KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI"

Transkripsi

1

2

3 KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012 hal Pembentukan Tim Penyusunan Modul Pendidikan dan Pelatihan pada Pusdiklat Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2012, maka kepada Sdr. Dedi Abdul Hadi, S.H., M.Si telah ditugaskan menyusun Modul Rules of Origin untuk Workshop Rules Of Origin. Oleh karena modul sebagaimana terlampir telah diseminarkan dan telah dilakukan perbaikan sesuai dengan masukan dan saran hasil seminar, serta mengacu pada peraturan penyusunan modul yang berlaku, maka dengan ini kami nyatakan Modul tersebut sah dan layak untuk menjadi Modul Workshop Rules Of Origin di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada penyusun dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian modul tersebut. Demikian kata pengantar dan pengesahan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, Desember 2012 Kepala Pusdiklat Bea dan Cukai Agus Hermawan

4 DAFTAR ISI Daftar Isi... i Petunjuk Penggunaan Modul... iii Peta Konsep... iv A. Pendahuluan Deskripsi Singkat Prasyarat Kompetensi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Relevansi Modul... 9 B. Kegiatan Belajar Kegiatan Belajar 1 Pengertian Rules of Origin 1.1 Uraian dan Contoh A. Pengertian ROO B. Fungsi ROO ROO untuk Tujuan non Preferensi ROO untuk Tujuan Preferensi C. Komponen ROO Origin Criteria Direct Consignment Criteria Procedural Provision Latihan Rangkuman Tes Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Kegiatan Belajar 2 Wholly Obtained atau Wholly Produced 2.1 Uraian dan Contoh Tanaman dan produk Tanaman Binatang Hidup Rules of Origin Workshop Rules of Origin i

5 3. Produk dari Binatang Hidup Produk hasil berburu atau memancing dan kegiatan lainnya Produk mineral dari dalam tanah, air, atau dasar laut produk hasil tangkapan di laut dengan kapal negara yang bersangkutan produk factory ship atas hasil tangkapan tersebut butir sisa dan buangan pabrik/sampah, serta barang-barang bekas barang-barang yang dihasilkan dari produk-produk di atas Latihan Rangkuman Tes Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Kegiatan Belajar 3 Not Wholly Obtained/ Wholly Produced 3.1 Uraian dan Contoh A. Regional Value Content B. Change Tariff Classification C. Product Specific Rules Laatihan Rangkuman Tes Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Penutup Tes Sumatif Kunci Jawaban Daftar Pustaka Rules of Origin Workshop Rules of Origin ii

6 PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL Untuk dapat memahami modul ini secara benar, maka peserta diklat diharapkan mempelajari modul ini secara urut mulai dari Kegiatan Belajar 1 sampai dengan Kegiatan Belajar 3. Cara mempelajari setiap kegiatan belajar adalah mengikuti tahap-tahap berikut ini: 1. Lihat apa yang menjadi target indikator dari kegiatan belajar tersebut; 2. Pelajari materi yang menjadi isi dari setiap kegiatan belajar (dengan cara membaca materi minimal 3 kali membaca isi materi kegiatan belajar tersebut); 3. Lakukan review materi secara umum, dengan cara membaca kembali ringkasan materi untuk mendapatkan hal-hal penting yang menjadi fokus perhatian pada kegiatan belajar ini; 4. Kerjakanlah Tes Formatif pada kegiatan belajar yang sedang dipelajari; 5. Lihat kunci jawaban Tes Formatif dari kegiatan belajar tersebut yang terletak pada bagian akhir modul ini. 6. Cocokkan hasil tes formatif dengan kunci jawaban tersebut, apabila ternyata hasil Tes Formatif peserta diklat memperoleh nilai minimal 71, maka kegiatan belajar dapat dilanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya, namun apabila diperoleh angka di bawah 71, maka peserta diklat diharuskan mempelajari kembali kegiatan belajar tersebut agar selanjutnya dapat diperoleh angka minimal Kerjakan Tes Sumatif apabila semua Tes Formatif dari seluruh kegiatan belajar telah dilakukan. 8. Lihat kunci jawaban Tes Sumatif yang terletak pada bagian akhir modul ini 9. Cocokkan hasil tes sumatif dengan kunci jawaban tes sumatif, apabila ternyata hasil tes sumatif peserta diklat memperoleh nilai minimal 71 maka peserta diklat dapat dinyatakan lulus dari kegiatan belajar Rules of Origin Workshop Rules of Origin iii

7 PETA KONSEP Rules Of Origin Pengertian ROO 1. PENGERTIAN ROO Fungsi ROO Komponen ROO Tanaman dan produk Tanaman 2. WHOLLY PBTAINED ATAU WHOLLY PRODUCED Binatang Hidup Produk dari Binatang Hidup Produk hasil berburu atau memancing dan kegiatan lainnya Produk mineral dari dalam tanah, air, atau dasar laut produk hasil tangkapan di laut dengan kapal negara yang bersangkutan produk factory ship atas hasil tangkapan tersebut butir 6 sisa dan buangan pabrik/sampah, serta barang-barang bekas 3. NOT WHOLLY OBTAINED/ WHOLLY PRODUCED barang-barang yang dihasilkan dari produk-produk di atas RVC CTC PSR Rules of Origin Workshop Rules of Origin iv

8 A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi Singkat Sejak ditandatanganinya the Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation tanggal 1 Januari 1992, yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan the Agreement On The Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme For The ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 28 January 1992 di Singapore, mulailah Indonesia memasuki dunia liberalisasi perdagangan, yaitu suatu era yang disebut perdagangan bebas yang meniadakan keberadaan tarif bea masuk, khususnya. Saat ini Indonesia telah terlibat dalam beberapa skema FTA, yaitu : Ø ASEAN Free Trade Area (AFTA). Ø ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) Ø ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) Ø ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) Ø ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) Ø ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) Ø Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) Inti dari skema FTA yang diikuti oleh Indonesia di atas, dalam hal ini terkait perdagangan barang (trade in goods), adalah pemberian tarif istimewa atau preferential tariff atas barang yang diperdagangkan antara para pihak dari skema FTA di atas, dengan besaran bea masuk 0% atau lebih kecil dari tarif normal atau Most Favorable Nation (MFN). Keterlibatan Indonesia dalam skema Free Trade Area (FTA) di atas tentunya tidak semata-mata karena adanya kesepakatan penurunan tarif, tetapi mempertimbangkan banyak hal, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun sosial. Oleh karena itu apabila kita perhatikan tentang besaran tarif dari masing-masing pos tarif, akan terlihat bahwa tidak semua usulan sektor dari semua negara dapat terakomodasi di dalam skema FTA, hal ini disebabkan adanya proses 1

9 negosiasi dengan seluruh anggota FTA, sehingga untuk beberapa hal masingmasing negara harus ada yang menyesuaikan dengan usulan negara lain. Sekalipun terdapat beberapa pertimbangan yang menjadikan satu negara terlibat di dalam skema FTA, tidak dapat dipungkiri bahwa yang lebih menonjol sebenarnya adalah terkait keinginan untuk mendapatkan tarif istimewa. Oleh karena itu negosiasi penurunan dan/atau penghapusan (reduction and/or elimination) sangat alot dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hal ini dapat dimaklumi karena tarif sangat erat hubungannya dengan perhitungan biaya dari produk yang diperdagangkan. Mengingat bahwa untuk mendapatkan tarif preferensi wajib memenuhi ketentuan ke-asal-an barang (selanjutnya disebut Rules of Origin atau ROO), maka pemahaman ROO menjadi sangat penting bagi setiap pihak yang terlibat di dalam skema FTA, baik pihak pemerintah maupun swasta. Sebagaimana dimaklumi bahwa ROO meliputi kriteria origin, ketentuan pengiriman langsung (direct consignment), dan ketentuan prosedural. Ada juga beberapa sumber yang menyebutkan bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah produk yang diperdagangkan harus termasuk di dalam daftar barang-barang yang berhak mendapatkan tarif preferensi. Namun demikian modul ini hanya akan membahas tentang kriteria origin yang ada di dalam skema FTA yang diikuti oleh Indonesia dan berlaku saat ini sebagaimana tersebut di atas, yaitu ROO yang ditujukan untuk mendapatkan tarif preferensi. Adapun materi tentang direct consignment dan ketentuan prosedural akan dibahas di dalam modul yang berbeda. Hal ini semata-mata hanya agar pembelajaran tentang ROO menjadi lebih fokus. Berdasarkan pengalaman penulis selama mengikuti aktifitas terkait FTA Trade in Goods, baik dalam bentuk pertemuan antar negara, pertemuan teknis antar kementerian, maupun menjadi narasumber untuk beberapa kegiatan sosialisasi yang diadakan oleh beberapa kementerian selaku pembina sektor, terlihat bahwa pengetahuan tentang kriteria origin sangat minim sekali. Hal ini tidak saja dialami oleh para pengusaha, tetapi juga oleh para instansi penerbit surat keterangan asal (ceritficate of origin) dan para petugas pabean di lapangan selaku penerima surat keterangan asal. Padahal aparat dua instansi pemerintah 2

10 ini merupakan issuing dan receiving authority, yaitu institusi yang paling bertanggung jawab atas pemberian tarif preferensi dalam skema FTA-Trade in Goods (TIG). Khusus untuk DJBC, penulis berpendapat bahwa kurang optimalnya pengetahuan pegawai tentang kriteria origin disebabkan belum adanya unit yang secara khusus menangani implementasi skema FTA, sehingga belum terdapat kejelasan unit mana sebenarnya yang harus bertanggung jawab baik pada saat negosiasi, implementasi, monitoring, sampai dengan evaluasi. Begitu juga kondisi ini menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan koordinasi antara petugas di lapangan dengan unit yang ada di kantor pusat. Sementara di kantor pusat sendiri belum terdapat unit yang secara khusus diberikan tugas untuk permasalahan FTA. Hal ini sedikit berbeda dengan negara-negara lain yang telah memiliki unit ROO di dalam struktur organisasinya. Sebut saja misalnya Korean Customs Services (KCS) yang memiliki unit FTA, yang menangani masalah FTA sejak negosiasi sampai dengan implementasi. Begitu juga Jepang yang memiliki unit yang sama, serta China Customs. Bahkan beberapa administrasi pabean di negara ASEAN juga telah memiliki unit ini, seperti Singapore, Malaysia, Viet Nam, Thailand, dan sebagainya. Pada dasarnya memahami ROO untuk mendapatkan tarif preferensi tidak terlalu rumit, karena selain telah diatur di dalam masing-masing perjanjian pembentuk skema FTA itu sendiri, juga secara prinsip kriteria origin ini telah mulai dicoba untuk diselaraskan oleh World Trade Organization (WTO) sebagaimana diatur di dalam WTO agreement on Rules of Origin. World Customs Organization (WCO) juga memiliki concern yang luar biasa terkait ROO sebagaimana secara khusus diatur di dalam Specific Annex K the Revised Kyoto Convention (RKC) yang merupakan guidance utama bagi sistem kepabeanan dunia. Adapun untuk penerapan ROO bagi para anggotanya, selain adanya Technical Committee on ROO, WCO juga memiliki unit baru yang khusus menangani ROO, sebagaimana juga unit lainnya yang menangani nilai pabean (customs valuation) dan Harmonized System (HS). 3

11 Kembali perlu ditekankan di sini bahwa modul ini hanya akan membahas kriteria origin yang berlaku di dalam skema FTA TIG yang saat ini telah ditandatangani oleh Indonesia, sekalipun masih terdapat diantaranya yang belum berlaku secara efektif atau bahkan masih dalam proses perundingan. Beberapa hal sepertinya memerlukan penekanan tersendiri karena adanya penggunaan istilah yang berbeda dalam masing-masing perjanjian pembentuk FTA, walaupun secara prinsip pengertian/maksudnya adalah kurang lebih sama. Sebagai contoh adalah penggunaan istilah Wholly Obtained/Produced pada beberapa skema FTA disingkat menjadi WO, tetapi pada skema lain menggunakan kode X atau A pada skema IJEPA. Tentunya hal ini tidak harus menjadi masalah bagi pemberian tarif preferensi atas importasi suatu barang yang dilindungi surat keterangan asal, karena hal yang harus dipertimbangkan oleh petugas pabean adalah pemenuhan kriteria Wholly Obtained-nya. Untuk memudahkan pemahaman tentang kriteria origin yang ada di dalam skema FTA yang ditandatangani Indonesia bagi petugas di lapangan, sesuai perannya sebagai instansi penerima (receiving authority) dokumen surat keterangan asal (certificate of origin), tentunya cukup memberikan perhatian atas kriteria origin yang digunakan di dalam masing-masing skema FTA. Hal ini tidak terlalu sulit untuk menemukannya, melainkan cukup dengan melihat apa yang terteta pada overleaf notes (catatan dibalik certificate of origin) masing-masing form FTA. Mengapa demikian? Sebagaimana diketahui bahwa kriteria origin wajib dicantumkan di dalam certificate of origin, dan untuk memudahkan implementasinnya, disepakati seluruh kriteria origin yang digunakan dalam setiap skema FTA akan dicantumkan di dalam overleaf notes masing-masing form FTA yang digunakan. Berikut adalah masing-masing dari kriteria origin untuk masingmasing skema FTA, yaitu : 4

12 Kotak 1 - Kriteria Origin dalam skema ASEAN FTA Kotak 2 - Kriteria Origin dalam skema ASEAN-Korea FTA 5

13 Kotak 3 - Kriteria Origin dalam skema ASEAN-China FTA Kotak 4 - Kriteria Origin dalam skema ASEAN-India Kotak 5 - Kriteria Origin dalam skema ASEAN-Japan CEP 6

14 Kotak 6 - Kriteria Origin dalam skema ASEAN-Australia-New Zealand FTA Kotak 7 - Kriteria Origin dalam skema Indonesia-Japan EPA A. The good is wholly obtained or produced entirely in the Party, as defined in paragraph 2 of Article 29. B. The good is produced entirely in the Party exclusively from originating materials of the Party. C. The good satisfies the product specific rules set out in Annex 2, as well as all other applicable requirements of Chapter 3, when the good is produced entirely in the Party using non-originating materials. Memperhatikan kotak-kotak di atas sepertinya banyak sekali kriteria origin yang harus dipelajari (atau bahkan dihafal) oleh petugas DJBC, khususnya yang bekerja di lapangan. Namun demikian, sebenarnya yang menjadikan banyaknya kriteria di atas semata-mata karena perbedaan istilah yang digunakan, karena pada dasarnya menurut ROO Agreement yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) maupun WCO hanya terdapat wholly obtained/produced, not wholly obtained, dan specific process saja. Lebih jelasnya akan dibahas pada masing-masing bab modul ini. 7

15 2. Prasyarat Kompetensi Evolusi peran administrasi pabean dari revenue collector menjadi trade facilitator, bagaimanapun tidak lepas dari dinamika sistem perdagangan internasional yang mengarah pada liberalisasi yang terjemahkan diantaranya dengan pembentukan skema perdagangan bebas. Kondisi ini tentunya harus diimbangi dengan kesiapan seluruh administrasi pabean, tidak terkecuali Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), untuk juga mempersiapkan diri menyambut era baru yang telah dimulai beberapa tahun yang lalu. Mempertimbangkan hal tersebut tentunya setiap petugas DJBC memiliki kewajiban untuk memahami perkembangan tersebut, serta perubahan sistem yang diakibatkannya, termasuk konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia di dalam skema FTA yang telah terbukti memaksa DJBC untuk membuat aturan khusus tentang hal tersebut. Menyadari perlunya pemahaman dari seluruh petugas DJBC, maka idealnya modul ini diharapkan dapat tersampaikan kepada seluruh petugas DJBC. Namun demikian tentunya prosesnya tidak dapat dilakukan sekaligus melainkan perlu adanya skala prioritas, dengan mengutamakan petugas di lapangan yang berhubugan langsung dengan masuknya importasi menggunakan skema FTA. Dalam hal ini tentunya yang paling utama adalah Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) dan seksi pabean, mengingat pejabat pada posisi inilah yang menentukan apakah suatu komoditas yang diimpor dapat memperoleh tarif preferensi atau tidak. Petugas lainnya adalah yang berada di unit pengawasan (P2 dan Audit), Client Coordinator, layanan informasi, dan sebagainya. Prasyarat kompetensi untuk mengikuti workshop ini adalah: 1. Pegawai DJBC minimal golongan III 2. Berkemampuan bahasa Inggris 3. Sehat jasmani dan rohani 4. Tidak sedang menjalani atau dalam proses penjatuhan hukuman disiplin 5. Tidak sedang mengikuti diklat atau workshop lain 6. Ditunjuk oleh Sekretaris DJBC 8

16 3. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) a. Standar Kompetensi Setelah mempelajari mata diklat ini, peserta diharapkan dapat menjelaskan dan menerapkan ROO b. Kompetensi Dasar 1. Peserta diharapkan dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan ROO secara garis besar. 2. Peserta dapat memahami origin kriteria wholly obtained/produced untuk mendapatkan tarif preferensi. 3. Peserta dapat memahami origin kriteria not wholly obtained, beserta kriteria yang ada di bawahnya. 4. Peserta dapat mengerti penggunaan kriteria origin di dalam certificate of origin (surat keterangan asal). 4. Relevansi Modul Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa seiring dengan dinamika sistem perdagangan internasional diharapkan agar administrasi pabean dapat lebih fasilitatif dan dapat mengakomodasi kepentingan dunia usaha, sehingga proses pengiriman barang dari satu negara ke negara lainnya dapat terhindar dari segala proses/prosedur yang dianggap sebagai barriers. Inilah era perdagangan bebas, yang mana keterlibatan dari administrasi pabean sedapat mungkin direduksi dengan dalih liberalisasi, dimana supply chain management tidak boleh dihambat pergerakannya. Oleh karena itu, mengingat bahwa skema FTA merupakan kesepakatan antar pemerintah, maka untuk implementasinya menjadi tanggung jawab dari setiap instansi terkait, termasuk DJBC. Kondisi inilah yang selanjutnya menjadikan DJBC sebagai salah satu tulang punggung mulusnya kerja sama internasional dalam rangka perdagangan bebas barang, karena posisi dan perannya yang secara langsung menangani 9

17 pergerakan barang baik tujuan ekspor maupun impor. Oleh karena adanya kewajiban bagi DJBC untuk memberikan keputusan apakah suatu barang yang diimpor dapat diberikan preferential tariff atau, menjadikan modul ini sangat penting dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelaksanaan kerja di lapangan, khususnya terkait penanganan masuknya barang-barang impor yang menggunakan skema FTA. 10

18 B. KEGIATAN BELAJAR PENGERTIAN RULES OF ORIGIN (ROO) 1 Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan : 1) Dapat menjelaskan pengertian umum dari ROO; 2) Dapat menjelaskan ROO yang ada di dalam perjanjian pembentukan skema FTA yang diikuti oleh Indonesia; 3) Dapat menjelaskan komponen ROO; 1.1 Uraian dan Contoh Siapa sebenarnya yang paling tepat untuk membahas dan/atau menangani ROO? pertanyaan ini telah ada sejak pertama kali muncul ide pembahasan aturan origin (ke-asal-an) dari suatu barang/produk. Paling tidak kita dapat melihat refleksi dari ketidakjelasan ini, yaitu adanya pembagian forum yang melakukan pembahasan ROO, yaitu Committee on Rules of Origin (CRO) yang ada di WTO, dan Technical Committee on ROO (TCRO) yang ditempatkan di WCO. Jika melihat pembagian tersebut, maka jelas bahwa secara teknis sebenarnya ROO merupakan tanggung jawab administrasi pabean. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat administrasi pabean merupakan institusi yang menentukan validitas atau kebenaran dari keasalan suatu barang, khususnya yang diimpor. Adapun di beberapa negara, administrasi pabean merupakan institusi yang juga memiliki kewenangan untuk memberikan keterangan bahwa suatu barang yang akan diekspor telah memenuhi ketentuan keasalan yang telah ditentukan (disebut sebagai issuing authority). Dengan demikian semakin jelas bahwa materi ROO merupakan bagian dari tugas dan fungsi administrasi pabean 11

19 dimanapun berada. Tetapi faktanya sampai sekarang kesepakatan ini tidak disebutkan secara tertulis di dalam dokumen manapun, selain daripada pembagian forum antara WTO dan WCO, sebagaimana tersebut di atas. Bagaimanapun pembagian forum tersebut, tentunya yang lebih penting bagi kita adalah pemahaman dari ROO itu sendiri. Adanya beberapa institusi ataupun organisasi yang memiliki kepedulian terhadap ROO tentunya menjadi catatan positif, sehingga akan selalu termonitor dan memberikan ruang evaluasi yang dapat memberikan cukup informasi yang semakin baik bagi siapapun yang berkepentingan nantinya. Tetapi disisi lain, tentunya harus dihindari dualisme pemahaman yang bahkan akan membuka ruang dispute yang dimungkinkan merugikan pihak-pihak terkait. Pada mulanya isu tentang ROO tidak begitu menarik perhatian dari negara-negara yang waktu itu gencar membicarakan konsep perdagangan bebas untuk memperbaiki kondisi perekonomian negara akibat perang dunia ke- 2. Kita dapat melihat di dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947, sama sekali tidak terdapat istilah ROO kecuali masalah larangan dan pembatasan sebagaimana tersebut pada article XI dan article XII. Namun demikian hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa pada saat sesi kedua pertemuan komite persiapan tahun 1947, terdapat pembahasan tentang penerapan tarif normal (Most Favorable Nations) yang diserahkan kepada aturan masing-masing negara pengimpor, dengan memperhatikan keasalan dari barang yang diimpor. Barangkali inilah sejarah pertama kali pembahasan ROO, walaupun tidak cukup sukses pada saat itu. Apalagi waktu itu isu yang muncul adalah tentang adanya upaya harmonisasi ROO, yaitu adanya keseragaman aturan dari setiap negara dalam menerapkan aturan keasalan. A. Pengertian ROO Atas ekspor produk-produk yang merupakan hasil bumi suatu negara, tentunya tidak sulit bagi siapapun untuk dapat mengetahui ke-asal-an (origin) dari barang tersebut. Contohnya adalah batubara, kelapa sawit, buah-buahan yang belum diolah, dan sebagainya. 12

20 Tetapi untuk produk yang dibuat melalui proses produksi/manufacturing, dengan menggunakan bahan baku yang diimpor dari negara lain, tentunya diperlukan regulasi khusus agar dapat ditentukan keasalan dari produk tersebut. Ambil contoh, misalnya apple ipod yang diproduksi dengan menggunakan komponen hasil produksi China, Japan, Korea, Singapore, Taiwan, and Amerika Serikat, dimana perusahaan tersebut berbasis di Japan, Korea, Taiwan, dan Amerika Serikat. Bagaimanakah menentukan keasalan dari apple ipod tersebut? Berlatar belakang kasus serupa yang menjadi pertanyaan para penggiat ROO terdahulu, maka disepakati tentang perlu adanya peraturan untuk menentukan keasalan dari sebuah produk yang diperjualbelikan dalam rangka perdagangan internasional. Apa sebenarnya ROO? dari beberapa literatur yang penulis temui terdapat ketidakseragaman tentang definisi atau pengertian ROO. Penulis meyakini bahwa pada dasarnya ROO telah dapat didefinisikan dengan mengacu pada istilah ROO itu sendiri, yaitu aturan tentang keasalan (Rules = aturan/ketentuan; of = tentang/mengenai; origin = keasalan/domisili). Tetapi tentunya definisi tersebut terlalu singkat sehingga kurang memberikan kepastian dalam pemakaiannya. Dalam pengertian tersebut belum tersirat secara jelas tentang keasalan itu sendiri, apakah yang dimaksud meliputi : negara asal? ataukah pelabuhan muat? ataukah tempat produksi terakhir? ataukah tempat dimana eksportir berada? Jelas sekali bahwa kita masih memerlukan sebuah penjelasan yang lebih detil sehingga tercapai sebuah pengertian yang tidak bias, melainkan aplikatif dan mudah jelas serta tegas untuk digunakan. Disinilah mungkin kita harus berterima kasih kepada para wakil negara yang hadir pada putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berakhir pada tahun 1993 dan telah berhasil mendirikan sebuah organisasi perdagangan internasional, yaitu World Trade Organization (WTO), yang bertanggung jawab atas seperangkat perjanjian-perjanjian terkait perdagangan internasional, termasuk diantaranya perjanjian keasalan barang (Agreement on Rules of Origin) yang termuat di dalam Uruguay Round Agreements on Trade in Goods. 13

21 Sebagai negara anggota WTO yang juga tidak terlepas dari prinsip single undertaking, maka perjanjian ini juga termasuk yang harus diterima dan dilaksanakan sebagaimana juga perjanjian lainnya yang termasuk di dalam hasilhasil putaran Uruguay. Salah satu bukti keberhasilan mereka adalah lahirnya sebuah perjanjian (agreement) tersebut di atas, yang menjadi tolok ukur siapapun yang memiliki kepentingan dengan substansi origin dari sebuah produk. Kembali pada pengertian ROO, di dalam paragraf 1 artikel 1 agreement on ROO tersebut disebutkan sebagai berikut : For the purposes of Parts I to IV of this Agreement, rules of origin shall be defined as those laws, regulations and administrative determinations of general application applied by any Member to determine the country of origin of goods provided such rules of origin are not related to contractual or autonomous trade regimes leading to the granting of tariff preferences going beyond the application of paragraph 1 of Article I of GATT Secara bebas isi dari artikel 1 di atas dapat diterjemahkan menjadi : Untuk tujuan penerapan bagian I sampai dengan IV dari perjanjian ini, ROO hendaknya didefinisikan sebagai segala bentuk perundang-undangan, peraturan-peraturan, dan ketentuan-ketentuan administratif lainnya yang diterapkan oleh masing-masing negara anggota dalam menentukan negara asal dari suatu barang yang mana ROO tersebut tidak merupakan bagian dari regime perdagangan terkait dengan satu perjanjian khusus ataupun ketentuan sepihak yang bertujuan untuk memberikan tarif istimewa melebihi aplikasi paragraf 1 artikel 1 GATT Definisi di atas merupakan harmonisasi dari pengertian tentang ROO, sehingga setiap penggunaan istilah ROO, maka diartikan sebagaimana definisi tersebut. Namun demikian perlu dicatat bahwa pada kalimat terakhir artikel di atas terdapat informasi bahwa ROO yang dimaksud dalam artikel tersebut tidak meliputi ROO yang mengatur tentang pemberian tarif preferensi atau tarif istimewa. Padahal ROO yang diatur di dalam skema FTA adalah ROO dalam rangka pemberian tarif istimewa. Oleh karena itu definisi di atas ditujukan bagi penggunaan ROO bukan untuk tujuan preferensi atau disebut ROO nonpreferensi. 14

22 Ketentuan lebih lanjut tentang ROO tujuan non-preferensi diatur di dalam pasal-pasal selanjutnya dari agreement tersebut. Selanjutnya bagaimana WTO menyikapi ROO tujuan preferensi? Dapat dimaklumi bahwa pembentukan harmonisasi ROO untuk tujuan pemberian tarif istimewa tidaklah mudah, karena harus mempertimbangkan kepentingan dari para pihak yang akan membuat perjanjian pembentukan skema FTA (contractual regimes), khususnya mengingat adanya mekanisme pemberian tarif istimewa yang didasarkan pada pemenuhan ketentuan origin dari suatu produk. Artinya tidak mudah bagi WTO untuk dapat memprediksi kebutuhan dari para pihak yang akan membentuk skema FTA, baik secara bilateral, multilateral, maupun regional. Penulis meyakini bahwa sepertinya pertanyaan ini telah muncul pada saat pembahasan waktu itu, karena terbukti pada paragraf 2 artikel 1 annex II dari agreement on ROO yang diberi judul common declaration with regard to preferential rules of origin, telah disediakan definisi umum yang dapat dijadikan patokan oleh setiap negara, yang melibatkan diri dalam perjanjian perdagangan bebas yang mengarah pada pemberian tarif istimewa, yang berbunyi : For the purposes of this Common Declaration, preferential rules of origin shall be defined as those laws, regulations and administrative determinations of general application applied by any Member to determine whether goods qualify for preferential treatment under contractual or autonomous trade regimes leading to the granting of tariff preferences going beyond the application of paragraph 1 of Article I of GATT Secara bebas, artikel tersebut dapat diterjemahkan menjadi : untuk tujuan yang bersifat umum, preferential ROO hendaknya didefinisikan sebagai segala peraturan perundang-undangan dan ketentuan administratif yang diterapkan oleh para anggota untuk menentukan apakah suatu barang layak mendapatkan tarif istimewa berdasarkan perjanjian atau ketentuan individu dari suatu negara yang bertujuan untuk mendapatkan tarif preferensi melebihi aplikasi dari paragraf 1 artikel 1 GATT

23 Perlu diperhatikan bahwa definisi yang disediakan sangat umum, yaitu sebatas pada ketentuan untuk menentukan apakah suatu barang berhak atau layak untuk mendapatkan tarif preferensi atau tidak. Apakah ukuran dari layak atau tidaknya suatu barang mendapatkan tarif preferensi? Hal inilah yang sulit untuk dilakukan harmonisasi, karena untuk implementasinya menyesuaikan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan di dalam masing-masing perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akan tetapi upaya yang telah dilakukan dengan mendefinisikan ROO seperti di atas, patut kita hargai. Bagaimanapun hal ini akan menjadi acuan tidak saja bagi organisasi internasional, tetapi lebih khusus lagi bagi setiap negara yang telah menyadari betapa pentingnya ROO dalam kaitannya dengan aktifitas perdagangan internasional yang dipastikan melekat pada setiap kegiatan setiap negara. Upaya untuk mendefinisikan ROO tidak berhenti sampai disana. Sebagai anggota dari WCO tentunya setiap administrasi pabean sudah selayaknya untuk juga menjadikan apa yang telah disediakan oleh organisasi induknya sebagai salah satu instrumen dalam setiap gerak dan langkahnya. Dalam specific annex K the Revised Kyoto Convention yang khusus membahas tentang ROO ternyata disinggung tentang pengertian dari ROO, yaitu "rules of origin" means the specific provisions, developed from principles established by national legislation or international agreements ("origin criteria"), applied by a country to determine the origin of goods. Definisi di atas dapat diterjemahkan sebagai berikut : ROO merupakan ketentuan-ketentuan khusus yang dikembangkan dari prinsip-prinsip yang berasal dari peraturan-peraturan nasional atau perjanjian internasional (kriteria origin), diterapkan oleh sebuah negara untuk menentukan origin dari suatu barang. Definisi di atas tidak menjelaskan apakah ROO dimaksud ditujukan untuk tujuan preferensi atau non-preferensi. Namun demikian, apabila kita memperhatikan substansi di dalamnya, terdapat kata-kata... prinsip-prinsip yang berasal dari peraturan nasional atau perjanjian internasional... maka kita 16

24 akan terhubung dengan artikel 1 WTO agreement on ROO di atas yang menyebutkan... contractual or autonomous.... Apabila keterkaitan tersebut adalah benar, maka seyogyanya definisi di atas ditujukan untuk ROO untuk preferensi. Namun demikian, kita perlu juga untuk melihat seluruh isi dari specific annex K tersebut, dimana diantaranya dalam bagian yang sama terdapat definisi untuk "country of origin of goods" yang diartikan sebagai negara dimana suatu barang diproduksi atau diproses, berdasarkan kriteria yang ditetapkan untuk tujuan aplikasi tarif bea masuk, pembatasan jumlah atau ketentuan lain terkait dengan perdagangan. Memperhatikan pengertian di atas yang juga berada di dalam specific annex K, sepertinya ROO yang disampaikan dalam the Revised Kyoto Convention tidak terbatas pada tujuan preferensi, melainkan juga meliputi ROO untuk tujuan nonpreferensi. Selanjutnya kita juga dapat menemukan beberapa definisi lain untuk ROO yang pada intinya adalah ketentuan untuk menentukan origin dari suatu produk. Bahkan di dalam website milik WCO disebutkan bahwa ROO merupakan sekumpulan kriteria yang diperlukan untuk menentukan origin dari suatu produk. Berdasarkan kondisi di atas penulis mencoba untuk mencari pengertian yang paling mudah dipahami oleh siapapun yang berminat untuk mendalami ROO, yaitu sebagaimana disebutkan dalam website ROO. Hal ini semata untuk memudahkan pemahaman (flow of understanding) dari kita semua pada saat mempelajari ROO lebih jauh, khususnya pada saat mempelajari persyaratan ROO untuk tujuan preferensi yang meliputi beberapa kriteria. B. Fungsi ROO Setelah diperoleh pengertian ROO yang paling sederhana dan lebih mudah untuk diaplikasikan, maka berdasarkan penjelasan di atas juga kita telah dapat menyimpulkan fungsi dari ROO. Namun sebelum membahas tentang fungsi ROO perlu disepakati terlebih dahulu bahwa tidak-adanya kepastian tentang disiplin ROO yang mengikat secara multilateral menjadi satu alasan dilakukannya perundingan atau 17

25 pembahasan ROO sebagai salah satu kebijakan perdagangan. Dalam hal ini jelas sekali bahwa kebutuhan akan implikasi dari ROO semakin besar seiring dengan dinamika perdagangan internasional yang semakin berkembang. Apabila dibandingkan dengan perundingan multilateral sebelumnya, WTO agreement on ROO dapat dikatakan telah berhasil mendobrak beberapa aspek dasar dalam perdagangan internasional, dan telah berani memberikan definisi terhadap pengertian ROO, serta aplikasinya. Lebih jelas tentang fungsi ROO sebenarnya telah dapat dilihat pada beberapa pembahasan singkat di atas yang mengacu pada agreement on ROO, dimana fungsi ROO terbagi menjadi 2 (dua), yaitu : - ROO untuk tujuan non-preferensi, dan - ROO untuk tujuan preferensi. Apa saja fungsi dari masing-masing ROO tersebut, sebenarnya juga telah disebutkan di dalam agreement tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat disampaikan masing-masing sebagai berikut : 1. ROO untuk tujuan non-preferensi Fungsi dari ROO untuk tujuan non-preferensi adalah sebagaimana tersebut pada paragraf 2 artikel perjanjian ini, yang berbunyi : Rules of origin referred to in paragraph 1 shall include all rules of origin used in non preferential commercial policy instruments, such as in the application of: most-favoured-nation treatment under Articles I, II, III, XI and XIII of GATT 1994; anti-dumping and countervailing duties under Article VI of GATT 1994; safeguard measures under Article XIX of GATT 1994; origin marking requirements under Article IX of GATT 1994; and any discriminatory quantitative restrictions or tariff quotas. They shall also include rules of origin used for government procurement and trade statistics. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa paragraf 1 artikel 1 agreement on ROO memberikan definisi tentang ROO untuk tujuan nonpreferensi, baik untuk kebutuhan tarif maupun non tarif. Selanjutnya pada paragraf 2 ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tujuan nonpreferensi adalah sesuai dengan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan pelaksanaan perdagangan internasional. Salah satu ahli ROO dunia, Stefano Inama dalam bukunya yang berjudul Rules of Origin for International 18

26 Trade, mencoba mengelompokan fungsi ROO untuk tujuan non-preferensi menjadi : a. Most-favored-nation (MFN) tariffs and national treatment Fungsi ini mengacu pada artikel I, II, III, XI dan XIII GATT 1994 yang mengatur utamanya tentang tarif MFN, yang harus diterapkan secara adil oleh satu negara atas masuknya komoditas yang diimpor ke negaranya. Namun demikian, dengan alasan tertentu, sebuah negara dimungkinkan untuk menerapkan tarif yang berbeda selain daripada MFN, dengan mengacu pada asal negara (origin) dari komoditas tersebut. b. Quantitative restrictions Ketentuan yang mengatur keasalan suatu barang juga dapat diterapkan dalam hal suatu negara akan menerapkan regulasi mengenai pembatasan jumlah (kuota) barang yang dapat diimpor ke negaranya. Untuk efektifitas penerapannnya, salah satu tools yang digunakan adalah dengan melihat country of origin dari produk yang akan dibatasi tersebut. c. Anti Dumping dan Countervailing duties Apabila dapat dibuktikan bahwa suatu negara mengalami defisit neraca perdagangannya atau kerugian lainnya yang disebabkan perilaku un-fair trade yang dilakukan oleh negara lain, maka negara tersebut dapat menerapkan bea masuk untuk mencegah hadirnya kondisi tersebut. dalam hal ini pemerintah dapat melakukan analisis tentang kemungkinan terjadinya pengelakan anti dumping ataupun bea masuk lain atas komoditas terkait. Pengenaan anti dumping ini tentunya akan mengacu pada suatu negara eksportir yang dianggap produknya tersebut telah membanjiri negara tersebut. Oleh karena itu jelas sekali bahwa ROO sangat diperlukan untuk memastikan apakah memang komoditas asal negara tersebut yang akan dikenakan bea masuk dimaksud. Apabila kebijakan yang akan diterapkan menggunakan tolok ukur lain, maka dikhawatirkan akan memberikan efek negatif yang bahkan dapat merugikan negara yang akan mengajukan kebijakan anti dumping tersebut. 19

27 d. Safeguards measures Ketentuan safeguard merupakan implementasi dari artikel XIX the General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994 yang diberi judul Emergency Action on Imports of Particular Products. Sedangkan Anti Dumping mengacu pada artikel VI GATT, yang diberi judul Anti-dumping and Countervailing Duties. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam rangka perdagangan internasional, terdapat dua kondisi yang tidak dapat dihindari atau kondisi yang sangat besar kemungkinan terjadi, yaitu Defisit dan Surplus. Tentunya kedua kondisi ini harus diantisipasi, mengingat dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara. Kondisi defisit tentunya lebih mendapatkan concern tersendiri, karena efek yang diakibatkan bersifat negatif. Berbeda dengan kondisi pada anti dumping di atas, defisit dapat juga terjadi karena Fair Trade, yaitu suatu kondisi perdagangan internasional yang normal dan sesuai dengan aturan yang ada, tetapi mengakibatkan efek negatif bagi suatu negara. Contoh dari fair trade adalah membanjirnya suatu komoditas tertentu di negara pengimpor, sehingga dapat mengganggu industri sejenis di negara tersebut. Atas kondisi ini negara yang dirugikan dapat melakukan trade remedy atau suatu tindakan guna memperbaiki kondisi dimaksud, sehingga dapat kembali normal. Untuk tindakan akibat fair trade, maka dapat dilakukan safeguard, yaitu penetapan suatu kewajiban yang dibebankan atas masuknya komoditas tersebut ke negara yang dirugikan, misalnya berupa Bea Masuk Safeguard. Penetapan bea masuk safeguard maupun bea masuk anti dumping harus melalui suatu proses yang tidak sederhana, melainkan harus terpenuhinya beberapa persyaratan yang telah ditetapkan oleh WTO, seperti : pengumpulan data, verifikasi, notifikasi, dan sebagainya. 20

28 e. Origin-marking requirement Adakalanya atas suatu komoditas tertentu perlu dilakukan monitoring khusus karena suatu alasan tertentu. Dalam hal ini maka pemerintah negara importir dapat menetapkan kebijakan yang mewajibkan adanya certificate of origin dari negara asal produk tersebut. f. Any discriminatory quantitative restriction and tariff quotas Idealnya sebuah negara yang baik dapat mengetahui seluruh kebutuhan dari masyarakatnya, baik jumlah maupun jenisnya. Mempertimbangkan bahwa negara yang memproduksi produk yang dibutuhkan tersebut dapat bersumber dari berbagai negara dengan segala perbedaan kualitasnya, maka ditetapkan kebjakan pembatasan (kuota) dari setiap negara terkait dalam mengekspor produk sejenis masing-masing. Untuk monitoring jumlah produk dari masing-masing negara tersebut maka ditetapkanlah kuota tertentu yang didasarkan pada origin masing-masing negara. Faktanya kebijakan ini cukup sering disalahgunakan, seperti misalnya kasus ekspor madu eks China ke Amerika Serikat yang diakui sebagai produk Indonesia. Ternyata madu tersebut adalah benar produk China, tetapi transit di Indonesia. Selanjutnya atas madu tersebut diterbitkan certificate of origin oleh pemerintah Indonesia, dengan alasan agar dapat diterima oleh pihak Amerika Serikat. Mengapa demikian? Sesuai penjelasan di atas, ternyata kuota yang diberikan kepada China telah habis dipergunakan. Oleh karena itu pihakpihak yang tidak bertanggung jawab mencari cara agar China tetap dapat mengekpor madu-nya ke Amerika Serikat. Akhirnya ditempuh jalan lain, yaitu mengirimkan madu tersebut terlebih dahulu ke Indonesia, lalu diekspor ke Amerika Serikat dengan dilindungi certificate of origin eks Indonesia. g. Government procurement Dalam rangka pengadaan barang untuk kebutuhan inventaris maupun barang konsumsi, adakalanya pemerintah membuat standar atau kriteria khusus untuk barang yang dibutuhkannya tersebut. Salah satu 21

29 diantaranya adalah mengacu pada produk yang dihasilkan oleh suatu negera tertentu. Mempertimbangkan adanya permintaan khusus tersebut, maka setiap produk yang diimpor harus memenuhi ROO yang ditetapkan oleh negara importir tersebut. h. Trade statistics Sebagaimana dimaklumi bahwa salah satu alat pengambil kebijakan adalah data-data dari transaksi perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara partner-nya. Oleh karena setiap pemerintah berusaha agar data lalu lintas perdagangan dapat tercatat secara akurat dan lengkap, sehingga informasi yang diperoleh serta kebijakan yang akan diambil benar-benar didasarkan pada data yang valid dan akurat tersebut. Dalam pembentukan perjanjian perdagangan dalam rangka perdagangan bebas, hal ini merupakan materi yang sangat vital dan prioritas keberadaannya, mengingat penentuan modalitas harus bersumber pada kekuatan dan kelemahan sektor usahanya, yang dapat dilihat dari data statistik tersebut. 2. ROO untuk tujuan preferensi Fungsi dari ROO untuk tujuan preferensi sebenarnya telah tersirat di dalam definisi ROO sebagaimana tersebut pada ayat 2 annex II agreement on ROO yang berbunyi : For the purposes of this Common Declaration, preferential rules of origin shall be defined as those laws, regulations and administrative determinations of general application applied by any Member to determine whether goods qualify for preferential treatment under contractual or autonomous trade regimes leading to the granting of tariff preferences going beyond the application of paragraph 1 of Article I of GATT Berdasarkan substansi dari artikel di atas, jelas sekali bahwa fungsi dari ROO untuk tujuan preferensi adalah sebagai alat dalam menentukan apakah komoditas barang yang diperdagangkan layak untuk mendapatkan tarif preferensi atau tidak. Ukuran layak atau tidaknya untuk mendapatkan tarif preferensi diatur di dalam masing-masing perjanjian pembentuk skema FTA. 22

30 Namun demikian perlu dicatat bahwa sebenarnya beberapa fungsi yang ada di dalam ROO untuk tujuan non-preferensi juga digunakan dalam ROO untuk tujuan preferensi ini. Misalnya fungsi statistik, dimana setiap negara yang terlibat di dalam skema perdagangan bebas tentunya ingin melakukan monitoring dan evaluasi terhadap utilisasi dari ROO yang diterapkannya. ROO untuk tujuan preferensi merupakan salah satu isu yang paling banyak dibicarakan di dunia, termasuk negara-negara anggota WCO. Berdasarkan catatan yang dimiliki WCO, sedikitnya tercatat lebih dari 200 skema FTA yang melibatkan 96% anggotanya, dengan rata-rata satu negara turut menandatangani 8 (delapan) buah perjanjian pembentuk skema FTA. WCO memberikan perhatian sangat besar atas isu ini, mengingat keterlibatan administrasi pabean di dalamnya yang menjadi penentu apakah suatu produk layak atau tidak mendapatkan tarif preferensi. C. Komponen ROO Sedikit telah disinggung pada pembukaan modul ini bahwa ROO yang akan dibahas adalah untuk tujuan tarif preferensi, yang dapat dikatakan sebagai jantung dari skema FTA, mengingat ketentuan ini menjadi persyaratan/kriteria utama untuk mendapatkan tarif preferensi. Hal ini berarti bahwa tarif preferensi tidak dapat diberikan sepanjang persyaratan di dalam ROO tidak terpenuhi. Persyaratan-persyaratan atau kriteria dimaksud meliputi 3 (tiga) hal, yaitu : 1) Origin Criteria; 2) Direct Consignment Criteria; dan 3) Procedural Provisions. Selanjutnya pembahasan dari masing-masing kriteria akan diuraikan di bawah ini. 1. Origin Criteria Pemberian tarif preferensi merupakan sebuah fasilitas, baik dalam rangka perjanjian internasional yang bersifat timbal balik (contractual), maupun karena kebijakan sepihak dari suatu negara kepada negara lainnya (autonomous), yang salah satu alasannya diantaranya adalah sebagai sebuah penghargaan atas produk yang dihasilkan oleh satu 23

31 negara. Penghargaan ini diberikan sepanjang dapat dibuktikan bahwa yang diperdagangkan merupakan hasil produksinya. Dalam hal produk yang dihasilkan bahan bakunya (materi pembentuknya) bersumber dari satu negara (seperti hasil pertanian, hasil tambang, dan sebagainya), tentunya hal ini sangat mudah untuk dibuktikan sebagai origin dari negara tersebut. Namun demikian kondisinya akan berbeda apabila ternyata materi pembentuk dari suatu produk yang dihasilkan oleh satu negara faktanya berasal dari lebih dari satu negara. Berdasarkan situasi ini maka selanjutnya origin dari suatu barang dikembangkan secara terus menerus, seiring dengan berlangsungnya pertemuan-pertemuan multilateral yang membahas tentang ROO, seperti Putaran Tokyo (Tokyo Round) dan Putaran Uruguay (Urugay Round). Hasil dari pembahasan tersebut kemudian dimunculkan dalam ROO agreement, yang merupakan produk dari WTO, dan juga the Revised Kyoto Convention, yang merupakan produk dari WCO. Secara prinsip kedua instrumen tersebut membagi kriteria origin menjadi dua bagian, yaitu : a) Wholly Obtained or Wholly Produced, dimana hanya satu negara yang terlibat dalam memperoleh atau membuat suatu produk; dan b) Substantial Transformation, dimana negara yang melakukan perubahan substansi paling signifikan (lebih tepatnya disebut sebagai negara yang melakukan perubahan terakhir sebelum diekspor) yang dianggap sebagai negara asal dari produk tersebut. Selanjutnya dalam perjanjian yang diikuti Indonesia juga dalam beberapa skema FTA yang ada, pembagian kriteria origin sedikit dibedakan menjadi sebagaimana dibawah ini, yaitu : a. Wholly Obtained or Wholly Produced; dan b. Not Wholly Obtained or Wholly Produced. Untuk memudahkan pembahasan kedua kriteria origin tersebut, penulis membaginya menjadi 2 (dua) bab setelah ini, dengan maksud agar lebih fokus dan memudahkan pemilahan antara keduanya. 24

32 2. Direct Consignment Criteria Persyaratan untuk disebut sebagai origin dari suatu negara tidak cukup dengan dibuktikan dari sisi pembuatannya atau proses produksi atau cara perolehannya, melainkan juga harus memenuhi kriteria pengangkutan. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan bahwa barang tersebut diangkut langsung dari negara tempat pembuatannya ke negara pengimpor. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai pengangkutan langsung atau direct consignment. Contoh dari pengangkutan langsung adalah sebagai berikut : Sebuah perusahaan di Indonesia memesan 100 unit Air Conditioner (AC) buatan dari sebuah perusahaan di Jepang, dengan merek TOSHOBO. Atas pemesanan ini pihak perusahaan di Jepang menyatakan setuju dan segera mengirimkannya ke Indonesia setelah semua persyaratan adminstratif terkait transaksinya diselesaikan keduabelah pihak. Pada saat pengiriman inilah pihak eksportir harus memastikan bahwa AC diangkut dari Jepang langsung ke Indonesia, tanpa melalui negara lain. Faktanya prosedur ini tidak mudah untuk dipenuhi untuk setiap transaksi perdagangan internasional. Hal ini disebabkan perusahaan pelayaran bagaimanapun telah memiliki jalur tersendiri sesuai dengan kepentingan bisnisnya serta ijin yang dimilikinya. Misalnya, apabila jalur tercepat adalah melalui sebuah negara lain, tentunya perusahaan pelayaran akan melewati negara tersebut, karena dianggap lebih ekonomis. Begitu juga dalam hal bahwa rute yang harus ditempuh ternyata melalui jalur-jalur tertentu yang secara geografis harus melewati negara yang bukan merupakan tujuan pengiriman barang. Mempertimbangkan situasi dan kondisi tersebut maka di dalam the Revised Kyoto Convention diberikan rekomendasi atau best practices yang dapat diterapkan dalam perjanjian pembentuk suatu skema FTA-Trade In Goods, berupa fleksibilitas bahwa klausul direct consignment, dapat meliputi : 25

33 a. Pengangkutan langsung dari negara pengekspor ke negara pengimpor, tanpa melakukan penghentian di negara lain; atau b. Pengangkutan dari negara pengekspor ke negara pengimpor dengan melewati (baik dalam rangka transit maupun transhipment) negara lain (dalam hal skema FTA, maka negara lain disini adalah meliputi negara anggota skema FTA tersebut maupun bukan negara anggota), dengan persyaratan : Ø Selama melakukan kegiatan transit/transhipment tidak terdapat proses produksi dan/atau proses lainnya yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk atas barang tersebut, kecuali hanya bongkar muat. Ø Tidak terdapat transaksi selama dalam prosedur transit/transhipment. Maksudnya adalah tidak terjadi perpindahan kepemilikan atas barang tersebut kepada pihak lain selain yang tecantum di dalam dokumen yang melindunginya. Ø Prosedur transit/transhipment diperlukan hanya karena mempertimbangkan kepentingan logistik, kondisi ekonomis, kondisi geografis, maupun pertimbangan lain yang diperlukan untuk keamanan dan/atau keutuhan barang. Ø Tidak terjadi proses Customs clearance (pengeluaran barang ke tempat lain diluar daerah pabean), melainkan tetap dalam pengawasan administrasi pabean negara transit tersebut. Artinya tidak terdapat pengajuan Import Declaration (untuk Indonesia disebut PIB). Tentunya alasan-alasan di atas harus dapat meyakinkan administrasi pabean di negara pengimpor, agar tarif preferensi dapat diberikan. Dalam hal ini, selain dokumen yang telah lazim digunakan dalam perdagangan internasional (seperti : B/L, Invoice, Packing List, dan sebagainya), pihak administrasi pabean di negara pengimpor dapat meminta dokumendokumen pendukung lain yang dianggap relevan dengan kegiatan di atas, kepada importir. 26

34 Kegagalan importir dalam memenuhi permintaan dokumen yang dianggap perlu di atas, dapat mengakibatkan tidak diberikannya tarif preferensi atas barang yang diimpornya. Namun demikian hal ini tetap bergantung dari kebijakan nasional masing-masing. 3. Procedural Provisions Setelah kedua persyaratan di atas dapat dipenuhi, maka persyaratan terakhir adalah terkait pembuktian dari origin dalam bentuk sertifikat (dokumen) yang akan melindungi produk tersebut, yang disebut dengan Certificate of Origin. menurut chapter 2 dari Special Annex K the Revised Kyoto Convention, certificate of origin didefinisikan sebagai : a specific form identifying the goods, in which the authority or body empowered to issue it certifies expressly that the goods to which the certificate relates originate in a specific country. This certificate may also include a declaration by the manufacturer, producer, supplier, exporter or other competent person. (sebuah formulir khusus yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang, yang mengidentifikasikan bahwa suatu produk telah memenuhi kriteria origin dari negara tersebut. sertifikat ini dapat meliputi pernyataan yang dikeluarkan oleh fabrikan, produsen, pemasok, eksportir, ataupun pihak lain yang berkompeten). Sepertinya definisi di atas telah menjelaskan secara gamblang tentang pengertian dari sertifikat yang dapat digunakan sebagai documentary evidence of origin (dokumen yang membuktikan origin). Di dalam sertifikat tesebut akan diisi dengan pernyataan dari pihak yang berwenang tentang kriteria origin dari produk yang akan diekspornya. Sertifikat tentang origin dari suatu barang wajib diserahkan kepada adminstrasi pabean, sebagai receiving authority yang diberi kewenangan untuk menentukan apakah suatu barang dapat diberikan tarif preferensi atau tidak di negara pengimpor. Berdasarkan penjelasan di atas, maka persyaratan prosedur yang harus ditempuh adalah dimulai saat pengajuan permohonan untuk mendapatkan sertifikat tentang keasalan suatu barang (certificate of origin) di negara pengekspor sampai dengan pengajuannya bersama-sama 27

35 dengan pemberitahuan impor barang (import declaration) di negara pengimpor. Untuk memudahkan pemahaman dari procedures provisions, penulis akan membahas materi ini pada modul tersendiri, yang substansinya merupakan penjelasan dari Operational Certification Procedures (OCP) perjanjian pembentuk skema FTA yang diikuti oleh Indonesia. 1.2 Latihan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban yang singkat, dan jelas! 1. ROO pada dasarnya adalah kriteria untuk menentukan negara asal atau origin dari suatu komoditas. Namun demikian ada baiknya definisi yang digunakan mengacu pada dokumen internasional yang telah diakui secara luas. Apa yang dimaksud dengan ROO menurut pengertian dalam WTO Agreement on Rules of Origin? 2. Atas barang yang telah ditetapkan kriteria originnya tidak serat merta dapat diberikan tarif preferensi, melainkan wajib memenuhi kriteria/persyaratan lain yang melekat pada ROO. Sebutkan 3 (tiga) komponen dari ROO dimaksud sehingga suatu produk berhak mendapatkan tarif preferensi? jelaskan! 3. Dalam penetapan origin suatu barang yang diekspor antar negara anggota yang terlibat di dalam skema FTA, terdapat 3 (tiga) persyaratan yang harus dipenuhi oleh komoditas dimaksud, termasuk direct consignment. Menurut pemahaman Saudara, apakah yang dimaksud dengan Direct Consignment! 4. Upaya WTO untuk melakukan harmonisasi ROO patut dihargai mempertimbangkan kompleksitas dari substansi terkait di dalamnya. Namun demikian, sampai dengan saat ini manakah yang telah dilakukan harmonisasi oleh WTO? 5. Dalam skema FTA yang berbasis pemberian tarif preferensi, terdapat otoritas pemerintah ataupun pihak swasta yang ditunjuk menjadi penerbit maupun penerima dari certificate of origin. Siapa yang biasanya dimaksud sebagai receiving authority dalam prosedur untuk mendapatkan tarif preferensi? sebutkan contohnya. 28

36 1.3 Rangkuman Lahirnya Agreement on Rules of Origin bersamaan dengan selesainya Uruguay Round (1993) merupakan sumbangan besar dari para wakil negara yang hadir pada sidang tersebut dan berhasil melakukan harmonisasi tentang pengertian dari ROO, sehingga memudahkan pemakaiannya pada saat ini. Sekalipun ROO yang telah dapat diharmonisasi adalah terkait ROO untuk tujuan non-tarif preferensi, tetapi ROO untuk tujuan tarif preferensi setidaknya telah diawali dengan dibuatnya common declaration sebagai tambahan dari agreement on ROO tersebut. Berbekal lampiran tambahan ini, para negosiator menjadi termudahkan dalam melakukan perundingan pembentukan skema FTA Trade in Goods, utamanya dalam mendefinisikan ROO sebagai bagian dari perjanjian pembentukan skema FTA. ROO terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu ROO untuk tujuan non-tarif preferensi, dan ROO untuk tujuan tarif preferensi. Masing-masing dari ROO memiliki fungsi yang sebenarnya memiliki kesamaan, kecuali fungsi yang berkaitan dengan pemberian fasilitas penurunan dan/atau penghapusan tarif bea masuk hanya dimiliki ROO untuk tujuan tarif preferensi. ROO dapat dikatakan sebagai substansi paling penting di dalam skema FTA, karena merupakan syarat utama dari fasilitas yang disediakan. Tidak terpenuhinya ROO, maka fasilitas tidak dapat diberikan. Persyaratan yang harus dipenuhi tersebut meliputi 3 (tiga) hal, yaitu : 1. Origin Criteria; 2. Direct Consignment Criteria; dan 3. Procedural Provisions. Origin Criteria berbicara tentang kriteria-kriteria yang disediakan untuk menyatakan origin dari suatu barang, apakah wholly obtained atau not wholly obtained. Cara paling sederhana untuk melihat apakah suatu barang yang perdagangankan termasuk wholly obtained atau not wholly obtained adalah dengan melihat jumlah negara yang terlibat. Apabila hanya satu negara yang terlibat maka dapat dikatakan bahwa barnag tersebut merupakan wholly obtained. Akan tetapi apabila yang terlibat adalah lebih dari satu negara, maka dapat dipastikan bahwa barang tersebut merupakan bagian dari not wholly 29

37 obtained. Namun demikian asumsi ini tetap memerlukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahuinya secara benar. Direct consignment criteria merupakan syarat kedua dalam ROO, dimana barang yang diajukan untuk mendapatkan tarif preferensi harus dikirim langsung dari negara eksportir ke negera importir. Namun demikian, faktanya terdapat fleksibilitas yang diperbolehkan (atau direkomendasikan) oleh WCO dan WTO, sehingga pengangkutan barang dapat dilakukan melalui negara lain (transit/transhipment) dengan mempertimbangkan alasan ekonomis, logistik, dan geografis, sepanjang tidak terdapat perubahan atas barang yang diangkut baik jumlah, jenis, maupun kepemilikan. Syarat ketiga menjadi bagian dari ROO adalah procedural provisions, yaitu prosedur yang terkait dengan pembuktian origin dengan menggunakan sebuah dokumen yang disebut Certifikat of Origin dalam format yang telah disepakati. Prosedur ini terkait dengan penerbitan oleh issuing authority di negara eksportir sampai dengan penerimaan sertifikat oleh administrasi pabean di negara importir. 1.4 Tes Formatif 1 Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jelas dan singkat! 1. Sebuah perusahaan A di Jakarta melakukan pemesanan 100 unit mesin diesel dari perusahaan di Jepang. Atas pesanan ini pihak perusahaan Jepang menghubungi perusahaan pelayaran untuk persiapan pengirimannya. Ternyata jalur yang akan dilalui kapal pengangkut milik perusahaan pelayaran tersebut harus melalui beberapa negara, sehingga tidak dapat langsung menuju tempat dimana importir berada. Jelaskan tentang permasalahan ini berdasarkan ketentuan direct consignment! 2. Memperhatikan definisi ceritificate of origin yang diambil dari the Revised Kyoto Convention, sepertinya terdapat kemungkinan adanya sertifikat yang tidak diterbitkan oleh instansi pemerintah. Jelaskan! 3. Procedural provisions merupakan salah satu syarat dalam ROO yang harus dipenuhi agar atas barang yang diperdagangkan mendapatkan tarif preferensi. Apa saja yang diatur dalam procedural provisions? 30

38 4. Pada akhir pertemuan Uruguay Round tahun 1993, disepakati tentang pembentukan World Trade Organization (WTO) dengan beberapa agreement pelengkap yang akan menjadi panduan bagi negara anggota dalam membuat sistem dan prosedur terkait perdagangan internasional, termasuk diantaranya adalah Agreement on Rules of Origin. Mengacu pada agreement tersebut, disinggung tentang definisis ROO tujuan tarif preferensi dan non tarif preferensi. Sebutkan perbedaan keduanya! 5. Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk melindungi industri dalam negerinya adalah dengan menggunakan mekanisme safeguard dan anti-dumping. Apakah perbedaan dari kedua istilah di atas, dan bagaimana untuk implementasinya? jelaskan! 1.5 Umpan Balik dan Tindak Lanjut Coba cocokkan hasil jawaban Anda dengan materi yang sudah ada pada pembahasan ini. Hitunglah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda terhadap materi pada kegiatan belajar ini. Perhatikan dan cocokan hasil jawaban Anda dengan kualifikasi hasil belajar yang telah terinci sebagaimana rumus berikut. TP = Jumlah Jawaban Yang Benar X 100% Jumlah keseluruhan Soal Apabila tingkat pemahaman (TP) dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai: 91 % s.d 100 % : Sangat Baik 81 % s.d. 90,99 % : Baik 71 % s.d. 80,99 % : Cukup 61 % s.d. 70,99 % : Kurang 0 % s.d. 60,99 % : Sangat Kurang Bila hasil perhitungan Anda telah mencapai 81 % atau lebih, maka Anda telah menguasai materi kegiatan belajar ini dengan baik. Untuk selanjutnya Anda dapat melanjutkan kegiatan belajar berikutnya. Jika belum mencapai angka 81%, kami menyarankan agar anda mengulang kembali materi kegiatan belajar ini. 31

39 Wholly Obtained atau Wholly Produced 2 Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan : 1. Dapat menjelaskan pengertian umum tentang wholly obtained atau wholly produced; 2. Dapat menjelaskan pembagian origin criteria dalam wholly obtained atau wholly produced; 3. Dapat memberikan contoh-contoh origin criteria dalam wholly obtained atau wholly produced. 2.1 Uraian dan Contoh Di atas telah disinggung bahwa origin criteria wholly obtained atau wholly produced merupakan salah satu dari origin criteria yang ada, dimana pada intinya adalah bahwa negara yang terlibat dalam pengadaan atau produksi barang tersebut hanya satu negara. Hal ini berbeda dengan not wholly obtained atau wholly produced yang pengadaan atau proses pembuatannya melibatkan lebih dari satu negara, karena adanya sumbangan material/bahan baku yang berasal dari negara lain. Kriteria wholly obtained lebih banyak diterapkan pada produk-produk alami atau barang-barang tertentu yang dihasilkan dari material alami yang seluruhnya bersumber dari negara yang sama, seperti : hasil pertanian yang dipanen langsung di negara tersebut, binatang ternak, hasil buruan, dan sebagainya, yang benar-benar mengecualikan produk atau material impor. Contoh barang lainnya yang mengalami perubahan substansi dari material/bahan baku dan merupakan kriteria wholly obtained/produced misalnya adalah : minuman yang dikemas dalam botol/kemasan khusus dengan bahan baku dari buah-buahan yang dipanen dan dikumpulkan di satu negara yang sama dengan proses produksinya, sparepart mobil yang bahan bakunya merupakan mineral dari hasil tambang negara yang bersangkutan, dan sebagainya. 32

40 Seluruh skema FTA yang diikuti oleh Indonesia memiliki kriteria wholly obtained atau wholly produced, walaupun dengan istilah yang bervariasi dalam penerapannya di dalam certificate of origin. Dalam bab pendahuluan telah disinggung tentang kriteria wholly obtained atau wholly produced, yang disingkat WO ataupun dengan kode X (untuk skema ASEAN-China FTA). Maksud pemberian kode ini adalah untuk memudahkan para instansi penerbit surat keterangan asal dalam menuliskan istilah wholly obtained atau wholly produced dalam certificate of origin kolom 8, sebagaimana contoh berikut : WO Jenis-jenis produk yang dapat dikategorikan sebagai wholly obtained atau wholly produced, dapat dilihat pada special annex K the Revised Kyoto Convention, yang membagi kategori dari wholly obtained atau wholly produced. Kategori ini kemudian diadopsi dalam perjanjian pembentukan skema FTA Trade in Goods dengan berbagai modifikasi baik dalam struktur (susunan) maupun tujuan lainnya, seperti untuk memudahkan pemahaman atau barangkali untuk disesuaikan dengan kemampuan dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan analisis penulis, susunan dari origin criteria untuk wholly obtained atau wholly produced yang ada di dalam perjanjian pembentukan skema FTA yang diikuti oleh Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Plant and plant products, grown and harvested, picked or gathered in the exporting member state (tanaman dan produk tanaman) 2. live animals born and raised in the exporting country (binatang hidup) 3. products obtained from live animals in that country 33

41 (produk dari binatang hidup) 4. products obtained from hunting or fishing and others activities conducted in that country (produk hasil berburu atau memancing dan kegiatan lainnya) 5. mineral products extracted from its soil, from its territorial waters or from its sea-bed (produk mineral dari dalam tanah, air, atau dasar laut) 6. products of sea fishing and other marine products taken from high seas by vessels registered in that country (produk hasil tangkapan di laut dan produk laut lainnya) 7. products processed and/or made on board factory ship of that country solely from products of the kind covered by paragraph (6) above (produk factory ship atas hasil tangkapan tersebut butir 6 di atas) 8. scrap and waste from manufacturing and processing operations, and used articles, collected in that country and fit only for the recovery of raw materials (sisa dan buangan pabrik, serta barang-barang bekas) 9. goods produced in that country solely from the products referred to in paragraphs (1) to (9) above. (barang-barang yang dihasilkan dari produk-produk di atas) Lebih lanjut penjelasan untuk masing-masing origin criteria di atas adalah sebagai berikut : 1. Tanaman dan Produk Tanaman Kategori ini di dalam Special Annex K the Revised Kyoto Convention hanya disebutkan vegetable products harvested or gathered in that country. Namun demikian dalam perkembangannya cakupan dari kategori ini menjadi lebih luas, sebagaimana digunakan dalam skema FTA di ASEAN, yang meliputi : buah-buahan, bunga, sayuran, pepohonan, rumput laut, jamur, dan tanaman hidup. 34

42 Hal yang dipersyaratkan untuk kategori ini adalah grown and harvested, picked or gathered (tumbuh dan dipanen, dipetik atau dikumpulkan) di negara eksportir. Artinya terhadap tanaman dan hasil tanaman tersebut merupakan hasil kegiatan yang dilakukan di negara eksportir. Contohnya adalah kelapa sawit, karet, kopra, bunga hias, dan sebagainya yang merupakan hasil tanah Indonesia, maka dapat diekspor dengan origin criteria WO dengan mendapatkan tarif preferensi. lebih jelas dapat dilihat gambar di bawah ini : Import from Malaysia Plant Growup Final product Berdasarkan contoh gambar di atas, dapat dilihat bahwa apabila diasumsikan sebuah perusahaan di Indonesia mengimpor bibit buah belimbing dari Malaysia. Bibit tersebut lalu ditanam, tumbuh, dan dipanen hasilnya di Indonesia, kemudian hasilnya diekspor ke negara anggota skema FTA, maka atas impor barang tersebut dapat diberikan tarif preferensi. Sekalipun bibitnya berasal dari negara lain (baik anggota skema FTA maupun bukan), tetapi skema di atas memenuhi persyaratan dari kriteria WO kategori ini, dimana buah belimbing tersebut tumbuh dan dipanen/dipetik/dikumpulkan di Indonesia (di satu negara anggota). Oleh karena itu pada saat pengajuan surat keterangan asal eksportir aka mencantumkan kode WO pada kolom 8. 35

43 2. Binatang hidup Kategori ini meliputi seluruh binatang hidup, termasuk di dalamnya : mamalia, kelompok burung, kelompok ikan, kelompok siput, kelompok kerang, reptil, bakteri, dan virus. Persyaratan utama dari kategori ini adalah, binatang tersebut harus lahir dan dibesarkan di negara pengekpor. Contohnya adalah Ikan Arwana yang khas Indonesia, apabila dapat diperjualbelikan, maka atas ekspornya ke negara anggota skema FTA dapat diberikan certificate of origin dan di negara importir dapat diberikan tarif preferensi. Adanya pesyaratan lahir dan dibesarkan, tentunya membuka peluang lain agar dapat memperoleh tarif preferensi, yaitu dalam hal induknya ternyata dari negara lain, lalu setelah tiba di Indonesia melahirkan, dan setelah besar diekspor ke negara anggota skema FTA, maka atas ekspor binatang ini juga pada saat kedatangannya di negara importir dapat diberikan tarif preferensi sebagaimana gambar di bawah. Dad Mom Grow-up Born Menurut gambar di atas, Indonesia mengimpor induk Panda dari China untuk dipelihara dan dikembangbiakkan di Indonesia. Setelah beberapa lama, induk panda tersebut hamil dan melahirkan anaknya di Indonesia. Anak Panda ini dibesarkan di Kebun Binatang, dan setelah besar lalu diekspor ke negara anggota skema FTA lainnya. Atas transaksi ini, maka importasi anak panda ini di negara importir dapat diajukan untuk mendapatkan tarif preferensi dengan kriteria origin WO. 36

44 Dalam hal ini anak panda memenuhi persyaratan sebagai WO, oleh karena dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. 3. Produk dari binatang hidup Selain binatang hidup, kriteria WO juga dapat digunakan untuk produk dari binatang hidup. Dalam dokumen the Revised Kyoto Convention maupun dokumen lainnya, termasuk perjanjian pembentuk skema FTA yang diikuti oleh Indonesia, tidak terdapat batasan mengenai produkproduk dari binatang hidup tersebut. Stefano Inama dalam bukunya Rules of Origin in International Trade menyebutkan bahwa produk dari binatang hidup diantaranya meliputi : daging, susu, telur, madu alam, rambut hewan, wool, dan sebagainya. Apabila dikaitkan dengan gambar panda di atas, seandainya yang diimpor adalah Sapi, kemudian melalui proses yang sama seperti panda, dan akhirnya anak sapi yang telah cukup umur tersebut dipotong dan dagingnya diekspor, maka atas daging sapi tersebut berhak mendapatkan tarif preferensi di negara importirnya. Permasalahan yang masih dibicarakan oleh Technical Committee on Rules of Origin di WCO adalah tentang fillet ikan. Beberapa negara menganggap bahwa atas transaksi fillet ikan dengan menggunakan tarif preferensi harus diketahui terlebih dahulu dimana ikan tersebut ditangkap. Tentunya hal ini sangat sulit ditelusuri mengingat tidak terdapat dokumen yang melindunginya. Oleh karena itu dalam hal terdapat impor fillet ikan ke Indonesia, sebaiknya dimintakan penjelasan tentang sumber ikan tersebut, sehingga dapat dipastikan apakah memenuhi kriteria WO atau tidak. 4. Produk hasil berburu atau memancing dan kegiatan lainnya Berdasarkan perjanjian skema FTA yang ada, kegiatan yang dimasukkan dalam kategori ini meliputi : berburu, menjerat, memancing, budidaya binatang air, mengumpulkan, dan kegiatan menangkap lainnya, yang 37

45 semuanya ditujukan pada hewan liar. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah seluruh kegiatan tersebut harus dilakukan di negara eksportir. Berikut adalah contoh hewan hasil buruan ataupun kegiatan lainnya. obtained by hunting, trapping, fishing, farming, aquaculture, gathering or capturing in one country Export Reduce Tax Conform to right condition Apabila kita perhatikan pada gambar di atas, terdapat satu persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu bahwa kegiatan di atas harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku (conform to right condition). Hal ini patut dimaklumi mengingat terdapat beberapa hewan yang termasuk dalam kategori satwa liar yang dilindungi, sehingga setiap hasil buruan dan/atau kegiatan lainnya harus dapat dibuktikan bahwa hewan tersebut tidak termasuk di dalamnya. 5. Produk mineral dari dalam tanah, air, atau dasar laut Prinsip dari kategori ini adalah bahwa barang yang dimaksud merupakan produk alami atau terbentuk secara alami. Adanya proses produksi hanya merupakan prosedur untuk mengeluarkan produk yang diinginkan tersebut dan telah ada di dalam mineral yang akan diolah. kategori ini meliputi mineral dasar (crude minerals) dan substansi lain yang terbentuk secara alami, seperti : batu-batuan, pasir alami, tanah liat, biji besi dan bijih metal lainnya, gas alam, minyak mentah, bitumen, air mineral alami, logam mulia, dan sebagainya. Produk mineral seharusnya merupakan komoditas spesifik yang mudah untuk diawasi pergerakannya karena tidak semua negara memilikinya. Oleh karena itu pengawasan administrasi pabean atas hal ini tidak 38

46 serumit produk olahan lainnya, yang merupakan akumulasi dari bahanbahan yang bersumber dari lebih dari satu negara. Namun demikian, ketika terjadi pengolahan (proses produksi) sumber daya alam di satu negara lain yang bukan penghasil tambangnya, kemudian diekspor ke negara lain, maka permasalahan penetapan kriteria origin menjadi sedikit rumit dan memerlukan pembuktian yang cukup. Artinya produk yang diekspor tidak menggunakan kriteria origin WO melainkan kriteria lainnya, seperti Change Tariff Classification (CTC), atau bahkan Regional Value Content (RVC). Contoh penggunaan kriteria origin selain WO pada hasil tambang adalah untuk Asphalt, dimana bitumen kasarnya ditambang di Indonesia, yang kemudian diekspor ke Singapore untuk proses refinery (pemurnian). Setelah mengalami proses refinery tersebut, selanjutnya atas produk barang jadinya (yaitu Asphalt) diekspor ke Indonesia dengan menggunakan kriteria origin : Regional Value Content atau RVC lebih dari nilai yang dipersyaratkan, sehingga oleh pihak issuing authority di Singapore diterbitkan certificate of origin, dan pada saat pengajuan ke petugas administrasi pabean di Indonesia yang bersangkutan dapat memperoleh tarif preferensi. Contoh lain dari produk mineral adalah sebagai berikut : Reduce Tax Memperhatikan alur produksi di atas, dapat diketahui bahwa gambar tersebut merupakan proses pembuatan emas batangan, yang diawali dengan penambangan bijih emas, lalu diolah menjadi emas batangan yang siap diekspor. Dimilikinya pengetahuan tentang ataupun informasi 39

47 tentang ciri khas kekayaan alam dari suatu negara eksportir akan mempermudah pejabat pabean dalam membuat keputusan apakah suatu komoditas yang diimpor berhak mendapatkan tarif preferensi atau tidak. Apabila pada suatu saat terdapat impor emas batangan dengan negara asal Singapore dan origin criteria WO, hal ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan apakah Singapore memiliki tambang emas? Pertanyaan ini harus terjawab karena sangat penting dalam membuat keputusan yang akan berpengaruh pada penerimaan negara. 6. produk hasil tangkapan di laut dengan kapal negara yang bersangkutan Prinsip utama dari produk yang termasuk dalam kategori salah satu wholly obtained atau wholly produced ini adalah adanya kegiatan penangkapan yang dilakukan dengan menggunakan kapal yang secara hukum diakui oleh negara eksportir bahwa kapal tersebut berhak untuk beroperasi dan melakukan penangkapan di perairan yang diijinkan menurut hukum dan ketentuan yang berlaku. Lebih tegas lagi, kapal tersebut harus terdaftar di negara eksportir. Beberapa produk hasil tangkapan di laut saat ini masih merupakan salah satu substansi yang sedang dalam pembahasan technical committee on rules of origin (TCROO) yang berkantor di WCO, yang secara rutin mengadakan pertemuan untuk melakukan pembahasan hal-hal teknis terkait ROO. Oleh karena itu sangat dimaklumi apabila kemudian substansi dari kategori ini memiliki sedikit perbedaan untuk beberapa perjanjian pembentuk skema FTA. Sebagai contoh adalah bunyi kategori ini dalam skema AFTA, dimana artikel 27 huruf f yang berbuyi : Products of sea-fishing taken by vessels registered with a Member State and entitled to fly its flag and other products taken from the waters, seabed or beneath the seabed outside the territorial waters of that Member State, provided that that Member State has the rights to exploit such waters, 40

48 seabed and beneath the seabed in accordance with international law. Hal ini berbeda dengan bunyi Rule 3 huruf f dari ROO yang dari perjanjian pembentukan skema ASEAN-China FTA, yang berbunyi : Products taken from the waters, seabed or beneath the seabed outside the territorial waters of that Party, provided that that Party has the rights to exploit such waters, seabed and beneath the seabed in accordance with international law Perbandingan antar skema FTA untuk kategori ini dapat dilihat pada matrik sebagai berikut : ATIGA ACFTA AKFTA AJFTA AANZFTA AIFTA Products of Products products of goods taken goods of sea- products sea-fishing taken from sea-fishing from the fishing and taken from taken by the waters, taken by waters, other marine the waters, vessels seabed or vessels seabed or goods taken seabed or registered beneath the registered beneath the from the high beneath the with a seabed with the Party seabed seas, in seabed Member State outside the and entitled to outside the accordance outside the and entitled to territorial fly its flag, territorial with territorial fly its flag and waters of that and other waters of the international waters of the other Party, products Party, law 2, by any Party, products 1 provided that taken by the provided that vessel provided that taken from that Party has Party or a the Party has registered or that Party the waters, the rights to person of that the rights to recorded with a has the rights seabed or exploit such Party, from exploit such Party and to exploit beneath the waters, the waters, waters, entitled to fly such waters, seabed seabed and seabed or seabed and the flag of that seabed and outside the beneath the beneath the beneath the Party beneath the territorial seabed in seabed seabed in seabed in waters 2 of accordance outside the accordance accordance that Member with territorial with its laws with the State, international waters of the and United provided that law Party, regulations Nations that Member provided that and Convention State has the the Party has international on the Law of rights to the rights to law the Sea, exploit such exploit 1 the 1982 waters, natural seabed and resources of beneath the such waters, seabed in seabed and 41

49 accordance with international law beneath the seabed under international law Berdasarkan data yang ada, sejauh ini Indonesia belum banyak menggunakan kategori ini untuk mendukung kegiatan ekspor maupun impor. Hal ini menurut penulis disebabkan kurangnya pemahaman dari pihak penerbit certificate of origin maupun pihak dunia usaha. 7. produk factory ship atas hasil tangkapan tersebut butir 6 Kategori berikutnya yang juga dapat menggunakan kriteria wholly obtained/produced masih terkait dengan produk perairan (laut), dimana adakalanya para nelayan modern tidak membawa hasil tangkapannya ke daratan, melainkan langsung melakukan proses dan/atau mengolahnya menjadi komoditas tertentu yang siap dipasarkan kemudian. Penangkapannya pun tentunya tidak menggunakan kapal tangkap yang sederhana, melainkan kapal besar yang telah dilengkap peralatan canggih yang mampu dioperasikan sedemikian rupa untuk memproduksi produk akhir yang diharapkan. Gambar berikut kiranya dapat memberikan pemahaman tentang contoh produk yang termasuk di dalam kategori ini. Factory Ship Arrest Whale meat 42

50 Menurut gambar di atas, sebuah kapal modern penangkap ikan yang dilengkapi dengan peralatan canggih telah berhasil menangkap seekor ikan paus di perairan dalam. Atas hasil tangkapannya tidak dibawa ke daratan, melainkan dilakukan pengolahan lebih lanjut berupa pemotongan dan pengemasan. Setelah dilakukan pengemasan sesuai dengan standar yang dimilikinya, selanjutnya atas daging paus dalam kemasan tersebut diekspor ke negara anggota skema FTA dengan dilindungi certificate of origin yang sesuai dengan skema FTA dimaksud, sehingga berhak mendapatkan tarif preferensi di negara importir. 8. sisa dan buangan pabrik/sampah, serta barang-barang bekas Dalam kategori ini sebenarnya terdapat 3 (tiga) sub-kategori yang dalam beberapa perjanjian pembentuk skema FTA dipisahkan menjadi : a) barang-barang sisa ; b) buangan pabrik/sampah; dan c) barang-barang bekas. Namun demikian ketiganya memiliki persyaratan yang sama, yaitu barang-barang tersebut bersumber dari produk barang jadi yang merupakan hasil manufaktur atau proses, baik di negara eksportir maupun dari negara lain. Scrap of paper Used goods Waste of plastic Collected W O EXPORT Mendapatkan tarif preferensi Pada gambar di atas dapat dilihat tiga kelompok barang yang dikumpulkan di Indonesia (atau di salah satu negara anggota sebuah skema FTA), yaitu : buangan kertas, plastik sisa pakai, dan barang bekas yang tidak dapat dipakai lagi sebagaimana fungsi dari barang jadinya. 43

51 Untuk kertas-kertas sisa, bisa saja berupa sisa-sisa media massa impor (berbahasa asing) yang masuk ke Indonesia sebelumnya karena permintaan pelanggan di sini. Setelah dibuang, kemudian dikumpulkan oleh para pengumpul barang bekas. Untuk plastik bekas, juga bisa berasal dari plastik bekas pengemas produk-produk impor, seperti makanan ringan, pembungkus perangkat elektronik, dan sebagainya. Adapun untuk barang bekas, bisa juga merupakan potongan-potongan atau sisa-sisa alat-alat berat eks impor yang sudah tidak dapat digunakan sebagaimana fungsinya atau bahkan telah hancur, sehingga tidak terlihat lagi bentuk barang jadinya. Apabila kumpulan barang-barang ini diekspor ke negara anggota skema FTA, maka berhak mendapatkan tarif preferensi di negara pengimpornya. Begitu juga apabila dilakukan pengolahan lebih lanjut, seperti plastik sisa pakai di atas yang dimungkinkan diolah menjadi biji plastik, maka atas ekspor biji plastik, berhak mendapat tarif preferensi di negara pengimpor, sebagaimana gambar dibawah ini, dengan menggunakan kriteria WO. 9. barang-barang yang dihasilkan dari produk-produk di atas Kategori terakhir dari origin criteria wholly obtained atau wholly produced adalah adanya perubahan substansi dari produk-produk di atas melalui proses produksi. 44

52 Prinsip dari kategori ini adalah menggunakan bahan baku yang memenuhi origin criteria wholly obtained atau wholly produced sebagaimana butir 1 sampai dengan 8 di atas, dan prosesnya dilakukan di negara eksportir. Sepanjang ini dapat dibuktikan, maka atas produk tersebut berhak mendapatkan tarif preferensi di negara importir. Sebagai ilustrasi atau contoh, dapat digambarkan sebagai berikut : Product Not exported Produce Transform Alcoholic beverage export Contain in bottle Pada kategori 1 telah dibahas tentang impor bibit buah belimbing dari Malaysia ke Indonesia, lalu ditanam di Indonesia, dan hasil panennya diekspor ke negara anggota skema FTA. Pada kategori 9 ini, atas belimbing yang telah dipanen tidak dilakukan diekspor, melainkan dilakukan proses lebih lanjut menjadi minuman sebagai produk akhirnya, dan kemudian diekspor. Atas ekspor minuman ini dapat diberikan tarif preferensi sesuai skema FTA yang akan digunakan. 2.2 Latihan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban yang singkat, dan jelas! 1. Seorang peternak di Malaysia mengimpor 20 ekor sapi dari Austalia, yang akan dijadikan sebagai pejantan bagi sapi-sapi lokalnya. Dari hasil perkawinannya telah lahir 100 ekor sapi yang sesuai dengan harapan peternak tersebut. Setelah berumur 2 tahun, sebanyak 50 ekor anak sapi tersebut diekspor ke Indonesia dengan menggunakan Form D. Menurut anda, 45

53 apakah atas pemasukan 50 ekor anak sapi tersebut dapat diberikan tarif preferensi berdasarkan skema ATIGA? 2. Melanjutkan soal nomor satu, seandainya atas 50 ekor sapi yang tidak diekspor, Malaysia menyembelihnya dan mengolahnya menjadi makanan kaleng, dengan tambahan bumbu impor serta dikemas dalam kaleng impor juga. Atas makanan kaleng tersebut selanjutnya diekspor ke Viet Nam. Apakah menurut anda makanan kaleng tersebut dapat diberikan tarif preferensi? 3. Sebagai seorang Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen di sebuah KPPBC, anda menerima penyerahan dokumen PIB yang dilampiri dengan CO Form E dari Myanmar dengan menggunakan krieria WO. Uraian barang dalam CO tersebut adalah Pisang Cavendis matang. Apa yang akan anda lakukan terhadap CO tersebut? 4. Sebagai seorang pengumpul barang-barang bekas dari besi dan baja, Pak Madun menjual hasil pengumpulannya ke perusahaan peleburan besi di Kota Cirebon. Perusahaan ini melebur dan mencetak menjadi profile tertentu untuk kemudian diekspor ke Taiwan. Menurut anda, Form FTA manakah yang dapat digunakan oleh perusahaan tersebut? 5. Sebuah kawasan berikat di KBN mengekspor pakaian jadi wanita ke sebuah trading company di Singapore. Tiba di Singapore, atas pakaian jadi tersebut dilakukan sedikit tambahan aksesoris sehingga memberikan nilai tambah. Setelah selesai dilakukan modifikasi dengan penambahan aksesoris tersebut, kemudian perusahaan tersebut mengekspornya ke Indonesia dengan menggunakan Form D. Bagaimana pendapat anda tentang permasalahan ini? Jelaskan! 46

54 2.3 Rangkuman Wholly obtained atau wholly produced merupakan salah satu origin criteria yang ada di dalam ROO untuk tujuan preferensi tarif dalam kerangka skema FTA, sebagaimana skema FTA yang diikuti oleh Indonesia. Penggunaan wholly obtained atau wholly produced sendiri telah disepakati sebagaimana tertuang di dalam annex II dari Agreement on Rules of Origin, yang merupakan bagian dari agreement pembentukan World Trade Organization pada Uruguay Round yang berakhir pada tahun Wholly obtained atau wholly produced faktanya tidak hanya ditujukan untuk mengakomodasi barang-barang atau produk yang bersifat alami (natural materials) secara murni, karena berdasarkan kategori di atas ternyata meliputi produk-produk yang kemudian mengalami transformasi atau proses pengolahan, sebagaimana tersebut pada kategori 9, contohnya. Disisi lain juga, apabila melihat kategori sebelumnya, ternyata atas induk binatang ataupun bibit tanaman/tumbuhan yang diimpor kemudian dikembangbiakkan di satu negara, kemudian hasilnya diekspor ke negara anggota skema FTA, origin criteria-nya dapat menggunakan wholly obtained atau wholly produced, sehingga dapat menikmati tarif preferensi. Penggunaaan origin criteria wholly obtained atau wholly produced diberikan kode WO atau X pada kolom 8 certificate of origin, dan harus mendapat persetujuan dari issuing authority dalam hal akan digunakan oleh importir untuk mendapatkan tarif preferensi. Khusus untuk skema FTA Indonesia-Jepang diberikan tanda A pada kolom 8 dimaksud, walaupun pengertiannya adalah sama dengan wholly obtained/produced. 2.4 Test Formatif 2 Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban yang singkat, dan jelas! 1. Salah satu kategori dalam origin criteria wholly obtained atau wholly produced adalah hewan dan produk dari hewan. Jelaskan prinsip atau batasan dari kategori ini! 2. Untuk kategori produk hasil olahan produk-produk sebelumnya, dipersyaratkan bahwa atas produk-produk sebelumnya tersebut yang nantinya 47

55 akan menjadi bahan baku dari barang jadinya, harus berasal dari negara pengekspor juga. Jelaskan, dan berikan contohnya! 3. Indonesia memproduksi kain yang berasal dari serat filamen/buatan asal impor, yang kemudian diproses lagi menjadi pakaian orang dewasa di perusahaan yang sama. Apakah atas ekspor pakaian jadi ini dimungkinkan menggunakan certificate of origin dengan origin criteria WO? jelaskan! 4. Sebuah perusahaan ekspor dan impor kantong plastik, selain mengimpor biji plastik untuk bahan baku pembuatannya, juga menerima pasokan dari para pemulung plastik. Diantara para pemulung tersebut terdapat 2 orang pemulung yang selalu men-supply plastik bekas eks produk luar negeri (impor), dan terlihat lebih bagus hasilnya setelah melalui proses daur ulang menjadi biji plastik. Apabila biji plastik yang berasal dari plastik eks impor digunakan dalam pembuatan kantong plastik tujuan ekspor, apakah dimungkinkan mendapat certificate of origin dengan menggunakan origin criteria WO? Jelaskan! 5. Sebuah bengkel forklift di Thailand menerima penjualan forklift bekas dari perusahaan-perusahaan yang ada di negaranya, kemudian melakukan perbaikan secukupnya sehingga dapat dipergunakan kembali sesuai dengan fungsinya. Beberapa forklift hasil perbaikannya ternyata menarik minat perusahaan Crued Palm Oil (CPO) di Indonesia, dan terjadilah transaksi antar mereka. Atas pengiriman forklift dari Thailand ke Indonesia, pihak issuing authority disana menerbitkan Form D dan menuliskan origin criteria-nya WO. Menurut pendapat anda, dengan melihat latar belakangnya, apakah atas forklift tersebut dapat diberikan tarif preferensi? Jelaskan! 48

56 2.5 Umpan Balik dan Tindak Lanjut Coba cocokkan hasil jawaban Anda dengan materi yang sudah ada pada pembahasan ini. Hitunglah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda terhadap materi pada kegiatan belajar ini. Perhatikan dan cocokan hasil jawaban Anda dengan kualifikasi hasil belajar yang telah terinci sebagaimana rumus berikut. TP = Jumlah Jawaban Yang Benar X 100% Jumlah keseluruhan Soal Apabila tingkat pemahaman (TP) dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai: 91 % s.d 100 % : Sangat Baik 81 % s.d. 90,99 % : Baik 71 % s.d. 80,99 % : Cukup 61 % s.d. 70,99 % : Kurang 0 % s.d. 60,99 % : Sangat Kurang Bila hasil perhitungan Anda telah mencapai 81 % atau lebih, maka Anda telah menguasai materi kegiatan belajar ini dengan baik. Untuk selanjutnya Anda dapat melanjutkan kegiatan belajar berikutnya. Jika belum mencapai angka 81%, kami menyarankan agar anda mengulang kembali materi kegiatan belajar ini. 49

57 KEGIATAN BELAJAR Not Wholly Obtained/ Wholly Produced 3 Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan : 1. Dapat menjelaskan pengertian umum tentang not wholly obtained atau wholly produced; 2. Dapat menjelaskan pembagian origin criteria dalam not wholly obtained atau wholly produced; 3. Dapat memberikan contoh-contoh origin criteria dalam not wholly obtained atau wholly produced. 3.1 Uraian dan Contoh Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa origin criteria terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu wholly obtained atau wholly produced dan not wholly obtained atau wholly produced. Untuk wholly obtained atau wholly produced telah dibahas pada bab 2 di atas. Kriteria origin Not wholly obtained/wholly produced tentunya merupakan kebalikan dari apa yang telah dijelaskan pada bab 2 di atas. Latar belakang munculnya kriteria ini adalah karena adanya kesepahaman tentang produkproduk tertentu yang merupakan hasil transformasi dari material pembentuknya melalui proses produksi, dimana material tersebut bersumber dari lebih dari satu negara. Oleh karena itu untuk pembuktian origin-nya perlu disusun kriteria selain wholly obtained atau wholly produced. Pada bab pendahuluan telah disampaikan masing-masing origin criteria yang digunakan dalam skema FTA yang diikuti oleh Indonesia. Apabila WO merupakan kode untuk wholly obtained atau wholly produced, maka kriteria yang lain merupakan kode untuk selain wholly obtained atau wholly produced. Ada baiknya kita identifikasi terlebih dahulu kriteria yang ada di dalam bab pendahuluan tersebut, selain WO. 50

58 Berdasarkan seluruh data pada bab pendahuluan, maka origin criteria yang bukan wholly obtained atau wholly produced adalah : 1. Diproduksi secara khusus (PE) 2. Regional Value Content (RVC 40%), dan RVC 35% untuk ASEAN- India FTA 3. Change Tariff Classification, yang terdiri : Change Tariff Heading (CTH) dan Change in Tariff Sub Heading (CTSH) 4. Product Specific Rules (PSR) Memperhatikan kompilasi dari origin criteria yang ada di dalam skema FTA, ternyata terdapat 4 kategori origin criteria yang merupakan bagian dari not wholly obtained atau wholly produced. Apabila kita bandingkan dengan agreement on rules of origin untuk tujuan tarif preferensi, pada annex II paragraf 3, secara prinsip terdapat kesamaan yang dapat ditelusuri secara jelas, sekalipun pada agreement ini hanya terdapat 3 kategori origin criteria yang disediakan. Namun demikian, apabila kita bandingkan antara keduanya, maka dapat diketahui bahwa sebenarnya kategori yang ada di dalam skema FTA yang diikuti oleh Indonesia juga bersumber dari agreement tersebut, tetapi dengan sedikit modifikasi yang dianggap sesuai dengan kebutuhan para pihak yang terlibat di dalam perjanjian pembentuk skema FTA tersebut. Berikut adalah bunyi dari paragraf 3 tersebut : (i) in cases where the criterion of change of tariff classification is applied, such a preferential rule of origin, and any exceptions to the rule, must clearly specify the subheadings or headings within the tariff nomenclature that are addressed by the rule; (ii) in cases where the ad valorem percentage criterion is applied, the method for calculating this percentage shall also be indicated in the preferential rules of origin; (iii) in cases where the criterion of manufacturing or processing operation is prescribed, the operation that confers preferential origin shall be precisely specified; Memperhatikan isi dari artikel di atas, maka secara perlahan dapat kita telusuri adanya keterkaitan yang konkret antara kompilasi origin criteria di dalam skema FTA yang berlaku di Indonesia dengan agreement on ROO yang dikeluarkan oleh WTO. Hal ini sangat penting untuk diketahui, untuk membuktikan bahwa apa yang kita sepakati adalah sesuai dengan international 51

59 best practices yang menjadi tolok ukur bagi seluruh negara, khususnya para anggota WTO, termasuk Indonesia. Pada ayat (i) yang berbunyi : in cases where the criterion of change of tariff classification is applied, such a preferential rule of origin, and any exceptions to the rule, must clearly specify the subheadings or headings within the tariff nomenclature that are addressed by the rule, menyebutkan tentang adanya kriteria CTC. Apabila kita lihat pada kriteria dalam skema FTA, kriteria ini juga telah ada. Selanjutnya pada ayat (ii) yang berbunyi : in cases where the ad valorem percentage criterion is applied, the method for calculating this percentage shall also be indicated in the preferential rules of origin, juga telah diadopsi oleh skema FTA yang ada, dengan istilah Regional Value Content (RVC) yang dibatasi persentase tertentu. Namun apabila kita melihat kompilasi origin criteria dalam skema FTA, dapat ditemukan adanya perbedaan persentase, seperti misalnya dalam skema ATIGA (AFTA) batas minimalnya adalah 40% sehingga diberi kode RVC (40%). Hal ini berbeda dengan batasan minimal pada skema ASEAN-India FTA, yaitu 35% (RVC 35%). Berapapun batasan yang diambil, paling tidak hal ini telah membuktikan bahwa skema FTA yang diikuti oleh Indonesia telah mengadop kriteria yang menggunakan nilai tertentu (persentase) dari barang yang diikutsertakan dalam skema FTA. Kriteria terakhir yang ada di dalam agreement on ROO adalah kriteria yang mempertimbangkan adanya transformasi atau perubahan tertentu atas barang dengan menggunakan proses khusus yang disepakati, sebagaimana bunyi dari paragraf (iii), yaitu : in cases where the criterion of manufacturing or processing operation is prescribed, the operation that confers preferential origin shall be precisely specified. Kriteria ini merupakan fleksibilitas atas produk-produk yang memerlukan proses khusus maupun general rules, untuk kemudian dimasukan ke dalam daftar barang yang dapat memperoleh tarif preferensi. Adapun fleksibilitas tersebut mengacu pada bentuk proses untuk melakukan perubahan (tranformasi) tersebut. Penafsiran dari paragraf ini menimbulkan dua kemungkinan dalam implementasinya, mengingat CTC dan RVC juga 52

60 memerlukan proses untuk melakukan perubahannya. Mengantisipasi hal ini maka terbentuklah istilah General Rules dan PSR. Implementasi dari General rules mengacu pada dua kriteria utama dari not wholly obtained atau wholly produced, yaitu CTC dan RVC. Sedangkan PSR dapat dianggap sebagai fleksibilitas bagi barang-barang yang oleh para pihak ingin dimasukan sebagai bagian dari perjanjian pembentukan skema FTA sehingga dapat memperoleh tarif preferensi. Oleh karena itu PSR ini sering disebut sebagai kriteria untuk liberalisasi, karena memberikan kemungkinan yang melebihi general rules dan wholly obtained/produced untuk dapat diberikan tarif preferensi. Contohnya adalah produk tekstil, oleh karena kekhususannya, maka atas tekstil dan produk tekstil memiliki aturan sendiri agar dapat memperoleh tarif preferensi dengan mempertimbangkan proses pengolahannya, seperti : pemotongan (cutting), penjahitan (sewing), pencelupan (dying), dan sebagainya. Dalam negosiasi biasanya pembahasan PSR akan memakan waktu yang sangat lama, mengingat masing-masing negara memiliki kepentingan untuk menggunakan aturan khusus dari setiap produk yang akan dimasukan ke dalam daftar PSR, yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan industrinya. Hal inilah yang menurut pengamatan penulis seringkali negosiator kita kurang memahami proses produksi apa saja yang dimiliki oleh sektor industri nasional. Akibatnya bisa terbalik, dimana kita bahkan lebih mendukung (lebih memfasilitasi) industri negara lain daripada industri sendiri. Secara singkat struktur origin criteria yang berlaku di dalam skema FTA yang termasuk di dalam not wholly obtained atau wholly produced adalah sebagai berikut : CTC General Rules RVC (40%) Origin Criteria Not Wholly Obtained atau Wholly Produced CTC (CC, CTH, CHSH) PSR RVC (...%) Process of Production 53

61 Memperhatikan struktur di atas, maka apabila kita kembali melihat kompilasi origin criteria dalam skema FTA yang berlaku di Indonesia yang terdiri dari 4 (empat) kriteria, yaitu : Produced Exclusively (PE), Regional Value Content (RVC), Change Tariff Classiffication (CTC), dan PSR, sebenarnya semua telah sejalan dengan apa yang direkomendasikan oleh WTO agreement on Rules of Origin. Sebelum dilakukan pembahasan tentang masing-masing kriteria dalam not wholly obtained atau wholly produced, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu bahwa untuk mengidentifikasi suatu barang telah disepakati menggunakan klasifikasi barang atau Harmonized System (HS), sampai dengan tingkat sub-heading. Setiap petugas pabean atau stakeholders yang akan memanfaatkan tarif preferensi dalam rangka skema FTA wajib memahami klasifikasi barang yang akan menjadi core business-nya. HS yang harus dipahami adalah yang berlaku internasional, yaitu sampai dengan 6 (enam) digit, yang terbagi menjadi chapter (dua digit), Heading (empat digit), dan Sub-heading (enam digit). Contohnya adalah sebagai berikut : Hierarki Harmonized System HS Bab 2, Heading 0202, dan Sub-heading Meat and edible meat offal 0202 Meat of bovine animals, frozen Carcasses and half carcasses HS Bab 10, Heading 1006, dan Sub-heading Cereals 1006 Rice Rice in the husk (paddy or rough) Hal lain yang perlu dipahami dalam origin criteria adalah adanya ketentuan tentang origin material dan non-origin material. Origin material maksudnya material/bahan baku yang berasal dari satu atau lebih negara anggota skema FTA. Misalnya, origin material dalam skema ASEAN-China FTA (ACFTA), maka suatu material akan disebut origin apabila berasal dari 11 negara yang tergabung di dalam skema ACFTA, yaitu Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philippine, Singapore, Thailand, Viet Nam (seluruhnya 54

62 disebut negara ASEAN), dan China. Apabila sebuah perusahaan di Indonesia bermaksud memproduksi sebuah produk barang jadi dengan menggunakan bahan baku berasal dari China, Thailand, dan Viet Nam, maka atas bahan baku tersebut merupakan material/bahan baku origin yang dapat diakumulasikan dalam penentuan kriteria origin. Adapun material yang berasal bukan dari negara China dan/atau ASEAN, dianggap sebagai material non-origin. Contohnya adalah apabila sebuah perusahaan di Malaysia ingin membuat sebuah produk barang jadi yang menggunakan material/bahan baku dari Jepang dan Korea, maka atas material/bahan baku tersebut merupakan non-origin sehingga tidak dapat diakumulasikan dalam penghitungan origin-nya kelak. 1. Regional Value Content (RVC) Sesuai dengan namanya, kriteria RVC adalah adanya sejumlah nilai tertentu (ditentukan dengan persentase) di dalam suatu produk sehingga dapat dianggap origin dari suatu negara anggota, dan berhak mendapatkan tarif preferensi. Dalam WTO agreement on ROO, tidak terdapat istilah RVC melainkan Value Added Rules. Namun demikian prakteknya adalah sama, dan dapat didefinisikan sebagai ketentuan yang mengatur bahwa suatu produk dapat dipertimbangkan sebagai origin dari sebuah negara setelah melalui perubahan substansi (proses produksi/manufaktur), yang mana proses produknya di negara tersebut mampu meningkatkan nilai dari barang jadi tersebut sampai dengan level tertentu yang ditetapkan dalam bentuk persentase. Bagaimanakah cara menghitung level persentase dari barang jadi tersebut? dalam specific annex K the Revised Kyoto Convention, WCO tidak memberikan secara langsung bagaimana cara melakukan perhitungan persentase dimaksud. Tetapi dalam dokumen perbandingan beberapa perjanjian pembentuk skema FTA yang berbasis pemberian tarif preferensi, WCO merekomendasikan cara penghitungannya dengan menggunakan faktor-faktor yang telibat di dalam proses produksi, yaitu : nilai material origin, keuntungan, biaya produksi, nilai material non-origin (jika ada, sebagai faktor 55

63 pengurang), dan biaya lainnya yang keseluruhannya merupakan bagian dari proses pembentukan produk terkait. Material Non-origin Keuntungan Biaya lain-lain Biaya Buruh Material Origin Gambar di atas menunjukkan faktor-faktor yang terlibat di dalam penghitungan persentase dari RVC, yaitu : Ø Warna kuning merupakan nilai untuk material non-origin, yang akan digunakan sebagai faktor pengurang dalam penghitungan pembentukan nilai origin menggunakan kriteria RVC. Ø Warna merah merupakan nilai untuk material origin, yang akan menjadi faktor utama dari pembentukan nilai RVC. Ø Warna biru merupakan biaya buruh (labour) dan akan menjadi faktor pendukung nilai RVC, dimana dalam penghitungan nilai RVC menjadi faktor penambah atas material origin. Ø Warna hijau merupakan biaya lain-lain yang mungkin terlibat di dalam proses produksi, dan menjadi faktor penambah nilai material origin. Contoh dari biaya lain-lain diantaranya adalah:biaya transportasi dari pabrik ke pelabuhan, dan sebagainya. Ø Warna ungu merupakan nilai keuntungan yang akan ditambahkan pada nilai jual barang jadi nantinya, dan akan menjadi faktor penambah dari material origin. Apabila nilai dari material origin ditambah dengan seluruh faktor penambahnya, kemudian dikurangi dengan nilai material non origin, 56

64 memenuhi batas minimal dari persentase yang disepakati, maka atas produk barang jadinya nanti dapat diterbitkan certificate of origin dan berhak mendapatkan tarif preferensi di negara importir. Metode penghitungan RVC ada dua, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Untuk metode langsung, maka seluruh komponen di atas dijumlahkan sehingga diperoleh nilai tertentu yang kemudian dibandingkan dengan total nilai barang, dalam incoterm Free on Board (FOB). Adapun untuk metode tidak langsung caranya sedikit lebih sederhana dan singkat, karena cukup dengan mengurangi nilai total barang dengan nilai material non-origin. Hasil dari pengurangan tersebut harus melebihi batas minial yang disepakati, atau dalam hal ini misalnya harus lebih dari 40%. Sekiranya jumlah material non-origin lebih dari satu, tentunya seluruh nilai dari material non-origin tersebut harus diikutsertakan dalam penghitungan ini sebagai faktor pengurang, dan juga seluruhnya dalam nilai FOB. Berikut adalah cara penghitungan Value Added Rules atau RVC sebagaimana direkomendasikan oleh WCO, yang terdiri dari metode langsung dengan metode tidak langsung, yaitu : Metode Langsung Biaya + Biaya + Biaya + Keuntungan Material Origin Buruh Lain-Lain Total FOB X 100% Metode Tidak Langsung Total FOB Nilai Material Non-origin X 100% Total FOB Dalam skema FTA yang diikuti oleh Indonesia, minimal persentase nilai regional hampir seluruhnya adalah 40%, kecuali dalam skema ASEAN-India FTA yang sedikit lebih kecil, yaitu 35%. Seluruh nilai-nilai pembentuk RVC di atas wajib dituangkan di dalam sebuah dokumen yang disebut Cost Structure, yaitu susunan biaya-biaya 57

65 pembentuk nilai RVC, dan wajib disampaikan oleh eksportir pada saat pengajuan mendapatkan certificate of origin kepada pihak penerbit (issuing authority) di negaranya. Kelebihan Kritera RVC Penggunaan RVC cukup sederhana, karena formulasinya telah jelas dan penghitungannya tidak rumit. Data-data yang dipergunakan dalam perhitungan kedua metode di atas tentunya telah tersedia di dalam catatan perusahaan, dan kebenarannya dapat diuji. Begitu juga dengan dokumen pendukungnya, seperti invoice dan dokumen transaksi lainnya, akan memperkuat dukungan terhadap akurasi informasi dalam penghitungan RVC di atas. Kriteria RVC paling banyak digunakan oleh para eksportir Indonesia karena kemudahan untuk implementasinya. Kelemahan Kriteria RVC Sekalipun pembentukan RVC memiliki tingkat akurasi yang didukung dengan dokumen yang menyertai setiap komponen di dalamnya, tetapi hal ini tidak mengurangi resiko yang mungkin terjadi, khususnya terkait dengan penentuan nilai pabean dari barang tersebut yang dapat mempengaruhi persentase suatu produk, sehingga akhirnya dapat menggugurkan origin dari produk tersebut. hal ini misalnya dapat terjadi karena fluktuasi harga material akibat perubahan kurs mata uang. Contoh Penghitungan RVC Sebuah perusahaan otomotif di Thailand sedang mempersiapkan produksi mobil terbarunya yang berharga sangat murah, guna memenuhi kebutuhan konsumen di Indonesia. Dalam memproduksi mobil tersebut, selain menggunakan beberapa material yang berasal dari dalam negeri Thailand, juga digunakan beberapa sparepart yang berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Viet Nam, serta beberapa negara lain untuk komponen yang canggih, seperti Jepang dan China. Selanjutnya perusahaan telah menyiapkan bahwa ekspor ke Indonesia akan menggunakan Form D, sehingga diharapkan pada saat kedatangannya 58

66 di Indonesia akan mendapatkan tarif preferensi, yang tentunya lebih rendah dari tarif normal (tarif MFN). Sebagai informasi tambahan, mobil yang akan diproduksi adalah jenis sedan mini yang layak digunakan di dalam kota (city car) dengan komposisi sparepart sebagaimana gambar di bawah ini. Catatan dari masing-masing sparepart di atas sesuai dengan bukti pembelian yang dimiliki perusahaan adalah sebagai berikut : - Oil dipstick, asal Thailand, USD 50,- - Fuel injection, asal Jepang, USD 1000,- - Air cleaner, asal Taiwan, USD 50,- - Radiator, asal Thailand, USD 150,- - Battery, asal China, USD 100,- - Sealed beam headlight, asal Thailand, USD 150,- - Alternator, asal Malaysia, USD 200,- - Power steering reservoir, asal Viet Nam, USD 200,- - Front suspension, asal Indonesia, USD 125,- - Brake fluid reservoir, asal Thailand, USD 100,- - Disc brake, asal Jepang, USD 150,- - Muffler, asal Indonesia, USD 100,- - Rear axle, asal Thailand, USD 100,- - Rear Suspension, asal Indonesia, USD 250,- Total nilai material USD 2725,- - Biaya buruh, USD 550,- - Biaya lain-lain, USD 725,- - Keuntungan, USD 1000,- Total harga mobil (FOB) USD 5000,- 59

67 Sebelum dilakukan perhitungan RVC, ada baiknya kita uraikan terlebih dahulu komponen di atas, yaitu : (a) Material origin : oil dipstick, radiator, sealed beam headlight, alternator, power steering reservoir, front suspension, brake fluid reservoir, muffler, rear axle, dan rear suspension, TOTAL : USD 1425,- (b) Material non-origin : fuel injection, air cleaner, battery, disc brake, TOTAL : USD 1300,- (c) Biaya buruh : USD 550,- (d) Biaya lain-lain : USD 725,- (e) Keuntungan : USD 1000,- Perusahaan telah memberitahukan kepada issuing autority di Thailand bahwa pihaknya akan menggunakan metode langsung, sehingga perhitungannya adalah sebagai berikut : Metode Langsung Biaya Biaya Biaya Keuntungan Material Origin Buruh Lain-Lain (1425) (550) (725) (1000) Total FOB (5000) X 100% RVC = (( )/5000) X 100% = (3700/5000) X 100% = 74% Mempertimbangkan bahwa persentase minimal yang harus dipenuhi dalam skema ATIGA adalah RVC (40%), maka dengan hasil di atas yang mencapai bilai RVC sebesar (74%), maka atas mobil yang akan diekspor ke Indonesia di atas dapat memenuhi kriteria origin, dan dapat diajukan untuk memperoleh tarif preferensi sepanjang persyaratan lainnya dipenuhi. Apabila dikemudian hari perusahaan otomotif ini ingin merubah formula perhitungan RVC-nya dengan menggunakan metode tidak langsung, maka hal ini harus diberitahukan terlebih dahulu kepada pihak issuing autority yang akan menerbitkan certificate of origin. Jika keinginan dari eksportir tersebut dapat disetujui, maka penghitungan nilai RVC akan mejadi sebagai berikut : 60

68 Metode Tidak Langsung Total FOB Nilai Material Non-origin (5000) (1300) Total FOB (5000) X 100% RVC = (( )/5000) X 100% = (3700/5000) X 100% = 74% Ternyata hasil penghitungan menggunanakan metode tidak langsung menghasilkan persentase sebesar 74%, sama dengan penghitungan di atasnya. Hal ini membuktikan bahwa nilai yang diberitahukan oleh perusahaan telah benar. 2. Change Tariff Classification (CTC) Kriteria origin CTC disediakan untuk mengakomodasi adanya tranformasi substansi yang menggunakan material/bahan baku non-origin, yaitu material yang tidak berasal/tidak diimpor dari negara anggota satu skema FTA. Namun demikian perlu diingat bahwa proses tranformasinya tetap dilakukan di negara anggota skema FTA. Misalnya adalah dalam skema ASEAN FTA yang beranggotakan hanya negara anggota ASEAN, Indonesia memproduksi satu komoditas tertentu dengan menggunakan material non-origin yang berasal dari China, yang bukan anggota skema ASEAN FTA. Oleh karena proses produksinya dilakukan di Indonesia yang merupakan anggota ASEAN FTA, maka pada saat Indonesia mengekspor produk barang jadi eks material non-origin tesebut, dimungkinkan untuk memperoleh tarif preferensi sepanjang ketentuan lainnya dalam CTC dapat dipenuhi. Oleh karena itu CTC dapat dipahami sebagai origin criteria yang merubah material non-origin menjadi produk yang memenuhi origin criteria, sehingga memiliki kesempatan untuk mendapatkan tarif preferensi. Hal utama yang 61

69 harus dipenuhi dalam CTC yaitu, material non-origin yang akan dirubah harus berbeda dengan produk hasil transformasinya. Adapun perbedaan ini dibuktikan dengan adanya perubahan nomor HS. Sekalipun terjadi perubahan wujud/bentuk barang jadi, tetapi nomor HS tidak berubah, maka hal tersebut tidak termasuk kedalam kriteria CTC. Perubahan nomor HS yang terjadi adalah harus pada level yang sama dan disepakati, dimana untuk skema FTA yang diikuti Indonesia mayoritas mempersyaratkan agar perubahan tersebut terjadi pada 4 digit (Change of Tariff Heading atau CTH), kecuali skema ASEAN India FTA perubahannya pada 6 digit (Change of Tariff Sub Heading). Misalnya, dalam rangka skema ASEAN FTA, Indonesia mengimpor sepeda roda dua, HS dari China. Atas sepeda tersebut kemudian dilakukan proses produksi dengan mengubahnya menjadi sepeda balap roda dua, HS Sekalipun terdapat perubahan substansi, dari sepeda biasa menjadi sepeda balap, tetapi oleh karena kedua barang tersebut masuk dalam kelompok HS yang sama pada level heading (tariff heading) maka persyaratan CTH tidak dapat terpenuhi sehingga tidak berhak mendapatkan tarif preferensi dengan menggunakan kriteria CTH. Seperti halnya origin criteria Regional Value Contents (RVC) yang memiliki kelebihan dan kekurangan, pada origin criteria CTC juga diperlukan pertimbangan tertentu untuk penggunaannya. Kelebihan CTC Kelebihan dari CTC yang utama adalah terakomodasinya material nonorigin untuk mendapatkan tarif preferensi setelah mengalami perubahan substansi, dan penggunaannya sangat mudah karena adanya dukungan dokumen impor yang telah divalidasi oleh administrasi pabean di negara importir. Di atas telah dijelaskan bahwa CTC dibentuk dalam rangka mengakomodasi kebutuhan akan adanya material yang bukan berasal dari negara anggota skema FTA, yang kemudian disebut material non-origin. Atas masuknya material non-origin ini tentunya telah mendapat approval dari administrasi pabean, sehingga penetapan nomor HS telah benar. Oleh karena 62

70 itu dokumen impor ini akan menjadi bukti autentik terkait dengan perubahan nomor HS dalam rangka CTC. Sepintas kelebihan dari CTC ini seperti RVC, yaitu sama-sama didukung oleh dokumen yang valid dan akurat. Hanya saja dalam hal CTC nilai FOB tidak merupakan keharusan, karena yang menjadi patokan adalah nomor HS (kecuali memang diwajibkan di dalam perjanjian pembentuk skema FTA-nya). Kelemahan CTC Selain kelebihan dari kriteria CTC, perlu juga diperhatikan kelemahan dari kriteria ini, dimana dalam satu perjanjian pembentuk skema FTA terdapat pembatasan produk tertentu yang tidak diperbolehkan mendapat tarif preferensi, sekalipun mampu melakukan tranformasi sehingga menghasilkan nomor HS baru. Biasanya hal ini akan dibuat dalam bentuk daftar khusus. Hal inilah yang diprediksi dapat menjadi tantangan tersendiri, karena daftar ini seringkali tidak menjadi perhatian dari pihak pengusaha maupun issuing authority yang menerbitkan certificate of origin. Oleh karena itu administrasi pabean harus memiliki pengetahuan lebih dalam hal adanya produk yang masuk dalam daftar larangan dan pembatasan (lartas), dan berpotensi untuk dimodifikasi menjadi produk lain dengan tujuan untuk mendapatkan tarif preferensi. Contoh Penggunaan CTC Sebuah pabrik barang pecah belah di Viet Nam berencana membuat peralatan makan dan minum dari porcelain dalam jumlah yang sangat besar, dengan desain dan warna bermacam-macam, guna memenuhi pesanan dari sebuah perusahaan grosir di Indonesia, yang merupakan pelanggan utamanya sejak lama. Perusahaan di Indonesia meminta agar pengiriman barang pecah belah tersebut dilindungi dengan form D (skema ASEAN FTA), sehingga diharapkan akan memperoleh tarif preferensi. Dalam rangka memuaskan pelanggan utamanya, pabrik di Viet Nam tersebut berencana menggunakan material kualitas tinggi yang akan diimpor dari China. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa material yang digunakan 63

71 adalah non-origin, dan kemungkinan kriteria yang akan digunakan adalah perubahan klasifikasi pada level tariff heading atau CTH. Berikut adalah bahan baku yang digunakan dalam pembuatan peralatan makan dan minum tersebut, yaitu : Kaolin - HS heading 2507 Pigments (pewarna) - HS heading 3207 Decorative designs - HS heading 4911 Nomor HS untuk barang pecah belah dari porcelain adalah Apabila kita perhatikan bahwa material non-origin yang digunakan oleh produsen di Viet Nam (kaolin, pewarna, dan decorative designs) berbeda dengan nomor HS dari barang jadi yang akan diproduksinya, yaitu dari : HS 2507; 3207; dan 4911, kemudian terjadi perubahan substansi menjadi HS Dengan demikian, maka atas barang pecah belah tersebut dapat dianggap memenuhi syarat untuk menggunakan origin criteria CTH dalam kegiatan ekspornya, dan pada saat tiba di negara importir berhak mendapatkan tarif preferensi. Lebih jelas untuk ilustrasi contoh di atas adalah sebagai berikut : Material non-origin dari luar ASEAN FTA Barang Jadi Kaolin Heading 2507 Heading 6911 Pewarna Heading 3207 Barang cetakan Heading

72 Dalam kasus yang sama, ternyata pihak supplier bahan baku di China memberikan penawaran yang lebih menarik, yaitu harga yang sangat murah untuk produk pecah belah yang sudah jadi tetapi dalam keadaan polos tanpa ornamen atau hiasan apapun. Selain itu juga pihak China memastikan bahwa apabila pabrik di Viet Nam membeli peralatan polos tersebut, maka akan ada diskon yang lebih tinggi untuk pembelian bahan baku lainnya. Mendapat penawaran ini pabrik di Viet Nam tergiur dan menerimanya, sehingga barang-barang yang dibeli dari China tidak lagi dalam bentuk bahan baku murni seperti pada kasus pertama, melainkan peralatan pecah belah yang sudah jadi dalam keadaaan polos serta zat pewarna yang dibutuhkan. Dengan demikian gambaran dari kasusnya menjadi sebagai berikut : Material non-origin dari luar ASEAN FTA Pecah Belah Polos Heading 6911 Barang Jadi Pewarna Heading 3207 Heading 6911 Barang Cetakan Heading 4911 Pada kasus ini telah terjadi perubahan strategi dari pabrik di Viet Nam, dimana material non-origin pertama adalah barang pecah belah yang sudah jadi dan polos, masuk dalam kelompok HS 6911, sama dengan barang jadi yang akan diproduksi. Oleh karena adanya kesamaan kelompok HS ini maka terhadap barang pecah belah yang dipesan oleh perusahaan di Indonesia tidak memperoleh tarif preferensi. 65

73 3. Product Specific Rules (PSR) Apa sebenarnya definisi dari PSR? Apabila kita merujuk pada agreement on ROO, pada annex II paragraf 3 (a), butir iii-nya hanya menyebutkan bahwa in cases where the criterion of manufacturing or processing operation is prescribed, the operation that confers preferential origin shall be precisely specified. Sepertinya provisi ini hanya memberikan alternatif bahwa origin criteria dapat menggunakan proses produksi sebagai referensinya. Oleh karena itu batasan dari PSR hanya pada proses produksi, yang kemudian disepakati oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian pembentukan skema FTA. Berdasarkan penelusuran penulis pada isi dari perjanjian pembentukan skema FTA yang diikuti Indonesia, PSR merupakan daftar dari produk-produk yang disusun berdasarkan kelompok HS dan origin criteria yang harus dipenuhi, seperti misalnya : CTC, RVC, atau proses khusus yang disepakati untuk suatu produk. Jika demikian, maka sebenarnya PSR cukup diartikan sebagai ketentuan khusus dalam penentuan origin criteria bagi material yang mengalami perubahan substansi (substantial tranformation). Jika memang demikian adanya, maka dalam hal diperlukan, definisi yang disediakan oleh ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) pada artikel 25 ROO dapat mewakili pengertian dari PSR ini, yang menyebutkan bahwa : product specific rules means rules that specify that the materials have undergone a change in tariff classification or a specific manufacturing or processing operation, or satisfy a Regional Value Content criterion or a combination of any of these criteria. Dalam skema FTA yang ada yang diikuti oleh Indonesia, aturan khusus tersebut ditafsirkan apabila dalam daftar PSR yang disepakati bahwa suatu produk dapat dinyatakan memenuhi origin criteria dengan menggunakan CTSH (change tariff of sub-heading), misalnya, maka hanya origin criteria CTSH-lah yang dapat diberlakukan atas produk tersebut untuk mendapatkan tarif preferensi, sedangkan penggunaan kriteria origin lain tidak dapat diberlakukan. Artinya, apabila terdapat ekspor yang menggunakan kriteria RVC, sementara di dalam daftar PSR hanya menyebutkan CTC, maka atas komoditas tersebut tidak dapat diberikan tarif preferensi karena kriteria yang 66

74 digunakan tidak sesuai. Begitu juga sebaliknya, dalam hal terdapat komoditas yang menggunakan kriteria CTC, sementara di dalam daftar PSR hanya menyebutkan RVC, maka atas komoditas tersebut juga tidak dapat diberikan tarif preferensi. Contohnya dalam skema ASEAN FTA, PSR untuk bab 60 diantaranya adalah sebagai berikut : Pada kolom kedua terlihat untuk bab 60, heading 6003, dan sub-heading , telah ditetapkan bahwa kain rajutan atau sulaman dengan lebar tidak lebih dari 30 cm, selain daripada produk yang dimaksud dalam heading 6001 atau heading 6002, dapat diakui sebagai origin, apabila memenuhi RVC lebih dari 40%, atau mengalami perubahan menjadi sub-heading dari heading manapun, atau mengalami proses tertentu yang khusus untuk tekstil dan produk tekstil sebagaimana diatur dalam lampiran 1 (lihat lampiran 1 dari perjanjian pembentuk skema ATIGA). Berdasarkan penjelasan di atas, maka agar produk yang ada di dalam sub-heading dapat diakui sebagai produk origin dan mendapatkan tarif preferensi dalam skema ATIGA, maka PSR ATIGA menyediakan beberapa cara, yaitu : - RVC 40%; atau - CTSH (perubahan pada 6 digit, dari heading mana saja); atau 67

75 - Proses tertentu yang khusus untuk tekstil dan produk tekstil Pengertian dari catatan di atas adalah, setiap jenis barang yang ada di dalam kelompok HS dapat disebut origin dan berhak mendapatkan tarif preferensi apabila memenuhi salah satu origin criteria di atas. Apabila misalnya, proses transformasi substansi-nya hanya menggunakan perubahan tarif klasifikasi pada level 4 digit (CTH), maka tentunya dianggap tidak memenuhi origin criteria dan tidak dapat memperoleh tarif preferensi. Pemahaman lain yang kita peroleh adalah, adanya origin criteria lain berupa proses tertentu yang khusus untuk tekstil dan produk tekstil, yang berada pada lampiran tersendiri dari setiap perjanjian pembentuk skema FTA. Hal yang paling penting untuk diingat disini adalah, dalam hal terdapat impor dengan menggunakan kriteria not wholly obtained/produced, maka petugas pabean wajib melakukan hal-hal sebagai berikut : (a) Melakukan pemeriksaan terhadap daftar PSR untuk memastikan bahwa komoditas tersebut termasuk di dalamnya atau tidak. (b) Dalam hal termasuk dalam daftar PSR, apakah kriteria yang diberitahukan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam kolom kriteria pada daftar PSR. (c) Dalam hal tidak sesuai, maka atas komoditas tersebut tidak dapat diberikan tarif preferensi. (d) Dalam hal tidak termasuk di dalam daftar PSR, maka atas barang tersebut terbuka peluang untuk menggunakan kriteria origin yang ada selain PSR. Contoh berikut diharapkan dapat memperjelas keterangan di atas, yaitu : PT. Abadi Jaya, sebuah perusahaan ekspor-impor yang berdomisili di Bandung, memesan pcs kantong (bag) yang terbuat dari kulit dicampur dengan bahan plastik (pos tarif: ), dari Thailand. Atas pemesanan barang tersebut pihak importir meminta agar dilindungi dengan certificate of origin (surat keterangan asal) Form D agar pada saat pemasukannya di Indonesia dapat memperoleh tarif preferensi. 68

76 Memenuhi pesanan tersebut, pihak supplier di Thailand menyiapkan komoditas yang dipesan dan mengajukan permohonan kepada issuing authority di negaranya, sehingga certificate of origin dapat diterbitkan sebelum barang diberangkatkan. Pada saat barang tiba di Indonesia, importir mengajukan permohonan PIB disertai dokumen pelengkapnya, termasuk di dalamnya certificate of origin yang pada kolom 8 nya menginformasikan bahwa kriteria origin yang digunakan adalah CTH. Berdasarkan penelitian Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) atas daftar PSR dalam kerangka skema ATIGA (AFTA), kedapatan bahwa atas pos tarif tersebut termasuk di dalamnya dan terdapat penjelasan sebagai berikut : Atas penjelasan dari daftar PSR di atas, maka kriteria origin yang dapat digunakan untuk pos tarif hanya RVC lebih dari 40%; atau perubahan menjadi sub-heading (CTSH) dari chapter (Change in Chapter-CC) manapun. Oleh karena yang diberitahukan adalah CTH, maka harus dipastikan bahan bakunya berasal dari chapter mana? Hal ini harus diketahui untuk memastikan bahwa telah terjadi perubahan dari bahan baku (eks chapter manapun) menjadi sub-heading Memperhatikan fakta-fakta di atas, maka petugas PFPD memutuskan untuk melakukan permintaan retro-active check atas certificate tersebut untuk menanyakan perubahan klasifikasi yang terjadi sehingga terbentuk kantong di atas. 3.2 Latihan 1. ROO merupakan kriteria untuk menentukan ke-asal-an dari suatu barang, yang terdiri dari kriteria origin (origin criteria), kriteria pengiriman langsung (direct consignment), dan kriteria prosedural (procedural provisions). Apakah yang dimaksud dengan kriteria origin? 69

77 2. Pada kolom 8 certificate of origin form D, tertulis kode : CTH. Jelaskan maksud dari kode tersebut! 3. Dalam Form E yang diterbitkan oleh issuing authority di Malaysia, tertulis bahwa produk yang diimpor oleh PT. Simpang Siur adalah produk tekstil dengan kriteria origin RVC 60%. Apabila pada saat importasinya anda bertugas sebagai Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD), apa yang akan dilakukan terkait kegiatan pemeriksaan terhadap dokumen tersebut? Jelaskan! 4. Kriteria origin yang digunakan dalam setiap skema FTA, bergantung kepada apa yang disepakati oleh para pihak yang menandatangani perjanjian pembentuk skema FTA masing-masing. Untuk mengetahui kriteria origin apa saja yang diberlakukan dalam skema ASEAN-China FTA, dimanakah kita dapat melihatnya, dan sebutkan masing-masing dari kriteria origin dalam skema ASEAN-China tersebut! 5. Salah satu kriteria origin untuk tujuan tarif preferensi adalah Value Added Rules yang kemudian diganti istilahnya dalam skema FTA yang diikuti Indonesia menjadi Regional Value Content (RVC), yang diekspresikan dalam bentuk persentase (RVC...%). Adapun untuk menghitung jumlah persentase tersebut, WCO kemudian memberikan panduan dengan menyiapkan dua metode/formula yang disebut metode langsung dan metode tidak langsung. Jelaskan kedua metode tersebut! 3.3 Rangkuman ROO preferensi ditujukan untuk mendapatkan tarif istimewa atau tarif preferensi, terdiri dari tiga kriteria yang wajib dipenuhi, yaitu : origin criteria (kriteria origin); direct consignment (kriteria pengiriman langsung); dan Procedural Provisions (ketentuan prosedural). Untuk mengetahui kriteria origin dalam skema FTA yang diikuti Indonesia, maka kita dapat melihat pada bagian overleaf notes (bagian belakang) dari masing-masing form FTA-nya. Kriteria itulah yang kemudian wajib dituliskan pada kolom 8 certificate of origin. 70

78 Berdasarkan analisis terhadap seluruh kriteria origin not wholly obtained/wholly produced yang ada di bagian overleaf notes masing-masing Form FTA-nya, diperoleh kesimpulan bahwa dalam perjanjian pembentuk skema FTA yang diikuti Indonesia terdapat 4 (empat) kriteria origin yang diberlakukan, dan selayaknya dipahami oleh seluruh petugas pabean yang tugas dan fungsinya terkait dengan penanganan dokumen impor, sehingga pada saat menerima dokumen certificate of origin yang berasal dari negara lain langsung mengetahui tindakan apa saja yang harus dilakukan. Keempat kriteria origin tersebut masing-masing adalah : 1. Diproduksi secara khusus (PE) Produced Exclusively atau disingkat menjadi PE merupakan salah satu kriteria yang ada di beberapa skema FTA, seperti ASEAN-Korea FTA dan ASEAN-Jepang FTA. Pengertian dari PE adalah proses produksi (transformasi substansi) yang dilakukan atas origin material (material yang bersumber dari negara-negara yang ikut serta menandatangani perjanjian pembentuk skema FTA). Atas barang-barang yang merupakan hasil transformasi substansi tersebut dianggap sebagai barang yang memenuhi kriteria origin, dan berhak mendapatkan tarif preferensi apabila persyaratan lainnya (direct consignment) dan procedural provisions terpenuhi. 2. Regional Value Content (RVC) RVC merupakan salah satu kriteria origin yang mengacu pada origin material, sebagaimana halnya PE. Akan tetapi di dalam RVC diperkenankan terakumulasikannya sejumlah non-origin material yang membentuk barang jadi hasil produksi suatu proses. Persyaratan utama dari RVC adalah adanya transformasi substansi yang memberikan nilai tambah sampai dengan level tertentu yang diekspresikan dalam nilai persentase. Nilai persentase tersebut merupakan jumlah dari origin material yang terkandung di dalam barang jadinya. Adapun origin material adalah setiap material dan/atau bahan baku yang berasal dari negaranya sendiri maupun dari negara lain yang merupakan anggota dari suatu perjanjian pembentuk skema FTA. 71

79 Penggunaan kriteria RVC misalnya adalah RVC 50%, diartikan bahwa regional value content (kandungan nilai material yang berasal para pihak dalam skema FTA yang terkait adalah 50% dari nilai FOB barang jadi). Persentase yang berlaku di dalam skema FTA yang diikuti Indonesia dan telah berlaku saat ini hampir seluruhnya adalah RVC minimal 40%, dan RVC 35% untuk ASEAN-India FTA. 3. Change Tariff Classification Kriteria CTC merupakan kriteria origin yang diciptakan untuk mengakomodasi non-origin material, atau material yang berasal dari negaranegara yang bukan merupakan anggota dari suatu perjanjian pembentuk skema FTA. Misalnya dalam skema ASEAN-China FTA, anggotanya terdiri dari seluruh negara ASEAN ditambah China (seluruhnya menjadi 11 negara). Atas material yang berasal dari 11 negara tersebut disebut origin material, sedangkan setiap material dan/atau bahan baku yang tidak berasal dari 11 negara tersebut disebut non-origin material. Seperti halnya kriteria RVC, dalam kriteria CTC juga diwajibkan adanya perubahan substansi (substantial transformation) dari non-origin material yang diimpor menjadi barang jadi tertentu, serta memiliki klasifikasi yang berbeda dengan material pembentuknya. Dalam skema FTA yang ada, CTC terdiri dari : Change in Chapter atau CC (perubahan substansi pada dua digit HS), Change in Tariff Heading atau CTH (perubahan substansi pada level 4 digit HS), dan Change in Tariff Sub Heading atau CTSH (perubahan substansi pada level 6 digit HS). 4. PSR Kriteria terakhir dalam skema FTA yang ditandatangani oleh Indonesia adalah PSR, yang merupakan kriteria origin paling liberal, karena disediakan untuk mengakomodasi kebutuhan setiap negara yang ingin mengusulkan agar produknya dapat memenuhi kriteria origin, dengan berdasar pada proses produksinya. Tentunya harus berdasarkan kesepakatan para pihak yang terlibat di dalam perjanjian pembentuk skema FTA. 72

80 Tidak terdapat definisi yang baku untuk kriteria PSR, melainkan hanya merujuk pada proses produksi (perubahan substansi) dari suatu komoditas. Adapun ekspresi dari PSR tetap mengacu pada kriteria yang telah ada (wholly obtained/produced, regional value content, change in tariff classification, atau proses produksi lainnya yang dianggap tetapi menjadi suatu kekhususan, seperti tekstil dan produk tekstil). Dalam ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), PSR didefinisikan sebagai : product specific rules means rules that specify that the materials have undergone a change in tariff classification or a specific manufacturing or processing operation, or satisfy a Regional Value Content criterion or a combination of any of these criteria. Oleh karena PSR merupakan suatu kekhususan, maka biasanya PSR dibuat dalam daftar tersendiri dengan mengacu pada kode HS. Setiap instansi penerbit maupun penerima certificate of origin wajib mendahulukan/melakukan pemeriksaan atas daftar PSR terlebih dahulu dalam hal terdapat pengajuan certificate of origin dari eksportir maupun importir. Apabila HS yang digunakan terrdapat dalam daftar PSR, maka pastikan bahwa hanya kriteria yang ada di dalam daftar tersebut yang dapat digunakan untuk komoditas yang sedang ditangani. 3.4 Test Formatif 3 Jawablah petanyaan di bawah ini dengan jawaban yang singkat, dan jelas! 1. PT. Indah Pada Akhirnya, sebuah perusahaan di Indonesia mengimpor barang dari Malaysia berupa pakaian jadi sebanyak 5 kontainer. Setibanya di pelabuhan Tanjung Priok, perusahaan tersebut mengajukan PIB dilampiri beberapa dokumen termasuk Form E yang melindungi komoditas yang dipesannya. Pada kolom 8 Form E tersebut tertulis kriteria origin dari barang tersebut adalah PSR (CTHS). Jelaskan maksud dari kriteria tersebut, dan apa yang harus dilakukan dalam rangka verifikasi dokumen! 2. Total Buah Segar, sebuah perusahaan retail di Indonesia mengimpor buah jeruk Kino dari Sehat Segar Sdn. Bhd., Malaysia. Memenuhi pesanan ini, 73

81 Sehat Segar mengirimkannya dengan dilindungi Form D, agar atas impor tersebut dapat diberikan tarif preferensi. Saat menerima Form D yang dilampirkan oleh Total Buah Segar, PFPD di KPPBC Tanjung Perak melihat bahwa kriteria origin yang dituliskan pada kolom 8 adalah WO atau wholly obtained. Bagaimana analisis Saudara terhadap kondisi tersebut? 3. Sebuah pabrik penghasil feature baja di Bekasi, PT. Tidak Setengah Hati, membeli baja-baja potongan dari para pengumpul lokal untuk dijadikan bahan baku di perusahannya. Potongan-potongan tersebut merupakan bekas beberapa mesin eks impor yang telah rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi. Setelah melalui proses produksi di pabriknya, potonganpotongan tersebut saat ini telah menjadi feature baja dalam kualitas yang sangat tinggi kualitas ekspor. Apabila PT. Tidak Setengah Hati benar-benar ingin mengekspor barang jadinya ke negara-negara anggota skema FTA yang juga ditandatangani oleh Indonesia, kriteria apa yang dapat digunakan? Jelaskan! 4. Dalam kriteria RVC dikenal 2 metode untuk menghitung persentase dari nilai suatu komoditas sehingga layak mendapatkan tarif preferensi di negara pengimpor. Jelaskan kedua metode tersebut, dan biaya apa saja yang dapat dilibatkan dalam penghitungan RVC sebuah komoditas! 5. Pada saat sebuah perusahaan memastikan bahwa atas produknya akan digunakan kriteria CTC, tentunya terdapat alasan kuat dan dianggap paling menguntungkan. Jelaskan hal-hal terkait kriteria CTC tersebut, khususnya tentang : a. Kemungkinan digunakannya kriteria CTC. b. Kelebihan dan kekurangan kriteria CTC. 74

82 3.5 Umpan Balik dan Tindak Lanjut Coba cocokkan hasil jawaban Anda dengan materi yang sudah ada pada pembahasan ini. Hitunglah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda terhadap materi pada kegiatan belajar ini. Perhatikan dan cocokan hasil jawaban Anda dengan kualifikasi hasil belajar yang telah terinci sebagaimana rumus berikut. TP = Jumlah Jawaban Yang Benar X 100% Jumlah keseluruhan Soal Apabila tingkat pemahaman (TP) dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai: 91 % s.d 100 % : Sangat Baik 81 % s.d. 90,99 % : Baik 71 % s.d. 80,99 % : Cukup 61 % s.d. 70,99 % : Kurang 0 % s.d. 60,99 % : Sangat Kurang Bila hasil perhitungan Anda telah mencapai 81 % atau lebih, maka Anda telah menguasai materi kegiatan belajar ini dengan baik. Untuk selanjutnya Anda dapat melanjutkan kegiatan belajar berikutnya. Jika belum mencapai angka 81%, kami menyarankan agar anda mengulang kembali materi kegiatan belajar ini. 75

83 PENUTUP Saudara para peserta workshop, Saudara telah mempelajari seluruh kegiatan belajar yang meliputi KB-1 sampai dengan KB-3 dengan materi ROO, Wholly Obtained atau Wholly Produced, dan Non Wholly Obtained atau Non Wholly Produced, yang seluruhnya difokuskan pada tujuan Preferensi. Modul ini merupakan gambaran dari seluruh kriteria origin yang digunakan atau yang diatur dalam seluruh perjanjian pembentuk skema FTA yang turut ditandatangani oleh Indonesia sebagai salah satu anggotanya. Sebelum Saudara menyudahi mata pelajaran ini disarankan Saudara mengerjakan test sumatif berikut ini. Dengan selesainya pembelajaran modul ini diharapkan Saudara akan lebih mudah dalam mempelajari modul-modul berikutnya dalam workshop ROO. Semoga sukses. 76

84 TES SUMATIF Jawablah pertanyaan di bawah ini secara jelas dan tepat! 1. Sepuluh kontainer biji plastik memasuki wilayah Indonesia, yang dikirim dari eksportir di Viet Nam. Apabila atas importasi biji plastik tersebut ingin mendapatkan tarif preferensi, maka kemungkinan kriteria origin yang dapat digunakan apa saja? 2. Lima kontainer buah Kiwi datang dari Singapore dengan dilindungi Form D, dan kriteria origin yang diberitahukan adalah Wholly Obtained (WO). Bagaimana analisis Saudara terhadap informasi tersebut? Jelaskan! 3. Change in Tariff Heading (CTH) merupakan salah satu bentuk kriteria origin dari Change in Tariff Classification (CTC), dimana keberadaannya adalah untuk mengakomodasi non-origin material atau material/bahan baku yang tidak berasal dari negara anggota suatu skema FTA. Jelaskan maksudnya, dan berikan contoh dari CTH! 4. Apa persamaan dan perbedaan antara CTH dengan CTSH, dan berikan contoh masing-masing! 5. Sekalipun pada kriteria origin RVC terdapat non-origin material atau bahan baku yang tidak berasal dari negara anggota suatu skema FTA, tetapi implementasinya berbeda dengan kriteria origin CTC. Dimanakah letak perbedaannya, dan berikan contoh RVC! 77

85 KUNCI JAWABAN A. KEGIATAN BELAJAR 1 Latihan 1. Dalam WTO agreement on Rules of Origin terdapat dua definisi ROO, yaitu ROO untuk tujuan preferensi sebagaimana diatur dalam annex II dan ROO tujuan non-preferensi sebagaimana diatur dalam artikel 1. Adapun definisi masing-masing menurut terjemahan bebas adalah sebagai berikut : a. ROO tujuan preferensi adalah peraturan perundang-undangan serta ketentuan administrastif lainnya yang diterapkan oleh negara anggota untuk menentukan apakah suatu komoditas memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan tarif preferensi dibawah suatu rejim perdagangan berdasarkan perjanjian maupun ketentuan otonomi suatu negara. b. ROO tujuan non-preferensi adalah peraturan perundang-undangan serta ketentuan administratif lainnya yang diterapkan oleh negara anggota untuk menentukan negara asal (country of origin) dari suatu komoditas, tetapi tidak dalam rangka perjanjian maupun ketentuan otonomi suatu negara yang berbasis pemberian tarif preferensi. 2. ROO terdiri dari tiga kriteria yang wajib dipenuhi agar dapat memperoleh tarif preferensi, yaitu : a. Kriteria Origin, yaitu kriteria untuk menentukan ke-asal-an suatu barang yang terdiri dari Wholly Obtained/Produced; Change in Tariff Classification (CTC); Regional Value Content (RVC); dan PSR. b. Kriteria Direct Consignment, yaitu kriteria yang mewajibkan setiap komoditas dikirim langsung dari negara eksportir ke negara importir, kecuali karena alasan tertentu diperkenankan melakukan transhipment/transit di suatu negara. 78

86 c. Procedural Provisions, yaitu prosedur penerbitan surat keterangan asal atau sertifikasi (certification) di negara eksportir dan prosedur verifikasi (verification) baik di negara importir. 3. Direct Consignment adalah salah satu kriteria yang mewajibkan agar setiap barang yang ingin mendapatkan tarif preferensi wajib dikirim langsung dari negara eksportir (negara dimana barang tersebut diproduksi) ke negara importir. Mempertimbangkan adanya kemungkinan untuk melakukan transit/trashipment, maka WCO selanjutnya membuat rekomendasi sebagai berikut : a. Pengangkutan langsung dari negara pengekspor ke negara pengimpor, tanpa melakukan penghentian di negara lain; atau b. Pengangkutan dari negara pengekspor ke negara pengimpor dengan melewati (baik dalam rangka transit maupun transhipment) negara lain (dalam hal skema FTA, maka negara lain disini adalah meliputi negara anggota skema FTA tersebut maupun bukan negara anggota), dengan persyaratan : Ø Selama melakukan kegiatan transit/transhipment tidak terdapat proses produksi dan/atau proses lainnya yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk atas barang tersebut, kecuali hanya bongkar muat. Ø Tidak terdapat transaksi selama dalam prosedur transit/transhipment. Maksudnya adalah tidak terjadi perpindahan kepemilikan atas barang tersebut kepada pihak lain selain yang tecantum di dalam dokumen yang melindunginya. Ø Prosedur transit/transhipment diperlukan hanya karena mempertimbangkan kepentingan logistik, kondisi ekonomis, kondisi geografis, maupun pertimbangan lain yang diperlukan untuk keamanan dan/atau keutuhan barang. Ø Tidak terjadi proses Customs clearance (pengeluaran barang ke tempat lain diluar daerah pabean), melainkan tetap dalam pengawasan administrasi pabean negara transit tersebut. Artinya tidak terdapat pengajuan Import Declaration (untuk Indonesia disebut PIB). Kegagalan importir dalam memenuhi permintaan dokumen yang dianggap perlu di atas, dapat mengakibatkan tidak diberikannya tarif preferensi atas barang yang diimpornya. 79

87 4. Sampai dengan saat ini hanya ROO untuk tujuan non-preferensi yang telah diharmonisasi oleh WTO, sedangkan ROO untuk tujuan preferensi dikembalikan kepada perjanjian yang membentuknya, sesuai dengan kepentingan para pihak/anggota yang menandatangani perjanjian tersebut. 5. Receiving authority adalah instansi, baik pemerintah ataupun swasta, yang diberi kewenangan oleh pemerintahnya untuk menerima certificate of origin bersamaan dengan import declaration yang diajukan oleh importir, untuk dilakukan verifikasi dan dibuat keputusan apakah atas komoditas impor tersebut berhak mendapatkan tarif preferensi atau tidak. Contoh receiving authority di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tes Formatif 1 1. Menurut kriteria direct consignment, terdapat fleksibilitas yang diijinkan kepada perusahaan pelayaran untuk tidak mengirimkan barang-barang secara langsung dari negara eksportir ke negara importir, melainkan melalui satu atau lebih negara, apabila terdapat alasan logis yang dapat diterima. Dalam hal ini jelas sekali bahwa jalur yang biasa dilalui oleh perusahaan pengangkut tersebut telah ditetapkan sebelumnya untuk alasan ekonomis, sehingga menurut kriteria direct consignment alasan tersebut dapat diterima. 2. Menurut the Revised Kyoto Convention (RKC), certificate of origin adalah formulir khusus yang mana sebuah otoritas resmi yang diberi kewenangan oleh pemerintahnya memberikan keterangan bahwa barang yang tersebut dalam dokumen tersebut telah memenuhi ketentuan origin suatu negara. Formulir tersebut dapat dibuat dalam bentuk formulir khusus ataupun pernyataan yang dibuat oleh manufacturer, producer, supplier, exporter atau individu tertentu yang diberi kewenangan. Pernyataan dimaksud dapat dibuat dalam dokumen tersendiri maupun dalam commercial document yang selama ini telah digunakan dalam transaksi perdagangan intenasional, seperti invoice. Berdasarkan informasi tersebut maka jelas sekali bahwa dokumen certificate of origin tidak selalu dalam bentuk dokumen yang selama ini digunakan, melainkan juga dalam bentuk dokumen lain yang disepakati. Selain itu juga untuk masalah penerbitannya, dapat diterbitkan 80

88 oleh pemerintah atau badan lain (pemerintah atau swasta) yang diberi kewenangan oleh pemerintah. 3. Secara prinsip apa yang diatur dalam ketentuan prosedural adalah terkait sertifikasi dan verifikasi, sehingga suatu barang dapat diberikan tarif preferensi. namun demikian, secara lebih lengkap, substansi dalam ketentuan prosedural meliputi : tata cara mendapatkan certificate of origin, fleksibilitas dalam penerbitan certificate of origin, tata cara penyerahan certificate of origin kepada receiving autohority, tatacara verifikasi oleh receiving authority, dan fasilitas lainnya terkait kemungkinan mendapatkan tarif preferensi. 4. Perbedaan dari ROO tujuan preferensi dan non-preferensi adalah : a. ROO tujuan preferensi merupakan ketentuan untuk menentukan apakah suatu komoditas layak mendapatkan tarif preferensi atau tidak. b. ROO tujuan non-preferensi merupakan ketentuan untuk menentukan negara asal, tetapi tidak berakibat pada diberikannya tarif preferensi. 5. Adakalanya suatu negara mengalami kerugian (injury) akibat dari transaksi perdagangan internasional dengan negara lain. Salah satu contohnya adalah membanjirnya produk tertentu, sehingga industri dalam negerinya tidak lagi mampu bersaing. Hal ini bisa terjadi karena produk yang masuk memiliki harga lebih murah sehingga lebih terjangkau oleh pembeli. Pemerintah di negara pengimpor selanjutnya melakukan penelitian terkait hal-hal yang menyebabkan membanjirnya produk tertentu sekaligus faktorfaktor yang menyebabkan harganya lebih murah. Apabila fenomena yang terjadi disebabkan fair trade, maka pemerintah dapat melakukan tindakan safeguard. Sedangkan apabil fenomena yang terjadi disebabkan unfair trade, maka pemerintah dapat menerapkan bea masuk anti dumping. B. KEGIATAN BELAJAR 2 Latihan 1. Berdasarkan kategori dalam kriteria wholly obtained, binatang ternak yang lahir dan dibesarkan di suatu negara dapat dianggap sebagai origin dari negara tersebut. Dalma kasus di atas, sapi yang diimpor adalah pejantan 81

89 yang akan dikawinkan dengan sapi lokal di Malaysia. Oleh karena lahir dan besarnya sapi yang diekspor terjadi di Malaysia, maka sesuai ketentuan kriteria wholly obtained tersebut, atas sapi-sapi tersebut dapat menggunakan kriteria wholly obtained (WO) sehingga untuk ekspornya dapat menggunakan Form D dan berhak mendapatkan tarif preferensi dalam skema ATIGA. 2. Memperhatikan kasus tersebut, jelas sekali adanya akumulasi/ gabungan antara bahan baku lokal (murni origin material) dengan bahan baku impor (kemungkinan origin material atau non-origin material). Hanya saja tidak dijelaskan apakah bumbu dan kaleng yang dipergunakan dalam proses produksinya diimpor dari negara anggota skema FTA atau bukan. Oleh karena itu terdapat dua kemungkinan, yaitu : a. Dalam hal bahan baku yang diimpor berasal dari negara anggota skema FTA yang sama, mengingat seluruh bahan baku berasal dari anggota FTA, maka atas makanan kaleng tersebut dapat menggunakan kriteria origin PE atau Produced Exclusively, yaitu kriteria origin atas barang yang diproduksi dengan menggunakan bahan baku/material yang berasal dari origin material seluruhnya. b. Seandainya material yang dipergunakan berasal dari negara yang bukan anggota skema FTA yang sama atau bukan merupakan anggota skema FTA, maka kemungkinan kriteria yang dapat dipergunakan adalah Change in Tariff Heading (CTH), PSR Change in Tariff Sub-Heading (CTSH). Dalam hal ini harus dipastikan apakah terjadi perubahan pos tarif atau tidak. 3. Kode WO atau wholly obtained berarti pisang cavendis tersebut ditanam, tumbuh dan dipanen di Myanmar. Sejauh ini pisang cavendis berasal dari Philippine dan hanya dikirim dari negara tersebut. Oleh karena itu perlu ada klarifikasi/informasi akurat apakah Myanmar memiliki program penanaman jenis pisang ini. Dalam hal ini maka atas Form E tersebut perlu dimintakan retroactive check kepada pihak penerbit certificate of origin. 4. Secara prinsip, produk barang jadi yang berasal dari barang-barang bekas yang tidak lagi menunjukkan produk aslinya atau tidak dapat lagi difungsikan 82

90 sebagaimana bentuk semula, baik eks impor ataupun lokal, dapat dipertimbangkan untuk menggunakan kriteria origin wholly obtained/ produced. Khusus untuk masalah ini, mengingat barang-barang tersebut akan diekspor ke Taiwan, sementara Taiwan tidak tergabung dalam skema FTA manapun yang ditandatangani oleh Indonesia, maka tidak terdapat form FTA yang dapat digunakan untuk eksportasinya. 5. Secara prinsip mekanisme kembalinya barang-barang eks Indonesia ke Indonesia dengan menggunakan skema FTA tidak dilarang. Hanya saja dalam hal ini diperlukan penjelasan lebih detil tentang proses/pengolahan yang telah dilakukan terhadap pakaian tersebut, mengingat importir-nya semula adalah trading company, kemudian terjadi sedikit proses produksi yaitu penambahan aksesoris. Beberapa kemungkinan adalah sebagai berikut : a. Apabila digunakan kriteria origin Produced Exclusively (PE), perlu dipastikan bahwa aksesoris yang ditambahkan berasal dari Singapore atau negara ASEAN (harus origin material). b. Apabila menggunakan kriteria origin Regional Value Content, maka selain harus dimintakan penjelasan tentang asal-usul aksesoris, juga perlu ada klarifikasi tentang nilai tambah yang dicapai oleh proses tersebut, apakah persentase yang telah ditetapkan atau tidak. Test Formatif 2 1. Agar hewan atau produk hewan dapat memenuhi kriteria origin wholly obtained/produced, maka harus dapat dibuktikan bahwa hewan tersebut lahir dan dibesarkan di negara eksportir. Adapun bibitnya dapat berasal dari negara anggota ataupun bukan negara anggota. 2. Dalam kriteria origin wholly obtained/produced diatur bahwa suatu barang jadi yang berasal dari bahan baku yang juga merupakan produk negara A, atau apabila bahan bakunya berasal dari barang-barang bekas/sisa/sampah, maka seluruh bahan baku tersebut harus dikumpulkan dari negara A tersebut. 83

91 Contohnya adalah biji plastik hasil produksi negara A yang berasal dari plastik-plastik bekas pembungkus produk-produk yang diimpor oleh perusahaan di negara A juga. Atas biji plastik tersebut maka dapat diberikan tarif preferensi dengan menggunakan kriteria origin wholly obtained/produced. 3. Penggunaan serat filamen/buatan eks impor sebagai bahan baku tentunya telah menggugurkan kemungkinan pemanfaatan kriteria origin wholly obtained/produced. Kriteria origin yang mungkin dapat digunakan adalah perubahan klasifikasi tarif dari serat buatan menjadi pakaian jadi tersebut. Untuk memastikan apakah termasuk kriteria change in tariff heading atau change in tariff sub-heading, tentunya harus dilihat daftar PSR terlebih dahulu agar tidak terjadi penolakan tarif preferensi di negara pengimpor. 4. Salah satu kategori dari kriteria wholly obtained/produced adalah pemanfaatan barang-barang bekas atau sisa dari produk-produk luar negeri, termasuk kantong atau pengemas plastik yang banyak dibuang di suatu negara. Atas kantong atau pengemas plastik tersebut apabila dikumpulkan di suatu negara kemudian dimanfaatkan (diolah), kemudian diproses menjadi barang lain yang berbeda maka dimungkinkan untuk memperoleh tarif preferensi. Dalam kasus ini, maka atas kantong plastik sisa/bekas yang dikumpulkan di suatu negara dapat dianggap sebagai origin material, sehingga produk barang jadinya merupakan origin dari negara yang melakukan proses produksi tersebut, dan dapat diajukan untuk memperoleh tarif preferensi dengan menggunakan kriteria origin wholly obtained/produced atau WO. 5. Form D yang diterbitkan oleh issuing authority di Thailand untuk melidungi ekspor forklift tidak dapat dipergunakan atau bahkan dapat dikembalikan dengan keterangan bahwa tarif preferensi tidak dapat diberikan. Alasan yang paling utama adalah tidak terdapat perubahan wujud dari forklift bekas menjadi forklift yang telah diperbaiki sehingga dapat digunakan sesuai fungsi semula. Apabila atas forklift bekas tersebut dihancurkan sehingga tidak terlihat sifat asli dan tidak dapat dipergunakan sesuai dengan fungsi produk sebelumnya, maka dimungkinkan untuk mendapatkan tarif preferensi dalam bentuk pengurunan/penghapusan tarif bea masuk impor. 84

92 C. KEGIATAN BELAJAR 3 Latihan 1. Kriteria Origin adalah kriteria utama untuk menentukan ke-asal-an dari suatu barang, dengan melihat asal usul dari suatu barang, apakah diproduksi/diperoleh di satu negara atau lebih. 2. Kolom 8 merupakan tempat yang disediakan untuk menuliskan kode dari kriteria origin suatu komoditas yang akan diajukan untuk mendapatkan tarif preferensi. Kode CTH merupakan kependekan dari Change in Tariff Heading, yaitu perubahan kode HS pada level empat digit. Maksudnya adalah perubahan substansi yang terjadi pada suatu produk berakibat pada berubahnya kode HS, sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. 3. Tekstil dan produk tekstil dapat dikatakan sebagai salah satu produk yang sensitif kriteria originnya. Hal ini dapat dilihat bahwa hampir seluruh sektor industri tekstil dan produk tekstil belum masuk di dalam PSR. Oleh karena itu, dalam kasus ini setiap PFPD harus melakukan pengecekkan atas setiap certificate origin yang masuk ke Indonesia dengan cara melihat terlebih dahulu kedalam daftar PSR dari skema dimaksud. Apabila disebutkan bahwa RVC merupakan salah satu kriteria origin yang diperbolehkan, maka atas Form E yang diajukan adalah benar, tetapi cara penulisannya seharusnya : PSR (RVC...%). Tetapi apabila tidak terdapat di dalam daftar PSR, maka kriteria origin yang diberitahukan dapat diterima. 4. Kriteria origin dari setiap skema FTA dapat dilihat pada overleaf notes, yaitu catatan yang berada di balik certificate of origin. Dalam skema ASEAN- China kriteria yang disepakati adalah : a. Wholly Obtained atau Wholly Produced b. RVC 40% tetapi wajib menggunakan bahan baku negara eksportir, atau dalam skema lain disebut Produced Exclusively (PE) c. RVC minimal 40%, yaitu penghitungan nilai regional (regional value content) sebagai akibat dari akumulasi d. Product Specific Rule (PSR) 85

93 5. Dua metode yang disediakan oleh WCO meliputi : a. Metode langsung, yaitu penghitungan RVC dengan cara menjumlahkan origin material yang berasal dari dalam negeri dan negara anggota skema FTA terkait, ditambah dengan biaya-biaya terkait serta keuntungan yang ingin diperoleh. b. Metode tidak langsung, yaitu penghitungan RVC dengan cara melibatkan non-origin material sebagai alat pengurang dari nilai FOB barang jadi yang akan diekspor. Test Formatif 3 1. Kolom 8 merupakan bagian dari form E untuk memberitahukan kriteria origin dari komoditas yang diekspor. Untuk komoditas dengan kriteria origin PSR (CTSH), maka atas produk yang diekspor tersebut kode HS-nya termasuk di dalam daftar PSR skema ASEAN-China FTA-TIG, dan menurut daftar tersebut origin kriteria yang dapat digunakan untuk produk tersebut adalah perubahan sub-heading (chage in tariff sub-heading). Hal yang harus dilakukan oleh petugas lapangan adalah melakukan penelitian terhadap daftar PSR ACFTA guna memastikan kebenaran informasi tersebut. Dalam hal terdapat keraguan terjadinya perubahan pada level sub-heading, maka dapat dilakukan permintaan retroactive check kepada issuing authority. 2. Salah satu persyaratan wholly obtained untuk buah segar adalah harus ditanam-dibesarkan (tumbuh) dipanen-dikumpulkan di negara pengekspor, dalam hal ini berarti seluruh proses tersebut harus terjadi di Malaysia. Hal ini cukup mencurigakan mengingat jeruk kino merupakan produk asli Pakistan. Oleh karena itu sebaiknya PFPD memutuskan untuk mengirimkan permintaan retroactive check kepada issuing authority, menanyakan ke-asalan dari jeruk kino tersebut, apakah 4 proses tersebut benar-benar dilakukan di Malaysia. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan adanya proses ilegal transit/transhipment. 3. Berdasarkan informasi dari kasus tersebut diketahui bahwa feature baja yang diproduksi menggunakan bahan baku potongan-potongan mesin eks impor. Menurut ketentuan wholly obtained, suatu barang yang diproduksi 86

94 dengan menggunakan bahan/material dalam bentuk sisa-sisa barang jadi yang tidak dapat digunakan sebagaimana fungsi awalnya, dapat menggunakan kriteria origin wholly obtained (WO). 4. Dua metode yang digunakan dalam menghitung nilai RVC adalah : a. Metode langsung, yaitu yaitu penghitungan RVC dengan cara menjumlahkan origin material yang berasal dari dalam negeri dan negara anggota skema FTA terkait, ditambah dengan biaya-biaya terkait serta keuntungan yang ingin diperoleh. Nilai tersebut selanjutnya dibandingkan dengan total nilai FOB dari barang jadi-nya. b. Metode tidak langsung, yaitu penghitungan RVC dengan cara melibatkan non-origin material sebagai alat pengurang dari nilai FOB barang jadi yang akan diekspor. Hasil dari pengurangan tersebut kemudian dibandingkan dengan total nilai FOB barang jadi tersebut. 5. Change in Tariff Classification (CTC) adalah salah satu kriteria origin karena adanya perubahan substansi dari non-origin material sehingga menghasilkan barang lain yang memiliki kode HS berbeda dengan material pembentuknya. Perubahan kode HS tersebut dapat terjadid pada level 2 digit (change in chapter), 4 digit (change in tariff heading), dan 6 digit (change in tariff sub-heading). Kelebihan dari CTC adalah kemudahan dari penggunaan dan pembuktiannya, karena semuanya tercatat dalam dokumen yang telah diendorse oleh adminstrasi pabean, khususnya untuk material eks impor. Adapun kekurangannya adalah perlu akurasi pengklasifikasian kode HS, mengingat tidak semua orang memahami sistem klasifikasi barang. 87

95 D. TES SUMATIF 1. Biji plastik merupakan salah satu produk yang dapat dihasilkan minimal dengan dua cara, yaitu : a) melalui pengolahan murni dengan menggunakan bahan baku turunan dari minyak bumi, atau b) melali proses daur ulang yang menggunakan bahan baku plastik-plastik bekas yang dikumpulkan kembali. Memperhatikan kemungkinan proses produksi tersebut, maka kemungkinan kriteria origin yang dapat digunakan adalah : a. Wholly obtained/produced, apabila biji plastik tersebut diolah dari sampah/sisa plastik yang dikumpulkan dan kemudian diproses di Viet Nam. b. Regional value content (RVC), apabila bahan bakunya diimpor dari sesama negara anggota suatu skema FTA, kemudian diolah dengan penambahan beberapa komponen yang dapat memberikan nilai tambah, sehingga total persentase nilai (biaya yang terlibat) yang berasal dari seluruh anggota skema FTA tersebut mencapai besaran tertentu yang disepakati. c. Change in tariff classification, apabila bahan bakunya diimpor dari negara yang bukan anggota skema FTA, kemudian diolah di Viet Nam sehingga terjadi perubahan substansi sekaligus juga kode HS-nya menjadi berbeda dengan bahan baku pembentuknya. 2. Buah kiwi merupakan salah satu buah yang cukup sensitif dan hanya dapat tumbuh di negara tertentu, seperti Australia. Singapore bagaimanapun memiliki iklim yang sangat berbeda dengan Australia sehingga kecil kemungkinan dapat memiliki perkembunan kiwi, sementara syarat untuk menggunakan kriteria origin WO adalah setiap buah yang diekspor harus : ditanam-dibesarkan (tumbuh)-dipanen-dikumpulkan di negara pengekspor, dalam hal ini adalah Singapore. Mempertimbangkan kondisi tersebut maka penggunaan kriteria origin WO untuk produk kiwi eks Singapore kiranya perlu dimintakan retroactive check. 3. Idealnya barang yang dapat memperoleh tarif preferensi adalah yang berasal dari negara pengekspor dengan menggunakan bahan baku dari 88

96 negara tersebut juga. Namun demikian, dengan kriteria origin CTH, maka disepakati bahwa atas barang yang diproduksi dengan menggunakan bahan baku eks bukan negara pengekspor atau negara anggota skema FTA lainnya (non-origin material), dapat dipertimbangkan mendapatkan kriteria origin apabila terjadi perubahan substansi yang berakibat perubahan kode HS di negara pengekspor. Contoh dari kriteria origin adalah : dalam skema ATIGA, malaysia memproduksi biskuit (1905) yang diproduksi menggunakan bahan baku tepung (1101) dari Brazil yang bukan merupakan anggota ASEAN. 4. CTH dan CTSH merupakan implementasi dari kriteria origin change in tariff classification (CTC), yaitu kriteria origin untuk barang-barang yang diolah dengan menggunakan bahan baku non-origin (non-origin material) sehingga terjadi perubahan substansi (substantial transformation) dan perubahan kode HS. Perbedaan dari kedua kriteria origin tersebut adalah pada level perubahan kode HS-nya, dimana CTH merupakan perubahan kode HS pada level 4-digit, sedangkan CTSH pada level 6-digit. Contoh : CTH : Biskuit (1905) yang dibuat dengan menggunakan tepung (1101) dari negara bukan anggota skema FTA. CTSH : Wooden furniture ( ) yang dibuat dengan menggunakan kayu impor ( ) dan sparepart-nya ( ) dari negara bukan anggota skema FTA. 5. Menurut kriteria origin RVC (regional value content), suatu produk dapat dipertimbangkan memenuhi kriteria origin apabila proses yang dilakukan di satu negara dapat memberikan nilai tambah sampai dengan level tertentu yang besaranya dibuat dalam bentuk persentase. 89

97 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Customs Modernization Handbook, editor : Luc De Wulf and Jose B. Sokol, World Bank, Washington, A Retrospective on the Bretton Woods System : Lessons for International Monetary Reform, Michael D. Bordo and Barry Eichengreen, University of Chicago Press, International Business : Strategy, Management, and the New Realities, S. Tamer Cavusgil, Gary Knight, John R. Riesenberger, Pearson prentice Hall, Rules of Origin in International Trade, Stefano Inama, Cambridge University Press, Kerja Sama Perdagangan Bebas ASEAN dengan Mitra Wicara, Direktorat Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri, B. Literatur Tambahan (Jurnal) Agreement on Rules of Origin, World Trade Organization, A Guide to Determining the Origin of Goods Under TAFTA using the Change in Tariff Classification Method, Juli Rules of Origin and EPAs, Eckart Naumann, Associate, Trade Law Centre for Southern Africa (tralac), The Development of FTA Rules of Origin Functions, Hebei University, China, World Trade in Rules of Origin, Certification and Verification, World Customs Organization, 2011 Rules Of Origin And Origin Procedures Applicable To Exports From Least Developed Countries, UNCTAD,

98 Revenue Package, World Customs Organization, C. Lain-Lain World Trade Organization Agreement on Rules of Origin, World Trade Organization. The Revised Kyoto Convention, World Customs Organization. The Agreement On The Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme For The ASEAN Free Trade Area (AFTA). The Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation among the Government of the Members Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the People s Republic of China. Agreement on Trade in Goods under the Framework Agreement on Comprehensive Cooperation among the Government of the Members countries Of The Association Of Southeast Asian Nations And The Republic Of Korea. The Agreement on Trade in Goods under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of India. The Agreement between the Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership. The Agreement Establishing The Asean-Australia-New Zealand Free Trade Area. 91

99

IMPOR MURAH DENGAN SKEMA FREE TRADE AGREEMENT

IMPOR MURAH DENGAN SKEMA FREE TRADE AGREEMENT IMPOR MURAH DENGAN SKEMA FREE TRADE AGREEMENT Kurniawan, SE ASBTRAK Skema FTA pada dasarnya ditujukan untuk pengaturan penurunan dan/atau penghapusan tarif bea masuk, sebagai wujud dari berkembangnya liberalisasi

Lebih terperinci

2015, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13

2015, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1729, 2015 KEMENKEU. Tarif. Bea Masuk. Perjanjian. Kesepakatan Internasional. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 205/PMK.04/2015 TENTANG TATA CARA PENGENAAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77/M-DAG/PER/10/2014 Menimbang TENTANG KETENTUAN ASAL BARANG INDONESIA {RULES OF ORIGIN OF INDONESIA) DENGAN

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG KETENTUAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1034, 2013 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Sistem Sertifikasi Mandiri. Percontohan. Pelaksanaan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/M-DAG/PER/8/2013

Lebih terperinci

There are no translations available.

There are no translations available. There are no translations available. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) disingkat SKA adalah dokumen yang disertakan pada waktu barang ekspor Indonesia yang telah memenuhi ketentuan asal barang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG PENGENAAN TARIF BEA MASUK DALAM SKEMA ASEAN TRADE IN GOODS AGREEMENT (ATIGA) DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan Indonesia-Thailand Agreement On The Common Effective Preferential Tariff Scheme For The ASEAN Free Trade

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI JALAN JENDERAL A. YANI JAKARTA-13230 KOTAK POS 108 JAKARTA-10002 TELEPON (021) 4890308; FAKSIMILE (021) 4890871; SITUS www.beacukai.go.id

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

KETENTUAN ASAL BARANG IJEPA DAN TATACARA PENGISIAN FORM IJEPA BANDUNG, 17 NOVEMBER 2008

KETENTUAN ASAL BARANG IJEPA DAN TATACARA PENGISIAN FORM IJEPA BANDUNG, 17 NOVEMBER 2008 KETENTUAN ASAL BARANG IJEPA DAN TATACARA PENGISIAN FORM IJEPA BANDUNG, 17 NOVEMBER 2008 KERANGKA PRESENTASI 1. Apa itu Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) 2. Manfaat Penting IJEPA Bagi

Lebih terperinci

Slide untuk eksternal BC

Slide untuk eksternal BC Directorate General of Customs and Excise Ministry of Finance of Indonesia Slide untuk eksternal BC PMK 229/PMK.04/2017 Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR-09/BC/2008 TENTANG TATA CARA PELAYANAN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN TARIF BEA

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil penelitian secara keseluruhan sesuai dengan berbagai rumusan masalah yang terdapat pada Bab 1 dan memberikan saran bagi berbagai

Lebih terperinci

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar No.347, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan dengan mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan secara diskriminatif bagi negara-negara

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MPP/Kep/1/1997

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MPP/Kep/1/1997 Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MPP/Kep/1/1997 TENTANG KETENTUAN DAN TATACARA PERMOHONAN FASILITAS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1612, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Tarif. Bea Masuk. Impor. AANZFTA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 208/PMK.011/2013 TENTANG PENETAPAN TARIF BEA MASUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Regional Trade Agreements (RTA) didefinisikan sebagai kerjasama perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup free trade agreements (FTA),

Lebih terperinci

2017, No mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi, telah dijadwalkan skema penurunan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan antara Republik Indonesi

2017, No mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi, telah dijadwalkan skema penurunan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan antara Republik Indonesi No.346, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Persetujuan antara Kemitraan Ekonomi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PMK.010/2017 TENTANG PENETAPAN

Lebih terperinci

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Sunarno *) Pendahuluan Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Masuk. Pasal 12 UU

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.32

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia NOMOR : 43/M-DAG/PER/10/ /M-DAG/PER/9/2007

Menteri Perdagangan Republik Indonesia NOMOR : 43/M-DAG/PER/10/ /M-DAG/PER/9/2007 Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 43/M-DAG/PER/10/2007---/M-DAG/PER/9/2007 TENTANG PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN)

Lebih terperinci

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP

Lebih terperinci

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The

Lebih terperinci

Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai

Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi berita di media cetak dan elektronik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

bahwa sebagai contoh yang tertulis di Form E dan Invoice/Packing List, secara jelas dapat dilihat;

bahwa sebagai contoh yang tertulis di Form E dan Invoice/Packing List, secara jelas dapat dilihat; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-62921/PP/M.XVIIB/19/2015 Jenis Pajak : Bea Cukai Tahun Pajak : 2014 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah mengenai pembebanan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PERATURAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UPAYA SAFEGUARDS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION T E S I S SYLVIANA

Lebih terperinci

2017, No b. bahwa sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System 2017 dan ASEAN Har

2017, No b. bahwa sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System 2017 dan ASEAN Har BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.345, 2017 KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan. Pencabutan. PERATURAN

Lebih terperinci

Direktorat Teknis Kepabeanan Auditorium Merauke Kantor Pusat DJBC Kamis, 2 Februari 2017

Direktorat Teknis Kepabeanan Auditorium Merauke Kantor Pusat DJBC Kamis, 2 Februari 2017 Direktorat Teknis Kepabeanan Auditorium Merauke Kantor Pusat DJBC Kamis, 2 Februari 2017 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Direktorat Teknis Kepabeanan 2 Februari 2017 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Lebih terperinci

Rules Of Origin (RoO) Sebagai Alat Proteksi Industri Dalam Negeri Dalam FTA

Rules Of Origin (RoO) Sebagai Alat Proteksi Industri Dalam Negeri Dalam FTA Rules Of Origin (RoO) Sebagai Alat Proteksi Industri Dalam Negeri Dalam FTA Pendahuluan Perkembangan perjanjian perdagangan bebas regional (Regional Trade Agreements/RTA) dalam dua dekade terakhir terjadi

Lebih terperinci

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk menghitung besarnya bea masuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK I DAN H SECTION DARI BAJA PADUAN LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG PERUBAHAN KLASIFIKASI DAN PENETAPAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR PRODUK-PRODUK TERTENTU DALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa Menteri Perdagangan melalui surat Nomor: 330/M- DAG/SD/4/2016 tanggal 14 April 2016 hal Permohonan Perubahan Peraturan Menter

2016, No c. bahwa Menteri Perdagangan melalui surat Nomor: 330/M- DAG/SD/4/2016 tanggal 14 April 2016 hal Permohonan Perubahan Peraturan Menter No.773, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Bea Masuk. Tarif. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/PMK.010/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws INDIKASI PRAKTIK DUMPING MENURUT KETENTUAN PERUNDANGAN INDONESIA oleh Putu Edgar Tanaya Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Indications Dumping Practices Legislation

Lebih terperinci

2 Perdagangan, yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk steel wire rod; d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti hasil penyeli

2 Perdagangan, yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk steel wire rod; d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti hasil penyeli BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1184, 2015 KEMENKEU. Steel Wire Rod. Impor Produk. Pengamanan. Bea Masuk. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 155/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA

Lebih terperinci

: bahwa dalam pemeriksaan yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah, penetapan Terbanding atas Pembebanan, yaitu berupa:

: bahwa dalam pemeriksaan yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah, penetapan Terbanding atas Pembebanan, yaitu berupa: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-36477/PP/M.XVII/19/2012 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa dalam pemeriksaan yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah,

Lebih terperinci

Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini

Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini CAPAIAN MEA 2015 Barang Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini Tariff 0% untuk hampir semua produk kecuali MINOL, Beras dan Gula ROO / NTMs Trade & Customs Law/Rule National Trade Repository (NTR)/ATR Fokus

Lebih terperinci

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PADA HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA DAN TIGA NEGARA (CHINA, INDIA, DAN AUSTRALIA) TERHADAP KINERJA EKSPOR-IMPOR, OUTPUT NASIONAL DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA: ANALISIS

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN TENTANG. Tindakan. b. bahwaa. Komite. pengenaan. Indonesia (KPPI), Masuk.

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN TENTANG. Tindakan. b. bahwaa. Komite. pengenaan. Indonesia (KPPI), Masuk. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 193/PMK.011/2012 TENTANG PENGENAANN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN SEMENTARA TERHADAP IMPOR TEPUNG GANDUM

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. No.528, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/M-DAG/PER/3/2015

Lebih terperinci

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 6 GENERAL AGREEMENT on TARIFF and TRADE (GATT) A. Sejarah GATT Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian; Mengingat: 1. Undang-Undang

2016, No Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian; Mengingat: 1. Undang-Undang No. 21, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Ekspor. Produk. Pemurnian. Hasil Pengolahan. Pertambangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 119/M-DAG/PER/12/2015

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEMITRAAN EKONOMI

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/PMK.011/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/PMK.011/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/PMK.011/2013 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK CASING DAN TUBING

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 17/M-DAG/PER/9/2005

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 17/M-DAG/PER/9/2005 Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 17/M-DAG/PER/9/2005 TENTANG PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICA TE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24/M-DAG/PER/6/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24/M-DAG/PER/6/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24/M-DAG/PER/6/2008 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PISANG DAN NANAS KE JEPANG DALAM RANGKA IJ-EPA (INDONESIA JAPAN-ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT) DENGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN) KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di Puket,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012

Lebih terperinci

SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : Put-73723/PP/M.XVIIA/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2015

SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : Put-73723/PP/M.XVIIA/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2015 Putusan Nomor : Put-73723/PP/M.XVIIA/19/2016 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2015 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah pembebanan atas importasi berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58/PMK.011/2011 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK BERUPA KAIN TENUNAN DARI KAPAS YANG DIKELANTANG DAN TIDAK DIKELANTANG

Lebih terperinci

Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah?

Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah? Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah? Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstrak Nilai transaksi adalah harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya

Lebih terperinci

KEGIATAN PEMBAHASAN PENYUSUNAN ASEAN HARMONIZED TARIFF NOMENCLATURE (AHTN) 2017

KEGIATAN PEMBAHASAN PENYUSUNAN ASEAN HARMONIZED TARIFF NOMENCLATURE (AHTN) 2017 KEGIATAN PEMBAHASAN PENYUSUNAN ASEAN HARMONIZED TARIFF NOMENCLATURE (AHTN) 2017 A. Pendahuluan Klasifikasi barang adalah suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA LATIF, BIRKAH Pembimbing : Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH., Msi INTERNATIONAL LAW ; INVESTMENT, FOREIGN KKB

Lebih terperinci

Kinerja Ekspor Nonmigas Bulan Februari 2011 Terus Menguat Menuju Pencapaian Target Ekspor

Kinerja Ekspor Nonmigas Bulan Februari 2011 Terus Menguat Menuju Pencapaian Target Ekspor SIARAN PERS Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Telp: 021-3860371/Fax: 021-3508711 www.kemendag.go.id Kinerja Ekspor Nonmigas Bulan Februari 2011 Terus

Lebih terperinci

BAB III NATIONAL SINGLE WINDOW

BAB III NATIONAL SINGLE WINDOW BAB III NATIONAL SINGLE WINDOW 3.1 GAMBARAN UMUM Terminologi dari UN/CEFACT, Single Window adalah sebuah sistem yang memungkinkan kalangan perdagangan (traders) cukup menyampaikan informasi kepada satu

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR

PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN SISTEM KLASIFIKASI BARANG DAN PEMBEBANAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR A. Pendahuluan Klasifikasi barang adalah suatu daftar penggolongan barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu negara saat ini tidak bisa terlepas dari negara lain. Perdagangan antar negara menjadi hal yang perlu dilakukan suatu negara. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perdagangan global, tidak dapat dipungkiri bahwa lalu lintas barang semakin terbuka, sehingga memungkinkan tidak adanya batasan negara dalam lalu lintas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN

PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN Para Anggota, PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN Pembukaan Memperhatikan negosiasi yang diluncurkan dalam Deklarasi Menteri di Doha; Mengingat dan menegaskan mandat dan prinsip yang terkandung

Lebih terperinci

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF

Lebih terperinci

KESESUAIAN ATURAN MULTILATERAL AGREEMENT ON TRADE IN GOODS WTO DENGAN ATIGA (ASEAN TRADE IN GOODS AGREEMENT)

KESESUAIAN ATURAN MULTILATERAL AGREEMENT ON TRADE IN GOODS WTO DENGAN ATIGA (ASEAN TRADE IN GOODS AGREEMENT) KESESUAIAN ATURAN MULTILATERAL AGREEMENT ON TRADE IN GOODS WTO DENGAN ATIGA (ASEAN TRADE IN GOODS AGREEMENT) Desy Dinasari, Hanif Nur Widhiyanti, S.H., M.Hum., Ikaningtyas, S.H., LLM. Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR : 1 TAHUN 20118.A/PER/BSN/2/2010 TANGGAL : 1 Februari 2011 Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan

Lebih terperinci

2016, No turunannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Me

2016, No turunannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Me No.1922, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMDAG. Besi. Baja Paduan. Produk Turunan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82/M-DAG/PER/12/2016 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA,

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan

Lebih terperinci

Putusan Nomor : Put-68162/PP/M.IXB/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2014

Putusan Nomor : Put-68162/PP/M.IXB/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2014 Putusan Nomor : Put-68162/PP/M.IXB/19/2016 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2014 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah penetapan pembebanan tarif bea

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR PRODUK H SECTION DAN I SECTION DARI

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi 329 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam periode September 1994 - Oktober 2009 terbukti telah terjadi banjir impor bagi komoditas beras, jagung dan kedele di Indonesia, dengan tingkat tekanan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/PMK.011/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/PMK.011/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/PMK.011/2014 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK BENANG KAPAS SELAIN

Lebih terperinci

57/PMK.011/2011 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK KAWAT BINDRAT

57/PMK.011/2011 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK KAWAT BINDRAT 57/PMK.011/2011 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK KAWAT BINDRAT Contributed by Administrator Wednesday, 23 March 2011 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 05/DAGLU/PER/6/2008 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 05/DAGLU/PER/6/2008 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 05/DAGLU/PER/6/2008 TENTANG PENGALOKASIAN KUOTA EKSPOR PISANG DAN NANAS KE JEPANG DALAM RANGKA IJ-EPA (INDONESIA JAPAN-ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Bea Masuk. Anti Dumping.Uncoated Writing. Printing Paper.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Bea Masuk. Anti Dumping.Uncoated Writing. Printing Paper. No.54, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Bea Masuk. Anti Dumping.Uncoated Writing. Printing Paper. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PMK.011/2010 TENTANG

Lebih terperinci

PENGAWASAN KEPABEANAN. diwujudkan dengan efektif. Masing-masing organisasi mempunyai rencana untuk mencapai

PENGAWASAN KEPABEANAN. diwujudkan dengan efektif. Masing-masing organisasi mempunyai rencana untuk mencapai PENGAWASAN KEPABEANAN Oleh : Bambang Semedi (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai, periode 10 Mei 2013) Pendahuluan Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar rencana dapat diwujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam

BAB I PENDAHULUAN. merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan wilayah juga harus memperhatikan pembangunan ekonomi daerah untuk dapat memacu pengembangan wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1104, 2014 KEMENDAG. Verifikasi. Penelusuran Teknis. Perdagangan. Ketentuan Umum. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46/M-DAG/PER/8/2014 TENTANG

Lebih terperinci

Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia Yose Rizal Damuri

Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia Yose Rizal Damuri Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia Meninjau Ulang Pentingnya Perjanjian Perdagangan Bebas Bagi Indonesia Yose Rizal Damuri Publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat ini merupakan hasil dari Aktivitas Kebijakan

Lebih terperinci