BAB I PENDAHULUAN. Bank melalui sales force-nya berlomba-lomba menawarkan berbagai produk yang sesuai

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perbankan merupakan salah satu industri dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Bank melalui sales force-nya berlomba-lomba menawarkan berbagai produk yang sesuai dengan kebutuhan nasabah. Karena posisi sales sebagai front liner dari suatu bank sangat penting, banyak perusahaan rela mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk membajak sales force dari bank kompetitornya. Berdasarkan hasil survei perbankan Indonesia 2014 yang dibuat oleh Firma akuntansi dan konsultasi Price Waterhouse Cooper 1) ditemukan bahwa tingkat pembajakan tenaga kerja di perbankan amat tinggi. Rata-rata karyawan bank hanya bertahan di satu perusahaan selama 2-10 tahun, dan ini jauh di atas tren Asia Tenggara. Survei PwC membuktikan bahwa sebanyak 54 persen karyawan bank bersedia dibajak lantaran diiming-imingi gaji lebih besar. Sementara 37 persen karyawan bersedia pindah tempat kerja karena ingin punya perjalanan karir lebih prospektif. Materi seperti gaji dan pangkat merupakan salah satu faktor yang dicari karyawan dalam bekerja, namun tanpa komitmen karyawan akan terus mencari peluang yang lebih baik, dan turnover karyawan akan makin tinggi. Bagaimana karyawan berkomitmen, berkeinginan untuk kontribusi dan rasa memiliki terhadap pekerjaan dan perusahaan akan membuat karyawan fokus bekerja daripada mencari pekerjaan yang lebih baik di lain tempat. 1 Survei perbankan Indonesia 2014 oleh Price Waterhouse Cooper dalam Infobanknews.com 14 Mei

2 Bank XYZ sebagai bank dengan jumlah karyawan terbanyak keenam di Indonesia 2) ternyata memiliki tingkat turnover karyawan yang cukup tinggi yaitu 16%, jika dibandingkan dengan turnover rata-rata industri perbankan yang berada di kisaran 6,3% - 7,5% 3 ). Berdasarkan survey internal Bank XYZ 4 ) mengenai employee engagement, karyawan Bank XYZ terutama pada divisi sales menujukkan score employee engagement 74, dimana hal ini secara signifikan lebih rendah dibanding divisi atau unit kerja lainnya. Terlihat dari hasil survey karyawan menilai perusahaan yang mampu memberdayakan karyawannya, memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada karyawannya akan membuat karyawan lebih engage. Karyawan akan lebih nyaman untuk bekerja dan dibutuhkan lingkungan kerja yang tidak hanya bisa meminta lebih, tetapi juga menyediakan lahan informasi, kesempatan belajar, dan mampu menciptakan keseimbangan kehidupan karyawannya. Tabel 1.1 Data karyawan Bank XYZ Tahun 2012 Tahun 2013 Jumlah Karyawan keluar Total Karyawan Tingkat turnover karyawan % 12.8% 16.0% Sumber : Annual Report 2013 Bank XYZ Berdasarkan hasil interviu yang dilakukan penulis 5) dengan beberapa karyawan di PT. Bank XYZ bahwa hal yang membuat mereka tetap bertahan di perusahaan diantaranya adalah apresiasi dari perusahaan (seperti promosi, bonus, insentif, pengakuan, dan lainlain), dan juga lingkungan kerja yang kondusif khususnya pimpinan yang suportif dan siap membantu anak buahnya. Dengan target yang semakin tinggi akibat tingkat kompetisi antar bank semakin tinggi, karyawan membutuhkan figur pimpinan yang mengayomi dan 2 10 Bank dengan karyawan terbanyak dalam infobanknews.com Survey Watson Wyatt Indonesia 2008 dalam Global Strategic Reward Internal survey employee engagement oleh Towers Watson Interviu internal penulis terhadap 5 (lima) karyawan tetap Bank XYZ pada Oktober

3 selalu mendukung serta memotivasi bawahannya untuk tetap dapat fokus bekerja mencapai target yang telah ditetapkan. Hasil interviu juga menunjukkan bahwa para bawahan mempersepsikan pimpinan dan supervisornya sering mengeluh bahwa tidak banyak karyawan atau bawahannya peduli tentang melakukan pekerjaan yang baik, bahwa ada sedikit akuntabilitas, kurangnya inisiatif dan inovasi serta akhirnya berujung pada saling lempar tanggung jawab. Di sisi lain karyawan juga mengeluh tentang manajemen, dan mengeluh bahwa orang-orang di atas seringkali tidak memiliki keputusan populer dan praktis, bagaimana usaha dan kerja keras karyawan seringkali tidak mendapatkan pengakuan dari pimpinannya, dan lebih banyak bekerja di bawah ancaman dan bukan di bawah tekanan. Dan hal-hal ini yang membuat suasana kerja tidak kondusif dan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan dan lingkungan lain yang lebih baik. Karyawan juga banyak yang melakukan pindah pekerjaan dengan alasan mengikuti kepindahan pimpinannya yang mengajak serta karyawan keluar dari perusahaan karena merasa nyaman dan cocok dengan atasannya. Seorang pemimpin mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu organisasi. Hal ini dikarenakan perusahaan itu sendiri tidak dapat mengelola karyawannya sebagai sumber daya. Untuk itu perusahaan atau organisasi perlu melakukan integrasi internal sehingga berbagai kepentingan, kebutuhan, dan potensi dari anggota organisasi tersebut tidak berkembang kearah disintegratif. Perusahaan sendiri akan menghadapi berbagai permasalahan yang hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan kompetensi kolektif dan kebijaksanaan tim atau kelompok (Kreitner & Kinicki, 2011). Dalam sebuah organisasi, karena begitu menekankan pentingnya peran seorang leader atau pemimpin seringkali organisasi mengirimkan para pimpinannya untuk mendapatkan pelatihan leadership untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian dalam 3

4 memimpin suatu organisasi. Namun kesuksesan suatu organisasi atau kelompok tidak saja bergantung dari bagaimana hebatnya seorang pemimpin memimpin kelompoknya, tapi juga bagaimana follower-nya dapat mengikuti arahan dari pimpinannya. Terutama jika follower tersebut memiliki peran aktif dalam menentukan keberhasilan ataupun kegagalan organisasi (Riggio & Blumen-Lipman, 2008). Komposisi follower dalam suatu organisasi jelas lebih banyak jika dibandingkan dengan pimpinan. Penulis melihat hal ini yang seringkali dilupakan oleh organisasi, sehingga organisasi lebih banyak fokus dalam menciptakan seorang pemimpin. Bagaimanapun seorang pemimpin harus memiliki follower yang efektif untuk mencapai tujuannya. Tapi mengapa seringkali para follower ini tidak terlalu diprioritaskan oleh organisasi? Pemimpin harus beradaptasi dengan gaya kepemimpinannya untuk dapat lebih fokus pada follower-nya. Pemimpin harus mampu mempelajari apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh bawahannya (Brown, 2003). Pemimpin yang baik harus mampu mengidentifikasikan kebutuhan follower-nya dan membuat para follower memberikan usaha terbaiknya (Ricketts, 2009). Untuk itulah sangat penting bagi pemimpin untuk fokus pada para follower. Menurut Riggio & Blumen-Lipman (2008), followership mengacu pada peran dari seorang atau sekelompok individu dalam organisasi untuk secara aktif mengikuti pemimpinnya. Untuk menciptakan pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana organisasi membangun lingkungan kerja yang baik, pemimpin harus mendorong karyawan untuk memiliki akuntabilitas dan komitmen untuk menghasilkan layanan dan produk yang berkualitas tinggi. Konsep pengikut yang berani (courageous followersip) dari Chaleff (2002) dapat membuka pandangan bahwa sebuah organisasi dimana para pemimpin dan karyawan menciptakan dan mempertahankan budaya pertanggungjawaban dan komitmen, 4

5 karena pemimpin tahu bahwa tidak mungkin dapat mencapai tujuan organisasi seorang diri tanpa adanya follower. Menurut Chaleff (2002), filosofi yang mendasari courageous followership adalah mengasumsikan bahwa pengikut tidak tergantung pada tindakan pemimpin untuk berperilaku sebagai pengikut berani. Follower memiliki motivasi dan kekuatan untuk melakukan suatu hal berdasarkan komitmen terhadap tujuan yang sama dan sistem nilai para follower itu sendiri, bukan dari pemimpinnya. Budaya organisasi yang mempraktekkan prinsip-prinsip courageous followersip memiliki kesempatan lebih besar untuk mempertahankan akuntabilitas dan keunggulan karena follower memiliki keberanian untuk memikul tanggung jawab, melayani, tantangan, berpartisipasi dalam transformasi, dan mengambil tindakan moral. Hal ini karena pengikut berani memberdayakan diri mereka untuk menerima tanggung jawab dan akuntabilitas bahwa organisasi lebih mungkin untuk mengembangkan budaya berpikir kritis, musyawarah, dan lebih bijaksana. Jika para pemimpin tidak peduli pada orang-orang yang bekerja untuknya, dan menunjukkan kurangnya orisinalitas, maka karyawan atau follower merasa tidak perlu membuat komitmen atau bertanggung jawab. Jika organisasi tidak menetapkan orisinalitas dan menerapkan kepedulian sebagai salah satu nilai-nilai utama, lalu kembali pada program kerja yang lama, maka para follower ini akan melihat tidak adanya akuntabilitas dari organisasi. Tidak mengherankan karena seorang follower tidak akan menyatakan pengabdiannya pada pemimpin yang berulang kali membuat karyawan merasa dibuang, diabaikan, atau tidak dikenali. Chaleff (2002) menyatakan seorang courageous follower dapat dan akan menghadapi pemimpin jika terjadi hal dimana kurangnya komitmen, tanggung jawab, dan layanan. Tetapi jika pemimpin berulang kali tidak responsif, maka 5

6 karyawan terbaik pun akan mencari kesempatan lain di mana usahanya tersebut dihargai. Pemimpin yang mendukung courageous followersip akan mengajak karyawan sebagai mitra untuk menciptakan dan mempertahankan budaya organisasi. Melalui kemitraan ini karyawan akan mampu menciptakan, memelihara, dan mempertahankan komitmen terhadap tujuan organisasi, dan bukan pada pemimpin. Chaleff (2002) menyarankan para pemimpin untuk meminta dan menerima umpan balik, mendorong komunikasi langsung dan bukan keluhan, serta menghargai keberanian. Pemimpin yang ingin membuat, memelihara, dan mempertahankan courageous followersip perlu mendengarkan hal-hal yang tidak terucap langsung olah para karyawannya seperti: dengarlah aku dan mengerti aku, jika Anda tidak setuju dengan saya, tolong jangan membuat saya terlihat salah didepan umum, akui dan hargai usaha saya, dan katakan kebenaran dengan lembut, bukan dengan ancaman. Pemimpin yang mau mendengarkan hal-hal tersebut diatas akan membuat karyawan merasa bahwa meskipun tugas dan tanggung jawab sangat berat, pemimpin telah memenuhi kebutuhan karyawan akan martabat dan rasa hormat. Karyawan yang merasa tidak dipahami, yang mengatakan ide atau kekhawatiran mereka salah, yang dibuat untuk merasa rendah diri secara sosial, dan yang mendengar pesan atau tugas yang sulit dengan cara yang paling keras tidak akan menjadi seorang courageous follower. Konsep pemimpin seperti ini sejalan dengan gaya kepemimpinan servant leaderhip. Robert K. Greenleaf, 1970 (dalam Smith 2005) mempelopori gaya kepemimpinan yang disebut servant leadership. Seorang pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang terlebih dahulu melakukan fungsi sebagai pelayan, dimana ia bersedia berbaur dengan para karyawan dan lingkungan organisasi dia berada untuk memperhatikan secara detil dimensi yang muncul dari struktur organisasi terbawah sehingga pada akhirnya ia mampu 6

7 memahami karakter organisasi secara keseluruhan dan menyinergikan segala kekuatan yang dimiliki oleh organisasi. Pemahaman mengenai pelayanan merupakan suatu pendekatan holistik dimana seorang pemimpin mampu menempatkan pentingnya relasi antara manusia, organisasi, dan lingkungan organisasi secara keseluruhan. Ada penekanan pada kemampuan memanfaatkan kemampuan diri demi kepentingan bersama. Kemampuan mengembangkan orang lain adalah ciri penting seorang servant leader (Block, 1993). Servant leader adalah pemimpin yang meletakkan kebutuhan, aspirasi, dan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadinya atau keinginan untuk membantu orang lain (Spears, 2003). Seorang pemimpin dengan gaya servant leadership akan menjalin interaksi dengan bawahannya melalui keinginan yang kuat untuk menyediakan pelayanan satu sama lain dengan mengoptimalkan keahlian masing-masing. Servant leader akan memotivasi bawahannya untuk mendorong bawahan memaksimalkan potensi mereka. Secara tidak langsung akan tercipta keberhasilan dalan mencapai tujuan organisasi. Melalui penekanan pada hubungan antar manusia, organisasi, dan lingkungan organisasi secara keseluruhan, seorang servant leader memiliki kemampuan untuk membuka cara pandang mengenali diri sendiri dalam konteks keahlian profesional dan dalam kehidupan pribadi. Keterbukaan ini pada akhirnya mampu menempatkan organisasi dalam mencapai kinerja yang menguntungkan secara jangka panjang. Servant leader yang mempu menjalankan fungsinya secara efektif adalah seorang yang mampu menurunkan filosofi kepemimpinannya kepada orang lain dalam organisasi. Dengan mengandalkan keikutsertaan bawahan, sebuah organisasi akan memiliki keberhasilan yang lebih besar dalam mencapai tujuannya. 7

8 Pemeliharaan employee engagement dalam organisasi tidak terlepas dari peran pemimpin. Organisasi yang ingin meningkatkan employee engagement harus berfokus pada persepsi karyawan terhadap dukungan yang mereka terima dari perusahaan dan atasannya. Engagement selama ini dikenal luas sebagai konsep yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat keterikatan karyawan terhadap faktor organisasi. Faktor ini mendorong karyawan untuk melakukan usaha yang maksimal melebihi yang diharapkan. Bahkan faktor keterikatan ini juga mempengaruhi keputusan karyawan untuk bertahan atau meninggalkan perusahaan. Employee engagement mempengaruhi kinerja organisasi karena mempengaruhi kinerja karyawan. Employee engagement mempengaruhi kualitas kerja karyawan, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi jumlah ketidakhadiran karyawan dan menurunkan kecenderungan untuk berpindah pekerjaan. Hal ini disebabkan karena karyawan yang memiliki engagement yang tinggi akan memiliki keterikatan emosi yang tinggi pada organisasi. Keterikatan emosi yang tinggi mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan (cenderung memiliki kualitas kerja yang memuaskan) dan akan berdampak pada rendahnya keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaan/perusahaan. Perubahan-perubahan di level individu ini pada akhirnya akan membawa perubahan positif pada level tim dan akhirnya akan membawa perubahan yang positif bagi kinerja organisasi pekerjaannya (Kreitner & Kinicki, 2011). Salah satu yang mempengaruhi perkembangan karir dan penyelesaian tugas di perusahaan adalah faktor individu. Faktor individu berkisar dari harga diri, kemampuan, minat, bakat gengsi dan kepribadian (Seligman, 1994). Seseorang dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki sikap yang positif terhadap karirnya. Selain itu ketika bakat, minat, dan kemampuan seseorang semakin besar dengan syarat-syarat pekerjaan yang ada, maka tampilan kerja serta stabilitas dalam menjalani pekerjaan akan semakin besar. 8

9 Ditemukan bahwa orang-orang yang berada dalam pekerjaan yang sama cenderung memiliki kepribadian yang sama pula (Holland & Rue dalam Seligman, 1994). Dalam penelitian ini faktor individu terutama kepribadian menjadi hal yang akan diteliti lebih lanjut karena kepribadian dianggap salah satu aspek penting dalam perkembangan karir seseorang dalam menjalani kehidupan karirnya (Holland dalam Seligman, 1994). Kepribadian seringkali terkonseptualisasi sebagai konstruk yang relevan dan digunakan untuk kepentingan konseling karir. Holland (dalam Seligman, 1994) mengemukakan kepribadian merupakan sesuatu yang melekat pada diri seseorang, mempengaruhi cara seseorang bertingkah laku dalam berbagai situasi dan waktu, dan lebih sulit diubah sehingga memiliki pengaruh yang stabil, bertahan terhadap perkembangan karir. Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah besar penelitian mendukung bahwa ada lima dimensi yang saling mendasari dan mencakup sebagian besar variasi yang signifikan dalam kepribadian manusia (McCrae, 1992), atau yang lebih dikenal dengan big 5 personality, yang terdiri dari Extraversion, Conscientiousness, Agreeableness, Neuroticism, dan Openness to Experience. Dari kelima dimensi tersebut, conscientiousness memiliki korelasi yang paling kuat dengan kemampuan seseorang dalam pengerjaan tugasnya, semakin tinggi tingkat conscientiousness seseorang maka akan semakin baik kinerjanya. (Greenberg, 2011). Sementara Langelaan et al. (2006) menemukan bahwa tingkat extraversion yang tinggi berkorelasi dengan engagement. Kim et al. (2009) juga menemukan conscientiousness secara positif berkaitan dengan engagement. Selain itu karyawan dengan conscientiousness yang tinggi biasanya akan memiliki engagement lebih tinggi (Hallberg & Schaufeli, 2006; Schaufeli & Bakker, 2004). 9

10 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di bagian latar belakang, penulis ingin mengetahui mengenai beberapa hal berikut: 1) Apakah persepsi karyawan terhadap servant leadership berpengaruh terhadap employee engagement di Bank XYZ? 2) Apakah followership berpengaruh terhadap employee engagement di Bank XYZ? 3) Apakah model kepribadian conscientiousness berpengaruh terhadap employee engagement di Bank XYZ? 4) Apakah model kepribadian extraversion berpengaruh terhadap employee engagement di Bank XYZ? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya di bagian rumusan permasalahan. Melalui penelitian ini penulis bermaksud mengetahui pengaruh yang timbul antara servant leadership, followership, model kepribadian conscientiousness dan extraversion terhadap employee engagement di Bank XYZ. 1.4 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi hanya untuk meneliti pengaruh pengaruh yang timbul antara servant leadership, followership, model kepribadian conscientiousness dan extraversion terhadap employee engagement di Bank XYZ. Sampel yang digunakan terdiri dari responden karyawan tetap bagian sales dan marketing di Bank XYZ dengan menggunakan metode kuantitatif. 10

11 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan manfaat baik dari sisi akademis maupun dari sisi manajemen sumber daya manusia di perusahaan. Dari sisi akademis, penelitian ini akan menjadi informasi tambahan pengetahuan dan literatur mengenai pengaruh servant leadership, followership, model kepribadian conscientiousness dan extraversion terhadap employee engagement. Dari sisi manajemen sumber daya manusia organisasi, diharapkan penelitian ini akan memberikan masukan (input) terhadap kebijakan strategis yang berkaitan dengan karyawan sebagai sumber daya terbesar khususnya pada perusahaan berbasis jasa perbankan. 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Adapun langkah yang ditempuh oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah : - Studi kepustakaan dengan mengumpulkan literatur yang relevan dengan penelitian ini meliputi buku teks dan jurnal ilmiah tentang manajemen serta penelitian penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. - Pengumpulan data primer yang diperoleh dengan pengambilan kuesioner dan interviu terhadap sampel karyawan yang sesuai dengan karakteristik populasi penelitian. - Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penggalian data (data mining) hasil survey internal Bank XYZ - Menganalisis data dengan menggunakan kerangka statistik untuk melihat korelasi dari semua variabel. 11

12 1.7 Susunan Penulisan Hasil Penelitian Susunan penulisan hasil penelitian ini akan terdiri dari 5 (lima) bab dengan rincian sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang penelitian perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian dan susunan penulisan hasil penelitian. BAB II LANDASAN TEORITIS Bab ini memberikan uraian mengenai pengertian dan landasan teori yang dipergunakan dalam melakukan penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisi metodologi dan desain penelitian yang akan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan data kuantitatif. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi analisis hasil penelitian berdasarkan metodologi yang telah ditetapkan sebelumnya. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan berdasarkan analisis dan pembahasan yang didapatkan dari babbab sebelumnya. Saran akan ditujukan ke dalam 2 (dua) bagian yaitu bagi kepentingan akademis dan bagi pengambilan keputusan. 12