BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta adalah kota pariwisata, kota budaya dan kota pendidikan dengan pembangunan sangat pesat dan kota tujuan urbanisasi. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi di Indonesia. Dinamika kependudukan membuat kebutuhan akan sumberdaya semakin meningkat, contohnya kebutuhan akan ruang. Kebutuhan ruang yang tinggi membuat perlunya dilakukan penataan ruang yang terpadu. Penataan ruang yang terpadu bertujuan untuk efisiensi sumberdaya dan kelestarian lingkungan. Salah satu usaha penataan ruang di perkotaan adalah adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun, keberadaan RTH di perkotaan saat ini memiliki permasalahan menyangkut terbatasnya ruang/lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH (Purnomohadi, 2006). Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan bagian terpenting yang perlu ada di suatu wilayah, terutama perkotaan. Menurut Peraturan Menteri PU No. 05 Tahun 2008 RTH adalah area yang memanjang berbentuk jalur dan atau area mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20% publik dan 10% privat. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Sebagai contoh RTH di kota adalah taman kota, hutan kota, sabuk hijau (green belt), RTH di sekitar sungai, pemakaman, dan rel kereta api. Sedangkan RTH Privat adalah RTH milik institusi tertentu atau perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Penyediaan lahan untuk RTH sangat diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan penduduk yang berada di wilayah tersebut. Menurut Peraturan Menteri PU No. 05 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan RTH yang telah ada baik secara alami ataupun 1

2 2 buatan diharapkan dapat menjalankan empat fungsi sebagai berikut: Pertama, sebagai fungsi ekologis antara lain paru-paru kota, pengatur iklim mikro, sebagai peneduh dan penyerap polutan dalam udara. Kedua adalah fungsi sosial budaya antara lain menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi, dan tempat rekreasi warga. Ketiga adalah fungsi ekonomi yaitu sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, buah, daun, dan sayur mayur ataupun berfungsi sebagai bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan. Keempat adalah fungsi estetika untuk meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik skala mikro (halaman rumah/lingkungan pemukiman), maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan), menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Pemantauan terhadap fungsi RTH dapat dilakukan menggunakan data pengindraan jauh. Pengindraan jauh adalah teknik untuk memperoleh informasi suatu obyek dengan menggunakan alat (wahana) tanpa melakukan kontak langsung terhadap obyek yang dikaji (Lillesand dan Ralph, 1990). Penggunaan data citra satelit dibutuhkan karena citra satelit memiliki cakupan yang luas. Cakupan luas wilayah pada penyajian objek sesuai dengan kenampakan asli, sehingga membuat citra satelit dapat memberikan informasi yang akurat. Pada kegiatan aplikatif ini citra yang digunakan adalah Citra Satelit Quickbird dan Worldview-2. Kedua citra tersebut adalah citra satelit dengan resolusi spasial tinggi sehingga cocok untuk menganalisis RTH yang membutuhkan ketelitian tinggi. Kegiatan ini menganalisis citra yang telah terkoreksi dari distorsi geometrik dan memiliki sistem proyeksi. Setelah terkoreksi kemudian dilakukan interpretasi secara visual untuk mengidentifikasi jenis jenis RTH dan menghitung prosentase perubahannya. Untuk mengetahui perubahan luas RTH, digunakan dua data pengindraan jauh satu wilayah dalam waktu yang berbeda (multi waktu). Perubahan RTH ini kemudian digambarkan dalam bentuk peta dan memerlukan ilmu kartografi untuk simbolisasi jenis - jenis RTH. Wilayah yang dijadikan studi adalah Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Kecamatan Umbulharjo dipilih menjadi daerah penelitian karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah yang mengalami pertumbuhan pembangunan yang

3 3 paling pesat diantara kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW) Kota Yogyakarta sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan permukiman perkotaan dan perdagangan. Wilayah ini dibagi menjadi 7 kelurahan yaitu Kelurahan Giwangan, Kelurahan Mujamuju, Kelurahan Pandeyan, Kelurahan Sorosutan, Kelurahan Semaki, Kelurahan Tahunan, Kelurahan Warungboto. Wilayah ini memiliki karakteristik yang khas dengan laju pertumbuhan yang cepat dan banyaknya wilayah terbangun setelah terjadinya gempa tahun Hal ini membuat peneliti berkeinginan untuk meneliti perubahan RTH di wilayah Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. I.2. Cakupan Kegiantan Cakupan yang mendasari kegiatan aplikatif ini adalah: 1. Data citra yang digunakan dalam kegiatan aplikatif ini adalah Quickbird tahun 2006 dan Worldview-2 tahun 2013 yang mencakup wilayah Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. 2. Perubahan RTH dalam kegiatan aplikatif ini meliputi perubahan luas dari RTH dalam lingkup satu kecamatan (Kecamatan Umbulharjo) dan klasifikasinya menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Perubahan ini merupakan berubahnya suatu RTH dari satu penggunaan menjadi penggunaan lain atau sebaliknya. I.3. Tujuan Tujuan dari kegiatan aplikatif ini adalah pembuatan peta perubahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta berdasarkan dari analisis dua citra yang berbeda epoch (waktu) dan menggambarkan dalam bentuk peta klasifikasi perubahanya berdasarkan Permendagri No 1 tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. I.4. Manfaat Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah memberikan informasi berupa peta perubahan RTH di wilayah Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta dengan data pengindraan jauh. Kegiatan aplikatif ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam bidang ilmu pengetahuan dan masukan bagi pemerintah Kota Yogyakarta

4 4 khususnya Kecamatan Umbulharjo dalam rangka pengambilan kebijakan dan evaluasi pengelolaan RTH di Kecamatan tersebut. I.5. Landasan Teori I.5.1. Ruang Terbuka Hijau I Pengertian RTH. menurut UU No. 26 Tahun 2007 adalah area memanjang dan dapat berupa jalur yang mengelompok, penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman yang bersifat alami maupun sengaja ditanam. Dalam Undang Undang ini mensyaratkan penyediaan RTH minimal sebesar 30% dari luas wilayah kota. Proporsi RTH publik di wilayah kota minimal 20% dari luas wilayah kota dan sisanya berupa RTH privat sebesar 10% dari luas wilayah kota. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan, halaman rumah dan sebagainya (Haryanti, 2008). Ruang Terbuka Hijau kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan bentuk RTH non alami atau RTH binaan bisa berupa pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga dan pemakaman. Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi bentuk RTH kawasan (area) dan RTH jalur (koridor). Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya RTH diklasifikasi menjadi lima jenis yaitu RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan permukiman, RTH kawasan pertanian dan RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, sarana olahraga, kebun alamiah. Sedangkan berdasar status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik pribadi (Pasal 2 Permen PU No.05 Tahun 2008). Dalam skala lingkungan permukiman, sesuai dengan Permen PU No.05 tahun 2008 mempersyaratkan tersedianya ruang terbuka hijau secara berjenjang sesuai

5 5 tingkat kewilayahan, tingkat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), maupun tingkat kota. Pekarangan, atau halaman rumah, luasnya secara umum diatur dalam rencana Koefisien Dasar Hijau (KDH). Idealnya besaran KDH adalah 30 %, sehingga 30% dari luas kapling merupakan RTH yang memiliki fungsi estetis sebagai pelembut bangunan, fungsi ekologis sebagai peneduh, menjamin peresapan air hujan, mencegah erosi percik, pengubah iklim mikro, penyerap timbal, CO2, penyaring debu dan kebisingan, penahan angin serta mengurangi silau matahari. I RTH Kawasan Perkotaan. Merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama lindung dan budidaya. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) dibedakan menjadi beberapa jenis yang meliputi: 1. Taman kota Taman kota yaitu ruang publik di dalam kota yang ditata untuk menciptakan keindahan, kenyamanan, dan kesehatan bagi penggunanya. Pepohonan di taman kota difungsikan memberi manfaat keindahan, penangkal angin dan penyaring sinar matahari. 2. Taman wisata alam Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam untuk kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan ini dikelola oleh pemerintah dengan upaya pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 3. Taman rekreasi Taman rekreasi adalah tempat yang dikhususkan untuk rekreasi di alam terbuka yang berorientasi pada penggunaan sumberdaya alam. Kegiatan di taman rekreasi bersifat aktif seperti piknik, olahraga, permainan dan sebagainya. 4. Taman lingkungan perumahan dan permukiman Taman lingkungan perumahan dan permukiman merupakan taman dengan klasifikasi yang lebih kecil dan diperuntukan untuk kegiatan masyarakat di sekitar permukiman. Taman ini mempunyai fungsi sebagai peredam

6 6 kebisingan, menambah keindahan visual, area interaksi, rekreasi, tempat bermain dan menciptakan kenyamanan lingkungan. 5. Taman lingkugan perkantoran dan gedung komersial Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial merupakan taman dengan klasifikasi yang lebih kecil dan diperuntukan untuk kebutuhan terbatas. Taman ini terletak di kawasan institusi atau pun area perbelanjaan, misalnya pendidikan, perkantoran dan tempat perbelanjaan. 6. Taman hutan raya Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan melestarikan tumbuhan dan satwa untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, budidaya, budaya dan pariwisata. 7. Hutan kota Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota dan sekitarnya, berbentuk jalur, memanjang, mengelompok dan strukturnya menyerupai hutan alami, menimbulkan lingkungan yang sehat, suasana nyaman, sejuk dan estetis. Definisi hutan kota menurut PP No. 63 Tahun 2002, adalah hamparan lahan yang bertumbuhan pohon - pohon rapat dan kompak di wilayah perkotaan baik pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan oelh pejabat berwenang. 8. Hutan lindung Hutan lindung adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi agar fungsi - fungsi ekologisnya terutama menyangkut tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan menjaga kesuburan tanah sehingga manfaatnya dinikmati oleh masyarakat sekitar (UU RI No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan). Hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk hutan disekitarnya), di tepi - tepi pantai yang ditumbuhi hutan bakau dan tempat lainya sesuai tempat yang diharapkan. 9. Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah Bentang alam yaitu aneka ragam bentuk permukaan bumi seperti bukit, gunung, lereng dan lembah yang merupakan satu kesatuan. Bentang alam merupakan ruang terbuka yang tidak dibatasi oleh suatu bangunan dan

7 7 berfungsi sebagai pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan, pengendali pencemaran air dan udara. 10. Cagar alam Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembanganya berjalan secara alami. Cagar alam biasanya digunakan sebagai kawasan budidaya dan penelitian. 11. Kebun raya Kebun raya adalah pusat pengetahuan botani, kawasan konservasi, kawasan pendidikan dan penelitian, dan sekaligus sebagai sarana rekreasi di alam terbuka. 12. Kebun binatang Kebun binatang adalah tempat dimana hewan dipelihara dalam lingkungan buatan yang menyerupai habitat asli hewan tersebut. Kebun binatang digunakan sebagai tempat rekreasi, pembiakan hewan, penelitian, konservasi dan sarana pendidikan. 13. Pemakaman umum Pemakaman umum adalah area terbuka yang merupakan salah satu fasilitas sosial yang berfungsi untuk makam. Lahan pemakaman selain digunakan untuk pemakaman, umumnya memiliki sedikit lahan untuk ruang terbangun dan sisanya ditanami berbagai jenis tumbuhan. Semakin sempitnya lahan di perkotaan membuat pemakaman umum perlu ditata sehingga menunjang tercapainya kebutuhan RTH di kawasan perkotaan. 14. Lapangan olahraga Lapangan olahraga adalah suatu bentuk ruang terbuka sebagai suatu pelataran dengan fungsi utama tempat dilangsungkannya aktivitas olahraga. 15. Lapangan upacara Lapangan upacara adalah suatu ruang terbuka yang dibuat untuk kegiatan upacara. Umumnya lapangan ini berada di halaman perkantoran atau instansi.

8 8 16. Parkir terbuka Parkir terbuka adalah kawasan terbuka yang digunakan untuk memarkir kendaraan, disebut juga taman parkir. Area parkir merupakan area yang sangat penting dipusat perdagangan, perkantoran, stadion olah raga, pasar dan sekolah. Parkir terbuka bisa berupa lahan pengerasan ataupun rumput dan tanaman peneduh. 17. Lahan pertanian perkotaan Lahan pertanian perkotaan adalah lahan yang digunaan untuk fungsi pertanian di kawasan perkotaan. Umumnya lahan pertanian jarang ditemui di perkotaan karena kota sebagian besar cenderung berfungsi sebagai lahan terbangun. 18. Jalur di bawah jaringan tegangan tinggi (SUTT dan SUTET) SUTT (Saluran Udara Tegangan Tinggi) dan SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) adalah sistem penyaluran listrik jarak jauh. Daerah sekitarnya hendaklah tidak dijadikan daerah terbangun namun berupa jalur hijau. Fungsi dari jalur hijau ini sebagai pengaman, pengendalian jaringan listrik tegangan tinggi dan mempermudah dalam melakukan perawatan instalasi. 19. Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa Sempadan adalah RTH yang berfungsi sebagai batas dari sugai, pantai, danau, waduk, situ, mata air serta kawasan limitasi terhadap penggunaan lahan disekitarnya. Fungsi lain dari sempadan adalah untuk penyerapan aliran air, perlindungan habitat dan perlindungan dari bencana alam, misalnya: banjir, tanah longsor dan abrasi pantai. 20. Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian adalah jalur hijau yang berupa pepohonan, rerumputan dan tanaman perdu yang sengaja ditanam untuk membatasi interaksi antara masyarakat dengan jalan raya, rel kereta api, pipa gas dan pembatas pedestrian. 21. Kawasan dan jalur hijau Kawasan adalah suatu area yang dimanfaatkan untuk kegiatan tertentu di wilayah perkotaan dan mempunyai fungsi utama lindung dan budidaya. RTH

9 9 kawasan berbetuk aral dan non-linier dan RTH jalur hijau membentuk koridor dan linier. Jenis RTH berbentuk kawasan yaitu hutan, taman, lapangan olahraga, kebun raya, kebun pembibitan, kawasan fungsional (perdagangan, industri, permukiman dan pertanian) dan kawasan khusus (hankam, perlindungan tata air dan plasma nutfah). Sedangkan RTH berbentuk jalur hijau yaitu koridor sungai, sempadan, tepi jalur jalan, tepi jalur kereta api, dan sabuk hijau. 22. Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara Daerah penyangga adalah wilayah yang berfungsi untuk memelihara dua daerah atau lebih seperti daerah penyangga (Buffer zone) lapangan udara. Daerah penyangga ini berfungsi untuk peredam kebisingan, melindungi daerah lapangan udara dari gangguan luar dan menjaga area apabila terjadi bencana. 23. Taman atap Taman atap adalah taman yang memanfaatkan atap atau teras rumah, gedung baik milik pemerintah maupaun perseorangan sebagai lokasi taman. Taman atap berisi tanaman yang tidak terlalu besar dengan sistem perakaran yang dapat tumbuh di area terbatas. Berdasarkan bobot kealamianya RTH diklasifikasikan menjadi: 1. RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung), 2. RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olahraga dan pemakaman). Berdasarkan sifat dan karakter ekologianya RTH diklasifikasikan menjadi: 1. RTH kawasan (areal, non linier) 2. RTH jalur (korido, linier) Berdasarkan atas penggunaan lahan RTH diklasifikasikan menjadi: 1. RTH kawasan permukiman, 2. RTH kawasan perdagangan, 3. RTH kawasan perindustrian, 4. RTH kawasan pertanian,

10 10 5. RTH kawasan khusus seperti pemakaman, pertahanan dan keamanan, lapangan olahraga dan alamiah. Berdasarkan status kepemilikanya RTH diklasifikasikan menjadi: 1. RTH publik, yaitu RTH yang berada di ruang ruang publik atau lahan lahan yang dimiliki pemerintah, 2. RTH privat (non publik), yaitu RTH yang dimiliki atau berada di lahan - lahan milik privat. Berdasarkan tata letah RTH dapat berwujud: 1. Ruang terbuka kawasan pantai (coastal open space), 2. Dataran banjir sungai (river flood plain), 3. Ruang terbuka pengaman jalan bebas hambatan (greenways), 4. Ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan diujung landasan Bandar udara (buffer zone). Berdasarkan skalanya RTH dapat diklasifikasikan menjadi: 1. RTH makro, seperti kawasan pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota dan buffer zone runway, 2. RTH medium seperti kawasan pertamanan (city park), sarana olahraga, sarana pemakaman umum, 3. RTH mikro, yaitu kawasan terbuka yang ada di setiap kawasan permukiman yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum, seperti taman bermain (playground), taman lingkungan (community park), dan lapangan olahraga. I.5.2. Perubahan Penggunaan Lahan I Perubahan penggunaan lahan. Merupakan berubahnya bentuk penggunaan lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain. Misalnya semula penggunaanya berupa sawah, kemudian setelah beberapa waktu sawah tersebut menjadi permukiman, jasa atau lain sebagainya (Sandy dalam Nugroho, 2012). Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh bermacam macam kegiatan manusia dengan tujuan memenuhi kebutuhannya. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak dijumpai adalah berubahnya lahan pertanian menjadi non-pertanian. Semakin meningkatnya jumlah penduduk maka semakin meningkat pula kebutuhan untuk tempat tinggal atau lahan untuk

11 11 tempat tinggal maupun tempat kegiatan sosial, ekonomi dan budaya (Ritohardoyo, 2013). Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif pada perubahan penggunaan lahan misalnya meningkatnya nilai tanah. Pola harga tanah cenderung mengikuti pola keruangan penggunaan tanah. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Von Thunen (dalam Nurjanah, 2014) yang membuat model tentang sewa tanah dan jarak. Semakin dekat dengan pusat kota maka semakin tinggi harga sewa tanah. Misalnya pada suatu wilayah terdapat perubahan penggunaan tanah berupa pusat perbelanjaan, maka nilai tanah yang berada di sekitarnya akan mengalami peningkatan. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol adalah meningkatnya intensitas banjir, menurunya muka air tanah, dan meluasnya permukiman kumuh. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah (Sutaryono, 2007). Selaras dengan yang dikemukakan oleh Ritohardoyo (2013) bahwa peristiwa akibat dinamika (kualitas dan kuantitas) telah menciptakan perubahan - perubahan yang penting dalam segi penggunaan tanah. Pengaruh tersebut juga memberikan dampak negatif seperti tanah longsor, lahan kritis, kebakaran hutan, permukiman - permukiman secara sepontan, dan sebagainya. I Faktor faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Pada hakekatnya perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia merupakan suatu dampak perkembangan sosial maupun kebutuhan yang bersifat ekonomi. Kebutuhan manusia yang bersifat dinamis akan berpengaruh terhadap perkembangan manusia di dalam memanfaatkan suatu lahan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada, terjadinya perubahan sering didasari oleh pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi. Sehingga sering dijumpai suatu lahan yang diperuntukkan bagi pertanian kemudian mengalami perubahan menjadi lahan non-pertanian seperti perumahan, tanah industri, tanah perusahaan dan sebagainya. Faktor - faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan tanah meliputi 3 faktor yaitu, faktor ekonomi, faktor sosial dan peraturan pertanahan yang ada ( Ilham dkk, 2005).

12 12 Faktor ekonomi. Sebagai contoh, secara ekonomi perubahan penggunaan lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non-pertanian merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi terhadap pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat. Usaha berproduksi padi di lahan sawah sudah tidak memberikan insentif bagi petani. Daya saing produk pertanian, khususnya padi, dan harga lahan yang cenderung terus meningkat mendorong petani untuk menjual lahan sawaahnya untuk beralih ke usaha lain. Faktor Sosial. Menurut Witjaksono dalam Ilham dkk (2005), ada lima faktor sosial yang mempengaruhi perubahan penggunaan tanah, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Peraturan pengendalian perubahan penggunaan tanah pertanian. Pemerintah mengantisipasi untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian dengan membuat peraturan pertanahan. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya. Namun peraturan yang ada kurang efektif karena tidak dilengkapi sistem pemberian sanksi bagi pelanggar dan sistem penghargaan atau insentif bagi yang patuh. I Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap RTH. Pada hakekatnya perubahan penggunaan lahan di perkotaan adalah faktor kepadatan penduduk dan ekonomi. Lahan diperkotaan semakin hari semakin sempit yang dipengaruhi perkembangan manusia dalam memanfaatkan suatu lahan. Menurut Haryani (2008), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan yang berifat permanen maupun sementara. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan dan transformasi dari perubahan sosial masyarakat. Semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah dan

13 13 kebutuhan penduduk, semakin meningkat pula kebutuhan tempat atau lahan untuk tempat tinggal maupun tempat kegiatan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya (Ritohardoyo, 2013). Perubahan penggunaan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan pembandingan data spasial perubahan lahan dari tahun yang berbeda. Salah satu cara analisis perubahan penggunaan lahan yang umum digunakan adalah dengan data pengindraan jauh seperti citra satelit, foto udara dan radar. Kelebihan dari data pengindraan jauh karena mudah dan cepat dalam interpretasi, cakupan luas dan tanpa kontak objek secara langsung. I.7.3. Pengindraan Jauh I Pengertian Pengindraan Jauh. Menurut Lillesand dan Keifer (2004), pengindraan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi atau fenomena alam yang diperoleh dari rekaman objek, daerah atau fenomena tanpa melakukan kontak langsung dengan objek secara langsung. Alat yang digunkan untuk merekam adalah sensor dengan wahana terbang berupa satelit atau pesawat udara. Proses pengindraan jauh menghasilkan data mentah yang perlu dilakukan analisis sehingga menghasilkan suatu informasi. Data pengindraan jauh dari wahana satelit menghasilkan citra. Citra pengindraan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya berupa gambar planimetrik dan bersifat multiguna atau multi disiplin (Purwadhi, 2001). Data pengindraan jauh ini dapat digunakan dalam berbagai kegunaan seperti analisis kependudukan, pertanian, kehutanan, industri dan kegunaan yang menyangkut kondisi fisik di permukaan bumi. Terdapat konsep dasar dalam pengindraan jauh yang terdiri dari beberapa komponen. Konsep dasar tersebut meliputi sumber energi, atmosfer, objek yang diamati, interaksi gelombang elektromagnetik dan objek, sensor, pengolahan data dan penggunaan data. Perolehan data menggunakan satelit lebih unggul daripada foto udara antara lain dari segi harga, cakupan perekaman, serta kombinasi saluran (band). Saat ini terdapat banyak satelit dengan resolusi cukup tinggi antara lain Quickbird dan WorldView-2.

14 14 I Citra Satelit QuickBird. QuickBird adalah satelit yang diproduksi oleh kerjasama antara Amerika Serikat dan Hitachi Jepang yang diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 dengan kendaraan Boeing Delta II di Vandenberg Air Force Base, California, Amerika Serikat. Satelit Quickbird merupakan salah satu citra resolusi tinggi, yaitu 0,61 meter. Jangkauan liputan pada citra Quickbird kurang dari 20 km persegi, karena memiliki resolusi tinggi dan tinggi orbitnya 450 km diatas bumi. Karakteristik Citra Quickbird dijelaskan dalam Tabel I.1. berikut. Tabel I.1. Karakteristik satelit Quickbird No. Karakteristik Spesifikasi 1. Tanggal Peluncuran 18 Oktober Wahana dan Lokasi Peluncuran Boeing Delta II di Vandenburg Air Force Base, California, USA 3. Orbit Singkron putaran matahari 4. Ketinggian 450km 5. Inklinasi 97,2 6. Kecepatan 7,1Km/s (25,560 km/jam) 7. Pengulangan 1-3,5 hari 8. Sensor Mempunyai kemampuan pada panjang gelombang pankromatik ( nm), saluran multispectral (saluran biru : nm, saluran hijau : nm, saluran merah : nm, dan saluran inframerah dekat nm). 9. Lebar cakupan 16,5 Km x 16,5 Km pada titik nadir 10. Resolusi spasial ±0,6 meter untuk saluran pankromatik dan 2,44 meter untuk saluran multispectral pada titik nadir (Sumber: Quickbird adalah citra resolusi tinggi dari satelit komersial observasi bumi, yang dimiliki oleh DigitalGlobe dan diluncurkan pada tahun Keunggulan

15 15 Quickbird adalah mampu menyajikan data dengan resolusi hingga 61 cm. Dengan resolusi setinggi ini, sebuah lokasi di permukaan bumi dapat diidentifikasi per individu seperti bangunan, jaringan jalan, lahan pertanian dan analisa keruangan lainya. Jenis produk Quickbird berupa pangkromatik (hitam dan putih), multispectral (color dan infamerah dekat), bundle (pankromatik dan multispectral), panshrpened (empat band dari multispektral dengan resolusi spasial serta pankromatik) (Harintaka, 2010). I Citra Satelit Worldview 2. Citra satelit Worldview-2 juga merupakan citra saelit dengan ketelitian tinggi yang digunakan dalam sistem penginderaan jauh. Satelit Worldview-2 diluncurkan pada tanggal 8 Oktober tahun 2009 di Vandenberg Air Force Base, California dengan estimasi masa operasi 7-8 tahun. Citra dari Worldview memeliki resolusi spasial 0,46 m pankromatik dan 1,84 m untuk multispectral. Satelit ini didesain dengan cakupan rekaman 975 ribu km² dan dengan tingggi orbit 770 km mampu mengorbit bumi dengan periode 100 menit. Karakteristiknya satelit Worldview dijelaskan pada Tabel I.2. Tabel I.2. Karakteristik satelit Worldview-2 No. Karakteristik Spesifikasi 1. Peluncuran Orbit Masa Operasi Dimensi Satelit, Masa dan Power Tanggal : 8 Oktober 2009 Roket Peluncur : Delta 7920 Lokasi Peluncuran : Vandenberg Air Force Base, California, USA Tinggi : 770 km singkron matahari Descending node : Jam am Periode Orbit : 100 menit 7,25 tahun, meliputi seluruh yang terpakai termasuk penusutan bahan bakar. 4,3 m tinggi x 2,5 m lebar, 7,1 lebar panel surya Bobot : 2800 kilogram 3,2 kw panel surya, 100 Ahr batterey

16 16 Lanjutan Tabel I Sensor Band a. Pankromatik b. 8 Multispektral - 4 standard color : red, green, blue, near-ir 1-4 new color : coastal, yellow, red edge, near-ir 2 6. Resolusi Sensor (GSD = Ground Sample Distance Pankromatik : 0,46 meter GSD pada nadir 0,52 meter GSD pada 20 off-nadir 7. Dinamik Range 11-bit per pixel Multispektral : 1,84 meter GSD pada nadir 2,08 meter GSD pada 20 off-nadir 8. Lebar Sapuan 16,4 kilometer pada nadir 9. Kapasitas Penyimpanan 2199 gigabit 10. Perekaman per Orbit 524 gigabit Maksimal area terekam pada skali lintas Putaran ke lokasi yang sama Ketelitian lokasi (CE 90) 65,6 km x 110 km mono 48 km x 110 km stereo 1,1 hari pada satu meter GSD atau kurang 3,7 hari pada 20 off-nadir atau kurang (0,52 meter GSD) a. 6,5 meter CE 90, dengan perkiraan antara 4,6 s/d 10,7 meter CE90, di luar pengaruh terrain dan off-nadir b. 2,0 meter jika menggunakan registrasi titik control tanah (Sumber: Keuntungan menggunakan citra satelit Worldview-2 yaitu: 1. Menyajikan detail citra yang cukup tinggi untuk pembuatan peta skala besar 2. Memberikan kemampuan dalam mendeteksi perubahan kecil, pemetaan dan analisis citra secara multispectral. 3. Memiliki kemampuan dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengiriman data serta waktu kunjungan kembali (revisit time) sangat singkat, sehingga update image jadi lebih cepat.

17 17 I Interpretasi Citra. Interpretasi atau penafsiran citra adalah kegiatan mengkaji suatu data pengindraan jauh untuk mengidentifikasi, mengenali objek yang tergambar dalam citra dan menilai arti pentingnya suatu objek (Purwadhi, 2001). Pengenalan objek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Prinsip pengenalan objek pada citra berdasarkan atas penyidikan karakteristiknya atau atributnya pada citra. Objek yang terekam dalam sebuah citra dapat dikenali karakteristik - karakteristiknya dengan interpretasi citra. Cara pengenalan atau penafsiran karakteristik citra berdasarkan unsur - unsur interpretasi seperti rona, bentuk, tekstur, pola, bayangan, ukuran, situs, dan asosiasi kenampakan objek. Unsur interpretasi dibedakan menjadi empat tingkatan kerumitan dan digambarkan dalam bentuk piramida sebagai berikut. Tingkat kerumitan Unsur Dasar Rona/Warna Primer Susunan Keruangan Ukuran Tekstur Skunder Bentuk Pola Tinggi Bayangan Tersier Lebih Tinggi Situs Assosiasi Paling rumit Gambar I.1. Tingkatan unsur - unsur interpretasi citra Menurut Lillesand dan Kieffer (2004), pada Gambar I.1. karakteristik objek yang tergambar pada citra dapat dikenali dengan unsur unsur interpretasi yang meliputi: 1. Rona atau warna Rona adalah tingkat kegelaan atau tingkat kecerahan dari suatu objek pada citra. Rona pada citra pankromatik merupakan atribut bagi objek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang 0,4-0,7 nano meter. Dalam

18 18 penginderaan jauh spektrum ini disebut spektrum lebar. Jadi rona adalah tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Sedangkan warna adalah wujud yang tampak oleh indra pengelihatan. Warna berbeda dengan rona yang hanya menunjukan tingkat kegelapan namun warna menunjukan tingkatan kegelapan yang lebih beraneka. Menurut Sutanto (1994), mata manusia dapat membedakan 200 rona dan warna. Hal ini menunjukan jika foto atau citra berwarna lebih mudah dibedakan daripada citra atau foto hitam putih. 2. Bentuk Bentuk merupakan variable kualitatif yang memerlukan konfigurasi atau kerangka dari suatu objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas oleh mata sehingga banyak objek yang langsung dapat dikenali hanya dengan melihat bentuk atau shape. Contoh : gedung perkantoran atau gedung sekolah biasanya berbentuk L atau U, pohon kelapa biasanya berbentuk bintang, sedangkan sungai biasanya berkelok kelok. 3. Ukuran Ukuran merupakan atribut objek yang antara lain berupa jarak, luas, kemiringan dan volume. Ukuran objek pada citra menggunakan fungsi skala, maka dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi harus dengan mengingatnya. Contoh : ukuran taman kota biasanya berukuran lebih kecil daripada hutan kota. 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individu. Tekstur sering dinyatakan dalam wujud kasar, sedang, halus dan bercak bercak. Contoh : hutan biasanya tampak bertekstur kasar, belukar bertekstur sedang, sawah bertekstur halus, permukaan air bertekstur halus dan tanaman pekarangan bertekstur kasar. 5. Pola Pola merupakan susunan keruangan yang merupakan ciri untuk menandai banyaknya objek buatan manusia dan beberapa objek alami. Contoh :

19 19 permukiman perumahan biasanya memiliki pola yang teratur sedangkan permukiman pedesaan dikenali dengan pola tidak teratur. 6. Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detail objek yang berada di daerah gelap. Objek atau gejala yang berada di daerah gelap atau daerah bayangan akan tidak tampak sama sekali atau tampak samar. Namun, bayangan merupakan kunci yangmenandakan bahwa bangunan tersebut memiliki ketinggian. Contoh : cerobong asap pabrik, menara, gedung tinggi dan lereng bukit. 7. Situs Situs dikelompokan kedalam kerumitan yang tinggi seperti pada Gambar I.1. situs bukan merupakan ciri suatu objek secara langsung, melainkan dalam kaitanya lingkungan sekitar, yaitu letak suatu objek dengan objek lain disekitarnya (Estes dan Simonet, 1975 dalam Sutanto, 1994). Contoh : letak bangunan mengikuti bentuk tanahnya, kompleks permukiman biasanya memanjang mengikuti arah jalan, dan tanaman kopi biasanya berada di tanah miring berbukit karena tanaman kopi memerlukan sistem pengairan yang baik. 8. Asosiasi Bersama situs, asosiasi dikelompokan kedalam tingkat kerumitan yang tinggi. Asosiasi juga disebut dengan kedekatan erat suatu objek dengan objek lainya. Karena ada keterkaitan antara objek satu dengan objek lainya, asosiasi sering dijadikan penunjuk bagi objek lainya. Contoh : lapangan sepak bola berasosiasi dengan tiang gawang, sedangkan bila disamping ada tribun makan objek merupakan stadion besar. Dengan menggunakan kedelapan unsur tersebut, interpretasi RTH menjadi lebih mudah dikenali pada citra satelit. Khususnya klasifikasi RTH membutuhkan kecermatan dalam membedakan suatu jenis dengan jenis lain. I Koreksi Geometrik. Citra satelit adalah data penginderaan jauh berformat raster dengan sistem koordinat piksel. Citra satelit belum bisa dikatakan sebagai peta karena skalanya belum seragam. Dalam membuat seragam skala pada citra perlu

20 20 dilakukan transformasi koordinat dari citra satelit ke sistem proyeksi peta tertentu. Proses ini dinamakan koreksi geometrik (Djurdjani dan Kartini, 2004). Inti dari koreksi geometrik adalah pembetulan kesalahan yang bersifat geometrik. Kesalahan geometrik dibedakan menjadi dua yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan non-sistematik (Lillesand dan Kieffer, 1990). Kesalahan - kesalahan tersebut mengakibatkan terjadinya distorsi geometrik, yaitu terjadinya pergeseran letak dan kecerahan piksel pada citra dari nilai sebenarnya. Distorsi yang bersifat geometrik dapat dimodelkan sedangkan yang non-sistematik tidak dapat dimodelkan. Koreksi geometrik citra adalah merubah aspek geometri pada citra dengan merujuk pada proyeksi peta yang baku sehingga koordinat pada citra akan sama dengan koordinat pada peta yang digunakan sebagai data acuan. Proses rektifikasi geometri adalah dengan transformasi koordinat dan resampling. Metode yang digunakan adalah metode GCP, yaitu membandingkan titik - titik control pada citra dengan titik kontrol yang ada di peta atau lapangan (Lindgreen, 1985). Metode koreksi geometrik pada penelitian aplikatif ini menggunakan transformasi polynomial orde satu. Digunakan transformasi ini karena daerah penelitian relatif datar. Jensen (1996), menyebutkan persamaan transformasi Affine 2D adalah persamaan I.1 dan I.2. berikut:...(i.1)...(i.2) Keterangan: x,y : Posisi objek dalam sistem koordinat citra X,Y : Posisi objek dalam sistem koordinat peta : Parameter transformasi Hasil dari transformasi koordinat akan terjadi pergeseran dalam penentuan titik kontrol yang besarnya akan ditunjukan dengan nilai RMSE (Root Mean Square Error). Besarnya nilai RMSE untuk setiap titik kotrol dapat dihitung menggunakan persamaan I.3 sebagai berikut: RMS Error :..(I.3) Keterangan: : Koordinat titik yang dianggap benar : Koordinat titik hasil hitungan

21 21 Nilai RMSE adalah nilai yang menunjukan tingkat akurasi dari ukuran titik kontrol tanah (GCP). Semakin kecil nilai RMSE maka semakin baik pula penempatan titik GCP pada citra. I.7.4. Kartografi Kartografi merupakan ilmu dan seni serta suatu teknik dalam pembuatan peta (Riyadi, 1994). Pekerjaan pemetaan merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahapan kerja (pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data), serta melibatkan berbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan satu sama lain. Lingkup pekerjaan kartografi, yaitu : 1. Pembuatan desain peta (meliputi beberapa tahapan seperti pembuatan simbol peta, tata letak peta, penggambaran, pemilihan teks untuk namanama geografis, proses produksi) 2. Pengolahan data (penentuan sistem proyeksi peta, pemilihan metode penyajian relief, konstruksi peta) 3. Proses penyajian hasil akhir (penentuan teknologi kartografi untuk produk akhir). Salah satu pendekatan penting di dalam mempelajari kartografi adalah memandang peta sebagai suatu bentuk komunikasi visual untuk menjelaskan hubungan spasial di muka bumi. Peta menyajikan unsur-unsur dimuka bumi dalam bentuk simbol, berfungsi atau tidaknya suatu peta sebagai pemberi informasi tergantung pada cara penyajian suatu simbol di peta yang mewakili data spasial dimuka bumi (Soendjojo dan Riqqi, 2012). I Proses Overlay. Merupakan penampalan suatu peta digital dengan peta digital lain beserta atribut - atributnya dan menghasilkan peta gabungan yang memiliki atribut dari kedua peta tersebut. Metode ini menggabungkan antara dua atau lebih data grafis untuk mendapatkan data grafis baru dengan cara menumpang susunkan (Arifati, 2013). Cara yang umum dilakukan dalam penggabungan dua buah data grafis adalah intersection. Apabila dalam intersection batas luar dari kedua grafis tidak sama maka yang dilakukan hanya pada daerah yang bertampalan saja (Sugandi, 2009). Dalam teori himpunan, intersect juga disebut irisan dengan notasi. Jika terdapat himpunan

22 22 A dan B maka irisan dari kedua himpunan adalah A B. maksud dari notasi tersebut adalah juka anggota A juga terdapat anggota di B dalam notasi matematis ditulis A B ={ x x ЄA dan x ЄB}, dibaca A irisan B sama dengan x dimana x anggota A dan x anggota B. contoh A = {a,b,c,1,2} dan B = {c,d,f}, maka A B = {c}; jika P = {a,b,c}, dan Q = {d,e,f}, maka P Q = Ø. I Variabel Tampak. Merupakan suatu variasi gambar yang dapat diterima dan dibedakan oleh indra pengelihatan dan memberikan informasi tertentu. Menurut Riyadi (1994), dalam pembuatan simbol terdapat tujuh variasi yang digunakan untuk membedakan satu dan yang lainya, yaitu : 1. Posisi (X,Y,Z) Posisi yaitu suatu variabel tampak yang digunakan untuk memberikan informasi posisi dari suatu lokasi (posisi X,Y) di peta. 2. Bentuk Suatu simbol dibuat berbeda dari satu dan yang lainya. Simbol dibedakan bentuknya agar mudah untuk membedakan informasi yang terkandung. Simbol bisa dinyatakan dalam bentuk geometri ataupun bentuk yang kompleks. Variabel berupa bentuk seperti gambar II.2. dibawah ini:. Gambar I.2. Variabel bentuk 3. Orientasi Arah suatu simbol yang digambarkan di peta, merupakan variabel tampak yang digunakan oleh kartografer untuk membedakan satu simbol dengan yang lainnya. Gambar I.3. Orientasi

23 23 4. Warna Variabel tampak warna ini yang paling sering digunakan untuk pembuatan simbol karena perbedaan antara satu simbol dengan simbol yang lainnya mudah dilihat dan tampak jelas. Gambar I.4. Variabel warna 5. Tekstur Untuk jenis variabel tampak tekstur ini sebaiknya digunakan untuk gambar-gambar yang memiliki nilai atau value yang tetap. Gambar I.5. Variabel Tekstur 6. Value Value ini merupakan variabel tampak yang menggambarkan kemampuan suatu obyek tertentu untuk memantulkan sinar. Gambar I.6. Variabel tampak value 7. Ukuran Variabel tampak ukuran ini merupakan variabel yang digunakan untuk menunjukkan variasi dari besaran suatu simbol. Variabel ini berupa gambaran tentang suatu besaran atau jumlah. Gambar I.7. Variabel tampak ukuran I Sifat Pemahaman Dasar Variabel Tampak. Menurut Riyadi (1994), sifat dasar dari variabel tampak ada empat macam, yaitu asosiatif, selektif, order (bertahap) dan kuantitatif yang sifat pemahamanya dijelaskan dalam Tabel I.3.

24 24 1. Pemahaman Asosiatif Pemahaman asosiatif yaitu suatu variabel tampak yang tergambar memiliki sifat asosiatif, bila reaksi awal yang diperoleh dari mata saat melihat secara spontan simbol-simbol tersebut, semua simbol yang berbeda-beda itu dilihat sama pentingnya. 2. Pemahaman Selektif Variabel tampak disebut memiliki pemahaman selektif apabila reaksi awal dari mata yang melihat simbol-simbol itu dapat membedakan simbol yang satu dengan yang lainnya secara cepat. 3. Pemahaman Order (bertahap) Pemahaman order didapat apabila semua simbol itu dapat dilihat dan dibedakan secara spontan oleh variabel-variabel yang diletakkan ke dalam tahapan yang jelas. Sebagai contoh, simbol yang menggunakan warna hitam akan memberikan kekontrasan maksimum dibandingkan dengan warna abu-abu bila latar belakangnya warna putih, dalam hal ini dikatakan bahwa warna hitam memberikan kesan yang lebih kuat daripada warna abu-abu. 4. Pemahaman Kuantitatif Variabel tampak memiliki sifat pemahaman kuantitatif apabila perbedaan simbol-simbol dapat dibedakan satu sama lain dengan jumlah yang jelas. Mata dengan segera dapat menaksir suatu bagian yang mempunyai harga yang lebih besar dibandingkan dengan bagian yang lainnya. Tabel II.3. Variabel tampak dan sifat pemahamannya. Sumber Riyadi (1994). Sifat Pemahaman Variabel Tampak Posisi Bentuk Orientasi Warna Tekstur Value Ukuran Asosiatif Selektif Order Kuantitatif Keterangan Tabel I.3. : ++ : Sangat kuat 0 : Cukup + : Kuat - : Kurang

25 25 I Desain peta / Layout. Desain peta adalah bagian yang sangat penting dalam tahap akhir pembutan peta. Tujuan dari desain peta adalah bagaimana caranya memvisualisasikan unsur - unsur muka bumi ke dalam sebuah lembar peta secara jelas dan mudah dipahami oleh pengguna (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Peta yang mudah dibaca oleh pengguna merupakan peta yang didesain dengan baik, sehingga unsur - unsur yang ada dilapangan dapat termuat didalam peta. Desain yang baik harus menonjolkan unsur - unsur utama peta dibandingkan unsur pendukungnya. Tingkat kejelasan dari unsur unsur peta disajikan dengan penggunaan warna yang lebih kontras, besar kecil ukuran garis yang digunakan, pemakaian rona untuk warna dan corak/tekstur untuk suatu area (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Tata letak peta harus diperhatikan dalam pembuatan peta. Pembuatan tata letak peta harus memuat beberapa elemen peta, dapat dilihat pada gambar I.8. Gambar I.8. Tata letak muka peta 1. Muka peta Muka peta adalah bagian dari peta yang menyajikan daerah yang dipetakan. Muka peta dibatasi oleh garis tepi peta dalam bentuk grid atau garis gratikul. Ukuran muka peta tergantung dengan skala peta yang akan dibuat. 2. Informasi batas peta Informasi batas peta memberikan informasi yang berkaitan dengan muka peta, umumnya data yang disajikan pada informasi batas peta adalah angka - angka dari data koordinat yang daerahnya berada di bagian muka peta.

26 26 3. Informasi tepi peta Informasi tepi peta adalah bagian dari lembar peta yang memberikan informasi mengenai hal - hal yang berkaitan dengan isi peta. Penjelasan pada informasi tepi yang berhubungan pada isi peta data dibedakan antara lain: a. Judul peta. Judul peta adalah identitas utama dari suatu peta, sehingga judul peta merupakan bagian terpenting dari suatu desain peta. b. Keterangan atau legenda. Legenda berisikan semua simbolisasi pada peta. Dengan adanya legenda pengguna peta dapat mudah memahami dan membaca simbol - simbol yang disajikan pada peta. c. Skala. Pemakaian skala pada peta umumnya disajikan dalam bentuk skala nominal/ angka maupun skala grafis. Kedua penyajian jenis skaa peta tersebut letaknya berdekatan. d. Diagram lokasi/ inset peta. Kotak yang menggambarkan lokasi pemetaan secara keseluruhan. Inset peta juga memberikan indikasi mengenai posisi lembar peta bersangkutan terhadap keseluruhan daerah yang dipetakan. e. Sejarah peta. Sejarah peta memberikan informasi yang berhubungan dengan proses kompilasi data, misalnya metode yang digunakan, tahun pemotretan udara, skala foto udara, dan sebagainya. f. Arah utara. Pada umumnya arah utara grid selalu dalam arah tegak, sedangkan arah utara sebenarnya dan utara magnetis tergantung pada posisi dri lembar peta yang bersangkutan.

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika kependudukan terus berjalan. Jumlah penduduk terus bertambah, pembangunan makin kompleks dan berskala besar, tuntutan peningkatan kualitas hidup terus meningkat,

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah merupakan sumber daya alam yang terbatas dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan dan pengembangan karena tanah adalah tempat dimana manusia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah TINJAUAN PUSTAKA 1. Lanskap Sekolah Menurut Eckbo (1964) lanskap adalah ruang di sekeliling manusia mencakup segala hal yang dapat dilihat dan dirasakan. Menurut Hubbard dan Kimball (1917) dalam Laurie

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan secara alami akan menimbulkan masalah. Permasalahan utama yang terjadi di kota adalah masalah permukiman manusia, yang pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan dan Perancangan Lanskap Planning atau perencanaan merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : a. bahwa perkembangan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

Interpretasi Citra dan Foto Udara

Interpretasi Citra dan Foto Udara Interpretasi Citra dan Foto Udara Untuk melakukan interpretasi citra maupun foto udara digunakan kreteria/unsur interpretasi yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Hapsari Wahyuningsih, S.T, M.Sc Universitas Aisyiyah Yogyakarta Email: hapsariw@unisayogya.ac.id Abstract: This research

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1 1. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra memiliki karakteristik yang

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UMUM Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Fungsi Ekologis Terciptanya Iklim Mikro 81% responden menyatakan telah mendapat manfaat RTH sebagai pengatur iklim mikro.

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANJARMASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau 2.1.1. Ruang Terbuka Menurut Gunadi (1995) dalam perencanaan ruang kota (townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yakni daerah atau

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang terdiri dari Desa Caturtunggal, Desa Maguwoharjo dan Desa Condongcatur (Gambar 3).

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR Oleh : RIAS ASRIATI ASIF L2D 005 394 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43), BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kota berupa pembangunan infrastruktur, namun sayangnya terdapat hal penting yang kerap terlupakan, yaitu

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya

II. TINJAUAN PUSTAKA. desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Lingkup Arsitektur Lansekap Lansekap sebagai gabungan antara seni dan ilmu yang berhubungan dengan desain taman dengan menggunakan tanaman hias sebagai komponennya merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI... PARAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI PARAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vi viii x xi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 3 1.2 Rumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat... 8 1.3.1 Tujuan...

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani

ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD. Oleh : Linda Dwi Rohmadiani ARAHAN POLA PENYEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU IBUKOTA KECAMATAN TADU RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA, NAD Oleh : Linda Dwi Rohmadiani Abstrak Proporsi Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun

Lebih terperinci

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3 LAMPIRAN VI : PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN TABEL-2 KLASIFIKASI ZONA DAN SUB ZONA HIRARKI I fungsi lindung adm fungsi

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 10 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) PENGADAAN TANAH UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) Sekilas RTH Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 7 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN (RTHKP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencegah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ruang Terbuka Ruang terbuka merupakan suatu tempat atau area yang dapat menampung aktivitas tertentu manusia, baik secara individu atau secara kelompok (Hakim,1993).

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà - 1 - jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai Dari data hasil Sensus Penduduk 2010, laju pertumbuhan penduduk Kota Binjaitahun 2000 2010 telah mengalami penurunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU.

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU. WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci