ANALISIS DINAMIKA DAYA HASIL LATEKS BEBERAPA GENOTIPE KARET HARAPAN PP/07/04 TERHADAP PERUBAHAN MUSIM SAYURANDI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DINAMIKA DAYA HASIL LATEKS BEBERAPA GENOTIPE KARET HARAPAN PP/07/04 TERHADAP PERUBAHAN MUSIM SAYURANDI"

Transkripsi

1 ANALISIS DINAMIKA DAYA HASIL LATEKS BEBERAPA GENOTIPE KARET HARAPAN PP/07/04 TERHADAP PERUBAHAN MUSIM SAYURANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Dinamika Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 terhadap Perubahan Musim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Sayurandi NRP A

4 RINGKASAN SAYURANDI. Analisis Dinamika Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 Terhadap Perubahan Musim. Dibimbing oleh DESTA WIRNAS dan SEKAR WOELAN. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman karet (Hevea brasiliensis) ditentukan oleh faktor genotipe, faktor lingkungan, dan interaksi genotipe x lingkungan. Kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap produksi karet salah satu adalah kondisi curah hujan bulanan. Tujuan penelitian ini adalah 1) mendapatkan informasi tentang keragaman hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04, 2) mendapatkan informasi tentang dinamika hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04 pada musim yang berbeda dan fase gugur daun yang berbeda, dan 3) mendapatkan genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya hasil lateks tinggi di dua musim. Pengujian plot promosi dibangun di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet, Kabupaten Deli Serdang - Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 15 genotipe karet dan 2 klon pembanding PB 260 dan RRIC 100 yang ditanam pada tahun 2004 digunakan sebagai bahan penelitian ini. Seluruh genotipe yang diuji dalam penelitian telah dievaluasi daya hasil lateksnya selama lima tahun di pengujian plot promosi. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dua faktor dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah 15 genotipe karet harapan dan 2 klon pembanding yaitu PB 260 dan RRIC 100, sedangkan faktor kedua adalah faktor musim yaitu periode bulan basah (Agustus - Nopember 2015) dan periode bulan kering (Januari - Maret 2016) menurut klasifikasi Oldeman. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah karakter pertumbuhan lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, indeks penyumbatan, kadar karet kering, dan indeks hasil, daya hasil lateks, dan dinamika fase gugur daun 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding PB 260 dan RRIC 100. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman komponen hasil dan daya hasil lateks di antara genotipe karet harapan PP/07/04. Dinamika hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04 dipengaruhi oleh perubahan musim. Fase gugur daun memiliki pengaruh nyata terhadap hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi pada semua fase gugur daun, sedangkan hasil lateks paling rendah terdapat pada genotipe HP 92/388 dan HP 92/726. Semua karakter yang diamati memiliki nilai heritabilitas tinggi dengan nilai h 2 bs antara dan koefisien keragaman genetik (KKG) antara %. Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan bahwa karakter lilit batang, panjang alur sadap, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, kecepatan aliran lateks, kadar karet kering, dan indeks hasil merupakan karakter komponen hasil yang memiliki nilai korelasi nyata dan bersifat positif terhadap daya hasil lateks, sedangkan indeks penyumbatan memiliki hubungan nyata namun bersifat negatif terhadap daya hasil lateks.

5 Berdasarkan hasil pengamatan hasil lateks selama 6 tahun menunjukkan bahwa genotipe HP 92/309 dan HP 92/726 memiliki hasil lateks tinggi, sedangkan genotipe HP 92/211, HP 92/366, dan HP 92/542 memiliki hasil lateks tinggi dan pertumbuhan tanaman jagur. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi dan stabil di dua musim, sedangkan genotipe HP 92/726 tergolong stabil, namun hasil lateksnya tergolong rendah. Genotipe HP 92/838 memiliki hasil lateks rendah dan kurang stabil. Kata kunci: Hevea brasiliensis, genotipe, hasil lateks, komponen hasil, korelasi, musim

6 SUMMARY SAYURANDI. The Analysis of Latex Yield Potential Dynamic of Some Promising Rubber Genotypes PP/07/04 Toward Seasons Change. Supervised by DESTA WIRNAS and SEKAR WOELAN. Growth and productivity of rubber plant (Hevea brasiliensis) are determined by genetic factor, environments, and genotype x environment interaction. The environmental conditions greatly influence to growth and latex yield potential are the condition of the monthly rainfalls. The objectives of the research were 1) to get information about the variance of latex yield of promising rubber genotypes PP/07/04, 2) to get information about the dynamic of latex yield potential of promising rubber genotypes PP/07/04 in different seasons, and 3) to get the promising rubber genotypes which were stable and high latex yield potential in two seasons. The plot promotion trial was conducted at Experimental Garden, Sungei Putih Research Centre, Indonesian Rubber Research Institute, Deli Serdang Residance - North Sumatra Province. Exactly 15 genotypes and 2 control clones i.e PB 260 and RRIC 100 which were used as the research materials which have been planted in The promising rubber genotypes which were used in this research have been evaluated based on latex yield potential for five years of tapping in plot promotion trial. The experimental design used was Random Completely Design (RCD) two factors with three replications. The first factor was genotypes consisted of 15 genotypes and 2 control clones of PB 260 and RRIC 100, the second factor was season consisted of the wet months period (August - November 2015) and dry months period (January - March 2016) based on the classification of Oldeman. The parameters observed in this research were girth growth, long of tapping panel, barkthickness, number of latex vessels, diameter of latex vessels, sucrose content, anorganic phosphate content, thiol content, latex flow rate, plugging index, dry rubber content, and yield index, latex yield potential, and leaf fall phases of 15 rubber promising genotypes of PP/07/04 and control clones of PB 260 and RRIC 100. The research results showed that there were significantly different to yield component characters and latex yield potential of rubber promising genotypes PP/07/04. The dynamics of latex yield of promising rubber genotypes of PP/07/04 were influenced by seasons change. The leaf fall phases had significantly different to latex yield of 15 rubber promising genotypes of PP/07/04. The genotype HP 92/542 had the higher latex yield in all of leaf fall phases, while the lower latex yield was found by HP 92/388 and HP 92/726 genotypes. Based on heritability value showed that the all of yield component characters and latex yield potential had high heritability with h 2 bs value among and coefficient of genetic variance (CGV) among %. Based on correlation analysis showed that girth, long tapping panel, number of latex vessels, diameter of latex vessels, latex flow rate, dry rubber content, and yield index had significantly correlation and positive value toward latex yield potential,

7 while plugging index had significantly correlation but negative value toward latex yield potential. Based on evaluation result of latex yield potential for six years of tapping showed that HP 92/309 and HP 92/726 genotypes had higher latex yield, while HP 92/211, HP 92/366, and HP 92/542 genotypes had higher latex yield and growth vigorous. The genotype HP 92/542 had higher latex yield and stable in two seasons, while genotype HP 92/726 was stable but had low latex yield. The genotype HP 92/838 had low latex yield and unstable. Keywords: Hevea brasiliensis, genotypes, latex yield, yield components, correlation, seasons

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 ANALISIS DINAMIKA DAYA HASIL LATEKS BEBERAPA GENOTIPE KARET HARAPAN PP/07/04 TERHADAP PERUBAHAN MUSIM SAYURANDI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ade Wachjar, MS

11

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah Analisis Dinamika Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 terhadap Perubahan Musim. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Desta Wirnas, SP, MSi dan Dr Dra Sekar Woelan, MP selaku pembimbing. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus atas waktu serta kesempatan yang telah diluangkan oleh komisi pembimbing dalam membimbing, mengarahkan, serta menjadi teladan bagi penulis. Penghargaan serta rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan pula kepada: 1. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, dan Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan jenjang Pascasarjana IPB. 2. Dr Ir Ade Wachjar, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis. 3. Direktur Pusat Penelitian Karet yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Kepala Balai Penelitian Sungei Putih yang telah memberikan beasiswa internal kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman. 5. Para peneliti di Balai Penelitian Sungei Putih yang selalu memberikan motivasi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. 6. Para teknisi UPP&PT dan UPPT Balai Penelitian Sungei Putih terkhusus kepada Bapak Indra Gunawan, Ibu Ervina Amd, Bapak Ngateno dan Bapak Gani yang telah banyak membantu dalam kegiatan pengamatan lapang dan laboratorium. 7. Rekan-rekan angkatan PBT 2014 yang saling memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi S2 pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak, ibu, mertua serta seluruh keluarga, atas segala doa, dan kasih sayangnya. Penulis juga sampaikan terima kasih yang tidak terhingga pada istri tercinta Nurul Atika, SH dan kedua putri tersayang Oryza Sabrina (5 tahun) dan Raihana Anisa Mandhira (2 bulan) yang telah banyak memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan studi S2 ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Karet serta pertanian pada umumnya dan menjadi amal ibadah bagi penulis. Amin. Bogor, Juni 2016 Sayurandi

13 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 Botani Tanaman Karet 4 Syarat Tumbuh Tanaman Karet 6 Pemuliaan Tanaman Karet 6 Tahapan Pengujian Genotipe Hasil Seleksi 8 Interaksi Genotipe dan Musim 9 Keragaman Genetik dan Heritabilitas 10 3 BAHAN DAN METODE 12 Tempat dan Waktu 12 Bahan Genetik 12 Metode Penelitian 12 Analisis Data 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18 Kondisi Iklim di Lokasi Penelitian 18 Analisis Komponen Hasil pada Karakter Pertumbuhan dan Anatomi Kulit Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 20 Analisis Komponen Hasil pada Karakter Fisiologi dan Sifat Aliran Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 pada Bulan Kering dan Bulan Basah 22 Analisis Daya Hasil Lateks pada Berbagai Fase Gugur Daun 15 Genotipe Karet Harapan PP/07/04 36 Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas 39 Hubungan antara Karakter Komponen Hasil dangan Daya Hasil Lateks 41 Analisis Daya Hasil Lateks 15 Genotipe Karet Harapan PP/07/04 pada TM-1 sampai dengan TM-6 43 Seleksi Genotipe Karet Harapan PP/07/04 yang Stabil dan Berdaya Hasil Tinggi 47 5 SIMPULAN DAN SARAN 51 Simpulan 51 Saran 51 ix x xi xi

14 DAFTAR PUSTAKA 52 LAMPIRAN 59 RIWAYAT HIDUP 61 DAFTAR TABEL 1 Model sidik ragam rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor 15 2 Model sidik ragam rancangan acak lengkap (RAL) dua faktor 15 3 Data rata-rata iklim 10 tahun terakhir wilayah Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang 18 4 Sidik ragam karakter lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/ Pertumbuhan lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 pada umur 11 tahun 22 6 Sidik ragam karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding 23 7 Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/ Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 pada musim berbeda 26 9 Pengaruh interaksi genotipe dan musim terhadap kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Pengaruh interaksi genotipe dan musim pada kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Sidik ragam kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Kadar karet kering, indeks hasil dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Pengaruh musim terhadap kadar karet kering, indeks hasil dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/ Pengaruh interaksi genotipe dan musim pada karakter indeks hasil dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Sidik ragam daya hasil lateks terhadap fase gugur daun 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 terhadap fase gugur daun Nilai pendugaan komponen ragam, heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik beberapa karakter komponen hasil dan daya hasil lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/04 39

15 18 Koefisien korelasi antara karakter komponen hasil dengan daya hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/ Daya hasil lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/04 selama 6 tahun sadap Genotipe karet harapan PP/07/04 yang terseleksi berdasarkan karakter komponen hasil yang berkorelasi nyata terhadap daya hasil lateks Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol 5 genotipe terseleksi Nilai ragam dalam genotipe, standar deviasi, dan koefisien keragaman genotipe PP/07/04 di bulan basah Nilai ragam dalam genotipe, standar deviasi, dan koefisien keragaman genotipe PP/07/04 di bulan kering 49 DAFTAR GAMBAR 1 Diagram alir penelitian 3 2 Kondisi jumlah curah hujan selama tahun 2007 Maret Kondisi jumlah hari hujan selama tahun 2007 Maret Kondisi suhu udara selama tahun 2007 Maret Kondisi kelembaban udara selama tahun 2007 Maret Fluktuasi curah hujan bulan Agustus 2015 Maret Pengaruh kondisi daun pada setiap fase terhadap hasil lateks 15 genotipe karet PP/07/ Hubungan antara pertumbuhan lilit batang dan hasil lateks beberapa genotipe PP/07/ Hubungan antara hasil lateks dengan ragam dalam genotipe dari 15 genotipe karet PP/07/04 di bulan basah Hubungan antara hasil lateks dengan ragam dalam genotipe dari 15 genotipe karet PP/07/04 di bulan kering 49 DAFTAR LAMPIRAN 1 Jumlah curah hujan selama tahun 2007 Maret 2016 di Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara 59

16

17 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai penting untuk menghasilkan devisa negara. Total volume karet yang diekspor pada tahun 2013 sebesar 2.7 juta ton dan menghasilkan devisa negara sebesar US$ milyar. Hal ini menjadikan karet menduduki posisi terbesar kedua penghasil devisa negara non migas setelah kelapa sawit. Indonesia telah menduduki urutan kedua penghasil karet terbesar di dunia setelah Thailand berdasarkan volume ekspor (BPS 2014). Pemerintah telah menargetkan untuk menjadi produsen karet nomor satu dunia pada tahun Diharapkan dengan menjadi produsen karet nomor satu dunia, maka akan meningkatkan devisa negara dan lebih mempermudah dalam pengendalian harga karet di pasar dunia. Kebijakan pemerintah dalam pencapaian target produksi adalah dengan cara meningkatkan produksi karet nasional sebesar 4 juta ton karet kering atau rata-rata produktivitas karet nasional menjadi sebesar kg ha -1. Indonesia merupakan negara yang memiliki perkebunan karet terluas di dunia dengan luas areal sekitar 3.56 juta ha, namun produktivitas karet nasional masih tergolong rendah yaitu kg ha -1 (Deptan 2014). Rendahnya produktivitas karet Indonesia disebabkan oleh 85% dari total luas areal merupakan perkebunan karet rakyat yang sebagian besar masih menggunakan bahan tanam dengan kualitas rendah (Dirjenbun 2010). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai target produksi nasional adalah dengan menyebarluaskan klon-klon karet unggul ke berbagai daerah sentra perkebunan karet. Klon karet unggul menjadi salah satu komponen teknologi terpenting untuk mendukung kinerja dan kesinambungan industri perkaretan nasional yang efisien dan berdaya saing tinggi. Penanaman klon unggul di berbagai perkebunan besar secara nyata telah meningkatkan produktivitas kebun serta efisiensi usaha tani karet (Aidi-Daslin et al. 2012). Upaya untuk mendapatkan klon unggul dilakukan melalui tahapan persilangan, seleksi, dan pengujian klon secara bertahap pada program pemuliaan karet konvensional. Pengujian genotipe diawali dengan uji keturunan (progeny test) pada populasi tanaman semaian F1 hasil persilangan, uji pendahuluan, uji plot promosi hingga pengujian lanjutan/multilokasi. Tahapan seleksi dalam kegiatan pemuliaan perlu dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga potensi keunggulan suatu klon karet dapat diketahui (Tan 1987; Simmonds 1989). Aktivitas pemuliaan karet di Indonesia telah menghasilkan berbagai klon karet unggul dengan potensi produktivitas karet yang dihasilkan mencapai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman karet asal bibit semaian (Woelan 2013). Klon karet anjuran skala komersial seperti PB 260, PB 330, PB 340, RRIC 100, BPM 24, IRR 112, dan IRR 118 telah banyak berkembang di berbagai perkebunan besar dan rakyat dengan produktivitas aktualnya dapat mencapai kg ha -1 (Aidi-Daslin et al. 2009; Aidi-Daslin 2011). Di samping oleh klon, daya hasil karet juga dipengaruhi oleh musim. Wilayah perkebunan karet di Indonesia terletak pada posisi geografis yang berbeda yaitu terletak di bagian utara dan selatan khatulistiwa. Letak geografis yang berbeda tersebut menyebabkan distribusi hujan yang berbeda pada masing-

18 2 masing wilayah, sehingga kondisi tersebut yang mengakibatkan pola produksi karet tahunan di Indonesia sangat berfluktuasi. Pada semester pertama produksi karet menurun di wilayah bagian utara khatulistiwa sebab memasuki musim kemarau seperti yang terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan sebagian pulau kalimantan, sedangkan produksi karet meningkat di bagian selatan khatulistiwa sebab memasuki musim hujan seperti di Provinsi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, dan pulau Jawa. Sebaliknya, pada semester dua produksi karet meningkat pada wilayah bagian utara dan menurun pada wilayah bagian selatan disebabkan perubahan distribusi curah hujan (Junaidi et al. 2015). Kondisi curah hujan rendah (musim kemarau) seperti di Provinsi Sumatera Utara pada umumnya terjadi pada bulan Januari April, sedangkan curah hujan cukup tinggi terjadi pada bulan Mei Desember. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa faktor agroklimat seperti curah hujan sangat menentukan produktivitas karet (Yeang & Paranjothy 1982; Roux et al. 2000; Gireesh et al. 2011). Seiring dengan perubahan musim, tanaman karet secara siklik periodik mengalami gugur daun pada musim kemarau dan pembentukan daun sempurna terjadi pada saat musim hujan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi produktivitas tanaman (Siregar 2014). Kondisi curah hujan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Tanaman kakao mengalami pertumbuhan yang melambat akibat cekaman kekeringan (Prihastanti et al. 2015). Kondisi kelapa sawit yang kekurangan air berakibat terhadap daun muda tidak membuka, pelepah daun menua sampai pupus patah, dan menurunkan produksi kelapa sawit mencapai 10-40% (Siregar et al. 1995). Klon karet seri RRIC dan RRISL di Sri Lanka menunjukkan adanya respon klon terhadap perubahan musim (Gunasekara et al. 2013). Penelitian tentang pengaruh musim terhadap produktivitas karet di Indonesia masih sangat terbatas. Pengujian-pengujian klon pada umumnya belum mempertimbangkan respon tiap klon secara spesifik terhadap perubahan musim, meskipun klon-klon unggul sudah ditanam pada berbagai lokasi kebun. Sejauh ini, laporan-laporan kinerja klon-klon yang sedang diuji belum menyajikan adanya dinamika produksi karet menurut musim (Woelan et al. 2013). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh sejumlah genotipe harapan hasil uji populasi semaian F1 yang dilanjutkan pada uji plot promosi. Materi genetik yang digunakan pada pengujian plot promosi ini merupakan hasil seleksi genotipe terbaik dari 828 genotipe F1 hasil persilangan bunga pada tahun Terdapat 15 genotipe harapan yang pada saat ini masih dalam proses evaluasi di pengujian plot promosi di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih yang ditanam pada tahun 2004 (Woelan et al. 2012). Pengamatan hasil lateks pada pengujian plot promosi telah berjalan selama 5 tahun. Hasil pengamatan selama lima tahun yaitu dari tahun pertama sadap (TM- 1) sampai dengan tahun ke lima sadap (TM-5) memperlihatkan potensi hasil lateks genotipe harapan lebih tinggi dibandingkan dengan klon komersial, namun hasil lateks yang dihasilkan masing-masing genotipe cukup bervariasi pada setiap bulannya. Kondisi curah hujan yang berbeda pada setiap bulan diduga sebagai penyebab hasil lateks berfluktuasi. Penelitian mengenai dinamika hasil lateks beberapa genotipe karet terhadap perubahan musim dianggap penting sebab

19 pertumbuhan tanaman dan produksi karet merupakan dua peubah agronomi penting yang sangat dipengaruhi oleh variasi musim. Diperolehnya genotipe yang stabil dan berdaya hasil tinggi pada kondisi tersebut merupakan harapan bagi pemulia tanaman karet. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan informasi tentang keragaman hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/ Mendapatkan informasi tentang dinamika hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04 pada musim berbeda. 3. Mendapatkan genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya hasil lateks tinggi di dua musim. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat keragaman hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/ Terdapat dinamika hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04 akibat perubahan musim. 3. Terdapat genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya hasil tinggi di dua musim. Genotipe karet harapan hasil persilangan Pengujian Plot Promosi PP/07/04 sejak tahun 2004 Studi keragaman hasil lateks genotipe harapan PP/07/04 di dua musim Studi dinamika hasil lateks genotipe harapan PP/07/04 akibat perubahan musim Studi dinamika hasil lateks pada berbagai fase gugur daun Seleksi genotipe stabil dan berdaya hasil tinggi Genotipe karet harapan yang stabil dan berdaya hasil lateks tinggi Gambar 1 Diagam alir penelitian

20 4 2 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Karet Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) merupakan tanaman tahunan (perenial) yang termasuk pada famili Euphorbiaceae penghasil lateks yang telah lama dibudidayakan di wilayah Asia tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika. Tanaman ini merupakan tanaman introduksi yang berasal dari lembah Tapajos, Brazil dan masuk ke Indonesia diperkirakan pada tahun 1877 seiring penjajahan zaman kolonial Belanda (Woelan 2013). Tanaman karet berbentuk pohon dengan tinggi tanaman dapat mencapai m, bercabang dan mengandung banyak lateks di dalam tanaman. Daun berbentuk elips atau oval berwarna hijau. Setiap tangkai daun terdiri dari tiga anak daun, dan memiliki petiola pendek. Pada umumnya bagian atas daun berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawah agak cerah dengan panjang daun berukuran 5 35 cm dan lebar cm (Sianturi 1996). Tanaman karet tergolong ke dalam tanaman berumah satu (monoceous) yang bersifat unisexual yaitu pada satu tanaman terdapat bunga betina (femineus) dan bunga jantan (masculus) yang letaknya terpisah (Dijkman 1951). Bunga karet termasuk bunga majemuk tidak terbatas yang berbentuk rangkaian (inflorecentia). Tangkai utamanya (pedenculus) bercabang terdiri dari beberapa malai (panicula) yang berbentuk piramida atau kerucut (Darjanto & Satifah 1982). Bunga betina tumbuh di ujung tangkai dan cabang, sedangkan bunga jantan tumbuh di setiap tangkai bunga yang tersusun dari tiga bunga (trifolia). Kedua bunga ini memiliki tangkai pendek, berbau harum, berwarna kuning untuk bunga jantan dan kuning kehijauan untuk bunga betina. Ukuran bunga betina pada umumnya lebih besar dari bunga jantan. Bunga betina terdiri atas dasar bunga, tenda bunga, dan bakal buah. Dasar bunga berwarna hijau, tenda bunga terdiri dari lima helai daun bunga yang saling berlekatan pada bagian bawah dan terbelah, sedangkan pada bagian ujung membelah. Bunga jantan terdiri atas tangkai sari (filamen) dan kepala sari (anther). Kepala sari melekat pada tangkai sari tersusun dalam dua lingkaran yang masingmasing lingkaran terdiri dari lima kepala sari (Dijkman 1951). Karakteristik bunga betina pada beberapa tetua karet bervariasi antara 5-16 bunga per tangkai dan bunga per karangan. Ukuran bunga betina berkisar 8-10 mm dengan panjang tangkai putik mm. Karakteristik bunga jantan pada beberapa tetua karet cukup bervariasi, yaitu bunga per tangkai atau bunga per karangan. Masing-masing bunga jantan dari setiap tetua tumbuh pada setiap tangkai utama dan cabang-cabangnya, untuk satu tangkai bunga tersusun atas tiga bunga jantan yang berwarna kuning (Pasaribu & Woelan 2007). Buah jadi (fruit set) merupakan produk dari keberhasilan persilangan secara alami maupun secara buatan. Satu buah tanaman karet biasanya mengandung tiga butir biji tetapi kadang-kadang ada yang empat biji. Biji karet dilindungi oleh lapisan luar (epicarp) dan lapisan dalam (endocarp). Epicarp berwarna hijau muda sedangkan endocarp berwarna putih pudar. Biji yang telah masak fisiologis memiliki epicarp berwarna hijau tua dan endocarp mengeras dan mengayu. Jika epicarp kering buah akan pecah dan melepaskan biji (Dijkman 1951).

21 Biji karet memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi tergantung pada masing masing tetua. Biasanya biji berbentuk bulat atau lonjong (ellips), dengan panjang biji berkisar mm dan rata-rata berat biji berkisar g. Bentuk permukaan perut (ventral) biji agak rata dan punggung (dorsal) agak menonjol. Kulit biji biasanya keras, berkilat dan berwarna cokelat atau cokelat keabu-abuan dengan banyak batik (mozaik) pada permukaan punggung, namun dijumpai sedikit atau tidak ada pada bagian perut biji (Webster & Baulkwill 1989). Lateks merupakan produk sekunder yang berbentuk cairan berwarna putih susu yang dihasilkan di dalam jaringan kulit (floem). Lateks yang dihasilkan tersebut merupakan hasil dari proses fotosintesis yang terjadi di bagian daun dan ditransfer ke dalam bagian tanaman. Lateks yang mengalami pengeringan tersebut dikenal sebagai karet alam (natural rubber). Di dalam kulit lunak terdapat deretan pembuluh tapis yang vertikal mengandung sukrosa yang merupakan bahan dasar pembentukan lateks (Ginting 1990). Lateks mengandung partikel karet (isoprena) yang dihasilkan oleh tanaman karet yang tergolong sebagai politerpen yang disintesis melalui lintasan asam mevalonat. Sebagai prekusor dari isoprena adalah asetil koa atau asam asetat, tetapi dalam jaringan berupa sukrosa yang mudah ditranslokasikan (Jacob et al. 1998). Secara fisiologis produksi lateks pada tanaman karet dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu biosintesis atau regenerasi lateks antara dua penyadapan dan lamanya lateks mengalir setelah penyadapan (Kekwick 1989). Lateks pada tanaman karet dihasilkan dan disimpan dalam sel khusus yang disebut pembuluh lateks (laticifer) yang terletak di dalam jaringan floem. Pembuluh lateks merupakan derivat kambium dan tersusun sebagai cincin konsentris pada kulit tanaman. Terdapat celah (anastomoses) diantara masingmasing cincin pembuluh yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga lateks dapat mengalir dari seluruh daerah aliran lateks pada kulit saat proses penyadapan (Woelan 2013). Kandungan partikel karet mengisi 30-50% dari berat lateks yang dikeluarkan oleh tanaman karet yang sedang disadap. Kandungan partikel karet ini merupakan 90% total padatan kering dari lateks. Di dalam lateks segar, karet ditemukan sebagai partikel karet berbentuk bulat lonjong dengan ukuran µm. Satu partikel karet mengandung beberapa ratus molekul hidrokarbon. Hidrokarbon dikelilingi oleh sebuah membran yang terdiri dari protein dan lipid termasuk fosfolipid. Membran terlihat sebagai bagian yang ultra tipis untuk menjaga osmotikum partikel karet dan ketipisannya mencapai 0.01 µm. Puncak berat molekul karet yang tinggi sampai rendah berkisar antara x 10 6 dan 1 2 x 10 5 (Tanaka 1989). Tanaman karet yang memiliki nilai ekonomis terletak pada kulit batang karena kulit batang menghasilkan lateks. Untuk mengeluarkan lateks dari kulit batang dilakukan dengan cara menyadap kulit tersebut. Penyadapan biasanya dilakukan setelah tanaman memenuhi kriteria matang sadap yaitu tanaman berumur 5-6 tahun. Sejalan dengan ditemukan klon-klon generasi baru dengan pertumbuhan jagur dapat mempercepat matang sadap yaitu di bawah umur 5 tahun. Kriteria matang sadap yang digunakan yaitu lilit batang pada ketinggian 1.3 m di atas bekas pertautan okulasi telah mencapai ukuran 45 cm dan 60% populasi tanaman sudah mencapai kriteria tersebut (Siagian & Siregar 2013). 5

22 6 Syarat Tumbuh Tanaman Karet Tanaman karet pada umumnya mampu tumbuh baik di daerah dataran rendah hingga menengah yaitu pada ketinggian m di atas permukaan laut, kondisi curah hujan berkisar mm tahun -1, jumlah curah hujan hari tahun -1, serta memiliki bulan kering selama 3-4 bulan tahun -1 dan bulan basah selama 8-9 bulan tahun -1 (Darmandono 1995). Kisaran suhu optimum yang baik untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman karet adalah berkisar o C (Thomas et al. 1995). Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang secara signifikan dapat mempengaruhi produktivitas tanaman karet adalah curah hujan (jumlah dan frekuensinya), ketinggian tempat, topografi, dan sifat-sifat fisik tanah (Sugiyanto et al. 1998; Hadi et al. 2007). Menurut Basuki (1990) penurunan produksi akibat kesalahan penanaman klon yang tidak sesuai pada daerah basah (curah hujan >3 000 mm tahun -1 tanpa bulan kering) dapat mencapai 7-40%, karena tanaman terserang penyakit gugur daun secara berkepanjangan. Penurunan populasi tanaman dan terlambatnya buka sadap dari beberapa klon yang ditanam pada daerah dengan agroklimat basah (curah hujan >2 500 mm tahun -1, dengan 5-6 bulan basah) dibandingkan dengan daerah yang lebih kering (Suhendry 2001). Ketinggian tempat (elevasi) berpengaruh negatif terhadap produktivitas karet, pada ketinggian >700 m dpl sudah memberikan efek yang buruk bagi pertumbuhan dan produksi karet. Bentuk muka lahan (topografi) dengan kemiringan 17-40% harus memperhatikan kesesuaian klon untuk daerah tersebut. Untuk daerah berbukit, dengan kemiringan lebih dari 40% sudah memberikan resiko yang besar untuk tanaman karet (Sugiyanto et al. 1998). Disamping berbagai faktor diatas, kemungkinan dapat terjadi perubahan iklim karena pemanasan global yang dapat mempengaruhi daerah optimum untuk budidaya tanaman (Mearns 2000). Faktor lingkungan sangat mempengaruhi produktivitas karet. Penanaman klon-klon tertentu pada suatu lingkungan (agroekosistem) akan menjadi pertimbangan penting, agar diperoleh produktivitas klon yang optimal. Indonesia dengan keragaman lingkungan yang luas, memerlukan alternatif pilihan berbagai jenis klon unggul yang sesuai untuk lingkungan tertentu (Suhendry 2001). Pemuliaan Tanaman Karet Program pemuliaan tanaman karet bertujuan untuk mendapatkan klon dengan potensi hasil lateks tinggi, pertumbuhan tanaman jagur, resisten terhadap penyakit, toleran terhadap angin, kualitas karet tinggi, serta respon terhadap stimulansia (Lasminingsih & Situmorang 1990). Kemajuan pemuliaan tanaman karet dapat diukur dari pencapaian peningkatan potensi produksi dari klon-klon unggul baru dibandingkan dengan klon sebelumnya. Selama empat generasi siklus pemuliaan tanaman karet dari tahun 1910 sampai dengan saat ini telah mencapai kemajuan yang cukup signifikan terhadap peningkatan hasil lateks yang telah mencapai lima kali lipat dibandingkan dengan tanaman seedling. Kegiatan pemuliaan tanaman karet di Indonesia telah berjalan selama empat generasi. Generasi pertama (G1) dimulai pada tahun Materi genetik yang digunakan pada G1 merupakan tanaman semaian terpilih dengan rata-rata produksi karet sebesar 704 kg ha -1. Generasi kedua (G2) dimulai pada tahun Materi genetik merupakan klon primer seperti Tjir 1, PR 107, GT 1,

23 AVROS 2037 dengan produksi karet berkisar kg ha -1. Generasi ketiga (G3) dimulai pada tahun Materi genetik merupakan klon hasil persilangan tetua unggul. Klon karet yang termasuk pada G3 yaitu BPM 1, BPM 107, PR 255, dan TM 2. Klon-klon tersebut memiliki produksi karet berkisar kg ha -1. Generasi keempat (G4) dimulai pada tahun Materi genetik merupakan klon hasil persilangan tetua unggul generasi ketiga. Klon yang tergolong pada G4 seperti IRR 104, IRR 118, IRR 220, dan IRR 311. Klon tersebut memiliki produksi karet berkisar kg ha -1. Klon karet pada G4 memiliki produksi karet tinggi dan memiliki masa tanaman belum menghasilkan (TBM) lebih singkat yaitu selama empat tahun (Aidi-Daslin et al. 2009). Klon-klon tersebut diseleksi melalui serangkaian kegiatan evaluasi beberapa karakter pendukung di antaranya adalah karakter komponen hasil yang berkaitan dengan produksi karet. Karakter komponen hasil merupakan karakter kuantitatif yang memiliki pengaruh terhadap hasil (Woelan et al. 2013). Karakter komponen hasil seperti pertumbuhan tanaman (lilit batang, tebal kulit), anatomi kulit (jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, partikel karet), fisiologi lateks (sukrosa, fosfat anorganik, tiol, indeks penyumbatan, kadar karet kering dan indeks hasil) memiliki hubungan yang cukup kuat terhadap hasil lateks. Karakter lilit batang dan tebal kulit merupakan parameter penentu dalam awal tanaman karet dapat disadap. Kriteria tanaman dapat disadap jika pada ketinggian 130 cm memiliki lingkar batang sebesar 45 cm dengan ukuran tebal kulit 7 mm. Selain itu, pertumbuhan tanaman yang jagur sangat diharapkan untuk mempersingkat masa tanaman belum menghasilkan (Siagian dan Siregar 2013). Tanaman karet menghasilkan lateks yang disimpan di dalam sel khusus yang disebut pembuluh lateks dan berada di dalam jaringan floem kulit pohon. Pembuluh lateks dibentuk oleh aktivitas kambium yang tersusun sebagai cincin konsentris, bercabang, dan mempunyai pori penghubung antar pembuluh lateks. Percabangan dan pori antara pembuluh ini akan membantu aliran lateks ke daerah yang mengalami pelukaan. Pembuluh lateks yang berada di lapisan paling luar berumur lebih tua dan mempunyai ukuran sel yang lebih besar dibandingkan pembuluh dekat kambium. Jumlah pembuluh lateks, jumlah cincin pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks menjadi faktor histologis yang menentukan produksi karet (Atminingsih 2015). Tanaman karet mempunyai ciri khas dibandingkan dengan tanaman bergetah lain karena dalam pembuluh lateks tidak terdapat pati tetapi lebih banyak sukrosa (Kekwick 2001). Pembentukan partikel karet diawali dengan proses fotosintesis yang menghasilkan glukosa, sukrosa atau karbohidrat lain, lipid, protein, dan metabolit sekunder melalui berbagai lintasan yang terkoordinasi dengan proses respirasi (glikolisis dan siklus trikarboksilat). Metabolit sekunder berupa senyawa fenolik maupun produk sekunder mengandung N yang secara spesifik mempunyai lintasan tertentu antara lain lintasan siklamat, malonat maupun mevalonat (Taiz & Zeiger 1991). Molekul sukrosa melalui serangkaian reaksi enzimatik akan membentuk molekul asetat atau asetil-coa sebagai prekursor utama dari cis-poliisoprena menghasilkan energi kimia berupa ATP serta akumulasi senyawa pereduksi NAD(P)H. Aktivitas enzim invertase dilaporkan memberikan peran penting dalam 7

24 8 proses glikolisis di dalam pembuluh lateks (Mesquita et al 2006). Selanjutnya melalui serangkaian reaksi enzimatik, Asetil-CoA yang dihasilkan dari glikolisis membentuk rantai isoprena 5 karbon yaitu isopentenil pirofosfat (IPP). Proses pembentukan IPP ini memerlukan energi terutama dalam bentuk ATP dan tenaga pereduksi NADPH yang dihasilkan dari proses glikolisis. Isopentenil pirofosfat dikatalisis oleh enzim isopentenil-difosfatisomerase sehingga membentuk dimetilalil pirofosfat (DMAPP) (Atminingsih 2015). Enzim Preniltransferase, maka DMAPP dan IPP membentuk geranil pirofosfat. Enzim rubber transferase mengkatalis pemanjangan molekul karet dengan penambahan molekul IPP secara berturut-turut. Biosintesis lateks dikontrol antara lain oleh regulasi ph dan komposisi ion sitosol lateks (Jacob et al. 1989). Metabolisme pembentukan partikel karet dipengaruhi oleh beberapa karakter fisiologi yang dapat dideteksi dengan diagnosis lateks atau dengan mengamati beberapa peubah fisiologi lainnya. Menurut Sumarmadji (1999), kandungan lateks dan jaringan kulit yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan karakter fisiologi adalah kadar sukrosa, fosfat anorganik (Pi), thiol (R-SH), ph lateks, total solid content (TSC) atau Kadar Karet Kering (KKK) dan Indeks Penyumbatan (IP). Sukrosa merupakan indikator yang penting karena merupakan prekursor untuk mensintesis partikel karet. Fosfat anorganik merupakan indikator untuk proses metabolisme. Tingginya kadar Pi mencerminkan aktifnya metabolisme dalam biosintesis karet. Thiol merupakan aktivator berbagai enzim yang diperlukan untuk stabilitas membran lutoid yaitu menetralisasi beberapa macam senyawa oksigen toksik atau reactive oxygen species (ROS) seperti: O 2, H 2 O 2, dan OH -. ph lateks berhubungan dengan aktivitas metabolisme lateks terutama berpengaruh terhadap enzim yang berperan dalam biosintesis lateks. Total Solid Content atau KKK merupakan pencerminan kemampuan biosintesis lateks. Semakin tinggi kadarnya semakin lambat aliran lateks dan berkorelasi positif dengan IP (Atminingsih 2015). Thiol juga berperan dalam mengaktifkan beberapa enzim terutama yang berhubungan dengan cekaman lingkungan. Thiol berperan menjaga stabilitas membran lutoid dengan cara menetralisir senyawa oksigen toksik seperti O 2, dan H 2 O 2. Konsentrasi thiol akan semakin menurun dengan adanya perlakuan stimulan (Nair et al 2004). Tahapan Pengujian Genotipe Hasil Seleksi Klon karet unggul dihasilkan dari serangkain kegiatan pemuliaan tanaman karet secara konvensional yang membutuhkan waktu cukup panjang yaitu berkisar tahun. Tahapan pengujian klon karet terdiri dari uji keturunan (progeny test), uji pendahuluan/ plot promosi, dan uji lanjutan/multilokasi. Tahap awal dari kegiatan pemuliaan adalah melakukan kegiatan hibridisasi tetua unggul. Hasil hibridisasi selanjutnya ditanam pada uji keturunan yang sering disebut Seeding Evaluation Trial (SET). Evaluasi dilakukan pada tanaman F1 hasil persilangan selama 2 3 tahun. Genotipe hasil persilangan tersebut ditanam dengan jarak tanam 2 x 2 m. Seleksi individu dilakukan berdasarkan potensi hasil lateks dan sifat pertumbuhan tanaman. Uji plot promosi/pendahuluan merupakan tahap kedua dalam siklus pemuliaan tanaman karet yang materi genetiknya menggunakan hasil seleksi di pengujian F1 hasil persilangan. Genotipe yang terseleksi diperbanyak secara vegetatif. Istilah genotipe yang dimaksud dalam penelitian ini adalah materi

25 genetik yang diperbanyak secara vegetatif namun masih dalam tahap evaluasi dan belum dirilis. Masing-masing genotipe diperbanyak tanaman dan ditanam dengan jarak tanam 5 m x 4 m. Pengamatan yang dilakukan pada pengujian tersebut umumnya lebih dititikberatkan pada seleksi genotipe-genotipe dengan pertumbuhan jagur, produksi karet tinggi, dan tahan terhadap penyakit (Suhendry 2002). Pada uji pendahuluan/plot promosi akan diperoleh klon-klon unggul harapan dengan nama seri IRR (Indonesian Rubber Research). Uji lanjutan/adaptasi merupakan tahapan akhir dari siklus seleksi. pengujian ini dilakukan bertujuan untuk menguji klon karet harapan yang berasal dari uji pendahuluan/plot promosi. Pengujian klon karet harapan dilakukan pada berbagai agroekosistem seperti daerah beriklim kering dan basah, air tanah dangkal, berbagai ketinggian tempat, lahan pasang surut, daerah berbukit dan lain-lain. Hasil pengujian ini akan diperoleh informasi interaksi genotipe dan lingkungan. Jika tidak ditemukan interaksi genotipe dan lingkungan, maka untuk menentukan klon yang ideal sangat mudah untuk dilakukan yaitu dengan memilih klon-klon harapan dengan rata-rata hasil karet yang lebih tinggi. Jika ditemukan interaksi genotipe dan lingkungan, maka pemilihan klon berdasarkan lokasi spesifik. Karakter agronomi sangat penting digunakan sebagai parameter seleksi dalam pemilihan klon-klon karet unggul. Respon sifat-sifat agronomi pada interaksi genotipe dan lingkungan berguna dalam seleksi klon untuk ditanam pada lingkungan luas atau hanya untuk lingkungan tertentu (Allard 1960; Aidi-Daslin & Sayurandi 2006). Interaksi Genotipe dan Musim Peningkatan produktivitas tanaman dapat dilakukan dengan cara merakit suatu varietas berdaya hasil tinggi. Genotipe harapan yang akan dijadikan suatu varietas tidak hanya cukup melihat faktor genetik saja, namun pengaruh lingkungan perlu diperhatikan sebab faktor lingkungan memiliki peranan dalam penampilan fenotipe tanaman (Syukur et al. 2012). Perbedaan penampilan tanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi suhu, cahaya, musim, dan nutrisi. Penelitian berkaitan dengan daya hasil tanaman pada genotipe karet harapan terhadap perubahan musim (kemarau dan hujan) perlu dilakukan untuk mengetahui penampilan tanaman dan perbedaan potensi produktivitas tanaman. Menurut Sari et al. (2013) dalam pengujian varietas tanaman perlu memperhatikan besarnya interaksi antara genotipe dan lingkungan. Evaluasi calon varietas baru perlu dilakukan untuk mengetahui keunggulan potensi hasil dan interaksi genotipe terhadap lingkungan (Kuswanto 2007). Lingkungan sebagai tempat tumbuh tanaman juga memiliki peran yang tidak kalah penting terhadap daya hasil. Lingkungan tumbuh yang sesuai akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga tanaman dapat berproduksi secara optimal. Suatu karakter tidak dapat berkembang dengan baik apabila hanya dipengaruhi oleh genetik tanpa lingkungan yang sesuai. Sebaliknya, keadaan lingkungan yang optimal tidak akan menyebabkan suatu karakter dapat berkembang dengan baik tanpa didukung oleh genetik tanaman (Aidi-Daslin & Sayurandi 2006). Produktivitas tanaman karet sangat dipengaruhi oleh faktor genotipe, musim, dan interaksi antara genotipe dan musim. Proporsi besarnya ragam genetik secara berurutan disebabkan oleh faktor genotipe, lingkungan, interaksi genotipe dan 9

26 10 lingkungan. Informasi mengenai interaksi genotipe dan lingkungan berguna untuk menentukan adaptasi genotipe di lingkungan tertentu serta menentukan stabilitas genotipe. Pada tanaman karet, kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap daya hasil lateks adalah jumlah curah hujan, hari hujan, suhu udara dan radiasi matahari. Untuk wilayah di Indonesia kondisi yang lebih berperan adalah jumlah curah hujan dan hari hujan, sedangkan faktor suhu dan radiasi bukan faktor pembatas utama (Oktavia & Lasminingsih 2010). Kondisi tanaman pada saat musim kemarau mengakibatkan tanaman menggugurkan daunnya. Kondisi tersebut menyebabkan kapasitas fotosintesis tanaman karet menurun, sehingga berakibat menurunnya hasil lateks. Penurunan daya hasil lateks umumnya terjadi pada waktu pembentukan daun baru (Cahyo et al. 2011). Keragaan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta interaksi keduanya. Lingkungan dapat didefinisikan sebagai gabungan semua peubah bukan genetik yang mempengaruhi ekspresi genotipik, termasuk lokasi, musim, dan pengelolaan tanaman. Keragaan daya hasil yang tidak konsisten terhadap perubahan lingkungan merupakan indikasi adanya interaksi genotipe x lingkungan. Adanya pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan terhadap daya hasil maka seleksi yang dapat dilakukan adalah menyeleksi genotipe yang memiliki daya hasil tinggi dan stabil serta menyeleksi genotipe yang memiliki daya hasil tinggi dan beradaptasi baik pada lingkungan spesifik (Syukur et al. 2012). Keragaman Genetik dan Heritabilitas Ragam genetik dan heritabilitas merupakan parameter genetik yang penting dalam pemuliaan tanaman. Ragam genetik adalah ragam yang diwariskan oleh tetua kepada turunannya. Proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipe suatu karakter disebut heritabilitas. Heritabilitas adalah proporsi keragaman genetik dalam suatu populasi yang diwariskan dari tetua kepada turunannya. Heritabilitas dapat dianalisis berdasarkan perbandingan keragaman genetik dengan keragaman fenotipe. Heritabilitas adalah parameter genetik yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu genotipe dalam populasi tanaman dalam mewariskan karakter yang dimilikinya atau suatu pendugaan yang mengukur sejauh mana variabilitas penampilan suatu genotipe dalam populasi terutama yang disebabkan oleh peranan faktor genetik. Heritabilitas suatu karakter penting diketahui, terutama untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi. Heritabilitas merupakan parameter genetik untuk memilih sistem seleksi yang efektif. Heritabilitas dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu broad-sense heritability yang merefleksikan semua kemungkinan kontribusi faktor genetik terhadap keragaman fenotipe, sedangkan yang kedua adalah narrow-sense heritability yang merupakan perbandingan keragaman genetik aditif terhadap keragaman fenotipe (Roy 2000). Heritabilitas dalam pemuliaan tanaman memiliki fungsi sebagai salah satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien dan efektif untuk menggambarkan seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya (Fehr 1987). Menurut Syukur et al. (2012), heritabilitas merupakan tolok ukur yang menentukan apakah

27 perbedaan penampilan suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan. Keragaman yang muncul dari suatu populasi tanaman merupakan hasil kombinasi genotipe dan pengaruh lingkungan. Keragaman adalah perbedaan yang ditimbulkan dari suatu penampilan populasi tanaman. Keragaman genetik merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pemuliaan tanaman. Adanya keragaman genetik dalam suatu populasi berarti terdapat variasi nilai genotipe antar individu dalam populasi tersebut. Keragaman menentukan efektifitas seleksi. Seleksi akan efektif apabila keragaman luas. Selain keragaman, heritabilitas juga menetukan efektifitas suatu seleksi. Heritabilitas merupakan suatu parameter genetik yang mengukur kemampuan suatu genotipe dalam populasi tanaman untuk mewariskan karakter yang dimiliki. Makin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat maka makin besar pengaruh genetiknya dibanding lingkungan. Heritabilitas dalam arti yang luas adalah semua aksi gen termasuk sifat dominan, aditif, dan epistasis. Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar dari 0 sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor lingkungan, sedangkan nilai 1 bila seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian nilai heritabilitas akan terletak antara kedua nilai ekstrim tersebut (Welsh 2005). Hanson (1963) menyatakan nilai heritabilitas dalam arti luas menunjukkan genetik total dalam kaitannya keragaman genotipe, sedangkan menurut Poespodarsono (1988), bahwa makin tinggi nilai heritabilitas satu sifat maka makin besar pengaruh genetiknya. 11

28 12 3 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pengujian plot promosi dari 15 genotipe karet harapan dan 2 klon pembanding dibangun di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet pada tahun 2004, Kabupaten Deli Serdang - Provinsi Sumatera Utara yang terletak pada ketinggian ± 54 m di atas permukaan laut (dpl) dan berada pada posisi 3 o arah utara khatulistiwa. Klasifikasi jenis tanah digolongkan ke dalam tanah ultisol. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Maret Bahan Genetik Materi genetik yang digunakan pada pengujian plot promosi terdiri dari 15 genotipe harapan yang telah berumur 11 tahun, yaitu: HP 92/109, HP 92/179, HP 92/211, HP 92/309, HP 92/327, HP 92/366, HP 92/368, HP 92/388, HP 92/542, HP 92/669, HP 92/677, HP 92/704, HP 92/ 711, HP 92/726, dan HP 92/838 serta 2 klon komersial yang sudah banyak dibudidayakan pada perkebunan karet yaitu PB 260 dan RRIC 100 sebagai klon pembanding. Seluruh genotipe yang diuji dalam penelitian telah dievaluasi daya hasil lateksnya selama lima tahun di pengujian plot promosi. Metode Penelitian Pengujian plot promosi dibangun di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet pada tahun Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah genotipe karet harapan yaitu sebanyak 15 genotipe dan 2 klon pembanding, sedangkan faktor kedua adalah faktor musim yaitu periode bulan basah (Agustus - Nopember 2015) dan periode bulan kering (Januari - Maret 2016). Berdasarkan data curah hujan 10 tahun terakhir dari Stasiun Metereologi Balai Penelitian Sungei Putih, musim kemarau di lokasi penelitian terjadi pada bulan Januari - April dengan curah hujan berkisar mm bulan -1 dan musim hujan terjadi pada bulan Agustus - Nopember dengan curah hujan berkisar mm bulan -1. Menurut sistem klasifikasi Oldeman bahwa yang tergolong bulan kering yaitu jumlah curah hujan bulanan 100 mm bulan -1 dan tergolong bulan basah yaitu jumlah curah hujan bulanan >200 mm bulan -1. Masing-masing genotipe terdiri dari 60 tanaman yang dibagi menjadi tiga ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 20 tanaman. Masing-masing genotipe ditanam dengan menggunakan jarak tanam 5 m x 4 m. Pemeliharaan tanaman di lokasi pengujian seperti pembersihan areal dari gulma pengganggu tanaman dan pengendalian penyakit tanaman mengikuti standar pengelolaan kebun yang direkomendasikan oleh Pusat Penelitian Karet. Pemupukan dilakukan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Juni dan Desember dengan dosis masing-masing per aplikasi yaitu 175 g pohon -1 pupuk Urea, 100 g pohon -1 pupuk SP-36, 150 g pohon -1 pupuk MoP (Muriate of Potash) dan 38 g pohon -1 pupuk Kieserit. Pengamatan dilakukan pada empat pohon contoh dalam setiap satuan percobaan dengan peubah-peubah sebagai berikut: 1. Lilit batang tanaman, diukur pada ketinggian 130 cm di atas permukaan tanah. Pengamatan dilakukan satu kali selama penelitian yaitu pada bulan Desember 2015.

29 2. Tebal kulit, contoh kulit diambil dengan menggunakan alat pelobang kulit yang terbuat dari besi dengan diameter 1 cm. Alat yang digunakan untuk mengukur ketebalan kulit adalah caliper. Sampel kulit diambil di atas 5 cm dari sudut awal bidang sadap. Pengamatan dilakukan satu kali selama penelitian yaitu pada bulan Desember Jumlah pembuluh lateks, diamati dengan menggunakan metode Gomez et al. (1972). Fiksasi contoh kulit dilakukan dengan larutan FAA (Formalin Acetic Acid). Pembuatan preparat semi permanen: kulit yang telah difiksasi dimasukkan ke dalam larutan KOH 15% selama 1 jam, kemudian dibilas dengan air mengalir selama 5 menit dan dikeringkan dengan menggunakan kertas tisue. Sampel kulit direndam kembali ke dalam larutan HNO 3 selama 2 jam dan proses selanjutnya merendam sampel kulit dalam larutan alkohol 70% selama 15 menit. Kemudian preparat diiris dengan menggunakan pisau silet yang tajam secara membujur untuk melihat jumlah pembuluh. Masingmasing irisan tipis dari preparat tersebut diletakkan di gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup (cover glass) yang sebelumnya diberi pewarna sudan III selama 30 menit. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 x. Pengamatan dilakukan satu kali selama penelitian yaitu pada bulan Desember Diameter Pembuluh Lateks, diamati dengan menggunakan metode Gomez et al. (1972). Untuk melihat ukuran diameter pembuluh lateks maka preparat diiris secara melintang. Masing-masing irisan tipis dari preparat tersebut diletakkan di gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup (cover glass) yang sebelumnya diberikan gliserin untuk menjaga preparat itu tidak mengering. Setelah itu, pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dan diamati dengan pembesaran 40 x. Pengamatan dilakukan satu kali selama penelitian yaitu pada bulan Desember Panjang alur sadap, diukur sepanjang bidang sadap pada masing-masing genotipe. Pengamatan dilakukan satu kali selama penelitian yaitu pada bulan Desember Kecepatan aliran lateks, dihitung dengan menggunakan metode Milford et al. (1969) yaitu membandingkan volume lateks (ml) yang mengalir pada lima menit pertama dalam satu kali sadap dengan panjang alur sadapan (cm) dikali 0.5. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu satu kali pada saat bulan basah dan satu kali pada saat bulan kering. 7. Indeks penyumbatan, diamati dengan menggunakan metode Milford et al. (1969) yaitu membandingkan volume lateks yang mengalir selama 5 menit pertama yang dihasilkan dalam satu kali sadap dengan total volume lateks dikali 100%. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu satu kali pada saat bulan basah dan satu kali pada saat bulan kering. 8. Kadar fospat anorganik, dilakukan dengan menggunakan metode Taussky & Shorr (1953) yaitu berdasarkan prinsip reaksi dengan molibdat menghasilkan kompleks Pi-molibdat berwarna biru yang terabsorsi pada panjang gelombang λ 750 nm. Nilai absorban diukur dengan spektrofotometer Beckham DU 650. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu satu kali pada saat bulan basah dan satu kali pada saat bulan kering. 9. Kadar sukrosa, dilakukan dengan menggunakan metode Dische (1962), yaitu berdasarkan reaksinya dengan anthrone menghasilkan turunan furfural yang 13

30 14 berwarna hijau biru yang terabsorbsi pada panjang gelombang λ 627 nm. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu satu kali pada saat bulan basah dan satu kali pada saat bulan kering. 10. Kadar tiol, diukur dengan menggunakan metode McMullen (1960) yaitu serum TCA berdasarkan prinsip reaksinya denganasam dithiobis-nitrobenzoat (DNTP) untuk membentuk TNB yang berwarna kuning yang terabsorbsi pada λ 412 nm dengan spektrofotometer Beckman DU 650. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu satu kali pada saat bulan basah dan satu kali pada saat bulan kering. 11. Kadar karet kering, diukur dengan beberapa tetes contoh lateks segar pada gelas objek, ditimbang bobot basahnya, kemudian dioven selama kurang lebih 1 x 24 jam dengan suhu sekitar 100ºC sehingga bobotnya tidak berubah lagi. Nilai kadar karet kering adalah bobot kering dibagi dengan bobot basah dan dikalikan dengan 100%. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu satu kali pada saat bulan basah dan satu kali pada saat bulan kering. 12. Indeks hasil, dihitung dengan cara mengukur volume lateks (ml pohon -1 sadap -1 ) dibagi dengan ukuran lilit batang tanaman dikali 100%. Pengamatan dilakukan dua kali yaitu satu kali pada saat bulan basah dan satu kali pada saat bulan kering. 13. Hasil lateks, diamati dengan cara menyadap kulit pada panel BO-2 (bark orginal pada panel kedua). Penyadapan pada panel BO-2 dilakukan pada ketinggian panel sadap ± 100 cm di atas pertautan okulasi. Penyadapan dilakukan dengan menggunakan sistem sadap S/2 d3 (disadap setengah lingkaran serta disadap tiga hari sekali). Untuk mengetahui daya hasil karet kering per pohon, maka dilakukan dengan cara mengukur volume lateks dengan gelas ukur dan dikalikan dengan kadar karet kering pada masingmasing genotipe yang dinyatakan dalam bentuk gram -1 pohon -1 sadap -1. Pengamatan daya hasil lateks dilakukan pada bulan basah dan bulan kering. Pengamatan pada bulan basah dilakukan selama empat bulan (empat puluh kali penyadapan) yaitu mulai bulan Agustus November 2015 dan pada bulan kering dilakukan selama tiga bulan (tiga puluh kali penyadapan) yaitu mulai bulan Januari Maret Kondisi perdaunan, diamati dengan mengikuti fase gugur daun yaitu fase 1 (mulai muncul tanda-tanda daun menguning sampai kuning sebagian), fase 2 (daun dalam kondisi kuning menyeluruh dan sebagian sudah gugur), fase 3 (semua daun gugur dan muncul kuncup daun berwarna cokelat), fase 4 (daun mulai berwarna hijau muda), fase 5 (kondisi daun berwarna hijau tua) (Oktavia dan Lasminingsih 2010). Pengamatan kondisi perdaunan dilakukan pada masing-masing genotipe. Analisis Data 1. Analisis Komponen Hasil pada Karakter Pertumbuhan dan Anatomi Kulit Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 Komponen hasil yang dianalisis pada penelitian ini yaitu karakter lilit batang tanaman, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, dan diameter

31 pembuluh lateks. Data karakter komponen hasil tersebut diambil satu kali selama penelitian yaitu pada bulan Desember Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (Anova). Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. Sumber keragaman rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor disajikan pada Tabel 1 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Tabel 1 Model sidik ragam rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor Sumber keragaman db JK KT F value E(KT) Genotipe (G) g-1 JKG KTG KTG/KTE σ 2 +rσ 2 g Galat e-1 JKE KTE σ 2 Total gr Analisis Dinamika Komponen Hasil pada Karakter Fisiologi dan Sifat Aliran Lateks serta Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 pada Bulan Kering dan Bulan Basah Komponen hasil yang dianalisis pada penelitian ini yaitu karakter fisiologi (kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol), sifat aliran lateks (kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan), kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks. Data tersebut diambil di dua musim yaitu pada saat di bulan basah dan di bulan kering. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (Anova). Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. Sumber keragaman rancangan acak lengkap (RAL) faktorial disajikan pada Tabel 1 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Tabel 2 Model sidik ragam rancangan acak lengkap (RAL) dua faktor Sumber db JK KT F value E(KT) keragaman Genotipe (G) g-1 JKG KTG KTG/KTE σ 2 +rmσ 2 g Musim (M) m-1 JKM KTM KTM/KTE σ 2 +rgσ 2 m GxM (g-1)(m-1) JKGxM KTGxM KTGxM/KTE σ 2 +rσ 2 gm Galat e-1 JKE KTE σ 2 Total gmr-1 3. Analisis Daya Hasil Lateks Pada Berbagai Fase Gugur Daun Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/4 Analisis daya hasil lateks diamati sesuai dengan fase gugur daun. Pengolahan data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Anova) dengan model sidik ragam seperti pada Tabel 2 dengan menggantikan perlakuan musim menjadi fase

32 16 gugur daun. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. 4. Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Studi keragaman antar genotipe akibat perubahan musim dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Hallauer dan Miranda (1995) yaitu sebagai berikut: Ragam fenotipe (σ 2 p) = σ 2 g + σ 2 e + σ 2 gm Ragam genotipe (σ 2 g) = (KTG-KTE)/rm Ragam interaksi (σ 2 gm) = (KTGxM-KTE)/r Ragam lingkungan (σ 2 e) = KTE/r Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) = (σ 2 g/σ 2 p) x100% Nilai heritabilitas diklasifikasikan menurut Stansfield (1991) yaitu sebagai berikut: 0 < h 2 < 20% (rendah) 20% < h 2 < 50% (sedang) 50% < h 2 < 100% (tinggi) Penghitungan koefisien keragaman genetik (KKG) yaitu dengan rumus: KKG = σg x x 100% Kriteria koefisien keragaman genetik (KKG) dibagi dalam tiga kategori (Alnopri 2014) yaitu sebagai berikut: Kategori sempit : 0-10% Kategori sedang : 10-20% Kategori luas : >20% Penghitungan ragam hasil lateks dalam genotipe untuk masing-masing genotipe pada setiap musim dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Nilai ragam (σ 2 ): σ 2 = n i=1 (xi x) 2 n 1 Koefisien keragaman (KK): KK = σ2 x x100% Keterangan: σ 2 : ragam n : jumlah sampel tanaman per genotipe

33 17 xi : data hasil lateks per tanaman pada genotipe ke-i x : rata-rata hasil lateks setiap genotipe 5. Hubungan antara Karakter Komponen Hasil dengan Daya Hasil Lateks Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara karakter komponen hasil dengan daya hasil lateks. Nilai korelasi dihitung dengan menggunakan rumus Singh & Chaudary (1979) yaitu sebagai berikut: n x 1 y 1 x 1 ) ( y 1 r xy = [n x 2 1 ( x 1 ) 2 ][n y 2 1 ( y 1 ) 2 ] Keterangan: r xy = koefisien korelasi antar karakter bebas (x) dengan karakter hasil (y), n = banyaknya genotipe, x = karakter bebas, y = karakter hasil. 6. Analisis Dinamika Hasil Lateks pada TM-1 sampai TM-6 Analisis data pengamatan dinamika hasil lateks pada tanaman menghasilkan tahun pertama (TM-1) sampai dengan tahun ke enam (TM-6) dengan menggunakan data sekunder yang terkumpul selama 5 tahun serta data TM-6 yang merupakan data hasil penelitian. Analisis data dilakukan dengan menguji nilai tengah masing-masing genotipe dengan klon pembanding PB 260 menggunakan uji t-student dengan rumus sebagai berikut: t hitung = x 1 x 2 δo s (x 1 x2) dimana: s (x 1 x2) = ( S12 n1 + S22 n2 ) Keterangan : x 1 : rata-rata data pengamatan pada setiap genotipe x 2 : rata-rata data pengamatan pada klon pembanding n1 : jumlah tanaman pada setiap genotipe n2 : jumlah tanaman pada klon pembanding : simpangan baku s (x 1 x2) 7. Seleksi Genotipe Karet Harapan PP/07/04 Berdaya Hasil Tinggi dan Stabil di Dua Musim Seleksi genotipe karet terbaik dengan cara memilih genotipe karet berdaya hasil lateks tinggi yang diikuti oleh ragam dalam genotipe di bulan basah dan bulan kering rendah serta memiliki koefisien keragaman (KK) dalam genotipe 15%.

34 Curah hujan (mm bulan -1 ) 18 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Iklim di Lokasi Penelitian Iklim sebagai faktor eksternal seperti kondisi curah hujan, jumlah hari hujan, suhu, dan kelembaban udara berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil lateks pada tanaman karet (Oktavia & Lasminingsih 2010). Data rata-rata iklim selama 10 tahun terakhir di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3 dan pola sebarannya disajikan pada Gambar 2,3,4, dan 5. Bulan Januari, Februari, Maret dan April memasuki musim kemarau (bulan kering) dengan rata-rata jumlah curah hujan berkisar antara mm bulan -1, jumlah hari hujan berkisar antara 6 11 hari bulan -1, dan kelembaban udara berkisar antara %. Musim hujan (bulan basah) terjadi pada bulan Mei, Agustus, September, Oktober dan November dengan jumlah curah hujan berkisar antara mm bulan -1, jumlah hari hujan berkisar antara hari bulan -1 dan kelembaban udara berkisar antara %. Tabel 3 Data rata-rata iklim 10 tahun terakhir wilayah Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang. Bulan Curah hujan Hari hujan Suhu udara Kelembaban (mm bulan -1 ) (hari bulan -1 ) ( o C) udara (%) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tahun 2007 Maret Jan Feb Mar Apr Mei Jun Bulan Jul Ags Sep Okt Nop Des Rerata Minimum Maksimum Gambar 2 Kondisi jumlah curah hujan selama tahun 2007 Maret 2016

35 Kelembaban udara (%) Suhu udara (oc) Jumlah Hari hujan (hari bulan -1 ) Rerata Minimum Maksimum 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan Gambar 3 Kondisi jumlah hari hujan selama tahun 2007 Maret Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan Rerata Minimum Maksimum Gambar 4 Kondisi suhu udara selama tahun 2007 Maret Rerata Minimum Maksimum 0.00 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Bulan Gambar 5 Kondisi kelembaban udara selama tahun 2007 Maret 2016

36 20 Klon karet akan memiliki respon yang berbeda pada kondisi perubahan musim yaitu perubahan dari bulan kering ke bulan basah. Menurut Aidi-Daslin (1986), tanaman karet yang memiliki siklus hidup yang panjang (tanaman tahunan), jumlah dan distribusi curah hujan sangat penting dipelajari sebab dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil lateks. Kondisi curah hujan rendah tanaman karet secara alami beradaptasi dengan cara menggugurkan daunnya. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi fisiologi tanaman menanggapi kekurangan air pada bulan-bulan kering yang terjadi pada setiap tahunnya. Sejalan dengan perubahan curah hujan, maka daun-daun tanaman tumbuh kembali dan selanjutnya daun-daun tersebut berfungsi kembali sebagai sumber asimilat bagi pertumbuhan tajuk dan pembentukan lateks (Siregar 2008; Siregar 2014). Perubahan kondisi curah hujan dan pola gugur daun tersebut diduga akan mempengaruhi respon masing-masing genotipe terhadap pertumbuhan dan hasil lateks. Analisis Komponen Hasil pada Karakter Pertumbuhan dan Anatomi Kulit Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 Data hasil analisis ragam karakter lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/04 disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pertumbuhan lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks berbeda nyata di antara genotipe. Tabel 4 Sidik ragam karakter lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/04. Sumber keragaman db Lilit batang (cm) Panjang alur sadap (cm) Tebal kulit (mm) Jumlah pembuluh lateks Diameter pembuluh lateks (µm) Genotipe ** ** 1.14 ** ** ** Galat Total 50 Keterangan: tanda *;** = berrturut-turut berbeda nyata pada α 0.05 dan α 0.01 Hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa genotipe HP 92/366 dan HP 92/542 memiliki pertumbuhan lilit batang paling tinggi dan berbeda nyata dengan klon pembanding PB 260 dan tidak berbeda nyata dengan klon RRIC 100 (Tabel 5). Genotipe HP 92/726 dan HP 92/838 memiliki pertumbuhan lilit batang paling rendah, tetapi secara statistis tidak berbeda nyata dengan klon pembanding PB 260. Karakter pertumbuhan lilit batang penting untuk dievaluasi karena lateks dihasilkan dari bagian vegetatif tanaman, terutama pada bagian batang tanaman. Selain itu, klon-klon karet yang memiliki pertumbuhan cepat, maka masa tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat dipersingkat sehingga dapat mempercepat masa penyadapan (Siagian & Siregar 2013).

37 Menurut Aidi-Daslin et al. (2012), seleksi klon karet berdasarkan pertumbuhan tanaman pada masa TM berkaitan dengan potensi kayu yang akan dihasilkan pada saat peremajaan tanaman (replanting). Pemanfaatan kayu karet pada saat ini berkembang secara cepat, baik untuk bahan baku industri perabotan maupun jenis papan partikel. Seleksi klon tidak hanya menghasilkan klon unggul sebagai penghasil lateks, tetapi juga klon penghasil lateks dan pertumbuhan jagur sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan maupun pendapatan petani karet saat peremajaan. Berdasarkan karakter pertumbuhan lilit batang dianggap bahwa genotipe HP 92/366 dan HP 92/542 tergolong tanaman dengan pertumbuhan jagur. Genotipe HP 92/366 dan HP 92/542 memiliki panjang alur sadap paling tinggi, namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260. Genotipe HP 92/726 dan HP 92/838 memiliki panjang alur sadap paling rendah. Panjang alur sadap paling tinggi pada genotipe HP/366 dan HP 92/542 disebabkan dua genotipe tersebut memiliki pertumbuhan tanaman paling jagur dibandingkan dengan genotipe lainnya. Kejaguran tanaman memiliki pengaruh terhadap panjangnya sayatan kulit ketika disadap. Menurut Woelan et al. (2013), panjang alur sadap memiliki pengaruh positif terhadap hasil lateks pada klon-klon penghasil lateks tinggi. Woelan (2013) menyatakan semakin panjang alur sadap, maka akan menyebabkan pembuluh lateks yang terpotong semakin banyak sehingga akan mempengaruhi hasil lateks. Tabel 4 menunjukkan bahwa berdasarkan karakter tebal kulit semua genotipe tidak berbeda nyata dengan klon pembanding PB 260 dan RRIC 100, kecuali genotipe HP 92/366. Meskipun ukuran tebal kulit genotipe HP 92/366 paling rendah, namun masih memenuhi kriteria ukuran tebal kulit untuk dapat disadap yaitu minimal 7.0 mm. Ukuran tersebut diharapkan tanaman lebih toleran terhadap pelukaan saat penyadapan (Annamalainathan et al. 2001). Tebal kulit merupakan salah satu parameter yang sering diamati dalam seleksi tanaman karet. Tujuan utama dalam seleksi pada tebal kulit tersebut adalah untuk mendapatkan genotipe dengan ukuran kulit cukup tebal. Kulit merupakan jaringan yang mengeluarkan lateks, sehingga ketebalan kulit sangat berpengaruh terhadap kualitas penyadapan (Woelan et al. 2013). Berdasarkan karakter jumlah pembuluh lateks diketahui bahwa semua genotipe tidak berbeda nyata dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260, kecuali pada genotipe HP 92/388 (Tabel 5). Berdasarkan karakter diameter pembuluh lateks diketahui bahwa genotipe HP 92/542 memiliki diameter pembuluh lateks paling tinggi dan berbeda nyata dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260. Genotipe yang memiliki jumlah pembuluh lateks tinggi dan diameter pembuluh lateks yang besar diharapkan akan menghasilkan lateks tinggi. Tanaman karet menghasilkan lateks yang disimpan di dalam sel pembuluh lateks yang berada di dalam floem kulit pohon. Pembuluh lateks merupakan deferensiasi dari kambium vaskular pada jaringan tanaman yang mengeluarkan lateks sehingga jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks menjadi faktor histologis yang menentukan hasil lateks (Gomez et al. 1982; Hao & Wu 2000; Mesquita et al ). Menurut Obouayeba et al. (2012), jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks memiliki korelasi nyata dan bersifat positif terhadap hasil lateks. Klon yang memiliki jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks paling tinggi umumnya menghasilkan lateks paling tinggi. Semakin banyak 21

38 22 pembuluh lateks yang tersayat pada saat penyadapan, maka semakin banyak pula lateks yang dapat dikeluarkan. Menurut Gomez (1982), pembuluh lateks merupakan deferensiasi dari kambium vaskular pada jaringan tanaman yang dikendalikan secara genetik. Kekwick (2001) mengemukakan bahwa pemuliaan tanaman karet di Malaysia selama lima kali siklus pemuliaan karet telah berhasil meningkatkan jumlah pembuluh lateks dari klon yang diperoleh dan menyebabkan terjadinya peningkatan hasil lateks menjadi tujuh kali lipatnya. Tabel 5 Pertumbuhan lilit batang, panjang alur sadap, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, dan diameter pembuluh lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 pada umur 11 tahun Genotipe Lilit batang (cm) Panjang alur sadap (cm) Tebal kulit (mm) Jumlah pembuluh lateks Diameter pembuluh lateks (µm) HP 92/ de bcd 8.83 ab ab bc HP 92/ cde cd a ab fg HP 92/ abc abcd 9.50 a ab cdef HP 92/ cde bcd 9.83 a ab ab HP 92/ bcde abc 9.67 a ab def HP 92/ a a 7.43 b ab cd HP 92/ abcd abc 9.00 a ab efg HP 92/ cde abcd 9.54 a 9.33 b def HP 92/ ab ab a ab a HP 92/ bcde abcd 9.13 a ab efg HP 92/ de cd 8.92 a ab cdef HP 92/ cde cd 9.04 a ab g HP 92/ cde cd 9.54 a ab efg HP 92/ e d 9.04 a ab cde HP 92/ e d 8.88 a ab def RRIC abcd abcd 9.33 a ab cde PB cde abcd 9.32 a a bc Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Eksploitasi lateks merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi pembuluh lateks (Atminingsih 2015). Pada periode yang sama, tanaman karet yang disadap memiliki dua kali lebih banyak pembuluh lateks dibandingkan tanpa penyadapan. Jumlah pembuluh lateks berfungsi dalam distribusi asimilat berupa sukrosa yang selanjutnya akan dibentuk menjadi partikel karet. Analisis Komponen Hasil pada Karakter Fisiologi dan Sifat Aliran Lateks serta Daya Hasil Lateks Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 pada Bulan Kering dan Bulan Basah Karakter fisiologi pada tanaman karet erat hubungannya dengan kemampuan tanaman untuk mensintesis asimilat menjadi bahan pembentuk lateks. Karakter fisiologi yang berpengaruh dalam pembentukan lateks di antaranya adalah

39 kandungan sukrosa, fosfat anorganik, dan kadar thiol (Novalina et al. 2008; Herlinawati & Kuswanhadi 2013; Woelan et al. 2013). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan dari 15 genotipe karet harapan PP/07/04 berbeda nyata pada setiap karakter yang diamati (Tabel 6). Tabel 6 Sidik ragam karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Sumber keragaman db Kadar sukrosa (mm) Kadar fosfat anorganik (mm) Kadar thiol (mm) Kecepatan aliran lateks (ml menit -1 ) Indeks penyum batan (%) Genotipe (G) ** ** 0.08 ** ** ** Musim (M) ** ** 0.23 ** ** ** GxM ** ** 0.02 * * ** Galat Total 101 Keterangan: tanda *;** = berrturut-turut berbeda nyata pada α 0.05 dan α 0.01 Hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai tengah di antara genotipe pada karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol (Tabel 7). Kadar sukrosa tinggi terdapat pada genotipe HP 92/309, sedangkan genotipe lainnya tidak berbeda nyata dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260. Perbedaan kadar sukrosa dipengaruhi oleh karakteristik masingmasing genotipe. Kadar sukrosa tinggi pada genotipe HP 92/309 diduga disebabkan oleh fotosintesis yang cukup aktif pada genotipe tersebut sehingga asimilat yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Sukrosa merupakan bentuk utama sakarida yang berada di dalam sel pembuluh lateks (laticiferous cells) dihasilkan melalui proses biosintesis yang diawali dengan pemecahan asimilat hasil fotosintesis. Senyawa ini merupakan prekusor untuk sintesis cis-poliisoprena atau partikel karet (Jacob et al. 1989; Rachmawan &Sumarmadji 2007; Atminingsih et al. 2016). Kadar sukrosa tinggi yang terdapat di dalam suatu genotipe karet belum tentu menghasilkan lateks tinggi. Kadar sukrosa tidak memiliki arti langsung sebagai gambaran potensi produksinya, namun terdapat batas kritis kadar sukrosa yang harus tersedia dalam sel pembuluh lateks untuk sintesis partikel karet (Sumarmadji 1999; Silpi et al. 2006). Kandungan sukrosa tinggi menunjukkan adanya influks yang cukup baik dalam sel pembuluh lateks yang mungkin diikuti oleh suatu metabolisme sel yang aktif, namun kandungan sukrosa yang tinggi mungkin juga disebabkan oleh rendahnya metabolisme penggunaan sukrosa yang menyebabkan produksi aktual menjadi rendah. Genotipe HP 92/109 memiliki kadar fosfat anorganik paling tinggi dan berbeda nyata dengan klon RRIC 100 dan PB 260, sedangkan genotipe lainnya tidak berbeda nyata dengan klon PB 260. Kadar fosfat anorganik tinggi pada genotipe HP 92/109 menunjukkan genotipe tersebut memiliki metabolisme yang lebih aktif dibandingkan dengan genotipe lainnya. Perbedaan kadar fosfat 23

40 24 anorganik diduga disebabkan kemampuan masing-masing genotipe dalam proses metabolisme tanaman. Tabel 7 Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 Genotipe Kadar sukrosa (mm) Kadar fosfat anorganik (mm) Kadar thiol (mm) Kecepatan aliran lateks (ml menit -1 ) Indeks penyumbatan (%) HP 92/ d a 0.53 bcd bcde bcde HP 92/ cd ab 0.59 ab bcdef bcd HP 92/ bcd abcd 0.75 a bcdef ab HP 92/ a cd 0.42 bcd bc bcd HP 92/ bcd abcd 0.36 cd 9.68 def bcde HP 92/ bcd 9.99 cd 0.34 d ab a HP 92/ bcd abcd 0.49 bcd cdef bcde HP 92/ ab 8.91 d 0.51 bcd cdef bcde HP 92/ bcd abc 0.57 abc a ab HP 92/ bcd abcd 0.58 ab bcd bcd HP 92/ d cd 0.43 bcd 9.89 def bcde HP 92/ bcd cd 0.46 bcd 9.60 def bcde HP 92/ bcd 9.96 cd 0.44 bcd 8.41 ef cde HP 92/ bcd 9.42 cd 0.39 bcd 6.43 f bcde HP 92/ abc 7.88 d 0.39 bcd 9.62 def e RRIC bcd 8.04 d 0.35 d bcdef abc PB bcd bcd 0.35 d 8.41 ef de Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Menurut Chantuma et al. (2006), kadar fosfat anorganik tinggi mencerminkan aktivitas metabolisme tanaman sebab unsur fosfat berfungsi sebagai senyawa fosforilasi dan komponen pembentuk energi. Kandungan fosfor (P) lateks berperan dalam proses metabolisme lateks (Purwaningrum 2016). Hasil penelitian Siregar (2008), klon RRIM 712 dan PB 260 dengan penyadapan yang diistirahatkan memiliki kandungan P lateks tersedia yang berbeda nyata antar klon pada proses pembentukan lateks. Atminingsih et al. (2016) menyatakan bahwa proses regenerasi lateks, pemecahan sukrosa menjadi glukosa hingga terbentuknya partikel karet sangat memerlukan energi. Kisaran optimum kadar fosfat anorganik adalah mm. Tanaman yang memiliki kadar fosfat anorganik < 10 mm menyebabkan metabolisme tanaman menjadi kurang aktif (Sumarmadji & Tistama 2004). Kadar thiol paling tinggi terdapat pada genotipe HP 92/211, sedangkan yang paling rendah terdapat pada genotipe HP 92/726 (Tabel 7). Thiol merupakan senyawa protein yang melindungi sel dari stres (Dickinson & Henry 2002). Kadar thiol di dalam sel pembuluh lateks berfungsi sebagai aktivator enzim dan berhubungan dengan stabilitas membran lutoid untuk memperpanjang lama aliran lateks. Thiol mempunyai kemampuan melindungi organel subseluler dan

41 menangkap molekul oksigen toksik seperti O 2 -, H 2 O 2 dan OH (Siswanto 1999; Sumarmadji 1999). Menurut Sumarmadji & Tistama (2004), kandungan thiol yang optimum berkisar mm. Peningkatan intensitas penyadapan (exploitation intensity) berpengaruh pada peningkatan kadar thiol, namun jika intensitas penyadapan berlebihan menyebabkan kadar thiol menjadi rendah kembali. Hasil lateks pada tanaman karet selain dipengaruhi oleh karakter fisiologi, juga dipengaruhi oleh sifat aliran lateks yaitu kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan. Genotipe HP 92/542 memiliki kecepatan aliran lateks paling tinggi dan berbeda nyata dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260, sedangkan yang paling rendah terdapat pada genotipe HP 92/726 dan secara statistik tidak berbeda nyata dengan klon RRIC 100 dan PB 260. Menurut Woelan et al. (2013), kecepatan aliran lateks pada tanaman karet merupakan sifat fisiologis penting dalam menentukan variasi potensi hasil antar klon karet. Klon karet yang memiliki kecepatan aliran lateks tinggi diharapkan potensi hasil lateksnya juga tinggi. Kecepatan aliran lateks mengalir sewaktu disadap berpengaruh terhadap tinggi rendahnya hasil lateks. Perbedaan lama aliran lateks pada setiap klon sangat dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh lateks yang terpotong (Sethuraj et al. 1977). Genotipe HP 92/366 memiliki indeks penyumbatan paling tinggi dan berbeda nyata dengan klon PB 260, namun tidak berbeda nyata dengan klon RRIC 100. Genotipe HP 92/838 memiliki indeks penyumbatan paling rendah dan tidak berbeda nyata dengan klon PB 260, namun berbeda nyata dengan klon RRIC 100. Indeks penyumbatan sangat berkaitan erat dengan hasil lateks karena mencerminkan lama aliran lateks. Indeks penyumbatan tinggi mengakibatkan aliran lateks lebih cepat berhenti. Proses koagulasi lateks dalam jaringan saluran pembuluh lateks akan mempercepat terhentinya aliran lateks, sebaliknya indeks penyumbatan yang rendah memicu lateks mengalir lebih lama sehingga lateks yang keluar menjadi lebih banyak (Jacob et al.1998; Novalina, 2009). Genotipe HP 92/542 memiliki kecepatan aliran lateks tergolong tinggi, namun memiliki indeks penyumbatan tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya yaitu sebesar 27.94%. Hal ini diduga flokulasi partikel karet pada genotipe ini cepat terjadi sehingga aliran lateks lebih cepat terhenti. Menurut Subronto & Haris (1977), indeks penyumbatan tergolong tinggi yaitu sebesar 40% sehingga genotipe HP 92/542 masih dapat dikategorikan sebagai genotipe yang memiliki indeks penyumbatan tergolong rendah. Penyumbatan pembuluh lateks terjadi karena koagulasi partikel karet di dalam pembuluh lateks yang dapat mempengaruhi lama aliran lateks. Flokulasi partikel karet terjadi akibat adanya kerusakan pada membran lutoid, sehingga menyebabkan aliran lateks menjadi terhenti (Sumarmadji 1999). Klon dengan indeks penyumbatan rendah akan memberikan hasil lateks tinggi (Subronto & Haris 1977; Aidi-Daslin et al. 2009). Menurut Boatman (1966), proses penyumbatan aliran lateks tidak sama untuk setiap klon sehingga indeks penyumbatan dapat digunakan sebagai penciri spesifik dari masing-masing klon. Milford et al. (1969) membuktikan bahwa produksi lateks sangat efektif pada tanaman yang memiliki indeks penyumbatan rendah. Klon yang demikian akan memperlihatkan waktu aliran lateks yang lebih lama. 25

42 Jumlah curah hujan (mm bulan-1) 26 Data hasil pengamatan karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan di dua musim yaitu bulan basah (Agustus Desember 2015) dan bulan kering (Januari Maret 2016) disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis uji lanjut diketahui bahwa kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan dipengaruhi oleh perubahan musim. Fluktuasi curah hujan selama penelitian berlangsung disajikan pada Gambar Ags-15 Sep-15 Okt-15 Nop-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Bulan Gambar 6 Fluktuasi curah hujan bulan Agustus 2015 Maret 2016 Kadar sukrosa lebih tinggi terjadi pada bulan basah dan rendah pada bulan kering. Kadar sukrosa tinggi pada bulan basah diduga disebabkan kondisi daun telah berkembang sempurna, sehingga fungsi daun sebagai penghasil asimilat dapat diproduksi secara optimum dan didukung oleh ketersediaan air tanah yang cukup. Sukrosa merupakan molekul gula sederhana yang dihasilkan pada proses fotosintesis (Atminingsih 2015; Purwaningrum 2016). Tabel 8 Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, kadar thiol, kecepatan aliran lateks, dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 pada musim berbeda Musim Kadar Kecepatan Kadar Kadar Indeks fosfat aliran sukrosa thiol penyumbatan anorganik lateks (mm) (mm) (mm) ml menit -1 (%) Bulan basah 6.02 a a 0.51 a a b Bulan kering 4.49 b 8.90 b 0.42 b b a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Menurut Sumarmadji (1999), biosintesis lateks diawali dengan pemecahan asimilat hasil fotosintesis berupa sukrosa menjadi glukosa. Dalam sel pembuluh lateks terdapat sakarida dalam bentuk sukrosa dan senyawa ini merupakan

43 prekusor untuk sintesis partikel karet. Sintesis partikel karet tersebut memerlukan reaksi glikolisis glukosa dari sukrosa yang dipecah oleh invertase dan pembentukan energi biokimia. Kadar sukrosa yang terukur dalam lateks merupakan selisih antara influks sukrosa dengan banyaknya sukrosa yang digunakan untuk metabolisme lateks. Pada kondisi kecukupan air, sukrosa yang dibentuk akan segera ditranslokasikan ke bagian jaringan tanaman. Kadar air yang cukup akan menyebabkan proses metabolisme tanaman berjalan lebih aktif, sehingga pembentukan sukrosa berjalan secara efektif. Gohet et al.(1996) menyatakan bahwa ketersediaan air yang cukup mempengaruhi keseimbangan sukrosa dalam sel. Kondisi lingkungan seperti ketersediaan air pada bulan basah menyebabkan tanaman memiliki cukup waktu untuk membentuk bahan sukrosa menjadi lateks (Sumarmadji et al. 2006; Purwaningrum 2016). Sukrosa merupakan senyawa yang memegang peranan penting dalam transpor gula, hara dan sinyal pada tanaman. Metabolisme sukrosa sangat tergantung pada aktivitas enzim sucrose phosphate synthase (SPS). Beberapa faktor dalam dan luar seperti cekaman abiotik turut mempengaruhi metabolisme sukrosa (Winter & Huber 2000). Fosfat anorganik merupakan senyawa dasar fosfor (P) yang akan berkaitan dengan adenosin diphosphate (ADP) untuk menghasilkan adenosin triphosphate (ATP) yang merupakan sumber energi penting dalam molekul sel. Hasil analisis uji beda rataan menunjukkan musim berpengaruh terhadap kadar fosfat anorganik. Kadar fosfat anorganik tinggi pada kondisi bulan basah dan rendah pada bulan kering. Kadar fosfat anorganik tinggi pada bulan basah diduga disebabkan oleh ketersediaan air dan bahan baku, sehingga tanaman memperoleh energi yang cukup untuk mengambil unsur P dari dalam tanah. Laju ketersediaan unsur P pada bulan basah juga lebih tinggi, sehingga unsur tersebut mudah diambil tanaman. Kandungan unsur P internal dan remobilisasi serta translokasinya pada tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air (Zambrosi et al. 2012). Secara umum unsur P disimpan di daun dan pada kondisi tertentu dapat diremobilisasi ke bagian lain pada tubuh tanaman (Sanz et al. 1987; Mattos et al. 2003). Pada kondisi bulan basah dan sejalan dengan kondisi daun karet telah berkembang sempurna menyebabkan cadangan unsur P menjadi tinggi. Kondisi tersebut diduga menyebabkan kadar fosfat anorganik tinggi pada bulan basah. Kondisi tanaman tercekam kekeringan berpengaruh terhadap ketersediaan dan absorbsi unsur P (Mirabello et al. 2013). Tanaman yang kekurangan air dapat mengganggu penyerapan dan adsorbsi fosfor anorganik (Haynes & Swift 1989). Kondisi ini diduga penyebab mengapa fosfor anorganik rendah pada bulan kering dan sebaliknya fosfor anorganik tinggi pada bulan basah. Vandecar et al.(2009) menyatakan permintaan tanaman untuk fosfor anorganik puncaknya terjadi selama bulan basah. Dalam diagnosis lateks, pengukuran kadar sukrosa dan fosfor anorganik akan lebih efektif apabila dikombinasikan dengan pengukuran kadar thiol sebab kadar thiol mencerminkan kapasitas sistem pembuluh lateks dalam menghadapi mekanisme penuaan (Gohet et al. 1996; Atminingsih 2015; Purwaningrum et al. 2015). Kestabilan lutoid di dalam sel pembuluh lateks mempengaruhi metabolisme sel lateks yang dapat dilihat melalui karakter fisiologi kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol (Herlinawati & Kuswanhadi 2013). Hasil analisis uji 27

44 28 beda rataan diketahui bahwa musim berpengaruh nyata terhadap kadar thiol. Kadar thiol lebih tinggi pada kondisi bulan basah dan lebih rendah pada kondisi bulan kering. kadar thiol yang rendah pada bulan kering menunjukkan bahwa tanaman mengalami stres kekeringan. Kondisi kekeringan menyebabkan tanaman berupaya melindungi diri dengan menghasilkan senyawa metabolit termasuk di dalamnya membentuk senyawa thiol. Immobilisasi protein pada bagian tanaman yang mengalami cekaman akan lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa cekaman (Scartner et al. 2014; Purwaningrum et al. 2015). Kadar thiol yang rendah merupakan sinyal pada tanaman karet mengalami stres yang mungkin disebabkan oleh perlakuan penyadapan, pemberian stimulan, dan stres lingkungan (Sumarmadji 1999; Woelan et al. 2014). Analisis uji lanjut menunjukkan musim berpengaruh nyata terhadap kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan. Kecepatan aliran lateks lebih tinggi pada saat bulan basah (16.78 ml menit -1 ) dibandingkan dengan saat bulan kering (12.61 ml menit -1 ). Lamanya aliran lateks merupakan indikasi dari tanaman yang mengalami stres. Kondisi tanaman kekurangan air menyebabkan tanaman terganggu dalam proses fotosintesis. Proses penyadapan intensitas tinggi menyebabkan sistem translokasi air kedalam jaringan tanaman terganggu, sehingga menyebabkan aliran lateks lebih cepat berhenti. Mekanisme fisiologi tanaman beradaptasi dengan kondisi tanaman kekurangan air yaitu dengan cara menggugurkan daunnya. Devakumar et al. (1988) menyatakan adanya penurunan laju aliran xylem dan hasil lateks hingga 30% pada klon GT 1 dan Tjir 1 pada saat curah hujan rendah. Penurunan transpirasi terjadi dari 4.5 mm hari -1 menjadi mm hari -1. Do et al.(1997) menyatakan bahwa pada musim hujan sejalan dengan maksimalnya pertumbuhan daun dan tajuk menyebabkan aliran lateks lebih lama berhenti. Tingkat kepadatan tajuk dan berfungsinya daun secara utuh menyebabkan fotosintesis dan transpirasi berjalan efektif sehingga menyebabkan sistem pembentukan turgor terpelihara. Air yang ditranslokasikan cukup, sehingga pengaliran lateks berjalan optimal. Shuochang & Yagang (1990) menyatakan bahwa pada saat suhu rendah pada musim hujan menyebabkan aliran lateks berjalan lebih lama. Hasil analisis uji lanjut diketahui bahwa indeks penyumbatan berpengaruh nyata terhadap perubahan musim. Indeks penyumbatan tinggi terjadi pada bulan kering dan lebih rendah pada bulan basah. Hal tersebut diduga kandungan air di dalam lateks lebih rendah pada bulan kering. Disamping itu, pada bulan kering terjadi proses gugur daun tanaman sehingga menyebabkan proses fotosintesis yang menghasilkan lateks terganggu. Indeks penyumbatan tinggi pada bulan kering juga diduga dipengaruhi oleh kondisi suhu yang meningkat menyebabkan lateks yang berada di dalam jaringan pembuluh lateks lebih cepat mengering, sehingga akan mengganggu proses mengalirnya lateks pada bidang sadapan. Pohon karet yang mengalami stres air secara fisiologi dapat diidentifikasi melalui lama aliran lateks. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap tekanan turgor dalam sel pembuluh lateks. Tekanan turgor yang rendah pada kondisi suhu tinggi akan mempercepat aliran lateks untuk berhenti (Serres et al. 1994). Secara fisiologi adaptasi tanaman pada kondisi kekeringan adalah dengan cara melakukan difusi air melintasi membran dengan intensitas tekanan meningkat secara intensif

45 direspon dengan penyingkatan aliran lateks untuk mencapai keseimbangan agar sel tetap menjalankan fungsinya (Salisbury & Ros 1995; Siregar 2008). Data hasil pengamatan pengaruh interaksi genotipe dan musim terhadap karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol disajikan pada Tabel 9. Pengaruh interaksi genotipe dan musim berpengaruh nyata pada kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol. Pengaruh interaksi ini menunjukkan bahwa respon genotipe sangat peka terhadap perubahan musim. Kondisi curah hujan diduga menjadi penyebab terjadinya respon yang berbeda pada masing-masing genotipe. Sebanyak sembilan genotipe memiliki kadar sukrosa lebih tinggi di bulan basah dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 dengan kisaran antara mm, sedangkan enam genotipe memiliki kadar sukrosa lebih rendah dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 yaitu antara mm. Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat tiga genotipe yang memiliki kadar sukrosa lebih tinggi dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 di bulan kering yaitu genotipe HP 92/327, HP 92/388, dan HP 92/838. Tabel 9 Pengaruh interaksi genotipe dan musim terhadap kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Genotipe Kadar sukrosa (mm) Kadar fosfat anorganik (mm) Kadar thiol (mm) Bulan basah Bulan kering Bulan basah Bulan kering Bulan basah Bulan kering HP 92/ cd 2.41 cd abc ab 0.56 bc 0.50 bc HP 92/ b cd 1.89 cd abc abc 0.68 b 0.50 bc HP 92/ bcd 2.76 bcd abc 6.53 de 1.02 a 0.49 bc HP 92/ a 6.37 bcd abcde 8.87 bcde 0.47 bc 0.37 bc HP 92/ bcd 6.70 bcd abcd 9.13 bcde 0.41 bc 0.31 c HP 92/ bcd 5.75 bcd abcde 6.71 de 0.35 bc 0.32 c HP 92/ bcd 2.49 bcd abcd 8.42 bcde 0.57 bc 0.41 bc HP 92/ bc 7.70 bcd abcd 4.02 e 0.53 bc 0.48 bc HP 92/ bcd 5.81 bcd a bcde 0.57 bc 0.58 bc HP 92/ bcd 5.98 bcd bcde abcde 0.62 bc 0.55 bc HP 92/ bcd 0.93 d abcd 6.72 de 0.44 bc 0.42 bc HP 92/ bcd 4.99 bcd abcde 8.43 bcde 0.47 bc 0.45 bc HP 92/ ab 1.78 d abcde 6.79 de 0.47 bc 0.41 bc HP 92/ bcd 4.99 bcd abcde 5.42 de 0.39 bc 0.39 bc HP 92/ bcd 6.60 bcd 8.03 bcde 7.73 cde 0.43 bc 0.34 c RRIC bcd 3.43 bcd 9.20 bcde 6.88 de 0.40 bc 0.30 c PB bcd 6.50 bcd abcd 7.67 cde 0.37 bc 0.34 c Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Genotipe lainnya memiliki kadar sukrosa lebih rendah dibandingkan klon pembanding PB260 yaitu berkisar antara mm. Berdasarkan karakter kadar sukrosa menunjukkan genotipe HP 92/309 dan HP/711 sangat peka terhadap perubahan musim. Hal ini terlihat dari kadar sukrosa pada dua genotipe 29

46 30 tersebut tergolong tinggi saat kondisi bulan basah, namun menurun sangat nyata saat kondisi bulan kering. Penurunan kadar sukrosa saat bulan kering pada dua genotipe tersebut diduga lebih disebabkan oleh terganggunya proses fotosintesis akibat kekurangan air dan seiring terjadinya gugur daun secara serentak pada bulan kering, sedangkan genotipe HP 92/366 dan HP 92/726 cukup stabil di dua musim. Analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara genotipe dan musim terhadap kadar fosfat anorganik (Tabel 6). Genotipe yang diuji umumnya memiliki kadar fosfat anorganik lebih tinggi dibandingkan dengan klon RRIC 100 di bulan basah. Sembilan genotipe memiliki kadar fosfat anorganik lebih tinggi dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 maupun RRIC 100 di bulan kering. Genotipe HP 92/211, HP 92/677, HP 92/388, HP 92/542, HP 92/711, dan HP 92/726 sangat peka terhadap perubahan musim. Genotipe-genotipe tersebut memiliki kadar fosfat anorganik tergolong tinggi pada bulan basah, namun menurun cukup nyata pada kondisi bulan kering. Genotipe HP 92/669 memiliki kadar fosfat anorganik tinggi pada bulan kering, sedangkan lebih rendah pada bulan basah namun secara statistik tidak berbeda nyata. Genotipe HP 92/109 dan HP 92/179 memiliki kadar fosfat anorganik cukup stabil di dua musim. Hal ini menunjukkan bahwa kadar fosfat anorganik pada dua genotipe tidak terpengaruh dengan adanya perubahan musim. Kadar thiol dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan musim. Interaksi antara genotipe dan musim menyebabkan respon genotipe terhadap perubahan musim cukup beragam. Genotipe HP 92/211 memiliki kadar thiol paling tinggi di bulan basah, namun tergolong rendah di bulan kering. Semua genotipe memiliki kadar thiol tidak berbeda nyata pada bulan kering dengan kadar thiol berkisar antara mm. Pengaruh interaksi genotipe dan musim terhadap karakter kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan disajikan pada Tabel 10. Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat interaksi genotipe dan musim terhadap karakter kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan. Pengaruh interaksi tersebut menunjukkan bahwa respon genotipe sangat peka terhadap perubahan musim pada karakter kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan. Kondisi bulan basah memberikan respon yang lebih tinggi pada karakter kecepatan aliran lateks pada hampir semua genotipe. Sebanyak dua belas genotipe memiliki kecepatan aliran lateks lebih tinggi dibandingkan klon PB 260 di bulan basah, sedangkan pada bulan kering semua genotipe memiliki kecepatan aliran lateks lebih tinggi dibandingkan klon PB 260. Genotipe HP 92/309, HP92/669, dan HP92/704 sangat peka terhadap perubahan musim pada karakter kecepatan aliran lateks. Genotipe-genotipe tersebut memiliki kecepatan aliran lateks tergolong tinggi pada bulan basah, namun tergolong rendah pada bulan kering. Genotipe HP 92/838 memiliki kecepatan aliran lateks lebih tinggi di bulan kering dibandingkan pada bulan basah. Genotipe HP 92/542 memiliki kecepatan aliran lateks tergolong stabil di dua musim. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe HP 92/542 cukup toleran terhadap perubahan musim. Menurut Jacob et al. (1989), aliran lateks ditentukan oleh besarnya tekanan turgor, transfer air dari floem ke pembuluh lateks, dan proses koagulasi lateks.

47 Analisis uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi genotipe dan musim terhadap karakter indeks penyumbatan (Tabel 10). Klon karet diharapkan memiliki indeks penyumbatan rendah. Indeks penyumbatan tinggi yang dimiliki suatu klon karet akan mempercepat aliran lateks berhenti, sehingga menyebabkan hasil lateks menjadi lebih rendah. Genotipe HP 92/366 memiliki indeks penyumbatan paling tinggi di dua musim yaitu masing-masing sebesar 32.39% dan 40.76%. Tabel 10 Pengaruh interaksi genotipe dan musim pada kecepatan aliran lateks dan indeks penyumbatan 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Kecepatan aliran lateks Indeks penyumbatan Genotipe (ml menit -1 ) (%) Bulan Bulan Bulan Bulan basah kering basah kering HP 92/ abcdef abcdef fgh abcdef HP 92/ abcdef bcdef fgh ab HP 92/ abcde bcdef defgh abc HP 92/ abcd abcde cdefgh abcdefg HP 92/ bcdef 7.85 def efgh defgh HP 92/ ab abcde abcdef a HP 92/ bcdef 9.90 cdef fgh bcdefgh HP 92/ bcdef bcdef fgh bcdefgh HP 92/ a a abcdef abcdef HP 92/ abc bcdef defgh abcdef HP 92/ cdef 9.53 cdef fgh bcdefgh HP 92/ bcdef 5.51 f efgh bcdefgh HP 92/ cdef 7.24 ef 8.41 h abcdefg HP 92/ def 5.34 f fgh defgh HP 92/ cdef 9.85 cdef gh fgh RRIC abc 7.57 def defgh abcd PB bcdef 5.12 f efgh fgh Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Genotipe HP 92/838 memiliki indeks penyumbatan paling rendah pada bulan basah dan bulan kering masing-masing sebesar 10.28% dan 14.70%. Hampir semua genotipe memiliki indeks penyumbatan tergolong rendah pada bulan basah, namun tergolong tinggi pada bulan kering seperti genotipe HP 92/109, HP 92/179, HP 92/211, HP 92/669, HP 92/711 dan klon RRIC 100. Genotipe HP 92/542 memiliki indeks penyumbatan lebih tinggi di bulan basah dibandingkan di bulan kering, namun secara statistik menunjukkan tidak berbeda nyata. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap kadar karet kering (KKK), indeks hasil, dan hasil lateks (Tabel 11). Data hasil uji nilai tengah genotipe karakter kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks disajikan pada Tabel 12. Genotipe HP 92/838, RRIC 100 dan PB 260 memiliki KKK paling tinggi, sedangkan genotipe HP 92/368 memiliki KKK paling rendah. Genotipe lainnya 31

48 32 memiliki KKK antara % (Tabel 8). KKK yang tinggi pada genotipe HP 92/838, RRIC 100, dan PB 260 diduga disebabkan oleh sifat genetik tanaman. KKK mencerminkan jumlah padatan karet yang terkandung di dalam lateks. Lateks mengandung bahan padatan sebesar 25 50% dan sebanyak 90% merupakan partikel karet (Priyadarshan 2011; Atminingsih 2015). Tabel 11 Analisis sidik ragam kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Sumber Kadar karet Indeks hasil Hasil lateks db keragaman kering (%) (%) (g/p/s) Genotipe (G) ** ** ** Musim (M) ** ** ** GxM ** ** Galat Total 101 Keterangan: tanda *;** = berturut-turut berbeda nyata pada α 0.05 dan α 0.01 Kadar karet kering sangat dipengaruhi oleh jenis klon, musim dan konsentrasi stimulan (Siregar 2008; Atminingsih 2015; Purwaningrum 2016). Klon karet yang memiliki KKK tinggi umumnya memiliki indeks penyumbatan tinggi sehingga menyebabkan aliran lateks lebih cepat berhenti, walaupun demikian genotipe yang memiliki KKK tinggi diharapkan akan menghasilkan klon berproduktivitas tinggi. Menurut Subronto & Harris (1977), kadar karet tinggi terutama disebabkan oleh viskositas lateks tinggi yang menyebabkan proses penyumbatan aliran lateks berjalan lebih cepat. Tabel 12 Kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Genotipe Kadar karet Indeks Hasil lateks kering (%) hasil (%) (g p -1 s -1 ) HP 92/ abcde abcd cdef HP 92/ abcde abcd cdef HP 92/ abcde bcde bcd HP 92/ abcd ab b HP 92/ de def efg HP 92/ abcd def bcd HP 92/ e def fg HP 92/ cde bcde defg HP 92/ abc a a HP 92/ abc cdef bcde HP 92/ abcde efg gh HP 92/ abc 9.86 fg efg HP 92/ abcde cdef defg HP 92/ bcde 7.27 g h HP 92/ ab bcd cdef RRIC ab bcd bc PB a abc b Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey

49 Genotipe HP 92/542 memiliki indeks hasil paling tinggi dan berbeda nyata dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260, sedangkan paling rendah terdapat pada genotipe HP 92/704 dan HP 92/726. Genotipe lainnya memiliki indeks hasil antara %. Indeks hasil yang tinggi pada genotipe HP 92/542 mengindikasikan bahwa genotipe tersebut memiliki hasil lateks lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe-genotipe lainnya maupun dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260. Hasil analisis uji lanjut diketahui bahwa hasil lateks berbeda nyata di antara genotipe. Sejalan dengan parameter indeks hasil ternyata genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi dan berbeda nyata dengan klon RRIC 100 dan PB 260, sedangkan yang paling rendah terdapat pada genotipe HP 92/726 dan HP 92/766. Hasil lateks yang tinggi pada genotipe HP 92/542 diduga disebabkan oleh faktor genetik yang dimiliki genotipe tersebut. Genotipe HP 92/542 sangat potensial dikembangkan menjadi klon karet unggul baru. Data hasil pengamatan pengaruh musim terhadap kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks disajikan pada Tabel 13. Hasil analisis uji beda rataan diketahui bahwa kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks berbeda nyata terhadap perubahan musim. Kadar karet kering tinggi pada bulan kering, sedangkan rendah pada bulan basah. Kadar karet kering lebih tinggi pada bulan kering diduga dipengaruhi oleh kandungan air di dalam lateks pada kondisi bulan kering lebih sedikit, sehingga menyebabkan persentase kandungan partikel karet tinggi di bulan tersebut. Menurut Purwaningrum (2016), kadar karet kering di dalam lateks dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis klon, umur tanaman, waktu penyadapan, musim, suhu udara, dan letak ketinggian dari permukaan laut. Kadar karet kering rendah menunjukkan kandungan air di dalam lateks relatif tinggi, sebaliknya kadar karet kering tinggi menunjukkan kandungan air di dalam lateks lebih sedikit. Siregar (2014) melaporkan bahwa sejalan dengan kondisi curah hujan dan kondisi tajuk tanaman, kadar karet kering mengalami dinamika. Peningkatan kadar karet kering pada bulan kering yang sejalan dengan tingginya gugur daun menyebabkan tanaman karet merespon dalam bentuk peningkatan kadar karet kering untuk menata proses fisiologi tanaman agar tetap berjalan. Respon ini disebut enansiostatik yang bertujuan agar tanaman dapat bertahan hidup menunggu ketersediaan air untuk pertumbuhan daun (Hochachaka & Samero 1984). Tabel 13 Pengaruh musim terhadap kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 Hasil lateks Kadar karet Musim Indeks hasil (%) (g p s -1 ) kering (%) Bulan basah b a a Bulan kering a 9.80 b b Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Hasil penelitian Purwaningrum (2016) menunjukkan bahwa kadar karet kering tinggi pada bulan kering disebabkan tanaman hanya mendapatkan sedikit 33

50 34 air, sehingga volume air dalam tubuh tanaman rendah yang berakibat terhadap peningkatan kadar karet kering. Lateks mengandung sejumlah partikel karet di dalam larutan cairan. Pada kondisi bulan kering jumlah cairan lateks sebagai pelarut mengalami penurunan sehingga terjadinya peningkatan konsentrasi larutan lateks yang menyebabkan kadar karet kering pada kondisi bulan kering tersebut meningkat dibandingkan pada kondisi bulan basah. Hasil analisis uji beda rataan menunjukkan bahwa indeks hasil dipengaruhi oleh perubahan musim. Indeks hasil lebih tinggi pada bulan basah dengan rerata indeks hasil sebesar 17.10%, sedangkan pada bulan kering hanya sebesar 9.80%. Indeks hasil yang lebih tinggi di bulan basah diduga tanaman memiliki kecukupan air dan daun dalam kondisi daun sempurna. Curah hujan tinggi diperkirakan turut memicu tingginya indeks hasil (Siregar 2014). Hasil analisis uji beda rataan menunjukkan bahwa musim berpengaruh nyata terhadap hasil lateks. Hasil lateks lebih tinggi terjadi pada bulan basah (36.20 g), sedangkan hasil lateks lebih rendah pada bulan kering (22.04 g). Kshirsagar (2005) melaporkan bahwa curah hujan memiliki peranan yang cukup besar dalam memulihkan kondisi perdaunan pada tajuk tanaman dan kapasitas fotosintesis terhadap hasil lateks. Kondisi tanaman kecukupan air pada periode bulan basah menyebabkan tanaman dapat melakukan aktifitas metabolisme terutama pada proses fotosintesis yang menghasilkan sukrosa. Hasil metabolisme tersebut akan digunakan untuk pertumbuhan daun tanaman yang selanjutnya akan berdampak terhadap pembentukan lateks sebagai produk utama pada tanaman karet (Siregar 2014). Data hasil pengamatan pengaruh interaksi genotipe dan musim pada karakter indeks hasil dan hasil lateks disajikan pada Tabel 14. Terdapat interaksi antara genotipe terhadap karakter indeks hasil dan hasil lateks. Pengaruh interaksi ini menunjukkan bahwa respon genotipe terhadap karakter indeks hasil dan daya hasil sangat peka terhadap perubahan musim. Kondisi rerata curah hujan pada bulan basah lebih tinggi dibandingkan dengan rerata curah hujan pada bulan kering diduga yang mempengaruhi karakter indeks hasil dan daya hasil lateks. Sejalan dengan rendahnya curah hujan di bulan kering menyebabkan tanaman karet mengalami gugur daun. Hal ini diduga juga mempengaruhi hasil lateks pada masing-masing genotipe menjadi beragam. Sebanyak 14 genotipe memiliki indeks hasil lebih tinggi di bulan basah dibandingkan di bulan kering. Genotipe HP 92/179, HP 92/309 dan HP 92/542 memiliki indeks hasil paling tinggi di bulan basah, namun terdapat penurunan indeks hasil di bulan kering. Penurunan indeks hasil yang cukup nyata terdapat pada genotipe HP 92/179. Genotipe tersebut memiliki indeks hasil di bulan basah sebesar 20.35% dan menurun menjadi 9.62% di saat bulan kering. Indeks hasil sangat ditentukan oleh lamanya hasil lateks mengalir (Woelan et al. 2013). Ketersediaan air yang cukup pada kondisi bulan basah menyebabkan indeks hasil lebih tinggi pada bulan tersebut. Genotipe HP 92/388 memiliki indeks hasil rendah di bulan basah, namun meningkat indeks hasilnya di bulan kering. Indeks hasil yang tinggi pada genotipe HP 92/388 di bulan kering diduga genotipe tersebut memiliki respon yang cukup baik pada kondisi bulan kering. Genotipe HP 92/542 memiliki indeks hasil yang cukup stabil dibandingkan dengan genotipe lainnya, hal tersebut ditunjukkan dengan nilai indeks hasil paling tinggi di dua musim. Genotipe tersebut juga

51 memiliki indeks hasil lebih tinggi dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 dan RRIC 100. Indeks hasil yang paling rendah di dua musim terdapat pada genotipe HP 92/726 dengan nilai indeks hasil masing-masing hanya sebesar 11.42% di bulan basah dan 3.12% di bulan kering. Tabel 14 Pengaruh interaksi genotipe dan musim pada karakter indeks hasil dan hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Indeks hasil (%) Hasil lateks (g p s -1 ) Genotipe Bulan basah Bulan kering Bulan basah Bulan kering HP 92/ abcd ghijklmn cdefgh hijklm HP 92/ abc 9.62 ijklmn bcde ijklm HP 92/ bcdefg fghijklmn cdefg efghijk HP 92/ a efghijklmn ab efghijkl HP 92/ bcdefgh 7.37 lmno cdefghi mn HP 92/ bcdefghi 8,86 jklmno abcde fghijklm HP 92/ bcdefg 7.59 lmno efghijk lmn HP 92/ defghijkl cdefghij fghijklm efghijkl HP 92/ ab bcdefgh a abc HP 92/ abcdef 8.06 klmno abcde ijklm HP 92/ cdefghij 6.58 no fghijklm mn HP 92/ defghijklm 6.78 no efghijkl klmn HP 92/ abcde 7.18 mno bcdef klmn HP 92/ ghijklmn 3.12 o jklmn 5.38 n HP 92/ abcd hijklmn bcdef hijklm RRIC abcdef ghijklmn abcd efghijk PB abcd defghijkl abc defghij Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Hasil analisis uji beda rataan menunjukkan interaksi genotipe dan musim berpengaruh nyata terhadap hasil lateks. Seperti halnya dengan karakter indeks hasil, ternyata pada parameter hasil lateks juga menunjukkan bahwa rerata hasil lateks lebih tinggi di bulan basah dibandingkan dengan di bulan kering. Genotipe HP 92/309 dan HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi di saat bulan basah yaitu masing-masing sebesar g dan g, namun genotipe HP 92/309 terlihat lebih peka pada kondisi bulan kering. Hal tersebut terlihat dari hasil lateks di bulan kering menurun cukup nyata (28.39 g). Genotipe yang memiliki hasil lateks paling rendah di dua musim terdapat pada genotipe HP 92/726. Genotipe HP 92/542 menunjukkan respon yang cukup baik di dua musim yang ditunjukkan oleh hasil lateks lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya maupun dengan klon pembanding PB 260 dan RRIC 100. Hal ini mengindikasikan bahwa genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks tinggi dan stabil. Dengan demikian, genotipe HP 92/542 sangat potensial dikembangkan menjadi klon karet unggul harapan dengan tingkat stabilitas hasil lateks cukup baik di dua musim. 35

52 36 Analisis Daya Hasil Lateks pada Berbagai Fase Gugur Daun 15 Genotipe Karet Harapan PP/07/4 Tanaman karet memiliki sifat menggugurkan daun pada setiap musim kemarau. Priyadarshan et al. (2001) menjelaskan bahwa gugur daun terjadi seiring adanya perubahan pola curah hujan. Kondisi curah hujan rendah mengakibatkan tanaman karet menggugurkan daun secara alami dengan tujuan agar mengantisipasi fisiologi tanaman karet menanggapi kekurangan air pada bulanbulan kering setiap tahunnya. Berdasarkan pola gugur daun tanaman karet dapat dikelompokkan menjadi lima fase yaitu fase 1 apabila mulai muncul tanda-tanda daun menguning sampai kuning sebagian, fase 2 apabila daun sudah dalam kondisi kuning menyeluruh dan sebagian sudah gugur, fase 3 apabila semua daun sudah gugur dan mulai muncul kuncup daun berwarna cokelat, fase 4 apabila daun mulai berwarna hijau muda dan fase 5 apabila daun berwarna hijau tua. Kelima fase gugur daun tersebut diduga dapat menyebabkan hasil lateks pada masing-masing genotipe karet berfluktuasi. Gugur daun tanaman karet tejadi sejalan dengan perubahan pola curah hujan (Gambar 3). Hasil pengamatan secara langsung di lokasi penelitian diawali pada saat kondisi daun masuk pada fase 5 yang terjadi pada bulan Agustus Oktober 2015, kondisi daun untuk fase 1 terjadi pada bulan November 2015, untuk fase 2 terjadi pada bulan Desember 2015, untuk fase 3 terjadi pada bulan Januari Februari 2016, dan untuk fase 4 terjadi pada bulan Maret Hasil analisis sidik ragam daya hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 menunjukkan berbeda nyata terhadap lima fase gugur daun (Tabel 15). Hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap hasil lateks pada fase 1, 2, 3, 4, dan 5 (Tabel 16). Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi pada fase 1, namun tidak berbeda nyata dengan klon pembanding PB 260. Genotipe HP 92/542 pada fase 2, 3, 4 dan 5 memiliki hasil lateks lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya maupun klon pembanding PB 260 dan RRIC 100, namun terjadi penurunan hasil lateks seiring dengan perubahan fase gugur daun (fase 2, 3, dan 4). Tabel 15 Analisis sidik ragam daya hasil lateks terhadap kondisi fase gugur daun 15 genotipe karet harapan PP/07/04 dan klon pembanding Sumber keragaman db JK KT F. hitung P Genotipe ** Fase daun ** Genotipe x ** Fase daun Galat Total Keterangan: tanda *;** = berturut-turut berbeda nyata pada α 0.05 dan α 0.01 Genotipe HP 92/309 memiliki hasil lateks cukup berfluktuasi pada setiap fase, namun hasil lateksnya di setiap fasenya masih lebih tinggi dibandingkan dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260 kecuali pada fase 4. Sejalan dengan terbentuknya daun sempurna (fase 5) hasil lateks genotipe HP 92/309 meningkat

53 secara nyata dibandingkan dengan kondisi fase-fase daun sebelumnya dan lebih tinggi dibandingkan dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260 dengan persentase sebesar 16.08% dan 8.31%. Hasil lateks yang tinggi pada genotipe HP 92/309 dan HP 92/542 pada fase 5 diduga karena kondisi daun pada dua genotipe sudah tumbuh sempurna sehingga fotosintesis berlangsung penuh dan optimal. Genotipe HP 92/366, HP 92/669 dan HP 92/711 tergolong peka terhadap perubahan pola gugur daun, hal ini terlihat dari hasil lateksnya lebih rendah dibandingkan klon PB 260 pada fase 1, 2, 3, dan 4, namun saat fase 5 ternyata tiga genotipe tersebut memiliki hasil lateks cukup tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Webster & Paardekooper (1989) menyatakan gugur daun secara alami merupakan antisipasi fisiologi agar tanaman dapat beradaptasi pada kondisi kekeringan. Sejalan dengan perubahan curah hujan dari musim kering ke musim basah menyebabkan daun-daun tanaman mulai tumbuh menjadi organ sempurna (fase 5), sehingga mampu berfungsi sebagai source untuk menghasilkan asimilat bagi pertumbuhan tajuk dan pembentukan lateks. Fenomena gugur daun tanaman karet terjadi secara ritmik periodik setiap tahunnya (Siregar et al. 2007). Tabel 16 Hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 terhadap fase gugur daun Genotipe Hasil lateks (g p s -1 ) Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5 HP 92/ a-m b-o l-x k-x d-s HP 92/ b-q b-q n-x p-x a-l HP 92/ a-h a-n f-w d-s c-r HP 92/ a-g a-h d-s n-x abc HP 92/ e-w h-w t-x wx c-r HP 92/ a-h a-n j-w f-w a-i HP 92/ h-w k-x s-x u-x e-v HP 92/ m-x l-x s-x g-w h-w HP 92/ ab abc a-e a-g a HP 92/ b-q d-s o-x o-x a-g HP 92/ l-x r-x vwx vwx h-w HP 92/ f-w e-v q-x t-x e-w HP 92/ f-w q-x r-x r-x a-j HP 92/ s-x n-x 5.30 x 5.53 x o-x HP 92/ a-k i-w n-x o-x b-o RRIC a-n b-p e-w e-w a-f PB a-k b-o d-u d-t abcd Rerata ab b c c a Angka-angka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α 0.05 menurut uji Tukey Hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa kondisi fase daun tanaman memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap hasil lateks. Hasil lateks (g p -1 s -1 ) paling tinggi terjadi pada kondisi daun fase 5 (36.95 g), sedangkan paling rendah terjadi pada kondisi daun fase 3 (21.55 g) dan 4 (21.33 g). Kondisi daun fase 1 (33.93 g) tidak berbeda nyata dengan fase 2 (30.94 g), namun kondisi fase 2 berbeda nyata dengan fase 5. Demikian halnya antara fase 5 dengan fase 3 dan 4 37

54 HP 92/109 HP 92/179 HP 92/211 HP 92/309 HP 92/327 HP 92/366 HP 92/368 HP 92/388 HP 92/542 HP 92/669 HP 92/677 HP 92/704 HP 92/711 HP 92/726 HP 92/838 RRIC 100 PB 260 Hasil Lateks (g p-1 s-1) 38 menunjukkan perbedaan nyata. Perbedaan hasil lateks antara fase 5 dengan fase 3 dan 4 masing-masing sebesar 71.46% dan 73.23%. Kondisi daun fase 1 dan fase 5 juga menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata. Oktavia & Lasminingsih (2010) menyatakan fluktuasi hasil lateks sangat dipengaruhi oleh kondisi daun tanaman yang erat kaitannya dengan pola curah hujan bulanan. Gugur daun penting dalam homeostatik untuk mempertahankan keseimbangan antara tajuk dengan bagian tanaman lain dan keseimbangan tanaman dengan lingkungan (Siregar et al. 2007). Pengaruh kondisi daun pada setiap fase terhadap hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 disajikan pada Gambar 7. Menurut Nurcahyo et al.(2011), turunnya kadar air tanah pada saat musim kemarau akan mempengaruhi penyerapan air dan unsur hara tanaman yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan tanaman. Salah satu fungsi utama air bagi tanaman adalah mempertahankan turgiditas sel dan jaringan tanaman yang penting bagi kelangsungan aktivitas sel dalam pembelahan dan pemanjangan sel. Tanaman yang memiliki kecukupan air akan lebih efektif dalam kegiatan fotosintesis untuk menghasilkan asimilat (Wargadiputra & Haran 1984) Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase Genotipe karet Gambar 7 Pengaruh kondisi daun pada setiap fase terhadap hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 Kramer (1983) menyatakan bahwa pengaruh langsung yang terjadi akibat kekurangan air berkepanjangan yaitu berkurangnya laju pertumbuhan, sehingga ukuran tanaman dan hasil lateks rendah dibandingkan saat tanaman dalam kondisi normal. Thomas & Boerhendhy (1988) menyatakan kekurangan air pada saat musim kemarau menyebabkan tanaman karet beradaptasi dengan cara menggugurkan daunnya. Hal ini menyebabkan kapasitas fotosintesis tanaman

55 karet menurun, sehingga hasil lateksnya juga menurun. Penurunan hasil lateks terjadi secara nyata pada saat pembentukan kuncup daun dan daun muda (fase 3 dan 4). Hasil lateks yang rendah pada fase tersebut diduga disebabkan sukrosa yang terdapat pada tanaman lebih diutamakan untuk pertumbuhan tanaman dibandingkan untuk mensintesis partikel karet. Kondisi fase gugur daun mempengaruhi hasil lateks menjadi beragam. Kondisi daun pada fase 3 dan 4 yang menunjukkan hasil lateks yang paling rendah. Hal tersebut disebabkan asimilat digunakan dalam pembentukan kuncup daun dan daun muda. Tindakan agronomi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil lateks yaitu dengan cara melakukan aplikasi pemupukan yang terkait dengan pertumbuhan daun pada saat memasuki stadia daun fase 3 dan 4. Aplikasi pemupukan diharapkan dapat mempercepat pemulihan daun membentuk daun sempurna. 39 Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Nilai pendugaan komponen ragam, heritabilitas arti luas, dan koefisien keragaman genetik (KKG) beberapa karakter komponen hasil dan daya hasil lateks dari beberapa genotipe karet harapan PP/07/04 disajikan pada Tabel 17. Hasil analisis data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai ragam genotipe pada setiap karakter yang diamati menunjukkan lebih rendah dibandingkan dengan nilai ragam fenotipenya. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh lingkungan terhadap karakter yang diamati. Pengaruh lingkungan menyebabkan nilai ragam fenotipe menjadi lebih besar. Tabel 17 Nilai pendugaan komponen ragam, heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik beberapa karakter komponen hasil dan daya hasil lateks beberapa genotipe karet harapan PP/07/04 Karakter σ 2 p σ 2 g σ 2 e h 2 bs KKG Lilit batang Tebal kulit Jumlah pembuluh lateks Diameter pembuluh lateks Panjang alur sadap Kecepatan aliran lateks Indeks penyumbatan Kadar fosfat anorganik Kadar sukrosa Kadar thiol Kadar karet kering Indeks hasil Hasil lateks σ 2 p = ragam fenotipe; σ 2 g = ragam genotipe; σ 2 e = ragam lingkungan, h 2 bs = heritabilitas arti luas, KKG = koefisien keragaman genetik Tabel 17 menunjukkan bahwa karakter lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, panjang alur sadap, kecepatan aliran

56 40 lateks, indeks penyumbatan, kadar fosfat anorganik, kadar sukrosa, kadar thiol, kadar karet kering, indeks hasil, dan hasil lateks memiliki nilai heritabilitas arti luas (h 2 bs) tergolong tinggi. Nilai heritabilitas tinggi pada semua karakter yang diamati menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan oleh lingkungan. Menurut Sobir & Syukur (2015) karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa karakter tersebut lebih dikendalikan oleh faktor genetik dibandingkan dengan lingkungan. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas arti luas tinggi, maka karakter tersebut potensial untuk diwariskan kepada keturunan. Heritabilitas karakter yang diamati memiliki kisaran nilai antara Stansfield (1983) menyatakan bahwa heritabilitas adalah proporsi ragam fenotipik total yang disebabkan oleh semua tipe efek gen. Nilai heritabilitas digolongkan menjadi tiga kriteria yaitu nilai heritabilitas rendah (h 2 < 0.2), heritabilitas sedang (0.2 < h 2 < 0.5), dan heritabilitas tinggi (0.5 < h 2 1.0). Fehr (1987) menyebutkan bahwa heritabilitas adalah salah satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien dan dapat menggambarkan efektivitas seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya. Nilai heritabilitas yang tinggi mampu memberikan informasi bahwa seleksi efektif dilakukan pada karakter tersebut. Sleeper dan Poelhman (2006) menyatakan bahwa heritabilitas merupakan tolok ukur yang menentukan apakah perbedaan penampilan suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan. Nilai duga heritabilitas suatu karakter perlu diketahui untuk menentukan karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan. Nilai heritabilitas yang tinggi berarti faktor keragaman genetik berperan penting dalam penampilan fenotipe pada tanaman. Nilai heritabilitas yang tinggi ini memberikan arti bahwa faktor genetik memberikan kontribusi penting dalam proses seleksi berikutnya karena seleksi pada populasi yang memiliki heritabilitas tinggi akan lebih efektif daripada populasi yang memiliki heritabilitas rendah (Yunianti et al. 2010; Ishak 2012). Hal ini disebabkan pengaruh genetiknya yang lebih besar dari pada pengaruh lingkungan yang berperan dalam ekspresi karakter tersebut. Beberapa penelitian telah menggunakan nilai heritabilitas sebagai kriteria seleksi pada beberapa komoditi tanaman, antara lain Wirnas et al. (2006) pada kedelai, Sudarmadji et al. (2007) pada wijen, Saleem et al. (2008) pada padi, Martono (2009) pada nilam, Sa diyah et al. (2009) pada kacang panjang dan Arif et al. (2012) pada cabai. Tabel 17 menunjukkan nilai KKG pada masing-masing karakter komponen hasil dan daya hasil lateks. KKG paling tinggi terdapat pada karakter kecepatan aliran lateks (44.79%), sedangkan paling rendah terdapat pada karakter tebal kulit (6.00%). Karakter lainnya memiliki KKG berkisar antara %. Stansfield (1983) menyatakan bahwa keragaman genetik yang tinggi menunjukkan adanya pengaruh genetik yang lebih dominan dari pada pengaruh lingkungan, sebaliknya keragaman genetik yang rendah menunjukkan adanya pengaruh lingkungan yang kuat. Nilai KKG ditetapkan sebagai nilai 100%. Kriteria koefisien keragaman genetik (KKG) adalah sempit (0-10%), sedang (10-20%), dan luas (>20%) (Alnopri 2004). Menurut Bahar dan Zen (1993), karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi dan ragam genetik tinggi pada umumnya akan memiliki nilai KKG tinggi untuk masing-masing karakter. KKG digunakan untuk mengukur keragaman

57 genetik suatu karakter tertentu dan untuk membandingkan keragaman genetik berbagai karakter tanaman. Nilai KKG yang tinggi menunjukkan peluang terhadap usaha-usaha perbaikan yang efektif melalui seleksi. Berdasarkan pada nilai parameter genetik tersebut dapat dilakukan seleksi terhadap karakter komponen hasil dan daya hasil lateks tanpa mengabaikan nilai tengah karakter yang bersangkutan. Berdasarkan analisis komponen ragam, heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik dapat diketahui bahwa perwarisan karakter komponen hasil dan daya hasil lateks yang diamati lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan faktor lingkungan. Hubungan antara Karakter Komponen Hasil dengan Daya Hasil Lateks Karakter daya hasil lateks merupakan karakter kompleks yang sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil. Karakter hasil dan komponen hasil merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (poligenik). Analisis korelasi bertujuan untuk mempelajari pola hubungan karakter komponen hasil dengan daya hasil dan menyeleksi karakter komponen hasil yang memiliki korelasi nyata dengan karakter hasil. Daya hasil merupakan karakter utama yang selalu menjadi tujuan perbaikan dalam setiap program pemuliaan tanaman. Keeratan hubungan antara karakter komponen hasil dengan daya hasil lateks dapat diduga dengan menghitung nilai koefisien korelasi antara dua karakter kuantitatif (Falconer. 1981; Woelan et al. 2014). Keeratan hubungan antara komponen hasil dengan daya hasil lateks disajikan pada Tabel 18. Korelasi antar karakter fenotipe diperlukan dalam seleksi tanaman untuk mengetahui karakter yang dapat dijadikan petunjuk seleksi terhadap produktivitas tanaman yang tinggi (Suharsono et al. 2006; Wirnas et al. 2006). Tabel 18 menunjukkan bahwa karakter diameter pembuluh lateks, kecepatan aliran lateks, kadar karet kering, dan indeks hasil pada genotipe PP/07/04 memiliki hubungan yang berpengaruh sangat nyata dan bersifat positif terhadap daya hasil lateks dengan nilai koefisien korelasi (r) masing-masing karakter yaitu sebesar 0.65, 0.75, 0.66, dan Karakter lilit batang, panjang alur sadap, dan jumlah pembuluh lateks memiliki hubungan yang berpengaruh nyata dan bersifat positif terhadap daya hasil lateks dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0.55, 0.57, dan 0.54, sedangkan indeks penyumbatan memiliki hubungan yang berpengaruh nyata namun bersifat negatif terhadap hasil lateks dengan nilai koefisien korelasi sebesar Beberapa karakter yang diamati seperti tebal kulit, kadar fosfat anorganik, kadar sukrosa, dan kadar thiol memiliki hubungan yang tidak berpengaruh nyata terhadap daya hasil lateks dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 0.26, 0.30, 0.24, dan Menurut Gomez & Gomez (1995), nilai korelasi antara dua karakter yang semakin mendekati +1 atau -1, maka semakin erat hubungan antara kedua karakter tersebut. Nilai korelasi nyata dan bersifat positif mengindikasikan bahwa peningkatan suatu karakter yang satu akan menyebabkan peningkatan pada karakter yang lainnya, sedangkan nilai korelasi nyata dan bersifat negatif mengindikasikan bahwa peningkatan suatu karakter yang satu akan menyebabkan penurunan pada karakter lain (Aryana et al. 2011). Karakter yang memiliki keeratan hubungan yang nyata dengan hasil lateks dapat digunakan sebagai penduga dalam menyeleksi genotipe karet berdaya hasil tinggi (Woelan 2013). 41

58 42 Tabel 18 Koefisien korelasi antar karakter komponen hasil dan daya hasil lateks Karakter LB PAS TK JPL DPL Suk FA Thi KAL IP KKK IH HL LB ** ** 0.75 ** * PAS ** 0.67 ** * TK JPL * 0.54 * DPL * ** 0.65 ** Suk FA * Thi KAL ** * 0.75 ** IP * * KKK ** IH ** HL 1 Keterangan: LB = Lilit batang; PAS = Panjang alur sadap; TK = Tebal kulit; JPL = Jumlah pembuluh lateks; DPL = Diameter pembuluh lateks; KAL = Kecepatan aliran lateks; IP = Indeks penyumbatan; FA = Kadar fosfat anorganik; Suk = Kadar sukrosa; Thi = Kadar thiol; KKK = Kadar karet kering; IH: Indeks hasil; HL = Daya hasil lateks; ** = berkorelasi sangat nyata pada uji t.01; * = berkorelasi nyata pada uji t.05 Hasil analisis korelasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol tidak dapat digunakan untuk menyeleksi klon karet berdaya hasil tinggi. Hal tersebut terlihat dari nilai korelasi pada karater tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap hasil lateks. Kadar sukrosa tinggi tidak menjadi jaminan terhadap tingginya hasil lateks. Sumarmadji (1999) mengemukakan bahwa kadar sukrosa lateks tidak memiliki arti langsung sebagai gambaran potensi produksinya, namun dapat menggambarkan produksi aktual yang rendah diakibatkan sejumlah sukrosa tidak disintesis menjadi lateks. Kandungan fosfat anorganik dapat digunakan sebagai indikator terhadap energi dan metabolisme tanaman. Kadar fosfat anorganik menggambarkan ketersediaan energi pada sel-sel pembuluh lateks untuk mengubah sukrosa menjadi partikel karet. Kisaran optimum kadar fosfat anorganik adalah mm, sehingga apabila tanaman memiliki kadar fosfat anorganik kurang dari 10 mm mengindikasikan metabolisme sel kurang aktif, namun jika kadar fosfat anorganik lebih tinggi dari 20 mm mengindikasikan tanaman mengalami eksploitasi berlebih (over exploitation) atau terserang penyakit (Sumarmadji & Tistama 2004). Berdasarkan nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa lilit batang, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, kecepatan aliran lateks, kadar karet kering, jumlah pembuluh lateks, panjang alur sadap, dan indeks hasil merupakan karakter komponen hasil yang memiliki hubungan cukup kuat dan bersifat positif terhadap daya hasil lateks, sedangkan indeks penyumbatan

59 memiliki hubungan yang kuat namun bersifat negatif terhadap daya hasil lateks. Hal ini menunjukkan bahwa kedelapan karakter komponen hasil tersebut merupakan penciri yang sangat berpengaruh terhadap hasil lateks sehingga dapat digunakan sebagai kriteria seleksi pada program pemuliaan tanaman untuk memperoleh genotipe karet berdaya hasil tinggi. 43 Analisis Daya Hasil Lateks 15 Genotipe Karet Harapan PP/07/04 pada TM-1 sampai dengan TM-6 Data hasil pengamatan hasil lateks dalam bentuk gram per pohon persadap (g p -1 s -1 ) selama 6 tahun sadap disajikan pada Tabel 19. Hasil analisis statistik menggunakan uji-t menunjukkan bahwa beberapa genotipe memiliki hasil lateks berbeda nyata dan sangat nyata dengan klon pembanding PB 260. Genotipe HP 92/309 dan HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi selama enam tahun sadap yaitu masing-masing sebesar g dan g. Hasil lateks pada kedua klon tersebut nyata lebih tinggi dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 (40.67 g) dan RRIC 100 (37.86 g). Tabel 19 Daya hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04 selama 6 tahun sadap Genotipe Hasil lateks (g p -1 s -1 Rerata ) tahun sadap ke hasil lateks (g p -1 s -1 ) HP 92/ ** HP 92/ ** HP 92/ ns HP 92/ ** HP 92/ * HP 92/ ns HP 92/ ** HP 92/ * HP 92/ ** HP 92/ ** HP 92/ ** HP 92/ * HP 92/ ** HP 92/ ns HP 92/ * RRIC * PB Keterangan: *,** = berbeda nyata dan berbeda sangat nyata dengan klon pembanding PB 260 berdasarkan uji t pada taraf 5% dan 1% ; ns = tidak berbeda nyata dengan klon pembanding PB 260 Genotipe HP 92/677 dan HP 92/368 merupakan genotipe yang memiliki hasil lateks paling rendah yaitu masing-masing sebesar g dan g. Genotipe lainnya memiliki hasil lateks antara g. Tabel 6 juga

60 44 menunjukkan bahwa hasil lateks pada sadap tahun pertama (TM-1) sampai dengan tahun ke enam (TM-6) cukup berfluktuasi. Hampir semua genotipe memiliki hasil lateks rendah pada tahun pertama dan sejalan bertambahnya umur tanaman menyebabkan hasil lateks menjadi lebih tinggi. Hal ini diduga akibat bertambahnya umur tanaman, sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman lebih tinggi yang selanjutnya berdampak terhadap lateks yang dihasilkan semakin tinggi. Menurut Aidi-Daslin (2012) pertumbuhan lilit batang tanaman memiliki korelasi yang cukup kuat terhadap hasil lateks. Genotipe yang memiliki pertumbuhan tanaman jagur diharapkan memiliki hasil produktivitas tinggi. Hubungan antara pertumbuhan lilit batang dan hasil lateks beberapa genotipe PP/07/04 disajikan pada Gambar 8. Pertumbuhan tanaman pada umur sebelas tahun seperti yang disajikan pada Tabel 5 dan hasil lateks yang disajikan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa genotipe HP 92/542, HP 92/211, HP92/366 dan RRIC 100 tergolongan tanaman jagur, sedangkan genotipe HP 92/309, HP92/726, dan PB 260 tergolong tanaman dengan pertumbuhan sedang, namun genotipe-genotipe tersebut memiliki rata-rata hasil lateks selama enam tahun tergolong tinggi (Gambar 3). Genotipe HP 92/309 dan HP 92/542 memiliki hasil lateks nyata lebih tinggi dibandingkan dengan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260. Berdasarkan karakter pertumbuhan tanaman dan hasil lateks dapat disimpulkan bahwa genotipe HP 92/309 dikategorikan sebagai genotipe unggul harapan penghasil lateks, sedangkan genotipe HP 92/542 dikategorikan sebagai genotipe unggul harapan penghasil lateks dan pertumbuhan jagur. Gambar 8 Hubungan antara pertumbuhan lilit batang dan hasil lateks beberapa genotipe PP/07/04 Hasil analisis hubungan antara komponen hasil dengan daya hasil menunjukkan bahwa 5 genotipe karet berdaya hasil lateks tinggi dipengaruhi oleh karakter komponen hasil. Genotipe yang terseleksi tersebut adalah HP 92/211, HP 92/309, HP 92/366, HP 92/542, dan HP 92/726. Karakter komponen hasil yang

61 berpengaruh nyata memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hasil lateks pada masing-masing genotipe. Genotipe karet harapan PP/07/04 yang terseleksi berdasarkan karakter komponen hasil yang memiliki korelasi berpengaruh nyata terhadap daya hasil lateks disajikan pada Tabel 20. Genotipe HP 92/211 memiliki hasil lateks tinggi yang dipengaruhi oleh karakter lilit batang dan panjang alur sadap. Genotipe HP 92/309 memiliki hasil lateks tinggi yang dipengaruhi oleh karakter diameter pembuluh lateks, indeks penyumbatan, kadar karet kering, dan indeks hasil. Genotipe HP 92/366 memiliki hasil lateks tinggi dipengaruhi oleh karakter lilit batang, panjang alur sadap, kecepatan aliran lateks, dan kadar karet kering. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks tinggi yang dipengaruhi oleh karakter lilit batang, panjang alur sadap, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, kecepatan aliran lateks, kadar karet kering, dan indeks hasil. Genotipe HP 92/726 memiliki hasil lateks tinggi yang dipengaruhi oleh karakter jumlah pembuluh dan indeks penyumbatan. Selain karakter komponen hasil yang berkaitan erat terhadap daya hasil, diagnosis lateks juga berperan penting untuk menduga potensi hasil lateks. Terdapat tujuh karakter fisiologi yang dapat digunakan dalam analisis diagnosis lateks yaitu kadar sukrosa, fosfat anorganik, thiol, magnesium, ph, total solid content dan bursting index (Sumarmadji 1999). Sebanyak tiga karakter fisiologi dari tujuh karakter fisiologi yang diamati pada penelitian ini yaitu kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol (Tabel 7). Kadar sukrosa merupakan bahan baku dalam sintesis partikel karet (poli isoprena). Selain itu, sukrosa juga berperan penting pada proses pertumbuhan tanaman. Menurut Gohet et al. (1996), produksi lateks dan pertumbuhan berkompetisi dengan kuat dalam penggunaan sukrosa. Kadar fosfat anorganik berhubungan dengan aktivitas metabolisme dalam sel pembuluh lateks. Kadar fosfat anorganik tinggi mencerminkan metabolisme yang aktif dalam biosintesis lateks. Kadar thiol berfungsi sebagai aktivator berbagai enzim dan berhubungan dengan stabilitas membran lutoid untuk memperpanjang lama aliran lateks. Hasil lateks tinggi saat penyadapan dapat dicapai apabila regenerasi sel berjalan dengan baik. Ketiga karakter fisiologi tersebut dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk menentukan tingkat metabolisme masing-masing genotipe. Lima genotipe yang terseleksi berdasarkan karakter daya hasil dan komponen hasil tersebut perlu ditambahkan informasi awal tingkat metabolisme tanaman yang tergolong ke dalam metabolisme tinggi (quick starter) atau metabolisme rendah (slow starter). Informasi ini diperlukan untuk menentukan teknik penyadapan yang tepat agar potensi hasil lateks pada masing-masing genotipe dapat diperoleh secara optimal. Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol 5 genotipe terseleksi yaitu HP 92/211, HP 92/309, HP 92/366, HP 92/542, dan HP 92/726 disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan tingkat metabolisme masing-masing genotipe berdasarkan tiga karakter fisiologi (kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol). Berdasarkan ketiga karakter tersebut dapat diketahui informasi awal genotipe yang tergolong metabolisme tinggi terdapat pada genotipe HP 92/211, HP 92/366, HP 92/542, dan HP 92/726 sedangkan metabolisme rendah terdapat pada genotipe HP92/309 45

62

63 1 Tabel 20 Genotipe karet harapan PP/07/04 yang terseleksi berdasarkan karakter komponen hasil yang berkorelasi nyata terhadap daya hasil lateks Karakter komponen hasil Genotipe Lilit batang (cm) Panjang alur sadap (cm) Jumlah pembuluh lateks Diameter pembuluh lateks (µm) Kecepatan aliran lateks (ml menit -1 ) Indeks penyumbatan (%) Kadar karet kering (%) Indeks hasil (%) Hasil lateks (g p -1 s -1 ) HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/

64

65 Genotipe HP 92/211, HP 92/366, HP 92/542, dan HP 92/726 memiliki kadar sukrosa yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe HP 92/309, namun kadar fosfat anorganiknya tergolong tinggi. Kadar sukrosa yang rendah dengan kadar fosfat anorganik tinggi pada genotipe HP 92/211, HP 92/366, HP 92/542, dan HP 92/726 mencerminkan bahwa metabolisme berjalan aktif dalam mensintesis sukrosa menjadi partikel karet yang diikuti oleh kadar thiol masih dalam batas normal, kecuali pada genotipe HP 92/366 dan HP 92/726 yang terindikasi stres akibat ekploitasi penyadapan. Tabel 21 Karakter kadar sukrosa, kadar fosfat anorganik, dan kadar thiol dari 5 genotipe terseleksi Karakter fisiologi Kadar Kadar fosfat Kategori Genotipe Kadar thiol sukrosa anorganik metabolisme (mm) (mm) (mm) HP 92/ tinggi HP 92/ rendah HP 92/ tinggi HP 92/ tinggi HP 92/ tinggi Kadar sukrosa paling tinggi dengan kadar fosfat anorganik tergolong tinggi yang terdapat pada genotipe HP 92/309 mencerminkan bahwa metabolisme berjalan lambat dalam mensintesis sukrosa menjadi partikel karet. Untuk menghasilkan lateks tinggi pada genotipe yang memiliki metabolisme rendah dapat dilakukan penyadapan dengan menggunakan aplikasi stimulan. Menurut Sumarmadji (1999), pengetahuan tentang metabolisme tanaman sangat penting untuk diketahui dalam mengoptimalkan sistem eksploitasi tanaman. Peningkatan produksi lateks oleh stimulasi dicirikan oleh besarnya penurunan indeks penyumbatan, kadar karet kering, dan peningkatan kadar fosfat anorganik. Namun, untuk menghindari pengaruh jangka panjang, maka teknik eksploitasi perlu dipertimbangkan ketersediaan kadar sukrosa dan kadar thiol dalam lateks serta aktivitas enzim superoksida dismutase. Hal ini penting diketahui agar tanaman dapat berproduksi secara optimal sesuai dengan kapasitas tanaman dalam menghasilkan lateks dan menjaga tidak terjadinya kekeringan alur sadap. Seleksi Genotipe Karet Harapan PP/07/04 yang Stabil dan Berdaya Hasil Tinggi Klon karet unggul diharapkan memiliki nilai ragam hasil lateks dalam genotipe rendah, namun memiliki nilai ragam antar genotipe tinggi pada karakter daya hasil lateks dan karakter komponen hasil. Tabel 22 dan 23 menunjukkan nilai ragam dalam genotipe, standar deviasi, dan koefisien keragaman 15 genotipe karet harapan PP/07/04 di bulan basah dan di bulan kering. Hubungan antara hasil lateks dengan ragam hasil lateks dalam genotipe pada beberapa genotipe karet PP/07/04 di bulan basah disajikan pada Gambar 9, sedangkan hubungan antara hasil lateks dengan ragam hasil lateks dalam genotipe di bulan kering disajikan pada Gambar

66 48 Tabel 22 Nilai ragam dalam genotipe, standar deviasi dan koefisien keragaman 15 genotipe karet harapan PP/07/04 di bulan basah Genotipe σ 2 Sd KK(%) HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ RRIC PB σ 2 = ragam, Sd= standar deviasi, KK= koefisien keragaman I III II IV Gambar 9 Hubungan antara hasil lateks dengan ragam dalam genotipe dari 15 genotipe PP/07/04 di bulan basah. Berdasarkan nilai ragam hasil lateks dalam genotipe di bulan basah diketahui bahwa genotipe HP 92/309 dan HP 92/542 memiliki tingkat keseragaman (homogenitas) hasil lateks dalam genotipe pada bulan basah (Agustus Nopember 2015) paling tinggi dengan KK sebesar 7.25% dan 8.50%. Dua genotipe tersebut lebih seragam dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 dan RRIC 100 (Tabel 19), sedangkan pada bulan kering genotipe HP 92/542

67 memiliki keseragaman hasil lateks dalam genotipe paling tinggi (KK = 8.28%) dibandingkan dengan klon pembanding PB 260 dan RRIC 100 (Tabel 20). Genotipe lainnya memiliki keseragaman hasil lateks dalam genotipe di bulan basah dan bulan kering tergolong rendah dengan KK > 15%. Nilai KK yang tinggi tersebut mencerminkan bahwa genotipe-genotipe tersebut memiliki keragaman dalam genotipe tergolong tinggi. Tabel 23 Nilai ragam dalam genotipe, standar deviasi dan koefisien keragaman 15 genotipe karet harapan PP/07/04 di bulan kering Genotipe σ 2 Sd KK(%) HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ HP 92/ RRIC PB σ 2 = ragam, Sd= standar deviasi, KK= koefisien keragaman 49 I III II IV Gambar 10 Hubungan antara hasil lateks dengan ragam dalam genotipe dari 15 genotipe PP/07/04 di bulan kering.

68 50 Gambar 9 memperlihatkan bahwa genotipe HP 92/726, HP 92/309 dan HP HP 92/542 memiliki nilai ragam dalam genotipe pada bulan basah paling rendah yaitu masing-masing sebesar 13.52, dan Nilai tersebut menunjukkan bahwa genotipe-genotipe tersebut memiliki hasil lateks dalam genotipe lebih seragam dibandingkan dengan genotipe lainnya maupun klon pembanding PB 260 dan RRIC 100, namun hasil lateks genotipe HP 92/726 tergolong rendah sedangkan genotipe HP 92/309 dan HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi dibandingkan genotipe lainnya dan klon pembanding RRIC 100 dan PB 260. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi dibandingkan genotipe lainnya maupun klon pembanding PB 260 dan RRIC 100 di bulan kering (Gambar 10). Meskipun dalam kondisi bulan kering, genotipe HP 92/542 masih memiliki rerata hasil lateks dalam genotipe lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Berdasarkan hubungan antara daya hasil lateks dengan ragam genotipe yang disajikan pada Gambar 9 dan 10 menunjukkan bahwa genotipe HP 92/542 memiliki daya hasil lateks paling tinggi dan stabil di dua musim.

69 51 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat keragaman komponen hasil dan daya hasil lateks di antara genotipe karet harapan PP/07 / Dinamika hasil lateks genotipe karet harapan PP/07/04 dipengaruhi oleh perubahan musim. 3. Fase gugur daun memiliki pengaruh nyata terhadap hasil lateks 15 genotipe karet harapan PP/07/04. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi pada semua fase gugur daun, sedangkan hasil lateks paling rendah terdapat pada genotipe HP 92/388 dan HP 92/ Semua karakter yang diamati memiliki nilai heritabilitas tinggi dengan nilai h 2 bs antara dan koefisien keragaman genetik (KKG) antara %. 5. Karakter lilit batang, panjang alur sadap, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, kecepatan aliran lateks, kadar karet kering, dan indeks hasil merupakan karakter komponen hasil yang memiliki nilai korelasi nyata dan bersifat positif terhadap daya hasil lateks, sedangkan indeks penyumbatan memiliki hubungan nyata namun bersifat negatif terhadap daya hasil lateks. 6. Genotipe HP 92/309 dan HP 92/726 memiliki hasil lateks tinggi selama 6 tahun sadap, sedangkan genotipe HP 92/211, HP 92/366, dan HP 92/542 memiliki potensi lateks tinggi dan pertumbuhan tanaman jagur. 7. Genotipe HP 92/542 memiliki hasil lateks paling tinggi dan stabil di dua musim, sedangkan genotipe HP 92/726 tergolong stabil, namun hasil lateksnya tergolong rendah. Genotipe HP 92/838 memiliki hasil lateks rendah dan kurang stabil. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada skala yang lebih luas untuk mengetahui potensi pertumbuhan, hasil lateks, daya adaptabilitas dan stabilitas hasil genotipe HP 92/211, HP 92/309, HP 92/366, HP 92/542, dan HP 92/726 pada agroekosistem yang berbeda.

70 52 DAFTAR PUSTAKA Aidi-Daslin Pengaruh Interaksi Genotipe x Lingkungan pada Seleksi Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg). [tesis]. Bandung (ID). Universitas Padjajaran. Aidi-Daslin dan Sayurandi Pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan terhadap pertumbuhan dan produksi klon IRR seri 100 pada uji lanjutan. J Penelitian Karet. 24(2): Aidi-Daslin, Woelan S, Lasminingsih M, Hadi H Kemajuan pemuliaan dan seleksi tanaman karet di Indonesia. Pros Pemuliaan Tanaman Karet p Aidi-Daslin Evaluasi pengujian lanjutan klon karet IRR seri 200 pada masa tanaman belum menghasilkan. J Penelitian Karet. 29 (2): Aidi-Daslin, Sayurandi, Pasaribu SA Potensi keunggulan klon karet harapan IRR seri 200 dari hasil seleksi pohon induk. J Penelitian Karet. 30 (1): Allard R W Principles of Plant Breeding. New York (US). John Willey & Sons Inc Pr. Alnopri Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter-karakter pertumbuhan bibit kopi robusta-arabika. J Ilmu Pertanian Indonesia. 6: Annamalainathan K, Krihsnakumar R, Jacob J Tapping-induced changes in respiratory metabolism. ATP production and reactive oxygen species scavenging in Hevea. J Indian Rubber Res.4(4): Arif AB, Sujiprihati S, Syukur M Pendugaan parameter genetik pada beberapa karakter kuantitatif pada persilangan antara cabai besar dengan cabai keriting (Capsicum annuum L.). J Agron Indonesia. 40(2): Aryana IGPM, Basuki N, Kuswanto Sidik lintas padi beras pada tiga lingkungan tumbuh berbeda. J Agroteksos 21(1): Atminingsih Respon Fisiologi Lateks dan Histologi Pembuluh Lateks Beberapa Klon terhadap Konsentrasi Stimulan yang Berbeda pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). [tesis]. Medan (ID). Universitas Sumatera Utara. Atminingsih, Napitupulu JA, Siregar THS Pengaruh konsentrasi stimulan terhadap fisiologi lateks beberapa klon tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.). J Penelitian Karet. 35(1): Basuki, Pawirosoemardjo S, Nasution U, Sutardi, Sinulingga W, Situmorang A Penyakit gugur daun Colletotrichum pada tanaman karet di Indonesia. Potensi, penyebaran dan penanggulangannya. Pros. Lok. Nas. Pemuliaan Tanaman Karet p Boatman SG Preliminary physiological studies on promotion of latex flow by plant growth regulator. J Malay Rub Res Inst. 23(3): [BPS] Badan Pusat Statistik Statistik Karet Indonesia. Jakarta (ID): BPS Pr. Cahyo A N, Ardika R, Wijaya T Konsumsi air dan produksi karet pada berbagai sistem pengaturan jarak tanam dalam kaitannya dengan kandungan air tanah. J Penelitian Karet 29 (2): Chantuma P, Thanisawayangkura S, Kasemsap P. Gohet E, Thaler P Distribution patterns of latex sucrose and metabolic activity at the trunk level

71 with different tapping system of Hevea brasiliensis. J Kasersart Nat Sci. 40(3): Darjanto, Satifah Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. Jakarta (ID). Gramedia Pr. Darmandono Pengaruh komponen hujan terhadap produktivitas karet. J Penelitian Karet.13(3): [Deptan] Departemen Pertanian Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Perkebunan di Indonesia tahun 2013 [internet].[diunduh 05 Mei 2015]. Tersedia pada: Devakumar AS, Gururaja R, Sanjeeva, Rao, D, George HJ, Vijakumar KR, Sethuraj MR Studies on soil-plant atmosphere system in Hevea. II. Seasonal effects on water relation and yield. J Indian Rubber Research 1(2): Dickinson DA, Henry JF Celluler glutathione and thiols metabolism. J. Biochem Pharm. 64(2): Dijkman MJ Hevea. Thirty Years of Research In the Far East. University Of Miamy. Florida (US). Coral Gables Pr. [Dirjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan Statistik Perkebunan Indonesia Jakarta. Dische ZM Carbohydrate Chemical. New York (US). Academic Pr. Do KT, Nang N, Truong D, Nhia NA Seasonal yield variation of rubber tree Hevea brasiliensis in climatic condition of mayor growing areas in Vietnam. Proc IRRDB Workshop.Ho Chi Min City. Vietnam. Falconer DS Introduction to Quantitative Genetic. New York (US). The Ronald Company Pr. Fehr WR Principle of Cultivar Development. Theory and Technique. New York (US). Macmillan Pub. Ginting S Hasil pengujian pendahuluan klon karet bertajuk cemara. Pros Pemuliaan Tanaman Karet p Gireesh T, Raj S, Kavita KM, Mercykutty VC Rubber yield of certain clones of Hevea Brasiliensis and Its relationship with climate variables. J Nat Rubb Res. 24(1): Gohet E, Prevot JE, Eschbach JM, Clement A, dan Jacob JL Clone, croisance at stimulation to incease latex production. J. Plantations. p Gomez JB, Narayanan R, Chen KT Some structural factors affecting the productivity of Hevea brasiliensis Muell Arg. J Rubb Res Institute Malaysia. 23 (3): Gomez JB Anatomy of Hevea and its influence on latex production. Malaysian Rubber Research and Board (MRRDB). Monograph No. 7. Kuala Lumpur (MY). LGM Pr. Gomez KA, Gomez AA Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian. E. Sjamsudin, JS Baharsjah, penerjemah. Jakarta [ID]: UI Pr. Gunasekara HK, De Costas JM, Nugawela A Canopy photosynthetic capacity and light response parameters of Hevea Brasiliensis with reference to exploitation. J Agri Res. 1(1) : Hallauer AR, Miranda JB Quantitative Genetics in Maize Breeding. 2nd ed. Ames (US): Iowa State University Pr. 53

72 54 Hanson H Wheat in The Third World. Boulder (CO): Westview Pr. Hao BZ, Wu JL Laticifer differentiation in Hevea brasiliensis: induction by exogenous jasmonic acid and linolic acid. J Annals Botany 85: Haynes RJ, Swift RS The effects of ph and drying on adsorption of phosphate by aluminium-organic mater associations. J Soil Sci. 40: Herlinawati, Kuswanhadi Aktifitas metabolisme beberapa klon karet pada berbagai frekuensi sadap dan stimulasi. J Penelitian Karet. 31(2): Hochachaka, Samero Biochemical Adaptation. New Yersey (US). Princetown University Pr. Ishak Sifat agronomis, heritabilitas dan interaksi G x E galur mutan padi gogo (Oryza sativa L.). J Agron Indonesia. 40(2): Jacob JL, Prevot JC, Kekwick RG General metabolism Hevea brasiliensis latex. p In d Auzac J, Chrestin H (eds). Physiology of Rubber Tree. Boca Raton. CRC Pr. Jacob JL, Prevot JC, Lacvotte R, Clement A, Serres E, Gohet E General metabolism Hevea brasiliensis. IRRDB Annual Meeting. Jakarta. p Junaidi, Sembiring YRV, Siregar THS Pengaruh perbedan letak geografi terhadap pola produksi tahunan tanaman karet: pola produksi dan pengaruhnya terhadap pasar dunia. Warta Perkaretan. 34 (2): Kekwick RG The information of isoprenoid in Hevea brasiliensis. In J d Auzac, Jacob JL, Chrestein H (eds). Physiology of rubber tree. Boca Raton. CRC Pr. Kekwick RG Latex and laticifier. Encyclopedia of life science. Nature Publishing Group/ www. els.net. Kshirsagar PJ The latex yield of Hevea in relation to climate factors. India Agri Sci Com. 23(2): Kramer Water Relations of Plants. Academic Press Inc. Orlando. Florida. Kuswanto Pemuliaan kacang panjang tahan penyakit mosaik. Malang (ID). UB Pr. Lasminingsih M, Situmorang A Evaluasi pengujian lanjutan klon karet di Puslitbun Sembawa. Pros Pemuliaan Tanaman Karet p Martono B Keragaman genetik, heritabilitas dan korelasi antar karakter kuantitatif nilam (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas. J Littri 15(1):9-15. Mattjik AA, Sumertajaya IM Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Pr. Mattos D, Quaggio JA, Cantarella H, Alva AK Nutrient content of biomass components of Hamlin sweet orange trees. Sci Agric. 60: McMullen AI Thiols of low molecular weight in Hevea brasiliensis latex. J Biochem & Biophys. 41: Mearns LO Climate change and global crop productivity. CAB International. p7-35. Mesquita AC, Oliveira LEM, Mazzafera P, Filho ND Anatomichal characteristic and enzymes of the sucrose metabolism and the relationship with latex yield in rubber tree. J Plant Physiology. 18 (2) : Milford GFJ, Paardekooper EC and Ho CV Latex vessel plugging : Its importance to yield and clonal behavior. J Rubb Res Malaya. 21 :

73 Mirabello MJ, Yavitt JB, Garcia M, Harms KE, Turner BL, Wright SJ Soil phosphorus responses to chronic nutrient fertilisation and seasonal drougth in a humid lowland forest in Panama. J Soil Res. 51: Nair NU, Nair BR, Thomas M, Gopalakrishan J Latex diagnosis in relation to exploitation system in clone RRII 105. J Indian Rub Res. 7(2): Novalina, Jusuf M, Wattimena GA, Suharsono, Sumarmadji, Aidi-Daslin Keragaan dan hubungan berbagai komponen hasil tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) pada dua populasi hasil persilangan PB 260 dan PN. Bul Agron 36(2): Novalina Deteksi Marka Genetik yang Terpaut dengan Komponen Produksi Lateks pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) melalui Pemetaan QTL. [disertasi]. Bogor (ID): IPB Pr. Nurcahyo A, Ardika R, Thomas Water consumption and rubber production on various planting space arrangement system and their relationship with soil water content. J Indonesian Nat Rub Res. 29(2): Obouayeba S, Soumahin EF, Okoma KM, Nguessan AEB, Coulibaly LF, Koffi KE, Lacote R Temporal and structural relations within bark and trunk in Hevea brasiliensis. J Biosciences. 2(2): Oktavia F, Lasminingsih M Effect of rubber plant leaves development to production variation in IRR series clones. J Indonesian Nat Rubb Res. 29 (2): Pasaribu SA, Woelan S Karakteristik bunga dan biji dalam hubungannya dengan aktivitas persilangan tetua karet. Warta Perkaretan 28 (1):1-12. Poespodarsono S Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor (ID): PAU-IPB Bekerjasama dengan Lembaga Sumber Daya Informasi IPB. Priyadarshan PM, Sasikumar S, Concalves D Phenological changes in Hevea brasiliensis under differential geo climates. The Planter. 77: Purwaningrum, Y, Napitupulu JA, Siregar THS, Hanum C Histology and physiology of BPM1 clones with different exploitation systems. J Bas & App Res. 21(1): Purwaningrum Y Fisiologi dan Produksi Karet dengan berbagai Sistem Sadap dan Penggunaan Stimulan Gas.[disertasi]. Medan (ID). Universitas Sumatera Utara. Rachmawan A, Sumarmadji Kajian karakter fisiologi dan sifat karet klon PB 260 menjelang buka sadap. J Penelitian Karet. 25(2): Roux YL, Ehabe E, Beuve JS, Kengafac JN, Keng JN, Ngolemasango F, Gobina S Seasonal and clonal variation in latex and raw rubber of Hevea Brasiliensis. J Rub Research. 3(3): Roy D Plant Breeding Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi (IN): Narosa Publishing House. Sa diyah N, Basoeki TR, Putri AE Korelasi, keragaman genetik dan heritabilitas karakter agronomi kacang panjang populasi F3 keturunan persilangan testa hitam x lurik. J Agrotropika. 14(1): Saleem MY, Mirza JI, Haq MA Heritability, genetic advance, and heterosis in line x tester crosses of Basmati rice. J Agric Res. 46: Salisbury FB, Ros CW Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Bandung (ID): ITB Pr. 55

74 56 Sanz A, Monerri C. Ferrer G, Guardiola JL Changes in carbohydrate and mineral elements in citrus leaves during flowering and fruit set. J Physio Plant. 69: Sari LW, Nugrahaeni N, Kuswanto, Basuki N Interaksi genotipe x lingkungan pada galur-galur harapan kedelai (Glycine max L.). J Prod Tan. 5(1): Serres E, Lactrotte R, Prevot JC, Clement A, Commerce J, Jacob JL Metabolic aspects of latex regeneration in situ for three Hevea clones. J Indian Rub Res. 7(2): Sethuraj M, Sulochanamma MS, George PJ Mapping SSR markers in rubber tree fasilitated and enhanced by heterduolex formation and template mixing. Plan Anim Genome V. San Diago. Shuochang A, Yagang G Extrapolation of the high yield physiological regulation of Hevea brasiliensis in Xishuangbanna. Proc IRDDB symp. On Physilogy and Exploitation of Hevea brasiliensis.p Siagian N, Siregar THS Evaluasi produktivitas tanaman karet dengan sistem ganda pada skala komersial. Warta Perkaretan. 32(1): Sianturi HSD Budidaya Tanaman Karet. Medan (ID): USU Pr. Silpi P, Chantuma P, Kasemsap P, Thaler P, Thanisawayangkura S, Lacointe A, Ameglio T, Gohet E Sucrose and metabolism distribution pattern in latices of three Hevea brasiliensis clone: effect of tapping and stimulation on tree trunk. J Rub Res. 9(2): Simmonds NW Rubber Breeding. In: Webster C.C. and Baulkwill, W.J. (eds.). London (UK): Rubber Longman Group Pr. Singh RK, Chaudary BD Biometrical Methods In Quantitative Genetics Analysis. Kalyani Publishers. Indiana New Delhi. 304p. Siregar HA, Purba E, Syamsuddin, Poeloengan Z Penanggulangan kekeringan pada tanaman kelapa sawit. Warta PPKS. 3(1): Siregar THS, Tohari, Hartiko H, Karyudi Dinamika perontokan daun pohon karet dan hasil lateks: Jumlah daun rontok dan hasil lateks. J Penelitian Karet. 25(1): Siregar THS Dinamika Kerontokan Daun Pohon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dan Hasil Lateks. [disertasi]. Yogyakarta (ID). Universitas Gadjah Mada. Siregar THS Pola musiman produksi dan gugur daun pada klon PB 260 dan RRIC 100. J Penelitian Karet. 32(2): Siswanto Kunci keberhasilan penyembuhan KAS pada tanaman karet dengan aplikasi NoBB. Warta Pen Bio Perkebunan. 5(1): Sobir, Syukur M Genetika Tanaman. Bogor (ID): IPB Press. Stansdfield WD Theory and Problem of Genetic. Second Edition. New York (US): Mc Graw-Hill Pr. Subronto, Harris A Indeks aliran sebagai parameter fisiologi penduga produksi lateks. Balai Penelitian Perkebunan. Medan. Sudarmadji, Mardjono R, Sudarmono H Variasi genetik, heritabilitas dan korelasi genotipik sifat-sifat penting tanaman wijen (Sesamum indicum L.). J Littri. 13(3):88-92.

75 Sugiyanto Y, Sihombing H, Darmandono Pemetaan agroklimat dan tingkat kesesuaian lahan perkebunan karet. Pros. Lok. Pemuliaan Karet 1998 & Diskusi Prosepek Karet Alam Abad 21. p Suharsono, Jusuf M, Paserang AP Analisis ragam, heritabilitas, dan pendugaan kemajuan seleksi populasi F2 dari persilangan kedelai kultivar Slamet x Nokonsawon. J Tan Trop. 9 (2): Suhendry I Pertumbuhan dan produktivitas tanaman karet pada beberapa tipe iklim. J Penelitian Karet 19(1-3): Suhendry I Klon karet unggul harapan penghasil lateks-kayu dari hasil pengujian pendahuluan. J Penelitian karet. 20(1): Sumarmadji Respon karakter fisiologi dan produksi lateks beberapa klon tanaman karet terhadap stimulasi etilen. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sumarmadji, Tistama R Deskripsi klon karet berdasarkan karakter fisiologi lateks untuk menetapkan sistem eksploitasi yang sesuai. J Penelitian Karet 22(1): Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID). Penebar Swadaya. Taiz L and Zeiger E Plant Physiology. California (US). The Benjamin Cummings Publ. Tan H Strategis in rubber tree breeding In: Cambel AI, Abbot A J, Attein RK (eds). Improvement of Vegetatively Propagated Plant. London (UK). Academic Pr. Tanaka Y Structure and biosynthesis mechanism of natural polyisoprene. Prog Polym Sci 14: Taussky HH, Shorr E The micro colorimetric methods for the determination of inorganic phosphorus. Biol Chem. 202 : Thomas W, Boerhendhy I Hubungan neraca air tanah dengan produksi karet klon GT 1 dan PR 261. Bull Perkebunan Rakyat. 4(1): Thomas W, Grist P, Menz K Modelling rubber growth as a function of climate and soils. Imperata Project Centre for Resource and Environmental Studies. Australia (AU): Australian National University Pr. Vandecar KL, Lawrence D, Wood T, Oberbauer SF, Das R, Tully K, Schwendenmann L Biotic ad abiotic controls on diurnal fluctuations in labile soil phosphorus of a wet tropical forest. J Ecology 90: Wargadipura R, Harran S Pengaruh tegangan air tanah terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman stevia asal stek dan biji. Bull Agronomi 15(1): Webster CC, Baulkwill WJ Rubber Tropical Agriculture Series. Longman Scientific and Technology.. New York (US): Copublished in the United State. Welsh JR Fundamentals of Plant Gnenetics and Breeding. New York (US): John Wiley and Sons Pr. Winter H, Huber SC Regulation of sucrose metabolism in higher plants localization and regulation of activity of key enzimes. Reviews in Bio & Mol Bio. 35(4): Wirnas D, Widodo I, Sobir, Trikoesoemaningtyas, Sopandi D Pemilihan karakter agronomi untuk menyusun indeks seleksi pada 11 populasi kedelai generasi F6. Bul Agron. 34:

76 58 Woelan S, Sayurandi, Pasaribu SA Keragaan klon klon IRR seri 300 dan 400 di pengujian plot promosi. Warta Perkaretan 31(1): 1-10 Woelan S Peta pautan genetik dan analisis QTL tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) pada populasi hasil persilangan RRIM 600 dan PN 1546 sebagai dasar strategi peningkatan produksi lateks. [disertasi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Woelan S, Sayurandi, Pasaribu SA Karakter fisiologi, anatomi, pertumbuhan dan hasil lateks klon IRR seri 300. J Penelitian Karet 31(1): Woelan S, Sayurandi, Irwansyah E Variability of genetic rubber plant (Hevea brasiliensis Muell Agr.) from Interspesific Crossing. J Indonesian Rubber Research 32(2): Yeang HY, Paranjothy K Some primary determination of seasonal yield variation in clone RRIM 623. J Malay Rub Res. 30(3): Yunianti R, Sastrosumarjo S, Sujiprihati S, Surahman M, Hidayat SH Kriteria seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan Phytophthora capsici Leonian. J Agron Indonesia. 38: Zambrosi FCB, Fernando C, Zambrosi B, Mattos D, Rodrigo, Boaretto M, Quaggio JA, Muraoka T, Syvertsen JP Contribution of phosphorus (32P) absorption and remobilization for citrus growth. J Plant Soil. 255:

77 LAMPIRAN 59

78 60 Lampiran 1 Jumlah curah hujan selama tahun 2007 Maret 2016 di Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara Tahun Jumlah curah hujan (mm/bulan) Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des (mm/ tahun) Rerata Sumber: Badan Metereologi dan Geofisika

79 61 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Tongah, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Desember Penulis merupakan anak kedelapan dari pasangan Bapak Ngatiran dan Ibu Ngatinem. Tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 1 Dolok Batunanggar dan diterima di Departemen Budidaya Tanaman, Program Studi Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMDK dan lulus pada tanggal 12 Januari Sejak bulan Agustus 2006 penulis bekerja di Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet dengan posisi sebagai peneliti Pemuliaan dan Genetika Tanaman dengan jabatan fungsional sebagai Peneliti Muda (Gol. IIID). Selama bekerja beberapa prestasi telah diraih di antaranya: menjadi kandidat peneliti berprestasi pada diklat fungsional Pusbindiklat LIPI tahun 2008, peneliti muda berprestasi kategori riset lingkup Riset Perkebunan Nusantara (RPN) tahun 2014, tim pelepasan varietas tanaman klon karet IRR 220 dan IRR 230 tahun Beberapa training juga pernah diikuti seperti: training teknik kultur jaringan di Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian tahun 2007, training microcutting di Balai Besar Bioteknologi Perkebunan Indonesia tahun 2007, training Rubber Breeding of IRRDB Fellowship di Kuala Lumpur tahun 2009, training IRRDB on Physiological and Molecular Basis of Breeding for Tolerance to Environment Stress di RRI-India pada tahun 2012 dan training Technical Writing Journal di Bogor tahun Selama menjadi peneliti telah aktif mempublikasikan karya ilmiah sebanyak 46 makalah yang diterbitkan kedalam jurnal ilmiah nasional, warta perkaretan dan prosiding nasional/internasional. Tahun 2014 penulis melanjutkan studi S2 pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah dengan judul Analisis Daya Hasil Lateks dan Heritabilitas Karakter Kuantitatif Beberapa Genotipe Karet Harapan PP/07/04 diterbitkan pada Jurnal Penelitian Karet pada Volume 34, Nomor 2 tahun sayurandi_sp@yahoo.com

STUDI KARAKTER FISIOLOGIS DAN SIFAT ALIRAN LATEKS KLON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) IRR SERI 300

STUDI KARAKTER FISIOLOGIS DAN SIFAT ALIRAN LATEKS KLON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) IRR SERI 300 STUDI KARAKTER FISIOLOGIS DAN SIFAT ALIRAN LATEKS KLON KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) IRR SERI 300 SKRIPSI Oleh: FAUZI KURNIA 050307023/PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman karet berbentuk pohon, tinggi m, bercabang dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman karet berbentuk pohon, tinggi m, bercabang dan II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Botani Tanaman Menurut Kartasapoetra (1988) tanaman karet memiliki sistematika sebagai berikut; Divisio : Spermatophyta, Subdivisio : Angiospermae, Class : Dicotyledoneae, Ordo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut (Kartasapoetra, 1988) tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut (Kartasapoetra, 1988) tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut (Kartasapoetra, 1988) tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) memiliki sistematika sebagai berikut: Divisio Subdivisio Class Ordo Family Genus Species : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu: Generasi-1 ( ) : Seedling selected

BAB I PENDAHULUAN. unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu: Generasi-1 ( ) : Seedling selected 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian di Indonesia salah satunya dihasilkan dari pengembangan perkebunan karet. Fungsi dari perkebunan karet tidak hanya sebagai sumber devisa, sumber bahan

Lebih terperinci

SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN PADA TANAMAN KARET

SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN PADA TANAMAN KARET SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN 2006-2008 PADA TANAMAN KARET (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) SKRIPSI OLEH : SULVIZAR MUSRANDA / 100301155

Lebih terperinci

Tanaman karet akan mengeluarkan getah atau lebih dikenal dengan sebutan lateks. Lateks keluar pada saat dilakukan penyadapan pada tanaman karet.

Tanaman karet akan mengeluarkan getah atau lebih dikenal dengan sebutan lateks. Lateks keluar pada saat dilakukan penyadapan pada tanaman karet. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanaman karet memiliki peranan yang besar dalam kehidupan perekonomian Indonesia. Banyak penduduk yang hidup dengan mengandalkan komoditas penghasil lateks

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. juga produksi kayu yang tinggi. Penelitian untuk menghasilkan klon-klon karet

TINJAUAN PUSTAKA. juga produksi kayu yang tinggi. Penelitian untuk menghasilkan klon-klon karet TINJAUAN PUSTAKA Klon Tanaman Karet PB 260 dan IRR 118 Klon unggul merupakan salah satu komponen teknologi terpenting yang secara langsung berperan dalam meningkatkan potensi hasil tanaman. Sejalan dengan

Lebih terperinci

SELEKSI DINI POHON INDUK TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN RRIM 600 X PN 1546 BERDASARKAN PRODUKSI LATEKS DAN KAYU

SELEKSI DINI POHON INDUK TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN RRIM 600 X PN 1546 BERDASARKAN PRODUKSI LATEKS DAN KAYU SELEKSI DINI POHON INDUK TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN RRIM 600 X PN 1546 BERDASARKAN PRODUKSI LATEKS DAN KAYU KOKO MARDIANTO 070307020 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN

Lebih terperinci

SELEKSI GENOTIPE TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN TAHUN SEBAGAI PENGHASIL LATEKS DAN KAYU SKRIPSI

SELEKSI GENOTIPE TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN TAHUN SEBAGAI PENGHASIL LATEKS DAN KAYU SKRIPSI SELEKSI GENOTIPE TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN TAHUN 2001 2003 SEBAGAI PENGHASIL LATEKS DAN KAYU SKRIPSI TONI AKBAR 080307025 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Karet

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Karet 3 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Karet Karet (Havea brasiliensis) merupakan tanaman asli dari Amerika Selatan. karet merupakan tanaman berkayu yang memiliki tinggi dan diameter mencapai 40 m dan 35 cm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ton pada tahun 2011 menjadi juta ton pada tahun 2012 (Ditjenbun, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. ton pada tahun 2011 menjadi juta ton pada tahun 2012 (Ditjenbun, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditas perkebunan yang dapat memberikan kontribusi dalam devisa negara dari sektor non migas. Karet juga merupakan sumber penghasilan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS KLON KARET IRR SERI-100 DAN 200 PADA BERBAGAI AGROKLIMAT DAN SISTEM SADAP

PRODUKTIVITAS KLON KARET IRR SERI-100 DAN 200 PADA BERBAGAI AGROKLIMAT DAN SISTEM SADAP PRODUKTIVITAS KLON KARET IRR SERI-100 DAN 200 PADA BERBAGAI AGROKLIMAT DAN SISTEM SADAP Productivity of IRR 100 and 200 Series Rubber Clones on Various Agro-climate and Tapping Systems Aidi-Daslin Balai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani tanaman karet Menurut Sianturi (2002), sistematika tanaman karet adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : AMORRITO SURBAKTI AGROEKOTEKNOLOGI PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

SKRIPSI OLEH : AMORRITO SURBAKTI AGROEKOTEKNOLOGI PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN 1 SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN BEBERAPA TETUA BETINA DAN JANTAN TANAMAN KARET (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) SEBAGAI KLON UNGGUL PENGHASIL LATEKS DAN LATEKS KAYU SKRIPSI OLEH : AMORRITO SURBAKTI

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA HASIL LATEKS DAN HERITABILITAS KARAKTER KUANTITATIF DARI BEBERAPA GENOTIPE KARET PP/07/04

ANALISIS DAYA HASIL LATEKS DAN HERITABILITAS KARAKTER KUANTITATIF DARI BEBERAPA GENOTIPE KARET PP/07/04 Jurnal Penelitian Karet, 016, 34 (1) : 1-1 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 016, 34 (1) : 1-1 ANALISIS DAYA HASIL LATEKS DAN HERITABILITAS KARAKTER KUANTITATIF DARI BEBERAPA GENOTIPE KARET PP/07/04 Latex

Lebih terperinci

Lampiran 1. Jumlah dan Diameter Pembuluh Lateks Klon BPM 1 dan PB 260 KLON Jumlah Pembuluh Lateks Diameter Pembuluh Lateks 22.00 22.19 24.00 24.09 20.00 20.29 7.00 27.76 9.00 24.13 5.00 25.94 8.00 28.00

Lebih terperinci

AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) DAN FISIOLOGI LATEKS PADA TANAMAN KARET

AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) DAN FISIOLOGI LATEKS PADA TANAMAN KARET AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) DAN FISIOLOGI LATEKS PADA TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) PB260 DAN RRIM 921 KERING ALUR SADAP (KAS) PARSIAL DENGAN PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. euphorbiaceae, genus hevea dan spesies Hevea brasiliensis.

TINJAUAN PUSTAKA. euphorbiaceae, genus hevea dan spesies Hevea brasiliensis. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut (Setiawan dan Andoko, 2005) dalam taksonomi tumbuhan, tanaman karet termasuk dalam kelas dicotyledonae, ordo euphorbiales, famili euphorbiaceae, genus hevea dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Spesies: Hevea brassiliensismuell.arg.

TINJAUAN PUSTAKA. Euphorbiaceae, Genus: Hevea, Spesies: Hevea brassiliensismuell.arg. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Klasifikasi tanaman karet adalah sebagai berikut Divisi: Spermatophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Monocotyledoneae, Ordo: Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakter Fisiologi Karet a. Pembentukan Karet Biosintesis lateks berlangsung pada sel-sel pembuluh lateks, di dalam jaringan pembuluh lateks pada kulit batang tanaman karet.

Lebih terperinci

KERAGAAN MATERI GENETIK KLON KARET HASIL PERSILANGAN TAHUN

KERAGAAN MATERI GENETIK KLON KARET HASIL PERSILANGAN TAHUN Jurnal Penelitian Karet, 2017, 5 (1) : 1-14 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 2017, 5 (1) : 1-14 DOI: http://dx.doi.org/10.2202/ppk.jpk.v1i1.16 KERAGAAN MATERI GENETIK KLON KARET HASIL PERSILANGAN TAHUN 2001-200

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama PENDAHULUAN Latar Belakang Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK FEBRIANI BANGUN 060307025 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KARAKTER FISIOLOGI, ANATOMI, PERTUMBUHAN DAN HASIL LATEKS KLON IRR SERI 300

KARAKTER FISIOLOGI, ANATOMI, PERTUMBUHAN DAN HASIL LATEKS KLON IRR SERI 300 Jurnal Penelitian Karet, 2013, 31 (1) : 1-12 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 2013, 31 (1) : 1-12 KARAKTER FISIOLOGI, ANATOMI, PERTUMBUHAN DAN HASIL LATEKS KLON IRR SERI 300 Characters of Physiology, Anatomy,

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) DI MAIN NURSERY TERHADAP KOMPOSISI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK FOSFAT SKRIPSI OLEH: VICTOR KOMALA 060301043 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI LATEKS DALAM BERBAGAI WAKTU APLIKASI PADA BEBERAPA KLON TANAMAN KARET TERHADAP PEMBERIAN BERBAGAI SUMBER HORMON ETILEN SKRIPSI OLEH :

RESPON PRODUKSI LATEKS DALAM BERBAGAI WAKTU APLIKASI PADA BEBERAPA KLON TANAMAN KARET TERHADAP PEMBERIAN BERBAGAI SUMBER HORMON ETILEN SKRIPSI OLEH : RESPON PRODUKSI LATEKS DALAM BERBAGAI WAKTU APLIKASI PADA BEBERAPA KLON TANAMAN KARET TERHADAP PEMBERIAN BERBAGAI SUMBER HORMON ETILEN SKRIPSI OLEH : HANTAR M. K. S. SINAMO/090301176 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl SKRIPSI OLEH: DEWI MARSELA/ 070301040 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Fitri Yanti 11082201730 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

KERAGAAN DAN POTENSI HASIL KARET DARI BEBERAPA GENOTIPE HASIL PERSILANGAN ANTAR TETUA TANAMAN BERKERABAT JAUH

KERAGAAN DAN POTENSI HASIL KARET DARI BEBERAPA GENOTIPE HASIL PERSILANGAN ANTAR TETUA TANAMAN BERKERABAT JAUH Jurnal Penelitian Karet, 15, 33 (1) : 1 - Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 15, 33 (1) : 1 - KERAGAAN DAN POTENSI HASIL KARET DARI BEBERAPA GENOTIPE HASIL PERSILANGAN ANTAR TETUA TANAMAN BERKERABAT JAUH Performance

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH :

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : SARAH VITRYA SIDABUTAR 080301055 BDP-AGRONOMI PROGRAM

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. B. Tujuan Penulisan

BAB I PENDAHULUAN. B. Tujuan Penulisan BAB I PENDAHULUAN Peningkatan produksi karet yang optimal harus dimulai dengan pemilihan klon yang unggul, penggunaan bibit yang berkualitas sebagai batang bawah dan batang atas serta pemeliharaan yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Karet Dalam ilmu tumbuhan, tanaman karet di klasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Sub divisi Kelas Ordo Family Genus 2.1.2 Morfologi Spesies : Plantae

Lebih terperinci

RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN

RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN RESPON BEBERAPA VARIETAS PADI DAN PEMBERIAN AMELIORAN JERAMI PADI PADA TANAH SALIN OKTAVIANUS SINURAYA 050307037 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 UJI BATANG BAWAH KARET (Hevea brassiliensis, Muell - Arg.) BERASAL DARI BENIH YANG TELAH MENDAPAT PERLAKUAN PEG DENGAN BEBERAPA KLON ENTRES TERHADAP KEBERHASILAN OKULASI MELINSANI MANALU 090301106 PROGRAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen dalam bentuk polong muda. Kacang panjang banyak ditanam di

Lebih terperinci

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Tetua Betina IRR 111 dengan Beberapa Tetua Jantan 2006Pada Tanaman Karet(Hevea brassiliensis Muell Arg.).

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Tetua Betina IRR 111 dengan Beberapa Tetua Jantan 2006Pada Tanaman Karet(Hevea brassiliensis Muell Arg.). Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Tetua Betina IRR 111 dengan Beberapa Tetua Jantan 2006Pada Tanaman Karet(Hevea brassiliensis Muell Arg.). Progeny Selection F1 Female Parental IRR 111 crossing with

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/100301085 AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET

RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET 1 RESPON PERTUMBUHAN STUMPKARET (Hevea brassiliensis Muell Arg.)TERHADAP PEMBERIAN ASAM ASETIK NAFTALEN 3,0 % DENGAN CARA PENGOLESAN DI LUKA PEMOTONGAN AKAR TUNGGANG PADA BEBERAPA KOMPOSISI MEDIA TANAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Asia tenggara lainnya, yaitu Malaysia dan Thailand, sejak dekade 1920-an sampai sekarang

I. PENDAHULUAN. Asia tenggara lainnya, yaitu Malaysia dan Thailand, sejak dekade 1920-an sampai sekarang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Perkebunan karet terluas di dunia, meskipun tanaman karet Sendiri baru di introduksikan pada tahun 1864. Dalam waktu kurun sekitar 150 tahun

Lebih terperinci

Charloq 1) Hot Setiado 2)

Charloq 1) Hot Setiado 2) ANALISIS STRES AIR TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KARET UNGGUL (Hevea brasiliensis Muell. Arg) (Water Stress Analysis on the Growth of the Excellent Rubber Varieties) Charloq 1) 2) 1) Staf pengajar PS Agronomi,

Lebih terperinci

KERAGAAN PRODUKTIFITAS BEBERAPA KLON UNGGUL KARET RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Some variability Productivity Superior Rubber Clone People in Bengkulu

KERAGAAN PRODUKTIFITAS BEBERAPA KLON UNGGUL KARET RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Some variability Productivity Superior Rubber Clone People in Bengkulu KERAGAAN PRODUKTIFITAS BEBERAPA KLON UNGGUL KARET RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU Afrizon, Dedi Sugandi, dan Andi Ishak (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu) afrizon41@yahoo.co.id Pengkajian Keragaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

DOSIS PUPUK CAIR ANORGANIK DAN JARAK TANAM BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L. var. TUK TUK ) ASAL BIJI

DOSIS PUPUK CAIR ANORGANIK DAN JARAK TANAM BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L. var. TUK TUK ) ASAL BIJI DOSIS PUPUK CAIR ANORGANIK DAN JARAK TANAM BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L. var. TUK TUK ) ASAL BIJI SKRIPSI Oleh: FERDINANTA SEMBIRING 040301053 BDP/AGRONOMI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Taksonomi kelapa sawit yang dikutip dari Pahan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Embryophyta Siphonagama Kelas : Angiospermeae Ordo : Monocotyledonae

Lebih terperinci

SISTEM PENYADAPAN TANAMAN KARET

SISTEM PENYADAPAN TANAMAN KARET SISTEM PENYADAPAN TANAMAN KARET DI SUSUN OLEH: ROBIANTO, SP Latar Belakang Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Karet

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004

Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 Pedoman Penilaian dan Pelepasan Varietas Hortikultura (PPPVH) 2004 KENTANG (Disarikan dari PPPVH 2004) Direktorat Perbenihan Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura I. UJI ADAPTASI 1. Ruang Lingkup

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Dengan perkembangan teknologi, ubi kayu dijadikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pangan merupakan sesuatu hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Peningkatan ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Tanaman karet berasal dari negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Jauh sebelum tanaman karet ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer dan Palmer, 1990). Tinggi tanaman jagung berkisar

Lebih terperinci

Warta Perkaretan 2016, 35 (2), KEUNGGULAN KLON KARET IRR 220 dan IRR 230. The Superiority of IRR 220 and IRR 230 Rubber Clone

Warta Perkaretan 2016, 35 (2), KEUNGGULAN KLON KARET IRR 220 dan IRR 230. The Superiority of IRR 220 and IRR 230 Rubber Clone Warta Perkaretan 016, 5 (), 89-106 KEUNGGULAN KLON KARET IRR 0 dan IRR 0 The Superiority of IRR 0 and IRR 0 Rubber Clone 1 Sekar Woelan, Rasidin Azwar, Aidi-Daslin, Irwan Suhendry, Mudji Lasminingsih,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Jagung Manis Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina pada

Lebih terperinci

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN MUCUNA (Mucuna bracteata D.C) SKRIPSI Oleh: AINUL FAHRIN SIREGAR 050301028 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENGARUH LILIT BATANG BAWAH DAN PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN STUM MATA TIDUR KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.)

PENGARUH LILIT BATANG BAWAH DAN PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN STUM MATA TIDUR KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) PENGARUH LILIT BATANG BAWAH DAN PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN STUM MATA TIDUR KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) SKRIPSI Oleh : RIZKY ANZAH 040301051 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola adalah sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta : Eumycotina

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS KLON KARET PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN DI PERKEBUNAN

PRODUKTIVITAS KLON KARET PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN DI PERKEBUNAN Agrium, April 2013 Volume 18 No 1 PRODUKTIVITAS KLON KARET PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN DI PERKEBUNAN Aidi-Daslin Peneliti Utama, Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet Sungei Putih,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani

TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Sifat Botani 3 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Penyebaran Geografis Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman buah-buahan tropika. Pepaya merupakan tanaman asli Amerika Tengah, tetapi kini telah menyebar ke seluruh dunia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan Pupuk adalah penyubur tanaman yang ditambahkan ke tanah untuk menyediakan unsur-unsur yang diperlukan tanaman. Pemupukan merupakan suatu upaya untuk menyediakan unsur hara yang

Lebih terperinci

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan 120 PEMBAHASAN UMUM Asiatikosida merupakan salah satu kandungan kimia pada pegagan yang memiliki aktivitas biologis. Pegagan dikenal aman dan efektif untuk mengobati berbagai macam penyakit, tumbuhan ini

Lebih terperinci

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim.

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. 19 TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Bawang merah merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi antara 15-50 cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. Perakarannya berupa akar serabut yang tidak

Lebih terperinci

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu (S1) Program Studi Agronomi

Lebih terperinci

EVALUASI KARAKTER FENOTIP, GENOTIP DAN HERITABILITAS KETURUNAN KEDUA DARI HASIL SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.)

EVALUASI KARAKTER FENOTIP, GENOTIP DAN HERITABILITAS KETURUNAN KEDUA DARI HASIL SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) EVALUASI KARAKTER FENOTIP, GENOTIP DAN HERITABILITAS KETURUNAN KEDUA DARI HASIL SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) SKRIPSI Oleh: SERI WATI SEMBIRING 050307003 / BDP-PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Capsicum annuum L. merupakan tanaman annual berbentuk semak dengan tinggi mencapai 0.5-1.5 cm, memiliki akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No.12 tahun 1992, pasal 1 ayat 4, benih tanaman yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No.12 tahun 1992, pasal 1 ayat 4, benih tanaman yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tentang Benih Pada Tanaman Karet Menurut Undang-Undang No.12 tahun 1992, pasal 1 ayat 4, benih tanaman yang selanjutnya disebut benih adalah tanaman atau bagian tanaman

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAILAN (Brassica oleraceae Var. acephala) PADA BERBAGAI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAILAN (Brassica oleraceae Var. acephala) PADA BERBAGAI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAILAN (Brassica oleraceae Var. acephala) PADA BERBAGAI MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK SKRIPSI RUBEN PAHOTAN TAMBUNAN 060301023 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Penyimpanan dan Diameter Stum Mata Tidur terhadap Pertumbuhan Bibit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.)

Pengaruh Lama Penyimpanan dan Diameter Stum Mata Tidur terhadap Pertumbuhan Bibit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Pengaruh Lama Penyimpanan dan Diameter Stum Mata Tidur terhadap Pertumbuhan Bibit Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) The Influence of Storage Period and Diameter Stump on Stump Rubber Growth (Hevea

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Indonesia merupakan produsen

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI LATEKS DALAM BERBAGAI WAKTU APLIKASI PADA KLON KARET METABOLISME TINGGI TERHADAP PEMBERIAN STIMULAN ETILEN EKSTRAK KULIT PISANG

RESPON PRODUKSI LATEKS DALAM BERBAGAI WAKTU APLIKASI PADA KLON KARET METABOLISME TINGGI TERHADAP PEMBERIAN STIMULAN ETILEN EKSTRAK KULIT PISANG RESPON PRODUKSI LATEKS DALAM BERBAGAI WAKTU APLIKASI PADA KLON KARET METABOLISME TINGGI TERHADAP PEMBERIAN STIMULAN ETILEN EKSTRAK KULIT PISANG SKRIPSI OLEH : ANDAN R P GALINGGING/110301163 AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dikembangkan sehingga sampai sekarang asia merupakan sumber karet alam.

TINJAUAN PUSTAKA. dikembangkan sehingga sampai sekarang asia merupakan sumber karet alam. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman karet Pohon karet pertama kali tumbuh di Brasil, Amerika Selatan, namun setelah percobaan berkali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara,dimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA PEMBERIAN HIDROGEL DAN FREKUENSI PENYIRAMAN DENGAN SISTEM VERTIKULTUR SKRIPSI OLEH : NORI ANDRIAN / 110301190 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Lebih terperinci

UJI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PASANG SURUT PADA PERLAKUAN PUPUK HAYATI SKRIPSI. Oleh:

UJI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PASANG SURUT PADA PERLAKUAN PUPUK HAYATI SKRIPSI. Oleh: UJI KARAKTER BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA (Zea mays L.) DI LAHAN PASANG SURUT PADA PERLAKUAN PUPUK HAYATI SKRIPSI Oleh: DEWI JULITA SITANGGANG 050307012/ BDP- PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SELEKSI INDIVIDU TERPILIH PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine maxl.merrill) GENERASI M 5 BERDASARKAN KARAKTER PRODUKSI TINGGI DAN TOLERAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG Athelia rolfsii(curzi) SKRIPSI OLEH : MUTIA

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.)

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) SKRIPSI Oleh : FIDELIA MELISSA J. S. 040307013 / BDP PET PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

KORELASI BOBOT BENIH DENGAN KEJAGURAN BIBIT BATANG BAWAH KARET (Hevea brasilliensis Muell.-Arg.)

KORELASI BOBOT BENIH DENGAN KEJAGURAN BIBIT BATANG BAWAH KARET (Hevea brasilliensis Muell.-Arg.) Vegetalika Vol.2 No.2, 2013 : 31-39 KORELASI BOBOT BENIH DENGAN KEJAGURAN BIBIT BATANG BAWAH KARET (Hevea brasilliensis Muell.-Arg.) THE CORRELATION OF SEED WEIGHT WITH ROOTSTOCK VIGOROUS IN RUBBER (Hevea

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. karet ini dibudidayakan, penduduk asli diberbagai tempat seperti : Amerika

TINJAUAN PUSTAKA. karet ini dibudidayakan, penduduk asli diberbagai tempat seperti : Amerika II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Tanaman karet (Hevea basilensis) berasal dari negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Jauh sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional masih merupakan problema yang perlu diatasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : pertambahan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGUJIAN LANJUTAN KLON KARET IRR SERI

EVALUASI PENGUJIAN LANJUTAN KLON KARET IRR SERI Jurnal Penelitian Karet, 2012, 0 (2) : 65-74 Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 2012, 0 (2) : 65-74 EVALUASI PENGUJIAN LANJUTAN KLON KARET IRR SERI 120-140 Further Trial Evaluation of IRR 120-140 Series Rubber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH :

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : NELSON SIMANJUNTAK 080301079 / BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

Jurnal Rekayasa Teknologi Industri Hijau ISSN

Jurnal Rekayasa Teknologi Industri Hijau ISSN MENGETAHUI PENGARUH KUALITAS KULIT PULIHAN KLON GT1, PR 300, DAN PR 303 TEHADAP PRODUKSI KARET (Hevea brasiliensis.l) DI KEBUN GETAS SALATIGA Galuh Banowati Pengajar PS Budidaya Tanaman Perkebunan Politeknik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai tetap dipandang penting oleh Pemerintah dan telah dimasukkan dalam program pangan nasional, karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi 38%, lemak

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH:

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: ARIF AL QUDRY / 100301251 Agroteknologi Minat- Budidaya Pertanian Perkebunan PROGRAM

Lebih terperinci