PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN"

Transkripsi

1 Para Anggota, PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN Pembukaan Memperhatikan negosiasi yang diluncurkan dalam Deklarasi Menteri di Doha; Mengingat dan menegaskan mandat dan prinsip yang terkandung dalam ayat 27 Deklarasi Menteri di Doha (WT/MIN(01)/DEC/1) dan Lampiran D pada Keputusan Program Kerja Doha yang ditetapkan oleh Dewan Umum pada tanggal 1 Agustus 2004 (WT/L/579), serta dalam Ayat 33 dan Lampiran E Deklarasi Menteri di Hong Kong (WT/MIN(05)/DEC); Menghendaki untuk memperjelas dan memperbaiki unsur yang relevan pada Pasal V, VIII dan X GATT 1994 dengan tujuan untuk lebih mempercepat pergerakan, pelepasan dan pembebasan barang, termasuk barang-barang transit; Menyadari kebutuhan khusus para Anggota negara berkembang dan khususnya negara kurang berkembang dan menghendaki untuk meningkatkan bantuan dan dukungan pembangunan kapasitas di bidang ini; Menyadari kebutuhan akan kerja sama yang efektif antar Anggota terkait fasilitasi perdagangan dan kepatuhan pabean; Dengan ini menyepakati sebagai berikut: 1. Publikasi BAGIAN I PASAL 1: PUBLIKASI DAN KETERSEDIAAN INFORMASI 1.1 Setiap Anggota wajib segera memublikasikan informasi-informasi berikut dengan cara tidak diskriminatif dan mudah diakses yang memungkinkan pemerintah, pedagang, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahui informasi yang terkait dengan: (a) prosedur impor, ekspor, dan transit (termasuk pelabuhan, bandara, dan titik masuk lainnya), serta formulir dan dokumen yang diperlukan; (b) bea masuk dan pajak apapun yang dikenakan atau terkait dengan kegiatan impor atau ekspor; (c) biaya dan ongkos yang dikenakan oleh atau untuk lembaga pemerintah terkait dengan kegiatan impor, ekspor atau transit; (d) aturan terkait klasifikasi atau penilaian produk untuk keperluan kepabeanan; 1

2 (e) undang-undang, peraturan, dan ketentuan administratif yang bersifat umum terkait dengan ketentuan asal barang; (f) pembatasan atau larangan impor, ekspor atau transit; (g) ketentuan penalti terkait pelanggaran formalitas impor, ekspor, atau transit; (h) prosedur banding atau tinjauan kembali; (i) persetujuan atau bagiannya dengan negara atau negara-negara terkait kegiatan impor, ekspor, atau transit; dan (j) prosedur yang berkaitan dengan administrasi kuota tarif. 1.2 Tidak ada dalam ketentuan-ketentuan ini yang ditafsirkan mewajibkan publikasi atau penyediaan informasi dalam bahasa selain bahasa resmi Anggota kecuali sebagaimana dinyatakan dalam ayat Penyampaian Informasi melalui Internet 2.1 Setiap Anggota wajib menyediakan, dan memperbarui sedapat mungkin dan sesuai keperluan, hal-hal berikut melalui internet: (a) keterangan 1 terkait prosedur kegiatan impor, ekspor, dan transit, termasuk prosedur banding, atau tinjauan kembali, yang memberikan informasi kepada pemerintah, pedagang, dan pihak lain yang berkepentingan mengenai langkah-langkah yang diperlukan terkait kegiatan impor, ekspor, dan transit; (b) formulir dan dokumen yang diperlukan untuk kegiatan impor, ekspor, atau transit melalui wilayah Anggota tersebut; (c) informasi terkait pusat penelisikan yang dapat dihubungi. 2.2 Apabila memungkinkan, penjelasan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.1(a) wajib tersedia dalam salah satu bahasa resmi WTO. 2.3 Para Anggota dianjurkan untuk turut menyediakan informasi terkait perdagangan melalui internet, termasuk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perdagangan dan peraturan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat Enquiry Points (Pusat Penelisikan) 3.1 Setiap Anggota, dengan sumber daya yang tersedia, wajib membentuk atau mempertahankan satu atau lebih pusat penelisikan untuk menjawab pertanyaan yang wajar dari pemerintah, pedagang, dan pihak lain yang berkepentingan mengenai hal-hal yang tercakup dalam ayat 1.1 dan menyediakan formulir dan dokumen yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam butir 1.1 (a). 1 Setiap Anggota memiliki wewenang untuk menyatakan di lamannya batasan-batasan hukum dari keterangan ini. 2

3 3.2 Para Anggota serikat kepabeanan atau yang terlibat dalam integrasi regional dapat membentuk atau mempertahankan pusat penelisikan bersama pada tingkat regional untuk memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ayat 3.1 tentang prosedur bersama. 3.3 Para Anggota dianjurkan untuk tidak mensyaratkan pembayaran untuk menjawab pertanyaan dan menyediakan formulir dan dokumen yang diperlukan. Jika ada, Para Anggota wajib membatasi jumlah biaya dan ongkos sesuai dengan perkiraan biaya jasa yang diberikan. 3.4 Pusat Penelisikan wajib menjawab pertanyaan dan menyediakan formulir serta dokumen yang dibutuhkan dalam jangka waktu yang wajar yang ditetapkan oleh masing-masing Anggota, yang dapat berbeda tergantung pada jenis atau tingkat kesulitan permohonan. 4 Notifikasi Setiap Anggota wajib menyampaikan notifikasi ke Komite Fasilitasi Perdagangan yang dibentuk berdasarkan Pasal 23 ayat 1.1 (selanjutnya dalam Persetujuan ini disebut Komite ) terkait: (a) tempat-tempat resmi dimana hal-hal yang diatur dalam butir 1.1(a) sampai (j) dipublikasikan; (b) Uniform Resource Locators dari laman sebagaimana dimaksud pada ayat 2.1; dan (c) informasi terkait pusat penelisikan sebagaimana dimaksud pada ayat 3.1. PASAL 2: KESEMPATAN MEMBERIKAN KOMENTAR, MEMPEROLEH INFORMASI SEBELUM MULAI BERLAKU, DAN KONSULTASI 1 Kesempatan Memberikan Komentar dan Memperoleh Informasi sebelum Mulai Berlaku 1.1 Setiap Anggota wajib, dan dengan cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sistem hukumnya, memberikan kesempatan dan jangka waktu yang layak bagi pedagang dan pihak lain yang berkepentingan untuk menyampaikan komentar terkait usulan pemberlakuan atau perubahan peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum terkait dengan pergerakan, pelepasan barang, dan penyelesaian kewajiban pabean, termasuk barang-barang transit. 1.2 Setiap Anggota wajib, sejauh dapat dilaksanakan dan dengan cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sistem hukumnya, memastikan bahwa peraturan perundangundangan baru atau perubahannya yang sifatnya umum terkait dengan pergerakan, pelepasan barang, dan penyelesaian kewajiban pabean, termasuk barang-barang transit, dipublikasikan atau informasi tersebut tersedia untuk umum, dalam waktu sedini mungkin sebelum mulai berlaku, untuk memungkinkan pedagang dan pihak lain yang berkepentingan dapat memahaminya. 1.3 Perubahan bea masuk atau besaran tarif, kebijakan yang berdampak meringankan, kebijakan yang efektivitasnya akan berkurang karena mematuhi ayat 1.1 atau 1.2, kebijakan yang dilakukan dalam keadaan mendesak, atau perubahan kecil pada peraturan perundang-undangan dan sistem hukumnya dikecualikan dari ayat 1.1 dan

4 2 Konsultasi Setiap Anggota wajib, sesuai keperluan, mengadakan konsultasi reguler antara lembaga perbatasan, dan pedagang, atau pemangku kepentingan lain dalam wilayahnya. PASAL 3: KEPUTUSAN AWAL (ADVANCE RULINGS) 1. Setiap Anggota wajib mengeluarkan keputusan awal (advance rulings) dalam jangka waktu yang wajar kepada pemohon yang telah mengajukan permintaan tertulis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan. Jika Anggota menolak untuk mengeluarkan advance rulings, anggota tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pemohon secara tertulis, dengan mengungkapkan fakta dan dasar keputusan yang relevan. 2. Anggota dapat menolak mengeluarkan advance rulings kepada pemohon dalam hal pertanyaan yang diajukan dalam permohonan: (a) belum diputuskan oleh lembaga pemerintah, forum banding, atau pengadilan; atau (b) telah diputuskan oleh suatu forum atau pengadilan banding. 3. Advance rulings wajib berlaku untuk jangka waktu yang wajar setelah penerbitannya kecuali peraturan, fakta, atau keadaan yang mendukung keputusan telah berubah. 4. Dalam hal Anggota mencabut, memodifikasi atau membatalkan advance rulings, Anggota wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pemohon dengan mengungkapkan fakta dan dasar keputusan yang relevan. Dalam hal Anggota mencabut, memodifikasi, atau membatalkan advance rulings yang berlaku surut, Anggota hanya dapat melakukannya apabila keputusan tersebut didasarkan pada informasi yang tidak lengkap, tidak benar, palsu, atau menyesatkan. 5. Advance rulings yang dikeluarkan oleh Anggota wajib bersifat mengikat terhadap Anggota tersebut terkait permintaan pemohon. Anggota dapat menyatakan bahwa advance rulings tersebut bersifat mengikat terhadap pihak pemohon. 6. Setiap Anggota wajib memublikasikan, setidak-tidaknya: (a) persyaratan permohonan advance rulings termasuk informasi yang perlu disediakan dan formatnya; (b) jangka waktu penerbitan advance rulings; dan (c) jangka waktu berlakunya advance rulings. 4

5 7. Setiap Anggota wajib menyediakan, atas permintaan tertulis dari pemohon, tinjauan ulang atas advance rulings atau keputusan untuk mencabut, memodifikasi, atau membatalkan advance rulings Setiap Anggota wajib mengupayakan memublikasikan informasi terkait advance rulings yang dianggap penting oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dengan mempertimbangkan keperluan untuk melindungi rahasia dagang. 9. Definisi dan ruang lingkup: (a) Advance rulings merupakan keputusan tertulis yang diberikan oleh Anggota kepada pemohon sebelum dilakukannya kegiatan impor barang sebagaimana tercantum dalam permohonan yang mengatur perlakuan yang wajib diberikan Anggota terhadap barang tersebut pada saat kegiatan impor yang terkait dengan: (i) klasifikasi tarif barang; dan (ii) asal barang. 3 (b) Sebagai tambahan atas advance rulings sebagaimana dimaksud dalam butir (a), Anggota didorong untuk menyediakan advance rulings terkait: (i) metode atau kriteria yang tepat, dan aplikasi terkait, yang digunakan untuk menentukan nilai pabean berdasarkan serangkaian fakta tertentu; (ii) penerapan oleh Anggota terkait persyaratan pengecualian atau pembebasan bea masuk; (iii) penerapan persyaratan oleh Anggota terkait kuota, termasuk kuota tarif; dan (iv) hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Anggota untuk mengeluarkan advance rulings. (c) Pemohon adalah pengekspor, pengimpor atau pihak lain dengan alasan yang dibenarkan atau perwakilannya. (d) Anggota dapat mensyaratkan bahwa pemohon memiliki perwakilan resmi atau terdaftar secara resmi di wilayahnya. Sedapat mungkin, persyaratan tersebut tidak membatasi penggolongan para pihak yang dapat mengajukan permohonan advance rulings, dengan mempertimbangan kebutuhan khusus usaha kecil dan menengah. Persyaratan tersebut wajib dibuat secara jelas dan transparan dan bukan merupakan tindakan sepihak atau diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan. 2 Berdasarkan ayat ini: (a) tinjauan ulang dapat, baik sebelum atau sesudah keputusan dilaksanakan, dilakukan oleh pejabat, kantor, atau otoritas yang mengeluarkan keputusan, otoritas administrasi yang lebih tinggi atau tidak terikat, atau otoritas peradilan; dan (b) Anggota tidak diwajibkan untuk menyediakan kepada pemohon cara-cara sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat 1. 3 Perlu dipahami bahwa advance ruling terkait asal barang dapat berupa penaksiran asal barang sesuai dengan Persetujuan tentang Rules of Origin dimana keputusan tersebut memenuhi persyaratan di dalam Persetujuan ini dan Persetujuan tentang Rules of Origin. Demikian pula, suatu penaksiran asal barang di bawah Persetujuan Rules of Origin dapat berupa advance ruling mengenai asal barang yang sesuai dengan Persetujuan ini di mana keputusan dimaksud memenuhi persyaratan kedua Persetujuan tersebut. Para Anggota tidak disyaratkan untuk membentuk pengaturan terpisah di bawah ketentuan ini sebagai tambahan dari ketentuan yang telah dibentuk sesuai dengan Persetujuan tentang Rules of Origin terkait dengan penaksiran asal barang apabila persyaratan dalam Pasal ini terpenuhi. 5

6 PASAL 4: PROSEDUR BANDING ATAU TINJAUAN ULANG 1. Setiap Anggota wajib memberikan hak kepada siapapun yang mendapatkan keputusan administratif 4 yang dikeluarkan oleh otoritas kepabeanan di dalam wilayahnya, untuk: (a) mengajukan banding atau tinjauan ulang yang bersifat administratif oleh otoritas administratif yang lebih tinggi atau tidak terikat dengan pejabat atau kantor yang mengeluarkan keputusan tersebut; dan/atau (b) mengajukan banding atau tinjauan ulang peradilan terhadap keputusan tersebut. 2. Peraturan Anggota dapat mensyaratkan bahwa pengajuan banding atau tinjauan ulang yang bersifat administratif dimulai sebelum pengajuan banding atau tinjauan ulang peradilan. 3. Setiap Anggota wajib memastikan bahwa prosedur banding atau tinjauan ulang dilakukan dengan cara yang tidak diskriminatif. 4. Setiap Anggota wajib memastikan bahwa, dalam hal keputusan banding atau tinjauan ulang berdasarkan butir 1(a) tidak diberikan baik: (a) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; atau (b) tanpa penundaan yang tidak perlu pemohon memiliki hak untuk mengajukan banding atau tinjauan ulang lebih lanjut pada otoritas administratif atau otoritas peradilan atau cara-cara lain ke otoritas peradilan Setiap Anggota wajib memastikan bahwa pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mendapatkan dasar keputusan administratif dimaksud sehingga memungkinkan pihak tersebut mengajukan banding atau tinjauan ulang apabila diperlukan. 6. Setiap Anggota didorong untuk menjadikan ketentuan-ketentuan Pasal ini dapat berlaku pada keputusan administratif yang dikeluarkan oleh lembaga perbatasan lain yang relevan selain pabean. PASAL 5: KEBIJAKAN-KEBIJAKAN LAIN GUNA MEMPERKUAT KETIDAKBERPIHAKAN, TIDAK DISKRIMINASI DAN TRANSPARANSI 1 Notifikasi untuk Pengawasan atau Pemeriksaan yang Lebih Kuat 4 Keputusan administratif dalam Pasal ini merupakan suatu keputusan dengan akibat hukum yang mempengaruhi hak dan kewajiban seseorang dalam suatu kasus. Wajib dipahami bahwa keputusan administratif dalam Pasal ini mencakup tindakan administrasi sesuai dengan makna Pasal X GATT 1994 atau kegagalan untuk mengambil tindakan atau keputusan administrasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan sistem hukum Anggota. Untuk menangani kegagalan tersebut, Anggota dapat mempertahankan mekanisme administrasi alternatif atau cara-cara peradilan untuk mendorong otoritas pabean agar segera mengeluarkan keputusan administrasi sebagai pengganti hak banding atau tinjauan ulang sesuai butir 1(a). 5 Tidak ada dalam ayat ini yang menghalangi Anggota dari mengakui bahwa ketiadaan keputusan administrasi (administrative silence) terkait banding atau tinjauan ulang merupakan suatu keputusan yang memenangkan pemohon sesuai dengan peraturan perundangundangannya. 6

7 Dalam hal Anggota menetapkan atau mempertahankan sistem penyampaian notifikasi atau pedoman kepada otoritas terkait guna memperkuat tingkat pengawasan atau pemeriksaan di perbatasan terkait makanan, minuman, atau pakan ternak yang diatur dalam notifikasi atau pedoman guna melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan dalam wilayahnya, ketentuan-ketentuan berikut wajib berlaku pada penerbitan, pengakhiran, atau penangguhannya: (a) Anggota dapat, sesuai keperluan, mengeluarkan notifikasi atau pedoman berdasarkan pada tingkat risiko; (b) Anggota dapat mengeluarkan notifikasi atau pedoman sehingga berlaku secara seragam hanya pada pintu-pintu masuk di mana hal notifikasi atau pedoman terkait kebijakan sanitary and phitosanitary diberlakukan; (c) Anggota wajib untuk segera menghentikan atau menangguhkan notifikasi atau pedoman terkait apabila keadaan pendukungnya dinyatakan tidak lagi berlaku, atau jika perubahan keadaan dapat diatasi dengan cara yang tidak terlalu membatasi perdagangan; dan (d) dalam hal Anggota memutuskan untuk mengakhiri atau menangguhkan notifikasi atau pedoman, Anggota wajib, sesuai keperluan, segera menyampaikan pemberitahuan dengan cara yang tidak diskriminatif dan mudah diakses, atau memberitahukan kepada Anggota pengekspor atau pengimpor. 2 Penahanan Anggota wajib segera memberitahukan pengangkut atau pengimpor apabila terjadi penahanan atas barang yang akan diimpor, untuk pemeriksaan oleh pabean atau otoritas lain yang berwenang. 3 Prosedur Pengujian 3.1 Anggota dapat, apabila diminta, memberikan kesempatan untuk melakukan pengujian kedua apabila hasil pengujian pertama dari sampel yang diambil pada saat kedatangan barang yang diimpor menunjukkan temuan yang merugikan. 3.2 Anggota wajib memublikasikan, dengan cara yang tidak diskriminatif dan mudah diakses, nama dan alamat laboratorium di mana pengujian dapat dilakukan atau menyediakan informasi ini kepada pengimpor yang diberikan kesempatan sebagaimana diatur dalam ayat Anggota wajib mempertimbangkan hasil pengujian kedua, jika ada, yang dilakukan menurut ayat 3.1, terkait pelepasan dan pembebasan barang, dan jika sesuai, dapat menerima hasil pengujian tersebut. PASAL 6: KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI BIAYA DAN ONGKOS YANG DIKENAKAN PADA ATAU YANG TERKAIT DENGAN KEGIATAN IMPOR DAN EKSPOR DAN PENALTI 1 Ketentuan Umum Mengenai Biaya dan Ongkos yang Dikenakan pada atau yang Terkait dengan Kegiatan Impor dan Ekspor 7

8 1.1 Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 wajib berlaku untuk semua biaya dan ongkos selain bea masuk dan keluar dan selain pajak dalam lingkup Pasal III GATT 1994 yang dikenakan oleh Anggota pada atau terkait dengan kegiatan impor atau ekspor barang. 1.2 Informasi terkait biaya dan ongkos wajib dipublikasikan sesuai dengan Pasal 1. Informasi ini wajib mencakup biaya dan ongkos yang akan dikenakan, alasan pengenaan biaya dan ongkos tersebut, otoritas yang berwenang dan waktu dan cara pembayaran. 1.3 Jangka waktu yang cukup wajib diberikan antara publikasi biaya dan ongkos baru atau perubahannya dengan waktu mulai berlakunya, kecuali dalam keadaan mendesak. Biaya dan ongkos tersebut tidak boleh diberlakukan sampai informasi mengenai hal tersebut dipublikasikan. 1.4 Setiap Anggota secara berkala wajib meninjau ulang biaya dan ongkos yang diberlakukannya dengan maksud mengurangi jumlah dan jenisnya, apabila memungkinkan. 2 Ketentuan Khusus mengenai Biaya dan Ongkos yang dikenakan pada atau yang Terkait Kegiatan Impor dan Ekspor Biaya dan ongkos proses pabean: (i) wajib dibatasi nilainya sesuai dengan perkiraan biaya jasa yang diberikan atau yang terkait dengan kegiatan impor atau ekspor tertentu; dan (ii) tidak harus dikaitkan dengan kegiatan impor atau ekspor tertentu apabila biaya dan ongkos tersebut ditarik untuk jasa yang terkait erat dengan proses pabean untuk barang. 3 Ketentuan-Ketentuan mengenai Penalti 3.1 Berkaitan dengan ayat 3, istilah penalti diartikan sebagai hal yang dikenakan oleh administrasi pabean Anggota untuk pelanggaran peraturan perundang-undangan atau persyaratan prosedur kepabeanan. 3.2 Setiap Anggota wajib menjamin bahwa penalti untuk pelanggaran peraturan perundangundangan atau persyaratan prosedur kepabeanan dikenakan hanya pada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran peraturan perundang-undangan Anggota. 3.3 Penalti yang dikenakan wajib didasarkan pada fakta dan keadaan pada kasus tersebut dan harus sesuai dengan tingkat dan beratnya pelanggaran. 3.4 Setiap Anggota wajib memastikan dipertahankannya tindakan-tindakan untuk menghindari: (a) konflik kepentingan dalam penaksiran dan penarikan penalti dan bea; dan (b) dibuatnya insentif dalam penaksiran atau penarikan penalti yang tidak sesuai dengan ayat Setiap Anggota wajib memastikan bahwa ketika penalti dikenakan untuk pelanggaran peraturan perundang-undangan atau persyaratan prosedur kepabeanan, suatu penjelasan tertulis disampaikan kepada pihak-pihak yang dikenakan penalti yang menjelaskan jenis pelanggaran peraturan 8

9 perundang-undangan atau prosedur yang mendasari nilai atau besaran penalti atas pelanggaran yang ditetapkan. 3.6 Ketika suatu pihak secara sukarela mengungkapkan kepada administrasi pabean Anggota mengenai pelanggaran peraturan perundang-undangan atau persyaratan prosedur kepabeanan sebelum ditemukannya pelanggaran oleh administrasi pabean, Anggota didorong, jika memungkinkan, untuk mempertimbangkan fakta tersebut sebagai faktor yang dapat meringankan dalam menetapkan penalti kepada pihak tersebut. 3.7 Ketentuan-ketentuan dalam ayat ini juga wajib berlaku pada penetapan penalti terkait lalu lintas transit sebagaimana dimaksud dalam ayat Pemrosesan Sebelum Kedatangan PASAL 7: PELEPASAN DAN PEMBEBASAN BARANG 1.1 Setiap Anggota wajib menetapkan atau mempertahankan prosedur yang memungkinkan pengajuan dokumen impor dan informasi lain yang diperlukan, termasuk manifes, untuk memulai pemrosesan sebelum kedatangan barang dengan tujuan untuk mempercepat pelepasan ketika barang tiba. 1.2 Setiap Anggota wajib, sesuai keperluan, memperbolehkan penyampaian dokumen lebih awal dalam format elektronik untuk pemrosesan dokumen tersebut sebelum kedatangan barang. 2 Pembayaran secara Elektronik Setiap Anggota wajib, sejauh dapat diterapkan, menetapkan atau mempertahankan prosedur yang memungkinkan pilihan pembayaran secara elektronik untuk bea, pajak, biaya, dan ongkos yang ditarik oleh pabean terkait kegiatan impor dan ekspor. 3 Pemisahan Pelepasan dari Penentuan Akhir Bea, Pajak, Biaya dan Ongkos 3.1 Setiap Anggota wajib menetapkan atau mempertahankan prosedur yang memungkinkan pelepasan barang sebelum penentuan akhir bea, pajak, biaya, dan ongkos, jika penentuan tersebut tidak dilakukan sebelum atau ketika tiba, atau secepat mungkin setelah kedatangan dan apabila semua persyaratan lain telah terpenuhi. 3.2 Sebagai syarat untuk pelepasan tersebut, Anggota dapat mensyaratkan: (a) pembayaran bea, pajak, biaya, dan ongkos yang ditentukan sebelum atau ketika barang tiba dan jaminan untuk jumlah yang belum ditentukan dalam bentuk surat berharga, deposito, atau instrumen lain yang sesuai dan diatur dalam peraturan perundang-undangannya; atau (b) jaminan dalam bentuk surat berharga, deposito, atau instrumen lain yang sesuai dan diatur peraturan perundang-undangannya. 9

10 3.3 Jaminan tersebut tidak boleh lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan Anggota untuk memastikan pembayaran bea, pajak, biaya, dan ongkos yang akhirnya ditagihkan atas barangbarang tersebut terpenuhi oleh jaminan. 3.4 Dalam hal suatu pelanggaran yang membutuhkan pengenaan penalti atau denda telah terdeteksi, jaminan dapat disyaratkan untuk penalti dan denda yang akan dikenakan. 3.5 Jaminan sebagaimana diatur dalam ayat 3.2 dan 3.4 akan dikembalikan apabila tidak lagi diperlukan. 3.6 Tidak ada dalam ketentuan-ketentuan ini yang mempengaruhi hak Anggota untuk memeriksa, menahan, menyita atau merampas atau menangani barang-barang tersebut dengan cara apapun selama tidak bertentangan dengan hak dan kewajiban Anggota WTO. 4 Manajemen Risiko 4.1 Setiap Anggota wajib, sedapat mungkin, menetapkan atau mempertahankan sistem manajemen risiko untuk pengawasan kepabeanan. 4.2 Setiap Anggota wajib merancang dan menerapkan manajemen risiko dengan cara sedemikian rupa untuk menghindari tindakan sepihak atau diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan, atau pembatasan terselubung terhadap perdagangan internasional. 4.3 Setiap Anggota wajib memusatkan pengawasan kepabeanan dan, sedapat mungkin, pengawasan perbatasan lainnya yang relevan, atas pengiriman yang berisiko tinggi dan mempercepat pelepasan pengiriman yang berisiko rendah. Setiap Anggota dapat memilih, secara acak, pengiriman untuk diperiksa sebagai bagian dari manajemen risiko. 4.4 Setiap Anggota wajib mendasarkan manajemen risiko pada penaksiran risiko melalui kriteria pemilihan yang sesuai. Kriteria pemilihan tersebut dapat mencakup, antara lain, kode Harmonized System, sifat dan deskripsi barang, negara asal barang, negara asal pengiriman, nilai barang, catatan kepatuhan pedagang, dan jenis moda transportasi. 5 Audit Paska Pembebasan (Post-Clearance Audit) 5.1 Dengan tujuan untuk mempercepat pelepasan barang, setiap Anggota wajib menetapkan atau mempertahankan audit paska pembebasan (post-clearance audit) untuk memastikan kepatuhan terhadap pabean dan peraturan perundang-undangan lainnya. 5.2 Setiap Anggota wajib memilih seseorang atau pengiriman untuk post-clearance audit berdasarkan analisa risiko, yang mungkin mencakup kriteria pemilihan yang sesuai. Setiap Anggota wajib melakukan post-clearance audit secara transparan. Dalam hal orang yang terlibat dalam proses audit dan hasil pasti telah diperoleh Anggota wajib, tanpa penundaan, memberitahukan orang yang diaudit, hak dan kewajibannya, dan dasar atas hasilnya. 5.3 Informasi yang diperoleh dalam post-clearance audit dapat digunakan dalam proses administratif atau peradilan lanjutan. 10

11 5.4 Para Anggota wajib, apabila memungkinkan, menggunakan hasil post-clearance audit dalam menerapkan manajemen risiko. 6 Pembentukan dan Publikasi Rata-Rata Waktu Pelepasan 6.1 Para Anggota didorong untuk mengukur dan memublikasikan rata-rata waktu pelepasan barang secara berkala dan konsisten, dengan menggunakan pedoman seperti, antara lain, World Customs Organization (selanjutnya dalam Persetujuan ini disebut WCO ) Time Release Study Para Anggota didorong untuk berbagi pengalaman dengan Komite dalam mengukur rata-rata waktu pelepasan, termasuk metodologi yang digunakan, hambatan yang teridentifikasi, dan dampaknya terhadap efisiensi. 7 Kebijakan Fasilitasi Perdagangan untuk Operator Resmi (Authorized Operators) 7.1 Setiap Anggota wajib menyediakan ketentuan fasilitasi perdagangan tambahan terkait formalitas dan prosedur impor, ekspor, atau transit, sesuai ayat 7.3, untuk operator yang memenuhi kriteria yang ditentukan, yang selanjutnya disebut operator resmi (authorized operators). Sebagai alternatif, Anggota dapat menawarkan ketentuan fasilitasi tersebut melalui prosedur kepabeanan yang umumnya tersedia untuk semua operator dan tidak perlu membentuk skema terpisah. 7.2 Kriteria untuk dapat menjadi authorized operator harus terkait dengan kepatuhan, atau risiko atas ketidakpatuhan, dengan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau prosedur Anggota. (a) Kriteria tersebut, yang wajib dipublikasikan, dapat mencakup: (i) catatan kepatuhan yang sesuai dengan pabean dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya; (ii) sebuah sistem pengelolaan catatan yang memungkinkan pengawasan internal yang diperlukan; (iii) kemampuan keuangan, termasuk, sesuai keperluan, penyediaan keamanan atau jaminan yang memadai; dan (iv) keamanan rantai pasokan. (b) Kriteria-kriteria tersebut tidak boleh: (i) dirancang atau diterapkan untuk memberikan atau menciptakan tindakan sepihak atau diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan antar operator dengan kondisi yang sama; dan (ii) sejauh memungkinkan, membatasi partisipasi usaha kecil dan menengah. 7.3 Ketentuan fasilitasi perdagangan yang diatur dalam ayat 7.1 wajib mencakup setidaknya tiga dari ketentuan berikut: 7 6 Setiap Anggota dapat menetapkan cakupan dan metodologi pengukuran waktu pelepasan rata-rata sesuai kebutuhan dan kapasitasnya. 11

12 (a) persyaratan data dan dokumentasi yang sedikit, sesuai keperluan; (b) tingkat pemeriksaan dan penelitian fisik yang rendah, sesuai keperluan; (c) percepatan waktu pelepasan, sesuai keperluan; (d) penangguhan pembayaran bea, pajak, biaya, dan ongkos; (e) penggunaan jaminan yang menyeluruh (comprehensive guarantee) atau pengurangan jaminan; (f) deklarasi kepabeanan tunggal untuk semua impor atau ekspor dalam suatu periode tertentu; dan (g) pembebasan barang di tempat authorized operator atau tempat lain yang diizinkan oleh pabean. 7.4 Anggota didorong untuk mengembangkan skema authorized operator berdasarkan standar internasional, jika ada, kecuali jika standar tersebut akan menjadi sarana yang tidak sesuai atau tidak efektif dalam pemenuhan tujuan yang sah. 7.5 Dalam rangka meningkatkan ketentuan fasilitasi perdagangan yang diberikan kepada operator, Para Anggota wajib memberikan Para Anggota lainnya kesempatan negosiasi pengakuan timbal balik skema authorized operator. 7.6 Para Anggota wajib saling bertukar informasi yang relevan di dalam Komite tentang skema authorized operator yang berlaku. 8 Pengiriman yang Dipercepat (Expedited Shipments) 8.1 Setiap Anggota wajib menetapkan atau mempertahankan prosedur yang memungkinkan untuk dipercepatnya pelepasan setidaknya untuk barang-barang yang masuk melalui fasilitas kargo udara kepada orang-orang yang memohon perlakuan tersebut, dengan tetap mempertahankan pengawasan kepabeanan. 8 Jika Anggota menggunakan kriteria 9 yang membatasi pihak yang dapat mengajukan permohonan, Anggota tersebut dapat, dalam kriteria yang dipublikasikan, mensyaratkan bahwa pemohon wajib, sebagai syarat untuk memenuhi permohonan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 8.2 terkait pengiriman yang dipercepat (expedited shipments): (a) menyediakan infrastruktur yang memadai dan pembayaran biaya pabean terkait pemrosesan expedited shipments dalam hal pemohon memenuhi persyaratan untuk pemrosesan tersebut yang akan dilakukan di fasilitas khusus; (b) menyampaikan sebelum kedatangan expedited shipment informasi yang diperlukan untuk pelepasan; 7 Suatu tindakan sebagaimana tercantum dalam butir 7.3(a) sampai (g) akan dianggap sebagai pemberian kepada authorized operators meskipun tindakan tersebut juga diberikan kepada semua operator. 8 Dalam hal ketika Anggota telah memiliki prosedur yang memberikan perlakuan sesuai ayat 8.2, ketentuan ini tidak mensyaratkan Anggota tersebut untuk menerapkan prosedur baru yang terpisah terkait percepatan pelepasan. 9 Kriteria permohonan tersebut, jika ada, akan menjadi tambahan persyaratan Anggota dalam pengoperasian terkait semua barang dan pengiriman yang masuk melalui fasilitas kargo udara. 12

13 (c) ditaksir biaya yang dibatasi nilainya sejumlah perkiraan ongkos jasa yang diberikan dalam menyediakan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 8.2; (d) mempertahankan tingkat pengawasan yang tinggi terhadap expedited shipments melalui penggunaan keamanan internal, logistik, dan teknologi pelacakan dari pengambilan sampai pengiriman; (e) menyediakan expedited shipment dari pengambilan sampai pengiriman; (f) bertanggung jawab atas pembayaran semua bea, pajak, biaya, dan ongkos kepada otoritas pabean untuk barang tersebut; (g) memiliki catatan kepatuhan yang baik dengan pabean dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya; (h) memenuhi persyaratan lain yang secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum peraturan perundang-undangan, dan persyaratan prosedur Anggota, yang secara khusus terkait dengan penyediaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat Sesuai dengan ayat 8.1 dan 8.3, Anggota wajib: (a) meminimalisasi dokumentasi yang diperlukan untuk pelepasan expedited shipments yang sesuai dengan Pasal 10 ayat 1, dan sedapat mungkin, melakukan pelepasan berdasarkan pengajuan informasi tunggal; (b) melakukan pelepasan atas expedited shipments dalam keadaan normal secepat mungkin setelah tiba, jika informasi yang diperlukan untuk pelepasan telah disampaikan; (c) berupaya menerapkan perlakuan dalam butir (a) dan (b) untuk pengiriman dengan berat atau nilai apapun dengan tetap memperhatikan bahwa Anggota diperbolehkan untuk mensyaratkan prosedur masuk tambahan, termasuk deklarasi dan dokumen pendukung dan pembayaran bea dan pajak, dan membatasi perlakuan tersebut berdasarkan jenis barang, dengan syarat bahwa perlakuan tersebut tidak terbatas pada barang-barang yang bernilai rendah seperti dokumen; dan (d) menyediakan, sedapat mungkin, nilai pengiriman dan jumlah bea minimal yang tidak dikenakan bea dan pajak, selain dari barang tertentu yang telah ditetapkan. Pajak internal, seperti pajak pertambahan nilai dan cukai, yang diterapkan untuk impor sesuai dengan Pasal III GATT 1994 tidak termasuk dalam ketentuan ini. 8.3 Tidak ada dalam ayat 8.1 dan 8.2 yang dapat mempengaruhi hak Anggota untuk memeriksa, menahan, menyita, merampas atau menolak masuknya barang, atau untuk melaksanakan postclearance audit, termasuk dalam kaitannya dengan penggunaan sistem manajemen risiko. Lebih lanjut, tidak ada dalam ayat 8.1 dan 8.2 yang mencegah Anggota dari meminta, sebagai syarat untuk pelepasan, penyampaian informasi tambahan dan pemenuhan persyaratan perizinan yang tidak otomatis. 13

14 9 Barang Cepat Rusak Dengan tujuan untuk mencegah kerugian atau kerusakan dari barang cepat rusak, dan jika semua persyaratan peraturan telah dipenuhi, setiap Anggota wajib melakukan pelepasan barang mudah rusak: (a) dalam keadaan normal dalam waktu sesingkat mungkin; dan (b) dalam keadaan luar biasa dimana wajar untuk dilakukan, di luar jam kerja pabean dan otoritas terkait lainnya. 9.2 Setiap Anggota wajib memberikan prioritas yang sesuai untuk barang cepat rusak ketika menjadwalkan pemeriksaan yang mungkin diperlukan. 9.3 Setiap Anggota wajib mengatur atau mengizinkan pengimpor untuk mengatur penyimpanan yang tepat untuk barang cepat rusak sebelum pelepasannya. Anggota dapat mensyaratkan bahwa setiap fasilitas penyimpanan yang diatur oleh pengimpor telah disetujui atau ditunjuk oleh otoritas yang relevan. Pergerakan barang ke fasilitas penyimpanan tersebut, termasuk otorisasi operator yang memindahkan barang, dapat mensyaratkan persetujuan, apabila diperlukan, dari otoritas terkait. Anggota wajib, apabila memungkinkan dan sesuai dengan peraturan dalam negeri, atas permintaan pengimpor, mengatur prosedur apapun yang diperlukan untuk melakukan pelepasan di tempat fasilitas penyimpanan. 9.4 Dalam hal penundaan yang signifikan terkait pelepasan barang cepat rusak, dan atas permintaan tertulis, Anggota pengimpor wajib, sedapat mungkin, memberitahukan alasan penundaan tersebut. PASAL 8: KERJA SAMA LEMBAGA PERBATASAN 1. Anggota wajib memastikan bahwa otoritas dan lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan dan prosedur perbatasan yang berhubungan dengan kegiatan impor, ekspor, dan transit barang bekerja sama satu sama lain dan mengoordinasikan kegiatannya dengan tujuan untuk memfasilitasi perdagangan. 2. Anggota wajib, sedapat mungkin dan apabila dapat dilakukan, bekerja sama atas dasar persetujuan dengan Anggota lain yang berbatasan dengan maksud untuk mengoordinasikan prosedur di perlintasan perbatasan untuk memfasilitasi perdagangan lintas batas. Kerja sama dan koordinasi tersebut dapat mencakup: (a) penyelarasan hari dan jam kerja; (b) penyelarasan prosedur dan formalitas; (c) pengembangan dan berbagi fasilitas umum; 10 Berkaitan dengan ketentuan ini, barang cepat rusak adalah barang yang cepat rusak karena karateristik alamiahnya, khususnya karena ketiadaan fasilitas penyimpanan yang sesuai. 14

15 (d) pengawasan bersama; (e) pembentukan satu pos pengawasan perbatasan. PASAL 9: PERGERAKAN BARANG YANG DITUJUKAN UNTUK IMPOR DALAM PENGAWASAN KEPABEANAN Setiap Anggota wajib, sejauh dapat dilaksanakan, dan apabila semua persyaratan peraturan terpenuhi, mengizinkan barang yang ditujukan untuk impor dipindahkan dalam wilayahnya di bawah pengawasan kepabeanan dari kantor pabean di tempat masuk ke kantor pabean lain di dalam wilayahnya di mana barang akan dilepaskan atau dibebaskan. PASAL 10: FORMALITAS TERKAIT KEGIATAN IMPOR, EKSPOR DAN TRANSIT 1 Formalitas dan Persyaratan Dokumentasi 1.1 Dengan tujuan untuk mengurangi masalah dan mempermudah formalitas impor, ekspor, dan transit dan mengurangi serta menyederhanakan persyaratan dokumentasi impor, ekspor, dan transit dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan yang sah dan faktor-faktor lain seperti perubahan keadaan, informasi baru yang relevan, praktik usaha, ketersediaan teknik dan teknologi, praktik internasional terbaik, dan masukan dari pihak yang berkepentingan, setiap Anggota wajib melakukan tinjauan ulang atas formalitas dan persyaratan dokumentasi tersebut dan, berdasarkan hasil tinjauan ulang tersebut, memastikan, sekiranya sesuai, bahwa formalitas dan persyaratan dokumentasi tersebut: (a) ditetapkan dan/atau diterapkan dengan maksud mempercepat pelepasan dan pembebasan barang, terutama untuk barang cepat rusak; (b) ditetapkan dan/atau diterapkan dengan cara yang dimaksudkan untuk mengurangi waktu dan biaya kepatuhan bagi para pedagang dan operator; (c) memilih tindakan yang paling tidak menghambat perdagangan, apabila terdapat dua atau lebih tindakan alternatif yang dengan wajar tersedia untuk memenuhi tujuan kebijakan atau tujuan tersebut; dan (d) tidak mempertahankan, termasuk bagian-bagiannya, jika tidak lagi diperlukan. 1.2 Komite wajib mengembangkan prosedur untuk berbagi informasi yang relevan dan praktik terbaik antar Anggota, sesuai keperluan. 2 Penerimaan Salinan 2.1 Setiap Anggota wajib, apabila memungkinkan, berupaya untuk menerima salinan kertas atau elektronik terkait dokumen pendukung yang disyaratkan untuk formalitas impor, ekspor, atau transit. 15

16 2.2 Ketika suatu lembaga pemerintah Anggota telah memperoleh dokumen asli, lembaga lain dari Anggota tersebut wajib menerima salinan kertas atau elektronik, apabila sesuai, dari lembaga pemegang dokumen asli sebagai pengganti dokumen asli. 2.3 Anggota tidak diperbolehkan mensyaratkan dokumen asli atau salinan deklarasi ekspor yang sebelumnya telah diserahkan kepada otoritas pabean Anggota pengekspor sebagai persyaratan kegiatan impor Penggunaan Standar Internasional 3.1 Para Anggota didorong untuk menggunakan standar internasional atau bagian-bagiannya yang relevan sebagai dasar formalitas dan prosedur impor, ekspor, atau transit, kecuali apabila ditentukan lain dalam Persetujuan ini. 3.2 Para Anggota didorong untuk ikut berperan, dalam batas sumber daya yang dimilikinya, dalam proses penyusunan dan peninjauan ulang berkala standar internasional yang relevan oleh organisasi internasional terkait. 3.3 Komite wajib mengembangkan prosedur berbagi informasi yang relevan, dan praktik terbaik, antar Anggota terkait penerapan standar internasional, sesuai keperluan. Komite juga dapat mengundang organisasi internasional yang relevan untuk membahas pekerjaannya terkait standar internasional. Sesuai keperluan, Komite dapat mengidentifikasi standar yang memiliki manfaat tertentu bagi para Anggota. 4 Single Window 4.1 Anggota wajib mengupayakan untuk membangun atau mempertahankan single window, yang memungkinkan para pedagang untuk menyampaikan dokumentasi dan/atau persyaratan data untuk kegiatan impor, ekspor, atau transit barang melalui satu pintu masuk yang ditujukan kepada otoritas atau lembaga yang berpartisipasi. Setelah pemeriksaan oleh otoritas atau lembaga yang berpartisipasi atas dokumentasi dan/atau data, hasil tersebut wajib dinotifikasikan kepada pemohon melalui single window dalam jangka waktu yang wajar. 4.2 Dalam hal di mana persyaratan dokumentasi dan/atau data telah diterima melalui single window, persyaratan dokumen dan/atau data yang sama tidak boleh diminta oleh otoritas atau lembaga yang berpartisipasi kecuali dalam keadaan mendesak dan pengecualian terbatas lain yang telah diumumkan sebelumnya. 4.3 Anggota wajib menyampaikan notifikasi kepada Komite rincian cara kerja single window. 4.4 Anggota wajib, sedapat mungkin dan apabila dapat dilakukan, menggunakan teknologi informasi untuk mendukung single window. 5 Pemeriksaan sebelum Pengiriman (Preshipment Inspection) 11 Tidak ada dalam ayat ini yang melarang Anggota untuk mensyaratkan dokumen seperti sertifikat, izin atau lisensi sebagai persyaratan kegiatan impor barang yang diawasi atau diatur. 16

17 5.1 Anggota tidak boleh meminta dilakukannya pemeriksaan sebelum pengiriman (preshipment inspection) untuk penentuan klasifikasi tarif dan nilai pabean. 5.2 Tanpa mengurangi hak para Anggota untuk menggunakan preshipment inspection dalam bentuk lain yang tidak dicakup dalam ayat 5.1, para Anggota didorong untuk tidak memperkenalkan atau menerapkan persyaratan baru terkait penggunaannya Penggunaan Penyedia Jasa Kepabeananan 6.1 Tanpa mengurangi peran penting penyedia jasa kepabeanan bagi beberapa Anggota, sejak mulai berlakunya Persetujuan ini, Anggota tidak boleh menerapkan aturan baru yang mewajibkan penggunaan penyedia jasa kepabeanan. 6.2 Setiap Anggota wajib menyampaikan notifikasi kepada Komite dan memublikasikan kebijakan terkait penggunaan penyedia jasa kepabeanan. Setiap perubahan lebih lanjut wajib segera diberitahukan dan dipublikasikan. 6.3 Berkaitan dengan pemberian izin penyedia jasa kepabeanan, para Anggota wajib menerapkan aturan-aturan yang transparan dan obyektif. 7 Prosedur-Prosedur Perbatasan yang Berlaku Umum dan Persyaratan Dokumentasi yang Seragam 7.1 Setiap Anggota wajib, sesuai dengan ayat 7.2, menerapkan prosedur kepabeanan yang berlaku umum dan persyaratan dokumentasi yang seragam terkait pelepasan dan pembebasan barang di seluruh wilayahnya. 7.2 Tidak ada dalam Pasal ini yang menghalangi Anggota dari: (a) membedakan prosedur dan persyaratan dokumentasi berdasarkan sifat dan jenis barang, atau moda transportasi yang digunakan; (b) membedakan prosedur dan persyaratan dokumentasi untuk barang berdasarkan manajemen risiko; (c) membedakan prosedur dan persyaratan dokumentasi untuk memberikan pembebasan seluruh atau sebagian dari bea masuk atau pajak; (d) menerapkan sistem pengajuan atau pemrosesan secara elektronik; atau (e) membedakan prosedur dan persyaratan dokumentasi yang sesuai dengan Persetujuan tentang Penerapan Kebijakan Sanitary and Phytosanitary. 8 Barang-Barang yang Ditolak 8.1 Dalam hal barang-barang yang akan diimpor ditolak oleh otoritas yang berwenang dari Anggota karena tidak memenuhi ketentuan sanitary atau phytosanitary atau ketentuan teknis yang ditentukan, Anggota wajib, sebagaimana diatur dan sesuai dengan peraturan perundang- 12 Ayat ini merujuk pada preshipment inspection yang tercakup dalam Persetujuan Preshipment Inspection, dan tidak menghalangi preshipment inspection untuk tujuan sanitary dan phytosanitary. 17

18 undangannya, memperbolehkan pengimpor untuk mengirim ulang atau mengembalikan barang yang ditolak kepada pengekspor atau pihak lain yang ditunjuk oleh pengekspor. 8.2 Pada saat pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat 8.1 diberikan dan pengimpor gagal untuk melaksanakannya dalam jangka waktu yang wajar, otoritas yang berwenang dapat mengambil tindakan lain guna menangani barang-barang yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. 9 Penerimaan Sementara Barang-Barang dan Pemrosesan ke Dalam dan ke Luar 9.1 Penerimaan Sementara Barang-Barang Setiap Anggota wajib memperbolehkan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangannya, barang yang akan dibawa masuk ke dalam wilayah pabean dibebaskan bersyarat, seluruh atau sebagian, dari pembayaran bea masuk dan pajak jika barang-barang tersebut dibawa ke dalam wilayah pabean untuk tujuan tertentu, untuk diekspor kembali dalam jangka waktu tertentu, dan tidak mengalami perubahan apapun kecuali penyusutan dan pengurangan secara normal karena penggunaannya. 9.2 Pemrosesan ke Dalam dan ke Luar (a) Setiap Anggota wajib memperbolehkan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangannya, pemrosesan barang ke dalam dan ke luar. Barang yang diperbolehkan untuk pemrosesan ke luar dapat diimpor kembali dengan dikecualikan dari seluruh atau sebagian bea masuk dan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan Anggota tersebut. (b) Berkaitan dengan Pasal ini, istilah "pemrosesan ke dalam" diartikan sebagai prosedur kepabeanan di mana barang-barang tertentu dapat dibawa masuk ke dalam daerah pabean yang dibebaskan bersyarat, baik seluruh atau sebagian, dari pembayaran bea masuk dan pajak, atau memenuhi syarat untuk pengembalian bea, atas dasar bahwa barang tersebut ditujukan untuk manufaktur, pemrosesan, atau perbaikan dan kegiatan ekspor lebih lanjut. (c) Berkaitan dengan Pasal ini, istilah "pemrosesan ke luar" diartikan sebagai prosedur kepabeanan di mana barang-barang yang beredar bebas di suatu daerah pabean Anggota dapat diekspor sementara waktu untuk proses manufaktur, pemrosesan, atau perbaikan di luar negeri dan kemudian diimpor kembali. PASAL 11: KEBEBASAN TRANSIT 1. Setiap peraturan atau formalitas terkait dengan lalu lintas transit yang diberlakukan oleh Anggota tidak boleh: (a) dipertahankan jika keadaan atau tujuan yang menjadi alasan penetapannya tidak lagi ada atau jika perubahan keadaan atau tujuannya dapat ditangani dengan cara lainnya yang wajar yang tidak terlalu membatasi perdagangan; (b) diterapkan dengan cara yang merupakan pembatasan terselubung terhadap lalu lintas transit. 18

19 2. Lalu lintas transit tidak boleh dikaitkan dengan penarikan biaya atau ongkos apapun terkait dengan transit, kecuali ongkos transportasi atau ongkos lain yang senilai dengan biaya administrasi yang ditimbulkan oleh transit atau biaya jasa yang diberikan. 3. Anggota tidak boleh meminta, menerapkan, atau mempertahankan pembatasan sukarela atau tindakan serupa lain terkait lalu lintas transit. Hal ini tanpa mengesampingkan peraturan nasional, pengaturan bilateral atau multilateral yang telah ada dan yang akan datang terkait pengaturan transportasi, yang sesuai dengan aturan WTO. 4. Setiap Anggota wajib memberikan perlakuan yang tidak berbeda (no less favourable) atas produk yang akan transit melalui wilayah Anggota lain dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan jika produk tersebut diangkut dari tempat asalnya ke tempat tujuan tanpa melalui wilayah Anggota lain. 5. Anggota didorong untuk menyediakan, apabila memungkinkan, infrastruktur fisik yang terpisah (seperti jalur, tempat berlabuh dan sejenisnya) untuk lalu lintas transit. 6. Formalitas, persyaratan dokumentasi, dan pengawasan kepabeanan terkait dengan lalu lintas transit tidak boleh lebih memberatkan dari yang diperlukan untuk: (a) mengidentifikasi barang-barang; dan (b) menjamin terpenuhinya persyaratan transit. 7. Ketika barang telah memulai prosedur transit dan telah diizinkan untuk diteruskan dari titik asal di wilayah Anggota, barang tersebut tidak boleh dikenakan biaya pabean apapun atau penundaan atau pembatasan yang tidak perlu sampai barang tersebut menyelesaikan proses transit di titik tujuan dalam wilayah Anggota tersebut. 8. Anggota tidak boleh memberlakukan peraturan teknis dan prosedur penilaian kesesuaian sebagaimana diatur dalam Persetujuan tentang Hambatan Teknis Perdagangan untuk barang dalam transit. 9. Anggota wajib memperbolehkan dan menyediakan fasilitas pengajuan dan pemrosesan dokumentasi dan data transit sebelum barang tiba. 10. Ketika lalu lintas transit telah sampai di kantor pabean di mana barang keluar dari wilayah Anggota, kantor pabean tersebut wajib segera menghentikan kegiatan transit jika persyaratan transit telah terpenuhi. 11. Dalam hal Anggota mensyaratkan jaminan dalam bentuk surat berharga, deposito atau dalam bentuk uang atau ìnstrumen bukan uang 13 yang sesuai untuk lalu lintas transit, jaminan tersebut wajib dibatasi hanya untuk memastikan bahwa persyaratan yang timbul dari lalu lintas transit tersebut terpenuhi. 12. Ketika Anggota menetapkan bahwa persyaratan transit telah terpenuhi, jaminan tersebut wajib dikembalikan secepatnya. 13 Tidak ada dalam ketentuan ini yang melarang Anggota untuk mempertahankan prosedur yang telah ada di mana moda transportasi dapat digunakan sebagai jaminan untuk lalu lintas transit. 19

20 13. Setiap Anggota wajib, dengan cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangannya, memungkinkan diterimanya comprehensive guarantees yang mencakup transaksi berganda untuk operator yang sama atau pembaharuan jaminan tanpa pengembalian untuk pengiriman selanjutnya. 14. Setiap Anggota wajib memublikasikan informasi yang relevan yang digunakan untuk menentukan jaminan, termasuk transaksi tunggal dan, jika memungkinkan, jaminan transaksi berganda. 15. Setiap Anggota dapat mensyaratkan penggunaan pengiringan atau pengawalan pabean untuk lalu lintas transit hanya dalam keadaan-keadaan yang berisiko tinggi atau ketika kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan kepabeanan tidak dapat dipastikan melalui penggunaan jaminan. Aturan umum yang berlaku untuk pengiringan atau pengawalan pabean wajib dipublikasikan sebagaimana diatur dalam Pasal Anggota wajib berupaya bekerja sama dan berkoordinasi satu sama lain dengan tujuan meningkatkan kebebasan transit. Kerja sama dan koordinasi tersebut dapat mencakup, namun tidak terbatas, kesepahaman terkait dengan: (a) biaya-biaya; (b) formalitas dan persyaratan hukum; dan (c) pelaksanaan aturan transit. 17. Setiap Anggota wajib berupaya untuk menunjuk koordinator nasional terkait transit sehingga semua pertanyaan dan usulan yang diajukan oleh Anggota lain terkait dengan pelaksanaan kegiatan transit yang baik dapat ditangani. PASAL 12: KERJA SAMA KEPABEANAN 1 Kebijakan Peningkatkan Kepatuhan dan Kerja Sama 1.1 Anggota menyepakati pentingnya memastikan bahwa pedagang menyadari kewajiban kepatuhannya, mendorong kepatuhan secara sukarela guna memungkinkan pengimpor mengoreksi sendiri tanpa penalti dalam kondisi yang memungkinkan, dan menerapkan kebijakan kepatuhan untuk memulai tindakan yang lebih kuat terhadap pedagang yang tidak patuh Anggota didorong untuk berbagi informasi tentang praktik-praktik terbaik dalam mengelola kepatuhan kepabeanan, termasuk melalui Komite. Anggota didorong untuk bekerja sama dalam pedoman teknis atau bantuan dan dukungan pengembangan kapasitas dengan tujuan untuk mengenakan tindakan kepatuhan dan meningkatkan efektivitasnya. 14 Kegiatan tersebut memiliki tujuan umum untuk mengurangi kekerapan ketidakpatuhan dan pada akhirnya mengurangi keperluan pertukaran informasi dalam rangka penegakan. 20

21 2 Pertukaran Informasi 2.1 Atas permintaan dan sesuai dengan ketentuan di dalam pasal ini, Anggota wajib bertukar informasi sebagaimana tercantum pada ayat 6.1(b) dan/atau (c) dengan tujuan untuk memverifikasi deklarasi impor atau ekspor dalam kasus-kasus yang diketahui memiliki alasan wajar untuk diragukan kebenaran atau keakuratan deklarasinya. 2.2 Setiap Anggota wajib memberitahukan kepada Komite rincian pusat kontak untuk pertukaran informasi dimaksud. 3 Verifikasi Anggota wajib mengajukan permintaan informasi hanya setelah melakukan prosedur verifikasi yang sesuai terhadap deklarasi impor atau ekspor dan setelah memeriksa dokumentasi relevan yang tersedia. 4 Permintaan 4.1 Anggota pemohon wajib menyampaikan permintaan secara tertulis kepada Anggota termohon, melalui sarana kertas atau elektronik dalam bahasa resmi WTO atau bahasa lain yang disepakati bersama, termasuk: (a) hal-hal yang mencakup, apabila sesuai dan tersedia, nomor identifikasi deklarasi ekspor sesuai dengan deklarasi impor terkait; (b) tujuan Anggota pemohon untuk meminta informasi atau dokumen, bersama dengan nama dan rincian kontak orang-orang yang terkait dengan permintaan tersebut, jika diketahui; (c) apabila disyaratkan oleh Anggota termohon, konfirmasi 15 dari verifikasi yang sesuai; (d) informasi atau dokumen tertentu yang diminta; (e) identitas kantor asal yang mengajukan permohonan; (f) acuan ketentuan peraturan perundang-undangan dan sistem hukum nasional Anggota pemohon yang mengatur pengumpulan, perlindungan, penggunaan, pengungkapan, penyimpanan, dan pemusnahan informasi rahasia dan data pribadi. 4.2 Jika Anggota pemohon tidak dalam posisi untuk memenuhi salah satu butir dari ayat 4.1, Anggota wajib menjelaskan dalam permohonannya. 5 Perlindungan dan Kerahasiaan 5.1 Anggota pemohon wajib, sesuai ayat 5.2 : (a) menyimpan semua informasi atau dokumen yang disediakan oleh Anggota termohon dalam kerahasiaan dan menjamin setidaknya tingkat perlindungan dan kerahasiaan yang sama 15 Hal ini dapat mencakup informasi penting terkait verifikasi yang dilakukan berdasarkan ayat 3. Informasi tersebut wajib diberikan tingkat keamanan dan kerahasiaan yang ditetapkan oleh Anggota yang melakukan verifikasi. 21

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN MULTILATERAL AGREEMENT AMONG D-8 MEMBER COUNTRIES ON ADMINISTRATIVE ASSISTANCE IN CUSTOMS MATTERS (PERSETUJUAN MULTILATERAL

Lebih terperinci

ADENDUM TERHADAP KETENTUAN PEMBELIAN DALAM BBSLA UNTUK SELURUH TOKO RIME

ADENDUM TERHADAP KETENTUAN PEMBELIAN DALAM BBSLA UNTUK SELURUH TOKO RIME ADENDUM TERHADAP KETENTUAN PEMBELIAN DALAM BBSLA UNTUK SELURUH TOKO RIME 1. RUANG LINGKUP & APLIKASI 1.1. Perjanjian Lisensi BlackBerry Solution ("BBSLA") berlaku untuk seluruh distribusi (gratis dan berbayar)

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 206.3/PMK.01/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 206.3/PMK.01/2014 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 206.3/PMK.01/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 168/PMK.01/2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

SALINAN. t,',?s r. *, J.Tnt NOMOR 17 TAHUN Menimbang : a. pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum

SALINAN. t,',?s r. *, J.Tnt NOMOR 17 TAHUN Menimbang : a. pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum SALINAN t,',?s r. *, J.Tnt ", r, o UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTPCO' AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANUATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 24 /BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI NOMOR : 3 / BNSP / III / 2014 TENTANG PEDOMAN KETENTUAN UMUM LISENSI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI

PERATURAN BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI NOMOR : 3 / BNSP / III / 2014 TENTANG PEDOMAN KETENTUAN UMUM LISENSI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI PERATURAN BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI NOMOR : 3 / BNSP / III / 2014 TENTANG PEDOMAN KETENTUAN UMUM LISENSI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN NASIONAL SERTIFIKASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 168/PMK.01/2012 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 168/PMK.01/2012 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 168/PMK.01/2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DENGAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya; LAMPIRAN PERSETUJUAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTAR PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

CODES OF PRACTICE. Dokumen: Codes of Practice Edisi / Rev: 1 / 2 Tanggal: 03 April 2017 Hal : Hal 1 dari 7

CODES OF PRACTICE. Dokumen: Codes of Practice Edisi / Rev: 1 / 2 Tanggal: 03 April 2017 Hal : Hal 1 dari 7 1. Pendahuluan Codes of Practice ini telah ditulis sesuai dengan persyaratan badan akreditasi nasional dan dengan persetujuan PT AJA Sertifikasi Indonesia yang saat ini beroperasi. PT. AJA Sertifikasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74/PMK.01/2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74/PMK.01/2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74/PMK.01/2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI MENTERI KEUANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI ATAS IMPOR BARANG YANG MENGALAMI KERUSAKAN, PENURUNAN MUTU, KEMUSNAHAN, ATAU PENYUSUTAN VOLUME DAN/ATAU BERAT,

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : Menimbang bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 227/PMK.04/2014 TENTANG OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR)

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 227/PMK.04/2014 TENTANG OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 227/PMK.04/2014 TENTANG OPERATOR EKONOMI BERSERTIFIKAT (AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KE LUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KE LUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KE LUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Catatan Pengarahan FLEGT

Catatan Pengarahan FLEGT FLEGT PENEGAKAN HUKUM, TATA KELOLA DAN PERDAGANGAN SEKTOR KEHUTANAN Jaminan legalitas berbasis peserta pasar dan pemberian izin FLEGT Latar belakang Rencana Tindakan mengenai Penegakan Hukum, Tata Kelola

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 10/BC/2017 TENTANG TATA LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI PUSAT LOGISTIK BERIKAT

Lebih terperinci

CODES OF PRACTICE. 1. Pendahuluan

CODES OF PRACTICE. 1. Pendahuluan 1. Pendahuluan Codes of Practice ini telah ditulis sesuai dengan persyaratan badan akreditasi nasional dan dengan persetujuan PT AJA Sertifikasi Indonesia yang saat ini beroperasi. PT. AJA Sertifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN SURAT PEMESANAN PEMBELIAN (PO)

SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN SURAT PEMESANAN PEMBELIAN (PO) SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN SURAT PEMESANAN PEMBELIAN (PO) 1. KEBERLAKUAN. (a) Syarat-syarat dan ketentuan ini berlaku terhadap pembelian barang-barang yang disebutkan di halaman depan pemesanan pembelian/po

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) 1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia t

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia t No.94, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Daerah Pabean Indonesia. Asing. Uang Kertas. Pembawaan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6050) PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KERTAS DAN KARTON UNTUK KEMASAN PANGAN SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG PEMBEBASAN

Lebih terperinci

-1- DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

-1- DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, -1- KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-02/BC/2016 TENTANG TATA LAKSANA PENGELUARAN BARANG IMPOR DARI KAWASAN PABEAN UNTUK DITIMBUN DI PUSAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-24/BC/2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BEA MASUK SERTA PENYELESAIAN KEWAJIBAN PABEAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum untuk Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth 1. Definisi Syarat dan Ketentuan Umum ANGSURAN adalah suatu

Lebih terperinci

2. Layanan-layanan LS ICSM Indonesia akan memberikan layanan-layanan sebagai berikut:

2. Layanan-layanan LS ICSM Indonesia akan memberikan layanan-layanan sebagai berikut: 1. Perjanjian Perjanjian ini dibuat pada tanggal ditandatangani, antara pihak (1) LS ICSM Indonesia sebagai lembaga sertifikasi, beralamat di Jalan Raya Lenteng Agung No. 11B, Jakarta Selatan 12610 dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 176/PMK.04/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 254/PMK.04/2011 TENTANG PEMBEBASAN

Lebih terperinci

KOP PERUSAHAAN. Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA. Kepada : Yth. Kepala KPU... Di...

KOP PERUSAHAAN. Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA. Kepada : Yth. Kepala KPU... Di... LAMPIRAN I NOMOR : /BC/2007 Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA Kepada : Yth. Kepala KPU... Di... KOP PERUSAHAAN Sehubungan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor :.../BC/2007

Lebih terperinci

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung kegiatan Layanan Tunggal

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung kegiatan Layanan Tunggal KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Jalan Merdeka Barat No. 8 Jakarta 10110 KotakPosNo. 1389 Jakarta 10013 Telepon : 3505550-3505006 (Sentral) Fax:3505136-3505139 3507144 PERATURAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 219/PMK.04/2010 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN TERHADAP AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 219/PMK.04/2010 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN TERHADAP AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 219/PMK.04/2010 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN TERHADAP AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA

Lebih terperinci

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks No.565, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Standadisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/M-DAG/PER/4/2016 TENTANG STANDARDISASI BIDANG PERDAGANGAN DENGAN

Lebih terperinci

1 of 6 3/17/2011 3:59 PM

1 of 6 3/17/2011 3:59 PM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2009 TENTANG POS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan hak kekayaan intelektual yang

Lebih terperinci

Menetapkan: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERANTARA PEDAGANG EFEK UNTUK EFEK BERSIFAT UTANG DAN SUKUK BAB I KETENTUAN UMUM

Menetapkan: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERANTARA PEDAGANG EFEK UNTUK EFEK BERSIFAT UTANG DAN SUKUK BAB I KETENTUAN UMUM RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2017 TENTANG PERANTARA PEDAGANG EFEK UNTUK EFEK BERSIFAT UTANG DAN SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.96, 2013 KESEHATAN. Narkotika. Penggunaan. Larangan. Aturan Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2014 PERDAGANGAN. Standardisasi. Penilaian Kesesuaian Perumusan. Pemberlakuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE PROSES Acara Cepat KLRCA Bagian II SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI Bagian III PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL

KETENTUAN UMUM PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL KETENTUAN UMUM PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.04/2016 TENTANG PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) DENGAN

Lebih terperinci

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Agenda Sistem Pengawasan Badan POM Peraturan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

REGULASI NO. 2000/09

REGULASI NO. 2000/09 UNITED NATIONS United Nations Transitional Administration in East Timor NATIONS UNIES Administrasion Transitoire des Nations Unies in au Timor Oriental UNTAET UNTAET/REG/2000/9 25 February 2000 REGULASI

Lebih terperinci

2017, No Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1995 tent

2017, No Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1995 tent No.570, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51/PMK.04/2017 TENTANG KEBERATAN DI BIDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERDAGANGAN 1 (satu) kali masa sidang ~ paling lama, pemberian persetujuan atau penolakan terhadap perjanjian Perdagangan internasional Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.118, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Penyelenggaraan. Pengusahaan. Angkutan Multimoda. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 8 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 18/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 18/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 18/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG PELAYANAN DOKUMEN KARANTINA PERTANIAN DALAM SISTEM ELEKTRONIK INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW (INSW) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2 ketentuan mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesi

2 ketentuan mengenai pemberian pembebasan bea masuk atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1141, 2015 KEMENKEU. Impor Barang. Badan Internasional. Pejabat. Bea Masuk. Pembebasan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148/PMK.04/2015

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4), Pasal 10A

Lebih terperinci

2017, No.9 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebaga

2017, No.9 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebaga LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.9, 2017 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Sarana. Prasarana. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6016) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN Para Pihak atas Konvensi ini, mengakui bahwa bahan pencemar organik yang persisten memiliki sifat beracun, sulit terurai, bersifat bioakumulasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL

PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL PERATURAN DEPARTEMEN AUDIT INTERNAL Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Tujuan Peraturan ini dibuat dengan tujuan menjalankan fungsi pengendalian internal terhadap kegiatan perusahaan dengan sasaran utama keandalan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

Kode Etik. .1 "Yang Harus Dilakukan"

Kode Etik. .1 Yang Harus Dilakukan Kode Etik Kode Etik Dokumen ini berisi "Kode Etik" yang harus dipatuhi oleh para Direktur, Auditor, Manajer, karyawan Pirelli Group, serta secara umum siapa saja yang bekerja di Italia dan di luar negeri

Lebih terperinci