BAB I PENDAHULUAN. terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun kebutuhan sosial. Manusia terpacu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya demi mempertahankan kehidupan diri sendiri maupun keluarganya. Berbagai upaya untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup dikerjakan manusia agar dapat memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kenyataannya dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup dijumpai adanya kesulitan-kesulitan terutama yang dialami oleh kaum wanita di Indonesia. Sering kebutuhan keluarganya menuntut wanita harus bekerja diluar rumah untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga. Namun harapan untuk dapat menambah penghasilan keluarga tidaklah mudah, karena lapangan kerja yang terbatas, disamping tingkat pendidikan mereka yang rendah. Dengan pendidikan yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki menyebabkan mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat mendapatkan uang. Akhirnya wanita-wanita banyak terjun kedalam bisnis pelacuran. Berbicara soal prostitusi atau bahasa awamnya pelacuran merupakan masalah lama tetapi tetap baru untuk dibahas. Tidak diketahui secara pasti kapan munculnya profesi tersebut, dikatakan demikian karena sejak ada norma perkawinan, bersamaan dengan itu pula lahirlah apa yang disebut dengan pelacuran, dan ia dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari norma 1

2 perkawinan itu sendiri. Hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda, dilakukan diluar perkawinan dan berganti-ganti pasangan, baik dengan menerima imbalan uang atau material lainnya maupun tidak, sudah disebut orang sebagai pelacuran (Tjahyo Purnomo W. dan Ashadi Siregar, 1985:10). Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sudah sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri, dan selalu ada pada negara berbudaya, sejak jaman purba sampai sekarang. Ini senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai tingkatannya. Pelacuran bukan merupakan istilah asing di kalangan masyarakat terutama bagi masyarakat perkotaan. Misalnya di kota Medan sendiri masih banyak dijumpai wanita tuna susila (WTS), Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara mencatat bahwa pada tahun 2006 terdapat orang WTS di Sumatera Utara dan jumlah ini terus meningkat di tahun berikutnya, dimana pada tahun 2007 terdapat orang WTS yang sebahagian besar berada di kota Medan (BPS, Sumatera Utara Dalam Angka 2006; Sumatera Utara Dalam Angka 2007). Pelacuran merupakan masalah patologis yang harus dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya, karena dapat menimbulkan masalah patologis yang lain seperti kriminalitas, kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, kokain, dan lain-lain). Pelacuran ini cenderung menimbulkan kejahatan dalam berbagai variasinya seperti sarang pertemuan pencuri, pemabukan yang membawa keributan, penculikan dan perdagangan wanita, alat untuk pemerasan dan sebagainya. 2

3 Pelacur atau wanita tuna susila (WTS) merupakan suatu masyarakat tersendiri dengan sub kultur yang khas. Kehidupannya penuh gemerlapan, bau parfum dan minuman keras yang menusuk hidung dan tawa cekikikan yang mengundang nafsu. Disana mereka harus menyenandungkan birahi, membuat laki-laki resah menunggu saat berkencan, hidup mereka penuh sandiwara dan kepalsuan. Seorang WTS menjalani profesinya dengan latar belakang dan alasan yang berbeda-beda. Secara umum alasannya antara lain: karena tidak ada uang, tidak ada pekerjaan, perceraian keluarga, patah hati, diperkosa dan sebagainya. Aktivitas penjajaan seks atau pelacuran ini dipandang masyarakat sebagai sisi hitam dari kehidupan sosial yang megah. Adanya sikap ironis masyarakat dan pemerintah terhadap pelacuran berada pada kondisi untuk dikutuk sekaligus dilestarikan. Dikutuk karena memang bertentangan dengan nilai-nilai moral kelompok dominan yang pada umumnya menggunakan standart ganda (perempuan pelacur dikutuk, laki-laki yang melacur didiamkan). Dilestarikan karena memang memiliki basis material yang terkait erat pada pengorganisasian produksi. Warna pandangan ini menyebabkan kita melihat keremang-remangan dalam kehidupan pelacuran, (Katjasungkana 1995:31). Dimensi kehidupan para pelacur disini sangat kompleks, sejalan dengan keberadaan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Sebagai seorang manusia, WTS juga membutuhkan adanya dinamisasi kehidupan dalam dirinya, agar nantinya ia dapat memutuskan untuk tidak bekerja sebagai wanita tuna susila dan kembali ke masyarakat. Tetapi pandangan negatif yang masih berlaku di masyarakat tentang masa lalu para WTS, dengan sendirinya akan merupakan ganjalan nyata, bagi keinginan untuk kembali ke masyarakat. 3

4 Penerimaan masyarakat terhadap bekas pelacur, tidak pernah berubah, sejalan dengan keberadaan pelacuran itu sendiri di masyarakat. Bekas WTS yang telah memulai kehidupan baru, biasanya tetap akan menjadi objek bagi sekelompok manusia penggemar pelacuran. Dengan segala upaya biasanya orang-orang tersebut mencoba menggoda para bekas WTS untuk kembali melakukan praktek pelacuran sebagai usaha sampingannya. Dan tidak jarang pula dengan berbagai cara dan janji yang muluk, terkadang ada juga bekas WTS yang tergoda untuk kembali melakukan praktek prostitusi dengan cara yang lebih halus, yaitu bertamengkan usahanya. Disini tampak dilematis pelacuran dalam kehidupan masyarakat, baik keberadaan pelacuran itu sendiri maupun penerimaan mereka terhadap dinamisasi kehidupan para WTS atau bekas WTS. Masalah WTS ini merupakan masalah yang sangat kompleks. Pelacuran disamping merupakan penyakit masyarakat juga menimbulkan penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan orang seorang, keluarga dan masyarakat, misalnya penyakit kelamin. Pelacuran atau tindakan tuna susila ini dapat menimbulkan keresahankeresahan serta kegoncangan-kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat dan merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat pada umumnya. Selain hal diatas wanita tuna susila atau pelacur itu merupakan perbuatan : - yang bertentangan dengan moral Pancasila dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan bertentangan dengan agama, 4

5 - yang dapat memerosotkan harkat dan martabat serta merendahkan diri khususnya bagi kaum wanita serta merusak sendi-sendi kehidupan keluarga dan kehidupan kebersamaan, - yang dapat membahayakan kelangsungan keturunan serta merugikan masa depan generasi muda, khususnya bagi kaum wanita dalam rangka meneruskan perjuangan bangsa dimana terdapat WTS/ pelacur yang berusia muda. Mengingat bahwa masalah WTS itu merupakan masalah yang sangat kompleks, maka pelacuran ini mutlak harus ditanggulangi dan bukan karena itu saja tetapi juga agar gejala ini tidak diterima oleh masyarakat sebagai pola budaya (sekalipun penerimaannya tidak secara sadar), dengan kata lain pelacuran yang dibiarkan tanpa dicegah atau ditanggulangi, lambat laun dapat dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang normal dan wajar dan mungkin akan melembaga sebagai hal-hal yang patut, sehingga harus diupayakan penyembuhannya dan dicegah atau dihalang-halangi timbulnya dengan meniadakan faktor-faktor penyebabnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah berusaha mengadakan berbagai kegiatan dengan tujuan mengurangi bertambahnya pelacuran. Bentuk konkrit dari langkah-langkah dan usaha penanggulangan pelacuran telah diadakan usaha rehabilitasi melalui pendidikan mental dan keterampilan di dalam panti. Adapun fungsi dari panti tersebut adalah sebagai berikut : 1. membimbing dan mengembalikan WTS ke masyarakat untuk dapat hidup secara wajar tanpa menggantungkan diri kepada orang lain serta berhenti melacurkan diri. 2. mengurangi dan menekan sampai sekecil mungkin jumlah WTS. 5

6 3. sebagai tempat informasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan usahausaha penyantunan/ rehabilitasi WTS. Dengan pengertian lain, usaha yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pelacuran adalah dengan rehabilitasi dan resosialisasi. Yang dimaksud dengan rehabilitasi disini yaitu suatu tahap bimbingan dan pembinaan yang diberikan oleh lembaga bagi para wanita tuna susila (WTS), Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan klien atau penyandang masalah sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Tujuan rehabilitasi sosial sebagaimana dikemukakan Soenaryo (1995 : 118) adalah : pertama memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya, kedua memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat dilaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Terkait dengan keberfungsian sosial, DuBois dan Miley (1992 ;223) menyatakan keberfungsian individu lebih berkaitan dengan upaya mencapai gaya hidup yang mampu memenuhi kebutuhan dasar, membangun relasi yang positif dan menekankan pada pertumbuhan dan menyesuaikan personal yang baik dalam keluarga maupun masyarakat. ( Sedangkan resosialisasi merupakan tahapan persiapan penyaluran untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat yang wajar dengan cara memantapkan bimbingan mental, sosial dan keterampilan. Resosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab sosial dan memulihkan kemauan 6

7 serta kemampuan agar dapat menyesuaikan diri secara normatif dalam masyarakat. Bentuk rehabilitasi tersebut adalah dengan mendirikan lembaga yang diberi nama Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. Yang beralamat di Jalan Jamin Ginting No. Kuta Gadung Berastagi Kabupaten Karo, kira-kira 68 Km dari kotamadya Medan. Adapun Program pelayanan dan pembinaan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa adalah mencakup beberapa aspek pokok antara lain: bimbingan dan pembinaan di bidang kerohanian, moral, mental dan bidang pendidikan keterampilan. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui bagaimana keefektifan pelayanan sosial yang diberikan, dengan melihat kelengkapan fasilitas pendukung pelayanan, keahlian pekerja sosial, dan dukungan dari masyarakat terutama keluarga klien (wanita binaan sosial). Untuk lebih terarah, penulis membatasi penelitian ini hanya pada ruang lingkup kefektifan pelayanan yang diberikan, sehingga penulis mengangkat permasalahan ini dengan judul : Efektivitas Pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. Adapun alasan mengapa permasalahan ini perlu untuk diteliti adalah karena dalam memberikan pelayanan sosial kepada si penderita atau klien agar tercapai pelayanan secara optimal dituntut suatu keterampilan yang didukung oleh fasilitas pendukung pelayanan yang memadai dan keahlian para pekerja sosial. Masyarakat mengharapkan agar pelayanan sosial yang diberikan lebih berkualitas, khususnya di lembaga-lembaga sosial seperti Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. 7

8 I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah efektivitas pelayanan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi. I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana proses pembinaan yang dilaksanakan PSKW Parawasa 2. Untuk mengetahui efektivitas pelayanan yang sudah dilaksanakan PSKW Parawasa terhadap pembinaan wanita binaan I.3.2. Manfaat Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Secara Akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap khasanah keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial mengenai konsep pelayanan sosial 2. Secara Teoritis, melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir penulis melalui penelitian dan penulisan karya ilmiah tentang efektivitas pelayanan 3. Secara Praktis, sebagai bahan masukan, pertimbangan, dan evaluasi bagi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Berastagi secara khusus dan bagi pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum guna meningkatkan pelayanan sosial bagi wanita binaan sosial. 8

9 D. Sitematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN BAB ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan BAB II : TINJAUAN PUSTAKA BAB ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti BAB III : METODE PENELITIAN BAB ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisa data BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN BAB ini berisikan gambaran umum mengenai lokasi dimana peneliti melakukan penelitian BAB V : ANALISA DATA BAB ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian beserta analisisnya BAB VI : PENUTUP BAB ini berisikan Kesimpulan dan Saran 9

PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON

PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON OLEH: WIDYA SUCI RAMADHANI 1, SRI SULASTRI 2, H. SONI AKHMAD NURHAQIM 3 1. Mahasiswa

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) PARAWASA BERASTAGI

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) PARAWASA BERASTAGI EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) PARAWASA BERASTAGI SKRIPSI Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik OLEH: RANDI MARANATHA

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL WANITA TUNA SUSILA (WTS) UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PARAWASA PEJOREKEN DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA DI BERASTAGI

EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL WANITA TUNA SUSILA (WTS) UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PARAWASA PEJOREKEN DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA DI BERASTAGI EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL WANITA TUNA SUSILA (WTS) UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PARAWASA PEJOREKEN DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA DI BERASTAGI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

Lebih terperinci

PERANAN DINAS KESEJAHTERAAN RAKYAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERANCANA DALAM UPAYA PENANGANAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL

PERANAN DINAS KESEJAHTERAAN RAKYAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERANCANA DALAM UPAYA PENANGANAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL PERANAN DINAS KESEJAHTERAAN RAKYAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERANCANA DALAM UPAYA PENANGANAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (Studi di Kecamatan Banjarsari, Surakarta) Usulan Penelitian Untuk Skripsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di daerah Yogyakarta cukup memprihatinkan dan tidak terlepas dari permasalahan kekerasan terhadap perempuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah mahkluk sosial, di manapun berada selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Efektivitas Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Menurut Barnard, bahwa efektivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pekerja Seks Komersial Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi (Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sehingga pembangunan tersebut harus mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia termasuk membangun generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat, di manapun berada, selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prostitusi merupakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya, maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimanapun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimaksud disini adalah mereka yang memiliki peran dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimaksud disini adalah mereka yang memiliki peran dan tanggung 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, berkembangnya suatu lembaga tergantung pada sumber daya manusia yang memiliki produktivitas yang tinggi dan berkualitas. Sumber daya yang dimaksud

Lebih terperinci

DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh : WENY KUSUMASTUTI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang hidup bersama-sama di masyarakat dan berinteraksi satu sama lain karena kepentingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk kehidupan secara bersama-sama dan saling melengkapi antar

I. PENDAHULUAN. membentuk kehidupan secara bersama-sama dan saling melengkapi antar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat merupakan sekelompok individu yang hidup bersama dan menempati suatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup lama dan saling berinteraksi antar individu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa pelacuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin tingginya nilai sebuah peradaban dari masa ke masa tentunya mampu memberikan kemajuan bagi kehidupan manusia, namun tidak dapat dilupakan juga bahwa

Lebih terperinci

A. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan.

A. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan. A. PENDAHULUAN a. Latar Balakang Pelaksanaan pembangunan di Indonesia sangat diperlukan dari semua pihak, tidak juga dalam investasi yang berjumlah besar tapi juga di perlukan ketersediaan sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju maupun masyarakat yang belum maju. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Penyimpangan dari norma norma

BAB I PENDAHULUAN. dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Penyimpangan dari norma norma BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemenuhan kebutuhan seks di luar lembaga perkawinan dianggap sebagai sebuah tindakan yang menyimpang dari nilai, aturan, dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau keinginan dalam memenuhi kelangsungan hidupnya. Manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. administrasi negara. Hal ini terbuktikan dengan banyaknya tuntutan dari warga negara atau

BAB I PENDAHULUAN. administrasi negara. Hal ini terbuktikan dengan banyaknya tuntutan dari warga negara atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsep tata pemerintahaan yang baik atau yang biasa kita sebut dengan istilah good governance saat ini menjadi isu yang sangat hangat dalam kajian ilmu serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil dan makmur, sejahtera, tertib dan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 18 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN REHABILITASI EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL WALIKOTA SURAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk kepentingan masyarakat, demikian juga halnya dengan daerah-daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk kepentingan masyarakat, demikian juga halnya dengan daerah-daerah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sehubungan dengan pemberlakuan otonomi daerah saat ini, maka di berbagai daerah diberi kesempatan untuk melakukan percepatan pembangunan untuk kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan mengemban tugas pembangunan pada masa yang akan datang,

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam diri manusia selalu terdapat ketidak puasan, oleh sebab itu ia akan berusaha mencari sesuatu dengan segala upaya memenuhi kepuasannya, baik dari segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu

BAB I PENDAHULUAN. timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga timbul berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM DAERAH KABUPATEN WAY KANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM DAERAH KABUPATEN WAY KANAN Page 1 of 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM DAERAH KABUPATEN WAY KANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai krisis yang dialami oleh Bangsa Indonesia, baik krisis moral

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai krisis yang dialami oleh Bangsa Indonesia, baik krisis moral BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai krisis yang dialami oleh Bangsa Indonesia, baik krisis moral maupun krisis ekonomi hingga saat ini masih terus berjalan dan seakan-akan susah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampus adalah satu ikon penting sebagai tempat berlangsungnya pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Kampus adalah satu ikon penting sebagai tempat berlangsungnya pendidikan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kampus adalah satu ikon penting sebagai tempat berlangsungnya pendidikan. Tak salah jika kampus dianggap sebagai tempat belajar yang cukup kompeten karena

Lebih terperinci

PENYIMPANGAN SOSIAL, DAMPAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA

PENYIMPANGAN SOSIAL, DAMPAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA PENYIMPANGAN SOSIAL, DAMPAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA Standar Kompetensi: Memahami masalah penyimpangan sosial. Kompetensi Dasar: Mengidentifikasi berbagai penyakit sosial (miras, judi, narkoba, HIV/Aids,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: INDRA ARIF SETYAWAN NPM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

SKRIPSI. Oleh: INDRA ARIF SETYAWAN NPM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PERAN UNIT PELAKSANAAN TEKNIS (UPT) DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSLA (WTS) DI JAWA TIMUR ( Studi di UPT Rehabilitasi Sosial Tuna Susila Kota Kediri ) SKRIPSI Oleh: INDRA ARIF SETYAWAN

Lebih terperinci

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini terdapat jelas di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hasil amandemen

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 726 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia dan negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Wanita Tuna Susila. Ini

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2000 SERI C NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PALU NOMOR 21 TAHUN 1998 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2000 SERI C NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PALU NOMOR 21 TAHUN 1998 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 1 TAHUN 2000 SERI C NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PALU NOMOR 21 TAHUN 1998 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN PRAKTEK TUNA SUSILA DALAM WILAYAH

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA PALANGKA RAYA WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, TUNA SUSILA DAN ANAK JALANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk yang besar, sehat dan produktif merupakan potensi dan kekuatan efektif bangsa. Begitu pula sebaliknya

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS LINGKUNGAN PONDOK SOSIAL KEPUTIH PADA DINAS SOSIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi,

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulia.manusia diciptakan sebaik-baik bentuk dan diberikan perlengkapan

BAB I PENDAHULUAN. mulia.manusia diciptakan sebaik-baik bentuk dan diberikan perlengkapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia.manusia diciptakan sebaik-baik bentuk dan diberikan perlengkapan untuk bertahan hidup seperti otak,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU

Lebih terperinci

PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR

PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR Oleh: Chenia Ilma Kirana, Hery Wibowo, & Santoso Tri Raharjo Email: cheniaakirana@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB І PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB І PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB І PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja memiliki peran yang cukup besar dalam menentukan proposi remaja yang diindikasikan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk (Indrawanti, 2002). Menurut WHO (1995)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, Menimbang Mengingat : : a. bahwa pelacuran adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa muncul karena menurunnya fungsi mental pada seseorang sehingga implikasi dari penurunan fungsi tersebut ialah orang dengan gangguan jiwa akan bertingkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Menyadarkan para wanita tuna susila tentang bahaya HIV/AIDS itu perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Hal ini penting karena para wanita tuna susila itu dapat

Lebih terperinci

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LARANGAN MENGGUNAKAN BANGUNAN / TEMPAT UNTUK PERBUATAN ASUSILA SERTA PEMIKATAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN ASUSILA DI KABUPATEN SIAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalangunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalangunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Permasalahan penyalangunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman nasional yang perlu mendapatkan perhatian yang serius oleh segenap element bangsa. Ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai,

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai, BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai, contohnya adalah perubahan sosial budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan yang mencolok berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Akhlak dapat terbentuk. Dalam kehidupan sehari-hari akhlak

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Akhlak dapat terbentuk. Dalam kehidupan sehari-hari akhlak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting, dan tidak dapat ditinggalkan dalam setiap kehidupan manusia. Hal itu dikarenakan bahwa dengan pendidikanlah

Lebih terperinci

PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (STUDI KASUS DI POLSEK MEDAN BARU)

PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (STUDI KASUS DI POLSEK MEDAN BARU) PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (STUDI KASUS DI POLSEK MEDAN BARU) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum OLEH:

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N : WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DAN PERBUATAN ASUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang a. bahwa pelacuran dan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial, yang berarti saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tersebut

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN SIKAP BAGI WANITA PENGHUNI PANTI KARYA WANITA WANITA UTAMA SURAKARTA TENTANG PENCEGAHAN HIV/AIDS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang semakin modern berpengaruh terhadap penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang baru,

Lebih terperinci

DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG

DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keterlibatan ibu rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. Kompleksnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia dalam kehidupannya. Kemajuan zaman memiliki nilai yang positif dalam kehidupan manusia, dimana pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan

I. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK merupakan fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akan

Lebih terperinci

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LARANGAN MENGGUNAKAN BANGUNAN / TEMPAT UNTUK PERBUATAN ASUSILA SERTA PEMIKATAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN ASUSILA DI KABUPATEN SIAK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial

BAB V PENUTUP. A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial Berbagai tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pernah dialami oleh lima orang mantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau Pekerja Seks Komersial (PSK) atau disebut juga penjual jasa seksual. Ternyata penduduk asli di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelacuran merupakan kegiatan yang melanggar hak asasi warganegara. Hal ini karena semua orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak berdasarkan Pasal 27 Ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35

BAB I PENDAHULUAN. penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa remaja ini mengalami berbagai konflik yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PERANAN POLISI DALAM PELAKSANAAN PENERTIBAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA SURAKARTA

BAB I PERANAN POLISI DALAM PELAKSANAAN PENERTIBAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA SURAKARTA 1 BAB I PERANAN POLISI DALAM PELAKSANAAN PENERTIBAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA SURAKARTA A. Latar Belakang Masalah Secara sosiologis kemajuan atau pertumbuhan suatu kota akan dibarengi dengan munculnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami

I. PENDAHULUAN Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami pembangunan fisik dan ekonomi yang berjalan pesat, menjadi suatu kota metropolitan. Namun pada sisi lain, Jakarta juga terkena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencengahan dan perbaikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Manusia dengan segala aspek kehidupannya itu melaksanakan aktivitas dalam berbagai hal dihadapkan kepada dua sifat manusia yang saling bertentangan satu sama lainnya,

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prostitusi merupakan suatu permasalahan sosial yang sampai saat ini keberadaannya semakin terus berkembang. Praktik prositusi bukanlah menjadi hal yang baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan, penganiayaan, pemerasan dan perkosaan atau tindakan yang membuat seseorang merasa kesakitan baik secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kaum marjinal digambarkan sebagai suatu kelompok sosial tertentu yang keberadaannya dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memiliki status sosial paling rendah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya manusia terlahir di dunia dengan keadaan normal dan sempurna. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dialami oleh semua orang. Beberapa orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mana seseorang harus mengikuti aturan-aturan di dalamnya.berbagai

BAB I PENDAHULUAN. yang mana seseorang harus mengikuti aturan-aturan di dalamnya.berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah suatu bentuk dari komunitas di mana mempunyai suatu nilai-nilai yang mereka jaga dan ditanam dalam bentuk suatu kehidupan yang mana seseorang

Lebih terperinci

ditingkatkan sehingga dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besamya

ditingkatkan sehingga dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besamya BAB I PENDAHULIAN A. Latar Belakang Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Dalam rangka mewujudkan Pembangunan Nasional, maka partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana pernyataan Jimly Ashiddiqie (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak pada kehidupan sosial ekonomi individu, masyarakat, bahkan negara. Gagal dalam studi,gagal dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial (PMKS) merupakan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial (PMKS) merupakan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial (PMKS) merupakan seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah penyalahgunaan narkoba terus menjadi permasalahan global. Permasalahan ini semakin lama semakin mewabah, bahkan menyentuh hampir semua bangsa di dunia ini.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.43, 2015 KEMENSOS. Rehabilitasi Sosial. Profesi. Pekerjaan Sosial. Standar. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci