BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
|
|
- Hartono Susman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kaum marjinal digambarkan sebagai suatu kelompok sosial tertentu yang keberadaannya dianggap sebagai kelompok masyarakat yang memiliki status sosial paling rendah dan terpinggirkan. Salah satu jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial di Teluk Bintuni dan Kota Yogyakarta adalah perempuan pekerja seks atau disebut juga tuna susila. Menurut Permensos No. 08 tahun 2012, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Kaum marginal terkondisikan untuk terlibat dalam strategi pertahanan diri untuk bisa tetap bertahan hidup. Dinas Sosial Teluk Bintuni dan Dinas Sosial Kota Yogyakarta, tahun 2011 menyebutkan bahwa perempuan Distrik Bintuni dan Kota Yogyakarta memiliki tingkat kerawanan sosial ekonomi yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Ketidakberdayaan ekonomi, latar belakang budaya, rendahnya daya saing pekerja perempuan, sempitnya lapangan pekerjaan dan terbatasnya akses terhadap kebutuhan dasar membuat banyak dari mereka terkondisikan dalam berbagai ragam aktivitas ekonomi bawah tanah yang jarang tersentuh atau bahakan sering terlupakan dalam program pemerintah daerah. Berbekal keterbatasan pendidikan, keterampilan dan dukungan finansial, simpul-simpul ekonomi yang ramai oleh aktifitas manusia merupakan tempat yang sesuai untuk mengais rejeki guna mempertahankan kehidupannya. Salah satu persoalan yang menarik dari pembahasan kaum marjinal sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial yang kompleks di Indonesia adalah strategi kelangsungan hidup perempuan pekerja seks di wilayah-wilayah Kota yang sedang berkembang seperti Teluk Bintuni dan Yogyakarta. Perempuan pekerja seks dipandang sebagai makhluk yang menyandang stereotip negatif dan 1
2 seakan memiliki dua dunia yang bertolak belakang atau hidup dalam kepalsuan. Koentjoro (1996) mengemukakan bahwa Perempuan pekerja seks merasa tidak aman pada statusnya sebagai Perempuan pekerja seks dan merasa khawatir apabila statusnya diketahui masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu strategi mereka di dalam menjaga interaksi sosial dimasyarakat. Sebelum era reformasi tahun 1998, lokasi-lokasi prostitusi banyak dijumpai di berbagai Kota di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Kota Yogyakarta. Selain itu, masuknya industrialisasi disuatu wilayah juga menyebabkan semakin banyaknya kasus prostitusi yang terjadi, seperti halnya di Bintuni. Prostitusi di Kota Yogyakarta ataupun di Kota Bintuni tumbuh sebagai bisnis yang tidak pernah sepi dari hirukpikuk konsumen. Maraknya bisnis prostitusi di kota-kota besar cenderung merupakan akibat dari perwajahan kemiskinan Kota. Namun demikian, bisnis prostitusi juga ternyata banyak ditemukan diwilayah-wilayah desa, seperti di Bintuni. Kegiatan prostitusi banyak ditemukan di sekitaran pelabuhan, pasar sentral Bintuni ataupun dekat dengan lokasi-lokasi tambang. Praktik prostitusi yang terjadi diwilayah perdesaan cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terselubung, hal ini berbeda dengan yang ditemukan pada wilayah transaksi seksual di daerah perkotaan yang cenderung terlokalisasi pada suatu tempat. Dalam dinamika pemerintahan, wilayah transaksi seksual ini sangat membantu pemerintah dalam upaya pemantauan kesehatan dan keamanan. Kondisi ini dapat membantu program-program yang dilakukan pemerintah agar dapat secara mudah terkoordinasi dalam suatu area dibanding apabila keberadaan mereka terpencar secara sporadis. Berkembangnya waktu, memasuki era reformasi, beragam alasan membuat pemerintah menutup beberapa wilayah transaksi seksual, salah satu alasannya adalah karena adanya keresahan masyarakat setempat yang menekan pemerintah untuk menutupnya. Walaupun ada tekanan dari masyarakat, namun tidak sedikit juga wilayah transaksi seksual yang masih tetap beroperasi seperti halnya wilayah transaksi seksual Pasar Kembang di Kota Yogyakarta (Hull dkk, 1997). 2
3 Interaksi ruang dan karakteristik wilayah kerja akan mempengaruhi modal sosial seseorang di dalam merespon dinamika kehidupan. Pendekatan keruangan digunakan untuk memperhatikan faktor letak, distribusi (persebaran), interelasi serta interaksi yang membentuk modal sosial perempuan pekerja seks. Modal sosial perempuan pekerja seks disetiap wilayah transaksi seksual tersebut akan mempengaruhi strategi kelangsungan hidup mereka di dalam mengantisipasi benturan sosial yang terjadi dengan masyarakat, begitu juga dengan upaya pertahanan diri mereka untuk tetap bertahan hidup. Kementerian sosial Indonesia bersama Dinas Sosial Provinsi, membuat suatu kebijakan kesejahteraan sosial dimana salah satu sasaran dari program ini adalah kelompok tuna susila atau perempuan pekerja seks. Program ini bertujuan untuk meningkatkan status sosial seseorang yang berlandaskan pada kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan kesejahteraan tersebut menurut Undang-Undang No. 11 tahun 2009 mencakup 4 hal pokok yaitu: Rehabilitasi sosial; Jaminan social Pemberdayaan social Perlindungan sosial. Jumlah pekerja seks di Bintuni ataupun Kota Yogyakarta selalu mengalami fluktuasi. Pekerja seks di wilayah pedesaan seperti Bintuni cenderung jumlahnya sangat fluktuatif dan pendataan terkait jumlahnya juga terbatas. Data Dinas Sosial Budaya dan Pariwisata Bintuni menyebutkan bahwa kurang lebih ada 100 orang pekerja seks di Bintuni. Berbeda dengan di Yogyakarta, jumlah pekerja seks di wilayah Kota cenderung sudah memiliki manajemen pendataan yang cukup baik, baik yang dilakukan oleh komunitas pekerja seks, pemerintah ataupun LSM terkait. Berdasarkan data jumlah dan presentase jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial di Provinsi D.I Yogyakarta dari tahun , jumlah tuna susila atau perempuan pekerja seks di Provinsi D.I Yogyakarta berdasarkan Kab/Kota di DIY adalah sebagai berikut: 3
4 Tabel 1.1 Jumlah Perempuan Pekerja Seks Berdasarkan Kab/Kota Di D.I Yogyakarta Tahun Jumlah Perempuan Pekerja Seks DIY Kab/Kota Berdasarkan Kab/Kota Bantul Yogyakarta Kulonprogo Gunungkidul Sleman Jumlah (Sumber: Data PMKS Dinas Sosial DIY yang telah diolah) Tabel 1.1 diatas menunjukkan jumlah perempuan pekerja seks di Provinsi D.I Yogyakarta dari tahun Pada rentang tahun 2008 hingga 2009, tercatat bahwa jumlah terbanyak perempuan pekerja seks adalah ditahun tersebut. Namun demikian, data tersebut diatas belum bisa merepresentaskan kondisi perempuan pekerja seks sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena data dari Dinas Sosial Yogyakarta hanya mencatat keberadaan perempuan pekerja seks yang berasal dari D.I Yogyakarta. Sehingga, sebenarnya jumlah perempuan pekerja seks secara aktual diperkirakan lebih banyak jumlahnya dibanding data diatas. Banyaknya jumlah perempuan pekerja seks di Bintuni dan Kota Yogyakarta yang berasal dari luar daerah menuntut adanya intervensi dari pemerintah dalam hal pemberdayaan yang tidak hanya berbasis paradigma ekonomi tapi juga melibatkan paradigma sosial dimana di dalamnya dimensi modal sosial dilibatkan. Berdasarkan kondisi tersebut, serta minimnya riset mengenai upaya strategi kelangsungan hidup perempuan pekerja seks yang didasarkan pada modal sosial yang ia bangun, menjadi menarik untuk dikaji. 4
5 1.2 Rumusan Masalah Keberadaan kegiatan prostitusi di Bintuni dan Kota Yogyakarta sudah memasuki pada era masyarakat global. Perspektif yang berkembang saat ini tidak hanya sebatas tentang hitungan matematis ekonomi, tapi juga terkait dimensi sosial dan budaya yang tumbuh dimasyarakat. Perspektif ini yang pada akhirnya menimbulkan masalah sosial multidimensional baru karena menciptakan suatu bentuk prostitusi dengan beragam label di dalamnya. Perempuan pekerja seks juga beresiko mengalami beragam kerentanan sosial. Adanya kerentanan sosial tersebut menjadikan arena prostitusi masuk kedalam ranah permasalahan sosial budaya yang penangannanya tidak bisa hanya direspon atas dasar permasalahan ekonomi, namun juga terkait masalah sosiokultural di dalamnya. Modal sosial menjadi sangat penting di dalam suatu keberlangsungan hidup kelompok atau individu di wilayah transaksi seksual. Karena ia bisa beperan di dalam mengikat interaksi antar pekerja seks, menjembatani antar kelompok sosial disuatu komunitas di dalamnya atau bahkan lembaga non pemerintahan dan para pemangku kepentingan yang ada. Setiap wilayah transaksi seksual memiliki latarbelakang sejarah serta latarbelakang pekerja seks yang berbeda. Perbedaan latarbekang ini mampu mempengaruhi pembentukan kadar modal sosial, terutama dilihat dari sisi mobilitas dan komposisi pekerja seks dari variabel umur, status kawin dan latar belakang sosial-ekonomi lainnya. Paradigma dimensi sosial yang dibangun melalui modal sosial yang dimiliki oleh perempuan pekerja seks dapat dijadikan sebagai strategi kelangsungan hidupnya ditengah benturan-benturan sosial yang terjadi. Beragam studi tentang prostitusi, tampaknya belum banyak tulisan ataupun penelitian yang berusaha menjelaskan bagaimana kegitaan prostitusi terus bertahan di suatu wilayah transaksi seksual. Berdasar pada latarbelakang dan rumusan masalah diatas, terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagaimana karakteristik wilayah transaksi seksual dan profil perempuan pekerja seks di Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang, Kota Yogyakarta? 5
6 2. Bagaimana bentuk pemanfaatan modal sosial yang terjadi di wilayah transaksi seksual Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang, Kota Yogyakarta? 1. 3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis karakteristik wilayah transaksi seksual dan profil perempuan pekerja seks di Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang, Kota Yogyakarta. 2. Menganalisis karakteristik bentuk pemanfaatan modal sosial sebagai upaya strategi kelangsungan hidup perempuan pekerja seks di wilayah transaksi seksual Distrik Bintuni, Teluk Bintuni serta Pasar Kembang, Kota Yogyakarta; 1. 4 Manfaat Penelitian Manfaat utama dari penelitian ini adalah dapat dijadikan rujukan bahan formulasi pengambilan kebijakan pemerintah, terkait dengan skema penanganan perempuan pekerja seks di Teluk Bintuni, Papua Barat dan Kota Yogyakarta. Selain itu, dapat pula dijadikan bahan referensi bagi penelitian modal sosial terkait dengan perempuan pekerja seks lainnya, karena penelitian modal sosial pekerja seks masih jarang dilakukan di Indonesia. Wacana terkait modal sosial pekerja seks juga semoga dapat memberi ruang keterbukaan informasi yang di dasarkan pada asas kemanusiaan bagi penanganan perempuan pekerja seks. Para perempuan pekerja seks juga diharapkan dapat memahami bagaimana modal sosial tersebut mampu memperbesar kohesi sosial di lingkungan mereka. 6
BAB I PENDAHULUAN. Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial (PMKS) merupakan seseorang,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial (PMKS) merupakan seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkembang seperti Indonesia, secara berkelanjutan melakukan pembangunan baik fisik maupun mental untuk mencapai tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 88 TAHUN 2011
PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 88 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYEBARLUASAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI
Lebih terperinciPengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya.
Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN Minggu ke 12 Pemberdayaan (empowerment) Power/daya Mampu Mempunyai kuasa membuat orang lain melakukan segala sesuatu yang diinginkan pemilik kekuasaan Makna Pemberdayaan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di daerah Yogyakarta cukup memprihatinkan dan tidak terlepas dari permasalahan kekerasan terhadap perempuan.
Lebih terperinciPERANAN DINAS KESEJAHTERAAN RAKYAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERANCANA DALAM UPAYA PENANGANAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL
PERANAN DINAS KESEJAHTERAAN RAKYAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERANCANA DALAM UPAYA PENANGANAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (Studi di Kecamatan Banjarsari, Surakarta) Usulan Penelitian Untuk Skripsi
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Koeswinarno (2004: 7-8) dalam bukunya Hidup Sebagai. layaknya perempuan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat kita cenderung berpikiran oposisi biner, yaitu hanya mengakui hal-hal yang sama sekali bertentangan, misalnya hitam dan putih, baik dan buruk, kaya dan miskin,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prostitusi merupakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya, maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimanapun.
Lebih terperinci2017, No Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5235); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1167, 2017 KEMENSOS. Standar Nasional SDM Penyelenggara Kesejahteraan Sosial. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR NASIONAL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia menginginkan kehidupan yang baik yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup baik kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun kebutuhan sosial. Manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, Kementerian Pariwisata mempublikasikan bahwa industri
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa tahun terakhir, Kementerian Pariwisata mempublikasikan bahwa industri pariwisata selalu menempati urutan ke-4 atau ke-5 penghasil devisa bagi Negara.
Lebih terperinciJUMLAH PENDUDUK W N I KETERANGAN LAKI-LAKI PEREMPUAN L + P LAKI-LAKI PEREMPUAN L + P
PROVINSI PENDUDUK N0. KABUPATEN/KOTA 1. KOTA YOGYAKARTA 216,396 221,881 438,277 29 22 51 438,328 2. BANTUL 500,911 510,971 1,011,882 16 14 30 1,011,912 3. KULONPROGO 231,984 237,000 468,984 0 0 0 468,984
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami pembangunan fisik dan ekonomi yang berjalan pesat, menjadi suatu kota metropolitan. Namun pada sisi lain, Jakarta juga terkena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia akan bermanfaat bagi manusia tersebut. Kemajuan dunia informasi dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia yang sangat berkembang dan maju saat ini, membawa manusia untuk selalu mengikuti perkembangan dunia. Untuk mengikuti perkembangan dunia manusia harus mengetahui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang memiliki kesejahteraan sosial tinggi. Kesejahteraan sosial merupakan hak setiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki potensi yang besar untuk menjadi negara yang memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas
Lebih terperinciPROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON
PROSES REHABILITASI SOSIAL WANITA TUNA SUSILA DI BALAI REHABILITASI SOSIAL KARYA WANITA (BRSKW) PALIMANAN KABUPATEN CIREBON OLEH: WIDYA SUCI RAMADHANI 1, SRI SULASTRI 2, H. SONI AKHMAD NURHAQIM 3 1. Mahasiswa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak merupakan bagian dari sebuah keluarga yang patut diberi perhatian, kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak senantiasa
Lebih terperinciPOLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN
POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara
Lebih terperinci2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara R
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2075, 2014 KEMENSOS. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Anggaran. Kegiatan. Program. Rencana. Pencabutan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.567, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN SOSIAL. Pendataan. Pengelolaan Data. Penyandang. Masalah Kesejahteraan Sosial. Pencabutan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat kompleks, baik dari segi sebab-sebabnya, prosesnya maupun implikasi sosial yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kemiskinan di daerah perkotaan adalah dampak dari urbanisasi dan kekeliruan dalam menangani ledakan jumlah penduduk. Ketersediaan lapangan kerja yang terbatas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Kemiskinan telah ada sejak lama pada hampir semua peradaban manusia. Pada setiap belahan dunia dapat
Lebih terperinciBAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL
BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Pernikahan anak menjadi salah satu persoalan sosial di Kabupaten Gunungkidul. Meskipun praktik pernikahan anak di Kabupaten Gunungkidul kian menurun di
Lebih terperinci2015, No Peraturan Menteri Sosial tentang Rencana Program, Kegiatan, Anggaran, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan Lingkup Kementerian Sosial
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1913, 2015 KEMENSOS. Anggaran. Dekonsentrasi. Tugas Pembantuan. Rencana Program. Tahun 2016. Pencabutan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2015
Lebih terperinciWalikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
- 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DAN PROGRAM KEMITRAAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELIMPAHAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI DAN PENUGASAN TUGAS PEMBANTUAN KEPADA DINAS SOSIAL DAERAH PROVINSI DAN DINAS SOSIAL DAERAH KABUPATEN/KOTA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai penerus generasi di masa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anakanak merupakan fase dimana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kontra dalam masyarakat. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK merupakan fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akan
Lebih terperinci- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang
Lebih terperincicommit to user BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prostitusi merupakan suatu permasalahan sosial yang sampai saat ini keberadaannya semakin terus berkembang. Praktik prositusi bukanlah menjadi hal yang baru
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PENERAPAN DAN RENCANA PROGRAM PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG SOSIAL GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu atau kelompok sosial. Penyimpangan terhadap norma-norma tersebut
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat memiliki norma yang saling berkaitan dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian individu atau kelompok
Lebih terperinciIV.B.22. Urusan Wajib Sosial
22. URUSAN SOSIAL Perlindungan dan kesejahteraan sosial diperlukan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Meskipun telah banyak dicatat beberapa keberhasilan, beberapa masalah
Lebih terperinciKODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA
KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA MUKADIMAH Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat dalam segala proses perubahan membutuhkan pendekatan dan pentahapan yang
Lebih terperinciIV.B.22. Urusan Wajib Sosial
22. URUSAN SOSIAL UUD 45 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib memberi perlindungan dan jaminan kesejahteraan sosial. Beberapa masalah yang masih perlu mendapat perhatian diantaranya masih rendahnya kualitas
Lebih terperinciVI. KESIMPULAN DAN SARAN
105 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan Penelitian ini memfokuskan kepada upaya untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman terhadap aspek-aspek
Lebih terperinciBAB I. merupakan jenis pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membicarakan pelacuran sama artinya membicarakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya maka selalu menjadi relevan dengan setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.91, 2014 KEMENSOS. Dekonsentrasi. Tugas Pembantuan. Instansi Sosial. Provinsi. Kabupaten/Kota. Pelimpahan Kewenangan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memenuhi tingkat kalangsungan hidup. Menurut World bank (2004), salah
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kemiskinan muncul ketika seseorang atau penduduk yang tidak mampu mencukupi tingkat kebutuhan dan kemakmuran yang dimana itu dianggap sebagai kebutuhan yang minimal
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 76 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 101 TAHUN 2012 TENTANG PENERIMA
Lebih terperinciPROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR
PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI WARIA MANTAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI YAYASAN SRIKANDI SEJATI JAKARTA TIMUR Oleh: Chenia Ilma Kirana, Hery Wibowo, & Santoso Tri Raharjo Email: cheniaakirana@gmail.com ABSTRAK
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan sebagai suatu masalah sosial ekonomi telah merangsang banyak kegiatan penelitian yang dilakukan berbagai pihak seperti para perencana, ilmuwan, dan masyarakat
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran penelitian, di mana kesimpulan diharapkan dapat memberi gambaran menyeluruh tentang temuan dan analisis atas masalah utama penelitian, yakni manajemen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tuntutan masyarakat dalam permasalahan lingkungan dan kesejahteraan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya perusahaan didirikan dengan tujuan untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, serta mencegah dan menekan kerugian seminimal mungkin. Sisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai, seperti makanan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial, karena kemiskinan telah menjadi sebuah persoalan dalam kehidupan manusia. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
Lebih terperinciKebijakan Pengelolaan Data Program Rehabilitasi Sosial
Kebijakan Pengelolaan Data Program Rehabilitasi Sosial Edi Suharto, Phd Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia Disampaikan dalam Kegiatan Bimbingan Teknis Integrasi
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara
BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur
Lebih terperinciTENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,
SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS LINGKUNGAN PONDOK SOSIAL KEPUTIH PADA DINAS SOSIAL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan
Lebih terperinciPemberdayaan Pasien. Dr. Budi Wahyuni, MM,MA PKBI-DIY
Pemberdayaan Pasien Dr. Budi Wahyuni, MM,MA PKBI-DIY Pasien Pemberdayaan Promosi Sehat Komunitas Sekelompok pelaku dalam suatu teritorial terbatas merupakan dasar bagi mereka untuk bekerja bersama dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut oleh masyarakat Internasional sebagai bentuk perbudakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang dinyatakan oleh Aristoteles bahwa manusia yang hidup bersama dalam
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup dan memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan dari orang lain. Oleh karenanya, manusia selalu hidup dalam sebuah kelompok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah
Lebih terperinciTATARAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN ASPEK TINGKAT CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN URUSAN WAJIB DAN URUSAN PILIHAN
TATARAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN ASPEK TINGKAT PENYELENGGARAAN URUSAN WAJIB DAN URUSAN PILIHAN NO URUSAN INDIKATOR KINERJA KUNCI URUSAN WAJIB 1 Pendidikan Pendidikan Luar Biasa (PLB) jenjang SD/MI 1. Jumlah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masa remaja merupakan masa yang membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus. 1 Remaja merupakan individu berusia 10-19 tahun yang mengalami transisi dari masa kanak-kanak
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada Bab II, Bab III, dan Bab IV, maka penulis menarik kesimpulan: 1. Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara
Lebih terperinci2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.744, 2017 KEMENSOS. Standar Rehabilitasi Sosial. Pencabutan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN
Lebih terperinci7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga
Lebih terperinci- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI
- 1 - LAMPIRAN PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2016 TENTANG ROAD MAP REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN SOSIAL TAHUN 2015-2019. BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. MDG dilanjutkan dengan program Sustainable Development Goals (SDGs)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Millenium Development Goals (MDGs) telah menjadi tujuan millenium selama 15 tahun. MDGs berakhir pada tahun 2015. Selanjutnya MDG dilanjutkan dengan program
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan internasional yang lazim disebut dengan Global Governance. Peranan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan Pembangunan nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari perkembangan internasional yang lazim disebut dengan Global Governance. Peranan pemerintah
Lebih terperinciA. PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang handal guna mendukung pembangunan.
A. PENDAHULUAN a. Latar Balakang Pelaksanaan pembangunan di Indonesia sangat diperlukan dari semua pihak, tidak juga dalam investasi yang berjumlah besar tapi juga di perlukan ketersediaan sumber daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam
1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Mereka bersih seperti kertas putih ketika
Lebih terperinciBAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN
BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masalah pelacuran di Indonesia merupakan salah satu masalah sosial yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah pelacuran di Indonesia merupakan salah satu masalah sosial yang semakin kompleks. Sebagaimana pelacuran semakin berkembang dan semakin bertambahnya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukan, sebab pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Meningkatnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengolahan bidang pangan menjadi konsentrasi yang cukup besar untuk dilakukan, sebab pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Meningkatnya permintaan pangan seiring
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK (Pekerja Seks Komersial) merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. membentuk kehidupan secara bersama-sama dan saling melengkapi antar
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat merupakan sekelompok individu yang hidup bersama dan menempati suatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup lama dan saling berinteraksi antar individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat kompleks. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menuntut seluruh perusahaan atau instansi pemerintah untuk memperoleh. oleh manajemen adalah tentang pengelolaan kas.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan dunia bisnis di era global ini menuntut seluruh perusahaan atau instansi pemerintah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang di arahkan untuk mengembangkan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam
1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembicaraan tentang gender sudah semakin merebak. Konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap masyarakat senantiasa mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat senantiasa mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat transisi dan menuju masyarakat modern. Perubahan itu mengakibatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah mahkluk sosial, di manapun berada selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara
Lebih terperinciBAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN
BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Balakang. Timur yang teridentifikasi menjadi wilayah terkonsentret HIV dan AIDS selain Malang
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Kabupaten Banyuwangi merupakan Kabupaten yang terletak diujung timur pulau jawa yang mempunyai nilai potensial dan sangat strategis karena berdekatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. data-data keluarga sejahtera yang dikumpulkannya. Menurut BKKBN yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah angka kemiskinan ini menjadi lebih banyak diperdebatkan oleh ekonom dan non-ekonom ketika BKKBN mengumumkan angka kemiskinan dari data-data keluarga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada pasal 28 H, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak hidup
Lebih terperinciREKAPITULASI TRIWULAN DATA KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL
LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENDATAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN REKAPITULASI DATA KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL A. PENDUDUK DAN KEPALA KELUARGA PROVINSI
Lebih terperinciWALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL KOTA BATU DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia diawali dan pergerakan kaum perempuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang semakin modern berpengaruh terhadap penyesuaian diri manusia. Pada saat manusia belum dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang baru,
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR
WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN PERMAKANAN
Lebih terperinciTINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN
BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XI, 05 Januari 2009 No. 47/12/34/Th.XI, 01 Desember 2009 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2009 SEBESAR 6,00 PERSEN (Di
Lebih terperinci3740 kasus AIDS. Dari jumlah kasus ini proporsi terbesar yaitu 40% kasus dialami oleh golongan usia muda yaitu tahun (Depkes RI 2006).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immuno-defiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menempatkan posisi perempuan sebagai manusia tidak sejajar dengan posisi lakilaki.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kekerasan terhadap perempuan masih menjadi permasalahan yang dominan dalam masyarakat. Budaya yang masih mengakar di masyarakat menempatkan posisi perempuan
Lebih terperinciTugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Kota Bandung A. Kepala Dinas B. Sekretariat
Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Kota Bandung Berdasarkan Peraturan Walikota Bandung No. 475 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi Satuan Organisasi pada Dinas Daerah Kota Bandung, Tugas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelacuran adalah salah satu penyakit masyarakat yang sudah ada sejak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelacuran adalah salah satu penyakit masyarakat yang sudah ada sejak lama. Pelacuran selain sebagai perbuatan melanggar hukum, penyakit masyarakat, juga merupakan
Lebih terperinciBAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 6.1. STRATEGI Untuk mewujudkan visi dan misi daerah Kabupaten Tojo Una-una lima tahun ke depan, strategi dan arah
Lebih terperinciJUMLAH PENDUDUK W N I KETERANGAN
PROVINSI PENDUDUK N0. KABUPATEN/KOTA 1. KOTA YOGYAKARTA 215,316 220,588 435,904 0 0 0 435,904 2. BANTUL 498,430 508,376 1,006,806 16 14 30 1,006,836 3. KULONPROGO 231,738 238,770 470,508 0 0 0 470,508
Lebih terperinci