KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI"

Transkripsi

1

2

3 KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012 hal Pembentukan Tim Penyusunan Modul Pendidikan dan Pelatihan pada Pusdiklat Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2012, maka kepada Sdr. Dedi Abdul Hadi, S.H., M.Si telah ditugaskan menyusun Modul Operational Certification Procedure untuk Workshop Rules Of Origin. Oleh karena modul sebagaimana terlampir telah diseminarkan dan telah dilakukan perbaikan sesuai dengan masukan dan saran hasil seminar, serta mengacu pada peraturan penyusunan modul yang berlaku, maka dengan ini kami nyatakan Modul tersebut sah dan layak untuk menjadi Modul Workshop Rules Of Origin di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada penyusun dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian modul tersebut. Demikian kata pengantar dan pengesahan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Jakarta, Desember 2012 Kepala Pusdiklat Bea dan Cukai Agus Hermawan NIP

4 DAFTAR ISI Daftar Isi... i Petunjuk Penggunaan Modul... iii Peta Konsep... iv A. Pendahuluan Deskripsi Singkat Prasyarat Kompetensi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Relevansi Modul... 5 B. Kegiatan Belajar... 6 Kegiatan Belajar 1 PENERBITAN CERTIFICATE OF ORIGIN 1.1 Uraian dan Contoh... 6 A. Certificate of Origin atau Surat Keterangan Asal... 7 B. Prosedur Penerbitan Latihan Rangkuman Tes Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Kegiatan Belajar 2 PENERIMAAN CERTIFICATE OF ORIGIN 2.1 Uraian dan Contoh A. Pengajuan Surat Keterangan Asal B. Pemeriksaan surat keterangan asal oleh petugas pabean C. Penolakan Pemberian Tarif Preferensi D. Penundaan Pemberian Tarif Preferensi Latihan Rangkuman Tes Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Modul OCP Workshop Rules of Origin i

5 Kegiatan Belajar 3 Ketentuan Lain Lain 3.1 Uraian dan Contoh A. Pengajuan Surat Keterangan Asal Latihan Rangkuman Tes Formatif Umpan Balik dan Tindak Lanjut Penutup Tes Sumatif Kunci Jawaban Daftar Pustaka Modul OCP Workshop Rules of Origin ii

6 PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL Untuk dapat memahami modul ini secara benar, maka peserta diklat diharapkan mempelajari modul ini secara urut mulai dari Kegiatan Belajar 1 sampai dengan Kegiatan Belajar 3. Cara mempelajari setiap kegiatan belajar adalah mengikuti tahap-tahap berikut ini: 1. Lihat apa yang menjadi target indikator dari kegiatan belajar tersebut; 2. Pelajari materi yang menjadi isi dari setiap kegiatan belajar (dengan cara membaca materi minimal 3 kali membaca isi materi kegiatan belajar tersebut); 3. Lakukan review materi secara umum, dengan cara membaca kembali ringkasan materi untuk mendapatkan hal-hal penting yang menjadi fokus perhatian pada kegiatan belajar ini; 4. Kerjakanlah Tes Formatif pada kegiatan belajar yang sedang dipelajari; 5. Lihat kunci jawaban Tes Formatif dari kegiatan belajar tersebut yang terletak pada bagian akhir modul ini. 6. Cocokkan hasil tes formatif dengan kunci jawaban tersebut, apabila ternyata hasil Tes Formatif peserta diklat memperoleh nilai minimal 71, maka kegiatan belajar dapat dilanjutkan pada kegiatan belajar berikutnya, namun apabila diperoleh angka di bawah 71, maka peserta diklat diharuskan mempelajari kembali kegiatan belajar tersebut agar selanjutnya dapat diperoleh angka minimal Kerjakan Tes Sumatif apabila semua Tes Formatif dari seluruh kegiatan belajar telah dilakukan. 8. Lihat kunci jawaban Tes Sumatif yang terletak pada bagian akhir modul ini 9. Cocokkan hasil tes sumatif dengan kunci jawaban tes sumatif, apabila ternyata hasil tes sumatif peserta diklat memperoleh nilai minimal 71 maka peserta diklat dapat dinyatakan lulus dari kegiatan belajar Modul OCP Workshop Rules of Origin iii

7 PETA KONSEP Operational Certification procedure PENERBITAN CERTIFICATE OF ORIGIN Certificate of Origin atau Surat Keterangan Asal Prosedur Penerbitan PENERIMAAN CERTIFICATE OF ORIGIN Pengajuan Surat Keterangan Asal Pemeriksaan surat keterangan asal oleh petugas pabean Penolakan Pemberian Tarif Preferensi Penundaan Pemberian Tarif Preferensi Ketentuan Lain Lain Pengajuan Surat Keterangan Asal Modul OCP Workshop Rules of Origin iv

8 A. PENDAHULUAN 1. Deskripsi Singkat Tiga modul yang coba penulis hadirkan diharapkan dapat mewakili teori tentang perdagangan bebas dalam kaitannya dengan implementasi skema Free Trade Agreement (FTA) yang saat ini telah diberlakukan di Indonesia, khususnya keterlibatan Indonesia sebagai negara ASEAN. Modul pertama adalah Pengantar FTA yang penulis harapkan dapat menjadi pintu masuk bagi setiap pegawai DJBC khususnya, ataupun setiap yang berminat membaca pada umumnya, yang akan mempelajari hal-hal terkait perdagangan bebas barang dalam skema FTA yang menuju pada pemberian tarif preferensi. Modul kedua adalah tentang Rules of Origin (ROO) yang merupakan jantung dari perdagangan barang (Trade in Goods) dalam skema FTA. Tanpa adanya ROO, maka dapat dikatakan bahwa perdagangan barang dalam skema FTA adalah tidak ada. Modul kedua ini merupakan kekhususan dari skema FTA, karena pada dasarnya banyak sekali yag diatur di dalamnya, dan salah satunya adalah tentang ROO yang menjadi poin paling penting. Setelah dua modul di depan, penulis mencoba melengkapinya dengan membuat modul tentang implementasi dari ROO sehingga kemudian dapat memperoleh tarif preferensi. Apabila kita masih ingat dengan tiga persyaratan untuk mendapatkan tarif preferensi, yang terdiri dari 1) origin criteria, 2) direct consignment criteria, dan 3) procedural provisions, maka modul ini merupakan persyaratan yang ke-3 tersebut. oleh karena itu diharapkan modul ini menjadi pelengkap dari dua modul sebelumnya. Inti dari modul ketiga ini membahas seputar prosedur untuk mendapatkan tarif preferensi, yang melibatkan instansi penerbit (issuing authority) dan penerima (receiving authority) dari certificate of origin (COO), karena sebagaimana telah diterangkan pada modul sebelumnya bahwa pembuktian origin dari suatu barang harus dibuktikan dengan sebuah dokumen yang disebut Modul OCP Workshop Rules of Origin 1

9 . Untuk mendapatkan tentunya diperlukan sebuah prosedur yang harus dipahami oleh para penerbit dan juga pihak perusahaan. Mengingat penerbitan merupakan kewenangan negara pengekspor, maka sebaliknya juga diperlukan prosedur bagi instansi yang akan menerimanya di negara importir. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka modul ketiga ini akan diawali dengan prosedur penerbitan di negara pengekspor, kemudian dilanjutkan dengan penerimaan di negara pengimpor. Selain itu juga akan dibahas hal-hal khusus yang ada di dalam perjanjian pembentuk skema FTA terkait dua kegiatan tersebut. Prosedur ini bagaimanapun merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap perjanjian pembentuk skema FTA, dan biasanya diletakkan pada annex (lampiran) tersendiri, yang disebut Operational Certification Procedures (OCP) yang diterjemahkan menjadi prosedur pelaksanaan sertifikasi. Tetapi istilah OCP sendiri sekarang lebih populer, karena sepertinya lebih mudah disebutkan. Saat ini Indonesia telah terlihat di dalam 6 skema FTA, yaitu : ASEAN FTA, ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-India FTA, ASEAN-Australia- New Zealand FTA, dan Indonesia-Japan EPA, sehingga tentunya kita perlu untuk memahami 6 (enam) buah OCP sebagai bagian dari masing-masing perjanjian pembentuk skema FTA. Sekalipun substansi dari masing-masing OCP kurang lebih sama, tetapi terdapat beberapa prosedur di dalam OCP yang memiliki sedikit perbedaan. Penulis sendiri mempertanyakan, tentang adanya substansi yang berbeda di dalam OCP masing-masing skema FTA, mengingat hal ini akan cukup menyita waktu bagi petugas pabean dalam memahami dan/atau melaksanakannya. Apa boleh buat, perjanjian telah ditanda tangani, termasuk oleh Indonesia, sehingga tetap harus dijalankan. Namun demikian dalam modul ini penulis tidak akan membahas satu persatu, melainkan hal-hal yang bersifat umum saja, kecuali untuk hal-hal tertentu yang memerlukan pembahasan detil sebagaimana juga di dalam perjanjian pembentuknya. Perbedaan dimaksud misalnya terkait dengan penerbitan beberapa OCP disebutkan misalnya : yang dalam ü at the time of exportation or no later than three (3) days from the declared shipment date (ASEAN Trade in Goods-ASEAN FTA). 2 Modul OCP Workshop Rules of Origin

10 ü as near as possible to, but no later than three working days after, the date of exportation (ASEAN-China FTA). Bagaimanapun hal ini merupakan bagian penting yang akan menjadi acuan administrasi pabean dalam mengimplementasikan skema FTA tersebut. Hal yang menurut hemat penulis perlu dipertimbangakan disini adalah kemungkinan munculnya prosedur yang berbeda untuk skema FTA, dimana seharusnya administrasi pabean jangan dibebani hal-hal yang sebenarnya dapat dibuat lebih sederhana. Namun demikian, mengingat bunyi dari perjanjian pembentuk skema FTA-nya adalah seperti itu, maka bagaimanapun dalam mengimplementasikan skema FTA setiap administrasi pabean dari negara yang terlibat harus tetap mengacu pada perjanjian pembentuknya. OCP pada dasarnya mengatur seluruh prosedur dari mulai penerbitan, verifikasi, penyampaian ceritificate of origin, verifikasi oleh administrasi pabean, sampai dengan fleksibilitas dalam skema FTA. Oleh karena itu untuk memudahkan pemahaman dari OCP, penulis mencoba menyusunnya dalam struktur sederhana, dengan diawali prosedur penerbitan di negara eksportir, prosedur penerimaan di negara importir, fleksibilitas terkait, dan kekhususan dalam OCP. Struktur dari OCP yang ada nampaknya tidak sama, sehingga penulis mencoba untuk mengabaikan terlalu banyak perbedaan, dan mencoba mengurai persamaan (kemiripan) dari klausula dalam masing-masing artikel terkait. 2. Prasyarat Kompetensi Evolusi peran administrasi pabean dari revenue collector menjadi trade facilitator, bagaimanapun tidak lepas dari dinamika sistem perdagangan internasional yang mengarah pada liberalisasi yang terjemahkan diantaranya dengan pembentukan skema perdagangan bebas. Kondisi ini tentunya harus diimbangi dengan kesiapan seluruh administrasi pabean, tidak terkecuali Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), untuk juga mempersiapkan diri menyambut era baru yang telah dimulai beberapa tahun yang lalu. Mempertimbangkan hal tersebut tentunya setiap petugas DJBC memiliki kewajiban untuk memahami perkembangan tersebut, serta perubahan sistem Modul OCP Workshop Rules of Origin 3

11 yang diakibatkannya, termasuk konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia di dalam skema FTA yang telah terbukti memaksa DJBC untuk membuat aturan khusus tentang hal tersebut. Hal yang perlu untuk diketahui secara kongkrit tentunya prosedur atau tatacara penanganan importasi dengan menggunakan skema FTA yang diatur dalam OCP. Menyadari perlunya pemahaman dari seluruh petugas DJBC, maka idealnya modul ini diharapkan dapat tersampaikan kepada seluruh petugas DJBC. Namun demikian tentunya prosesnya tidak dapat dilakukan sekaligus, melainkan dengan menggunakan skala prioritas yang mengutamakan petugas di lapangan yang berhubugan langsung dengan masuknya importasi menggunakan skema FTA. Dalam hal ini tentunya yang paling utama adalah Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) dan seksi pabean, mengingat pejabat pada posisi inilah yang menentukan apakah suatu komoditi yang diimpor dapat memperoleh tarif preferensi atau tidak. Petugas lainnya adalah yang berada di unit pengawasan (P2 dan Audit), Client Coordinator, penyuluhan dan layanan informasi, dan seterusnya. Prasyarat kompetensi untuk mengikuti workshop ini adalah: a. Pegawai DJBC minimal golongan III b. Berkemampuan bahasa Inggris c. Sehat jasmani dan rohani d. Tidak sedang menjalani atau dalam proses penjatuhan hukuman disiplin e. Tidak sedang mengikuti diklat atau workshop lain f. Ditunjuk oleh Sekretaris DJBC 3. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) a. Peserta diharapkan dapat mengetahui tata cara penerbitan Certificate of Origin oleh Issuing Authority. b. Peserta diharapkan dapat mengetahui tata cara penerimaan Certificate of Origin oleh Receiving Authority. c. Peserta dapat memahami hal-hal khusus yang ada di dalam prosedur penerbitan dan penerimaan Certificate of Origin. 4 Modul OCP Workshop Rules of Origin

12 4. Relevansi Modul Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa seiring dengan dinamika sistem perdagangan internasional diharapkan agar administrasi pabean dapat lebih fasilitatif dan dapat mengakomodir kepentingan dunia usaha, sehingga proses pengiriman barang dari satu negara ke negara lainnya dapat terhindar dari segala proses/prosedur serta kewajiban-kewajiban lainnya yang dianggap sebagai barriers. Inilah era perdagangan bebas, yang mana keterlibatan dari administrasi pabean sedapat mungkin direduksi dengan dalih liberalisasi, dimana pergerakan barang (logistic supply chain) tidak boleh dihambat dengan prosedur yang kompleks. Oleh karena itu, mengingat bahwa skema FTA merupakan kesepakatan antar pemerintah, maka untuk implementasinya menjadi tanggung jawab dari setiap instansi terkait, termasuk DJBC. Kondisi inilah yang selanjutnya menjadikan DJBC sebagai salah satu tulang punggung mulusnya kerja sama internasional dalam rangka perdagangan bebas barang, karena posisi dan perannya yang secara langsung menangani pergerakan barang baik tujuan ekspor maupun impor. Oleh karena adanya kewajiban bagi DJBC untuk memberikan keputusan apakah suatu barang yang diimpor dapat diberikan preferential tariff atau tidak, menjadikan modul ini sangat penting dan diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelaksanaan kerja di lapangan, khususnya terkait penanganan masuknya barang-barang impor yang menggunakan skema FTA. Modul OCP Workshop Rules of Origin 5

13 KEGIATAN BELAJAR SATU PENERBITAN CERTIFICATE OF ORIGIN Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan dapat: 1) menjelaskan format Certificate of Origin untuk masing-masing skema FTA; 2) menjelaskan hal-hal terkait prosedur penerbitan Certificate of Origin; 3) menjelaskan hal-hal penting terkait dalam proses penerbitan Certificate of Origin. 1.1 Uraian dan Contoh Dalam dua modul sebelumnya telah disinggung tentang keutamaan dari skema FTA, yaitu adanya fasilitas dalam bentuk pemberian tarif istimewa atas komoditi yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana disepakati dalam perjanjian pembentuk masing-masing skema FTA. Tiga persyaratan yang wajib dipenuhi sehingga berhak mendapatkan tarif preferensi adalah : kriteria origin, pengiriman langsung, dan procedural provisions atau ketentuan prosedural yang diatur di dalam OCP, yang biasanya disimpan sebagai lampiran dari perjanjian tersebut. Bagaimanapun sebuah prosedur tentunya akan terdiri dari rangkaian kegiatan terpadu yang harus dilalui oleh siapapun yang berkepentingan atas apa yang diatur di dalamnya. Dalam hal ini tentunya adalah pihak eksportir dan importir, serta institusi pemerintah ataupun organisasi tertentu yang diberi 6 Modul OCP Workshop Rules of Origin

14 kewenangan oleh pemerintah untuk melaksanakan sebagian atau seluruh kegiatan yang ada di dalam prosedur dimaksud. A. Certificate of Origin atau Surat Keterangan Asal Sebelum masuk dalam pembahasan tentang proses penerbitan certificate of origin (selanjutnya akan digunakan surat keterangan asal) ada baiknya kita kenali terlebih dahulu apa dan bagaimana surat keterangan asal tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pada saat penyebutan surat keterangan asal, maka kita akan langsung tertuju pada suatu dokumen tertentu yang sedang dibahas. Dalam seluruh skema FTA yang diikuti oleh Indonesia, surat keterangan asal menggunakan kertas berukuran A4 dan terdiri dari 3 (tiga) lembar, yaitu lembar asli (original), lembar kedua (duplicate), dan lembar ketiga (triplicate). Perlu dicatat bahwa khusus untuk skema AANZ-FTA tidak terdapat pengaturan tentang kertas, sehingga sangat dimungkinkan terjadinya dispute masalah ini. Adapun penamaan masing-masing form adalah sebagai berikut : Daftar Form FTA NO SKEMA FTA NAMA FORM JUMLAH LEMBAR 1 ASEAN FTA Form D 3 (tiga) lembar 2 ASEAN-Korea FTA Form AK 3 (tiga) lembar 3 ASEAN-China FTA Form E 3 (tiga) lembar 4 ASEAN-India Form AI 3 (tiga) lembar 5 ASEAN-Australia-New Form AANZ 3 (tiga( lembar) Zealand 6 Indonesia-Japan CEP Form IJ 3 (tiga) lembar Sebenarnya apa yang dimaksud dengan surat keterangan asal? beruntung bahwa World Customs Organization (WCO) telah memberikan batasan dari pengertian dokumen ini sehingga memudahkan siapapun yang akan memanfaatkannya dan terstandar. Modul OCP Workshop Rules of Origin 7

15 Menurut annex K the Revised Kyoto Convention disebutkan bahwa definisi dari certificate of origin adalah : certificate of origin means a specific form identifying the goods, in which the authority or body empowered to issue it certifies expressly that the goods to which the certificate relates originate in a specific country. This certificate may also include a declaration by the manufacturer, producer, supplier, exporter or other competent person. (certificate of origin/surat keterangan asal adalah form khusus yang digunakan sebagai identitas dari suatu komoditi, dalam hal mana instansi yang diberi kewenangan untuk menerbitkannya memberikan pernyataan tentang origin barang dari suatu negara. Sertifikat ini juga meliputi pernyataan yang dikeluarkan oleh pabrikan, produsen, supplier, eksportir, ataupun pihak lain yang ditunjuk). Menurut artikel di atas, jelas bahwa surat keterangan asal dapat berbentuk dokumen yang diterbitkan oleh pihak-pihak yang berwenang. Namun demikian, disebutkan juga bahwa surat keterangan asal dapat juga berbentuk dokumen yang diterbitkan oleh pabrikan, produsen, supplier, eksportir, ataupun pihak lain yang ditunjuk. Akan tetapi dalam skema FTA yang diikuti oleh Indonesia, seluruh surat keterangan asal masih dalam bentuk dokumen khusus dengan bentuk, isi, dan ukuran yang telah disepakati. Penggunaan format lain sangat dimungkinkan, karena bagaimanapun kita harus dapat menyesuaikan dengan permintaan dunia usaha yang merupakan stakeholder utama kita. Sebagai contoh penggunaan dokumen lain adalah self certification, yang telah digunakan di beberapa negara maju, dan mereka menganggap bahwa penggunaan hard copy dari surat keterangan asal telah ketinggalan. Tentunya kita tidak harus berkecil hati sekalipun penggunaan surat keterangan asal dalam bentuk form khusus, karena masing-masing negara memilliki kebijakan/standar sendiri. Artinya dokumen apapun yang digunakan tetap berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan nasional. Khusus bagi 8 Modul OCP Workshop Rules of Origin

16 administrasi pabean hal ini harus disikapi secara hati-hati, karena tugas dan fungsi pengawasan dan fasilitator melekat secara bersamaan. Oleh karena itu tugas dan fungsi ini juga harus dijalankan secara seimbang. Dalam hal ini utilisasi dari risk management harus diberdayakan semaksimal mungkin, sehingga implementasi dari skema FTA dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan di dalam lembar surat keterangan asal adalah penggunaan nomor referensi khusus di setiap lembar surat keterangan asal, serta 13 box di dalamnya, kecuali untuk skema Indonesia- Japan yang hanya terdiri 10 box. Dalam hal uraian barang yang akan dimasukkan ke dalam surat keterangan asal jumlah cukup banyak (multiple items), maka dapat digunakan lembar lanjutan. Tetapi sejauh ini bentuk lembar lanjutan belum diatur secara jelas, melainkan berupa common understanding bahwa lembar lanjutan harus mencantumkan nomor referensi dan dibubuhi tanda tangan dari pejabat yang berwenang serta stempel yang sesuai dengan spesimen yang telah didistribusikan kepada seluruh peserta perjanjian pembentuk skema FTA. Begitu juga dengan penentuan kriteria origin-nya harus berdasarkan jenis barang yang akan diekspor (satu uraian barang harus memiliki satu kriteria origin). Lebih lanjut tentang peruntukkan dari masing-masing lembar surat keterangan asal adalah sebagai berikut : ü ü ü Lembar pertama (original) diberikan kepada eksportir untuk kemudian diteruskan kepada administrasi pabean di negara importir, agar atas barang yang diekspor dapat diberikan tarif preferensi; Lembar kedua (duplicate) disimpan sebagai arsip di instansi penerbit surat keterangan asal (issuing authority); Lembar ketiga (triplicate) diberikan kepada eksportir sebagai arsip di kantornya. Berikut adalah format masing-masing surat keterangan asal : Modul OCP Workshop Rules of Origin 9

17 10 Modul OCP Workshop Rules of Origin

18 Modul OCP Workshop Rules of Origin 11

19 12 Modul OCP Workshop Rules of Origin

20 Modul OCP Workshop Rules of Origin 13

21 14 Modul OCP Workshop Rules of Origin

22 Modul OCP Workshop Rules of Origin 15

23 B. Prosedur Penerbitan Secara prinsip seluruh skema FTA yang diikuti Indonesia memiliki prosedur penerbitan yang kurang lebih sama, baik prosedur normal maupun prosedur yang memuat adanya perlakuan khusus, sehingga untuk memahaminya tidak terlalu sulit. Namun demikian adakalanya perbedaan tersebut cukup signifikan, sehingga pada pelaksanaannya harus diperlakukan secara berbeda juga untuk surat keterangan asal yang digunakan untuk setiap skema FTA. Sebagai contoh misalnya tentang jenis kertas untuk dokumen surat keterangan asal, dimana untuk beberapa skema diatur jenisnya, sedangkan pada skema lain tidak terdapat pengaturan khusus. Hal ini menjadi masalah ketika diterima surat keterangan asal yang tidak seperti biasanya, sehingga menimbulkan pertanyaan dari para petugas di lapangan. Efek terburuk adalah manakala sesama petugas lapangan mengambil keputusan yang berbeda untuk masalah yang sama. Tentunya hal ini akan menjadi gambaran kurang bagus dari sistem kepabeanan Indonesia. Prosedur penerbitan surat keterangan asal dapat juga disebut sebagai proses sertifikasi oleh instansi penerbit surat keterangan asal, yang diawali dengan permohonan oleh pihak eksportir kepada instansi tersebut, kemudian diakhiri dengan keputusan dari pihak penerbitan apakah disetujui atau tidak. Layaknya prosedur sebuah pekerjaan, selalu ada pengecualian untuk mengantisipasi adanya kelalaian, force majeur, dan kemungkinan lain yang menimpa. Oleh karena itu dalam setiap perjanjian pembentuk skema FTA telah disiapkan aturan tentang pengecualian dimaksud. Untuk memudahkan pemahaman tentang prosedur penerbitan, khususnya karena adanya kemungkinan diperlukannya prosedur yang berbeda, maka penulis membagi menjadi dua bagian, yaitu penerbitan umum dan penerbitan khusus. 16 Modul OCP Workshop Rules of Origin

24 1. Penerbitan Umum Penerbitan umum adalah penerbitan surat keterangan asal dengan prosedur normal dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Setiap perjanjian pembentuk skema FTA mempersyaratkan jangka waktu tertentu untuk penerbitan surat keterangan asal, yaitu sebelum atau pada saat tanggal ekspor sampai dengan 3 (tiga) hari setelah tanggal pengapalan. Dalam hal ini tidak terdapat pengaturan khusus terkait jangka waktu penerbitan sebelum tanggal ekspor, apakah misalnya satu minggu, dua minggu, dan seterusnya. Begitu juga dengan patokan tanggal ekspor atau tanggal pengapalan, sebenarnya dokumen apa yang dijadikan referensi. Adapun yang dimaksud dengan 3 (tiga) hari sesudah tanggal pengapalan contohnya sebagai berikut : ü Apabila sebuah pengiriman barang dilindungi dengan Bill of Lading yang diterbitkan tanggal 1 Januari 2012, maka tiga hari sesudahnya adalah tanggal 4 Januari Dengan demikian, mulai tanggal 5 Januari 2012 dianggap berada diluar jangka waktu penerbitan normal, sehinggal dianggap sebagai penerbitan khusus. Terkait dengan dokumen yang menjadi referensi dalam penetapan tanggal ekspor dan tanggal pengapalan, berdasarkan hasil konsultasi dengan Kementerian Perdagangan RI selaku unit FTA nasional, untuk Indonesia sebagaimana contoh di atas disepakati menggunakan tanggal Bill of Lading (B/L), sehingga memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam membuat acuan tanggal tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk skema FTA yang ketentuan penerbitannya menyebutkan at the time of exportation, maka tanggal penerbitan surat keterangan asal harus sama dengan tanggal B/L. Proses penerbitan surat keterangan asal secara umum adalah sebagai berikut : a) Eksportir mengajukan permohonan dilampiri dengan dokumen pendukung dan form surat keterangan asal yang telah diisi dan ditanda tangani oleh pejabat berwenang di perusahaannya, kecuali box 12 yang Modul OCP Workshop Rules of Origin 17

25 merupakan approval area, yang harus diisi dan ditanda tangani oleh pejabat di issuing authority (untuk skema IJEPA, approval area-nya adalah pada box 10). b) Atas permohonan tersebut issuing authority melakukan verifikasi atas surat keterangan asal yang diajukan, membandingkan seluruh komponen/informasi yang ada di dalam dokumen yang dilampirkan, mengenai : Ø Surat keterangan asal yang diajukan oleh eksportir atau kuasanya telah diisi dengan lengkap dan benar; Ø Kriteria origin dari barang yang akan diekspor telah sesuai dengan kriteria yang berlaku untuk skema FTA yang akan digunakan; Ø Setiap informasi yang ada di dalam surat keterangan asal sesuai dengan informasi yang ada di dalam dokumen pendukung, seperti : jumlah dan jenis/uraian barang, jumlah dan jenis pengemas, satuan barang, dan sebagainya. Perlu diperhatikan tentang hal-hal yang dilakukan oleh issuing authority di atas, merupakan informasi penting dan dapat dipahami bahwa hanya atas informasi yang ada di dalam surat keterangan asal itulah yang disetujui oleh issuing authority, termasuk jumlah dan jenis barang. Hal ini akan menjadi patokan untuk penanganan selanjutnya, misalnya dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan jumlah barang, atau apabila terjadi perbedaan jenis barang antara surat keterangan asal dengan fisik barang. c) Dalam hal dianggap perlu Issuing authority melakukan pemeriksaan fisik barang, sebagai salah satu proses pemeriksaan untuk membuktikan origin dari barang yang akan diekspor. Namun demikian, untuk perusahaan tertentu (khususnya perusahaan produsen) hanya mengekspor produk tertentu, sehingga dalam hal tidak terdapat perubahan proses produksi atau tidak terdapat perubahan spesifikasi barang hasil produksinya, maka dimungkinkan untuk tidak dilakukan verifikasi dokumen seacra mendalam ataupun pemeriksaan fisik. Dalam hal ini pihak issuing authority dapat menggunakan data-data atau informasi sebelumnya sebagai patokan dan memberikan persetujuan penerbitan surat keterangan asal. 18 Modul OCP Workshop Rules of Origin

26 d) Dalam hal kedapatan sesuai, issuing authority memberikan approval, dengan memberikan tanda tangan dan cap sesuai spesimen bagi skema FTA yang telah ditetapkan. Perlu diperhatikan bahwa dalam kerangka skema ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZFTA) dan Indonesia-Japan EPA (IJEPA), tanda tangan dan cap dapat dilakukan secara elektronik. Maksudnya adalah, pihak issuing authority dapat membubuhkan tanda tangan dan stempelnya secara elektronik, tetapi lembar surat keterangan asal tetap harus asli. e) Surat keterangan asal memiliki masa berlaku 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal penerbitan. f) Lembar asli dari surat keterangan asal diserahkan kepada eksportir untuk dikirimkan kepada importir guna pengurusan permohonan memperoleh tarif preferensi di negara importir. 2. Penerbitan Khusus Penerbitan khusus merupakan pengecualian dari prosedur di atas, termasuk diantaranya penerbitan diluar periode yang telah ditetapkan (mulai sebelum tanggal B/L, pada saat penerbitan B/L, sampai dengan 3 (tiga) hari setelah tanggal B/L), adanya kesalahan penulisan informasi di dalam surat keterangan asal, penerbitan surat keterangan asal oleh pihak kedua (intermediate country), serta beberapa permasalahan lain yang memerlukan prosedur khusus dalam penerbitan surat keterangan asal. Lebih jelas tentang penerbitan khusus adalah sebagaimana istilah-istilah berikut ini : a. Issued Retroactively Pada penerbitan surat keterangan asal di atas telah dijelaskan bahwa jangka waktu penerbitan surat keterangan asal adalah sebelum atau pada saat ekspor, sampai dengan 3 (tiga) setelah tanggal pengapalan. Kemudian telah ditetapkan bahwa patokan dari tanggal ekspor maupun tanggal pengapalan adalah tanggal bill of lading (B/L), sehingga terdapat kepastian bagi semua pihak yang memiliki keterkaitan dalam bisnis ini. Fakta menunjukkan bahwa terdapat beberapa kasus dimana surat keterangan asal tidak dapat diterbitkan baik sebelum maupun 3 (tiga) Modul OCP Workshop Rules of Origin 19

27 hari setelah tanggal B/L, melainkan setelahnya. Atas kejadian ini, dalam OCP diberikan kelonggaran bahwa surat keterangan asal tetap dapat diterbitkan, tetapi tidak boleh melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal B/L, dengan cara memberi centang atau X pada tulisan issued retroactively di box 13. Untuk form IJEPA, karena tidak disediakan tempat untuk melakukan centang maupun tanda X, maka wajib memberikan tanda ISSUED RETROACTIVELY pada surat keterangan asal-nya. Tanda tersebut tidak diatur penempatannya, tetapi karena hal tersebut merupakan kewenangan issuing authority, maka seyogyanya dituliskan/dibubuhkan pada approval area. Masa berlaku certificate of origin yang ISSUED RETROACTIVELY adalah sama, yaitu 1 tahun sejak tanggal diterbitkan. Namun demikian penerbitannya tidak boleh lebih dari jangka waktu satu tahun sejak tanggal B/L. Perlu diingat bahwa proses pengajuan surat keterangan asal oleh eksportir maupun kuasanya, dan proses verifikasi oleh issuing authority, yang terjadi pada saat pengajuan surat keterangan asal yang issued retroactively adalah sama dengan prosedur yang ditempuh pada saat penerbitan secara umum. Ada hal yang menarik terkait surat keterangan asal yang diterbitkan kemudian atau issued retroactively, dimana sebenarnya barang telah diberangkatkan terlebih dahulu ke tempat tujuan, tetapi persetujuan dari issuing authority belum ada. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana issuing authority dapat meyakini bahwa surat keterangan asal yang akan dikeluarkan adalah benar-benar untuk barnag yang telah diberangkatkan. Oleh karena itu, dalam hal terdapat surat keterangan asal seperti ini ada baiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih mendalam oleh petugas di lapangan, atau jika dianggap perlu dapat dimintakan retroactive check kepada issuing authority. 20 Modul OCP Workshop Rules of Origin

28 b. Back-to-Back Certificate of Origin Bagaimanapun perdagangan internasional memiliki banyak variasi transaksi, sebagai dinamika sekaligus perkembangan dari sistem yang telah ada, baik sistem ekonomi, politik, maupun teknologi. Satu hal yang sebenarnya telah menjadi praktek yang lazim dalam perdagangan internasional adalah keterlibatan middle-man atau perantara antara pembeli dan penjual. Begitu juga dengan skema FTA perdagangan barang, tidak tertutup kemungkinan adanya dinamika baru yang kemudian dimasukkan sebagai bagian dari skema FTA tersebut. Mekanisme Back-to Back certificate of origin adalah salah satunya. Secara prinsip, back-to-back certificate of origin merupakan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh pihak perantara (intermediate party) di negara yang berbeda, dimana data-datanya bersumber dari surat keterangan asal yang diterbitkan oleh negara pertama asal barang. Untuk memudahkan pemahaman mekanisme ini, berikut beberapa kemungkinan (atau contoh) terjadinya back-to-back certificate of origin adalah : 1) Sebuah perusahaan di Singapore memesan barang ke Malaysia, dan meminta supaya pengiriman barangnya dilindungi dengan Form D. Setibanya di Singapore, ternyata terdapat pembeli lain di Indonesia yang berminat atas barang yang dipesan oleh Singapore tersebut. Mempertimbangkan keuntungan yang masuk akal dari penawaran yang disampaikan oleh perusahaan di Indonesia, perusahaan Singapore menerima tawaran tersebut. Memenuhi pesanan tersebut maka perusahaan Singapore mengajukan permohonan surat keterangan asal kepada issuing authority di negaranya, dengan melampirkan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh issuing authority di Malaysia. Surat keterangan asal yang diterbitkan oleh issuing authority di Singapore inilah yang disebut dengan Back-to-Back certificate of origin, yang kemudian digunakan untuk diajukan kepada administrasi pabean di negara importir. Modul OCP Workshop Rules of Origin 21

29 2) Mengambil contoh transaksi pertama di atas, ternyata Malaysia telah melakukan kesalahan pengiriman ke Singapore, yang seharusnya sebagian dari barang yang dikirim tersebut adalah tujuan Indonesia. Atas peristiwa ini, maka pihak Singapore dapat membantu pihak Malaysia untuk mengajukan permohonan mendapatkan surat keterangan asal kepada issuing authority di negaranya dengan juga dilampiri surat keterangan dari Malaysia. Berdasarkan surat keterangan asal dari Malaysia tersebut, pihak issuing authority dapat menerbitkan Back-to-Back certificate of origin. Prosedur untuk mendapatkan back-to-back certificate of origin secara prinsip sama dengan prosedur yang ada di dalam penerbitan umum surat keterangan asal, hanya saja tempat kejadiannya tidak di negara pengekspor pertama, melainkan di negara pengimpor pertama sebagaimana contoh di atas. Lebih jelas hal-hal yang perlu dipahami tentang prosedur penerbitan back-to-back certificate of origin adalah sebagai berikut : 1) Tempat pengajuan adalah di negara pengimpor pertama (lihat contoh di atas). 2) Pengajuan surat keterangan asal dilakukan oleh pihak yang semula bertindak sebagai importir, yang kemudian berubah statusnya menjadi eksportir. 3) Permohonan untuk mendapatkan back-to-back certificate of origin wajib diajukan bersama-sama dengan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh issuing authority di negara pengekspor pertama. Hal ini untuk memastikan bahwa informasi yang ada di dalam surat keterangan asal pertama sama dengan yang diajukan oleh ekspotir kedua guna mendapatkan back-to-back certificate of origin, kecuali untuk beberapa hal yang memang dimungkinkan berbeda. 4) Hal yang mungkin berbeda antara surat keterangan asal pertama dengan back-to-back certificate of origin, misalnya adalah : 22 Modul OCP Workshop Rules of Origin

30 Ø Nilai barang, yang tentunya adalah nilai dari yang diajukan oleh eksportir kedua; Ø Nama pengirim dan penerima; Ø Pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar; Ø Nomor dan tanggal invoice; Ø Issuing authority dan spesimen-nya; Ø dan sebagainya. 5) Dalam hal barang yang akan dikirim dengan menggunakan back-to-back certificate of origin hanya sebagian, maka nilai yang harus dicantumkan hanya sejumlah nilai dari barang yang diekspor kembali tersebut. 6) Back-to-back certificate of origin lembar satu (original) akan dikirimkan oleh intermediate eksportir kepada importir di negara ketiga, untuk diajukan ke kantor pabean agar barang yang diimpornya dapat memperoleh tarif preferensi. 7) Dalam hal informasi yang dicantumkan di dalam back-to-back certificate of origin diragukan keabsahannya, maka administrasi pabean yang ada di negara pengimpor kedua dapat meminta surat keterangan asal yang diterbitkan di negara pengekspor pertama. Dalam hal ini administrasi pabean dapat melakukan permintaan retroactive check kepada issuing authority baik di negara pengekspor pertama maupun negara pengekspor kedua. c. Certified True Copy Penerbitan surat keterangan asal certified true copy merupakan salah satu kemungkinan dari penerbitan umum. Maksudnya, sebelumnya surat keterangan asal telah diterbitkan oleh issuing authority sesuai penerbitan umum di atas, tetapi kemudian terjadi hal-hal yang diluar dugaan semua pihak, memerlukan surat keterangan asal yang baru. Beberapa hal yang diluar dugaan menurut perjanjian pembentuk skema FTA adalah : dicuri, hilang, atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Modul OCP Workshop Rules of Origin 23

31 Apabila terjadi hal-hal seperti tersebut di atas, maka eksportir dapat mengajukan kembali permohonan untuk mendapatkan surat keterangan asal kepada issuing authority di negaranya dengan melampirkan lembar ketiga (triplicate) yang diterima sebelumnya. Issuing authority kembali melakukan verifikasi atas permohonan tersebut dan apabila diyakini kebenarannya, pihaknya dapat menerbitkan surat keterangan asal dengan mencantumkan nomor dan tanggal yang sama dengan surat keterangan asal yang hilang/rusak, serta memberikan tanda CERTIFIED TRUE COPY pada box yang telah disediakan (kecuali untuk form IJEPA, karena tidak disediakan tempat untuk memberikan tanda-contreng/x, maka dengan menggunakan tulisan CERTIFIED TRUE COPY pada approval area). Tulisan CERTIFIED TRUE COPY memiliki arti bahwa surat keterangan asal tersebut merupakan pengganti dan disamakan dengan surat keterangan asal yang hilang/rusak. Adapun masa berlakunya sama dengan surat keterangan asal yang hilang/rusak tersebut. 1.2 Latihan 1 Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban yang singkat, jelas dan benar! 1. Dalam proses penanganan surat keterangan asal, terdapat dua instansi yang paling berperan, yaitu issuing dan receiving authority. Jelaskan peranan masing-masing kedua instansi tersebut, dan bagaimana dengan peran DJBC sendiri? 2. Secara prinsip penerbitan surat keterangan asal telah ditetapkan periodenya. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata terdapat prosedur lain yang disediakan oleh perjanjian pembentuk skema FTA, dengan mempertimbangkan dinamika sistem perdagangan internasional. Oleh karena itu dalam modul ini dipisahkan antara prosedur penerbitan umum dan prosedur penerbitan khusus. Jelaskan dengan contoh tentang periode penerbitan umum dari surat keterangan asal! 24 Modul OCP Workshop Rules of Origin

32 3. Salah satu pengecualian dari penerbitan umum adalah adanya surat keterangan asal yang diterbitkan diluar periode yang telah ditetapkan, sehingga kemudian diberikan istilah ISSUED RETROACTIVELY. Apabila dalam sebuah pengiriman barang dari negara A ke negara B diketahui tanggal Bill of Lading (B/L) adalah 10 November 2012, tanggal berapakah penerbitan paling cepat dari surat keterangan asal jenis ISSUED RETROACTIVELY? Jelaskan! 4. Sebuah perusahaan di Indonesia memesan barang ke Thailand, dan dalam surat pemesanannya disebutkan agar pengiriman barang dilindungi dengan Form D. Pada saat tiba di Indonesia ternyata atas setengah dari jumlah barang yang diimpor tersebut dipesan oleh perusahaan lain di Philippine, dan juga meminta agar pengiriman ke negaranya dilidungi dengan Form D agar dapat memperoleh tarif preferensi. Jelaskan tentang kemungkinan tersebut! 5. Apakah perbedaan dari dari Issued Retroactively dan Certified True Copy? Jelaskan! 1.3 Rangkuman Certificate of origin atau selanjutnya disebut surat keterangan asal adalah form khusus yang digunakan sebagai identitas dari suatu komoditi, dalam hal mana instansi yang diberi kewenangan untuk menerbitkannya memberikan pernyataan tentang origin barang dari suatu negara. Sertifikat ini juga dapat berbentuk pernyataan yang dikeluarkan oleh pabrikan, produsen, supplier, eksportir, ataupun pihak lain yang ditunjuk. Penerbitan surat keterangan telah ditetapkan periodenya, yaitu sebelum, pada saat, atau 3 (tiga) hari setelah tanggal B/L. Namun demikian, sekalipun telah ditetapkan periodenya, faktanya masih terdapat penerbitan yang dilakukan diluar periode tersebut. Para negosiator menyadari adanya kemungkinan kondisi ini, sehingga kemudian disediakan fleksibilitas untuk penerbitannya, yaitu : Modul OCP Workshop Rules of Origin 25

33 a. Surat keterangan asal ISSUED RETROACTIVELY, yaitu surat keterangan asal yang penerbitannya dilakukan setelah periode yang telah ditetapkan di atas. Penerbitan jenis surat keterangan asal ini ditandai dengan pemberian contreng atau tanda X pada box 13 surat keterangan asal. Khusus untuk form IJEPA, mengingat tidak tersedia box untuk pemberian tanda itu, kiranya dapat diberikan dengan memberikan tulisan ISSUED RETROACTIVELY pada approval area dalam form IJEPA tersebut. b. Jenis surat keterangan asal lainnya yang penerbitannya diatur secara khusus adalah back-to-back certificate of origin, yaitu surat keterangan asal yang ditebitkan oleh issuing authority di negara kedua (intermediate country), atas permohonan dari importir di negara tersebut yang kemudian berubah statusnya menjadi eksportir kedua. c. Jenis lainnya adalah surat keterangan asal CERTIFIED TRUE COPY, yaitu surat keterangan asal yang diterbitkan sebagai pengganti dari surat keterangan asal sebelumnya yang hilang atau rusak. Surat keterangan asal jenis ini diterbitkan atas permohonan eksportir dengan mengacu pada surat keterangan pertama yang dimilikinya (lembar ketiga-triplicate) dan/atau arsip yang ada di issuing authority (lembar kedua-dulicate). Jangka waktu surat keterangan asal CERTIFIED TRUE COPY adalah sama dengan surat keterangan asal yang hilang, sehingga tanggal surat keterangan asal yang hilang tersebut wajib dicantumkan dalam dokumen pengganti tersebut. 1.4 Tes Formatif 1 Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban yang singkat, jelas dan benar! 1. Dalam proses pengajuan permohonan untuk mendapatkan surat keterangan asal, eksportir atau kuasanya wajib mengisi surat keterangan asal yang akan digunakan sesuai dengan skema FTA yang akan digunakannya. Untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan oleh eksportir adalah benar, 26 Modul OCP Workshop Rules of Origin

34 hal apakah yang dilakukan oleh eksportir atas surat keterangan asal tersebut? 2. Hal-hal apa saja yang dilakukan oleh issuing authority terkait permohonan yang diajukan oleh eksportir atau kuasanya, sebelum memberikan persetujuan pada box 12 surat keterangan asal dalam rangka kerja sama ASEAN? jelaskan! 3. Bagaimanakah pengaturan jangka waktu penerbitan surat keterangan asal? 4. Dalam hal jangka waktu penerbitan tersebut tidak dapat dipenuhi dan surat keterangan asal baru dapat diterbitkan setelah jangka waktu yang diatur di dalam perjanjian pembentuk skema FTA, bagaimanakah proses penerbitannya kemudian oleh issuing authority? 5. Adakalanya dalam dalam proses pengiriman surat keterangan asal dari eksportir kepada importir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (diluar kemampuan ekspotir untuk penanganannya), sehingga menyebabkan surat keterangan asal yang telah diperolenya rusak atau bahkan hilang. Apabila hal ini terjadi, siapakah yang harus bertindak kemudian agar atas komoditi yang diekspor tetap memperoleh tarif preferensi? 1.5 Umpan Balik dan Tindak Lanjut Coba cocokkan hasil jawaban Anda dengan materi yang sudah ada pada pembahasan ini. Hitunglah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda terhadap materi pada kegiatan belajar ini. Perhatikan dan cocokan hasil jawaban Anda dengan kualifikasi hasil belajar yang telah terinci sebagaimana rumus berikut. TP = Jumlah Jawaban Yang Benar X 100% Jumlah keseluruhan Soal Apabila tingkat pemahaman (TP) dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai: Modul OCP Workshop Rules of Origin 27

35 91 % s.d 100 % : Sangat Baik 81 % s.d. 90,99 % : Baik 71 % s.d. 80,99 % : Cukup 61 % s.d. 70,99 % : Kurang 0 % s.d. 60,99 % : Sangat Kurang Bila hasil perhitungan Anda telah mencapai 81 % atau lebih, maka Anda telah menguasai materi kegiatan belajar ini dengan baik. Untuk selanjutnya Anda dapat melanjutkan kegiatan belajar berikutnya. Jika belum mencapai angka 81%, kami menyarankan agar anda mengulang kembali materi kegiatan belajar ini. 28 Modul OCP Workshop Rules of Origin

36 KEGIATAN BELAJAR DUA PENERIMAAN CERTIFICATE OF ORIGIN Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan : 1. Dapat menjelaskan tatacara pengajuan surat keterangan asal untuk memperoleh tarif preferensi; 2. Dapat menjelaskan tata cara pemeriksaan surat keterangan asal; dan 3. Dapat menjelaskan tata cara penolakan atau penundaan pemberikan tarif preferensi ; 2.1 Uraian dan Contoh Pada bab satu di atas dibahas tentang hal-hal yang harus dipahami dalam rangka penerbitan surat keterangan asal oleh issuing authority. Proses penerbitan surat keterangan sangat perlu diketahui oleh petugas administrasi pabean untuk memastikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan oleh pihak penerbit, sehingga dapat dijadikan sebagai bagian dari risk management pada saat penerimaan dan penentuan apakah atas komoditiyang diekspor layak mendapatkan tarif bea masuk atau tidak. Pada bab dua ini akan dibahas tentang hal-hal terkait penerimaan surat keterangan asal oleh administrasi pabean, termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta poin-poin penting dalam melakukan pemeriksaan surat keterangan asal. Modul OCP Workshop Rules of Origin 29

37 A. Pengajuan Surat Keterangan Asal Setelah surat keterangan asal diterbitkan oleh issuing authority, maka lembar asli atau lembar pertama (original) dan lembar ketiga (triplicate) diserahkan kepada eksportir. Lembar pertama selanjutnya diserahkan eksportir kepada importir untuk diajukan kepada adminisitrasi pabean (kantor Bea dan Cukai) di pelabuhan pemasukan negara importir. Sedangkan lembar ketiga dijadikan arsip oleh ekspotir guna mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Untuk lembar kedua (duplicate) tetap dipegang oleh issuing authority untuk dijadikan arsip di kantornya. Lembar kedua yang dipegang oleh eksportir dapat digunakan misalnya pada saat lembar pertama hilang atau rusak, sehingga diperlukan surat keterangan asal pengganti yang tentunya harus mengacu pada dokumen yang telah diterbitkan sebelumnya. Oleh karena itu masing-masing pihak yang mendapat salinan surat keterangan asal, issuing authority, eksportir, dan receiving authority, diberikan kewajiban untuk menyimpan surat keterangan asal yang diterimanya selama 3 tahun guna kepentingan administrasi tertentu. 1. Saat pengajuan Seluruh perjanjian pembentuk skema FTA mengatur bahwa pengajuan surat keterangan asal dilakukan bersamaan dengan pengajuan import declaration, yang mana untuk Indonesia mengacu pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Inilah yang disebut dengan asas presentasi menurut para perunding skema FTA. Indonesia berpedoman pada perjanjian pembentuk skema FTA untuk melaksanakan ketentuan ini apa adanya sebagaimana isi dari perjanijan tersebut, khususnya OCP. Oleh karena itu dalam hal terdapat pengajuan surat keterangan asal untuk mendapatkan tarif preferensi yang diajukan tidak bersamaan dengan pengajuan PIB tidak akan diberikan tarif preferensi. Adakalanya barang tiba lebih dulu dibandingkan dengan surat keterangan asal yang datangnya menyusul. Dalam kondisi seperti ini, maka apabila importir masih mengharapkan agar barang yang diimpornya dapat 30 Modul OCP Workshop Rules of Origin

38 memperoleh tarif preferensi, maka pihaknya atau kuasanya jangan terlebih mengajukan PIB, melainkan menunggu sampai dengan datangnya surat keterangan asal. Dalam beberapa pertemuan/sidang pembahasan implementasi skema FTA, hal ini pernah dibahas dan administrasi pabean Indonesia dianggap tidak akomodatif terhadap kondisi yang ada sehingga dianggap kurang fasilitatif. Menanggapi asumsi seperti ini, pihak Indonesia menyampaikan bahwa inilah yang disebut dengan kepastian hukum, sehingga setiap pelaku usaha akan dapat mudah memahami dan memprediksi/menyiapkan hal-hal yang harus dilakukan. Poin yang paling penting adalah bahwa sikap Indonesia ini tidak bertentangan dengan perjanjian yang mendasari implementasi skema FTA. Beberapa negara anggota ASEAN, seperti Thailand dan Singapore, membuat aturan sedikit berbeda dengan Indonesia, dimana apabila terdapat importasi ke negaranya, kemudian pengajuan surat keterangan asal dilakukan setelah pengajuan import declaration, maka pihak pabeannya akan menerima dan melakukan koreksi atas keputusan yang telah diambil sebelumya. Atas perbedaan sikap ini tentunya masing-masing pihak tidak dapat saling menyalahkan, mengingat hal tersebut berangkat dari penafsiran atas substansi perjanjian pembentuk skema FTA yang sama-sam atelah ditanda tangani. Sekalipun importir melakukan pengajuan surat keterangan asal ISSUED RETROACTIVELY, yaitu surat keterangan asal yang terbitnya terlambat, yakni setelah barang diberangkatkan, maka untuk mendapatkan tarif preferensi pengajuan PIB tetap harus menunggu kedatangan surat keterangan asal. Begitu juga apabila yang diajukan adalah surat keterangan asal CERTIFIED TRUE COPY, tetap saja pengajuannya harus bersamaan dengan PIB. Dengan adanya kepastian seperti itu maka seyogyanya importir dapat mempersiapkan segala sesuatunya, serta dapat mengkomunikasikan hal ini Modul OCP Workshop Rules of Origin 31

39 kepada eksportir, sehingga dapat saling mendukung dalam transaksi mereka. 2. Masa berlaku surat keterangan asal Surat keterangan asal yang berlaku saat ini, yaitu : form D untuk skema ATIGA, form E untuk skema ASEAN-China FTA, form AK untuk skema ASEAN-Korea, form AI untuk skema ASEAN-India, form AANZ untuk skema ASEAN-Australia-New Zealand FTA, dan form IJEPA untuk skema Indonesia-Japan, disepakati bahwa masa berlakunya adalah 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitan. Masa berlaku ini berlaku juga untuk surat keterangan asal pengganti yang hilang atau rusak, dengan tanda ISSUED RETROACTIVELY, dimana masa berlakunya mengacu pada tanggal penerbitan surat keterangan asal yang rusak atau hilang. Khusus untuk surat keterangan asal yang diterbitkan kemudian, yaitu back-to-back certificate of origin, masa berlakunya tidak mengacu pada tanggal penerbitan, melainkan pada tanggal pengapalan, yang dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan di atas mengacu pada tanggal B/L. Penetapan tanggal pengapalan (bukan tanggal penerbitan) tentunya merupakan keputusan yang tepat, mengingat pada saat penerbitan surat keterangan asal, barang yang akan diekspor sebenarnya telah berangkat. Penetapan tanggal B/L sebagai referensi juga merupakan bagian dari kepastian hukum di Indonesia, karena apabila kita hanya menyebutkan tanggal pengapalan, tidak mudah untuk mencari dokumen yang harus dijadikan referensinya. Masa berlaku 12 (dua belas) bulan memiliki makna lain, yaitu setiap mekanisme yang terkait dengan surat keterangan asal, seperti : proses retroactive check, pelaksanaan verifikasi visit, pengajuan kepada administrasi pabean, dan lain-lain harus mempertimbangkan jangka waktu tersebut, sehingga hak dan kewajiban yang melekat pada surat keterangan asal tersebut juga masih berlaku. 32 Modul OCP Workshop Rules of Origin

40 B. Pemeriksaan surat keterangan asal oleh petugas pabean Setelah surat keterangan asal diajukan oleh importir atau kuasanya ke kantor pabean yang mengawasi pelabuhan pemasukan barang-barang yang diimpornya, maka selanjutnya adalah tugas dari para petugas pabean untuk melakukan verifikasi atau pemeriksaan atas dokumen impor, termasuk surat keterangan asal. Tentunya pejabat yang melakukan kegiatan tersebut adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan aktivitas terkait pemeriksaan dokumen. Terkait dengan pengajuan permohonan mendapatkan tarif preferensi, tentunya fokus dari proses pemeriksaan tersebut adalah pemenuhan terhadap ROO (ROO), yang meliputi 3 (tiga) hal sangat penting, yaitu : kriteria origin (lihat modul kedua), kriteria pengiriman langsung, dan procedural provisions. 1. Pemeriksaan Kriteria Origin Pada modul 2 telah dijelaskan kriteria origin yang ada di dalam skema FTA yang berlaku di Indonesia, yang meliputi : v Wholly Obtained atau Wholly Produced v Diproduksi secara khusus (PE) v Regional Value Content (RVC 40%), dan RVC 35% untuk ASEAN-India FTA v Change Tariff Classification, yang terdiri : Change Tariff Heading (CTH) dan Change in Tariff Sub Heading (CTSH) v Product Specific Rules (PSR) Oleh karena itu di dalam modul ini tidak akan dijelaskan kembali tentang masing-masing kriteria origin, melainkan hanya tata cara pemeriksaan keasal-an dari produk-produk yang masuk ke Indonesia dengan dilindungi surate keterangan asal. Agar lebih mudah melaksanakan pemeriksaan kriteria origin, maka ikutilah langkah-langkah sebagai berikut : Modul OCP Workshop Rules of Origin 33

41 a. Skema FTA yang diajukan Saat menerima PIB yang dilampiri surat keterangan asal, pastikan bahwa kolom 19 PIB telah diisi dengan benar, dengan membandingkan kode di dalam kolom tersebut dengan kode pada surat keterangan asal yang diajukan, yaitu : v Kode 06, berati surat keterangan yang diajukan adalan form D. v Kode 54, berarti surat keterangan asal yang diajukan adalah form E. v Kode 55, berarti surat keterangan asal yang diajukan adalah form AK. v Kode 56, berarti surat keterangan asal yang diajukan adalah form IJ- EPA. v Kode 57, berarti surat keterangan asal yang diajukan adalah form AI. v Kode 58, berarti surat keterangan asal yang diajukan adalah form AANZ. Apabila pada kolom 19 PIB tidak ditemukan kode apapun sementara importir melampirkan surat keterangan asal, ada baiknya ditanyakan kembali kepada importir terkait keberadaan surat keterangan asal tersebut, karena dikhawatirkan lupa memasukkan kode dimaksud pada saat pengajuan PIB secara elektronik. Namun demikian, mengingat pengisian kolom 19 adalah wajib dan dilakukan secara elektronik, serta kebutuhan akan diperolehnya tarif preferensi merupakan kepentingan dari importir, maka penulis berpendapat bahwa dalam hal tidak ditemukan kode apapun dalam kolom 19, petugas pabean dapat menganggap bahwa importir tidak akan memanfaatkan surat keterangan asal yang telah dimilikinya. Hal ini bisa terjadi karena tarif bea masuk MFN telah sama dengan tarif preferensi sehingga importir tidak akan memperoleh manfaat apapun dari fasilitas ini. b. Kriteria origin dalam skema FTA yang diajukan Setelah mengetahui jenis surat keterangan asal yang diajukan (atau dengan kata lain setelah mengetahui skema FTA yang digunakan dalam importasi tersebut) maka langkah selanjutnya adalah memastikan kriteria origin apa saja yang berlaku dalam skema FTA dimaksud. Hal ini 34 Modul OCP Workshop Rules of Origin

42 dapat diketahui dengan melihat overleaf notes dari surat keterangan asal yang diajukan. Untuk meyakinkan kriteria apa saja yang berhak digunakan dalam setiap skema FTA, petugas pabean sebaiknya telah memiliki daftar tersendiri yang disusun sedemikian rupa berdasarkan perjanjian pembentuk skem FTA-TIG masing-masing. Kriteri origin harus dicantumkan dalam kolom atau box 8 untuk surat keterangan asal dalam kerangka kerja sama regional (ASEAN atau ASEAN dengan dialogue partners), dan box 5 untuk surat keterangan asal dalam kerangka kerja sama Indonesia-Jepang. Penulisan kode kriteria origin juga harus sesuai dengan apa yang telah disepakati dan dimuat di dalam overleaf notes masing-masing surat keterangan asal tersebut. Contoh : Ø Dalam skema ATIGA, untuk kriteria origin Change in Tariff Classification (CTC) ditulis : CC (dua digit); CTH (empat digit); dan CTSH (enam digit). Oleh karena itu pada box 8 harus ditulis salah satu dari kode di atas. Ø Apabila kriteria yang diajukan adalah wholly obtained, maka pada box 8 akan tertulis WO c. Periksa daftar Product Specific Rules Daftar Product Specific Rules (PSR) telah dijelaskan pada modul 2, berupa sekumpulan produk yang hanya dapat menggunakan kriteria origin yang disepakati sebagaimana yang tercantum pada daftar tersebut. Untuk pengujian ke dalam daftar PSR diperlukan pos tarif yang sesuai bagi barang yang diimpor. Setelah penulisan kode pada box 8 (atau box 5 untuk skema IJEPA) kedapatan sesuai, lihat pos tarif yang diberitahukan pada box 7 (atau box 4 untuk skema IJEPA). Pastikan bahwa kode HS yang diberitahukan adalah sesuai dengan komoditi yang diimpor. Dalam hal tidak ditemukan kode HS pada box tersebut, maka petugas pabean harus memastikan terlebih dahulu kode HS yang tepat. Modul OCP Workshop Rules of Origin 35

43 Berdasarkan kode HS tersebut, petugas pabean melakukan pemeriksaan apakah tercantum di dalam daftar PSR atau tidak. Ø Dalam hal kode HS atas barang yang diimpor tercantum di dalam daftar PSR, maka pastikan kriteria origin apa saja yang dapat digunakan untuk HS tersebut. Ø Dalam hal kode HS atas barang yang diimpor tidak tercantum di dalam daftar PSR, maka atas produk tersebut tidak terdapat pembatasan penggunaan kriteria origin. Contoh : Ø Sebuah perusahaan di Jakarta mengimpor CARBON PASTE, kode HS : , dari China dengan menggunakan skema ACFTA. Pada box 8 dituliskan bahwa kriteria origin dari produk tersebut adalah WO. Artinya produk tersebut diperoleh sepenuhnya dari China (wholly obtained/produced). Ø Berdasarkan penelitian pada daftar PSR ACFTA, kedapatan bahwa untuk kode HS : tidak termasuk dalam daftar tersebut. Ø Mengingat kode HS dimaksud tidak termasuk dalam daftar PSR ACFTA, maka atas penggunaan kriteria origin WO adalah dimungkinkan. Mengapa memungkinkan?, karena petugas pabean harus memiliki keyakinan bahwa produk CARBON PASTE adalah benar-benar hanya diproduksi di China, tanpa ada campuran bahan baku yang berasal dari negara lain. Untuk contoh yang lain adalah : Ø Sebuah perusahaan di Jakarta mengimpor barang dari Australia, yaitu : DECOLOURISED ANHYDROUS MILKFAT, kode HS , dengan kriteria origin WO". Ø Berdasarkan pemeriksaan pada daftar PSR, kedapatan bahwa atas kode HS tersebut terdapat pembatasan kriteria origin, yaitu hanya dapat menggunakan kriteria : RVC (40) atau CTSH. Ø Mempertimbangkan hasil pemeriksaan pada daftar PSR di atas, maka atas komoditi tersebut tidak dapat memperoleh tarif preferensi, karena menggunakan kriteria origin yang berbeda dengan ketentuan di dalam perjanjian pembentuk skema AANZFTA. 36 Modul OCP Workshop Rules of Origin

44 Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam pemeriksaan kriteria origin adalah apabila barang yang diimpor ternyata lebih dari satu jenis atau satu item. Apabila demikian, sekalipun seluruh barang tersebut memilki kode HS yang sama, maka masing-masing jenis/item barang wajib mencantumkan kriteria origin-nya. Contoh : Apabila dalam satu pengiriman diketahui bahwa barang yang diimpor berjumlah 5 (lima) jenis, maka tampilan dalam surat keterangan asal yang melindungi barang tersebut tampilan pada box-box terkait uraian barang dan kriteria origin adalah sebagai berikut: 5. Item 6. marks and 7. number and tpe of packages, 8. Origin 9. Gross 10. Numb number numbers on description of goods (including criterion... er... packages quantity where appropriate (see and HS number of the Overleaf importing country) Notes 1 N/M MALIMO X 2 HS CODE : NON WOVEN X 5 HS CODE : CHEMICAL SHEET X HS CODE : MAGIC TAPE X HS CODE : THREAD X HS CODE : Modul OCP Workshop Rules of Origin 37

45 Apabila kedapatan surat keterangan asal dengan multi item seperti di atas, dan hanya satu atau sebagian saja yang diberikan penjelasan kriteria origin, hendaknya dimintakan penjelasan terlebih dahulu kepada issuing authority dengan mengirimkan surat permintaan retroactive check. 2. Pemenuhan Kriteria Pengiriman Langsung Pada modul 2 juga telah dijelaskan tentang kriteria bahwa suatu barang yang ingin mendapatkan tarif preferensi harus dikirim langsung dari negara produsen ke negara pengimpor. Pengertian pengiriman langsung memiliki fleksibilitas yang disepakati, sehingga dimungkinkan untuk terjadinya transit dan/atau transhipment di negara lain. Untuk membuktikan apakah suatu barang dalam pengangkutannya memenuhi kriteria tersebut, dokumen utama yang dapat dijadikan referensi adalah dokumen pengangkutan, yaitu : Bill of Lading (B/L) atau Air Way Bill (AWB). Guna mendukung mekanisme ini, dalam perjanjian pembentuk skema FTA diatur bahwa dokumen yang harus disampaikan kepada administrasi pabean adalah : a. A through B/L yang diterbitkan oleh negara pengekspor (negara asal barang). Berdasarkan definisi yang penulis ambil dari business dictionary, Through B/L adalah : B/L issued for containerized door-to-door shipments that have to use different ships and/or different means of transportation (aircraft, railcars, ships, trucks, etc.) from origin to destination. Pengertian di atas dapat diterjemahkan secara bebas bahwa Through B/L adalah B/L yang digunakan untuk pengangkutan barang kepada satu atau lebih pemesan yang memerlukan pergantian moda transportasi, dari negara asal ke negara tujuan. 38 Modul OCP Workshop Rules of Origin

46 Jika demikian, maka di dalam B/L tersebut seharusnya tercantum negara asal barang serta tujuan barang, sekaligus juga tempat-tempat lain yang akan disinggahi oleh alat angkutnya. b. Surat keterangan asal harus diterbitkan oleh issuing authority di negara pengekspor. Setiap pengajuan barang yang ingin memperoleh tarif preferensi, maka wajib dilindungi dengan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh negara dimana barang tersebut diproduksi. Hal ini mempertimbangkan bahwa issuing authority di negara tempat barang diproduksi adalah yang paling mengetahui ke-asal-an barang tersebut, baik bahan baku serta proses produksinya, untuk membuktikan terpenuhinya kriteria origin yang dapat digunakan. Oleh karena itu, pengertian negara pengekspor hendaknya diartikan sebagai negara tempat asal barang. Hal ini perlu diwaspadai dalam hal terjadinya third country invoicing, dimana importir melakukan transaksi dengan pihak lain yang bukan berdomisili di negara tempat barang diproduksi. Sehingga eksportir-nya dalam hal ini sebenarnya adalah pihak ketiga. c. Copy original commercial invoice atas barang yang dikirim. Dalam hal ini yang dimaksud dengan original commercial invoice adalah invoice yang dikeluarkan oleh pemilik barang yang sebenarnya, sebelum terjadi proses transaksi antara importir dengan eksportir. Contoh : Ø Perusahaan A di Indonesia memesan barang dari perusahaan B di Singapore. Oleh karena perusahaan Singapore tidak memiliki barang yang di pesan (karena bukan merupakan produsen atas barang yang dimaksud), maka pihaknya melakukan transaksi dengan perusahaan C (sebagai produsen) di Thailand. Ø Melihat kasus di atas, tentunya akan terbit dua invoice, yaitu invoice yang diterbitkan oleh perusahaan B di Singapore untuk perusahaan A di Indonesia, dan invoice yang diterbitkan oleh perusahaan C di Modul OCP Workshop Rules of Origin 39

47 Thailand untuk perusahaan B di Singapore. Invoice yang kedua inilah yang disebut dengan original commercial invoice, yaitu diterbitkan oleh produsen di Thailand. Ø Dalam rangka pembuktian pengiriman langsung, maka invoice yang diterbitkan oleh perusahaan C di Thailand wajib diajukan kepada administrasi pabean di negara importir, untuk membuktikan bahwa barang berasal dari negara produsen, dan dikirim langsung ke negara importir. d. Dokumen pendukung lainnya Dalam perjanjian pembentuk skema FTA-TIG tidak dijelaskan dokumen pendukung dimaksud, termasuk jenis-jenisnya. Hanya saja terdapat penekanan bahwa dokumen pendukung tersebut adalah untuk membuktikan bahwa ketentuan/ persyaratan dalam kriteria pengiriman langsung dipenuhi. Apabila tujuannya adalah sebagaimana tersebut di atas, maka penulis dapat mengambil contoh dokumen yang digunakan oleh Singapore pada saat alat angkut transit di negaranya, kemudian melanjutkan perjalanannya ke negara tujuan. Untuk membuktikan kegiatan apa saja yang dilakukan terhadap barang yang akan diangkut kemudian, pihak administrasi pabean Singapore mengeluarkan semacam surat yang menjelaskan hal-hal terkait barang tersebut. Hal-hal yang wajib dijelaskan dalam surat keterangan dimaksud adalah sesuai dengan persyaratan yang melekat atas barang-barang transit/ transhipment, yaitu : Ø Barang tidak memasuki daerah pabean negara transit atau tempat terjadinya transhipment; Ø Barang tidak mengalami proses perpindahan tangan (transaksi di negara transit); Ø Barang tidak mengalami proses pengolahan apapun selain daripada bongkar muat saja. 40 Modul OCP Workshop Rules of Origin

48 Ada baiknya Indonesia juga dapat menerbitkan surat keterangan semacam itu dalam rangka mendukung proses terjadinya transit dan pembuktian formal bahwa barang tujuan negara lain yang transit di Indonesia memenuhi persyaratan pengiriman langsung sebagamana diatur dalam perjanjian pembentuk suatu skema FTA. 3. Pemenuhan Prosedur Setelah kedua kriteria yang dipersyaratkan untuk mendapatkan tarif preferensi, maka persyaratan terakhir adalah pemenuhan prosedur yang telah disepakati. Artinya untuk mendapatkan tarif preferensi wajib melewati prosedur yang diatur di dalam OCP. Prosedur yang harus ditempuh sebenarnya sebagian besar telah dibahas pada bagian awal dari modul ini, yang secara prinsip terdiri dari proses penerbitan surat keterangan asal, sampai dengan proses pengajuannya kepada administrasi pabean di negara importir, atau menurut istilah WCO adalah sertifikasi dan verifikasi. Sejak pengajuan surat keterangan asal oleh eksportir kepada issuing authority di negara pengekspor, proses pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemeriksaan fisik, sampai dengan persetujuan penerbitan surat keterangan asal, merupakan bagian dari prosedur sertifikasi. Adapun pada proses pelaksanaan verifikasi oleh administrasi pabean di negara importir terdiri dari pemeriksaan terhadap validitas, otentisitas, dan akurasi dari surat keterangan asal yang diterimanya, yang diantaranya meliputi : a. Bentuk dan ukuran surat keterangan asal Perjanjian telah menetapkan bentuk dan ukuran surat keterangan asal, yaitu kertas A4, terdiri dari 13 box yang harus diisi lengkap (lihat contoh surat keterangan asal dari masing-masing skema FTA sebagaimana terdapat pada bab satu. Pengecualian dari bentuk dan ukuran tersebut hanya berlaku pada surat keterangan asal skema AANZFTA dan IJEPA, Modul OCP Workshop Rules of Origin 41

49 dimana pada pada skema AANZFTA tidak terdapat pengaturan khusus tentang ukuran kertas yang digunakan. Adapun untuk surat keterangan asal dalam skema IJEPA menggunakan bentuk dan ukuran kertas A4 tetapi hanya berisi 10 box di dalamnya. Dalam skema AANZFTA, bentuk dan ukuran surat keterangan asal-nya diserahkan kepada para pihak (parties). Bagaimanapun penulis menganggap bahwa hal kecil seperti ini sebenarnya dapat saja mengganggu kinerja petugas pabean. Sebagaiknya untuk hal-hal yang tidak memiliki kekhususan dalam skema FTA, disamakan saja pengaturannya sehingga dapat membentuk percepatan proses kepabeanan. Bukan tidak mungkin terdapat kejadian dimana penolakan atau keraguan terhadap surat keterangan asal dilakukan karena perbedaan ukuran kertas. Tentunya kondisi ini tidak terlihat bagus untuk sebuah implementasi dari sebuah perjanjian internasional. b. Kelengkapan pengisian Seluruh box yang ada di dalam surat keterangan asal merupakan kolom informasi atau data yang harus dipastikan telah terisi sesuai dengan peruntukannya, serta saling mendukung (selaras) dengan dokumen terkait. Box pertama yang harus diperhatikan adalah sebelah kanan atas yang memuat informasi reference number (Reference No. atau Certification No. pada skema IJEPA). Hal ini sangat penting karena merupakan bukti bahwa surat keterangan asal tersebut telah di-administrasi-kan di issuing authority dan diberikan nomor tersebut. Sekalipun tidak diatur di dalam perjanjian, tetapi diharapkan petugas pabean memiliki kejelian dalam melakukan pemeriksaan nomor referensi yang seharusnya memiliki standar antara satu surat keterangan asal dengan jenis dokumen yang sama, yang diterbitkan oleh satu negara asal. 42 Modul OCP Workshop Rules of Origin

50 Sekiranya terdapat perbedaan bentuk penomoran, tentunya hal ini patut dipertanyakan dan petugas pabean dapat meminta klarifikasi kepada issuing authority. c. Pengirim dan Penerima Informasi tentang pihak-pihak yang bertransaksi ada di box paling awal seluruh surat keterangan asal, dan harus dipastikan bahwa informasi tersebut sesuai dengan data yang tercermin dalam dokumen impor lainnya, misalnya dengan invoice, packing list, bill of lading, dan sebagainya (jika ada). Apabila terdapat perbedaan informasi pengirim dan/atau penerima dalam surat keterangan asal, maka dipastikan ada yang salah di dalam dokumen tersebut. Khusus untuk box pengirim barang atau eksportir, di dalam surat keterangan asal terdapat dua box yang harus diisi dengan informasi yang sama, yaitu pada box 1 dan box 11 (untuk surat keterangan asal yang digunakan pada skema FTA lingkup regional : AFTA, ACFTA, AKFTA, AANZFTA, dan AIFTA) atau pada box 9 untuk skema IJEPA. Walaupun tampilannya keduanya berbeda, tetapi maksudnya adalah sama. Hanya saja pada surat keterangan asal skema IJEPA, informasi yang diberitahukan lebih detil, dimana eksportir tidak mencantumkan tempat, tanggal, tanggal, dan tanda tangan eksportir sebagaimana pada surat keterangan asal skema FTA lingkup regional, melainkan juga wajib mencantumkan nama penandatangan dan nama perusahaan. d. Pelabuhan muat Sebagaimana telah disinggung di atas, barang harus diberangkatkan dari negara dimana barang tersebut diproduksi atau negara tempat diterbitkannya surat keterangan asal. Oleh karena itu unsur pelabuhan muat sangat membantu para petugas pabean dalam melakukan pemeriksaan negara asal dikaitkan dengan kriteria origin. Modul OCP Workshop Rules of Origin 43

51 Dalam surat keterangan asal tidak secara jelas disebutkan tentang isian untuk pelabuhan muat (port of loading). Akan tetapi apabila kita perhatikan, baik pada surat keterangan asal untuk skema FTA regional maupun IJEPA, terdapat keharusan pencantuman rute (route) dari alat angkut. Dengan demikian, maka pada box ini sudah seharusnya dituliskan pelabuhan muat dari produk yang akan dikirim. Informasi pelabuhan muat dapat juga menimbulkan keraguan atau penolakan pemberian tarif preferensi. Misalnya dalam kasus pengajuan PIB untuk barang dengan menggunakan skema ACFTA, dimana pada surat keterangan asal yang dilampirkan kedapatan bahwa pelabuhan muat adalah HONGKONG, sedangkan Form E diterbitkan dari penerbit di China. Berdasarkan informasi tersebut di atas, setidaknya kita akan memiliki dua keraguan, yaitu : Ø Bagaimana caranya issuing authority yang berada di China melakukan pemeriksaan atas barang yang tidak ada di negaranya? Ø HONGKONG merupakan otoritas ekonomi sendiri dan bukan merupakan bagian dari skema ACFTA. Mempertimbangkan kondisi tersebut, maka sebaiknya surat keterangan asal yang diajukan langsung ditolak dan atas impor barangnya tidak dapat memperoleh tarif preferensi. e. Pemberian tanggal Informasi tentang tanggal di dalam surat keterangan asal terdapat dalam beberapa box, yaitu : Ø Untuk surat keterangan asal dalam kerangka skema FTA lingkup regional : box 3 (tanggal keberangkatan), box 10 (tanggal invoice), box 11 (tanggal pengajuan oleh eksportir), dan box 12 (tanggal pemberian persetujuan oleh issung authority). 44 Modul OCP Workshop Rules of Origin

52 Ø Untuk surat keterangan asal dalam kerangka skema IJEPA : box 7 (tanggal invoice), box 9 (pengajuan oleh eksportir), dan box 10 (tanggal pemberian persetujuan oleh issung authority). Idealnya sebuah transaksi antara eksportir dengan importir adalah sebagai berikut : Ø Eksportir dan importir mencapai kesepakatan untuk melakukan transaksi, kemudian dituangkan dalam invoice (muncul tanggal invoice pada box 10 untuk surat keterangan asal dalam skema FTA regional atau box 7 pada skema IJEPA). Ø Eksportir mengajukan permohonan surat keterangan asal kepada issuing authority, dilampiri dengan invoice sebagai salah satu dokumen kelengkapannya (muncul tanggal pengajuan surat keterangan asal atau tanggal deklarasi eksportir terkait kebenaran informasi dalam formulir surat keterangan asal pada box 11 pada skema FTA lingkup regional atau box 9 skema IJEPA ). Ø Issuing authority menyetujui penerbitan surat keterangan asal yang diajukan oleh eksportir (muncul tanggal persetujuan/penerbitan pada box 12 untuk surat keterangan asal dalam skema FTA lingkup regional atau box 10 untuk skema IJEPA). Ø Barang diberangkatkan (muncul tanggal pengapalan pada box 3 surat keterangan asal dalam skema FTA regional atau box 4 skeam IJEPA). Memperhatikan kondisi ideal di atas, muncul pertanyaan, berapa lamakah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan masing-masing kegiatan di atas? Mungkinkah seluruh kegiatan dapat terselesaikan dalam waktu satu hari? Berapapun jumlah waktu (atau hari) yang diperlukan adalah memungkinkan, sekalipun seluruh kegiatan dapat terselesaikan dalam waktu satu hari. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap surat keterangan asal yang masuk ke Indonesia, cukup banyak yang seluruh kegiatan di atas terjadi dalam waktu satu hari, mulai penerbitan invoice sampai dengan pemberian persetujuan surat keterangan asal. Artinya Modul OCP Workshop Rules of Origin 45

53 walaupun seperti tidak mungkin dilaksanakan, tetapi faktanya banyak impor dengan kondisi surat keterangan asal seperti itu. Penulis hanya ingin menggugah peserta workshop bahwa untuk barangbarang tertentu sepertinya cukup sulit untuk diselesaikan dalam satu hari, utamanya yang memerlukan proses produksi atau menggunakan kriteria origin RVC atau CTC. Menurut penulis, issuing authority harus benarbenar melakukan pemeriksaan fisik atau upaya tertentu untuk membuktikan kebenaran kriteria origin. Adanya kondisi dimana seluruh kegiatan dilakukan pada tanggal yang sama, penulis menganjurkan untuk dimintakan penjelasan kepada issuing authority. C. Penolakan Pemberian Tarif Preferensi Penggunaan istilah penolakan dalam modul ini muncul sebagai terjemahan dari istilah rejection (sebagaimana tertuang dalam OCP ATIGA), denial (sebagaimana tertuang dalam OCP ACFTA), ataupun preferential treatment not given (sebagaimana tercantum pada box 4 surat keterangan asal yang digunakan pada skema FTA lingkup regional). Perbedaan istilah di atas sedikit banyak telah menimbulkan persepsi yang beragam, tidak saja di tingkat nasional, tetapi juga diantara para pihak peserta masing-masing skema FTA, sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak seragam untuk tindak lanjut seandainya ada penolakan. Dalam rule 13 (2) OCP ATIGA disebutkan : in case when a Certificate of Origin (Form D) is rejected by the customs authority of the importing Member State, the subject Certificate of Origin (Form D) shall be marked accordingly in Box 4 and the original Certificate of Origin (Form D) shall be returned to the issuing authority within a reasonable period not exceeding sixty (60) days. The issuing authority shall be duly notified of the grounds for the denial of tariff prefrence. Jelas sekali dalam rule 13 (2) OCP ATIGA diatur bahwa dalam hal surat keterangan asal ditolak, maka box 4 dari surat keterangan asal yang diajukan harus ditandai setentangnya, lalu dikembalikan kepada issuing authority. Dalam rule 17 OCP AKFTA terdapat ketentuan : 46 Modul OCP Workshop Rules of Origin

54 Except as otherwise provided in this Appendix, the importing Party may deny claim for preferential tariff treatment or recover unpaid duties in accordance with its laws and regulation, where the goods does not meet the requirements of Annex 3, or where the relevant requirements of this Appendix are not fulfilled. Menurut aturan tersebut dijelaskan bahwa : kecuali telah diatur di dalam lampiran dokumen ini, negara pengimpor dapat menolak permohonan untuk memperoleh tarif preferensi atau penagihan atas bea masuk yang seharusnya dibayar sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya, dalam hal ketentuan pada annex 3 (Rules of Origin) atau persyaratan-persyaratan lain yang telah ditetapkan dalam lampiran ini tidak dapat dipenuhi. Sekilas pengaturan di atas seperti sama, dimana negara pengimpor diberikan kewenangan untuk menolak memberikan tarif preferensi. Akan tetapi dalam OCP AKFTA tidak terdapat ketentuan lebih lanjut tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi pabean ketika terjadi penolakan tersebut. Dalam skema ACFTA, istilah penolakan (denied) muncul pada saat issuing authority tidak memberikan tanggapan atas permintaan retroactive check dari administrasi pabean di negara importir, atau tidak memberikan tanggapan pada saat menerima permintaan verification visit. Dalam kondisi seperti ini maka administrasi pabean di negara importir dapat langsung memutuskan untuk tidak memberikan tarif preferensi. Berbeda lagi dengan OCP AANZFTA, yang sama sekali tidak mengatur tentang kewenangan administrasi pabean di negara pengimpor untuk melakukan penolakan pemberian tarif preferensi secara tegas. Sekalipun seolah-olah substansi dari masing-masing skema FTA memiliki pengaturan masing-masing sebagaimana tersebut di atas, tetapi terdapat hal yang menarik dari seluruh skema FTA tersebut, khususnya apabila kita perhatikan bentuk surat keterangan asal seluruh skema FTA yang sama-sama memiliki box 4 yang memungkinkan bagi setiap administrasi pabean di negara pengimpor untuk tidak memberikan tarif preferensi (preferential treatment not given). Berikut adalah box 4 dari masing-masing skema FTA. Modul OCP Workshop Rules of Origin 47

55 Box 4 pada OCP ATIGA 4. For Official Use Preferential Treatment Given Under ASEAN Trade in Goods Agreement Preferential Treatment Given Under ASEAN Industrial Cooperation Scheme Preferential Treatment Not Given (Please state reason/s) Signature of Authorised Signatory of the Importing Country Perlu dicatat bahwa pengaturan sebagaimana tersebut pada box 4 di atas hanya ada pada skema FTA-TIG pada lingkup kerja sama regional. Adapun untuk surat keterangan asal yang berlaku pada skema IJEPA tidak ditemukan adanya pengaturan sebagaimana pada box 4 di atas. Memperhatikan box di atas, maka penulis berpendapat bahwa sebenarnya seluruh skema FTA TIG yang ditanda tangani oleh Indonesia dalam statusnya sebagai anggota ASEAN baik langsung atau tidak langsung meyepakati adanya ruang bagi administrasi pabean di negara importir untuk tidak memberikan tarif preferensi karena alasan tertentu. Kriteria apa saja yang dapat menyebabkan tidak diberikannya tarif preferensi, hal ini juga tidak diatur secara jelas, kecuali hal-hal yang bersifat umum, sebagaimana dijelaskan di atas. Hal-hal seperti ini seharusnya dihindari dalam pembuatan perjanjian internasional, karena sangat riskan dan mengundang dispute antara para pihak, yang tentunya dapat mempengaruhi implementasi dari skema FTA-TIG yang telah ditanda tangani. Selanjutnya perlu dipahami juga bahwa ketentuan tentang tidak diberikannya tarif preferensi berada di dalam pasal (rule atau article) yang berbeda dengan suspension atau tertundanya pemberian tarif preferensi akibat adanya keraguan ataupun kegiatan random yang dilakukan oleh administrasi pabean. Disinilah salah satu beban berat yang dipikul oleh administrasi pabean sebagai bagian dari kerangka kerja sama perdagangan internasional, karena 48 Modul OCP Workshop Rules of Origin

56 tuntutan untuk berperan sebagai fasilitator sangat tinggi. Sementara di sisi lain administrasi pabean juga dituntut untuk menjadi pengawas lalu lintas barang. Data menunjukkan adanya penyimpangan dalam skema FTA-TIG, yaitu penggunaan surat keterangan asal palsu, yang diketahui setelah adanya konfirmasi atas permintaan retroactive check kepada issuing authority. Tentunya menjadi tidak efektif apabila seluruh surat keterangan asal yang masuk harus dimintakan retroactive check. Oleh karena itu perlu ada penegasan, kapan box 4 tersebut diberdayakan, dan tidak perlu retro, melainkan langsung dikenakan tarif preferensi. Oleh karena ketiadaan peraturan yang jelas di tingkat nasional, tentunya penulis cukup kesulitan membuat daftar hal-hal yang dapat dikategorikan ditolak dalam modul ini, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas tidak sesuai dengan aturan main di dalam perjanjian pembentuk skema FTA-nya, seperti : Ø Kesalahan pemberitahuan kriteria origin. Misalnya : untuk komoditi yang diimpor ternyata masuk ke dalam daftar PSR, tetapi dalam box 8 diisi kriteria origin yang tidak sesuai. Hal ini menurut penulis termasuk upaya untuk mengelabui petugas administrasi pabean di negara importir. Ø Penggunaan kriteria origin yang tidak sesuai dengan skema FTA-TIG yang digunakan. Maksudnya adalah : dalam setiap skema FTA-TIG telah ditentukan kriteria origin apa saja yang dapat digunakan, sebagaimana dimuat dalam overleaf notes masing-masing surat keterangan asal-nya. Apabila terdapat pengajuan surat keterangan asal dengan kriteria origin yang tidak tercantum pada overleaf notes, maka menjadi tidak syah, dan dapat ditolak permohonan mendapatkan tarif preferensinya. Contoh : Dalam skema AKFTA terdapat kriteria origin salah satu kriteria origin yang diperbolehkan adalah Rule 6 rules of origin. Apabila terdapat surat keterangan asal yang diajukan dalam kerangka skema ACFTA menggunakan kriteria origin Rules 6, maka secara otomatis dapat digugurkan. Ø Pejabat penandatangan tidak terdapat di dalam list of specimen (daftar spesimen tanda tangan dan stempel masing-masing negara anggota skema FTA-TIG). Tapi hal ini harus benar-benar dipastikan bahwa petugas pabean Modul OCP Workshop Rules of Origin 49

57 telah melakukan pemeriksaan terhadap seluruh specimen yang valid dari negara tempat diterbitkannya surat keterangan asal. D. Penundaan Pemberian Tarif Preferensi Sebagaimana telah disinggung sedikit di atas, hasil dari penelitian surat keterangan asal oleh petugas pabean adalah adanya mekanisme penolakan dan penundaan pemberian tarif preferensi. Di atas telah dibahas tentang mekanisme penolakan pemberian preferential tarif, dengan cara mengisi box 4 dari surat keterangan asal yang diajukan, kemudian diberikan penjelasan penolakan tersebut dan menandatanganinya. Selanjutnya asli dari surat keterangan asal yang ditolak tersebut kemudian dikembalikan (dikirimkan kembali) kepada issuing authority. Berbeda dengan mekanisme penundaan pemberian surat keterangan asal, dimana atas barang yang diimpor masih ada kemungkinan untuk mendapatkan tarif preferensi, tetapi memerlukan konfirmasi lebih lanjut dari issuing authority dengan cara mengajukan permintaan retroactive check. Hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya penundaan pemberian tarif preferensi adalah karena adanya keraguan dari petugas pabean atas ke-otentikan dan/atau ke-akurat-an dari surat keterangan asal yang diajukan oleh importir, atau karena proses random yang dilakukan oleh adminsitrasi pabean di negara importir. a. Surat keterangan asal diragukan Untuk skema FTA-TIG yang diikuti oleh Indonesia, satu-satunya dokumen yang digunakan sebaga bukti bahwa suatu komoditi telah memenuhi ketentuan rules of orgin dari skema FTA-TIG tersebut, sehingga berhak mendapatkan tarif preferensi, adalah surat keterangan asal (certificate of origin). Dalam rangka menguji apakah benar bahwa atas barang yang diimpor layak (qualify) mendapatkan tarif preferensi, petugas pabean melakukan verifikasi atau pemeriksaan terkait ke-otentik-an dan/atau ke-akurat-an dari dokumen dan informasi yang ada di dalamnya, dengan dukungan dari dokumen lain yang terkait dengan importasinya. 50 Modul OCP Workshop Rules of Origin

58 Adanya pemeriksaan ini tidak berarti bahwa petugas pabean meragukan proses sertifikasi yang dilakukan oleh issuing authority, melainkan sebagai bentuk pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh perjanjian pembentuk skema FTA-TIG. Hal-hal apa saja yang dapat dijadikan dasar untuk meragukan sebuah surat keterangan asal? Lagi-lagi perjanjian pembentuk skema FT-TIG tidak memberikan panduan yang cukup dalam hal ini, sehingga tidak jarang terjadi perbedaan pendapat antar sesama anggota skema FTA dalam menafsirkan klausula-klausula dari perjanjian tersebut. Seharusnya pemerintah, dalam hal ini seluruh instansi yang terkait dengan proses perundingan skema FTA-TIG termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dapat membuat batasan-batasan yang jelas tentang hal-hal yang dapat meragukan. Sejauh ini kewenangan penilaian keraguan lebih merupakan professional judgement dari petugas pabean, sehingga sangat mungkin akan muncul keputusan yang berbeda antara petugas pabean satu dengan petugas lainnya. Tetapi tentunya hal ini akan menjadi terlihat tidak bagus dimata partner kita, karena akan dinilai inkonsistensi dalam penerapan prosedur pabean. Beberapa hal yang menurut penulis dapat dijadikan alasan keraguan adalah sebagai berikut : Ø Perbedaan format dokumen surat keterangan asal. Hal ini misalnya terjadi dimana ketebalan kertas berbeda dengan yang biasa dipergunakan, atau tipe kertas yang seharusnya menggunakan A4 tetapi kemudian dibuat dalam ukuran lain. Ø Bentuk tanda tangan yang tidak begitu mirip dengan yang ada di dalam daftar spesimen sehingga menimbulkan keraguan. Ø Tanggal keberangkatan, tanggal invoice, tanggal pengajuan surat keterangan asal, dan tanggal pemberian persetujuan oleh issuing authority, seluruhnya sama. Hal ini dapat diasumsikan seluruh kegiatan transaksi antara importir dan eksportir sampai dengan pemberian persetujuan oleh issuing authority dilakukan pada tanggal yang sama. Modul OCP Workshop Rules of Origin 51

59 Ø Perjanjian pembentuk skema FTA tidak melarang adanya aktivitas seperti itu, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi administrasi pabean untuk meminta penjelasan kepada issuing authority tentang akurasi dari tanggal tersebut. Informasi lain di dalam surat keterangan asal yang diajukan oleh importir. b. Proses Random Random artinya memilih secara acak atas surat keterangan asal yang diajukan oleh importir, untuk dimintakan konfirmasi lebih lanjut kepada issuing authority. Beberapa perjanjian pembentukan skema FTA secara tegas mengatur kemungkinan random dalam melakukan permintaan retroactive check. Artinya beberapa perjanjian pembentuk skema FTA tidak menganjurkan ataupun melarang. Hal inilah yang dapat dijadikan dasar oleh masingmasing negara anggota untuk dapat mengembangkan aturan nasionalnya sehingga terdapat kepastian hukum bagi para pengguna jasa. Random dapat dilakukan pada tahap manapun dalam prosedur kepabeanan, mulai saat penerimaan dokumen sampai dengan post audit. c. Retroactive Check Kegiatan retroactive check pada dasarnya merupakan proses verifikasi atau pemeriksaan ulang oleh issuing authority atas permintaan administrasi pabean di negara importir, yang disebabkan adanya keraguan terhadap surat keterangan asal dan/atau keputusan random. Oleh karena itu kegiatan retroactive check harus diawali dengan adanya permintaan secara tertulis dari administrasi pabean di negara importir. Dalam surat permintaan retroactive check tersebut, pihak receiving authority atau administrasi pabean wajib menjelaskan alasan dimintakannya proses verifikasi dimaksud, sehingga pelaksanaan pemeriksaan ulang oleh issuing authority mengarah pada substansi yang diragukan. 52 Modul OCP Workshop Rules of Origin

60 Untuk permintaan retroactive check dalam rangka random (dipilih secara acak), maka dalam surat permintaan retroactive check cukup dijelaskan bahwa permintaan yang diajukan adalah akibat sistem random yang berlaku di dalam sistem pabean nasional. Hal ini lebih sederhana, karena pada intinya pihak issuing authority hanya diminta untuk menegaskan apakah surat keterangan asal yang terpilih secara acak tersebut valid atau tidak valid. Berbeda dengan permintaan retroactive check yang dilakukan akibat random, pada permintaan retroactive check yang disebabkan adanya keraguan, pihak administrasi pabean harus menjelaskan secara rinci hal-hal yang menimbulkan keraguan dimaksud. Sebenarnya permintaan retroactive check bersifat konfirmasi kepada issuing authority oleh karena adanya keraguan petugas pabean terhadap surat keterangan asal yang diterimanya. Hal yang dapat diragukan sebenarnya tidak diatur di dalam perjanjian pembentuk skema FTA, sehingga sekecil apapun yang kita ragukan atas format surat keterangan asal, spesimen, stempel, dan informasi lainnya di dalam surat keterangan asal, menurut perjanjian pembentuk skema FTA dapat dimintakan retroactive check. Namun demikian tentunya setiap negara tidak akan melakukan hal sewenang-wenang dalam mengajukan permintaan retroactive check tersebut, melainkan dengan pertimbangan yang matang dan meyakinkan sehingga benar-benar perlu dilakukan. Apabila yang menjadi materi keraguan terkait kriteria origin, misalnya, maka ada baiknya di dalam surat yang akan dikirim kepada issuing authority disebutkan box tentang kriteria origin, dasar munculnya keraguan, kemudian hal-hal atau penjelasan/informasi/data-data yang diminta dari issuing authority. Akan lebih bagus apabila juga disinggung artikel dalam perjanjian pembentuk skema FTA-TIG yang mendasari dapat dilakukannya permintaan retroactive check. Hal ini untuk mengingatkan sekaligus mempertegas bahwa tindakan yang dilakukan memiliki dasar hukum. Modul OCP Workshop Rules of Origin 53

61 Contoh permintaan retroactive check adalah sebagai berikut : Dalam contoh di atas dapat dilihat bahwa materi yang diragukan adalah terkait kriteria origin yang ada di dalam box atau kolom 8, kemudian diikuti dengan alasan munculnya keraguan. Selanjutnya pada paragraf terakhir disinggung tentang hal yang mendasari proses retroactive check, yaitu sebagaimana diatur dalam OCP. Atas permintaan retroactive check tersebut, issuing authority melakukan halhal yang dianggap perlu untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terkait materi yang dipertanyakan. Tindakan untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu inilah sebenarnya yang disebut dengan retroactive check. Pihak issuing authority wajib memberikan jawaban atas permintaan retroactive check dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak surat diterima pihaknya. Apabila issuing authority tidak dapat memberikan jawaban dan/atau penjelasan atas permintaan retroactive check dari administrasi pabean di negara importir, atau jawaban yang dikirimkan ternyata melewati batas waktu yang telah ditetapkan tersebut, maka surat keterangan asal yang 54 Modul OCP Workshop Rules of Origin

62 dipermasalahkan menjadi batal dan permohonan untuk memperoleh tarif preferensi dapat ditolak. Sebaliknya, apabila issuing authority telah selesai melakukan retroactive check, dan mengirimkan hasilnya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan, maka pihak administrasi pabean di negara importir harus memberitahukan lebih lanjut langkah-langkah yang akan diambil setelah adanya hasil retroactive check tersebut. Menurut OCP, dalam hal administrasi pabean di negara importir masih belum dapat menerima penjelasan dari issuing authority, maka masih disediakan prosedur lain yang dapat ditempuh yaitu yang disebut verification visit. Penjelasan tentang verification visit akan dijelaskan pada sub bab berikutnya. d. Verification Visit Sesuai dengan istilah yang dipergunakan, verification visit merupakan kegiatan verifikasi yang dilakukan oleh administrasi pabean negara importir di negara tempat penerbitan surat keterangan asal. Verifikasi ini dilakukan akibat dari ketidakpuasan negara importir, yaitu administrasi pabean, atas penjelasan issuing authority dalam memberikan jawaban atas permintaan retroactive check. Hal ini menjadi kewenangan negara importir, apakah akan menerima atau tidak. Hanya saja, apapun keputusan dari administrasi pabean negara importir terhadap komoditi yang dilindungi dengan surat keterangan asal yang sedang dipertanyakan, harus diinformasikan kepada issuing authority. Pelaksanaan verification visit merupakan kewenangan dari administrasi pabean negara importir. Akan tetapi pada prakteknya administrasi pabean dapat melibatkan instansi lain yang dianggap relevan dan akan membantu pelaksanaan verification visit. Contoh : KPU Tanjung Priok telah menerima jawaban permintaan retroactive check dari issuing authority di China, atas keraguan kriteria origin produk STEEL COLD ROLLED. Namun demikian, atas jawaban tersebut KPU Tanjung Modul OCP Workshop Rules of Origin 55

63 Priok masih meragukan informasi yang disampaikan oleh pihak China, sehingga diusulkan ke Kantor Pusat DJBC untuk dilakukan verification visit. Menindaklanjuti permohonan KPU Tanjung Priok ini, Kantor Pusat DJBC dapat menyiapkan hal-hal terkait verification visit, dengan anggota tim terdiri dari : Ø Perwakilan KPU Tanjung Priok Ø Perwakilan Kantor Pusat DJBC sebagai fasilitator Ø Ahli baja, untuk proses pemeriksaan fisik barang serta proses produksinya. Ø Pengacara, untuk mengantisipasi kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan (tentative). Perjanjian pembentuk skema FTA dalam OCP-nya memberikan keleluasaan kepada para negara anggota untuk mengatur lebih rinci tentang bagaimana penanganan barang-barang yang surat keterangan asal-nya diragukan, apakah akan dikenakan jaminan atau diminta untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu berdasarkan tarif normal (MFN). Sejauh ini Indonesia belum menerapkan prosedur mana yang akan ditempuh, karena belum terdapat satu peraturan pun yang mengatur hal tersebut. 1.2 Latihan 2 Jawablah dengan memilih salah satu jawaban yang tepat! 1. Pada saat pengajuan surat keterangan asal, issuing authority harus memastikan bahwa jumlah dan jenis barang yang akan dimintakan preferensi tarif di negara importir sebagaimana diberitahukan, telah sesuai (confom) dengan produk yang akan diekspor. Kondisi ini memiliki makna bahwa : a. Eksportir tidak dapat mengajukan tambahan jumlah barang yang akan diekspor, karena telah ditetapkan. b. Apa yang tertuang di dalam surat keterangan asal merupakan informasi/data yang diketahui dan disetujui oleh issuing authority. 56 Modul OCP Workshop Rules of Origin

64 c. Sepanjang jenis barang sesuai, maka apabila terdapat kelebihan jumlah, tetap dimungkinkan untuk mendapatkan tarif preferensi. d. Administrasi pabean di negara importir tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan terdapat imformasi/data yang ada di dalam surat keterangan asal, karena telah dilakukan pemeriksaan oleh issuing authority terkait kebenarannya. 2. Pelaksanaan pemeriksaan surat keterangan asal oleh administrasi pabean sebaiknya dimaknai bahwa : a. Bentuk kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya penyalahgunaan atas surat keterangan asal. b. Bentuk ketidakpercayaan negara pengimpor kepada negara penerbit surat keterangan asal. c. Kewenangan tersebut merupakan amanat dari perjanjian pembentuk skema FTA-TIG yang harus dilaksanakan, sehingga tercapai tertib administrasi sesuai tujuan pembentukannya. d. Surat keterangan asal merupakan dokumen pendukung PIB sehingga perlu dilakukan verifikasi dan validasi. 3. Dalam pelaksanaan verification visit, sebenarnya tidak perlu terlalu banyak melibatkan pihak-pihak yang akan dimasukkan ke dalam tim, melainkan cukup terdiri dari pihak-pihak yang dianggap berkompeten dan memiliki kemampuan terkait kegiatan yang perlu (urgent) untuk dilaksanakan di negara tempat penerbitan surat keterangan asal, misalnya : a. Perwakilan dari : Kementerian Perdagangan-Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian-Pakar Hukum. b. Perwakilan dari : Bea dan Cukai-Pengusaha-Importir. c. Perwakilan dari : Bea dan Cukai-Eksportir-Ahli Hukum. d. Perwakilan dari : Bea dan Cukai-Ahli Barang-Penasehat Hukum. 4. Dalam hal administrasi pabean tidak merasa puas dengan jawaban permintaan retroactive check yang disediakan oleh issuing authority, maka langkah selanjutnya yang dapat ditempuh adalah : a. Negosiasi ulang. Modul OCP Workshop Rules of Origin 57

65 b. Perundingan ulang antara negara pengimpor dengan negara pengekspor. c. Pemanggilan importir untuk keperluan penyelidikan. d. Pemberitahuan administrasi pabean di negara importir kepada issuing authority tentang rencana verification visit. 5. Dalam hal terdapat Form D yang melindungi satu komoditi dengan kriteria Rule 6, apa yang akan Saudara lakukan? a. Rule 6 tidak termasuk dalam kriteria origin yang dapat digunakan dalam skema ATIGA, sehingga langsung ditolak. b. Menanyakan kepada importir tentang maksud penggunaan Rule 6 dalam surat keterangan asal yang diajukannya. c. Menerima surat keterangan asal dan memberikan tarif preferensi. d. Meminta retroactive check kepada issuing authority, untuk mengganti kriteria origin tersebut. 1.3 Rangkuman Sekalipun administrasi pabean Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, tidak terlibat dalam penerbitan surat keterangan asal, akan tetapi tetap memerlukan pemahaman atas penerbitan dari surat keterangan asal dalam skema FTA-TIG. Hal ini sangat penting guna mengambil keputusan yang mengacu pada tata cara penerbitan surat keterangan asal dimaksud oleh issuing authority. Proses penerbitan surat keterangan asal atau sertifikasi oleh issuing authority akan memberi makna bahwa hanya atas jumlah dan jenis serta informasi yang ada di dalam surat keterangan asal itulah yang telah disetujui oleh issuing authority untuk kemudian menjadi dasar bagi administrasi pabean apakah atas komoditi di dalamnya dapat diberikan tarif preferensi atau tidak. Sebelum diberikannya tarif preferensi atas produk yang ada di dalam surat keterangan asal, administrasi pabean diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atau verifikasi atas surat keterangan asal tersebut, yang akan menghasilkan 3 (tiga) keputusan alternatif, yaitu : Ø Dianggap memenuhi seluruh persyaratan yang ada di dalam ROO, sehingga tarif preferensi diberikan. 58 Modul OCP Workshop Rules of Origin

66 Ø Diberikan penundaan pemberian tarif preferensi karena adanya keraguan atas validitas surat keterangan asal. Ø Diberikan penolakan tarif preferensi, dan wajib mengisi box 4 surat keterangan asal beserta penjelasan yang melatarbelakangi penolakan tersebut, untuk kemudian dikirimkan kepada issuing authority. Atas surat keterangan asal yang diragukan dan/atau kena pemeriksaan acak, dapat dimintakan retroactive check kepada issuing athority, dengan memberikan alasannya. Memenuhi permintaan retroactive check ini issuing authority melakukan verifikasi di negaranya. Dalam hal hasil retroactive check yang dikirimkan oleh issuing authority tidak masih menyisakan keraguan administrasi pabean yang mengirimkan permintaan retroactive check tersebut, maka prosedur berikutnya yang dapat ditempuh adalah pengajuan verification visit, yaitu kegiatan verifikasi yang dilakukan oleh negara pengimpor di negara penerbit surat keterangan asal. Pelaksanaan verification visit dilakukan oleh perwakilan dari administrasi pabean negara importir dengan didampingi oleh pihak-pihak terkait yang memiliki kompetensi yang memenuhi persyaratan guna mendukung pelaksanaan verification visit dimaksud. 1.4 Tes Formatif 2 Jawablah dengan memilih salah satu jawaban yang tepat! 1. Kapan diantaranya permintaan retroactive check akibat pemilihan secara acak (random) dilakukan? a. Pada saat diajukan bersama-sama dengan PIB b. Pada saat permintaan retroactive check baru dikirimkan. c. Pada saat kapan saja, sejak surat keterangan asal diajukan. d. Pada saat audit kepabeanan berlangsung Modul OCP Workshop Rules of Origin 59

67 2. Dalam hal penjelasan issuing authority dalam rangka retroactive check tidak memuaskan, maka langkah berikutnya adalah : a. Verification visit oleh penerbit surat keterangan asal ke perusahaan importir. b. Verification visit oleh pihak administrasi pabean negara eksportir ke perusahaan pengirim barang. c. Verification visit oleh administrasi pabean negara eksportir ke negara importir. d. Verification visit oleh administrasi pabean negara importir ke perusahaan pengekspor. 3. Permintaan retroactive check karena adanya keraguan petugas pabean atas validitas surat keterangan asal harus menjelaskan alasannya, dengan tujuan? a. Memudahkan issuing authority melakukan retroactive check. b. Memudahkan issuing authority untuk dalam melakukan komunikasi dengan issuing authority di negara importir. c. Memudahkan pihak eksportir memberikan jawaban yang dibutuhkan kepada administrasi pabean negara partner. d. Untuk kelengkapan administrasi saja. 4. Apabila jumlah di dalam PIB lebih banyak dari jumlah komoditi yang ada di dalam surat keterangan asal, maka jumlah yang dimungkinkan untuk mendapat tarif preferensi adalah : a. Yang tertera di dalam invoice, karena sejumlah itulah yang telah dibayar oleh importir kepada eksportir, sehingga layak mendapatkan tarif preferensi. b. sejumlah yang diajukan oleh importir ke kantor pabean, bersama-sama dengan pengajuan surat keterangan asal. c. Hanya selisih jumlah barang yang ada di PIB dengan surat keterangan asal. d. Hanya sejumlah barang yang tertera di dalam surat keterangan asal, mengingat hanya sejumlah itulah yang dilakukan pemeriksaan oleh issuing authority. 60 Modul OCP Workshop Rules of Origin

68 5. Pada saat petugas pabean melakukan penolakan untuk memberikan tarif preferensi atas komoditi yang dilindungi dengan surat keterangan asal yang diajukan oleh importir, maka langkah apakah yang harus dilakukan? a. Membuat surat pemberitahuan kepada importir bahwa surat keterangan asal yang diajukannya tidak dapat diterima. b. Mengisi box 4 dari surat keterangan asal yang diajukan, membuat penjelasan tentang alasan penolakan tersebut, kemudian mengirimkannya kepada issuing authority. c. Mengirimkan pemberitahuan kepada issuing authority agar membuat surat keterangan asal baru dengan beberapa perbaikan, kemudian mengirimkan kembali kepada importir. d. Surat keterangan asal yang ditolak, diisi box 4-nya lalu di-file. 1.5 Umpan Balik dan Tindak Lanjut Coba cocokkan hasil jawaban Anda dengan materi yang sudah ada pada pembahasan ini. Hitunglah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda terhadap materi pada kegiatan belajar ini. Perhatikan dan cocokan hasil jawaban Anda dengan kualifikasi hasil belajar yang telah terinci sebagaimana rumus berikut. TP = Jumlah Jawaban Yang Benar X 100% Jumlah keseluruhan Soal Apabila tingkat pemahaman (TP) dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai: 91 % s.d 100 % : Sangat Baik 81 % s.d. 90,99 % : Baik 71 % s.d. 80,99 % : Cukup 61 % s.d. 70,99 % : Kurang 0 % s.d. 60,99 % : Sangat Kurang Modul OCP Workshop Rules of Origin 61

69 Bila hasil perhitungan Anda telah mencapai 81 % atau lebih, maka Anda telah menguasai materi kegiatan belajar ini dengan baik. Untuk selanjutnya Anda dapat melanjutkan kegiatan belajar berikutnya. Jika belum mencapai angka 81%, kami menyarankan agar anda mengulang kembali materi kegiatan belajar ini. 62 Modul OCP Workshop Rules of Origin

70 KEGIATAN BELAJAR TIGA KETENTUAN LAIN-LAIN Indikator Keberhasilan : Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta diharapkan : 1) Dapat menjelaskan ketentuan khusus yang ada di dalam perjanjian pembentuk skema FTA perdagangan bebas; 2) Dapat menjelaskan perlakuan yang dianggap sejalan dengan perlakukan khusus tersebut. 3.1 Uraian dan Contoh Secara umum hal-hal terkait persyaratan untuk mendapatkan tarif preferensi telah tercakup di dalam pembahasan sebelumnya, yang meliputi tiga kriteria, yaitu : kriteria origin, kriteria pengiriman langsung, dan pemenuhan ketentuan prosedural. Namun demikian dalam OCP masing-masing perjanjian pembentuk skema FTA-TIG terdapat beberapa pengaturan atau prosedur yang dapat disebut sebagai fasilitas tambahan ataupun fleksibilitas yang dapat dijadikan alternatif oleh para pengusaha yang bermaksud memanfaatkan skema FTA-TIG dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini semakin mempertegas bahwa free trade atau perdagangan bebas memang diarahkan pada kebebasan pergerakan barang dalam perdagangan internasional, sehingga segala hal yang bersifat menghambat akan diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Barangkali inilah yang kemudian disebut era liberalisasi, dimana tarif sedapat mungkin diperkecil atau dihapus. Kemudian Modul OCP Workshop Rules of Origin 63

71 prosedur-prosedur disederhanakan dan lebih fleksibel mengikuti tuntutan dunia usaha. A. Pengajuan Surat Keterangan Asal Terkait saat pengajuan surat keterangan asal kepada administrasi pabean di negara importir, di atas telah disinggung bahwa sesuai asas presentasi, surat keterangan asal wajib diajukan bersamaan dengan PIB. Prosedur tersebut merupakan interpretasi Indonesia dan akan diterapkan demikian, sebagai konsistensi dalam penerapan skema FTA-TIG, sekaligus juga untuk kepastian hukum bagi para pengguna jasa. Berdasarkan informasi pada saat persidangan, ternyata terdapat beberapa negara yang menafsirkan berbeda dengan posisi Indonesia di atas, dimana pengajuan surat keterangan asal tidak harus selalu bersamaan dengan pengajuan PIB (import declaration), melainkan dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan masa berlaku dari surat keterangan asal, yaitu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitan. Artinya surat keterangan asal dapat diajukan setelah importir mengajukan PIB ke kantor pabean. Pengajuan surat keterangan asal yang dilakukan setelah periode waktu tersebut dapat dilakukan sepanjang adanya kejadian tertentu yang dianggap force majeur ataupun kejadian lain yang dianggap valid dan diluar kemampuan dari pihak eksportir. Persyaratan adanya kejadian tertentu memang dapat diterima. Akan tetapi apabila tanpa ada batasan waktu yang jelas, maka penulis menganggap bahwa apabila pemahaman tersebut diterapkan di Indonesia, maka terlalu terbuka dan sepertinya terlalu merepotkan bagi petugas pabean sekaligus juga sistem dan aplikasi yang telah dimiliki administrasi pabean saat ini. Lebih lanjut, penerapan seperti ini cenderung memiliki resiko penyalahgunaan surat keterangan asal, karena importir yang berniat tidak baik dapat memanfaatkan kelemahan/kelalaian dari petugas pabean. Secara sederhana dapat kita ilustrasikan sebagai berikut : Sebuah perusahaan di Jakarta mengimpor satu paket barang dari Malaysia tanpa dilindungi surat keterangan asal. Importir mengajukan PIB sebagaimana 64 Modul OCP Workshop Rules of Origin

72 prosedur yang diberlakukan untuk impor untuk dipakai dan tidak terdapat masalah. Satu bulan kemudian, importir yang sama mengajukan surat keterangan asal atas satu paket barang di atas, dengan menunjuk nomor invoice, dan B/L yang digunakan pada saat pengajuan PIB. Dengan pengajuan ini, secara tidak langsung importir mengajukan permohonan agar atas importasi terdahulunya diberikan tarif preferensi sekaligus juga mengajukan permohonan restitusi. Memperhatikan kasus di atas, maka muncul beberapa pertanyaan, yaitu : i. Bagaimana issuing authority dapat meyakini bahwa surat keterangan asal yang diterbitkannya ditujukan untuk barang yang telah lama diekspor, khususnya untuk penentuan kriteria origin? ii. Force majeur seperti apakah yang akan dijadikan alasan untuk keterlambatan pengajuan surat keterangan asal tersebut? iii. Apakah sistem aplikasi DJBC telah dapat mengadop kasus seperti itu? dimana petugas pabean harus mengeluarkan kembali data yang telah terekam sebelumnya, kemudian melakukan perubahan. padahal sangat jelas, bahwa sistem yang kita miliki adalah self assessment, yang pengisian dan pengajuan dokumen telah mandatory dilakukan secara elektronik. iv. Bagaimana petugas pabean dapat meyakini bahwa surat keterangan asal yang diajukan adalah asli? sekalipun hal ini dapat siasati dengan melakukan permintaan retroactive check kepada issuing authority, tetapi petugas pabean tidak dapat melakukan uji fisik barang karena barang telah diberikan ijin keluar jauh hari sebelumnya. v. Apakah prosedur restitusi DJBC dapat menerima permohonan pengembalian dengan hanya berbekal surat keterangan asal seperti itu? Jelas sekali bahwa apabila Indonesia memilih pemahaman seperti itu, sistem dan prosedur yang telah berjalan akan terganggu, sekaligus juga penyesuaian yang perlu dilakukan terlalu rumit dan memerlukan pengkajian cukup dalam. Modul OCP Workshop Rules of Origin 65

73 Sekalipun terdapat perbedaan pemahaman atau penafsiran atas artikel di dalam OCP, mengingat tidak adanya kejelasan dalam perjanjian pembentuk skema FTA-TIG nya, maka negara lainpun dapat menerima pemahaman Indonesia sebagaimana juga Indonesia dapat menerima penafsiran yang mereka kembangkan. 1. Pengecualian Penggunaan Surat keterangan asal Dalam skema FTA-TIG berbasis pemberian tarif preferensi atau tarif istimewa selain tarif umum, maka atas barang-barang yang ingin mendapatkan tarif preferensi sebagaimana disepakati dalam perjanjian pembentuknya, wajib memenuhi persyaratan ROO (ketentuan ke-asal-an), yang dibuktikan dengan surat keterangan asal yang diterbitkan oleh instansi pemerintah atau organisasi swasta yang diberikan kewenangan oleh pemerintahnya. Dalam rangka memfasilitasi pergerakan barang, serta mempertimbangkan sisi ekonomis dan kecepatan pengiriman, dalam perjanjian pembentuk skema FTA-TIG disepakati adanya pengecualian penggunaan surat keterangan asal atas produk yang diimpor tetapi tetap dapat diberikan tarif preferensi sebagaimana halnya barang-barang yang dilindungi dengan surat keterangan asal. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mekanisme seperti itu adalah dilihat dari nilai barang yang diimpor, yaitu tidak lebih dari FOB USD. 200,00, serta negara asal barang adalah anggota dari skema FTA-TIG yang ditanda tangani oleh Indonesia. Artinya apabila terdapat importasi yang nilai barangnya tidak lebih dari FOB USD. 200,00, dan berasal dari negara yang menjadi salah satu skema FTA-TIG dimana Indonesia juga turut menandatangani perjanjian pembentuknya, maka secara otomatis dapat dikenakan tarif preferensi. Untuk pembuktian negara asal, oleh karena tidak menggunakan surat keterangan asal, maka eksportir dapat membuat semacam pernyataan bahwa produk yang dikirimnya memenuhi ROO yang dipersyaratkan. 66 Modul OCP Workshop Rules of Origin

74 Selain barang dengan kondisi seperti di atas, untuk barang yang dikirim melalui kantor pos yang juga nilainya tidak melebihi USD FOB 200,00, disepakati untuk diberikan tarif preferensi. Namun demikian apabila barang tersebut tidak berasal dari negara anggota skema FTA-TIG yang ditanda tangani Indonesia, maka berlaku ketentuan impor umum. 2. Kesalahan pada Surat Keterangan Asal Tidak jarang terjadi bahwa dalam pembuatan surat keterangan asal terdapat kesalahan tertentu sehingga memungkinkan munculnya keraguan atas keabsahan dari surat keterangan asal tersebut. Dalam perjanjian pembentuk skema FTA diatur sedemikian rupa atas kemungkinan munculnya kesalahan-kesalahan tersebut, dan memilahnya berdasarkan penanganannya, yaitu : a. Perbaikan Penanganan dengan cara perbaikan atas kesalahan pada surat keterangan asal, ditujukan untuk kesalahan penulisan atau hal-hal lain yang dapat dilakukan koreksi langsung di dalam surat keterangan asal, misalnya : Ø pada box 3 yang berisi informasi tentang alat transportasi/proses pengangkutan, tertulis : Departure date : 12 October 2012 Ø Setelah diterbitkan, pihak issuing authority menyadari kesalahan tersebut yagn seharusnya bulan Desember. Oleh karena itu pihaknya dapat melakukan perbaikan dengan cara mencoret October dan kemudian menggantinya dengan December. December Departure date : 12 October 2012 Ø Perlu diperhatikan bahwa setelah melakukan pencoretan dan penggantian dengan penulisan yang benar, issuing authority harus memberikan tanda paraf dan stempel mini sesuai dengan yang ada di Modul OCP Workshop Rules of Origin 67

75 dalam daftar spesimen yang telah dibagikan kepada seluruh negara anggota. b. Penggantian Penanganan dengan cara penggantian tentunya lebih mudah dan surat keterangan asal terlihat lebih rapih dan teratur. Dalam OCP tidak diatur pada saat kapan sebuah surat keterangan asal dapat diganti dengan yang baru, kecuali untuk mekanisme Ceritified True Copy sebagaimana telah dibahas pada bab terdahulu. Issuing authority Indonesia termasuk yang jarang atau bahkan tidak pernah melakukan koreksi apabila terjadi kesalahan penulisan ataupun kesalahan lain yang dapat ditangani dengan cara perbaikan. Artinya, setiap terjadi kesalahan pada surat keterangan asal, Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal (IPSKA) yang tersebar di pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kotamadya, secara langsung menggantinya dengan yang baru. Apalagi sejak diberlakukannya sistem pengajuan dan penerbitan surat keterangan asal secara elektronik (e- SKA), pihaknya selalu mengganti dengan yang baru dalam hal terjadi kesalahan. Belajar dari prosedur yang diterapkan oleh IPSKA kita, maka Indonesia secara tidak langsung telah mengambil sikap bahwa dalam hal terjadi kesalahan, maka tidak akan dilakukan perbaikan melainkan langsung menggantinya dengan yang baru. Hal ini tentunya harus diantisipasi terkait dengan statistik penerbitan surat keterangan asal, sehingga tidak terjadi duplikasi perhitungan surat keterangan asal yang diterbitkan, karena akan menjadi patokan dalam menghitung utilisasi surat keterangan asal. 68 Modul OCP Workshop Rules of Origin

76 3. Third Country Invoicing Salah satu fleksibilitas lain dalam skema FTA adalah adanya kesepakatan keterlibatan pihak lain, selain dari importir dan produsen dari barang yang kita pesan. Tetapi keterlibatan ini tidak diijinkan dalam hal penerbitan surat keterangan asal, melainkan hanya sebatas invoice saja. Penerbitan invoice oleh pihak ketiga dapat terjadi dalam dua mekanisme, yaitu : a. Penerbitan invoice oleh perusahaan lain yang berada di negara anggota skema FTA-TIG, yang kemudian dalam perjanjian pembentuk skema FTA-TIG dikenal dengan istilah Third Party Invoicing (perlu dicatat bahwa penyebutan party dalam hal ini hanya untuk tujuan peyederhanaan dan memudahkan pemahaman, mengingat bahwa pada beberapa perjanjian pembentuk skema FTA-TIG, penyebutan party juga ditujukan untuk negara anggota). Ilustrasi dari third party invoicing adalah sebagai berikut : Company A di Beijing PT. Pangsaena di Indonesia Company B di Shanghai barang Pada ilustrasi di atas dapat dijelaskan alur transaksi dan pengiriman barang sebagai berikut : Modul OCP Workshop Rules of Origin 69

77 Ø PT. Pangsaena yang berlokasi di Indonesia melakukan transaksi dengan memesan sejumlah barang ke company A di Beijing, China. Transaksi berjalan mulus, dan company A segera menyiapkan invoice-nya. Ø Ternyata company A bukan merupakan produsen dari barang yang dipesan oleh PT. Pangsaena di Indonesia, melainkan hanya trader yang menjadi agen company B di Shanghai, China, yang sebenarnya merupakan pabrikan dari produk yang dipesan tadi. Oleh karena itu, atas pesanan dari PT. Pangsaena diteruskan kepada company B. Ø Atas pesanan tersebut company A memberikan pesan agar barang yang dipesan oleh PT. Pangsaena dilindungi dengan surat keterangan asal, agar dapat memperoleh tarif preferensi di Indonesia. Ø Company B menyetujui pesanan dari company A, dan segera menyiapkan invoice sebagai tagihan kepada company A di Beijing, China. Selanjutnya company B mengirim barang yang dipesan oleh company A, secara langsung kepada PT. Pangsaena di Indonesia. Ø Melihat transaksi di atas, maka kita dapat mengetahui adanya dua invoice, yaitu : 1) Invoice dari company A untuk PT. Pangsaena, dan 2) Invoice dari company B untuk company A (dalam satu negara). Ø Kedua invoice tersebut harus muncul di dalam surat keterangan asal yang diterbitkan oleh issuing authority atas permohonan company B. b. Penerbitan invoice oleh perusahaan lain yang berada di negara bukan anggota skema FTA-TIG, ataupun di negara yang kemudian dalam perjanjian pembentuk skema FTA-TIG dikenal dengan istilah Third Country Invoicing. Ilustrasi dari mekanisme third country invoicing adalah sebagai berikut : 70 Modul OCP Workshop Rules of Origin

78 B A Barang C Berdasarkan alur transaksi di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut : Ø Sebuah perusahaan A di Indonesia memesan barang kepada perusahaan B di Singapore, yang merupakan marketing dari sebuah produk yang berada di China. Ø Menindaklanjuti permintaan perusahaan A tersebut, perusahaan B memberitahukan kepada perusahaan C di China, agar dapat mengirimkan sejumlah pesanan dari perusahaan A, dengan pesan khusus agar barang yang dikirimnya nanti dilindungi dengan surat keterangan asal Form E. Ø Di sini kita dapat melihat sebenarnya perusahaan yang bertransaksi adalah perusahaan A di Indonesia dan perusahaan B di Singapore. Akan tetapi pengiriman barang dilakukan oleh perusahaan C di China. Ø Dalam transaksi tersebut dapat dipastikan akan ada dua invoice, yaitu invoice yang diterbitkan oleh perusahaan B di Singapore untuk penagihan kepada perusahaan A di Indonesia, dan invoice dari perusahaan C untuk penagihan kepada perusahaan B di Singapore. Modul OCP Workshop Rules of Origin 71

79 Pertanyaannya kemudian adalah, invoice manakah yang akan diajukan oleh importir kepada administrasi pabean di Indonesia, dalam hal ini DJBC? Apakah invoice dari perusahaan B kepada perusahaan A, atau invoice dari perusahaan C kepada perusahaan B. Menurut OCP dari perjanjian pembentuk skema FTA-TIG, dalam hal ditempuh mekanisme third country invoicing maupun third party invoicing, maka pihak administrasi pabean di negara importir harus terinformasikan dengan baik, dengan mencantumkannya di dalam surat keterangan asal yang mengiringi masuknya barang yang diimpor. Jika demikian, maka pengekspor dan issuing authority harus bertanggung untuk hal ini. Penerapan yang disepakati untuk mekanisme third country/party invoicing adalah : Ø Ø Ø Pada box 10 surat keterangan asal skema FTA-TIG dalam lingkup regional dituliskan invoice yang diterbitkan oleh pihak yang mengajukan permohonan surat keterangan asal. Untuk skema IJEPA, ditulis pada box 7. Dalam hal invoice yang diterbitkan oleh pihak yang melakukan transaksi dengan importir telah diketahui pada saat proses penerbitan surat keterangan asal, maka : 1) Untuk skema FTA-TIG dalam lingkup regional, nomor invoice dituliskan pada box 7 surat keterangan asal, sekaligus penjelasan bahwa transaksi tersebut merujuk pada invoice pihak ketiga, atau menggunakan mekanisme third country/party invoicing. 2) Untuk skema IJEPA, nomor invoice yang dikeluarkan pihak ketiga dituliskan pada box 8, disertai penjelasan bahwa transaksi tersebut menggunakan mekanisme third country/party invoicing. Dalam hal invoice yang diterbitkan oleh pihak ketiga belum diketahui oleh perusahaan yang mengajukan permohonan surat keterangan asal kepada issuing authority, maka penanganannya kurang lebih sebagai berikut : 1) Untuk skema FTA-TIG dalam lingkup regional, pada box 7 diberikan penjelasan bahwa transaksi tersebut menggunakan mekanisme third 72 Modul OCP Workshop Rules of Origin

80 country/party invoicing yang akan disampaikan kemudian. Adapun invoice yang diterbitkan oleh perusahaan yang mengajukan permohonan surat keterangan asal tetap ditulis pada box 10. 2) Untuk skema IJEPA, pada box 8 yang bertuliskan remarks diberikan penjelasan bahwa transaksi tersebut menggunakan mekanisme third country/party invoicing yang akan diberitahukan kemudian. Adapun invoice yang diterbitkan oleh perusahaan yang mengajukan permohonan surat keterangan asal tetap ditulis pada box Barang Pameran Pameran diyakini telah menjadi salah satu strategi bisnis yang banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, baik nasional maupun multinasional. Bahkan untuk setingkat Usaha Kecil Menengah (UKM) pun telah menjadi salah satu sarana untuk mengembangkan usahanya. Oleh karena itu dalam kerangka kerja sama internasional bidang perdagangan, termasuk dalam skema FTA-TIG, telah dipertimbangkan kemungkinan adanya dukungan terhadap kegiatan pameran ini. Sekalipun barang-barang pameran, selain tidak termasuk dalam kategori impor umum untuk dipakai, juga belum terjadi transaksi yang definitif antara eksportir dan importir, tetapi para ahli perdagangan bebas telah berupaya untuk memasukkan prosedur barang pameran eks impor dalam skema FTA- TIG ini. Hal ini dengan cara menciptakan perlakuan khusus atas barang tersebut seandainya selama periode pameran terjadi transaksi yang definitif dan pihak pembeli menginginkan agar atas barang yang dibelinya dapat memperoleh tarif preferensi. Hampir semua perjanjian pembentuk skema FTA memiliki ketentuan tentang barang pameran yang kemudian diimpor untuk dipakai, karena adanya kemungkinan transaksi selama periode pameran, antara pengunjung pameran dengan pihak yang memasukkan/importir barang untuk tujuan pameran tersebut. Untuk mengantisipasi kemungkinan ini, lagi-lagi OCP dari perjanjian pembentuk skema FTA-TIG tidak memberikan panduan yang jelas, apalagi Modul OCP Workshop Rules of Origin 73

81 lengkap. Prosedur yang kemudian dipergunakan adalah merupakan penafsiran dari masing-masing negara anggota terhadap artikel dalam OCP yang mengatur tentang impor tujuan pameran tersebut. Indonesia sampai saat ini belum memiliki prosedur yang khusus mengatur hal tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba memberikan penafsiran berdasarkan komunikasi informal dengan beberapa rekan dari negara ASEAN lain yang juga sebenarnya belum memiliki prosedur resmi, yaitu : Ø Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya transaksi selama pameran berlangsung, maka seluruh barang yang diimpor untuk tujuan pameran harus dilindungi dengan surat keterangan yang syah dan valid. Ø Sesuai asas presentasi, lembar origin surat keterangan asal tetap diajukan ke kantor pabean sebagai lampiran dari pemberitahuan pabean, sehingga pihak administrasi pabean mengetahui bahwa atas barangbarang yang dimasukkan untuk tujuan pameran tersebut dilindungi dengan surat keterangan asal. Ø Proses verifikasi surat keterangan asal tetap dilakukan, meliputi : kriteria origin, kriteria pengiriman langsung, dan kriteria prosedural. Selanjutnya dalam hal dianggap valid, maka petugas pabean menyimpannya bersama-sama dengan pemberitahuan pabeannya. Ø Dalam hal selama pameran terjadi transaksi, maka importir (pihak yang memasukkan barang dari luar negeri) memberitahukan hal tersebut kepada kantor pabean yang mengawasi. Ø Petugas pabean melakukan pemeriksaan dan memberikan persetujuan untuk menggunakan tarif preferensi dalam transaksi tersebut. 5. De Minimis Pada modul dua, kita telah membahas tentang kriteria origin yang dipergunakan dalam skema FTA-TIG yang ditanda tangani Indonesia, yaitu : 1) Wholly Obtained/Produced yang pengkodeannya ditulis A / X / WO ; 2) Produced Exclusively, ditulis PE ; 74 Modul OCP Workshop Rules of Origin

82 3) Regional Value Content ditulis RVC untuk kerja sama lingkup regional atau QVC untuk skema IJEPA; 4) Change in Tariff Classification (CTC) yang terdiri dari Change in Chapter (ditulis CC ), Change in Tariff Heading (ditulis CTH ), dan Change in Tariff Sub Heading (ditulis CTSH ); 5) Product Specific Rules atau PSR, ang merupakan kekhususan dari kriteria origin, dalam bentuk daftar kriteria origin yang secara khusus hanya digunakan atas kode HS dalam daftar tersebut. 6) Rule 6, yaitu satu-satunya kriteria yang ada di dalam skema ASEAN- Korea FTA, yang ditujukan untuk mengakomodir hasil produksi suatu wilayah di luar negara anggota, tetapi menggunakan bahan baku yang berasal dari negara anggota. Contoh : Ø Dalam skema ASEAN-Korea FTA, negara yang terlibat atau yang disebut dengara anggota adalah 10 negara ASEAN ditambah Korea, sehingga totalnya adalah 11 negara. Ø Dengan Rule 6, apabila Indonesia mengirimkan bahan baku origin Indonesia ke wilayah diluar 11 negara di atas untuk tujuan produksi, maka atas barang jadinya dapat dianggap sebagai produk Indonesia dan berhak mendapatkan tarif preferensi dengan kriteria origin Rule 6. Selain dari kriteria origin di atas, sebenarnya terdapat kriteria lain yang dapat digunakan oleh eksportir terkait dengan keinginannya untuk mendapatkan tarif preferensi walaupun tidak dapat berdiri sendiri, yaitu de minimis. De minimis dapat digunakan dalam kriteria perubahan tarif (change in tariff classification). Sebagaimana diketahui bahwa kriteria origin CTC ditujukan untuk perubahan dari non origin material atau material yang tidak berasal dari negara-negara anggota untuk diproses sehingga terjadi perubahan substansi (substantial transformation) menjadi produk lain yang memiliki kode HS atau klasifikasi barang berbeda dengan material pembentuknya. Namun demikian, dalam proses tersebut ternyata tidak seluruh bahan baku Modul OCP Workshop Rules of Origin 75

83 mengalami perubahan, melainkan oleh karena satu dan lain hal tetap baik bentuk maupun kode HS-nya (klasifikasi barang tidak berubah). Mempertimbangkan kondisi tersebut, perjanjian pembentuk skema FTA-TIG mengisaratkan fleksibilitas lainnya, dimana kondisi tersebut dapat diterima dan atas barang jadinya tetap masih memungkinkan untuk mendapatkan tarif preferensi sepanjang persyaratan lain dipenuhi dan material yang tidak berubah tersebut tidak lebih dari 10% dari seluruh barang jadinya, baik nilai maupun volumenya. Contoh : Ø Company A di Malaysia mengimpor beberapa jenis bahan baku dari Jerman, China, dan Jepang. Ø Setelah selesai diproses, seluruh bahan baku mengalami perubahan substansi sehingga terjadi perubahan klasifikasi barang (kode HS). Company A melakukan kalkulasi untuk harga dari produk barang jadinya, dan diperoleh nilai FOB USD ,00. Ø Tidak berapa lama, company B di Indonesia mengirimkan pesanan atas barang tersebut, dan terjadilah transaksi antar keduanya. Atas pesanan tersebut pihak company B meminta agar atas pengiriman barang pesanannya nanti dilindungi dengan surat keterangan asal, Form D. Ø Company A menyanggupi pesanan dari company B, dan pihaknya telah mempersiapkan untuk menggunakan kriteria origini change in tariff heading (CTH). Akan tetapi berdasarkan analisa ulang, diketahui bahwa di dalam produk barang jadi yang diproduksinya terdapat bahan baku yang tidak mengalami perubahan substansi sehingga tidak terjadi perubahan kode HS, senilai FOB USD. 5,00. Ø Berdasarkan ketentuan de minimis, dalam kriteria origin CTH, apabila terdapat material yang tidak mengalami perubahan substansi tetapi nilainya tidak lebih dari 10% nilai keseluruhan barang jadinya, maka masih dimungkinkan untuk mendapat tarif preferensi sepanjang ketentuan lain dipenuhi. Apabila kita bandingkan nilai material yang tidak mengalami perubahan substansi tersebut, yaitu USD 5,00, dan nilai barang jadi 76 Modul OCP Workshop Rules of Origin

84 adalah USD 1.000,00, maka diketahui bahwa nilai material tersebut adalah 5% dari total nilai barang jadi, atau kurang dari 10%. Ø Memperhatikan kalkulasi tersebut, mengingat persentase bahan baku yang tidak mengalami perubahan substansi tersebut masih kurang dari 10%, maka atas barang jadi yang dipesan oleh company B di Indonesia masih berhak mendapatkan tarif preferensi. 6. Partial Cummulation Pada box 13 surat keterangan asal yang digunakan dalam skema ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement) terdapat satu kriteria yang disebut partial cummulation, yaitu barang-barang hasil proses produksi satu negara ASEAN yang diekspor ke negara ASEAN lainnya untuk dapat digabungkan dalam proses produksi negara tersebut untuk kemudian nantinya dapat memperoleh tarif preferensi. Adakalanya barang yang diekspor oleh satu negara adalah merupakan hasil produksi negara tersebut, tidak dalam bentuk bahan baku yang merupakan produk asli negara tersebut, melainkan produk barang jadi yang dibentuk melalui proses produksi dengan bahan baku dari berbagai negara (termasuk kemungkinan menggunakan bahan baku yang bukan dari berasal dari negara anggota skema FTA). Produk barang jadi di negara tersebut, bisa jadi merupakan bahan baku untuk digunakan dalam proses produksi barang lainnya di negara yang lain. Dalam rangka memfasilitasi adanya kondisi barang setengah jadi yang diproduksi oleh negara anggota dengan menggunakan campuran bahan baku dari negara bukan anggota (bahan baku non origin) seperti ini maka kemudian dibuat kesepakatan untuk dapat mengakomodirnya. Lebih jelas gambaran tentang partial cummulation sebagaimana dimaksud dalam ATIGA adalah sebagai berikut : Ø Company A di Indonesia memproduksi barang B-1, dengan menggunakan bahan baku : Modul OCP Workshop Rules of Origin 77

85 ü B-1a yang diimpor dari jepang (nilai tambah 20%) ü B-1b yang diimpor dari China (nilai tambah 30%) ü B-1c yang diimpor dari Australia (nilai tambah 25%) ü B-1d eks lokal (nilai tambah 25%) Ø Company B di Malaysia memproduksi barang B, dengan menggunakan bahan baku sebagai berikut : ü B-1 diimpor dari Indonesia (25%) ü B-2 diimpor dari China (25%) ü B-3 diimpor dari Yunani (30%) ü B-4 dibeli dari lokal Malaysia (20%) Ø Agar produk B dapat memperoleh tarif preferensi pada saat mengekspornya kemudian dengan menggunakan skema ATIGA (Form D), maka kriteria origin yang dapat digunakan adalah Regional Value Content (RVC), karena adanya campuran lokal dan eks impor non origin (diimpor dari negara bukan anggota skema FTA-TIG). Ø Apabila kita melihat komposisi produk B, maka origin material yang terkumpul adalah bersumber dari komponen B-1 dari Indonesia yang menyumbang 25% dari nilai FOB barang jadinya, kemudian komponen B-4 dari lokal Malaysia sendiri yang menyumbang 20%, sehingga totalnya adalah 45% (diatas 40% sebagaimana dipersyaratkan dalam perjanjian pembentuk sekema FTA-TIG. Ø Namun demikian hendaknya diperhatikan bahwa sumbangan dari Indonesia bukan dalam bentuk bahan baku yang murni dihasilkan oleh Indonesia, melainkan komponen B-1 yang diproduksi dengan menggunakan bahan baku campuran origin material dan non origin material yang diimpor dari negara bukan anggota ATIGA, yaitu : Jepang, China, dan Australia. Ø Menyikapi hal ini, berdasarkan ketentuan partial cummulation, atas komponen B-1 masih dimungkinkan untuk dapat diterima sebagai salah satu komponen (bahan baku/ origin material) dari produk B, apabila 78 Modul OCP Workshop Rules of Origin

86 memenuhi kriteria origin partial cummulation, yaitu nilai yang dikumpulkan dari regional mencapai sedikitnya 20% (RVC minimal 20%), tetapi kurang dari 40%, yang dinyatakan dalam surat keterangan asal. Dalam kasus ini, oleh karena nilai origin material yang disumbangkan oleh lokal Indonesia adalah 25%, maka atas komponen B-1 memenuhi syarat partial cummulation. Selanjutnya di dalam surat keterangan asal Form D ditulis PC 25%. Ø Sekalipun menggunakan surat keterangan asal, tetapi pada saat tiba di Malaysia, atas barang tersebut tidak dapat memperoleh tarif preferensi. Pemberian tarif preferensi akan diberikan kepada produk B buatan Malaysia pada saat diekspor ke negara ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. 3.2 Latihan 3 1. Salah satu syarat agar barang untuk tujuan pameran dapat memperoleh tarif preferensi pada saat terjadinya transaksi antara pembeli dengan pihak yang memasukkan barang adalah : a. Barang yang dimasukkan untuk tujuan pameran harus telah dilindungi dengan surat keterangan asal yang syah dan valid. b. Pada saat terjadinya transaksi, pihak yang memasukkan barang untuk tujuan pameran meminta issuing authority di Indonesia untuk menerbitkan surat keterangan asal berdasarkan dokumen impor. c. Pihak pabean cukup melakukan verifikasi di tempat, guna memastikan apakah barang yang diperjualbelkan memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif preferensi. d. Barang dikirim kembali ke negara asal untuk disertifikasi oleh issuing authority di sana. 2. Dalam mekanisme third country/party invoicing, adakalanya perusahaan yang mengajukan permohonan surat keterangan asal belum menerima invoice dari pihak ketiga yang bertransaksi dengan importir. Atas kondisi ini maka bagaimanakah surat keterangan asal diterbitkan? Modul OCP Workshop Rules of Origin 79

87 a. Dalam skema FTA-TIG lingkup regional, box 10 diisi dengan penjelasan bahwa invoice akan diterbitkan menyusul oleh pihak ketiga yang bertransaksi dengan importir. b. Dalam skema IJEPA, eksportir tidak terlebih dahulu mengajukan permohonan surat keterangan asal, sampai dengan diterimanya invoice dari pihak ketiga. c. Petugas pabean membantu mengisi box 7 dari surat keterangan asal dalam skema FTA-TIG lingkup regional, setelah diterimanya invoice dari importir. d. Perusahaan yang mengajukan permohonan surat keterangan asal mengisi box 10 dengan nomor dan tanggal invoice yang diterbitkannya, kemudian pada box 7 dijelaskan bahwa transaksi tersebut menggunakan mekanisme third country/party invocing, dan menyebutkan perusahaan yang akan menerbitkan invoice tersebut. 3. Adakalanya eksportir dalam mengisi dokumen surat keterangan asal terjadi kesalahan pengisian data/informasi pada box tertentu. Apabila hal ini diketahui pada proses penerbitan, maka issuing authority dapat melakukan hal sebagai berikut : a. Menghapus informasi/data yang salah pada surat keterangan asal, kemudian menulis ulang dengan informasi/data yang benar. b. Mencoret informasi/data yang salah, kemudian membuat penjelasan dalam kertas terpisah, sehingga memudahkan penerimaannya oleh administrasi pabean di negara importir. c. Mengganti surat keterangan asal yang salah dengan surat keterangan asal yang baru, sehingga tidak terdapat coretan apapun. d. Membiarkan kesalahan informasi/data tersebut, karena pihak administrasi pabean akan menemukan informasi/data yang benar pada saat melakukan verifikasi di negaranya. 4. Dalam menafsirkan asas presentasi, posisi yang diambil Indonesia terkait pengajuan surat keterangan asal setelah PIB diajukan ke kantor pabean adalah sebagai berikut : 80 Modul OCP Workshop Rules of Origin

88 a. Petugas pabean akan menolaknya, karena surat keterangan asal harus diserahkan bersama-sama dengan pemberitahuan pabean, sebagai bentuk kepastian hukum bagi para pengguna jasa. b. Petugas pabean akan menerimanya tetapi atas barang yang diimpornya tidak diberikan tarif preferensi, melainkan tarif normal (MFN), sebagaimana prosedur impor pada umumnya. c. Petugas pabean akan menerimanya, dan menggabungkannya dengan pemberitahuan pabean terkait, guna proses pemberian tarif preferensi sebagaimana ketentuan yang berlaku. d. Petugas pabean akan menolaknya, kemudian mengembalikan surat keterangan asal yang diterimanya kepada importir untuk dapat dipergunakan pada impor berikutnya. 5. Dalam skema IJEPA, penanganan third contry/party invoicing adalah sebagai berikut : a. Nomor dan tanggal invoice yang diterbitkan oleh eksportir dan pihak ketiga dituliskan pada box 8, dengan penjelasan secukupnya, sehingga petugas pabean dapat mengetahui bahwa atas barang yang diimpor menggunakan mekanisme third country/party invoicing. b. Nomor dan tanggal invoice yang diterbitkan oleh eksportir dan pihak ketiga ditulis pada box 7, kemudian pada box 8 diberikan penjelasan bahwa atas transaksi tersebut menggunakan mekanisme third country/party invoicing. c. Nomor dan tanggal invoice dari pihak ketiga dituliskan di box 10, kemudian penjelasan tentang mekanisme third country/party invoicing ditulis pada box 7, bersama-sama dengan informasi/data tentang barang yang diimpor. d. Dalam hal invoice dari pihak ketiga belum diterima sampai dengan keberangkatan, maka mekanisme third country/party invoicing dapat dibatalkan. 6. Misalnya anda adalah seorang Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen di KPPBC Tanjung Priok, dan menerima surat keterangan asal dari seorang importir yang mengimpor beberapa produk dari Thailand. Berdasarkan penelitian dokumen yang anda lakukan, kedapatan bahwa pada box 8 diberitahukan kriteria origin-nya adalah PC 38%. Pada kolom 19 PIB tertulis Modul OCP Workshop Rules of Origin 81

89 kode 06 dan nomor referensi dari surat keterangan dimaksud, sehingga tarif yang ditulis adalah berdasarkan tarif preferensi dalam rangka skema ATIGA. Atas pengajuan PIB yang dilampiri surat keterangan asal tersebut, maka langkah tepat yang harus diambil PFPD tersebut adalah : a. Oleh karena persyaratan yang harus dilampirkan serta data yang diberitahukan telah sesuai, maka diputuskan untuk memberikan tarif prereferensi. b. Menyiapkan surat permintaan retroactive check yang akan diikirimkan kepada issuing authority, untuk memastikan kriteria origin tersebut. c. Menerima permintaan importir untuk mendapatkan tarif preferensi, sesuai dengan besaran yang ada di dalam peraturan menteri keuangan. d. Menolak permintaan tarif preferensi, mengingat kriteria origin PC (partial cummulation) tidak untuk mendapatkan tarif preferensi, melainkan hanya sebagai pernyataan jumlah kandungan origin material yang berasal dari regional, sehingga dapat diakumulasikan dalam proses pembuatan barang jadi di negara importir. 7. Melanjutkan pertanyaan nomor 6, apabila ternyata di dalam surat keterangan asal Form D box 13-nya diberikan contreng third country invoicing, maka tindakan yang harus dilakukan anda adalah : a. Partial cummulation tidak berlaku untuk third country invocing, sehingga atas Form D yang diajukan langsung ditolak. b. Third country invoicing tidak mempengaruhi penggunaan kriteria origin, sehingga atas penggunaannya dalam mekanisme partial cummulation tetap diperbolehkan. c. Jumlah kandungan lokal/regional di dalam barang yang diekspor masih dibawah 40%, sehingga tidak layak menggunakan mekanisme third contry invoicing. Oleh karena itu Form D ditolak dan dikembalikan kepada issuing authority. d. Atas Form D tersebut dimintakan retroactive check kepada issuing authority tentang validitas penggunaan mekanisme third country invoicing. 82 Modul OCP Workshop Rules of Origin

90 1.3 Rangkuman Program liberalisasi telah melanda dunia dan sepertinya seluruh negara harus memberikan concern yang memadai terhadap skema perdagangan bebas ini. Skema FTA-TIG yang dibangun sepertinya benar-benar diarahkan kepada suatu kondisi dimana segala sesuatu yang dianggap sebagai hambatan dalam pergerakan barang dari satu negara ke negara lainnya sedapat mungkin dikurangi dan/atau dihilangkan. Setiap perjanjian pembentuk skema FTA-TIG selalu menyediakan ruang dimana setiap kesalahan selalu dapat diperbaiki, sehingga tarif preferensi dapat diberikan. Selain itu juga terdapat fleksibilitas yang disediakan, sehingga para pengguna jasa selalu dapat memiliki alternatif dalam menyelesaikan masalah yang muncul, sekalipun pengaturan di dalam perjanjian pembentuk skema FTA- TIG tidak secara rinci menjelaskan fleksibilitas tersebut. Beberapa fleksibilitas yang diatur tetapi tidak secara detil adalah : 1) Penafsiran atas pengajuan surat keterangan asal ternyata tidak sama antar negara anggota skema FTA-TIG. Dalam hal ini Indonesia mengambil sikap bahwa surat keterangan harus diajukan bersamaan dengan pemberitahuan pabean, baik pada saat masuk untuk dipakai maupun pemasukan ke gudang berikat. Penafsiran seperti di atas didasari oleh kesepakatan dalam perjanjian pembentuk skema FTA-TIG, terkait asas presentasi yang mewajibkan surat keterangan asal diajukan sebagai dokumen pendukung dari import declaration. Hal lain yang juga mendasari penetapan posisi tersebut adalah untuk kepastian hukum bagi para pengguna jasa dalam memanfaatkan surat keterangan asal. Perbedaan penafsiran ini dapat diterima oleh negara anggota lainnya, yang dapat menerima surat keterangan asal setelah pengajuan pemberitahuan pabean kepada admisitrasi pabeannya. Penulis menilai bahwa dapat diterimanya surat keterangan asal setelah pengajuan pemberitahuan pabean kepada adminsitrasi pabean merupakan inkonsistensi terhadap substansi dari perjanjian pembentuk skema FTA-TIG. Namun demikian, oleh karena permasalahan ini terkait dengan penafsiran, tentunya setiap negara anggota Modul OCP Workshop Rules of Origin 83

91 dapat menerapkannya sepanjang tidak memaksakan kehendaknya terhadap negara anggota lainnya. 2) Surat keterangan asal diajukan kepada administrasi pabean bersama-sama dengan pemberitahuan pabean (PIB). Hal tersebut merupakan penafsiran dari apa yang disebut dengan istilah asas presentasi, sehingga terdapat kepastian hukum dan konsistensi dari negara anggota dalam menerapkan hal tersebut. Adanya negara lain yang menerapkan kebijakan yang berbeda, dimana surat keterangan asal dapat diajukan setelah pengajuan PIB, tentunya harus dihargai walaupun tidak terdapat penjelasan yang memadai dari negaranegara yang menerapkan prosedur tersebut. 3) Bagaimanapun sempurnanya sebuah sistem penerbitan surat keterangan asal, dalam beberapa hal ada saja terjadi kesalahan tidak disengaja baik oleh eksportir maupun issuing authority. Kesalahan yang dimaksud disini lebih pada ketidakbenaran pengisian dokumen surat keterangan asal, yang diketahui sebelum surat keterangan asal dikirimkan kepada importir. Artinya surat keterangan asal yang diajukan oleh eksportir masih berada di issuing authority atau sudah diberikan persetujuan oleh issuing authority, tetapi masih berada di tangan eksportir. Untuk menangani permasalahan seperti itu, issuing authority dapat melakukan dua hal, yaitu : a) Melakukan perbaikan dengan cara mencoret informasi yang salah, kemudian menggantinya dengan yang benar, dengan diberikan paraf dan stempel kecil, sesuai daftar spesimen dari kedua tools tersebut. b) Mengganti surat keterangan asal yang memiliki informasi yang salah tersebut dengan surat keterangan asal yang baru, sehingga diharapkan lebih bisa memberkan kepastian serta memudahkan penelitian oleh administrasi pabean di negara importir nantinya. 4) Idealnya sebuah transaksi perdagangan internasional adalah antara satu eksportir dengan satu importir. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan sistem perdagangan internasional, dalam rangka perdagangan 84 Modul OCP Workshop Rules of Origin

92 bebas, telah disepakati adanya keterlibatan pihak ketiga untuk penerbitan invoice. Pihak ketiga yang dimaksud adalah perusahaan yang bertransaksi dengan importir secara langsung. Hal ini biasanya perusahaan tersebut bertindak sebagai komisioner atau agen/distributor/trader. Meknisme seperti ini dalam skema FTA-TIG disebut sebagai third country invoicing, apabila pihak ketiga yang menerbitkan invoice berada di negara yang berbeda dengan penerbit surat keterangan asal, atau dalam beberapa perjanjian pembentuk skema FTA-TIG disebut juga sebagai third party invoicing, apabila perusahaan ketiga yang menerbitkan invoice berada di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya invoice. Sekalipun terdapat mekanisme third country/party invoicing, akan tetapi kriteria direct consignment atau pengiriman langsung tetap berlaku, yaitu barang harus berangkat dari negara dimana surat keterangan asal diterbitkan. 5) Surat keterangan asal dapat juga dipergunakan untuk impor barang tujuan pameran, sehingga apabila terjadi transaksi selama periode pameran berlangsung antara pengunjung dan pihak yang memamerkan dan/atau memasukkan barang-barang yang dipamerkan tersebut, dapat memperoleh tarif preferensi. Dengan demikian maka pembeli tersebut dimungkinkan untuk mendapatkan harga lebih murah dengan tidak adanya unsur bea masuk serta pengurangan pajak karena penghilangan unsur bea masuk. Untuk mendapatkan tarif preferensi pada saat terjadi terjadi transaksi selama pameran berlangsung, maka barang yang diimpor harus telah dilindungi dengan surat keterangan asal dari negara eksportirnya, sehingga administrasi pabean negara importir telah mengetahui sejak awal bahwa atas barang yang diimpor untuk tujuan pameran tersebut telah tercatat dan memenuhi asas presentasi, karena diajukan bersama-sama dengan permberitahuan pabean tujuan pameran. 6) Guna mendukung terbentuknya kriteria origin Regional Value Content (RVC) dari suatu komoditi yang diproduksi di satu negara anggota skema FTA-TIG, Modul OCP Workshop Rules of Origin 85

93 maka negara tersebut dapat mengimpor barang dari negara anggota lainnya untuk diolah menjadi komoditi dimaksud. Barang yang dapat diekspor dari suatu negara dapat berbentuk bahan baku yang menjadi produk unggulan negara pengekspor tersebut, atau dapat juga dalam bentuk produk hasil manufacturing (nantinya akan berfungsi sebagai barang setengah jadi) negara pengekspor yang menggunakan bahan baku dari berbagai negara lain, baik negara anggota skema FTA-TIG maupun bukan. Mempertimbangkan kondisi tersebut, dalam rangka mengakomodir bahan baku eks negara pengekspor, maka disepakati penggunaan kriteria origin Partial Cummulation, dimana apabila barang setengah jadi tersebut memiliki kandungan lokal dan/atau regional lebih dari 20% dan kurang dari 40%, maka berhak menggunakan surat keterangan asal, tetapi tidak memperoleh tarif preferensi. 3.3 Tes Formatif 3 1. Sebagai seorang PFPD di KPPBC Soekarno-Hatta, anda menerima pengajuan Pemberitahuan Pabean untuk impor barang tujuan pameran (exhibition). Importir memberitahukan kepada PFPD tersebut bahwa apabila pada saat pameran nanti terdapat barang impor yang dibeli oleh pengunjung, maka pihak eksportir telah menyanggupi akan mengirimkan surat keterangan asal atas barang tersebut. Menanggapi pemberitahuan dari importir tersebut, maka tindakan yang harus dilakukan oleh PFPD adalah : a. Memberikan catatan pada Pemberitahuan Pabean yang diterimanya, yang pada intinya untuk mengingatkan tentang rencana penggunaan surat keterangan asal atas barang yang dibeli oleh pengungjung pameran. b. Menyimpan sementara dokumen Pemberitahuan Pabean tersebut pada arsip khusus, untuk diproses setelah adanya transaksi antara pihak yang memasukkan barang dengan pengunjung yang membeli barang. c. Memberitahukan kepada importir bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan adanya transaksi selama pameran, maka sesuai OCP dari 86 Modul OCP Workshop Rules of Origin

94 perjanjian pembentuk skema FTA-TIG, pada saat importasinya harus telah dilampiri dengan surat keterangan asal. d. Meminta importir untuk mengurus surat keterangan asal-nya segera, sementara barang diproses secara normal sebagaimana prosedur untuk impor tujuan pameran. 2. Seorang importir di Indonesia berencana mengimpor satu produk elektronik buatan China, melalui marketing-nya di Singapore. Atas transaksi ini pihak importir meminta agar atas barang yang akan diimpornya dapat dilindungi dengan surat keterangan asal, dan kemudian disepakati oleh pihak perusahaan Singapore. Berdasarkan OCP, maka mekanisme yang dapat ditempuh adalah : a. Third country invicing. b. Back-to-back ceritificate of origin. c. True certified certificate of origin. d. Issued retroactively. 3. Untuk surat keterangan asal Form E yang digunakan untuk melindungi impor barang dengan menggunakan mekanisme third country invoicing dalam rangka skema ASEAN-China FTA-TIG, maka sebagaimana diatur dalam OCP, perlakuan dalam surat keterangan asal-nya adalah sebagai berikut : a. Box 10 hanya diisi dengan nomor dan tanggal invoice yang diterbitkan oleh lawan transaksi importir, karena importir tidak melakukan transaksi dengan perusahaan di negara penerbit surat keterangan asal. b. Box 10 dalam surat keterangan asal harus diisi dengan dua nomor dan tanggal invoice, yang diterbitkan oleh pabrikan di negara tempat penerbitan surat keterangan asal dan yang diterbitkan oleh lawan transaksi importir. Informasi tentang third country invoicing tidak perlu dicantumkan. c. Box 10 tidak perlu diisi dengan nomor dan tanggal invoice manapun, karena keduanya akan dilampirkan dan dijadikan sebagai sebagai dokumen pendukung pemberitahuan pabean ketika diajukan kepada petugas pabean di kantor pelayanan dan pengawasan. Modul OCP Workshop Rules of Origin 87

95 d. Box 10 harus diisi dengan nomor dan tanggal invoice yang diterbitkan oleh perusahaan di tempat penerbitan surat keterangan asal dan juga yang diterbitkan oleh lawan transaksi importir. Setelah itu penjelasan tentang third country invoicing dan lawan transaksinya ditulis di box Dalam sebuah surat keterangan asal yang diajukan importir melalui KPU Tanjung Priok kedapatan bahwa pada box 7 terdapat sebagian dari uraian barang yang dicoret, kemudian di atasnya terdapat uraian pengganti dari yang dicoret tersebut. Tindakan anda sebagai pejabat yang melakukan pemeriksaan dokumen adalah : a. Memastikan bahwa coretan tersebut menggunakan tinta yang sama dengan warna tinta yang dicoret, serta ditanda tangani dengan jelas. b. Memastikan bahwa atas coretan tersebut telah diberikan paraf dan stempel oleh pejabat yang berwenang, sebagaimana tersebut dalam daftar spesimen dari negara penerbit surat keterangan asal tersebut. c. Menerima surat keterangan asal tanpa perlu melakukan pemeriksaan, sepanjang seluruh box telah diisi lengkap, serta box 12 telah ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang sebagaimana daftar spesimen yang telah dibagikan. d. Mengembalikan surat keterangan asal yang diterimanya kepada importir, dan meminta untuk mengganti dengan yang baru dengan tanpa coretan apapun. 5. Seorang pejabat pemeriksa dokumen di KPPBC Tanjung Perak mendapat pengajuan PIB dengan dilampiri surat keterangan asal Form D dari Malaysia. Pada box 8 surat keterangan asal tertulis tertulis PC 30%, yang artinya? a. Nilai 30% sama dengan nilai Regional Value Content atau RVC, sehingga atas impor barang tersebut dapat diberikan tarif preferensi dalam skema ATIGA. 88 Modul OCP Workshop Rules of Origin

96 b. Kriteria origin dari barang yang diimpor adalah partial cummulation 30%, dan tidak berhak mendapatkan tarif preferensi. c. Angka 30% menunjukkan bahwa sejumlah itulah bahan baku yang digunakan oleh perusahaan di Malaysia untuk membuat barang tersebut, yang berasal dari negara-negara bukan anggota skema FTA-TIG. d. Angka 30% menunjukkan bahwa hanya sejumlah itulah bahan baku yang bersumber dari Malaysia untuk pembuatan barang tersebut. 3.5 Umpan Balik dan Tindak Lanjut Coba cocokkan hasil jawaban Anda dengan materi yang sudah ada pada pembahasan ini. Hitunglah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus untuk mengetahui tingkat pemahaman Anda terhadap materi pada kegiatan belajar ini. Perhatikan dan cocokan hasil jawaban Anda dengan kualifikasi hasil belajar yang telah terinci sebagaimana rumus berikut. TP = Jumlah Jawaban Yang Benar X 100% Jumlah keseluruhan Soal Apabila tingkat pemahaman (TP) dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai: 91 % s.d 100 % : Sangat Baik 81 % s.d. 90,99 % : Baik 71 % s.d. 80,99 % : Cukup 61 % s.d. 70,99 % : Kurang 0 % s.d. 60,99 % : Sangat Kurang Bila hasil perhitungan Anda telah mencapai 81 % atau lebih, maka Anda telah menguasai materi kegiatan belajar ini dengan baik. Untuk selanjutnya Anda dapat melanjutkan kegiatan belajar berikutnya. Jika belum mencapai angka 81%, kami menyarankan agar anda mengulang kembali materi kegiatan belajar ini. Modul OCP Workshop Rules of Origin 89

97 PENUTUP Saudara para peserta workshop Free Trade Area-Trade in Goods, Saudara telah mempelajari seluruh kegiatan belajar yang meliputi KB-1 sampai dengan KB-3 dengan materi penerbitan certifiate of origin atau surat keterangan asal, penerimaan certificate of origin atau dikenal juga dengan verifikasi surat keterangan asal oleh administrasi pabean di negara importir, dan hal-hal khusus yang dalam implementasi skema FTA-TIG, yang seluruhnya difokuskan pada tujuan untuk mendapatkan tarif preferensi. Modul ini merupakan gambaran dari tata cara penanganan surat keterangan asal, mulai dari penerbitan surat keterangan asal oleh issuing authority di negara asal barang atau negara pengekspor, pemeriksaan oleh petugas pabean di negara importir untuk menentukan apakah atas produk yang diimpor berhak memperoleh tarif preferensi atau tidak, serta beberapa ketentuan/prosedur khusus berupa fleksibilitas sebagaimana diatur dalam OCP. Modul ini juga merupakan modul penutup dari tiga modul dalam rangka workshop ROO, dan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pembelajaran satu sama lain, sehingga untuk memahaminya harus memiliki bekal yang cukup terkait pemahaman kedua modul sebelumnya. Sebelum Saudara menyudahi mata pelajaran ini disarankan Saudara mengerjakan test sumatif sebagaimana dibawah ini. Selanjutnya dengan selesainya pembelajaran modul ini diharapkan Saudara telah benar-benar memahami seluruh materi terkait pemahaman ROO, yang akan menjadi bekal Saudara dalam menangani impor menggunakan skema FTA-TIG, dimanapun Saudara ditempatkan. 90 Modul OCP Workshop Rules of Origin

98 Diharapkan pemahaman yang telah Saudara peroleh pada workshop ini dapat bermanfaat, tidak saja bagi Saudara sendiri, melainkan juga seluruh pegawai bea dan cukai yang berada di kantor Saudara, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk dijadikan bahan sosialisasi kepada masyarakat luas yang berminat mempelajari peran DJBC dalam skema FTA-TIG atau bahkan ingin memanfaatkan skema tersebut. Semoga sukses. Modul OCP Workshop Rules of Origin 91

99 TES SUMATIF Pilihlah jawaban yang menurut anda paling sesuai. 1. Peran Direktorat Jendral Bea dan Cukai dalam skema FTA-TIG adalah sebagai receiving authority, yaitu : a. Sebagai penerima (receiving) permohonan untuk mendapatkan surat keterangan asal yang diajukan oleh eksportir yang berada di bawah lingkup pengawasannya. b. Sebagai penerima (receiving) surat keterangan asal yang diajukan oleh importir, bersama-sama dengan pemberitahuan pabean. c. Sebagai penerbit surat keterangan asal yang diajukan oleh eksportir yang menghendaki agar atas barang yang diekspornya dapat memperoleh tarif preferensi pada saat diajukan oleh importir di negaranya. d. Sebagai penerima (receiving) surat keterangan asal, kemudian dilakukan pemeriksaan untuk menguji apakah atas barang yang diimpor dengan dilindungi surat keterangan asal tersebut layak atau tidak untuk memperoleh tarif preferensi. 2. Dalam penerbitan surat keterangan asal, dimungkinkan untuk dilakukan sebelum atau setelah tanggal Bill of Lading. Bagaimanakah pengaturan penerbitan umum dari surat keterangan asal tersebut? a. Surat keterangan asal dapat diterbitkan sebelum tanggal B/L, pada saat, maupun tiga hari setelah tanggal B/L tersebut, bergantung pada skema FTA-TIG yang akan digunakan. b. Surat keterangan asal harus diterbitkan setelah lewat tiga hari tanggal B/L dan selanjutnya diberikan contreng pada box 13. c. Surat keterangan asal dapat diterbitkan setelah pengajuan PIB kepada administrasi pabeand di negara importir. 92 Modul OCP Workshop Rules of Origin

100 d. Surat keterangan asal harus diterbitkan tepat bersamaan tanggalnya dengan tanggal yang tertera pada B/L. 3. Salah satu pengecualian dari penerbitan umum adalah adanya surat keterangan asal yang diterbitkan diluar periode yang telah ditetapkan, yang kemudian dikenal dengan istilah : a. ISSUED RETROACTIVELY b. THIRD COUNTRY INVOICING. c. RETROACTIVE CHECK. d. VERIFICATION VISIT 4. Sebuah perusahaan di Indonesia memesan barang ke Thailand, dan dalam surat pemesanannya disebutkan agar pengiriman barang dilindungi dengan Form D. Pada saat tiba di Indonesia ternyata atas setengah dari jumlah barang yang diimpor tersebut dipesan oleh perusahaan lain di Philippine, dan juga meminta agar pengiriman ke negaranya dilidungi dengan Form D agar dapat memperoleh tarif preferensi. Terkait hal tersebut, maka mekanisme yang dapat dimanfaatkan adalah : a. Retroactive check Certificate of Origin. b. Back-to-Back Certificate of Origin. c. Certified True Copy Certificate of Origin. d. Certificate of Origin issued Retroactively. 5. Dalam mekanisme third country/party invoicing, adakalanya perusahaan yang mengajukan permohonan surat keterangan asal belum menerima invoice dari pihak ketiga yang bertransaksi dengan importir. Atas kondisi ini maka bagaimanakah surat keterangan asal diterbitkan? a. Dalam skema FTA-TIG lingkup regional, box 10 diisi dengan penjelasan bahwa invoice akan diterbitkan menyusul oleh pihak ketiga yang bertransaksi dengan importir. Modul OCP Workshop Rules of Origin 93

101 b. Dalam skema IJEPA, eksportir tidak terlebih dahulu mengajukan permohonan surat keterangan asal, sampai dengan diterimanya invoice dari pihak ketiga. c. Petugas pabean membantu mengisi box 7 dari surat keterangan asal dalam skema FTA-TIG lingkup regional, setelah diterimanya invoice dari importir. d. Perusahaan yang mengajukan permohonan surat keterangan asal mengisi box 10 dengan nomor dan tanggal invoice yang diterbitkannya, kemudian pada box 7 dijelaskan bahwa transaksi tersebut menggunakan mekanisme third country/party invocing, dan menyebutkan perusahaan yang akan menerbitkan invoice tersebut. 94 Modul OCP Workshop Rules of Origin

102 KUNCI JAWABAN KEGIATAN BELAJAR I Latihan 1 1. Dua instansi yang terlibat dalam proses penanganan surata keterangan asal, yaitu : a. Issuing Authority, yaitu instansi atau lembaga lain di negara eksportir yang diberi kewenangan oleh pemerintah sehingga dapat menerbitkan surat keterangan asal. b. Receiving Authority, yaitu instansi di negara pengimpor yang diberi kewenangan oleh pemerintahnya untuk dapat menerima surat keterangan asal yang diterbitkan oleh issuing authority. Instansi tersebut adalah administrasi pabean dari masing-masing negara anggota skema FTA-TIG, seperti halnya DJBC di Indonesia. 2. Periode penerbitan surat keterangan asal secara umum maksudnya adalah penerbitan yang dilakukan sebelum penerbitan B/L atau tiga hari setelah penerbitan B/L. Contoh : Dalam sebuah shipment suatu produk dari Malaysia ke Indonesia, B/Lnya diterbitkan tanggal 20 Desember Untuk penerbitan surat keterangan asal menggunakan prosedur umum, maka harus diterbitkan sebelum tanggal 20 Desember 2012, atau setelah tanggal 20 Desember 2012 tetapi tidak lebih dari tanggal 23 Desember. 3. Issued retroactively yaitu penerbitan surat keterangan asal tiga hari setelah tanggal B/L, sehingga apabila B/L terbit pada tanggal 10 November 2012, maka surat keterangan asal jenis issued retroactively Modul OCP Workshop Rules of Origin 95

103 dapat diterbitkan sejak tanggal 14 November 2012 sampai dengan 12 bulan setelah tanggal B/L tersebut. 4. Atas pengiriman tersebut maka dapat digunakan mekanisme Back-to- Back Certificate of Origin, yaitu surat keterangan asal yang diterbitkan oleh issuing authority di negara pengimpor pertama berdasarkan informasi yang ada di dalam surat keterangan asal dari Thailand sebagai negara pengekspor pertama. 5. Issued Retroactively maksudnya adalah surat keterangan asal yang diterbitkan setelah 3 (tiga) hari sejak tanggal B/L sampai dengan 12 bulan sejak tanggal B/L tersebut. Adapun Certified True Copy maksudnya adalah surat keterangan asal yang diterbitkan sebagai pengganti dari surat keterangan asal yang hilang atau rusak, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Test Formatif 1 1. Eksportir wajib menandatangani surat keterangan asal yang diajukan pada box yang telah disediakan, kemudian melampirkan seluruh dokumen pendukung yang berhubungan dengan informasi/ data yang dimasukan dalam surat keterangan asal dimaksud. 2. Issuing authority melakukan pemeriksaan dokumen dengan menguji seluruh informasi yang ada di dalamnya dengan menggunakan dokumen pendukung yang dilampirkan. Dalam hal dianggap perlu, issuing auhtority dapat melakukan pemeriksaan fisik. Hal yang paling penting adalah, bahwa informasi yang ada di dalam surat keterangan asal yang diterbitkan harus sesuai (conform) dengan barang yang akan diekspor, sehingga kemudian dianggap telah memenuhi ketentuan dalam Rules of Origin dari skema FTA- TIG yang diajukan. 3. Penerbitan surat keterangan asal terdiri dari dua cara, yaitu umum dan khusus. Untuk penerbitan secara umum, dilakukan sebelum atau tidak lebih 96 Modul OCP Workshop Rules of Origin

104 dari tiga hari setelah tanggal B/L. Untuk penerbitan khusus, dilakukan mulai tiga hari sampai dengan 12 bulan setelah tanggal B/L. 4. Proses penerbitan surat keterangan asal tetap dilakukan sebagaimana pengajuan pada umumnya, tetapi pada box 13 harus di-contreng pada tanda ISSUED RETROACTIVELY. 5. Dalam kondisi tertentu yang menyebabkan surat keterangan asal yang telah diterbitkan rusak atau hilang, maka eksportir dapat menghubungi kembali issuing authority yang menerbitkan sebelumnya, dan mengajukan permohonan penerbitan surat keterangan asal pengganti. Dalam hal ini maka surat keterangan asal dimaksud wajib diberikan contreng pada box 13, untuk tanda CERTIFIED TRUE COPY. KEGIATAN BELAJAR II Latihan 2 1. B 2. C 3. D 4. D 5. A Test Formatif 2 1. C 2. D 3. A 4. D 5. B Modul OCP Workshop Rules of Origin 97

105 KEGIATAN BELAJAR III Latihan 3 1. A 2. D 3. A 4. A 5. C 6. D 7. B Test Formatif 3 1. C 2. A 3. D 4. B 5. B TES SUMATIF 1. A 2. A 3. A 4. B 5. D 98 Modul OCP Workshop Rules of Origin

106 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Customs Modernization Handbook, editor : Luc De Wulf and Jose B. Sokol, World Bank, Washington, A Retrospective on the Bretton Woods System : Lessons for International Monetary Reform, Michael D. Bordo and Barry Eichengreen, University of Chicago Press, International Business : Strategy, Management, and the New Realities, S. Tamer Cavusgil, Gary Knight, John R. Riesenberger, Pearson prentice Hall, Rules of Origin in International Trade, Stefano Inama, Cambridge University Press, Kerja Sama Perdagangan Bebas ASEAN dengan Mitra Wicara, Direktorat Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri, B. Literatur Tambahan (Jurnal) Agreement on Rules of Origin, World Trade Organization, A Guide to Determining the Origin of Goods Under TAFTA using the Change in Tariff Classification Method, Juli Rules of Origin and EPAs, Eckart Naumann, Associate, Trade Law Centre for Southern Africa (tralac), The Development of FTA Rules of Origin Functions, Hebei University, China, World Trade in Rules of Origin, Certification and Verification, World Customs Organization, 2011 Modul OCP Workshop Rules of Origin 99

107 Rules Of Origin And Origin Procedures Applicable To Exports From Least Developed Countries, UNCTAD, Revenue Package, World Customs Organization, C. Lain-Lain World Trade Organization Agreement on Rules of Origin, World Trade Organization. The Revised Kyoto Convention, World Customs Organization. The Agreement On The Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme For The ASEAN Free Trade Area (AFTA). The Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation among the Government of the Members Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the People s Republic of China. Agreement on Trade in Goods under the Framework Agreement on Comprehensive Cooperation among the Government of the Members countries Of The Association Of Southeast Asian Nations And The Republic Of Korea. The Agreement on Trade in Goods under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of India. The Agreement between the Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership. The Agreement Establishing The Asean-Australia-New Zealand Free Trade Area. 100 Modul OCP Workshop Rules of Origin

108

2015, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13

2015, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1729, 2015 KEMENKEU. Tarif. Bea Masuk. Perjanjian. Kesepakatan Internasional. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 205/PMK.04/2015 TENTANG TATA CARA PENGENAAN

Lebih terperinci

IMPOR MURAH DENGAN SKEMA FREE TRADE AGREEMENT

IMPOR MURAH DENGAN SKEMA FREE TRADE AGREEMENT IMPOR MURAH DENGAN SKEMA FREE TRADE AGREEMENT Kurniawan, SE ASBTRAK Skema FTA pada dasarnya ditujukan untuk pengaturan penurunan dan/atau penghapusan tarif bea masuk, sebagai wujud dari berkembangnya liberalisasi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG PENGENAAN TARIF BEA MASUK DALAM SKEMA ASEAN TRADE IN GOODS AGREEMENT (ATIGA) DENGAN

Lebih terperinci

There are no translations available.

There are no translations available. There are no translations available. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) disingkat SKA adalah dokumen yang disertakan pada waktu barang ekspor Indonesia yang telah memenuhi ketentuan asal barang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR-09/BC/2008 TENTANG TATA CARA PELAYANAN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN TARIF BEA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1612, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Tarif. Bea Masuk. Impor. AANZFTA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 208/PMK.011/2013 TENTANG PENETAPAN TARIF BEA MASUK

Lebih terperinci

: bahwa dalam pemeriksaan yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah, penetapan Terbanding atas Pembebanan, yaitu berupa:

: bahwa dalam pemeriksaan yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah, penetapan Terbanding atas Pembebanan, yaitu berupa: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-36477/PP/M.XVII/19/2012 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa dalam pemeriksaan yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. No.528, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/M-DAG/PER/3/2015

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI JALAN JENDERAL A. YANI JAKARTA-13230 KOTAK POS 108 JAKARTA-10002 TELEPON (021) 4890308; FAKSIMILE (021) 4890871; SITUS www.beacukai.go.id

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 05/DAGLU/PER/6/2008 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 05/DAGLU/PER/6/2008 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI NOMOR : 05/DAGLU/PER/6/2008 TENTANG PENGALOKASIAN KUOTA EKSPOR PISANG DAN NANAS KE JEPANG DALAM RANGKA IJ-EPA (INDONESIA JAPAN-ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT)

Lebih terperinci

Slide untuk eksternal BC

Slide untuk eksternal BC Directorate General of Customs and Excise Ministry of Finance of Indonesia Slide untuk eksternal BC PMK 229/PMK.04/2017 Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG KETENTUAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Putusan Nomor : Put-68162/PP/M.IXB/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2014

Putusan Nomor : Put-68162/PP/M.IXB/19/2016. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2014 Putusan Nomor : Put-68162/PP/M.IXB/19/2016 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2014 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah penetapan pembebanan tarif bea

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-02/BC/2008 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-02/BC/2008 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-02/BC/2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 178/PMK.011/2007 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 24 /BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang :

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1211, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pabean. Dokumen Pelengkap. Data Elektronik. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 175/PMK.04/2014 TENTANG PENGGUNAAN DOKUMEN PELENGKAP

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1034, 2013 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Sistem Sertifikasi Mandiri. Percontohan. Pelaksanaan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/M-DAG/PER/8/2013

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

pengangkut kepelabuhan, petugas DJBC tidak membongkar isi dari kontainer itu jika memang tidak ada perintah untuk pemeriksaan.) Setelah barang impor

pengangkut kepelabuhan, petugas DJBC tidak membongkar isi dari kontainer itu jika memang tidak ada perintah untuk pemeriksaan.) Setelah barang impor Sekilas Tentang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Memberikan sedikit gambaran tentang Bea dan Cukai Indonesia di bawah Kementerian Keuangan RI Macam- macam Pemberitahuan Pabean Dalam rangka melayani pengurusan

Lebih terperinci

PENGAWASAN KEPABEANAN. diwujudkan dengan efektif. Masing-masing organisasi mempunyai rencana untuk mencapai

PENGAWASAN KEPABEANAN. diwujudkan dengan efektif. Masing-masing organisasi mempunyai rencana untuk mencapai PENGAWASAN KEPABEANAN Oleh : Bambang Semedi (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai, periode 10 Mei 2013) Pendahuluan Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar rencana dapat diwujudkan

Lebih terperinci

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar No.347, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Amelia Febriani Kelompok 3 Buku Kerja Dokumen Produk Ekspor

Amelia Febriani Kelompok 3 Buku Kerja Dokumen Produk Ekspor 1. Jelaskan tiga dokumen yang diperlukan untuk mengurus pengiriman sebelum melaksanakan ekspor! a. Delivery Order (DO), yaitu surat dari perusahaan pelayaran sebagai jawaban dari shipping instruction b.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77/M-DAG/PER/10/2014 Menimbang TENTANG KETENTUAN ASAL BARANG INDONESIA {RULES OF ORIGIN OF INDONESIA) DENGAN

Lebih terperinci

Berbagai Dokumen Penting Ekspor. Pertemuan ke-6

Berbagai Dokumen Penting Ekspor. Pertemuan ke-6 Berbagai Dokumen Penting Ekspor Pertemuan ke-6 BERBAGAI DOKUMEN EKSPOR 1. Invoice 2. Sales Contract 3. PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang ) 4. Full Set on Board Ocean Bill of Lading / Airway bill 5. Packing

Lebih terperinci

2016, No turunannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Me

2016, No turunannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Me No.1922, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMDAG. Besi. Baja Paduan. Produk Turunan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82/M-DAG/PER/12/2016 TENTANG KETENTUAN IMPOR BESI ATAU BAJA,

Lebih terperinci

Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai

Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi berita di media cetak dan elektronik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR MUTIARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAFIA ESA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR MUTIARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAFIA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR MUTIARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAFIA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR JAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR JAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR JAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.04/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.04/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 146/PMK.04/2014 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 214/PMK.04/2008 TENTANG PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 24/BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 24/BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang: PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 24/BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, a. bahwa dalam rangka terwujudnya pelayanan yang cepat, efisien, pasti, responsif,

Lebih terperinci

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk menghitung besarnya bea masuk

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 6 /BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 6 /BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 6 /BC/2011 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI

KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI KATA PENGANTAR DAN PENGESAHAN KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BEA DAN CUKAI Menunjuk Surat Keputusan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai nomor KEP-46/PP.5/2012 tanggal 23 April 2012

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia NOMOR : 43/M-DAG/PER/10/ /M-DAG/PER/9/2007

Menteri Perdagangan Republik Indonesia NOMOR : 43/M-DAG/PER/10/ /M-DAG/PER/9/2007 Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 43/M-DAG/PER/10/2007---/M-DAG/PER/9/2007 TENTANG PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN)

Lebih terperinci

PEDOMAN PENERBITAN DOKUMEN V-LEGAL

PEDOMAN PENERBITAN DOKUMEN V-LEGAL Lampiran 7. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI. b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri.

DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN LUAR NEGERI. b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri. KEPUTUSAN NOMOR : 13/DAGLU/KP/V/2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil penelitian secara keseluruhan sesuai dengan berbagai rumusan masalah yang terdapat pada Bab 1 dan memberikan saran bagi berbagai

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 06/BC/2006

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 06/BC/2006 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 06/BC/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI ATAS IMPOR BARANG YANG MENGALAMI KERUSAKAN, PENURUNAN MUTU, KEMUSNAHAN, ATAU PENYUSUTAN VOLUME DAN/ATAU BERAT,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: P-08/BC/2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN EKSPOR BARANG TERKENA PUNGUTAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-01 /BC/2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BEA MASUK TINDAKAN

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 10/M-DAG/PER/6/2005 TENTANG

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-36/BC/2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BEA MASUK TINDAKAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.745, 2015 KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Instansi Penerbit. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 /M-DAG//PER/5/2015 TENTANG INSTANSI PENERBIT

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 17/M-DAG/PER/9/2005

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 17/M-DAG/PER/9/2005 Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 17/M-DAG/PER/9/2005 TENTANG PENERBITAN SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICA TE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1104, 2014 KEMENDAG. Verifikasi. Penelusuran Teknis. Perdagangan. Ketentuan Umum. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46/M-DAG/PER/8/2014 TENTANG

Lebih terperinci

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Sunarno *) Pendahuluan Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Masuk. Pasal 12 UU

Lebih terperinci

Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai HAL-HAL YANG DIATUR DALAM IJ-EPA 1. GENERAL PROVISIONS 2. TRADE IN GOODS 3. RULES OF ORIGIN 4. CUSTOMS PROCEDURES 5. INVESTMENT 6. TRADE IN

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR PELUMAS

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR PELUMAS MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR PELUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1899, 2015 Keuangan. Kepabeanan. Mitra Utama. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 229/PMK.04/2015 TENTANG MITRA UTAMA KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2017, No mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi, telah dijadwalkan skema penurunan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan antara Republik Indonesi

2017, No mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi, telah dijadwalkan skema penurunan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan antara Republik Indonesi No.346, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Persetujuan antara Kemitraan Ekonomi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PMK.010/2017 TENTANG PENETAPAN

Lebih terperinci

2017, No b. bahwa sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System 2017 dan ASEAN Har

2017, No b. bahwa sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System 2017 dan ASEAN Har BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.345, 2017 KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Perjanjian Perdagangan Preferensial antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Islam Pakistan. Pencabutan. PERATURAN

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/4/2016 TENTANG

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/4/2016 TENTANG MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/4/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 32/M-DAG/PER/5/2015 TENTANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG PERUBAHAN KLASIFIKASI DAN PENETAPAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR PRODUK-PRODUK TERTENTU DALAM

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10

2017, No Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 No.1591, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAGRI. Impor Rokok Elektrik. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 2017 TENTANG KETENTUAN IMPOR ROKOK ELEKTRIK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24/M-DAG/PER/6/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24/M-DAG/PER/6/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24/M-DAG/PER/6/2008 TENTANG KETENTUAN EKSPOR PISANG DAN NANAS KE JEPANG DALAM RANGKA IJ-EPA (INDONESIA JAPAN-ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT) DENGAN

Lebih terperinci

, No.1551 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdag

, No.1551 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdag BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1551 2015 KEMENDAG. Impor. Tekstil. Produk Tekstil. Ketentuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/M-DAG/PER/10/2015 TENTANG KETENTUAN

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negar

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 966, 2014 KEMENKEU. Bea Keluar. Pemungutan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.04/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MPP/Kep/1/1997

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MPP/Kep/1/1997 Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 29/MPP/Kep/1/1997 TENTANG KETENTUAN DAN TATACARA PERMOHONAN FASILITAS

Lebih terperinci

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.32

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1890, 2015 KEMENDAG. Impor. Mesin. Multifungsi. Berwarana. Fotokopi. Berwarana. Printer Berwarna. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1890, 2015 KEMENDAG. Impor. Mesin. Multifungsi. Berwarana. Fotokopi. Berwarana. Printer Berwarna. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1890, 2015 KEMENDAG. Impor. Mesin. Multifungsi. Berwarana. Fotokopi. Berwarana. Printer Berwarna. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.1070, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Kelapa Sawit. Crude Palm Oil. Produk Turunannya. Ekspor. Verifikasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54/M-DAG/PER/7/2015

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Ne

2016, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Ne No.729, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAGRI. Surat Keterangan Asal. Intansi Penerbit. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/4/2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INDONESIA SALINAN

MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INDONESIA SALINAN MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLI K INDONESIA NOMOR 229/PMK.04/2017 TENTANG TATA CARA PENGENAAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR BERDASARKAN PERJANJIAN ATAU

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1704, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Ban. Impor. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77/M-DAG/PER/11/2016 TENTANG KETENTUAN IMPOR BAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KOP PERUSAHAAN. Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA. Kepada : Yth. Kepala KPU... Di...

KOP PERUSAHAAN. Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA. Kepada : Yth. Kepala KPU... Di... LAMPIRAN I NOMOR : /BC/2007 Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA Kepada : Yth. Kepala KPU... Di... KOP PERUSAHAAN Sehubungan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor :.../BC/2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional memegang peranan penting dalam sejarah pembangunan di Negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.712, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Baja Paduan. Impor. Pengaturan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/M-DAG/PER/6/2014 TENTANG KETENTUAN IMPOR BAJA PADUAN DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

PERUBAHAN PROSEDUR SERTIFIKASI OPERASIONAL (OCP) MENGENAI KETENTUAN ASAL BARANG UNTUK KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA

PERUBAHAN PROSEDUR SERTIFIKASI OPERASIONAL (OCP) MENGENAI KETENTUAN ASAL BARANG UNTUK KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA Apendiks 1 LAMPIRAN A PERUBAHAN PROSEDUR SERTIFIKASI OPERASIONAL (OCP) MENGENAI KETENTUAN ASAL BARANG UNTUK KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA Untuk maksud melaksanakan Ketentuan Asal Barang untuk Kawasan

Lebih terperinci

bahwa sebagai contoh yang tertulis di Form E dan Invoice/Packing List, secara jelas dapat dilihat;

bahwa sebagai contoh yang tertulis di Form E dan Invoice/Packing List, secara jelas dapat dilihat; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-62921/PP/M.XVIIB/19/2015 Jenis Pajak : Bea Cukai Tahun Pajak : 2014 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah mengenai pembebanan

Lebih terperinci

PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG UNTUK OLEH PEMERINTAH PUSAT ATAU PEMERINTAH DAERAH YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG UNTUK OLEH PEMERINTAH PUSAT ATAU PEMERINTAH DAERAH YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG UNTUK OLEH PEMERINTAH PUSAT ATAU PEMERINTAH DAERAH YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM Jakarta, November 2013 DIREKTORAT FASILITAS KEPABEANAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap tarif bea masuk karena

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap tarif bea masuk karena Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-59072/PP/M.XVIIB/19/2015 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2013 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap tarif bea masuk

Lebih terperinci

MASIH BERLAKUKAH STATUS IMPORTIR JALUR PRIORITAS SEIRING DENGAN PENETAPANNYA SEBAGAI IMPORTIR MITRA UTAMA?

MASIH BERLAKUKAH STATUS IMPORTIR JALUR PRIORITAS SEIRING DENGAN PENETAPANNYA SEBAGAI IMPORTIR MITRA UTAMA? MASIH BERLAKUKAH STATUS IMPORTIR JALUR PRIORITAS SEIRING DENGAN PENETAPANNYA SEBAGAI IMPORTIR MITRA UTAMA? Rita Dwi Lindawati Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Pendahuluan Seiring munculnya Peraturan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP- 68 /BC/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 453/KMK

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 453/KMK SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 453/KMK.04/2002 TENTANG TATALAKSANA KEPABEANAN DI BIDANG IMPOR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa agar pelaksanaan Undang-undang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1201, 2014 KEMENDAG. Perdagangan. SNI Wajib. Pengawasan. Standarisasi Jasa. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/M-DAG/PER/8/2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 10/M-DAG/PER/6/2005 TANGGAL 10 JUNI 2005 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR INTAN KASAR

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 10/M-DAG/PER/6/2005 TANGGAL 10 JUNI 2005 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR INTAN KASAR PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 10/M-DAG/PER/6/2005 TANGGAL 10 JUNI 2005 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR INTAN KASAR MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Sejarah Pembentukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota

BAB I PENDAHULUAN. 1. Sejarah Pembentukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Umum Perusahaan 1. Sejarah Pembentukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta berdiri sejak tahun 1950, yang

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor. : Put-51936/PP/M.XVIIA/19/2014. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2012

Putusan Pengadilan Pajak Nomor. : Put-51936/PP/M.XVIIA/19/2014. Jenis Pajak : Bea Masuk. Tahun Pajak : 2012 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-51936/PP/M.XVIIA/19/2014 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap Penetapan pembebanan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/PMK. 011/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/PMK. 011/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/PMK. 011/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 176/PMK. 011/2009 TENTANG PEMBEBASAN

Lebih terperinci

Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean

Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean ABSTRAK Pengajuan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) bersifat self assessment. Oleh karena itu pihak pabean melakukan penelitian atas kebenaran informasi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 219/PMK.04/2010 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN TERHADAP AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 219/PMK.04/2010 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN TERHADAP AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 219/PMK.04/2010 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN TERHADAP AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KERTAS DAN KARTON UNTUK KEMASAN PANGAN SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lem

2 Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lem No.1091, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Tekstil. Produk Tekstil Batik. Motif Batik. Impor. Ketentuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/M-DAG/PER/7/2015

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Neg

2016, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Neg No.501, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Impor. Jagung. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/M-DAG/PER/3/20166/M-DAG/PER/2/2012 TENTANG KETENTUAN IMPOR JAGUNG DENGAN

Lebih terperinci

2011, No.95 2 umum, perlu dilakukan penyesuaian terhadap mekanisme pemberian pembebasan bea masuk atas impor barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerin

2011, No.95 2 umum, perlu dilakukan penyesuaian terhadap mekanisme pemberian pembebasan bea masuk atas impor barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerin No.95, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pembebasan Bea Masuk. Impor Barang. Kepentingan Umum. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 /PMK.011/2011 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK I DAN H SECTION DARI BAJA PADUAN LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BM 0% (fasilitas ATIGA) BM 5% Rp ,00

BM 0% (fasilitas ATIGA) BM 5% Rp ,00 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.50870/PP/M.XA/19/2014 Jenis Pajak : Bea Masuk Tahun Pajak : 2013 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap Surat Keputusan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 40/BC/2010 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 40/BC/2010 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 40/BC/2010 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 35 Peraturan Menteri Keuangan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR SEMEN CLINKER DAN SEMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR SEMEN CLINKER DAN SEMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR SEMEN CLINKER DAN SEMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-29/BC/2016 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-29/BC/2016 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-29/BC/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-32/BC/2014 TENTANG

Lebih terperinci