dan Wetmore (MK4) terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan kalus baru sehingga diameter kalus bertambah. Gambar 7B menunjukkan bahwa kalus yang dihasilkan masih bersifat embriogenik dimana terlihat banyak PEM. Heimer dan Filner (1970) melaporkan bahwa kasein hidrolisat pada media merupakan sumber nitrogen yang sangat baik untuk pertumbuhan kalus pada tembakau, kacangkacangan (Crocomo et al. 1976) dan produksi kalus dari tanaman ercis (Cardi & Monti 1993). Vitamin Morel dan Wetmore merupakan vitamin yang komposisinya lebih lengkap dibandingkan dengan vitamin MS, yaitu mengandung kalsium pantotenat dan biotin yang dapat memacu pertumbuhan jaringan. Elshiaty et al. (2004) dan Badawy et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian biotin mempengaruhi perkembangan kalus embriogenik. Penambahan komponen tersebut pada media berpengaruh baik terhadap regenerasi kalus sebesar 63% pada pepaya (Damayanti 2007) dan dapat memacu proliferasi kalus nilam (Hutami el al. 2001)

7 28 3. Pendewasaan embrio somatik Embriogenesis somatik secara langsung terbentuk dari sel-sel tunggal yang meristemoid dengan sifat embrioid serta aktif membelah sehingga tumbuh dan berkembang membentuk embrio somatik yang mempunyai dua kutub (bipolar) yang muncul sebagai tunas dan akar (Husni 2010). Salah satu faktor paling penting yang berkaitan dengan pertumbuhan dan pendewasaan embrio somatik adalah komposisi media kultur yang digunakan. dari jaringan Tabel 2 menunjukan bahwa penambahan 2.5 mg/l ABA berbeda nyata dengan semua perlakuan pada peubah fase jantung dan fase kotiledon. Penambahan 2.5 mg/l ABA dalam media kultur merupakan konsentrasi ABA yang paling baik memacu pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik struktur globular menjadi fase jantung, fase torpedo, dan fase kotiledon dengan efisiensi pendewasaan sebesar 98.6 %. Efisiensi pendewasaan adalah kemampuan ABA dalam mendewasakan struktur globular hingga didapat embrio dengan fase akhir yaitu kotiledon. Efisiensi pendewasaan didapatkan dengan cara menjumlahkan tahap pendewasaan ES (fase jantung, fase terpedo dan kotiledon) kemudian dibagi dengan jumlah globular awal dan dikali 100%. Tabel 2. Pengaruh penambahan ABA terhadap rata-rata pendewasaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam. Media kultur Tahap pendewasaan embrio somatik MW dengan Penambahan ABA (mg/l) Jumlah globular awal Fase Jantung Fase Terpedo Fase Kotiledon Efisiensi pendewasaan (%) b 4.4 b 6.2 a 4.2 b 3.6 b 4.4 a 3.6 b 4.2 ab 3.4 b 3.8 b 5.0 a 4.0 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin Morel & Wetmore Rata-rata jumlah embrio somatik fase jantung ati adalah 6.2, fase torpedo 3.6 dan fase kotiledon 5.0 kemudian diikuti penambahan 2 mg/l ABA dengan efisiensi pendewasaan sebesar 88%, penambahan 3 mg/l ABA sebesar 82% dan pemberian 1.5 mg/l ABA sebesar 70.6%. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik pada fase globular menjadi fase jantung, torpedo, kotiledon dan sitologinya terdapat pada Gambar 8. Hasil percobaan pendewasaan

8 29 embrio somatik pada Tabel 2 terlihat bahwa penambahan konsentrasi 2.5 mg/l ABA pada medium MW berpengaruh nyata terhadap semua fase pendewasan embrio.tingginya efisiensi pendewasaan embrio somatik yang terdapat pada perlakuan dengan penambahan 2.5 mg/l ABA diduga karena konsentrasi yang diberikan mampu untuk mempercepat fase pendewasaan embrio somatik. Perlakuan dengan penambahan 3 mg/l ABA efisensi pendewasannya sebesar 82.6 % lebih kecil jika dibandingkan dengan penambahan konsentrasi 2 mg/l ABA dengan efisiensi 88%. Hal ini kemungkinan disebabkan ABA yang diberikan terlalu besar sehingga menghambat proses pendewasaan embrio somatik. Hal serupa juga disampaikan oleh Kobashi et al. (2001) yang menyatakan bahwa penambahan konsentrasi 10-6 mg/l ABA berpengaruh nyata bila dibandingkan penambahan konsentrasi 10-4 mg/l ABA dengan sumber gula fruktosa. Pendewasaan embrio somatik pada tanaman jeruk sangat tergantung dari komposisi ZPT yang diberikan kepada eksplan (Husni 2010). Pendewasaan embrio somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lintasan kultur in vitro, konsentrasi karbohidrat, dan level dari ABA (Anjaneyulu & Giri 2008). Embrio somatik pada proses pendewasaan akan berhenti berproliferasi, ukurannya membesar, dan mulai mengakumulasi cadangan nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Embrio dirangsang untuk menjadi dewasa dengan menggunakan asam absisik (ABA) dan meningkatkan potensial osmotik (Egerstsdotter 1999). Menurut Renukdas et al. (2006) peningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dengan penambahan etilen antagonis pada konsentrasi tinggi (10 μm) seperti spermidine, ABA, dan AgNO3. Pemberian ABA harus sesuai dengan konsentrasi yang diberikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan (Santi & Kusumo 1996). Husni (2010) menambahkan bahwa dengan penambahan 0.5 mg/l ABA dapat meningkatan efisiensi pendewasaan embrio somatik jeruk Siam sampai 90%. ABA merupakan salah satu inhibitor yang berperan dalam proses pematangan atau pendewasaan. Gambar 8 menunjukan bahwa terjadi perkembangan globular menjadi fase jantung. Fase jantung merupakan awal pembentukan embrio dimana terdapat struktur awal bipolar (Gambar 8B) yang akan terus berkembang menjadi fase

9 30 terpedo (Gambar 8C). Memasuki fase terpedo, sel akan mengarahkan pertumbuhannya ke arah bawah dan membentuk meristem akar hal ini ditandai dengan terbentuknya struktur batang. Akhir dari pematangan embrio akan terbentuk kotiledon sempurna dimana pada bagian meristem tunas dan meristem akar mulai terbentuk (Gambar 8D). Pemberian ABA pada embrio somatik bertujuan agar mempercepat fase pendewasaan sehingga didapat kotiledon yang siap ditumbuhkan. Selain itu pemberian ABA juga dapat menekan terjadinya pertumbuhan embrio yang prematur. Kotiledon yang terbentuk pada akhir fase pematangan kemudian dipindah ke media perkecambahan agar berkembang menjadi tanaman utuh (planlet). Hal tersebut juga dilaporkan oleh Cardoza et al. (2002) bahwa pemberian konsentrasi 0.5 mg/l ABA pada kalus yang diinduksi dari nuselus menunjukan adanya fase pendewaasan embrio somatik yang dimulai dari globular kemudian jantung dan kotiledon. Pemberian konsentrasi 10 μm ABA pada oak dapat meningkatkan persentase pendewasaan sebesar 36% (Mauri 2004). Pendewasaan embrio somatik pada jeruk dimulai dari terbentuknya globular kemudian fase jantung, fase terpedo dan kotiledon (Husni 2010). Hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa pengaruh konsentrasi ABA terhadap pendewasaan embrio somatik menunjukan hasil yang nyata. Faktor endogen yang terdapat pada eksplan juga sudah cukup besar sehingga dengan penambahan eksogen yang terlalu besar justru memberikan efek negatif. Penurunan efisiensi perkecambahan juga dilaporkan oleh Mauri dan Manzenera (2004) yang menggambarkan bahwa pemberian ABA dengan penambahan 40 μm ABA tidak lebih baik dari pada penambahan ABA 10 μm untuk pendewasaan embrio somatik pada Holm oak.

10 31 A1 A2 B1 B2 C1 C2 kotiledon Bakal tunas Bakal akar D1 D2 Gambar 8. Perkembangan embrio somatic dan sitologinya ( A1 & A2 = Fase globular, B1 & B2 = Fase heart, CI & C2 = Fase torpedo, D1 & D2 = Kotiledon)

11 32 4. Perkecambahan Embrio Somatik. Perkecambahan embrio somatik setelah fase pendewasaan menjadi tanaman lengkap sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengaruh faktor lingkungan (suhu dan cahaya ) dan komposisi ZPT yang terdapat pada media perkecambahan. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang mampu mendorong, mengatur dan menghambat proses fisiologis tanaman. Salah satu ZPT yang berperan dalam proses perkecambahan embrio somatik adalah GA 3 (Davies, 2004). GA 3 berperan dalam menggiatkan fungsi kerja aktivitas α-amilase dalam metabolisme sehingga terjadi perkecambahan (Woodger et al. 2004). Hal ini juga terbukti pada perkecambahan embrio somatik jeruk siam Simadu dan Pontianak dengan menggunakan GA 3 yang mengakibatkan efisiensi perkecambahan menjadi meningkat (Husni 2010). Tabel 3. Pengaruh penambahan GA 3 terhadap rata-rata perkecambahaan embrio somatik pada umur 4 minggu setelah tanam. Media kultur MW dengan penambahan GA 3 (mg/l) Jumlah fase kotiledon Awal Tahap Perkecambahaan embrio somatik Rata-rata Planlet Efisiensi perkecambahaan (%) b 5.4 b 8.4 a 6.8 b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan 2.5 mg/l GA 3 berbeda nyata dengan semua taraf perlakuan pada peubah jumlah planlet yang terbentuk. Berdasarkan data percobaan yang telah diperoleh didapatkan informasi bahwa pemberian konsentrasi GA 3 pada media kultur berpengaruh terhadap fase perkecambahan dari embrio somatik menjadi tanaman lengkap. Tabel 3 menunjukan bahwa efisiensi perkecambahan terbesar terdapat pada perlakuan penambahan konsentrasi 2.5 mg/l GA 3. Efisiensi perkecambahan tanaman pada media dengan pemberian 2.5 mg/l GA 3 adalah sebesar 84% dengan rata-rata planlet 8.4. Efisiensi perkecambahan adalah kemampuan dari konsentrasi GA 3 yag diberikan dalam mengecambahkan kotiledon hingga tahap planlet. Efisiensi

12 33 perkecambahan tanaman dengan penambahaan kosentrsi 3 mg/l GA 3 sebesar 68% dengan rata-rata planlet 6.8, penambahan konsentrasi 2 mg/l GA 3 sebesar 54% dengan rata-rata planlet 5.4 dan penambahan konsentrasi 1.5 mg/l GA 3 sebesar 52 % dengan rata-rata planlet 5.2. Perkecambahan embrio yang sempurna ditandai dengan pembentukan akar dan munculnya tunas (Gmietter & Moore 1986). Hasil penelitian Husni (2010) didapatkan informasi bahwa dengan penambahan GA 3 dengan konsentrasi 1.5 mg/l memberikan pengaruh yang nyata terhadap fase-fase perkecambahan embrio somatik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Kuniktake et al. (1991) yang menyatakan bahwa penambahan GA 3 pada media kultur meningkatkan efisensi perkecambahan sebesar 5 % dengan waktu hari pada jeruk. Tingginya efisiensi perkecambahan pada perlakuan 2.5 mg/l GA 3 diduga karena konsentrasi tersebut merupakan kondisi optimum yang diperlukan eksplan untuk melakukan proses perkecambahan dari embrio somatik, sedangkan pada penambahan konsentrasi 3 mg/l GA 3 terlalu tinggi untuk inisiasi perkecambahan sehingga terjadi penurunan efisiensi perkecambahan. Hal serupa pernah dilaporkan oleh Acar et al. (2010) yang menyatakan terjadinya penurunan persentase perkecambahan hingga 50% pada Pistacia vera dengan penambahan konsentrasi GA 3 hingga 100 mg/l. Hal tersebut juga didukung oleh hasil percobaan Ake et al. (2007) yang mendapatkan penurunan efisiensi perkecambahan 40% pada konsentrasi 46 μm GA 3 bila dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Penambahan konsentrasi 3 mg/l GA 3 tidak terlalu efisien dalam perkecambahan embrio somatik karena terjadinya pembelahan sel yang terjadi terus menerus sehingga menurunkan efisiensi perkecambahan. Tahap perkecambahaan embrio somatik hingga menjadi tanaman lengkap menurut Husni (2010) dimulai dari pembentukan fase terompet kemudian diikuti fase pembukaan kotiledon lalu proses perkecambahan hingga terbentuk tanaman lengkap (Gambar 9). Tabel 3 menunjukan bahwa pembentukan planlet terbesar terdapat pada konsentrasi 2.5 mg/l GA 3 dengan rata-rata pembentukan planlet sebesar 8.4 per botol. Hal serupa juga dilaporkan oleh Komatsuda et al. (1992) dengan penambahan konsentrasi GA 3 pada media kultur dapat meningkatkan proses perkecambahan menjadi planlet sebesar 90% pada tanaman kedelai.

13 34 A B C D E Gambar 9. Fase perkecambahan embrio somatik pada media 2.5 mg/l GA 3 (A = fase terompet, B = fase pembukaan kotiledon, C = fase perkecambahan membentuk akar, D = perkecambahan membentuk akar dan tunas, E = Planlet umur 4 minggu setelah berkecambah) GA 3 merupakan senyawa yang mengandung gibban skeleton yang berperan dalam menstimulasi pembelahan sel serta mobilisasi cadangan makanan dari endosperm untuk pertumbuhan embrio. Perkecambahan dari embrio somatik yang ditunjukan pada Gambar 9 dimulai dari fase perkembangan kotiledon muda yang memasuki fase terompet (Gambar A) dan pembukaan kotiledon (Gambar 9B). Pada fase ini terlihat bahwa perkembangan kotiledon terjadi pada bagian tunas atas dimana bagian daun mulai terbentuk. Fase perkecambahaan embrio somatik dimulai ketika kotiledon mulai membuka yang ditandai dengan terbentuknya akar (Gambar 9C). Terbentuknya akar akan mengoptimalkan penyerapan hara sehingga pertumbuhan planlet yang dikecambahkan menjadi maksimal. Akar akan tumbuh pada fese ini dan berkembang untuk menyerap hara yang terdapat di sekitar media. Terbentuknya akar pada embrio somatik menjadikan pertumbuhan embrio somatik menjadi optimal yang ditandai dengan terbentuknya organ lengkap seperti akar, daun dan batang pada tanaman (Gambar 9E). Pertumbuhan dan pekembangan planlet dioptimalkan dengan cara dipindakan ke media tanpa ZPT. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko penuaan pada planlet akibat perkembangan sel yang terjadi secara cepat karena terinduksi oleh ZPT. Pemberian konsentrasi GA 3 yang berbeda pada embrio somatik ternyata memberikan pengaruh terhadap tipe-tipe perkecambahan embrio somatik (Gambar 10). Variasi pekecambahan yang ditunjukkan merupakan efek dari pemberian konsentrasi GA 3 mulai dari tipe yang sulit untuk berkecambah (roset) pada gambar 10E, hingga perkecambahan tunas yang lebih dari dua tunas (Gambar 10D). Variasi tunas yang muncul lebih dari dua paling banyak

14 35 ditemukan pada perlakuan 2.5 mg/l GA 3 sedangkan variasi embrio somatik dengan tipe roset banyak dijumpai pada perlakuan 3 mg/l GA 3. Hal yang sama juga diperoleh dari hasil perkecambahan biji jeruk yang menghasilkan tunas lebih dari satu karena sifat poli embrioni yang dimilikinya. Hal ini membuktikan bahwa embrio somatik yang berasal dari sel-sel nuselus juga memilki sifat yang sama seperti embrio yang yang tumbuh dari biji jeruk. Gambar 10 memperlihatkan perbandingan berbagai tipe perkecambahan embrio somatik dan embrio zigotik. A B C D E Gambar 10. Variasi perkecambahan embrio somatik dan perkecambahan biji (A = perkecambahan biji, B = variasi embrio somatik 1 tunas, C = variasi embrio somatik 2 tunas, D = variasi embrio somatik labih dari 2 tunas, E = variasi embrio somatik tipe roset) Gambar 10A merupakan perkecambahan dengan menggunakan biji pada media kultur tanpa pemberian GA 3 jika dibandingkan dengan Gambar 10C dan 10D terlihat bahwa melalui ES yang berkembang dari jaringan non zigotik juga memiliki kemampuan yang sama dalam berkecambah dimana rata-rata tunas yang dihasilkan lebih dari satu. 5. Multiplikasi Tunas Embrio Somatik. Multiplikasi tunas pada embrio somatik tanaman jeruk secara khusus bertujuan untuk memgoptimalkan jumlah tunas yang tumbuh dengan cara memanfaatkan sifat poli embrioni. Hasil multiplikasi pada teknik kultur jaringan dioptimalkan dengan cara memodifikasi media tumbuh seperti manambahkan vitamin (Park et al. 2000) thiamin, pyridoxin (Dods & Robert. 1995) dan biotin (Shiaty et al. 2004). Vitamin yang diujikan sebagai perlakuan pada percobaan ini adalah biotin. Biotin merupakan salah satu jenis vitamin yang umum digunakan untuk embrio somatik (Shiaty et ai. 2004) serta regenerasi tanaman (Khalil & Elbanna 2003).

15 36 Embrio somatik yang dihasilkan kemudian dikulturkan pada media MW dengan penambahan beberapa konsentrasi biotin (0, 1, 3, 5, dan 7 mg/l). Hasil percobaan pada Tabel 4 menunjukan bahwa pemberian konsentrasi yang berbeda ternyata berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas baru yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi biotin yang ditambahkan maka akan semakin tinggi pula efisiensi multiplikasi tunas yang dihasilkan dan jumlah tunas yang dihasilkan juga lebih banyak. Penambahan 7 mg/l biotin merupakan konsentrasi terbaik dimana efisiensi multiplikasi tunas sebesar 86% dengan pertambahan tunas rata-rata Hal ini berbeda nyata dengan kosentarsi 0, 1, 3, 5 mg/l biotin dimana efisiensi multiplikasi tunasnya sebesar 24 %, 42 %, 46 % dan 50%. Tabel 4. Pengaruh konsentrasi biotin terhadap rata-rata jumlah multiplikasi tunas Media kultur penambahan biotin (mg/l) Jumlah ES awal Rata-rata ES somatik bermultiplikasi Multiplikasi tunas Rata- rata jumlah tunas baru yg muncul 0.20 b 0.40 b 0.46 b 1.00 b 3.06 a Saat muncul tunas baru (hari) 20.2 d 19.1 c 17.9 b 16.9 b 15.0 a Efisiensi multiplikasi tunas (%) Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore Tingginya pembentukan tunas pada media dengan penambahan 7 mg/l biotin diduga konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi yang tepat untuk menginduksi tunas baru. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa munculnya tunas baru tercepat juga berasal dari media perlakuan yang sama dengan lama hari 15.0 hari. Penambahan 7 mg/l biotin terhadap peubah umur muncul tunas berbeda nyata juga terhadap media perlakuan lainnya dimana waktu terlama muncul tunas terdapat pada media kontrol (0 mg/l biotin) dengan lama waktu 20.2 hari. Selain berpengaruh terhadap jumlah tunas yang muncul pemberian biotin ternyata berpengaruh juga terhadap saat muncul tunas baru.

16 37 A B C D Gambar 11. Multiplikasi tunas dengan penambahan 7 mg/l Biotin (tanda panah merupakan tunas baru ) A, B, C = tunas umur 4 mst, D = tunas dewasa) Gambar 11 memperlihatkan bahwa pemberian 7 mg/l biotin memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas baru. Gambar 11A, 11B, dan 11C menunjukkan secara jelas bahwa tunas-tunas baru yang muncul setelah 4 mst. Kondisi tunas pada saat tersebut masih sangat muda dimana jumlah daun rata-rata 2-3 helai sedangakan pada Gambar 11D umur tunas telah di atas 5 minggu dimana tunastunas baru mulai menunjukan fase dewasa. Gambar 11D memperlihatkan bahwa batang dan daun telah terbentuk sempurna pada kondisi ini tunas-tunas tersebut telah siap dipisah untuk ditanam dan atau diberi perlakuan untuk pertumbuhan perakaran. 6. Induksi Perakaran. Sistem perakaran pada embrio somatik merupakan hal yang penting dan sangat dibutuhkan. Secara umum fungsi utama akar pada tanaman in vitro sama seperti fungsi akar pada tanam lapang yaitu menyerap unsur hara yang terkandung pada media dan sebagai penopang agar tanaman tidak reba. Sifat poli embrioni yang terdapat pada embrio somatik jeruk memungkinkan embrio somatik untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Akar pada kondisi tersebut yang terbentuk pada tunas primer tidak akan cukup banyak untuk menyarap hara pada media untuk itu diperlukan pengiduksian akar pada tanaman hasil multiplikasi tunas embrio somatik tersebut. Percobaan induksi perakaran dilakuan pada tunas hasil multiplikasi dengan beberapa jenis ZPT golongan auksin. Auksin merupakan golongan zat pengatur tumbuh yang dapat mengatur terjadinya pertumbuhan akar (Liu et al. 1998). Gaspar et al. (1996) menyatakan bahwa auksin sangat diperlukan dalam organogenesis termasuk dalam pembentukan akar. Auksin

17 38 dengan konsentrasi yang tepat dapat meningkatkan inisiasi dan induksi akar (IBA, NAA dan IAA) (Nandagopal & Kumari 2007). Tabel 5. Pengaruh IBA, NAA dan IAA terhadap induksi perakaran 5 mst Media kultur MW dengan penambahan ZPT (mg/l) Kontrol IBA 3 mg/l NAA 3 mg/l IAA 3 mg/l Jumlah tunas Jumlah tunas berakar Saat muncul akar (Hari) 26.0 b 15.3 a 18.0 a 18.4 a Induksi akar Jumlah akar 0.30 c 5.40 a 3.70 b 3.50 b Panjang Akar (Cm) 0.46 c 1.34 a 0.96 b 0.93 b Efisiensi induksi akar (%) Keterangan :Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.05) pada uji DMRT. Media dasar yang digunakan Murashige & Skoog dengan penambahaan vitamin morel & wetmore. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh informasi bahwa dengan menambahkan 3 mg/l IBA dapat menginduksi terbentuknya akar pada tunas embrio somatik jeruk. Semua jenis auksin yang digunakan dapat menginduksi terbentuknya akar (Tabel 5). Tabel 5 menunjukan bahwa pemberian auksin IBA, NAA, dan IAA pada tunas tidak berpengaruh nyata terhadap peubah saat muncul akar tetapi berbeda nyata dengan tunas tanpa auksin. Pemberian 3 mg/l IBA memberikan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah akar dan panjang akar. Pemberian 3 mg/l IBA lebih baik dari pada 3 mg/l NAA dan 3 mg/l IAA dengan efisiensi keberhasilan pembentukan akar menggunakan ZPT IBA sebesar 86%. Kemudian diikuti NAA sebesar 73.3% dan IAA sebesar 69%. Efek IBA terhadap keberhasilan dalam menginduksi akar juga di laporkan Islam et al. (2005) dimana efesiensi perakaran tanaman Cicer arietinum naik sampai 90% dengan pemberian 0.50 mg/l IBA. Sedangkan pada tanaman Sugarcane penambahan 3 mg/l IBA memberikan efisiensi perakaran sebesar 88 %. Pengaruh IBA terhadap peubah saat muncul akar lebih baik jika dibandingkan dengan NAA dan IAA walaupun tidak berpengaruh nyata. IBA pada peubah muncul akar merupakan ZPT yang tercepat dalam mengiduksi terjadinya perakaran dimana lama waktu yang dibutuhkan selama 15.3 hari kemudian diikuti oleh IAA dan NAA dengan lama induksi 18.4 dan 18 hari sedangkan tanaman kontrol membutuhakn waktu lebih lama yaitu 26 hari. Hal

18 39 yang sama dilaporkan Gantait et al. (2009) bahwa IBA merupakan ZPT yang sangat baik untuk kecepatan induksi perakaran pada tunas Dendrobium chrysotoxum bila dibandingkan dengan NAA dan IAA. A B C D Gambar 12. Variasi induksi perakaran tunas dengan penambahan IBA, NAA dan IAA (A = tanaman kontrol umur 5 mst, B = induksi perakaran dengan 3 mg/l IBA umur 5 mst, C = induksi perakaran dengan 3 mg/l NAA umur 5 mst, D = induksi perakaran dengan 3 mg/l IAA umur 5 mst). Selain itu IBA juga merupakan ZPT yang sangat respon terhadap pertambahan jumlah dan panjang akar (Polat & Caliskan 2008). Pemberian 2 mg/l IBA juga telah dilaporkan berhasil menginduksi terjadi kecepatan muncul akar pada tanaman kedelai dimana akar mulai muncul pada hari ke 12 (Liu et al. 1998). IBA pada peubah jumlah dan panjang akar (Tabel 12) dengan konsentrasi yang sama masih merupakan ZPT yang lebih baik jika di bandingakn dengan NAA dan IAA dimana rata-rata jumlah akar yang terbentuk 5.40 sedangkan pada NAA dan IAA sebesar 3.7 dan 3.5. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ucelar et al. (2004) yang menyimpulkan bahwa IBA sangat baik digunakan untuk menginduksi banyaknya jumlah akar primer pada buah kiwi dan panjang akar pada jeruk (Bhatt & Tomar 2010). IBA merupakan ZPT yang baik untuk merangsang aktifitas perakaran seperti memproduksi jumlah akar (Tabel 5) hal tersebut didukung oleh pendapat Hassan et al. (2010) yang mendapatkan jumlah akar rata-rata 6.2 dengan penambahan konsentrasi 2.0 mg/l IBA pada tunas Ficus glomerata. Hal ini menurut Islam et al. (2005) karena pada IBA kandungan kimianya lebih stabil dan persistensi lebih lama. IAA biasanya mudah menyebar kebagian lain sehingga menghambat perkembangan serta pembentukan akar.

19 40 Penggunaan NAA yang kurang tepat konsentrasinya akan memperkecil peluang terbentuknya akar (Ghopitha et al. 2010). Gambar 12A memperlihatkan bahwa tunas pada media kontrol (MW tanpa ZPT) juga dapat tumbuh akar tetapi tidak sebanyak tunas yang diberi ZPT (Gambar 12B, 12C dan 12D). Waktu yang diperlukan untuk induksi akar pada media kontrol cukup lama sekitar rata-rata 26 hari dengan jumlah akar rata-rata Hal ini dapat terjadi karena kandungan endogen auksin yang terdapat pada tunas masih dapat digunakan untuk pembentukan akar. Liu et al. (1998) yang menyatakan bahwa endogenous auksin pada tunas dapat merubah arah perkembangan atau pertumbuhan. 7. Penghitungan Jumlah Kromosom Keseragaman tanaman yang dihasilkan melalui jalur embriogenesis somatik sangat diperlukan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan bibit yang seragam dan identik dengan induk. Variasi jumlah kromosom yang timbul dalam sistem regenerasi embriogenesis somatik dipengaruhi oleh lingkungan dan lamanya umur kultur. Indrayasa (2010) melaporkan bahwa umur kultur yang lama pada tanaman jeruk Siam Pontianak menyebabkan terjadinya variasi jumlah kromosom. Variasi jumlah kromosom yang muncul diduga karena pengaruh subkultur yang berulang-ulang dan berlangsung dalam tempo yang lama. Analisis kromosom dilakukan secara acak terhadap sampel akar dari tunas ES. Tujuan dari analisis ini untuk mengetahui ada atau tidaknya variasi jumlah kromosom pada tanaman yang dihasilkan melalui regenerasi secara ES. Variasi jumlah kromosom yang timbul berdasarkan perbedaan fenotip bisa disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap jumlah kromosom. Gambar 13. Pengamatan kromosom pada akar tunas jeruk keprok batu 55 hasil regenerasi embrio somatik

20 41 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada sampel akar dari tunas hasil ES diketahui bahwa jumlah kromosom tanaman sampel berjumlah 2x = 18. Hal ini membuktikan bahwa pada sistem perbanyakan dengan teknologi ES ternyata tidak mempengaruhi jumlah kromosom dari pada tanaman sampel. Gambar 13 menunjukkan bahwa jumlah kromosom pada akar 2n=2X=18 artinya bahwa secara in vitro tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah kromosom hasil ES dengan jumlah kromosom hasil in vivo. Indarayasa (2010) menyatakan bahwa umur kultur yang lama dapat mempengaruhi tingkat ploidi pada tanaman in vitro jeruk 2n = 2X=18 menjadi 2n = 3X=27. Jumlah kromosom berhubungan dengan ukuran sel karena semakin banyak jumlah kromosom yang terdapat dalam satu sel maka akan mempengaruhi ukuran sel tersebut, selain itu jumlah kromosom juga dapat mewakili tingkat ploidi (Suryo 2007). Jumlah kromosom merupakan sarana karakterisasi pada tingkat seluler untuk identifikasi pada tanaman. Pengamatan kromosom hasil regenerasi secara ES memperlihatkan bahwa jumlah kromosom tersebut dapat mewakili tingkat ploidi dari jeruk keprok batu 55 hasil ES. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Sastrosumarjdo (2008) yang menyatakan bahwa pengamatan pada kromosom dapat digunakan untuk klasifikasi atau penggolongan dari spesies yang dilihat dari jumlah dan bentuknya. 8. Embrio Somatik Sekunder Embrio somatik sekunder merupakan produk dari embrio somatik primer dimana pada keadaan tertentu embrio somatik primer mampu memproduksi lagi embrio somatik. Embrio somatik sekunder pada jeruk muncul ketika media kultur mengandung GA 3. Tepatnya ketika proses perkecambahan dari embrio somatik primer. Tokuji dan Kuriyama (2003) melaporkan bahwa GA 3 mampu memproduksi embrio somatik sekunder ketika embrio somatik primer memasuki fase globular. Kemunculan embrio somatik sekunder juga dikaitkan dengan perlakuan eksogen yang diberikan seperti pengaruh pemberian GA 3 (Sutanto & Azis 2006). Banyak embrio somatik pada saat melakukan pengecambahan membentuk embrio somatik sekunder, sehingga menyebabkan jumlah embrio somatik bertambah banyak, akan tetapi untuk memperoleh planlet dari jumlah

21 42 embrio yang dihasilkan diperlukan waktu yang lama karena memerlukan waktu untuk mendewasakan embrio somatik sekunder menjadi planlet (Mujib & Samaj 2009). Pendewasaan embrio somatik sekunder menggunakan konsentrasi media terbaik pada embrio somatik primer yaitu 2.5 mg/l ABA. Hal yang sama juga digunakan pada perkecambahan embrio somatik sekunder dimana konsentrasi terbaik terdapat pada 2.5 mg/l GA 3. Tabel 6. Pengaruh penambahan ABA terhadap pendewasaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l ABA ES sekunder ES primer Jumlah globular awal Tahap pendewasaan embrio somatik sekunder Fase jantung Fase terpedo Fase Kotiledon Efisiensi pendewasaan (%) Tabel 6 menunjukan bahwa terdapat penurunan efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder. Efisiensi pendewasaan pada embrio somatik sekunder sebesar 92.6% jika dibandingkan dengan embriosomatik primer sebesar 98.6% terjadi penurunan 0.6%. Ini berarti dengan menggunakan embrio somatik sekunder kita masih bisa mendapatkan efisiensi pendewasaan yang tinggi sehingga embrio somatik sekunder masih bisa digunakan untuk perbanyakan selanjutnya. Pola fase pendewasaan pada embrio somatik sekunder sam dengan embrio somatik primer dimana perkembangan setelah fase globular adalah fase jantung, fase terpedo dan kotiledon.

22 43 A B C Gambar 14. Embrio somatik sekunder (A dan B = kalus embrio somatik sekunder pada fase perkeecambahan embrio somatik primer. C= kalus embrio somatik sekunder pada fase globular) Embrio somatik sekunder pada Gambar 14 terlihat dapat tumbuh pada saat fase-fase tertentu. Gambar 14A dan 14B menjelaskan bahwa embrio somatik sekunder tumbuh pada media perkecambahan embrio somatik primer dimana pada media kultur tersebut mengandung GA 3. Pada Gambar 14C kalus embrio somatik sekunder tumbuh pada fase globular hal ini diduga karena pengaruh eksogen yang diberikan mampu menumbuhkan embrio somatik sekunder. Oktavia et al menjelaskan bahwa eksogen sangat berperan aktif dalam membantu proses pembelahan sel pada planlet yang dikulturkan. Tabel 7. Pengaruh penambahan GA 3 terhadap perkecambahaan embrio somatik sekunder dan primer pada umur 4 minggu setelah tanam Media kultur MW dengan Penambahan 2.5 mg/l GA 3 Jumlah kotiledon Awal Tahap Perkecambahaan embrio somatik sekunder Planlet Efisiensi perkecambahaan (%) ES sekunder ES primer Tabel 7 menunjukan bahwa pada perkecambahan embrio somatik sekunder mengalami kenaikan sebesar 4% dimana efisiensi perkecambahan menjadi 88.0%. planlet yang terbetuk pada perkecambahan embrio somatik sekunder sebesar 8.8 sedangkan pada perkecambahan embrio somatik primer sebesar 8.4. terjadi peningkatan 0.4. Gambar 15 menjelaskan urutan fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l ABA,

23 44 sedangkan pada efisiensi perkecambahan embrio somatik primer hanya 84.0%. Hal serupa pernah dilaporkan Sukmadjaja (2005) yang mendapatkan embrio somatik sekunder dihasilkan relatif sama dengan embrio somatik primer pada media dengan kandungan GA 3 pada cendana 9. Aklimatisasi Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Akllimatisasi merupakan masa penyesuaian tanaman in vitro yang akan dipindah ke lapang. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan intensitas cahaya rendah dan kelembaban nisbi tinggi, kemudian secara berangsur-angsur kelembabannya diturunkan dan intensitas cahayanya dinaikkan (Yusnita 2003). Tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur. Tabel 8. Pengaruh aklimatisasi pada embrio somatik 4 MST Kondisi ES yang diaklimatisasi ES tanpa akar ES berakar A B C D Gambar 15. Fase pendewasaan embrio somatik sekunder dengan penambahan 2.5 mg/l ABA (A = fase globular, B = fase jantung, C = fase terpedo, D = fase kotiledon) Jumlah embrio somatik Jumlah ES yang hidup 2 MST 3 MST 4 MST Efisiensi aklimatisasi % Keterangan : Media aklimatisasi yang digunakan adalah campuran humus dan tanah dengan penambahaan vitamin morel & wetmore. Dari hasil percobaan didapatkan informasi bahwa ES yang berakar dapat bertahan hidup sedangkan ES tanpa akar tidak dapat bertahan hidup (Tabel 8)

24 45 Tabel 8 memperlihatkan bahwa efisiensi aklimatisasi dari planlet ES yang berakar sebesar 90%. Hal ini sangat berbeda jauh terhadap ES tanpa akar diamana efisiensinya hanya sebesar 5%. Tebel 9 menunjukan perbedaan yang signifikan terjadi setiap minggu pada planlet embrio somatik yang hidup. Planlet ES tanpa akar dan planlet ES berakar pada minggu pertama setelah aklimatisasi (data tidak ditampilakan) semuanya masih bertahan hidup (100%). Planlet ES yang mati pada minggu ke 2 mulai terlihat terutama pada planlet ES yang tidak memiliki akar. Hal tersebut berlangsung terus menerus hingga minggu ke 4 hanya satu planlet ES yang bertahan hidup sedangkan pada ES yang berakar mampu bertahan hidup sebanyak 18 planlet ES. Keberhasilan aklimatisasi ES tidak terlepas dari jumlah akar yang terbentuk pada saat induksi perakaran. Semakin banyak akar yang terbentuk maka akan semakin besar peluang ES bertahan hidup ketika diaklimatisasi. ES yang mampu bertahan hidup ketika diaklimatisasi memiliki warna yang cerah dan segar (Gambar 16A, dan 16B) sedangkan ES tanpa akar umumnya batang dan daun berwarna kuning dan layu ketika diaklimatisasi (Gambar 16C dan 16D), Akibatnya daun dan batang menjadi transparan, berwarna hijau muda hingga pucat dengan kandungan klorofil yang rendah (Olmos & Hellin 1998). Tingginya efisiensi aklimatisasi ES yang berakar dikarenakan kondisi awal ES. Hal ini didukung oleh Rohayati dan Marlina (2009) yang menyatakan keberhasilan aklimatisasi sangat tergantung dari kondisi awal planlet. Pertumbuhan ES yang diaklimatisasi akan semakin optimum sejalan dengan berkembangnya akar. Semakin berkembangnya akar maka akan semakin optimum pertumbuhan tanaman tersebut (Gambar 16E) sedangkan planlet ES tanpa akar akan mengalami kematian karena planlet ES tanpa akar tidak sanggup membentuk akar (Gambar 16F). akar pada kondisini ini akan lebih aktif dalam menyerap hara pada media tanam, hal tersebut terbukti dengan bertambahnya panjang dan jumlah akar.

25 46 A B C D E F G Gambar 16. Aklimatisai tunas embrio somatik (A dan B = planlet ES yang diinduksi perakaran, C dan D = planlet ES tanpa induksi akar, E = Planlet ES berakar 4 minggu setelah aklimatisasi, F = Planlet ES tanpa induksi akar sekunder 3 minggu setelah aklimatisasi, G = planlet umur 5 minggu ) Gambar 16E dan 16F menunjukan bahwa pertumbuhan akar setelah aklimatisasi selama 4 minggu bertambah panjang jika dibandingkan dengan ES sebelum diaklimatisasi (Gambar 16B, 16C, dan 16D). Hal ini diduga karena keaktifan dari hormon auksin yang terdapat pada jaringan akar yang bekerja optimal ketika ES berada didalam tanah. Dalam kondisi gelap auksin lebih aktif bekerja terutama pada akar sehingga terjadi pertambahan panjang dan jumlah dari akar tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pemanjangan pada akar (Gambar 16E) semakin banyak akar maka semakin banyak hara yang diserap sehingga pertumbuhan ES semakin optimum. 10. Grafting Teknik regenerasi ES dapat diterapkan juga untuk program perbaikan sifat, salah satu cara yang dapat ditempuh dengan cara grafting atau metode sambung. Garfting dilakukan dengan cara menyambungkan batang bawah yang unggul

26 47 dengan tunas batang atas hasil regenersai ES. Hasil akhir dari grafting adalah didapatkan tanaman dengan batang bawah yang kompatibel dengan batang atas agar didapatkan tanaman elit. Model yang digunakan untuk batang atas pada penelititan ini berasal dari in vitro jeruk batu 55 dengan batang bawah yang berasal dari Jeruk JC (Japanish citroen). Batang atas yang digunakan harus bebas dari virus dan mempunyai karakter unggul. Hasil penelitian yang telah dilakuan terhadap metode grafting menunjukan bahwa dari 40 batang atas yang disambung dengan batang bawah menunjukan tingkat kompatibel yang baik. Rata rata persentase keberhasilan batang untuk bertahan hidup sampai minggu keempat menunjukan 62.4% batang atas dapat bertahan hidup (Tabel 9). Tabel 9. Perkembangan batang atas ES setelah grafting pada 4 mst Pengamatan (minggu ke) Rata-rata jumlah daun (helai) Rata-rata pertambahan pertumbuhan perminggu Rata-rata Tinggi tanaman (cm) Persentase tunas Hidup (%) Rata-rata keseluruhan Grafting yang hidup pada minggu pertama rata-rata pertambahan daun masih relatif sedikit yaitu 0,58 helai sedangkan pertambahan tinggi hanya 0,16 cm. tunas yang disambung pada minggu pertama masih mengalami adaptasi terhadap lingkungan baru sehingga terjadi stress pada tunas baru sehinga pertmbuhan daun dan tinggi tanaman belum stabil. Untuk mengurangi penguapan tunas harus dibungkus dengan plastik transparan hal ini bertujuan mengurangi stress pada tunas akibat penguapan. Persentase tunas yang hidup pada minggu pertama sebesar 67.4%, 65.0% pada minggu kedua, 65.0% pada minggu keempat 62.4%. Banyak tunas pada minggu pertama yang mengalami sterss akibatnya sebagian tunas mati. Adapatsi tunas ES terhadap grafting sangat dipengaruhi oleh faktor suhu. Suhu sangat menentukan keberhasilan metode dari grafting tersebut dimana tanaman in vitro

27 48 selama siklus hidupnya selalu mendapatkan suhu yang stabil ketika tunas tersebut digunakan di lapang maka akan terjadi proses adaptasi. Tunas yang dapat bertahan pada masa penyesuaian maka akan memilikin peluang untuk hidup sedangkan tunas yang tidak bisa bertahan akan mengalami stres dan akhirnya mati. B C A D E Gambar 17. Pertumbuhan tunas ES grafting pada umur 1 minggu (A = hasil grafting, B = penyungkupan dengan plastik, C & D = umur garfting 1 minggu E = tunas yang mati) Tunas yang mampu bertahan pada saat grafting akan terlihat lebih vigor sedangkan tunas yang tidak mampu bertahan akan layu. Tunas yang tidak dapat bertahan menunjukan gejala kematian (Gambar 17E). Persentase tunas hasil grafting yang hidup pada minggu ke 3 minggu ke 4 cenderung meningkat. Hal itu disebabkan oleh tunas yang dapat bertahadan tidak lagi mengalami stres dan dapat beradaptasi dengan batang bawah. Tunas ES pada umur dua minggu yang digrafting telah mendapat menyerap unsur hara melalui batang bawah dan fotosintesis mejadi lebih optimal ketika sungkup plastik dibuka. Tunas yang vigor ditandai dengan bertambahnya jumlah daun dan tinggi tunas seperti yang terlihat pada Tabel 9. Jumlah daun dan tinggi tanaman akan terus bertambah setiap

28 49 A B C Gambar 18.Perkembangan tunas ES grafting. (A = tunas grafting umur 2 minggu, B = Tunas grafting umur 3 minggu, C = tunas grafting umur 4 minggu). minggunya jika kebutuhan hara yang tersedia di dalam tanah tersedia dengan baik. Kompabilitas antara batang bawah dan batang atas sangat menentukan keberhasilan dalam teknik grafting. Secara umum Mathius et al. (2006) menjelaskan bahwa sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas saling kontak, menyatu dan membaur, sel-sel parenkima yang terbentuk dan terdiferensiasi membentuk kambium sebagai lanjutan dari lapisan kambium batang bawah dan batang atas yang lama. Dari lapisan kambium akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas atau sebaliknya hasil fotosintesis dari batang atas ke batang bawah berlangsung sebagaimana mestinya. Diharapkan melalui proses grafting ini didapatkan model untuk batang atas yang berasal dari regenerasi tanaman secara embriogenesis somatik dengan batang bawah yang berasal dari biji dan stek. Selain itu dengan teknik grafting ini diharapkan akan mempersingkat masa vegetatif pada tanaman jeruk dimana tanaman ini mempunyai juvenilitas yang tinggi menyebabkan masa vegetatif yang lama. Metode grafting juga menguntungkan untuk tanaman yang memiliki perakaran yang tidak kuat, dan dapat bertahan pada berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Gambar 18C memperlihatkan bahwa antara batang atas dan batang bawah telah memiliki kompatibiltas yang satbil. Pertumbuhan tunas hasil grafting akan maksimal jika dilakukan pemangkasan tunas-tunas muda dari batang bawah yang tumbuh kembali dan perawatan terhadap tunas batang atas

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons pertumbuuhan tertinggi diperoleh pada eksplan biji panili yang ditanam dalam medium tomat. Pada perlakuan tersebut persentase rata-rata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. Selama masa inkubasi, kalus mulai terlihat tumbuh pada minggu ke-5. Data hari tumbuhnya kalus seluruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK MODUL - 3 DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK Oleh: Pangesti Nugrahani Sukendah Makziah RECOGNITION AND MENTORING PROGRAM PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.) REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.) Oleh : Toni Herawan disampaikan pada : Seminar Nasional Bioteknologi Hutan YOGYAKARTA, OKTOBER 2012 PENDAHULUAN Cendana tumbuh dan berkembang secara alami

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan I. Induksi Kalus Awalnya percobaan ini menggunakan rancangan percobaan RAL 2 faktorial namun terdapat beberapa perlakuan yang hilang akibat kontaminasi kultur yang cukup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggrek merupakan jenis tanaman hias yang digemari konsumen. Jenis anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan Phalaenopsis dari Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Kacang Tanah Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan 25 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan Sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen, dan kelembaban

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2011 sampai bulan Juli 2011 di lahan Pembibitan Kebun Percobaan Cikabayan, IPB Darmaga. Penelitian diawali dengan pemilihan pohon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS 1 RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS Nurhafni Pembimbing : Dra. Yusmanidar Arifin, M. Si dan Milda Ernita, S. Si. MP

Lebih terperinci

Regenerasi Tanaman secara In Vitro dan Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi

Regenerasi Tanaman secara In Vitro dan Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi Regenerasi Tanaman secara In Vitro dan Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi Berita, Institusi - Kamis, September 20, 2012 http://biogen.litbang.deptan.go.id/index.php/2012/09/regenerasi-tanaman-secara-in-vitro-dan-faktor-faktor-yang-mempenaruhi/

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan yang teramati selama aklimatisasi menunjukkan suhu rata-rata 30 o C dengan suhu minimum hingga 20 o C dan suhu maksimum mencapai 37 o C. Aklimatisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Saat ini, manggis merupakan salah

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Variabel pertumbuhan yang diamati pada eksplan anggrek Vanda tricolor

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Variabel pertumbuhan yang diamati pada eksplan anggrek Vanda tricolor IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Variabel pertumbuhan yang diamati pada eksplan anggrek Vanda tricolor berupa rerata pertambahan tinggi tunas, pertambahan jumlah daun, pertambahan jumlah tunas, pertambahan

Lebih terperinci

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Kuliah 11 KULTUR JARINGAN GAHARU Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi KULTUR JARINGAN Apa yang dimaksud dengan kultur jaringan? Teknik menumbuhkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut sesuai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut sesuai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi dan Perkecambahan Biji Hasil penelitian menunjukkan biji yang ditanam dalam medium MS tanpa zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut

Lebih terperinci

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi 53 PEMBAHASAN UMUM Peningkatan kualitas buah jeruk lokal seperti jeruk siam Pontianak merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing buah lokal menghadapi melimpahnya buah impor akibat tidak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Turi adalah tanaman leguminosa yang umumnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan ternak). Tanaman leguminosa memiliki kandungan protein yang tinggi, begitu juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara.

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis anggrek asli Indonesia yang penyebarannya meliputi daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK WAHANA INOVASI VOLUME 4 No.2 JULI-DES 2015 ISSN : 2089-8592 PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK Arta

Lebih terperinci

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1)

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1) Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta Reny Fauziah Oetami 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118 Perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kondisi yang memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan atas berbagai pertimbangan

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan perkembangan stek pada awal penanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar seperti air, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan di area penanaman stek.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di Indonesia yang memiliki keunikan berupa rasa manis pada daunnya. Daun stevia ini mengandung sejumlah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Jati Emas (Cordia subcordata) kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Jati Emas (Cordia subcordata) kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jati Emas (Cordia subcordata) Jati Emas (Cordia subcordata) merupakan bibit unggul hasil teknologi kultur in vitro dengan induk tanaman pada mulanya berasal dari Myanmar. Jati Emas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Klasifikasi botani jarak pagar menurut Hambali et al. (2006) yaitu : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN 0 PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN (Leaflet) TERHADAP INDUKSI EMBRIO SOMATIK DUA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO Oleh Diana Apriliana FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Barangan (Musa acuminata L.) Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Beberapa jenisnya seperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Melon (Cucumis melo L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Melon (Cucumis melo L.) TINJAUAN PUSTAKA Botani Melon (Cucumis melo L.) Melon dalam klasifikasi tanaman digolongkan kedalam famili Cucurbitaceae sama seperti blewah (Cucumis melo L.), semangka (Citrullus vulgaris Schard), mentimun

Lebih terperinci

Gambar 3 Peningkatan jumlah tunas aksiler pada perlakuan cekaman selama 7 hari ( ( ), dan 14 hari ( )

Gambar 3 Peningkatan jumlah tunas aksiler pada perlakuan cekaman selama 7 hari ( ( ), dan 14 hari ( ) HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Waktu Perlakuan Cekaman Kultur jaringan M. bracteata diawali dari biji yang ditanam dalam media pasir selama 1 hari. Setelah itu, pucuk daun sebagai eksplan dipindahkan dalam

Lebih terperinci

KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI

KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK DR. IR. PANGESTI NUGRAHANI, M.SI. MORPHOGENENSIS Proses pembentukan bagian-bagian tanaman (tunas, kalus, akar)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman stroberi telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi bukan jenis yang dikenal saat ini. Stroberi yang dibudidayakan sekarang disebut sebagai stroberi modern (komersial)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Konsentrasi Air Kelapa (Cocos nucifera) terhadap Viabilitas Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa var. sabdariffa) Berdasarkan hasil analisis (ANAVA) pada lampiran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

TEKNOLOGI KULTUR JARINGAN PERBANYAKAN TANAMAN SELAIN BENIH. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Pertama BBP2TP Surabaya

TEKNOLOGI KULTUR JARINGAN PERBANYAKAN TANAMAN SELAIN BENIH. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Pertama BBP2TP Surabaya TEKNOLOGI KULTUR JARINGAN PERBANYAKAN TANAMAN SELAIN BENIH Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Pertama BBP2TP Surabaya Dengan semakin berkembangnya teknologi pertanian penyediaan benih tidak hanya dapat diperoleh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman Dari (tabel 1) rerata tinggi tanaman menunjukkan tidak ada interaksi antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan pemangkasan menunjukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan yang menjadi andalan nasional karena merupakan sumber protein nabati penting

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Keberhasilan suatu penelitian kultur in vitro dipengaruhi oleh eksplan yang hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul dapat dicirikan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN MULTIPLIKASI TUNAS DARI TUNAS IN VITRO (TANAMAN ANGGREK DAN KRISAN) Disusun Oleh : Puji Hanani 4411413023 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Histodifferensiasi Embrio Somatik

BAHAN DAN METODE. Histodifferensiasi Embrio Somatik BAHAN DAN METODE Histodifferensiasi Embrio Somatik Bahan Tanaman Kalus embriogenik yang mengandung embrio somatik fase globular hasil induksi/proliferasi dipisahkan per gumpal (clump) dan diletakkan diatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang dikenal sebagai sumber utama penghasil minyak nabati sesudah kelapa. Minyak sawit kaya akan pro-vitamin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang diyakni merupakan anggrek terbesar yang pernah ada. Anggrek ini tersebar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : RATRIANA RINDA FITRISWARI NPM :

SKRIPSI. Oleh : RATRIANA RINDA FITRISWARI NPM : PERTUMBUHAN BELAHAN EKSPLAN EMBRIO ZIGOTIK KELAPA KOPYOR (Cocos nucifera L.) PADA MEDIA KULTUR DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH DAN BAHAN ADITIF AIR KELAPA SKRIPSI Oleh : RATRIANA RINDA FITRISWARI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 18 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Jeruk Keprok (Citrus nobilis Lour.) Menurut Steenis (2003), tanaman jeruk keprok (Citrus nobilis Lour.) mempunyai sistematika sebagai berikut: Kingdom : Plantae Division

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggrek merupakan tanaman hias yang termasuk ke dalam famili Orchidaceae,

I. PENDAHULUAN. Anggrek merupakan tanaman hias yang termasuk ke dalam famili Orchidaceae, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Anggrek merupakan tanaman hias yang termasuk ke dalam famili Orchidaceae, yang sangat banyak menarik perhatian konsumen. Selain mempunyai nilai estetika yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.) Kultur jaringan merupakan teknik budidaya untuk meningkatkan produktifitas tanaman.

Lebih terperinci

banyak berperan dalam induksi kalus sedangkan BAP termasuk kelompok sitokinin yang berperan dalam pembelahan sel sehingga kalus yang terbentuk dapat

banyak berperan dalam induksi kalus sedangkan BAP termasuk kelompok sitokinin yang berperan dalam pembelahan sel sehingga kalus yang terbentuk dapat PEMBAHASAN UMUM Jeruk keprok Garut merupakan varietas lokal yang telah menjadi komoditas unggulan nasional. Jeruk keprok garut memiliki keunggulan seperti rasa buahnya yang manis menyegarkan dan ukuran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinggi Tanaman Nilam 1 sampai 11 MST Hasil pengamatan tentang tinggi tanaman nilam pada umur 1 sampai dengan 11 MST dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 2. Sidik ragam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan tanaman cabai secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis ataupun embriogenesis. Perbanyakan in vitro melalui organogenesis dilakukan dalam media MS dengan penambahan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas pertanian perkebunan rakyat. Tanaman ini menjadi andalan bagi petani dan berperan penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima Respon awal eksplan leaflet yang ditanam pada media MS dengan picloram 16 µm untuk konsentrasi sukrosa 10,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr) merupakan komoditas andalan dalam perdagangan buah

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr) merupakan komoditas andalan dalam perdagangan buah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas (Ananas comosus [L.] Merr) merupakan komoditas andalan dalam perdagangan buah tropika yang menempati urutan ke dua terbesar setelah pisang. Indonesia merupakan produsen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam industri otomotif dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pengaruh Auksin (2,4 D) Dan Air Kelapa Terhadap Induksi Kalus Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan penghasil beras sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang sesuai untuk perkecambahan pada biji Phalaenopsis amabilis (L.) Bl.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang sesuai untuk perkecambahan pada biji Phalaenopsis amabilis (L.) Bl. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian air kelapa yang sesuai untuk perkecambahan pada biji Phalaenopsis amabilis (L.) Bl. Dari berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis Anggrek merupakan salah satu tanaman hias yang mempunyai bentuk dan penampilan yang indah (Iswanto, 2002). Tanaman

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman utama perkebunan di Indonesia disamping karet, the, coklat dan lain-lain. Kelapa sawit mempunyai masa depan yang cukup cerah saat ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau Pimpinella alpine Molk.

BAB I PENDAHULUAN. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau Pimpinella alpine Molk. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau Pimpinella alpine Molk. KDS.) merupakan tanaman obat asli Indonesia yang keberadaannya telah langka dan berdasarkan tingkat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Nigeria di Afrika Barat, kemudian menyebar ke Amerika Selatan dan sampai kesemenanjung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bunga anggrek memiliki pesona yang menarik penggemar baik di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Bunga anggrek memiliki pesona yang menarik penggemar baik di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bunga adalah salah satu komponen aspek estetika yang merupakan bagian dari hidup manusia. Salah satu bunga yang telah menarik perhatian adalah anggrek. Bunga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang Pisang termasuk ke dalam famili Musaceae. Famili Musaceae terdiri dari dua genera, yaitu genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok, yaitu Australimusa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Benih Kedelai. penyediaan benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Benih Kedelai Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan benih berkualitas tinggi.

Lebih terperinci

Tugas Akhir - SB091358

Tugas Akhir - SB091358 Tugas Akhir - SB091358 EFEKTIVITAS META-TOPOLIN DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO STROBERI (Fragaria ananassa var. DORIT) PADA MEDIA MS PADAT DAN KETAHANANNYA DI MEDIA AKLIMATISASI Oleh Silvina Resti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) TINJAUAN PUSTAKA Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Tanaman ini merupakan tanaman herba semusim dengan tipe pertumbuhan semak berbentuk semak tegak (Balittas 1996). Kenaf termasuk kedalam famili Malvaceae

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Media Tanam dan Pemberian Konsentrasi Mikroorganisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang Nangka Terhadap Penambahan Panjang Akar Semai Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman tanaman hortikultura meliputi tanaman buah, tanaman sayuran dan tanaman hias. Menurut Wijaya (2006), Indonesia

Lebih terperinci

Dalam suatu tumbuhan yang mengalami perkecambahan terdapat: Planula : ujung batang yang akan menjadi sepasang daun, daun lembaga kotiledon kotiledon

Dalam suatu tumbuhan yang mengalami perkecambahan terdapat: Planula : ujung batang yang akan menjadi sepasang daun, daun lembaga kotiledon kotiledon PERKECAMBAHAN 1. Pengertian Perkecambahan merupakan proses metabolism biji hingga dapat menghasilkan pertumbuhan dari komponen kecambah (plumula dan radikal). Definisi perkecambahan adalah jika sudah dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting karena beras masih

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengatnatan terhadap parameter saat muncul tunas setelah dianalisis. Saat muncul tunas (hari)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengatnatan terhadap parameter saat muncul tunas setelah dianalisis. Saat muncul tunas (hari) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.L Saat Muncul Tunas (hari) Hasil pengatnatan terhadap parameter saat muncul tunas setelah dianalisis secara statistik menunjukkan pengaruh nyata (Lampiran 5). Data hasil uji

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian,, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai dari bulan April 2016 hingga Mei

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya

I. PENDAHULUAN. energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Energi merupakan salah satu hal yang sangat penting di dunia. Saat ini sumber energi utama umat manusia diperoleh dari bahan bakar fosil. Masalahnya sekarang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistemnya dalam pasal 20 ayat 1 dan 2 serta Peraturan Pemerintah No. 77

I. PENDAHULUAN. Ekosistemnya dalam pasal 20 ayat 1 dan 2 serta Peraturan Pemerintah No. 77 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kantong Semar merupakan tanaman yang unik dan langka di Indonesia. Status tanaman ini termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkan Undang- Undang No. 5 Tahun 1990 tentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nenas merupakan buah tropika ketiga setelah pisang dan mangga yang diperdagangkan secara global (Petty et al. 2002) dalam bentuk nenas segar dan produk olahan. Hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas atau Pineapple bukan tanaman asli Indonesia Penyebaran nanas di Indonesia pada mulanya hanya sebagai tanaman pengisi di lahan pekarangan, lambat laun meluas

Lebih terperinci