BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hubungan Industrial antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hubungan Industrial antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan Industrial antara pekerja/buruh dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan harmonis dan dinamis, tidak tertutup kemungkinan setiap saat hubungan itu akan diwarnai perselisihan. 1 Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan pihak buruh atau oleh pihak pengusaha. Keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja) tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak lainnya (pengusaha), demikian pula keinginan pengusaha selalu dilanggar atau tidak selalu dipenuhi oleh pihak buruh atau pekerja. Kecenderungan terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak merupakan suatu hal biasa terjadi.ditambah lagi kondisi dalam masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan hubungan kerja. 2 Dalam suatu perselisihan, bisa terjadi antara 2 (dua) pihak buruh dan pengusaha, atau para pihaknya terdiri dari setidaknya lebih dari 2 (dua) atau lebih pihak, yang saling berbeda pendapat mengenai pelaksanaan atau perlakuan hubungan kerja. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial antara buruh/pekerja dengan pihak pengusaha. 3 Hubungan industrial (industrial relations) tidak hanya sekedar menajemen organisasi perusahaan yang dijalankan oleh seorang manager, yang menempatkan pekerja sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Namun hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun 1 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, h Aloysius Uwiyono, et.al, Asas Asas Hukum Perburuhan, Ed. 1, Cet. 3, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h Ibid., h

2 di luar tempat kerja yang berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja. 4 Di Indonesia hubungan industrial (industrial relation) merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Pasal 1 angka 16 UU No. 13 Tahun 2003). 5 Dalam proses produksi di perusahaan pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan pemerintah termasuk sebagai para pihak dalam hubungan industrial karena berkepentingan untuk terwujudnya hubungan kerja yang harmonis sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. 6 Sarana yang dibutuhkan untuk terciptanya hubungan industrial yang ideal di Indonesia, yaitu: serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, peraturan perundangundanganketenagakerjaan dan lembaga penyelesaian hubungan industrial. 7 Istilah pekerja/buruh mucul sebagai pengganti istilah buruh. Pada zaman feodal atau zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain. Orang-orang ini oleh pemerintah Belanda dahulu disebut dengan blue collar (berkerah biru), sedangkan orang-orang yang mengerjakan pekerjaan halus seperti pegawai administrasi yang bisa duduk di meja disebut dengan white collar (berkerah putih). Biasanya orang-orang yang termasuk golongan ini adalah para 4 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di luar Pengadilan, Ed. 3, Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta, 2007, h Ibid., h Ibid. 7 Aloysius Uwiyono, et.al, Op. Cit., h

3 bangsawan yang bekerja di kantor dan juga orang-orang Belanda dan Timur Asing lainnya. 8 Namun kemudian, dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja/buruh. 9 Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentangketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum, tetapi maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja, baik perseorangan, persekutuan, badan hukum maupun badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diberikan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang. 10 Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian pekerja/buruh diperluas. Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan bahwa: termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah: 11 a. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun tidak; b. Mereka yang memborong pekerjaan, kecuali yang memborong adalah perusahaan; c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Istilah yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah 8 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Ed. Revisi, Cet. 3, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h Ibid., h R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. I, Penerbit CV Pustaka Setia, Bandung, 2013, h Zaeni Asyhadie, Loc. Cit. 3

4 majikan yaitu orang atau badan yang memperkerjakan buruh. 12 Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pengusaha adalah: a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan perusahaan milik sendiri; b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan milknya; c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di wilayah Indonesia. Maksud dari defenisi tersebut adalah: 13 Orang perseorangan adalah orang pribadi yang menjalankan atau mengawasi operasional perusahaan; Persekutuan adalah suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum seperti CV, Firma, Maatschap, dan lain-lain. Baik yang bertujuan untuk mencari keuntungan untuk mencari keuntungan maupun tidak; Badan Hukum (recht persoon) adalah suatu badan yang oleh hukum dianggap sebagai orang, dapat mempunyai harta kekayaan secara terpisah, mempunyai hak dan kewajiban hukum dan berhubungan hukum dengan pihak lain. Contoh badan h Lihat UU No. 21 Tahun 1954 jo UU No. 22 Tahun Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet II, Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, 4

5 hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan (Stichting), Koperasi, Pemerintah Daerah, Negara, dan lain-lain. Sebagai pemberi kerja pengusaha adalah seorang majikan dalam hubungannya dengan pekerja/buruh. Pada sisi yang lain pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya adalah seorang pekerja/buruh dalam hubungannya dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham karena bekerja dengan menerima upah atau imbalam dalam bentuk lain. 14 Perlu pula dibedakan antara pengusaha dan perusahaan karena ada pengusaha yang sekaligus pemilik perusahaan dan ada yang tidak. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 perusahaan adalah: 15 a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Kuasa adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk melakukan sesuatu, wewenang atas sesuatu, dan wewenang untuk menentukan/memerintah/menduduki atau mengurus. 16 Sedangkan Surat kuasa adalah surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu. 17 Lebih lanjut, yang dapat betindak sebagi kuasa/wakil dalam perkara perdata padaumumny adalah advokat sesuai Pasal 32 UU 18/2003; Jaksa dengan kuasa 14 Maimun, Op. Cit., h Maimun, Op. Cit., h Sudarsono, Kamus Hukum, Cet 5, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta, 2007, h KBBI edisi ketiga keluaran Balai Pustaka. 5

6 khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU 16/2004; biro hukum pemerintah/tni/kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;mereka yang mendapat kuasa insidentiil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan (misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri) untuk perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri; dan kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala desa/lurah. 18 Ketentuan atau prinsip pokok pemberian kuasa, merujuk kepada BAB KEENAM BELAS, BUKU KETIGA KUH Perdata tentang Pemberian Kuasa. Menurut 1792 KUH Perdata, pemberian kuasa (lastgeving, mandate) adalah: 19 Persetujuan (overeekomst, agreement) antara pemberi kuasa (lastgever, mandator or principal), dengan penerima kuasa (lasthebber, mandatory); Dengan pemberian kuasa itu, penerima kuasa sah bertindak untuk dan atas nama (for and on behalf) pemberi kuasa melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam surat kuasa, Dalam bertindak melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak atau bukan atas namanya sendiri, tetapi atas nama pemberi kuasa. Apa yang dikemukan di atas, tidak mengurangi kemungkinan seorang kuasa atau agen (agent), bertindak atas namanya sendiri untuk kepentingan atau perhitungan orang lain. Namun umumnya, kuasa bukan bertindak atas namanya sendiri dalam melakukan perbuatan hukum, 18 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. I, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009 (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), h

7 tetapi untuk dan atas nama pemberi kuasa atau principal. 20 Berakhirnya kuasa terjadi karena pemberi kuasa menarik kembali kuasa, salah satu pihak meninggal dunia, atau penerima kuasa melepas kuasa yang diterimanya. 21 Kewajiban kuasa menurut Pasal 1800 KUH Perdata, antara lain: 1) Melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya; 2) Menyelesaikan semua urusan atau perbuatan hukum yang yang dilimpahkan kepadanya sebelum jangka waktu perjanjian kuasa berakhir; 3) Kuasa wajib memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang tindakan apa saja yang dilakukannya, serta memberi perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang diterimanya (Pasal 1802 KUH Perdata); 4) Bertanggung jawab atas tindakan yang dibuat orang yang ditunjuknya, padahal kepadanya tidak diberi hak substitusi, atau kepadanya diberi hak substitusi tanpa menyebut namanya, dan ternyata orang yang ditunjuknya tidak cakap dan tidak mampu (Pasal 1803 KUH Perdata); 5) Kuasa wajib menanggung segala kerugian dan bunga yang timbul atas keingkaran atau kelalaian kuasa melaksanakan apa yang dikuasakan kepadanya. Adapun kewajiban pemberi kuasa, yang terpenting di antaranya: 22 1) Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh kuasa dengan pihak ketiga, sepanjang perikatan itu masih dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepada kuasa (Pasal 1807 KUH Perdata); 20 Ibid. 21 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, ed., Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2009, h M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h

8 2) Pemberi kuasa wajib membayar ganti rugi kepada kuasa tentang kerugian yang diderita sewaktu menjalankan kuasa, dengan syarat asal kuasa tidak bertindak kurang hati-hati (carelessly) (Pasal 1809 KUH Perdata). Jadi menurut prinsip hukum perjanjian, pemberi kuasa bertanggung jawab penuh atas segala perbuatan hukum yang dilakukan kuasa dengan syarat perbuatan yang dilakukannya tidak melampaui wewenang yang diberikan pemberi kuasa sesuai dengan hal-hal yang dirinci atau ditentukan dalam surat kuasa, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam putusan MA No. 311K/Sip/1973. Pemberian ganti rugi itu kepada kuasa adalah sebesar yang telah dikeluarkannya, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa. 23 Penunjukan kuasa dalam surat gugatan diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147 ayat (1) RBG). Pasal 123 Ayat (1) Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (HIR) mengatakan, selain kuasa lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijozondere schriftelijke machtiging. Cara penunjukan ini dikaitkan dengan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG). Menurut Pasal 118 Ayat (1) HIR (Pasal 142 Ayat (1) RBG), gugatan perdata diajukan secara tertulis dalam bentuk surat gugatan yang ditandatangani oleh penggugat. Berdasarkan Pasal 123 Ayat (1), penggugat dalam gugatan itu dapat langsung mencantumkan dan menunjuk kuasa yang dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses pemeriksaan. Penunjukan kuasa yang demikian, sah dan memenuhi syarat formil, karena Pasal 123 ayat (1) jo Pasal 118 ayat (1) HIR, telah mengaturnya secara tegas M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h

9 Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 25 Pasal 1 angka 2 dan Pasal 98 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang No. 40 Tahun 2007 menegaskan Organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Berdasarkan ketentuan ini, undang-undang sendiri telah menentukan, Direksi bertindak sebagai kuasa menurut hukum untuk mewakili kepentingan perseroan di dalam dan di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari perseroan. Hak Direksi memberi kuasa diatur di dalam Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbunyi sebagai berikut: Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Selanjutnya, Penjelasan pasal ini berbunyi: Yang dimaksud kuasa adalah Kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa. 25 Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 9

10 Ketentuan Pasal 87 UU No.2/2004 yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi organisasi pengusaha untuk beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa khusus, hampir tidak pernah dipergunakan. Dengan diintrodusirnya ketentuan Pasal 87 UU/2004, bagi hakim hal ini merupakan pekerjaan rumah sendiri. Betapa tidak? Karena pengurus serikat pekerja//serikat buruh yang bertindak sebagai kuasa hukum pekerja/buruh, oleh karena mayoritas tidak mempunyai latar belakang pendidikan ilmu hukum, mereka sama sekali tidak atau relatif kurang memahami hukum acara. Akibatnya, ketua majelis hakim harus menyediakan kelonggaran waktu untuk membimbing mereka beracara di persidangan. Tentu saja, kesabaran dan ketekunan hakim dituntut untuk itu. 26 Dalam Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan antara putusan akhir dan bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengkhiri suatu perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Sedangkan putusan yang bukan putusan akhir (Putusan Sela dan Putusan Antara) adalah putusan yang berfungsi untuk memperlancar jalannya persidangan. Putusan sela hanya dimintakan banding bersama-sama dengan banding Putusan Akhir perkara yang sama. 27 Isi pertimbangan Hakim dalam Putusan Sela Nomor. 03/G/2014/PHI.Smg yang menolak Kuasa Hukum Tergugat, adalah: Majelis Hakim menimbang bahwa mengenai Kuasa Hukum Tergugat yang diwakili oleh General Manager dan HRD Manager, Majelis Hakim menyatakan bahwa orang yang berhak mewakili Pengusaha untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial adalah Organisasi Pengusaha, sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 87 Undang Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Oleh karena Undang-undang tersebut merupakan Lex Spesialist yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Loc. Cit. 27 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 3, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h

11 Hubungan Industrial maka ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pula pada ketentuan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tersebut, bukan kepada Undang-undang Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut Majelis Hakim bahwa Kuasa Hukum Tergugat bukan Organisasi Pengusaha, akan tetapi adalah karyawan Tergugat, maka tidak memenuhi syarat sebagai kuasa yang ditentukan Undang-undang sebagaimana tersebut diatas, oleh karenanya menurut Majelis Kuasa Hukum Tergugat tidak mempunyai legal standing untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili Tergugat. Bertolak dari kesenjangan antara Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI jo Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan putusan hakim yang menyatakan General Manager tidak bisa mewakili Pengusaha adalah keliru atau tidak tepat, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAPLEGAL STANDING GENERAL MANAGER MEWAKILI PENGUSAHA (Studi Kasus Putusan Sela Nomor 03/G/2014/PHI.Smg) B. Rumusan Masalah Apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager yang mewakili Pengusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah penolakan oleh Majelis Hakim terhadap General Manager yang mewakili Pegusaha dalam Putusan Sela Nomor: 03/G/2014/PHI.Smg sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 11

12 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya pada hukum ketenagakerjaan, pada umumnya dalam pengembangan Hukum Perdata. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Hakim dalam memutus perkara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), memberikan pemahaman bagi pekerja, advokat dan Pengusaha dalam bertindak sebagai pemberi dan penerima kuasa dalam beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). E. Metode Penelitian Agar tujuan dan manfaat penelitian ini dapat tercapai sebagaimana yang telah direncanakan, maka untuk itu dibutuhkan suatu metode yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder bahan belaka Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet 1, Ed. 13, Penerbit Pt RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, h

13 2. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. 29 Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (Statuta Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, 30 dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ideide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asasasas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cetakan ke-3, 2007, h Ibid. 31 Ibid., h Ibid, h

14 Bahan hukum primer yang digunakan berupa legislasi dan regulasi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. 33 Bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku hukum, dan kamus hukum. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, ideks kumulatif, dan seterusnya Unit Analisis Legal standinggeneral Manager mewakili Pengusaha sebagai Tergugat. 33 Ibid. 34 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., h

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Oleh Suyanto ABSTRAK Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) definisi dari Perseroan Terbatas (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan atau pemahaman antara dua pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi antara Serikat Pekerja dengan PT Andalan Fluid di Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kota Bogor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang 11 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang banyak, sehingga membutuhkan lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk menyerap tenaga

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN UMK (UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA) TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH

PEMBERLAKUAN UMK (UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA) TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH PEMBERLAKUAN UMK (UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA) TERHADAP KESEJAHTERAAN PEKERJA/BURUH oleh Michele Agustine I Gusti Ketut Ariawan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Wages play an important

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Untuk memperoleh data atau bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian hukum dengan metode yang lazim digunakan dalam metode penelitian hukum dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 1 Oleh : Ruben L. Situmorang 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS BAB II TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Perselisihan Hubungan Industrial Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN

PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN Oleh Nyoman Agus Pitmantara Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok. pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok. pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan ini telah dicetuskan di dalam Pembukaan Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang Disebabkan Karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. Planet Electrindo Berdasarkan Putusan Nomor 323K/Pdt.Sus-PHI/2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 angka 15 UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengartikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam menghadapi perkembangan era globalisasi pekerja dituntut untuk saling berlomba mempersiapkan dirinya supaya mendapat pekerjaan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. membuat masyarakat berlomba lomba untuk mendapatkan kehidupan yang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. membuat masyarakat berlomba lomba untuk mendapatkan kehidupan yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan infraksturktur dan sumber daya manusia untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, baik materiil maupun spiritual

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam dunia filsafat, para filosof, khususnya Aristoteles menjuluki manusia dengan zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Subyek Hukum Bisnis

STIE DEWANTARA Subyek Hukum Bisnis Subyek Hukum Bisnis Hukum Bisnis, Sesi 2 Definisi Subyek Hukum: Setiap mahluk yang diberi wewenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak dan kewajibannya di dalam lalu lintas hukum Ruang Lingkup

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA DAN PEKERJA. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam passal 1 angka (2)

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA DAN PEKERJA. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam passal 1 angka (2) BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA DAN PEKERJA A. Pengertian Pekerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam passal 1 angka (2) disebutkan, tenaga kerja adalah : setiap orang yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB DEWAN KOMISARIS SEBAGAI ORGAN PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 1 Oleh : Olivia Triany Manurung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI LUAR PENGADILAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004 1 Oleh: Sigit Risfanditama Amin 2 ABSTRAK Hakikat hukum ketenagakerjaan adalah perlindungan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014 PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN SETELAH PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh : Moh. Iswanto Sumaga 2 A B S T R A K Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimanakah bentukbentuk sengketa setelah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. 1 Untuk mendapatkan pemecahan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tidak dapat dipisahkan dari peran para tenaga kerja itu sendiri. Pekerja dan

BAB I PENDAHULUAN. negara tidak dapat dipisahkan dari peran para tenaga kerja itu sendiri. Pekerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah perburuhan pada dasarnya merupakan suatu masalah yang sangat penting dalam suatu negara. Karena bagaimanapun juga pembangunan dalam suatu negara tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan perekonomian dan dunia usaha semakin bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya ditemukan pelaku-pelaku usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), dilaksanakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peranan notaris..., E. Paramitha Sapardan, FH UI, hlm. 1. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Peranan notaris..., E. Paramitha Sapardan, FH UI, hlm. 1. Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perseroan dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi usaha. Sedangkan perseroan terbatas adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau badan usaha yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia usaha yang memiliki persaingan usaha yang sangat ketat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia usaha yang memiliki persaingan usaha yang sangat ketat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam dunia usaha yang memiliki persaingan usaha yang sangat ketat menuntut para pelaku ekonomi untuk mempertahankan usahanya. Pelaku usaha yang mengikuti trend

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum pada dasarnya tidak membedakan antara pria dan perempuan, terutama dalam hal pekerjaan. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas (PT) Telkom Cabang Solo merupakan salah satu badan

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas (PT) Telkom Cabang Solo merupakan salah satu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas (PT) Telkom Cabang Solo merupakan salah satu badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bidang telekomunikasi. Permintaan layanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi tenaga kerja dalam Undang-Undang yang tegas memberikan. bahkan sampai akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

BAB I PENDAHULUAN. asasi tenaga kerja dalam Undang-Undang yang tegas memberikan. bahkan sampai akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan tenaga kerja dari tahun ke tahun menarik perhatian banyak pihak. Permasalahan tenaga kerja yang menimbulkan konflik-konflik pada buruh, seperti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING. Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin hubungan kerja antara

BAB II TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING. Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin hubungan kerja antara 21 BAB II TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING 2.1 Hubungan Kerja 2.1.1 Pengertian hubungan kerja Pengusaha dan pekerja memililki hubungan yang disebut dengan hubungan kerja. Hubungan kerja dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Perlindungan Hukum Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu penelitian hukum dengan mengkaji bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebuah deklarasi bahwa negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1) Latar Belakang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat PT) merupakan subyek hukum yang berhak menjadi pemegang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu negara berkembang yang mempunyai tujuan dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negaranya. Konstitusi bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan adagium ini nampaknya biasa saja, seperti tidak mempunyai makna. Tetapi kalau dikaji lebih jauh akan kelihatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. Perkembangan asuransi di Indonesia tentunya tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dan teknologi dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor yang sangat penting dalam suatu kegiatan produksi.

BAB I PENDAHULUAN. faktor yang sangat penting dalam suatu kegiatan produksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya tidak akan dapat menghasilkan produk tanpa adanya pekerja. Pekerja tidak dapat diabaikan eksistensinya dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), yakni makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN 2.1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Replubik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan hukum yang berkaitan dengannya. Anak yang secara harfiah

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan hukum yang berkaitan dengannya. Anak yang secara harfiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai anak, maka tidak akan ada hentinya dengan berbagai permasalahan hukum yang berkaitan dengannya. Anak yang secara harfiah memang belum dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemutusan hubungana kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Sejak awal. dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Sejak awal. dan meningkatkan kesejahteraan orang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yayasan adalah kumpulan dari sejumlah orang yang terorganisasi dan dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Sejak awal sebuah yayasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dikenal dengan makhluk sosial, karena manusia tidak bisa hidup sendiri yang artinya manusia membutuhkan sesama manusia dalam hal kebutuhan hidupnya.

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dari orang lain disekitarnya sebagai pegangan dalam hidup dan bermasyarakat serta sebagai pegangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1. Pengertian Tenaga Kerja Pengertian Tenaga Kerja dapat di tinjau dari 2 (dua)

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak 2.1.1 Pengertian pekerja Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama dan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan, masyarakat mempunyai kemampuan dan keahlian masing-masing serta cara yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan terbatas merupakan salah satu bentuk Maskapai Andil Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan terbatas merupakan salah satu bentuk Maskapai Andil Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perseroan terbatas merupakan salah satu bentuk Maskapai Andil Indonesia yang ada di Indonesia. Bila kita liat pada KUHD perseroan terbatas tidak diatur secara terperinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam masa pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam masa pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam masa pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini setiap anggota masyarakat harus berusaha keras untuk memenuhi kebutuhannya seharihari. Sebagian besar

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi ekonomi tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kepariwisataan

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi ekonomi tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kepariwisataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi ekonomi telah memperluas jangkauan kegiatan ekonomi, sehingga tidak hanya terbatas pada satu negara saja. Konsekuensi dari proses globalisasi ekonomi

Lebih terperinci

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian kerja merupakan awal dari lahirnya hubungan industrial antara pemilik modal dengan buruh. Namun seringkali perusahaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci