BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Efektivitas Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Menurut Barnard, bahwa efektivitas adalah tercapainya sasaran yang telah disepakati bersama (Barnard, 1992 ; 27). Dalam Ensiklopedia Umum (1977: 129), disebutkan bahwa efektivitas menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Usaha dikatakan efektif kalau usaha itu mencapai tujuannya secara ideal, taraf intensitas dapat dinyatakan dengan ukuran yang agak pasti. Pengertian lain dikemukakan oleh Sarwoto, efektivitas atau berhasil guna adalah pelayanan yang baik, corak maupun mutunya, kegunaan benar sesuai dengan kebutuhan ini dalam mencapai tujuan organisasi (Sarwoto, 1991: 95). Menurut Cambel J.P, pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling menonjol adalah : 1. Keberhasilan program 2. Keberhasilan sasaran 3. Kepuasan terhadap program 4. Tingkat input dan output 5. Pencapaian tujuan menyeluruh (Cambel, 1989 : 121). 10

2 Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Cambel, 1989 : 47). Sementara menurut Richard M. Steers, bahwa efektivitas merupakan suatu tingkat kemampuan organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau pencapaian sasarannya. Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat penulis simpulkan pengertian efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Lebih jelasnya apabila tujuan atau sasaran dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya dikatakan efektif dan sebaliknya apabila tujuan atau sasaran tersebut tidak dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka aktivitas dikatakan tidak efektif. Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada kerangka acuan yang dipakai. Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatkannya, cara mengatur dan bahkan 11

3 cara menentukan indikator dari efektivitas. Sehingga dengan demikian tentu akan lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang konsep efektivitas. Pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam awal usaha mengukur efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu sendiri. Dari beberapa uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas suatu lembaga secara fisik dan rohani untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal. II.2 Konsep Pelayanan sosial II.2.1 Pelayanan sosial Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya. Dalam batasan yang sempit, pelayanan sosial berarti bantuan pada orang miskin, pada anak-anak terlantar, yang terkena bencana alam, serta bantuanbantuan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang kurang mampu secara ekonomi. Seperti halnya dengan batasan-batasan ilmu sosial lainnya, maka batasan baru tentang pelayanan sosial juga sulit ditemukan. Para ahli memberikan defenisi tentang pelayanan sosial yang saling berbeda-beda, tergantung dari sudut mana dia melahirkan batasan tersebut. Pelayanan sosial terdiri dari dua kata, yaitu 12

4 pelayanan dan sosial. Pelayanan berarti usaha pemberian bantuan atau pertolongan kepada orang lain, baik materi dan non materi, agar orang itu dapat mengatasi masalahnya sendiri. Dapat disimpulkan dari batasan tersebut bahwa pelayanan bukan hanya pemberian bantuan berupa uang, makanan, sandang, perumahan dan lain-lain yang bersifat materi melainkan juga bersifat non materi seperti bimbingan. Sedangkan sosial berarti kawan, yaitu : 1) suatu badan umum kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat, 2) suatu petunjuk kearah usaha-usaha menolong orang miskin dan sengsara. (Soetarso, 1977: 78) Lebih lanjut Suparlan dan kawan-kawan mengatakan bahwa pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi bertujuan membantu para anggota masyarakat saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan lingkungan sosialnya. (Suparlan, 1983: 93) Selanjutnya Syarif Muhidin (1981: 68) memberikan defenisi pelayanan sosial dalam arti luas dan sempit, yaitu: 1. Pelayanan dalam arti luas adalah pelayanan yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan sebagainya. 2. Pelayanan dalam arti sempit adalah pelayanan sosial yang mencakup pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung, seperti pelayanan sosial bagi anak-anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna susila, dan sebagainya. Alfred J. Khan dalam Sumarno Nugroho (1987: 72), mengemukakan pendapatnya tentang pelayanan sosial sebagai berikut: pelayanan sosial terdiri dari program-program yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk 13

5 menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan dan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat, serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan fungsifungsinya. Untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran. II.2.2 Klasifikasi Pelayanan Sosial Pelayanan sosial sebagai suatu kegiatan yang terorganisasi bertujuan untuk membantu tercapainya penyesuaian timbal balik antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Klasifikasi pelayanan sosial dikemukakan oleh Alfred J. Khan dengan berdasarkan pada fungsinya sebagai berikut, yaitu : 1. Pelayanan sosial untuk tujuan sosialisasi dan pengembangan Tujuan kegiatan ini adalah sosialisasi, menanamkan pemahaman akan tujuan dan motivasi, serta meningkatkan mutu perkembangan kepribadian. 2. Pelayanan sosial untuk tujuan penyembuhan, pemberian bantuan, rehabilitasi dan perlindungan sosial Pelayanan ini dapat berupa bantuan singkat, intensif dan pribadi sifatnya dengan program-program perbaikan situasi lingkungan sosial, antar orang atau unsur-unsur kepribadiannya juga termasuk pemulihan kemampuan pelaksanaan peranan-peranan sosial individu. 14

6 3. Pelayanan sosial untuk membantu orang menjangkau dan menggunakan pelayanan sosial yang sudah ada dan pemberian informasi dan nasihat. Pelayanan sosial yang disusun dengan baik dan disampaikan dengan efektif akan dapat memenuhi kebutuhan dan bahkan menciptakan kepuasan. Pelayanan sosial yang dilaksanakan secara luas dan mempunyai karakter fundamental akan dapat memperluas perubahan sosial dan meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat. II.2.3 Program-program pelayanan sosial Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi kesejahteraan sosial. Pelayanan-pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan, langsung dan terorganisasi, yang bertujuan membantu individu, kelompok dan lingkungan sosial dalam upaya mencapai saling penyesuaian. Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut : 1. Pelayanan akses : mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia. 2. Pelayanan terapi : mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan 15

7 kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia. 3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin, 1989: 50). II.2.4 Standard Pelayanan Sosial Kata standard yang digunakan disini dapat berarti : a. suatu norma bagi pelayanan sosial b. suatu bentuk norma atau peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk digunakan sebagai pedoman. Adapun jenis standard pelayanan sosial itu adalah: 1. Standard Minimum Standard ini digunakan kalau pemerintah menginginkan penentuan persyaratan wajib untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan sosial. Badan-badan sosial didorong untuk melampaui standard minimum ini. 2. Standard Maksimum Standard ini merupakan sasaran pencapaian mutu pelayanan tertinggi yang ditentukan oleh pemerintah selama jangka waktu tertentu. Standard maksimum ini dapat digunakan dalam perencanaan kesejahteraan sosial jangka panjang. 3. Standard Realistis Standard ini lebih banyak berfungsi sebagai pedoman dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan memaksa. Tujuan utama standard ini adalah mendorong badan-badan sosial untuk meningkatkan pelayanannya. 16

8 Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang saling menunjang dan saling melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan pelayanan diluar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan : 1. Bangunan dan fasilitas lingkungannya Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas bangunan. Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun. 2. Peralatan Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama. 3. Pelayanan Operasional Mencakup hal-hal sebagai berikut : - Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah belah dan lain-lain) - Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian) - Kesehatan dan kebersihan - Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang 4. Pelayanan Profesional Mencakup hal-hal sebagai berikut : 17

9 - Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh) - Pekerja sosial dan pelayanan profesional lain yang terkait (jumlah dan tugas-tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dan sebagainya). - Pelayanan pendidikan - Latihan kerja - Pelayanan bimbingan lanjut 5. Tenaga Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan, kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya. 6. Administrasi Mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan, peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya. II.3 Prostitusi/ Pelacuran dan Penyebabnya Prostitusi berasal dari kata prostituere (bahasa latin) yang berarti menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum. Di Indonesia istilah ini dikenal dengan pelacuran yang pada umumnya dirumuskan demikian: Pelacuran dapat diartikan sebagai penyerahan badan wanita dengan pembayaran, kepada orang laki-laki guna pemuasan nafsu sexuil orang-orang itu. 18

10 Adapun bentuk dan polanya bermacam-macam, ada yang langsung tersedia di tempat-tempat (di rumah-rumah), yang dinamakan bordil dan lokalisasi. Biasanya pelacur-pelacur yang berada di tempat tersebut dipelihara oleh seseorang yang dinamakan Germo, dan oleh si germo dia diatur dan harus menurut kehendak si germo, bahkan menurut penelitian-penelitian sebagian besar hasil WTS yang bersangkutan diambil oleh sang germo. Ada pula pelacur-pelacur yang hanya melayani panggilan-panggilan untuk diajak ke suatu tempat tertentu seperti di hotel-hotel, pesanggrahan atau rumahrumah tertentu, pelacur ini dinamakan call girl (wanita panggilan). Call girl ini jaring-jaringnya juga cukup rapi hingga agak sulit diketahui, biasanya ada perantara-perantaranya yang umumnya dari kalangan tukang becak, supir taxi dan lain-lain. Yang paling menyolok adalah apa yang dinamakan pelacuran jalanan dimana para WTS berkeliaran di pojok-pojok jalan secara menyolok sekali, seolah-olah menjajakan diri secara terang-terangan. Biasanya mereka dibawabawa oleh yang menghendakinya. Ada juga yang mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti : a. pelacuran kelas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan) b. pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersihan dan pelayanannya baik c. pelacuran kelas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri (terselubung tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal. 19

11 Pada saat ini bentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapat dikatakan bertambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung) dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, misalnya terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan bersembunyi di tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar. Semakin unik bentuk-bentuk pelacuran semakin sulit pula pelacuran ditanggulangi apalagi dilenyapkan. II.3.1 Pengertian 1. Tuna susila adalah seorang wanita, pria dan waria (wanita pria) yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan uang, materi dan/ atau jasa. 2. Wanita tuna susila (WTS) adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi, dan/atau jasa. II.3.2 Faktor Penyebab Prostitusi/Pelacuran Masalah WTS atau pelacuran sudah terjadi sejak dulu seiring dengan perjalanan perilaku manusia, (dalam simandjuntak,1981) dikemukakan beberapa teori kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, Taft mengatakan crime is a product of culture yaitu benturan budaya atau norma dimana individu mengalami kegoncangan jiwa akan melahirkan kejahatan. Kemudian Sutherland dengan teori learning mengidentifikasikan bahwa seseorang menjadi jahat karena pergaulan yang kurang baik pada masa lalu. Dari teori ini lahir pemikiran bahwa 20

12 WTS sebagian besar berasal dari pergaulan kurang baik, keluarga yang tidak mampu mendidik, kekurangan atau kehilangan cinta kasih. Pelacuran timbul dikarenakan berbagai hal yang komplek, menurut hasil penelitian (dalam Suyanto,2001: 111) Rowbothon (1973) menyebutkan bahwa unsur utama pelacuran adalah faktor ekonomi, masalah WTS tidak lepas dari pengertian pelacuran sebagai gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri dengan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, jadi unsur essensial dalam pelacuran adalah motif ekonomi. Kemudian Saptari (1997) secara garis besar menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur. Pertama, karena keadaan ekonomi dan kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan pelacur atau WTS. Kedua, karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti pentingnya keperawanan, sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan oleh nilai yaitu sebagai pelacur. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan seperti yang sering terjadi di lokasi, WTS sengaja dijerat utang oleh germo sebagai pengikat dan terpaksa melacurkan diri. Namun demikian, banyak ditemui kasus wanita melacurkan diri tidak semata-mata motif ekonomi. Di luar muatan ekonomi tersebut, pelacuran sesungguhnya adalah ekspresi dari hegomoni kultural pria atas kaum perempuan dan terpaksa atau dipaksa masuk kedalam pelacuran oleh laki-laki yang menggunakan beragam sarana atau sekedar janji janji berselubung cinta. 21

13 II.3.3 Prostitusi/Pelacuran sebagai masalah sosial Prostitusi atau pelacuran merupakan masalah sosial yang besar pengaruhnya bagi perkembangan moral. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia. Pelacuran sebagai masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi dari sejarah kehidupan manusia sampai sekarang, dan selalu ada sampai setiap tingkatan peradaban, perlu di tanggulangi dengan kesungguhan. Di banyak negara pelacuran dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga dianggap sebagai perbuatan hina oleh setiap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya masyarakat manusia pertama hingga dunia akan kiamat nanti mata pencaharian pelacuran akan tetap ada, sukar bahkan hampir tidak mungkin diberantas dari muka bumi ini selama masih ada nafsu-nafsu seks, nafsu yang lepas kendali. II.3.4 Akibat-akibat Pelacuran Pelacuran menimbulkan berbagai masalah, yaitu menyangkut aspek medis, sosial ekonomi, dan moril. 1. Aspek medis Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pelacuran dapat mengakibatkan timbulnya penyakit kelamin seperti syphilis, gonorchea bahkan HIV/AIDS. Penularan penyakit kelamin akibat adanya WTS tersebut pengaruhnya sangat luas, yaitu tidak hanya menyerang laki-laki dewasa tetapi bisa pada istri dan anak-anak bahkan menimbulkan abortus ataupun cacat jasmani dan rohani. 22

14 2. Aspek sosial ekonomi Pengaruh adanya WTS pada aspek sosial ekonomi sangat besar, karena bisa melumpuhkan, menghancurkan atau merusak potensi bangsa, bahkan menurut Loothorp dalam buku The rising tide of colour mensinyalir bahwa dengan adanya WTS timbul gejala-gejala lapisan terbawah di masyarakat tidak dapat ikut serta dalam kemajuan, mereka dengan sendirinya akan mempunyai nasib yang sangat jelek sehingga mempengaruhi tujuan masyarakat dalam mempertahankan nilai sosial seperti kerja sama atau kekompakan dan partisipasi pembangunan menjadi rusak (Simandjuntak.B, 1981). Selain pada aspek sosial, dampak adanya WTS menjadi beban ekonomi finansial, hal ini karena banyaknya penyakit akibat pelacuran seperti tersebut diatas membebani keuangan negara, dimana dengan adanya berbagai penyakit tersebut pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang atau penyediaan obat untuk mengatasi penyakit maupun kegiatan atau upaya-upaya seperti membangun sebuah panti untuk rehabilitasi dan mencegah meluasnya permasalahan dan gejala-gejala lain yang berkaitan dengan dampak pelacuran. 3. Aspek Moril Wanita tuna susila ataupun siapa saja yang melacurkan diri telah dicap (mendapat sterotipe) sebagai sosok yang tidak memiliki susila dan tanggung jawab. Oleh karena itu, WTS sudah dikategorikan tidak mempunyai moril, salah satu contoh yaitu dari sikap persetubuhan dalam pelacuran itu sendiri sangat didominasi dorongan seksual dan mengabaikan perpaduan jiwa yang didasari kasih sayang, dimana WTS 23

15 merupakan objek pemuas seks laki-laki. Hal ini merupakan awal lahirnya demoralisasi atau mengesampingkan norma (mengabaikan value system) masyarakat. II.4 Sistem Pembinaan di Panti sebagai Pelayanan Sosial Panti sebagai lembaga sosial merupakan tempat dimana terdapat kebutuhan yang beraneka ragam dari para penghuninya. Kebutuhan ini mempunyai konsekuensi adanya tanggung jawab panti untuk memenuhi kebutuhan itu. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah melalui panti. Panti artinya tempat, sarana atau rumah, sedangkan pelayanan adalah usaha pemberian bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non materi. Penyantunan WTS dalam sistem perpantian berlangsung selama setengah tahun dengan penjadwalan kegiatan sebagai berikut : - tahap awal klien sudah diterima di panti - tahap rehabilitasi sosial berupa kegiatan pengajaran pendidikan, bimbingan sosial dan mental, latihan keterampilan. Tahap ini dilaksanakan selama 2 bulan lamanya - tahap resosialisasi/persiapan penyaluran yaitu pemantapan bimbingan sosial dan mental serta latihan keterampilan - tahap bimbingan lanjut. Jadi pelayanan panti bentuk pelayanan dengan mempergunakan panti sebagai sarana dalam usaha memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada kliennya sehingga mereka dapat mengatasi masalahnya. Dengan demikian mereka dapat berperanan sosial dengan sepenuhnya. Sehubungan dengan itu, panti 24

16 berfungsi untuk pemulihan fungsi sosial yang terganggu, pengadaan sumbersumber dan pencegahan terhadap disfungsi sosial sesuai dengan hakekat pembangunan sosial yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia maka hakekat pelayanan panti menyangkut aspek kehidupan dan penghidupan penghuninya serta pada hakekatnya pelayanan itu bersifat kuratif, rehabitatif, dan developmental. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa panti merupakan suatu tempat yang berfungsi untuk memberikan santunan/ rehabilitasi kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial agar dapat memerankan fungsi sosial mereka secara wajar dan memadai sesuai dengan harkat dan martabat manusia didalam tata kehidupan normal. II.5 Kerangka Pemikiran Prostitusi atau Pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang kompleks, mengingat prostitusi merupakan peradaban yang termasuk tertua di dunia dan hingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Banyak hal yang melatarbelakangi wanita menjadi pelacur/ WTS antara lain karena faktor ekonomi, psikologis, kelonggaran kultur masyarakat di sekitar dan faktor lainnya. Pelacuran atau tindak susila ini jelas menimbulkan keresahan serta kegoncangan di dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pelacuran merupakan penghambat dalam proses pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu diperlukan penanganan masalah WTS atau pelacuran oleh pemerintah, dimana salah satu 25

17 fungsi yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan usaha rehabilitasi, untuk mempersiapkan mereka agar dapat secara utuh kembali ke masyarakat. Di Sumatera Utara satu-satunya lembaga sosial yang secara khusus menangani pembinaan terhadap klien/ wanita tuna susila adalah Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa di Berastagi. PSKW Parawasa adalah Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Sosial Provinsi yang memberikan rehabilitasi terhadap WTS dan menerapkan sistem perpantian yaitu pelayanan dalam suatu proses penyantunan dan pengentasan yang meliputi : tahapan rehabilitasi, resosialisasi dan bimbingan lanjut. Proses ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan penghidupan para penyandang tuna susila yang diliputi oleh pemulihan kembali rasa harga diri, tanggung jawab sosial, serta kemauan dan berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat. 26

18 Bagan 1 Kerangka Pemikiran Secara Sistematis Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Parawasa Pelayanan : a. Program Pendidikan b. Bimbingan sosial c. Bimbingan mental d. Bimbingan keterampilan Wanita Binaan Sosial Perkembangan yang dihasilkan : - memiliki keterampilan - dapat berfungsi sosial dengan baik - kembali kedalam masyarakat secara mandiri 27

19 II.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional II.6.1 Defenisi Konsep Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. (Singarimbun, 1989: 33) Untuk memfokuskan penelitian ini peneliti memberikan batasan konsep yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu : 1. Efektivitas adalah Suatu pencapaian tujuan secara maksimal dengan sarana yang dimiliki melalui program-program tertentu. 2. Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya. 3. Wanita Tuna Susila adalah seorang wanita yang mengadakan hubungan seksual dengan seorang pria atau lebih diluar pernikahan dengan sengaja atau berpengharapan mendapat upah sebagai balas jasa, sehingga menjadi kebiasaan. Dalam hal ini sama dengan istilah pelacur, penjaja seks, kupukupu malam, balon, lonte, cabo, sundal, pecun. 4. Panti Sosial Karya Wanita Parawasa adalah unit pelaksana teknis dari kantor wilayah Dinas Sosial di Sumatera Utara yang bertanggung jawab langsung dibawah Departemen Sosial, yang memberikan rehabilitasi dan pelayanan sosial terhadap WTS. 28

20 II.6.2 Defenisi Operasional Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel. (Singarimbun, 1989: 63) Untuk melihat variabel-variabel dan indikator-indikator dalam penelitian ini dapat dilihat dari jenis pelayanan yang diberikan, yaitu sebagai berikut : 1. Program pelayanan PSKW Parawasa yang diukur meliputi : a. Bimbingan sosial adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial serta memulihkan kemauan dan kemampuan untuk penyesuaian dirinya secara normatif. Antara lain: berupa kegiatan ceramah hukum dan moral, simulasi dan ceramah P4, kadarkum (kelompok sadar hukum). b. Bimbingan mental adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk memberikan kemampuan pemeliharaan kondisi sehat fisik, integrasi diri, rasa percaya diri dan disiplin diri. Bimbingan ini berupa snam kesegaran jasmani, kegiatan ceramah keagamaan, diskusi, sholat dan kegiatan lainnya. Bimbingan ini diberikan oleh petugas dari Departemen Agama bekerjasama dengan petugas panti yang diberikan satu kali dalam sehari. c. Bimbingan Keterampilan adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk memberi kemampuan kepada penerima pelayanan agar dapat menguasai salah satu atau lebih jenis keterampilan usaha sebagai bekal setelah keluar dari panti. Bimbingan ini berupa latihan keterampilan menjahit, menyulam, memasak, pertanaman atau bertani 29

21 dan tata rias yang diberikan oleh petugas dari Departemen Perindustrian bekerjasama dengan petugas panti. 2. Sarana dan Prasarana atau fasilitas yang tersedia : a. Gedung dan bangunan-bangunan b. Tempat ibadah c. Kegiatan olah raga 3. Kesejahteraan dan kemandirian klien/ wanita binaan, meliputi : a. Dapat Berfungsi Sosial b. Sudah memiliki keterampilan dan terampil 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Ensiklopedia Umum (1977 : 129), disebutkan bahwa efektivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Ensiklopedia Umum (1977 : 129), disebutkan bahwa efektivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Efektivitas Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Menurut Barnard, bahwa efektivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun kebutuhan sosial. Manusia

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) PARAWASA BERASTAGI

EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) PARAWASA BERASTAGI EFEKTIVITAS PELAYANAN PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) PARAWASA BERASTAGI SKRIPSI Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik OLEH: RANDI MARANATHA

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON

PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON OLEH: WIDYA SUCI RAMADHANI 1, SRI SULASTRI 2, H. SONI AKHMAD NURHAQIM 3 1. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di daerah Yogyakarta cukup memprihatinkan dan tidak terlepas dari permasalahan kekerasan terhadap perempuan.

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N : WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DAN PERBUATAN ASUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang a. bahwa pelacuran dan perbuatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prostitusi merupakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya, maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimanapun.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Menyadarkan para wanita tuna susila tentang bahaya HIV/AIDS itu perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Hal ini penting karena para wanita tuna susila itu dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.43, 2015 KEMENSOS. Rehabilitasi Sosial. Profesi. Pekerjaan Sosial. Standar. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK 32 BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak menurut UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang hidup bersama-sama di masyarakat dan berinteraksi satu sama lain karena kepentingan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia akan bermanfaat bagi manusia tersebut. Kemajuan dunia informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia akan bermanfaat bagi manusia tersebut. Kemajuan dunia informasi dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia yang sangat berkembang dan maju saat ini, membawa manusia untuk selalu mengikuti perkembangan dunia. Untuk mengikuti perkembangan dunia manusia harus mengetahui

Lebih terperinci

A. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan.

A. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan. A. PENDAHULUAN a. Latar Balakang Pelaksanaan pembangunan di Indonesia sangat diperlukan dari semua pihak, tidak juga dalam investasi yang berjumlah besar tapi juga di perlukan ketersediaan sumber daya

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan. Rumah Singgah Anak Mandiri

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan. Rumah Singgah Anak Mandiri BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Rumah Singgah Anak Mandiri A. Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Provinsi merupakan unsur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan

Lebih terperinci

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS LINGKUNGAN PONDOK SOSIAL KEPUTIH PADA DINAS SOSIAL

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN BAGI LANJUT USIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN BIMBINGAN LANJUT DAN RUJUKAN BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL PSIKOTIK DI PANTI SOSIAL BINA LARAS HARAPAN SENTOSA 3 CEGER

PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL PSIKOTIK DI PANTI SOSIAL BINA LARAS HARAPAN SENTOSA 3 CEGER PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL PSIKOTIK DI PANTI SOSIAL BINA LARAS HARAPAN SENTOSA 3 CEGER Jl. Budi Murni III No. 66 Rt. 008/04 Ceger Cipayung Jakarta Timur Telp. 8445016 Fax. 8445016 TUGAS POKOK O DAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA PALANGKA RAYA WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, TUNA SUSILA DAN ANAK JALANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

I. UMUM. menjadi...

I. UMUM. menjadi... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI I. UMUM Anak merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR LEMBAGA PENYELENGGARA REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIAL

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR LEMBAGA PENYELENGGARA REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIAL PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR LEMBAGA PENYELENGGARA REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR

PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR Oleh: Chenia Ilma Kirana, Hery Wibowo, & Santoso Tri Raharjo Email: cheniaakirana@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh : WENY KUSUMASTUTI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pekerja Seks Komersial Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi (Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Anak terlantar merupakan salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial yang eksis hampir di semua masyarakat. Terdapat berbagai masalah sosial yang menjadi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL WANITA TUNA SUSILA (WTS) UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PARAWASA PEJOREKEN DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA DI BERASTAGI

EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL WANITA TUNA SUSILA (WTS) UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PARAWASA PEJOREKEN DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA DI BERASTAGI EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL WANITA TUNA SUSILA (WTS) UNIT PELAKSANA TEKNIS (UPT) PARAWASA PEJOREKEN DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA DI BERASTAGI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau

BAB I PENDAHULUAN. Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia ditakdirkan oleh sang pencipta memiliki naluri dan hasrat atau keinginan dalam memenuhi kelangsungan hidupnya. Manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain,

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 18 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN REHABILITASI EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL WALIKOTA SURAKARTA,

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.744, 2017 KEMENSOS. Standar Rehabilitasi Sosial. Pencabutan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kaum marjinal digambarkan sebagai suatu kelompok sosial tertentu yang keberadaannya dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memiliki status sosial paling rendah dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa pelacuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PANTI ASUHAN DAN KETELANTARAN ANAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PANTI ASUHAN DAN KETELANTARAN ANAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PANTI ASUHAN DAN KETELANTARAN ANAK 2.1. Tinjauan tentang Panti Asuhan 2.1.1. Pengertian Panti Asuhan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan panti asuhan sebagai rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA KARYA YOGYAKARTA. Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Tehnis Dinas

BAB II. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA KARYA YOGYAKARTA. Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Tehnis Dinas BAB II. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA KARYA YOGYAKARTA A. Pengertian dan Domisilih Lembaga Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Tehnis Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pengamatan di lapangan mengenai rehabilitasi

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pengamatan di lapangan mengenai rehabilitasi 123 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pengamatan di lapangan mengenai rehabilitasi sosial terhadap klien di Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi, maka penulis dapat memberikan kesimpulan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran Pendidikan bertanggungjawab mengembangkan kepribadian siswa sebagai upaya menghasilkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyandang cacat merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimaksud disini adalah mereka yang memiliki peran dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimaksud disini adalah mereka yang memiliki peran dan tanggung 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, berkembangnya suatu lembaga tergantung pada sumber daya manusia yang memiliki produktivitas yang tinggi dan berkualitas. Sumber daya yang dimaksud

Lebih terperinci

13 PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK ASUH DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK

13 PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK ASUH DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK 13 PEMENUHAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK ASUH DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK Oleh: Sella Khoirunnisa, Ishartono & Risna Resnawaty ABSTRAK Pendidikan pada dasarnya merupakan hak dari setiap anak tanpa terkecuali.

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Pancasila

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Soekanto (1982: 243) berpendapat bahwa peranan adalah. seseorang dalam suatu masyarakat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Soekanto (1982: 243) berpendapat bahwa peranan adalah. seseorang dalam suatu masyarakat. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Peranan 2.1.1 Pengertian Peranan Menurut Soekanto (1982: 243) berpendapat bahwa peranan adalah suatu aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang

Lebih terperinci

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS Pada bab IV ini penulis akan menguraikan tentang refleksi teologis yang didapat setelah penulis memaparkan teori-teori mengenai makna hidup yang dipakai dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

Panti Asuhan Anak Terlantar di Solo BAB I PENDAHULUAN

Panti Asuhan Anak Terlantar di Solo BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang eksistensi proyek Bangsa Indonesia yang mempunyai tujuan untuk menyejahterakan rakyatnya seperti yang tercantum dalam UUD 1945, disebutkan bahwa Dan perjuangan pergerakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG UTARA, Menimbang Mengingat : : a. bahwa pelacuran adalah merupakan

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a.

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN : 2016 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO,

Lebih terperinci

PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT Copyright (C) 2000 BPHN PP 43/1998, UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT Menimbang: *35751 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 43 TAHUN 1998 (43/1998) TENTANG UPAYA PENINGKATAN

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA A. PERENCANAAN STRATEGIS DAN RENCANA KINERJA Rencana Strategis Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat secara lengkap termuat dalam Rencana Strategis (Renstra) yang merupakan suatu

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG LARANGAN PERBUATAN ASUSILA, PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM WILAYAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menolong dalam menghadapi kesukaran. c). menentramkan batin. 1 Realitanya,

BAB I PENDAHULUAN. menolong dalam menghadapi kesukaran. c). menentramkan batin. 1 Realitanya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama dalam kehidupan manusia mempunyai pengaruh yang sangat besar. Zakiah Daradjat menyebutkan ada tiga fungsi agama terhadap mereka yang meyakini kebenarannya, yaitu:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM DAERAH KABUPATEN WAY KANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM DAERAH KABUPATEN WAY KANAN Page 1 of 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM DAERAH KABUPATEN WAY KANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG PENJELASAN ATAS UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG PENJELASAN ATAS UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG PENJELASAN ATAS UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan

I. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK merupakan fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akan

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan masyarakat dunia dan Indonesia dewasa ini dalam masa transisi, yaitu manusia Indonesia dalam proses perubahan memasuki dunia yang semakin menyatu, dinamik,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL I. UMUM Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1998 TENTANG UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENYANDANG CACAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyandang cacat merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulia.manusia diciptakan sebaik-baik bentuk dan diberikan perlengkapan

BAB I PENDAHULUAN. mulia.manusia diciptakan sebaik-baik bentuk dan diberikan perlengkapan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia.manusia diciptakan sebaik-baik bentuk dan diberikan perlengkapan untuk bertahan hidup seperti otak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelacuran merupakan kegiatan yang melanggar hak asasi warganegara. Hal ini karena semua orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak berdasarkan Pasal 27 Ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah moral merupakan masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju maupun masyarakat yang belum maju. Hal ini

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial

BAB V PENUTUP. A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial Berbagai tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pernah dialami oleh lima orang mantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah mahkluk sosial, di manapun berada selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan aset dan generasi penerus bagi keluarga, masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan aset dan generasi penerus bagi keluarga, masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset dan generasi penerus bagi keluarga, masyarakat maupun suatu bangsa. Bagaimana kondisi anak pada saat ini, sangat menentukan kondisi keluarga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas. disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas. disebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyandang cacat tubuh atau disabilitas tubuh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Sebelumnya istilah Disabilitas mungkin kurang akrab

Lebih terperinci

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LARANGAN MENGGUNAKAN BANGUNAN / TEMPAT UNTUK PERBUATAN ASUSILA SERTA PEMIKATAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN ASUSILA DI KABUPATEN SIAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu meningkatnya pengangguran dan sulitnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda di setiap diri individu. Semuanya berkembang sesuai dengan apa

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda di setiap diri individu. Semuanya berkembang sesuai dengan apa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia merupakan hal yang unik dan memiliki jalan cerita yang berbeda di setiap diri individu. Semuanya berkembang sesuai dengan apa yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup penduduknya (life expectancy). Indonesia sebagai salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup penduduknya (life expectancy). Indonesia sebagai salah satu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dinilai dari angka harapan hidup penduduknya (life expectancy). Indonesia sebagai salah satu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua manusia hidup terikat dalam sebuah jaringan dimana seorang manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat hidup

Lebih terperinci

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL UNTUK MENGURANGI JUMLAH PERNIKAHAN ANAK

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL UNTUK MENGURANGI JUMLAH PERNIKAHAN ANAK BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL UNTUK MENGURANGI JUMLAH PERNIKAHAN ANAK Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang berisi perjanjian-perjanjian yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK (Pekerja Seks Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual secara komersial

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual secara komersial BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan. Pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual secara komersial atas perempuan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan dan merupakan pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa muncul karena menurunnya fungsi mental pada seseorang sehingga implikasi dari penurunan fungsi tersebut ialah orang dengan gangguan jiwa akan bertingkah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sehingga pembangunan tersebut harus mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia termasuk membangun generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pendapat Soewarno yang mengatakan bahwa efektivitas adalah pengukuran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pendapat Soewarno yang mengatakan bahwa efektivitas adalah pengukuran BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. EFEKTIVITAS 2.1.1. Pengertian Efektivitas Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Dengan kata lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI KOTA DENPASAR

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI KOTA DENPASAR 20 BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DI KOTA DENPASAR 2.1 Pekerja Anak 2.1.1 Pengertian anak Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria atau banci adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan berpenampilan seperti wanita, (Junaidi, 2012: 43). Waria adalah gabungan dari wanita-pria

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan penelitian secara observasi partisipasi pasif yaitu. Faktor Lingkungan Keluarga

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan penelitian secara observasi partisipasi pasif yaitu. Faktor Lingkungan Keluarga BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian secara observasi partisipasi pasif yaitu 1. Dari berbagai kasus yang ditemui penulis dilapangan, penulis menyimpulkan faktor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial, yang berarti saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tersebut

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS I. UMUM Tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana dituangkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Panti Sosial Asuhan Anak adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Panti Sosial Asuhan Anak adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Panti Sosial Asuhan Anak adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial pada

Lebih terperinci

BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN DAN ANAK TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA MANUSIA MAKHLUK BUDAYA: HAKEKAT MANUSIA Manusia Makhluk ciptaan Tuhan, terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai kesatuan utuh. Manusia merupakan makhluk

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI SETTING PENELITIAN

BAB IV DESKRIPSI SETTING PENELITIAN BAB IV DESKRIPSI SETTING PENELITIAN A. Gambaran Umum Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Gelandangan dan pengemis (gepeng) dapat tumbuh subur, seirama dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Fenomena

Lebih terperinci