KAJIAN FISIOLOGI REPRODUKSI IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SETELAH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN DAN DIPELIHARA PADA BEBERAPA MEDIA SALINITAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN FISIOLOGI REPRODUKSI IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SETELAH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN DAN DIPELIHARA PADA BEBERAPA MEDIA SALINITAS"

Transkripsi

1 1 KAJIAN FISIOLOGI REPRODUKSI IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SETELAH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN DAN DIPELIHARA PADA BEBERAPA MEDIA SALINITAS ERNA THALIB C SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul Kajian Fisiologi Reproduksi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) setelah Pemberian Hormon Tiroksin dan Dipelihara pada Beberapa Media Salinitas adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2012 Erna Thalib C

3 3 ABSTRACT ERNA THALIB. Study of Reproductive Physiology of Red Tilapia (Oreochromis sp.) after Tyroxine Treatment and Rearing at various Salinity Media. Under supervision of M. ZAIRIN JUNIOR and IRZAL EFFENDI. Tyroxine or tetrayodotyronine (T 4 ) hormone and salinity are the two most important variables for osmoregulation, metabolism, and reproduction of fish. The research was conducted to evaluate reproductive physiology of red tilapia under different media salinity and tyroxine doses. Thyroxine was administrated to the fish by injection four times every two week. The research consist of nine treatments and three replications with combination between tyroxine and media salinity were (A) Thyroxine (T 4 ) 0 ng /g body weigh (BW), salinity 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50, 0; (E) 50, 10; (F) 50, 20; (G) 100, 0; (H) 100, 10; and (I) 100, 20. The result showed that tyroxine administration could increase osmotic gradient, fat and protein retention. Thyroxine administration also have influenced to gonadal development including gonado somatic index, hepato somatic index and fecundity. The combination between tyroxine 100 ng/g BW and media salinity 10 ppt and gave the best for reproduction performance of red tilapia. Keywords: tyroxine hormone, osmoregulation, metabolism, reproduction, red tilapia

4 4 RINGKASAN ERNA THALIB. Kajian Fisiologi Reproduksi Ikan Nila (Oreochromis sp.) setelah Pemberian Hormon Tiroksin dan Dipelihara pada beberapa Media Salinitas. Dibimbing oleh M. ZAIRIN JUNIOR dan IRZAL EFFENDI. Permintaan akan ikan nila yang semakin tinggi dibarengi kompetisi lahan air tawar yang semakin meningkat sementara ketersediaan wilayah tambak masih cukup besar membuat para pembudidaya terus mencari alternatif untuk meningkatkan produksinya. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mencoba memelihara ikan nila pada media bersalinitas. Pemindahan pemeliharaan ikan dari media air tawar ke payau atau laut mengharuskan ikan beradaptasi melalui pengaturan osmoregulasi, upaya mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungan ikan. Dalam proses osmoregulasi tersebut dibutuhkan hormon untuk mengontrol, salah satunya adalah tiroksin. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji sejauh mana hormon tiroksin berpengaruh terhadap reproduksi ikan nila merah yang dipelihara pada beberapa media salinitas dan menentukan dosis hormon yang baik untuk mengurangi beban osmotik ikan yang dipelihara pada media salinitas berbeda. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk ikan nila merah dengan bobot tubuh berkisar antara g/ekor, sedangkan bahan yang digunakan adalah hormon tiroksin atau tetraiodotironin (T 4 ). Penelitian ini terdiri dari sembilan perlakuan dan tiap-tiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dengan rancangan penelitian; (A) tiroksin (T 4 ) 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0, 10; (C) 0, 20; (D) 50, 0; (E) 50, 10; (F) 50, 20; (G) 100, 0; (H) 100, 10 dan (I) 100, 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi perlakuan kombinasi tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt secara nyata mempengaruhi nilai fekunditas dan retensi protein (P<0,05). Fekunditas rataan mencapai 1477 butir/ekor dan protein rataan sebesar 19,50%. Pemeliharaan ikan nila pada media salinitas berbeda mempengaruhi nilai gonad somatik indeks (GSI), hepato somatik indeks (HSI), tingkat konsumsi oksigen. Performa reproduksi ikan nila menurun pada salinitas 20 ppt. Pemberian tiroksin secara signifikan mempengaruhi nilai retensi lemak dengan pola semakin tinggi konsentrasi tiroksin yang diberikan semakin ikan dapat memanfaatkan energi pakan. Hasil pengukuran kualitas air menunjukan kisaran nilai yang masih layak untuk pemeliharaan ikan nila pada semua perlakuan sehingga dapat disimpulkan bahwa parameter kualitas air pada penelitian ini bukan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ikan nila yang dipelihara. Kata kunci : tiroksin, salinitas, reproduksi, nila merah

5 5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

6 6 KAJIAN FISIOLOGI REPRODUKSI IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SETELAH PEMBERIAN HORMON TIROKSIN DAN DIPELIHARA PADA BEBERAPA MEDIA SALINITAS ERNA THALIB C Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

7 7 Judul Tesis Nama NRP : Kajian Fisiologi Reproduksi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) setelah Pemberian Hormon Tiroksin dan Dipelihara pada Beberapa Media Salinitas : Erna Thalib : C Disetujui Prof. Dr. M. Zairin Junior, M.Sc. Ketua Ir. Irzal Effendi, M.Si. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian : 07 Februari 2012 Tanggal Lulus:

8 8 PRAKATA Maha suci Allah pemilik segala puji. Sujud syukur penulis panjatkan atas segala limpahan kekuatan, kesempatan dan keberkahan sehingga penulisan tesis dengan judul Kajian fisiologi reproduksi ikan nila Oreochromis sp setelah pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, rasa terima kasih tak terhingga Penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Zairin junior, M.Sc., dan Bapak Ir. Irzal Effendi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing atas bantuan tak ternilai dalam memberikan arahan, nasehat, motivasi serta bimbinganberharga selama proses penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Widanarni, M.Si sebagai dosen penguji yang bersedia menguji dan memberikan arahan, kritik serta masukan-masukan yang bermanfaat kepada Penulis dalam penyempurnaan tesis. Ucapan terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada : 1. Keluarga besar tercinta; Ayahanda H. Thalib Achmad Martapure dan Ibunda Hj. Dawang Robo, Kakak Mahani Thalib, Nilawati Thalib, Kartini Thalib dan Adik Erni Thalib atas segala doa dan semangat yang diberikan selama penulis mengikuti studi di Pascasarjana IPB. 2. Teman-teman Ilmu Akuakultur 2009; Sefti Heza Dwinanti, Wahyuni Fanggi Tasik, Zuraida, Muliyani, Riri Ezraneti, Iko Imelda Arisa, Novy Mayasari, Muznah Toatubun, Dian Febriani, Dewi Puspaningsih, Jenni Abidin, Eulis Marlina, Mariana Beruatjaan, Jacqueline Sahetapi, Jakomina Metungun, Hari Kretiawan, Reza Samsudin, Tanbiyaskur, Aras Syazili, Safrizal Putra, Alfabetian H. Condro Haditomo, Rahman, Anwar Hasan, Romeos Kalvari, Ari S dan Anna Oktavera, Rindy Revsylia. 3. Adik-adik terkasih; Hasliana Diski, Rezki Amelia, Ria Hariati, atas dukungan dan doa kepada penulis selama Penulis mengikuti studi pascasarjana di IPB. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Bogor, Maret 2012

9 9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada 18 oktober 1986 di Maluku Utara, merupakan putri keempat dari lima bersaudara pasangan Bapak H. Thalib Achmad Martapure dan Ibu Hj. Dawang Robo. Pada 2004 Penulis lulus dari SMU Negeri 5 Ternate dan melanjutkan pendidikan strata satu (S1) pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate dan berhasil lulus pada Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di program Master (S2) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Ilmu Akuakultur.

10 10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xii xiii xiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan dan Manfaat... 4 Hipotesis... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Biologi Ikan Nila (Oreochromis si.)... 6 Reproduksi dan Perkembangan Gonad... 6 Tiroid dan Mekanisme Kerjanya... 8 Defisiensi dan Kelebihan Tiroid dalam Tubuh Salinitas, Tiroksin dan Osmoregulasi Ikan Peranan Hormon Tiroid dalam Metabolisme Ikan Peranan Hormon Tiroid dalam Reproduksi Ikan Oksigen dan Pertumbuhan Glukosa Darah sebagai Indikator Stres METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pelaksanaan Penelitian Rancangan Penelitian Parameter Uji yang Diamati HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 51

11 11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila Perlakuan percobaan kajian reproduksi ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Nilai rataan hepato somatik indeks (HSI, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Nilai rataan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Nilai rataan gonad somatik indeks (GSI, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Nilai rataan fekunditas (FK, butir/ekor) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Nilai rataan tingkat konsumsi oksigen TKO, mgo 2 /g tubuh/jam) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas selama pemeliharaan Nilai rataan retensi protein (RP, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Nilai rataan retensi lemak (RL, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Nilai rataan pertumbuhan harian (PH, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas... 40

12 12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerjasama berbagai jenis hormon dalam tubuh ikan Proses pengeluaran dan penyerapan ion dan air dalam tubuh ikan air tawar dan air laut Kontrol endokrin terhadap osmoregulasi ikan Faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan ikan Perkembangan persentase nilai HSI ikan nila merah (Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan Perkembangan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah (Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan Perkembangan persentase nilai GSI ikan nila merah (Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan Pengaruh tiroksin terhadap nilai fekunditas ikan nila merah (Oreochromis sp.) Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas ikan nila merah (Oreochromis sp.) Pengaruh interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap nilai fekunditas ikan nila merah (Oreochromis sp.) Struktur histologi ikan nila merah (Oreochromis sp.) pada Perlakuan H dan B (control) Gradien osmotik tubuh dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah Pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa Media salinitas... 37

13 Pengaruh pemberian tiroksin terhadap nilai retensi protein ikan nila merah (Oreochromis sp.) Pengaruh salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila merah (Oreochromis sp.) Pengaruh interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap Nilai retensi protein ikan nila merah (Oreochromis sp.) Pertumbuhan harian ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas... 41

14 14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tata letak wadah percobaan dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) Dokumentasi wadah penelitian Prosedur histologi gonad Prosedur pengukuran gradien osmotik Prosedur pengukuran kadar glukosa darah Diameter telur ikan nila pada perlakuan terbaik (perlakuan H) dan perlakuan kontrol (perlakuan B) Osmolaritas tubuh dan media pemeliharaan ikan nila Pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai HSI ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan diameter telur (mm) ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai GSI ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan tingkat konsumsi oksigen ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai retensi protein ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai retensi kemak ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas... 71

15 14. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pertumbuhan Ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas

16 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara, bernilai ekonomis tinggi, responsif terhadap pakan tambahan, kelangsungan hidupnya tinggi, dapat mentolerir salinitas pada kisaran yang luas, mampu berkembangbiak dengan cepat, serta memiliki struktur daging putih bersih, tebal dan kenyal (KKP 2010). Untuk pasar ekspor, Amerika merupakan yang paling potensial, dan membutuhkan pasokan nila fillet per tahunnya sekitar 90 ton/thn. Masih banyak yang membutuhkan pasokan ikan nila dalam jumlah yang besar, diantaranya adalah Hongkong, Singapura, Jepang dan Eropa. Menurut FAO (Food Agricultural Organization), pasar dunia sampai 2010 masih kekurangan pasokan ikan nila sebanyak 2 juta ton/tahun. Permintaan pasar akan ikan nila yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun menuntut para pelaku budidaya untuk meningkatkan produksinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Salah satu upaya untuk mendapatkan produksi yang tinggi adalah melalui pengelolaan induk yang baik dengan mengoptimalkan faktor lingkungan yang dapat mendukung kondisi fisiologi dari ikan yang dibudidayakan. Ikan nila pada umumnya dibudidayakan di perairan tawar, namun belakangan ini areal untuk budidaya ikan air tawar semakin sempit seiring meningkatnya kompetisi penggunaan lahan oleh berbagai jenis ikan air tawar. Sementara disis lain, ketersediaan lahan tambak masih tersedia luas. Hal ini mendorong dilakukannya upaya pengembangan budidaya nila di perairan payau (tambak) dan laut atau yang lebih dikenal dengan nila salin. Budidaya ikan nila salin telah dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia, diantaranya adalah adalah Aceh, Jawa Tengah, Jawah Barat, Sumatera Utara dan Lampung. Beberapa penelitian tentang salinitas dan kaitannya dengan kajian fisiologi terhadap ikan nila juga telah dilakukan. Hasil penelitian Mege (1993), menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan nila lebih tinggi bila dipelihara pada salinitas > 5 ppt. Hal yang sama dilaporkan oleh Darwisito (2006), bahwa pada salinitas 10 ppt ketahanan tubuh ikan nila menjadi lebih baik serta merupakan kondisi lingkungan terbaik

17 17 yang mempengaruhi reproduksi pada induk ikan nila seperti fekunditas, nilai GSI (gonad somatik indeks), perkembangan embrio dan waktu inkubasi telur. Watanabe dan Kuo (1988), mengemukakan bahwa penampilan dan reproduksi ikan nila lebih baik pada salinitas 5-15 ppt dari pada di air tawar dan air laut 30 ppt. Selain faktor lingkungan, keberadaan hormon, seperti tiroksin juga memegang peranan penting dalam pengaturan fisiologi tubuh ikan nila seperti osmoregulasi, metabolisme dan reproduksi. Hormon tiroksin berperan dalam mengontrol adaptasi salinitas, meningkatkan konsumsi oksigen, laju metabolisme protein dan lemak sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap reproduksi ikan nila (Handayani 1997). Hasil penelitian Matty (1985), menyatakan selama maturasi pada induk ikan mas koki, Carassius auratus hormon tiroksin turut berperan dalam proses vitelogenesis oosit. Konsentrasi gonadotropin berbeda nyata antara kontrol (tanpa pemberian salmon gonadotropin dan tiroksin), tanpa pemberian tiroksin dan pemberian salmon gonadotropin yang ditambahkan dengan hormon tiroksin. Pentingnya peranan hormon dalam reproduksi ikan menjadi penting untuk dikaji sehingga penelitian ini perlu untuk dilakukan. Perumusan Masalah Sifat euryhalin yang dimiliki oleh ikan nila membuat para petani budidaya terus mencari alternatif untuk meningkatkan produksi melalui optimalisasi lingkungan pemeliharaannya. Salah satu yang dilakukan adalah mencoba memelihara ikan nila pada media bersalinitas. Pengembangan budidaya ikan di lingkungan bersalinitas (tambak) tentunya membutuhkan ketersediaan benih yang sudah beradaptasi di lingkungan bersalinitas sehingga perlu dikembangkan pembesaran atau pemeliharaan induk pada media bersalinitas pula. Pemeliharaan ikan pada kondisi isoosmotik akan terjadi penghematan energi untuk osmoregulasi sehingga proses fisiologi dalam tubuh dapat berjalan dengan optimal, termasuk pertumbuhan dan reproduksi. Hormon yang berperan dalam pengaturan salinitas adalah hormon tiroid (tiroksin).

18 18 Keterlibatan hormon tiroid dalam osmoregulasi berhubungan dengan aktivitas Na +,K + -ATPase, sehingga dapat meningkatkan aktivitas transport natrium pada berbagai jaringan epitel termasuk ginjal. Selain berperan dalam pengaturan osmoregulasi, pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon tiroid juga mempengaruhi laju metabolisme protein, karbohidrat dan lemak (Matty 1985). Hal serupa didukung oleh Woo et al. (1991), bahwa pemberian hormon tiroksin dalam pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan, aktivitas enzim pencernaan pada usus dan aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat. Hormon tiroid berintegrasi dengan hormon lain secara sinergistis dalam mengatur laju metabolisme, memfasilitasi pelepasan growth hormone (GH) dari sel-sel hipofisis, meningkatkan lipolisis serta pengambilan pakan sehingga berpengaruh secara tidak langsung terhadap reproduksi ikan (Fujaya 2004). Energi yang berasal dari lemak digunakan selama pembentukan vitelogenesis, gonadogenesis dan fekunditas. Sementara energi protein digunakan untuk gonadogenesis, gametogenesis, vitelogenesis, hormon dan enzim (Finstad et al. 2001). Tiroksin juga secara langsung berpengaruh terhadap reproduksi. Kelancaran sekresi tiroksin oleh kelenjar tirod merupakan salah satu syarat untuk kelangsungan reproduksi secara normal pada ternak (Toelihere 1979). Sechman et al. (2009) mengemukakan bahwa pada ayam tiroid dapat meningkatkan konsentrasi progesteron yang berperan penting dalam proses ovulasi. Pada manusia, keadaan hipotiroid menyebabkan kegagalan perkembangan gonad dan sistem saluran reproduksi, perpanjangan masa kebuntingan dan penurunan jumlah anak pada babi (Robertson dan Falconer 1961). Pada ikan hormon tiroid dalam plasma induk akan ditransfer kedalam telur dan kemudian kedalam kantung kuning telur larva (Ayson dan Lam 1993). Berbagai respon yang ditimbulkan akibat pengaruh pemberian hormon terhadap proses osmoregulasi dan reproduksi berbeda untuk setiap spesies hewan serta dosis yang digunakan. Pada ikan dewasa, tiroid mempengaruhi peningkatan respon hcg (human chorionic gonadotropin). Pada tikus betina, tiroksin berperan dalam pematangan folikel. Menurut Choksi et al. (2003), pada manusia hormon tiroid mempengaruhi beberapa aspek reproduksi, seperti metabolisme estrogen, kematangan seksual, ovulasi, kesuburan dan kemampuan menghasilkan anak.

19 19 Pada ikan hormon tiroid memainkan peran dalam fungsi dan perkembangan sistem reproduks meskipun mekanisme secara detail belum sepenuhnya diketahui. Strategi pemeliharaan ikan nila di perairan laut atau payau perlu mendapat perhatian terutama menyangkut osmoregulasi sehingga ikan dapat memperkecil ketersediaan energi untuk reproduksi. Strategi yang dapat dilakukan adalah memilih strain yang adaptif terhadap kadar garam dan penggunaan hormon yang salah satunya adalah hormon tiroid (T 4 ). Pemberian hormon tiroksin dapat membantu ikan dalam mengatur osmoregulasi melalui pengambilan ion-ion oleh tubuh agar energi yang digunakan untuk osmoregulasi dapat ditekan sekecil mungkin dan dapat digunakan secara optimal untuk reproduksi. Keberadaan tiroksin mempengaruhi perkembangan gonad melalui rangsangan terhadap hormon gonadotropin (Matty 1985). Keadaan hipotiroidisme atau kekurangan tiroid dalam tubuh dapat menghambat saluran reproduksi. Kerusakan gonad juga dapat terjadi bila mencapai keadaan hipertiroidisme dalam tubuh (Toelihere 1979). Pemberian tiroksin akan memberi pengaruh-pengaruh stimulasi atau keracunan sehingga perlu diperhatikan dosis dan spesies yang digunakan. Mengacu pada permasalahan tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan pemberian hormon dengan dosis berbeda pada media bersalinitas sehingga diharapkan dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap berbagai aspek reproduksi ikan nila, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana hormon tiroksin mempengaruhi fisiologi reproduksi ikan nila yang dipelihara pada beberapa media salinitas. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi dasar tentang dosis optimum hormon tiroksin (T 4 ) terhadap reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas sehingga diharapkan dapat dikembangkan pembenihan (hatchery) ikan nila pada lingkungan bersalinitas (payau-laut)

20 20 Hipotesis Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah interaksi antara pemberian hormon tirkosin dengan konsentrasi berbeda dan pemeliharaan pada level salinitas media berbeda dapat meningkatkan kinerja reproduksi dari ikan nila merah (Oreochromis sp.).

21 21 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ikan Nila (Oreochromis sp.) Nila merah (Oreochromis sp.) merupakan ikan hasil hibridisasi antara ikan Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus. Tergolong dalam ordo Percomorphi, sub ordo Percoidea, family Cichlidae dan genus Oreochromis (Stickney 2006). Sebagai ikan yang tergolong euryhalin, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau dan laut. Kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan ikan nila adalah suhu berkisar antara o C, oksigen terlarut 3-8,5 ppm, ph 7-8,3; alkalinitas ppm, kesadahan mg CaCO 3, Ikan tilapia digolongkan sebagai ikan herbivora (Tengjaroenkul et al. 2000), dapat memakan jenis-jenis pakan tambahan seperti dedak halus, tepung bungkil kacang, ampas kelapa dan sebagainya. Untuk budidaya ikan nila tumbuh lebih cepat dengan pakan yang mengandung protein >20-25 %. Ikan nila umumnya lebih dikenal atau dipelihara di perairan tawar, mulai dari lingkungan yang sempit seperti kolam pekarangan, kolam tadah hujan dan sawah sampai dengan lingkungan yang sangat luas seperti tambak, sungai atau waduk (dengan sistem keramba jaring apung). Toleransi terhadap kadar garam merupakan suatu karakteristik biologi utama dari ikan nila. Pertumbuhan ikan nila berbeda pada kondisi air tawar, payau (estuari) dan laut. Ikan nila tumbuh lebih cepat pada salinitas 6-17 ppt dibandingkan dengan air tawar. Pada salinitas ppt dapat mematikan secara total (Mege 1993). Performa reproduksi ikan nila lebih baik pada salinitas 10 ppt (Darwisto 2006), 5-15 ppt dan menurun pada salinitas > 30 ppt (Watanabe dan Kuo 1988). Reproduksi dan Perkembangan Gonad Reproduksi merupakan suatu proses biologi mulai dari differensiasi seksual hingga dihasilkannya individu baru (larva) yang melibatkan kinerja dari beberapa jenis hormon (Bernier et al. 2009). Dalam proses budidaya, pengembangbiakan ikan merupakan salah satu kegiatan yang harus tumbuh dan berkembangbiak agar kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan. Kegiatan reproduksi terjadi sesudah ikan mencapai masa dewasa; diatur oleh

22 22 kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang menghasilkannya. Awal matang gonad ikan nila pada ukuran cm (150 g) (Stickney 2006); > 50 g (El-ssayed et al. 2003), tergantung jenis dan strain. Perkembangan gonad ikan nila dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hormon, makanan dan faktor lingkungan. Stickney (2006) mengemukakan bahwa ikan nila pada kondisi budidaya (terkontrol) lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan ikan nila yang hidup di perairan alami. Secara alami ikan nila dapat memijah sepanjang tahun di daerah tropis. Pada umumnya pemijahan ikan nila terjadi 6-7 kali/tahun. Rasio betina : jantan untuk pemijahan adalah 2:1. Fekunditas berkisar antara butir telur/ induk (Mendoza et al. 2005), butir/induk (Kusnadi dan Bani), butir/induk (Kordi 2000; Stickney 2006). Nilai fekunditas dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pakan, ukuran ikan, diameter telur, dan lingkungan. Salinitas untuk pemijahan berkisar antara 0-30 ppt (Koda 2003; Ainun 2008). Beberapa spesies ikan dapat memijah dua atau beberapa kali dalam setahun (Rustidja 2005). Pada pemijahan secara alami, ikan yang telah matang gonad dan siap memijah dapat menghasilkan telur yang matang dalam waktu yang singkat apabila kondisi lingkungan baik. Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila diklasifikasikan menjadi 5 tingkat (Dadzie dan Wangila 1980) sebagai berikut : Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila No TKG Histologi 1 2 I II Ovarium masih kecil, transparan, dan oosit muda hanya terlihat dengan menggunakan mikroskop Ovarium berwarna kuning terang, dan oosit dapat terlihat dengan mata 3 III Ovarium besar, berwarna gelap, dan ada oosit yang mulai mengandung kuning telur 4 5 IV V Ovarium besar, berwarna coklat, banyak oosit berukuran maksimal dan mudah dipisahkan. Ovarium berwarna kuning terang, ukuranya berkurang karena telur yang sudah matang telah dilepaskan. Pada ikan dewasa, ovarium secara umum berjumlah sepasang. Oosit yang berkembang terletak ditengah dalam lapisan folikel. Lapisan folikel terdiri dari

23 23 lapisan dalam sel (granulosa) dan lapisan luar (sel theca). Oosit berkembang akibat adanya akumulasi kuning telur (vitelogenesis) dalam sitoplasma. Vitelogenesis akan berkembang secara penuh dan kemudian mengalami maturasi dan ovulasi karena adanya pengaruh lingkungan dan hormon. Setelah terjadi ovulasi maka selanjutnya akan terjadi proses pembelahan dan oosit telah menjadi telur secara sempurna dan siap dibuahi (Murua dan Kraus 2003). Dalam satu tingkat kematangan gonad (TKG), komposisi telur yang dikandung tidak seragam, tetapi terdiri dari berbagai macam telur. Telur merupakan cikal bakal bagi suatu makhluk hidup, yang proses pembentukannya sudah mulai pada fase diferensiasi dan oogenesis yaitu terjadinya akumulasi vitolegenin kedalam folikel (vitelogenesis). Perkembangan diameter telur meningkat dengan semakin meningkatnya TKG. Tiroid dan Mekanisme Kerjanya Hormon tiroksin mempunyai reseptor didalam inti sel (hipofisa, hati, jantung dan ginjal). Di dalam sel, tiroksin (T 4 ) mengalami deiodinasi dan ditransformasi menjadi T 3. Transformasi T 3 berlangsung di dalam membran plasma dan retikulum endoplasma, Setelah transformasi berlangsung maka T 3 migrasi ke sel inti dan melakukan interaksi dengan reseptor yang terdapat di inti. Akibatnya produksi nuclear RNA (nrna) dan mocrosmional RNA (mrna) akan meningkat. Efek dari T 3 disamping untuk pertumbuhan, metamorfosis juga mampu bekerja sama dengan hormon lain, seperti hormon gonadotropin. T 3 juga bekerja sama dengan kortisol untuk merangsang pembentukan hormon melalui mrna yang terdapat dalam hipofisa. Hormon tiroksin dapat dengan mudah masuk ke dalam sel target melewati dinding sel (membran plasma) dengan cara transport aktif. Hormon tiroid (T 3 dan T 4 ) yang masuk kedalam tubuh dibawa ke sel target oleh protein plasma. Ayson dan Lam (1993) menyatakan bahwa hormon tiroksin dalam sirkulasi induk betina dapat ditransfer ke dalam oosit, telur dan kemudian ke dalam ovarium (kantung kuning telur) sebelum ovulasi. Hormon tiroid secara tidak langsung membantu dalam proses penyerapan kuning telur. Bentuk kerjasama hormon dalam tubuh ikan disajikan pada Gambar 1.

24 24 Gambar 1. Kerjasama berbagai jenis hormon dalam tubuh ikan (Bernier et al. 2009). Kelenjar pituitari atau hipofisa terletak pada lekukan tulang di dasar otak dan sering disebut sebagai master gland, mengandung sel-sel pesekresi hormon adrenocorticotropic (ACTH), hormon pelepas tiroid (TSH, thyroid stimulating hormone), hormon pertumbuhan (GH, growth hormone), dan gonadotropin (FSH; follicle stimulating hormone, LH; luithenizing hormone). Sistem endokrin dalam mengintegrasikan organisme selalu bekerja sama dengan sistem syaraf (neuroendokrin). Kedua sistem ini mampu mensintesis dan melepaskan zat zat kimia khusus dan hormon hormon tertentu yang mampu menyebar ke seluruh tubuh organisme. Beberapa hormon yang dihasilkan (FSH dan LH) secara langsung mempengaruhi berbagai aspek reproduksi seperti perkembangan gonad, spermatogenesis, fertilisasi dan ovulasi. Hormon lain (seperti tiroid) bekerja sama dengan hormon-hormon gonadotropin untuk mempertahankan keadaan metabolik suatu organisme yang memungkinkan terjadinya reproduksi.

25 25 Defisiensi dan Kelebihan Tiroid dalam Tubuh Pembentukan hormon tumbuh yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan raksasa (gigantism). Efek hormon tumbuh terlihat jelas pada bagian tulang panjang. Pertumbuhan tulang yang berlebihan dapat mengakibatkan kelainan pada persendian sehingga mekanisme kerja dari persandian tersebut menjadi tidak normal lagi. Produksi hormon tiroid yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap konversi keratin menjadi kreatinin. Akibat dihambatnya pembentukan kreatinin tersebut maka pembentukan fosfokreatin juga terhambat yang berakibat diekskresikannya keratin kedalam urin. Kehilangan keratin dari otot-otot menyebabkan kerja otot tidak efisien. Demikian juga, apabila kekurangan produksi hormon tiroid di dalam tubuh maka akan terjadi kelainan-kelainan dalam pertumbuhan (Affandi dan Tang 2003). Salnilitas, Tiroksin dan Osmoregulasi Ikan Osmoregulasi merupakan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis tubuh dapat berfungsi secara normal. Osmoregulasi erat kaitannya dengan salinitas, yakni upaya untuk mengontrol keseimbangan air dan konsentrasi total dari ion-ion yang terlarut dalam air, seperti Na (natrium), K (kalium), Ca (kalsium), Mg (magnesium), Cl (khlor), SO 4 (sulfat), dan HCO 3 (asam karbonat) antara tubuh dan lingkungannya (Effendi 2003). Selama osmoregulasi, hewan air membutuhkan keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan media yang sangat penting terhadap kelangsungan hidupnya. Hormon memainkan peran sebagai pengontrol terhadap proses adaptasi ikan dan transport ion (McCormick dan Bradsaw 2006). Osmoregulasi pada ikan air laut berbeda dengan ikan air tawar. Ikan air laut hidup dalam medium yang memiliki konsentrasi osmotik lebih tinggi dari cairan tubuhnya sehingga ikan cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang serta kemasukan garam-garam melalui proses difusi (hipoosmotik). Ion-ion natrium dan klorida diserap oleh usus dan dibuang melalui ginjal. Sementara ikan air tawar memiliki konsentrasi media yang lebih rendah dari konsentrasi cairan

26 26 tubuhnya (hiperosmotik) sehingga secara alami air bergerak masuk kedalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan secara difusi. Secara rinci proses osmoregulasi pada ikan dijelaskan pada Gambar 2. Gambar 2. Proses pengeluaran dan penyerapan ion dan air dalam tubuh ikan air tawar dan air laut. Beberapa organ yang berperan dalam proses pengaturan tersebut antara lain, insang, ginjal dan usus. Organ-organ ini melakukan fungsi adaptasi dibawah kontrol hormon osmoregulasi, terutama hormon-hormon yang disekresikan oleh pituitari, ginjal dan urofisis, diantaranya hormon prolaktin (PRL) dan hormon tiroid (Gambar 3). Gambar 3. Kontrol endokrin terhadap osmoregulasi ikan (Smith 1982)

27 27 Pada insang, sel-sel berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel klorida yang terdapat pada dasar lembaran-lembaran insang, sementara ginjal digunakan untuk membersihkan dan menjernihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak diinginkan. Usus aktif mengambil ion-ion monovalen (Na +, K +, Cl - ) dan air. Proses-proses tersebut berjalan dibawah pengaruh hormon. Hormon tiroid mempengaruhi aktivitas enzim Na + /K + ATP-ase yang terdapat pada membran, sehingga terjadi peningkatan aktivitas transport natrium akibat meningkatnya konsumsi oksigen. Na +,K + -ATPase juga menyediakan energi sebagai tenaga penggerak untuk transport Na + dalam berbagai epitel osmoregulasi termasuk ginjal. Pengaruh tiroid terhadap aktivitas Na +, K + -ATPase pada adaptasi ikan air laut telah menjadi subjek dalam banyak penelitian. Hormon tiroid dilaporkan dapat mempertahankan keseimbangan osmotik Na + selama melakukan osmoregulasi (tantangan osmoregulasi), mendorong aktivitas pompa Na + dan dinamika morfometrik sel klorida, serta membantu kemampuan hiperosmoregulator pada tilapia air tawar (Peter et al. 2000). Peranan Hormon Tiroid dalam Metabolisme Ikan Hormon tiroid (T 3 dan T 4 ) pada organisme, termasuk hewan terlibat dalam regulasi atau pengaturan homeostatis dan metabolism energi, protein dan lemak. Pengaruh tiroid terhadap sintesis protein melalui aktivitas RNA. Adanya interaksi hormon tiroid dan reseptor pada inti maka aktivitas enzim polymerase akan meningkat dan pembentukan RNA-pun akan meningkat (Djojosoebagyio 1990). Konsentrasi hormon tiroid tergantung dari beberapa faktor, diantaranya adalah lingkungan dan gizi (Todini 2007). Selain protein, hormon tiroid juga dilaporkan dapat mengubah pola metabolisme karbohidrat melalui peningkatan aktivitas enzim amilase sehingga kecernaan dan absorpsi karbohidrat menjadi tinggi akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa serum (Woo et al. 1991). Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Tytler dan Calow (1985), bahwa terjadi peningkatan aktivitas glikogen dan beberapa enzim metabolisme karbohidrat seperti glukosa 6-fosfat dehidrogenase, isositrat dehidrogenase, glukosa 6-fosfat dan 1,6-difosfatase. Selain itu, penelitian

28 28 yang dilakukan pada ikan sidat menunjukkan bahwa pemberian tiroid juga dapat meningkatkan enzim aldolase (enzim yang terlibat dalam glikolisis). Dengan adanya peningkatan metabolisme glukosa maka karbohidrat berperan sebagai sparing action pada penggunaan energi. Jalur katabolisme glukosa ini sangat penting untuk biosintesis asam lemak, karena meningkatnya glikolisis akan menurunkan lemak sebagai sumber energi. Energi dari asupan pakan yang digunakan untuk reproduksi berasal dari lemak dan protein. Lemak berfungsi pada peran vitelogenesis, fekunditas, penetasan, dan sumber energi untuk larva. Secara umum protein yang dibutuhkan pada tahapan reproduksi adalah untuk gonadogenesis, gametogenesis, vitelogenesis, hormon dan enzim (Finstad et al. 2001). Menurut Sibly dan Calow (1986), kebutuhan energi tertinggi pada makhluk hidup terjadi pada saat pematangan dan reproduksi dimana pakan yang diperoleh diubah menjadi zat-zat yang diperlukan bagi keberhasilan pemijahan. Energi yang dihabiskan untuk reproduksi ada tiga : (a) untuk produk seksual primer yaitu telur dan sperma (gamet); (b) untuk karakteristik seksual sekunder; dan (c) untuk tingkah laku reproduksi (Tytler dan Calow 1985). Aristizabal (2007) mengatakan pada ikan diperoleh dua jenis bentuk penyimpanan energi yaitu untuk pertumbuhan dan reproduksi, dimana proses reproduksi merupakan bentuk penyimpanan energi yang dapat diukur berdasarkan energi yang terdapat pada gonad (ovari) dan testes. Peranan Hormon Tiroid dalam Reproduksi Ikan Hormon tiroid termasuk dalam golongan hormon reproduksi sekunder. Hormon-hormon reproduksi sekunder merupakan zat-zat endokrin yang dengan aktivitas metabolik yang mempertahankan fungsi fisiologi tubuh dan memungkinkan berlangsungnya proses-proses reproduksi. Kelancaran sekresi tiroksin oleh kelenjar tiroid merupakan salah satu syarat untuk kelangsungan reproduksi secara normal. Hipotiroidisme menyebabkan kekerdilan (cretinismus) dengan kegagalan perkembangan gonad dan sistem saluran reproduksi. Kadar tiroksin yang tinggi dapat merusak gonad (Toelihere 1979).

29 29 Pada hewan dewasa, tiroid mempengaruhi peningkatan respon hcg (human chorionic gonadotropin) dalam merangsang ovulasi (Frandson 1986), berperan dalam pematangan folikel pada tikus betina dewasa dan peningkatan konsentrasi testosterone pada tikus jantan. Pada manusia tiroid mempengaruhi beberapa aspek reproduksi, seperti metabolisme estrogen, kematangan seksual, ovulasi, kesuburan dan kemampuan menghasilkan anak (Choksi et al. 2003). Pada ikan hormon tiroid juga memainkan peran dalam fungsi dan perkembangan sistem reproduksi. Oksigen dan Pertumbuhan Oksigen memberikan pengaruh secara umum pada pertumbuhan melalui jalur metabolisme dan relokasi dari sumber energi. Oksigen merupakan limiting factor bagi metabolisme ikan dan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas tubuh lainnya. Oleh karena itu kecukupan oksigen dalam perairan harus diperhatikan agar fisiologi tubuh ikan dapat berjalan optimal. Sebagian besar oksigen dimanfaatkan oleh ikan untuk proses respirasi. Ikan bernafas secara terus menerus sehingga membawa molekul oksigen dengan permukaan organ pernapasan dalam hal ini adalah insang. Jumlah oksigen yang terikat per unit volume darah bergantung pada jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dalam eritrosit, tekanan parsial oksigen yang berlaku, dan keberadaan oxygen-binding property yang ada di molekul hemoglobin. Kemudian oksigen ditransportasikan kedalam saluran darah dari insang menuju lokasi konsumsi. Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang penting bagi pertumbuhan ikan, jika kandungan oksigen rendah dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan sehingga mudah terserang penyakit dan dapat mengakibatkan pertumbuhannya terhambat (Diaz 2001).

30 30 Ikan membutuhkan energi untuk memelihara tubuh, aktivitas sehari-hari dan pertumbuhan. Pertumbuhan akan terjadi apabila masih terdapat kelebihan energi setelah kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh dan aktivitas terpenuhi. Energi yang diperoleh dari pakan, oleh ikan terlebih dahulu digunakan untuk pemeliharaan dan aktivitas tubuh. Bentuk energi yang dapat digunakan untuk menyokong aktifitas hidup yaitu diperoleh dalam bentuk protein, lemak dan karbohidrat dalam pakan. Semakin tinggi aktivitas fisik atau laju metabolisme yang tinggi, semakin besar energi yang diperlukan. Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan ikan (Brett 1979). Kemampuan-kemampuan ikan dalam proses metabolisme dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yaitu abiotik dan biotik. Faktor abiotik (fisika dan kimia) yaitu cahaya, suhu, oksigen, ph, salinitas dan faktor biotik (biologi) seperti padat tebar (Brett 1979; Santos et al. 2010).

31 31 Glukosa Darah sebagai Indikator Stres Stres merupakan keadaan dimana ikan tidak mampu mengatur kondisi fisiologis secara normal karena berbagai faktor yang mempengaruhi kondisinya atau dikenal dengan stresor. Sejumlah keadaan yang dapat berperan sebagai stresor antara lain; 1) stresor kimiawi yakni stress yang timbul akibat masalah kualitas air buruk seperti oksigen rendah, ph dan salinitas tidak sesuai, polusi akibat penggunaan bahan kimiawi, komposisi pakan, senyawa nitrogen dan sisa metabolisme; 2) stressor fisika yaitu stres yang timbul akibat suhu lebih tinggi atau lebih rendah dari normal, cahaya berlebih atau kurang, suara, dan gas-gas terlarut; 3) stresor biologi yaitu stress yang disebabkan oleh densitas populasi terlalu tinggi dan penyakit akibat mikroba atau parasit (Marcel et al. 2009). Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui keadan stress pada ikan adalah perubahan naik turunnya kadar glukosa darah. Mekanisme terjadinya perubahan glukosa darah selama stres dimulai dari diterimanya informasi penyebab stres oleh organ reseptor (neuroendokrin). Selanjutnya informasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipothalamus melalui sistem syaraf. Sistem syaraf kemudian menstimulir medulla adrenal untuk melepaskan ACTH (adrenocorticotrophic hormone). ACTH selanjutnya akan memicu sintesis kortisol dan sekresinya dari sel-sel internal di sinyal serta memobilisasi peningkatan glukosa darah (Bernier 2005). Stres dapat mengakibatkan ikan menjadi shok, tidak mau makan, memijah, dan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit. Kadar glukosa darah yang tinggi mampu menurunkan bahkan menekan produksi gonadotropin realizing hormone (GnRH) yang diproduksi oleh hipotalamus. Pada akhirnya stress akan menurunkan jumlah sperma pada jantan dan masalah ovulasi pada betina. Selain itu stress juga berpengaruh terhadap aktivitas seksual ikan (Schreck et al. 2000). Kestabilan kadar glukosa darah sangat penting bagi kehidupan ikan. Apabila kadar glukosa darah mengalami penurunan dari tingat normal, hormonhormon tersebut dengan segera akan berfungsi untuk meningkatkan glukosa darah melalui pemecahan glikogen di hati dan otot (Mazeaud dan Mezaeud 1981). Stres yang diterima akan mempengaruhi kemampuan imunitas sehingga berdampak buruk pada reproduksi seperti tingkat kematangan gonad, ovulasi, dan kualitas

32 32 gamet. Proses-proses tersebut diatur oleh hormon melalui pengaturan kecepatan reaksi enzimatik glukosa dan kecepatan transpor aktifnya. Beberapa hormon yang berperan penting dalam meregulasi darah adalah insulin, glukagon dan hormon tiroid (Piliang dan Djojosobagio 2000; Bernier 2005).

33 33 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pemeliharaan ikan dilakukan di Laboratorium Sistem dan Teknologi Budidaya, IPB. Histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan (LKI), uji glukosa dan osmolaritas darah dilakukan di Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Proksimat protein dan lemak pakan dan ikan di lakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), IPB. Pengamatan diameter oosit dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika organisme Akuatik, BDP IPB. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama + 4 bulan. Alat dan Bahan Wadah dan Media Percobaan Wadah yang digunakan berupa bak terpal berukuran 65x60x50 cm sebanyak 27 unit (Lampiran 1). Setiap wadah di isi air sebanyak 150 liter, dilengkapi filter dan aerasi. Media percobaan (Lampiran 2) yang digunakan adalah bersalinitas 10 ppt, 20 ppt dan media air tawar (0 ppt). Untuk mempermudah penggunaan atau pergantian air selama pemeliharaan, disiapkan empat buah bak tandon masing-masing untuk menampung air bersalinitas 10 ppt, 20 ppt, 30 ppt dan air tawar yang sudah diencerkan terlebih dulu dan diareasi. Ikan Uji Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk betina ikan nila merah (Oreochromis sp.) hasil budidaya di Kolam Departemen Budidaya Perairan. Jumlah total induk yang disediakan adalah 200 ekor dan sebanyak 108 ekor dipilih secara selektif dengan bobot yang sama ( g/ekor) untuk digunakan sebagai ikan uji perlakuan. Lima ekor ikan nila diambil sebagai data awal untuk dianalisa tingkat kematangan gonad sebelum diberi perlakuan. Bahan Uji Untuk bahan perlakuan menggunakan hormon tiroksin berupa tablet dengan dosis per tablet adalah setara dengan 100 µg tiroksin. Sebelum diberi perlakuan, sebanyak 10 gr (1000 µg tiroksin) terlebih dahulu digerus dengan

34 34 menggunakan mortar hingga halus (berbentuk bubuk), kemudian dilarutkan ke dalam 20 ml larutan dimetilsulfoksida (DMSO). Larutan kemudian didiamkan selama 24 jam dalam magnetik spiral agar hormon tiroksin benar-benar larut. Larutan (tiroksin + DMSO) kemudian diambil dengan menggunakan suntikan syringe 1 ml dan siap diinjeksi ke ikan dengan dosis sesuai masing-masing perlakuan. Pelaksanaan Penelitian Persiapan Induk Induk nila yang diambil dari kolam diangkut kedalam wadah pemeliharaan berupa bak beton dan fiber yang telah disiapkan terlebih dulu. Air disiapkan seminggu sebelum ikan diambil, dilengkapi dengan sistem filter dan aerasi. Ikan dipelihara selama + seminggu dengan pemberian pakan secara at satiation. Penyiponan dilakukan dua hari sekali untuk menghindari kotoran mengendap di dasar bak dan dilakukan pergantian air sebanyak 50 %. Adaptasi Induk Induk yang telah dipelihara sebelumnya dipindahkan ke masing-masing wadah percobaan dengan kepadatan 4 ekor/bak. Peningkatan salinitas dilakukan setelah tiga hari pemindahan ikan. Untuk menghindari stres, dilakukan peningkatan salinitas secara bertahap dengan perubahan 2-4 ppt setiap harinya hingga mencapai delapan hari. Teknik Penyuntikan Penyuntikan dilakukan seminggu setelah ikan sudah mampu beradaptasi dengan media pemeliharaan bersalinitas; dilakukan secara intra muscular (IM), yaitu pada daerah antara pangkal sirip punggung dengan linea lateralisnya sebanyak dua minggu sekali, dimulai minggu pertama pemeliharaan hingga minggu keenam. Penyuntikan menggunakan spuit syringe 1 ml dengan dosis sesuai pada masing-masing perlakuan. Untuk mengurangi tingkat stres, ikan nila dipuasakan sehari sebelum penyuntikan dilakukan; bersamaan dengan pembuatan larutan hormon tiroksin.

35 35 Pemberian Pakan Pakan uji yang diberikan adalah pelet komersial dengan kandungan protein sebesar 30-33% dan lemak sebesar 11,6 %. Pemberian dilakukan dua kali sehari yaitu pagi (08: 00) dan sore (06: 00) secara at satiation. Prosedur Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah untuk pengukuran kandungan kadar glukosa dan osmolaritas tubuh ikan nila dilakukan dengan mengambil sebanyak 3 ml sampel darah ikan pada bagian pangkal ekor dengan menggunakan spuit 3 ml yang telah diberi antikoagulan (cirate-phosphate-sextrosesolution, Sigma C-7165) agar darah tidak beku. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung polietilen dan disentrifus pada kecepatan 600 rpm selama 5 menit. Plasma darah hasil sentrifus diambil dan dipindahkan ke tabung polietilen baru untuk disimpan dalam freezer (-20 o C) sampai dilakukan analisis. Pengambilan Data dan Pengukuran Kualitas Air Sampling (pengambilan data) penelitian dilakukan pada awal penelitian yaitu hari ke-0 pemeliharaan, hari ke-14 dan seterusnya hingga hari ke-56; diambil secara teratur dengan interval waktu 14 hari sampai hari akhir penelitian. Sampling ikan meliputi perkembangan gonad, GSI dan HSI, diameter telur, gradient osmotik, glukosa darah, tingkat konsumsi oksigen, dan pertumbuhan. Perkembangan gonad diikuti dengan mengamati histologi gonad (Lampiran 3). Analisis proksimat lemak dan protein daging ikan nila dilakukan pada akhir penelitian. Kualitas air diukur setiap minggu meliputi suhu, ph dan oksigen. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad secara kuantitatif dilakukan pengukuran gonad somatik indek (GSI), diameter telur dan fekunditas. Pengukuran GSI dilakukan dengan cara membedah ikan untuk diambil gonadnya kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik.; gonad diambil sebanyak tiga ekor per perlakuan. Data fekunditas diperoleh dengan menghitung jumlah total telur yang terdapat dalam gonad, sedangkan diameter telur diukur dibawah mikroskop yang dilengkapi mikrometer,

36 36 dengan pembesaran 40x. Jumlah telur yang diamati adalah 100 butir per gonad (300 butir/perlakuan). Rancangan Penelitan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL dua faktor) dengan pola faktorial 3 x 3. Dosis hormon sebagai faktor pertama dengan level konsentrasi 0 ng/g BW, 50 ng/g BW, 100 ng/g BW dan salinitas sebagai faktor kedua dengan level 0 ppt, 10 ppt dan 20 ppt. Keseluruhan percobaan terdiri atas sembilan kombinasi perlakuan, dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga jumlah satuan percobaan sebanyak 27 (Tabel 2). Tabel 2. Perlakuan percobaan kajian reproduksi ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Tiroksin (ng/g BT) Salinitas (ppt) A (T0:S0) B (T0:S10) C (T0:S20) 50 D (T50:S0) E (T50:S10) F (T50:S20) 100 G (T100:S0) H (T100:S10) I (T100:S20) Keterangan : BT = Bobot tubuh Setiap perlakuan menggunakan tiga wadah dan tiap wadah diisi empat ekor ikan sehingga setiap perlakuan terdiri dari 12 ekor ikan. Sebanyak 27 ekor ikan akan diambil setiap 14 hari dengan masing-masing perlakuan sebanyak tiga ekor untuk dilakukan analisa kematangan gonad, diameter telur dan parameter penunjang lainnya. Dimana : Model rancangan penelitian yang digunakan adalah : Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + ijk Yijk = Nilai pengamatan pada faktor ke 1 taraf ke-i, faktor 2 taraf ke-j, dan ulangan ke-k µ = Rata-rata umum ti = Pengaruh faktor 1 (dosis hormon)

37 37 βj = Pengaruh faktor 2 (salinitas) (αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor 1 dan faktor 2 ij = Pengaruh acak yang menyebar normal Parameter Uji yang Diamati Parameter uji yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari parameter utama dan parameter pendukung. Parameter utama berupa diameter oosit, fekunditas, gonad somatik indeks (GSI) dan HSI (hepato somatik indeks). Parameter pendukung berupa pertumbuhan, kadar glukosa darah, gradient osmotik, tingkat konsumsi oksigen (TKO), retensi lemak dan retensi protein. Parameter Utama Penentuan Diameter Oosit Diameter oosit diamati dengan mengambil sampel telur secara acak pada gonad ikan sebanyak 100 butir/ekor. Sampel telur kemudian difiksasi dengan alkohol 70%. Diameter telur diukur menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Sampel telur yang telah diukur dihitung rataannya dan dibuat distribusi frekuensi panjang total dan diameter telur (mm) dengan menggunakan rumus (Mattjik dan Sumertajaya 2000): Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data Menghitung jumlah kelas ukuran dengan rumus : K=1+(3,32 log ); K = jumlah kelas ukuran, n = jumlah data pengamatan. Menghitung rentang data/wilayah (wilayah = data terbesar-data terkecil). Menghitung lebar kelas (lebar kelas = wilayah dibagi dengan jumlah kelas). Menentukan limit bawah kelas bagi selang kelas yang pertama dan limit atas kelasnya. Limit atas kelas diperoleh dengan menambahkan lebar kelas pada limit bawah. Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas Menentukan nilai tengah bagi masing-masing selang dengan merata-ratakan limit atas.

38 38 Fekunditas Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas Menjumlahkan frekuensi dan memastikan apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan serta membuat histogram (Lampiran 6). Fekunditas merupakan jumlah telur yang akan dikeluarkan oleh induk pada saat memijah. Fekunditas dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Keterangan : F = (G x X) Q x W F : Fekunditas (butir telur/kg bobot tubuh) G : Bobot telur individu/gonad (g) X : Jumlah telur sampel (butir) Q : Bobot telur sampel (g) W : Bobot tubuh individu (g) Gonad Somatik Indeks (GSI, %) GSI (%) = Hepato Somatik Indeks (HSI, %) HSI (%) = Bobot gonad Bobot tubuh x 100 Bobot hepato Bobot tubuh x 100 Parameter Pendukung Gradien Osmotik Gradien osmotik dihitung berdasarkan formula yang digunakan oleh Anggoro (1992). Pengukuran gradien osmotik disajikan dalam Lampiran 4. Gradien osmotik dinyatakan sebagai tingkat konsumsi oksogen (TKO). TKO = Osmolaritas darah ikan (mosm/lh 2 O) Osmolaritas media (mosm/lh 2 O).

39 39 Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO s) TKO s diukur dengan menghitung rasio oksigen terlarut pada awal dan akhir penelitian per satuan waktu. Metode pengukuran dengan menggunakan akuarium bervolume 30x30x25 cm. Air diaerasi selama 1 hari sehingga jenuh oksigen. Sebelum ikan dimasukkan kedalam wadah, kandungan oksigen awal dihitung. Selanjutnya satu ekor ikan yang sebelumnya telah dipuasakan selama satu hari ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam wadah. Setelah satu jam, dihitung lagi DO akhirnya. TKO s diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut (Pavlovskii 1964). TKO s = {(DO awal DO akhir)/w x t} x V Keterangan: TKO s : Tingkat konsumsi oksigen (mg O 2 /gr tubuh/jam) DO awal : Oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/l) DO akhir : Oksigen terlarut pada akhir pengamatan (mg/l) W : Berat ikan uji (gr) T : Periode pengamatan (jam) V : Volume air dalam respirometer (L) Kadar Glukosa Darah Pemeriksaan kadar glukosa darah digunakan sebagai indikator stress sekunder akibat perlakuan. Prosedur pengukuran kadar glukosa darah disajikan dalam Lampiran 5. Pengukuran dihitung dengan menggunakan rumus : Keterangan: GD = AbsSp AbsSt x GSt [ GD ] : Konsentrasi glukosa darah (mg/ml) AbsSp AbsSt : Absorbansi sampel : Absorbansi standar [ GSt ] : Konsentrasi glukosa standar (mg/ml)

40 40 Retensi Protein (%) Keterangan : Retensi protein dihitung berdasarkan persamaan (Takeuchi, 1998) RP = Retensi protein (%) F P RL = F I P x 100% = Jumlah lemak tubuh pada awal pemeliharaan = Jumlah protein yang dikonsumsi ikan Retensi Lemak (%) Keterangan : Retensi lemak dihitung berdasarkan persamaan (Takeuchi, 1998) RL = Retensi lemak (%) F P RP = F I P x 100% = Jumlah lemak tubuh pada awal pemeliharaan = Jumlah protein yang dikonsumsi ikan Pertumbuhan ikan Data laju pertumbuhan ikan uji diperoleh dengan melakukan pengambilan ikan uji awal dan akhir penelitian, kemudian ditimbang beratnya. Laju pertumbuhan ikan dianalisa dengan menggunakan rumus berikut : Wt t 1 x 100 Wo Dimana: α = Laju pertumbuhan bobot rerata harian (%) Wt = Bobot rata-rata individu pada waktu t (g) Wo = Bobot rata-rata individu pada waktu t 0 (g) t = Lama percobaan (hari)

41 41 Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dibuat tabulasi kemudian dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji F. Jika pada setiap perlakuan terdapat pengaruh nyata terhadap respon yang diamati dilakukan uji lanjut Duncan. Jika tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) maka semua data akan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik. Sebagai alat bantu untuk pengelolaan data dalam uji statistik digunakan program SPSS 17 (Steel and Torrie 1993).

42 42 HASIL Parameter Utama Parameter utama hasil pengamatan pemberian hormon tiroksin terhadap reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas terdiri dari hepato somatik indeks (HSI, %), diameter telur (DM, mm), gonad somatik indeks (GSI,%), dan fekunditas (FK, butir/ekor). Hepato Somatik Indeks (HSI, %) Perubahan nilai HSI terjadi seiring dengan terjadinya proses sintesis vitelogenin selama perkembangan gonad. Sintesis vitelogenin dalam tubuh ikan terjadi di hati, merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh. Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa persentase nilai HSI terus meningkat dari minggu pertama hingga minggu ke-8 pemeliharaan. Sebagian besar perlakuan mencapai persentase nilai tertinggi (optimal) pada minggu ke-6, kemudian pada beberapa perlakuan mulai terlihat menurun pada minggu ke-8 pemeliharaan. Keterangan: (A) Tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20 Gambar 5. Perkembangan persentase nilai hepato somatik indeks ikan nila merah (Oreochromi sp.) pada masing masing perlakuan selama pemeliharaan (M0-M8 = Minggu ke-0 sampai ke-8)

43 43 Nilai HSI ikan nila meningkat seiring dengan peningkatan salinitas media pemeliharaan hingga 10 ppt, dan menurun apabila dipelihara pada salinitas 20 ppt (Tabel 3). Tabel 3. Nilai rataan hepato somatik indeks (HSI, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin (T 4 ) Salinitas (ppt) (ng/g BT) X 0 0,47+0,106 1,54+0,053 1,33+0,093 1,11+0,084 a 50 1,54+0,121 1,60+0,145 1,43+0,065 1,52+0,110 a 100 1,47+0,109 1,61+0,226 1,38+0,085 1,49+0,140 a X 1,16+0,112 b 1,58+0,141 a 1,38+0,081 b Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh). Persentase nilai HSI meningkat dengan pemberian tiroksin. Pada perlakuan C (T 4 0 ng/g BT, salinitas 0 ppt) mengalami peningkatan dari 1,33+0,093 % menjadi 1,43+0,065 % dengan pemberian T 4 50 ng/g BT (Perlakuan F), namun secara statistik tidak memberikan perbedaan secara nyata antar perlakuan. Hal yang sama terjadi pada kombinasi atau interaksi antara T 4 dengan salinitas (P>0,05). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai HSI ikan nila pada perlakuan C adalah 1,33+ 0,093 % meningkat menjadi 1,54+ 0,053 % pada perlakuan B (T 4 0 ng/g BT, salinitas 10 ppt). Secara statistik menunjukkan bahwa pemeliharaan ikan pada media bersalinitas berpengaruh terhadap nilai HSI (Lampiran 8). Nilai HSI tertinggi diperoleh pada ikan yang dipelihara pada salinitas 10 ppt dengan rataan persentase nilai HSI sebesar 1,58+0,141 %. Pada salinitas 0 ppt dan 20 ppt memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase nilai HSI ikan nila. Diameter Telur Diameter telur merupakan garis tengah telur atau ukuran panjang dari suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala. Dalam satu tingkat kematangan gonad (TKG), diameter telur yang dikandung tidak homogen. Berdasarkan hasil statistik, pemberian interaksi hormon tiroksin dengan pemeliharaan ikan pada beberapa media salinitas tidak memberikan pengaruh nyata terhadap diameter telur ikan nila (P<0,05) (Tabel 4) namun perkembangan

44 44 tiap perlakuan dari minggu ke-2 hingga minggu ke-8 terlihat pola yang terus meningkat. Sebagian besar perlakuan mencapai nilai maksimum pada minggu ke- 6 dan ke-8 (Gambar 6). Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20 Gambar 6. Perkembangan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah (Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan (M0-M8= Minggu ke-0 sampai ke-8). Tabel 4. Nilai rataan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin (T 4 ) Salinitas (ppt) (ng/g BT) ,51+0,030 a 1,51+0,008 a 1,47+0,094 a 50 1,54+0,073 a 1,52+0,018 a 1,50+0,047 a 100 1,52+0,014 a 1,54+0,080 a 1,48+0,024 a Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada P<0,05 Gonad Somatik Indeks (GSI, %) Nilai rataan GSI ikan nila dari masing-masing perlakuan selama pemeliharaan memperlihatkan pola yang terus meningkat hingga minggu ke-6. Pada minggu ke-8, nilai GSI pada sebagian besar perlakuan terlihat mulai menurun (Gambar 7).

45 45 Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20. Gambar 7. Perkembangan perkembangan nilai GSI ikan nila merah (Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan Nilai GSI tertinggi diperoleh pada perlakuan H (T ng/g BT, salinitas 10 ppt) dengan nilai rataan optimal mencapai 2,44+0,181 % (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tiroksin juga dapat meningkatkan nilai GSI, namun tidak berbeda secara statistik. Tabel 5. Nilai rataan gonad somatik indeks (GSI, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin (T 4 ) Salinitas (ppt) (ng/g BT) X 0 3,23+0,856 2,46+0,451 1,59+0,193 2,43+1,500 a 50 2,28+0,155 2,04+0,102 1,64+0,135 1,98+0,131 a 100 1,81+0,181 2,44+0,181 1,87+0,234 2,04+0,305 a X 2,44+0,500 a 1,98+0,131 a 1,70+1,986 b Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh). Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terlihat interaksi antara hormon tiroksin dengan salinitas dalam memberikan pengaruh terhadap nilai GSI ikan nila (P>0,05). Pemeliharaan ikan nila pada media bersalinitas mempengaruhi nilai GSI. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai rataan GSI terendah diperoleh dari ikan yang dipelihara pada salinitas 20 ppt yaitu 1,70+1,986 % dan tertinggi pada ikan yang dipelihara pada salinitas 0 ppt dengan

46 46 rataan nilai GSI 2,44+0,500%, tidak berbeda secara signifikan dengan nilai GSI ikan nila yang dipelihara pada salinitas 10 ppt. Pemberian dosis tiroksin meskipun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai GSI antar perlakuan namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan (Lampian 10). Fekunditas (FK, butir/ekor) Fekunditas merupakan jumlah telur yang akan dikeluarkan ikan pada saat memijah; dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nutrisi, hormon dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa interaksi perlakuan tiroksin dengan salinitas media pemeliharaan terhadap nilai fekunditas adalah berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 6). Tabel 6. Nilai rataan fekunditas (FK, butir/ekor) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin (T 4 ) Salinitas (ppt) (ng/g BT) ,8 bb ,1 ba ,8 bc ,1 bb ,2 ba ,1 bc ,7 ab ,2 aa ,9 ac Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh interaksi perlakuan pada P<0,05. (BT = Bobot tubuh). Pada Tabel 6 terlihat bahwa interaksi perlakuan kombinasi T ng/g BT dan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt terhadap fekunditas rataan optimal 1477 butir/ekor (Perlakuan H) adalah sangat berbeda nyata (P<0,05). Nilai rataan tertinggi selanjutnya berada pada perlakuan G (T ng/g BT, salinitas 10 ppt), diikuti perlakuan E (50, 10), dan fekunditas terendah diperoleh pada perlakuan C (0,20). Pengaruh hormon tiroksin terhadap fekunditas ikan nila mengikuti pola linier dengan persamaan y= 3,114x+811,9 dan nilai r 2 = 0,75. Nilai fekunditas semakin meningkat dengan meningkatnya dosis tiroksin yang diberikan (Gambar 8). Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas mengikuti pola polynomial dengan persamaan y=-3,87x 2 x+2050, artinya nilai fekunditas meningkat seiring dengan peningkatan salinitas hingga 10 ppt dengan mencapai nilai rataan optimal 1477

47 47 butir/ekor dengan nilai r 2 = 0,78 dan penurunan fekunditas terjadi jika peningkatan salinitas mencapai 20 ppt (Gambar 9). Interaksi antara hormon tiroksin dan salintas disajikan pada Gambar 10. Gambar 8. Pengaruh tiroksin terhadap nilai fekunditas ikan nila merah (Oreochromis sp.) Gambar 9. Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas ikan nila merah (Oreochromis sp.)

48 48 Gambar 10. Pengaruh interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap fekunditas ikan nila merah (Oreochromis sp.) Perkembangan Gonad Secara Histologi Perkembangan gonad ikan nila terdiri dari beberapa tingkat yang dapat didasarkan atas pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Struktur histologi perkembangan gonad ikan nila selama pemeliharaan disajikan pada Gambar A

49 49 11B Keterangan: a. Oosit TKG II, euvitelin (eu) dengan granular kuning telur b. Oosit TKG III, granular kuning telur (g) dan butir lemak (oi) c. Oosit TKG IV, inti (n) mulai bergerak ke tepi sel Gambar 11. Struktur histologi ikan nila merah pada perlakuan H (T ng/g BT, salinitas 10 ppt, Gambar 11A) dan kontrol B (T 4 0, 10 ppt, Gambar 11B). Klasifikasi berdasarkan Darwisto (2006). Pada gambar 11Aa dan 11Ba terlihat dimana gonad ikan nila mencapai TKG II (sampling minggu ke-0 dan ke-2) yang ditandai dengan adanya euvitelin; terdapat pada bagian bawah khorion atau luar telur yang belum matang. Pada perlakuan B (Kontrol, T 4 0 ng/g BT, salinitas 10 ppt) masih terlihat adanya oosit kecil (TKG I) yang terdapat dalam lamella. Selanjutnya, pada Gambar 11Ab dan 11Bb tambak oosit mulai membesar dengan butiran lemak yang terlihat jelas serta granula kuning telur yang sudah terbentuk (TKG III); proses vitelogenesis. Pada Gambar 11Ac dan 11Bc telur memasuki tahap akhir (TKG IV); inti sel berada di tepi. Parameter Pendukung Parameter pendukung hasil pengamatan pemberian hormon tiroksin terhadap reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas terdiri dari gradient osmotik (Osmol/kg), tingkat konsumsi oksigen (TKO s, mgo 2 /g tubuh ikan/jam), glukosa darah (mg/dl), retensi protein (RP, %), retensi lemak (RL, %), dan laju pertumbuhan harian (%).

50 50 Gradien Osmotik Selisih antara nilai osmolaritas tubuh dan osmolaritas media pemeliharaan ikan dapat diartikan sebagai nilai gradien osmotik. Osmolaritas tubuh dan media ikan nila disajikan pada Gambar 12. Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20. Gambar 12. Gradien osmotik tubuh dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas Pada gambar 12, dapat dilihat bahwa salinitas 10 ppt merupakan kondisi yang mendekati isoosmotik, dimana konsentrasi tubuh ikan nila mendekati konsentrasi media (Perlakuan B), dengan osmolaritas tubuh 0,365 Osmol/kg, meningkat menjadi 0,401 dengan pemberian tiroksin 100 ng/g bobot tubuh. Pada salinitas 20 ppt, osmolaritas tubuh lebih rendah dengan osmolaritas media (0,298: 0,505). Peningkatan osmolaritas tubuh hingga mencapai 0,401 dengan pemberian tiroksin 100 ng/g BT (Lampiran 7). Tingkat Konsmumsi Oksigen Indikator dari respirasi adalah jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ikan. Tingkat konsumsi oksigen menunjukkan tingkat metabolisme. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila meningkat apabila dipelihara pada salinitas 20 ppt (Tabel 7).

51 51 Tabel 7. Nilai rataan tingkat konsumsi oksigen (TKO s, mgo 2 /g tubuh/jam) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin Salinitas (ppt) (ng/g BT) X 0 0,300+0,0144 0,304+0,0281 0,280+0,0204 0,884+0,0629 a 50 0,269+0,0139 0,312+0,0127 0,298+0,0250 0,879+0,0172 a 100 0,288+0,1212 0,317+0,0248 0,300+0,0104 0,453+0,0521 a X 0,286+0,0186 b 0,311+0,0218 a 0,293+0,0186 ab Huruf yang berbeda pada kolom dan bari yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada P<0,05. (BT= bobot tubuh). Dari Tabel 7 terlihat bahwa tingkat konsumsi oksigen tidak dipengaruhi oleh dosis tiroksin yang diberikan pada induk ikan nila. Demikian pula tidak ada pengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen dari interaksi antar perlakuan tiroksin dan salinitas. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila dipengaruhi oleh salinitas (P<0,05), dengan rataan tertinggi diperoleh pada ikan yang dipelihara pada salinitas 10 ppt yaitu 0,311+0,0218 mgo 2 /g tubuh/jam, diikuti salinitas 20 dan menurun pada salinitas 0 ppt. Glukosa Darah Glukosa darah merupakan indikasi umum yang digunakan untuk mengetahui tingkat stres pada ikan. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat stres pada ikan. Glukosa darah ikan nila selama pemeliharaan menunjukkan pola naik turun. Pada sebagian besar perlakuan, kadar glukosa darah menurun seiring dengan lamanya waktu pemeliharaan. Kadar glukosa darah ikan nila selama penelitian disajikan pada Tabel 8.

52 52 Tabel 8. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas selama pemeliharaan Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rataan A (T 4 0,0ppt) 101,225 76,99 52,752 99,42 82,60 B (T 4 0,10ppt) 93,578 76,339 52,27 42,251 64,27 C (T 4 0,20 ppt) 142, , , , ,42 D (T 4 50,0ppt) 99,29 95,657 46,039 43,119 71,03 E (T 4 50,10ppt) 90,559 86,022 77,642 44,934 84,74 F (T 4 50,20ppt) 156, ,22 105,921 97, ,72 G (T 4 100,0ppt) 90,25 159,908 89, ,08 H (T 4 100,10ppt) 90,826 82,95 41,921 34,89 62,65 I (T 4 100,20ppt) 143, ,798 99,705 64,52 103,77 Glukosa darah tertinggi diperoleh pada perlakuan C (T 4 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 20 ppt) dengan nilai rataan 109,908 mg/dl, diikuti perlakuan F (50, 20) yaitu 97,934 dan terendah diperoleh pada perlakuan H (0, 20) dengan nilai rataan 62,65 (Gambar 13). Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20. Gambar 13. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas

53 53 Retensi Protein Retensi protein menunjukkan kemampuan ikan dalam menyimpan dan menggunakan protein pakan. Hasil statistik menunjukkan bahwa kombinasi atau interaksi antar perlakuan tiroksin dengan salinitas memberikan pengaruh secara signifikan terhadap nilai retensi protein (P<0,05). Kombinasi T ng/g bobot tubuh dengan media salinitas 10 ppt (Perlakuan H) merupakan perlakuan yang memberikan nilai retensi protein terbaik yaitu 19,50+0,558 % (Tabel 9; Gambar 16). Tabel 9. Nilai rataan retensi protein (RP, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin Salinitas (ppt) (ng/g bobot tubuh) ,16+0,056 ca 17,22+0,021 ca 16,99+0,099 cb 50 18,26+0,558 ba 18,28+0,615 ba 17,19+0,106 bb ,01+0,198 aa 19,50+0,558 aa 17,82+0,184 Ab Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh interaksi perlakuan pada P<0,05 Pengaruh hormon tiroksin terhadap nilai retensi protein ikan nila memberi kurva respon linier dengan persamaan y = 0,107x+17,07 dengan nilar r 2 0,99, Artinya nilai retensi protein meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi tiroksin yang diberikan (Gambar 14). Gambar 14. Pengaruh pemberian tiroksin terhadap nilai retensi protein ikan nila merah (Oreochromis sp.)

54 54 Pengaruh salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila memberi kurva respon polynomial kuadratik dengan persamaan mengikuti y=0,001x 2 +0,019x+17,16. Artinya, nilai retensi protein meningkat seiring dengan peningkatan media salinitas 10 ppt serta mencapai nilai optimal retensi lemak sebesar 19,50 %. Penurunan retensi protein menurun dengan meningkatnya salinitas hingga 20 ppt dengan nilai retensi mencapai 16,99% (Gambar 15). Gambar 15. Pengaruh media salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila merah (Oreochromis sp.) Gambar 16. Interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila merah (Oreochromis sp.) Retensi Lemak Kemampuan ikan dalam memanfaatkan pakan dapat diartikan sebagai nilai retensi lemak. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa interaksi antara tiroksin dan salinitas antar perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai retensi lemak ikan nila. Retensi lemak ikan nila tidak dipengaruhi oleh faktor

55 55 lingkungan (salinitas), tetapi berbeda nyata antar perlakuan yang diberi tiroksin (Tabel 10). Tabel 10. Nilai rataan retensi lemak (RL, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin (T 4 ) Salinitas (ng/g BT) X 0 11,66+0,869 11,79+1,301 9,64+0,743 11,67 c 50 16,99+1,808 16,85+0,869 14,85+0,502 16,83 c ,22+3,359 22,57+2,489 20,06+0,183 21,62 a X 16,96+2,012 a 17,07+1,553 a 14,85+0,476 a Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh). Pemberian tiroksin secara signifikan memberikan pengaruh yang nyata dengan mengikuti pola semakin meningkat retensi lemak ikan dengan semakin tingginya konsentrasi dosis tiroksin yang diberikan. Retensi lemak tertinggi diperoleh pada ikan yang diberikan tiroksin 10 ng/g BT dengan persentase nilai mencapai 21,62 %, diikuti perlakuan dengan pemberian tiroksin 50. Nilai retensi terendah diperoleh pada ikan yang tanpa diberikan tiroksin dengan nilai rataan sebesar 11, 67 %. Pertumbuhan Harian (PH, %) Selama 56 hari perlakuan pemberian tiroksin dan pemeliharaan pada beberapa media salinitas tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan harian ikan nila (Oreochromis sp.) (Tabel 11) Tabel 11. Nilai rataan pertumbuhan harian ( %) ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas Tiroksin (T 4 ) Salinitas (ng/g BT) ,76+0,142 a 0,77+0,117 a 0,54+0,235 a 50 0,77+0,250 a 0,77+0,204 a 0,72+0,418 a 100 0,76+0,246 a 0,79+0,260 a 0,75+0,530 a Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).

56 56 Pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan H (pemberian tiroksin 100 ngt 4 dan pemeliharaan pada salinitas 10 ppt) dengan nilai pertumbuhan 0,79% dan terendah diperoleh pada perlakuan C (pemeliharaan salinitas 20 ppt tanpa pemberian tiroksin) (Gambar 17). Keterangan: (A) Tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20 Gambar 17. Pertumbuhan harian ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas

57 57 PEMBAHASAN Selama proses reproduksi, sebagian besar aktivitas tertuju pada perkembangan gonad sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pada gonad itu sendiri. Hasil pengamatan parameter utama menunjukkan bahwa perbedaan salinitas media dan dosis tiroksin dapat merespon kinerja reproduksi ikan nila merah (Oreochromis sp.). Kombinasi antara tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan pemeliharaan pada salinitas 10 ppt (perlakuan H) memberikan respon terbaik terhadap nilai fekunditas dengan nilai rataan optimal 1447 butir/ekor, diikuti oleh perlakuan E (T 4 0, salinitas 10). Salinitas terendah diperoleh pada perlakuan C (T 4 0, salinitas 20 ppt) (Tabel 6). Perkembangan gonad dimulai dari proses vitelogenesis atau induksi dan sintesis vitelogenin. Sintesis vitelogenin dalam tubuh ikan berlangsung di hati. Vitelogenin adalah bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh sehingga menyebabkan nilai HSI terus meningkat. Persentase nilai HSI pada tiap-tiap perlakuan menunjukkan pola yang terus meningkat hingga minggu ke-8 pemeliharaan, dengan nilai maksimum dicapai pada minggu ke-6 (Gambar 5). Hal ini diduga bahwa pada minggu ke-6 merupakan waktu dimana terjadi proses sintesis vitelogenesis tertinggi. Peningkatan persentase HSI ikan diikuti oleh peningkatan diameter telur dan persentase nilai GSI. Menurut Tam (1986), pada saat menjelang ovulasi akan terjadi peningkatan diameter oosit karena diisi oleh masa kuning telur yang homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin sehingga menyebabkan nilai GSI ikan meningkat. Pada saat proses vitelogenesis berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya sehingga volume oosit membesar. Proses vitelogenesis dibawah pengaruh hormon-hormon pituitari, sel folikel melepaskan estrogen ke dalam aliran darah kemudian memasuki sel sasaran (hati). Beberapa hormon yang terlibat dalam pertumbuhan oosit (perkembangan gonad) adalah gonadotropin (Estrogen, FSH; follicle stimulating hormone), GH (growth hormon), insulin, tetraiodotironin dan hormon tiroksin. Ayson dan Lam (1993) menambahkan bahwa hormon T 3 dan T 4

58 58 dalam plasma induk akan ditransfer ke dalam telur dan kemudiat ke dalam kantung kuning telur (yolksac) larva. Perkembangan gonad terjadi secara makroskopik dan mikroskopik (histologi). Histologi gonad menunjukkan tingkat kematangan gonad dari ikan nila. Pada Gambar 11Aa dan 11Ba merupakan histologi awal sebelum dimulai, yaitu pada TKG II. Pada Gambar tersebut tampak kondisi oosit yang tidak seragam, karena ikan nila termasuk partial spawner yang mengeluarkan telur tidak sekaligus melainkan secara bertahap. Selanjutnya pada gambar 11Ab dan 11Bbb, terlihat jelas oosit mulai tumbuh berkembang dan tampak diameter mulai membesar (TKG III). Pada tahap ini mulai terjadi proses vitelogenesis atau fase akumulasi kuning telur. Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu. Pada gambar 11Ac dan 11Bc tampak telur memasuki tahap akhir yang ditandai dengan posisi inti sel yang berada di tepi (TKG IV), yang berarti bahwa ikan siap dipijahkan. Induk yang siap dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur dan masuk ke tahap dorman. Bila mana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia maka telur dorman tersebut akan mengalami degradasi (rusak) lalu diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia. Matty (1985) menyatakan bahwa penyerapan vitelogenin oleh oosit dibantu oleh hormon gonadotropin dan tiroksin. Perkembangan gonad selain dipengaruhi oleh hormon, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti salinitas dan tingkat konsumsi oksigen. Salinitas erat kaitannya dengan tekanan osmotik ikan. Pengaruh tekanan osmotik pada pertumbuhan dan reproduksi dapat terjadi melalui osmoregulasi, upaya ikan dalam menyeimbangkan konsentrasi cairan tubuh dengan media lingkungan. Ikan mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, sehingga ikan harus mencegah kelebihan dan kekurangan air agar proses-proses fisiologi di dalam tubuh dapat berlangsung normal. Tiroksin merupakan salah satu hormon yang berperan dalam proses osmoregulasi.

59 59 Pengaruh tiroksin terhadap pengaturan gradien osmotik tubuh dan media terjadi melalui mekanisme pertukaran ion dalam sel klorida epitel insang. Tiroksin mempengaruhi aktivitas enzim NA + /K + ATP-ase sehingga terjadi peningkatan aktivitas natrium akibat meningkatnya konsumsi oksigen. Dari hasil penelitian (Gambar 11) terlihat bahwa ikan yang dipelihara pada media air tawar, pemberian tiroksin rendah (50 ng/gr bobot tubuh) tidak berpengaruh terhadap pengaturan osmotik tubuh. Hal yang berbeda terjadi pada ikan yang dipelihara pada salinitas 10 dan 20 ppt. Semakin tinggi dosis yang diberikan, ion atau konsentrasi tubuh ikan semakin mendekati konsentrasi media. Pemberian hormon tiroid (T 3 ) dan T 4 20, 40 dan 80 ng/gr bobot tubuh mampu meningkatkan aktivitas enzim Na + /K + ATP-ase tetapi menurun pada dosis >120 ng/gr bobot tubuh (Peter et al. 2000). Aktivitas Na + /K + ATP-ase lebih berperan pada ikan yang diadaptasikan ke air laut. Pendapat ini sesuai dengan penelitian Turned and Bagnara (1976), pada usus ikan yang dipelihara di air tawar sedikit peran Na + K + ATP-ase untuk aktivitas transport natrium ke dalam darah dari lumen usus, tetapi aktivitas Na + K + ATP-ase berperan pada ikan yang diadaptasikan ke air laut. Pada ikan air laut, air yang ditelan diangkut secara pasif selanjutnya diikuti dengan pengambilan secara aktif ion-ion oleh usus. Ion masuk ke dalam sel diperantarai oleh reseptor hormon tiroid yang terdapat pada inti sel. Hormon tiroid dapat menyebabkan kebocoran pada membran sel sehingga memudahkan masuknya Na/K + APT-ase yang menyebabkan meningkatnya transport ion ke dalam tubuh. Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan reproduksi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung salinitas adalah efek osmotiknya terhadap osmoregulasi, dan kemampuan mencerna serta mengabsorbsi nutrien pakan. Sedangkan secara tidak langsung, salinitas mempengaruhi organisme akuatik melalui perubahan kualitas air. Dalam kaitannya dengan osmoregulasi, Jobling (1994) menjelaskan bahwa pembelanjaan energi untuk osmoregulasi dapat ditekan apabila ikan dipelihara pada media yang isosmotik, sehingga pemanfaatan pakan menjadi efisien dan penggunaan untuk pertumbuhan dan reproduks ikan dapat meningkat

60 60 Dari Gambar 12 tampak bahwa media pemeliharaan salinitas 10 ppt adalah media yang cocok untuk pemeliharaan ikan nila. Hal ini menunjukkan bahwa salinitas 10 ppt merupakan media yang mendekati kondisi isoosmotik untuk kehidupan ikan nila sehingga proses fisiologis tubuh dapat berjalan dengan normal. Penambahan tiroksin berpengaruh terhadap pengaturan konsentrasi ion tubuh oleh ikan. Hal ini terlihat dari kondisi osmolaritas tubuh yang semakin mendekati kondisi osmolaritas media. Hal yang sama juga terjadi pada ikan dengan penambahan tiroksin pada media bersalinitas 20 ppt. Pada salinitas 20 ppt tanpa pemberian hormon tiroksin (Perlakuan C), tingkat kerja osmotik yang rendah yaitu 0,298 Osmol/L H2O, sedangkan osmolaritas medianya tinggi yaitu sebesar 0,505 Osmol/L. Pemberian tiroksin 100 ng/gr bobot tubuh mampu meningkatkan kerja osmotik hingga mencapai 0,401 Osmol/kg atau keadaan mendekati kisaran isoosmotik. Berdasarkan data hasil pengamatan (Tabel 6), fekunditas meningkat jika ikan diberikan tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dibandingkan dengan fekunditas ikan yang dipelihara pada media air tawar. Ikan yang dipelihara dalam kondisi isoosmotik akan diuntungkan karena adanya penghematan energi sehingga kebutuhan energi tersedia untuk pertumbuhan dan reproduksi meningkat (Baldisserotto et al. 2007). Saoud et a.l (2007) mengemukakan bahwa aktivitas tertinggi Na + K + -ATPase oleh insang diperoleh pada ikan yang dipelihara pada media salinitas 10 ppt dan secara signifikan menurun pada pemeliharaan salinitas 35 ppt. Tekanan tingkat kerja osmotik berpengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen dan dan kadar glukoda darah (Gambar 13). Ikan yang dipelihara pada media salinitas 20 ppt terlihat adanya peningkatan konsumsi oksigen dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada media salinitas 0 ppt. Hal ini diduga karena adanya pengaruh respon stres (glukosa darah) terhadap perubahan lingkungan dalam hal ini adalah peningkatan media salinitas sehingga ikan harus mengkonsumsi oksigen untuk digunakan dalam proses metabolisme atau pembakaran zat-zat makanan dalam tubuh ikan dan aktivitas fisiologi lainnya sehingga memungkinan ikan dapat bertahan hidup. Energi yang diperoleh dari hasil metabolisme diperlukan tubuh untuk proses aktivitas tubuh seperti renang, pertumbuhan dan reproduksi. Selain berpengaruh terhadap tingkat konsumsi

61 61 oksigen, gradien osmotik juga turut berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. Okoth et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan gaeram dapur (Nacl) dapat mengurangi kondisi stress pada ikan. Namun pada tingkat tertentu dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Perubahan kadar glukosa darah selama penelitian terus terjadi (Tabel 8). Pada minggu kedua setelah perlakuan penurunan kadar glukosa mulai terlihat pada masing-masing perlakuan. Penurunan tingkat stres kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena hewan telah mengalami proses adaptasi sehingga tidak lagi merasakan adanya stres. Adaptasi tersebut terjadi karena ikan telah mengalami suatu proses tanggapan fisiologi akibat stres yang berulang (Clark et al. 1977). Stres juga menurunkan kemampuan imunitas yang akan berdampak buruk pada pertumbuhan dan reproduksi. Peningkatan salinitas hingga 20 ppt menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Tingginya kadar glukosa darah mengindikasikan tingginya tingkat stres akibat meningkatnya salinitas media. Pada umumnya stres dirangsang oleh sistem neuroendokrin secara bertingkat dengan melibatkan sekresi katekolamin (Zairin 2003). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Porchas et al (2009), stres melibatkan sistem endokrin dalam pengaturan sistem tubuh oleh hipotalamus. Pada kondisi stres sel kromafin akan melepaskan hormon katekolamin dan ACTH yang merupakan hormon stres yang berhubungan dengan mobilisasi kortisol dan peningkatan glukosa darah. Respon stres sekunder selain meningkatkan kadar glukosa darah, dapat menghambat sintesis protein, mempengaruhi keseimbangan hidromineral yang menyebabkan kelebihan air pada ikan yang hidup di air tawar dan kehilangan air pada ikan yang hidup di air laut, mengganggu sistem imunitas, berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Mezeaud dan Mazeaud 1981). Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat dan tetap berada pada tingkat yang tinggi akan diikuti oleh kematian ikan (Brown 1993). Untuk faktor nutrisi, pakan yang dimakan oleh ikan bergantung pada kemampuan sensor ikan untuk mendeteksi pakan, kemampuan untuk menangkap dan memakan pakan, serta kemampuan fisiologis (biokimia) untuk mencerna dan mengubahnya menjadi nutrien yang bisa diserap, predator, kompetitor, plankton dan sebagainya (Pengaruh hormon tiroksin secara tidak langsung melalui retensi

62 62 protein dan lemak) (Kestemont and Baras 2001). Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa interaksi antara tiroksin dan salinitas memberikan pengaruh terhadap terhadap nilai retensi protein dengan nilai tertinggi diperoleh pada kombinasi tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt dengan nilai retensi rataan adalah 19,05%). Tabel 10 terlihat bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap nilai retensi lemak, namun pemberian tiroksin dapat meningkatkan nilai retensi lemak (P<0,05). Retensi lemak tertinggi diperoleh pada ikan yang diberikan tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan rataan nilai mencapai 21,65% dan terendah pada ikan yang tidak diberikan hormon tiroksin dengan rataan nilai 11,67%. Pengaruh tiroksin terhadap retensi protein dan lemak melalui peningkatan enzim pencernaan protease dan lipase sehingga ikan dapat menstimulasi kecernaan protein dan meningkatkan absorbsi asam amino serta asam lemak melalui usus (Woo et al. 1991; Handayani 1997). Pengaruh tiroksin terhadap metabolisme karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti status nutrisi, dosis hormon, cara pemberian hormon, temperatur, umur ikan dan salinitas. Reproduksi membutuhkan lebih dari sekedar produksi gamet namun juga membutuhkan pengembangan seksual sekunder. Semua ini membutuhkan energi tambahan, selain untuk produksi gamet. Peningkatan kebutuhan untuk reproduksi bisa diperkirakan melalui jumlah progeni yang diproduksi per unit pakan yang dikonsumsi, namun akan ada pengurangan energi untuk ketahanan dan pertumbuhan somatik. Apabila pakan mengandung energi yang rendah, maka ikan mempergunakan sebagian protein untuk memenuhi kebutuhan energinya sehingga jumlah protein yang dapat dimanfaatkan untuk reproduksi menjadi berkurang. Energi diperoleh dari pemanfaatan lemak dan protein pakan dan diperuntukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh dan reproduksi. Protein merupakan komponen dominan kuning telur. Protein dengan proporsi yang tinggi diubah menjadi asam amino dan sebagian di konsumsi untuk menghasilkan energi. Calow (1985); Sibly dan Calow (1986), menyatakan bahwa pada ikan dewasa, sebagian besar energi yg diperoleh digunakan untuk kegiatan reproduksi. Nutrien dan asupan pakan yang digunakan untuk reproduksi berasal dari lemak dan protein. Fungsi keduanya adalah untuk pembentukan vitelogenesis,

63 63 gonadogenesis, fekunditas, hormon dan enzim (Tylor dan Calow 1985). Aristizabal (2007) menambahkan bahwa selain protein, lemak merupakan komponen kedua bahan kering telur ikan. Bagian utama cadangan lemak kuning telur digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sisanya disimpan dalam bentuk embrio. Aristizabal (2007) mengatakan pada ikan diperoleh dua jenis bentuk penyimpanan energi yaitu untuk pertumbuhan dan reproduksi, dimana proses reproduksi merupakan bentuk penyimpanan energi yang dapat diukur berdasarkan energi yang terdapat pada gonad (ovari). Belanja energi pada ikan untuk reproduksi dipengaruhi oleh jenis, usia dan ukuran ikan. Penyimpanan dan pembelanjaan energi pada ikan: selama masa recovery seluruh net energi dipergunakan untuk proses pembentukan gonad (ovaries), Selain gonad, beberapa tempat yang menjadi deposit energi untuk proses pemijahan adalah hati, otot, serta lemak di rongga perut. Alokasi energi yang diperoleh ikan melalui asupan pakan, digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Berdasarkan analisis ragam, pemberian tiroksin dan pemeliharaan ikan pada media bersalinitas serta interaksi antara keduanya tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan ikan nila. Namun demikian, masih terlihat peningkatan bobot tubuh meskipun dengan nilai yang sangat kecil (Tabel 11). Hal ini didiuga karena pada ikan-ikan yang matang gonas, sebagian besar energi digunakan untuk reproduksi. Kestemont et al. (2001) mengemukakan bahwa pematangan gonad sering dihubungkan dengan penurunan pertumbuhan somatik dan pengambilan makanan. Meningkatnya proses reproduksi akan mengakibatkan terjadi usaha untuk meningkatkan produksi anakan dari tiap makanan yang dikonsumsi. Proses ini akan menyebabkan terjadinya penurunan biaya energi yang diperuntukan untuk perawatan tubuh dan untuk pertumbuhan somatik. Hal ini didukung oleh pendapat Jobling (1994) bahwa ukuran tubuh merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan kebutuhan energi pada ikan. Banyak studi kasus yang menjelaskan bahwa rata-rata pertumbuhan relatif menurun dengan peningkatan ukuran tubuh.

64 64 DAFTAR PUSTAKA Affandi, Tang M Biologi reproduksi ikan. Unri Press. Pekanbaru Ayson FG, Lam TJ Thyroxine injection of female rabbitfish (Siganus gittatus) Broodstock. Change in thyroid levels ini plasma, eggs, and yolksac-larvae and its effect on larval growth and survival. Aquaculture, 221: Ainun RN Pengaruh salinitas berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nila gift yang dipelihara dalam wadah terkontrol [Tesis]. Program Studi Budidaya Perairan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Tadulako. Aristizabal EO Energy investment in the annual reproduction cycle of female red porgy, Pagrus pagrus (L.). Marine Biology, 152: Baldisserotto B, Miguel J, Kapoor BG Fish osmoregulation. Science Publisher. USA. Bernier JN The corticotrophin realizing faktor system as a mediator of the appetite suppressing effects of stress in fish. General and comparative endocrinology, 146: Bernier JN, Kraak GVD, Farerell AP, Brauner CJ Fish endocrinology. Elsevier Academic Press. Amisterdam, Netherlands. Brett, J.R Environmental factors and growth. pp Dalam WS Hoar, DJ Randall & JR Brett (Editor) Fish Physiology. Academic Press, New York. Calow P Adaptive aspects of energy allocation. Environmental Biology of Fishes, 65: Cedra J, Calman BG, Lafleur Jr, Limesand S Pattern of vitellogenesis and follicle maturation competence during the ovarian follicular cycle of Fundulus heteroclitus. Comparative Endocrinology, 103: Choksi YN, Jahnke DG, Hilaire SC, Shelby M Role of thyroid in human and laboratory animal reproduction health. National Institute of Environmental Healt Science, North Carolina. Clark JD, Rager DR, Calpin JP Animal well-being II: stress and distress. Lab Animal Science, 47: Cooke S. Paul Reproductive effect of thyroid hormone signaling disruption. Department of Veterinary Biosciences, 61 :

65 65 Dadzie S, Wangila BCC Reproductive biology, length-weight relationship and relative condition of pond raised Tilapia zilli. 17 : Darwisto S Kinerja reproduksi ikan nila Oreochromis niloticus) yang mendapat tambahan minyak ikan dan vitamin E dalam pakan yang dipelihara pada salinitas media berbeda [Disertasi]. Program Studi Pascasarjana, Institut Pertanian Borgor. Diaz RJ Overview of Hypoxia around the World. Journal of Environmental Quality, vol 30 no 2. Djojosoebagio S Fisiologi kelenjar endokrin. UI Press, Jakarta. Effendi H Telaah kualitas air. Kanisius. Yogyakarta Finstad AG, Berg OK, Langeland A and Lohrmann A Reproductive investment and energy allocation in an alpine arctic charr, Salvelinus alpines, population. Environmental Biology of Fishes, 65: Fujaya Y Fisiologi ikan: Dasar pengembangan teknik perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. Handayani S Dosis optimum 3,5,3 -Triiodotironin (T 3 ) dalam pakan untuk pertumbuhan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lacepede). [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harvey JG Atmosphere and Ocean Our Fluid Environments. Cambridgeshire. Jannini EA, Ulisse S and D Armiento M Thyroid hormone and male gonadal function. Endocrinology review 16: Kestemont P, Baras E Environmental factors and feed intake; mechanism and interaction. In Houlihan D, Boujard T, Jobling ME; food intake in fish. Blackwell, Oxford, pp: Khairuman dan Amri Buku pintar budidaya 15 ikan konsumsi. AgroMedia Pustaka. Jakarta. KKP, Konsumsi ikan Kementrian Kelautan dan Perikanan. Koda MI Maskulinisasi benih ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berbeda umur dengan hormon 17-metil testosterone dan aklimatisasinya pada media salinitas air laut [Tesis]. FPIK Manado. Kordi GMH Budidaya ikan nila di tambak system monosex kultur. Effhar dan Dahara Prize. Semarang.

66 66 Kusnadi T, Bani WK Budidaya ikan nila. PT Setia Purna Inves, Jakarta. Lam TJ Induced spawning in fish. Oceanic institute and Tungkang Marine Labboratory. Mahajan S, Tuteja N Cold, salinity and drought stresses; An overview. Archives of Biochemistry and Biophysics, 444: Marcel MP, Cordova, Enriques Cortisol and glucose; reliable indicators of fish stress. America Journal of Aquatic Sciences,4: Mattjik AA, Sumertaja IM Perancangan percobaan degan aplikasi SAS dan minitab. IPB Press, Bogor. Matty AJ Fish endocrinology. Timber Press. Australia. Mazeaud MM, F Mazeaud Adrenegric responses to stress in fish. p: In Pickering AD. Stress and fish. Academic Press, London. Mege AR Kajian fisiologi ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang dipelihara pada beberapa kondisi salinitas. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mendozaa CA, McAndrewa BJ, Cowardb, Bromage N Reproductive response of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) to photoperiodic manipulation; effects on spawning periodicity, fecundity and egg size. Aquaculture, 231: Murua H, Kraus G Procedur to estimate fecundity of marine fish spesies in relation ti their reproductive strategy. Aquaculture, 33: Okoth EO, Cherop L, Ngungi CC, Boit CV, Sabwa JA, Lusega DM, Karisa CH Survival and physiological response of Labeo victorianus juveniles to transport stress under a salinity gradient. Aquaculture, 103: Pavloskii EN Teqnique for the investigation of fish physiology. Israel: Program Scientific translation Ltd. Peter MC, Lock RAC, Bonga EW Evidence for an osmoregulatory role thyroid hormones in the freshwater Mozambique Tilapia Oreochromis mossambicus.. General and comparative endocrinology, 120: Piliang WG, Djojosoebagio Nutrisi vitamin. Vol I. Institut Pertanian Bogor. Saoud IP, Kreydiyyeh S, Chalfoun A, Fakih M Influence of salinity on survival, growth, plasma osmolality and gill Na + K + -ATPase activity in the rabbitfish Siganus rivulatus. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 348:

67 67 Santos GA, Schrama JW, Mamauag REP, Rambout JHWM, Verreth JAJ Chronic stress impairs performance, energy metabolism and welfare indicators in European seabass; The combined effects of fish crowding and water quality deterioration. Aquaculture 299: Schreck BC, Sanchez C, Fitzaptrick SM Effects of stress on fish reproduction, gamete quality and progeny. Aquaculture 197: Sechman A, Pawlowska K, Rzasa J Influence of triiodothyronine (T 3 ) on secretion of steroids and thyroid hormone receptor expression in chicken ovarian follicles. Domestic Animal endocrinology, 37: Sibly RM, Colow P Physiological ecology of animals. Backwell ScientiWc, Oxford. Hal 179. Smith LS Introduction to fish physiology. T.F.H Publication. 350 h. Stell RD G, Torrie JH Principles and procedur of statistic. McGraw Hill. London Sudarto Pertumbuhan ikan nila merah (Oreochromis sp) dalam pemeliharaan semi intensif, intensif di kolam pekarangan. Bull. Panel. Perikanan Darat, BALIKNWAR Bogor. Robertson HA, Falconer IR Reproduction and thyroid activity. General and comparative endocrinology, 22: Rustidja Breedeng dan reproduksi hewan air pemijahan ikan-ikan tropis. Universitas Briwijaya. Malang. Takeuchi T Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrient h. In Watanabe. Fish nutrient and mariculture. Kanagawa Fisheries Training Centre. JICA, Tokyo. Tengjaroenkul SC, Smith AS Distribution of intestinal enzyme activities along the intestinal tract of cultured Nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture 182 : Toelihere RM Fisiologi reproduksi pada ternak. PT Angkas. Bandung. Turner CD, JT Bagnara General endocrinology. WB Saunder Company. Philadelphia. Tytler P, Calow P Fish energetic. Croom Helm, London. Wardoyo SE Effect of different salinity levels and acclimation regimes on spawning success and fecundity of three straints of Tilapia nilotica and red T. nilotica hybrid. J. Panel. Budidaya Pantai.

68 68 Watanabe WO, Kuo CM, Observation on the reproductive performance on nile Tilapia (Oreoxhromis niloticus) in laboratory aquaria at various salinities. Aquaculture, 49: Woo NY, SB Chung, TB Ng Influence of oral administration of triiodothyronine on growth, digestion, food conversion and metabolism in the underyearling red and sea bream (Crysophrys major). Fish Biology, 39: Zairin M Jr Endokrinologi dan peranannya bagi masa depan perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

69 69 Lampiran 1. Tata letak wadah percobaan dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) P1U2 P7U3 P8U2 P5U3 P9U3 P7U2 P3U3 P6U1 P2U1 P5U2 P1U3 P2U3 P9U1 P6U3 P4U3 P8U3 FILTER P4U2 P1U1 P5U1 P9U2 P8U1 P7U1 PIPA INLET TANDON P4U1 P3U2 P6U2 P3U1 P2U1

70 70 Keterangan : P1U1 = Perlakuan 1 ulangan ke-1 P1U2 = Perlakuan 1 ulangan ke-2 P1U3 = Perlakuan 1 ulangan ke-3 P2U1 = Perlakuan 2 ulangan ke-1 P2U2 = Perlakuan 2 ulangan ke-2 P2U3 = Perlakuan 2 ulangan ke-3 P3U1 = Perlakuan 3 ulangan ke-1 P3U2 = Perlakuan 3 ulangan ke-2 P3U3 = Perlakuan 3 ulangan ke-3 P4U1 = Perlakuan 4 ulangan ke-1 P4U2 = Perlakuan 4 ulangan ke-2 P4U3 = Perlakuan 4 ulangan ke-3 P5U1 = Perlakuan 5 ulangan ke-1 P5U2 = Perlakuan 5 ulangan ke-2 P5U3 = Perlakuan 5 ulangan ke-3 P6U1 = Perlakuan 6 ulangan ke-1 P6U2 = Perlakuan 6 ulangan ke-2 P6U3 = Perlakuan 6 ulangan ke-3 P7U1 = Perlakuan 7 ulangan ke-1 P7U2 = Perlakuan 7 ulangan ke-2 P7U3 = Perlakuan 7 ulangan ke-3 P8U1 = Perlakuan 8 ulangan ke-1 P8U2 = Perlakuan 8 ulangan ke-2 P8U3 = Perlakuan 8 ulangan ke-3 P9U1 = Perlakuan 9 ulangan ke-1 P9U2 = Perlakuan 9 ulangan ke-2 P9U3 = Perlakuan 9 ulangan ke-3

71 71 Lampiran 2. Dokumentasi wadah penelitian A B

72 72 Lampiran 3. Prosedur Histologi Gonad 1. Sampel atau jaringan dimasukkan kedalam larutan fiksasi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan mengawetkan jaringan. Larutan fiksatif. Fiksatif yang digunakan adalah buuin dan paraformaldehide 4 %. Sebelum perendaman dilakukan, jaringan gonad disayat-sayat terlebih dahulu dengan tujuan agar larutan fiksasif tersebut dapat masuk didalam jaringan secara merata. 2. Dehidrasi; Sampel dipindahkan secara bertahap kedalam alkohol 70%, 80%, 90% dan 95%, masing-masing selama 24 jam. Setelah itu, sampel dipindahkan kedalam alcohol 100% selama semalam. 3. Clearing; Sampel dipindahkan kedalam alcohol 100% baru selama 1 jam. Setelah itu dipindahkan dalam alcohol xyloi : paraffin (1:1) selama tiga perempat jam (didalam oven) pada suhu o C. 4. Embedding; Sampel dipindahkan kedalam paraffin I, II dan paraffin III, masing-masing selama tigaperempat jam. 5. Blocking; Sampel dikeluarkan dari paraffin lalu dicetak dalam cetakan dan didiamkan selama semalam. 6. Pemotongan jaringan; Sampel dipotong setebal 5-6µm, selanjutnya potongan sampel diapungkan dalam air agar sampel jaringan terenggang. Dengan gelas benda yang bersih sampel jaringan diangkat dari air. 7. Pewarnaan jaringan; Setelah disayat maka dilakukan proses hidrasi. Gelas benda berisi berisi jaringan dimasukkan dalam xylol I, xylol II, alcohol 100%, 95%, 90%, 80% dan 70% masing-masing selama 3 menit. Setelah itu dicuci 2 kali. Selanjutnya diwarnai dengan hematoxylin selama tujuh menit, cuci dengan air, kemudian dicuci dengan cosin dan dicuci lagi dengan air selama beberapa detik. Setelah dicuci kembali dilakukan dehidrasi. Caranya yaitu memasukkan gelas benda yang berisi jaringan dalam alcohol 70%, 85%, 90%, 100%, xylol, masing-masing selama 2 menit.

73 73 8. Selanjutnya ditetesi dengan Canada balsam atau Entellan dan langsung ditutup dengan gelas tutup. Sampel dibiarkan semalaman agar kering dan tidak ada udara antara gelas tutup dan gelas benda. Selanjutnya sampel dapat diamati dibawah mikroskop.

74 74 Lampiran 4. Prosedur pengukuran gradien osmotik 1. Menyalakan main power (terletak dibelakang dekat kabel main power) 2. Posisi handle sampel di atas 3. Pemanasan alat selama menit dengan indikasi lampu spontcryst result dan no cryst menyala secara bergantian. Tunggu sampai mati hanya lampu sampel yang menyala. 4. Zero set: a. Menyiapkan akuades dan masukkan ±50 µm dalam tabung sampel, masukkan ke sensor. b. Menekan tombol zero sampai keluar angka c. Menurunkan handle sampel tunggu sampai display dan lampu result menyala d. Mengangkat handle e. Membilas sensor dengan akuades dan bersihkan dengan tissue 5. Kalibrasi: a. Menyiapkan cairan standar kalibrasi dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel dan masukkan ke sensor. b. Menekan tombol Cal sampai keluar angka c. Menurunkan handle sampel tunggu sampai display dan lampu result menyala d. Mengangkat handle e. Membilas sensor dengan menggunakan akuades dan bersihkan dengan tissue 6. Sampel: a. Menyiapkan cairan sampel dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel dan masukkan ke sensor. b. Menekan tombol sampel c. Menurunkan handle sampel tunggu sampai pengukuran selesai dan lampu resultnya menyala d. Mengangkat handle e. Membilas sensor dengan menggunakan akuades 7. Setelah selesai melakukan pengukuran:

75 75 a. Membersihkan sensor menggunakan tissue yang dibasahi akuades b. Pada saat tidak digunakan sensor harus ditutup dengan tabung kososng (handle dalam posisi turun) c. Mematikan main power : OFF d. Mencabut aliran listrik dari pusat listrik.

76 76 Lampiran 5. Prosedur pengukuran kadar glukosa darah a. Darah ikan diambil dengan menggunakan injeksi yang telah diisi dengan cairan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah. b. Darah diambil dari pembuluh darah dibagian pangkal ekor kemudian dimasukkan darah tersebut kedalam tabung Ependroft c. Disentrifuise dengan kecepatan rpm selama 15 menit d. Setelah terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih dibagian atas, kemudian diambil sebanyak 10 µl lapisan plasma dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi 1 ml reagen (glucose liquicolor) kemudian divortex agar homogen. e. Diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar kemudian baca nilai absorbannya pada spektrofotometer dengan λ 500 nm.

77 77 Lampiran 6. Diameter telur ikan nila pada perlakuan terbaik (H=100T 4 :10 ppt) dan control (H=0T 4: 10 ppt) selama pemeliharaan Diameter telur minggu ke-0 Perlakuan H (100T 4 :10 ppt Perlakuan G (0T 4 :10 ppt) Diameter telur minggu ke-2

78 78 Diameter telur minggu ke-4 Perlakuan H (100T 4 :10 ppt) Perlakuan G (0T 4 :10 ppt) Diameter telur minggu ke-6 Perlakuan H (100T 4 :10 ppt) Perlakuan G (0T 4 :10 ppt)

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan 33 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pemeliharaan ikan dilakukan di Laboratorium Sistem dan Teknologi Budidaya, IPB. Histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan (LKI), uji glukosa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Ikan Nila (Oreochromis sp.)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Ikan Nila (Oreochromis sp.) 21 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ikan Nila (Oreochromis sp.) Nila merah (Oreochromis sp.) merupakan ikan hasil hibridisasi antara ikan Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus. Tergolong dalam ordo

Lebih terperinci

HASIL. Parameter Utama

HASIL. Parameter Utama 42 HASIL Parameter Utama Parameter utama hasil pengamatan pemberian hormon tiroksin terhadap reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas terdiri dari hepato somatik indeks (HSI, %), diameter

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tahap I Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian diperoleh data sintasan (Gambar 1), sedangkan rata-rata laju pertumbuhan bobot dan panjang harian benih ikan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2 11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu komoditas yang menjadi primadona saat ini adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) benih ikan patin yang dipelihara dengan masa pemeliharaan 30 hari memiliki hasil

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hepatosomatic Index Hepatosomatic Indeks (HSI) merupakan suatu metoda yang dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam hati secara kuantitatif. Hati merupakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 bertempat di Hatcery Kolam Percobaan Ciparanje

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Percobaan tahap pertama mengkaji keterkaitan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 yang ditambahkan dalam pakan buatan dari sumber alami

Lebih terperinci

Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.)

Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.) Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.) The Effect of Salinity Acclimatization on Survival Rate of Nile Fry (Oreochromis sp.) Yuliana Asri 1,*,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 12 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jumlah Konsumsi Pakan Perbedaan pemberian dosis vitamin C mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (P

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp.

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 25 3 (25) 25 Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 21 III. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011-Juni 2012. Pemeliharaan ikan dilakukan di Pusat Studi Ilmu Kelautan (PSIK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13 PEMBENIHAN : SEGALA KEGIATAN YANG DILAKUKAN DALAM PEMATANGAN GONAD, PEMIJAHAN BUATAN DAN PEMBESARAN LARVA HASIL PENETASAN SEHINGGA MENGHASILAKAN BENIH YANG SIAP DITEBAR DI KOLAM, KERAMBA ATAU DI RESTOCKING

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Relasi panjang berat dan aspek reproduksi ikan beureum panon (Puntius orphoides) hasil domestikasi di Balai Pelestarian Perikanan Umum dan Pengembangan Ikan Hias (BPPPU)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp.

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. YENI GUSTI HANDAYANI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012 di Laboratorium Basah Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 22 III. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT), Depok, Jawa Barat. Penelitian ini dimulai sejak Juni sampai Desember

Lebih terperinci

S. Mulyati, M. Zairin Jr., dan M. M. Raswin

S. Mulyati, M. Zairin Jr., dan M. M. Raswin Pengaruh Jurnal Akuakultur Tiroksin Indonesia, terhadap Larva 1(1): Ikan 21 25(2002) Gurami Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai 21 http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH UMUR

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat 41 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian inti. Penelitian pendahuluan terdiri atas 2 tahap yaitu uji nilai kisaran (range value test) dan uji

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan Juli 2011 sampai September 2011 bertempat di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Purbolinggo, kecamatan Purbolinggo, kabupaten Lampung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pangasianodon, Spesies Pangasianodon hypopthalmus (Saanin 1984).

TINJAUAN PUSTAKA. Pangasianodon, Spesies Pangasianodon hypopthalmus (Saanin 1984). 3 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Siam Pangasianodon hypopthalmus Ikan patin siam adalah ikan yang termasuk kedalam Kelas Pisces, Sub Kelas Teleostei, Ordo Ostariophsy, Sub Ordo Siluroidea, Famili Pangasidae,

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN 4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN Faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses pemanfaatan pakan tidak hanya pada tahap proses pengambilan, pencernaan, pengangkutan dan metabolisme saja, bahkan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i 13 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta (analisis kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina), Lab. Percobaan Babakan FPIK (pemeliharaan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

Jenis hormon berdasarkan pembentuknya 1. Hormon steroid; struktur kimianya mirip dengan kolesterol. Contoh : kortisol, aldosteron, estrogen,

Jenis hormon berdasarkan pembentuknya 1. Hormon steroid; struktur kimianya mirip dengan kolesterol. Contoh : kortisol, aldosteron, estrogen, SISTEM ENDOKRIN Hormon adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh sebuah sel atau sekelompok sel dan disekresikan ke dalam pembuluh darah serta dapat mempengaruhi pengaturan fisiologi sel-sel tubuh lain.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu komoditi ikan yang menjadi primadona di Indonesia saat ini adalah ikan lele (Clarias sp). Rasa yang gurih dan harga yang terjangkau merupakan salah satu daya

Lebih terperinci

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI LINGKUNGAN Adaptasi : Proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di beberapa sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya pembesaran dalam keramba telah berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi dan Morfologi Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) Klasifikasi Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), menurut Trewavas (1983) dalam Suyanto (2005) sebagai berikut:

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA TUGAS PENGENALAN KOMPUTER ZURRIYATUN THOYIBAH E1A012065 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pertumbuhan induk ikan lele tanpa perlakuan Spirulina sp. lebih rendah dibanding induk ikan yang diberi perlakuan Spirulina sp. 2%

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Tata letak wadah percobaan dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) PIPA INLET P1U2 P7U3 P8U2 P5U3 P9U3 P5U2 P1U3

Lampiran 1. Tata letak wadah percobaan dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) PIPA INLET P1U2 P7U3 P8U2 P5U3 P9U3 P5U2 P1U3 69 Lampiran 1. Tata letak wadah percobaan dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.) P1U2 P7U3 P8U2 P5U3 P9U3 P7U2 P3U3 P6U1 P2U1 P5U2 P1U3 P2U3 P9U1 P6U3 P4U3 P8U3 FILTER P4U2 P1U1 P5U1

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan 17 3 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Lapang Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PSIK IPB) Ancol Jakarta Utara pada bulan Juli Oktober

Lebih terperinci

Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN

Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN Kemampuan suatu sel atau jaringan untuk berkomunikasi satu sama lainnya dimungkinkan oleh adanya 2 (dua) sistem yang berfungsi untuk mengkoordinasi semua aktifitas sel

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Pertumbuhan Bobot dan Biomassa Post-Larva Udang Vaname Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pertumbuhan (panjang rerata, SGR, bobot individu, biomassa) post-larva

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Sistem Osmoregulasi Pada Ikan

Sistem Osmoregulasi Pada Ikan Sistem Osmoregulasi Pada Ikan A. Pengertian Osmoregulasi Osmoregulasi adalah proses pengatur konsentrasi cairan dan menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup.

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Maya Ekaningtyas dan Ardiansyah Abstrak: Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah salah satu jenis ikan yang banyak di konsumsi oleh masyarakat

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Pertumbuhan Bobot, Panjang, dan Biomassa Peningkatan bobot rerata dan biomassa ikan sidat yang diberi perlakuan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tawes 2.1.1 Taksonomi Tawes Menurut Kottelat (1993), klasifikasi ikan tawes adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Classis Ordo Familia Genus Species : Pisces : Ostariophysi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani

Lebih terperinci

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan terkait dengan faktor luar dan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

3.KUALITAS TELUR IKAN

3.KUALITAS TELUR IKAN 3.KUALITAS TELUR IKAN Kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik. Faktor eksternal meliputi: pakan,

Lebih terperinci

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon)

Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon) Modul ke: Peristiwa Kimiawi (Sistem Hormon) Fakultas PSIKOLOGI Ellen Prima, S.Psi., M.A. Program Studi PSIKOLOGI http://www.mercubuana.ac.id Pengertian Hormon Hormon berasal dari kata hormaein yang berarti

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan Ben s Fish Farm mulai berdiri pada awal tahun 1996. Ben s Fish Farm merupakan suatu usaha pembenihan larva ikan yang bergerak dalam budidaya ikan konsumsi, terutama

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Percobaan ini dilakukan di Kolam Percobaan Babakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Dramaga. Percobaan dilakukan dari bulan Mei hingga Agustus 2011. 2.1.1 Persiapan

Lebih terperinci

Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015

Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015 Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 1, Maret 2015 Pengaruh Salinitas Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) di

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele.

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele. 17 3. METODE Rangkaian penelitian ini terdiri dari empat tahap penelitian. Seluruh kegiatan dilakukan dalam kurun waktu tahun 2009 sampai dengan 2011 di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (d/h Loka Riset

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sebagian hidupnya dilakukan ditempat berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik

PENDAHULUAN. sebagian hidupnya dilakukan ditempat berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Itik merupakan ternak unggas penghasil daging dan telur yang cukup potensial disamping ayam. Ternak itik disebut juga sebagai unggas air, karena sebagian hidupnya dilakukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa

METODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa 17 METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap 1 adalah uji efektivitas enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Uji Tahap 2 adalah mengevaluasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1. 1 Pertumbuhan, Konversi Pakan, dan Kelangsungan Hidup Pada pemeliharaan 4 minggu pertama, biomassa ikan yang diberi pakan mengandung rgh belum terlihat berbeda

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MEAT AND BONE MEAL (MBM) SEBAGAI SUMBER PROTEIN UTAMA DALAM PAKAN UNTUK PEMBESARAN IKAN NILA Oreochromis niloticus

PENGGUNAAN MEAT AND BONE MEAL (MBM) SEBAGAI SUMBER PROTEIN UTAMA DALAM PAKAN UNTUK PEMBESARAN IKAN NILA Oreochromis niloticus PENGGUNAAN MEAT AND BONE MEAL (MBM) SEBAGAI SUMBER PROTEIN UTAMA DALAM PAKAN UNTUK PEMBESARAN IKAN NILA Oreochromis niloticus DYAH KESWARA MULYANING TYAS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

FORMAT LAPORAN KETIK FHA 2017 SAMPUL (Hard Cover) COVER PUTIH COVER (terdapat tulisan sebagai syarat...dst) LEMBAR PENGESAHAN (dosen pengampu dan

FORMAT LAPORAN KETIK FHA 2017 SAMPUL (Hard Cover) COVER PUTIH COVER (terdapat tulisan sebagai syarat...dst) LEMBAR PENGESAHAN (dosen pengampu dan FORMAT LAPORAN KETIK FHA 2017 SAMPUL (Hard Cover) COVER PUTIH COVER (terdapat tulisan sebagai syarat...dst) LEMBAR PENGESAHAN (dosen pengampu dan Coass) LEMBAR PENGESAHAN (asisten) KATA PENGANTAR DAFTAR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Materi penelitian berupa larva dari nilem umur 1 hari setelah menetas, yang diperoleh dari pemijahan induksi di Laboratorium Struktur Perkembangan Hewan Fakultas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Maret hingga Oktober 2008. Pengambilan sampel dilakukan di sungai Klawing Kebupaten Purbalingga Jawa Tengah (Lampiran 1). Analisis

Lebih terperinci