BAB I PENDAHULUAN. berbeda dan cenderung menyimpang dari jenis kelamin (sex) asli yang sifatnya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. berbeda dan cenderung menyimpang dari jenis kelamin (sex) asli yang sifatnya"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transgender adalah terminologi yang merujuk pada identitas gender yang berbeda dan cenderung menyimpang dari jenis kelamin (sex) asli yang sifatnya inherited atau bawaan sejak manusia lahir. Jika mengacu pada definisi yang dikemukakan J.L. Nagoshi dalam risetnya yang berjudul Transgender Theory : Embodying Research and Practice, transgender didefinisikan sebagai pengingkaran dari peran gender asli ataupun identitas gender asli yang harusnya dilakukan individu tersebut, dengan kata lain transgender juga bisa didefinisikan sebagai perilaku yang mengarah kepada peran dari gender lain. Lebih lanjut lagi, transgender dapat dikatakan sebagai ekspresi identitas gender diluar konstruksi gender tradisional dalam masyarakat yang hanya mendefinisikan dan mengakui dua jenis gender yakni maskulin dan feminin, tanpa mengkalkulasi gender ketiga yang baru-baru ini sering diperhatikan kemunculannya. Ekspresi ini hanyalah sebatas ekspresi penampilan dari individu transgender tersebut, dan tidak mengarah pada pengubahan tampilan fisiknya (Nagoshi dan Brzuzy 2010). Definisi ini diperkuat dengan pendapat Craig J. Forsyth dan Heith Copes dalam bukunya Encyclopedia of Social Deviance, transgender didefinisikan sebagai satu istilah yang menjadi sebuah payung bagi penggambaran individuindividu yang memiliki identitas, ekspresi serta perilaku gender yang berbeda dengan identitas jenis kelamin asli yang mereka bawa saat mereka lahir (Forsyth

2 2 dan Copes 2014). Transgender hanyalah satu istilah yang berperan sebagai sebuah payung, hal tersebut berarti bahwa transgender memiliki istilah-istilah lain yang merupakan derivasinya atau bisa juga disebut sebagai jenis-jenis dari transgender itu sendiri. Menurut Encyclopedia of Social Deviance yang ditulis oleh Craig J. Forsyth dan Heith Copes jenis-jenis transgender yang ada adalah transsexual, genderqueer, bi-gender, gender ketiga, cross-dresser, dan drag king/queen. Masing-masing identitas gender tersebut memiliki definisi dan ciri khasnya tersendiri yang membedakannya satu sama lain (Forsyth dan Copes 2014). Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Supatmi (2012:43) juga mengungkapkan bahwa transgender merupakan pernyataan identitas gender seseorang. Transgender tidak menyatakan secara langsung berbagai bentuk spesifikasi dari orientasi seksual. Ia merupakan suatu terminologi payung yang sering digunakan untuk menjelaskan suatu tingkatan yang luas mengenai identitas dan pengalaman, termasuk: transeksual perempuan ke laki-laki, transeksual lakilaki ke perempuan, cross dresers, dan masih banyak lagi. Oleh karena transgender merupakan termnologi payung, hal tersebut tidak dapat dan tidak cukup menjelaskan berbagai pengalaman dan identitas khusus tertentu. Sebagai contoh, terminologi ini meliputi orang-orang yang menjalani perawatan medis untuk membuat penampilan fisik mereka ke dalam prilaku yang sesuai dengan identitas gendernya tanpa mencoba untuk memperoleh berbagai upaya medis, dan orangorang yang mencoba ountuk memperoleh pengobatan medis dan yang berada di dalam proses transisi antara jenis kelamin untuk membuat penampilan fisik mereka sesuai dengan prilaku identitas gender internalnya.

3 3 Kata transgender ini dalam beberapa kasus biasanya sering disamakan dengan transsexual oleh masyarakat. Padahal, terdapat perbedaan yang menjadi penanda dari masing-masing istilah ini, walaupun perbedaan tersebut tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun definisi dari dua istilah yang seringkali dianggap sama tersebut ternyata berbeda. Pembedanya terletak pada keinginan untuk mengubah penampilan fisik, bukan hanya penampilan berpakaian semata. Transgender kurang lebih didefinisikan sebagai individu yang berperilaku atau berpenampilan berlawanan dengan gender yang dibawanya sejak lahir dan justru condong untuk berperilaku seperti gender lain. Sedangkan transsexual didefinisikan sebagai individu transgender yang sampai memiliki keinginan untuk mengubah fisiknya seperti jenis kelamin dan bentuk fisik lain yang dimiliki oleh gender lain (Nagoshi dan Brzuzy 2010). Selain seringkali disejajarkan definisinya dengan transsexual yang jelas memiliki perbedaan, transgender juga seringkali disebut sama dengan LGBT dalam beberapa pemberitaan, utamanya pemberitaan di Indonesia. Pada faktanya, transgender memang merupakan bagian dari kelompok LGBT seperti yang telah disebutkan di atas, namun transgender ini sendiri tidak serta merta memiliki kesamaan dengan kelompok lesbian, gay, dan bisexual. Jika mengacu pada definisi sebelumnya, penyimpangan yang ditunjukkan oleh transgender hanya sebatas pada perilaku dan penampilannya yang menyerupai gender lain misalnya laki-laki menyerupai perempuan (male to female/mtf) ataupun perempuan yang menyerupai laki-laki (female to male/ftm). Informasi ini juga disebutkan dalam laman American Psychological Association (APA), sebuah organisasi himpunan ilmuan psikologi se-amerika Serikat, dimana asosiasi ini menyebutkan LGB

4 4 sebagai sebuah terminologi yang mengacu pada sexual orientation, sedangkan T yang berarti transgender merujuk pada ketidakserasian antara sexual identity yang dalam hal ini adalah jenis kelamin dan gender role yang dibawa. Jadi dapat diartikan bahwa kelompok transgender tidak selalu menunjukkan penyimpangan orientasi seksual seperti apa yang terjadi pada kelompok lesbian, gay, dan bisexual. Selain itu, perbedaan dan batas yang terlihat antara dua kaum ini ialah kaum lesbian, gay, dan bisexual dalam banyak kasus tidak menunjukkan penyimpangan penampilan secara spesifik misalnya laki-laki yang seperti perempuan atau sebalikya, justru penulis melihat bahwa mereka tampil sesuai dengan gender mereka, gay misalnya yang seringkali menjadi bahan pemberitaan media saat ini justru banyak yang berpenampilan macho dan tidak kemayu. Sedangkan, transgeder dalam definisi kebanyakan masyarakat disandingkan dan disejajarkan dengan LGB, padahal mereka memang satu kelompok, namun tak serupa secara bentuk penyimpangan dan ciri khasnya. Transgender sebenarnya bukanlah fenomena baru di dunia. Fenomena ini telah mulai ada sejak lama, namun memang kabar kehadiran kelompok ini baru hangat-hangatnya di bahas dasawarsa ini. Kehadiran mereka menjadi fenomena yang menyita perhatian dan banyak dijadikan bahan riset oleh para pegiat penelitian sosial karena nilai-nilai kelompok yang mereka bawa cenderung berseberangan dengan norma adat bahkan nilai agama banyak kelompok masyarakat dunia. Sehingga kemunculan mereka seringkali memantik protes dan pertentangan, sampai pada melahirkan kontroversi.

5 5 Dalam catatan sejarah dunia sendiri, perilaku transgender dimulai dari sejak lama. Disebutkan bahwa King Henry III dari Prancis yang hidup dalam rentang waktu antara 1551 hingga 1589 merupakan seorang transgender, hal ini diperlihatkan melalui tingkah lakunya yang seringkali memakai baju perempuan daripada baju laki-laki (crossdresser). Selain King Henry III dari Prancis, masih ada banyak tokoh dunia pada abad terdahulu yang teridentifikasi sebagai transgender dimana lebih spesifiknya kepada crossdresser. Beberapa tokoh tersebut adalah Francois Timoleon Abbe de Choisy yang merupakan seorang penulis, Ulrich von Liechtenstein, dan menurut informasi, yang paling terkenal pada sekitar abad 18 adalah Chevalier d Eon (Bolich 2007). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku transgender telah ada sejak abad dahulu, dan semakin berkembang pada abad ini dimana kemajuan informasi dan teknologi menjadi faktor pendukungnya. Apalagi, kemajuan dalam bidang teknologi tersebut digunakan oleh kaum transgender untuk melakukan advokasi agar keberadaannya semakin diakui. Walaupun begitu, banyak juga di antara kaum transgender ini mengalami diskriminasi dan bullying. Apalagi di negara yang mayoritas penduduknya masih berpegang teguh pada nilai-nilai adat seperti di Indonesia. Di Indonesia sendiri, menurut UNDP (United Nations Development Programs) perilaku transgenderism atau yang akrab disebut dengan waria dalam istilah Indonesia tercermin dalam pertunjukan kesenian tradisional seperti warok dari Ponorogo dan ludruk. Selain kesenian tradisional Jawa Timuran, kesenian dari berbagai macam suku di Indonesia seperti pada suku Dayak Ngaju yang disebut sebagai medium-priest, suku Makassar yang mengenal nama bisu, dan di Toraja yang

6 6 mengenal bajasa sebagai satu kesenian tradisional yang menampilkan satu pertokohon laki-laki yang menyerupai perempuan (Nurhadi, 2015) juga menunjukkan bahwa transgender atau waria dapat termanifestasikan dalam kesenian adat Indonesia jauh sebelum era sekarang. Dalam era setelahnya, dibentuklah suatu perkumpulan para laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Perkumpulan ini dijadikan sebagai media advokasi kaum transgender yang diberi nama Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), wadam sendiri adalah akronim dari wanita adam yang digunakan sebagai pengganti dari kata bencong atau banci yang sudah mendapat stigma buruk terlebih dahulu dari masyarakat. Perkumpulan ini dibentuk pada tahun 1960-an yang difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu yakni Ali Sadikin. Namun, nama himpunan ini kemudian berubah menjadi Waria (wanita pria) pada tahun 1978 karena adanya protes dari MUI dengan adanya nama nabi (Adam) yang dipakai untuk menamai himpunan dimana anggotanya adalah lakilaki namun berperilaku seperti perempuan (UNDP, 2014). Sepanjang dunia mencatat eksistensi kaum transgender, diperoleh suatu rekam jejak bahwa banyak sekali penolakkan yang dilakukan kepada mereka, baik itu yang terjadi di luar negeri maupun di Indonesia yang mayoritas penduduknya masih memegang teguh nilai dan norma sosial serta agama yang tidak membenarkan perilaku seseorang yang berlawanan dengan gender nya. Penolakan-penolakan itu berupa kekerasan verbal, kekerasan fisik, kekerasan psikis, diskriminasi bahkan kekerasan serius yang dapat mengancam kehidupan individu dan kelompok yang bergender minoritas bahkan yang

7 7 berorientasi heteroseksual. Kelompok transgender dan waria di dalam kehidupan masyarakat yang sangat beracuan dalam heteronormativitas membuat kelompok atau individu minoritas gender mengalami berbagai bentuk penolakan terkait gendernya. Penolakan dan kekerasan terhadap transgender dapat terjadi bukan hanya karena kondisi mereka sebagai manusia yang tidak memiliki orientasi yang heteroseksusal seperti hegemoni yang dilenggangkan oleh konstruksi sosial masyarakat (walaupun belum dapat dipastikan juga seorang transgender adalah homo/lesbi), melainkan segala bentuk tindak-tanduk, ekspresi gender dan peran gender sebagai penyebab utama kemunculan kontra dan respon yang kurang baik dari beberapa masyarakat yang tidak menyukai eksistensi mereka. Hal senada juga dipaparkan Morrow dan Messinger dalam buku Sexual Orientation and Gender Expression in Social Work Practice : Kekerasan sistematis diarahkan terhadap orang LGBT. Baik itu dengan tuduhan yang terlalu mencolok bahkan hingga serangan secara fisik.dalam keadaan demikian, orang transgender beresiko tinggi akan terjadinya pelecehan, penyerangan seksual dan kekerasan fisik (Morrow dan Messinger, 2006:46) Hal ini pula yang tergambar dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Permasalahan besar yang cukup serius namun tidak disadari oleh masyarakat adalah kehidupan kelompok transgender yang tidak diberikan ruang oleh masyarakat untuk hidup dengan damai. Hal ini tergambar dari kehidupan yang dimiliki sosok Sasana (Sasa) anak lelaki yang seringkali mengubah penampilan menjadi perempuan. Kisah hidupnya dimulai ketika ia masih kecil.

8 8 Ayahnya memaksanya untuk menjadi seseorang yang tidak ia inginkan. Ia dipaksa berlatih piano setiap hari, namun ia tidak pernah menyukai kegiatan tersebut. Sasana diceritakan sebagai sosok anak yang lahir di tengah-tengah keluarga yang kaya, Ayahnya seorang Pengacara dan Ibunya seorang Dokter. Namun kehidupannya tak pernah bahagia, hal tersebut tidak lain karena berbagai macam paksaan yang dilakukan Ayahnya dengan alasan rasa sayang. Saat Sasana beranjak remaja, ia dimasukkan ke dalam sebuah sekolah khusus laki-laki, di sana juga ia mengalami kekerasan dan bullying oleh teman-temannya. Sasana yang tadinya telah membenci perilaku laki-laki yang semuanya ia anggap kasar dan pemaksa semakin membencinya lagi setelah kejadian penganiayaan di sekolah tersebut. Akhirnya, waktu kelulusan dari SMA pun tiba, ia memilih untuk kuliah keluar kota, yakni ke Malang. Di kota tersebut, sifatnya yang kemayu semakin terlihat, apalagi setelah bertemu dengan Jaka Wani (Cak Jek) yang mengajaknya mengamen keliling kota dan menjadikannya sebagai biduan. Cak Jek membelikan berbagai macam pakaian dan alat-alat make up wanita kepada Sasana, dan menyuruh Sasana untuk memakainya selagi mereka manggung. Nama Sasana pun diubah menjadi Sasa yang kemudian menjadi nama panggung. Selama bersama Cak Jek tersebut, Sasana mengalami berbagai macam kejadian, termasuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh banyak laki-laki padanya. Dan selama di Malang juga, ia berusaha mencari jati dirinya sebagai sosok yang mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki yang berjiwa perempuan. Ia melawan norma sosial, melawan kungkungan hukum agama, dan melawan stigma dari

9 9 masyarakat. Berbagai macam pengalaman buruk juga menjadikannya semakin membenci laki-laki. Hal ini menunjukkan satu contoh fenomena transgender atau lebih akrab disapa sebagai waria oleh masyarakat Indonesia. Walaupun begitu dalam satu bagian cerita, dikisahkan juga bahwa Sasana memiliki ketertarikan kepada seorang perawat perempuan di sebuah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) tempatnya dirawat. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana Okky Madasari menggambarkan sosok Sasana sebagai transgender dalam novel tersebut kaitannya dengan perilakunya. Di satu sisi Okky Madasari menggambarkan Sasana sebagai seorang transgender, namun di sisi lain Okky juga menggambarkan orientasi seksual Sasana yang tetap heteroseksual. Dalam tesis ini, penulis akan menganalisis novel Jiwa ini menggunakan teori embodied identities dari Julie L. Nagoshi sebagai pisau bedah untuk melihat cara Okky Madasari menarasikan perilaku Sasana dalam pencarian identitasnya sebagai transgender. Selain itu, penulis juga menggunakan teori coallition building untuk melihat bagaimana strategi yang dilakukan oleh Sasana dalam mengubah konstruksi yang telah dibangun masyarakat kaitannya dengan perilaku transgender tersebut dan untuk tetap mengeksiskan keberadaannya ditengah masyarakat yang transpobhia.

10 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis utarakan, maka penulis mengajukan dua rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana identitas transgender dinarasikan dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari? 2. Bagaimana bentuk coalition building Okky Madasari dalam novel Pasung Jiwa berkaitan dengan individu transgender dan masyarakat transpobhia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis utarakan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana Okky Madasari menarasikan identitas seorang transgender dalam novel Pasung Jiwa ini, juga dikaitkan dengan benturan-benturan yang terjadi selama pembentukan konstruksi identitas tersebut. Penelitian ini juga bermaksud melihat coalition building yang dilakukan pengarang dalam novel Pasung jiwa dikaitkan dengan tokoh Sasa sebagai seorang transgender dan masyarakat transpobhia Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini terdiri dari manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi khasanah ilmu pengetahuan sastra, akademik maupun sosial. Selain itu juga dapat menjadi rujukkan kepustakaan baru terkait kajian sastra kontemporer yang menjadi cerminan masyarakat dengan menggunakan pendekatan gender dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya. Secara praktis, penelitian ini

11 11 diharapkan mampu menunjukkan keberadaan karya sastra, terutama sastra kontemporer sebagai media untuk menyampaikan isu sosial terkait identitas transgender dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, pembaca dapat menyikapi isu-isu tersebut dengan bijaksana. Penulis juga berharap, kedepannya penelitian ini akan bermanfaat bagi lembaga-lembaga terkait untuk menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalahmasalah sosial, terutama yang memiliki kaitan dengan permasalahan transgender Tinjauan Pustaka Selama beberapa tahun terakhir, sudah banyak penelitian-penelitian yang membahas novel Pasung Jiwa kaitannya dengan abnormalitas tokoh, kejiwaan tokoh, kritik sosial dan diskriminasi. Namun, sampai saat ini penulis belum menemukan ada penelitian yang mengaitkan antara isu identitas transgender dan praktek perwujudan identitas transgender dalam upayanya untuk membangun koalisi dan mengeksiskan keberadaaannya dalam konstruksi sosial masyarakat transpobhia yang ada dalam novel Pasung Jiwa ini. Skripsi yang ditulis oleh Elviana Yuniar Kuswanti (2014) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS pernah membahas mengenai novel Pasung Jiwa. Skripsi tersebut berjudul Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA. Skripsi ini membahas mengenai konflik batin yang dialami oleh tokoh Sasana, yaitu tokoh Sasana rela meninggalkan keluarga demi untuk mendapatkan sebuah kebebasan yang diinginkannya.

12 12 Kesimpulan yang didapat dari penelitian Elviana adalah terdapat tiga konflik yang dialami oleh sasana, yaitu konflik mendekat-mendekat, konflik mendekat-menjauh, konflik menjauh-menjauh. Konflik mendekat-mendekat hasil penelitian tersebut meliputi antara kasih sayang dan kesukaannya, antara senang dan heran, antara baik dan buruk saat merubah penampilan, dan antara meninggalkan atau menemani ibunya. Konflik mendekat-menjauh dalam penelitian tersebut adalah antara hal yang disukai dan dibenci, antara melupakan masa lalu atau meneruskan masa lalu. Konflik menjauh-menjauh dalam penelitian tersebut adalah antara kasih sayang atau kenyamanan, dan antara takut dan gelisah. Selain meneliti tentang konflik batin tokoh utama, dalam skripsinya, Elviana juga meneliti tentang latar sosio-historis dan struktur novel Pasung Jiwa. Dalam Dalam penelitiannya, Elviana menyimpulkan bahwa Okky madasari merupakan seorang sastrawan yang berbicara masalah-masalah sosial dalam karyanya. Analisis konflik batin dalam skripsi ini pun ditujukan untuk kepentingan pengajaran, yaitu sebagai implementasi bahan ajar di SMA. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Vika Widiastuti dari jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM yang berjudul Abnormalitas Tokoh-Tokoh dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari: Analisis Psikologi Sastra (2015) membahas tentang kepribadian tokoh dengan menggunakan teori Psikologi Sigmund Freud. Dalam skripsi ini hal yang ditekankan adalah bentuk-bentuk abnormalitas tokoh-tokoh dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari dan juga faktor-faktor penyebab abnormalitasnya. Kajian mengenai transgender sendiri pernah juga dilakukan oleh Anggun Nurfitasari (2013) dengan judul Representasi Sosok Transgender Homoseksual

13 13 dalam Buku Her Story Karya Daniel dan kawan-kawan. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis milik Sarra Mills. Dalam penelitian ini memang dijabarkan bagaimana opresi yang didapat oleh kaum transgender, namun kaum transgender yang dimaksud di sini adalah seorang homoseksual dan bukan heteroseksual. Lusi Windari (2015) mahasiswi Universitas Muhamadiyyah Purwokerto dalam skripsinya juga membahas mengenai kaitan antara novel Pasung Jiwa dengan isu transgender dengan judul Transgender dan Pencarian Jati Diri Tokoh Utama dalam Novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari Kajian Psikologi Sastra. Namun, analisis yang dilakukan Lusi lebih kepada transgender sebagai salah satu bentuk gangguan psikologis dan faktor penyebab gangguan tersebut. Lusi menyimpulkan bahwa tokoh Sasa dalam novel Pasung Jiwa mengalami kekacauan identitas sehingga dalam pencarian jatidirinya dia mengalami gangguan psikologis yang disebut transgender. Penelitian lainnya dilakukan oleh Fachirah (2014) Mahasiswi Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar yang berjudul Neurosis Tokoh Utama dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari (Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud). Dalam penelitian ini dideskripsikan bentuk neurosis dan sebab serta akibat dari neurosis dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari berdasarkan kajian Psikoanalisis Sigmund Freud. Hasil analisis Fachirah menunjukkan bahwa tokoh utama Sasana dan Jakawani mengalami bentuk neurosis obsesional yaitu kedua tokoh tersebut mngelami tekanan mental dan neurosis histeria yaitu kedua tokoh selalu merasa tersiksa oleh ingatan masa lalu yang menyakitkan dan menimbulkan reaksi emosional yang berlebihan.

14 14 Selanjutnya kedua tokoh utama mengalami fobia ataukecemasan dan rasa takutsaat menghadapi situasi-situasi tertentu. Adapun penyebab terjadinya neurosis adalah karena adanya keinginan yang terhalang yaitu orang tua yang mengekang pergaulan tokoh utama dan pengalaman yang menyakitkan. Sedangkan akibat dari neurosis tersebut adalah tokoh mengabaikan pendidikannya, mendapatkan penghinaan dan berbagai penilaian dari orang lain, rasa malu dan bersalah serta tokoh merasa lelah akibat neurosis yang dialami. Muhammad Rizki Nasution (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Wacana Identitas Transgender dalam Novel (Analisis Wacana Kritis Identitas Transgender dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari) membahas bagaimana identitas transgender diwacanakan. Hal ini dilakukan karena terdapat wacana identitas transgender yang berbeda dengan wacana yang ada di media maupun di masyarakat. Di media transgender dikomodifikasi sebagai objek lelucon yang patut ditertawakan, namun wacana yang berbeda dikemukakan oleh Okky Madasari dalam novel Pasung Jiwa ini. Rizki mengemukakan bahwa dalam novel Pasung Jiwa ini, sosok transgender dianggap sebagai tokoh yang tidak lemah dan mampu berjuang demi kepentingan sosial, namun pada proses penyampaiannya Rizki menemukkan isu yang malah melemahkan transgender itu sendiri. Arbani (2012) dalam Skripsinya yang berjudul Kejahatan Kebencian (Hate Crime) terhadap Transgender Male to Female dan Waria; Studi Kasus pada Shandiya, Mami Yuli dan Jeng Ayu membahas bagaimana kejahatan kebencian yang dialami oleh transgender dan waria di lingkungan masyarakat

15 15 yang menganut paham heteronormativitas dan budaya patriarki. Dimana ditemukan kekerasan yang dialami oleh para transgender dan waria tersebut berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Selain itu para transgender dan waria ini juga mengalami diskriminasi seperti pengusiran tempat tinggal, kesulitan dalam pelayanan ujian di perguruan tinggi serta kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Penelitian ini memiliki sedikit persamaan yaitu menguak mengenai bentuk-bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh kaum transgender. Namun, objek kajian dan tujuan penelitian dari penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keenam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menganalisis novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari pada tataran psikologis dan tokoh saja. Keenam penelitian tersebut juga hanya sampai pada menjelaskan bagaimana karakteristik abnormalitas dan gangguan yang dialami tokoh utama dalam novel ini. Adapun tiga penelitian yang membahas isu transgender yang dijelaskan sebelumnya, hanya sampai tataran analisis wacana kritis saja, dan adapula yang berbeda dari segi objek kajian dan titik tekan penelitiannya. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membahas keterkaitan antara identitas transgender dengan coalition building yang dilakukan tokoh transgender dalam ranah struktur sosial masyarakat heteronotmatif dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari ini Landasan Teori Gender, Identitas Gender, Peran Gender dan Orientasi Seksual Istilah gender telah digunakan sejak awal tahun 1970-an, terutama oleh para antropolog Amerika untuk menunjukkan bahwa feminitas dan maskulinitas

16 16 yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang berlawanan berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Kemudian seksualitas seringkali dirumuskan sebagai sesuatu yang berbeda dengan gender, tetapi keduanya saling terkait. Seksualitas dan gender selalu dikaitkan dengan oposisi nature dan culture yang kemudian menghasilkan konstruksi sosial terhadap identitas biologi Artinya konstruksi identitas perempuan harus sesuai dengan konsep gender feminin dengan segala atribut yang melengkapinya, seperti berpakaian selayaknya perempuan normal, berperilaku lemah lembut dan harus menyukai jenis kelamin yang berbeda dengannya, yaitu laki-laki. Begitu juga sebaliknya, konstruksi identitas laki-laki harus sesuai dengan konsep gender maskulin, yang dipercayai sebagai oposisi dari segala atribut perempuan. Penalaran yang deterministik ini kemudian secara tidak langsung mendefinisikan heteroseksualitas sebagai satu-satunya bentuk seksualitas yang benar-benar alamiah dan sah (Jackson, 2009:226). Gender adalah sistem klasifikasi yang menggambarkan karakteristik dan perilaku yang umumnya dianggap dimiliki oleh tubuh tertentu, seringnya cara ini digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan (Nagoshi, 2010). Permasalahan utama dalam gender didasari oleh kebineran gender itu sendiri dan sistem yang memaksa untuk menghubungkan karakteristik sosial dengan anatomi kelamin (hausman, 2001). Preves (dalam Nagoshi, 2014:3) mengatakan bahwa banyak orang yang mengasumsikan basis biner dari gender adalah fakta yang ditandai dalam proses biologis yang diasumsikan sebagai hal dasar yang tidak dapat berubah, natural dan menjadi identitas gender yang pertama dan asli. Padahal, dalam faktanya diantara kita banyak juga individu yang terlahir dengan karakter seksualitas yang ambigu, yang bertentangan dengan budaya biner dasar

17 17 yang berkaitan dengan gender dan seksualitas. Tubuh-tubuh yang ambigu tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial masyarakat sekitar yang hanya mengacu pada satu atau dua jenis kategori gender dan seksualitas yang sudah digariskan (Nagoshi, 2014:3). Keberadaan manusia diawali dengan kelahiran. Ketika seorang anak dilahirkan, maka pada saat itu anak tersebut dapat dikenali, apakah dia seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan. Hal ini dapat diketahui berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya. Jika seorang anak mempunyai alat kelamin lakilaki (penis) maka ia dikonsepsikan sebagai anak laki-laki, dan jika memiliki alat kelamin perempuan (vagina) maka dikonsepsikan sebagai anak perempuan. Setelah anak dilahirkan, maka pada saat yang sama dia memperoleh tugas dan beban gender (gender assignment) dari lingkungan budaya dan masyarakat yang ia tempati. Gender assignment is given at birth and normally centers around the presence or absence of a penis. Ironically, at birth we assign arrange of masculine or feminin behaviors from the child`s external genetalia. Incontras, as the child grows older, we infer the child`s physical sex from their expressed masculine versus feminin behaviors and appearence (Nagoshi, 2014:4). Selain berdasarkan pada konsepsi masyarakat mengenai beban dan tugas yang didapat seorang individu dengan gender tertentu saat ia dilahirkan, dikenal juga istilah atribut gender (gender attribution) yang menurut Nagoshi (2014:4) didefinisikan sebagai apa yang kita lakukan saat pertama kali bertemu dengan orang lain untuk pertama kali dan bagaimana kita mengkategorikannya. Kita memutuskan untuk mengkategorikannya sebagai laki-laki, perempuan atau sesuatu yang tidak dapat ditetapkan jenisnya.

18 18 Gender attribution is what we do when we meet someone else for the first time, and need to categorize them. We decide whether they`re a man or a woman or something indeterminable to us (Nagoshi, 2014:4) Proses memutuskan ini didasarkan atas perbedaan petunjuk atau isyarat yang ditangkap. Ada beberapa perbedaan petunjuk yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh seorang individu, seperti petunjuk atau isyarat fisik, petunjuk kebiasaan, petunjuk tekstual, petunjuk mitos, dan dinamisasi kekuatan (Bornstein,1994). Nagoshi (2014:4) lalu menambahkan bahwa petunjuk fisik itu termasuk di dalamnya tubuh, rambut, pakaian, suara, kulit dan pergerakan individu. Petunjuk kebiaasaan meliputi kesopanan, kepantasan, protokol dan tingkah laku. Petunjuk tekstual adalah sejarah, dokumen, nama, asosiasi, dan hubungan yang mendukung keinginan atribut gender. Petunjuk mitos termasuk didalamnya budaya dan sub-budaya mitos yang mendukung keanggotaan dalam pemberian gender dan mendukung mitos superioritas laki-laki seperti better half dan weaker sex. Dinamisasi kekuatas sebagai petunjuk meliputi model komunikasi, teknik, dan tingkatan agresivitas, asertivitas, ketekunan dan ambisi. Orientasi seksual sebagai petunjuk adalah pada saat dia menjadi seorang heteroseksual atau homoseksual. Gender menciptakan jenis kelamin anatomis dalam arti bahwa pembagian hierarkis manusia menjadi dua mengubah perbedaan anatomis (yang sama sekali tidak memiliki implikasi sosial) menjadi sebuah pembedaan yang relevan bagi berbagai praktik sosial. Artinya, identitas laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin muncul karena konsep gender yang hadir lebih dulu dipercayai sebagai pembentuk identitas yang dianggap paling benar dan kemudian digunakan dalam kehidupan sosial. Padahal, jenis kelamin laki-laki dan perempuan juga

19 19 merupakan bentukan sosial. Menurut Irwan M. Hidayana (2004:3) dalam bukunya Seksualitas: Teori dan Realitas gender dikonstruksikan secara sosial, dimantapkan serta dilenggangkan secara kultural. Oleh karena itu, gender bekerja dalam berbagai cara dan dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya. Masyarakat heteronormatif tradisional mempercayai bahwa gender diasumsikan sebagai identitas gender laki-laki, peran gender maskulin, dan daya tarik seksual terhadap perempuan adalah sebuah hal yang murni dan paket gender yang tidak dapat dihindari, di mana identitas gender perempuan, peran gender feminin, dan daya tarik seksual terhadap laki-laki adalah satu-satunya hal lain yang murni dan paket gender yang tidak dapat dihindari. Dikarenakan asumsiasumsi heteronormatif tersebut maka sebuah identitas gender seringkali diasumsikan atau dicocokkan dengan sebuah orientasi seksual tertentu. Dan homoseksual seringkali diasumsikan oleh heteroseksual untuk memiliki peran gender dan identitas gender yang berlawanan (Nagoshi, 2014:4). Identitas gender seringkali diartikan sebagai definisi diri internal individu terhadap label laki-laki dan perempuan atau identitas yang ada di antara atau di luar dua kategori ini (Wilchins, 2002). Pada saat kelahiran, tanda genital eksternal seorang anak mulai dikenai proses sosial yang mengharuskan mereka untuk menunjukkan kualitas maskulin atau femininnya (Nagoshi, 2014:5). Menurut Yash (2003:18) identitas gender (gender identity) yakni persepsi internal dan pengalaman seseorang tentang gender mereka, menggambarkan identifikasi psikologis di dalam otak sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Sejalan dengan pendapat-pendapat sebelumnya identitas gender juga dipahami sebagai perasaan internal seseorang yang mendalam dan pengalaman gender individu,

20 20 yang dapat atau tidak sesuai dengan jenis kelaminnya pada saat ia dilahirkan, termasuk pemahaman personal mengenai tubuhnya (yang bisa juga melibatkan, jika itu merupakan pilihan bebas, perubahan penampilan fisik atau fungsinya melalui pengobatan, operasi atau yang lainnya) dan berbagai ekspresi gender lainnya, termasuk pakaian, cara berbicara dan prilaku lainnya (Supatmi, 2012:44). Berbeda dengan identitas gender, menurut Nagoshi (2010) peran gender adalah emosi stereotipe, kognisi, dan perilaku yang terkait dengan laki-laki atau perempuan dan mungkin diperoleh melalui sosialisasi (pembelajaran sosial, pemodelan, dll). Peran gender diartikan sebagai ekspektasi masyarakat terhadap setiap individu untuk berperilaku sesuai dengan label yang telah disematkan pada mereka sejak lahir, baik sebagai laki-laki maupun perempuan (Nagoshi, 2012). Peran gender merupakan pandangan budaya tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak dalam kehidupannya, termasuk sifat kepribadian, perilaku, kewajiban dan ekspektasi budaya sesuai dengan jenis gender yang dibawanya (Bornstein, 1998). Peran gender juga merupakan ide-ide kultural yang menentukan harapanharapan kepada laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat. Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki karakteristik kejantanan (masculinity), sedangkan perempuan didefinisikan sebagai orang yang memiliki karakteristik kewanitaan (feminity). Perempuan dipersepsikan sebagai manusia yang lemah lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar dan agresif. Untuk laki-laki, peran gender tradisional biasanya mengembangkan sifat aktif, agresif, dan kemarahan yang ekspresif, tanpa

21 21 menunjukkan kesedihan. Peran gender tradisional laki-laki telah dibentuk dalam perilaku "maskulin" atau "instrumental". Sebaliknya, peran gender tradisional perempuan adalah sifat pasif, selalu mengalah, dan kesedihan yang ekspresif tanpa menunjukkan kemarahan. Peran gender tradisional perempuan ini dibentuk dalam perilaku "feminin" atau "ekspresif". For males, traditional gender roles typically promote being active, aggressive, and expressive of anger, but without displaying sadness (Block, 1983). These traditional male gender roles have been coined masculine or instrumental (attainment of goals external to the social interaction process; Gill, Stockard, Johnson, & Williams, 1987) behaviors (Nagoshi:2010). In turn, traditional gender roles promote women to be passive, compliant, and expressive of sadness without showing anger (Block, 1983). These traditional female gender roles have been coined feminine or expressive (primacy of facilitating the social interaction process; Gill et al., 1987) behaviors(nagoshi:2010) Remaja cenderung mengungkapkan karakteristik yang sesuai dengan peran gender yang ada, remaja laki-laki mengadopsi sifat yang lebih maskulin atau peran gender instrumental dan remaja perempuan mengadopsi sifat yang lebih feminin atau peran gender ekspresif (Spence & Helmreich, 1980). Model fungsional Spence menunjukkan bahwa sosialisasi peran gender mempengaruhi kerentanan individu terhadap kondisi stres dan tertekan, dan berpengaruh juga pada banyaknya tekanan yang dialami. Model fungsional peran gender ini menyatakan bahwa ciri kepribadian yang adaptif terhadap yang instrumental atau ekspresif, berbanding terbalik dengan patologi (Spence, 1984). Misalnya, individu yang memiliki sifat instrumental yang tinggi cenderung tidak melihat sebuah kejadian sebagai ancaman dan memiliki peluang yang lebih besar untuk mengatasi

22 22 situasi stres yang timbul. Individu yang memiliki sifat sangat ekspresif cenderung berpeluang lebih rendah untuk memiliki masalah patologis, karena individu tersebut memiliki keterampilan interpersonal yang efektif dan tingkat dukungan sosial yang tinggi. Di sisi lain, peran gender juga mungkin memprediksi adanya fungsi psikologis maladaptif pada kalangan remaja melalui internalisasi seperti depresi, kecemasan, penarikan sosial atau eksternalisasi perilaku bermasalah seperti impulsif, pencarian sensasi, perilaku antisosial (Nagoshi: 2010). Hal lain yang kerap berkaitan dengan identitas gender adalah orientasi seksual. Menurut Charlotte J. Peterson (2000:727) orientasi seksual merupakan karakteristik yang umumnya tidak dapat diamati, tidak seperti ras dan gender. Karena orientasi seksual lebih seperti agama atau asal usul kebangsaan. Dalam orientasi seksual mengacu pada pilihan pribadi dalam menentukan rasa ketertarikan terhadap mitra seksual (misalnya: heteroseksual, homoseksual, atau biseksual). Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Savin-Williams yang menyatakan bahwa orientasi seksual adalah sensasi, perasaan, dan fantasi erotik yang dimiliki oleh seorang individu sebagai bagian dari kelompok jenis kelamin tertentu, keduanya atau bukan keduanya. Bagi individu heteronormatif yang tumbuh dalam lingkungan sosial biner gender, identitas gender seorang laki laki atau perempuan dianggap memiliki orientasi seksual lawan jenis dan memiliki identitas seksual yang benar (Nagoshi:2012). Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis sudah terjadi sejak masa konsepsi, masa perkembangan embriologis dan masa akil baligh. Secara sosiokultural perbedaan tersebut dikembangkan sesuai dengan kondisi yang berlangsung di kalangan bangsa dan budaya yang bersangkutan.

23 23 Namun kenyataan historis ternyata hampir di semua bangsa-bangsa di dunia, seringkali perbedaan biologis itu diterjemahkan terlalu jauh dalam peran gender. Telah terjadi kesenjangan dikotomis dalam peran gender yang tidak proporsional dan sangat merugikan pihak yang dianggap berbeda. Akibat dari ketidakadilan peran gender yang sudah membudaya tersebut, individual-individual yang dianggap berbeda mengalami proses marginalisasi, subordinasi, stereotip yang cenderung negatif, tindak kekerasan serta pelecehan Ketidakstabilan Identitas Gender Saat seorang individu heteroseksual ditanya mengenai bagaimana mereka memandang identitas gender dan apakah identitas gender tersebut tidak stabil atau dapat berubah, empat dari enam perempuan dan empat dari enam laki-laki heteroseksual menyatakan bahwa identitas gender itu adalah sebuah hal yang pasti (seperti pendapat orang-orang straight bahwa secara biologis seorang laki-laki adalah laki-laki, tidak akan berubah dan tidak dapat berubah). Bahkan bagi para heteroseksual lainnya yang mengusulkan bahwa identitas gender dapat bergerak atau tidak stabil, penekanannya tetap pada kemungkinan untuk merubah kebiasaan peran gender. Seorang perempuan straight menyatakan bahwa aku tidak berfikir sesuatu itu harus menjadi pasti dalam gender yang kita miliki. Itu tidaklah seperti kamu harus menjadi seperti ini. Saya pikir, sepertinya ini akan menjadi lebih baik dari segi sosial bagi perempuan untuk berkembang (Nagoshi,2014:98) Dari 12 orang gay, tiga orang gay dan seorang lesbian melihat identitas gender adalah sebuah kepastian, sementara empat orang gay dan tiga orang lesbian memandang identitas gender sebagai sesuatu yang lebih tidak stabil. Para

24 24 lesbian sisanya memberikan respon yang ambigu terhadap pertanyaan ini. Lelaki gay yang menghormati identitas gender sebagai sesuatu yang pasti memberikan respon yang singkat seperti yang heteroseksual juga berikan. Sementara mereka yang mempertimbangkan bahwa identitas gender merupakan hal yang tidak stabil sering kali memberikan respon yang rinci dan kuat (Nagoshi, 2014:98). As one lesbian put it, I think society does organize everything into categories. I think we have certain statuses that tell people how to behave toward each other. I have a big interest in changing some of those categories, having them seen as more fluid, more of a continuum. Not male on one end and female on the other. A male continuum and a female continuum within a person. I do not see things in a binary way. The androgyny category is a step in the right direction, but I don t think it s the end of it. I see myself a little more in the androgyny category then anything in the female category, but that s kind of a fuzzy thing, I don t even know what it means, really (Nagoshi, 2014:99). Di tengah ketidakstabilan identitas gender, pemahaman tentang transgender pun bersifat saling bertentangan. Ada yang memahami ketidakstabilan tersebut semata-mata sebagai pertukaran gender bawaan seseorang yang terpisah dan esensialis; ada juga yang meyakini bahwa identitas gender yang telah dimiliki bersifat sangat lunak untuk dapat dibentuk ulang (Nagoshi, 2010). Menurut Nagoshi setiap orang akan mengalami perubahan dari satu identitas ke identitas barunya seiring berjalannya waktu. Artinya ketidakstabilan identitas gender ini sangat mungkin terjadi, karena adanya perkembangan pemikiran, pengalaman dan konstruksi diri juga sosial yang terjadi. As human beings age, our identities evolve. We let go of old identities and take on new identities in almost perfectly timed concert with each life cycle. As we review and present the identity development stages and their impact on activism, it is critical to recognize that identity is a snapshot in time. Where an individual is at today is not where they were a year ago, will be at tomorrow or in 5 years (Nagoshi, 2014:147).

25 25 Perubahan identitas ini tidak selamanya memberikan dampak positif bagi individu yang mengalaminya. Jika perubahan identitas personal individu ini tidak dapat diterima oleh norma yang berlaku dalam konstruksi sosial masyarakat tersebut maka secara tidak langsung identitas sosial mereka didorong untuk dapat menyesuaikan diri dengan tatanan yang sudah ajeg tersebut. Nagoshi mengatakan bahwa lingkungan sosial telah mengesensikan identitas sosial dengan cara mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan kategori identitas yang diharapkan; perilaku individu yang berulang dan sesuai dengan ekspektasi tersebut juga bertindak sebagai pemaksaan esensial (Nagoshi, 2010). Artinya, ketidakstabilan identitas gender ini secara sadar ataupun tidak tetap dibatasi oleh masyarakat heteronormatif yang stabil. Jadi, bagi seorang pekerja sosial penting untuk menyadari bahwa meskipun opresi bisa terjadi karena identitas yang stabil, ini tidak menjadi alasan mereka untuk melawan opresi; kita masih bisa melawan opresi melalui ketidakstabilan identitas. Kelompok transgender bisa menciptakan identitasnya sendiri di luar dari biner gender yang telah dikontruksi secara sosial. Melalui pemberdayaan, teori transgender dapat memberikan alternatif kepada teori feminisme dan queer dalam menghadapi isu koalisi aktivisme sosial dalam ranah interseksional (Nagoshi, 2010) Perkembangan Identitas Transgender Transgender didefinisikan sebagai pengingkaran dari peran gender asli ataupun identitas gender asli yang harusnya dilakukan individu tersebut, dengan kata lain transgender juga bisa didefinisikan sebagai perilaku yang mengarah kepada peran dari gender lain. Lebih lanjut lagi, transgender dapat dikatakan

26 26 sebagai ekspresi identitas gender diluar konstruksi gender tradisional dalam masyarakat yang hanya mendefinisikan dan mengakui dua jenis gender yakni maskulin dan feminin, tanpa mengkalkulasi gender ketiga yang baru-baru ini sering diperhatikan kemunculannya. Ekspresi ini hanyalah sebatas ekspresi penampilan dari individu transgender tersebut, dan tidak mengarah pada pengubahan tampilan fisiknya (Nagoshi dan Brzuzy 2010). Kaum transgender hidup dengan identitas gender yang berbeda dari biner gender tradisional dan identitas gender mereka telah melanggar konsep heteronormatif laki-laki perempuan sekaligus mencampurkan identitas dan aspek peran laki-laki perempuan (Nagoshi:2012). Istilah transgender mencerminkan adanya konsep peran gender dan identitas gender yang terputus dan/atau melewati batas gender (Green, 2004). Beberapa kaum transgender adalah juga kaum transeksual, karena biasanya mereka melakukan operasi alat kelamin, dan berada pada situasi pre-transisi/operatif, sedang bertransisi/dalam proses penyuntikan hormon atau pergantian jenis kelamin, atau post-transisi/operative (Hird, 2002). Transgender juga merupakan sebuah payung penggambaran individuindividu yang memiliki identitas, ekspresi serta perilaku gender yang berbeda dengan identitas jenis kelamin asli yang mereka bawa saat mereka lahir. Transgender is an umbrella term that refers to individuals whose gender presentation is so different from ideals for the sex assigned to them at birth that it defies traditional notions of what it means to be male or female, and it encompasses identities such as transmen (or FtM), transwomen (or MtF), butch women, and crossdressers and is contrasted with being cisgender, or having a traditional gender presentation (levitt and Ippolito, 2014).

27 27 Seorang individu transgender kerap kali merasa kekurangan dukungan untuk membantu mereka dalam mengembangkan identitas mereka sebagai transgender. Mereka seperti berjuang sendirian karena kurangnya pengakuan publik terkait informasi transgender ini. Transgender individuals often lack models of nontraditional gender to aid them in their identity development, and some described believing that they were alone in their gender struggles due to the paucity of public acknowledgment. This lack of information appears to be in both public and educational sectors (Levitt and Ipolitto, 2014). Secara biologis, trangender terbagi menjadi dua kategori yakni perempuan yang bertransformasi menjadi laki-laki (Female to Male = FTM) dan laki-laki yang bertransformasi menjadi perempuan (Male to Female = MTF). Seorang transgender (Male to Female) termasuk ke dalam kelamin laki-laki, namun mereka memiliki prilaku sebagaimana perempuan dan mereka lebih suka menjadi perempuan. Akibat kondisi tersebut dunia transgender memiliki dimensi kultural yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Karena dua pandangan itu pula hidup sebagai transgender banyak mengalami kendala sosial dan kultural yang dialami seorang transgender (Koeswinarno,2004:112). Dalam Model Cass (1979) tentang perkembangan identitas, ia mengidentifikasi enam tahapan dalam proses pengembangan identitas: (1) kebingungan identitas, (2) perbandingan identitas, (3) toleransi identitas, (4) penerimaan identitas (5) kebanggaan identitas, dan (6) perpaduan identitas. Tiga tahap pertama sering terjadi pada anak usia dini dan remaja, sebelum berbagi identitas transgender seseorang dengan orang lain-meskipun beberapa individu tidak memasuki tahap ini sampai nanti mereka mengalami sendiri. Pada tahap (4) penerimaan identitas adalah paling sering saat individu akan "keluar" sebagai

28 28 transgender dan kemudian akan memilih untuk menjalani kehidupan mereka sebagai identitas asli mereka, yang mengarah ke tahap berikutnya (5) yaitu kebanggaan identitas. Selama seorang individu terus menerus mengkonstruksi diri menjadi siapa diri mereka yang sebenarnya, mereka bisa lebih mengungkapkan konstruksi diri mereka. Tahapan ini diutamakan bagi aktivisme selama ada banyak motivasi yang tertanam untuk mengutarakan mengenai pengalaman hidup mereka. Namun, kebanggan identitas menjadi seorang transgender bukanlah tahapan terakhir dari proses perkembangan sebuah identitas, namun kadang kala memang dijadikan patokan sebagai bagian terakhir dari sebuah perkembangan identitas. Perpaduan identitas adalah pada saat seorang individu mengakui banyak karakter yang membuat relasi identitas interseksional mereka-terdiri atas identitas konstruksi sosial dan identitas konstruksi diri. Dalam perpaduan identitas seorang individu mengintegrasikan hubungan interseksi identitas mereka kedalam gabungan diri. Perpaduan individu ini akan berlangsung untuk memasuki dan keluar dari tahapan perkembangan lingkaran kehidupan mereka, bagaimanapun, lingkaran kehidupan ini tidak selamanya terfokus secara eksplisit kepada satu elemen dari konstruksi mereka saja (Nagoshi, 2014:148) In Cass s (1979) model of identity development, he identified six stages in the identity development process: (1) identity confusion, (2) identity comparison, (3) identity tolerance, (4) identity acceptance (5) identity pride, and (6) identity synthesis. The first three stages often take place in early childhood and adolescence, prior to sharing one s transgender identity with others although some individuals do not enter these stages until later in life (Nagoshi,2014:148) Teori transgender sebagai kritik terhadap teori queer dikembangkan oleh Roen (2002) bahwa transgenderisme mencakup lebih dari sekedar konsep juga/atau yang menerima ketidakstabilan identitas gender sekaligus

29 29 mempertahankan biner gender. Transgenderisme juga mencakup konsep identitas gender keduanya/bukan keduanya di luar biner laki-laki perempuan, dimana transgederisme dilihat sebagai transgresi biner gender, tidak melulu tentang perubahan fisik dari satu kategori gender ke gender lainnya. Sebaliknya Monro berpendapat bahwa memahami pengalaman hidup kaum transgender dan memberikan batasan terhadap ketidakstabilan gender yang dikenakan pada tubuh dan biologis sangatlah penting. Meskipun esensialisme yang berangkat dari perspektif positivisme meyakini bahwa setiap entitas harus memiliki karakteristik dan sifat tertentu yang permanen dan tidak dapat dirubah, di sisi lain postmodern tidak hanya mengakui ketidakstabilan identitas interseks namun ia juga mengakui adanya individu yang terjebak rasa ingin atau tidak ingin memiliki identitas dalam suatu kelompok tertentu. Monro menegaskan bahwa model posmodernisme yang dikembangkan oleh teori queer bahkan telah gagal dalam memahami kesadaran diri atau dampak struktur sosial terhadap ketidakstabilan dan pluraritas ekspesi gender (Nagoshi, 2012). Ahli teori transgender kemudian menawarkan gagasan tentang identitas gender dan identitas seksual yang menggabungkan ketidakstabilan perwujudan diri (self-embodiment) dan konstruksi diri identitas (self-construction) yang berinteraksi secara dinamis dengan perwujudan tersebut dalam konteks ekspektasi sosial dan pengalaman yang dimiliki. Sebagai contoh, meskipun Tauchert menyetujui pandangan esensialis bahwa gender yang ditentukan oleh tubuh akan menciptakan stereotip tradisional gender dan peran gender, namun ia menegaskan bahwa dengan mengkonsepkan gender semata sebagai sesuatu yang terkonstruksi secara sosial, maka akan sulit sekali untuk menolak kesadaran identitas yang

30 30 berasal dari tubuh dan muncul sebagai realitas diri dalam praktik sosial perilaku gender. Pendekatan gender abu-abu milik Taucher memahami kontinuitas esensial antara tubuh dan pikiran, di mana dalam isu gender semuanya penuh dengan bayangan abu-abu saat bergerak dari aspek fisik kepada mental. Pendekatan semacam ini masih dapat mengenali variasi identitas gender dan perilaku gender, seksualitas serta pemahaman pengalaman mulai dari yang fisik atau yang esensial hingga yang terkonstruksi penuh secara sosial (Nagoshi, 2012) Transpobhia: Sebuah Konstruksi Sosial Hill mengartikan transfobia sebagai perasaan jijik terhadap seseorang yang melanggar ekpektasi masyarakat terhadap peran gender. Sama dengan pengertian homophobia menurut Weinberg yaitu ketakutan, kebencian dan pelarangan berinteraksi dengan kaum homoseksual. Hill melihat adanya upaya penolakan terhadap kaum transgender melalui prasangka dan diskriminasi, sikap semacam itu disebut sebagai transphobia (Nagoshi dkk, 2010). Tak seperti homophobia, transphobia tidak hanya berhubungan dengan rasa jijik dan ketakutan yang kurang masuk akal terhadap kaum transgender dan transseksual, namun juga laki-laki feminin dan perempuan maskulin yang merupakan isu peran dan identitas gender yang lebih rumit karena bukan hanya sekedar masalah orientasi seksual saja (Nagoshi dkk, 2010). Homophobia dan transfobia memang terlihat memiliki kesamaan, namun kita tetap harus menggarisbawahi bahwa secara teoritis homophobia berkaitan dengan orientasi seksual yang dianggap tidak sesuai dengan aturan sosial dan

BAB IV KESIMPULAN. bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini masih terkurung dengan pemikiran

BAB IV KESIMPULAN. bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini masih terkurung dengan pemikiran 127 BAB IV KESIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini masih terkurung dengan pemikiran bahwa penilaian identitas seseorang mengenai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Orientasi Seksual a. Pengertian Orientasi Seksual Setiap individu memiliki suatu ketertarikan, baik secara fisik maupun emosional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi sesama manusia. Manusia membutuhkan manusia lainnya sebagai pemenuhan kebutuhan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila

BAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia orientasi seksual yang umum dan diakui oleh masyarakat kebanyakan adalah heteroseksual. Namun tidak dapat dipungkiri ada sebagian kecil dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat pederitanya merasa bahwa identitas gendernya (sebagai laki-laki atau perempuan) tidak sesuai dengan anatomi biologisnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang, lahir melalui proses perenungan dan pengembaraan yang muncul dari

BAB I PENDAHULUAN. pengarang, lahir melalui proses perenungan dan pengembaraan yang muncul dari 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Karya sastra merupakan salah satu sarana untuk mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan. Sastra merupakan hasil cipta kreatif dari seorang pengarang, lahir melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksualitas adalah salah satu fenomena sosial yang kontroversial sekaligus menarik untuk didiskusikan. Di Indonesia sendiri, homoseksualitas sudah meranah

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya. Kehidupan waria sama dengan manusia lainnya. Selaras dengan kodrat manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu

berbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu 63 BAB V PENUTUP 5.1. Pembahasan Identitas seksual adalah apa yang orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita, kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Jika seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan pria. Istilah lain waria adalah wadam atau wanita adam. Ini bermakna pria atau adam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis. BAB 2. SEKSUALITAS Apa itu Seks dan Gender? Sebelum kita melangkah ke apa itu seksualitas, pertanyaan mengenai apa itu Seks dan Gender serta istilah lain yang berkaitan dengan nya sering sekali muncul.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya

BAB I PENDAHULUAN. adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi dunia mempengaruhi banyak bidang kehidupan, salah satunya adalah perubahan yang terjadi pada perkembangan pribadi seseorang. Masuknya media Eropa ke Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu yang memiliki sebuah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu yang memiliki sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah sebuah kumpulan individu yang memiliki sebuah norma dan nilai sosial didalamnya yang tujuannya untuk menata keteraturan dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja atau dikenal dengan istilah adolescene adalah suatu transisi proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu dalam keseluruhan hidupnya. Transisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

*LGBT. Medic & Psychological View. Dr.Anggia Hapsari, SpKJ

*LGBT. Medic & Psychological View. Dr.Anggia Hapsari, SpKJ *LGBT Medic & Psychological View Dr.Anggia Hapsari, SpKJ APA YANG DIPIKIRKAN ORANG DENGAN LBGT? BAGAIMANA PERGUMULAN MEREKA? *SAKIT / PENYAKIT? *PENYIMPANGAN YANG ILEGAL? *DOSA? *GAYA HIDUP AKHIR JAMAN?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari sebuah proses gejolak dan perasaan seorang pengarang terhadap realitas sosial yang merangsang kesadaran pribadinya. Dengan kedalaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah elemen terpenting dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu sendiri dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. sosial, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang terbentuk

BAB V KESIMPULAN. sosial, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang terbentuk BAB V KESIMPULAN Gender merupakan salah satu isu yang sangat penting dalam masalah pembangunan, terkhusus Sumber Daya Manusia di dunia. Meskipun isu ini tergolong ke dalam isu yang masih baru, gender telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Adapun tujuan dan metode penelitian juga tercantum dalam pendahuluan.

Bab 5. Ringkasan. Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Adapun tujuan dan metode penelitian juga tercantum dalam pendahuluan. Bab 5 Ringkasan 5.1 Ringkasan Isi Skripsi Mengenai Analisis Psikologi Transgender Pada Tokoh Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Dalam bab ini, penulis akan menjabarkan ringkasan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang selalu membawa pengaruh positif dan negatif. Dampak perkembangan yang bersifat positif selalu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya orang lain disekitarnya. Kebutuhan akan keberadaan orang lain disekitar kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai, diakui, dan sebagainya.memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dihargai, diakui, dan sebagainya.memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia membutuhkan manusia lain dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik itu kebutuhan biologis seperti makan dan minum maupun kebutuhan psikologis, seperti

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang sastra dan budaya. Selain itu, Jepang juga melahirkan banyak penulis berbakat. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Koeswinarno (2004: 7-8) dalam bukunya Hidup Sebagai. layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Koeswinarno (2004: 7-8) dalam bukunya Hidup Sebagai. layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat kita cenderung berpikiran oposisi biner, yaitu hanya mengakui hal-hal yang sama sekali bertentangan, misalnya hitam dan putih, baik dan buruk, kaya dan miskin,

Lebih terperinci

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends Bab 4 Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis data yang penulis lakukan pada bab analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Bab I menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, fokus penelitian, rumusan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat

BAB I PENDAHULUAN Bab I menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, fokus penelitian, rumusan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat BAB I PENDAHULUAN Bab I menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, fokus penelitian, rumusan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. A. Latar Belakang Penelitian Selama masa hidupnya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu.

BAB II LANDASAN TEORI. yang sebenar-benarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu. BAB II LANDASAN TEORI A. PENERIMAAN DIRI A.1. Definisi Penerimaan Diri Germer (2009) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kemampuan individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pada masa dewasa awal, kondisi fisik mencapai puncak bekisar antara usia 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari 30 tahun.

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan McMullin (1992) (dikutip dalam Siahaan, 2009: 47) mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dan McMullin (1992) (dikutip dalam Siahaan, 2009: 47) mengungkapkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Homoseksual merupakan suatu realitas sosial yang semakin berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan homoseksual telah muncul seiring dengan sejarah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

Seks Laki-laki dan Laki-laki, perempuan, interseks, transgender

Seks Laki-laki dan Laki-laki, perempuan, interseks, transgender Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT)- Jalan Lain Memahami Hak Minoritas Konsep tentang Seksualitas Esensialism vs Social Constructionism Memperbincangkan LGBT tak dapat dilepaskan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka. kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka. kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut : BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka kesimpulan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut : Pembentukan orientasi seksual gay di Manado tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Banyaknya fenomena perubahan bentuk tubuh yang dilakukan oleh beberapa orang memicu penilaian masyarakat, khususnya perubahan tubuh yang mengarah pada status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan atau yang biasa disebut dengan komunikan.manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan atau yang biasa disebut dengan komunikan.manusia merupakan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator dengan menggunakan berbagai media dan sarana sehingga dapat diterima oleh sang penerima pesan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Waria adalah laki-laki yang menunjukan sikap dan perilaku di dalam diri yang

BAB I PENDAHULUAN. Waria adalah laki-laki yang menunjukan sikap dan perilaku di dalam diri yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waria adalah laki-laki yang menunjukan sikap dan perilaku di dalam diri yang mengarah pada sisi perempuan. 1. sedangkan dalam pengertian dalam pandangan islam waria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kurun waktu terdekat ini kemajuan disegala aspek kehidupan menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Nadia (2005), mendefinisikan waria sebagai individu yang sejak lahir

BAB II LANDASAN TEORI. Nadia (2005), mendefinisikan waria sebagai individu yang sejak lahir BAB II LANDASAN TEORI II.A. Waria II.A.1. Pengertian Waria Nadia (2005), mendefinisikan waria sebagai individu yang sejak lahir memiliki jenis kelamin laki-laki, akan tetapi dalam proses berikutnya menolak

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksualitas merupakan rasa tertarik pada orang-orang berjenis kelamin sama baik secara perasaan ataupun secara erotik, dengan atau tanpa hubungan fisik. Disebutkan

Lebih terperinci

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu penyelenggara pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan dan mengasah keterampilan para siswa

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV maka terdapat beberapa hasil yang dapat disimpulkan di dalam penelitian ini, yaitu: Tingkat kecenderungan untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah. tabel penelitian terdahulu yang penulis gunakan:

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah. tabel penelitian terdahulu yang penulis gunakan: 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian terdahulu sebagai perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalahi norma yang berlaku. Seolah menjadi suatu aib bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. menyalahi norma yang berlaku. Seolah menjadi suatu aib bagi mereka yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di Indonesia homoseksual masih dianggap sebagai hal yang tabu dan menyalahi norma yang berlaku. Seolah menjadi suatu aib bagi mereka yang berorientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne

Lebih terperinci

Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu

Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu Oleh: Esa Putri Yohana 1 Abstrak Skripsi ini berjudul Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu. Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN LATAR BELAKANG Lerner dan Hultsch (1983) menyatakan bahwa istilah perkembangan sering diperdebatkan dalam sains. Walaupun demikian, terdapat konsensus bahwa yang

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasar kodratnya, manusia ditakdirkan berpasang-pasangan membangun keluarga melalui pernikahan lalu memiliki keturunan dan terkait dengan kecenderungan seksual

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu institusi budaya yang mempengaruhi dan dipengaruhi kenyataan sosial. Seorang seniman atau pengarang akan melibatkan sebuah emosi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi massa merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa seperti surat kabar, majalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia di dunia ini memiliki hak yang sama untuk hidup damai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia di dunia ini memiliki hak yang sama untuk hidup damai digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia di dunia ini memiliki hak yang sama untuk hidup damai sesuai dengan keinginan atau pilihannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria atau banci adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan berpenampilan seperti wanita, (Junaidi, 2012: 43). Waria adalah gabungan dari wanita-pria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Waria (wanita-pria) adalah laki laki yang secara fisik mereka adalah lakilaki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung es yang hanya nampak puncaknya saja di permukaan, namun sebagian besar badan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

I. PENDAHULUAN. masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja (adolescense) adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan komunitas homoseksual ini sebenarnya telah diakui oleh Indonesia, antara lain dengan adanya Peraturan Menteri Sosial No.8 / 2012 yang memasukan kelompok

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya sama dan dari bahasa Latin yaitu sex yang artinya jenis kelamin. Homoseksual biasanya dikonotasikan

Lebih terperinci