1. BAB I PENGANTAR. kebutuhan pelaksanaan tindakan konservasi koleksi museum. Menurut Harry

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1. BAB I PENGANTAR. kebutuhan pelaksanaan tindakan konservasi koleksi museum. Menurut Harry"

Transkripsi

1 1. BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Konservasi merupakan salah satu tindakan penting yang tidak dapat dilepaskan dari museum dalam hal pengelolaan koleksi museum. Konservasi yang dilakukan terhadap koleksi museum memiliki tujuan untuk mempertahankan kondisi fisik koleksi dari perjalanan waktu sehingga nilai yang terkandung pada koleksi juga dapat ikut dilestarikan. Ketersediaan tenaga konservasi di Indonesia belum bisa mencukupi kebutuhan pelaksanaan tindakan konservasi koleksi museum. Menurut Harry Widianto Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, perbandingan jumlah cagar budaya dan koleksi museum yang begitu banyak dibandingkan dengan jumlah tenaga konservator sehingga secara kuantitatif jelas tidak mencukupi (Kompas Online, 2015) 1. Berdasarkan kedua faktor tersebut, maka salah satu solusi yang dapat dilakukan saat ini adalah melakukan pemilihan terhadap koleksi museum yang akan dikonservasi berdasarkan pemetaan kondisi fisik dari koleksi. Melalui pemetaan kondisi fisik dari setiap koleksi museum kemudian konservator dapat menentukan skala prioritas tindakan konservasi yang diperlukan. 1 Kompas Online. 13 Februari Perkuat Perlindungan Cagar Budaya - Arca Museum Nasional yang Kebanjiran Harus Jadi Pelajaran. Dipetik 16 Agustus

2 2 Tindakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektifitas kinerja konservator museum, waktu pekerjaan, dan pengalokasian dana konservasi di museum. Penentuan tindakan pengambilan keputusan terhadap objek koleksi museum merupakan tindakan yang perlu dilakukan oleh pengelola museum. Museum melakukan proses pengambilan keputusan mulai dari ketika memilih objek yang akan dikelola, memilih objek yang akan ditampilkan dalam pameran, menentukan koleksi yang terbatas aksesbilitasnya, menentukan prioritas konservasi koleksi, hingga melakukan kajian resiko kebencanaan dalam museum. Pengambilan keputusan tersebut didasarkan terhadap nilai yang melekat pada objek koleksi museum (Arijs, 2014, hal. 1). Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum semakin meningkatkan kewajiban pengelola museum dalam melakukan pengelolaan dan pemeliharaan terhadap koleksi museum yang dimiliki. Pengelola museum wajib menyusun suatu prosedur operasional standar untuk pemeliharaan koleksi (PP No. 66 Tahun 2015 Pasal 29). Pengelola museum yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam melakukan pemeliharaan koleksi museum dapat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (PP No. 66 Tahun 2015 Pasal 31). Museum Affandi merupakan salah satu museum di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memamerkan koleksi lukisan karya Affandi dan memiliki kurang lebih 300 buah koleksi lukisan. Museum Affandi hanya memiliki 1 orang konservator-restorator yang dibantu oleh 2 3 orang staff museum.

3 3 Populasi koleksi yang cukup banyak tersebut tentunya tidak sebanding dengan ketersediaan konservatornya. Peneliti memilih Museum Affandi sebagai studi kasus karena melihat sosok Affandi yang tokoh seni lukis Indonesia yang dikenal secara nasional dan internasional. Affandi adalah salah satu perintis dan tokoh utama dalam sejarah seni rupa modern Indonesia yang bemula dari penolakan generasi setelah Mooi-Indie (Susanto, 2011, pp ) selain itu Affandi dikenal sebagai pelukis yang memiliki ciri khas gaya lukisannya yaitu melukis dengan menggunakan metode plototan dan sapuan langsung dengan tangan. Affandi sebagai perintis seni rupa modern dan memiliki ciri khas tersendiri pada hasil lukisannya tersebut menjadikan lukisannya dikenal secara nasional dan internasional selain itu juga menjadikan harga koleksi lukisannya di pasar seni sangat mahal. Berdasarkan latar belakang Affandi tersebut maka koleksi lukisan karya Affandi memiliki arti khusus yang tinggi sehingga diperlukan pengelolaan koleksi lukisan yang baik. Museum Affandi merupakan museum yang dikelola secara pribadi oleh Yayasan Keluarga Affandi sehingga dana yang tersedia untuk melakukan operasional museum juga terbatas sehingga tidak semua koleksi lukisan mendapatkan prioritas yang sama dalam tindakan perawatannya. Oleh sebab itu, dalam melakukan tindakan perawatan koleksi lukisan di Museum Affandi diperlukan suatu metode yang dapat digunakan untuk melakukan seleksi secara sistematis dalam menentukan prioritas perawatan atau penanganan pada koleksi lukisan karya Affandi.

4 Rumusan Masalah Setelah memahami bahwa museum menghadapi tantangan berat untuk melakukan seleksi dalam penanganan koleksi yang dimilikinya, maka kurator, konservator, maupun pemangku kebijakan di museum perlu memiliki sebuah instrumen dalam menentukan skala prioritas konservasi terhadap koleksi yang mereka miliki. Dengan demikian, fokus pertanyaan yang diajukan dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana model penentuan skala prioritas konservasi berdasarkan kondisi fisik dan arti khusus koleksi lukisan di Museum Affandi? 2. Apa saja rekomendasi tindakan konservasi koleksi lukisan berdasarkan skala prioritas konservasi? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun sebuah model penilaian untuk menentukan skala prioritas penanganan konservasi terhadap koleksi museum berdasarkan kondisi fisik dan arti khusus koleksi lukisan. Model penilaian ini dihapkan dapat digunakan oleh kurator, konservator, maupun pemangku kebijakan di museum sebagai sarana untuk menetukan skala proritas penanganan koleksi dengan tepat, dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan efektif dan efisien. Model penilaian untuk menentukan skala prioritas penanganan konservasi terhadap koleksi lukisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi dalam penelitian mengenai kajian penyusunan prosedur operasional standar dalam kaitannya dengan pemeliharan koleksi di museum sebagaimana

5 5 amanat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2016 Tentang Museum pasal Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tesis ini akan dilakukan di Museum Affandi yang terletak tepat di pinggir Sungai Gajah Wong beralamat di Jalan Laksda Adisucipto No. 167 Yogyakarta. Museum ini menempati lahan dengan luas lahan sekitar m 2 yang terdiri dari beberapa bangunan yaitu: 1) Galeri I, 2) Galeri II, 3) Galeri III, 4) Gajah Wong Studio I, 5) Gajah Wong Studio II, 6) Rumah tinggal Affandi, dan 7) Makam Affandi beserta istri pertamanya Maryati. Penelitian ini akan dibatasi pada koleksi lukisan karya Affandi yang berada di Galeri I. Di galeri ini, koleksi lukisan yang ditampilkan bersifat retrospektif karena koleksi lukisan yang ditampilkan mewakili setiap masa dan gaya lukis Affandi. Retrospektif 2 diartikan sebagai melihat kembali suatu situasi atau keadaan di masa lalu. Suatu pameran yang menampilkan koleksi yang merepresentasikan hasil karya sepanjang hidup dari seniman. Koleksi museum yang berada di dalam Galeri I ini meliputi koleksi lukisan cat minyak di atas kanvas, lukisan cat air, koleksi barang pribadi Affandi, patung, mobil dan sepeda milik Affandi. Batasan objek penelitian yang akan digunakan adalah lukisan cat minyak di atas kanvas yang berjumlah 33 buah lukisan. Koleksi lukisan tersebut adalah sebagai berikut (lihat Tabel 1.1): 2 diakses pada 17 Juni :17 WIB.

6 6 Tabel 1.1. Nomor Koleksi, Judul Lukisan dan Tahun Pembuatan No. Koleksi Judul Lukisan Tahun Lokasi 3 Potret Met Dochter 1939 Galeri I - Bawah 6 Nude 1940 Galeri I - Bawah 10 Captured Spy 1947 Galeri I - Bawah 12 Family of Sudarso 1947 Galeri I - Bawah 13 The Mother and Her Daughter 1947 Galeri I - Bawah 14 Mother Inside The Room 1949 Galeri I - Bawah 15 A Painter With The Daughter 1950 Galeri I - Bawah 16 European Girl 1952 Galeri I - Bawah 17 Mother s Anger 1960 Galeri I - Bawah 18 Holding My First Grandchild 1953 Galeri I - Bawah 19 Parangtritis at Night 1984 Galeri I - Bawah 20 Fallen Plant in The Rice Field 1975 Galeri I - Bawah 21 Kecak Dance 1969 Galeri I - Bawah 22 Bird Market 1979 Galeri I - Bawah 23 Four Dead Rooster and The Foot 1980 Galeri I - Bawah 24 Red Sun and Balinese Boat 1977 Galeri I - Bawah 25 Mother in Law 1976 Galeri I - Bawah 26 My Wife and Her Mother 1976 Galeri I - Bawah 27 Copy Bruegel 1962 Galeri I - Bawah 28 Place Du Tetre 1977 Galeri I - Bawah 29 Red Chili 1982 Galeri I - Bawah 30 Peacock 1980 Galeri I - Bawah 31 Potret Diri dan Tujuh Matahari 1964 Galeri I - Atas 32 Potret Diri (1964) 1964 Galeri I - Atas 33 Potret Diri (1970) 1970 Galeri I - Atas 34 Potret Diri Menghisap Pipa 1977 Galeri I - Atas 35 Tiga Ekspresi Wajah 1979 Galeri I - Atas 36 Sesudah Gagal Melukis 1981 Galeri I - Atas

7 7 37 Potret Diri Bathuk Mripat 1982 Galeri I - Atas 38 Ke Bali Bekerja 1986 Galeri I - Atas 39 Potret Diri dan Ayam Mati 1987 Galeri I - Atas 40 Potret Diri Tidak Tercapai 1987 Galeri I - Atas 41 Embrio 1989 Galeri I - Atas Penelitian mengenai penentuan skala prioritas konservasi koleksi lukisan mencakup dua kajian yaitu: 1. Kajian Faktor Lingkungan 2. Kajian Penilaian Koleksi Lukisan Kajian faktor lingkungan merupakan kajian yang dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kerusakan koleksi lukisan yaitu: suhu, kelembapan relatif, intensitas cahaya, dan radiasi ultraviolet. Kajian penilaian koleksi lukisan dilakukan terhadap kondisi fisik dan arti khusus koleksi lukisan. Kajian ini bertujuan untuk menyusun suatu model penilaian yang dapat diterapkan dalam menilai kualitas dari kondisi fisik dan arti khusus dari koleksi lukisan. Keberhasilan dari kajian penilaian koleksi lukisan akan sangat menentukan hasil akhir penentuan skala prioritas konservasi koleksi lukisan Tinjauan Pustaka Hingga saat ini penentuan skala prioritas konservasi koleksi lukisan di museum yang mengkaitkan antara aspek material dan non material dari koleksi masih belum pernah dilakukan di Indonesia walaupun demikian beberapa literatur

8 8 menyinggung mengenai pentingnya kajian aspek material dan non-material dalam konservasi koleksi di museum. Significance 2.0 menyebutkan bahwa konservator perlu memahami arti khusus atau nilai penting dari koleksi agar dapat memahami karakteristik non material dari koleksi dan membantu dalam menentukan tindakan pengelolaan koleksi yang meliputi akuisisi koleksi, tindakan pencegahan (preservation), kajian ancaman kebencanaan. Sangat penting bagi konservator untuk memahami bagaimana dan mengapa koleksi ini menjadi penting sebelum melakukan tindakan konservasi pada koleksi (Russell & Winkworth, 2009, hal. 43). Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed (RCE) dalam publikasinya berjudul Assessing Museum Collections: Collection valuation in six steps menyebutkan bahwa terdapat beberapa tujuan dilakuan penilaian terhadap objek koleksi museum salah satu tujuannya adalah untuk menyusun rencana konservasi (draw up conservation plan) (Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed (RCE), 2014, p. 11). Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed (RCE) dalam publikasi tersebut menawarkan suatu metode penilaian arti khusus terhadap objek koleksi melalui suatu formulir penilaian arti khusus yang didalamnya menyebutkan variabel dan kriteria penilaian kemudian dinilai berdasarkan tingkat nilai arti khususnya apakah nilainya rendah (low), sedang (medium), atau tinggi (high). Suzanne Keene dalam bukunya Managing Conservation in Museum membahas mengenai metode untuk menentukan prioritas dalam konservasi museum yang disebut dengan goal hierarchy (Keene, 2002, hal. 53) dimana konsep penentuan skala prioritas konservasi menggunakan pembobotan antar setiap

9 9 variabel namun penilaian yang dilakukan lebih bersifat pengelolaan konservasi lebih luas belum secara khusus membahas metode penilaian kondisi fisik dan arti khusus koleksi. Suzanne Keeane dalam bukunya juga menjelaskan mengenai proses audit kondisi objek koleksi melalui pengumpulan data kondisi fisik dan menentukan skala dan kriteria kondisinya apakah dalam kondisi yang baik (good, condition grade 1), layak (fair, condition grade 2), buruk (poor, condition grade 3), sangat buruk (unacceptable, condition grade 4) (Keene, 2002, hal. 146) namun kriteria kondisi tersebut masih menggambarkan kondisi koleksi secara umum belum mendeskripkan skala tingkat kerusakan setiap variabel kerusakan secara lebih rinci Landasan Teori Konservasi atau conservation berasal dari to conserve (conservare) yang artinya untuk menjaga (to keep) atau untuk melestarikan, melindungi, mengawetkan (to preserve) (ICOMOS, 2004, hal. 9). Konservasi pada koleksi museum diartikan sebagai semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk melindungi warisan budaya bendawi (tangible) sehingga keberadaan objek tersebut dapat diakses pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Konservasi koleksi museum meliputi tiga tindakan utama yaitu: Pencegahan (Preventive Conservation), Perbaikan (Remedial Conservation), dan Pengembalian ke kondisi semula (Restoration). Pengertian konservasi dalam resolusi yang ditetapkan oleh ICOM-CC tersebut juga menegaskan bahwa segala tindakan yang dilakukan terhadap objek warisan budaya harus memperhatikan arti khusus (significance) dan kondisi fisik dari objek (ICOM-CC, 2008). Burra Charter

10 10 menyebutkan bahwa konservasi merupakan suatu proses merawat suatu tempat untuk mempertahankan signifikansi budayanya. Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its cultural significance (Australia ICOMOS, 2013, hal. 2). Sedapat mungkin koleksi yang memiliki arti khusus tersebut dipertahankan keasliannya sehingga dapat dilakukan kajian oleh akademisi atau sebagai sarana publikasi kepada masyarakat melalui pameran (Rule, 2006). Di Indonesia, koleksi museum dapat berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, bahkan koleksi yang bukan cagar budaya namun koleksi tersebut merupakan bukti material hasil budaya maupun material alam dan lingkungannya yang memiliki nilai penting (arti khusus) (PP Nomor 66 Tahun 2015 Tentang Museum) sehingga konservasi untuk museum di Indonesia dapat dilakukan kepada objek yang termasuk cagar budaya maupun bukan cagar budaya asalkan memiliki nilai penting (arti khusus). Kajian arti khusus membantu pengelola museum dalam menyediakan kebutuhan sumber daya yang diperlukan oleh koleksi yang memiliki nilai sangat penting dan memberikan koleksi tersebut prioritas utama dalam tindakan kurasi, konservasi, menampilkan dalam pameran, penelitian, dan aksesbilitas (Russell & Winkworth, 2009, hal. 12). Barbara Appelbaum dalam bukunya yang berjudul Conservation Treatment Methodology (Applebaum, 2010, p. 3) menyebutkan bahwa langkah pertama dalam metode konservasi adalah memahami karakteristik objek. Pemahaman penuh

11 11 terhadap karakter objek tidak hanya pada deskripsi fisik saja namun termasuk informasi tentang aspek material dan non materialnya. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti melakukan kajian terhadap fisik koleksi lukisan untuk memahami kondisi fisiknya dan melakukan kajian terhadap arti khusus untuk memahami arti khusus yang terkandung dalam setiap koleksi lukisan. Kajian kondisi fisik koleksi (aspek material) berhubungan dengan materi, konstruksi, karakter fisik, material penyusun, dan tampilan dari objek. Kajian ini dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap objek. Kajian kondisi fisik terhadap objek koleksi dilakukan berdasarkan variabel dan kriteria kondisi fisik koleksi. Penentuan variabel dan kriteria kondisi fisik koleksi yang digunakan oleh peneliti menggunakan referensi dari Suzanne Keene (Keene, 2002) dan laman The Fine Arts Conservacy Glossary For Paintings (The Fine Arts Conservancy, 2014). Kajian arti khusus terhadap koleksi (aspek non material) berhubungan dengan arti, fungsi, penggunaan, latar belakang pembuat, nilai sosial yang dilekatkan oleh masyarakat pada objek, dan nilai budaya yang tidak dapat terlihat secara langsung berdasarkan pengamatan objek. Kajian arti khusus terhadap objek koleksi dapat dilakukan berdasarkan variabel dan kriteria arti khusus yang ditentukan. Penentuan variabel dan kriteria arti khusus dari suatu objek koleksi sudah banyak dilakukan oleh beberapa institusi dan peneliti seperti Daud Aris Tanudirjo (Tanudirjo, 2004), Barbara Appelbaum (Applebaum, 2010), Randall Mason (Mason, 2002), Significance 2.0 (Russell &

12 12 Winkworth, 2009), dan Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed (RCE) (Assessing Museum Collection; Collection valuation in six steps, 2014). Peneliti menggunakan acuan dari literatur di atas dengan memanfaatkan variabel arti khusus yang sudah ada dan melakukan modifikasi kriteria arti khususnya sehingga dapat diterapkan untuk koleksi lukisan karena tidak semua variabel dan kriteria arti khusus yang disebutkan dalam rujukan di atas dapat digunakan dalam penilaian arti khusus koleksi lukisan. Penentuan skala prioritas konservasi merupakan bagian penting dari pengelolaan museum yang dapat digunakan untuk merancang perencanaan program museum antara lain budgeting. Perencanaan tersebut diperlukan untuk mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan masing-masing bidang, salah satunya adalah menentukan alokasi dana untuk konservasi koleksi (Heritage Collections Council, 1998, hal. 24). Penentuan skala prioritas konservasi terhadap koleksi museum dapat memudahkan konservator dalam menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk merawat koleksi karena tidak semua koleksi perlu mendapatkan perawatan khusus. Prioritas khusus hanya diberikan kepada koleksi yang memiliki skala prioritas tinggi untuk dilakukan konservasi seperti koleksi yang memiliki arti khusus sangat tinggi namun kondisinya sudah rusak karena jika tidak mendapatkan tindakan dalam waktu dekat maka koleksi tersebut akan semakin rusak dan kehilangan arti khususnya.

13 Metode Penelitian Secara umum metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini menggabungkan antara metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan pada saat peneliti melakukan penilaian kondisi fisik dan arti khusus koleksi yang kemudian menghasilkan data keluaran berupa angka yang menunjukkan derajat kualitas kondisi fisik dan arti khusus koleksi. Metode kuantitatif dilakukan terhadap data keluaran. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian ekploratif studi kasus. Penelitian eksploratif mencoba menyediakan jawaban dari pertanyaan yang telah dirumuskan dalam masalah yang akan dijadikan dasar dalam penelelitian selanjutnya sehingga penelitian ini dapat juga dikatakan sebagai penelitian pendahuluan (preliminary research) dan tujuan penelitian ini adalah untuk meletakkan dasar dalam penelitian selanjutnya (Yusuf, 2015, hal. 61). Jenis studi kasus pada penelitian ini terletak pada peneliti melakukan investigasi dan analisis terhadap satu fenomena yang terjadi pada konteks yang spesifik (Matthew B. & Michael, 1984). Fenomena yang dimaksud adalah bagaimana menentukan skala prioritas konservasi koleksi lukisan sedangkan konteksnya adalah konteks tempat yaitu di Museum Affandi. Penelitian tesis ini akan dibagi ke dalam empat tahap yaitu: 1) Penyusunan Instrumen Penelitian, 2) Pengumpulan Data, 3) Analisis Data, dan 4) Kesimpulan dan Rekomendasi.

14 Penyusunan Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, mengumpulkan data, mengolah, menganalisa, dan menyajikan data secara sistematis serta objektif dengan tujuan untuk memecahkan suatu masalah. Penyusunan instrumen penelitian dalam penelelitian ini memperhatikan dua faktor utama yaitu faktor lingkungan dan faktor penentu skala prioritas konservasi koleksi lukisan. (1) Instrumen Penilaian dan Penentuan Skala Prioritas Konservasi Instrumen penilaian dan penentuan skala prioritas konservasi koleksi lukisan merupakan suatu alat yang digunakan untuk melakukan penilaian kondisi fisik lukisan, penilaian arti khusus koleksi lukisan, dan untuk menentukan skala prioritas konservasi koleksi lukisan. Terdapat empat tahapan utama yang dilakukan dalam menyusun intrumen penilaian dan penentuan skala prioritas konservasi ini yaitu: 1. Menentukan skala 2. Menentukan variabel penilaian a. Variabel penilaian kondisi fisik b. Variabel penilaian arti khusus 3. Menyusun teknik penilaian a. Teknik penilaian kondisi fisik b. Teknik penilaian arti khusus 4. Menyusun teknik penentuan skala prioritas

15 15 Leese dan Bradley dalam jurnal yang mereka tulis telah menawarkan suatu konsep penentuan skala prioritas dalam suatu tabel yang disebut matriks penentuan skala prioritas konservasi koleksi. Penentuan skala prioritas konservasi dalam matriks tersebut memperhitungkan nilai kuratorial (curatorial value) dan kondisi fisik koleksi (conservation condition) (Leese & Bradley, 1995, hal. 83). Pembahasan lebih rinci mengenai penyusunan intrumen penilaian dan penentuan skala prioritas konservasi koleksi lukisan ini akan dibahas secara terpisah pada BAB II. Teknik Penilaian dan Penentuan Skala Prioritas. (2) Formulir Pengukuran Suhu dan Kelembapan Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi fisik koleksi lukisan. Pada kajian penentuan skala prioritas konservasi koleksi, faktor lingkungan digunakan untuk menentukan rekomendasi tindakan konservasi terhadap lingkungan sehingga tidak dapat mendapatkan kondisi yang ideal bagi koleksi lukisan. Intensitas cahaya, radiasi ultra-violet, suhu, kelembapan, dan investasi biologi (pest) merupakan beberapa faktor penting yang mempengaruhi kondisi fisik koleksi lukisan. Beberapa faktor yang disebutkan di atas merupakan bagian dari 10 agen kerusakan (10 agent of deterioration) (Michalski, 1990) terhadap koleksi lukisan sehingga hasil pengukuran lingkungan tersebut menjadi komponen masukan dalam menentukan strategi konservasi koleksi lukisan yang akan dilakukan oleh konservator.

16 16 Instrumen yang akan digunakan untuk melakukan perekaman data suhu dan kelembapan relatif ruang Galeri I Museum Affandi berupa Formulir Pencatatan Suhu dan Kelembapan Relatif. (3) Dokumen Survey Kondisi Fisik Koleksi Lukisan Dalam menentukan skala prioritas konservasi koleksi memerlukan banyak informasi. Salah satu informasi yang perlu dihimpun adalah aspek material dari koleksi lukisan. Aspek material berhubungan dengan karakter fisik yang dapat berupa komponen material, konstruksi, dan penampilan dari koleksi. Informasi mengenai aspek material ini dapat diperoleh secara langsung melalui pemeriksaan terhadap kondisi fisik koleksi. Hal tersebut merupakan salah satu bagian yang rumit dan merupakan bagian dari keahlian seorang konservator (Applebaum, 2010, p. 3). Intrumen yang digunakan untuk melakukan pencatatan kondisi fisik koleksi lukisan berbentuk suatu formulir isian yang disebut sebagai Dokumen Survey Kondisi Koleksi Lukisan (lihat Lampiran 3). Dokumen tersebut diisi oleh peneliti ketika melakukan pemeriksaan kondisi fisik koleksi lukisan yang menjadi objek penelitian. Dokumen survey koleksi lukisan berisi beberapa unsur yang digunakan untuk mengidentifikasi komponen dan kondisi fisik koleksi lukisan. Identifikasi terhadap unsur komponen koleksi lukisan dapat berupa jenis atau bahan dari kanvas, rangka kanvas, dan bingkai. Identifikasi kondisi fisik koleksi lukisan meliputi kondisi fisik setiap komponen lukisan berdasarkan variabel kondisi, keberadaan investasi biologis, bentuk dan kondisi pengerjaan ulang (retouching) pada koleksi lukisan.

17 17 Variabel kondisi fisik, investasi biologis, bentuk dan kondisi pengerjaan ulang pada koleksi lukisan diisi menggunakan skala yang telah ditentukan pada instrumen penilaian dan penentuan skala prioritas konservasi sehingga masingmasing variabel tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat kerusakannya (lihat Lampiran 1). (4) Dokumen Penilaian Arti Khusus Aspek non material berhubungan dengan arti khusus atau nilai penting, fungsi, penggunaan, ketertarikan dari pemilik, nilai sosial yang diberikan oleh masyarakat, dan bermacam data mengenai budaya lainnya yang tidak dapat diperoleh secara langsung dari pemeriksaan fisik koleksi (Applebaum, 2010, p. 3). Instrumen yang digunakan untuk mendokumentasikan arti khusus koleksi lukisan dibuat dalam suatu formulir isian yang disebut sebagai Dokumen Arti Khusus Koleksi Lukisan (lihat Lampiran 4). Dokumen arti khusus koleksi lukisan berisi beberapa unsur yang digunakan untuk mengidentifikasi arti khusus dari masing-masing koleksi lukisan. Unsur yang digunakan dalam dokumen ini terdiri dari beberapa bagian yaitu: 1. Identitas koleksi yang berisi nama artis, tahun pembuatan, media yang digunakan, klasifikasi koleksi, dimensi koleksi, nomor koleksi (nomor inventaris atau nomor identitas koleksi) 2. Tanda (monogram). Bagian ini berisi deksripsi mengenai tanda khusus yang biasanya dibubuhkan oleh artis pada lukisan sebagai bentuk tanda tangan atau tanda pengenal dari artis.

18 18 3. Deskripsi Koleksi. Bagian ini berisi deskripsi atau keterangan lain yang menjadi latar belakang lukisan. Deskripsi dapat berupa cerita sejarah, latar belakang pembuatan, dan lain sebagainya. 4. Sejarah Kepemilikan (provenance). Bagian ini berisi daftar kronologi kepemilikan koleksi lukisan. 5. Sejarah Penggunaan. Berisi daftar kronologi penggunaan koleksi lukisan (pameran atau peminjaman). 6. Referensi Publikasi. Berisi daftar publikasi ilmiah dan publikasi bebas yang berkaitan dengan koleksi lukisan. Publikasi ilmiah dapat berupa buku, naskah penelitian (skripsi, tesis, disertasi), atau jurnal ilmiah. Publikasi bebas dapat berupa artikel koran atau katalog pameran. 7. Skala Arti Khusus. Bagian ini berupa kolom yang berisi variabel arti khusus. Setiap variabel arti khusus diisi dengan skala arti khusus berdasarkan kriteria yang telah disusun sebelumnya (lihat Lampiran 2). 8. Deskripsi Arti Khusus. Bagian ini berisi deskripsi yang menjelaskan secara rinci arti khusus dari koleksi lukisan berdasarkan skala yang diisi pada bagian skala arti khusus (lihat nomor 7) Pengumpulan Data Pengumpulan data faktor penyebab kerusakan koleksi lukisan dan faktor penentu skala prioritas konservasi koleksi lukisan dilakukan dengan menggunakan instrumen yang telah dipersiapkan sebelumnya berupa:

19 19 1. Formulir Pencatatan Suhu dan Kelembapan Relatif 2. Dokumen Survey Kondisi Fisik Koleksi (Lampiran 3) 3. Dokumen Arti Khusus Koleksi (Lampiran 4) (1) Perekaman Data Suhu dan Kelembapan Relatif Pengukuran data suhu dan kelembapan relatif dilakukan terhadap ruang dalam dan luar bangunan Galeri I Museum Affandi. Pengukuran suhu dan kelembapan relatif luar bangunan dilakukan untuk mendapatkan data pembanding. Pengukuran suhu dan kelembapan relatif dilakukan dengan membagi ke dalam enam waktu pengukuran yaitu pada pukul WIB, WIB, WIB, WIB, WIB, dan WIB yang dimulai pada 22 Februari 15 Maret Pembagian enam waktu pengukuran suhu dan kelembapan relatif tersebut dikelompokkan dalam dua kategori waktu yaitu hari terang dan hari gelap. Hari terang yaitu WIB, WIB, WIB dan hari gelap yaitu WIB WIB, WIB. Pembagian dua kategori wakru pengukuran tersebut bertujuan untuk melihat perubahan suhu dan kelembapan relatif yang terjadi pada saat hari terang dan hari gelap. Perekaman data suhu dan kelembapan relatif ruang Galeri I Museum Affandi menggunakan alat Elitech RC-4HC Data Logger (lihat Gambar 1.1) sedangkan untuk mendapatkan data suhu dan kelembapan relatif luar bangunan menggunakan data suhu dan kelembapan wilayah Yogyakarta dari laman

20 20 Gambar 1.1. Elitech RC-4HC Data Logger (2) Perekaman Data Intensitas Cahaya dan Radiasi Ulraviolet Perekaman data intensitas cahaya dan radiasi ultraviolet (UV) dilakukan terhadap 33 buah koleksi lukisan yang menjadi objek penelitian. Perekaman data tersebut dilakukan dengan mengukur tingkat paparan intensitas cahaya dan radiasi UV dengan menggunakan alat ukur Elsec 765 UV+ Monitor (lihat Gambar 1.2) terhadap sua sumber cahaya yaitu cahaya matahari dan cahaya artifisial lampu LED. Pengukuran intensitas cahaya dan radiasi UV untuk cahaya matahari dilakukan dengan membagi waktu pengukuran ke dalam tiga waktu yaitu pada pukul WIB, WIB, dan WIB atau pada hari terang ketika matahari bersinar. Pengukuran intensitas cahaya dan radiasi UV untuk cahaya artifisial lampu LED dilakukan pada malam hari untuk mencegah kesalahan data pengukuran akibat tercampurnya cahaya matahari dan LED jika dilakukan pada hari terang.

21 21 Gambar 1.2. Elsec 765 UV+Monitor (Sumber diunduh pada 3 Juli 2016) Berbeda dengan pengukuran terhadap suhu dan kelembapan relatif ruangan, pengukuran terhadap intensitas cahaya matahari dilakukan tidak berdasarkan pada periode tanggal. Peneliti menyadari bahwa perubahan cuaca mempengaruhi jumlah intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan dan data prakiraan cuaca seperti yang dilakukan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) bersifat prediktif. Untuk menghindari bias pengukuran intensitas cahaya matahari saat cuaca cerah dan mendung, maka peneliti hanya melakukan pengukuran pada saat cuaca cerah selama bulan Oktober 2016.

22 22 (3) Investasi Biologis Jamur, serangga, dan hewan pengerat merupakan investasi biologis yang mudah untuk kita temukan di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat banyak sekali spesies jamur, serangga, dan hewan pengerat yang ada di dunia ini dan mereka hidup dalam habitat tertentu dan memiliki tingkah laku yang berbedabeda (Heritage Collection Council, 1998, hal. 41). Museum sebenarnya menyediakan makanan dan tempat berkembang biak bagi investasi biologi ini. Mereka dapat mencari makan dengan mudah dan mampu beradaptasi pada kondisi yang ektrim. Jika tidak dikendalikan, investasi biologi dapat merusak koleksi lukisan yang sebagian besar tersusun oleh bahan material organik. Pengendalian terhadap investasi biologis tidaklah semudah yang dibayangkan yaitu menyemprot ruangan atau koleksi dengan bahan kimia seperti insektisida, pestisida, fungisida, atau dengan memanggil jasa pengendali hama. Penggunaan bahan kima tersebut memiliki efek yang serius bagi manusia bahkan bahan kimia yang terkandung di dalamnya juga dapat merusak koleksi lukisan. Pemeriksaan terhadap investasi biologis menjadi penting dan perlu dilakukan oleh konservator untuk dapat mengenali tanda aktivitas investasi biologis pada koleksi lukisan. Aktivitas jamur cukup sulit untuk dikenali karena sifatnya yang halus dan kadang sering terlewat dari pengamatan. Pemeriksaan tersebut penting dilakukan sehingga konservator dapat segera mengambil langkah pencegahan untuk mengendalikan mereka tetapi tanpa menempatkan diri dan koleksi lukisan dalam resiko.

23 23 (4) Pengumpulan Data Kondisi Fisik Pengumpulan data kondisi fisik koleksi lukisan dilakukan pada 33 koleksi lukisan yang menjadi objek penelitian. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan cara mengamati kerusakan dari masing-masing koleksi lukisan berdasarkan komponen lukisan dan variabel kondisi dari setiap komponen yang sudah ditentukan dalam intrumen penilaian dan penentuan skala prioritas konservasi. Observasi dan identifikasi kondisi fisik koleksi lukisan dilakukan dengan menggunakan beberapa alat bantu untuk mendukung proses observasi. Beberapa alat yang akan digunakan untuk membantu melakukan observasi dan mengidentifikasi kondisi fisik koleksi lukisan yaitu (lihat Tabel 1.2) : Tabel 1.2. Alat Bantu Observasi Koleksi Lukisan Nama Alat Fungsi 2 buah lampu LED Digunakan untuk memeriksa kondisi kanvas dan permukaan lukisan. 2 buah lampu Ultraviolet (UV) Kaca pembesar (magnifying glass) Kamera foto digital Sarung tanggan katun Digunakan untuk memeriksa kondisi kanvas dan permukaan lukisan yang tidak nampak jika menggunakan cahaya normal. Digunakan untuk memperjelas kondisi kanvas dan permukaan lukisan sehingga dapat terlihat lebih detail. Digunakan untuk mendokumentasikan kondisi koleksi lukisan secara keseluruhan maupun detail. Digunakan dalam pemeriksaan untuk melindungi tangan dan mencegah kontak langsung antara tangan dengan koleksi lukisan. Pelaksanaan observasi kondisi lukisan akan dilakukan secara langsung di Galeri I dimana koleksi dipamerkan. Tujuan dari pemeriksaan secara langsung ini untuk menghindari kerusakan lebih lanjut pada koleksi akibat transportasi atau

24 24 pemindahan koleksi dari satu tempat ke tempat lain sebagai akibat dari dilakukannya penelitian ini. Koleksi lukisan merupakan objek kajian yang kompleks karena koleksi lukisan jika diurai dapat dikategorikan ke dalam empat komponen utama yaitu: 1. Kanvas (canvas) 2. Rangka Kanvas (canvas support) 3. Permukaan Lukisan dan Pernis (paint, ground & varnish layers) 4. Bingkai Lukisan (frame) Dokumen survey kondisi koleksi terdiri dari empat bagian utama yang mewakili setiap komponen pada koleksi lukisan (lihat Gambar 1.3). Setiap bagian yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap komponen koleksi lukisan dalam dokumen survey ini disebut dengan formulir. Keempat formulir tersebut adalah: 1. Formulir Penilaian Kondisi Fisik Kanvas 2. Formulir Penilaian Kondisi Fisik Rangka Kanvas 3. Formulir Penilaian Kondisi Fisik Lapisan Lukisan 4. Formulir Penilaian Kondisi Fisik Bingkai Lukisan Penyusunan instrumen berupa formulir pemeriksaan kondisi fisik koleksi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil modifikasi dari beberapa referensi formulir antara lain formulir kondisi koleksi dari Museum of New

25 25 Zealand Te Papa Tongarewa, Canadian Conservation Institute, dan formulir kondisi koleksi lukisan oleh Feroza Verberne-Khurshid (Stedelijk Museum, Amsterdam). Gambar 1.3. Skema Pembagian Dokumen Survey Kondisi Koleksi (Gambar oleh Asies Sigit Pramujo) Modifikasi yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan memberikan skala kondisi kerusakan pada setiap variabel kondisi kerusakan. Peneliti menyadari perlunya pemberian skala kondisi kerusakan akan memudahkan konservator atau petugas pemeriksa mengetahui derajat kerusakan yang terjadi pada koleksi lukisan. Skala kondisi pada setiap variabel kondisi akan memudahkan pada penghitungan untuk menentukan skala prioritas konservasi koleksi lukisan. Skala kondisi ini digunakan untuk mewakili derajat kerusakan dari setiap variabel kondisi berdasarkan kriteria kondisi.

26 26 (5) Pengumpulan Data Arti Khusus Koleksi Arti khusus atau nilai penting koleksi lukisan merupakan aspek non material yang ikut menentukan skala prioritas konservasi koleksi lukisan. Nilai penting atau arti khusus dalam istilah bahasa Inggris disebut significance. Keberhasilan dalam menentukan tindakan konservasi dan pengelolaan koleksi bergantung pada pemahaman kita mengenai arti khusus suatu objek. Pemahaman terhadap arti khusus tersebut membantu konservator untuk fokus pada koleksi yang memiliki arti khusus, memberikan prioritas utama pada kajian kurasional, konservasi, pameran, dan program penelitian (Russell & Winkworth, 2009, hal. 12). Arti khusus koleksi memudahkan konservator dalam memberikan prioritas tindakan konservasi pada koleksi sehingga tindakan yang dilakukan tidak hanya melestarikan kondisi fisik koleksi namun juga melestarikan nilai yang terkandung di dalam objek itu sendiri. Konservator seringkali mengalami keraguan dalam melakukan penanganan pada koleksi yang disebabkan karena ketakutan konservator ketika melakukan tindakan akan mengurangi arti khusus koleksi. Selain itu, sebagian besar konservator merasa bahwa kajian arti khusus bukan bagian dari keahlian mereka.... sometimes finding themselves afraid to undertake a particular treatment procedure even though they are confident of a successful technical outcome because of a fear that the treatment will diminished the object in some hard-to-characterize way. Perhaps they feel that the matter is none of their business, outside their area of expertise, or just too messy to get involved in. (Applebaum, 2010, p. 6). Pemahaman mengenai arti khusus dari koleksi juga membantu konservator untuk menentukan aspek-aspek apa saja dari koleksi yang perlu dipertahankan dan

27 27 mana saja aspek yang tidak perlu dipertahankan karena tidak memberikan kontribusi pada nilai koleksi (Applebaum, 2010, p. 88). Instrumen yang digunakan dalam menentukan arti khusus dari 33 buah koleksi lukisan cat minyak di atas kanvas karya Affandi di Museum Affandi menggunakan sebuah formulir. Dalam penelitian ini, formulir tersebut disebut dengan Dokumen Arti Khusus Koleksi Lukisan. Penyusunan instrumen berupa formulir arti khusus koleksi lukisan yang digunakan pada penelitian ini merupakan adaptasi dari formulir penilaian (valuation form) Culture Heritage Agency dalam publikasi berjudul Assessing Museum Collection (Rijksdienst voor het Cultureel Erfgoed (RCE), 2014, pp ) dan mengadaptasi penjelasan koleksi lukisan yang biasa digunakan oleh balai lelang (auction) barang antik seperti balai lelang Christie 3, invaluable 4, dan The Metropolitan Museum of Art (TheMet) 5. Penentuan arti khusus koleksi lukisan dilakukan berdasarkan deskripsi dari koleksi lukisan yang dapat diperoleh dari pangkalan data (database) koleksi Museum Affandi maupun dari hasil wawancara dengan kurator dan konservator Museum Affandi yaitu Kartika Affandi (kurator dan pelukis) dan Selarti Venetsia Saraswati (konservator-restorator). Arti khusus koleksi lukisan diperoleh melalui proses pemilahan data dari deksripsi koleksi lukisan yang ada

28 28 Pengumpulan data arti khusus koleksi dilakukan pada 33 koleksi lukisan yang menjadi objek penelitian dengan cara mengumpulkan deskripsi dari masing-masing koleksi lukisan. Deskripsi koleksi yang berhasil diperoleh peneliti kemudian dilakukan identifikasi berdasarkan variabel arti khusus yang sudah ditentukan sehingga pada setiap variabel arti khusus menghasilkan skala yang mereprentasikan derajat arti khususnya. Variabel arti khusus koleksi lukisan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran Daftar Variabel dan Kriteria Arti Khusus Koleksi Lukisan. Skala yang dihasilkan pada setiap varibel arti khusus sifatnya tidak mutlak mengingat sifat dari arti khusus yang dinamis sehingga dapat berubah di masa yang akan datang. Skala arti khusus yang dihasilkan pada penelitian ini adalah skala yang berlaku pada saat penelitian ini dilakukan. Jika dimasa yang akan datang tidak terjadi perubahan pada arti khusus maka skala tersebut dapat digunakan namun jika terdapat informasi baru yang memperbaharui arti khusus koleksi maka skala yang dihasilkan pada saat ini menjadi tidak berlaku dan perlu dilakukan pembaharuan data arti khusus Analisis Data Analisis data yang dilakukan oleh peneliti pada data yang telah dikumpulkan pada tahap pengumpulan data. Data tersebut meliputi data suhu dan kelembapan relatif ruang Galeri I, data kondisi fisik koleksi lukisan, dan data arti khusus koleksi lukisan.

29 29 Analisis data suhu dan kelembaban relatif ruang Galeri I dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai situasi suhu dan kelembaban relatif ruang Galeri I sehingga dapat memberikan gambaran mengenai dampak yang ditimbulkan pada koleksi lukisan. Analisis data kondisi fisik koleksi dilakukan dengan mendapatkan indeks kondisi fisik koleksi lukisan sehingga dapat memetakan seluruh kondisi fisik koleksi lukisan yang ada di ruang Galeri I sehingga peneliti dapat menentukan tindakan konservasi yang diperlukan bagi setiap koleksi lukisan. Analisis arti khusus koleksi dilakukan untuk mengetahui alasan dan tingkat arti khusus yang dimiliki oleh setiap koleksi lukisan sehingga peneliti dapat memetakan arti khusus dari seluruh koleksi lukisan yang menjadi objek penelitian Kesimpulan Kesimpulan merupakan bagian akhir yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam masalah penelitian dan menjadi bagian yang digunakan untuk mengintegrasikan seluruh data penelitian yang telah dikumpulkan dan dilakukan analisis. Bab kesimpulan ini berupa rekomendasi tindakan konservasi yang perlu dilakukan pada ruang Galeri I secara umum dan masing-masing koleksi lukisan secara khusus. Rekomendasi tindakan konservasi terhadap ruang Galeri I dapat diambil dari hasil analisis terhadap faktor lingkungan yang meliputi: suhu, kelembaban ruang, intensitas cahaya, dan radiasi ultra violet yang mempengaruhi koleksi lukisan.

30 30 Rekomendasi tindakan konservasi terhadap setiap koleksi lukisan dapat diambil dari hasil analisis terhadap faktor fisik dan arti khusus pada koleksi lukisan berdasarkan hasil akhir penentuan skala prioritas konservasi koleksi lukisan. Jenis tindakan konservasi tersebut dapat berupa tindakan preventif, perbaikan (remedial conservation), atau restorasi (restoration).

31 Gambar 1.4. Skema Alur Penelitian 31

5. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Model Penentuan Skala Prioritas Konservasi Koleksi Lukisan

5. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Model Penentuan Skala Prioritas Konservasi Koleksi Lukisan 5. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Model Penentuan Skala Prioritas Konservasi Koleksi Lukisan Penelitian ini menitik-beratkan pada tindakan konservasi fisik pada koleksi lukisan sehingga pembobotan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan dan merawat Benda Cagar

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan dan merawat Benda Cagar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Benda Cagar Budaya merupakan benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau

Lebih terperinci

2 Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa

2 Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KEHUTANAN. Museum. Cagar Budaya. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 195) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KERJA KHUSUS KURATOR MUSEUM

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KERJA KHUSUS KURATOR MUSEUM SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KOMPETENSI KERJA KHUSUS KURATOR MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kraton Yogyakarta merupakan kompleks bangunan terdiri dari gugusan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kraton Yogyakarta merupakan kompleks bangunan terdiri dari gugusan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kraton Yogyakarta merupakan kompleks bangunan terdiri dari gugusan sejumlah bangunan antara lain; Alun alun Utara, Pagelaran, Sitihinggil Utara, Cepuri, Keputren, Keputran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (ICOM), museum mengemban tugas yang tidak ringan. Museum berkewajiban

BAB I PENDAHULUAN. (ICOM), museum mengemban tugas yang tidak ringan. Museum berkewajiban BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan definisi museum menurut International Council of Museum (ICOM), museum mengemban tugas yang tidak ringan. Museum berkewajiban melayani masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Diagram 6 : skema hubungan fasilitas

BAB IV ANALISIS. Diagram 6 : skema hubungan fasilitas BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Bangunan IV.1.1 Organisasi Ruang Berdasarkan hasil studi banding, wawancara, dan studi persyaratan ruang dan karakteristik kegiatan di dalamnya, hubungan fasilitas dapat dilihat

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN SAYEMBARA PEMBUATAN PATUNG TINO SIDIN DALAM RANGKA REVITALISASI MUSEUM TAMAN TINO SIDIN DIREKTORAT PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DAN PERMUSEUMAN TAHUN 2017 BAB I: PENDAHULUAN 1. LATAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia

Lebih terperinci

TEKNIK SENI LUKIS POTRET DIRI AFFANDI

TEKNIK SENI LUKIS POTRET DIRI AFFANDI TEKNIK SENI LUKIS POTRET DIRI AFFANDI PENGKAJIAN SENI Oleh: Rani Dewayani NIM 0811940021 PROGRAM STUDI SENI RUPA MURNI JURUSAN SENI MURNI FAKULTAS SENI RUPA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2015 TEKNIK

Lebih terperinci

Konservasi Preventif Karya Seni Lukis bagi Mahasiswa Seni

Konservasi Preventif Karya Seni Lukis bagi Mahasiswa Seni ITB J. Vis. Art. Vol. 1 D, No. 3, 2007, 391-400 391 Konservasi Preventif Karya Seni Lukis bagi Mahasiswa Seni Irma Damajanti KK Ilmu Seni & Estetika-FSRD Institut Teknologi Bandung Abstract. The book of

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan,

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.195, 2015 KEHUTANAN. Museum. Cagar Budaya. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5733). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogyakarta adalah kota yang sedang mengalami perkembangan pada sektor perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun dimana-mana. Akan

Lebih terperinci

SEJARAH SUMBER TERBUKA: PEMETAAN PAMERAN SENI RUPA DI INDONESIA

SEJARAH SUMBER TERBUKA: PEMETAAN PAMERAN SENI RUPA DI INDONESIA SEJARAH SUMBER TERBUKA: PEMETAAN PAMERAN SENI RUPA DI INDONESIA Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN) mengundang Anda untuk berpartisipasi pada acara Sejarah Sumber Terbuka:

Lebih terperinci

B. Jumlah Peserta Pameran Guru yang diikutkan dalam kegiatan pameran secara keseluruhan akan

B. Jumlah Peserta Pameran Guru yang diikutkan dalam kegiatan pameran secara keseluruhan akan KETENTUAN PENDAFTARAN DAN KEPESERTAAN PAMERAN SENI RUPA GURU SE-JABODETABEK DI MUSEUM BASOEKI ABDULLAH DALAM RANGKA PERINGATAN KE 59 HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2 MEI 2017 I. Bentuk Kegiatan & Tema A. Pameran

Lebih terperinci

BAB 3 SRIWIJAYA ARCHAEOLOGY MUSEUM

BAB 3 SRIWIJAYA ARCHAEOLOGY MUSEUM BAB 3 PENYELESAIAN PERSOALAN PERANCANGAN Pada bab kali ini akan membahas penyelesaian persoalan perancangan dari hasil kajian yang dipaparkan pada bab sebelumnya. Kajian yang telah dielaborasikan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya karena dapat membantu melestarikan warisan budaya sebagai jati diri

BAB I PENDAHULUAN. budaya karena dapat membantu melestarikan warisan budaya sebagai jati diri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata budaya merupakan salah satu jenis pariwisata yang memanfaatkan perkembangan potensi hasil budaya manusia sebagai objek daya tariknya. Jenis wisata ini

Lebih terperinci

TIPOLOGI MUSEUM, fachrimuhammadabror A. Definisi Museum

TIPOLOGI MUSEUM, fachrimuhammadabror A. Definisi Museum TIPOLOGI MUSEUM, fachrimuhammadabror A. Definisi Museum Museum berdasarkan definisi yang diberikan International Council of Museums, adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 103 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Museum Taman Prasasti adalah salah satu museum di Jakarta yang mempunyai daya tarik dan keunikan tersendiri. Daya tarik tersebut berupa lokasi museum yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA I. UMUM Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara memajukan

Lebih terperinci

BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN

BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN 21 BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN A. Langkah-Langkah Proses Berkarya Legenda yang dulu lahir dan tumbuh dalam masyarakat sendiri perlahan hilang atau dilupakan karena tak ada pola pewarisan yang

Lebih terperinci

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA

MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA MUSEUM AFFANDI YOGYAKARTA Oleh : Theresiana Ani Larasati Objek wisata budaya yang banyak dikunjungi oleh wisatawan ketika datang di Yogyakarta adalah Museum Affandi. Museum ini mengingatkan kita pada kegigihan

Lebih terperinci

PERTEMUAN 10. Bahan Ajar 10. Metode penanganan koleksi permuseuman)

PERTEMUAN 10. Bahan Ajar 10. Metode penanganan koleksi permuseuman) PERTEMUAN 10 Bahan Ajar 10. Metode penanganan koleksi permuseuman) A. Pendahuluan Mengelola atau penanganan museum adalah tugas pokok seorang kepala museum. Dari uraian modul-modul terdahulu, kita sudah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya, alam dan sejarah peninggalan dari nenek moyang sejak zaman dahulu, terbukti dengan banyaknya ditemukan

Lebih terperinci

BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN. kebenaran, hal ini terkait sekali dengan realitas.

BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN. kebenaran, hal ini terkait sekali dengan realitas. 68 BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN Menciptakan karya seni selalu di hubungkan dengan ekspresi pribadi senimannya, hal itu diawali dengan adanya dorongan perasaan untuk menciptakan sesuatu yang baru

Lebih terperinci

berpengaruh terhadap gaya melukis, teknik pewarnaan, obyek lukis dan lain sebagainya. Pembuatan setiap karya seni pada dasarnya memiliki tujuan

berpengaruh terhadap gaya melukis, teknik pewarnaan, obyek lukis dan lain sebagainya. Pembuatan setiap karya seni pada dasarnya memiliki tujuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat Indonesia secara umum kian menurun tingkat ketertarikannya dengan dunia seni, khususnya pada dua cabang seni murni yaitu seni lukis dan seni

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 75 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perpustakaan BPHN merupakan perpustakaan khusus dalam bidang hukum. Namun, keberadaannya sebagai sebuah lembaga pembinaan hukum nasional dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

BAGAIMANA MENDIRIKAN SEBUAH MUSEUM

BAGAIMANA MENDIRIKAN SEBUAH MUSEUM BAGAIMANA MENDIRIKAN SEBUAH MUSEUM Wawan Yogaswara A. Apakah itu museum? Museum menurut International Council of Museums (ICOM) adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5)

Lebih terperinci

III. METODE PENCIPTAAN. A. Implementasi Teoritis

III. METODE PENCIPTAAN. A. Implementasi Teoritis III. METODE PENCIPTAAN 1. Tematik A. Implementasi Teoritis Kehidupan dunia anak-anak yang diangkat oleh penulis ke dalam karya Tugas Akhir seni lukis ini merupakan suatu ketertarikaan penulis terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Galeri merupakan sebuah bangunan yang memiliki fungsi mirip dengan museum dan memiliki kegiatan utama yang sama yaitu kegiatan pameran. Galeri memiliki fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dunia fotografi sangatlah luas, perkembangannya juga sangat pesat. Di

I. PENDAHULUAN. Dunia fotografi sangatlah luas, perkembangannya juga sangat pesat. Di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Dunia fotografi sangatlah luas, perkembangannya juga sangat pesat. Di bidang ini fotografer dapat bereksperimen dengan leluasa, menciptakan fotografi seni yang

Lebih terperinci

Tugas Tutorial Mata Kuliah: Pengolahan Terbitan Berseri RANGKUMAN MODUL 6 PUST2250 (BUKU MATERI PENGOLAHAN TERBITAN BERSERI) Dibuat Oleh:

Tugas Tutorial Mata Kuliah: Pengolahan Terbitan Berseri RANGKUMAN MODUL 6 PUST2250 (BUKU MATERI PENGOLAHAN TERBITAN BERSERI) Dibuat Oleh: Tugas Tutorial Mata Kuliah: Pengolahan Terbitan Berseri RANGKUMAN MODUL 6 PUST2250 (BUKU MATERI PENGOLAHAN TERBITAN BERSERI) Dibuat Oleh: Disusun Oleh: Nama : Heri Purnomo NIM : 015856697 Pokjar : Wonogiri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Teknik Pengumpulan Data 1. Metode Penelitian Setiap penelitian terlebih dahulu harus menentukan metode apa yang akan digunakan dalam penelitian tersebut, hal ini

Lebih terperinci

3.2. METODOLOGI PERENCANAAN

3.2. METODOLOGI PERENCANAAN BAB III METODOLOGI 3.1. TINJAUAN UMUM Dalam mengatur suatu perencanaan konstruksi dan rencana pelaksanaan perlu adanya metodologi yang baik dan benar karena metodologi merupakan acuan untuk menentukan

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan,

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.195, 2015 KEHUTANAN. Museum. Cagar Budaya. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5733). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain unsur visualisasi, teknik sapuan kuas yang ada di atas kanvas juga

BAB I PENDAHULUAN. Selain unsur visualisasi, teknik sapuan kuas yang ada di atas kanvas juga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seni lukis merupakan cabang seni rupa yang terdiri dari unsur-unsur pokok berupa bidang, garis, bentuk dan warna yang berwujud karya dua dimensi. Di dalam seni lukis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab I pendahuluan dibahas mengenai latar belakang dari perancangan sebuah Museum seni karikatur dan patung di Tabanan dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan, serta metode penelitian.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia dan merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat yang banyak menyimpan berbagai sejarah serta memiliki kekayaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data 1. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian skripsi tentang kerajinan atau kriya kayu lame di kampung Saradan, penulis menggunakan

Lebih terperinci

Bagan 3.1 Proses Berkarya Penulis

Bagan 3.1 Proses Berkarya Penulis A. Pemilihan Ide Pengkaryaan BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN Lingkungan Pribadi Ide Lingkungan Sekitar Kontemplasi Stimulasi Sketsa Karya Proses Berkarya Apresiasi karya Karya Seni Bagan 3.1 Proses

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

pribadi pada masa remaja, tentang kebiasaan berkumpul di kamar tidur salah seorang teman

pribadi pada masa remaja, tentang kebiasaan berkumpul di kamar tidur salah seorang teman DESKRIPSI KARYA SENI LUKIS BERJUDUL: THREE GIRLS IN THE BEDROOM Judul : Three Girls in the Bedroom Ukuran : 100x100 cm Tahun : 2006 Media : Oil on canvas Dipamerkan pada acara: Pameran Seni Rupa dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA A. Implementasi Teoritis Penulis menyadari bahwa topeng merupakan sebuah bagian peninggalan prasejarah yang sekarang masih mampu

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM 2.1 Pengertian dan Sejarah Museum Dalam era pembangunan teknologi yang cepat berkembang dewasa ini, peranan museum sangat diharapkan untuk mengumpulkan, merawat,

Lebih terperinci

MODUL III PENDAFTARAN CAGAR BUDAYA

MODUL III PENDAFTARAN CAGAR BUDAYA MODUL III PENDAFTARAN CAGAR BUDAYA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar Cagar Budaya dimiliki oleh masyarakat, sehingga perlu diupayakan agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Komunikasi dan edukasi..., Kukuh Pamuji, FIB UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Komunikasi dan edukasi..., Kukuh Pamuji, FIB UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas permuseuman kini makin berkembang sebagai akibat dari terjadinya perubahan paradigma. Apabila pada awalnya aktivitas permuseuman berpusat pada koleksi,

Lebih terperinci

SOLO FINE ART SPACE BAB I PENDAHULUAN

SOLO FINE ART SPACE BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seni rupa merupakan cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep

Lebih terperinci

pendidikan seni tersebut adalah pendidikan seni rupa yang mempelajari seni mengolah kepekaan rasa, estetik, kreativitas, dan unsur-unsur rupa menjadi

pendidikan seni tersebut adalah pendidikan seni rupa yang mempelajari seni mengolah kepekaan rasa, estetik, kreativitas, dan unsur-unsur rupa menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan seni merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Salah satu pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengambil keputusan. Di dalam sebuah organisasi, arsip sangatlah penting

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengambil keputusan. Di dalam sebuah organisasi, arsip sangatlah penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arsip dapat dikatakan sebagai jantung dari sebuah organisasi. Arsip tercipta secara terus menerus selama organisasi itu masih hidup dan dapat menjadi acuan untuk

Lebih terperinci

PEMBINAAN TENAGA TEKNIS REGISTERASI CAGAR B UDAYA MUHAMMAD RAMLI

PEMBINAAN TENAGA TEKNIS REGISTERASI CAGAR B UDAYA MUHAMMAD RAMLI PEMBINAAN TENAGA TEKNIS REGISTERASI CAGAR B UDAYA MUHAMMAD RAMLI PENDOKUMENTASIAN CAGAR BUDAYA (Pengantar Umum) Pengertian CAGAR BUDAYA Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: : PERATURAN BUPATI TENTANG PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA.

MEMUTUSKAN: : PERATURAN BUPATI TENTANG PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA. Menimbang Mengingat BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI : a. bahwa cagar budaya

Lebih terperinci

UNDANGAN TERBUKA PAMERAN BESAR SENI RUPA 2016 Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

UNDANGAN TERBUKA PAMERAN BESAR SENI RUPA 2016 Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan UNDANGAN TERBUKA PAMERAN BESAR SENI RUPA 2016 Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pameran Besar Seni Rupa (PBSR) yang diselenggarakan oleh Direktorat

Lebih terperinci

Upaya Penanganan Kayu Secara Tradisional Studi Kasus: Tradisi Masyarakat Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah

Upaya Penanganan Kayu Secara Tradisional Studi Kasus: Tradisi Masyarakat Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah Upaya Penanganan Kayu Secara Tradisional Studi Kasus: Tradisi Masyarakat Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah A. Pengantar Tinggalan Cagar Budaya berbahan kayu sangat banyak tersebar di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Council of Museum (ICOM), lembaga internasional

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Council of Museum (ICOM), lembaga internasional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut International Council of Museum (ICOM), lembaga internasional museum yang diakses melalui icom.museum pada tanggal 24 September 2014, museum merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berwisata ke museum selain bertujuan untuk berlibur juga dapat menambah ilmu pengetahuan sekaligus ikut menjaga pelestarian kekayaan budaya bangsa. Menurut situs kebudayaan.kemdikbud.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Wukirsari Sebagai Desa Penghasil Kerajinan Tangan

BAB I PENDAHULUAN Wukirsari Sebagai Desa Penghasil Kerajinan Tangan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Wukirsari Sebagai Desa Penghasil Kerajinan Tangan Desa Wukirsari merupakan salah satu desa sentra kerajinan di Kecamatan Imogiri yang mampu menghasilkan berbagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Pendahuluan. Dalam penyusunan Startaegic Planning, diperlukan acuan untuk menuntun

BAB III METODOLOGI. 3.1 Pendahuluan. Dalam penyusunan Startaegic Planning, diperlukan acuan untuk menuntun 47 BAB III METODOLOGI 3.1 Pendahuluan Dalam penyusunan Startaegic Planning, diperlukan acuan untuk menuntun perencanaan Strategic Planning tahap demi tahap. Metodologi yang digunakan pada tesis ini merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR...TAHUN... TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR...TAHUN... TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR...TAHUN... TENTANG MUSEUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam satu komunitas yang sering disebut dengan. banyak spesies tersebut (Anonimus, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam satu komunitas yang sering disebut dengan. banyak spesies tersebut (Anonimus, 2008). TINJAUAN PUSTAKA Indeks keanekaragaman/ Indeks Diversitas Insdeks keanekaragaman dapat dipegunakan dalam menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam suatu komunitas. Keanekaragaman jenis terdiri dari

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEMA INSERTION

BAB III TINJAUAN TEMA INSERTION BAB III TINJAUAN TEMA INSERTION 3.1 LATAR BELAKANG Perkembangan kota ditandai dengan makin pesatnya pembangunan fisik berupa bangunanbangunan baru di pusat kota. Bangunan-bangunan baru tersebut dibangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Judul dan Pengertian Judul 1. Judul Jakarta Integrated Urban Farm 2. Pengertian Judul Jakarta merupakan ibu kota Indonesia, daerah ini dinamakan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Kota

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 110 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. PENDEKATAN PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang tidak menggunakan

Lebih terperinci

BAB 7 PENUTUP. Visi Museum La Galigo belum menyiratkan peran museum sebagai pembentuk identitas Sulawesi Selatan sedangkan misi

BAB 7 PENUTUP. Visi Museum La Galigo belum menyiratkan peran museum sebagai pembentuk identitas Sulawesi Selatan sedangkan misi BAB 7 PENUTUP 7.1 Kesimpulan I La Galigo merupakan intangible heritage yang menjadi identitas masyarakat Sulawesi Selatan dan saat ini masih bertahan di tengah arus globalisasi. Salah satu cara untuk melestarikan

Lebih terperinci

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR Oleh: NDARU RISDANTI L2D 005 384 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi, dan rekreasi para pemustaka. Perpustakaan dijadikan salah satu pusat

BAB I PENDAHULUAN. informasi, dan rekreasi para pemustaka. Perpustakaan dijadikan salah satu pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan karya rekam guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan

Lebih terperinci

Patung dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia

Patung dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia Patung dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia Anusapati SENI PATUNG DALAM WACANA SENI RUPA KONTEMPORER INDONESIA 1* Anusapati Patung dan aspek-aspek utamanya Di dalam ranah seni klasik/tradisi, pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prio Rionggo, 2014 Proses Penciptaan Desain Poster Dengan Tema Bandung Heritage

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prio Rionggo, 2014 Proses Penciptaan Desain Poster Dengan Tema Bandung Heritage BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desain Komunikasi Visual (DKV) yang sebelumnya popular dengan sebutan Desain Grafis selalu melibatkan unsur-unsur seni rupa (visual) dan disiplin komunikasi, Semenjak

Lebih terperinci

BAB III PROSES PEMBENTUKAN

BAB III PROSES PEMBENTUKAN BAB III PROSES PEMBENTUKAN Lahirnya karya seni rupa melalui proses penciptaan selalu terkait dengan masalah teknis, bahan, dan alat yang digunakan serta tahapan pembentukannya. Selain kemampuan dan pengalaman,

Lebih terperinci

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 Geografi K e l a s XI KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kegiatan pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang membahas mengenai permasalah yang ada terkait dengan sebuah objek. Adanya permasalahan menimbulkan beberapa pertanyaan, yang akan dibahas untuk menghasilkan solusi dalam

Lebih terperinci

PAMERAN (EKSPRESI DAN APRESIASI SENI KRIYA)

PAMERAN (EKSPRESI DAN APRESIASI SENI KRIYA) PAMERAN (EKSPRESI DAN APRESIASI SENI KRIYA) Oleh : Drs. Hery Santosa, M.Sn. Drs. Tapip Bahtiar, M.Ds. SK/KD EKSPRESI DIRI STANDAR KOMPETENSI Mengekspresikan diri melalui karya seni kriya KOMPETENSI DASAR

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Iklim merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan di bumi. Dimana Iklim secara langsung dapat mempengaruhi mahluk hidup baik manusia, tumbuhan dan hewan di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata budaya diyakini memiliki manfaat positif secara ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata budaya diyakini memiliki manfaat positif secara ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata budaya diyakini memiliki manfaat positif secara ekonomi dan sosial budaya. Jenis pariwisata ini dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal,

Lebih terperinci

Indonesia Bahasa Indonesia

Indonesia Bahasa Indonesia Indonesia Bahasa Indonesia Kategori Kategori Pelukis Profesional terbuka bagi para pelukis berpengalaman yang telah memiliki portofolio karya seni. Seniman pada kategori Profesional diharuskan memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN OBJEK RANCANGAN. Judul Perancangan yang terpilih adalah Gorontalo Art Gallery Centre, dengan

BAB II TINJAUAN OBJEK RANCANGAN. Judul Perancangan yang terpilih adalah Gorontalo Art Gallery Centre, dengan BAB II TINJAUAN OBJEK RANCANGAN 2.1. Pengertian Judul Judul Perancangan yang terpilih adalah Gorontalo Art Gallery Centre, dengan pengertian sebagai berikut. Gorontalo adalah nama dari daerah Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan.

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki paling banyak warisan budaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga atau setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Jawa Barat sendiri memiliki

Lebih terperinci

BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN

BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN BAB III PROSES DAN TEKNIK PENCIPTAAN Sebuah karya seni dapat terlihat dari dorongan perasaan pribadi pelukis. Menciptakan karya seni selalu di hubungkan dengan ekspresi pribadi senimannya. Hal itu di awali

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

LEMBAR KONDISI TEKSTIL Form. LKT-Tekstil/MNI/2014

LEMBAR KONDISI TEKSTIL Form. LKT-Tekstil/MNI/2014 LEMBAR KONDISI TEKSTIL Form. LKT-Tekstil/MNI/2014 No No. Inv. Nama Benda Asal Benda Ukuran Kondisi Ruang : / Laci : BAHAN PEMBENTUK BENDA LOGAM Benang Logam Benang Emas Benang Perak Percik Logam Prada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi komputer dari waktu ke waktu membawa dampak semakin banyaknya sarana-sarana yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Dampak perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Arkeologika, benda koleksi merupakan benda objek penelitian ilmu arkeologi.

BAB I PENDAHULUAN. - Arkeologika, benda koleksi merupakan benda objek penelitian ilmu arkeologi. PENDAHULUAN BAB 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Museum Negeri Provinsi Papua telah dirintis sejak tahun 1981/ 1982 oleh Kepala Bidang Permuseuman, Sejarah dan Kepurbakalaan Departemen Pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Kondisi Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN Kondisi Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kondisi Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang kaya akan aset budaya seperti peninggalan bersejarah (artefak), tarian

Lebih terperinci

Metode Penciptaan Serikat Serangga Dalam Penciptaan Seni Kriya Oleh: I Nyoman Suardina, S.Sn.,Msn

Metode Penciptaan Serikat Serangga Dalam Penciptaan Seni Kriya Oleh: I Nyoman Suardina, S.Sn.,Msn Metode Penciptaan Serikat Serangga Dalam Penciptaan Seni Kriya Oleh: I Nyoman Suardina, S.Sn.,Msn Dalam proses penciptaan karya seni kriya, tentu melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut harus terstruktur,

Lebih terperinci

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Batik merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu amba yang berarti menulis dan tik yang berarti titik. Batik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Lokasi Solo baru adalah daerah bagian selatan dan sebelah utara kota Surakarta jawa tengah untuk daerah ini bertepatan dengan kabupaten Sukoharjo daerah ini dulunya

Lebih terperinci

Indonesia. Bahasa Indonesia

Indonesia. Bahasa Indonesia Indonesia Bahasa Indonesia Kategori Kategori Pelukis Profesional terbuka bagi para pelukis berpengalaman yang memiliki portofolio karya yang mapan. Setidaknya mereka sudah pernah mengikuti pameran, entah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta memiliki banyak bangunan monumental seperti Tamansari, Panggung Krapyak, Gedung Agung, Benteng Vredeburg, dan Stasiun Kereta api Tugu (Brata: 1997). Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Galeri Nasional Indonesia (GNI) merupakan salah satu lembaga kebudayaan berupa museum khusus dan pusat kegiatan seni rupa, sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir ini teknologi berkembang dengan pesat, banyak benda yang bisa dikendalikan melalui komputer sehingga dapat bergerak secara otomatis, salah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PERPUSTAKAAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PERPUSTAKAAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PERPUSTAKAAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

MUSEUM BATIK YOGYAKARTA Oleh : Pinasthi Anindita, Bharoto, Sri Hartuti Wahyuningrum

MUSEUM BATIK YOGYAKARTA Oleh : Pinasthi Anindita, Bharoto, Sri Hartuti Wahyuningrum MUSEUM BATIK YOGYAKARTA Oleh : Pinasthi Anindita, Bharoto, Sri Hartuti Wahyuningrum Kerajinan batik merupakan kerajinan khas Indonesia yang merupakan warisan budaya lokal dan menjadi warisan budaya yang

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah dan memiliki beragam budaya, seni serta wisata yang telah dikenal keindahannya di Indonesia. Ibukota Jawa Tengah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1995 TENTANG PEMELIHARAAN DAN PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA DI MUSEUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1995 TENTANG PEMELIHARAAN DAN PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA DI MUSEUM Menimbang: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1995 TENTANG PEMELIHARAAN DAN PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA DI MUSEUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 22

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Teknik lukisan Affandi berkembang dari teknik yang realistik ke teknik plotot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan teknik pada lukisan Affandi yang realistik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 107 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini dirancang untuk menemukan karakteristik dan praktikpraktik kepemimpinan sekolah Islam, maka jenis penelitian

Lebih terperinci