BAB IX. Perladangan di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IX. Perladangan di Indonesia"

Transkripsi

1 . BAB IX. Perladangan di Indonesia Pokok Bahasan a. Definisi dan Dinamika Perladangan Perhutanan sosial tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di luar Jawa adalah perladangan. Perladangan atau shifting cultivation atau Swiden Agriculture adalah sistem penggunaan lahan yang dilakukan masyarakat dengan setiap periode waktu berpindah tempat. Mereka bercocok tanam selalu berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain dikarenakan kesuburan tanah yang rendah. Setelah kesuburan lahan menurun tidak sesuai lagi untuk bisa menghasilkan produk, kemudian berpindah mencari lahan baru yang lebih subur. Lamanya pengelolaan di suatu lahan biasanya 1-2 tahun, kemudian berpindah terus, dan terakhir kembali ke tempat semula. Masa kembali ke tempat semula ini juga bervariasi bisa 6-8 tahun, tergantung dari ketersediaan lahan dan tingkat kesuburannya, masa ini disebut rotasi ladang pendek. Ada rotasi ladang panjang yang bisa mencapai ratusan tahun, dilakukan oleh satu kelompok peladang (suku) Dayak yang berpindah beserta seluruh keluarga dan kekayaan termasuk rumah tinggal. Ditinjau dari tingkat perkembangan cara penggunaan lahan maka perladangan berpindah adalah tingkat terendah kedua setelah masyarakat hidup dari sumber daya alam (hutan) dengan cara meramu (serta berburu dan menangkap ikan). Tingkat perkembangan terakhir dari cara penggunaan lahan ini adalah bertani menetap seperti terjadi di Jawa dengan cara bersawah atau berkebun. Setiap perubahan ini bisa mencapai ratusan tahun, abad ataupun ribuan tahun. Sampai sekarangpun masih ada suku-suku di dunia yang masih hidup di tahap berburu seperti suku Indian, Aborigin, Eskimo dan di Indonesia suku anak dalam (Kubu, Orang Rimba), mereka hidup di kawasan atau suaka yang sengaja disediakan pemerintah setempat. Jenis-jenis tanaman yang ditanam di ladang umumnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk dikonsumsi sendiri (subsisten), seperti padi, ketimun, labu, cabe, terung, yang ditanam secara bersamaan dengan ditugal. Sesudah panen pertama kemudian di tanami jenis tanaman keras, seperti karet, nangka, jering, rambutan, duku dan lain-lain. Jenis-jenis tanaman keras ini bisa berhasil menjadi kebun yang baik dan mungkin juga tidak berhasil dan kembali menjadi semak belukar. Ciri khas dari perladangan ini adalah 1

2 dibuat atau di kelola dari hutan baik dari hutan primer mapun sekunder dengan cara pohon-pohon di tebang atau di tebas kemudian dibakar. Tahap-tahap perladangan dapat diurutkan sebagai berikut (Mc Dove, 1988): a) Memilih tempat berladang (beburong), b) Menebas dan merobohkan semak (nebaih), c) Menebang pohon-pohon yang lebih besar (nebang), d) Merobohkan semak dan pohon hasil penebangan yang telah dikeringkan (nunu), e) Menanam jenis tanaman pangan di abu bekas pembakaran (nugal), f) Menyiangi (mantun), g) Menjaga tanaman muda dari hewan perusak (nginang), h) Memanen hasil ladang (ngetau), i) siklus terakhir adalah memberokan (Fallaow Period) untuk menjadi hutan kembali. Sebenarnya masih ada tiga siklus atau kegiatan yang berkaitan dengan ladang, meliputi: a) Memanen hasil tanaman non padi (ngegal ngkayu), b) Membuat pondok ladang (ngawai langkau umai), c) Membuat atau menganyam rumah pondok atau membuat alat (nganyam dan nempa). Di dalam melakukan pentahapan ladang ini dilakukan dengan ritual tertentu yang khas yang intinya supaya ladang bisa berhasil sampai panen, mereka mat kuatir kalau ritualnya salah dilakukan maka panen akan gagal dan berarti mereka tidak punya cadangan pangan pada tahun berikutnya. Aspek penting yang menentukan keberhasilan ladang adalah memilih lokasi, membakar hasil tebasan dan memelihara. Beberapa faktor yang dipertimbangkan di dalam memilih ladang di antaranya adalah tanah yang subur, di tepi sungai, dekat dengan rumah penjaga (rumah tinggal), dekat dengan ladang sebelumnya dll. Biasanya dilakukan dengan melihat tanda-tanda tertentu, misalnya burung tertentu bersarang rendah (berarti daerah tersebut tidak kebanjiran), terdapat jenis tanaman tertentu (yang berarti tanah subur), relatif datar, bekas hutan primer (tanah subur) atau hutan sekunder (penebasan atau tebang lebih mudah) dll. Luas ladang yang dibuka setiap tahun setiap keluarga suku Dayak Kantu di Kalbar (Mc Dove 1988) antara 2.59 ha 4.56 ha dengan produksi 737 liter gabah/ ha (ladang berpayau) sampai 2489 liter/ ha (ladang dari bekas hutan primer), sedangkan jumlah ladang setiap tahun antara 2 3 tempat. Jumlah ladang yang pernah digarap yang merupakan hak milik suatu keluarga petani ladang tergantung dari lamanya mereka berladang bisa mencapai 28 lokasi. 2

3 Pekerjaan menebas atau menebang dianggap penting oleh peladang, karena merupakan kegiatan persiapan yang harus dilakukan untuk tahap membakar. Menebas dan menebang di lakukan bersama-sama secara gotong royong antara anggota masyarakat peladang di dalam suatu kelompok. Mereka bekerja antara 5-7 jam per hari selama sekitar seminggu untuk setiap ladang. Pertanda perilaku burung atau keadaan cuaca amat mempengaruhi apakah mereka harus berhenti bekerja untuk sementara waktu atau tidak. Pohon kecil dan belukar ditebas dengan parang, sesudah itu baru pohon besar ditebang dengan parang atau kapak. Hasil tebangan dan tebasan selanjutnya dikeringkan untuk selanjutnya dilakukan pembakaran. Tujuan pembakaran adalah merubah hasil tebangan dan tebasan menjadi abu, dimana abu ini merupakan input pupuk bagi tanaman pertanian nantinya. Pembakaran menjadi proses yang menentukan panen atau gagalnya tanaman padi. Alat utama yang digunakan untuk membakar adalah obor. Di dalam obor ini peladang memasukkan sebagian kecil tempat penyimpanan kulit padi, tangkai kampak, badan gendang, duri landak, alat penumbuk padi, lesung padi dan bagian bambu yang disebut Temiang yang kesemuanya dibungkus dengan jerami. Bahan-bahan ini merupakan syarat ritual yang melambangkan kekeringan, kekerasan dan kekuatan (Mc Dove 1988). Aspek tingkah laku pada saat membakar ladang juga diyakini amat penting meliputi, pembakar tidak boleh minum (tetapi biasanya kemudian mengunyah tebu), tidak boleh pakai baju, dan sambil mengitari ladang dan berteriak-teriak memanggil angin, mereka menyalakan seresah dan sampah hutan dengan obor di maksud. Mereka juga konserv terhadap pohon-pohon yang dilindungi dengan membersihkan sampah disekitar pohon tersebut dan menjaganya, disertai memercikan air tape ke batang atau pondok yang diinginkan tida terbakar. Mereka mengerti bentuk tentang perilaku api, arah angin, pemutus api (bakar tebas) dll. Keberhasilan pembakaran ditentukan oleh kondisi hutan semula (hutan sekunder lebih mudah terbakar), lamanya proses pengeringan, pengaruh kelembaban (cuaca dan curah hujan), pengaruh sinar matahari atau naungan dan pengaruh angin dan yang terakhir nasib atau pengaruh manusianya. Walaupun demikian ada usaha-usaha pembakaran ulang kalau ternyata hasil pembakaran kurang memadai. 3

4 Tanaman ladang yang utama adalah padi. Peladang tradisional termasuk Dayak Kantu mengenal berbagai macam padi ladang yang sering ditanam satu ladang yang lokasinya berdekatan. Tujuan penanaman beberapa jenis padi ini adalah untuk keanekaragaman atau diversifikasi produk. Dikenal ada padi dan ketan. Jenis padi meliputi padi darat dan padi payau. Padi darat meliputi padi PUN, padi pengapit dan padi biasa, sedangkan padi ketan terdiri dari ketan darat (atau ketan merah atau ketan putih) dan ketan payau. Padi ditanam dengan cara ditugal dengan semacam alat dari kayu yang ujungnya runcing sepanjang ± 1 m dan diameter 10 cm. Satu meter lahan ditugal kurang lebih sebanyak 7 lubang, dan satu lubang ditaburi padi sebanyak biji, jenis yang sama sekali dilarang di tanam di ladang padi adalah juwawut (Paniculum milianum), cara penanaman bisa dilakukan dengan banyak orang ataupun sendirian, selain membawa tugal di tangan kiri, juga membara raga yang berisi bibit padi yang kemudian ditaburkan dengan tangan kanan. Selain padi yang ditanam di ladang adalah jagung, ubi kayu, keladi, ubi jalar, pisang, tebu, ketimun, cabe, dll. Di daerah Jambi, setelah padi ditabur kemudian ditanamkan semai karet dengan jarak tanam 5 x 5 m. Dengan harapan sesudah panen padi akan diperoleh kebun karet. Pemeliharaan tanaman dilakukan penyiangan, dengan cara mencabut rumput-rumput di sekitar semai padi, disamping itu juga dilakukan pemeliharaan terhadap serangan hama. Hama bisa berasal dari serangga seperti walang sangit, jengkerik tanah, belalang, berbagai macam ulat. Masyarakat peladang selalu berladang secara berkelompok, terdiri dari 6-10 atau lebih per lokasi, yang tujuannya diantaranya untuk bersama-sama menjaga tanaman mereka, terutama dari serangan hewan seperti babi, tikus, monyet, burung pemakan biji, sering juga gajah, tapir, rusa, dll. Hasil padi menurut penelitian Mc Dove (1988) berkisar antara 1800 liter 2400 liter gabah kering, atau liter, bila luas ladang sekitar 2 ha/ th. Ketentuan ini sebetulnya pas atau berlebih sedikit untuk keperluan bibit tahun berikutnya. Kebutuhan peladang setiap tahun untuk konsumsi yaitu sekitar 4500 l/ th. Sedangkan kalau dibandingkan dengan angka kemiskinan Sayogya (1985) maka rendemen beras dari padi 70 %, panen padi suku Kantu tersebut adalah kg beras, atau di atas garis kemiskinan dengan standar 300 kg/ kepala/ th. 4

5 Diskusi mengenai perladangan ini amat serius berkisar seputar: 1) Apakah benar perladangan itu cara pengelolaan tanah yang sudah pas/ sesuai dengan ekosistem (Mc. Dove 1985), ataukah merupakan perkembangan bertani (Soedarwono, 1985), 2) Apakah benar perladangan meninggalkan tanah kritis dan padang rumput yang luas seperti di Kalsel, Kaltim, dll, 3) Dimana (lokasi) mereka peladang lebih memilih tempat sesuai dengan perkembangan wilayah. 4) Apakah benar perladangan merusak hutan alam dan mengakibatkan kabut (smog) yang luas sampai ke negeri lain (Singapura, Malaysia,dll). Pandangan sosial budaya menyatakan bahwa sistem perladangan berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Ciri berpindah-pindah dalam sistem perladangan ini merupakan pola adaptasi ekologis yang sangat penting guna mengistirahatkan lahan yang telah diolah selama beberapa tahun agar kemudian pulih kembali seperti sediakala. Setelah melewati masa istirahat yang cukup panjang (bera), lahan tersebut kemudian digunakan lagi. Namun demikian dalam kondisi sekarang, sistem perladangan berpindah sebagai sistem pertanian lokal, khususnya di Indonesia, tampaknya cenderung berubah, malahan ditinggalkan oleh masyarakat karena berbagai alasan. King (1985) melihat, sebagai contoh misalnya, bahwa sistem perladangan orang Dayak Maloh di Kalimantan Barat cenderung berubah seiring dengan perubahan dan pergeseran dalam sistem stratifikasi sosial komunitas Kalimantan Barat. Sedangkan, menurut Dove (1988) terjadinya perubahan dalam sistem perladangan berpindah adalah akibat dari kian runtuhnya rumah panjang komunitas lokal orang Kantu. Jadi dengan runtuhnya organisasi sosial, struktur sosial atau sistem sosial lokal, maka sistem perladangan secara tradisional pun ikut berubah. Sistem perladangan berpindah (shifting cultivation, swidden agriculture, slash and burn agriculture), mempunyai hubungan dengan struktur sosial ekonomi dan keagamaan. Menurut Dove, masyarakat etnik Kantu dalam mengolah lajannya secara berpindah-pindah bukan hanya merupakan pusat kegiatan ekonomi semata tetapi juga merupakan hakekat kehidupan yang mencakup pemukiman, struktur sosial, ritual, adat dan hukum adat, yang semua itu bersumber dan berpusat pada sistem perladangan orang Kantu. 5

6 b. Perladangan di Pulau Kei Kecil, Maluku (Erick Lobja, 2003) Perladangan orang Kei dimulai dari tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) pemilihan lokasi, (2) penebasan lokasi ladang, (3) penebangan pohon-pohon besar, (4) pembakaran ladang, (5) pembersihan sisa-sisa pembakaran, (6) penanaman tanaman, (7) penyiangan dan pemeliharaan pertumbuhan tanaman, dan (8) panen hasil. Perladangan seperti ini tidak berbeda jauh dengan yang dipraktekkan oleh penduduk subetnis lainnya di Nusantara ini. Proses pembukaan perladangan pada umumnya dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana, yakni kampak, parang dan api untuk membuka hutan. Proses pemilihan ladang, menebas, menebang dan membakar adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perladangan orang Kei. Tahap-tahap proses pembuatan ladang orang Kei seperti dikemukakan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Memilih lokasi ladang Pada tahap ini seseorang akan diutus untuk masuk ke dalam kawasan hutan milik ulayat Ohoi/ kampung/ desanya untuk memeriksa bagian lahan yang dianggap cocok untuk dijadikan ladang. Jika merasa bahwa bagian itu sudah cocok, maka ia akan kembali untuk menyampaikan hasil temuannya itu. Namun sebelum ia meninggalkan tempat itu, terlebih dahulu ia akan memberi tanda (felif) pada tempat tersebut. Setelah kembali, orang tersebut langsung menghubungi keluarga, khususnya kepala marganya. Kepala marga selanjutnya akan menghubungi Dewan Adat untuk memperoleh persetujuan jika kawasan yang akan diolah itu berada pada kawasan Warain, karena kawasan tersebut merupakan milik bersama atau komunal. Sepanjang tidak terletak pada kawasan Warain Vaweon atau hutan primer, kawasan keramat, atau yang sudah ditandai (felif) oleh orang lain dan tidak bermasalah, maka secara langsung ia akan mendapat persetujuan dari Dewan Adat. Setelah itu, kepala marga akan kembali menemui anggota keluarganya untuk merundingkan hari yang dianggap baik untuk bekerja bersama-sama membersihkan lahan tersebut. Dalam memilih lokasi ladang, orang Kei selalu mempertimbangkan beberapa faktor serta tempat yang baik dan potensial untuk dijadikan sebagai lokasi tempat berladang. Orang Kei selalu memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut kondisi 6

7 tempat serta hak milik atas tempat yang akan diolah tersebut. Kepemilikan atas ladang potensial tertentu selalu berbeda menurut lokasi ladangnya, apakah berada di pinggir kampung (desa), berada pada kawasan daur ulang (Kait), atau berada pada kawasan produksi tetap (Warain). Untuk memilih ladang yang potensial, lokasi/ tempat relatif merupakan hal yang sama pentingnya dengan hak milik tempat tersebut. Pada umumnya orang Kei selalu mencari lokasi ladang di pinggir sungai khususnya pada kawasan daur ulang (Kait) dan produksi tetap (Warain). Selain karena tanahnya subur juga karena biasanya mereka selalu menginap di ladang untuk menjaga tanaman mereka. Oleh karena itu perlu diperhitungkan juga air untuk mandi dan memasak. b. Ukuran ladang Pada umumnya ukuran ladang yang dibuka dan diolah oleh orang Kei bervariasi, yakni antara 0,5-2 hektar. Ukuran ini tergantung kepada berapa banyak orang yang mengerjakan ladang tersebut. Selain itu juga tergantung pada luas areal yang akan dibuka. Jika berbatasan atau dekat dengan ladang orang lain atau jika pada areal yang dibuka ternyata sudah ditandai oleh orang lain maka pembuka ladang baru juga harus menandainya. Ada dua aspek yang merujuk pada luas tanah yang akan diolah menjadi ladang oleh orang Kei. Pertama, luas masing-masing ladang dan kedua, seluruh bagian tanah yang akan ditebas oleh setiap orang Kei dalam setiap tahunnya. Ukuran ladang yang dioalh pun bervariasi sesuai dengan kebutuhan konsumsi setiap keluarga. Pengolahan atau pembukaan lahan baru di hutan primer berbeda dengan pengolahan pada kawasan hutan sekunder atau pada kawasan daur ulang. Biasanya ladang yang dibuka oleh orang Kei pada kawasan hutan primer sedikit lebih luas jika dibandingkan dengan kawasan daur ulang. Penggarapan yang cukup luas pada kawasan hutan primer disebabkan kondisi tanah yang masih subur, dibandingkan dengan kawasan daur ulang. 7

8 Ukuran ladang orang Kei juga dipengaruhi oleh efisiensi kerja maupun tenaga kerja. Jika membuka ladang pada areal hutan primer maka diperlukan tenaga yang cukup banyak untuk menebas dan menebang. Hal tersebut disebabkan karena kondisi kayu dan tumbuhan yang ada di kawasan hutan primer pada umumnya kuat dan keras. Sedangkan pembukaan di kawasan hutan sekunder tenaganya lebih sedikit karena kondisi kayu dan tumbuhan yang ada pada umumnya lunak dan kecil-kecil. c. Jumlah ladang Selain menentukan lokasi dan ukuran ladang, orang Kei juga selalu menentukan seberapa banyak ladang yang mesti dibuka atau diolah. Pada umumnya orang Kei selalu membuka ladang sekitar 1-3 buah setiap tahunnya, bahkan untuk kondisi saat ini ada juga yang membuka lebih dari itu. Pembukaan ladang secara terpisah yang dilakukan oleh orang Kei setiap tahunnya adalah sebagai strategi untuk menciptakan keragaman. d. Menebas Salah satu tujuan utama orang Kei dalam mengolah ladang adalah dalam tahapan siklus yakni dengan cara menebas (pemiri). Menebas hutan dimaksudkan untuk mematikan tumbuh-tumbuhan sehingga setelah mengering ia dapat mudah terbakar. Hal ini penting karena tumbuh-tumbuhan yang ditebas nantinya akan ikut membantu pembakaran pohon-pohon besar yang sulit dikeingkan dan dibakar. Tujuan lain adalah untuk mempersiapkan tempat yang terbuka dan bebas dari semak belukar sehingga mereka bisa menebang dengan mudah dan bebas serta terhindar dari ancaman robohnya pohon sewaktu ditebang. Dalam proses menebas ini, orang Kei biasanya menggunakan parang penebas atau dalam bahasa Kei disebut Nger. Parang tersebut dibuat oleh orang Kei sendiri dengan cara tempa tangan dengan potongan besi. Besi ini dipanaskan di dalam api arang, lalu dikipas dengan puputan dari batang bambu, setelah panas memerah baru dipukul dengan pemukul kasar atau martelu di atas landasan besi. Selama tahapan siklus ladang ini, para pekerja bergerak sambil menebas sehingga seluruh areal ladang baru itu bisa dicapai. Namun demikian, tidak semua pohon yang 8

9 ada di areal ladang tersebut dapat ditebas, mengingat ada juga pohon-pohon dengan batang yang sangat besar dan tidak bisa ditebang dengan menggunakan parang. Jika terdapat pohon yang dianggap bisa ditebang dengan menggunakan parang, maka pada saat itu pohon tersebut dapat langsung ditebang, tetapi jika pohon itu terasa besar dan tidak dapat ditebang, maka akan ditebang pada saat proses penebangan. Sebagaimana telah disebut di muka, dalam membuka ladang baru di hutan primer akan diperlukan tenaga kerja yang cukup banyak. Tenaga kerja ini biasanya diperoleh dari warga kampung (ohoi) tersebut. Pekerjaan dilakukan secara gotongroyong (maren). Para pekerja umumnya adalah laki-laki dewasa, namun tidak menutup kemungkinan juga perempuan dengan anak-anak lelaki yang dianggap mampu bekerja, dengan syarat apabila pembukaan lahan baru tersebut berada pada kawasan daur-ulang (kait) yang kayu atau tumbuhannya kecil, lunak dan tidak keras. Namun biasanya, bagi orang Kei wanita tidak boleh terlibat dalam proses kerja menebas atau dalam seluruh rangkaian pembukaan ladang. e. Menebang dan membakar Tahap menebang dan membakar merupakan slah satu bagian dari siklus perladangan di Kepulauan Kei, walaupun sebenarnya kedua tahap ini tidak terpisahkan dalam pelaksanaannya. Tujuan utama menebang adalah supaya pohon yang ditebang itu mati dan cepat kering, sehingga mudah dibakar. Sisa-sisa hasil pembakaran (abu) ini bisa menjadi pupuk bagi ladangnya. Tujuan lainnya adalah agar sinar matahari dapat dengan mudah menyinari seluruh areal ladang yang baru dibuka tersebut sehingga pohon dan tumbuhan yang sudah ditebang lebih cepat kering dan bisa segera dibakar. Untuk pohon-pohon besar yang ditebang umumnya diambil untuk kebutuhan papan bagi rumah atau dibuat sebagai perahu (sampan) atau dalam bahasa setempat disebut dengan leb-leb. Partisipasi tenaga kerja pada tahap menebang ini tidak jauh berbeda dengan pada saat menebas. Alat utama yang digunakan pada tahap ini adalah kapak Kei (Sav dan Savev) atau dalam bahasa Kei disebut dengan Sav untuk ukuran kecil dan Savevuntuk ukuran sedang. 9

10 Setelah selesai proses penebangan, lahan tersebut dibiarkan kering dalam beberapa hari. Jika dahan dan ranting yang ada sudah kering, proses selanjutnya adalah membakar. Sebelum ladang dibakar, pemilik ladang dibantu beberapa orang keluarganya akan membersihkan pinggiran ladang. Pembersihan ini dimaksudkan untuk mengendalikan api agar tidak menjalar ke ladang milik orang lain. Lebar bagian yang dibersihkan ini biasanya antara 1-2 meter. Dalam tahap membakar ini tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Dalam berladang orang Kei selalu memperhatikan kondisi iklim. Pada dasarnya waktu pembuatan kebun/ ladang dilakukan dalam tiga bagian. Orang Kei menyebut kebun/ ladang dalam bahasa setempat dengan nama Vee. Vee dapat dibuka pada tiga paruh waktu yang berbeda. Vee timur, dilaksanakan pada bulan Oktober sampai bulan Januari, Veevarat dilaksanakan dari bulan Februari hingga bulan Mei, dan Vee ev (kebun/ ladang pada musim kemarau) dimulai dari bulan Juli hingga September. Vee ev ini dilaksanakan pada saat peralihan musim dari musim timur ke musim barat. Berdasarkan informasi yang diperoleh, menunjukkan bahwa cara perladangan yang selama ini dilakukan oleh penduduk di Pulau Kei Kecil sangat jarang menimbulkan kebakaran. Hal tersebut berkaitan erat dengan tata cara perladangan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sistem perladangan khususnya yang berhubungan dengan pembakaran ladang yang dilakukan oleh penduduk selalu memperhatikan aspek keamanan, dimana jangan sampai terjadi kebakaran pada wilayah milik orang lain. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa dalam rangka mengelola dan memanfaatkan lahan yang ada untuk perladangan, orang Kei sebenarnya sudah memperhatikan akan kondisi lingkungannya serta memperhitungkan sebab-akibat yang ditimbulkan dari tata cara perladangan berpindah itu sendiri. Di sinilah terlihat sebuah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat dalam mengelola dan memanfaatkan lahan untuk perladangan. Mencermati akan tata cara perladangan yang dipraktekkan oleh penduduk di Pulau Kei Kecil seperti dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa orang Kei sebelum membuka ladang, harus terlebih dahulu memulai dan melalui rangkaian-rangkaian 10

11 atau proses seperti disebut di atas. Ini menunjukkan bahwa hal-hal yang menyangkut tanah, hak milik hutan-tanah, kecocokan tempat, adalah merupakan sebuah pandangan yang merujuk pada perspektif tata ruang kosmologis dan waktu secara ekologis (menurut sistem pengetahuannya atas dasar norma adat). Sistem perladangan berpindah orang Kei merupakan bagian dari contoh kebudayaan pertanian lokal dan merupakan pola strategi adaptasi masyarakat Kei terhadap ekosistem lingkungan alamnya untuk memperoleh bahan makanan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dalam memandang hutan-tanah tersebut, orang Kei juga membuat sistem klasifikasi jenis hutan perladangan yang dipraktekkannya, seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Klasifikasi Jenis HutanPerladangan berdasarkan Dasar Klasifikasinya No. Klasifikasi Hutan Ladang Dasar Klasifikasi 1. Semak belukar bekas perladangan Umur dan besar pohon 2. Hutan sekunder Umur dan besar pohon 3. Hutan primer Umur dan besar pohon 4. Rawa Tanah dan tumbuhan yang hidup di dalamnya Orang Kei mengenal akan beberapa pepatah, petuah dan istilah yang sering menjiwai cara berpikir, dan bertindak dalam melakukan segala sesuatu demi masyarakat banyak. Sebagaian petuah, pepatah dan istilah yang dapat saya kemukakan di sini, antara lain: Ai ra nem vakbo, ne vat ra nem vakbo lutuur - Kayu berkumpul, jadilah pagar kayu dan batu berkumpul jadilah pagar batu. (Dengan bekerja sama maka suatu beban pekerjaan menjadi ringan dan mencapai tujuan). Ai utan vut ro na tub ratam - Sepuluh batang kayu tertimbun di atasmu. (Memikul tanggung jawab atas kesalahan sendiri ataupun perkara orang lain yang menjadi tanggung jawabnya). 11

12 Beberapa petuah, pepatah dan istilah di atas selalu menjiwai setiap orang Kei dalam berpikir dan bertindak. Jiwa dan rasa kebersamaan saling memiliki dalam diri orang Kei selalu tinggi. Karena menurut mereka segala sesuatu yang diperbuat dan sifatnya membantu dan menolong sesama akan memperoleh imbalan dari Yang Maha Kuasa (Duad) di kemudian hari. Dalam hubungan dengan praktek dan sistem perladangan yang sudah saya kemukakan di atas, orang Kei juga telah membagi dan membuat klasifikasi mengenai jenis hutan perladangan yang selalu mereka lakukan. Klasifikasi ini didasarkan pada umur tumbuhan dan ukuran pohon yang tumbuh dan juga berdasarkan kondisi tanah serta tumbuhan yang hidup di dalamnya. Klasifikasi jenis hutan perladangan seperti diperlihatkan Tabel 5, menunjukkan bahwa orang Kei melihatnya berdasarkan umur pohon, besarnya pohon dan jenis tanah dan tumbuhan dimana ladang itu berada. Dasar klasifikasi tersebut terdiri dari empat bagian, yakni: hutan bekas perladangan, hutan sekunder, hutan primer dan hutan sagu/ daerah rawa. Jika pohon yang tumbuh pada suatu wilayah dengan diameter di bawah 10 cm dengan umur muda maka wilayah tersebut termasuk dalam hutan semak-belukar atau bekas perladangan. Selanjutnya pohon yang tumbuh memiliki diameter di atas 10 cm dengan umur yang cukup tua dan sangat tua, maka termasuk dalam hutan sekunder dan hutan primer. Sedangkan dasar klasifikasi untuk wilayah rawa adalah kondisi tanahnya yang berair dan ditumbuhi tanaman sagu. Adanya sistem seperti ini, menunjukkan bahwa orang Kei mempunyai sistem pengetahuan sendiri tentang hutan-tanah perladangan. Dasar klasifikasi dimaksudkan supaya dalam mengelola dan memanfaatkan lahan hutan yang ada, orang Kei dapat mengenal di kawasan mana saja ia dapat mengolah dan memanfaatkan lahan yang ada. Sekaligus sebagai petunjuk kepada masingmasing orang untuk tetap mengingat dan dapat membedakan kawasan-kawasan tersebut. Selain dasar klasifikasi itu, orang Kei juga membuat semcam sistem kategorisasi terhadap ladang-ladang yang telah dikerjakan. Dasar tersebut dibuat berdasarkan kondisi tanah dan hutan dimana orang Kei berladang. Kategorisasi 12

13 ladang yang disesuaikan dengan jenis tanah dan hutan, menurut orang Kei dapat dilihat pada Tabel 6. Dalam pandangan dan pemahaman orang Kei, ladang di pinggir dan di sekitar kampung (Ohoi) adalah ladang dengan kondisi tanah kering dan hutan yang tumbuh adalah rumput-rumput liar dan semak belukar. Sedangkan ladang pada kawasan daur ulang (Kait) adalah ladang dengan kondisi tanah kering dan hutan yang tumbuh adalah semak belukar dan hutan sekunder muda. Tabel 6. Kategorisasi Ladang Menurut Orang Kei No. Kategori Jenis Tanah dan Hutan 1. Ladang di pinggir kampung (Ohoimurin, - Tanah kering, Wirin dan Rok) rumputan dan semak belukar 2. Ladang daur ulang (Kait) - Tanah kering, semak belukar, hutan sekunder muda 3. Ladang di hutan sekunder (Warain) - Tanah kering dan lembab, hutan sekunder tua 4. Ladang di hutan primer (Hungan Vat, - Tanah kering dan Warain Vaweon) lembab, hutan primer 5. Ladang di hutan sagu (Meen) - Hutan sagu Sumber: Data Primer, 2001 Ladang yang terdapat di kawasan hutan sekunder (Warain) dan hutan primer (Hungan Vat dan Warain Vaweon) adalah wilayah dengan kondisi tanah kering dan sebagian lembab. Kondisi hutannya adalah hutan sekunder tua dan hutan primer. Khusus untuk kawasan Hungan Vat, orang Kei sangat jarang mengusahakan ladang pada kawasan itu. Walaupun kawasan itu merupakan hutan lebat dengan kayu-kayu yang sangat besar, tetapi tidak terdapat tanah yang cukup, karena dalam kawasan ini pada umumnya dikelilingi oleh rongga-rongga batu yang cukup besar. Ladang pada kawasan hutan sagu (Meen) memiliki jenis dan kondisi tanah yang sedikit berbeda dengan beberapa kawasan di atas. Kondisi tanah pada kawasan ini pada 13

14 umumnya tanah berair-basah (rawa) dan tanaman atau tumbuhan yang hidup pada umumnya pohon-pohon sagu. Adanya sistem kategorisasi ini menunjukkan bahwa dalam mengelola ladang, orang Kei telah membedakan di mana ladang yang diolah dipinggir kampung, di kawasan daur ulang, kawasan hutan sekunder atau hutan primer. Pembedaan itu dapat dirunut dari kondisi tanah dan jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di kawasan tersebut, Namun demikian, cara dan sistem perladangan seperti dikemukakan di atas tidak selamanya dipraktekkan dan diikuti secara sistematis oleh masyarakat Kei. Kegiatan perladangan yang dipraktekkan oleh penduduk di Pulau Kei Kecil pada fungsinya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan ekonomi menjadi faktor pendorong bagi adanya aktivitas perladangan orang Kei Kecil. Ladang sebagai suatu sistem pertanian di dalam dirinya sendiri memiliki seperangkat variabel yang harus dipenuhi agar perladangan dapat berfungsi secara optimal dan adaptif terhadap lingkungannya. Ladang bagi orang Kei merupakan suatu cara produksi, yang didorong oleh kebutuhan hidup mereka, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga sebagai pelaku utama produksi dan konsumsi. Cara perladangan yang dipraktekkan oleh orang Kei saat ini adalah seperti terlihat pada Tabel 7. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa sebanyak 87 responden (76,99 %) sering mempraktekkan sistem perladangan berpindah yang sifatnya tidak berkelanjutan atau sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan sisanya 26 responden (23,01 %) mempraktekkan sistem perladangan berpindah yang berkelanjutan. Sistem perladangan berpindah yang dimaksud adalah dengan membuat ladang/ kebun, yang diolah dengan tenggang waktu/ rotasi rata-rata 5-10 tahun, untuk satu kali putaran. Hal tersebut dimaksudkan supaya tanah/ lahan yang sudah diolah tersebut memiliki waktu yang cukup dalam proses pemulihan sebelum siap untuk diolah kembali. Tenggang waktu yang ada sebenarnya tidak terlalu jauh atau masa bera-nya (istirahat) sangat pendek. 14

15 Tabel 7. Sistem Perladangan yang dipraktekkan oleh Orang Kei No. Kategori Frekuensi (%) 1. Perladangan berpindah yang tidak 87 76,99 berkelanjutan, atau sering berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. 2. Perladangan yang berkelanjutan 26 23,01 yakni hanya menetap pada satu lokasi dan tidak berpindah-pindah. Jumlah Sumber: Data Primer, 2001 Namun, dalam pandangan penduduk, justru rotasi atau tenggang waktu yang ada ternyata cukup lama. Hal tersebut mendorong penduduk terus membuka lahan baru untuk dijadikan sebagai ladang. Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa sekali lagi kebutuhan hidup yang terus meningkat turut menjadi pemicu penduduk untuk terus membuka lahan-lahan baru dalam kawasan hutan sekunder maupun primer untuk dijadikan kawasan perladangan. Penduduk beranggapan bahwa hanya pada kawasankawasan tersebut (hutan sekunder dan primer) tanahnya masih subur. Memang terlihat bahwa kondisi lahan khususnya tanah di sebagian besar wilayah Pulau Kei Kecil telah mengalami tingkat kekritisan yang cukup serius. Kondisi tanah yang ada sudah tidak mendukung dari sisi kesuburan, dan ini dibuktikan dari hasil perladangan yang diusahakan penduduk ternyata tidak banyak. Hal inilah yang mendorong penduduk untuk terus membuka lahan-lahan baru, yang diyakini masih subur untuk dijadikan sebagai ladang. Hasil pertanian ladang ini diharapkan dapat membantu membiayai sekolah anak maupun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perladangan yang paling umum diusahakan oleh orang Kei, seperti pernah disinggung di muka, adalah perladangan singkong/ ketela pohon (enbal). Perladangan enbal biasanya berlangsung kurang lebih 3-4 bulan, mulai dari proses penanaman sampai panen. Selain mengusahakan enbal sebagai tanaman pokok untuk kebutuhan hidup 15

16 sehari-hari, penduduk juga mengusahakan tanaman lain seperti ubi-ubian, singkong tidak beracun dan pisang. Padi ladang juga diusahakan, tetapi tidak banyak. Berhubungan dengan tata cara perladangan yang dilakukan oleh penduduk di Pulau Kei Kecil saat ini, menunjukkan bahwa siklus perladangan semakin pendek dari hari ke hari. Dalam satu tahun penduduk selalu membuka lahan-lahan baru dihutan primer untuk dijadikan sebagai areal perladangan. Ada penduduk yang membuat ladang pada lahan baru, namun ada juga yang mengolah kembali lahan yang sudah pernah diolah. Jika dalam satu tahun penduduk membuat kebun pada lahan yang berbeda, maka dapat dipastikan bahwa salah satunya adalah dari hasil pembukaan lahan baru di hutan. Luas lahan baru yang dijadikan sebagai areal perladangan, biasanya mencapai luas kurang lebih 0,5-2 ha. Sedangkan untuk lahan yang sudah pernah diolah, rata-rata hanya sekitar 0,5-1 ha. Dalam satu tahun masing-masing keluarga bisa memiliki 1-4 kebun baik yang dikelola di kawasan daur-ulang maupun pada kawasan hutan sekunder dan primer. Hasil Pembelajaran Mampu memahami, menjelaskan dan memberikan contoh kegiatan perladangan di Indonesia serta menganalisis dampaknya terhadap pengelolaan dan kelestarian sumberdaya hutan Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari kasus perladangan di berbagai wilayah di Indonesia (4) Diskusi dan menjawab kuis Kuis dan latihan (1) Jelaskan karakteristik perladangan dari beberapa masyarakat di Indonesia secara umum dan berikan contohnya! (2) Terangkan menurut pendapat saudara apakah kegiatan perladangan termasuk aktifitas yang merusak atau melestarikan hutan serta berikan contoh kasus yang menguatkan argumentasi saudara! 16

17 DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra H.S Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR- United Press. Jakarta. Leibo J., Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta Kartasasmita, G Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta 17

18 Raharjo Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel Wibisono H Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta 18

BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI

BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI TINJAUAN MATA KULIAH Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah Antropologi Ekologi (KTM 3229) merupakan mata kuliah pilihan bebas Minat Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan . BAB X. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pokok Bahasan a. Definisi Kata arif dalam kearifan menurut kamus umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka diartikan sebagai bijaksana atau

Lebih terperinci

BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi

BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi . BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi Pokok Bahasan a. Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi 1. Fase Pertama (Sebelum 1800) Kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika

Lebih terperinci

BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat

BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat . BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat Pokok Bahasan a. Hak Ulayat Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya

BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya . BAB IV. Masyarakat Desa dan Dinamikanya Pokok Bahasan Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang disepakati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN 5.1 Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya pembukaan lahan pada

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran

BAB V. Kesimpulan dan Saran BAB V Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Sistem Pertanian padi menurut tradisi masyarakat Karo Sistem pertanian padi menurut tradisi masyarakat Karo yang berada di Negeri Gugung meliputi proses

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA

Lebih terperinci

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n T E N T A N G P E R M A K U L T U R S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n A PA ITU P ERMAKULTUR? - MODUL 1 DESA P ERMAKULTUR Desa yang dirancang dengan Permakultur mencakup...

Lebih terperinci

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp ,   PENDAHULUAN KAJIAN FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT OLEH MASYARAKAT DI DESA SALAT MAKMUR KALIMANTAN SELATAN Oleh/By FONNY RIANAWATI Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB III PRAKTIK PEMANFAATAN LAHAN STREN KALI BRANTAS DI DESA LENGKONG KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO

BAB III PRAKTIK PEMANFAATAN LAHAN STREN KALI BRANTAS DI DESA LENGKONG KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO BAB III PRAKTIK PEMANFAATAN LAHAN STREN KALI BRANTAS DI DESA LENGKONG KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO 1. Gambaran Umum Desa Lengkong A. Keadaan Geografis Desa Lengkong adalah sebuah desa yang berada

Lebih terperinci

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Embriani BBPPTP Surabaya Gambar. Tanaman Tebu Yang Terserang Tikus Hama/pest diartikan sebagai jasad pengganggu bisa berupa jasad renik, tumbuhan, dan hewan. Hama Tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

Perladangan Berpindah: Antara Masalah Lingkungan dan Masalah Sosial

Perladangan Berpindah: Antara Masalah Lingkungan dan Masalah Sosial Perladangan Berpindah: Antara Masalah Lingkungan dan Masalah Sosial Oleh Moda Talaohu Abstrak Berladang secara berpidah dapat dikatakan sebagai tahap awal dari perkembangan budaya bertani setelah melalui

Lebih terperinci

NORHADIE KARBEN, GIGIH UPAYAKAN PERTANIAN TANPA BAKAR DI LAHAN GAMBUT

NORHADIE KARBEN, GIGIH UPAYAKAN PERTANIAN TANPA BAKAR DI LAHAN GAMBUT USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN NORHADIE KARBEN, GIGIH UPAYAKAN PERTANIAN TANPA BAKAR DI LAHAN GAMBUT Oleh: Indra Nugraha Ketika pemerintah melarang membakar seharusnya pemerintah juga memberikan solusi

Lebih terperinci

DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI

DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI Hasil Pemetaan Masyarakat Desa bersama Yayasan Mitra Insani (YMI) Pekanbaru 2008 1. Pendahuluan Semenanjung Kampar merupakan kawasan hutan rawa gambut yang memiliki kekayaan

Lebih terperinci

Setitik Harapan dari Ajamu

Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu: Pelajaran tentang Sukses Pemanfaataan Gambut Dalam untuk Sawit Oleh: Suwardi, Gunawan Djajakirana, Darmawan dan Basuki Sumawinata Departemen Ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

Alang-alang dan Manusia

Alang-alang dan Manusia Alang-alang dan Manusia Bab 1 Alang-alang dan Manusia 1.1 Mengapa padang alang-alang perlu direhabilitasi? Alasan yang paling bisa diterima untuk merehabilitasi padang alang-alang adalah agar lahan secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kabupaten Banyuasin Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Iklim merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan di bumi. Dimana Iklim secara langsung dapat mempengaruhi mahluk hidup baik manusia, tumbuhan dan hewan di dalamnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

mencintai, melestarikan dan merawat alam untuk kualitas hidup lebih baik Talaud Lestari

mencintai, melestarikan dan merawat alam untuk kualitas hidup lebih baik Talaud Lestari mencintai, melestarikan dan merawat alam untuk kualitas hidup lebih baik Talaud Lestari Didukung oleh: Talaud Lestari Mencintai, melestarikan dan merawat alam untuk kualitas hidup lebih baik harus segera

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Ubi Kayu Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu sumber karbohidrat yang berasal dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu berasal dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan di dunia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu lingkungan.

I. PENDAHULUAN. Kehidupan di dunia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu lingkungan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan di dunia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu lingkungan. Lingkungan fisik, lingkungan biologis serta lingkungan sosial manusia akan selalu berubah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

Co-evolusi dan Co-adaptasi sistem sosial dan ekosistem. Co-evolusi, berubah secara bersama Co-adaptasi, saling menyesuaikan diri

Co-evolusi dan Co-adaptasi sistem sosial dan ekosistem. Co-evolusi, berubah secara bersama Co-adaptasi, saling menyesuaikan diri Co-evolusi dan Co-adaptasi sistem sosial dan ekosistem Co-evolusi, berubah secara bersama Co-adaptasi, saling menyesuaikan diri Co-evolusi dan co-adaptasi sistem sosial manusia dan ekosistem Energi, materi,

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografis, dan Iklim Lokasi Penelitian Desa Ciaruten Ilir merupakan desa yang masih berada dalam bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105. IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 4.1.1. Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.14 sampai dengan 105, 45 Bujur Timur dan 5,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang sangat tinggi, sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN Suwarno Asisten Direktur Perum Perhutani Unit 2 PENDAHULUAN Perusahaan Umum (Perum) Perhutani Unit 2 berdasar Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010 mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana tentang perubahan iklim merupakan isu global yang dianggap penting untuk dikaji. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberi dampak yang serius terhadap iklim

Lebih terperinci

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Pola Pemukiman Terpusat Pola Pemukiman Linier Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Adanya pemukiman penduduk di dataran rendah dan dataran tinggi sangat berkaitan dengan perbedaan potensi fisik dan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Kondisi Geografis Desa Suka Damai merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Gereudong Pase, Kabupaten Aceh Utara. Ibu kota kecamatan ini berada

Lebih terperinci

LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA

LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA LAMPIRAN 99 LAMPIRAN SURAT 100 LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA 101 102 103 LAMPIRAN SURAT VALIDASI PAKAR 104 105 106 107 108 109 110 LAMPIRAN SURAT SD PANGUDI LUHUR AMBARAWA 111 112

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

DOKUMEN POTENSI DESA SEGAMAI

DOKUMEN POTENSI DESA SEGAMAI DOKUMEN POTENSI DESA SEGAMAI Hasil Pemetaan Masyarakat Desa bersama Yayasan Mitra Insani (YMI) Pekanbaru 2008 1. Pendahuluan Semenanjung Kampar merupakan kawasan hutan rawa gambut yang memiliki kekayaan

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Seberang Pulau Busuk merupakan salah satu desa dari sebelas desa di

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Seberang Pulau Busuk merupakan salah satu desa dari sebelas desa di BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Geofrafis dan Demografis Seberang Pulau Busuk merupakan salah satu desa dari sebelas desa di wilayah Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang amat subur sehingga sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Indonesia memiliki iklim tropis basah, dimana iklim

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Seminar Nasional Agroforestry, Bandung, 19 Nvember 2015 Perladangan berpindah, swidden agriculture, perladangan bergilir, dan perladangan gilir balik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial dan budaya kepada

Lebih terperinci

RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU

RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU RENCANA OPERASI PENYINGKIR HALANGAN (BROP) PEMBUATAN DEMPLOT KEBUN TERPADU YAYASAN SEKA APRIL 2009 RANGKUMAN EKSEKUTIF Apa: Untuk mengurangi ancaman utama terhadap hutan hujan dataran rendah yang menjadi

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 Geografi K e l a s XI KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kegiatan pertanian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Ekonomi Pertanian di Indonesia Ekonomi Pertanian di Indonesia 1. Ciri-Ciri Pertanian di Indonesia 2.Klasifikasi Pertanian Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri pertanian di Indonesia serta klasifikasi atau

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK 1 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK Yang terhormat: Hari/Tanggal : Senin /11 Pebruari 2008 Pukul : 09.00 WIB Bupati

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TANAMAN KACANG HIJAU SEGERA SETELAH PANEN PADA SAWAH DI KOLISIA DAN NANGARASONG KABUPATEN SIKKA NTT

PENGEMBANGAN TANAMAN KACANG HIJAU SEGERA SETELAH PANEN PADA SAWAH DI KOLISIA DAN NANGARASONG KABUPATEN SIKKA NTT PENGEMBANGAN TANAMAN KACANG HIJAU SEGERA SETELAH PANEN PADA SAWAH DI KOLISIA DAN NANGARASONG KABUPATEN SIKKA NTT I.Gunarto, B. de Rosari dan Tony Basuki BPTP NTT ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di hamparan

Lebih terperinci

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : Usaha tani Padi dan Jagung Manis pada Lahan Tadah Hujan untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan ( Kasus di Kec. Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru ) Rismarini Zuraida Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Pertanian merupakan kegiatan yang penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sehingga perlu adanya keterampilan dalam mengelola usaha pertanian

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI TADAH HUJAN Kelompok tani sehamparan

1 LAYANAN KONSULTASI PADI TADAH HUJAN Kelompok tani sehamparan 1 LAYANAN KONSULTASI PADI TADAH HUJAN Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

E U C A L Y P T U S A.

E U C A L Y P T U S A. E U C A L Y P T U S A. Umum Sub jenis Eucalyptus spp, merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi

Lebih terperinci

VI. PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA RESPONDEN Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Pertanian

VI. PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA RESPONDEN Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Pertanian 91 VI. PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA RESPONDEN 6.1. Alokasi Curahan Kerja 6.1.1. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Pertanian Rumahtangga responden umumnya mengusahakan tanaman pangan, tanaman jangka panjang

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian dan siklus PTK sebagai berikut : Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Untuk pelajaran IPA sebagai

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian dan siklus PTK sebagai berikut : Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Untuk pelajaran IPA sebagai BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Setting dalam penelitian ini meliputi 3 : langkah penelitian, waktu penelitian dan siklus PTK sebagai berikut : 1. Tempat penelitian Penelitian Tindakan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG 1. DEFINISI Panen merupakan pemetikan atau pemungutan hasil setelah tanam dan penanganan pascapanen merupakan Tahapan penanganan hasil pertanian setelah

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1. Keadaan Geografis. Kabupaten Kerinci terletak di daerah bukit barisan, dengan ketinggian 5001500 mdpl. Wilayah ini membentang

Lebih terperinci

1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Kelompok tani sehamparan

1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Kelompok tani sehamparan 1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Pilih kondisi lahan sawah Anda: O Irigasi O Tadah hujan O Rawa pasang surut Apakah rekomendasi pemupukan yang diperlukan akan digunakan untuk: O lahan sawah individu petani

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN

PEMERINTAH KABUPATEN POTENSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN TULUNGAGUNG Lahan Pertanian (Sawah) Luas (km 2 ) Lahan Pertanian (Bukan Sawah) Luas (km 2 ) 1. Irigasi Teknis 15.250 1. Tegal / Kebun 30.735 2. Irigasi Setengah Teknis

Lebih terperinci

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis 3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Penelitian dilakukan di dua kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi. Fokus area penelitian adalah ekosistem transisi meliputi

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Petani Hutan Rakyat 5.1.1. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik petani hutan rakyat merupakan suatu karakter atau ciri-ciri yang terdapat pada responden.

Lebih terperinci

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI

BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI 5.1 Strategi Nafkah Petani Petani di Desa Curug melakukan pilihan terhadap strategi nafkah yang berbeda-beda untuk menghidupi keluarganya.

Lebih terperinci

KELOMPOK TANI HUTAN (KTH) RIMBA MAS Tetap Hijau Dimusim Kemarau Oleh : Endang Dwi Hastuti

KELOMPOK TANI HUTAN (KTH) RIMBA MAS Tetap Hijau Dimusim Kemarau Oleh : Endang Dwi Hastuti KELOMPOK TANI HUTAN (KTH) RIMBA MAS Tetap Hijau Dimusim Kemarau Oleh : Endang Dwi Hastuti Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba Mas berada di Desa Gerbo Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan. Untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN BAB III PERSIAPAN LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU

Lebih terperinci

PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA JAGUNG BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PENANAMAN JAGUNG BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN

PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA JAGUNG BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PENANAMAN JAGUNG BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA JAGUNG BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PENANAMAN JAGUNG BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 1 PENANAMAN Tujuan pembelajaran : Setelah

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. A. Analisis dari periodesasi di atas secara rinci diuraikan sebagai berikut 1. Perkembangan Penduduk dan Luas Ladang

BAB V KESIMPULAN. A. Analisis dari periodesasi di atas secara rinci diuraikan sebagai berikut 1. Perkembangan Penduduk dan Luas Ladang 74 BAB V KESIMPULAN A. Analisis dari periodesasi di atas secara rinci diuraikan sebagai berikut 1. Perkembangan Penduduk dan Luas Ladang Tabel 5. Jumlah Penduduk, Luas Perladangan dan Penjualan Lahan di

Lebih terperinci

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI (PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) TANAMAN KELAPA IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI TANAMAN KELAPA Suhu rata rata tahunan adalah 27 C dengan fluktuasi 6 7 C Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemahaman Masyarakat Sekitar Hutan Mengenai Perubahan Iklim Perubahan iklim dirasakan oleh setiap responden, meskipun sebagian besar responden belum mengerti istilah perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci